Anda di halaman 1dari 9

Paris Call for Trust and Security in Cyberspace 2018

Frinandya Dewi Saputra/1710412067/Isu-Isu Global Kontemporer/AD

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta

frinandya@gmail.com

Abstrak

Isu global yang sedang marak di zaman sekarang salah satunya adalah ancaman
dalam media siber yang semakin berkembang seiring globalisasi. Begitu banyak
informasi yang tersedia dan dapat dengan mudah diakses oleh warganet sehingga
bisa memengaruhi politik global maupun opini publik. Menyikapi hal ini, pada
tanggal 12 November 2018 di UNESCO Paris, Presiden Prancis Emmanuel
Macron menyerukan Paris Call melalui Internet Governance Forum untuk
menyelamatkan media siber dengan memberi ruang lebih banyak kepada
pemerintah meregulasi internet secara intens. Seruan ini telah menerima dukungan
dari 547 pendukung resmi: 65 Negara, 138 organisasi masyarakat internasional
dan sipil, dan 344 entitas sektor swasta. Penelitian ini penting bagi mayarakat
global agar bisa memahami berbagai ancaman media siber dan peran pemerintah
dalam membasminya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang
bertujuan untuk membuktikan bahwa masyarakat global membutuhkan
pertahanan siber yang terintegrasi dan mampu untuk menangkal bermacam-
macam serangan dari luar maupun dalam negeri demi menjaga pertahanan
nasional dan kedaulatan suatu negara. Hipotesis dari penelitian ini yaitu seruan
Paris Call yang mencakup prinsip-prinsip dunia maya untuk melindungi
akesibilitas internet, membatasi senjata siber ofensif maupun defensif, mencegah
penyebaran program online yang berbahaya, dan mengekang pidato kebencian
dapat melindungi warga sipil dari serangan siber serta membendung pengaruh
buruk dari dunia maya. Kesimpulannya, penelitian ini menjabarkan tugas
pemerintah dalam mengelola media siber melalui seruan Paris Call demi
menghindari berbagai konsekuensi buruk yang tidak diinginkan.
Kata Kunci: Media Siber, Globalisasi, Pertahanan Siber, Paris Call, Internet
Governance Forum.
PENDAHULUAN

November 2018 lalu, dunia gempar dengan seruan presiden Perancis,


Emmanuel Macron mengenai regulasi internet secara intens oleh pemerintah
melalui Paris Call 2018. Dilansir Kompas.com, Presiden Macron dari Perancis
dalam forum IGF 2018 yang lalu menyampaikan ketidaksetujuannya dengan self-
regulated pihak swasta terhadap regulasi internet. Bagi Macron sendiri, pihak
yang berwenang dan mempunyai tugas untuk membuat regulasi adalah
pemerintahan demokratis karena memperoleh mandat dari rakyat melalui proses
yang demokratis. Namun, Perancis juga tidak menginginkan peran pemerintah
yang terlalu besar dan menonjol seperti sistem siber di China yang dipandang juga
tidak demokratis. Perancis menyeru kepada dunia melalui seruan Paris Call untuk
menyelamatkan internet dan demokrasi dengan memberi ruang lebih banyak
kepada pemerintah untuk meregulasi internet.
Tentunya seruan ini selain mendapatkan dukungan, ada juga pertentangan
dari berbagai kalangan, utamanya dari kalangan pebisnis. Mereka beralasan,
pemerintah suatu negara dipandang dapat merusak demokrasi itu sendiri dengan
bertindak otoriter dan berlindung pada peraturan hukum dan undang-undang
melalui upaya regulasi tersebut, misalnya dalam operasi-operasi intelejen dengan
mengambil data-data elektronik tanpa izin. Selain itu, pihak kepentingan internet
non-pemerintah lainnya mengkhawatirkan implikasi dari Paris Call ini pada
elemen multi-stakeholders dari internet. Paris Call diyakini dapat menggerogoti
prinsip equal-footing karena negara merasa lebih tinggi atau berada di atas
pemangku kepentingan internet lainnya. Selain itu, pihak pemangku kepentingan
lain seperti LSM dan akademisi mengkhawatirkan proses regulasi oleh lembaga
negara yang biasanya memakan waktu lama sehingga tidak dapat mengejar dan
selalu up-date dengan perkembangan teknologi yang pesat.
Terkait dengan Paris Call tersebut, saat ini ruang siber (Cyberspace)
memainkan peran penting dalam setiap aspek kehidupan kita dan menjadi
tanggung jawab bagi masing – masing penggunanya, dalam kaitannya dengan
peran mereka masing – masing, meningkatkan kepercayaan, keamanan dan
stabilitas di dunia maya (Paris Call, 2018). Pernyataan tersebut memang benar
adanya, hal ini dapat dibuktikan dengan penggunaan ruang siber yang semakin
kesini semakin menjadi – jadi. Seperti dikatakan oleh Jati (2016, hlm. 26) yang
menyatakan bahwa, Teknologi saat ini berperan besar dalam menyempitkan
waktu, ruang, dan jarak sehingga saling terkoneksi satu sama lainnya dalam satu
ruang bernama ruang siber (cyberspace). Dalam ruang tersebut, semua orang
lintas benua dan lintas negara kemudian bisa saling berdiskusi dan berinteraksi
satu sama lainnya. Dengan kata lain, keberadaan internet telah banyak membantu
adanya proses pendalaman demokrasi (democracy deepening) dalam masyarakat
sehingga masyarakat mampu tampil sebagai demos seutuhnya.
Lebih lanjut Jati (2016, hlm. 26) memaparkan bahwa cyberspace ini
memberikan keuntungan berupa deliberasi nilai-nilai demokrasi seperti halnya
kesukarelaan (voluntarism), kesamaan (egalitarian), maupun juga praktik
berjejaring (networking) yang menyebar dan diterima secara meluas dalam
masyarakat. Masyarakat pun saat ini dengan mudah dan cepat dapat membentuk
peer group berdasarkan kesamaan minat maupun isu spesifik tertentu. Kemudian
suara minoritas yang selama ini termarjinalkan dalam praktik majoritarian pada
sistem demokrasi kovensional, mendapatkan tempat untuk mengartikulasikan
kepentingan dan identitasnya. Adanya ruang yang dinamis dan heterogen itulah
yang membuat publik ramai – ramai menjadi netizen secara aktif maupun pasif
dalam cyberspace ini.
Namun dibalik keuntungan yang dihasilkan dari cyberspace ini, tentu ada
beberapa kelemahan atau kekurangan juga kekhawatiran yang dirasakan oleh
masyarakat. Kekhawatiran yang paling kentara adalah banyaknya berta palsu,
ujaran kebencian yang tidak jelas sumbernya dan dapat merusak tatanan
demokrasi masyarakat sendiri. Dikutip dalam laman Kompas. Com, di Indonesia
saat ini demokrasi sedang menghadapi tantangan cukup berat dengan banyaknya
hoaks, fake-news, disinformasi, ujaran kebencian, dan lain-lain yang bertebaran di
internet. Selain itu juga, cyberspace dikhawatirkan dapat menjadi ajang
penyerangan atau pelecehan dari satu atau beberapa orang terhadap seseorang
(cyber bullying). Hal ini senada dengan pendapat Hidajat, dkk (2015) yang
menyatakan bahwa Cyber bullying merupakan tindakan yang dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang terhadap seseorang melalui text, gambar/foto,
atau video yang cenderung merendahkan dan melecehkan. Cyber bullying ini
sendiri merupakan salah satu contoh penyalahgunaan teknologi informasi yang
ada.
Maka berdasarkan pertimbangan itulah mungkin pemerintah Macron
menyerukan untuk adanya upaya regulasi internet secara intens oleh pemerintah
melalui Paris Call 2018. Dari permasalahan tersebut, lantas apakah proses
regulasi tersebut merupakan langkah yang tepat dan sesuai untuk memblokir atau
meminimalisir efek negatif dalam cyberspace ini? Mari kita kaji bersama.

KERANGKA KONSEPTUAL

Kaitannya dengan kehidupan berdemokrasi

Keuntungan

Cyberspace

Ancaman/
kekhawatiran

Solusi yang diberikan

Paris Call 2018

PEMBAHASAN

A. Cyberspace sebagai Perwujudan kehidupan demokratis di Indonesia

Seperti telah dipaparkan oleh penulis sebelumnya, memainkan peran


penting dalam setiap aspek kehidupan kita dan menjadi tanggung jawab bagi
masing – masing penggunanya, dalam kaitannya dengan peran mereka masing –
masing, meningkatkan kepercayaan, keamanan dan stabilitas di dunia maya
(Paris Call, 2018). Sementara itu Jati (2016, hlm. 26) berpendapat bahwa
teknologi saat ini berperan besar dalam menyempitkan waktu, ruang, dan jarak
sehingga saling terkoneksi satu sama lainnya dalam satu ruang bernama ruang
siber (cyberspace). Dalam ruang tersebut, semua orang lintas benua dan lintas
negara kemudian bisa saling berdiskusi dan berinteraksi satu sama lainnya.
Dengan kata lain, keberadaan internet telah banyak membantu adanya proses
pendalaman demokrasi (democracy deepening) dalam masyarakat sehingga
masyarakat mampu tampil sebagai demos seutuhnya.
Selanjutnya Jati (2016, hlm. 26) menambahkan bahwa terdapat dua tujuan
penting dalam relasi antara cyberspace dengan demokrasi yakni: (1) aktivisme;
dan (2) preservasi. Makna aktivisme merujuk pada pengertian terbentuknya
gerakan politik sedangkan makna preservasi yakni lebih dilihat bahwa cyberspace
sebagai ruang demokrasi. Tren aktivisme digital memang menghangat seiring
dengan munculnya berbagai macam gerakan politik semisal Zapatista, Occupy,
N20 Seattle, Arab Springs, maupun juga kasus Relawan dalam Pemilu Presiden
Indonesia tahun 2014 silam.
Terkait dengan hal tersebut penggunaan media siber belum digunakan
seoptimal mungkin oleh masyarakat, seperti yang dikatakan oleh Andriana (2013)
yang berpendapat bahwa dengan perkembangan demokrasi deliberatif, yaitu
terbukanya peluang bagi masyarakat untuk secara kontinu berkomunikasi dengan
pemimpinnya, membutuhkan ruang publik yang bebas dari tekanan politik dan
penguasa pasar media. Ruang Publik di media massa konvensional yang telah
mengarah pada ketiadaan keberagamaan kepemilikan dan keberagaman substansi
informasi menjadi titik balik hadirnya ruang publik pada bentuk media lain, yaitu
media siber. Pemanfaatan media siber oleh lembaga dan aktor politik, dan
khususnya oleh masyarakat di Indonesia masih belum maksimal, meskipun media
siber memberikan peluang menjanjikan sebagai saluran komunikasi yang
“inklusif, egaliter dan bebas tekanan”.
B. Keuntungan dari Cyberspace

Van Dijk (2006, hlm. 7) mengatakan perkembangan teknologi komunikasi


menghadirkan sebuah perangkat teknologi baru dalam dunia komunikasi.
Teknologi ini mampu menggabungkan tiga aspek dalam satu medium, yaitu
telekomunikasi, data komunikasi dan komunikasi massa. La Rose dan Strautbhaar
(2002) menambahkan, Satu karakteristik penting sebagai efek munculnya media
baru ini adalah media interaktif, yang mana khalayak dapat dimungkinkan untuk
melakukan umpan balik (feedback) secara langsung terhadap informasi yang
disajikan. Teknologi baru ini dalam beberapa literatur akademik memiliki
penamaan yang beragam, seperti media online, digital media, media virtual, e-
media, network media, media baru, media siber dan media web.

Sementara itu Primasari (2016, hlm. 2) mendeskripsikan beberapa dampak


positif dari media siber ini, diantaranya memperluas pengetahuan, menambah
pengalaman dalam berinteraksi dengan orang-orang di seluruh dunia, dan
memudahkan pekerjaan. Selain itu, berbagai informasi positif yang tersedia di
media siber juga bisa membuka peluang dan lapangan pekerjaan baru serta
memunculkan ide-ide kreatif yang dapat menambah keahlian seseorang. Hal ini
tampak dari bermunculannya blog-blog individual yang memuat berbagai
informasi menarik seperti kuliner, tempat wisata, religi, dan sebagainya.

C. Ancaman dan Kekhawatiran dari Cyberspace

Primasari (2016, hlm. 2) mengatakan bahwa kehadiran media siber ini


telah mengubah pola komunikasi massa. Pola komunikasi massa yang ada selama
ini terdiri dari one-to-many atau satu komunikator kepada banyak khalayak seperti
pada media televisi dan radio. Namun, dalam media siber pola komunikasi yang
ada adalah many-to many di mana pesan yang dipertukarkan bukan hanya berasal
dari satu komunikator melainkan dari banyak komunikator dan ditujukan untuk
khalayak luas. Di era media siber ini, setiap orang bisa berkomunikasi dengan
siapa saja dan dimana saja tanpa mengenal batas-batas wilayah, bangsa, suku,
agama, ras dan gender.

Perubahan pola komunikasi ini memberi pengaruh yang kuat juga terhadap
karakteristik pesan yang dipertukarkan atau dibagikan di media siber. Dalam
media siber, pesan-pesan yang dipertukarkan seringkali tidak memiliki kejelasan
dari segi rujukan/ referensi. Bahkan, seringkali pesan yang dipertukarkan tidak
sesuai dengan fakta yang terjadi dan akhirnya menjadi provokasi ataupun alat
propaganda untuk pihak-pihak tertentu yang berkepentingan. Ini berarti bahwa,
berbagai pesan, baik benar maupun tidak benar bebas dipertukarkan di dalam
media siber. Pesan/ informasi yang tidak bertanggungjawab ini merupakan salah
satu dampak negatif dari media siber.

Dampak negatif lainnya menurut Primasari (2016, hlm. 2) dari media siber
diantaranya bermunculannya kejahatan dan tindak kriminal yang menggunakan
media siber khususnya media sosial. Aksi kriminal melalui media siber ini dikenal
dengan istilah cybercrime yang bisa berbentuk pencurian, penistaan/ pencemaran
nama baik, pembunuhan karakter hingga prostitusi dan pelecehan seksual.
Dampak negatif lainnya adalah cyber bullying yang merupakan tindakan yang
dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap seseorang melalui text,
gambar/foto, atau video yang cenderung merendahkan dan melecehkan. Cyber
bullying ini sendiri merupakan salah satu contoh penyalahgunaan teknologi
informasi yang ada (Hidajat, dkk, 2015).

D. Paris Call 2018 sebagai Jawaban atas kekhawatiran akan dampak


negatif Cyberspace
Paris Call 2018 yang diserukan oleh presiden Perancis Emmanuel Macron
tampaknya memang merupakan suatu solusi untuk mengatasi berbagai
kekhawatiran yang dirasakan akan dampak negatif dari penggunaan media siber
ini. Dalam Paris Call (2018) dikatakan bahwa pemerintah melalui piagam ini
tetap menjunjung tinggi nilai – nilai kebebasan pada piagam PBB secara
keseluruhan, hukum humaniter internasional, hukum kebiasaan internasional yang
berlaku untuk penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi oeh negara.
Maka dengan demikian dapat dikatakan bahwa dengan adanya seruan ini bukan
berarti hak kita untuk menggunakan media siber menjadi terbatas mutlak, tapi
hanya terjadi pembatasan pada konten – konten yang mengandung hoaks, ujaran
kebencian, ujaran provokasi, fake news, dan sebagainya.

KESIMPULAN
Berdasarkan paparan di atas jelas bahwa keberadaan media siber dengan
segala dampak positif maupun negatifnya dewasa kini telah menjadi bagian yang
penting dalam kehidupan manusia. Namun dengan adanya media tersebut bukan
berarti kita dapat menggunakannya tanpa batas dengan cara berlindung pada hak
kebebasan. Penulis tetap merasa perlu adanya pembatasan dalam hal penggunaan
media ini terutama pembatasan pada konten – konten yang mengandung hoaks,
ujaran kebencian, ujaran provokasi, fake news, dan sebagainya. Sehingga kita
sebagai masyarakat yang beradab dapat menggunakannya dengan bijaksana.

DAFTAR PUSTAKA
Andriana, Nina. (2013). Media Siber Sebagai Alternatif Jembatan Komunikasi
antara Rakyat dan Pemimpinnya. Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia. Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2
Desember 2013.

Hidajat, Monica., Adam, Angry Ronald., dkk. (2015). Dampak Media Sosial
dalam Cyber Bullying. BINUS University. ComTech Vol. 6 No. 1 Maret
2015: 72-81.

Internet Governance Forum. (2018). Paris Call For Trust and Security in
Cyberspace. Tersedia pada
https://www.diplomatie.gouv.fr/IMG/pdf/paris_call_cyber_cle443433-1.pdf.
Diunduh pada 10 Juni 2019.

Jati, Wasisto Raharjo. (2016). Cyberpsace, Internet dan Ruang Publik Baru:
Aktivisme Online Politik Kelas Menengah Indonesia. Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta. Jurnal Pemikiran Sosiologi Vol. 3 No. 1, Januari 2016.

Kompas. (2018). Paris Call, Demokrasi di Internet, dan Tantangan untuk


Indonesia. Tersedia pada
https://nasional.kompas.com/read/2018/12/28/17315151/paris-call-
demokrasi-di-internet-dan-tantangan-untuk-indonesia?page=all. [Online]
diakses pada 11 Juni 2019.

LaRose, Robert and Straubhaar, Joseph. (2002). Media Now, Communication


Media in the Information Age. Belmont: Wadsworth.
Primasari, Winda. (2016). Pemaknaan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Terhadap
Media Siber. Universitas Islam “45” Bekasi. urnal Makna, Volume 1, Nomor
2, September 2016.

Van Dijk, Jan. (2006). The Network Society: Social Aspects of New Media.
London: Sage.

Anda mungkin juga menyukai