Anda di halaman 1dari 4

Tugas

TugasPendidikan
PendidikanKewarganegaraan
Kewarganegaraan
Nama : Anggraini Dwi Fadillaningsih
NIM : PO71241200026
Guru Pembimbing : Bapak Budi Ardianto, SH, MH

OMNIBUS LOW

Ribuan rakyat dan mahasiswa turun ke jalan menentang Undang-Undang Komisi


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang baru dan Rancangan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) yang hendak disahkan pemerintah-DPR di rapat paripurna
akhir masa jabatan pada September 2019. Kedua aturan itu dianggap hanya menguntungkan
kelompok elite.

Kini masalah yang sama terulang ketika Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja
(Cilaka/omnibus law) disepakati pemerintah dan DPR.

Sedikit publik yang mengetahui bahwa pembahasan revisi UU KPK berjalan di DPR
kemudian disahkan begitu saja. Pembahasan itu juga berlangsung sangat cepat, kira-kira
hanya 15 hari. Hitungan ini dimulai dari rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada 3
September 2019, berbarengan dengan pembahasan usulan revisi untuk Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR dan DPD dan DPRD (biasa disebut UU MD3)
sampai pada pengesahan UU KPK yang baru tanggal 17 September 2019.

Revisi itu dilakukan tanpa melibatkan pihak terdampak, yakni KPK. Ketua KPK saat itu,
Agus Rahardjo, mengakui tidak ada kontribusi dari pimpinan KPK terhadap poin-poin revisi
tersebut.

Mahasiswa yang awalnya berniat menolak revisi tersebut merasa kecolongan. Mereka tidak
menyangka bahwa pemerintah dan DPR benar-benar mengebut pembahasan dan tetap
mengesahkan UU KPK yang baru tanpa mempertimbangkan aspirasi mahasiswa dan berbagai
kelompok masyarakat sipil.

Pertanyaannya, Apakah UU Cipta Kerja Omnibus Law tidak ada kekurangan? Jawabnya,
Ada. Apakah UU Cipta Kerja Omnibus Law tidak ada kelebihan? Jawabnya, ada.

Pertanyaan selanjutnya, mengapa hanya hal yang berhubungan dengan buruh ramai dipublik
dibanding hal lain seperti agraria, pendidikan dan investasi padahal hal tersebut juga
ditafsirkan tidak memihak pada rakyat?
Mungkin saja karena buruh lebih teroganisir dan mampu digerakkan dengan cepat.

Saya tidak apriori dengan gerakan yang telah dilakukan hingga berdarah-darah. Saya justru
salut. Bahwa sensifitas kritis masih ada di negeri ini.
kesadaran bernegara berdasar konstitusi masih terus terjaga.

Tapi jangan tergerus dengan pola pihak yang dengan sengaja ingin menciptakan kegaduhan
dan mengambil kepentingan politis. Melakukan perusakan atas nama demokrasi adalah hal
yang tidak dapat dibenarkan.

Mabes Polri telah menetapkan seorang wanita paru baya asal kota Makassar provinsi
Sulawesi Selatan berinisial VE sebagai tersangka akibat menyebarkan hoaks 12 poin yang
merugikan buruh.

Lalu apakah demonstran yang turun kejalan dengan tuntutan utama tentang buruh
terpengaruh hoaks?
Jika benar demikian maka kita mengalami masalah besar dalam berbangsa.

Masyarakat tidak lagi melakukan telaah informasi, dengan membandingkan dari berbagai
sumber. Agar mampu membangun argumentasi sendiri yang kuat dan rasional. Tidak sekadar
ikut-ikutan dengan informasi yang beredar liar.

Kerena hoaks sangat mudah tersebar di masyarakat yang rendah literasi dan malas melakukan
klarifikasi. Kita semestinya belajar bahwa produsen hoaks selalu hadir setiap saat seperti
tarikan nafas pada momentum genting. Hal ini memicu sikap reaktif bagi kaum yang
mengalami distrus dan tidak terbuka dengan informasi yang lain.

Dari sekian banyak aksi demonstrasi yang diwarnai perusakan, penjarahan, pembakaran dan
pertumpahan darah, Jalan lain yang lebih elegan ditempuh PBNU dalam melakukan yudisial
review UU Cipta Kerja Omnibus Law ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Kita berharap masyarakat dapat belajar bagaimana menyaring informasi dengan


meningkatkan daya literasi dan sikap kritis terhadap sebuah informasi. Karena bangsa yang
diperbudak hoaks adalah bangsa penuh kegaduhan.

Persoalannya bagi Indonesia saat ini adalah apakah RUU Cipta Kerja telah merupakan
sebuah konstruksi hukum yang rasional? Bagaimana menilai ‘rasionalitas’ tersebut? Jika
dicermati, substansi RUU Cipta Kerja, misalnya, terdiri dari 11 kluster pembahasan dan
1.200 Pasal yang mencoba menyederhanakan dan mensinkronkan 79 Undang-Undang yang
berlaku. Ini sungguh RUU yang spektakuler baik dari sisi isinya maupun dari sisi teknis
perumusan dan pembahasannya. Namun perlu diingat, substansi RUU Cipta Kerja yang
spektakuler ini masih saja belum diterima, utamanya dari kalangan buruh. Penolakan
didasarkan isu seperti adanya serbuan tenaga kerja asing kerena ijinnya dipermudah,
penghapusan pesangon dan cuti, kemudahan PHK, sistem kerja yang tidak tetap dan upah per
jam. Saya sendiri telah memeriksa secara seksama substansi RUU Cipta Kerja vide Pasal 81.
Saya bisa memastikan isu-isu tersebut tidak dihapus, tapi diatur ulang. Apakah pengaturan
ulang ini rasional? Jawabannya sangat tergantung pada pemahaman dan interpretasi masing-
masing pihak atas substansi Pasal 81 RUU Cipta Kerja di atas.

Persoalannya, sekalipun tujuan RUU Cipta Kerja ini baik namun tetap saja mendapat
penolakan sebagian kalangan? Bisa saja motifnya politik, bisa saja motifnya ingin adanya UU
yang baik. Tetapi, saya menduga substansi RUU ini telah tidak didesminasikan dengan baik
dan maksimal oleh pihak pemerintah dan DPR sehingga menimbulkan kecurigaan meluas.
Langkah strategik selanjutnya ialah menata dan mengakomodasi berbagai kepentingan yang
masih tercecer dalam RUU Cipta Kerja ini melalui pengaturan lebih lanjut dalam peraturan
pelaksanaannya seperti peraturan pemerintah.

Setelah beberapa hari demonstrasi berjalan, tidak sedikit pelakunya ternyata anak-anak atau
para remaja pelajar yang ikut-ikutan, tidak beraspirasi. Mereka terpengaruh teman atau
komunitasnya, yang mungkin saja sambil tertarik oleh imbalan uang transport ataupun uang
konsumsi. Mereka tidak faham tentang isi dari RUU Ciptaker yang diteriakkannya. Kita patut
prihatin dan menyayangkan hal ini terjadi, merugikan mereka yang awam dan orangtuanya.

Ada pula kelompok remaja atau pemuda yang memiliki aliran demokrasi atau liberalisasi
“sesat”. Dengan alasan hak individunya tidak boleh diganggu pihak lain, termasuk oleh
negara, mereka melakukan berbagai sikap dan perilaku yang merugikann masyarakat, dan
merepotkan aparat. Kalau menggunakan teori psikologi Maslow Hierarchy, mereka
memiliki self-actualization atau self-esteem yang keliru. Mereka beranggapan bahwa bila
melakukan demo dengan “berani” melanggar hukum, malakukan perusakan, melawan
petugas, dan sebagainya, menganggap dirinya hebat dan luar biasa, extra ordinary people -
melebihi masyarakat “biasa”. Terhadap pendemo atau perusuh yang demikian, harus
dilakukan tindakan tegas, sesuai dengan hukum yang berlaku, sehingga tidak menjadi
preseden, mengganggu masyarakat lain, dan merepotkan aparat.
Yang ketiga adalah dari golongan politik yang mengambil moment guna memperoleh nilai
positif bagi golongannya, atau menambah nilai negatif bagi lawan politiknya. Dalam ilmu 
politik disebut sebagai Zero Sum Game, hal yang negatif bagi lawan, mengandung nilai
positif bagi dirinya, dan sebaliknya. Kelompok ini sebetulnya salah perhitungan. Pada
akhirnya, silent majority masyarakat memahami bahwa ada juga motif politik negatif di
tengah demo yang dicemari kerusuhan, perusakan. Mereka akhirnya dianggap golongan yang
tidak peduli keprihatinan masyarakat, bangsa dan negara, yang sedang repot menangani
pandemi, beserta dampak ekonomi dan sosialnya. Kesadaran masyarakat ini memberikan
bobot nilai yang sangat rendah terhadap unsur politisi demikian.

Yang terakhir, adalah kelompok yang memang merasa atau menyadari terugikan oleh adanya
RUU Ciptaker. Opini mereka bisa karena murni untuk kebaikan nasib kelompoknya, namun
berbeda pendapat dengan Pemerintah dan DPR, ataupun lantaran kesalahpahamankan.
Kelompok yang memiliki motif mulia ini perlu didukung, disambut baik untuk diberi
penjelasan, atau dicari solusi yang tepat dan bijak. Kedua pihak yang berbeda pendapat ini
sebaiknya duduk bersama, berembug bareng sambil tersenyum, sehingga bagi masa depan
bangsa dan negara memberikan manfaat positif; adapun bagi para pekerja yang kini sedang
prihatin juga tidak merepotkan.  

Semoga saja di tengah keprihatinan dan perjuangan bersama untuk kesehatan masyarakat
melawan pandemi ini tidak ditambah beban kondisi politik yang seharusnya bisa dicarikan
solusinya. Segenap pihak hendaknya tersenyum dan berinspirasi untuk mencari solusi, bukan
berkonspirasi untuk kepentingan kelompoknya sendiri. Smiling diplomacy is the art of letting
someone else get your way. Nobody raises his own reputation by lowering others. The future
is purchased by the present.(Dr Soen’an Hadi Poernomo)

Tapi sekeras apapun protes dan usaha buruh menolak omnibus law, jika pemerintah dan DPR
sudah satu suara, omnibus law—dengan segala polemiknya—tetap akan berlaku. Sama
seperti UU KPK dahulu.

Anda mungkin juga menyukai