Mulia Purba
BELAKANGAN ini, perbincangan tentang penambangan dan ekspor pasir laut menjadi
hangat kembali. Pemicunya adalah siaran pers dari Menteri Kelautan dan Perikanan
Rokhmin Dahuri yang menginformasikan bahwa ada permintaan negara tetangga Malaysia
untuk mengimpor pasir laut dari Indonesia.
TENTUNYA, realisasi permintaan ini akan tergantung hasil evaluasi dari TP4L (Tim
Pengendali dan Pengawas Pengusahaan Pasir Laut) yang diketuai oleh Menteri Kelautan dan
Perikanan sendiri. Hari-hari berikutnya, diberitakan ketidaksetujuan berbagai pihak atas
keinginan negara tetangga ini dengan berbagai alasan ditinjau dari sudut pandang yang
beragam pula.
Namun, pada intinya dapat dikatakan, penolakan dibukanya kembali ekspor pasir laut ini
terfokus pada kerusakan lingkungan dan tidak adanya manfaat langsung yang dirasakan
masyarakat setempat terhadap kegiatan yang ada di sekitar mereka.
Tulisan ini mencoba menelaah berbagai pertimbangan ekologi dan kerusakan lingkungan
yang diakibatkan kegiatan penambangan pasir laut.
Abrasi/erosi pantai
Salah satu fungsi pasir laut yang terdapat di dasar perairan pesisir adalah meredam energi
gelombang sebelum mengempas ke pantai. Bila dasar perairan pesisir dikeruk (ditambang)
untuk mengambil pasir lautnya, dasar perairan akan menjadi lebih dalam ataupun lereng
dasar perairannya menjadi lebih curam.
Akibatnya adalah tingkat energi gelombang yang mengempas di pantai akan menjadi lebih
tinggi karena peredaman oleh dasar perairan telah berkurang. Hal ini berdampak pada
makin intensifnya proses abrasi/erosi pantai.
Peran dasar perairan sebagai peredam energi gelombang dapat kita lihat, misalnya,
hantaman gelombang yang lebih ganas di pantai barat Sumatera dengan dasar perairan
yang lebih curam dibandingkan dengan pantai timur di mana dasar perairan pesisirnya lebih
landai sehingga sebagian besar energi gelombang telah diredam oleh dasar perairan yang
landai dan dangkal.
Setelah ditemukan kedalaman aman dari segi peredaman gelombang, maka masih harus
dipertimbangkan adanya longsoran dasar perairan akibat penambangan pasir.
Dengan mempertimbangkan lereng yang aman terhadap longsoran, maka dapat ditetapkan
kedalaman yang aman untuk kegiatan penambangan pasir laut. Tentunya kedalaman aman
ini semakin menjauhi pantai.
Seperti diketahui, salah satu kekayaan ekosistem pesisir terletak pada lapisan yang tidak
terlalu tebal yang terdapat di permukaan dasar perairan pesisir. Lapisan tipis ini dapat
berupa hasil dekomposisi bahan organik seperti dedaunan dari berbagai jenis vegetasi
pantai yang dengan bercampur sedimen halus sampai kasar.
Habitat ini merupakan tempat di mana jasad renik berperan melakukan proses dekomposisi
terhadap bahan organik sehingga menjadi makan alami bagi larva, juvenil sebelum mereka
tumbuh dewasa dan dapat berkelana ke habitat lain sesuai dengan karakter biologisnya.
Oleh karena itu, lapisan tipis ini sangat kritis dalam kehidupan makhluk kecil dan lemah
tersebut sehingga tempat ini disebut nursery ground (tempat pengasuhan).
Bila masa larva dan juvenil ini gagal, dapat dipastikan rekrutmen akan gagal dan akibatnya
populasi yang menjadi dewasa juga mengalami kegagalan, yang berarti hasil tangkapan akan
anjlok. Selain itu, berbagai organisme bentos yang hidup dan mencari makan di habitat
tersebut juga akan hilang.
Lokasi-lokasi demikian tentunya harus dilindungi dari kegiatan penambangan pasir, karena
selain akan mematikan jasad renik, larva, juvenil serta organisme bentos lainnya juga
merusak habitat yang kritis bagi rantai kehidupan organisme laut tersebut.
Kerusakan habitat ini sangat jauh jangkauannya karena untuk memulihkan ke kondisi yang
terbentuk selama bertahun-tahun sebelum terjadinya penambangan tidak dapat dipulihkan
dalam waktu yang singkat.
Perlindungan pesisir
Dengan mempertimbangkan faktor-faktor di atas, maka perlu dibuat garis khayal yang
sejajar garis pantai sehingga terbentuk suatu zona penyangga perlindungan perairan pesisir
untuk melindungi perairan pesisir dan pantai dari kerusakan akibat kegiatan penambangan
pasir laut. Ke dalam zona ini tercakup daerah yang lebih sempit di sekitar pantai seperti
inter-tidal zone, coastal wetland maupun jenis ekosistem lainnya yang tergolong daerah
vital dan kritis karena merupakan daerah pemijahan dan nursery ground berbagai jenis
organisme laut.
Ir Mulia Purba, MS,PhD Dosen Oseanografi Fisik Dep. Ilmu dan Teknologi
Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Bogor
Mengelola Tambang Pasir Laut yang Integratif dan Solutif [Opini]
Secara obyektif pasir laut memang bisa disebut salah satu sumber daya
kelautan yang berkembang menjadi komoditas ekonomi. Namun, penambangan
pasir laut berdampak pada pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Kegiatan
penambangan pasir laut apabila tidak dilakukan di daerah yang tepat dan
dengan cara yang tepat akan berdampak pada lingkungan, baik fisik, biologi,
maupun sosial.
Pantai dikatakan stabil jika untuk waktu lama hampir tak mengalami
perubahan bentuk. Kestabilan pantai ditentukan oleh berbagai faktor
eksternal dan internal. Faktor eksternal meliputi arus, gelombang, angin,
maupun pasang surut, sedangkan faktor internal menyangkut karakteristik,
tipe sedimen, serta lapisan dasar di mana sedimen itu berada.
Tipologi pantai
Bentuk tebing pantai umumnya dipengaruhi keadaan alam, yaitu ombak, arus
pantai, angin, atau yang diakibatkan secara tidak langsung oleh kegiatan
manusia di wilayah pantai. Pantai berbatu biasanya tidak mudah tererosi
akibat adanya arus atau gempuran gelombang. Erosi di daerah pantai berbatu
lebih banyak oleh pelapukan batuan atau proses geologi lain dalam waktu
yang relatif lama. Erosi pada material masif (seperti batu atau karang) ini
lebih dikenal dengan nama abrasi.
Kedua, p antai berpasir dan pantai berlumpur. Pantai tipe ini terbentuk
oleh proses di laut akibat erosi gelombang, pengendapan sedimen, dan
material organik. Pantai berpasir umumnya banyak dijumpai pada pantai di
Indonesia. Material penyusun pantai tersebut biasanya terdiri atas pasir
bercampur batu yang berasal dari daratan yang terbawa aliran sungai atau
berasal dari daratan di belakang pantai tersebut. Di samping berasal dari
daratan, material penyusun pantai ini juga dapat berasal dari berbagai
jenis biota laut yang ada di daerah pantai itu sendiri.
Pantai berlumpur yang banyak dijumpai di muara sungai yang ditumbuhi oleh
hutan mangrove, energi gelombang terdisipasi oleh hutan mangrove dan
lumpur. Pantai tipe ini banyak ditemui di pantai utara Pulau Jawa, pantai
timur Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Pantai tipe ini relatif mudah
berubah bentuk, mengalami deformasi, dan tererosi.
Proses pantai
Arus yang terjadi di pantai berasal dari arus laut global, arus akibat
angin, arus akibat pasang surut, ataupun arus akibat gelombang. Arus
global, arus akibat angin, dan arus pasang surut disebut shelf current atau
coastal current. Sementara itu, arus yang disebabkan gelombang dibedakan
menjadi littoral current dan orbital current. Arus litoral terjadi bila
arah gelombang membentuk sudut dengan garis pantai.
Arus orbital gelombang adalah arus yang disebabkan oleh kecepatan partikel
yang arahnya maju mundur searah dengan arah gelombang. Besar arus orbital
bergantung pada tinggi dan periode gelombang. Panjang daerah pengaruh arus
orbital ini sebanding dengan panjang gelombang.
Arus gelombang biasanya terjadi pada daerah antara gelombang pecah dan
garis pantai (surf-zone). Kedua arus inilah yang berperan dominan dalam
proses erosi pantai. Mekanisme gelombang di surf zone dimulai dengan
terjadinya gelombang pecah pada kedalaman kira-kira 1,25 kali tinggi gelombang.
Gelombang pecah ini membentuk bore yang merayap ke pantai dan naik ke swash
zone, kemudian kembali ke laut. Swash zone hanya sewaktu-waktu terendam
oleh air, dan dalam perjalanannya kembali ke laut, arus akan membawa
material sedimen. Energi eksternal ini bekerja secara kontinu sepanjang
pantai. Pada bagian yang relatif tidak memiliki daya tahan yang tinggi,
relatif lebih cepat terkikis dan sedimen akan terangkut bersama arus balik
ke laut (backwash). Terjadilah keseimbangan baru yang akan mempengaruhi
bentuk garis pantai.
Namun, kecepatan proses pengikisan pada intensitas energi yang sama pada
pantai masih bergantung pada material pembentuk pantai. Pantai yang
tersusun oleh materi yang tidak kompak (pasir dan lumpur) akan terkikis
lebih cepat dibanding pantai yang tersusun materi yang kompak (batu).
Upaya mitigasi
0diggsdigg
Kerusakan lingkungan yang terjadi dapat berdampak bagi masyarakat, baik untuk jangka
pendek atau jangka panjang. Sekilas atau dalam jangka pendek mungkin hanya akan terlihat
sebagai pemandangan yang buruk yang tidak enak dilihat dan dirasakan. Namun, dalam
jangka panjang tentu akan terasa lebih buruk lagi. Misalnya, akan mudah merembesnya air
laut ke dalam sumber-sumber air tanah di daratan, sehingga air tanah menjadi terasa payau.
Bisa juga terjadinya longsoran tebing- tebing kolam bekas galian, yang tidak hanya dapat
membahayakan keselamatan rakyat, namun juga dapat mengakibatkan permukaan tanah
menjadi lebih rendah dari ketinggian permukaan air laut. Penambangan pasir laut pada
umumnya mengakibatkan dampak negatif terhadap komponen lingkungan. Salah satu
dampak negatif yang ditimbulkan adalah peningkatan kekeruhan yang disebabkan oleh
peningkatan konsentrasi padatan tersuspensi.
Penambangan pasir laut harus memperhatikan zonasi wilayah pesisir dan laut yang
merupakan bagian integral dari rencana tata ruang laut. Dari aspek dampak hidro-
oseonografi, bahwa criteria ‘aman’ bagi zona penambangan pasir adalah ambang jarak 1 mil
laut dari garis pantai dan kedalaman laut 5 meter.
Sehingga saya berpikir, di Papua apalagi di Merauke memang diperlukan kebijakan yang
tegas dan selektif terhadap zonasi. Dimana zona-zona yang terdapat potensi sebaran deposit
pasir laut bisa dilakukan penambangan. Sedangkan pada zona-zona yang berpotensi
perikanan dan zona konservasi lainnya, secara tegas harus dilarang untuk penambangan.
Untuk itu pula perlu ada rehabilitasi pantai untuk mencegah degradasi atau kerusakan
lingkungan.
NN.
Pemerhati Lingkungan Dari Jayapura, Papua
Catatan dari Pulau Babi: Penambangan Pasir Laut Tetap Menggiurkan
Tanggal
14 Aug 2008
:
Sumber : Sinar Harapan
Prakarsa Rakyat,
Oleh
Naomi Siagian
Jakarta-Penambangan pasir laut tetap menjadi bisnis yang menggiurkan kendati pintu ekspor sudah
ditutup. Segala cara akan dilakukan pemerintah daerah (pemda) untuk bisa mengeksploitasi pasir laut
dengan dalih meningkatkan ekonomi rakyat.
Perairan Pulau Babi, Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau, sepi dari aktivitas apa pun.
Sebelumnya, kawasan ini marak oleh penambangan pasir laut. Sekarang yang tampak tersisa cuma
air laut yang keruh, kecokelatan, menunjukkan tanda-tanda ada kegiatan eksploitasi.
“Penambangan berhenti sejak terjadi penangkapan kapal KM Bhakti Luhur bermuatan pasir laut,”
kata Kepala Seksi Eksplorasi Dinas Pertambangan, Energi dan Lingkungan Hidup Kariman, M Josi
yang ditemui baru-baru ini.
KM Bhakti Luhur berukuran 32 GT ditangkap kapal Pengawas Perikanan (KP) Hiu 001 yang memuat
60 ton pasir laut di perairan Pulau Babi, Juli lalu. Departemen Kelautan dan Perikanan mencatat
pengangkutan pasir laut dari Pulau Babi ini setiap harinya rata-rata mencapai sekitar 20 kapal,
dengan ukuran bervariasi, antara 1 gross ton (GT) hingga 30 GT.
Setelah penangkapan para penambang yang sudah mengantongi izin dari Bupati Karimun menjadi
ciut untuk melanjutkan penambangan. Bagi mereka, ini merupakan anti klimaks setelah sebelumnya
leluasa mengeruk pasir laut.
Penangkapan kapal KM Bhakti Luhur dengan dugaan melanggar Pasal 27 jo Pasal 287 Undang-
Undang No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, karena tidak memiliki izin pengangkutan. Kapal
dengan empat anak buah kapal warga negara Indonesia ini juga tidak memiliki dokumen Surat Izin
Berlayar (SIB), yang berarti dapat diduga melanggar Pasal 219 Ayat 1 jo Pasal 232 UU No 17 Tahun
2008.
Pengawasan Lemah
Hilir mudiknya kapal bermuatan pasir laut secara bebas menunjukkan betapa lemahnya pengawasan
dari pihak Pemda Karimun. Bupati Karimun Nurdin Basirun yang dikutip Harian Batam Pos (16/8),
juga mengakui ada penyalahgunaan izin penambangan rakyat (SIPR). Bupati telah mengeluarkan
enam SIPR. SIPR diberikan, tidak untuk membawa pasir ke luar Karimun, tapi untuk digunakan demi
kepentingan pembangunan Karimun.
Luas wilayah yang dieksplorasi oleh enam pihak pemegang SIPR itu sebesar 28,314 hektare.
Dengan rincian lima hektare berlokasi di Pulau Asam, Pasir Panjang dan 20,314 hektare di Pulau
Babi, Kecamatan Meral, dan tiga hektare di Pulau Rengat, Kecamatan Tanjung Balai Karimun.
Dirjen Pengawas dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP) Aji Sularso
mengungkapkan, pihaknya sudah lama mencurigai aktivitas tambang pasir laut di Pulau Babi.
Penam-bangan pasir laut di perairan Pulau Babi dilaksanakan di zona larangan, dan dilakukan tidak
jauh dari bibir pantai, dengan kedalaman kurang lebih empat meter. Kegiatan penambangan yang
disebut Aji ilegal ini, marak dilakukan, baik dengan cara tradisional maupun semimodern.
Namun, anehnya meski perairan Pulau Babi masuk dalam zona larangan, Bupati Karimun dengan
mudah memberi izin penambangan tidak hanya di Pulau Babi. Alasannya, demi kesejahteraan
masyarakat di Karimun. “Ini demi ekonomi masyarakat. Izin yang diberikan juga tidak seberapa
dibandingkan dengan penambangan pasir laut yang pernah mencapai jutaan meter kubik ketika
ekspor pasir laut masih dibebaskan,” elak Josi.
Tapi fakta yang berkembang, penambangan pasir tersebut ternyata dibawa untuk memasok
kebutuhan pembangunan di Bengkalis. Sebagai catatan, jarak antara Karimun ke Bengkalis butuh
waktu 12 jam perjalanan dengan kapal. Bandingkan dengan jarak Karimun ke Singapura yang
jaraknya kurang dari lima jam perjalanan dengan kapal. Apakah tidak ada pasir yang berbelok ke
Singapura?
Ketua Asosiasi Pertambangan Pasir Laut Rakyat Tanjung Balai Karimun Syafri mengungkapkan,
penambangan pasir laut digeluti semata-mata demi kelangsungan hidup. Menambang pasir laut
sudah dilakukan sekitar tahun 2006. Harga jualnya Rp 45.000/ koyan. Satu koyan setara 1,8 ton.
Dia menegaskan kegiatan menambang bukannya secara liar karena sudah mengantongi izin.
Penambangan pasir dilakukan jika ada musim proyek pembangunan di Pulau Bengkalis. Jadi tidak
setiap saat penambangan pasir laut dilakukan.
Para penambang mengaku ketakutan ketika penangkapan KM Bhakti Luhur. Oleh karena itu dia
berharap ada kebijakan pemerintah daerah agar bisa tetap memberikan izin “Jika usaha ini
perizinannya ditutup, kita tidak bisa berbuat banyak. Apa boleh buat kami terpaksa mencari mata
pencaharian lainnya,” ujar Syafri pasrah.
Langgar Aturan
Terlepas disalahgunakan atau tidak, pemberian izin tambang di pulau kecil sudah melanggar
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 41 Tahun 2000. Aturan ini kemudian diperkuat UU
Nomor 27 Tahun 2007 Pasal 35 UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil. Dalam UU tersebut ditegaskan di pulau kecil tidak diizinkan melakukan
penambangan.
Pasir laut ini hanya satu kasus dari sekian banyak kasus tambang di pulau-pulau kecil. Tidak cuma
masalah pasir laut, kasus tambang yang muncul di pulau kecil pada akhirnya cuma menyisakan
persoalan dengan masyarakat atau lingkungan.
Sebelumnya, SH juga menulis kasus tambang bauksit di Pulau Mendanau, Kecamatan Selat Nasik,
Kabupaten Belitung. Belum melakukan eksplorasi tambang bauksit sudah menimbulkan ancaman
kerusakan lingkungan dan konflik di masyarakat. Kalau ini terjadi, kita secara perlahan hanya bisa
menyaksikan kerusakan lingkungan yang sangat parah.
Barangkali pengalaman ketika Pulau Nipah yang merupakan tanda dari batas kontinen negara
dengan Singapura mulai hilang, atau kasus Pulau Sebaik yang rusak parah akibat eksploitasi pasir
laut berlebihan harus disimak baik-baik. Biaya pemulihan lingkungan pun sangat besar dibandingkan
dengan devisa yang dihasilkan. Untuk mereklamasi Pulau Nipah pemerintah harus merogoh
anggaran senilai Rp 320 miliar untuk tahap awal.
Apakah cara ini harus dibiarkan dengan dalih perekonomian daerah? n