Anda di halaman 1dari 14

Penambangan Pasir Laut

Pertimbangan Ekologi dan Abrasi/Erosi Pantai

Mulia Purba

BELAKANGAN ini, perbincangan tentang penambangan dan ekspor pasir laut menjadi
hangat kembali. Pemicunya adalah siaran pers dari Menteri Kelautan dan Perikanan
Rokhmin Dahuri yang menginformasikan bahwa ada permintaan negara tetangga Malaysia
untuk mengimpor pasir laut dari Indonesia.

TENTUNYA, realisasi permintaan ini akan tergantung hasil evaluasi dari TP4L (Tim
Pengendali dan Pengawas Pengusahaan Pasir Laut) yang diketuai oleh Menteri Kelautan dan
Perikanan sendiri. Hari-hari berikutnya, diberitakan ketidaksetujuan berbagai pihak atas
keinginan negara tetangga ini dengan berbagai alasan ditinjau dari sudut pandang yang
beragam pula.

Namun, pada intinya dapat dikatakan, penolakan dibukanya kembali ekspor pasir laut ini
terfokus pada kerusakan lingkungan dan tidak adanya manfaat langsung yang dirasakan
masyarakat setempat terhadap kegiatan yang ada di sekitar mereka.

Tulisan ini mencoba menelaah berbagai pertimbangan ekologi dan kerusakan lingkungan
yang diakibatkan kegiatan penambangan pasir laut.

Abrasi/erosi pantai

Salah satu fungsi pasir laut yang terdapat di dasar perairan pesisir adalah meredam energi
gelombang sebelum mengempas ke pantai. Bila dasar perairan pesisir dikeruk (ditambang)
untuk mengambil pasir lautnya, dasar perairan akan menjadi lebih dalam ataupun lereng
dasar perairannya menjadi lebih curam.

Akibatnya adalah tingkat energi gelombang yang mengempas di pantai akan menjadi lebih
tinggi karena peredaman oleh dasar perairan telah berkurang. Hal ini berdampak pada
makin intensifnya proses abrasi/erosi pantai.

Peran dasar perairan sebagai peredam energi gelombang dapat kita lihat, misalnya,
hantaman gelombang yang lebih ganas di pantai barat Sumatera dengan dasar perairan
yang lebih curam dibandingkan dengan pantai timur di mana dasar perairan pesisirnya lebih
landai sehingga sebagian besar energi gelombang telah diredam oleh dasar perairan yang
landai dan dangkal.

Persyaratan yang harus dipertimbangkan adalah pada kedalaman berapa penambangan


pasir dapat dilakukan sehingga fungsi dasar perairan untuk meredam energi gelombang
dapat dipertahankan. Dengan kata lain, proses hantaman gelombang di pantai tidak
meningkat akibat adanya penambangan pasir laut di perairan pesisir pantai tersebut.
Pada buku-buku oseanografi fisik maupun coastal engineering terdapat metode untuk
menghitung kedalaman di mana energi gelombang mulai diredam. Faktor penentu antara
lain kecepatan dan arah utama tiupan angin yang menentukan karakter gelombang yang
merambat ke arah pantai, batimetri dan lereng dasar perairan.

Setelah ditemukan kedalaman aman dari segi peredaman gelombang, maka masih harus
dipertimbangkan adanya longsoran dasar perairan akibat penambangan pasir.

Dengan mempertimbangkan lereng yang aman terhadap longsoran, maka dapat ditetapkan
kedalaman yang aman untuk kegiatan penambangan pasir laut. Tentunya kedalaman aman
ini semakin menjauhi pantai.

Habitat organisme bentos

Seperti diketahui, salah satu kekayaan ekosistem pesisir terletak pada lapisan yang tidak
terlalu tebal yang terdapat di permukaan dasar perairan pesisir. Lapisan tipis ini dapat
berupa hasil dekomposisi bahan organik seperti dedaunan dari berbagai jenis vegetasi
pantai yang dengan bercampur sedimen halus sampai kasar.

Habitat ini merupakan tempat di mana jasad renik berperan melakukan proses dekomposisi
terhadap bahan organik sehingga menjadi makan alami bagi larva, juvenil sebelum mereka
tumbuh dewasa dan dapat berkelana ke habitat lain sesuai dengan karakter biologisnya.

Oleh karena itu, lapisan tipis ini sangat kritis dalam kehidupan makhluk kecil dan lemah
tersebut sehingga tempat ini disebut nursery ground (tempat pengasuhan).

Bila masa larva dan juvenil ini gagal, dapat dipastikan rekrutmen akan gagal dan akibatnya
populasi yang menjadi dewasa juga mengalami kegagalan, yang berarti hasil tangkapan akan
anjlok. Selain itu, berbagai organisme bentos yang hidup dan mencari makan di habitat
tersebut juga akan hilang.

Lokasi-lokasi demikian tentunya harus dilindungi dari kegiatan penambangan pasir, karena
selain akan mematikan jasad renik, larva, juvenil serta organisme bentos lainnya juga
merusak habitat yang kritis bagi rantai kehidupan organisme laut tersebut.

Kerusakan habitat ini sangat jauh jangkauannya karena untuk memulihkan ke kondisi yang
terbentuk selama bertahun-tahun sebelum terjadinya penambangan tidak dapat dipulihkan
dalam waktu yang singkat.

Perlindungan pesisir

Dengan mempertimbangkan faktor-faktor di atas, maka perlu dibuat garis khayal yang
sejajar garis pantai sehingga terbentuk suatu zona penyangga perlindungan perairan pesisir
untuk melindungi perairan pesisir dan pantai dari kerusakan akibat kegiatan penambangan
pasir laut. Ke dalam zona ini tercakup daerah yang lebih sempit di sekitar pantai seperti
inter-tidal zone, coastal wetland maupun jenis ekosistem lainnya yang tergolong daerah
vital dan kritis karena merupakan daerah pemijahan dan nursery ground berbagai jenis
organisme laut.

Zona penyangga perlindungan perairan difokuskan pada wilayah yang belum


mempunyai pengaturan khusus. Lokasi seperti Taman Nasional, Taman Wisata
Alam, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Kawasan Perlindungan Mamalia Laut,
Instalasi Kabel, dan Pipa Bawah Laut. Tidak perlu lagi karena sudah ada
pengaturan khusus.

Hal yang krusial adalah penentuan lebar zona penyangga perlindungan


perairan pesisir ini. Pertimbangan pertama yakni kedalaman yang aman
dari segi peredaman energi gelombang dan longsoran dasar perairan dapat
dihitung bila data karakter gelombang dan lereng dasar perairan pesisir
tersedia. Bila data angin tersedia, karakter gelombang dapat dihitung.

Pertimbangan kedua, apakah ke sebelah laut lepas dari zona aman


peredaman gelombang dan longsoran dasar perairan masih merupakan habitat
organisme bentos, larva, juvenil dan jasad renik dan seberapa jauh
jaraknya ke arah laut lepas? Pada daerah yang landai, habitat organisme
bentos ini dapat mencakup zona yang lebar dari garis pantai.

Dengan demikian penentuan zona ini tidak dapat digeneralisasi, misalnya,


dengan menyebutkan penambangan pasir laut tidak dapat dilaksanakan pada
jarak tertentu dari garis pantai atau pada kedalaman kurang dari sekian
meter. Akan tetapi, penentuannya harus mempertimbangkan kedua faktor
yang telah diuraikan di atas, sehingga jarak ataupun kedalaman perairan
yang aman akan bervariasi dari satu lokasi ke lokasi lainnya tergantung
dari kondisi perairan pesisir yang bersangkutan.

Kasus Provinsi Riau

Dalam suatu survei di perairan Riau Kepulauan, penulis menyaksikan


abrasi/erosi pada berbagai lokasi di pantai karena adanya penambangan
pasir tanpa mempertimbangkan zona penyangga perlindungan pantai, di mana
akibat penambangan yang terlalu dekat ke pantai, abrasi/erosi meningkat
akibat hantaman gelombang. Selain itu para nelayan juga mengeluh karena
hasil tangkapan menurun karena rusaknya habitat berbagai jenis organisme
laut.

Bila diperhatikan dengan saksama, perairan Riau, terutama perairan Riau


Kepulauan yang ditempati oleh rangkaian kepulauan dan pulau-pulau dengan
dasar perairan yang landai dan garis pantai yang umumnya ditumbuhi
mangrove, maka secara umum dapat dikatakan bahwa penambangan pasir laut
seharusnya tidak dilakukan di antara kepulauan dan pulau-pulau yang ada
serta antara pulau-pulau tersebut dengan pantai Sumatera. Lebar
selat-selat tersebut relatif sempit sehingga penambangan pasir akan
mengakibatkan longsoran pada dasar perairan sehingga lereng dasar
perairan dapat menjadi curam ke arah pantai.

Selain itu, dengan mempertimbangkan ekosistem mangrove dan tanaman


pesisir lainnya yang tumbuh pada hampir sebagian besar wilayah pesisir,
dasar perairan yang landai, banyaknya sungai yang bermuara ke perairan
ini dari Pulau Sumatera yang membawa sedimen lumpur dan pasir, maka
sebagian besar dasar perairan berpotensi sebagai habitat organisme
bentos, larva, juvenil yang merupakan kekayaan hayati yang harus
dilindungi. Kalau diteliti dengan cermat mungkin ada beberapa
kantong-kantong yang aman pada selat yang agak lebar, tentunya setelah
dilakukan studi yang cermat.

Selain pertimbangan ekologis yang saksama masih banyak pertimbangan


lainnya, misalnya, lembaga yang dapat menjamin dan mengawasi secara
ketat bahwa penambangan dilakukan pada daerah yang diizinkan dan tidak
merambah ke daerah yang dilarang, konsistensi kebijakan pemerintah yang
telah
menghentikan ekspor pasir laut ke negara tetangga Singapura, sebelum
kegiatan penambangan dan ekspor pasir laut ini dibuka kembali.

Ir Mulia Purba, MS,PhD Dosen Oseanografi Fisik Dep. Ilmu dan Teknologi
Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Bogor
Mengelola Tambang Pasir Laut yang Integratif dan Solutif [Opini]

Mengelola Tambang Pasir Laut yang Integratif dan Solutif

Oleh Siti Nuryati


Wilayah pesisir dan lautan merupakan salah satu wilayah yang dianugerahi berbagai
sumberdaya alam, baik sumberdaya alam dapat pulih (seperti sumberdaya perikanan) maupun
sumberdaya alam tak dapat pulih (seperti bahan tambang). Selama lebih dari satu dasawarsa
terakhir, wilayah pesisir dan lautan telah menjadi perhatian khusus, tak hanya karena
peranannya sebagai wilayah yang memiliki potensi sumberdaya alam, tetapi sekaligus pula
karena semakin menurunnya daya dukung wilayah ini akibat tingkat eksploitasi yang
semakin meningkat dan tidak terkendali. Wilayah pesisir dan lautan telah menjadi wilayah
yang memiliki dimensi yang sangat kompleks, baik dimensi politis, ekonomi, sosial maupun
ekologis.
Salah satu sumberdaya alam yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan adalah pasir laut.
Pasir laut adalah salah satu sumberdaya alam yang bersifat tak dapat pulih (non renewable
resource) yang telah lama dimanfaatkan dan akhir-akhir ini menjadi isu penting baik pada
skala nasional maupun daerah. Selama bertahun-tahun sejak masa Orde Baru hingga kini
pasir laut ditambang secara besar-besaran dengan kapal-kapal pengeruk, baik secara legal
maupun illegal. Pasir itu dijual ke Singapura dan digunakan oleh negara tersebut untuk
mereklamasi pantainya sehingga negara pulau tersebut bertambah luas.
Ada sebuah dilema yang harus dihadapi dalam konteks penambangan pasir laut ini. Di satu
sisi penambangan pasir laut merupakan potensi ekonomi yang cukup tinggi dimana ada
kekuatan pasar (demand) pasir laut yang tinggi sehingga aktivitas ini dipandang sebagai
sumber devisa bagi daerah. Hal ini menjadi isu strategis dalam era otonomi daerah. Studi
yang dilakukan di Serang, Banten (2005) menyebutkan bahwa dampak pelarangan ekstraksi
pasir laut menyebabkan kerugian ekonomi sekitar Rp 78 milyar yang meliputi pula hilangnya
rente ekonomi (pajak) yang semestinya diperoleh sebesar Rp 2,1 milyar. Jumlah kerugian
total yang dialami akibat pelarangan penambangan pasir laut diperkirakan sebesar Rp 156
milyar/tahun.
Namun di sisi lain penambangan pasir laut telah menimbulkan berbagai dampak, baik
dampak lingkungan, dampak ekonomi, maupun dampak sosial. Kegiatan penambangan,
pengerukan, pengangkutan, dan perdagangan pasir laut yang berlangsung tidak terkendali
telah menyebabkan kerusakan ekosistem pesisir dan laut. Penambangan pasir laut
mengakibatkan perairan laut menjadi keruh sehingga ikan-ikan bermigrasi dan akhirnya
nelayan mengalami penurunan hasil tangkapan. Kerusakan tambak udang di beberapa
wilayah penambangan pasir laut pun telah mengakibatkan penurunan pendapatan petani
tambak pada tingkat yang sangat rendah. Selain itu terjadinya kerusakan sarana produksi
nelayan (alat-alat tengkap) yang semua itu bermuara pada menurunnya kesejahteraan
nelayan.
Penambangan pasir laut juga telah memunculkan dampak sosial berupa terjadinya konflik
baik antara masyarakat dengan pemda, masyarakat dengan pengusaha penambangan pasir
laut maupun konflik internal dalam masyarakat itu sendiri. Konflik antara masyarakat dengan
pemerintah berujung pada demonstrasi yang menuntut dihentikannya penambangan pasir
laut. Konflik internal yang terjadi di masyarakat ditandai dengan adanya ketidakpercayaan
antar anggota masyarakat. Masyarakat tersegmentasi menjadi kelompok yang pro dan
kelompok yang kontra terhadap penambangan pasir laut. Konflik sebenarnya juga terjadi
antara pemda dan perusahaan penambang. Perusahaan harus membayar pajak sesuai dengan
data laporan yang didasari transported volume, sedangkan perusahaan menerima harga pasir
laut berdasarkan produksi yang didasari oleh pengukuran topografi di darat. Kondisi ini jelas
rawan manipulasi.
Implikasi Kebijakan
Menghadapi dilema tersebut, maka implikasi kebijakan yang muncul semestinya adalah
bagaimana penambangan pasir laut memberikan manfaat optimal serta terjadi alokasi manfaat
yg dirasakan lebih adil diantara stakeholder terutama masyarakat nelayan serta
meminimalkan berbagai dampak, baik lingkungan, ekonomi maupun sosial.
Bila dilihat nilai pajak pasir laut yang baru mencapai 1,17% dari harga pasir laut, suatu nilai
yang relatif kecil, maka upaya yang dapat dilakukan adalah meningkatkan pajak pasir laut ini.
Tentu saja hal ini harus diiringi dengan instrumen-instrumen yang bersifat mengikat seperti
penetapan Perda misalnya. Agar keuntungan ini terdistribusi merata dan relatif lebih adil
antara stakeholder maka manfaat yang diterima pemda dapat dialokasikan kembali untuk
program-program pemberdayaan ekonomi masyarakat terutama masyarakat nelayan. Selain
meningkatkan nilai pajak, upaya lain yang dapat ditempuh adalah menerapkan user fee. User
fee merupakan instrumen ekonomi yang lebih baik karena penerapannya selain
memperhitungkan faktor ekonomi juga memperhatikan resource yang ada. Dengan user fee,
pemanfaat sumber daya (dalam hal ini pasir laut) akan membayar atas apa dan berapa yang
mereka manfaatkan. Terkait dengan dampak lingkungan yang ditimbulkan dari penambangan
pasir laut, maka upaya yang perlu dilakukan adalah melakukan pengendalian yang tepat
untuk meminimalkan dampak-dampak yang ada. Pengendalian ini dilaksanakan mulai tahap
perencanaan hingga pengawasan/monitoring.
Selama ini, minimnya sistem pengendalian telah mengakibatkan tidak diketahuinya apa yang
sebenarnya terjadi dalam operasi penambangan pasir laut di lapangan. Untuk itu
pengendalian penting dilakukan, baik pada aspek eksploitasi, biofisik maupun lingkungan.
Pengendalian eksploitasi harus dilakukan mulai dari tahap pra penambangan, tahap
penambangan, dan pasca penambangan sesuai dengan Kepmen Kelautan dan Perikanan No
01/K/P4L/VIII/2002. Pelaksanaan pengendalian dan pengawasan pengusahaan pasir laut
meliputi pengendalian administratif, operasional pengawasan serta pengamanan. Tahap pra
penambangan meliputi persiapan, perijinan, studi eksplorasi, studi kelayakan dan AMDAL..
Pada tahap penambangan, pengendalian dilakukan terhadap penyediaan kapal keruk,
pengendalian terhadap karyawan, jumlah kapal pengeruk yang beroperasi, jenis dan kapasitas
kapal keruk, kelayakan dan perijinan berlayar dari kapal keruk, pergerakan kapal keruk,
metode pengerukan, jalur pengerukan, volume waktu dan lama pengerukan, limbah yang
dihasilkan serta transportasi ke tempat pendaratan pasir. Pasca penambangan, dilakukan
pemantauan pada area yang telah ditambang.
Mengingat dampak lingkungan yang ditimbulkan dari penambangan pasir laut yang
berdimensi jangka panjang maka diperlukan suatu pembatasan eksploitasi baik pembatasan
produksi pasir laut maupun pembatasan hak (limited term right) pemanfaatan pasir laut,
sehingga pihak pemanfaat pasir laut tidak terus menerus melakukan ekstraksi jangka panjang.
Selain itu diperlukan sistem kuota untuk membatasi eksploitasi pasir laut yang berlebihan.
Hal ini diperlukan agar pihak pemanfaat pasir laut melakukan aktivitas penambangan secara
terkendali.
Pengendalian biofisik dilakukan untuk mencegah atau meminimalkan dampak fisik dari
penambangan pasir laut yaitu abrasi. Upaya dilakukan dengan membuat tanggul-tanggul
pemecah ombak, penanaman kembali tanaman bakau untuk meredam energi gelombang
sebelum menghempas ke pantai, juga dapat dilakukan dengan membuat terumbu karang
buatan.
Dampak lingkungan yang ditimbulkan dari penambangan pasir laut merupakan isu terbesar
dalam pengelolaan pasir laut sehingga pengendalian dampak ini memberikan porsi yang
besar. Upaya pengendalian dilakukan dengan pengaturan lokasi penambangan, pengaturan
aktivitas penambangan, pengaturan kualitas air serta pengawasan. Hal ini perlu dilakukan
karena seringkali penambangan dilakukan pada daerah-daerah tangkapan nelayan (fishing
ground), sementara sebagian besar nelayan lokal hanya memiliki daya jelajah maksimal 2
mil, sehingga perlu diatur zona-zona penambangan yang tidak berbenturan dengan daerah-
daerah tangkapan nelayan. Selain itu zona penambangan harus memperhatikan keberadaan
pulau-pulau kecil karena merupakan daerah potensial untuk pengembangan perikanan
maupun wisata bahari.
Semua upaya pengendalian harus diiringi dengan pengawasan yang intensif dan sungguh-
sungguh, yang memiliki kekuatan hukum serta ditunjang oleh sumberdaya manusia yang
berintegritas dan memiliki kemampuan teknis yang memadai. Pengelolaan pasir laut juga
perlu diintegrasikan dengan pengelolaan wilayah pesisir secara lebih luas yakni dengan
mengintegrasikan kebijakan penambangan pasir laut dengan kegiatan industri dan perikanan.
Diperlukan upaya alternatif pemyelesaian untuk mengatasi konflik yg terjadi disertai dengan
program-program community development yang lebih intensif dan terarah. Secara lebih luas
pengelolaan pasir laut harus terintegrasi dengan pengelolaan wilayah pesisir sehingga
diperlukan koordinasi dan integrasi kebijakan antara pemerintah kabupaten, propinsi dan
pemerintah pusat. *

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Ekologi Manusia IPB


http://www.kompas.com/kompas-cetak/0401/03/inspirasi/778768.htm
Sabtu, 03 Januari 2004

Penambangan Pasir dan Ekologi Laut

Penambangan pasir laut telah berkembang menjadi polemik nasional. Dampaknya


seperti nelayan yang kehilangan mata pencarian hingga tenggelamnya sebuah
pulau telah berkembang menjadi bahan pembicaraan di masyarakat.

Secara obyektif pasir laut memang bisa disebut salah satu sumber daya
kelautan yang berkembang menjadi komoditas ekonomi. Namun, penambangan
pasir laut berdampak pada pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Kegiatan
penambangan pasir laut apabila tidak dilakukan di daerah yang tepat dan
dengan cara yang tepat akan berdampak pada lingkungan, baik fisik, biologi,
maupun sosial.

Penambangan pasir laut yang sebagian besar dilakukan di daerah nearshore


dapat mengganggu stabilitas pantai yang selama ini dipahami sebagai
penyebab tenggelamnya sebuah pulau. Bagaimana sebenarnya akibat penambangan
pasir laut terhadap dinamika pantai?

Pantai dikatakan stabil jika untuk waktu lama hampir tak mengalami
perubahan bentuk. Kestabilan pantai ditentukan oleh berbagai faktor
eksternal dan internal. Faktor eksternal meliputi arus, gelombang, angin,
maupun pasang surut, sedangkan faktor internal menyangkut karakteristik,
tipe sedimen, serta lapisan dasar di mana sedimen itu berada.

Penggalian pasir pantai akan mengakibatkan dampak berupa perubahan


batimetri, pola arus, pola gelombang, dan erosi pantai. Apabila dasar
perairan digali untuk penambangan pasir, maka permukaan dasar perairan akan
semakin dalam. Dampaknya, lereng pantai menjadi lebih terjal sehingga
menimbulkan ketidakstabilan lereng pantai.

Aktivitas penambangan pasir laut mengakibatkan perubahan pola arus, baik


arus yang diakibatkan oleh pasang surut maupun oleh gelombang, perubahan
energi gelombang, dan perubahan pola sebaran sedimen pantai. Perubahan pola
faktor-faktor eksternal ini dapat berdampak pada pemacuan intensitas erosi.

Mengingat pendalaman dasar perairan depan garis pantai akan


menurunkan/menghilangkan efek peredaman gelombang, energi gelombang yang
menggempur pantai menjadi semakin besar. Selain menurunkan efek peredaman,
pendalaman dasar perairan di sekitar pantai juga menimbulkan perubahan pola
arah gelombang yang lebih dikenal sebagai refraksi.
Di daerah laut dalam, gelombang merambat tidak dipengaruhi dasar laut. Akan
tetapi, di daerah laut transisi dan dangkal penjalaran perambatan gelombang
sangatlah dipengaruhi oleh dasar laut. Refraksi mempunyai pengaruh besar
terhadap distribusi energi gelombang di sepanjang pantai.

Perubahan arah gelombang akibat refraksi akan menghasilkan konvergensi


(konsentrasi) dan divergensi (penyebaran) energi gelombang. Pada titik
terjadinya konsentrasi gelombang, intensitas erosi akan meningkat. Pantai
dikatakan stabil apabila massa sedimen yang ditranspor oleh arus sejajar
pantai dalam jumlah konstan sepanjang pantai.

Penambangan pasir menimbulkan kawah yang bisa mengganggu keseimbangan


transpor sedimen sejajar pantai. Kawah menyebabkan terperangkapnya sedimen
sejajar pantai sehingga jumlah massa sedimen berkurang. Untuk menutupi
defisit ini, gelombang dan arus sejajar pantai berusaha mengerosi dinding
pantai sebelah hilir (downdrift) kawah.

Tipologi pantai

Dampak yang ditimbulkan penambangan pasir laut terhadap perubahan garis


pantai pastilah berbeda, bergantung pada tipe dan material pembentuk
pantai. Secara umum, berdasarkan material penyusunnya, pantai dapat
dibedakan sebagai berikut.

Pertama, pantai berbatu. Biasanya dicirikan dengan dinding pantai terjal


yang langsung berhubungan dengan laut. Pada daerah yang terlindung,
keberadaan tebing pantai ini terdapat agak jauh dari pantai, dengan
karakteristik pantai berpasir. Jenis pantai tebing dapat ditemukan dalam
dua tipe, yaitu tebing karang dengan material lepas yang gampang hancur
atau runtuh dan tebing batuan induk yang umumnya keras dan tidak mudah hancur.

Bentuk tebing pantai umumnya dipengaruhi keadaan alam, yaitu ombak, arus
pantai, angin, atau yang diakibatkan secara tidak langsung oleh kegiatan
manusia di wilayah pantai. Pantai berbatu biasanya tidak mudah tererosi
akibat adanya arus atau gempuran gelombang. Erosi di daerah pantai berbatu
lebih banyak oleh pelapukan batuan atau proses geologi lain dalam waktu
yang relatif lama. Erosi pada material masif (seperti batu atau karang) ini
lebih dikenal dengan nama abrasi.

Kedua, p antai berpasir dan pantai berlumpur. Pantai tipe ini terbentuk
oleh proses di laut akibat erosi gelombang, pengendapan sedimen, dan
material organik. Pantai berpasir umumnya banyak dijumpai pada pantai di
Indonesia. Material penyusun pantai tersebut biasanya terdiri atas pasir
bercampur batu yang berasal dari daratan yang terbawa aliran sungai atau
berasal dari daratan di belakang pantai tersebut. Di samping berasal dari
daratan, material penyusun pantai ini juga dapat berasal dari berbagai
jenis biota laut yang ada di daerah pantai itu sendiri.

Pantai berlumpur yang banyak dijumpai di muara sungai yang ditumbuhi oleh
hutan mangrove, energi gelombang terdisipasi oleh hutan mangrove dan
lumpur. Pantai tipe ini banyak ditemui di pantai utara Pulau Jawa, pantai
timur Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Pantai tipe ini relatif mudah
berubah bentuk, mengalami deformasi, dan tererosi.

Proses pantai

Perubahan bentuk atau lebih dikenal sebagai morfologi pantai merupakan


hasil rangkaian proses pantai. Proses pantai yang sangat dominan terjadi di
Indonesia adalah erosi pantai. Proses pantai mencakup sirkulasi arus dan
dinamika gelombang serta interaksinya dengan sedimen.

Arus yang terjadi di pantai berasal dari arus laut global, arus akibat
angin, arus akibat pasang surut, ataupun arus akibat gelombang. Arus
global, arus akibat angin, dan arus pasang surut disebut shelf current atau
coastal current. Sementara itu, arus yang disebabkan gelombang dibedakan
menjadi littoral current dan orbital current. Arus litoral terjadi bila
arah gelombang membentuk sudut dengan garis pantai.

Arus orbital gelombang adalah arus yang disebabkan oleh kecepatan partikel
yang arahnya maju mundur searah dengan arah gelombang. Besar arus orbital
bergantung pada tinggi dan periode gelombang. Panjang daerah pengaruh arus
orbital ini sebanding dengan panjang gelombang.

Arus gelombang biasanya terjadi pada daerah antara gelombang pecah dan
garis pantai (surf-zone). Kedua arus inilah yang berperan dominan dalam
proses erosi pantai. Mekanisme gelombang di surf zone dimulai dengan
terjadinya gelombang pecah pada kedalaman kira-kira 1,25 kali tinggi gelombang.

Gelombang pecah ini membentuk bore yang merayap ke pantai dan naik ke swash
zone, kemudian kembali ke laut. Swash zone hanya sewaktu-waktu terendam
oleh air, dan dalam perjalanannya kembali ke laut, arus akan membawa
material sedimen. Energi eksternal ini bekerja secara kontinu sepanjang
pantai. Pada bagian yang relatif tidak memiliki daya tahan yang tinggi,
relatif lebih cepat terkikis dan sedimen akan terangkut bersama arus balik
ke laut (backwash). Terjadilah keseimbangan baru yang akan mempengaruhi
bentuk garis pantai.

Dikaitkan dengan kegiatan penambangan pasir laut, yang diduga dapat


menurunkan faktor peredaman energi eksternal, maka hilangnya terumbu
karang, padang lamun, hutan mangrove, atau pendalaman dasar perairan di
sekitar pantai berdampak pada meningkatnya intensitas energi eksternal yang
bekerja pada pantai.

Namun, kecepatan proses pengikisan pada intensitas energi yang sama pada
pantai masih bergantung pada material pembentuk pantai. Pantai yang
tersusun oleh materi yang tidak kompak (pasir dan lumpur) akan terkikis
lebih cepat dibanding pantai yang tersusun materi yang kompak (batu).

Pengikisan pantai merupakan salah satu penyebab terjadinya perubahan garis


pantai. Apabila proses ini berlangsung secara terus-menerus tanpa ada
faktor penghambat, maka proses pengikisan akan berlanjut pada daratan pulau
tersebut. Skala waktu, luas daratan, besaran energi eksternal, dan daya
tahan material penyusun daratan pulau akan menentukan apakah daratan
tersebut akan hilang atau tenggelam.

Upaya mitigasi

Kembali pada apakah penambangan pasir laut akan berdampak tenggelamnya


sebuah pulau, ini perlu dijawab secara hati-hati. Secara tidak langsung dan
pada skala waktu yang lama, kemungkinan ini akan terjadi. Namun di sisi
lain, dengan mengenal sifat dasar dinamika pantai dan faktor eksternal yang
dapat mempengaruhi perubahan bentuk garis pantai, kita dapat merekomendasi
lokasi optimal untuk penambangan pasir laut dengan dampak minimal perubahan
keseimbangan alam dengan beberapa upaya.

Pertama, menetapkan kedalaman dan kemiringan/keterjalan maksimum lereng


pantai yang dapat mencegah terjadinya longsoran di daerah pantai akibat
penambangan pasir laut di daerah pantai (aspek geoteknologi).

Kedua, menetapkan kedalaman penambangan pasir untuk mencegah terjadinya


perubahan pola gelombang yang mengakibatkan konsentrasi gelombang di suatu
tempat tertentu di pantai yang dapat mengakibatkan terjadinya gangguan
stabilitas pantai (aspek hidrooseanografi).

Mengingat penambangan pasir laut di sekitar pantai berdampak signifikan


terhadap stabilitas pantai, maka penetapan zona penambangan pasir akan
ideal apabila dilakukan di daerah perairan laut dalam.

Dr Ir Subandono Diposaptono M Eng Kasubdit Mitigasi Lingkungan Pesisir pada


Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan
Perikanan
Hentikan Penambangan Pasir Ilegal
Sunday, 04 October 2009 15:47
Written by Administrator

0diggsdigg
Kerusakan lingkungan yang terjadi dapat berdampak bagi masyarakat, baik untuk jangka
pendek atau jangka panjang. Sekilas atau dalam jangka pendek mungkin hanya akan terlihat
sebagai pemandangan yang buruk yang tidak enak dilihat dan dirasakan. Namun, dalam
jangka panjang tentu akan terasa lebih buruk lagi. Misalnya, akan mudah merembesnya air
laut ke dalam sumber-sumber air tanah di daratan, sehingga air tanah menjadi terasa payau.
Bisa juga terjadinya longsoran tebing- tebing kolam bekas galian, yang tidak hanya dapat
membahayakan keselamatan rakyat, namun juga dapat mengakibatkan permukaan tanah
menjadi lebih rendah dari ketinggian permukaan air laut. Penambangan pasir laut pada
umumnya mengakibatkan dampak negatif terhadap komponen lingkungan. Salah satu
dampak negatif yang ditimbulkan adalah peningkatan kekeruhan yang disebabkan oleh
peningkatan konsentrasi padatan tersuspensi.
Penambangan pasir laut harus memperhatikan zonasi wilayah pesisir dan laut yang
merupakan bagian integral dari rencana tata ruang laut. Dari aspek dampak hidro-
oseonografi, bahwa criteria ‘aman’ bagi zona penambangan pasir adalah ambang jarak 1 mil
laut dari garis pantai dan kedalaman laut 5 meter.
Sehingga saya berpikir, di Papua apalagi di Merauke memang diperlukan kebijakan yang
tegas dan selektif terhadap zonasi. Dimana zona-zona yang terdapat potensi sebaran deposit
pasir laut bisa dilakukan penambangan. Sedangkan pada zona-zona yang berpotensi
perikanan dan zona konservasi lainnya, secara tegas harus dilarang untuk penambangan.
Untuk itu pula perlu ada rehabilitasi pantai untuk mencegah degradasi atau kerusakan
lingkungan.

NN.
Pemerhati Lingkungan Dari Jayapura, Papua
Catatan dari Pulau Babi: Penambangan Pasir Laut Tetap Menggiurkan
Tanggal
14 Aug 2008

Sumber : Sinar Harapan

Prakarsa Rakyat,

Oleh
Naomi Siagian

Jakarta-Penambangan pasir laut tetap menjadi bisnis yang menggiurkan kendati pintu ekspor sudah
ditutup. Segala cara akan dilakukan pemerintah daerah (pemda) untuk bisa mengeksploitasi pasir laut
dengan dalih meningkatkan ekonomi rakyat.
Perairan Pulau Babi, Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau, sepi dari aktivitas apa pun.
Sebelumnya, kawasan ini marak oleh penambangan pasir laut. Sekarang yang tampak tersisa cuma
air laut yang keruh, kecokelatan, menunjukkan tanda-tanda ada kegiatan eksploitasi.
“Penambangan berhenti sejak terjadi penangkapan kapal KM Bhakti Luhur bermuatan pasir laut,”
kata Kepala Seksi Eksplorasi Dinas Pertambangan, Energi dan Lingkungan Hidup Kariman, M Josi
yang ditemui baru-baru ini.
KM Bhakti Luhur berukuran 32 GT ditangkap kapal Pengawas Perikanan (KP) Hiu 001 yang memuat
60 ton pasir laut di perairan Pulau Babi, Juli lalu. Departemen Kelautan dan Perikanan mencatat
pengangkutan pasir laut dari Pulau Babi ini setiap harinya rata-rata mencapai sekitar 20 kapal,
dengan ukuran bervariasi, antara 1 gross ton (GT) hingga 30 GT.
Setelah penangkapan para penambang yang sudah mengantongi izin dari Bupati Karimun menjadi
ciut untuk melanjutkan penambangan. Bagi mereka, ini merupakan anti klimaks setelah sebelumnya
leluasa mengeruk pasir laut.
Penangkapan kapal KM Bhakti Luhur dengan dugaan melanggar Pasal 27 jo Pasal 287 Undang-
Undang No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, karena tidak memiliki izin pengangkutan. Kapal
dengan empat anak buah kapal warga negara Indonesia ini juga tidak memiliki dokumen Surat Izin
Berlayar (SIB), yang berarti dapat diduga melanggar Pasal 219 Ayat 1 jo Pasal 232 UU No 17 Tahun
2008.

Pengawasan Lemah
Hilir mudiknya kapal bermuatan pasir laut secara bebas menunjukkan betapa lemahnya pengawasan
dari pihak Pemda Karimun. Bupati Karimun Nurdin Basirun yang dikutip Harian Batam Pos (16/8),
juga mengakui ada penyalahgunaan izin penambangan rakyat (SIPR). Bupati telah mengeluarkan
enam SIPR. SIPR diberikan, tidak untuk membawa pasir ke luar Karimun, tapi untuk digunakan demi
kepentingan pembangunan Karimun.
Luas wilayah yang dieksplorasi oleh enam pihak pemegang SIPR itu sebesar 28,314 hektare.
Dengan rincian lima hektare berlokasi di Pulau Asam, Pasir Panjang dan 20,314 hektare di Pulau
Babi, Kecamatan Meral, dan tiga hektare di Pulau Rengat, Kecamatan Tanjung Balai Karimun.
Dirjen Pengawas dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP) Aji Sularso
mengungkapkan, pihaknya sudah lama mencurigai aktivitas tambang pasir laut di Pulau Babi.
Penam-bangan pasir laut di perairan Pulau Babi dilaksanakan di zona larangan, dan dilakukan tidak
jauh dari bibir pantai, dengan kedalaman kurang lebih empat meter. Kegiatan penambangan yang
disebut Aji ilegal ini, marak dilakukan, baik dengan cara tradisional maupun semimodern.
Namun, anehnya meski perairan Pulau Babi masuk dalam zona larangan, Bupati Karimun dengan
mudah memberi izin penambangan tidak hanya di Pulau Babi. Alasannya, demi kesejahteraan
masyarakat di Karimun. “Ini demi ekonomi masyarakat. Izin yang diberikan juga tidak seberapa
dibandingkan dengan penambangan pasir laut yang pernah mencapai jutaan meter kubik ketika
ekspor pasir laut masih dibebaskan,” elak Josi.
Tapi fakta yang berkembang, penambangan pasir tersebut ternyata dibawa untuk memasok
kebutuhan pembangunan di Bengkalis. Sebagai catatan, jarak antara Karimun ke Bengkalis butuh
waktu 12 jam perjalanan dengan kapal. Bandingkan dengan jarak Karimun ke Singapura yang
jaraknya kurang dari lima jam perjalanan dengan kapal. Apakah tidak ada pasir yang berbelok ke
Singapura?
Ketua Asosiasi Pertambangan Pasir Laut Rakyat Tanjung Balai Karimun Syafri mengungkapkan,
penambangan pasir laut digeluti semata-mata demi kelangsungan hidup. Menambang pasir laut
sudah dilakukan sekitar tahun 2006. Harga jualnya Rp 45.000/ koyan. Satu koyan setara 1,8 ton.
Dia menegaskan kegiatan menambang bukannya secara liar karena sudah mengantongi izin.
Penambangan pasir dilakukan jika ada musim proyek pembangunan di Pulau Bengkalis. Jadi tidak
setiap saat penambangan pasir laut dilakukan.
Para penambang mengaku ketakutan ketika penangkapan KM Bhakti Luhur. Oleh karena itu dia
berharap ada kebijakan pemerintah daerah agar bisa tetap memberikan izin “Jika usaha ini
perizinannya ditutup, kita tidak bisa berbuat banyak. Apa boleh buat kami terpaksa mencari mata
pencaharian lainnya,” ujar Syafri pasrah.

Langgar Aturan
Terlepas disalahgunakan atau tidak, pemberian izin tambang di pulau kecil sudah melanggar
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 41 Tahun 2000. Aturan ini kemudian diperkuat UU
Nomor 27 Tahun 2007 Pasal 35 UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil. Dalam UU tersebut ditegaskan di pulau kecil tidak diizinkan melakukan
penambangan.
Pasir laut ini hanya satu kasus dari sekian banyak kasus tambang di pulau-pulau kecil. Tidak cuma
masalah pasir laut, kasus tambang yang muncul di pulau kecil pada akhirnya cuma menyisakan
persoalan dengan masyarakat atau lingkungan.
Sebelumnya, SH juga menulis kasus tambang bauksit di Pulau Mendanau, Kecamatan Selat Nasik,
Kabupaten Belitung. Belum melakukan eksplorasi tambang bauksit sudah menimbulkan ancaman
kerusakan lingkungan dan konflik di masyarakat. Kalau ini terjadi, kita secara perlahan hanya bisa
menyaksikan kerusakan lingkungan yang sangat parah.
Barangkali pengalaman ketika Pulau Nipah yang merupakan tanda dari batas kontinen negara
dengan Singapura mulai hilang, atau kasus Pulau Sebaik yang rusak parah akibat eksploitasi pasir
laut berlebihan harus disimak baik-baik. Biaya pemulihan lingkungan pun sangat besar dibandingkan
dengan devisa yang dihasilkan. Untuk mereklamasi Pulau Nipah pemerintah harus merogoh
anggaran senilai Rp 320 miliar untuk tahap awal.
Apakah cara ini harus dibiarkan dengan dalih perekonomian daerah? n

Anda mungkin juga menyukai