Anda di halaman 1dari 4

Senja Kala Konservasi dan Pariwisata di TN Komodo

Warga lokal di sekitar kawasan TN Komodo hingga publik internasional terus menggemakan suara
kritis terkait pembangunan TN Komodo. Pemerintah perlu berkoordinasi lintas ”stakeholder” dengan
melibatkan warga setempat.

Oleh VENANSIUS HARYANTO

Kompas, 3 Agustus 2022 07:00 WIB

Pernyataan Presiden Joko Widodo saat meresmikan fasilitas wisata di Pulau Rinca, 21 Juli 2022,
memberi titik terang atas seluruh kesimpangsiuran informasi soal kebijakan pemerintah terkait
konservasi dan pariwisata di Taman Nasional Komodo atau TNK.

Presiden menyampaikan dua informasi penting terkait perubahan besar pengelolaan TNK ke depan,
yaitu desain Pulau Rinca dan perairan sekitarnya sebagai destinasi wisata massal, dan Pulau
Komodo, Pulau Padar, serta kawasan perairan sekitarnya sebagai destinasi wisata eksklusif dengan
tarif yang mahal.

Sebelumnya, melalui Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), tiket wisata ke Pulau Komodo,
Pulau Padar, dan perairan sekitarnya ditetapkan sebesar Rp 3,75 juta dan diberlakukan pada 1
Agustus 2022.

Menariknya, bertolak belakang dengan cetak biru ini, warga lokal hingga publik internasional terus
menggemakan suara kritis, termasuk saat unjuk rasa (18/7/2022) di Labuan Bajo, tiga hari menjelang
kunjungan Presiden. Tak hanya bertentangan dengan keberadaan TNK sebagai kawasan konservasi,
di mata publik kebijakan ini juga bakal mengganggu citra pariwisata TNK yang selama ini dibangun
kuat di atas prinsip pariwisata komunitas berbasis konservasi.

Peringatan ancaman overtourism yang tengah jadi perhatian global menjadi sangat urgen bagi
konteks TNK sebagai kawasan konservasi unik.

Ancaman wisata massal

Sebagai kompensasi atas pembatasan kunjungan yang sangat signifikan ke Pulau Komodo dan Pulau
Padar, pemerintah, sebagaimana diumumkan Presiden, mendesain Pulau Rinca sebagai destinasi
wisata massal dengan tarif lama (Rp 200.000-Rp 400.000). Dalam cara pikir pemerintah, mengingat
begitu populernya wisata Komodo, target mendatangkan 1,5 juta wisatawan tetap bisa dipenuhi
dengan penataan kawasan wisata Pulau Rinca.

Kendati demikian, desain ini perlu dipertimbangkan secara serius dari sisi konservasi. Peringatan
ancaman overtourism yang tengah menjadi perhatian global menjadi sangat urgen bagi konteks TNK
sebagai kawasan konservasi unik.

Penting bagi kita merujuk kembali pada dua awasan terkini dari lembaga internasional terkait masa
depan konservasi di TNK. Pertama, pada November 2021, lembaga konservasi internasional IUCN
telah menaikkan status kepunahan komodo dari vulnerable menjadi endangered sebagai dampak
dari perubahan iklim.
KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS)

Siluet sejumlah patung komodo di Pulau Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara
Timur, Selasa (4/10/2011).

Kedua, dalam sidang tentang perlindungan Warisan Budaya dan Alam di Fuzhou, China, 16-31 Juli
2021, Komite Warisan Dunia UNESCO memperingatkan potensi dampak pariwisata massal terhadap
konservasi di TNK di tengah target tinggi pemerintah yang ingin mendatangkan 500.000 kunjungan
dalam setahun pascakrisis Covid-19.

Ilusi wisata eksklusif

Pengelolaan Pulau Komodo, Pulau Padar, dan perairan sekitarnya menjadi destinasi wisata eksklusif,
dengan tarif mahal yang dikelola perusahaan negara dan swasta, juga patut mempertimbangkan sisi
konservasi dan keadilan ekonomi pariwisata.

Paket wisata eksklusif yang baru saja diumumkan Pemprov NTT ini akan dikelola PT Flobamora
(BUMD Pemprov NTT) melalui skema izin usaha penyediaan wisata alam (IUPWA) dan perusahaan-
perusahaan swasta melalui paket izin usaha penyediaan sarana wisata alam (IUPSWA).

Pertama, alih-alih atas nama konservasi, kebijakan ini justru menjadi petaka bagi konservasi karena
memperbolehkan perusahaan-perusahaan swasta membangun infrastruktur wisata dalam skala luas
di ruang hidup komodo. Terkini ada tiga perusahaan yang telah mengantongi izin membangun
sarana wisata, seperti resor eksklusif, vila, dan restoran.

Hampir semua wilayah Padar bagian utara dikuasai PT Komodo Wildlife Ecotourism (274,13 hektar).
Perusahaan yang sama juga menguasai lahan seluas 151,94 hektar di Pulau Komodo. PT Synergindo
Niagatama mengantongi izin seluas 17 hektar di Pulau Tatawa, pulau kecil di perairan Komodo.
Sementara di Pulau Rinca ada PT Sagara Komodo Lestari yang mengantongi konsesi 22,1 hektar.
Sebaliknya, penguasaan jaringan bisnis pariwisata dari hulu hingga hilir justru hanya akan
menguntungkan perusahaan- perusahaan pengelola.

Kedua, kebijakan ini juga mengancam keberlangsungan usaha wisata warga lokal yang dominan
berbasis usaha kecil dan menengah. Komodo dan Padar, tak terbantahkan, merupakan ikon
pariwisata Flores, NTT. Sensasi wisata darat, terutama marine tourism, menjadi jaminan meroketnya
kunjungan wisatawan ke Labuan Bajo belakangan ini.

Dengan demikian, pembatasan kunjungan yang berefek pada menurunnya minat wisatawan
berkunjung ke Labuan Bajo akan sangat merugikan para pelaku wisata lokal. Sebaliknya, penguasaan
jaringan bisnis pariwisata dari hulu hingga hilir justru hanya akan menguntungkan perusahaan-
perusahaan pengelola.

Secara khusus, kita perlu memikirkan secara serius dampak dari kebijakan ini bagi penduduk
Kampung Komodo. Jika kebijakan ini tetap diterapkan, warga Komodo menjadi pihak paling
dirugikan.

Sebelum TNK terbentuk tahun 1981, warga Komodo hidup dari bertani dan berburu. Pembentukan
TNK untuk tujuan konservasi membuat mereka kehilangan pengakuan agraria atas seluruh tanah
warisan leluhur mereka. Kini, satu-satunya penyangga ekonomi mereka ialah sektor pariwisata
dengan menjadi penjual suvenir. Kebijakan ini tentu menghilangkan sumber pendapatan mereka.
Tanah yang mereka gunakan sebagai lokasi penjualan suvenir di area Loh Liang saat ini telah
diserahkan ke PT Komodo Wildlife Ecotourism.

Alih-alih tergesa-gesa mengeksekusi kebijakan ini, pemerintah perlu duduk bersama, berkoordinasi
lintas stakeholder untuk membicarakan keseluruhan rancang bangun pariwisata di TNK. Pelibatan
warga yang sehari-hari berada di lapangan sangat penting. Sejatinya, pariwisata tak boleh
mengorbankan kelestarian lingkungan dan harus mendatangkan kesejahteraan bagi warga
setempat.

Venansius Haryanto,  Peneliti Sunspirit for Justice and Peace-Labuan Bajo.

Editor: SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN

Anda mungkin juga menyukai