Anda di halaman 1dari 8

FENOMENA AKSI DEMONSTRASI DITINJAU

DARI ILMU PSIKOLOGI

WILA MUTASYARIFAH / 200541100167

DOSEN PENGAMPU: NUR ISTIQOMAH, M.A.

PRODI PSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Demonstrasi atau menyampaikan gagasan di muka umum merupakan
sebuah hak kebebasan bagi seluruh warga negara Indonesia. Pada umumnya
demonstrasi terjadi karena adanya protes terhadap kebijakan pemerintah ataupun
dorongan kepada pemerintah untuk melakukan sesuatu atas permasalahan yang
terjadi. Sebagai ekspresi berdemokrasi, demonstrasi itu sah-sah saja. Bahkan
demonstrasi itu di jamin oleh undang-undang. Demonstrasi merupakan perwujudan
kebebasan masyarakat dalam berbicara (freedom of speech) dan kebebasan
berekspresi (freedom of expression). Demonstrasi sebagai penyaluran aspirasi yang
mungkin tersumbat atau sengaja dimatikan oleh penguasa atau pihak-pihak tertentu.
Demonstrasi itu baik, asalkan sesuai dengan aturan mainnya. Semua kegiatan
demonstrasi harus berizin dan mematuhi aturan hukum. Demonstrasi tidakboleh
mengganggu dan merugikan orang lain. Demonstrasi yang baik juga tidak boleh
anarkis dengan membuat keributan maupun pengrusakan. Demonstrasi itu merupakan
salah satu cara untuk menyalurkan aspirasi yang baik, maka sebaiknya niat dan cara
demonstrasinya juga harus dilakukan dengan baik pula. Tetapi, pada kenyataannya
demonstrasi selalu diwarnai dengan kericuhan, kekerasan, dan kerusakan pada
beberapa fasilitas umum. Demonstrasi sering tak terkendali dan emosional sehingga
antara aparat dan pendemo tak jarang terjadi bentrokan. Aksi demo yang idealnya
sebagai sarana menyuarakan aspirasi jadi tercoreng. Salah satu demontrasi besar-
besaran yang baru saja dilakukan oleh seluruh lapisan rakyat Indonesia baru-baru ini
adalah demonstrasi mengenai Omnibus Law atau RUU Cipta Kerja. Hal ini bermula
ketika pemerintah memiliki niatan menyederhanakan peraturan perundangan untuk
menarik lebih banyak investor datang ke Indonesia yang ternyata direspons berbeda
oleh buruh Indonesia. Ribuan buruh dan mahasiswa melakukan demonstrasi besar-
besaran menentang rencana pemerintah mengajukan Omnibus Law ke Dewan
Perwakilan Rakyat. Dasar demonstrasi penentangan itu ialah rancangan undang-
undang yang diterima oleh serikat pekerja dianggap akan merugikan tenaga kerja.
Kementerian Koordinator Perekonomian yang bertanggung jawab merumuskan RUU
Cipta Lapangan Kerja ternyata belum selesai merumuskan rancangan yang akan
diajukan ke DPR.
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan paper ini untuk membahas keterkaitan kegiatan demonstrasi dengan
teori identitas sosial pada psikologi sosial.

1.3 Rumusan Masalah

Bagaimana demonstrasi jika dilihat dari sudut pandang psikologi sosial, adakah


kemungkinan beberapa teori yang bisa menjelaskan alasan mengapa seseorang
tertarik untuk ikut demo, mengapa kegiatan demonstrasi hampir selalu disertai
kericuhan dan perusakan fasilitas umum, mengapa peserta demonstrasi yang anarkis
tidak merasa bersalah setelah membuat kericuhan.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Demontrasi Omnibus Law

Salah satu aksi unjuk rasa besar terjadi pada 12 Februari 2020 yang
dilaksanakan di berbagai kota. Di beberapa kota di Pulau Jawa, protes di Jakarta,
Surabaya, Bandung, dan Yogyakarta banyak terjadi di depan gedung-gedung DPRD.
Aksi yang sama turut dilakukan oleh beberapa serikat pekerja di kota Batam. Di
Kalimantan Selatan, Tengah, dan Barat, beberapa protes yang dilakukan oleh serikat
buruh dan para mahasiswa sebagian besar berlangsung damai. Pada 16 Juli,
demonstrasi digelar di Ambon dan Ternate untuk menentang RUU Cipta Kerja dan
menuntut RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi prioritas utama bangsa. Di
hari yang sama, Aliansi Kaltim Melawan dan Rakyat Kaltim Untuk Indonesia dengan
memblokade ruas jalan di depan gedung DPRD Provinsi Kalimantan Timur di
Samarinda dan memaksa untuk masuk ke dalam gedung, meningkatkan ketegangan
dan membuat pemerintah daerah terpaksa mengerahkan 30 personel Tentara Nasional
Indonesia. Sementara, demonstrasi di Makassar berubah menjadi kerusuhan, 37 orang
ditangkap oleh polisi, salah satu di antaranya adalah perempuan. Di Bali, mahasiswa
& aktivis mengepung gedung DPRD, mendorong masuk sambil diblokir oleh polisi
setempat. Pada 22 Juli, sekelompok mahasiswa di Kota Kupang menggelar aksi unjuk
rasa di depan gedung DPRD Nusa Tenggara Timur dengan mengibarkan bendera
Indonesia dan berbaris menuju gedung. Selain menuntut dihentikannya pembahasan
RUU sapu jagat, mereka juga menuntut keadilan dalam pembayaran uang kuliah
tunggal di masa pandemi COVID-19.

Per Agustus, serikat pekerja buruh mengancam akan melakukan protes yang
lebih besar di 20 provinsi di seluruh Indonesia jika permintaan menolak pembahasan
RUU ini diabaikan pemerintah dan DPR. Pada 14 Agustus, polisi menangkap dua
orang terduga anarkis dalam perjalanan mereka untuk mengikuti demo di Jakarta
Barat. Menurut polisi, dua orang yang ditangkap tersebut menyimpan beberapa bom
Molotov di tangan mereka serta beberapa buku dan stiker yang berkaitan dan
mempromosikan anarkisme.
Selain aksi unjuk rasa menolak RUU Cipta Kerja, beberapa pihak lainnya turut
melalukan aksi ini dengan tuntutan pembatalan pengesahan Undang-Undang yang
disahkan DPR atau pembahasan rancangan undang-undang lainnya. 

2.2 Teori Identitas Sosial, Konformitas dan Deindividuasi

Identitas sosial adalah definisi seseorang tentang dirinya dalam interaksi


sosial, adanya rasa keterkaitan, kepedulian, atau kebanggaan yang berasal dari
pengetahuan seseorang dalam keanggotaan sosial bersama anggota lainnya, bahkan
tanpa perlu memilki hubungan personal yang dekat. Jackson dan Smith mengajukan
konseptualisasi identitas sosial yang melibatkan empat dimensi, dan terkait dengan
aksi demonstrasi akan membahas satu persepsi, yakni persepsi dalam konteks antar
kelompok hubungan antar (in-group) seseorang dengan group perbandingan (out
group).

Untuk membentuk identitas sosial, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
dan saling terkait, karena pada umumunya individu membagi dunia sosialnya menjadi
dua kategori seperti penjelasan sebelumnya. Yaitu kita atau “in group” dan mereka
atau “out group”. Biasanya out-group dipersepsikan sebagai musuh atu kelompok
yang mengancam. Sementara in-group mempersepsikan dirinya sebagai bagian dari
kategori sosial yang sama (ras, kelas, pekerjaan, jenis kelamin, agama, kepentingan,
dan lain-lain).

Konformitas adalah bentuk pengaruh sosial dimana individu mengubah sikap


dan perilakunya agar sesuai dengan norma dalam kelompoknya. Konformitas ini
biasanya terjadi karena ada tekanan secara tidak langsung dari anggota kelompok
sehingga mau tidak mau individu berperilaku sesuai dengan norma kelompok. Jika
perilaku tidak sesuai dengan normal kelompoknya, maka akan terjadi kesenjangan
dan terlihat aneh. Kesediaan untuk mengikuti standar atau kepercayaan yang diyakini
oleh seseorang akan tercermin dari perilaku dan sikap dalam menghadapi kondisi
yang disepakati bersama.

Deindividuasi adalah keadaan dimana seseorang kehilangan kesadaran akan


diri sendiri dan kehilangan pengertian tentang dirinya dalam situasi kelompok yang
memungkinkan anonimitas. Menyatunya individu dengan kelompok membuat
individu kehilangan identitas diri yang memungkinkannya berperilaku menyimpang
dari norma.
2.3 Fenomena Demonstrasi dan Keterkaitannya dengan Psikologi Sosial

Ketika seseorang memiliki identitas yang kuat terhadap kelompoknya, secara


psikologis ia akan terikat kemudian melahirkan solidaritas dan komitmen terhadap
kelompoknya. Solidaritas ini terkadang menuntun individu ke arah perilaku yang
melanggar norma. Dalam demonstrasi menolak Omnibus Law, dari sudut pandang
pengunjuk rasa (mahasiswa dan buruh), mereka adalah in-group. Mereka memiliki
kesamaan, mereka adalah mahasiswa (tidak peduli dari universitas, angkatan, dan
jurusan mana) dan mereka buruh (tidak peduli dari perusahaan mana), mereka semua
mempunyai kepentingan yang sama, yakni menolak pasal pada RUU yang dinilai
merugikan para buruh. Lalu dalam hal ini DPRD dan DPR masuk dalam bagian out-
group, karena dianggap sebagai musuh yang mengancam kesejateraan buruh. Dalam
melakukan sebuah aksi demontrasi, maka identitas pribadi anggota in-group akan
hilang dan melebur dengan identitas kelompok. Terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan perasaan melebur sebagai bagian dari kelompok dan membuat individu
terlibat didalamnya, yakni:

1. Merasa wajib untuk terlibat melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang lain
di dalam kelompoknya, karena ia adalah bagian dari kelompok tersebut
2. Mudah tersugesti bila hal itu menyangkut penilaian ataupun perlakuan negatif
pihak luar terhadap kelompok. Sehingga tanpa berpikir panjang (berpikir logis
ataupun menilai kebenarannya), bila diprovokasi akan menjadi mudah tersulut
emosinya dan melakukan tindakan impulsif agresif
3. Emosi marah dan ketakutan adalah emosi dasar utama yang disarankan oleh
manusia, setiap orang umumnya pernah merasakan hal ini. Perasaan ini dapat
menyebar dan menular dengan cepat di tengah kerumunan kelompok. Mulai dari
satu orang yang mengekspresikan dan kemudian beberapa orang yang mengikuti,
hingga pada kelompok yang lebih besar.

Adanya terdapat juga kenyataan bahwa tidak semua peserta aksi demonstrasi
memiliki kesadaran penuh dan hanya sekadar “ikut-ikutan saja”. Kesediaan seseorang
untuk berperilaku ikut serta tanpa ada kesadaran penuh dikarenakan adanya tekanan
ada dari lingkungannya, dalam studi psikologi dikenal sebagai konformitas.
Kesediaan untuk mengikuti standar atau kepercayaan yang diyakini oleh orang lain ini
tercermin dari perilaku dan sikap dalam menghadapi sebuah kondisi yang disepakati
bersama. Sedangkan bentuk tekanan yang terjadi di lingkungan mahasiswa dapat
berasal dari perasaan segan pada senior dan pada teman-teman sekelompok maupun
organisasi. Kemudian, tekanan para buruh dapat berasal dari desakan kebutuhan hidup
yang semakin tinggi tetapi RUU menyebabkan hidup mereka semakin sulit.

Selanjutnya adalah hubungan aksi demonstrasi dengan deindividuasi.


Deindivudiasi menjelaskan mengapa pengunjuk rasa tidak segan-segan dan tidak
merasa berdosa mengeroyok, serta tidak merasa bersalah setelah merusak berbagai
fasilitas umum. Itu dikarenakan mereka bergerak dalam naungan kelompok.
Menyatunya diri mereka menjadi in-group membuat mereka kehilangan identitas diri
dan berganti menjadi identitas kelompok. Jika salah satu orang salah, maka satu
kelompok salah. Jika satu orang yang merusak, maka itu merupakan tanggung jawab
kelompok.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Demo merupakan gerakan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang memiliki
tujuan yang sama demi kepentingan bersama. Sementara demonstrasi merupakan
bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak sesuai dengan
kepentingan rakyat. Para pendemo awalnya terbentuk karena mereka memiliki sebuah
identitas pribadi tetapi kemudian berubah menjadi identitas kelompok. Terdapat
beberapa faktor dan tekanan yang disebut dengan konformitas yang dapat merubah
persepsi mereka sehingga melakukan beberapa tindakan demi kelompok mereka.
Demo yang aksinya mengikuti aturan dan norma mungkin tidak akan menimbulkan
permasalahan yang serius seperti pertikaian dan pengrusakan fasilitas umum. Tetapi,
ada beberapa demo yang tidak terkontrol dan alhasil menyebabkan banyak masalah.
Tingkat kericuhan dalam demo cenderung akan rendah jika para demonstrasi
mendapat hal yang mereka inginkan. Sebaliknya, permasalahan yang parah bisa jadi
timbul ketika kepentingan para demonstran tak segera tertangani. Hal itu tergantung
pada respon out-group. hal yang menimbulkan kerusakan fasilitas umum dan
melanggar aturan yang dilakukan oleh demonstran disebut dengan deindividuasi. Jadi,
kesimpulannya, dalam sebuah aksi demonstrasi yang melibatkan massa dalam jumlah
besar, pemahaman atas isu yang dituntut bukanlah merupakan faktor penting yang
mendorong partisipasi. Melainkan faktor psikologis dan sosial yang lebih ada
keterkaitannya.

3.2 Daftar Pustaka

 http://research-report.umm.ac.id/index.php/API-BAA/article/view/3312
 https://id.quora.com/search?q=demo%20dengan%20psikologi%20sosial
 https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20190522095859-284
397249/teori-psikologi-di-balik-aksi-demonstrasi
 power point psikologi sosial mengenai identitas sosial, konformitas dan
deindivuasi oleh Ibu Nur Istiqomah, M.A.

Anda mungkin juga menyukai