Anda di halaman 1dari 3

TOLAK OMNIBUS LAW: TUNTUTAN MAHASISWA DALAM

DEMONSTRASI

Oleh Shima Aqila

(8/10/20) Aliansi BEM SI menggelar demonstrasi.

Source : https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201006115959-20-554883/tolak-omnibus-law-mahasiswa-
se-indonesia-demo-8-oktober

Undang-undang Omnibus Law Ciptaker disahkan pada tanggal 5 Oktober 2020 pada
Rapat Paripurna DPR RI. Bunyi palu menandakan bahwa RUU yang banyak mendapat
pertentangan rakyat resmi menjadi undang-undang yang harus ditaati masyarakat. Nyaris
seluruh headline berita menampilkan perihal pengesahan RUU ini. Sejak hari itu, rentetan
kemarahan dan kekecewaan mulai bergaung di media sosial. Pasalnya, sudah dari awal tahun
publik berusaha mendorong pemerintah agar membatalkan pengesahan RUU ini. Tentu saja,
publik yang dimaksud disini bukan para pengusaha dan pemilik modal.

Lalu bagaimana nasib para buruh/pekerja? Bukan hanya buruh pabrik yang merasa
dirugikan, karyawan pada perusahaan pun sejatinya terkena dampat dari pengesaharan
omnibus law. Pemerintah berkilah bahwa banyak hoax tersebar yang berkaitan dengan isi UU
Omnibus Law. Namun, yang menjadi concern publik bukan hanya hal itu. Mengapa pada
jangka waktu 8 bulan ketika masyarakat menuntut adanya transparansi dan menuntut untuk
terlibat, pemerintah malah seolah menutup mata dan telinga? Dan lagi, yang sangat menjadi
kekhawatiran masyarakat, dalam draf yang tersebar di internet, UU Omnibus Law ini juga
akan berdampak pada kerusakan lingkungan

Serentak, gabungan aliansi buruh menggelar unjuk rasa tolak UU Cipta Kerja pada
tanggal 8 Oktober 2020. Tidak hanya aliansi buruh, layaknya pada era Orde Baru yang
menuntut Reformasi, mahasiswa dari berbagai universitas di masing-masing kota turun untuk
melakukan demonstrasi menuntut dicabutnya UU tersebut. Mahasiswa memang dituntut
untuk aktif dan tidak apatis. Agak aneh mendengar ada yang berkoar bahwa sia-sia saja
mahasiswa berdemo jika pemeran utamanya yaitu pemerintah tidak mengubah keputusan.
Seandainya dengan adanya demonstrasi saja aspirasi dan tuntutan masyarakat tidak
didengarkan, lalu bagaimana jika para buruh dan mahasiswa bungkam, tidak melakukan
apapun? Intensi mahasiswa tidak semata-mata menunjukkan eksitensi mereka belaka.
Mahasiswapun dirasa sudah melek dan sadar akan ketimpangan antara benefit dan kerugian
atas adanya UU Omnibus Law.

Dorongan mahasiswa dalam menggerakkan massa khususnya di media sosial dinilai


sangat kuat. Mahasiswa yang mengikuti demonstrasi didorong oleh rasa kecewa karena
merasa suara mereka tidak didengar oleh pemerintah. Pemahaman mahasiswa yang
mengikuti unjuk rasa UU Omnibus Law mungkin tidak dapat digeneralisir. Namun,
mahasiswa yang turun di lapangan dirasa cukup paham akan apa yang mereka tuntut dalam
demo tersebut. Tuntutan-tuntutan ini pasti sudah dikonsolidasikan dan dikomunikasikan
sebelumnya. Perihal di lapangan ada demonstran yang menyimpang, itu merupakan hal yang
berbeda. Mahasiswa yang benar-benar ingin menyampaikan aspirasi pasti sudah memahami
apa yang mereka coba perjuangkan karena UU ini juga menyangkut masa depan negara
mereka.

Seperti terlihat di Jakarta pada Rabu (04/03/20), mahasiswa yang tergabung dalam
Aliansi BEM SI melakukan aksi demo menolak omnibus law didepan gedung DPR RI.
Mereka berujar bahwa masyarakat tidak diikutsertakan dalam penyusunan omnibus law dan
pemerintah mengabaikan aspirasi publik yang harusnya merupakan dua hal yang penting di
negara demokrasi. Aksi tersebut digunakan para mahasiswa untuk menyampaikan lima
tuntutan terkait omnibus law :

1. Menolak dengan tegas pengesahan RUU Cipta Kerja, karena bertentangan dengan UU No
15 Tahun 2019 Bab 2 Pasal 5 dan Bab II pasal 96 tentang perubahan mas UU No 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

2. Menolak upaya sentralisasi kekuasaan melalui konsep Omnibus Law RUU Cipta kerja
yang mencederai semangat reformasi.

3. Menolak penghapusan hak pekerja meliputi jaminan pekerjaan, jaminan pendapatan, dan
jaminan sosial sesuai UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
4. Menolak penyederhanaan izin investasi yang berdampak pada kerusakan lingkungan sesuai
dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

5. Mendesak pemerintah membuka runag partisipasi untuk masyarakat dalam setiap


penyusunan dan perubahan kebijakan.

Daftar tuntutan diatas menunjukkan bahwa mahasiswa telah memahami setidaknya


draf yang sudah beredar dan mempelajarinya sehingga mereka menjadi tahu mana yang
memerlukan evaluasi dan koreksi.

Sayangnya, aksi mahasiswa dari hasil pemahaman mereka ini dijadikan senjata bagi
beberapa media untuk membelokkan substansi penolakan ke omnibus law dengan berbagai
berita yang menampakkan bahwa demonstrasi yang dilakukan mahasiswa ini hanya suatu
anarkisme. Contohnya perusakan fasilitas umum. Kita sebagai orang yang tidak terlibat
langsung dalam aksi tentu tidak bisa langsung menilai dari satu pihak saja, bahwa mahasiswa
yang bertanggung jawab sepenuhnya, atau ada pihak lain yang sengaja menciptakan
kericuhan tersebut. Saya merasa bahwa banyak media yang seolah abai terhadap tuntutan
demonstrasi dan hanya menghiglight berita yang membuat mahasiswa tampak tidak paham
sepenuhnya terhadap tujuan demonstrasi itu.

(Shima Aqila, mahasiswi jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Undip)

Anda mungkin juga menyukai