Anda di halaman 1dari 4

Domestifikasi Platform Digital

Digitalisasi terjadi di semua negara, tetapi praktis hanya satu negara yang mengendalikannya. Upaya
domestifikasi ranah digital bertujuan untuk mewujudkan kedaulatan negara terhadap ranah digital
nasional.

Oleh Agus Sudibyo, Dosen Akademi Televisi Indonesia, Jakarta

Kompas, 2 Agustus 2022 05:30 WIB

Heryunanto

Kementerian Komunikasi dan Informatika menepati janji untuk memblokir platform digital yang
belum melakukan pendaftaran sebagaimana diatur dalam Permenkominfo No 5 Tahun 2020 tentang
Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat.

Pemblokiran dilakukan mulai pukul 00.00 WIB, 30 Juli 2022, terhadap delapan layanan mesin
pencari, jasa keuangan, dan aplikasi gim: Yahoo, Paypal, Epic Games, Steam, Dota, Counter Strike,
Origin (EA), dan Xandr.com.

Sebuah langkah berani telah diambil. Seperti di negara lain, yang dihadapi pemerintah di sini bukan
hanya arogansi platform digital, melainkan juga reaksi negatif publik. Warganet yang telanjur
dimanjakan layanan digital itu menumpahkan kemarahannya di media sosial.

Apa yang dilakukan pemerintah merupakan upaya domestifikasi platform digital. Sebuah upaya
menjadikan platform digital sebagai entitas yang bisa direngkuh oleh regulasi nasional di bidang
teknologi, etika media, pajak, persaingan usaha, dan lain-lain.

Tujuannya, menjadikan kepentingan nasional sebagai prioritas dalam penyelenggaraan tata kelola
internet. Domestifikasi platform digital merupakan keniscayaan lintas negara, tetapi mesti dilakukan
secara hati-hati agar tak merusak segi-segi transformatif dan deliberatif dari transformasi digital.

Apa yang dilakukan pemerintah merupakan upaya domestifikasi platform digital.

Dualitas ranah digital


Dalam buku berjudul Marx in the Age of Digital Capitalism  (2016), Vincent Mosco mengidentifikasi
dua cara pandang tentang digitalisasi. Cara pandang pertama melihat ranah digital sebagai ruang
publik demokratis, di mana semua orang secara leluasa mengakses informasi dan hiburan,
menyampaikan pendapat, berpartisipasi aktif dalam perbincangan publik.

Dalam ruang publik baru ini, pelibatan negara semestinya bersifat minimal, hanya untuk
mewujudkan akses informasi yang terbuka bagi semua orang dan meminimalkan hambatan yang
mungkin muncul.

Pandangan kedua melihat ranah digital sebagai obyek instrumentalisasi perusahaan platform digital
yang dalam banyak kasus berkelindan dengan kepentingan ekonomi-politik negara adidaya. Ranah
digital adalah ranah komodifikasi, komersialisasi, dan pengawasan (surveilans) perusahaan teknologi
global melalui berbagai layanan digital yang terus mereka tawarkan kepada khalayak luas.

Teknologi komputasi dan berbagai turunannya—platform mesin pencari, medsos, situs e-dagang,
dan lain-lain—tak hanya fenomena kemajuan teknologi yang berdampak positif terhadap kehidupan
masyarakat, tetapi juga fenomena ekonomi-bisnis yang berdampak luas pada prinsip-prinsip
keadilan, transparansi, pemerataan, dan tanggung jawab sosial.

Digitalisasi bukan hanya melahirkan lompatan kemajuan di bidang sains, ekonomi kreatif, dan good
governance, melainkan juga menimbulkan ketimpangan antarkawasan, disrupsi media, polarisasi
sosial, pudarnya kedaulatan fiskal, dan lain-lain.

Pakar media, seperti Mosco, Shoshana Zuboff, Robert McChesney, dan Dan Schiller, menegaskan
pentingnya kita melihat digitalisasi dari perspektif kritis ini. Mereka cenderung skeptis gerak
digitalisasi global akan mendukung pelembagaan demokrasi dan kebebasan, alih-alih justru
melahirkan jenis kapitalisme baru yang sangat eksploitatif.

Pokok soalnya di sini adalah dualitas ranah digital. Di satu sisi ia merupakan arena bagi setiap orang
untuk mengakses informasi, wacana, dan hiburan secara bebas. Ruang digital merupakan ruang
mediasi bagi keanekaragaman nilai, pandangan, dan orientasi di masyarakat, sekaligus struktur
antara bagi perwujudan hak-hak politik warga negara secara komunikatif.
Dengan kelemahan-kelemahannya, medsos adalah ruang tempat bersemainya cakrawala kesadaran,
pemikiran, dan nilai semua pihak yang juga berfungsi menyambungkan realitas penyelenggaraan
kekuasaan dengan dinamika aspirasi di masyarakat. Namun, di sisi lain, ruang digital juga merupakan
sistem ekonomi yang beroperasi berdasarkan matra bisnis.

Pokok soalnya di sini adalah dualitas ranah digital.

Perusahaan digital, seperti Google, Amazon, Facebook, Apple, dan Microsoft, dibangun terutama
bukan karena idealisasi tentang kebebasan dan demokrasi, melainkan karena motif ekonomi.

Rasionalitas instrumental sangat dominan dalam operasi mereka, yakni bagaimana memanfaatkan
pengguna internet sebagai obyek penambangan data, pengawasan digital, periklanan tertarget, dan
penerapan kecerdasan buatan. Tantangannya kemudian adalah bagaimana menyeimbangkan
dualitas ranah digital itu.

Bahwa ranah digital adalah entitas komunikasi sekaligus entitas bisnis. Bahwa teknologi internet
memfasilitasi proses interaksi sosial sekaligus proses komodifikasi. Dualitas ruang digital sebagai
wahana komunikasi warga dan operasionalisasi sistem bisnis, sebagai ruang interaksi sosial sekaligus
ruang komodifikasi, sangat penting ditegaskan sebagai titik tolak menyikapi gerak digitalisasi.

Saat ini, kita sedang menghadapi kecenderungan kuat penempatan ranah digital semata-mata
sebagai wahana komunikasi dan interaksi sosial. Kata sosial di media sosial begitu hegemonik
sehingga banyak orang tak menyadari medsos sebenarnya sarana bagi perusahaan platform
mengeruk keuntungan dari kecanduan masyarakat pada medsos.

Supriyanto

Kecenderungan reduksi ranah digital sebagai semata-mata wahana komunikasi atau interaksi sosial
memiliki sejumlah implikasi. Pertama, berbagai upaya untuk mengatur tata kelola internet ditentang
oleh perusahaan raksasa digital dan negara penyokongnya dengan jargon kebebasan berpendapat
atau kebebasan internet. Para aktivis dan akademisi terpengaruh oleh propaganda ini serta turut
menentang pengaturan internet oleh negara atau lembaga internasional, seperti International
Telecommunications Union.
Kedua, ranah digital seakan dibiarkan tak terjangkau oleh hukum nasional ataupun internasional.
Bukan hanya hukum media; hukum pajak, teknologi, perlindungan konsumen, dan persaingan usaha
juga tak bisa menjangkau ranah digital.

Ketakterjangkauan ini mempersulit upaya mengoreksi dominasi raksasa digital, seperti Amazon,
Google, Facebook, dan Microsoft, serta memitigasi berbagai dampaknya: ketimpangan ekonomi,
penghindaran pajak, gelombang pengangguran akibat alih daya digital, dan kemunduran industri
media nasional.

Ketiga, ketika medsos hanya dilihat sebagai ruang interaksi sosial semata, perusahaan yang
mengoperasikannya seperti memperoleh impunitas. Jika ada hoaks yang merugikan, masalahnya
direduksi sekadar sebagai konflik antara pembuat dan korban hoaks.

Padahal, perusahaan platform medsos memfasilitasi persebaran hoaks dan mengambil keuntungan
darinya. Semakin kontroversial hoaks, semakin populer layanan medsos yang menyebarkannya,
semakin tinggi nilai saham perusahaan penyedia layanan medsos itu, semakin meningkat potensi
pendapatan iklannya.

Digitalisasi terjadi di semua negara, tetapi praktis hanya satu negara yang mengendalikannya.

Dalam kerangka inilah upaya negara untuk mengatur platform digital semestinya diletakkan. Seperti
menjadi kelaziman negara demokrasi, upaya domestifikasi ranah digital bertujuan untuk
mewujudkan kedaulatan negara terhadap ranah digital nasional.

Yang hendak diatasi adalah problem globalisme unilateralisme digital. Digitalisasi terjadi di semua
negara, tetapi praktis hanya satu negara yang mengendalikannya.

Digitalisasi merupakan kenyataan global, tetapi surplus ekonomi yang dihasilkan secara oligopolik
dikuasai dua atau tiga korporasi di satu negara itu.

Pelibatan masyarakat

Namun, sekali lagi, regulasi digitalisasi mesti dilakukan secara bijaksana. Digitalisasi bukan hanya
melahirkan dampak, melainkan juga membawa banyak peluang transformatif. Segi-segi deliberatif-
transformatif digitalisasi mutlak untuk senantiasa dijaga dan regulasi yang lahir mesti fokus
menangani dampak yang merugikan.

Hal yang tak kalah penting, harus dihindari tendensi sekuritisasi dan kriminalisasi kebebasan warga.
Fokus pengaturan semestinya pada hak dan kewajiban perusahaan platform digital, bukan
bagaimana warga menggunakan layanan digital untuk menjalankan berbagai kebutuhan.

Dialog multipihak semestinya menjadi landasan. Regulasi digitalisasi idealnya melibatkan masyarakat
sipil secara bermakna. Masyarakat sipil semestinya juga membuka diri terhadap perlunya regulasi
digitalisasi.

Pembahasan regulasi ini juga perlu melibatkan perusahaan platform digital. Dengan catatan, mereka
memiliki itikad baik untuk menyesuaikan diri dengan sistem regulasi nasional serta tidak secara
diam-diam membenturkan pemerintah dan masyarakat sipil terkait dengan rencana regulasi yang
sedang disiapkan pemerintah.

Editor: SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN

Anda mungkin juga menyukai