Anda di halaman 1dari 6

TUGAS PENYEHATAN TANAH

RESUME TRAGEDI PENCEMARAN TANAH

Dosen Pengampu:
Bahri, S.ST., M.Kes

Disusun oleh:
Septian Ardi Wibowo
P1337433222063

JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN


PRODI SANITASI LINGKUNGAN PROGRAM SARJANA TERAPAN
POLITEKNIK KESEHATAN SEMARANG
TAHUN AJARAN 2023
Resume Masalah Pencemaran Tanah di Pulau Bangka.

Kasus pencemaran tanah di Pulau Bangka terkait dengan aktivitas penambangan timah
yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Pulau Bangka, yang terletak di Indonesia,
memiliki cadangan timah yang kaya dan telah menjadi pusat industri penambangan timah
sejak lama. Namun, aktivitas penambangan ini juga telah mengakibatkan dampak negatif
yang signifikan pada lingkungan dan masyarakat setempat.

Berikut adalah beberapa detail tentang kasus pencemaran tanah di Pulau Bangka:

1. Metode Penambangan Tradisional


Mayoritas penambangan timah di Pulau Bangka dilakukan dengan metode
tradisional seperti penambangan sungai dan penambangan pantai. Metode ini
melibatkan penggalian tanah dan pasir menggunakan alat sederhana seperti
ember dan sekop. Praktik-praktik ini sering kali tidak terkendali dan dapat
merusak ekosistem alami serta mengakibatkan pemecahan tanah yang tidak
terkontrol.

2. Pemecahan Tanah dan Erosi Tanah


Aktivitas penambangan timah yang agresif telah menyebabkan pemecahan
tanah yang luas. Pencucian tanah menggunakan air untuk memisahkan bijih
timah dari material lain juga dapat menyebabkan erosi tanah yang parah. Hal ini
merusak lapisan tanah yang subur, mengganggu aliran sungai, dan mengurangi
kemampuan tanah untuk menahan air dan nutrien.

3. Kerusakan Lingkungan
Pemecahan tanah yang tidak terkendali dan erosi tanah mengakibatkan
kerusakan ekosistem alami, termasuk hilangnya habitat alami bagi flora dan
fauna. Air sungai dan laut juga tercemar oleh limbah penambangan,
memengaruhi ekosistem akuatik dan mengancam keberlanjutan sumber daya
perikanan.

4. Dampak Sosial
Aktivitas penambangan timah telah berdampak pada kesejahteraan masyarakat
setempat. Pekerja penambangan sering bekerja dalam kondisi yang tidak aman
dan tanpa perlindungan yang memadai. Selain itu, dampak lingkungan yang
merusak juga dapat mengganggu mata pencaharian tradisional masyarakat
seperti pertanian dan perikanan.

5. Upaya Penanganan
Pemerintah Indonesia telah mencoba untuk mengatasi masalah ini dengan
mengeluarkan regulasi baru untuk mengatur aktivitas penambangan. Namun,
penegakan hukum dan pengawasan terhadap penambangan ilegal masih menjadi
tantangan.

Kasus pencemaran tanah di Pulau Bangka menjadi contoh bagaimana eksploitasi sumber
daya alam yang tidak bertanggung jawab dapat mengakibatkan dampak ekologis dan
sosial yang serius. Diperlukan kerja sama antara pemerintah, industri, dan masyarakat
untuk menemukan solusi yang berkelanjutan guna mengurangi dampak negatif dari
aktivitas penambangan timah di Pulau Bangka.
Kegiatan ekstraksi timah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung belum
menunjukkan tanda-tanda berhenti. Hal penting yang harus dicermati adalah
limbah tambang timah yang tidak hanya menurunkan kualitas perairan, tetapi
juga menyebabkan terakumulasinya logam berat ke tubuh biota laut.
Berdasarkan penelitian Danny Zulkifli Herman [2006] dalam Jurnal Geologi
Indonesia, dijelaskan bahwa penambangan timah yang menghasilkan limbah atau
tailing, mengandung timbal signifikan. Kegiatan itu mengekspos kandungan
logam di alam, sehingga mencemari perairan.

Dalam tesis Hasti Wahyuni, yang meneliti di sekitar Perairan Batu Belubang,
Kabupaten Bangka Tengah, dijelaskan bahwa Tambang Inkonvensional [TI]
Apung berkontribusi menyebarkan logam berat [Pb, Cd, dan Zn] yang terkandung
dalam tanah sehingga terlepas ke perairan. Peningkatan kandungan logam berat
dalam air laut akan diikuti peningkatan kandungan logam berat dalam tubuh
biota [bioakumulasi]. Biota laut yang mampu mengakumulasi logam berat adalah
kelompok bivalvia, diantaranya jenis kerang-kerangan.

“Kerang-kerangan sifatnya menetap, sehingga sangat cepat terpengaruh akibat


perubahan parameter fisik perairan. Jika terus menerus masuk ke kerang, yang
kemudian dikonsumsi manusia, akan berbahaya bagi kesehatan,” kata Kurniawan,
peneliti lingkungan hidup dari Universitas Bangka Belitung, kepada Mongabay
Indonesia, Jumat [19/08/2022].

Berdasarkan hasil penelitian Pitria Handayani, Kurniawan, dan Sudirman,


berjudul “Kandungan Logam Berat Pb Pada Air Laut, Sedimen dan Kerang Darah
[Anadara granosa] di Pantai Sampur Kabupaten Bangka Tengah” dikatakan
bahwa logam berat yang berasal dari beberapa aktivitas kapal nelayan, limbah
solar, oli dan buangan dari sisa pencucian biji timah hitam yang diduga
mengandung logam Pb, menyebabkan kerang darah di sekitar Pantai Sampur
mengandung logam berat Pb.

Hasil analisis menunjukkan, logam berat Pb pada satu kerang darah ukuran lebih
dari 3 sentimeter di ketiga stasiun adalah 0,324–0,436 mg/kg. Sedangkan ukuran
kurang dari 3 sentimeter pada ketiga stasiun adalah 0,472–0,576 mg/kg. Hasil ini
masih dibawah baku mutu SNI 7387 Tahun 2009, yakni 1,0 mg/kg.

“Meskipun kandungan logam berat Pb berada dibawah baku mutu, namun


mengonsumsi kerang darah dari Pantai Sampur tetap harus dibatasi,” tulis
penelitian yang diterbitkan dalam Jurnal IPTEK Terapan Perikanan dan Kelautan
tahun 2020 lalu.

Berdasarkan analisis data Wahana Lingkungan Hidup [Walhi] Kepulauan Bangka


Belitung terhadap Perda RZWP3K Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, terdapat
434.166,7 hektar zona pertambangan yang tersebar di hampir seluruh wilayah
pesisir Pulau Bangka. Jumlah itu terbagi di pesisir utara [139.163,9 hektar],
pesisir barat [65.933,8 hektar], pesisir timur [229.069 hektar], dan pesisir selatan
[89.329,4 hektar].

Meski demikian, lanjut Kurniawan, belum tentu perairan ataupun biota di semua
wilayah penambangan timah di Pulau Bangka mengandung logam berat.
Dampak kesehatan

Berdasarkan keputusan FAO tahun 1983, konsentrasi residu maksimum yang


diizinkan bagi produk laut untuk kesehatan manusia adalah Pb [1,5 mg kg-1 berat
basah] dan Cd [0,2 mg kg-1 bb]. Sementara, Cu dan Zn yang merupakan unsur
essensial masing-masing adalah 10 dan 150 mg kg-1 berat basah. Pada dasarnya,
logam berat termasuk unsur penting yang diperlukan makhluk hidup. Dalam
kadar yang tidak berlebihan, logam berat esensial seperti tembaga [Cu], selenium
[Se], besi [Fe] dan Zink [Zn] dibutuhkan untuk menjaga metabolisme tubuh
manusia. Sebaliknya, logam berat seperti timbal [Pb], merkuri [Hg], arsenik [As
dan cadmium [Cd], tidak dibutuhkan tubuh manusia hingga dapat menyebabkan
keracunan.

“Logam berat dalam perairan merupakan jenis polutan utama yang mengancam
kehidupan invertebrata, ikan, dan manusia serta menimbulkan efek buruk yang
mengganggu keseimbangan ekologi lingkungan dan keragaman organisme
akuatik,” kata [Aticiet al., 2008] dalam buku “Logam Berat Sekitar Manusia”
terbitan Lambung Mangkurat University Press 2017.

Menurut Hutagalung [1997] dalam buku yang sama, logam berat dapat menjadi
sumber pencemar berbahaya, karena tidak dapat dihancurkan mikroorganisme
yang hidup di lingkungan sekitarnya.

“Ketika dikonsumsi manusia, logam berat akan diakumulasi dalam jaringan tubuh
dan tidak bisa diekskresikan lagi ke luar.”

Sementara dalam studi literatur oleh Suksmerri, yang diterbitkan Jurnal


Kesehatan Masyarakat Andalas, menyimpulkan bahwa lingkungan yang
mengandung Pb dengan konsentrasi tinggi, dapat berdampak pada peningkatan
kadar Pb dalam darah yang mengakibatkan gangguan terhadap sistem syaraf
pusat, dan dapat mengurangi kecerdasan [IQ] pada anak-anak
DAFTAR PUSTAKA
R.Rahmadi. 2022. “Akibat Penambangan Timah, Kerang di Pulau Bangka
Mengandung Logam Berat”. Diakses pada 23 Agustus 2023.
https://www.mongabay.co.id/2022/08/30/akibat-penambangan-timah-kerang-
di-pulau-bangka-mengandung-logam-berat/amp/

Anda mungkin juga menyukai