Anda di halaman 1dari 7

HUKUM KEPOLISIAN

BAB I

SUMBER SUMBER HUKUM KEPOLISIAN

Pendahuluan
Istilah sumber hukum memiliki makna yang variatif ditentukan dari mana sudut pandang,
kecenderungan dan latar belakang keilmuan orang yang memberi makna. Sebagaimana telah
di katakan oleh Paton, The term sources of law many meanings and its frequent cause of
error unless we scritines carefully the particular meaning given to it any particular text.
Sedangkan menurut P.J.P. Tak dalam memaknai sumber hukum positif mengatakan, bahwa
De vraag welke de bronnen van het recht zijn is niet eenvoudig te beantwoorden omdat het
begrip rechtsbron in meerdere betikenissen wordt gebruikt. Pertanyaan pertanyaan
mengenai sumber sumber hukum kepolisian ini tidak dapat dijawab dengan sederhana,
karena pengertian sumber hukum ini digunakan dalam beberapa arti, pernyaataan tersebut
melihat dari segi realitas, bahwa sumber hukum dapat dimaknai dari berbagai sudut pandang,
dengan ahli sejarah, ahli filsafat, ahli ekonomi, bahkan ahli hukum sekaligus. Namun
demikian didalam memahami sumber hukum kepolisian perlu berpijak pada suatu arti
dari sumber hukum, walaupun terdapat perbedaan perbedaan dalam pendefinisian.
Berdasarkan pasal 1 Ketetapan MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Perundang Undangan menyebutkan bahwa sumber hukum adalah sumber yang
dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang undangan. Dengan demikian dapat
dipahami, sumber hukum adalah tempat dimana terdapat suatu aturan yang dapat digunakan
sebagai dasar hukum, dan mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat untuk dipatuhi.
Menurut Edward Jenk, ada tiga sumber hukum yang disebutnya dengan istilah forms of
law yaitu : 1) Statutory, 2) Judiciary, 3) Literary. Makna sumber hukum disini ditekankan
pada perundang undangan, keputusan hakim serta doktrin doktrin hukum. G.W.Keeton
membagi sumber hukum menjadi ; 1) Binding sources yang terdiri atas custom, legislation,
judicial precedent, 2) Persuasive sources yang terdiri atas principle of morality or equity,
professional opinion.
Berdasarkan ketetapan MPR RI No.III/MPR/2000 sumber hukum terdiri atas sumber hukum
tertulis dan sumber hukum tidaktertulis. Namun secara keseluruhan tidak ada penjelasan
secara konkrit dan jelas tentang bentuk dan jenis yang dimaksud dari sumber hukum
tidak tertulis tersebut. Untuk dapat memahami secara lebih luas, berikut dikemukakan
beberapa pendapat dalam memaknai sumber hukum materiil dan sumber hukum formil.
Menurut Sudikno Mertokusumo sumber hukum materiil merupakan factor yang membantu
pembentukan hukum, misalnya ; hubungan social, hubungan kekuatan politik, situasi social
ekonomis, tradisi (padangan terhadap keagamaan, dan kesusilaan). Kusnadi dan Harmaily
memaknai sumber hukum dalam arti materiil adalah sumber hukum yang menentukan isi
hukum. Lain halnya dengan pendapat E.Utrecht member makna sumber hukum materiil
membentuk hukum, menentukan isi hukum tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwasanya pengertian dari Sumber Hukum Materiil adalah sesuatu yang dapat
mempengaruhi isi atau materi dalam pembentukan aturan aturan hukum yang meliputi nilai
nilai yang terkandung dalam kehidupan masyarakat. Sumber hukum materiil ini dapat
mempunyai nilai yang berlaku setelah dibentuk dan dinyatakan dengan sumber hukum
formil.
Sedangkan memaknai sumber hukum formil, dikemukakan oleh beberapa pendapat, antara
lain dari L.J. van Apeldorn, beliau memaknai sumber hukum dalam arti Formil, yakni
sumber hukum yang dikenal dari bentuknya. Karena bentuknuya itu menyebabkan hukum
berlaku umum, diketahui, dan ditaati. Disinilah suatu kaidah memperoleh kualifikasi sebagai
kaidah hukum dan oleh yang berwenang ia merupakan petunjuk hidup yang harus diberi
perlindungan. E.Utrecht membagi sumber hukum formil, meliputi :
Undang undang ;
Kebiasaan dan adat yang dipertahankan dalam keputusan yang berkuasa didalam
suatu masyarakat ;
Traktat ;
Yurisprudensi ; dan
Pendapat pakar hukum yang tekenal (doktrin)
Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, yang dimaksud sumber hukum dalam
arti formil, adalah : UUD 1945, Ketetapan MPR, Undang Undang dan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden,
Peraturan Menteri dan dalam praktek ada Intruksi dari Menteri, dan dalam UU No.5 Tahun
1974 tentang Pokok Pokok Pemerintahan Daerah dikenal dengan adanya Peraturan Daerah.
Berkaitan dengan Peraturan Daerah (PERDA) yang diatur dalam UU No.5 Tahun 1974
tersebut telah dirubah dengan UU No. 22 Tahun 1999 yang sekarang diganti dengan UU
No.32 Tahun 2004 tentang Peraturan Daerah.
Setelah keluarnya Ketetapan MPR RI No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundang Undangan, disebutkan bahwa sumber hukum terdiri atas
sumber hukum tertulis dan sumber hukum tidak tertulis. Dengan demikian dapat dimaknai,
bahwa sumber hukum tertulis adalah sebagai sumber hukum formil dan sumber hukum
tidak tertulis adalah sumber hukum materiil.

Sumber hukum tertulis terdiri dari :


Undang Undang Dasar 1945 ;
Ketetapan MPR ;
Undang Undang ;
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang ;
Peraturan Pemerintah ;
Keputusan Presiden ; dan
Peraturan Daerah.
>> Materi Hukum Kepolisian sudah tersebar dalam berbagai peraturan Perundang Undangan,
selain dalam Undang Undang yang secara khusus mengatur tentang kepolisian. <<

[Paton George Whitecross BCL,MA, Textbook of Yurisprudence, second edition, Oxford at the Calrendon Press, 1951,
p.140]
[Rumusan Tri Brata dan Catur Prasetya dimaksud merupakan rumusan sebagai sumber hukum]
Sudikno Mertokusumo, op.cit,h.76
Memahami hukum kepolisian Dr.Sadjijono, SH., M.hum
BAB II

ASAS ASAS HUKUM KEPOLISIAN

Didalam membahas asas asas hukum kepolisian ini perlu dikemukakan terlebih dahulu
tentang asas asas hukum secara umum, dengan maksud akan terdapat suatu pemahaman
yang hollistik dan komprehensif hubungan atau kaitan antara hukum kepolisian dan hukum
secara umum, karena hukum kepolisian merupakan kesatuan hukum yang focus kajiannya
dibatasi pada hal ichwal tentang kepolisian, akan tetapi tidak bisa dilepaskan dan dipisahkan
dengan konsep hukum umum.
Sifat sifat umum dalam kaidah atau peraturan yang konkrit terdapat asas asas hukum
yakni norma dasar (grundnorm) atau pikiran pikiran dasar yang umum sifatnya.

BAB
A. PENGERTIAN ORGANISASI KEPOLISIAN

Pendahuluan

1. Kedudukan kepolisian

Menurut Philipus M.Hadjon mengartikan bahwa kedudukan sebagai posisi lembaga


didasarkan pada fungsi utamanya. Berdasarkan rumusa pasal 2 Undang-undang No.2 Tahun 2002
tentang polri, fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan Negara dibidang pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hokum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat. Fungsi kepolisian tersebut menjadi tugas pokok kepolisian sebagaimana
dirumuskan dalam pasal 13 Undang-undang No.2 Tahun 2002 tentang polri, yakni :

Tugas pokok kepolisian Negara republic Indonesia adalah :

a) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat


b) Menegakan hukum, dan
c) Memberikan perlindungan, pengyoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Di sisi lain tugas pokok kepolisian yang dimaknai sebagai funsi utama kepolisian
sebagaimana telah dijelaskan di muka, dijalankan tertuju pada terwujudnya keamanan dan ketertiban
masyarakat yang merupakan salah satu fungsi pemerintah.

Sehingga fungsi pemerintah adalah fungsi dari lembaga pemerintah yang dijalankan untuk
mendukung tujuan Negara, karena pemerintah dalam arti sempit merupakan salah satu unsure dari
system ketatanegaraan.

Kedudukan kepolisian tidak diatur secara jelas dan tegas dalam UUD 1945, akan tetapi
ketentuan dalam pasal 30 ayat (5) UUD 1945 mensyaratkan adanya tindak lanjut pembentukan
undang-undang yang mengatur tentang susunan dan kedudukan, hubungan kewenangan polri dalam
menjalankan tugasnya. Sehingga konsekuensi logis dari ketentuan pasal 30 ayat (5) UUD 1945
tersebut dibentuk Undang-undang No.2 Tahun 2002 tentang polri, dimana di dalam Undang-undang
dimaksud lembaga kepolisian diposisikan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden,
seperti peraturan Presiden No.89 Tahun 200 dan Ketetapan MPR RI No.VII/MPR/2000 tentang Peran
TNI dan Polri.

Penyelenggaraan administrasi Negara meliputi lingkup tugas dan wewenang yang sangat luas,
yaitu setiab bentuk perbuatan atau kegiatan administrasi yang dikelompokkan ke dalam :

a. Tugas dan wewenang administrasi di bidang keamanan dan ketertiban umum


b. Tugas dan wewenang menyelenggarakan tata usaha pemerintahn mulai dari surat
menyurat sampai kepada dokumentasi dan lain-lain
c. Tugas dan wewenang administrasi Negara dibidang pelayanan
d. Tugas dan wewenang administrasi Negara dibidang penyelenggaraan kesejahteraan
umum.

Sebagai wacana dan pertimbangan dalam menempatkan kepolisian pada kedudukan yang
ideal, dikemukaan beberapa pertimbangan, sebagai berikut :
a. Secara filosofi, bahwa eksitensi fungsi kepolisian telah ada sebelum dibentuknya organ
kepolisian, karena fungsi kepolisian melekat pada kehidupan manusia, yakni menciptakan
rasa aman, tentran dan tertib dalam kehidupan sehari-harinya.
b. Secara teoritis, bahwa kepolisian sebagai alat Negara yang menjalankan salah satu fungsi
pemerintah bidang keamanan dan ketertiban masyarakat. Kata alat Negara dapat dimaknai
sebagai sarana Negara menurut Philipus M.Hadjon sarana Negara ini ada tiga, yakni sarana
hukum,sarana orang dan saran kebendaan yang digunakan sebagi pendukung atau penunjang
dalam penyelenggaraan suatu Negara.
c. Secara yuridis, bahwa wewenang kepolisian diperoleh secara atributif, karena tugas dan
wewenang penyelenggaraan kepolisian telah diatur dan bersumber pada konstitusi, yakni di
atur dalam pasal 30 ayat (4) UUD 1945.

2. Susunan kepolisian

Adalah jenjang kesatuan kepolisian dalam menjalankan organisasi, bukan struktur organisasi
dalam menjalankan organisasi kepolisain adari tingkat pusat sampai daerah. Landasan yuridis susunan
kepolisian ini diatur dalam pasal 3 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Keputusan Presiden No.70 tahun
2002 yang substansinya sebagai berikut :

a. Organisasi polri disusun secara berjenjang dari tingkat pusat sampai ke wilayahnya.
b. Organisasi polri tingkat pusat disebut markas besar kepolisian Negara republic Indonesia
disingkat Mabes Polri
c. Organisasi polri ditingkat kewilayahan disebut kepolisian Negara Republik Daerah
disingkat Polda.

Berorientasi pada tehnis operasional kepolisian dengan konsep mengedepankan fungsi


pembinaan masyarakat melalui pembinaan dan kemitraan serta community policing, setelah dilakukan
validasi dan pengurangan kewenangan operasional terhadap beberapa kepolisian wilayah (Polwil),
maka perlu dibentuknya pos-pos polisi ditingkat kelurahan/desa sebagai pendamping dan Pembina
pejabat keamanan tingkat kelurahan/desa yang kemudian menyentuh pada keamanan tingkat RW,RT
atau dusun.

3. Hubungan Kepolisian Pusat (Mabes Polri) dan Kepolisian Propinsi (Polda)

Berdasarkan ketentuan pasal 7 ayat (1) ketetapan MPR RI NO.VII/MPR/2000 dan pasal 5
ayat (2) Undang-undang No.2 tahun 2002, bahwa kepolisian Negara republic Indonesia adalah
kepolisian nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan tugas memelihara keamanan
dan ketertiban masyarakat, menegakan hukun, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Jadi kepolisian
nasional disini mengandung arti bukan merupakan kepolisian local yang terpisahkan bdan berdiri
sendiri pada tiap-tiap local atau daerah.

Dikaitkan dengan rumusan bahwa kepolisian Negara republic Indonesia adalah merupakan
kepolisian nasional, implikasinya kepolisian Negara republic Indonesia adalah suatu kesatuan institusi
kepolisian yang dimiliki oleh bangsa dan Negara Indonesia berpusat di markas besar kepolisian
Negara republic Indonesia (Mabes Polri). Penjenjangan struktur organisasi ketingkat daerah
merupakan pendelegasian tugas dan wewenang kepolisian tingkat pusat (Mabes) kepada kepolisian
tingkat propinsi (Polda), dimana kesatuan yang berada di bawah mempertanggungjawabkan tugas dan
wewenang yang diperoleh kepada satuan kepolisian yang lebih tinggi.

4. Pembagian kewenangan dalam penyelenggaraan kepolisian


Pembagian wilayah hukum adalah membagi wilayah atau daerah dengan menentukan batas
daerah yang menjadi area dalam menjalankan tugas dan wewenang untuk melakukan tindakan hukum
dan menjadi tanggungjawabnya. Batas wilayah hukum berkaitan erat dengan luas wilayah atau daerah
dalam suatu kesatuan kepolisian, sehingga dalam lingkup wilayah yang telah ditentukan menjadi
beban tanggungjawabnya secara hukum. Pembagian kewenangan ini dirumuskan dalam pasal 26 ayat
(2) keputusan presiden No.70 Tahun 2002 yang substansinya Polda bertugas menyelenggarakan
tugas Polri pada tingkat kewilayahan.

Didalam pembagian kewenangan ini, beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian bagi
lebaga kepolisian adalah :

1. Masih adanya kesan system komando dalam menjalankan profesi kepolisian.


2. Terdapat arogan wewenang anatara bidang yang satu dengan yang lain dalam
menjalankan fungsinya, sehingga timbul kean salah satu bidang merasa lebih dan menjadi
paling dominan
3. Kurang efektifnya pengawasan secara structural maupun fungsional.

B. STRUKTUR ORGANISASI
Struktur organisasi kepolisian dapat dipahami sebagai suatu susunan atau bangunan dari
organisasi kepolisian untuk mencapai suatu tujuan. Susunan tersebut diatur secara berjenjang yang
terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berhubungan satu sama lain bekerja bersama
untuk mencapai tujuan organisasi.

Didalam setiap organisasi mempunyai struktur baik secara formal maupun secara informal.
Struktur meliputi bagan organisasi dan garis otoritas (misalnya: kepala, wakil kepala, kepala-kepala
bidang, sub-sub bidang dan lain-lain). Menurut Berger struktur informal dari organisasi ini berfungsi
untuk mempertahankan system organisasi dengan melancarkan situasi yang sulit, mengisi
ketimpangan yang ditinggalkan terbuka oleh prosedur formal. Disisi lain Hughes menambahkan,
bahwa organisasi informal menjadi sebuah pola tetapi lebih bersifat individual dan cara bertindak
peorangan.

Melihat lembaga kepolisian adalah kepolisian nasional yang terpusat di Markas besar,
sedangkan pelaksanaan tugas dan wewenang terkonsep pembagian daerah hukum, dengan demikian
hubungan kepolisian tingkat pusat (Mabes Polri) dengan kepolisian ditingkat propinsi (Polda)
mennganut system desentralisasi administrasi dan sentralisasi secara seimbang.

Berdasarkan Kepres No.70 Tahun 2002 tersebut struktur organisasi di tingkat Mabes Polri
memiliki unsure-unsur yang terdiri dari :

a. Unsur pimpinan
b. Unsur pembantu pimpinan dan pelaksaan staff
c. Unsur pelaksanaan pendidikan dan atau/ pelaksana Staf khusus
d. Unsur pelaksana utama pusat
e. Satuan organisasi penunjang lainnya.
Tindak lanjut dari keputusan presiden No.70 Tahun 2002 tersebut kemudian dikeluarkan
Keputusan Kapolri No.Pol : Kep/53/x/2002 tanggal 17 Oktober 2002 tentang Organisasi Dan Tata
Kerja Satuan-Satuan Organisasi Pada tingkat markas besar kepolisian Negara republic Indonesia yang
kemudian dirubah dengan keputusan Kapolri No.Pol : Kep/30/VI/2003 tanggal 30 juni 2003 tentang
perubahan atas keputusan kapolri no.pol :kep/53/X/2002.

Unsur-unsur pada tingkat Polda, terdiri dari :

a. Unsur pimpinan
b. Unsur pembantu pimpinan/pelaksana staf
c. Unsur pelaksana pendidikan/staf khusus dan pelayanan
d. Unsur pelaksana utama
e. Unsur pembantu pimpinan dan pelaksanaan staf kewilayahan poli wialayah yang
dsisingkat polwil.

Anda mungkin juga menyukai