Anda di halaman 1dari 9

Polemik Kriminalisasi Kembali Penghinaan Presiden

dalam Ius Constituendum RUU KUHP Indonesia

Nabila Khoirunnisa
11

I. LATAR BELAKANG
Melalui Amandemen UUD 1945 dalam Pasal 1 Ayat 2 menekankan bahwa
kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar.1 Rumusan pasal tersebut mengandung makna dimana kekuasaan
tertinggi berada pada rakyat. Reformasi konstitusi telah menegaskan secara
eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 bahwa Indonesia adalah negara hukum. 2 Hal ini
mempertegas komitmen bahwa Indonesia merupakan negara hukum yang
demokratis, sehingga kekuasaan manapun harus berlandaskan konstitusi. Salah
satu ciri mutlak dari konsep negara hukum ialah adanya suatu jaminan
perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).3 Demokrasi juga mensyaratkan
adanya penghormatan pada Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai hak mutlak.
Salah satunya ialah hak atas kemerdekaan (kebebasan) menyatakan pendapat
(freedom of opinion and expression) dimana hak tersebut juga dilindungi
sebagai hak konstitusional rakyat Indonesia.
Indonesia kini sedang berusaha untuk memperbaharui Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai pembaharuan hukum. KUHP yang
merupakan warisan produk penjajahan Belanda dianggap tidak sesuai lagi
dengan tuntutan perkembangan dan pandangan hidup bangsa Indonesia.4 Upaya
pembaharuan serta pengesahan isi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (RKUHP) menuai pro dan kontra. Sejumlah pasal dinilai justru
memukul mundur demokrasi negara Indonesia. Salah satu pasal yang menjadi
kontroversi dalam draf RKUHP versi 15 September 2019 ialah pemerintah
mengkriminalisasikan kembali pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden,
dimana pasal tersebut dimaksudkan untuk melindungi harkat dan martabat
Presiden dan Wakil Presiden atau disebut juga sebagai pasal proteksi negara.
Hal ini menuai banyak respon negatif dan dianggap merupakan salah satu upaya
untuk membungkam kritik dalam negara yang menganut sistem demokrasi ini.
Mengkriminalisasikan kembali pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden
dianggap sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan di Indonesia sebagai negara
hukum demokratis yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM).

1
Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2
Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3
Jimly Asshiddiqie, “Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara”, Jakarta: Rajawali Pers, hlm.
343.
4
Jimly Asshiddique, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Angkasa, 1996,
hlm. 1.
Sehingga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kini dianggap membangkitkan
kembali pasal penghinaan Presiden yang sejatinya sudah disuntik mati oleh
Mahkamah Konstitusi (MK). Embrio delik penghinaan Presiden dan Wakil
Presiden sebetulnya berasal dari KUHP, yaitu Pasal 134, Pasal 136 bis, dan
Pasal 137.
MK sebagai penafsir tunggal konstitusi sependapat dengan argumentasi
para pemohon, MK menilai bahwa pasal tersebut dapat menimbulkan
ketidakpastian hukum lantaran multitafsir antara kritik dan penghinaan,
sehingga pasal ini sangat berpotensi menjadi pasal ‘karet’ dalam
penggunaannya dan berujung menghalangi kebebasan berekspresi dan
mengemukakan pendapat sehingga ditakuti akan dihidupkan kembali rezim
antikritik yang rentan mengkriminalisasikan rakyatnya.
Namun, jika ditinjau lebih lanjut, rumusan pasal tersebut sebenarnya
bermaksud untuk lebih mengajarkan penyampaian berpendapat yang beretika
dan berdasar dengan moral. Dengan adanya kebebasan berpendapat, tidak bisa
digunakan dengan serta merta mewujudkan celaan atau penghinaan yang tak
mendasar. Sehingga perumusan pasal ini seharusnya lebih ditelaah dan
dirumuskan dengan spesifikasi yang jelas untuk menghindari penyalahgunaan
pasal. Berdasarkan latar belakang dan urgensi yang telah disampaikan
sebelumnya, penulis akan mengangkat beberapa permasalahan, yakni:
Bagaimana faktanya pemerintah menerapkan pasal-pasal proteksi negara di
Indonesia, bagaimana konsep pasal penghinaan presiden, serta polemik dari
mengkriminalisasikan kembali pasal penghinaan presiden.
Adapun tujuan penulisan ini secara obyektif ialah untuk menganalisis,
mengeetahui, mengkritisi, serta memberikan pendapat dan solusi atas
permasalahan-permasalahan dalam polemik kriminalisasi kembali penghinaan
presiden dalam Ius Constituendum RUU KUHP Indonesia. Dan manfaat
penulisan ini terdiri dari:
• Manfaat teoritis, penulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
bagi masa depan dalam penyelesaian rumusan RKUHP, terutama dalam
rumusan pasal penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil
presiden.
• Manfaat praktis, penulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi
para akademisi, legistator, serta masyarakat umum agar dapat memahami
mengenai sebab dan akibat dari kriminalisasi penyerangan harkat dan
martabat presiden dan wakil presiden yang dihidupkan kembali ke dalam
KUHP Indonesia.

II. PEMBAHASAN
1. Penerapan Pasal-Pasal Proteksi Negara di Indonesia
Pada dasarnya, pasal proteksi negara yang diciptakan ialah guna untuk
kesejahteraan bangsa dan negara, serta menjaga keamanan dan ketertiban
rakyat. Namun dengan ketidakpastian dalam penafsiran pasal tersebut
mengakibatkan pada praktiknya penerapan pasal-pasal proteksi negara
menjadi disalahgunakan untuk membungkam dan merampas kebebasan
politik dan ekspresi bagi rakyatnya sendiri. Pasal-pasal proteksi negara dalam
KUHP dahulu kerap dijadikan alat kriminalisasi kepada rakyat oleh
pemerintah. Ketika zamannya pasal-pasal tersebut masih berlaku, hal ini
sangat mungkin terjadi, terutama ketika pendapat-pendapat rakyat tersebut
bertentangan dengan pemerintah.
Dalam berbagai hasil laporan dan kajian, terdapat beberapa pasal yang
sering disalahgunakan untuk mengancam hak asasi manusia di negara
demokrasi ini yang dijadikan dasar pembenar untuk menangkap, menahan,
mengadili, dan menghukum para musuh-musuh pemerintah pada zamannya5,
yaitu6:
• Penghinaan martabat Presiden dan Wakil Presiden (Lese Majeste)
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 134, 136bis, dan 137 KUHP.
• Penyebaran kebencian terhadap pemerintah (haatzaaiartikelen) yang
termuat dalam Pasal 154 KUHP.
• Kejahatan ideologi komunisme dan marxisme dalam Pasal 107a-d
KUHP.

Sebelum dibatalkan oleh MK, pasal penghinaan Presiden sudah pernah


berulang kali digunakan ke proses hukum untuk memenjarakan suara publik.
Tak sedikit aktivis-aktivis yang pernah ditangkap, salah satunya di tahun 1995
yaitu Sri Bintang Pamungkas yang berani berkata dengan lugas dan bersikap
kritis terhadap Soeharto. Sri Bintang Pamungkas dikenal sebagai pergerakan,
reformis, politikus, aktivis, serta orator hebat dalam masa penggulingan
Soeharto.7 Di rezim Soeharto, beliau pernah ditahan dengan tuduhan melakukan
delik Pasal 104 KUHP tentang makar terhadap Presiden, kemudian pasal
pelapisnya juga meliputi Pasal 134 KUHP tentang penghinaan terhadap
martabat Presiden atau Pasal 137 KUHP tentang penghinaan Presiden dengan
tulisan dan lukisan.
Tak hanya saat Orde Baru, perkara terkait pasal haatzaaiartikelen ini
kembali meningkat sejak masa Megawati 8. Penangkapan para pendemo kiat
meningkat ketika aksi protes dan demo besar-besaran serta beberapa editor

5
Ignatius Haryanto (2008), Konsepsi Keamanan Negara dan Pelanggaran HAM, Elsam,
Jakarta.
Supriyadi Widodo Eddyono dan Fajrimei A. Gofar, “Menelisik Pasal-Pasal Proteksi
6

Negara dalam RUU KUHP: Catatan Kritis terhadap Pasal-Pasal Tindak Pidana Ideologi, Penghinaan
Martabat Presiden, dan Penghinaan terhadap pemerintah, Jakarta: ELSAM dan Aliansi Nasional
Reformasi KUHP,” ELSAM dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP Jakarta (2007), hlm 14.
7
Wan Ulfa Nur Zuhra, “Siapa Sri Bintang Pamungkas, Sosok Yang Mekar Karena
Makar?,” https://tirto.id/siapa-sri-bintang-pamungkas-sosok-yang-mekar-karena-makar-b6Bg,
diakses pada 14 Maret 2020.
8
Supriyadi Widodo Eddyono dan Fajrimei A. Gofar, Loc.Cit., hlm 14.
koran juga dipanggil polisi atas artikel yang dianggap menghina presiden. 9
Salah satu kasusnya pada tahun 2002, Faisal Saifuddin, Ketua SIRA (Sentral
Informasi Referendum Aceh) cabang Jakarta sebagai pemimpin demonstrasi di
depan kantor PBB di Jakarta, digugat menebarkan kebencian terhadap
pemerintah Indonesia dan telah memenuhi KUHP Pasal 154, 155 dan 64.10 Dan
di tahun 2005, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan pidana selama 6
(enam) bulan penjara terhadap Monang Johannes Tambunan yang terdakwa
melanggar Pasal 134a dan 136bis KUHP yakni melakukan penghinaan kepada
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menggelar aksi menolak kenaikan
harga BBM di depan Istana Negara Jakarta. 11 Berdasar pada kasus-kasus
tersebut, pasal penghinaan presiden yang dihidupkan kembali kini menuai
banyak kontra oleh berbagai pihak. Pasal tersebut dianggap multitafsir sehingga
ditakutkannya terjadi kembali penyalahgunaan yang dapat memenjarakan hak
berpendapat para rakyat.

2. Konsep Pasal Penghinaan Presiden dalam RUU KUHP Indonesia


Delik pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP Indonesia pada
dasarnya berasal dari KUHP, yaitu Pasal 134, Pasal 136bis, dan Pasal 137. Isi
pasal-pasal tersebut dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 134 KUHP:
“Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden dan Wakil Presiden dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun atau denda sebanyak-
banyaknya Rp. 4.500”;
Pasal 136 bis KUHP:
“Perkataan penghinaan dengan sengaja dalam Pasal 134 mengandung juga
perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 315, jika itu dilakukan kalau yang
dihinakan tak hadir, yaitu baik di muka umum dengan beberapa perbuatan,
maupun tidak di muka umum, tetapi dihadapan lebih dari empat orang atau
dihadapan orang lain, yang hadir dengan tidak kemauannya dan yang merasa
tersentuh hatinya, akan itu, dengan perbuatan-perbuatan, atau dengan lisan
atau dengan tulisan”;
Pasal 137 KUHP:
“(1) Barangsiapa menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan tulisan
atau gambar yang isinya menghina Presiden atau Wakil Presiden dengan niat
supaya isinya yang menghina itu diketahui oleh orang banyak atau diketahui

9 Human Rigths Wacth (2003), Kembali Ke Orde Baru Tahanan Politik di bawah
kepemimpinan Megawati.
10
Husein Abdulsalam, “Asal Usul Pasal Penghinaan Presiden: Warisan Kolonial Belanda”,
https://tirto.id/asal-usul-pasal-penghinaan-presiden-warisan-kolonial-belanda-cEdB, diakses pada
16 Maret 2020.
11
MYS, “Menghina Presiden Saat Demo, Divonis 6 Bulan Penjara”,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol12796/menghina-presiden-saat-demo-divonis-6-
bulan-penjara/, diakses pada 16 Maret 2020.
oleh orang banyak, dihukum penjara selama- lamanya satu tahun empat bulan
atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500
(2) Jika Si Tersalah melakukan kejahatan itu dalam jabatannya dan pada waktu
melakukan kejahatan itu belum lagi lalu dua tahun sesudah tetap hukumannya
yang dahulu sebab kejahatan yang serupa itu juga, maka ia dapat dipecat dari
jabatannya. (KUHP 35, 144, 208, 310 s, 315, 483, 488)”.
Pasal-pasal diatas tidak berlaku lagi setelah dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi (MK) dalam Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006.12
Permohonan judicial review terhadap pasal tersebut diajukan oleh Dr. Eggi
Sudjana, S.H., M.Si. yang menyatakan bahwa Pasal 134 dan 136 bis KUHP
bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945. Sedangkan permohonan kedua
diajukan oleh Pandapotan Lubis, yang mendalilkan bahwa Pasal 134, Pasal 136
bis, dan Pasal 137 KUHP bertentangan dengan UUD 1945, khususnya prinsip
persamaan di depan hukum di Pasal 27 Ayat (1), prinsip kemerdekaan
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dalam Pasal 28 juncto Pasal 28E
ayat (2) dan ayat (3), dan prinsip bahwa seseorang harus menghormati hak asasi
orang lain (Pasal 28J).13
Pasal penghinaan presiden dianggap tidak relevan lagi untuk diterapkan di
Indonesia yang mana merupakan negara hukum demokratis. Pada sejarahnya,
pasal penghinaan presiden dihadirkan dalam KUHP guna memproteksi
martabat Raja atau Ratu di Belanda. Dengan menggunakan asas konkordasi
atau asas keselarasan, pasal-pasal tersebut digunakan untuk memproteksi
aparatus dan kebijakan-kebijakan kolonial Belanda di Indonesia 14. Tiba masa
kemerdekaan Indonesia, terjadinya penyesuaian yakni menggantikan kata Raja
atau Ratu dengan Presiden atau Wakil Presiden melalui Pasal 8 Angka 24 UU
No. 1 Tahun 194615 yang berbunyi:
“Dalam pasal 134 perkataan-perkataan "Koning of der Koningin" diganti
dengan "President of den Vice-President"”
Namun perlu diingat bahwa pasal yang sering disebut hatzaaiartikelen itu,
merupakan peraturan yang awal mula berlaku di Belanda. Di Belanda, kepala
negara adalah ratu yang merupakan simbol, sementara kepala pemerintahannya
merupakan perdana menteri. Pasal tersebut hanya diatur terhadap kepala negara
saja, tidak ada pasal penghinaan terhadap perdana meteri. Berbeda dengan
sistem di Indonesia dimana presiden merupakan kepala pemerintahan sekaligus
kepala negara.

12 Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006.


13
Supriyadi Widodo Eddyono dan Fajrimei A. Gofar, “Menelisik Pasal-Pasal Proteksi
Negara dalam RUU KUHP: Catatan Kritis terhadap Pasal-Pasal Tindak Pidana Ideologi, Penghinaan
Martabat Presiden, dan Penghinaan terhadap pemerintah, Jakarta: ELSAM dan Aliansi Nasional
Reformasi KUHP,” ELSAM dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP Jakarta (2007).
14
Ibid., hlm 41.
15
UU No. 1 Tahun 1946 .
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang kini berusaha membangkitkan
kembali kriminalisasi penghinaan presiden telah merumuskan pasal yang tak
jauh berbeda bahkan selaras dengan pasal penghinaan presiden sebelumnya.
Rumusan tindak pidana terhadap penghinaan presiden dalam draf RUU KUHP
September 2019 terdapat dalam Pasal 218, 219, dan 220 yang berbunyi:
Pasal 218 RKUHP:
“(1) Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat
dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling
banyak Kategori IV.
(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk
kepentingan umum atau pembelaan diri.”
Pasal 219 RKUHP:
“Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan
atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman
sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penyerangan kehormatan atau
harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud
agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling
banyak Kategori IV.”
Pasal 220 RKUHP:
“(1) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219
hanya dapat dituntut berdasarkan aduan.
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan oleh
kuasa Presiden atau Wakil Presiden.”
Berlandas pada rumusan pasal diatas dapat dilihat bahwa terdapat
keselarasan antara Pasal 218 RUU KUHP dengan pasal yang telah diapus yaitu
Pasal 134 dan 136bis KUHP, serta Pasal 219 RUU KUHP dengan pasal yang
juga telah diapus yakni Pasal 137 KUHP. Rumusan pasal penghinaan presiden
di Pasal 220 Angka (2) RKUHP telah memperbaiki redaksional delik, yang
awal mula menggunakan delik umum menjadi delik aduan. Delik aduan ini
bermaksud untuk melindungi kepentingan perlindungan presiden dan wakil
presiden sebagai simbol negara, dengan tegas dinyatakan hanya dapat
dilaporkan oleh pihak yang menjadi korban, yakni presiden atau wakil presiden
itu sendiri. Namun, hal tersebut tak dapat menjamin apa saja yang dapat
dipidanakan karena rumusan pasal tersebut masih kabur sehingga dapat
menyebabkan multitafsir oleh pihak yang merasa dirugikan. Jika dilihat dalam
Pasal 218 RKUHP tidak menjelaskan apa saja tindakan yang dapat dikatakan
penyerangan harkat dan martabat presiden atau wakil presiden itu sendiri yang
menimbulkan sifat ‘karet’ dalam penggunaan pasal tersebut nantinya. Sehingga
kalangan masyarakat sipil menilai pasal tersebut berpotensi menjadi alat
kriminalisasi dan membatasi kebebasan berpendapat dengan menggunakan
delik umum maupun delik aduan, karena penyalahgunaan pasal yang bersifat
karet tetap tidak dapat dihindari. Ketua Mahkamah Konstitusi juga menyatakan
bahwa pasal telah disuntik mati karena melanggar konstitusi dan juga hak-hak
negara16, sehingga jika dihidupkan kembali ke dalam KUHP maka akan
dianggap melawan konstitusi atau inkonstitusional.

3. Polemik Kriminalisasi Kembali Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil


Presiden
Atas dasar kepentingan dalam mewujudkan tujuan serta cita-cita negara,
negara Indonesia sebagai negara presidensil yang memberikan kekuasaan
kepala negara sekaligus kepala pemerintah kepada presiden dan wakil presiden
sebagai representasi dari negara, dimana sudah sepatutnya sebagai representasi
negara diberikan kedudukan dan perlindungan. Pasal kriminalisasi kembali
penghinaan presiden diatur karena telah terjadi kekosongan hukum dalam
mengatur harkat dan martabat presiden. Dengan kekosongan hukum mengenai
hal ini bersifat dapat membahayakan dan berpotensi memudahkan pihak
manapun untuk merendahkan martabat presiden kapanpun dan dimanapun.
Sebagai simbol negara sudah seharusnya memiliki perlindungan khusus serta
terjaga harkat dan martabatnya.
Dengan menghadirkan pasal proteksi negara seperti pasal penghinaan
presiden dapat meminimalisirkan penghinaan dan pencelaan tak mendasar
terhadap presiden atau wakil presiden serta menjadikan sebagai peringatan
untuk rakyat lebih berhati-hati dan memiliki landasan dalam melontar pendapat.
Salah satu kasus yang telah terjadi di masa pemerintahan Joko Widodo ialah
Yulianus Paonganan sebagai tersangka penyebaran konten pornografi yang
berisi editan foto Presiden Joko Widodo yang duduk bersama artis Nikita
Mirzani, serta judul foto yang tak sopan. Yulianus dijerat Pasal 4 Ayat (1) Huruf
a dan e UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan Pasal 27 Ayat (1) UU
ITE. Beliau diancam hukuman penjara minimal 6 tahun atau maksimal 12 tahun
serta denda minimal Rp 250 juta atau maksimal Rp 6 miliar. Kasusnya yang
serupa terjadi dengan Muhammad Arsyad di tahun 2014 yang dengan sengaja
mengunggah foto pornografi yang diedit dengan wajah Presiden Joko Widodo
dan mantan presiden Megawati Soekarnoputri di akun facebook-nya. Tersangka
dikenakan Pasal 29 UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, serta dilapis
dengan Pasal 310 dan 311 KUHP tentang penghinaan secara tertulis. 17 Kasus-
kasus tersebut menunjukkan ketidaksopanan, merusak nama baik, dan sangat

16
Rochmanuddin, “MK: Pasal Penghinaan Presiden Dihidupkan Lagi Inkonstitusional”,
https://www.liputan6.com/news/read/553945/mk-pasal-penghinaan-presiden-dihidupkan-lagi-
inkonstitusional, diakses pada 18 Maret 2020.
17
Apriana Nurul Aridha, “9 Kasus Penghinaan Presiden Jokowi Berujung Bui”,
https://www.liputan6.com/news/read/3065726/9-kasus-penghinaan-presiden-jokowi-berujung-bui,
diakses pada 18 Maret 2020.
melukai martabat presiden sebagai simbol negara. Sehingga sangat
diperlukannya kontrol sosial dalam berpendapat walaupun kita ketahui hak
berpendapat dimiliki setiap manusia, namun hal tersebut tak berarti
membebaskan pendapat yang merusak atau melukai martabat orang lain.
Dengan adanya pasal proteksi dapat lebih menyadarkan rakyat batasan
sewajarnya dan juga saling menghormati hak asasi manusia orang lain serta hak
menjaga harkat dan martabatnya.
Namun, perlu diingat kembali bagaimana sejarah penerapan pasal proteksi
negara di Indonesia selama ini faktanya tak begitu mensejahterahkan rakyat dan
bahkan pasal tersebut digunakan sebagai alat kriminalisasi untuk merampas hak
bersuara para rakyat. Sedangkan sebagai kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan di negara demokrasi tidak diperbolehkan untuk kebal kritik
seperti penerapan pasal lese majeste. Sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan justru harus diawasi dan dimonitor oleh rakyat agar tidak
sewenang-wenang, maka dari itu sebagai presiden harus siap menerima kritik
mengenai kinerja kerjanya di negara yang menganut asas dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat ini.

III. PENUTUP
Perumusan pasal proteksi seperti pasal penghinaan presiden dalam draf
RUU KUHP bertujuan untuk melindungi harkat dan martabat presiden dari
penghinaan tak mendasar serta pencemaran nama baik simbol negara. Namun,
kenyataannya rumusan pasal tersebut tak jauh berbeda dengan pengaturan
KUHP warisan Belanda yang sudah sangat tidak relevan untuk diterapkan di
Indonesia, bahkan telah disuntik mati oleh Mahkamah Konstitusi karena
dianggap melanggar konstitusi, hak-hak negara, dan HAM. Rumusan pasal
penghinaan presiden hingga kini masih terbilang multitafsir karena tidak
adanya kepastian bagaimana tindakan yang dapat dikriminalisasikan sehingga
dalam menginterpretasikan rentan disalahgunakan untuk mermbungkam suara
serta kritik terhadap presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan. Dengan menghidupkan kembali peraturan tersebut dalam RUU
KUHP dapat mengembalikan rezim otoritarian yang telah diperjuangkan untuk
merdeka seperti sekarang.

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Asshiddique, Jimly. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Bandung:
Angkasa. 1996.

Ignatius Haryanto (2008), Konsepsi Keamanan Negara dan Pelanggaran


HAM, Elsam, Jakarta.

Eddyono, Supriyadi Widodo dan Gofar, Fajrimei A. “Menelisik Pasal-Pasal


Proteksi Negara dalam RUU KUHP: Catatan Kritis terhadap Pasal-Pasal
Tindak Pidana Ideologi, Penghinaan Martabat Presiden, dan Penghinaan
terhadap pemerintah. Jakarta: ELSAM dan Aliansi Nasional Reformasi
KUHP.” ELSAM dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP Jakarta (2007).

Zuhra, Wan Ulfa Nur. “Siapa Sri Bintang Pamungkas, Sosok Yang Mekar
Karena Makar?.” https://tirto.id/siapa-sri-bintang-pamungkas-sosok-yang-
mekar-karena-makar-b6Bg, diakses pada 14 Maret 2020.

Husein Abdulsalam. “Asal Usul Pasal Penghinaan Presiden: Warisan Kolonial


Belanda.” https://tirto.id/asal-usul-pasal-penghinaan-presiden-warisan-
kolonial-belanda-cEdB. diakses pada 16 Maret 2020.

MYS. “Menghina Presiden Saat Demo, Divonis 6 Bulan Penjara.”


https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol12796/menghina-presiden-
saat-demo-divonis-6-bulan-penjara/. diakses pada 16 Maret 2020.

Rochmanuddin. “MK: Pasal Penghinaan Presiden Dihidupkan Lagi


Inkonstitusional”. https://www.liputan6.com/news/read/553945/mk-pasal-
penghinaan-presiden-dihidupkan-lagi-inkonstitusional. diakses pada 18
Maret 2020.

Aridha, Apriana Nurul. “9 Kasus Penghinaan Presiden Jokowi Berujung Bui.”


https://www.liputan6.com/news/read/3065726/9-kasus-penghinaan-
presiden-jokowi-berujung-bui. diakses pada 18 Maret 2020.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan MK No. 013-022/PUU-


IV/2006.

Lamintang dan Samosir, Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Baru.


1983.

Anda mungkin juga menyukai