Anda di halaman 1dari 4

Selain memberikan dampak positif seperti Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan lapangan

kerja, kegiatan penambangan pun memberikan dampak negatif seperti kerusakan


lingkungan, perubahan budaya masyarakat dan kesehatan.
Tahap AMDAL dilakukan agar menjadi panduan dan jaminan pihak perusahaan
pertambangan timah di laut dapat memberikan dampak negatif seminimal mungkin dan
dampak positif semaksimal mungkin.
Ironisnya, perusahaan tambang yang telah memiliki dokumen AMDAL terkesan dapat
bebas berbuat suka-suka. Semua menjadi seakan legal dan halal. Padahal jelas
dalam dokumen AMDAL, penambangan timah laut memiliki beberapa catatan sebelum
menambang.
Sebagai contoh, Operasi KK/KI/KIP/BWD dan Mitra seminimal mungkin mengakibatkan
dampak penting negatif terhadap : Daerah Asuh, Habitat Khusus, Terumbu Karang,
Daerah Penangkapan Ikan (Fishing Ground), dan Lokasi Wisata Bahari (Dokumen
Rencana pengelolaan Lingkungan (RKL) PT TIMAH Tbk, 2009, halaman III-34).
Namun hal ini tak pernah menjadi pedoman. Karenanya masyarakat pun harus
memahami AMDAL dan pemerintah pun tidak boleh terkesan lepas tanggung jawab
setelah perusahaan memiliki dokumen AMDAL. Karena pemerintahlah yang menjadi
eksekutor utama yang mengawasi, memantau dan menilai pengelolaan lingkungan yang
dilakukan oleh perusahaan untuk mengurangi dampak negatif yang diakibatkan oleh
penambangan timah laut.
Ironisnya, pemerintah sendiri seperti tak punya gigi untuk memantau dan menilai. Jika
punya gigi, mana data monitoring ekosistem pesisir (spot terumbu karang, lamun dan
mangrove) yang diambil datanya setiap 6 bulan untuk kemudian menjadi dasar dalam
mengambil kebijakan apakah operasi pertambangan tidak berdampak besar atau kecil?
Padahal panduan dalam menilai kondisi ekosistem pesisir sudah jelas tersaji. Kriteria
baku kerusakan ekosistem Terumbu Karang; Kepmen Lingkungan Hidup (LH)
No.04/2001, Kepmen No.200/2004 tentang Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman
Penentuan Status Padang Lamun dan Kepmen LH No.201/2004 tentang Kriteria Baku
dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove.
Pertanyaannya sekarang adakah titik permanen yang dimonitoring oleh pemerintah
setiap 6 bulan sekali sebagai tanggung jawab mereka yang telah mengeluarkan izin
penambangan untuk pedoman pemantauan lingkungan?
Melihat dampak dari penambangan laut bukan hanya dari sampel air laut. Yang paling
penting dan jelas sangat terpengaruh (sensitif) adalah ekosistem pesisir utamanya
terumbu karang dari dampak buangan tailing. Karang akan mudah mati jika tertutup
lumpur dari buangan tailing. Dari tutupan lumpurnya saja ini dapat dinilai.
Hal yang utama menjadi fokus perhatian dari aktivitas penambangan timah laut yang
paling mudah untuk dilihat adalah terhadap kondisi ekosistem terumbu karang. Terumbu
karang menjadi indikator penting karena merupakan ekosistem laut vital yang terkena
dampak paling besar akibat penambangan timah lepas pantai.
Sebagai contoh untuk penambangan timah di laut, tailing buangan dari aktivitas
penambangan timah di laut dan di darat (dari DAS yang tercemar buangan tailing

penambangan timah di darat) dapat menutup polip karang dan membunuh karang
secara massif.
Hasil pengamatan yang telah dilakukan oleh Tim Eksplorasi Terumbu Karang Universitas
Bangka Belitung pada 2007 2013 (dirilis Bangkapos, 15 Oktober 2013) dimana hampir
semuanya dilakukan dengan metode Line Intercept Transect (LIT) yang merupakan
metode standar pengukuran kondisi ekosistem terumbu karang yang berpedoman pada
Hill, J. & C. Wilkinson (2004) menunjukkan hasil dari 41 lokasi spot ekosistem terumbu
karang di Pulau Bangka hanya 10 lokasi yang kondisi ekosistem terumbu karang dalam
kondisi baik dan tidak terpengaruh dari aktivitas penambangan timah.
Ke-10 lokasi itu yaitu 1 lokasi di Kabupaten Bangka, 6 lokasi di Kabupaten Bangka
Tengah, 3 lokasi di Kabupaten Bangka Selatan dan tak satupun lokasi yang kondisi
ekosistem terumbu karangnya baik di Kabupaten Bangka Barat.
Lokasi titik terumbu karang yang telah dilakukan pengecekan antara lain 11 lokasi di
Kabupaten Bangka, 11 lokasi di Kabupaten Bangka Barat, 9 lokasi di Kabupaten Bangka
Tengah dan 10 lokasi di Kabupaten Bangka Selatan (Gambar 1).
Ironisnya, Lokasi yang kondisi ekosistem terumbu karang baik ternyata hampir
semuanya merupakan terumbu karang di pulau-pulau kecil yang letaknya berjauhan dari
pulau utama (Pulau Bangka).
Bahkan untuk Pulau Dapur dan Pulau Punai Kabupaten Bangka Selatan dan Pulau
Panjang, Ketawai dan Semujur Kabupaten Bangka Tengah kondisi terumbu karang di
sekitar pulau tersebut telah banyak yang rusak karena tertutup sedimen (siltation)
akibat tailing dari buangan aktivitas penambangan timah.
Dan terumbu karang yang mati akibat siltation sangat sulit untuk melakukan pemulihan
(recovery). Hal ini karena karang yang mati akibat siltation akan berubah tekstur
substratnya dan kemudian akan ditumbuhi oleh makroalga (rumput laut).
Jika hal ini terjadi maka secara ekologis, struktur komunitas yang awalnya adalah
ekosistem terumbu karang telah berganti menjadi struktur komunitas makroalga.
Berdasarkan hasil monitoring yang dilakukan, hingga saat ini belum ada spot karang
yang sebelumnya kondisinya baik kemudian tertutup lumpur akibat penambangan yang
pulih kembali kondisi karangnya seperti semula.
Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang paling sensitive terhadap
perubahan kualitas air dibandingkan ekosistem peisisir lain seperti lamun (seagrass) dan
mangrove. Implementasi dari KEPMEN ESDM No 7 Tahun 2014 (pasal 14 point a)
menyebutkan kesehatan karang pada ekosistem terumbu karang menjadi indikator
biologis terhadap kondisi kualitas perairan.
Karang menyediakan bahan dasar dan struktural untuk perlindungan pantai yang
menjadi fungsi utama terumbu. Terumbu karang merupakan pemecah gelombang alami
dan menjaga daratan dari terpaan gelombang dan abrasi. Selain itu terumbu karang
merupakan salah satu penghasil pasir pantai. (pasal 14 point b)
Karang menyediakan kompleksitas struktural (yang biasanya berhubungan dengan
keanekaragaman hayati) dan perlindungan bagi ikan dan avertebrata. Terumbu karang
merupakan daerah tempat tinggal, tempat berlindung, tempat berkembang biak
(Spawning ground), tempat pembesaran (Nursery ground), dan mencari makanan

(Feeding ground) bagi ribuan biota laut yang tinggal di dalam dan di sekitarnya. (pasal
14 point c)
Terumbu karang tempat bergantung hidup ribuan nelayan beserta anggota keluarganya
dan penduduk yang hidup di pesisir. Indikasi terumbu karang yang sehat adalah dengan
melimpahnya ikan di perairan tersebut sehingga menjadi tambatan hidup nelayannelayan yang menangkap ikan disekitar perairannya.
Hasil penelitian menyatakan, Dari 1 km2 terumbu karang yang sehat, dapat diperoleh 20
ton ikan yang cukup untuk memberi makan 1.200 orang di wilayah pesisir setiap tahun.
(Burke et al., 2002). Ada ribuan kepala keluarga yang berprofesi menjadi nelayan di
Bangka Belitung. Ikan hasil tangkapan nelayan menjadi bahan konsumsi utama
masyarakat Bangka Belitung yang bergizi tinggi selain juga diolah menjadi produk
olahan perikanan dan di ekspor ke luar daerah dan luar negeri.
Turis sangat tertarik dengan karang hidup dan menganggap meraka adalah perwujudan
dari terumbu yang sehat. Perkembangan sektor pariwisata bahari dapat menjadi
tumpuan hidup dan pondasi perekonomian Bangka Belitung masa depan. Letak geografis
yang tidak jauh dari pusat ibukota (dari DKI Jakarta sekitar 50 menit perjalanan udara)
menjadikan Bangka Belitung sebagai destinasi wisata masa depan seiring semakin jenuh
dan padatnya kondisi di Bali. Pantai dengan nilai estetika yang menawan.
Bila ditambah dengan potensi inner-beauty pariwisata bahari (ekosistem terumbu
karang) maka tidak mustahil Bangka Belitung dalam waktu dekat dapat maju seperti
Hawai, Karibia, Kepulauan Maladewa, Phuket Thailand, Manado (Bunaken), Wakatobi,
Raja Ampat dan banyak lagi daerah lain yang maju daerahnya dari wisata bahari jika
potensi ini dikelola dengan bijak.
Khusus untuk di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebagai contoh kasus, dua sektor
unggulan yang ingin dikembangkan oleh pemerintah daerah selain pertambangan timah
adalah perikanan dan pariwisata bahari. Maka ekosistem terumbu karang adalah tulang
punggung kedua sektor ini.
Ironisnya kondisi ekosistem terumbu karang di Pulau Bangka menjadi rusak akibat
penambangan timah. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam prinsip pengelolaan dampak
tidak dapat dipenuhi. Ada tiga metode dalam pengelolaan dampak; (1) mencegah
dampak (avoidance), (2) minimalisasi dampak (minimization) dan (3) pengendalian
dan/atau kompensasi dampak (mitigation and/or compensasion).
Harus kita sadari, pertambangan laut saat ini belum dapat mencegah, meminimalisir
hingga mengendalikan dampak. Buktinya limbah tailing langsung dibuang ke laut.
Sehingga kompensasilah yang bisa diharapkan. Namun kompensasi yang bagaimana?
Apakah Rp 250.000,-/2 bulan seperti yang pernah diterima oleh nelayan Matras dan
Kualo pada Tahun 2010 saat ada belasan KIP yang beroperasi disekitar perairan mereka?
Tentu saja nilai besarannya harus dihitung dengan seksama sehingga masyarakat tidak
akan merasa dirugikan. Jika memang perusahaan tidak sanggup membayar kompensasi
yang telah ditetapkan, maka jangan menambang dulu. Tunggu sampai harga timah
sesuai untuk menutupi biaya-biaya termasuk kompensasi tadi.melalui AMDAL yang
berlandaskan tiga prinsip utama, yaitu mencegah (avoidance), meminimalisasi
(minimization) dan mengendalikan (mitigation and/or compensation).

Karenanya kegiatan rehabilitasi terumbu karang saat operasi dan pasca operasi
penambangan timah harus dilakukan dengan konsep reklamasi laut yang aplikatif
dengan kondisi Bangka Belitung. Pemerintah pusat dan daerah perlu merancang dan
menyiapkan regulasi yang tegas dan jelas dalam membuat konsep reklamasi laut untuk
mengembalikan kondisi lingkungan semirip mungkin dengan kondisi awal lingkungan
sebelum dilakukan penambangan timah yang dilakukan oleh perusahaan yang
bersangkutan.
Hal ini sesuai dengan amanah dari UU No.4/2009 tentang Pertambangan dan Minerba,
UU No.32/2009 tentang PPLH dan UU No.1/2014 tentang Pengelolaan Pesisir dan PulauPulau Kecil.

Anda mungkin juga menyukai