Anda di halaman 1dari 3

Re-identifikasi Politik Hukum Di Dalam Ketentuan Perlindungan Martabat

Presiden di Dalam RKUHP

Prajna D. Dwayne
Research Intern in the politics and social change department of the Centre for Strategic and
International Studies (CSIS) Jakarta

D. Nicky Fahrizal
Researcher in the politics and social change department of the Centre for Strategic and
International Studies (CSIS) Jakarta

Wacana pengesahan RKUHP telah menjadi perhatian masyarakat dalam beberapa minggu
terakhir. Secara fundamental, hukum pidana adalah bentuk legitimasi hukum yang dimiliki
oleh negara untuk membatasi hak dan kebebasan warga negara. Karena itu, secara
konstitusional, pembatasan yang ada di dalam hukum pidana adalah implementasi dari Pasal
28 J UUD 1945. Dengan kata lain, UUD 1945 memberikan landasan untuk membatasi hak
dan kebebasan warga negara yang bertujuan untuk menghormati hak dan kebebasan orang
lain.

Kemudian, sebagai pedoman konstitusional, UUD 1945 memberikan suatu landasan bahwa
pembatasan tersebut harus selaras dengan tuntutan yang adil di dalam masyarakat
Indonesia. Dalam hal ini hukum yang dibentuk disesuaikan dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum. Maka, melalui tuntutan tersebut, RKUHP
saat ini memiliki karakteristik yang khas, yakni; adanya karakteristik pertimbangan moral,
agama, keamanan dan ketertiban umum.

Lebih dalam lagi, misi utama yang diusung oleh RKUHP merupakan misi dekolonisasi.
Menurut Muladi, misi dekolonisasi adalah upaya membongkar dan meniadakan karakter
hukum kolonial di dalam hukum pidana. Hal ini dikarenakan, secara sistematis dan
terstruktur, karakteristik hukum kolonial telah mendasari kebijakan hukum pidana
pemerintah kolonial Hindia Belanda di dalam Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch
Indië di wilayah Hindia Belanda (Harian Kompas, Misi Utama RKUHP: Dekolonisasi,
20/09/2019).

Dengan mengusung misi dekolonisasi, terdapat tujuan yang ingin dicapai yaitu; hukum
pidana nasional yang memiliki karakteristik negara hukum demokratis berdasarkan
Pancasila. Namun, sebagai instrumen rekayasa sosial, dalam pembentukannya RKUHP
meninggalkan dua isu krusial yang saling berkaitan. Pertama, karakteristik politik hukum
(legal policy) seperti apa, yang terkandung di dalam RKUHP, utamanya terhadap pasal 218,
219, dan 220 RKUHP. Lalu, keterkaitan karakter legal policy tersebut dengan kedudukan
Presiden di dalam RKUHP.

Pada hakekatnya, RKUHP dipengaruhi oleh politik hukum yang berkaitan dengan upaya
mendekonstruksi karakter hukum maupun institusi hukum yang diwariskan oleh pemerintah
kolonial. Dalam analisis ini, substansi Pasal 218, 219, dan 220 RKUHP menjadi objek yang
menarik untuk diobservasi. Hal ini berkaitan dengan ketentuan yang mengatur penyerangan
harkat dan martabat Presiden atau Wakil Presiden, dan bagian dari 14 isu krusial yang
menjadi perhatian masyarakat.

Adanya perhatian masyarakat secara serius terhadap ketiga pasal RKUHP tersebut, tidak
terlepas dari substansi ketiga pasal tersebut yang isinya mirip atau sama dengan Pasal 134,
136 bis, dan 137 KUHP yang mengatur mengenai penyerangan harkat dan martabat Presiden
atau Wakil Presiden. Dimana ketiga pasal KUHP tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi (MK) melalui Putusan MK No. 013/PUU-IV/2006. Bagi Mahkamah, jiwa dari pasal
134, 136 bis, dan 137 KUHP sudah tidak relevan lagi jika masih diadopsi ke dalam hukum
pidana nasional, lebih-lebih di dalam negara demokrasi konstitusional.

Namun, di dalam artikel Jakarta Post yang berjudul Criminal code revision decolonizes but
preserves draconian provisions (01/07/2022), artikel tersebut menggambarkan adanya
keteguhan sikap pembentuk undang-undang untuk mempertahankan substansi tersebut.
Dalam hal ini, pembuat undang-undang berpendapat bahwa RKUHP telah mengadopsi
perintah dari Mahkamah, dimana sudah mengadopsi delik aduan ke dalam substansi pasal
218, 219, dan 220 RKUHP.

Kemudian, bagaimanakah penilaian kita terhadap ketentuan perlindungan kehormatan


Presiden atau Wakil Presiden yang tetap dipertahankan? Untuk dapat menilai, kita perlu
mengetahui terlebih dahulu arah politik hukum pembuat UU atas ketiga pasal RKUHP
tersebut, dengan merefleksikannya melalui Putusan MK No. 013/PUU-IV/2006.

Bila kita menggunakan pendekatan argumentasi doktrinal, dimana diartikan oleh Philip
Bobbit sebagai suatu prinsip-prinsip hukum yang sudah teruji, yang diturunkan dari
preseden badan peradilan, pendapat hakim, ataupun komentar juris atas suatu preseden. Di
samping itu, argumentasi doktrinal bertujuan melestarikan estetika negara hukum dalam
konteks yang baru, yang diciptakan oleh realisme (Constitutional Fate, 1982). Bertolak dari
pendekatan tersebut, keberadaan ketentuan perlindungan Presiden atau Wakil Presiden
dalam RKUHP, tidak terlepas dari upaya menjembatani suatu kompromi atas adanya
pluralitas gagasan.

Secara mendasar, kompromi tersebut merefleksikan suatu kerangka berpikir constructive


juristic realism, dimana menurut Roscoe Pound di dalam Jurisprudence (Black’s law
dictionary, 2019) memberikan pengertian sebagai penerimaan adanya pluralitas pengaruh
dalam semua situasi dan melepaskan suatu gagasan tentang urutan yang diperlukan; dari
suatu penyebab tunggal ke efek tunggal dalam garis lurus. Dengan adanya penerimaan atas
situasi yang dipengaruhi oleh beragam gagasan, maka diperlukan suatu titik keseimbangan
dan titik temu, antara doktrin kedaulatan rakyat dengan doktrin Presiden sebagai kepala
penyelenggara negara. Dalam doktrin kedaulatan rakyat memandang Presiden, sebagai
kepala lembaga eksekutif adalah person yang dipilih oleh rakyat melalui pemilu, dan
bertanggung jawab kepada rakyat.

Konsekuensinya, Presiden atau Wakil Presiden tidak memiliki privilege, kecuali di dalam
mekanisme protokoler, selebihnya ia dianggap setara dengan warga negara lainnya. Oleh
karenanya, ketika terjadi pencemaran ataupun fitnah, ia menggunakan instrumen hukum
yang sama dengan warga biasa, yakni; membuat laporan pengaduan kepada penegak
hukum.

Sedangkan di dalam doktrin Presiden sebagai kepala penyelenggara negara, telah melekat
padanya empat macam fungsi, yakni; sebagai kepala negara (head of state), chief of
executive, commander in chief of armed forces, dan chief of diplomats. Di samping itu, fungsi
Presiden sebagai kepala negara dalam tatanan hukum internasional, menempatkan
kedudukan yang eksklusif bagi Kepala Negara. Dalam arti lain, seorang Kepala Negara
memiliki kekebalan dan privilese diplomatik. Oleh karenanya, martabat dan kehormatan
seorang Presiden perlu dilindungi oleh hukum dari tindakan pencemaran dan fitnah.

Dengan demikian, arah politik hukum yang terdapat di dalam Pasal 218, 219, dan 220
RKUHP, mengarahkan pada suatu keseimbangan, dan titik temu dua gagasan. Dalam arti,
sebagai person seorang Presiden atau Wakil Presiden, ia setara dengan warga lain, karena
setara maka ketika terjadi suatu serangan terhadap martabat dan kehormatan. Ia
dihadapkan pada pilihan melaporkan atau tidak hal tersebut, dan apabila melaporkan ia
dituntut melaporkan pengaduan secara tertulis kepada penegak hukum, dan melalui proses
hukum yang sama dengan warga lainnya. Sebaliknya Presiden yang memiliki keempat fungsi
melekat tersebut, dan ditambahkan kedudukannya yang khas di dalam tatanan hukum
internasional, maka pasal-pasal perlindungan kehormatan Presiden tetap perlu diadakan.

Sebagai penutup, bertolak dari karakteristik politik hukum yang mengedepankan kompromi,
telah membawa kita pada satu perhatian penting, yakni; bagaimanakah penegak hukum
memastikan tafsir atas protes, pernyataan pendapat atau opini adalah suatu kritik atau atas
dasar kepentingan umum atau pembelaan diri bukan sebaliknya suatu penghinaan yang
menyerang harga diri. Dari Putusan MK No. 013/PUU-IV/2006, dapat kita tarik suatu
pelajaran bahwa penerapan norma adalah persoalan konkret di dalam penegakan hukum,
lebih-lebih memastikan kritik yang ditujukan kepada Presiden bukanlah suatu penghinaan.
Oleh karena itu, pekerjaan rumah terberat pemerintah adalah memastikan daya jangkau
bernalar penegak hukum, agar dapat membedakan kritik dan suatu penghinaan.

Anda mungkin juga menyukai