Lihat Foto
Indonesia seakan terbelah dua dalam kasus Omnibus Law ini yaitu mereka yang
setuju dan mendukung serta mereka yang sangat keras menentangnya. Masing-
masing memiliki alasan dan argumentasi yang kelihatan sama kuat dan sama
masuk akal.
Sebuah langkah terobosan yang dipilih oleh pemerintah untuk dapat memudahkan
dan mempercepat aneka program bagi kepentingan rakyatnya. Sebuah niatan yang
seharusnya dan juga logikanya akan memperoleh dukungan yang luas dari segenap
rakyat Indonesia.
Agak sedikit membingungkan, bahwa ternyata Omnibus Law ini yang logikanya
harus didukung bersama, ternyata telah pula menumbuhkan arus besar perlawanan
dari pihak yang menentangnya.
Tidak tanggung-tangung karena mereka yang menentang adalah bukan hanya rakyat
biasa seperti yang terkuak dipermukaan sebagai pendemo yang ternyata belum
pernah membaca Omnibus Law akan tetapi juga banyak kaum cerdik pandai dan
para akademisi yang mengemukakan ketidak-setujuannya.
Profesor Riset dan Intelektual Muslim Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar menyatakan
Omnibus Law tidak layak secara akademis dan berbahaya terhadap konstitusional.
Sementara itu Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Zaenal Arifin
Mochtar menyatakan penolakan terhadap Omnibus Law UU Cipta Kerja perlu diiringi
dengan desakan atau tekanan dari publik secara meluas karena tak sedikit pihak
yang dirugikan dari peraturan tersebut.
Ada beberapa lagi pendapat para kaum intelektual bangsa yang menganalisis
dengan kajian mendalam tentang Omnibus Law yang pada dasarnya menyebut
bahwa UU tersebut tidak layak dilaksanakan oleh pemerintah. Alasan-alasan dan
argumentasi yang masuk akal juga dikemukakan mengenai tidak layaknya Omnibus
Law untuk dilaksanakan di negeri ini.
Sampai di sini pertanyaannya adalah, mengapa tidak ada dialog atau komunikasi
antara para ahli, akademisi kaum terpelajar, professor, doktor dan para praktisi dari
pihak yang mendukung dan dari pihak yang menolak untuk duduk bersama-sama
merumuskan niat baik yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam upaya
mensejahterakan rakyat Indonesia?
Kedua belah pihak selalu mendasari alasan dan analisis masing-masing yang sama
yaitu untuk atau demi kesejahteraan rakyat. Sebuah alasan yang sama dan
sebangun, sebuah modal besar bagi dapat terselenggaranya dengan mudah dialog
dan atau komunikasi dan sayangnya tidak pernah terjadi.
Lebih dari itu justru yang muncul di permukaan sebuah kecenderungan untuk saling
mempersalahkan alias saling tuduh satu dengan lainnya dalam membahas Omnibus
Law ini.
Sekedar catatan saja, bahwa untuk urusan mencari kesalahan adalah sebuah kerja
yang sangat mudah dilakukan oleh siapa saja, bahkan tidak memerlukan pendidikan
tinggi sama sekali, karena memang pada dasarnya tidak satu orangpun di
permukaan bumi ini yang “sempurna”.
Seiring dengan itu pasti sudah dapat dipahami pula oleh para akademisi dan
kalangan cerdik cendikia, profesor, doktor dan lain sebagainya bahwa mekanisme
mencari kesalahan orang lain adalah sebuah kegiatan yang jauh dari sebuah proses
menyelesaikan persoalan atau problem solving.
Bisa dipahami, di kalangan elit perbedaan pendapat adalah biasa, karena merupakan
bagian dari berdemokrasi. Namun tetap saja pertanyaan yang menggoda adalah,
tujuan kita semua untuk berdemokrasi atau untuk menyejahterakan rakyat.
Tanpa kita sadari sangat berlainan dengan kalangan elit, maka perbedaan
(pendapat) di kalangan akar rumput adalah sesuatu yang dengan mudah digiring
pada persoalan hidup dan mati. Implementasi dan wujud nyata dari hal ini adalah
demo di lapangan untuk menentang Omnibus Law yang rawan bagi terjadinya
kontak fisik dan destruktif anarkis kemudian terjadi.
Sebuah kegiatan yang hasilnya sama sekali menjadi tidak ada hubungannya dengan
soal Omnibus Law itu sendiri. Sebuah kegiatan sia sia dan sungguh menyedihkan.
Itulah gambaran yang terjadi beberapa hari belakangan ini. Sebuah drama yang
menyedihkan, di sebuah negara kesatuan Republik Indonesia.
Kata-kata pada setiap sila sangat sederhana dan sangat mudah untuk dimengerti.
Yang diperlukan hanya kesadaran bagi seluruh rakyatnya bahwa mereka adalah
warga bangsa dari sebuah negara yang berdasarkan Pancasila dengan isi silanya
yang sekali lagi, sangat mudah dimengerti.
Para elit negeri dan kaum terpelajar seyogyanya dapat memberikan contoh dan
keteladanan tentang bagaimana bertingkah laku sebagai warga bangsa dari sebuah
negara yang berdasarkan Pancasila.
Apabila tidak, maka negeri ini akan selalu bergulir dengan dinamika yang tidak jelas
hendak bergerak kemana, berputar statis laksana orang yang tengah berjalan di
tempat.
Dengan kondisi yang seperti ini maka tidak dapat disalahkan bila orang akan
berkesimpulan bahwa Pancasila ternyata tidak lebih dari sebuah atribut atau
aksesori hiasan belaka. Sebuah tantangan besar yang membutuhkan jawaban dari
kita semua.
Catatan kecilnya, beda pendapat bagi kalangan elit adalah hal biasa dalam
berdemokrasi, sementara bagi kalangan akar rumput beda pendapat bisa
diterjemahkan sebagai persoalan hidup dan mati dan dapat dengan mudah
mengantar mereka untuk berdemonstrasi yang destruktif dan anarkis.