Anda di halaman 1dari 5

TUGAS

TATA KELOLA PERTAMBANGAN

OLEH

GABRIELA ELISABETH TASIDJAWA


212202006

MAGISTER TEKNIK PERTAMBANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UPN VETERAN YOGYAKARTA
2021
PERIZINAN NEWMONT TENTANG PEMBUANGAN TAILING KE LAUT

Perizinan merupakan salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan dan bersifat

pengendalian yang dimiliki oleh pemerintah terhadap kegiatan yang dilakukan oleh

masyarakat. Perizinan itu sangat penting bagi masyarakat karena sebagai pengarah,

perancang masyarakat adil dan makmur, serta penertib masyarakat dalam melakukan suatu

usaha. Jadi, bagaiamanakah jika perizinan yang berkaitan dengan izin usaha tambang tidak

mendapat izin karena dapat membuat atau merusak ruang lingkup hidup masyarakat, baik di

darat maupun di laut akibat pembuangan tailing?

Tailing merupakan salah satu jenis limbah yang dihasilkan oleh kegiatan tambang dan

kehadirannya dalam dunia pertambangan tidak bisa dihindari. Sebagai limbah sisa

pengolahan batuan-batuan yang mengandung mineral, tailing umumnya masih mengandung

mineral-mineral berharga.

Bertahun-tahun orang tidak peduli dengan pencemaran laut karena volume air laut

yang besar, dan kemampuannya mengencerkan segala jenis zat asing sehingga hampir tak

menimbulkan dampak sama sekali. Oleh karena itu laut dianggap sebagai tempat

pembuangan limbah. Namun, pandangan tersebut mulai berangsur berubah. Hal itu

disebabkan antara lain karena limbah yang dibuang ke laut semakin lama semakin banyak

dan dalam konsentrasi tinggi, sehingga akibat pencemaran lingkungan pada skala lokal

terjadi. Apabila pembuangan limbah ke laut secara terus menerus dilakukan, maka

ditakutkan akan terjadi dampak global dari pencemaran laut.

Kasus pembuangan tailing tersebut pernah terjadi di Teluk Buyat, Sulawesi Utara.

Dimana pada tahun 1996 PT. NMR mulai berproduksi. Sejak saat itu lah PT. NMR mulai

membuang limbahnya melalui pipa ke perairan laut Teluk Buyat, Kecamatan Kotabunan,
Kabupaten Bolaang Mongondow. Wilayah tambang PT.NMR sendiri adalah Desa

Ratatotok, perbatasan antara Kabupaten Minahasa Selatan dan Bolaang Mongondow.

Setiap hari, sebanyak 2.000 ton tailing disalurkan PT. NMR ke dasar perairan Teluk Buyat.

Dari lokasi tambang tailing dialirkan melalui pipa baja sepanjang 10 km menuju perairan

Teluk Buyat di kedalaman 82 meter. Mulut pipa pembuangan tersebut berjarak 900 meter

dari bibir pantai Buyat. Seiring dengan pembuangan tailing ke laut, para nelayan mengeluh

karena mendapatkan puluhan ikan yang mati di sekitar wilayah pencarian ikan mereka.

Nelayan melakukan protes meminta pertanggungjawaban perusahan, namun disayangkan

perusahan emas skala besar pertama di Sulawesi Utara ini membantah bahwa kematian ikan

tersebut adalah karena pemboman ikan yang dilakukan nelayan itu sendiri dan bahkan

memanfaatkan polisi perairan setempat memberi laporan kepada publik bahwa ikan mati

karena pemboman (destructive fishing).

Dalam kasus Buyat ini kejahatan korporasi terbukti membawa dampak kerugian

terhadap kehidupan baik dari segi pencemaran lingkungan maupun musnahnya satwa yang

dlindungi. Fakta lapangan mengungkapkan bahwa pembuangan limbah produksi secara

sengaja tanpa pertimbangan AMDAL dapat menyebabkan kematian, baik manusia maupun

makhluk hayati lainnya. Meski pihak PT. NMR mengatakan bahwa kandungan arsen,

merkuri, serta sianida dalam sedimen dan biota laut di Teluk Buyat masih di bawah

baku mutu ketentuan mana pun. Namun hasil kajian hukum tim teknis menunjukkan cukup

bukti adanya beberapa pelanggaran perizinan oleh PT. NMR yang memicu pencemaran di

Teluk Buyat.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa lemahnya pengawasan dengan tidak

diberikannya sanksi administratif oleh instansi yang mengeluarkan izin menyebabkan

kegiatan yang mengakibatkan pencemaran tetap dilakukan. Kebijakan pertambangan saat ini

masih mengedepankan investasi serta ekspolitasi ketimbang perlindungan lingkungan.


Contoh pada industri pertambangan di Kanada yang menghasilkan limbah sebesar 650 ton

per tahun. Di seluruh dunia, pembuangan limbah melalui tailing, bendungan mengalami

kebocoran, dan rusak. Hal ini dapat dilihat juga pada permasalahan yang terjadi di Filipina.

Peraturan di Kanada lebih ketat, dimana kegiatan penambangan logam di lautan tidak boleh

membuang tailing ke lautan. Untuk mengatasi hal tersebut dibutuhkan strategi baik yang

bersifat spesifik maupun yang bersifat struktural. Faktor yang bersifat spesifik misalnya

integrasi dan koordinasi perizinan, penegakan hukum, pengembangan institusi lingkungan di

pusat dan daerah yang kuat, dan juga peradilan khusus lingkungan.

Dengan mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik

Indonesia Nomor P.12/MNLHK/SETJEN/KUM.1/4/2018 Tentang Persyaratan dan Tata

Cara Dumping (Pembuangan Limbah ke Luat), maka dalam hal ini dapat dikatakan bahwa

setiap orang yang menghasilkan limbah dilarang melakukan Dumping (pembuangan)

Limbah ke laut tanpa izin (Pasal 2:1), limbah yang dapat dilakukan Dumping (pembuangan)

meliputi: Limbah B3 dan Limbah non B3 (Pasal 2:2). Dikutip dari berita bahwa Kementrian

Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Jodi Mahardi) sedang memproses izin deep

sea mine tailings placements (DTSP) atau penempatan tambang tailing ke dalam laut dengan

mengkaji proses DTSP di dua kawasan industri nikel yaitu di Sulawesi Tengah dan Maluku

Utara (Juli 2020). Hal ini menimbulkan kontroversi dari berbagai pihak. Seandainya

pembuangan tailing diizinkan, maka bisa saja pemerintah mengalami kemunduran dan

bahkan menyebabkan kerusakan ekosistem dan merugikan nelayan. Sebab, di banyak

Negara kebijakan DTSP telah dilarang karena merugikan ekosistem. Begitu juga dengan

Negara Kanada, yakni Negara yang memberikan izin DTSP tersebut.

SUMBER:
 Jurnal Keybernan, Vol. 2, No. 1, Maret 2011

Anda mungkin juga menyukai