Anda di halaman 1dari 4

Apakah Lame Duck Session Diperlukan dalam Sistem

Pemerintahan Kita?
indoprogress.com/2019/09/apakah-lame-duck-session-diperlukan-dalam-sistem-pemerintahan-kita/

September 23, 2019

Ilustrasi oleh Alit Ambara (Nobodycorp. International Unlimited)

TIDAK ada hari-hari yang lebih menyedihkan untuk orang yang mengamati demokrasi di
Indonesia selama beberapa minggu belakangan ini. Harus diakui bahwa demokrasi kita
mengalami kemunduran yang signifikan. Manuver-manuver politik yang dilakukan oleh
para elite politik kita berlangsung sangat cepat. Sangat kontras dengan yang kita lihat
pada saat pemilihan umum yang baru lalu. Kali ini kita tidak melihat persaingan antar-
elite namun justru sebuah kolusi besar untuk mencapai tujuan bersama—tujuan para elite
itu tentu saja.

1/4
Untuk sementara kejutan-kejutan itu tidak bisa ditanggapi kelompok masyarakat sipil
secara memadai. Persekutuan para elite ini dirancang untuk bergerak secara rahasia,
cepat, dan sangat efisien. Semuanya terjadi hampir bersamaan, mulai dari penggalangan
opini publik, proses legislasi, dan pengesahan seperangkat hukum. Rakyat sipil pun
menanggapinya dengan terbata-bata.

Di sektor pemberantasan korupsi, misalnya. DPR bersama pemerintah berhasil


menggolkan UU KPK baru. Undang-undang ini tidak saja akan mengubah organisasi KPK
yang ada sekarang ini namun juga akan melemahkannya. Dalam undang-undang baru,
kekuasaan KPK untuk melakukan penyadapan akan diawasi. Pengawasnya akan dipilih
oleh presiden. Padahal kita semua tahu bahwa kekuasaan melakukan penyadapan
merupakan inti dari kerja pemberantasan korupsi. Tanpa kemampuan melakukan
penyadapan KPK akan kehilangan giginya.

Baik pemerintah maupun DPR berargumen bahwa kewenangan KPK untuk menyadap itu
harus dibatasi dan bisa dipertanggungjawabkan. Argumen ini sepintas masuk akal.
Namun, tidak pernah ada argumen tandingan yang didengarkan. Bukankah proses
pengadilan korupsi merupakan pengawasan terhadap KPK? Tidakkah sebuah kasus
korupsi akan gugur bila secara prosedural tidak memenuhi syarat?

Seorang ahli hukum tata negara bahkan berpendapat bahwa sesungguhnya UU Tindak
Pidana Korupsi (Tipikor) yang lebuh mendesak untuk direvisi ketimbang UU KPK.
Namun seruan itu tidak didengar baik oleh DPR maupun pemerintah. Pemerintah dan
DPR rupanya lebih ingin memberi pengawasan kepada KPK sehingga lebih mudah
dikontrol.

Pemerintah dan DPR juga mempermudah pembebasan bersyarat bagi pelaku kejahatan
berat, termasuk kasus korupsi. Revisi atas UU Pemasyarakatan (UU No. 12/1995) yang
diloloskan menyatakan antara lain bahwa pembebasan bersyarat seorang koruptor tidak
lagi memerlukan rekomendasi dari KPK.

Selain itu, dalam beberapa hari ke depan DPR juga berencana meloloskan UU KUHP
yang sejak tahun 1955 tidak pernah diperbaharui. Rancangan undang-undang ini sangat
kontroversial. Keberatan banyak ditujukan kepada campur tangan negara dalam soal-soal
pribadi. Seorang pengamat bahkan mengatakan RUU ini tampak seperti perluasan
pemberlakuan hukum Qanun di Aceh ke tingkat nasional. Selain itu keberatan juga
dilayangkan pada pasal-pasal karet sepertti penghinaan kepada presiden/wakil presiden,
penodaan agama, dan makar.

Sangat kentara bahwa DPR dan pemerintah ingin meloloskan semua undang-undang ini
secepat-cepatnya, dengan pembahasan dan perdebatan yang sangat jauh dari
transparansi. Selain itu, mereka melakukannya di menit-menit terakhir kekuasaan
(injury time). Manuver-manuver politik ini memperlihatkan kerjasama para elite untuk
mengamankan kepentingan bersama mereka.

2/4
Mengapa ini semua terjadi? Mengapa DPR dan pemerintah bahu membahu
mengeluarkan peraturan perundang-undangan penting justru diakhir periode
pemerintahannya?

Hal ini tidak seharusnya terjadi jika dipandang dari sistem kenegaraan. DPR dan
pemerintah punya waktu lima tahun untuk membuat undang-undang. Sebuah undang-
undang—apalagi UU KPK dan KUHP—terlalu penting untuk dibahas dengan tergesa-gesa
tanpa masukan-masukan (deliberations) dari publik dan kelompok-kelompok
masyarakat sipil yang berkepentingan.

Ketergesaan dan kerahasiaan ini mengundang kecurigaan bahwa ada sesuatu yang
disembunyikan oleh pemerintah dan DPR. Pembahasan undang-undang ini sungguh
mengingkari asas keterbukaan (transparency). Akibatnya, pemerintah dan DPR akan
menurunkan tingkat kepercayaan publik kepada lembaga-lembaga negara.

Di atas segalanya, semua ini tidak akan terjadi jika kita memiliki mekanisme
ketatanegaraan yang mencegah DPR dan pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan
yang drastis (kecuali dalam situasi darurat seperti ancaman perang) pada menit-menit
terakhir periode pemerintahannya.

Di negara-negara lain, periode ini yang dinamakan sebagai lame duck session. Lame duck
(atau terjemahan kasarnya: bebek lumpuh) adalah sebuah periode sesudah pemilihan
umum di mana anggota parlemen yang lama belum berhenti bertugas dan yang baru
belum dilantik. Ini adalah periode transisi.

Di Indonesia, kita mengenal pengertian demisioner. Menurut KBBI, demisioner adalah


“keadaan tanpa kekuasaan (misalnya suatu kabinet dan sebagainya yang telah
mengembalikan mandat kepada kepala negara, tetapi masih melaksanakan tugas sehari-
hari sambil menunggu dilantiknya kabinet yang baru).”

Namun lame duck dan demisioner agak berbeda karena dalam lame duck para pejabat
yang lama masih memegang mandat kekuasaan, sementara dalam demisioner mereka
sudah berhenti. Sehingga demisioner lebih dikaitkan dengan kekosongan kekuasaan.

Mengapa para pejabat dalam lame duck secara etik kenegaraan tidak boleh mengambil
keputusan-keputusan strategis yang penting sekalipun masih memegang mandat
memerintah?

Persoalan ini lebih menyangkut legitimasi. Pemilihan umum sudah dilakukan. Anggota-
anggota yang baru sudah terpilih namun belum dilantik. Artinya mereka belum memiliki
mandat memerintah. Sekalipun demikian, para elektorat mengirimkan pesan kepada
pemerintah (baik legislatif maupun eksekutif) yang menuntut arah baru. Lame duck
semakin menjadi penting bila elektorat memutuskan untuk mengganti pemerintahan
dengan anggota legislatif dan eksekutif yang baru.

Itulah sebabnya banyaknya peraturan perundang-undangan yang penting yang diloloskan


para oleh DPR dan pemerintah tampak seperti kurang memiliki legitimasi. Sekalipun
pemerintahan Presiden Jokowi akan diteruskan pada masa jabatan kedua, dia akan

3/4
menghadapi parlemen yang sama sekali berbeda dalam komposisi dan karakternya.
Seharusnya pemerintahan Presiden Jokowi menghormati prosedur itu. DPR 2014-2019
sudah menjabat selama lima tahun dan tidak mengerjakan apa-apa. Mengapa mereka
meloloskan semua rancangan undang-undang ini dengan sangat tergesa-gesa dan
sembunyi-sembunyi? Dan pemerintah pun mendukung apa yang dilakukan oleh DPR ini.
Tidakkah bau busuk ini sekalipun ditutup rapat-rapat sekali waktu akan tercium juga?

Ada pula yang mengatakan bahwa UU dibikin pada periode ini kelak bisa dianulir.
Kelompok-kelompok masyarakat sipil yang tidak puas bisa mengajukan judicial review
terhadap peraturan perundang-undangan yang bermasalah ini.

Dari sisi legitimasi pemerintahan, argumen ini pun kurang bisa diterima. Para hakim
Mahkamah Konstitusi bukanlah pejabat publik yang dipilih langsung oleh rakyat. Para
hakim ini adalah hasil dari negosiasi dan kesepakatan para politisi di DPR. Sehingga
dengan demikian sekalipun lembaga Mahkamah Konstitusi adalah lembaga yang sah,
legitimasi kekuasaan mereka tidak sekuat para pejabat negara yang dipilih langsung oleh
rakyat.

Menurut saya, kita perlu memikirkan sebuah mekanisme peralihan pemerintahan atau
apa yang populer disebut sebagai lame duck session ini. Kita harus mempersingkat masa
transisi antara pemilihan dengan pelantikan anggota DPR dan presiden. Tidak perlu
menunggu sampai enam bulan untuk melantik para politisi yang terpilih.

Proses yang kita lihat sekarang ini sungguh tercela. DPR yang menghabiskan waktu
kerjanya selama lima tahun dengan hasil yang sangat minim tiba-tiba ngebut
menyelesaikan peraturan perundang-undangan yang sebenarnya membutuhkan proses
deliberasi yang sangat panjang. Proses ini sesungguhnya sangat memalukan dan penuh
dengan politicking. Parahnya, pemerintah juga berdiri di sisi DPR.

DPR dan pemerintahan Presiden Jokowi periode pertama ini seolah berpesta pora
sebelum bubar beberapa minggu lagi. Mereka makan sebanyak-banyaknya. Bahkan
mereka membawa pulang berkantong-kantong goodie bags.

Yang tidak disadari adalah bahwa Presiden Jokowi akan memulai masa kedua
pemerintahannya dengan tingkat kepercayaan masyarakat yang rendah. Kita melihat
masyarakat sipil sudah melakukan perlawanan. Mandat yang diperoleh Jokowi pada
masa Pilpres kemarin bisa tergerus jika ia hanya menuruti kehendak para elite yang
mengelililinginya..***

4/4

Anda mungkin juga menyukai