NIM : 1970201345
TUGAS KOMUNIKASI PEMBANGUNAN
Krisis kesehatan dan krisis ekonomi atas terpaan gelombang pandemi belum usai, kini muncul ancaman
krisis kepercayaan publik akibat gelombang Omnibus Law.
Upaya pemerintah keluar dari jurang resesi dan jebakan middle income trap dengan payung Undang-
Undang “Sapu Jagad” justru disikapi kontra oleh publik secara luas terutama kalangan buruh. Pihak
pemerintah dan DPR RI meyakini bahwa strategi itu sebagai jalan membuka kran investasi, tetapi bagi
sebagian kalangan justru regulasi itu dinilai mengancam kelestarian lingkungan hidup dan merongrong
masa depan rakyat (buruh, nelayan, petani bahkan generasi) di bawah bendera oligarki.
Pertanyaannya, siapa yang diuntungkan dan dirugikan? Mengapa jika UU Cipta Kerja diproyeksikan
untuk pembangunan hajat hidup rakyat justru menuai protes yang masif? Bukannya jika itu untuk
kepentingan “negara bangsa” bukan “negara korporasi” justru mendapat dukungan publik? Apa yang
salah? Siapa yang sedang bermain-main di balik semua ini? Ingat saat ini era cyber-democracy, situasi
yang diisi dengan membanjirnya informasi. Salah ucap saja bisa dibui, apalagi salah ambil kebijakan,
bisa jadi pertaruhan. Tetapi, saya memandang persoalan terbesar saat ini adalah masalah komunikasi.
Krisis kepercayaan publik terhadap pemimpin dan wakil rakyatnya adalah sebuah bencana demokrasi.
Kalangan yang menyambut positif Omnibus Law tentu pemerintah, DPR RI dan pebisnis. Sementara di
lain pihak, gabungan masyarakat sipil, di antaranya buruh, nelayan, petani, mahasiswa termasuk
sejumlah ormas seperti PBNU, PP Muhammadiyah berada di barisan menolak Omnibus Law. Pihak-
pihak yang pro berdalih bahwa Omnibus Law dapat memuluskan investasi dan mendongkrak ekonomi
nasional. Sementara pihak yang kontra memandang bahwa Omnibus Law hanya menjadi “karpet
merah” bagi para elite dan oligark serta justru semakin menyengsarakan rakyat. Mereka yang setuju
beranggapan bahwa melalui UU Cipta Kerja menjadi solusi menghadapi resesi termasuk berkaitan
dengan upaya menciptakan lapangan kerja dan memperlancar birokrasi perizinan, sementara yang
menolak cenderung menilai belum dilibatkan secara penuh bahkan beberapa pihak beranggapan dalam
perumusan Omnibus Law ada kesan mengesampingkan partisipasi publik yang lebih luas.
Pihak DPR RI dan pemerintah mencoba memberikan klarifikasi atas beragam penolakan yang muncul,
mulai dari uang pesangon dihilangkan; Upah Minimum Regional (UMR) dihapus; upah buruh dihitung
per jam; semua hak cuti hilang dan tidak diberi kompensasi; outsourching diganti dengan kontrak
seumur hidup; tidak ada status karyawan tetap; perusahaan dapat melakukan PHK secara sepihak;
jaminan sosial dihilangkan; semua karyawan distatuskan tenaga kerja harian; tenaga kerja asing lebih
longgar masuk; buruh dilarang protes jika ter-PHK; serta libur hari raya hanya di tanggal merah bahkan
tidak ada tambahan cuti. Semua poin-poin itu ditentang oleh pihak pemerintah dan DPR RI dengan
menyatakan informasi yang berkembang itu tidak benar atau hoaks.
Kontestasi kepentingan dengan memperhadapkan antara pemerintah dan DPR RI vs rakyat tidak
menyelesaikan masalah. Bahkan jika meminjam istilah Jay G. Blumer (2018), kondisi seperti itu justru
memungkinkan semakin meningkatkan krisis kepercayaan publik akibat eskalasi ketidakpastian politik,
fragmentasi opini publik, komunikasi akar rumput yang tidak tuntas termasuk menutup suara-suara
alternatif.
Akibatnya ratusan buruh asal Kabupaten Tangerang yang akan menggelar unjuk rasa menolak Undang-
Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) di Kantor Gubernur Banten dan DPRD Banten di
Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B), Kota Serang, dihadang aparat gabungan, Rabu
14 Oktober 2020.
Massa buruh yang tergabung dalam aliansi Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI)
dihadang aparat gabungan polisi, TNI, dan Pol PP di pertigaan Cangkudu, Jalan Raya Serang Km 26,
Balaraja, Kabupaten Tangerang. Ketua DPC KSBSI Garteks, Tri Pamungkas mengatakan, ribuan buruh
asal Tangerang ini akan menggelar demontrasi menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja di kantor
Gubernur dan DPRD Banten, namun dihadang oleh petugas kepolisian. Padahal, pihaknya sudah
mengirim surat pemberitahuan rencana aksi unjuk rasa.
Para buruh menggelar unjuk rasa menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja, karena UU Omnibus Law .
guna menyampaikan komunikasi pembangunan karena dinilai merugikan kaum buruh dan generasi
buruh. Dalam penyelenggaraan pembangunan, diperlukan suatu sistem komunikasi agar terjalin
komunikasi efektif dan memiliki makna yang mampu mengarahkan pencapaian tujuan pembangunan.
Hal itu perlu sekali dilakukan karena proses pembangunan melibatkan berbagai elemen masyarakat.
Komunikasi pembangunan ini harus mengedepankan sikap aspiratif, konsultatif dan relationship.
Karena pembangunan tidak akan berjalan dengan optimal tanpa adanya hubungan sinergis antara
pelaku dan obyek pembangunan. Apalagi proses pembangunan ke depan cenderung akan semakin
mengurangi peran pemerintah, seiring semakin besarnya peran masyarakat.