Nabila Khoirunnisa
11
I. LATAR BELAKANG
Melalui Amandemen UUD 1945 dalam Pasal 1 Ayat 2 menekankan bahwa
kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar.1 Rumusan pasal tersebut mengandung makna dimana kekuasaan
tertinggi berada pada rakyat. Reformasi konstitusi telah menegaskan secara
eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 bahwa Indonesia adalah negara hukum. 2 Hal ini
mempertegas komitmen bahwa Indonesia merupakan negara hukum yang
demokratis, sehingga kekuasaan manapun harus berlandaskan konstitusi. Salah
satu ciri mutlak dari konsep negara hukum ialah adanya suatu jaminan
perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).3 Demokrasi juga mensyaratkan
adanya penghormatan pada Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai hak mutlak.
Salah satunya ialah hak atas kemerdekaan (kebebasan) menyatakan pendapat
(freedom of opinion and expression) dimana hak tersebut juga dilindungi
sebagai hak konstitusional rakyat Indonesia.
Indonesia kini sedang berusaha untuk memperbaharui Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai pembaharuan hukum. KUHP yang
merupakan warisan produk penjajahan Belanda dianggap tidak sesuai lagi
dengan tuntutan perkembangan dan pandangan hidup bangsa Indonesia.4 Upaya
pembaharuan serta pengesahan isi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (RKUHP) menuai pro dan kontra. Sejumlah pasal dinilai justru
memukul mundur demokrasi negara Indonesia. Salah satu pasal yang menjadi
kontroversi dalam draf RKUHP versi 15 September 2019 ialah pemerintah
mengkriminalisasikan kembali pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden,
dimana pasal tersebut dimaksudkan untuk melindungi harkat dan martabat
Presiden dan Wakil Presiden atau disebut juga sebagai pasal proteksi negara.
Hal ini menuai banyak respon negatif dan dianggap merupakan salah satu upaya
untuk membungkam kritik dalam negara yang menganut sistem demokrasi ini.
Mengkriminalisasikan kembali pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden
dianggap sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan di Indonesia sebagai negara
hukum demokratis yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM).
1
Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2
Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3
Jimly Asshiddiqie, “Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara”, Jakarta: Rajawali Pers, hlm.
343.
4
Jimly Asshiddique, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Angkasa, 1996,
hlm. 1.
Sehingga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kini dianggap membangkitkan
kembali pasal penghinaan Presiden yang sejatinya sudah disuntik mati oleh
Mahkamah Konstitusi (MK). Embrio delik penghinaan Presiden dan Wakil
Presiden sebetulnya berasal dari KUHP, yaitu Pasal 134, Pasal 136 bis, dan
Pasal 137.
MK sebagai penafsir tunggal konstitusi sependapat dengan argumentasi
para pemohon, MK menilai bahwa pasal tersebut dapat menimbulkan
ketidakpastian hukum lantaran multitafsir antara kritik dan penghinaan,
sehingga pasal ini sangat berpotensi menjadi pasal ‘karet’ dalam
penggunaannya dan berujung menghalangi kebebasan berekspresi dan
mengemukakan pendapat sehingga ditakuti akan dihidupkan kembali rezim
antikritik yang rentan mengkriminalisasikan rakyatnya.
Namun, jika ditinjau lebih lanjut, rumusan pasal tersebut sebenarnya
bermaksud untuk lebih mengajarkan penyampaian berpendapat yang beretika
dan berdasar dengan moral. Dengan adanya kebebasan berpendapat, tidak bisa
digunakan dengan serta merta mewujudkan celaan atau penghinaan yang tak
mendasar. Sehingga perumusan pasal ini seharusnya lebih ditelaah dan
dirumuskan dengan spesifikasi yang jelas untuk menghindari penyalahgunaan
pasal. Berdasarkan latar belakang dan urgensi yang telah disampaikan
sebelumnya, penulis akan mengangkat beberapa permasalahan, yakni:
Bagaimana faktanya pemerintah menerapkan pasal-pasal proteksi negara di
Indonesia, bagaimana konsep pasal penghinaan presiden, serta polemik dari
mengkriminalisasikan kembali pasal penghinaan presiden.
Adapun tujuan penulisan ini secara obyektif ialah untuk menganalisis,
mengeetahui, mengkritisi, serta memberikan pendapat dan solusi atas
permasalahan-permasalahan dalam polemik kriminalisasi kembali penghinaan
presiden dalam Ius Constituendum RUU KUHP Indonesia. Dan manfaat
penulisan ini terdiri dari:
• Manfaat teoritis, penulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
bagi masa depan dalam penyelesaian rumusan RKUHP, terutama dalam
rumusan pasal penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil
presiden.
• Manfaat praktis, penulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi
para akademisi, legistator, serta masyarakat umum agar dapat memahami
mengenai sebab dan akibat dari kriminalisasi penyerangan harkat dan
martabat presiden dan wakil presiden yang dihidupkan kembali ke dalam
KUHP Indonesia.
II. PEMBAHASAN
1. Penerapan Pasal-Pasal Proteksi Negara di Indonesia
Pada dasarnya, pasal proteksi negara yang diciptakan ialah guna untuk
kesejahteraan bangsa dan negara, serta menjaga keamanan dan ketertiban
rakyat. Namun dengan ketidakpastian dalam penafsiran pasal tersebut
mengakibatkan pada praktiknya penerapan pasal-pasal proteksi negara
menjadi disalahgunakan untuk membungkam dan merampas kebebasan
politik dan ekspresi bagi rakyatnya sendiri. Pasal-pasal proteksi negara dalam
KUHP dahulu kerap dijadikan alat kriminalisasi kepada rakyat oleh
pemerintah. Ketika zamannya pasal-pasal tersebut masih berlaku, hal ini
sangat mungkin terjadi, terutama ketika pendapat-pendapat rakyat tersebut
bertentangan dengan pemerintah.
Dalam berbagai hasil laporan dan kajian, terdapat beberapa pasal yang
sering disalahgunakan untuk mengancam hak asasi manusia di negara
demokrasi ini yang dijadikan dasar pembenar untuk menangkap, menahan,
mengadili, dan menghukum para musuh-musuh pemerintah pada zamannya5,
yaitu6:
• Penghinaan martabat Presiden dan Wakil Presiden (Lese Majeste)
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 134, 136bis, dan 137 KUHP.
• Penyebaran kebencian terhadap pemerintah (haatzaaiartikelen) yang
termuat dalam Pasal 154 KUHP.
• Kejahatan ideologi komunisme dan marxisme dalam Pasal 107a-d
KUHP.
5
Ignatius Haryanto (2008), Konsepsi Keamanan Negara dan Pelanggaran HAM, Elsam,
Jakarta.
Supriyadi Widodo Eddyono dan Fajrimei A. Gofar, “Menelisik Pasal-Pasal Proteksi
6
Negara dalam RUU KUHP: Catatan Kritis terhadap Pasal-Pasal Tindak Pidana Ideologi, Penghinaan
Martabat Presiden, dan Penghinaan terhadap pemerintah, Jakarta: ELSAM dan Aliansi Nasional
Reformasi KUHP,” ELSAM dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP Jakarta (2007), hlm 14.
7
Wan Ulfa Nur Zuhra, “Siapa Sri Bintang Pamungkas, Sosok Yang Mekar Karena
Makar?,” https://tirto.id/siapa-sri-bintang-pamungkas-sosok-yang-mekar-karena-makar-b6Bg,
diakses pada 14 Maret 2020.
8
Supriyadi Widodo Eddyono dan Fajrimei A. Gofar, Loc.Cit., hlm 14.
koran juga dipanggil polisi atas artikel yang dianggap menghina presiden. 9
Salah satu kasusnya pada tahun 2002, Faisal Saifuddin, Ketua SIRA (Sentral
Informasi Referendum Aceh) cabang Jakarta sebagai pemimpin demonstrasi di
depan kantor PBB di Jakarta, digugat menebarkan kebencian terhadap
pemerintah Indonesia dan telah memenuhi KUHP Pasal 154, 155 dan 64.10 Dan
di tahun 2005, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan pidana selama 6
(enam) bulan penjara terhadap Monang Johannes Tambunan yang terdakwa
melanggar Pasal 134a dan 136bis KUHP yakni melakukan penghinaan kepada
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menggelar aksi menolak kenaikan
harga BBM di depan Istana Negara Jakarta. 11 Berdasar pada kasus-kasus
tersebut, pasal penghinaan presiden yang dihidupkan kembali kini menuai
banyak kontra oleh berbagai pihak. Pasal tersebut dianggap multitafsir sehingga
ditakutkannya terjadi kembali penyalahgunaan yang dapat memenjarakan hak
berpendapat para rakyat.
9 Human Rigths Wacth (2003), Kembali Ke Orde Baru Tahanan Politik di bawah
kepemimpinan Megawati.
10
Husein Abdulsalam, “Asal Usul Pasal Penghinaan Presiden: Warisan Kolonial Belanda”,
https://tirto.id/asal-usul-pasal-penghinaan-presiden-warisan-kolonial-belanda-cEdB, diakses pada
16 Maret 2020.
11
MYS, “Menghina Presiden Saat Demo, Divonis 6 Bulan Penjara”,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol12796/menghina-presiden-saat-demo-divonis-6-
bulan-penjara/, diakses pada 16 Maret 2020.
oleh orang banyak, dihukum penjara selama- lamanya satu tahun empat bulan
atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500
(2) Jika Si Tersalah melakukan kejahatan itu dalam jabatannya dan pada waktu
melakukan kejahatan itu belum lagi lalu dua tahun sesudah tetap hukumannya
yang dahulu sebab kejahatan yang serupa itu juga, maka ia dapat dipecat dari
jabatannya. (KUHP 35, 144, 208, 310 s, 315, 483, 488)”.
Pasal-pasal diatas tidak berlaku lagi setelah dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi (MK) dalam Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006.12
Permohonan judicial review terhadap pasal tersebut diajukan oleh Dr. Eggi
Sudjana, S.H., M.Si. yang menyatakan bahwa Pasal 134 dan 136 bis KUHP
bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945. Sedangkan permohonan kedua
diajukan oleh Pandapotan Lubis, yang mendalilkan bahwa Pasal 134, Pasal 136
bis, dan Pasal 137 KUHP bertentangan dengan UUD 1945, khususnya prinsip
persamaan di depan hukum di Pasal 27 Ayat (1), prinsip kemerdekaan
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dalam Pasal 28 juncto Pasal 28E
ayat (2) dan ayat (3), dan prinsip bahwa seseorang harus menghormati hak asasi
orang lain (Pasal 28J).13
Pasal penghinaan presiden dianggap tidak relevan lagi untuk diterapkan di
Indonesia yang mana merupakan negara hukum demokratis. Pada sejarahnya,
pasal penghinaan presiden dihadirkan dalam KUHP guna memproteksi
martabat Raja atau Ratu di Belanda. Dengan menggunakan asas konkordasi
atau asas keselarasan, pasal-pasal tersebut digunakan untuk memproteksi
aparatus dan kebijakan-kebijakan kolonial Belanda di Indonesia 14. Tiba masa
kemerdekaan Indonesia, terjadinya penyesuaian yakni menggantikan kata Raja
atau Ratu dengan Presiden atau Wakil Presiden melalui Pasal 8 Angka 24 UU
No. 1 Tahun 194615 yang berbunyi:
“Dalam pasal 134 perkataan-perkataan "Koning of der Koningin" diganti
dengan "President of den Vice-President"”
Namun perlu diingat bahwa pasal yang sering disebut hatzaaiartikelen itu,
merupakan peraturan yang awal mula berlaku di Belanda. Di Belanda, kepala
negara adalah ratu yang merupakan simbol, sementara kepala pemerintahannya
merupakan perdana menteri. Pasal tersebut hanya diatur terhadap kepala negara
saja, tidak ada pasal penghinaan terhadap perdana meteri. Berbeda dengan
sistem di Indonesia dimana presiden merupakan kepala pemerintahan sekaligus
kepala negara.
16
Rochmanuddin, “MK: Pasal Penghinaan Presiden Dihidupkan Lagi Inkonstitusional”,
https://www.liputan6.com/news/read/553945/mk-pasal-penghinaan-presiden-dihidupkan-lagi-
inkonstitusional, diakses pada 18 Maret 2020.
17
Apriana Nurul Aridha, “9 Kasus Penghinaan Presiden Jokowi Berujung Bui”,
https://www.liputan6.com/news/read/3065726/9-kasus-penghinaan-presiden-jokowi-berujung-bui,
diakses pada 18 Maret 2020.
melukai martabat presiden sebagai simbol negara. Sehingga sangat
diperlukannya kontrol sosial dalam berpendapat walaupun kita ketahui hak
berpendapat dimiliki setiap manusia, namun hal tersebut tak berarti
membebaskan pendapat yang merusak atau melukai martabat orang lain.
Dengan adanya pasal proteksi dapat lebih menyadarkan rakyat batasan
sewajarnya dan juga saling menghormati hak asasi manusia orang lain serta hak
menjaga harkat dan martabatnya.
Namun, perlu diingat kembali bagaimana sejarah penerapan pasal proteksi
negara di Indonesia selama ini faktanya tak begitu mensejahterahkan rakyat dan
bahkan pasal tersebut digunakan sebagai alat kriminalisasi untuk merampas hak
bersuara para rakyat. Sedangkan sebagai kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan di negara demokrasi tidak diperbolehkan untuk kebal kritik
seperti penerapan pasal lese majeste. Sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan justru harus diawasi dan dimonitor oleh rakyat agar tidak
sewenang-wenang, maka dari itu sebagai presiden harus siap menerima kritik
mengenai kinerja kerjanya di negara yang menganut asas dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat ini.
III. PENUTUP
Perumusan pasal proteksi seperti pasal penghinaan presiden dalam draf
RUU KUHP bertujuan untuk melindungi harkat dan martabat presiden dari
penghinaan tak mendasar serta pencemaran nama baik simbol negara. Namun,
kenyataannya rumusan pasal tersebut tak jauh berbeda dengan pengaturan
KUHP warisan Belanda yang sudah sangat tidak relevan untuk diterapkan di
Indonesia, bahkan telah disuntik mati oleh Mahkamah Konstitusi karena
dianggap melanggar konstitusi, hak-hak negara, dan HAM. Rumusan pasal
penghinaan presiden hingga kini masih terbilang multitafsir karena tidak
adanya kepastian bagaimana tindakan yang dapat dikriminalisasikan sehingga
dalam menginterpretasikan rentan disalahgunakan untuk mermbungkam suara
serta kritik terhadap presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan. Dengan menghidupkan kembali peraturan tersebut dalam RUU
KUHP dapat mengembalikan rezim otoritarian yang telah diperjuangkan untuk
merdeka seperti sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
Zuhra, Wan Ulfa Nur. “Siapa Sri Bintang Pamungkas, Sosok Yang Mekar
Karena Makar?.” https://tirto.id/siapa-sri-bintang-pamungkas-sosok-yang-
mekar-karena-makar-b6Bg, diakses pada 14 Maret 2020.