Anda di halaman 1dari 7

TUGAS RANGKUMAN PENGANTAR ILMU PEMERINTAHAN

PRAKTIK PEMERINTAHAN DAN PROBLEMATIKANYA

DOSEN PENGAMPU: Saidin S.Ip, M.Si


OLEH

NAMA : SRI ANANDARI


NIM : S1A121132
KELAS : C

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2021
PRAKTIK PEMERINTAHAN DAN PROBLEMATIKANYA

A.Sistem Pemerintahannya
Dalam prespektif ilmu pemerintahan, pemahaman pemerintahan dan sistem
yang membentuknya bersamaan terbentuk ketika gejala pemerintahan terbentuk
dengan sendirinya. Masyarakatyang kemudian disebut warga dari suatu negara
(warga negara) membentuk sistem pemerintahannya hingga pada tingkat yang lebih
kompleks yaitu sistem pemerintahan yang bersifat modern. Sistem pemerintahan
modern terbentuk melalui diferensasi dari kekuasaan terpusat hingga membentuk
cabang-cabang kekuasaan penting.

1. Sistem dan Praktik Presidensial

Dalam sistem ini lembaga eksekutif dan legislatif memiliki kedudukan


independen Sementara pemegang kewenangan dipilih oleh rakyat secara terpisah.
Keduanya memiliki kewenangan membuat undang-undang yang masing-masing
bersifat melengkapi.
Kelebihan dari sistem ini menurut Manfred dan Rainer adalah sebagai berikut.
a. Dalam sistem presidensial, bila krisis kepercayaan terjadi, krisis rezim tak
serta merta terjadi sebab dalam sistem parlementer, eksistensi multipartai
seringkali mempersulit pembentukan kualisi yang relatif stabil.
b. Pemisahan legitimasi kelembagaan memungkinkan pembuatan undang
undang dan program-program pemerintahan tanpa harus tunduk pada ikatan
fraksi.
c. Dalam konteks politik mayoritas, mustahil dalam sistem parlementer yang
dikuasai mayoritas dapat mengawasi lembaga eksekutif secara efektif.
d. Secara statistik, sistem parlementer hanya dibatasi sejak perang Dunia Kedua
saja, pada tahun 20 an sistem ini mengalami banyak kegagalan. Sementara itu,
sistem presidensial yang lahir tahun 80 an masih berada dalam tahaan
konsolidasi.

Namun demikian, kelemahan sistem presidensial menurutnya menyangkut beberapa


hal seperti berikut ini.
a. Kepastian masa jabatan presiden dianggap mencegah faksibilitas terhadap
pencarian solusi apabila terjadi krisis kepercayaan antara lembaga legislatif
dengan eksekutif.
a. Pemisahan legitimasi kelembagaan eksekutif dan legislatif terus mendorong
sistem ini dalam konflik. Presiden jarang dapat mengandalkan mayoritas
legislatif yang stabil atau bahkan senantiasa menghadapi mayoritas legislatif.
b. Logika winners-take-all dalam pemilihan presiden menciptakan budaya
nonkompromistis sehingga sulit membangun konsensus.

2. Sistem dan Praktik Parlementer di Beberapa Negara


Secara umum sistem ini menitikberatkan pada parlemen sebagai satu-satunya badan
yang anggotanya dipilih secara langsung oleh setiap warga negara yang berhak
memilih.
Namun demikian, di negara-negara seperti Bolivia, Venezuela, paraguay, dan
Argentina, parlemen berhak menilai dan mengusut menteri melalui cara:
a. Mayoritas sederhana;
b. Mayoritas mutlak 2/3 suara; dan
c. Mayoritas mutlak dengan terbatas pada menilai dan memeriksa terhadap
seorang perdana menteri.
Selanjutnya dikatakan dalam sistem perlemen, kebanyakan hak veto presiden mampu
diawasi dan dibatasi melalui;
a. 2/3 suara dari seluruh anggota parlemen (Ekuador, Panama, Republik
Dominika);
b. Mayoritas mutlak (Brazil, Kolombia, Nikaragua, Paraguay, dan Peru);
c. 2/3 suara dari jumblah anggota parlemen yang hadir (Argentina, Bolivia, dan
Cile);
d. 3/5 jumblah anggota parlemen yang hadir (Uruguay);
e. Mayoritas sederhana (Venezuela).

B. Kecenderungan Sistem Pemerintahan Indonesia dalam Amandemen UUD’45


dan Implikasinya terhadap Pemilihan Presiden Langsung
Dengan memahami kedua sistem diatas , setidaknya perlu dilakukan analisis
lebih lanjut melalui sintesis kedua sistem guna membentuk sistem ideal bagi
Indonesia. Menggunakan salh satu sistem dalam pemerintahan indonesia tentulah
belum mampu mengakomodasi berbagai kelemahan yang dimiliki oleh sistem itu
sendiri, selain prasyarat lain seperti realitas bangsa indonesia sebagai sebuah negara
plural.
Sejarah pemerintahan indonesia juga telah melewati masa yang panjang
dengan berbagai eksperimen sistem pemerintahan yang pernah
diadopsi.pertimbangan ini tentulah menjadi bagian penting dalam upaya mencari
sistem ideal bagi indonesia dimasa datang.
Dalam sistem pemerintahan indonesia, kecenderungan yang dapat dilihat
pasca diberlakukannya amandemen UUD 1945 adalah lebih pada pilihan sistem
presidensial. Dalam kenyatannya, hal ini dapat dilihat dimana presiden dan wakil
presiden dipilih langsung oleh rakyat, selain anggota legislatif pada putaran pertama.
Dalam kaitan amandemen UUD 45, terjadi pergeseran kekuasaan legislatif
daritangan presiden. Sebelumnya presiden memegang kekuasaan membentuk
undang-undang dengan persetujuan legislatif, sekarang justru sebaliknya, kekuasaan
membentuk undang undang berada pada legislatif, sedangkan presiden hanya berhak
mengajukan RUU kepada DPR.
Kewenangan legislatif dalam menganut pertanggung jawaban di tengah
masa jabatan presiden dan wapres karena dugaan melakukan pelanggaran hukum
tertentu ataupun tidak bukanlah kewenangan yang berdiri sendiri karena adanya
prinsip kesederajatanantara legislatif dan eksekutif yang tidak dapat saling
menjatuhkan.
Dengan melihat kecenderungan sistem pemerintahan Indonesia saat ini, serta
pemahaman atas praktik sejarah sistem pemerintahan indonesia dan pengaruh sistem
pemerintahan yang berlaku di dunia, maka sistem pemerintahan indonesia cenderung
menggunakan sistem presidensial dengan mengadopsi sejumlah kelebihan pada
sistem parlemen guna mengurangi kelemahan dan praktik sistem presidensial sendiri
sebab bagaimanapun sistem pemerintahan yang baik merupakan hasil racikan atas
pengalaman penerapan sistem pemerintahan dari waktu kewaktu, sesuai kebutuhan
bangsa itu sendiri sebab bagaimanapun ia merupakan suatu pilihan dari konsensus
yang dicapai oleh suatu masyarakat dari masa kemasa.

C. Pemilihan Umum Kepala Daerah, Tantangan dalam Praktik Politik


Pemerintahan
Salah satu konsekuensi tersebut adalah perubahan penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
1999. Selain itu perubahan penting yang diamanatkan oleh konstitusi adalah
pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung. Hal ini akan menimbulkan
perubahan pula pada mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung. Lebih dari
itu, perubahan terhadap UU No. 22 Tahun 1999 menjadi bagian strategis dan tak
terhindarkan guna mempersiapkan instrumen yang pasti bagi penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah pascapemilihan presiden/wapres secara langsung.
Kecenderungan Sistem Distrik Sebagai Model Pemilukada
Sistem distrik merupakan satu sistem pemilu yang khas karena wilayah
negara dibagi dalam distrik-distrik pemilihan (daerah-daerah) yang jumblahnya sama
dengan jumblah kursi diparlemen. Setiap distrik diasumsikan memiliki jumblah
penduduk relatif sama. Dalam banyak literatur sebagaimana dikatakan oleh Gaffar A,
single member constituency dilakukan untuk memilih satu wakil diparlemen yang
mewakili suara terbanyak. Seseorang yang mampu meraih suara terbanyak dalam
suatu distriklah yang mutlak menjadi pemenangnya. Suara para pemilih (voters)
terhadap calon yang meraih suara minoritas dianggap tidak ada atau hilang sehingga
tidak dapat digabungkan dengan suara di distrik yang berbeda.hal ini sangat berbeda
dengan sistem pemilu dengan model proporsional.
Sebaliknya menurut Santoso S.B bahwa keunggulan sistem distrik antara
lain adalah pertama, hubungan antara para wakil dengan rakyat akan lebih erat sebab
hanya calon yang lebih dekat dengan basis konstituen yang kemungkinan besar akan
dipilih.

D. Format Baru Pemerintah Desa, Sebuah Dilema Panjang terhadap


Implementasi Otonomi Desa di Indonesia
Dengan membedakan desa dalam beberapa aspek tertentu, maka diharapkan
pengembangan desa ke depan akan jauh lebih baik dibanding dewassa ini. Namun,
sebelum itu, kita akan memahami desa dalam beberapa prespektif sederhana guna
memberi aksentusi dalam elaborasi lebih lanjut guna mendudukkannya secara
proporsional.Perbedaan pandangan terhadap pemerintah desa seringkali digunakan
sebagai objek yang pada akhirnya meletakan pemerintah desa sebagai unit yang
paling diharapkan dalam banyak hal, termasuk kegagalannya.
1. Desa dan Asal-Usulnya Sebagai Unit Pemerintahan
Para ahli sejarah memandang desa sebagai sumber kekuatan dan ketahanan
dasar dalam mempertahankan kemerdekaan (community power). Bahkan menurut
Ndraha, desa dianggap sebagai sumber nilai luhur yang memiliki karakteristik seperti
kegotongroyongan, musyawarah, mufakat, dan kekeluargaan sehingga menimbulkan
berbagai semboyan. Menurut Mutty, desa sebagai suatu lembaga pemerintahan
dengan hak otonomi yang dimilikinya telah mendapat pengakuan jauh sebelum
dilaksanakannya pemerintahan dengan asas desentralisasi.
Tidak banyak ahli yang dapat mendefinisikan unit pemerintahan desa secara
utuh, asal-usulnya, danm mengapa harus dibentuk sebagai unit terdepan dalam
pelayanan pemerintahan.
2.Tinjauan Otonomi Desa dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah
Bagaimanapun otonomi desa dari tahun ketahun mengalami fluktuasi, dan
bahkan distorsi. Sejak awal pengaturan tentang pemerintahan daerah, bahkan dalam
pengaturan secara khusus melalui UU No. 5 Tahun 1979, pemerintahan desa masih
tetap dikui sebagai unit pemerintahan terendah yang memiliki hak-hak secara asal-
usul. Alasan yang ditemukan lebih pada makna otonomi dengan segala
konsekuensinya tidaklah dengan begitu mudah dapat dijalankan. Semuanya kembali
pada pemegang kekuasaan disetiap level pemerintahan yang lebih tinggi.
Penyeragaman istilah desa menunjukan bahwa pemerintah pusat tidak begitu serius
dalam memberikan hak-hak sebagaimana dipahami sejak awal.
3. Format Pemerintahan Desa dalam UU No. 32 Tahun 2004
paradigma pemerintahan melalui perubahan undang undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemrintahan Daerah telah meletakan pemerintah desa sebagai
sebuah entitas pemerintahan yang memiliki keistimewaan itu dapat dilihat pada posisi
strategis pemerintah desa sebagai sebuah unit pemerintahan yang diakui memiliki
otonomi asli Pergeseran.
Dalam rangka melaksanakan kewenangan yang dimiliki untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat, di desa atau disebut nama lain dibentuk Badan
Permusyawaratan Desa sebagai lembaga legislasi (menetapkan peraturan desa) dan
menampung serta menyalurkan aspirasi masyarakat bersama kepala desa.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 76 Tahun 2001 tentang Pedoman
Umum Pengaturan Mengenai Desa, pemerintah desa dan BPD diharapkan mampu
membangun kerja sama untuk mendorong kemandirian dan kreatifitas dalam
mengelolah rumah tangga desa dengan memanfaatkan potensi yang ada. Konsekuensi
atas hal ini adalah pemerintah desa dan BPD harus dapat menggali sumber daya yang
tersedia bagi pemanfaatan yang sebesar besarnya untuk kepentingan rakyat di desa.
Tanggung jawab tersebut telah mendorong keduanya untuk senantiasa saling
memberi masukan bagi upaya kemandirian desa sebagai area yang memiliki otonomi
asli. Tak pelak lagi, dalam upaya membangun kerja sama tadi, pemerintah desa
maupun BPD masih mengalami kendala yang cukup serius dalam hal penataan, dan
hubungan kerja samanya.

Anda mungkin juga menyukai