Anda di halaman 1dari 7

Transformasi dan Habitus Baru Elonomi

Oleh:
Epifianus Faot

Pengantar
Internet merupakan satu dari segelintir hal yang dibangun manusia tapi
tidak benar-benar kita pahami. Tak terwujud dan sekaligus terus menerus
bermutasi, internet berkembang makin besar dan makin kompleks tiap detik.
Ini merupakan sumber kebaikan luar biasa sekaligus benih kejahatan
mengerikan, dan kita baru menyaksikan dampak mula-mulanya di panggung
dunia. Kemampuan baru untuk berekspresi dan menggerakkan informasi
dengan leluasa pun melahirkan lanskap virtual yang kita kenal hari ini.
Melalui internet, kita bisa ada di mana saja, kapan saja dan dari mana
saja. Kita hidup di abad-21 dengan beragam tawaran yang memikat karena
kecanggihan teknologi semakin menjamin kemudahan, koneksi, akses, dan
efektivitas secara ekonomi. Manusia yang pada dasarnya menyukai hal-hal
pragmatis tentu menyambut antusias hal-hal seperti ini. Masalah terbesarnya
adalah ketergantungan pada teknologi dan rentan pada ekosistem teknologi
dengan berbagai macam pesonanya yang genit sekaligus memikat.
Pada bulan Agustus 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis jumlah
pengangguran di Indonesia mencapai angka 8,4 juta. Angka ini paralel dengan
5,86% dari total angkatan kerja nasional. Pengangguran paling banyak berasal
dari kelompok usia 20-24 tahun 2,54 juta jiwa. Angka ini paralel dengan
30,12% dari total pengangguran nasional. Secara keseluruhan total penduduk
usia kerja di Indonesia mencapai 209,42 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, yang
termasuk angkatan kerja mencapai 143,72 juta jiwa.
Ledakan konektivitas akan menghasilkan peningkatan produktivitas,
kesehatan, pendidikan, dan berjuta kesempatan lainnya. Dan semua orang
merasakannya, mulai dari pengguna paling elit hingga jenjang terbawah
piramida ekonomi. Konektivitas memang tidak menghapus kesenjangan
penghasilan, tapi bisa meringankan beberapa penyebab yang sulit teratasi,
seperti minimnya kesempatan belajar dan peluang ekonomi. Jadi, kita patut
menghargai inovasi dalam kondisi masing-masing, karena semua pasti
diuntungkan oleh konektivitas kendati tidak setara. Sebagai penikmat
digitalisasi, kita memang perlu seimbang melihat fenomena. Kita perlu
memaksimalkan kelebihan-kelebihannya, lalu bergegas mengidetifikasi dan
menghindarkan diri dari kelemahannya. Dalam konteks ini, membuka diri
terhadap pengaruh positif – produktif dari digitalisasi adalah suatu
keniscayaan. Di era internet of things saat ini, toh manusia modern tidak
mungkin menghindar dari gerak digitalisasi. Semua hal dalam hidup kita
terkoneksi dengan imternet dan diperantarai perangkat-perangkat digital,
termasuk di dalamnya ketika kita ingin menceburkan diri dalam aktivitas
elonomi. Tidak ada lagi perbedaan hierarkis antara yang ahli dan awam.

Pamor Ekonomi Digital


Era digital merupakan suatu masa di mana sebagian besar masyarakat
pada era tersebut menggunakan sistem digital dalam kehidupan sehari-harinya.
Salah satunya dengan melakukan aktivitas ekonomi. Kemajuan digital dengan
cepat telah mengubah cara orang melakukan kegiatan ekonomi. Model
ekonomi berbasis platform memunculkan status dan relasi yang berpusat pada
tiga pihak yakni operator platform, pekerja dan klien. Relasi ini menantang
konsep kerja layak yang pada dasarnya dibangun atas dasar model ekonomi
konvensional. Konsep ekonomi digital pertama kali dibicarakan panjang lebar
dalam literatur tentang masyarakat informasi (information society theory).
Teori ini bicara tentang perubahan mendasar masyarakat kapitalis dari
masyarakat penghasil barang menjadi masyarakat penghasil informasi.
Ekonomi digital merupakan tahap lanjut dari masyarakat informasi, di
mana proses produksi, distribusi dan konsumsi difasilitasi oleh teknologi baru
yang kerap diidentikan dengan Revolusi Industri 4.0. Proses-proses ini
melahirkan profesi baru yang terkait dengan sektor informasi, sektor
pengetahuan dan sektor kreatif. Profesi-profesi baru tersebut segera
berkelindan dengan profesi konvensional. Sehingga keduanya bersama-sama
membentuk ekosistem ekonomi digital.
Salah satu ciri pokok ekonomi digital adalah tumbuhnya platform
daring. Ini adalah piranti lunak berbentuk website atau aplikasi telepon pintar
yang berperan sebagai tempat bertemunya para pembeli dan penjual, produsen
dan konsumen, rantai penawaran dan permintaan. Oleh karena fungsi ini,
platform daring kerap disebut pasar digital (marketplace). Sebagai ruang
daring, platform ini menjawab dua persoalan mendasar dalam sistem pasar
yakni akses informasi dan akses pasar.
Indonesia merupakan salah satu negara yang getol memeluk erat
Revolusi Industri 4.0. Motivasi Indonesia berasal dari potensi pertumbuhan
ekonomi dari adopsi teknologi ini. Ramalan yang dibuat oleh Google dan
Temasek bahwa ekonomi digital Indonesia akan bernilai 100 miliar dolar
Amerika pada tahun 2025 (Goenadi, 2019). Mengingat, Indonesia akan
mengalami puncak bonus demografi pada tahun 2040. Sehingga wajarlah
pemerintah maupun swasta sangat berharap pada keajaiban teknologi baru
yang menjadi motor penggerak ekonomi.
Tentu saja pemerintah berkomitmen pada roadmap “Making Indonesia
4.0” yang diluncurkan pada bulan April tahun 2018 silam. Indonesia
mengikuti tren negara-negara Asia yang mengumumkan ambisi mereka
beralih ke ekonomi digital demi menarik investasi. Negara di kawasan Asia
pertama kali melakukan itu adalah Thailand dengan mengeluarkan kebijakan
“Thailand 4.0” pada tahun 2016. Di tahun 2017, Filipina kemudian mengikuti
jejak Thailand dengan menerbitkan dokumen “Inclusive Innovation Industrial
Strategy”. Dua tahun berselang, Malaysia mencanangkan kebijakan yang
berjudul “National Industty 4.0 Policy Framework”. Dan, yang paling
terdepan dari negara-negara kawasan ini adalah Singapura denga menerbitkan
“Singapore Smart Industry Readiness Index”

Sisi Lain
Platform digital merupakan suatu retorika untuk mempropagandakan
imparsialitas, netralitas dan sikap nonintervensi perusahaan-perusahaan.
Dengan mengidentifikasikan diri sebagai platform mereka memposisikan diri
secara aman di hadapan para pengguna, rekanan, pengiklan dan pembuat
kebijakan. Aman dalam arti bebas dari tanggung jawab hukum atau moral atas
penyebaran konten dan percakapan sosial yang mereka fasilitasi. Seperti yang
dijelaskan oleh Tarleton Gillespie dalam Governance of by Platforms (2016),
istilah platform menyeruak dengan suatu ambiguitas. Di satu sisi platform
digital seperti Google dan Facebook (kini Meta) memposisikan diri sebagai
penyelenggara dan kurator ruang publik. Platform digital menata, menyeleksi
dan memberi prioritas atas konten pengguna, serta menentukan tipe
percakapan yang niscaya viral atau direkomendasikan untuk diikuti.Tanpa
disadari, platform digital membentuk gelembung-gelembung isolatif yang
mengurung pengguna untuk terus berasyik ria dalam kerumunan orang-orang
dengan kesamaan ideologis, identitas, orientasi ekonomi dan gaya hidup.
Pada tahun 2017, Bank Pembangunan Asia merilis laporan bahwa 56%
pekerjaan di sektor formal di Indonesia terancam digantikan oleh mesin. Ini
paralel dngan angka 27 juta orang di tahun 2018. Sektor yang paling terancam
adalah ritel 85%, sepatu, garmen dan tekstil 64%, otomotif 60% dam sektor
elektronik 63%. Laporan serupa juga mengemukakan, bahwa perempuan lebih
rentan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) ketimbang laki-laki. Ini
persis karena perempuan merupakan jumlah terbanyak pekerja di sektor-sektor
itu.
Semua angka di atas masih bersifat perkiraan, namun ketika kita
berbicara mengenai disrupsi, yang paling banyak dibicarakan adalah soal
kehilangan atau penciptaan lapangan kerja. Salah satu persoalan penting yang
seringkali mengaburkan adalah kualitas pekerjaan baru dari ekonomi digital.
Menurut Tadjoeddin dalam Jurnal of the Asia Pasific Economi (2016),
Indonesia memiliki masalah serius dengan pengangguran dan pengangguran
terselubung dan perempuan, upah yang adil, keamanan dan perlindungn sosial
bagi keluarga, dan kebebasan pekerja untuk menyampaikan kekhawatirannya.
Ini merupakan tantangan serius yang dihadapi oleh para pekerja.
Menanggapi hal itu, J. Berg dkk, dalam tulisannya “Digital Labour
Platforms and the Future of Work: Towards Decent Work in the Online
World” (2018) merumuskan kriteria kerja layak digital mengenai pilar hak
pekerja dan dialog sosial. Pertama, penciptaan kerja. Industri digital terbukti
membuka banyak peluang ekonomi. Kedua, hak pekerja. Kerja digital
menjanjikan pendapatan yang menarik. Ketiga, perlindungan sosial.
Tantangan terbesar dari kerja digital adalah sifatnya yang sementara. Kerja
freelance biasanya berbasis proyek dan jangka pendek. Cara kerja seperti ini
luput dari jaminan sosial yang berbasis relasi antara majikan dan pekerja.
Momok lain yang cukup menakutkan dari kerja digital adalah sepi pesanan,
penghasilan tidak pasti, dan tidak ada jaminan hari tua. Keempat, dialog
sosial. Individualisasi kerja yang mengintensifkan kompetisi sekaligus
individualisasi risiko kerja.

Solusi
Jakob Oetama dalam sebuah wawancara dengan Majalah Prisma tahun
2017 menyebutkan bahwa industri digital bukan semata-mata sebagai pesaing
dari kelanggengan media mainstream, kehadirannya dapat disinergikan ke
dalam beberapa dimensi. Transformasi digital merupakan satu dari enam isu
yang diarusutamakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menegah
Nasional (RPJMN) 2020–2024.
Keberhasilan transformasi digital di sektor swasta akan sangat
dipengaruhi transformasi digital yang berlangsung di dalam pemerintahan
yang akan berdampak pada perbaikan perluasan ekosistem ekonomi digital.
Oleh karena itu, perluasan layanan elektronik mutlak diperlukan untuk
mendorong digitalisasi usahan mikro, kecil dan menegah. Akan sangat sulit
membayankan bagaimana UMKM didorong untuk go digital jika sarana
prasarana belum menjangkau seluruh wilayah.
Indonesia masih menyisakan pekerjaan rumah yang cukup besar, karena
internet belum sepenuhnya menjangkau seluruh masyarakat. Ekonomi digital
yang inklusif tidak secara otomatis dicapai hanya dengan menyediakan
jaringan internet yang terjangkau. Peran pemerintah dalam ekosistem ekonomi
digital penting melalui kebijakan-kebijakan yang mendorong digitalisasi dan
berorirentasi pada penurunan ketimpangan.
Berkaitan dengan kompetisi dan inovasi usaha, PP No. 80 Tahun 2019
juga berupaya mengatur persaingan usaha yang sehat. PP tersebut setidaknya
mengindikasikan; Pertama, Perlakuan setara antara pengusaha daring dan
luring, termasuk soal perpajakan. Kedua, Perlakuan pajak yang setara
terhadap pengusaha luar negeri. Ketiga, Perlindungan bagi industri dalam
negeri. Keempat, pengembangan usaha bagi pengusaha dalam negeri. Perihal
perpajakan, pada Desember 2018, Menteri Keuangan mengeluarkan PMK No.
210/PMK.010/2018. Namun, pada Maret 2019, aturan tersebut secara resmi
ditarik karena dianggap masih perlu dikoordinasikan dan disinkronkan dengan
kementerian dan lembaga lain.
Ekonomi digital menormalkan kekaburan ikatan kerja dan
memindahkan beban untuk memenuhi berbagai jaminan kerja yang diatur
dalam UU No. 13 tahun 2013 tentang ketenagakerjaan dan UU No. 40 tahun
2004 tentang sistem jaminan sosial nasional dari pemberi kerja (pemilik
platform) dan negara kepada individu pekerja digital. Semua jaminan itu
sepenuhnya bergantung oada keinginan pekerja. Jaminan yang diberikan oleh
platform digital hanya diberikan dalam lingkup platform saja. Semisal,
keamanan transaksi dalam marketplace hanya dijamin jika memenuhi aturan
platform.
Roadmap "Making Indonesia 4.0" bertujuan mengambil manfaat
sebesar-besarnya dari transformasi digital sambil mengurangi dampak
negatifnya bagi ekonomi hingga 2020. Strategi utamanya adalah merevitalisasi
kembali industri maufaktur, meningkatkan produktivitas kerja, serta membuka
sekitar 10 juta lapangan kerja tambahan yang akan menjadi landasan
pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Adopsi teknologi dengan fokus di lima sektor industri manufaktur
diantaranya: makanan dan minuman, tekstil, dan pakaian jadi, otomotif, kimia
dan elektronik. Perubahan yang akan dilakukan pemerintah meliputi 10
strategi prioritas yang mencakup banyak hal mulai dari perbaikan
infrastruktur, peningkatan mutu SDM, perubahan regulasi, penambahan
investasi, penciptaan lapangan kerja.

Referensi
Goenadi, N (2019). How to Grow Healthy, Sustainable Indonesia 4.0.
Jakarta Pots, 7 September: 5
Kementrian Perindustrian dan Perdagangan (2018). Making Indonesia 4.0.
Jakarta: Kemenperindag
Lim, M. (2012). Clicks, Cabs, Coffee Houses: Social Media and
Oppositional Movements in Egypt (2004–2011). Journal of
Communication 62 (2): 231–248.
Schmidt, Eric & Cohen, Jared (2014). The New Digital Age. Cakrawala Baru
Negara, Bisnis dan Hidup Kita. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia (KPG)
Sudibyo, Agus (2019). Jagat Digital Pembebasan dan Penguasaan. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Sudibyo, Agus (2022). Dialektika Digital Kolaborasi dan Kompetisi Antara
Media Massa dan Platform Digital. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia (KPG)

Anda mungkin juga menyukai