Anda di halaman 1dari 178

Jurnal INTEKNA, Tahun XIII, No.

1, Mei 2013 : 7 - 15

GEOLOGI DAN ESTIMASI SUMBERDAYA NIKEL LATERIT


MENGGUNAKAN METODE ORDINARY KRIGING DI
PT. ANEKA TAMBANG, Tbk
Muhammad Amril Asy’ari(1), Rachmat Hidayatullah(1) dan Aflan Zulfadli(2)
(1)
Program Studi Teknik Pertambangan Politeknik Negeri Banjarmasin
(2)
Magister Geologi Pertambangan Universitas Gajah Mada

Ringkasan
Endapan nikel laterit merupakan hasil pelapukan dari batuan ultramafik berupa peridotit
atau dunit sebagai pembawa unsur Ni, umumnya terjadi di daerah tropis sampai sub-
tropis. Pembentukan endapan nikel laterit secara umum dikendalikan oleh beberapa fak-
tor yakni; morfologi, litologi dan struktur geologi. Penelitian ini difokuskan pada geologi
dan estimasi cadangan dengan metode ordinary kriging pada endapan nikel laterit. Dae-
rah penelitian terletak di daerah Tambang Tengah Bukit TLC4 Pomalaa, wilayah konsesi
penambangan PT. Aneka Tambang,Tbk. Kondisi daerah berupa perbukitan dengan ke-
tinggian 205 m sampai 235 m dari permukaan laut. Secara megaskopis maupun petro-
grafis satuan ini didominasi oleh batuan beku ultramafik berupa dunit dan peridotit dari je-
nis harzburgite . Daerah penelitian seluas 300 x 325 m telah dibor secara reguler dengan
spasi 25 m terdapat 112 blok, diantaranya ada 101 blok yang tersampel dan 11 blok tidak
tersampel. Dengan menggunakan salah satu tools pada program ArcGIS 9.3, yakni geo-
statistical analyst, data titik bor tersebut diestimasi menggunakan metode ordinary kriging
yang bertujuan untuk mengoreksi kadar-kadar conto sampel titik bor, dan memprediksi
nilai titik bor pada blok yang tidak tersampel. Hasil semivariogram kadar nikel menghasil-
kan anisotropi geometri yang menggambarkan daerah pengaruh (range) sebaran endap-
an nikel sepanjang 197, 6 m berarah N 296,4°, searah dengan struktur kekar pada lokasi
penelitian yang berarah Tenggara-Barat Laut. Untuk ketebalan memiliki daerah pengaruh
atau range sepanjang 172, 5 m berarah N 135° E. Kadar nikel mula-mula yang masuk
dalam kategori cut off grade sebanyak 56 blok, namun setelah melalui estimasi dengan
metode ordinary kriging jumlah blok yang masuk kategori cut off grade sebanyak 71 blok.
Dalam hal ini nilai cut off grade yang ditetapkan adalah 1,4 %. Nilai simpangan baku dari
data sampel titik bor sebesar 0,39, setelah proses kriging diperoleh simpangan baku
sebesar 0,24. Sedangkan koefisien variasi dari sampel data titik bor sebelum proses
kriging sebesar 0,26 dan setelah proses kriging sebesar 0,17. Jumlah cadangan atau
tonase nikel yang diperoleh sebelum dilakukan kriging sebesar 4.279,006 ton dan sete-
lah dilakukan kriging diperoleh tonase nikel sebesar 4.267,280 ton. Estimasi kriging me-
rupakan metode pendekatan dari nilai sebenarnya dengan tujuan utama untuk menghin-
dari kesalahan sistimatis dalam estimasi yang terlalu besar atau terlalu kecil dalam me-
naksir cadangan.
Kata Kunci : Geologi, Nikel laterit, geostatistik, ordinary kriging, semivariogram, estimasi
cadangan

1. PENDAHULUAN Secara umum endapan bahan galian dapat


dikategorikan atas sederhana atau kompleks,
Dalam setiap kegiatan pertambangan yang tergantung dari distribusi kadar dan bentuk geo-
menjadi persoalan utama dalam pembahasan metrinya. Kriteria untuk mengkategorikan en-
metode estimasi cadangan adalah, bahwa en- dapan bahan galian ini didasarkan atas pende-
dapan bahan galian harus dipertimbangkan se- katan geologi.
bagai suatu gambaran cadangan yang utuh. Perhitungan cadangan merupakan salah sa-
Dalam hal ini faktor penting dalam menggam- tu hal penting dalam kegiatan eksplorasi. Perhi-
barkan suatu endapan bahan galian adalah ba- tungan yang dimaksud disini mulai dari sumber
gaimana pengelompokannya atau pengklasifi- daya sampai pada cadangan tertambang yang
kasiannya yang didasarkan atas keadaan geo- merupakan tahap akhir dari proses eksplorasi.
logi, bentuk geometri, besarnya cut off grade, Hasil perhitungan cadangan tertambang kemu-
batas endapan dan sistim penambangannya. dian akan digunakan untuk mengevaluasi apa-
Geologi dan Estimasi Sumberdaya Nikel Laterit ………… (Muhammad Amril Asy’ari, dkk)

kah sebuah kegiatan penam-bangan layak atau lalui Gunung Watumohai dan Bombaea sampai
tidak. ke Torobulu. Kedua kelompok tersebut kemu-
Metode yang sering digunakan dalam per- dian bergabung lagi di ujung tenggara Sulawesi
hitungan cadangan adalah metode konvensio- Tenggara (sekitar Teluk Wawonii).
nal, namun untuk estimasi cadangan bijih meto- Jalur batuan ultramafik tersusun oleh harz-
de ini dianggap kurang teliti sehingga banyak burgit, dunit, serpentin dan piroksenit. Pada be-
yang beralih ke metode geostatistik yang me- berapa bagian dalam komplek tersebut, batuan-
miliki tingkat presisi yang lebih tinggi. batuan ultramafik menunjukan adanya korok-
Kriging adalah estimator geostatistik yang korok dan intrusi kecil yang bersusunan gabro
dirancang untuk melakukan penaksiran kadar dan diorite. Menurut Hasanuddin (1992), batuan
blok sebagai kombinasi linear dari contoh-con- peridotit yang tersingkap di daerah Pomalaa
toh yang ada di dalam / sekitar blok. Faktor bo- umumnya telah mengalami proses serpentinisa-
bot dipilih sedemikian rupa sehingga diperoleh si dan mineralisasi yang kemudian mengalami
varians estimasi yang minimum. Proses kriging pelapukan yang cukup kuat dengan warna la-
ini memberikan harga-harga pengestimasi ka- pukannya kuning, kecoklatan berbintik hitam
dar-kadar blok berdasarkan kadar-kadar conto atau abu-abu putih dengan warna kehijauan pa-
yang sudah dikoreksi. Penelitian ini dilakukan da bagian luarnya.
untuk menambah wacana keilmuan tentang
kontrol geologi terhadap pembentukan endapan
nikel laterit, dan ikut andil memberikan alternatif
dalam perhitungan cadangan secara gesostatis-
tik dengan metode ordinary kriging.

2. DASAR TEORI
Lokasi
Menurut Atmadja (dalam Suratman, 2000) Penelitian
batuan ultramafik yang menyusun daerah Po-
malaa merupakan bagian dari komplek ultra-
mafik yang terdapat di Busur Timur Sulawesi.
Pulau Sulawesi dicirikan dengan 2 busur yang
berbeda, sebelah barat dicirikan oleh batuan
granit dan granodiorit, sedangkan busur timur
15 dicirikan dengan batuan mafik dan ultramafik
(Gambar 2.1). Komplek batuan ultramafik yang
luas terdapat pada lengan timur dan lengan te-
nggara. Tektonik setting batuan ultramafik di
Busur Timur Sulawesi sama dengan tipe Alpin.
Gambar 1 : Peta lokasi penelitian, terletak di
Menurut Soeria-Atmadja et al. (1972) jalur batu-
an ultramafik di Busur Timur Sulawesi memper- Kab. Kolaka, Sulawesi Tenggara.
lihatkan kenampakan yang sama dengan peri-
dotit Tipe Alpin, dengan ciri-ciri bentuk dan Laterit merupakan produk dari hasil pela-
distribusi yang tidak teratur, mineral olivin lebih pukan yang terjadi dalam kondisi lembab, ha-
dominan dibandingkan dengan piroksen dalam ngat dan terjadi di daerah tropis yang dicirikan
tubuh ultramafik. Batas intrusi ultramafik umum- oleh melimpahnya unsur besi dan aluminium
nya mengalami serpentinisasi dan pensesaran (Robb, 2005). Pelapukan merupakan proses
pada batuan yang menutupinya dan adanya rusaknya material-material batuan yang dekat
pembentukan kromit dengan tekstur nodul dan permukaan bumi dan membentuk produk yang
orbicular dalam dunit yang merupakan bagian baru (Ollier, 1969). Lingkungan dekat permuka-
dari ultramafik. Komplek ultramafik yang terda- an dicirikan oleh suhu dan tekanan yang ren-
pat di Sulawesi Timur dan Tenggara merupakan dah, konsentrasi air, oksigen bebas dan karbon
suatu jalur yang terputus – putus dan dapat di- dioksida yang tinggi. Pada lingkungan tersebut
ikuti dari bagian paling timur Sulawesi Timur pelapukan kimia akan lebih intensif daripada
kearah Barat kemudian membelok mengikuti a- pelapukan fisika.
rah struktur Sulawesi Tenggara. Jalur batuan ul- Prijono (1977) menyatakan bahwa pencuci-
tramafik di Sulawesi Tenggara dapat dibagi an pada batuan yang tidak resisten mengakibat-
menjadi dua kelompok. Kelompok pertama di- kan terjadinya pengkayaan in-situ pada Fe, Al,
dapatkan mulai dari Sua-sua sampai Pomalaa Cr, Ni dan Co pada peridotit. Proses pencucian
lalu menyebar kearah timur melalui Androweng- silika dan mineral yang mudah larut dari profil
ga, Mekelulu dan Benua sampai Kendari. Ke- soil pada lingkungan yang bersifat asam, ha-
lompok kedua menyebar ke arah tenggara me- ngat dan lembab disebut sebagai laterisasi.
Jurnal INTEKNA, Tahun XIII, No. 1, Mei 2013 : 7 - 15

Proses laterisasi berawal dari infiltrasi air ses presipitasi (pertukaran unsur Mg dengan
hujan yang bersifat asam yang masuk ke dalam unsur Ni diantara air tanah dan mineral serpen-
zone retakan, kemudian melarutkan mineral- tin), seperti reaksi berikut :
2+ 2+
mineral yang mudah larut pada batuan dasar. Mg Si O (OH) + 3 Ni Ni Si O (OH) + 3Mg
Mineral dengan berat jenis yang tinggi akan ter- 3 2 5 4 3 2 5 5

tinggal di permukaan membentuk pengkayaan Kemudian membentuk mineral Ni-magne-


residual, sedangkan mineral yang mudah larut sium hidrosilikat yang disebut garnierite (NiMg)
akan turun ke bawah membentuk zona akumu- SiO nH O dan mengisi kekar-kekar atau retak-
3 2
lasi dengan pengkayaan supergene. an-retakan pada batuan dasar peridotit, oleh
Menurut Prijono (1985), asal mula pemben- pengayaan sekunder atau supergene, pengaya-
tukan endapan nikel laterit berasal dari batuan an zona biji silikat (bijih saprolit) akan terbentuk
peridotit yang mengalami serpentinisasi kemu- diantara zona saprolit dan batuan peridotit se-
dian terekspos ke permukaan, pada kondisi ik- gar.
lim tropis dengan musim panas dan hujan ver- Profil laterit dapat dibagi menjadi beberapa
ganti-ganti kemudian mengalami pelapukan se- zone yang dikontrol oleh tingkat kelarutan mine-
cara terus menerus yang mengakibatkan ba- ral-mineral penyusun laterit (Gambar 2.). Go-
tuan menjadi rentan terhadap proses pencucian lightly (1979) dan Elias (2003), secara umum
(leaching). Sirkulasi air permukaan yang meng- membagi profil laterit menjadi 4 zonasi, yaitu:
absorpsi CO dari atmosfir mempercepat proses 1. Zone Limonite Overburden (LO)
2
pelapukan dan pencucian menjadi lebih intensif. 2. Zone Medium Grade Limonite (MGL)
3. Zone Saprolite
4. Zone Bedrock

3. METODE PENELITIAN

Metode Geostatistik
Saat ini dikenal dua cara dalam mengana-
lisa karasteristik cebakan mineral secara sta-
tistik, yaitu statistik klasik dan statistik spasial.
Penggunaan statistik klasik untuk menyatakan
sifat suatu nilai conto mengambil asumsi bahwa
nilai conto merupakan realisasi peubah acak,
komposisi conto secara relatif diabaikan dan
diasumsikan bahwa semua nilai conto di dalam
cebakan mineral mempunyai kemungkinan sa-
ma untuk dipilih. Hadirnya kecenderungan-ke-
cenderungan, zona pengkayaan dan pay shoot
pada mineralisasi akan diabaikan. Kenyataan
pada ilmu kebumian menunjukan bahwa dua
contoh yang diambil saling berdekatan seharus-
nya mempunyai nilai yang mirip jika dibanding-
kan conto lain yang berjauhan.
Pada statistik spasial, nilai contoh merupa-
kan realisasi fungsi acak. Nilai contoh merupa-
kan suatu fungsi dari posisinya dalam cebakan,
dan posisi relatif conto dimasukan dalam per-
Gambar 2. : Profil endapan nikel laterit (Elias, timbangan. Kesamaan nilai-nilai conto yang
1979) merupakan fungsi jarak conto serta yang saling
berhubungan ini merupakan dasar teori statistik
Alkali tanah, Mg dan Ca berubah menjadi spasial.
bikarbonat oleh air permukaan yang asam, se- Untuk mengetahui sejauh mana hubungan
mentara silika (SiO ) akan larut dan tertransport spasial antara titik-titik di dalam cebakan, maka
2
sebagai larutan koloid, karena mengalami per- harus diketahui fungsi strukturalnya yang dicer-
pindahan oleh alkali tanah dan silika, logam- minkan oleh model semivariogram. Menetapkan
logam primer yang terdapat pada batuan pe- model semivariogram merupakan langkah awal
ridotit seperti Fe, Al, Cr, Ni, dan Co larut dan dalam perhitungan geostatistik, disusul dengan
mengalami pengayaan in situ, zona ini dina- perhitungan varians estimasi, varians dispersi
makan zona limonit. Dalam proses laterisasi, dan varians kriging (Darijanto, 1999).
pelapukan lebih lanjut, Ni akan larut dan ter- Semivariogram menggambarkan selisih ra-
bawa oleh air tanah kemudian mengalami pro- ta-rata antara harga titik percontoh yang ter-
Geologi dan Estimasi Sumberdaya Nikel Laterit ………… (Muhammad Amril Asy’ari, dkk)

pisah oleh jarak pada arah tertentu atau titik-titik Dalam pengolahan data dengan mengguna-
yang dipisahkan oleh lag tertentu. Menurut Arm- kan metode ordinary kriging (OK) beberapa hal
strong (1998) Semivariogram eksperimental di- yang perlu diketahui antara lain :
nyatakan dalam rumus sebagai berikut : 1. Mencari nilai rata-rata diseluruh blok.
N Harga taksiran terhadap suatu kadar Z dari
[ z( x )  z( x
i 1
i i  h)] 2 *
volume B dipilih Z x taksiran kadar dapat di-
γ (h) = hitung melalui pembobotan rata-rata tertim-
2 N ( h) Pers. (1) bang (weighted average) kadar-kadar conto
dimana : Z(xi).
γ(h) = semivariogram untuk arah tertentu n
dari jarak h Zb =
*
  .Z (x ) i
i 1
i i = 1…….n
h = jarak antara contoh atau lag semi-
variogram 2. Adanya penaksir linear
z(xi) = nilai variable z(xi + h) = nilai variabel n
yang terpisah sejauh h Z =
*
  .Z
i 1
i i
N(h) = jumlah pasangan data Pers. (2)
Hubungan antara z(xi) dan z(xi + h) dapat 3. Mempertimbangkan kondisi tak bias, dima-
ditunjukan dengan gambar sebagai berikut : na jumlah faktor pembobot λi dibuat sama
h=2 dengan satu
n

i
i 1
Pers. (3)
Dimana :Z* = Nilai estimasi
Z = Nilai suatu blok
h=1 λi = Faktor pembobot
h=34 Harga yang diharapkan untuk perbedaan
*
antara Z dan Zb adalah nol
*
(Zb - Z) = 0

Estimasi Sumberdaya Tonase Bijih


Dalam mengestimasi cadangan ada tiga
bagian yang dihitung.
h=4  Estimasi kadar dan variansi kesalahan.
Estimasi kadar dan varian kesalahan dipe-
Gambar 3. Hubungan nilai perconto pada roleh dari hasil perhitungan pada program
semivariogram (Davis, 2002) kriging
 Estimasi ketebalan dan varian kesalahan.
Kriging Estimasi ketebalan dan varian kesalahan-
Secara umum teknik kriging dibedakan nya diperoleh dari hasil perhitungan pada
menjadi dua, yaitu kriging linear dan kriging non program kriging.
linear. Kriging biasa (Ordinary Kriging, disingkat  Estimasi cadangan dan rata-rata global ka-
OK) merupakan salah satu contoh kriging line- dar serta ketebalan
ar, sedangkan salah satu contoh kriging non
linear adalah kriging indikator (Indicator Kriging, 1. Untuk menghitung tonase pada suatu badan
disingkat IK). Penaksiran kadar dengan teknik bijih atau endapan diperlukan :
Ordinary Kriging banyak digunakan karena se- a. Luas Blok (A)
derhana dan mudah di pahami (Sulistyana, b. Ketebalan Blok (t)
1998). c. Berat Jenis (d)
Ordinary kriging dapat digunakan sebagai d. Kadar (g)
penaksir cadangan global, tak bias dengan va- Tonase = A x t x d x g Pers. (4)
riansi minimum dan merupakan kombinasi line-
ar sehingga ordinary kriging terkenal sebagai 2. Untuk menghitung kadar rata-rata global
BLUE yaitu Best Linear Unbiased Estimator. digunakan formula (Rauf, 1998) :
Penerapan teknik ordinary kriging di lapangan n
telah membuktikan bahwa hasil taksiran sum- V
i 1
i gi
berdaya dan cadangan akan akurat apabila di- g = n

V
lakukan pada nilai koefisien variansi mendekati
satu, contoh cebakan seperti sedimenter dan i
porfiri (Sulistyana, 1998). i 1 Pers. (5)
Jurnal INTEKNA, Tahun XIII, No. 1, Mei 2013 : 7 - 15

n Dari hasil deskripsi petrografi, litologi dae-


Dimana :  Vi g i
i 1
rah penelitian di dominasi oleh batuan dunit dan
= Volume cadangan peridodit dengan komposisi mineral terdiri dari
n olivin, piroksen, serpentin, magnetit, kromit dan
V
i 1
i
garnet.
= Volume Blok
3. Untuk menghitung ketebalan rata-rata global Struktur Geologi
digunakan formula (Rauf, 1998) : Secara umum pada daerah penelitian di
Bukit TLC 4 sulit ditemukan struktur yang masih
1 n
t=  ti
n i 1 Pers. (6)
ideal karena proses laterisasi yang intensif, se-
hingga batuan laterit yang terbentuk menutupi
n batuan dasarnya. Pada beberapa bagian dae-
t
i 1
i
rah penelitian ditemukan adanya rekahan-re-
kahan yang terisi oleh mineral sekunder berupa
Dimana : = Jumlah ketebalan
garnerit, krisopras dan kuarsa (Gambar 5.). Ter-
N = Jumlah Titik Bor dapat dua kelompok utama dari struktur rekah-
an ini, yaitu kelompok struktur kekar yang
4. HASIL DAN PEMBAHASAN berarah Timur laut – Barat Daya dan kelompok
yang berarah Tenggara – Barat Laut.
Morfologi / Topografi
Daerah penelitian terletak di Tambang Te-
ngah Bukit TLC 4 Pomalaa. Secara umum mor-
fologi daerah penelitian terdiri dari kelerengan
landai dan sedang dengan kondisi relief berupa
perbukitan dengan ketinggian 205 – 235 m dari
permukaan laut (Gambar 4.).

Urat garnierit

Gambar 5 : Kenampakan kekar yang terisi oleh


mineral sekunder berupa garnerit

Geostatistik Dan Estimasi Cadangan


Sebelum memasuki tahap geostatistik, da-
ta geokimia hasil pengeboran terlebih dahulu
dilakukan pengelompokan. Daerah penelitian
seluas 300 x 325 m telah dilakukan pengeboran
Gambar 4. Morfologi daerah poomala secara reguler dengan spasi 25 m yang dieks-
presikan sebagai blok-blok kecil dengan ukuran
Litologi 25 x 25 m. terdapat 112 blok, diantaranya ada
Batuan penyusun daerah Pomalaa dan 101 blok yang tersampel dan 11 blok tidak ter-
sekitarnya adalah batuan ultramfik yang terdiri sampel. Variabel yang akan diperhitungkan
dari peridotit (harzbrugit, wehrlite, dan lherzo- adalah kadar nikel dan ketebalan, dalam hal ini
lite), dunit, dan serpentine. Batuan serpentin kadar nikel yang diperhitungkan adalah kadar
terbentuk dari hasil alterasi mineral feromag- nikel yang terdapat pada zona saprolit. Kadar
nesian seperti olivin, pyroxene dan amphibol. niklel pada zona limonit tidak diperhitungkan
Berdasarkan data analisa hasil pengambilan karena dianggap tidak ekonomis dengan kadar
sampel titik bor, batuan yang menyusun daerah nikel kecil dan kandungan Fe cukup tinggi. Pa-
bukit TLC4, merupakan batuan ultramafik de- da zona saprolit, kadar nikel cukup tinggi, untuk
ngan tingkat pelapukan (laterisasi) yang relatif itulah zona ini dianggap ekonomis dan sebaha-
sedang – tinggi. Batuan peridotit yang terdapat gian besar masuk dalam kategori cut off grade
pada bukit TLC4 Pomalaa, merupakan bagian (COG).
dari kompleks batuan ultramafik yang terdapat Penentuan zona saprolit berdasarkan data
di Sulawesi Tenggara. geokimia hasil pengeboran. Adapun paramaeter
Geologi dan Estimasi Sumberdaya Nikel Laterit ………… (Muhammad Amril Asy’ari, dkk)

yang dijadikan tolak ukur dalam menentukan dengan arah orientasinya memungkinkan mun-
zona saprolit antara lain, pertama: perbanding- culnya anisotropi. Dalam penelitian ini aniso-
an kadar unsur Fe dan kadar unsur Ni nilainya tropi yang muncul, yakni γ(h) dengan arah yang
harus kurang atau sama dengan 7 (Fe/ Ni ≤ 7). berbeda tetapi mempunyai harga sill dan nug-
Kedua: perbandingan kadar unsur SiO dengan get variance yang sama, maka anisotropi yang
2
MgO nilainya harus kurang atau sama dengan 2 dihasilkan adalah anisotropi geometri.
(S/ M ≤ 2). Ketiga adalah perbandingan antara Ketika program ArcGIS dijalankan, dengan
kadar unsur CaO dan MgO dengan kadar unsur sendirinya bentuk anisotropi akan ditampilkan,
SiO , nilainya kurang atau sama dengan 0,5 namun tampilan tersebut harus diuji dari empat
2 arah untuk mengetahui kondisi yang terbaik de-
(BC ≤ 0,5).59. ngan patokan yang memiliki nilai range (a) ter-
panjang dan hasil prediksi variabel memberikan
Analisa Data dan Perhitungan nilai eror terkecil
Proses kriging menggunakan progam Arc Berdasarkan analisa anisotropi yang dila-
GIS 9.3 dengan memanfaatkan salah satu pe- kukan, hasil yang diperoleh memberikan aniso-
rangkat pada program ini, yakni Geostatistical tropi geometri bentuk elips untuk kadar nikel
Analyst, melalui beberapa tahapan sebagai dengan range (a) terpanjang 197,642 m dan
berikut: o
range (a) terpendek 35,674 m, berarah N 296,4
Semivariogram E (Gambar 4.3). Kondisi ini merupakan kondisi
Menetapkan model semivariogram merupa- terbaik dari keempat arah yang telah diamati.
kan langkah awal dalam perhitungan geosta- Bentuk dari anisotropi ini menggambarkan
tistik. Dalam penelitian ini model semivariogram range (a) atau daerah pengaruh dimana nilai
yang dipilih adalah model spherical, karena mo- semivariogram masih memiliki korelasi spasial
del ini yang memberikan prediksi paling baik atau kondisi seperti ini dapat dijabarkan sebagai
dengan nilai root-mean-sequare standardized pola penyebaran kadar nikel yang menempati
prediction error mendekati nilai satu, sebagai areal sepanjang 197,642 m yang berarah Teng-
syarat bahwa hasil prediksi tidak bias (unbia- gara-Barat Laut. Hasil ini juga dapat dijadikan
sed). Semivariogram bertujuan untuk mengeta- sebagai salah satu acuan untuk memberikan
hui sejauh mana hubungan spasial antara titik- rekomendasi bagi kegiatan eksplorasi selan-
titik di dalam cebakan. Suatu variabel dikatakan jutnya.
terregional jika terdistribusi dalam ruang dan
biasanya mencirikan suatu fenomena tertentu.
Secara matematik variabel terregional me-
rupakan penyajian nilai fungsi f(x) yang menem-
pati setiap titik x pada ruang. Prilaku karakteris-
tik atau struktur variabilitas dalam ruang dari va-
riabel terregional dapat dilihat/ dikenali suatu
aspek erratic secara lokal, yakni adanya zona
yang lebih kaya dibandingkan yang lainnya.
Dalam penelitian ini data yang diproses secara
geostatistik meliputi kadar dan ketebalan nikel.
Tahapan geostatistik meliputi:

Semivariogram Kadar Nikel


Dalam perhitungan semivariogram eksperi- Gambar 6 : Semivariogram kadar nikel pada
men, data yang diinput dalam program ArcGIS program ArcGIS 9.3.
9.3 adalah data dari program Ms. Excel yang
dilengkapi dengan titik koodinat agar software Semivariogram Ketebalan Nikel.
tersebut dapat membaca data titik bor bedasar- Perhitungan semivariogram ketebalan sa-
kan letak dan jarak yang telah ditentukan. Semi- ma dengan cara yang dilakukan pada perhi-
variogram eksperimen dihitung dari empat arah, tungan semivariogram kadar nikel. Berdasarkan
o o o o analisa anisotropi yang dihasilkan dari proses
0 , 45 , 90 , dan 135 . Maksud dari perhitungan
semivariogram diperoleh anisotropi geometri
empat arah adalah untuk mengetahui adanya
bentuk elips untuk ketebalan nikel dengan
korelasi spasial dari variabel terregional atau
range (a) terpanjang 172,5 m dan range (a) ter-
dapat didefinisikan sebagai arah penyebaran o
kadar nikel. pendek 84,97 m, berarah N 135 E (Gambar 7).
Mengingat h merupakan suatu vektor, maka Model ini merupakan kondisi terbaik dari ke-
suatu variogram ditentukan untuk berbagai a- empat arah yang telah diamati. Hal ini meng-
rah. Suatu penyelidikan perubahan γ(h) sesuai gambarkan bahwa daerah pengaruh atau kete-
Jurnal INTEKNA, Tahun XIII, No. 1, Mei 2013 : 7 - 15

balan lapisan nikel yang prospek berada pada cut off grade adalah 1,4%, untuk mencapai tar-
areal sepanjang 172,5 m yang berarah Teng- get dari kadar minimal yang ditetapkan maka
gara-Barat Laut. Hasil semivariogram ini dapat dilakukan pencampuran atau blending dengan
dijadikan salah satu acuan dalam memberikan bijih yang lebih tinggi. Hasil penambangan bijih
rekomendasi pada kegiatan eksplorasi selan- dengan kandungan nikel lebih tinggi biasanya
jutnya. didapat dari beberapa blok penambangan yang
memiliki kandungan nikel diatas 2%, atau dipe-
roleh dari hasil penambangan bijih dari daerah
lain, seperti halmahera yang hasil tambang bi-
jihnya rata-rata mengandung nikel 2 – 3 %.
Dari data sampel bijih hasil pengeboran se-
banyak 101 sampel yang masuk dalam cut off
grade (memiliki kandungan nikel diatas 1,4%)
sebanyak 56 blok, namun setelah melalui pro-
ses kriging data sampel bijih yang masuk dalam
kategori cut off grade sebanyak 71 blok (Lihat
Lampiran H). Disini berarti bahwa conto bor
tersebut bukanlah suatu harga estimasi yang
paling baik untuk menaksir blok, sehingga
diperlukan suatu koreksi.
Dalam program ArcGIS semua nilai conto
dikoreksi dan diberikan harga perkiraan melalui
Gambar 7 : Semivariogram Tebal nikel pada pembobotan nilai-nilai variabel disekitarnya.
program ArcGIS 9.3. Harga estimasi dikatakan tidak bias bila jumlah
faktor pembobot sama dengan satu (Gambar
8). Parameter lain yang dijadikan indikator kesa-
Kriging lahan dalam prediksi adalah hasil estimasi/
Ordinary kriging merupakan suatu metode prediksi dikatakan akurat apabila rata-rata error
penaksir variabel terregional pada suatu titik atau mean error mendekati nol dan average
atau wilayah dengan kriteria meminimumkan standard error sekecil mungkin.
taksiran variansi. Ordinary kriging merupakan Hasil estimasi/prediksi terhadap nilai conto
suatu metode yang sering dihubungkan dengan cukup akurat karena nilai perkiraan mendekati
sifat BLUE yaitu Best Linear Unbiased Estima- nilai yang sebenarnya yang ditandai dengan ra-
tor, yakni penaksir tak bias linear yang terbaik. ta-rata error mendekati nol atau -0,01002 dan
Ordinary kriging berbentuk linear karena penak- nilai average standard error yang cukup kecil,
sir-penaksirnya dipengaruhi oleh kombinasi li- yakni 0,360. Demikian halnya dengan hasil
near data, tak bias karena bertujuan menda- prediksi nilai conto tidak bias yang ditandai de-
patkan m, varians galat (Amstrong, 1998). R ngan nilai root-mean-sequare standardized pre-
mean galat sama dengan nol dan bertujuan diction error mendekati satu, yakni 0,961
memperkecil 2Rσ (Gambar 9).
Proses kriging merupakan kegiatan tahap
berikutnya setelah melalui proses semivario-
gram, model semivariogram yang dipilih akan
sangat menentukan hasil kriging dalam mengo-
reksi dan memprediksi nilai suatu variabel. Sa-
lah satu keunggulan dari proses krging pada
program ArcGIS adalah kemampuannya untuk
mengoreksi semua nilai yang ada serta dapat
memprediksi lokasi yang tidak tersampel. Dae-
rah penelitian seluas 300 m x 325 m, ada 101
blok yang tersampel dan 11 blok tidak tersam-
pel, namun setelah melalui proses kriging se-
mua blok memiliki nilai sehingga jumlah blok
menjadi 112.
Pihak perusahaan dalam hal ini PT. Aneka
Tambang Tbk menetapkan hasil tambang da-
lam bentuk bijih yang ekonomis untuk diolah/ di-
proses harus memiliki kandungan nikel minimal
sebesar 1,8%. Namun dalam kegiatan penam- Gambar 8 : Nilai kadar nikel yang diprediksi dan
bangan kadar nikel yang masuk dalam kategori faktor pembobotnya
Geologi dan Estimasi Sumberdaya Nikel Laterit ………… (Muhammad Amril Asy’ari, dkk)

Jumlah cadangan atau tonase nikel yang


diperoleh sebelum dilakukan kriging sebesar
4.279,006 ton dan setelah dilakukan kriging
diperoleh tonase nikel sebesar 4.267,280 ton.
Bila diperhatikan jumlah tonase nikel yang dipe-
roleh sebelum kriging lebih besar daripada yang
diperoleh setelah kriging. Hal ini diakibatkan
oleh data sampel titik bor sebelum dikoreksi de-
ngan metode kriging terdapat beberapa blok
yang sangat tebal dengan kadar tinggi sehingga
menghasikan estimasi yang sangat besar (over
estimated) sementara beberapa blok yang lain
kadar nikelnya rendah dan tipis sehingga esti-
masi yang dihasilkan rendah (under estimated).
Sementara nilai blok setelah melalui proses kri-
ging terjadi penyeragaman (smothing effect) di-
mana tidak terjadi perbedaan yang signifikan
Gambar 4.6: Nilai hasil prediksi kadar nikel dan antara data yang satu dengan yang lainnya, se-
rangkuman statistik hingga hasil estimasi cadangan setelah melalui
proses kriging dapat dipandang dengan lebih
Perhitungan Cadangan Tonnase Nikel realistis.
Data kadar dan ketebalan nikel dari sampel
contoh hasil pengeboran terlebih dahulu diklasi- 5. PENUTUP
fikasikan dalam zona saprolit. Data yang dija-
dikan bahan dalam perhitungan cadangan ada- Kesimpulan
lah nilai rata-rata kadar nikel zona saprolit dan Secara umum morfologi/ topografi daerah
ketebalan rata-rata zona saprolite. Kemudian penelitian terdiri dari kelerengan landai dan se-
data tersebut diolah dengan menggunakan me- dang. Kelerengan landai memiliki slope sekitar
tode ordinary kriging dengan menggunakan o
2 - 4 dan kelerengan sedang memiliki slope se-
program ArcGIS 9.3, nilai prediksi kadar nikel o
kemudian diklasifikasikan lagi dalam cut off kitar 4 - 8 . Salah satu faktor yang berpengaruh
grade (COG) atau kadar nikel diatas 1.4%. pada pembentukan endapan nikel laterit adalah
Kadar nikel pada sampel conto yang masuk morfologi. Daerah dengan tingkat kelerengan
dalam cut off grade sebelum melalui proses landai sampai sedang cukup ideal sebagai
kriging sebanyak 56 blok, namun setelah me- tempat pengkayaan nikel, karena kondisi ini
lalui proses kriging nilai blok yang masuk dalam memenuhi syarat untuk terjadinya proses
kategori cut off grade sebanyak 71 blok. Kondisi laterisasi, dimana aliran air permukaan atau run
ini menggambarkan bahwa nilai-nilai blok sete- off tidak begitu besar dan lebih banyak yang
lah melalui proses krging mengalami koreksi meresap ke dalam celah bebatuan dan hal ini
secara keseluruhan sehingga variabilitas popu- ikut menunjang terjadinya proses laterisasi. Se-
lasi data semakin kecil, yakni perbedaan sig- dangkan pada kelerengan curam, erosi mekanik
nifikan antara data satu dengan data yang lain cukup intensif dan aliran air permukaan lebih
semakin mengecil. Hal ini dibuktikan dengan besar dari pada yang terserap sehingga proses
kecilnya koefisien variasi dari nilai blok setelah laterisasi berjalan lambat.
melalui proses kriging. Secara megaskopis maupun petrografis sa-
Koefisien variasi merupakan pendekatan tuan litologi pada daerah penelitian didominasi
statistik yang memberikan suatu besaran vari- oleh batuan beku ultramafik berupa dunit- pe-
abilitas alami suatu populasi data, koefisien va- ridotit (harzburgite). Bagian timur didominasi o-
riasi yang tinggi menunjukan harga data me- leh batuan dunit sedangkan bagian barat dido-
lebar dan koefiseien variasi yang rendah me- minasi oleh batuan peridotit.
nunjukan harga data yang sempit atau kecilnya Struktur lokal pada daerah penelitian sangat
perbedaan data yang satu dengan data yang mempengaruhi distribusi unsur-unsur pada pro-
lain. Perhitungan cadangan dilakukan dengan fil kimia daerah tersebut. Dimana pembentukan
cara perhitungan endapan perlubang bor, dima- rekahan-rekahan pada batuan ultramafik yang
na setiap titik lubang bor mempunyai pengaruh intensitasnya berbeda-beda ikut berpengaruh
sampai setengah jarak dari titik lain didekatnya. pada tingkat pelapukan dan pengkayaan unsur-
Perhitungan seperti ini biasanya dilakukan un- unsur Ni serta unsur-unsur lain pada profil la-
tuk menghitung cadangan terukur (measured terit. Struktur kekar pada daerah penelitian ber-
reserve) pada endapan yang isotrop atau mine- arah Timur Laut – Barat Daya dan Tenggara –
ralisasi homogen. Barat Laut.
Jurnal INTEKNA, Tahun XIII, No. 1, Mei 2013 : 7 - 15

Hasil semivariogram pada sampel data bor 5. Hasanuddin, D, Arifin Karim, dan Apud Dja-
daerah penelitian diperoleh daerah pengaruh juli, (1992). Pemantauan Teknologi Penam-
atau Range (a) sebaran endapan nikel se- bangan Bijih Nikel di UPN Pomalaa PT.
o
panjang 197,6 m berarah N 296 E. Sedangkan Aneka Tambang Pomalaa.Kolaka,Sulawesi
untuk ketebalan mempunyai range (a) ter- Tenggara.
o 6. Golightly, J.P, (1981). Nickelferous Laterite
panjang 172, 495 m berarah N 135 E. Kondisi Deposit. Economic Geology 75 th Anniver-
ini searah dengan struktur kekar pada daerah sary Volume 1981
penelitian yang berarah Tenggara-Barat Laut 7. Ollier, C, (1969). Weathering. T and A Con-
dan sesuai dengan bentuk morfologi daerah pe- stable Ltd, Great Britain, 304p.
nelitian yang memiliki kelerengan sedang sam- 8. Prijono, A., (1977). Potensial of the Lateri-
pai landai pada arah tersebut. Kondisi ini meng- tic- Nickel Deposit in Indonesia and Their
gambarkan, bahwa pada arah tersebut sebaran Succesfull Development Much Depends on
endapan nikel cenderung lebih homogen se- The Right Processing Method on The Indo-
hingga dapat direkomendasikan pengambilan nesian Mining Industry, it’spresent and futu-
sampel data titik bor dapat dilakukan dengan re. The Indonesian Mining Association. Ja-
spasi yang lebih besar. karta 184- 250p.
Koefisien variasi dari sampel data bor sebe- 9. Rauf.A, (1998). Perhitungan Cadangan En-
sar 0,26. Setelah melalui proses kriging diper- dapan Mineral. Jurusan Teknik Pertam-
oleh nilai koefisien variasi yang lebih kecil, yakni bangan FTM UPN “Veteran” Yogyakarta.
0,17. Sampel data bor hasil proses kriging 10. Robb, L, (2005). Introduction to Ore For-
menghasilkan data yang memiliki variabilitas ming Processes. Blackwell publishing com-
populasi yang homogen. pany. USA
Kadar nikel pada sampel conto yang masuk 11. Soeria Atmadja, R. Golightly. J.P dan Wah-
dalam cut off grade sebelum proses kriging se- yu. B.N, (1974). Mafic and Ultramafic Rock
banyak 56 blok, namun setelah melalui proses Association in The East Arc of Sulawesi.
kriging diperoleh sebanyak 71 blok. Metode Proceeding ITB, Vol. 8 No.2 .Bandung
ordinary kriging memberikan hasil estimasi yang 12. Sulistiyana,W, (1998). Kriging Indikator Se-
lebih baik, dimana kadar unsur Ni yang masuk bagai Metode Alternatif Untuk Penaksiran
dalam cut off grade jumlahnya lebih banyak dan Kadar Bijih Secara Geostatistik. Prosiding
melalui metode ini pula kadar contodikoreksi, di- Temu Ilmiah dan Reuni 1998 Jurusan Tek-
naikan atau diturunkan sehingga mempersempit nik Pertambangan UPN “ Veteran” FTM
elips pencaran data. UPN “Veteran” Yogyakarta
Jumlah cadangan atau tonase nikel yang 13. Suratman, (2000). Geology and Nickel Late-
diperoleh sebelum dilakukan kriging sebesar rit Weathering Deposit in The South East
4.279,006 ton dan setelah dilakukan kriging Arm of Sulawesi. Berita Sedimentologi edisi
diperoleh tonase nikel sebesar 4.267,280 ton. 14/11/2000. Jakarta
Hal ini menggambarkan bahwa estimasi kriging
merupakan metode pendekatan dari nilai sebe-
narnya dengan tujuan utama untuk menghindari
kesalahan sistimatis dalam estimasi yang terlalu
besar atau terlalu kecil dalam menaksir cadang-
an.

6. DAFTAR PUSTAKA

1. Armstrong, M, (1998). Basic Linear Geosta-


tistics. Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
New York
2. Dariyanto, T, (1998). Geostatistik. Jurusan
Teknik Pertambangn Fakultas Teknologi
Mineral. ITB Bandung.
3. Davis, C.J, (2002). Statistics and Data Ana-
lysis in Geologi. Third Edition. John Wiley &
Sons. New York.
4. Elias, M, (2003). Nickel Laterite Deposits-
Geological Overview, Resources and Explo-
ration. Special Publication 4 Nickel Elias As-
sotiation. CSA Australia Pty Ltd, 24p. ₪ INT © 2013 ₪
ESTIMASI SUMBERDAYA TERUKUR ENDAPAN BIJIH NIKEL
LATERIT DENGAN METODE GEOSTATISTIK (ORDINARY
KRIGING) BERDASARKAN PERTIMBANGAN PENGARUH
KEMIRINGAN LERENG TERHADAP
SEBARAN KADAR NIKEL

(STUDI KASUS: BLOK E PT SINAR JAYA SULTRA UTAMA,


DESA WATURAMBAHA, KABUPATEN KONAWE UTARA,
PROVINSI SULAWESI TENGGARA)

SKRIPSI

OLEH:

HALILINTAR RANGGA SWARA

D621 16 015

DEPARTEMEN TEKNIK PERTAMBANGAN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS HASANUDDIN

GOWA

2020

i
ii
iii
KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahimm

Assalamualaikum wr wb

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan

hidayah-Nya yang telah diberikan kepada kita semua sehingga segala aktivitas yang kita

lakukan dapat berjalan sesuai kodrat yang telah ditentukan oleh-Nya. Shalawat dan

salam senantiasa kita haturkan kepada sang tauladan, sang revolusioner, sang pembawa

obor keselamatan Rasulullah Nabi Muhammad SAW yang telah mengangkat derajat

manusia dari lembah kejahilian ke puncak kemuliaan.

Laporan Tugas Akhir dengan judul “Estimasi Sumberdaya Terukur Endapan Bijih

Nikel Laterit Dengan Metode Geostatistik (Ordinary kriging) Berdasarkan Pertimbangan

Pengaruh Kemiringan Lereng Terhadap Sebaran Kadar Nikel (Studi Kasus: Blok E Pt Sinar

Jaya Sultra Utama, Desa Waturambaha Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi

Tenggara)” dapat diselesaikan dengan berbagai suka dan duka yang dilalui dalam proses

penyusunannya.

Tidak ada kata yang layak untuk menggambarkan besarnya rasa terima kasih

penulis bagi semua pihak yang telah memberikan dukungan, tenaga, serta ilmunya

dalam penyusunan skripsi yang sederhana ini. Penulis berharap dengan selesainya

laporan Tugas Akhir ini dapat memberikan berkat bagi semua pihak yang terlibat dalam

penyusunan laporan ini.

Terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua penulis (Bapak Ahmad

Dahlan dan Ibu Jumriah Zainuddin S,Pd) atas semua yang telah diberikan kepada penulis

mulai dikandung badan sampai sekarang. Terima kasih pula penulis haturkan kepada

adik penulis Ringga Damara Aprilia Swara atas dukungan dan semangat yang telah

diberikan kepada penulis selama ini.

iv
Terima kasih pula penulis sampaikan kepada Bapak Asran Ilyas, ST. MT. Ph.D.

selaku Pembimbing I penulis yang senantiasa memberikan arahan dan motivasi bagi

penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.

Terima Kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Ir. Irzal Nur, MT. selaku

Kepala Lab. Eksplorasi serta pembimbing penulis di Departemen Teknik Pertambangan

Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin telah menjadi motivasi bagi penulis untuk terus

belajar dan menuntut ilmu selama penulis berkuliah di Departemen Teknik

Pertambangan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih serta

mengirimkan doa semoga beliau senantiasa diberkati oleh Tuhan dan senantiasa

diberikan kesehatan.

Terkhusus untuk teman-teman di Teknik Pertambangan Universitas Hasanuddin

Angkatan 2016 (Rockbolt 2016) yang telah menemani penulis dikala sedih dan bahagia,

penulis mengucapkan terima kasih atas segala hal yang telah dilalui bersama. Tetap

semangat dalam jalannya masing-masing semoga kekeluargaan yang telah dibangun

selama ini di atas panji yang sama masih terus terasah sampai akhir hayat.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan Tugas Akhir ini masih

terdapat kekurangan dalam penyusunannya. Oleh karena itu, penulis menyampaikan

permohonan maaf atas semua kekurangan yang dijumpai dalam proses penyusunan

laporan Tugas Akhir ini. Semoga Tugas Akhir ini dapat memberikan manfaat bagi kita

semua, Amin.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Gowa, Juli 2020

Halilintar Rangga Swara

v
ABSTRAK

Endapan nikel laterit merupakan salah satu endapan penghasil nikel dunia di
samping endapan nikel sulfida. Endapan ini diproyeksikan dapat memenuhi permintaan
nikel dunia yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Sejalan dengan hal
tersebut, maka perlu dilakukan kajian estimasi sumberdaya endapan ini secara lebih
mendalam dengan melakukan identifikasi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi
pembentukan dan distribusi kadarnya. Salah satu faktor tersebut adalah kemiringan
lereng topografi. Penelitian pada skripsi ini mencoba menggali pengaruh tersebut dalam
meningkatkan estimasi sumberdaya endapan ini secara lebih baik. Untuk memperoleh
hal ini, maka digunakanlah metode geostatistik (ordinary kriging) yang diketahui
memiliki teknik prediksi yang lebih baik karena mempertimbangkan sepenuhnya
hubungan spasial endapan. Salah satu lokasi sebaran endapan ini yang sangat berlimpah
adalah terdapat di Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara, tepatnya di
lokasi tambang PT Sinar Jaya Sultra Utama, sehingga lokasi ini dipilih sebagai lokasi
daerah penelitian. Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa terdapat trend yang kuat
antara ketebalan zona limonit dengan kemiringan lereng, di mana ketebalan zona
limonit akan bertambah seiring dengan menurunnya derajat kemiringan lereng. Hasil ini
dipakai sebagai dasar penggunaan pengaruh kelerengan untuk melakukan estimasi. Dari
hasil penelitian, diperoleh estimasi sumberdaya endapan nikel laterit di daerah penelitian
adalah sebesar 1.445.827 ton.

Kata kunci: Estimasi sumberdaya mineral, endapan nikel laterit, kelerengan topografi,
ordinary kriging, Konawe Utara.

vi
ABSTRACK

Laterite nickel deposits are one of the world's nickel-producing beside sulfide
deposits.. This deposit is projected to meet the world nickel demand which has increased
from the last few decades. In line with this, it is necessary to improve a more accurate
study of its estimation resources by identifying the factors that influence the formation
and distribution of Ni grade. One such factor is the slope of topography. The research in
this thesis tries to explore this influence for a better estimation results. To obtain this,
an ordinary krigging method is used which is known to have better prediction
techniques because it takes full account of the spatial correlation. One of
the most abundant distribution of this deposit is located in North Konawe Regency,
Southeast Sulawesi Province, precisely at the PT.Sinar Jaya Sultra Utama mine site.
Therefore, this area was chosen as the location of the research study. The results of this
study found that there is a strong correlation between the thickness of the limonite zone
and the slope topography, in which the thickness of the limonite zone will increase with
decreasing degree of slope topography. This result is used as a basis understanding for
using the slope topography effect to maintain a better estimation resources. From the
results of the study, it was estimated that the resources of the laterite nickel
deposits in the study area are 1,445,827 tons.

Key words : Mineral resource estimation, laterite nickel deposits, topographic slope,
ordinary kriging, North Konawe.

vii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ iii

ABSTRAK ....................................................................................................... vi

ABSTRACK ..................................................................................................... vii

DAFTAR ISI ................................................................................................... viii

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... x

DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiv

DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xv

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 2

1.3 Tujuan .................................................................................................... 2

1.4 Manfaat .................................................................................................. 3

1.5 Tahapan Penelitian................................................................................... 3

1.6 Lokasi Penelitian ...................................................................................... 6

BAB II ESTIMASI SUMBER DAYA NIKEL LATERIT ....................................... 8

2.1 Nikel Laterit ............................................................................................. 8

2.2 Klasifikasi Sumberdaya Mineral .................................................................. 13

2.3 Geostatistik ............................................................................................. 17

2.4 Estimasi Sumberdaya ............................................................................... 17

2.5 Metode Estimasi Kriging ............................................................................ 19

viii
2.6 Ordinary kriging ....................................................................................... 21

2.7 Variogram dan Semivariogram................................................................... 23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ............................................................. 28

3.1 Sumber Data ........................................................................................... 28

3.2 Pengolahan Data...................................................................................... 32

3.3 Bagan Alir Penelitian................................................................................. 46

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 48

4.1 Hubungan Ketebalan Lapisan Laterit dengan Topografi ................................ 48

4.2 Hubungan Ketebalan Lapisan Laterit dengan Kadar Ni ................................. 52

4.3 Statistik Lubang Bor ................................................................................. 56

4.4 Estimasi Sumberdaya dengan Metode Ordinary Krigging .............................. 87

BAB V PENUTUP ............................................................................................ 93

5.1 Kesimpulan ............................................................................................ 93

5.2 Saran..................................................................................................... 94

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 95

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
1.1 Peta tunjuk lokasi penelitian .................................................................... 6

1.2 Lokasi Penelitian ..................................................................................... 7

2.1 Sebaran Endapan Nikel Laterit Dunia (Brand, 1998). .................................. 8

2.2 Kenampakan lapangan endapan nikel laterit .............................................. 11

2.3 Pengelompokan Sumberdaya Mineral dan Cadangan Bijih (KCMI, 2017). ...... 14

2.4 Komponen Variogram atau Semivariogram. ............................................... 25

3.1 Drillhole Kemiringan Lereng 00-150. .......................................................... 36

3.2 Drillhole Kemiringan Lereng 160 – 300. ...................................................... 37

3.3 Drillhole Kemiringan Lereng 310 – 540. ...................................................... 37

3.4 String Top Limonit tipe kemiringan lereng 00-150........................................ 39

3.5 String top saprolit Tipe Kemiringan Lereng 00-150. ..................................... 39

3.6 String Bottom Saprolit Tipe Kemiringan Lereng 00-150. ............................... 40

3.7 String Top Limonit tipe kemiringan lereng 160-300. ..................................... 40

3.8 String Top Saprolit tipe kemiringan lereng 160-300. .................................... 40

3.9 String Bottom Saprolit tipe kemiringan lereng 160-300................................. 41

3.10 String Top Limonit tipe kemiringan lereng 310-540 .................................... 41

3.11 String Top Saprolit tipe kemiringan lereng 310-550. ................................... 41

3.12 String Bottom Saprolit tipe kemiringan lereng 310-550. .............................. 42

3.13 DTM Solid zona limonit Tipe Kemiringan Lereng 00-150. ........................... 43

3.14 DTM Solid zona saprolit Tipe Kemiringan Lereng 00-150............................ 43

x
3.15 DTM Solid zona limonit Tipe Kemiringan Lereng 160-300. .......................... 43

3.16 DTM Solid zona saprolit Tipe Kemiringan Lereng 160-300. ......................... 44

3.17 Solid zona limonit tipe kemiringan lereng >310........................................ 44

3.18 Solid zona saprolit Tipe Kemiringan Lereng >310. .................................... 44

3.19 Blok Model. .......................................................................................... 46

3.20 Bagan Alir Penelitian.............................................................................. 47

4.1 Peta Pengelompokan Kemiringan Lereng. .................................................. 49

4.2 Korelasi Ketebalan zona limonit dengan Tipe Kemiringan Lereng. ............... 50

4.3 Korelasi Ketebalan zona saprolit dengan Tipe Kemiringan Lereng................ 51

4.4 Analisis Regresi Linear antara Kadar Maximum Ni (Tipe I) ........................... 52

4.5 Analisis regresi linear kadar maximum ni di setiap titik bor (tipe II). ............. 53

4.6 Analisis regresi linear kadar maximum ini di setiap titik bor (Tipe III). ......... 54

4.7 Analisis regresi linear kadar maximum ni pada zona saprolit (Tipe I). .......... 54

4.8 Analisis regresi linear kadar maximum ni pada zona saprolit (Tipe II). ......... 55

4.9 Analisis Regresi Linear Kadar Maximum Ni Pada zona saprolit (Tipe III). ..... 56

4.10 Histogram zona limonit Kemiringan Lereng 00-150. .................................. 58

4.11 Histogram zona limonit Kemiringan Lereng 160-300.................................. 60

4.12 Histogram zona saprolit Tipe Kemiringan Lereng 00-150. .......................... 63

4.13 Histogram zona saprolit Tipe Kemiringan Lereng 160-300.......................... 65

4.14 Histogram zona saprolit Tipe Kemiringan Lereng >310 ............................. 66

4.15 Variogram mayor Limonit Kemiringan lereng 00-150 .................................. 68

4.16 Variogram Semimayor Limonit Kemiringan Lereng 00-150 .......................... 68

xi
4.17 Variogram Semimayor Limonit Kemiringan Lereng 00-150. ......................... 68

4.18 Variogram Map Mayor Limonit Kemiringan Lereng 00-150 .......................... 70

4.19 Variogram Map Semi Mayor Limonit Kemiringan Lereng 00-150. ................ 70

4.20 Elipsoid limonit kemiringan ..................................................................... 71

4.21 Variogram mayor Limonit Kemiringan lereng 160-300 ................................ 71

4.22 Variogram Semi mayor Limonit Kemiringan Lereng 160-300 ....................... 72

4.23 Variogram minor Limonit Kemiringan Lereng 160-300 ................................ 72

4.24 Variogram Map Sumbu Mayor zona Limonit Kemiringan Lereng 160-300 ..... 73

4.25 Variogram Map Semi Mayor zona limonit Kemiringan Lereng 160-300 ......... 74

4.26 Elipsoid limonit kemiringan lereng 00-150. ............................................... 74

4.27 Variogram Sumbu Mayor Kemiringan Lereng 310-550. ............................... 75

4.28 Variogram Sumbu Semi Mayor Kemiringan Lereng 310-550. ....................... 75

4.29 Variogram Sumbu Minor Kemiringan Lereng 310-550. ................................ 75

4.30 Variogram Map Sumbu Mayor zona Limonit Kemiringan Lereng 310-550 .... 76

4.31 Variogram Map Sumbu Mayor zona Limonit Kemiringan Lereng 310-550. .... 77

4.32 Elipsoid limonit kemiringan lereng 310-550. .............................................. 77

4.33 Variogram Saprolit Sumbu Mayor Kemiringan Lereng 00-150 ...................... 78

4.34 Variogram Saprolit Sumbu Semi Mayor Kemiringan Lereng 00-150 .............. 78

4.35 Variogram Saprolit Sumbu Minor Kemiringan Lereng 00-150 ....................... 79

4.36 Variogram Map Sumbu Mayor saprolit Kemiringan Lereng 00-150 .............. 80

4.37 Variogram Map Sumbu semi Mayor Saprolit Kemiringan Lereng 00-150........ 80

4.38 Elipsoid saprolit kemiringan lereng 00-150. ............................................... 81

xii
4.39 Variogam Sumbu mayor Saprolit Kemiringan Lereng 160-300 ..................... 81

4.40 Variogam Sumbu Semi mayor Saprolit Kemiringan Lereng 160-300 ............. 81

4.41 Variogram Sumbu Minor Saprolit Kemiringan Lereng 160-300. .................... 82

4.42 Variogram Map Saprolit Sumbu Mayor Kemiringan Lereng 160-300 ............. 83

4.43 Variogram Map Saprolit Sumbu Semi Mayor Kemiringan Lereng 160-300 ..... 83

4.44 Elipsoid saprolit kemiringan lereng 160-300. ............................................ 84

4.45 Variogram Sumbu Mayor Saprolit Kemiringan Lereng 310-550. ................... 84

4.46 Variogram Sumbu Semi Mayor Saprolit Kemiringan Lereng 310-550. .......... 85

4.47 Variogram Sumbu Minor Saprolit Kemiringan Lereng 310-550. .................... 85

4.48 Variogram Map Saprolit Kemiringan Lereng 310-550. ................................ 86

4.49 Variogram Map Sumbu Semi Mayor Saprolit Kemiringan Lereng 310-550. ..... 87

4.50 Elipsoid saprolit kemiringan lereng 310-550. ........................................... 87

4.51 Blok Model Limonit Kemiringan Lereng 00-150. ......................................... 88

4.52 Blok Model Limonit Kemiringan Lereng 150-300......................................... 89

4.53 Blok Model Limonit Kemiringan lereng >310. ............................................ 89

4.54 Blok Model Saprolit Kemiringan Lereng 00-150. ......................................... 90

4.55 Blok Model Saprolit Kemiringan Lereng 160-300. ....................................... 90

4.56 Blok Model Saprolit Kemiringan Lereng 310-550. ....................................... 91

xiii
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
3.1 Contoh data assay .................................................................................. 30

3.2 Contoh data koordinat. ............................................................................ 30

3.3 Contoh data survey. ................................................................................ 31

3.4 Contoh data geologi. ............................................................................... 32

3.5 Klasifikasi Kemiringan Lereng ................................................................... 34

3.6 Format Data Titik Bor .............................................................................. 35

4.1 Contoh data Drillhole Ni dan Litologi .......................................................... 49

4.2 Data Statistik Limonit kemiringan lereng 00-150. .......................................... 57

4.3 Data Statistik Limonit kemiringan lereng 00-150. .......................................... 59

4.4 Data Statistik Limonit kemiringan lereng 310-550. ........................................ 61

4.5 Data Statistik Zona saprolit Kemiringan Lereng 00-150.................................. 62

4.6 Data Statistik Zona saprolit Kemiringan Lereng 160-300 ................................ 64

4.7 DataStatistik Saprolit Kemiringan Lereng >310 ............................................ 66

4.8 Hasil Analisis Geostatistik Zona limonit Kemiringan Lereng 00-150 ................. 69

4.9 Hasil Analisis Geostatistik Limonit Kemiringan Lereng 160-300 ....................... 72

4.10 Hasil Analisis variogram Limonit Kemiringan Lereng >310 ........................... 76

4.11 Hasil Analisis Variogram Saprolit Kemiringan Lereng 00-150 ........................ 79

4.12 Hasil Analisis Variogram Saprolit Kemiringan Lereng 160-300 ....................... 82

4.13 Hasil Analisis Variogram Saprolit Kemiringan Lereng >310 .......................... 85

4.14 Hasil Estimasi Sumberdaya Metode OK ..................................................... 92

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

A Peta Tunjuk Lokasi ................................................................................... 98

B Peta Lokasi Penelitian ............................................................................... 100

C Peta Kemiringan Lereng Blok E PT Sinar Jaya Sultra Utama .......................... 102

D Blok Model Zona limonit dan Saprolit Setiap Tipe Kemiringan Lereng ............. 104

E Data Bor (Assay, Koordinat, Survey, Geology) ............................................. 110

xv
1 SATU

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Endapan nikel berdasarkan proses pembentukannya terdiri dari dua jenis yaitu

endapan nikel laterit dan endapan nikel sulfida. Berdasarkan jumlah sumberdayanya,

nikel laterit memiliki sumberdaya dan cadangan yang lebih banyak dan merupakan

sumber utama penghasil nikel dunia yang terbentuk dari hasil pelapukan batuan beku

ultrabasa. Berdasarkan jumlah produksinya nikel laterit memproduksi nikel yang lebih

sedikit dibandingkan dengan nikel sulfida. Indonesia menjadi salah satu negara yang

memiliki cadangan nikel terbesar.

Salah satu daerah yang memiliki cadangan nikel laterit terbesar di Indonesia

adalah Provinsi Sulawesi Tenggara. Berdasarkan kondisi geologi serta iklimnya, daerah

Sulawesi tenggara termasuk daerah yang beriklim tropis dan memiliki banyak singkapan

batuan beku ultrabasa, sehingga menjadikan daerah ini sangat berpotensi sebagai

penghasil nikel laterit terbesar di Indonesia.

Ada berbagai faktor yang mempengaruhi proses pembentukan nikel laterit.

Meskipun telah dipahami bahwa nikel laterit terbentuk dari proses pelapukan yang intens

dari batuan beku ultrabasa akan tetapi proses penyebaran nikel laterit dipengaruhi oleh

berbagai faktor yang salah satunya yaitu faktor geomorfologi. Faktor kemiringan lereng

menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap persebaran nikel laterit selain

faktor struktur, intensitas pelapukan, keadaan geologi, serta keadaan tektonik.

Tonase endapan nikel laterit dari suatu daerah dapat diestimasi dengan

menggunakan berbagai metode antara lain metode IDW (Inverse Distance Weighting),

metode AOI (Area of Influence), serta metode kriging. Estimasi sumberdaya dengan

1
menggunakan metode kriging terbagi menjadi tiga jenis yaitu metode simple kriging,

metode ordinary kriging, serta metode universal kriging (Bohling, 2005; Goovaerts

1998).

Jenis dari metode kriging yang dapat digunakan untuk melakukan estimasi

sumberdaya nikel laterit adalah metode ordinary kriging. Metode ini dapat mengestimasi

dapat mengestimasi nilai kadar pada titik tertentu dengan menggunakan data lain di

sekitarnya. Ordinary kriging dapat digunakan untuk melakukan estimasi pada endapan

nikel laterit kemudian dikombinasikan dengan data geomorfologi untuk mengetahui

keterkaitan antara persebaran kadar endapan nikel laterit dengan bentuk geomorfologi

dari satu daerah.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada skripsi ini adalah:

1. Bagaimana pengaruh kemiringan lereng terhadap ketebalan dari zona limonit

serta zona saprolit pada endapan nikel laterit di daerah penelitian pada setiap

tipe kemiringan lereng.

2. Bagaimana hubungan ketebalan zona limonit dan saprolit terhadap sebaran

kadar Ni pada setiap tipe kemiringan lereng serta bagaimana model distribusi

kadar Ni pada masing-masing zona tersebut.

3. Berapa jumlah tonase Ni pada zona limonit dan zona saprolit apabila dilakukan

estimasi dengan metode OK pada setiap tipe kemiringan lereng.

1.3 Tujuan

Tujuan dilaksanakannya penelitian tugas akhir ini adalah:

1. Melakukan analisis terkait pengaruh kemiringan lereng terhadap ketebalan dari

zona limonit serta zona saprolit dari nikel laterit di setiap tipe kemiringan lereng.

2
2. Melakukan analisis terkait penyebaran kadar Ni baik pada zona limonit maupun

zona saprolit serta menganalisis model distribusi kadar Ni pada masing-masing

zona tersebut.

3. Menghitung jumlah tonase Ni pada zona limonit dan zona saprolit apabila

dilakukan estimasi dengan metode OK pada setiap tipe kemiringan lereng.

1.4 Manfaat

Manfaat dilakukannya penelitian ini adalah dapat menjadi salah satu rujukan bagi

akademisi dan praktisi penambangan endapan nikel laterit terkait estimasi sumberdaya

terukur endapan nikel laterit dengan metode OK dengan mempertimbangkan pengaruh

kemiringan lereng terhadap sebaran kadar Nikel.

1.5 Tahapan Penelitian

Tahapan-tahapan dalam penyusunan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tahap persiapan

Tahap persiapan meliputi studi literatur dan survei lapangan. Studi literatur

meliputi tahapan pencarian referensi yang berkaitan dengan penelitian. Literatur

yang digunakan sebagai bahan referensi umumnya diperoleh dari internet.

Literatur yang diperoleh sebagai bahan pustaka dapat diperoleh dari beberapa

sumber antara lain:

a. Jurnal Internasional

b. International Mining Book.

c. International Mining Magazine.

d. Instansi terkait.

3
Sedangkan survei lapangan meliputi seluruh kegiatan yang berkaitan dengan

pemilihan lokasi penelitian, kesesuaian antara lokasi penelitian dengan judul

penelitian, serta survei geologi daerah penelitian. Rincian tahapan pelaksanaan

survei lapangan meliputi:

a. Survei geologi lapangan meliputi penentuan keadaan geologi dari suatu

daerah serta informasi-informasi lain yang mendukung penelitian yang

dilaksanakan.

b. Langkah selanjutnya, berdasarkan pertimbangan keadaan geologi dari

daerah penelitian dilakukan pengamatan terkait kesesuaian antara penelitian

yang dilakukan dengan keadaan lapangan.

c. Penentuan lokasi penelitian dilakukan setelah melakukan survei geologi serta

telah dilakukan pengamatan terkait kesesuaian antara penelitian yang

dilakukan dengan lokasi penelitian.

2. Taha pengambilan data

Tujuan dilakukannya pengambilan data adalah sebagai langkah awal

dalam analisis data. Pengambilan data dilakukan dengan mengambil data-data

yang relevan dengan penelitian yang dilakukan. Jenis-jenis data yang diambil

dalam tahapan pengolahan data antara lain:

a. Data Topografi

Data topografi digunakan untuk memberikan informasi kondisi

geomorfologi dari daerah penelitian. Data topografi yang digunakan diperoleh

dari hasil pengukuran menggunakan total station.

b. Data Assay

Data assay memuat data kadar dari setiap titik bor kemudian dianalisis

untuk mengetahui jenis dari lapisan di setiap kedalaman titik bor tersebut.

4
Analisis kadar dan jenis lapisan pada setiap titik bor dilakukan setiap

kedalaman satu meter.

c. Data Koordinat

Data koordinat digunakan untuk memberikan data koordinat serta

elevasi dari setiap titik bor.

d. Data Litologi

Data litologi digunakan untuk memberikan informasi mengenai jenis

perlapisan di setiap kedalaman pada masing-masing titik bor. Analisis

mengenai jenis perlapisan ini dilakukan pada setiap kedalaman satu meter

pada masing-masing titik bor.

e. Data Survey

Data survey digunakan untuk memberikan informasi mengenai dip

dan azimuth dari masing-masing titik bor.

3. Tahap pengolahan data

Tahapan pengolahan data dilakukan terhadap data topografi dan titik bor

yang memuat data geologi, data assay, data survey, dan data koordinat.

Pengolahan data ini dilakukan dengan menggunakan beberapa perangkat lunak

pengolah citra satelit dan informasi geografis yaitu ArcGis serta surpac 6.5.1.

4. Tahap analisis data

Analisis data dilakukan dengan dua acara yaitu analisis data secara

kuantitatif, dan analisis data secara kualitatif. Hasil dari analisis data akan

dilakukan pengolahan lebih lanjut pada skripsi atau tugas akhir.

5. Tahap pembuatan skripsi

Hasil dari penelitian berupa hubungan antara pengolahan data yang telah

dilakukan serta permasalahan yang diteliti kemudian dituliskan dalam bentuk

tugas akhir atau skripsi.

5
1.6 Lokasi Penelitian

PT. Sinar Jaya Sultra Utama (SJSU) merupakan salah satu perusahaan

pertambangan nikel di Kabupaten Konawe Utara yang menggunakan sistem

penambangan open pit mining (sistem penambangan terbuka) dalam proses

penambangannya. PT. Sinar Jaya Sultra Utama memiliki IUP (Izin Usaha Pertambangan)

seluas +301 Ha yang dibagi menjadi delapan blok penambangan.

Secara administratif daerah penelitian berada di lokasi penambangan PT. Sinar

Jaya Sultra Utama, Desa Waturambaha, Kecamatan Lasolo Kepulauan, Kabupaten

Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara ( Gambar 1.1). Luas wilayah perusahaan

lokasi penelitian seluas 301 Ha. PT sinar Jaya Sultra Utama site Waturambaha memiliki

beberapa pit penambangan yaitu Blok A, Blok B, Blok C, Blok D, Blok E, Blok F, Blok G,

dan Blok H (Gambar 1.2).

Gambar 1.1 Peta tunjuk lokasi penelitian

6
Gambar 1.2 Lokasi Penelitian

Lokasi PT Sinar Jaya Sultra Utama site Waturambaha dapat dijangkau dengan

menggunakan pesawat dari Kota Makassar menuju Kota Kendari dengan waktu

perjalanan selama 1 jam penerbangan. Perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan

mobil dari Kota Kendari menuju ke arah utara menuju ke Langgikima dengan perjalanan

selama 5 jam kemudian dilanjut dengan perjalanan menuju site Waturambaha selama 1

jam.

7
2 DUA

BAB II

ESTIMASI SUMBER DAYA NIKEL LATERIT

2.1 Nikel Laterit

Endapan nikel Laterit adalah produk residu yang berasal dari pelapukan kimia

batuan beku yang kaya akan olivin dan turunan metamorfnya yang memiliki kandungan

Ni awal primer pada kisaran 0,2 - 0,4%. Karakteristik Ni laterit, termasuk kadar, tonase

dan mineralogi, dikendalikan oleh interaksi faktor iklim dan geologis, seperti sejarah

geomorfologi, drainase, struktur, dan litologi, dan merupakan efek gabungan dari faktor-

faktor individual ini yang, dalam sistem yang dinamis, memungkinkan Ni untuk

berkonsentrasi dalam regolit (Brand, 1998).

Gambar 2.1 Sebaran Endapan Nikel Laterit Dunia (Brand, 1998).

Secara dominan, tetapi tidak eksklusif, terletak di sabuk tropis dan subtropis

dunia dan mewakili lebih dari 70% sumberdaya Ni daratan, namun saat ini menyumbang

kurang dari 30% dari produksi Ni global tahunan. Operasi laterit nikel umumnya

8
membutuhkan penambangan terbuka dengan tonase tinggi dan kemajuan metalurgi

baru-baru ini akan memungkinkan eksploitasi sumber daya ini secara ekonomi.

2.1.1 Karakteristik Nikel Laterit

Klasifikasi nikel laterit dikelompokkan menjadi beberapa jenis berdasarkan fitur

seperti perubahan batuan induk, iklim, drainase, sejarah geomorfologi, dan komposisi

mineral penyusunnya (Butt 1975, Golightly 1981, Alcock 1988). Ada tiga tipe utama dari

endapan nikel laterit antara lain (Brand, 1998):

1. Deposit hidrosilikat: endapan silikat Ni, didominasi oleh silikat Mg-Ni terhidrasi

(mis. gamierite), umumnya terjadi jauh di dalam saprolit.

2. Deposit silikat lempung: endapan silikat Ni, didominasi oleh lempung smektit

(mis. nontronit), umumnya terjadi pada saprolit atas atau pedolit.

3. Deposit oksida: endapan oksida, didominasi oleh Fe oxyhydroxides (mis.

goethite), membentuk lapisan pada batas saprolit pedolit.

Endapan silikat Ni, didominasi oleh tipe A, merupakan 80% dari sumberdaya

laterit Ni global; kebanyakan endapan Ni laterit mengandung bijih silikat dan oksida

dalam proporsi yang berbeda-beda. Oksida mangan, yang diperkaya dengan Co dan Ni,

kemungkinan terbentuk selama fase akhir pelapukan, terdapat pada setiap jenis deposit,

tetapi hanya sebagian kecil dari total Ni.

Klasifikasi nikel laterit berdasarkan batuan induknya tersusun atas mineral-

mineral yang mengandung mineral feromagnesium (olivin, piroksin, dan amfibol) dalam

jumlah yang besar yang berasosiasi dengan struktur geologi. Pada umumnya nikel laterit

terbentuk dari pelapukan batuan ultrabasa yang merupakan pembawa unsur nikel. Salah

satu jenis batuan ultrabasa pembawa unsur nikel antara lain peridotite. Batuan-batuan

lain pembawa unsur nikel adalah sebagai berikut:

1. Dunite, yang mengandung olivin lebih dari 90% dan piroksen sekitar 5%.

2. Lherzolite, yang mengandung olivin 85% dan piroksen 15%.

9
3. Serpentinite, merupakan hasil perubahan dari batuan peridotite oleh proses

serpentinisasi akibat hidrothermal.

2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Nikel Laterit

Pembentukan dan penyebaran endapan nikel laterit dipengaruhi olehh beberapa

faktor. Faktor-faktor tersebut yaitu batuan induk, iklim, intensitas pelapukan, dan

topografi.

a) Batuan Induk

Litologi Nikel Laterit hampir secara keseluruhan terbentuk pada batuan ultramafic

yang kaya akan olivine dan diimbangi dengan proses serpentinisasi, yang mengandung

0,2 – 0,7% Ni. Beberapa deposit kecil di Yunani terbentuk oleh pemanasan ulang

sedimen yang mengandung laterit yang berasal dari peridotit yang terserpentinisasi

(Valeton dkk, 1987). Jenis endapan sebagian dipengaruhi oleh litologi batuan ultramafik.

Peridotit dapat menimbulkan oksida dan kumpulan hidrat Mg silikat atau silikat tanah

liat, sedangkan dunit terutama membentuk endapan oksida, banyak di antaranya

memiliki silika bebas berlimpah yang dapat melarutkan bijih. Tingkat serpentinisasi

peridotit memengaruhi sifat dan kelimpahan silikat Mg hidro yang terbentuk dalam profil

yang dikembangkan di lingkungan kering (Golightly 1979; Pelletier 1996). Pada batuan

yang tidak terserpentinisasi, endapan cenderung kaya akan oksida, dengan mineralisasi

silikat kecil (mis. Sorowako Barat, Indonesia). Dalam batuan dengan serpentinisasi yang

lemah hingga sedang, zona silikat lebih tebal dan sebagian besar terdiri dari "garnierit"

yang terbentuk secara neo, seperti urat, fraktur dan lapisan, dan smektit Fe-Mg

terbentuk dari olivin. Namun, Ni juga dipengaruhi oleh lizardite primer yang diubah, di

mana Ni telah ditukar dengan Mg di situs oktahedral (Manceau dan Calas, 1985). Dalam

batuan yang sangat terserpentinisasi, lizardit yang diubah oleh Ni kaya adalah mineral

bijih utama. Profil endapan nikel lateri dapat dilihat pada gambar 2.2.

10
Gambar 2.2 Kenampakan lapangan endapan nikel laterit

b) Iklim

Sebagian besar endapan Ni laterit saat ini terdapat di daerah tropis lembap (lihat

gambar 2.2). Terdapat banyak deposit (misalnya Soroako Provinsi Sulawesi Selatan,

Teluk Weda Provinsi Maluku Utara) dan beberapa di Afrika Barat (Sipolou, Conakry) dan

Amerika Selatan (Onça, Puma, Vermelho, Cerro Matoso) memiliki iklim hutan hujan yang

ditandai dengan hujan > 1800 mm per tahun dan musim kemarau kurang dari 2 bulan.

Namun, sebagian besar endapan, termasuk yang ada di Kaledonia Baru, Filipina, timur

laut Australia, Karibia, Burundi, dan banyak lainnya di Brasil, terletak di sabana basah

yang lembab secara musiman (curah hujan musim panas 900–1800 mm dan musim

kering musim dingin 2–5 bulan ). Thorne et al. (2012) menghitung bahwa Ni laterit

berkembang di mana curah hujan melebihi 1000 mm / tahun dan rata-rata suhu bulanan

berkisar antara 22–31 ºC (musim panas) dan 15–27° C (musim dingin).

Ada juga banyak endapan di daerah beriklim hangat, semi-kering sampai kering

di Australia tengah dan barat daya dan di Mediterania yang lebih lembap hingga daerah

beriklim sedang di AS (Oregon dan California), Balkan, Turki, dan Ural. Namun, masing-

masing daerah ini dianggap memiliki iklim yang lebih hangat dan lembap (Scotese 2000;

11
Thorne et al. 2012) ketika endapan terbentuk, meskipun pada lintang tinggi (mis.

Australia barat daya). Modifikasi endapan di bawah iklim kemudian umumnya kecil,

seperti presipitasi magnesit dan silika dalam kondisi semi-kering hingga kering di

Australia.

Tidak ada hubungan yang jelas antara iklim dan jenis bijih saat ini, baik itu kadar

atau ukuran sebaran. Meskipun saat ini silikat hidro Mg sangat melimpah di daerah tropis

dan silikat tanah liat di daerah semi-kering, distribusi ini sebagian besar disebabkan oleh

keadaan tektonik, struktural dan geomorfologi, yang mempengaruhi status drainase dan

kerentanan terhadap erosi.

c) Intensitas Pelapukan

Karena sebagian besar endapan Ni laterit, dan bentang alam tempat mereka

terbentuk, terbentuk dan berevolusi dalam periode yang lama di bawah rezim pelapukan

yang berbeda, kita hanya dapat memperkirakan periode pelapukan yang paling intens,

dibanding menyebutkan waktu pembentukan tertentu. pelapukan episodik dianggap

telah terjadi di Australia utara dan di perisai Amerika Selatan bagian tengah dan Afrika

Barat, tetapi di sana kondisi tropis lembap umumnya berlanjut sepanjang Kenozoikum

(Scotese 2000).

d) Topografi

Nikel laterit terjadi di daerah dengan regolith yang dalam dan sangat lapuk. Ini

menyiratkan pembentukan di medan dengan stabilitas tektonik yang memadai dan relief

yang rendah sehingga tingkat pelapukan melebihi erosi. Keadaan topografi setempat

sangat mempengaruhi sirkulasi air beserta reagen-reagen lain. Untuk daerah yang

landai, maka air akan bergerak perlahan-lahan sehingga akan mempunyai kesempatan

untuk mengadakan penetrasi lebih dalam melalui rekahan-rekahan atau pori-pori batuan

Akumulasi endapan umumnya terdapat pada daerah-daerah yang landai sampai

kemiringan sedang, hal ini menerangkan bahwa ketebalan pelapukan mengikuti bentuk

12
topografi. Pada daerah yang curam, secara teoritis, jumlah air yang meluncur (run off)

lebih banyak daripada air yang meresap, sehingga dapat menyebabkan pelapukan

kurang intensif.

2.2 Klasifikasi Sumberdaya Mineral

Sumberdaya mineral adalah suatu konsentrasi atau ke terjadian dari material

yang memiliki nilai ekonomi pada atau di atas kerak bumi, dengan bentuk, kualitas dan

kuantitas tertentu yang memiliki prospek yang beralasan untuk pada akhirnya dapat

diekstraksi secara ekonomis. Sumberdaya mineral bukan merupakan inventori dari

semua mineralisasi yang telah dibor atau diambil contonya, terlepas dari kadar

minimumnya (cut-off grade), kemungkinan dimensi penambangannya, lokasi atau

kemenerusannya. Sumberdaya mineral merupakan inventori mineralisasi yang realistis,

di mana di bawah kondisi keekonomian dan keteknikan yang dapat diasumsikan dan

dibenarkan, baik secara menyeluruh ataupun sebagian, dapat diekstraksi secara

ekonomis (Issaks, 1993)

Lokasi, kuantitas, kadar, karakteristik geologi dan kemenerusan dari Sumberdaya

Mineral harus diketahui, diestimasi atau diinterpretasikan berdasar bukti-bukti dan

pengetahuan geologi yang spesifik, termasuk pengambilan contonya. Sumberdaya

Mineral dikelompokkan lagi berdasar tingkat keyakinan geologinya, ke dalam kategori

Tereka, Tertunjuk dan Terukur.

13
Gambar 2.3 Pengelompokan Sumberdaya Mineral dan Cadangan Bijih (KCMI, 2017).

2.2.1 Sumberdaya Mineral Tereka

Sumberdaya Mineral Tereka merupakan bagian dari sumberdaya mineral di mana

kuantitas dan kualitas kadarnya diestimasi berdasarkan bukti-bukti geologi dan

pengambilan conto yang terbatas. Bukti geologi tersebut memadai untuk menunjukkan

ke terjadiannya tetapi tidak memverifikasi kemenerusan kualitas atau kadar dan

kemenerusan geologinya.

Sumberdaya Mineral Tereka memiliki tingkat keyakinan lebih rendah dalam

penerapannya dibandingkan dengan Sumberdaya Mineral Tertunjuk dan tidak dapat

dikonversi ke Cadangan Mineral. Sangat beralasan untuk mengharapkan bahwa

sebagian besar Sumberdaya Mineral Tereka dapat ditingkatkan menjadi Sumberdaya

Mineral Tertunjuk sejalan dengan berlanjutnya eksplorasi.

Kategori Tereka dimaksudkan untuk mencakup situasi di mana konsentrasi dan

ke terjadian mineral dapat diidentifikasi, dan pengukuran serta percontoan terbatas telah

diselesaikan, dimana data yang diperoleh belum cukup untuk melakukan interpretasi

kemenerusan geologi dan/atau kadarnya secara meyakinkan. Pada umumnya, beralasan

14
untuk mengharapkan bahwa sebagian besar Sumberdaya Mineral Tereka dapat

ditingkatkan menjadi Sumberdaya Tertunjuk sejalan dengan berlanjutnya eksplorasi.

Tetapi, karena ketidakpastian dari Sumberdaya Mineral Tereka, peningkatan kategori

Sumberdaya tidak selalu akan terjadi.

Tingkat keyakinan dalam estimasi Sumberdaya Mineral Tereka biasanya tidak

mencukupi, sehingga parameter keteknikan dan keekonomian tidak dapat digunakan

untuk perencanaan rinci. Oleh karenanya, tidak ada hubungan langsung dari

Sumberdaya Tereka dengan salah satu kategori pada Cadangan Mineral. Kehati-hatian

harus diterapkan jika kategori ini akan dipertimbangkan dalam studi keteknikan dan

keekonomian.

2.2.2 Sumberdaya Mineral Tertunjuk

Sumberdaya Mineral Tertunjuk merupakan bagian dari Sumberdaya Mineral

dimana kuantitas, kadar atau kualitas, kerapatan, bentuk, dan karakteristik fisiknya

dapat diestimasi dengan tingkat keyakinan yang cukup untuk memungkinkan penerapan

Faktor-faktor Pengubah secara memadai untuk mendukung perencanaan tambang dan

evaluasi kelayakan ekonomi cebakan tersebut. Bukti geologi didapatkan dari eksplorasi,

pengambilan conto dan pengujian yang cukup detail dan andal, dan memadai untuk

mengasumsikan kemenerusan geologi dan kadar atau kualitas diantara titik-titik

pengamatan.

Sumberdaya Mineral Tertunjuk memiliki tingkat keyakinan yang lebih rendah

penerapannya dibandingkan dengan Sumberdaya Mineral Terukur dan hanya dapat

dikonversi ke Cadangan Mineral Terkira, tetapi memiliki tingkat keyakinan yang lebih

tinggi penerapannya dibandingkan dengan Sumberdaya Mineral Tereka.

Mineralisasi dapat diklasifikasikan sebagian Sumberdaya Mineral Tertunjuk ketika

sifat alamiah, kualitas, jumlah dan distribusi datanya memungkinkan interpretasi yang

15
meyakinkan atas kerangka (model) geologi dan untuk mengasumsikan kemenerusan

mineralisasinya.

Tingkat keyakinan dalam estimasi harus cukup untuk menerapkan parameter

keteknikan dan keekonomian, dan memungkinkan dilakukannya suatu evaluasi

kelayakan ekonomi.

2.2.3 Sumberdaya Mineral Terukur

Sumberdaya mineral terukur merupakan bagian dari sumberdaya mineral di

mana kuantitas, kadar atau kualitas, kerapatan, bentuk, karakteristik fisiknya dapat

diestimasi dengan tingkat keyakinan yang memadai untuk memungkinkan penerapan

faktor-faktor pengubah untuk mendukung perencanaan tambang detail dan evaluasi

akhir dari kelayakan ekonomi cebakan tersebut. Bukti geologi didapatkan dari eksplorasi,

pengambilan conto dan pengujian yang detail dan andal, dan memadai untuk

memastikan kemenerusan geologi dan kadar atau kualitasnya di antara titik-titik

pengamatan.

Sumberdaya Mineral Terukur memiliki tingkat keyakinan yang lebih tinggi

penerapannya dibandingkan dengan sumberdaya Mineral Tertunjuk ataupun

sumberdaya Mineral Tereka. Sumberdaya Mineral Terukur dapat dikonversi ke Cadangan

Mineral Terbukti atau Cadangan Mineral Terkira.

Tingkat keyakinan dalam estimasi harus memadai untuk memungkinkan

penerapan parameter keteknikan dan keekonomian, dan memungkinkan dilakukannya

suatu evaluasi kelayakan ekonomi yang memiliki tingkat kepastian lebih tinggi

dibandingkan dengan evaluasi yang berdasarkan atas sumberdaya Mineral Tertunjuk.

16
2.3 Geostatistik

Geostatistik adalah metode statistik yang digunakan untuk melihat hubungan

antar variabel yang diukur pada titik tertentu dengan variabel yang sama diukur pada

titik dengan jarak tertentu dari titik pertama (data spasial) dan digunakan untuk

mengestimasi parameter di tempat yang tidak diketahui datanya (Oliver dan Carol,

2005).

Sifat khusus dari data spasial ini adalah ketakbebasan dan keheterogenan.

Ketakbebasan disebabkan oleh adanya perhitungan galat pengamatan dan hasil yang

diteliti dalam satu titik ditentukan oleh titik yang lainnya dalam sistem dan

keheterogenan disebabkan adanya perbedaan wilayah (Cressie, 1993)

2.4 Estimasi Sumberdaya

Estimasi sumberdaya adalah estimasi potensi dari endapan mineral bijih

yang terletak di permukaan bumi untuk mengetahui apakah endapan tersebut layak

untuk dilanjutkan ke proses penambangan selanjutnya yaitu perhitungan cadangan. Ada

beberapa jenis dari metode estimasi yang dirancang untuk tujuan yang berbeda-beda

(Dominy et al, 2002).

Bagaimanapun juga, tujuan yang paling penting yaitu untuk memprediksi kadar

dan tonase dari material yang akan ditambang. Ada dua situasi penting yang harus

diperhatikan dalam melakukan estimasi:

1. Estimasi sementara yaitu estimasi dengan data bor yang memiliki spasi bor yang

lebar. Estimasi dapat dijadikan sebagai acuan untuk menentukan spasi titik bor

untuk estimasi yang lebih detail.

2. Estimasi akhir yaitu estimasi yang bertujuan untuk menentukan material ore dan

material waste.

17
Tujuan dari estimasi sementara yaitu untuk memperoleh prediksi tonase dan

kadar dari ore dengan produksi yang besar atau pada periode tertentu. Faktor penting

lainnya adalah akan diperoleh informasi tambahan di masa yang akan datang.

Sedangkan tujuan dari estimasi akhir adalah untuk melakukan estimasi sesuai dengan

nilai yang diharapkan, nilai sebenarnya akan sama dengan nilai estimasi yang

diharapkan.

Secara umum metode estimasi yang digunakan untuk endapan nikel laterit ada

beberapa jenis metode. Metode yang digunakan pada umumnya antara lain metode IDW

(Inverse Distance Weighting), metode poligon / metode AOI (Area of Influence) dan

metode Kriging.

2.4.1 Inverse Distance Weighting

IDW adalah salah satu teknik interpolasi permukaan ( surface interpolation)

dengan prinsip titik inputnya dapat berupa titik pusat plot yang tersebar secara acak

maupun tersebar merata. Metode bobot inverse distance atau jarak tertimbang terbalik

(IDW) memperkirakan nilai-nilai atribut pada titik-titik yang tidak disampel menggunakan

kombinasi linier dari nilai-nilai sampel tersebut dan ditimbang oleh fungsi terbalik dari

jarak antar titik (Hayati 2012).

2.4.2 Kriging

Interpolasi kriging dapat digolongkan dalam interpolasi stokastik. Interpolasi

stochastic menawarkan penilaian kesalahan dengan nilai prediksi dengan

mengasumsikan kesalahan acak. Metode kriging merupakan estimasi stochastic mirip

dengan IDW yang menggunakan kombinasi linear dari bobot untuk memperkirakan nilai

di antara sampel data. Metode ini dikembangkan oleh D.L. Krige untuk memperkirakan

nilai dari bahan tambang. Asumsi dari model ini adalah jarak dan orientasi antara sampel

data menunjukkan korelasi spasial.

18
Metode kriging mempunyai keunggulan dan kelemahan menurut Largueche

(2006), keunggulannya yaitu kemampuan untuk menguantifikasi variansi dari nilai yang

diestimasi sehingga tingkat presisi dari hasil estimasi dapat diketahui. Metode kriging

tetap dapat digunakan meskipun tidak ditemukan korelasi spasial antar data. Kelemahan

kriging yaitu mengasumsikan data menyebar normal sementara kebanyakan data

lapangan tidak memenuhi kondisi tersebut. Selain itu, semi variogram yang dihitung

untuk suatu himpunan data tidak berlaku untuk himpunan data lainnya. Dengan

demikian estimasi semi variogram akan sulit bila titik sampel yang digunakan tidak

mencukupi.

2.5 Metode Estimasi Kriging

Pada tahun 1950, peneliti pertambangan bernama Daniel Gerhardus Krige,

merancang metode interpolasi untuk menentukan struktur bijih emas. Dia

menginterpolasi suatu kandungan biji emas berdasarkan data sampel. Dari sini kriging

dijadikan sebuah nama metode interpolasi atas penemuannya tersebut.

G. Matheron memperkenalkan metode kriging dalam menonjolkan metode

khusus dalam moving average terbobot (weighted moving average) yang meminimalkan

variansi dari hasil estimasi. Kriging menghasilkan best linear unbiased estimator (BLUE)

dari variabel yang ingin diketahui nilainya. Hasil prediksi kriging lebih akurat daripada

metode regresi. Sebab, metode ini mampu membaca error yang berkorelasi, sehingga

dapat diketahui nilai kedekatannya (Kleijnen and Van Beers, 2004).

Estimator kriging Ẑ(𝑠) dapat dirumuskan sebagai berikut (Bohling, 2005):


n

Ẑ(s)-m(s)= ∑ λa (Z (si )-m(si ))


a=1

Dengan,

si ,si : lokasi untuk estimasi dan salah satu lokasi dari data yang berdekatan,

19
dinyatakan dengan i

m(s) : nilai ekspektasi dari Z(s)

m(si ) : nilai ekspektasi dari Z(si )

λi : faktor bobot

n : banyaknya data sampel yang digunakan untuk estimasi.

Z (s) diperlakukan sebagai bidang acak dengan suatu komponen trend, m(s)

dan komponen sisa atau error e(s) = (Z)(s)-m(s). Estimasi kriging yang bersifat sisa

pada s sebagai penjumlahan berbobot dari sisa data di sekitarnya. Nilai λi diperoleh dari

kovariansi atau semivariogram, dengan diperlukan komponen karakteristik sisa (Bohling,

2005).

Tujuan kriging adalah untuk menentukan nilai λi yang meminimalkan variansi

pada estimator, dapat dinyatakan sebagai berikut:

σ2 =var [Ẑ(s)-(Z)(s)]

Tiga pokok dalam estimasi kriging yang bergantung pada model dengan sifat

acak yaitu simple kriging, ordinary kriging, dan universal kriging (Bohling, 2005;

Goovaerts, 1998).

1. Simple Kriging

Simple Kriging merupakan metode kriging dengan asumsi bahwa rata-

rata (mean) dari populasi telah diketahui dan bernilai konstan. Pengolahan dari

metode simple kriging adalah dengan cara data spasial yang akan diduga dipartisi

menjadi beberapa bagian.

2. Ordinary kriging

Ordinary kriging merupakan metode yang diasumsikan rata-rata (mean)

dari populasi tidak diketahui, dan pada data spasial tersebut tidak mengandung

20
trend. Selain tidak mengandung trend, data yang digunakan juga tidak

mengandung pencilan.

3. Universal Kriging

Universal kriging merupakan metode kriging yang dapat diaplikasikan pada data

spasial yang mengandung trend atau data yang tidak stasioner.

2.6 Ordinary kriging

Ordinary kriging dikenal sebagai teknik kriging linear karena menggunakan

kombinasi linier terbobot dari data yang tersedia untuk proses estimasi (Isaaks and

Srivastava, 1989). Metode ordinary kriging merupakan metode Kriging yang

menghasilkan estimator yang bersifat BLUE. Hal tersebut berarti mempunyai variansi

terkecil dibanding estimator lain. Data yang digunakan pada metode ordinary kriging

merupakan data spasial dengan rata-rata populasi tidak diketahui dan diasumsi bersifat

stasioner.

Bobot ordinary kriging memenuhi sifat tak bias dengan ∑ni=1 λi =1 dengan n

adalah jumlah sampel yang diketahui. Parameter tambahan 𝑚 merupakan Lagrange

multiplier yang digunakan untuk meminimalkan galat kriging. Nilai bobot ordinary kriging

dapat diperoleh melalui persamaan berikut:

-1
λ1 γ(s1 ,s1 ) γ(s1 ,s2 ) … γ(s1 ,sn ) 1 γ(s1 ,s0 )
λ2 γ(s2 ,s1 ) γ(s2 ,s2 ) … γ(s2 ,sn ) 1 γ(s2 ,s0 )
⋮ = ⋮ ⋮ ⋱ ⋮ ⋮ ⋮
λn γ(sn ,s1 ) γ(sn ,s2 ) … γ(sn ,sn ) 1 γ(sn ,s0 )
(m) ( 1 1 … 1 0) ( 1 )

Dimana,

λ(1,2…..n ) : vektor pembobot ke si

γ : semivariogram antara titk (s1…n ,s1..n ) yang terdapat pada jarak sebesar

21
Ordinary kriging berhubungan dengan prediksi spasial dengan 2 asumsi (Cressie,

1990), yaitu:

1. Asumsi Model

Z(s)=μ+e(s), s ϵ R dan μ tidak diketahui

2. Asumsi Prediksi

Ẑ(s)= ∑ni=1 λi Z(s) dengan ∑ni=1 λi =1

Dimana,

Z(s) : peubah acak bebas

μ : ekspektasi peubah acak Z(s)

e(s) : nilai error pada Z(s)

R : bilanganreal

N : banyaknya data sampel yang digunakan untuk estimasi

Karena koefisien dari hasil penjumlahan prediksi linier adalah 1 dan memiliki

syarat tak bias maka EẐ(s)=μ= E Z(s)= Z(s), untuk setiap μ ϵ R dan karena Z(s)

merupakan suatu konstanta maka E Z(s)=Z(s) terdapat estimator error e(s), pada setiap

lokasi merupakan perbedaan antara nilai estimasi Ẑ(𝑠) dengan nilai sebenarnya Z(s)

yang dinyatakan sebagai berikut:

e(s)=Ẑ(s) - Z(s)

Dimana,

e(s) : estimator error

Ẑ(s) : nilai estimasi

Z(s) : nilai sebenarnya

Dengan E e(s)=0. Selisih Ẑ(s)- Z(s) disebut dengan galat estimasi atau bias.

Bobot λi ,i=1,2,….,n ditentukan berdasarkan kriteria:

1. Tak bias: [Ẑ(s)- Z(s)] = 0

22
2. Variansi: var[Ẑ(s)- Z(s)] minimum

Dengan menggunakan persamaan (10) dapat dibuktikan bahwa Ẑ(s)

merupakan estimator tak bias yaitu:

E e(s)= E Ẑ(s)-E Z(s)

Dengan E e(s)=0, maka diperoleh:

E Ẑ(s)=Z(s)

2.7 Variogram dan Semivariogram

Variogram adalah grafik variansi terhadap jarak (lag) sedangkan semivariogram

adalah setengah kuantitas dari semiariogram (Cressie, 1993). Variogram menentukan

ukuran dari variansi yang digunakan untuk menentukan jarak dimana nilai-nilai data

pengamatan menjadi tidak ada kolerasinya. Estimasi variogram memiliki peran yang

menentukan, misalnya dalam penentuan nilai-nilai optimal dari bobot setiap sampel.

Cara yang paling alami untuk membandingkan dua nilai, Z(x) dan Z(x+h) pada dua poin

x dan x+h pada nilai yang mutlak seharusnya mempertimbangkan nilai rata-rata

[Z(x)-Z(x+h)] (Cressie, 1993).

2.7.1 Komponen Variogram atau Semivariogram

Komponen-komponen yang terdapat pada variogram dan semivariogram antara

lain sebagai berikut:

1. Range

Range adalah jarak dimana variogram adalah sebuah dataran tinggi atau sebuah

masa stabil (Isaaks dan Srivastava, 1989). Jarak dimana variogram mencapai

nilai sill. Pendapat lain mengemukakan bahwa range adalah jarak antara lokasi-

lokasi dimana pengamatan-pengamatannya terlihat independen, yakni ragamnya

tidak mengalami suatu kenaikan (Dorsel dan Breche, 1997). Dalam grafik

23
variogram range dinyatakan dengan lambang “a” yaitu jarak pada sumbu

horizontal mulai dari titik nol sampai titik proyeksi perubahan variogram dari

miring ke mendatar. Pada jarak range ini Variabel dipengaruhi oleh posisi. Dalam

batas range, antara nilai Z(s) dengan nilai lain akan terdapat korelasi. Besarnya

korelasi dari satu nilai ke nilai lain akan berkurang sesuai dengan bertambah

jaraknya. Dalam praktik, range akan mempengaruhi korelasi spasialnya.

2. Sill

Sill adalah masa stabil suatu variogram yang mencapai rangenya disebut dengan

sill (Isaaks dan Srivastava, 1989). Sill mendeskripsikan dimana variogramnya

menjadi suatu wilayah yang datar, yakni ragamnya juga tidak mengalami suatu

kenaikan (Dorsel dan Breche, 1997).

3. Nugget effect

Ketidakmenerusan pada pusat variogram terhadap garis vertikal yang melompat

dari nilai 0 pada pusat ke nilai variogram pada pemisahan jarak terkecil disebut

dengan nugget effect. Rasio nugget effect terhadap sill seringkali disebut sebagai

nugget effect relative dan biasanya dinyatakan dalam persen (Isaaks and

Srivastava, 1989). Nugget effect dapat berupa kesalahan sistematis atau

biasanya kesalahan yang dibuat oleh manusia, kesalahan membaca alat,

kesalahan sampling, dll disebut dengan nugget effect.

Adapun klasifikasi perbandingan nugget ratio (Dominy et al., 2001), yaitu:

a. Low nugget ratio : <25%

b. Medium nugget ratio : 25% - 50%

c. High nugget ratio : 50% - 75%

d. Extreme nugget ratio : >75%

Rumus nugget ratio (Dominy et al., 2003), adalah sebagai berikut:

24
C0
Nugget ratio = x 100%
C+C0

Gambar 2.4 Komponen Variogram atau Semivariogram.

2.7.2 Experimental Variogram

Experimental variogram adalah suatu nilai dugaan dari variogram berdasarkan

pada penarikan sampel. Dalam metode umum memplot eksperimental variogram,

sumbu-sumbu jarak yang memisahkan antara dua titik dibagi ke dalam selang- selang

berurutan, serupa dengan histogram. Sebagai alat analisis eksploitasi, experimental

variogram mempunyai drawback yang grafiknya bergantung pada pemilihan selang-

selang dan dipengaruhi oleh metode rata-ratanya. Yang termasuk dalam pengertian

experimental variogram adalah:

1. Scale

Experimental variogram adalah sebuah grafik yang biasanya lebih digunakan

dalam aplikasi geostatistik untuk menyelidiki ketakbebasannya. Experimental ini

berisi informasi tentang fluktuasi variabel scale.

25
2. Dekat dengan Pusat

Perlakuan variogram pada jarak-jarak yang kecil menentukan apakah fungsi

spasial terlihat kontinu dan mulus. Sedangkan kelakuan experimental variogram

pada pusat (pada jarak-jarak pendek) menyatakan derajat fungsi kemulusannya.

3. Large Scale Bahaviour

Kelakuan variogram pada jarak-jarak yang sebanding dengan

ukuran daerahnya menentukan apakah fungsi tersebut merupakan fungsi

stationary.

Sebagai suatu fungsi, experimental variogram akan menstabilkan suatu nilai di

sekitarnya, yakni sill. Sebagai fungsi stationary, sill yang diperoleh akan

mendeskripsikan panjang scalenya. (Kitanidis, 1997).

2.7.3 Model Teoritis Semivariogram

Nilai yang diperoleh dari semivariogram teoritis akan digunakan untuk

membandingkan nilai antara semivariogram eksperimental dengan teoritis. Selanjutnya

dipilih model mana yang memiliki nilai paling kecil, yang nantinya akan digunakan untuk

melakukan pendugaan data spasial. Berikut adalah beberapa model semivariogram

teoritis yang digunakan sebagai pembanding (Micromine, 2014):

1. Model Spherical

Model Spherical adalah model yang paling sering digunakan dalam variogram.

Bentuk persamaan bakunya adalah sebagai bergikut. Model Spherical (Sph)

adalah bentuk linear dengan kecapatan perubahan slope untuk mencapai sill.

Model spherical digunakan dalam estimasi kualitas kadar.

3h h 3
C0 +C [( ) -0,5 ( ) ]
y(h) = { 2a a } h ≤ a dan untuk h > a
C0 +C

Dengan,

h : jarak lokasi sampel

26
C0 +C : sill, yaitu nilai semivariogram untuk jarak pada saat besarnya konstan

a : range, yaitu jarak pada saat nilai semivariogram mencapai sill.

2. Model exponensial

Model transisi lain yang biasa digunakan adalah model eksponensial yang

memberikan sill asimtotik. Bentuk persamaannya adalah sebagai berikut. Model

ini memiliki lengkungan lebih besar dibandingkan dengan model spherical dan

menunjukkan perubahan slope secara bertahap hingga mencapai sill. Model

exponential digunakan dalam estimasi kualitas kadar.

3h
γ(h)=C0 +C [1-exp (- )]
a

3. Model Gaussian (Normal)

Model Gaussian adalah model transisi yang sering kali digunakan untuk

memodelkan fenomena kontinu yang ekstrim dan juga memberikn sill asimtotik.

Bentuk persamaannya adalah sebagai berikut.

2
-3h
γ(h)=C0 +C [1-exp ( )]
a2

4. Model linear

Model linear merupakan model yang tidak mencapai sill. General Linear

digunakan untuk elevasi topografi dan ketebalan seam batubara.

27
ISSN: 2302-3333 Jurnal Bina Tambang, Vol.5, No.1

Pemetaan Kualitas Airtanah Berdasarkan Parameter Total


Dissolved Solid (TDS) dan Daya Hantar Listrik (DHL) dengan
Metode Ordinary Kriging Di Kec. Padang Barat, Kota Padang,
Provinsi Sumatera Barat
M. Asy Ruseffandi1*, Mulya Gusman1**
1Jurusan Teknik Pertambangan Fakultas Teknik Universitas Negeri Padang

*frusef22@gmail.com
**mgusman1974@gmail.com

Abstarct. The overuse of groundwater with the management of water sources


that ignores the environment can decrease the quantity and quality of
groundwater. In the area of West Padang, groundwater quality degradation is
caused by the dynamics of development West Padang towards the profile of
Metropolitan City. The purpose of this research is to make the water quality zone
map based on DHL and TDS parameter, zone map based on decrease of
groundwater level and predict the occurrence of seawater intrusion in the West
Padang. The research method used is to identify the quality groundwater and a
decrease of groundwater level from water analysis using Kepmen ESDM Nomor
1451.K/10/MEM/2000 and make the distribution of water quality and a decrease
of groundwater level using the software SGeMs and ArcMap GIS 10.5, and
predict patterns spread of seawater intrusion from water quality analysis using
the regression equation. From the identification result and analysis of water
quality, West Padang is categorized as a safe zone. Safe zone is the area that
meets one of decrease criteria on groundwater quality which are characterized
by the increase of TDS that is less than 1,000 mg/l or less than 1,000 DHL
μmhos/cm.

Keywords:.TDS, DHL, Safe Zone, Groundwater Quality

1. Pendahuluan karena besarnya DHL ini sangat kecil maka biasanya


dinyatakan dalam micromha(s) yang besarnya sama
Air merupakan kebutuhan pokok manusia yang dengan 10-6 mho. Sedangkan Kelarutan zat padat dalam
digunakan secara berkelanjutan. Penggunaan air sangat air atau disebut sebagai total Dissolved solid (TDS)
penting sebagai konsumsi, kebutuhan rumah tangga, adalah terlarutnya zat padat, baik berupa ion, berupa
industri dan fasilitas vital lainnya. Kebutuhan air akan senyawa, koloid di dalam air.
sangat meningkat seiring dengan pertambahan jumlah Pada kasus spasial untuk melihat perubahan fisik
penduduk yang cukup pesat. Jenis air yang paling aman dan kimiawi pada kualitas air pada badan air secara
dikonsumsi manusia adalah air tanah. geostatistik dengan pendekatan Kriging akan
Sumber air merupakan salah satu komponen menganalisa proses interpolasi. Kriging adalah teknik
utama yang ada pada suatu sistem penyediaan air bersih, pembuatan optimal, yang memperkirakan lokasi titik
karena tanpa sumber air maka suatu sistem penyediaan tanpa sampel daerah menggunakan sifatsifat stuktural
air bersih tidak akan berfungsi[1]. Dari kutipan diatas dari semivariogram dan set awal nilai data.
dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa, sumber air bersih Kriging mempertimbangkan tata ruang dan
yang dimaksud dapat berupa air laut, air sungai, danau, memberikan variansi estimasi disetiap titik estimasi.
dan yang paling sering kita temui di masyarakat ialah Ditinjau dari cara estimasi dan penyelesaian
air sumur, baik sumur gali ataupun sumur bor. perhitungannya terdapat berapa varian kriging. Point
DHL merupakan daya hantar listrik dari suatu kriging, Block Kriging, Ordinary Kriging, Co-Kriging,
benda atau suatu zat dan kemampuan benda itu sendiri Kriging with a trend. Semua varian kriging merupakan
untuk menghantarkan listrik. DHL air Material adalah salah satu metode yang digunakan untuk interpolasi.
suatu kebalikan tahanan dalam ohm yang diukur pada Interpolasi adalah metode yang digunakan untuk
muka tanah yang berlawanan dalam cm x cm3 pada mendapatkan data berdasarkan beberapa data yang telah
suhu 250C diukur dalam micromho (s) [2]. Jadi hantaran diketahui. Akurasi interpolasi dapat mempengaruhi
listrik adalah merupakan kebalikan dari tahanan, tetapi akurasi output model. Berdasarkan kasus yang menjadi

153
ISSN: 2302-3333 Jurnal Bina Tambang, Vol.5, No.1

bahasan dalam penelitian ini digunakan ordinary 3.1.1.2 Peta Tematik


kriging untuk penyelesaiannya. Metode Ordinary
Kriging merupakan metode estimasi suatu peubah acak Peta tematik merupakan peta yang memiliki suatu tema
pada suatu titik (lokasi) tertentu dengan mengamati data tertentu, atau menggabungkan beberapa unsur-unsur
yang sejenis dilokasi lain dengan mean data tertentu yang memiliki kesamaan. Contohnya adalah
diasumsikan konstan tetapi tidak diketahui nilainya. peta jaringan (jaringan pipa air minum, peta jaringan
jalan, jaringan telekomunikasi, jaringan listrik, jaringan
irigasi), peta ketinggian (kontur, Digital Terran Model/
2. Lokasi Penelitian Digital Elevation Model), serta peta tata guna lahan
Penelitian dilakukan di kec. Padang Barat yang terletak (land use) seperti sawah, hutan, kebun, ladang.
di bagian barat kota padang, Provinsi Sumatera Barat.
Lokasi Penelitian terletak antara 00º44’00”- 3.1.2 Peta Digital
01º08’35”LS dan 100º05’05”-100º34’09” BT dengan
luas keseluruhan 694,96 Km. Perkembangan dalam teknologi komputer
memungkinkan perpindahan media untuk pemetaan
menjadi digital. Peta dapat diterjemahkan kedalam
bentuk biner yang merupakan representasi dari pixel-
pixel gambar. Dari bentuk tersebut, didapat informasi
geografis yang memresentasikan keadaan sebenarnya.

3.1.3 Sistem Informasi Geografis (GIS)

SIG (Sistem Informasi Geografis) atau dikenal pula


dengan GIS (Geographical Information System)
merupakan suatu istilah dalam bidang pemetaan yang
memiliki ruang lingkup mengenai bagaimana suatu
sistem dapat menghubungkan objek geografis dengan
informasinya.
Gambar 1. Peta Hidrologi Kota Padang SIG dapat didefinisikan sebagai kombinasi
perangkat keras dan perangkat lunak komputer yang
3. Kajian Teori memungkinkan untuk mengelola (manage),
menganalisa, memetakan informasi spasial berikut data
3.1. Pemetaan atributnya (data deskriptif) dengan akurasi kartografi .

Istilah pemetaan seringkali digunakan pada ilmu 3.2. Air Tanah


matematika untuk menunjukan proses pemindahan
informasi dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Proses Airtanah merupakan salah satu sumber daya air yang
tersebut serupa dengan yang dilakukan oleh kartografer, sangat penting dalam mencukupi kebutuhan manusia,
yaitu memindahkan informasi dari permukaan bumi ke baik untuk kebutuhan dosmetik maupun industri.
dalam kertas dan hasil dari pemindahan informasi Air tanah pada umumnya terdapat dalam lapisan
tersebut dinamakan peta atau map[3]. tanah baik dari yang dekat dengan permukaan tanah
Dalam kamus bahasa Indonesia pemetaan atau sampai dengan yang jauh dari permukaan tanah. Air
visualisasi adalah pengungkapan suatu gagasan atau tanah ini merupakan salah satu sumber air, ada saatnya
perasaan dengan menggunakan gambar, tulisan, peta, air tanah ini bersih tetapi terkadang keruh sampai kotor,
dan grafik. Sementara itu Spasser mengatakan bahwa tetapi pada umumnya terlihat jernih.
“peta adalah alat relasi (relational tools) yang
menyediakan informasi antar hubungan entitas yang 3.2.1 Sumber Daya Air
dipetakan.”
Dalam UU No.7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air
3.1.1. Berdasarkan sifat beberapa hal didefinisikan sebagai berikut[4]:
a. Sumber daya air adalah air, sumber air, dan
3.1.1.1 Peta Topografi daya air yang terkandung di dalamnya.
b. Air adalah semua air yang terdapat pada, di
Peta topografi adalah peta yang berisi informasi atas ataupun di bawah permukaan tanah,
mengenai bentuk permukaan bumi. Informasi tersebut termasuk dalam pengertian ini air permukaan,
dapat berupa gambaran unsur-unsur alam, seperti sungai, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada
laut, gunung ataupun berupa gambaran unsur-unsur di darat.
buatan manusia, seperti perumahan serta pelabuhan. c. Air permukaan adalah semua air yang
terdapat pada permukaan tanah.
d. Air tanah adalah air yang terdapat dalam
lapisan tanah atau batuan di bawah
permukaan tanah.

154
ISSN: 2302-3333 Jurnal Bina Tambang, Vol.5, No.1

e. Sumber air adalah tempat atau wadah air jumlah yang terbatas. Dengan demikian batuan ini
alami dan/atau buatan yang terdapat pada, di bersifat semi permeabel. Contoh : pasirlempungan,
atas, ataupun di bawah permukaan tanah. lempungpasiran.
f. Daya air adalah potensi yang terkadung d. Akuiklud yaitu suatu tubuh batuan yang
dalam air dan/atau pada sumber air yang mempunyai susunan sedemikian rupa, sehingga dapat
dapat memberikan manfaat atau pun kerugian menyimpan air, tetapi tidak dapat mengalirkan air dalam
bagi kehidupan dan penghidupan manusia jumlah yang berarti.Dengan demikian batuan ini bersifat
serta lingkungannya. kebal air. Contoh : lempung, lanau, tuf halus, serpih.
Terdapat lima sumber air yang dapat dimanfaatkan e. Akuifug yaitu suatu tubuh batuan yang tidak
bagi kebutuhan kegiatan perkotaan, yaitu: dapat menyimpan dan mengalirkan air. Dengan
a. Air hujan, yaitu air hasil kondensasi uap air demikian batuan ini bersifat kebal air. Contoh: batuan
yang jatuh ke tanah, beku yang kompak dan padat.
b. Air tanah, yaitu air yang mengalir dari mata air,
sumur artesis atau diambil melalui sumur Kapasitas penyimpanan/cadangan air suatu bahan
buatan, ditunjukkan dengan porositas yang merupakan nisbah
c. Air permukaan, yaitu air sungai dan danau, volume rongga (vv) dengan volume total (v),
d. Desalinasi air laut atau air payau/asin, dan
e. Hasil pengolahan air buangan. n= VV x 100% (1)
V
3.2.2 Sifat – Sifat Batuan dan Terjadinya Air Tanah
Keterangan
Air tanah ditemukan pada akifer. Pergerakan air tanah n = persen porositas ( % )
sangat lambat, kecepatan arus berkisar antara 10-10 Vv = volume rongga ( v )
sampai 10-3 m/detik dan dipengaruhi oleh porositas, V = volume total batuan (gas,cair,padat (cm3))
permeabilitas dari lapisan tanah, dan pengisian kembali
air (recharge). Karakteristik utama yang membedakan
air tanah dan air permukaan adalah pergerakan yang
sangat lambat dan waktu tinggal (residence time) yang
sangat lama, dapat mencapai puluhan bahkan ratusan
tahun. Karena pergerakan yang sangat lambat dan waktu
tinggal yang lama tersebut, air tanah akan sulit untuk
pulih kembali jika mengalami pencemaran.
Air tanah adalah air yang bergerak dalam tanah
yang terdapat dalam ruangruang antara butir-butir tanah
dan di dalam retak-retakan dari batuan yang terdahulu
disebut air lapisan dan terakhir disebut air celah
(fissurewater) keberadaan air tanah sangat tergantung Gambar 2. Jenis - jenis rongga batuan
besarnya curah hujan dan besarnya air yang meresap
3.3. Kedalaman (depth)
kedalam tanah. Faktor lain yang mempengaruhi adalah
kondisi litologi (batuan) dan geologi setempat. Kedalaman Air Tanah Faktor-faktor yang menyebabkan
Berdasarkan perlakukan batuan terhadap airtanah, terjadinya perbedaan kedalaman air tanah adalah
maka batuan (sebagai media air) dapat dibedakan sebagai berikut:
menjadi empat. yaitu :
a. Permeabilitas Tanah
a. Akuifer yaitu batuan yang mempunyai susunan Permeabilitas tanah adalah tingkat
sedemikian rupa sehingga dapat menyimpan dan kemampuan lapisan batuan atau kemampuan tanah
mengalirkan air dalam jumlah yang berarti dibawah dalam menyerap air. Hal ini ditentukan oleh besar
kondisi lapangan.Dengan demikian batuan ini berfungsi kecilnya pori-pori batuan penyusun tanah.
sebagai lapisan pembawa air yang bersifat permeabel. Semakin besar pori-pori batuan, semakin banyak
Contoh : pasir, batupasir, kerikil, batugamping dan lava air yang dapat diserap oleh tanah tersebut.
yang berlubang-lubang.
b. Kemiringan Lereng
b. Akuitar yaitu suatu tubuh batuan yang Kemiringan lereng atau topografi curam
mempunyai susunan sedemikian rupa, sehingga dapat menyebabkan air yang lewat sangat cepat sehingga
menyimpan air, tetapi hanya dapat me-ngalirkan dalam air yang meresap sangat sedikit.
jumlah yang terbatas. Dengan demikian batuan ini
bersifat semi permeabel. Contoh : pasirlempungan, 3.4. Sumur bor
lempungpasiran
Konstruksi sumur bor sangat tergantung dari kondisi
c. Akuitar yaitu suatu tubuh batuan yang akuifer serta kualitas air tanah. Oleh sebab itu ada
mempunyai susunan sedemikian rupa, sehingga dapat bermacam-macam jenis konstruksi sumur bor.
menyimpan air, tetapi hanya dapat me-ngalirkan dalam

155
ISSN: 2302-3333 Jurnal Bina Tambang, Vol.5, No.1

Konduktivitas air dapat dinyatakan dalam satuan


mhos/cm atau Siemens/cm. Konduktivitas air murni
berkisar antara 0-200 µS/cm (low conductivity),
konduktivitas sungai sungai besar/major berkisar antara
200-1000 µS/cm (mid range conductivity), dan air
saline adalah 100010000 µS/cm (high conductivity).
Nilai konduktivitas untuk air layak minum sekitar 42-
500 µmhos/cm.

(2)
Hubungan TDS dan DHL dapat direpresentasikan dalam
satuan sebagai berikut :
Gambar 3. sumur bor 1μS = 1
S/cm
Untuk mengetahui besarnya debit yang dapat 1S/cm = 1 mho/cm
dihasilkan oleh suatu sumur dilakukan dengan cara uji 1μS/cm = 0,5 ppm
pemompaan. Prinsipnya adalah memompa air tanah dari 1 ppm = 2 μS/cm
sumur dengan debit konstan tertentu dan mengamati
surutan muka air tanah selama pemompaan berlangsung.
3.5.1 Konduktifitas dan Aliran Air
Dari situ dapat dilihat berapa besar kapasitas jenis
sumur, yakni jumlah air yang dapat dihasilkan dalam
satuan volume tertentu apabila muka air di dalam sumur Pengaruh aliran air pada nilai konduktivitas dan
diturunkan dalam satu satuan panjang. Di samping itu salinitas cukup mendasar. Jika inflow merupakan
dari uji pemompaan dapat diketahui juga parameter sumber air tawar, maka akan menurunkan nilai salinitas
akuifer, seperti angka kelulusan. dan konduktivitas. Sumber air tawar meliputi mata air,
lelehan salju, bening, aliran bersih dan air tanah segar.
3.5. Daya Hantar Listrik (DHL) Di sisi lain dari spektrum, aliran air tanah yang sangat
termineralisasi akan meningkatkan konduktivitas dan
Daya hantar listrik adalah bilangan yang menyatakan salinitas.
kemampuan larutan cair untuk menghantarkan arus Tingkat kerusakan kondisi dan lingkungan
listrik. Kemampuan ini tergantung keberadaan ion, total airtanah dapat diketahui dengan analisis kualitasnya
konsentrasi ion, valensi konsentrasi relatif ion dan suhu berdasarkan parameter conductivity (gambaran numerik
saat pengukuran. Makin tinggi konduktivitas dalam air, dari kemampuan air untuk menghantarkan arus listrik
maka air akan terasa payau sampai asin . Besarnya nilai tergantung pada kandungan garam-garam terlarut yang
daya hantar listrik digunakan sebagai indikator tingkat dapat terionisasi dalam air pada temperatur saat
kesuburan perairan. Tingginya daya hantar listrik pengukuran dilakukan. Secara teoritis air laut memiliki
menandakan banyaknya jenis bahan organik dan nilai conductivity yang tinggi karena mengandung
mineral yang masuk sebagai limbah ke perairan. Pada banyak senyawa kimia yang mengakibatkan tingginya
kondisi normal, perairan memiliki nilai DHL berkisar nilai salinitas dan daya hantar listrik. Oleh karena itu,
antara 20 - 1500 µS/cm. Sementara itu, alat yang untuk memprediksi suatu daerah terintrusi air laut dapat
digunakan dalam pengukuran daya hantar listrik adalah dilihat dari pola penyebaran hubungan nilai conductivity
konduktivitimeter. terhadap jarak dari garis pantai. Semakin jauh dari garis
Konduktivitas atau daya hantar listrik (DHL) pantai secara teoritis nilai conductivity semakin kecil.
merupakan ukuran dari kemampuan larutan untuk
menghantarkan arus listrik. Semakin banyak garam- 3.5.2 Konduktivitas dan Tingkat Air
garam terlarut yang dapat terionisasi, semakin tinggi
pula nilai DHL. Selain itu, bilangan valensi dan Konduktivitas air karena fluktuasi tingkat air sering
konsentrasi ion-ion terlarut sangat berpengaruh terhadap langsung terhubung ke aliran air. Fluktuasi
nilai DHL. Asam, basa dan garam merupakan konduktivitas dan salinitas karena perubahan tingkat air
penghantar listrik yang baik, sedangkan bahan organik paling terlihat di muara. Saat air pasang naik, air asin
(sukrosa dan benzene) yang tidak dapat mengalami dari laut didorong ke muara, meningkatkan salinitas dan
disosiasi merupakan penghantar listrik yang jelek . nilai konduktivitas. Ketika air pasang jatuh, air asin
ditarik kembali ke arah lautan, menurunkan
Tabel 1. klasifikasi air tanah berdasarkan DHL konduktivitas dan salinitas.

3.6. Total Dissolved Solid (TDS)

Kelarutan zat padat dalam air atau disebut sebagai total


Dissolved solid (TDS) adalah terlarutnya zat padat, baik
berupa ion, berupa senyawa, koloid di dalam air.
Sebagai contoh adalah air permukaan apabila diamati

156
ISSN: 2302-3333 Jurnal Bina Tambang, Vol.5, No.1

setelah turun hujan akan mengakibatkan air sungai 3.7.1 Metode Perhitungan Sumberdaya
maupun kolam kelihatan keruh yang disebabkan oleh
larutnya partikel tersuspensi didalam air, sedangkan Secara umum, pemodelan dan perhitungan sumberdaya
pada musim kemarau air kelihatan berwarna hijau batubara memerlukan data-data dasar sebagai berikut
karena adanya ganggang di dalam air. Konsentrasi Peta topografi, Data dan sebaran titik bor, Peta geologi
kelarutan zat padat ini dalam keadaan normal sangat lokal (meliputi litologi, stratigrafi, dan struktur geologi).
rendah, sehingga tidak kelihatan oleh mata telanjang . a. Statistik Univarian adalah metode statistik
Padatan total adalah bahan yang tersisa setelah air yang digunakan untuk menganalisis hubungan
sampel mengalami evaporasi dan pengeringan pada antar masing-masing data dari suatu populasi
suhu tertentu. tanpa memperhatikan lokasi dari data-data
tersebut.
Tabel 2. Klasifikasi Padatan di Perairan berdasarkan Parameter statistik lainnya yang digunakan untuk
Ukuran Diameter analisis statistik univarian adalah sebagai berikut:

I. Mean (µ) atau rata-rata


Nilai yang mewakili sekelompok data dan nilainya
mempunyai kecenderungan berada di tengah-tengah
populasi (ratarata dari populasi data), secara matematis
dinyatakan dengan persamaan
TDS adalah baik dinyatakan dalam garam
perkilogram air, atau dalam bagian per seribu (ppt atau
%). Sebgai contoh, jika anda memiliki 1 gram garam, (3)
Keterangan: µ = rata-rata data observasi
dan 1.000 gram air, salinitas yang didapatkan adalah
sebesar 1 g/kg, atau 1 ppt. air tawa mempunyai sedikit N = banyaknya data observasi
garam, biasanya kurang dari 0,5 ppt. Air tawar dengan Xi = nilai data observasi
Σ = jumlah
salinitas 0,5-17 ppt disebut air payau, yang ditemukan
muara sungai dan rawa-rawa garam pantai.
II. Median
Nilai data observasi yang berada di tengah-tengah
Tabel 3. Nilai Salinitas dalam berbagai Jenis Air
urutan data (data observasi yang membagi data menjadi
dua bagian yang sama banyak) dengan rumus:

(4)
Keterangan : Md = Median
Bo = Tepi kelas bawah Median
N = Banyak Data
Cf = frekuensi kemulatf kelas
median
F Md = frekuensi kelas Median
Ci = interfal kelas Median
3.7. Ordinary Kriging
III. Modus
Kriging merupakan analisis data geostatistika yang Suatu nilai yang memiliki frekuensi yang terbesar
digunakan untuk mengestimasi besarnya nilai yang atau nilai yang paling banyak muncul dalam suatu
mewakili suatu titik yang tidak tersampel berdasarkan populasi. Modus mungkin ada dan mungkin juga tidak
titik–titik tersampel yang berada di sekitarnya dengan ada.
mempertimbangkan korelasi spasial yang ada dalam
data tersebut. Kriging merupakan suatu metode
interpolasi yang menghasilkan prediksi atau estimasi tak (5)
bias dan memiliki kesalahan minimum. Metode estimasi Keterangan: Mo = Modus
ini menggunakan variogram yang merepresentasikan B Mo = Tepi kelas bawah kelas Modus
perbedaan spasial dan nilai diantara semua pasangan d = Selisih frekuensi kelas Modus
sampel data. Variogram juga menunjukkan bobot yang dengan frekuensi kelas sebelumnya
digunakan dalam interpolasi. d² = Selisih frekuensi kelas Modus
Pada metode Ordinary Kriging, nilai-nilai sampel dengan frekuensi kelas sesudahnya
yang diketahui dijadikan kombinasi linier untuk Ci = Interval kelas Modus
menaksir titik-titik disekitar daerah (lokasi) sampel. Hubungan antara mean, Median dan Modus adalah
Pada Ordinary Kriging, m (s) merupakan mean dari Z (s) untuk mengetahui kemiringan kurva polygon distribusi
yaitu m(s)=E(Z(s)), dimana E(Z(s) )=μ frekuensi data observasi.

157
ISSN: 2302-3333 Jurnal Bina Tambang, Vol.5, No.1

IV. Range 4) Diperolehnya keputusan yang lebih baik dengan


Range atau daerah jangkauan adalah selisih antara nilai tingkat kepercayaan yang lebih tinggi.
terbesar sama nilai terkecil dari serangkaian data.
(6) c. Variogram
Keterangan :Jk = Daerah jangkauan Variogram dikatakan sabagai karakteristik variable
BMax = Batas atas kelas dari kelas diantara dua kuantitas (conto) Z(xi) dan Z(xi+h (Journel
tertingi & Huigbreight). variogram eksperimental dapat
B Min = Batas bawah kelas dari kelas dinyatakan dengan persamaan berikut:
terendah

V. Jangkauan antara Kuartil


(10)
Sekumpulan data yang telah disusun mulai dari yang Dimana: (h) = Variogram Eksperimental
terkecil sampai yang terbesar, kemudian dibagi menjadi Z(si) = Nilai kadar pada lokasi si
empat bagian yang sama. Ada tiga jenis kuartil yaitu Z(si + h) = Nilai kadar pada lokasi si + h
kuartil bawah ( ), Kuartil tengah ( ) dan kuartil N (h) = Jumlah pasangan data
atas ( ).
4. Metode Penelitian
(7)
Dimana: Metodologi penelitian adalah ilmu mengenai jalan yang
Ki = Nilai kuartil ke . . . . i dilewati untuk mencapai pemahaman. Jalan tersebut
Bb = Batas bawah kelas yang mengandung nilai harus ditetapkan secara bertanggung jawab ilmiah dan
kuartil data yang dicari untuk membangun/memperoleh
P = Panjang Kelas pemahaman harus melalui syarat ketelitian. artinya
i = Letak kuartil . . . . i harus dipercaya kebenarannya.
Jf = Jumlah semua frekuensi kumulatif sebelum 4.1 Jenis Penelitian
kelas kuartil
Jenis penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah
VI. Varians (σ²) penelitian kuantitatif yang mengacu kepada penelitian
Varians merupakan ukuran penyebaran data yang sering eksperimen.penelitian tipe kuantitatif dapat digunakan
digunakan. Varians merupakan ukuran penyebaran data apabila data yang dikumpulkan berupa data kuantitatif
yang mengukur rata-rata jarak kuadrat semua titik atau jenis data lain yang dapat dikuantitaskan dan diolah
pengamatan terhadap titik pusat (rata-rata). Jika , menggunakan teknik statistik.
. . . adalah amggota suatu populasi terhingga Metode ini disebut metode kuantitatif karena data
berukuran N. Maka varians populasinya adalah: penelitian berupa angka-angka dan analisis
menggunakan statistik. Teknik pengambilan sampel
pada umumnya dilakukan secara random, pengumpulan
(8)
data menggunakan instrumen.penelitian, analisis data
bersifat kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk
VII. Simpangan Baku (Standar Deviasi) menguji hipotesis yang telah ditetapkan.
Simpangan baku adalah nilai yang menunjukkan tingkat
variasi kelompok data atau ukuran standar penimpangan 4.2. Teknik Pengumpulan Data
dari nilai rataratanya.
Cara pengambilan data - data yang diperlukan dalam
(9) penelitian ini meliputi:

b. Statistik Spasial 1. Studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data-data


Statistik spasial adalah segala teknik analisis untuk dari literatur-literatur dan internet tentang
mengukur distribusi suatu kejadian berdasarkan pengambilan sample dan cara menjalankan SGeMs.
keruangan. Keruangan yang dimaksud disini adalah 2. Observasi lapangan, yaitu pengamatan di lapangan
variabel yang ada di permukan bumi seperti kondisi meliputi kegiatan pengambilan sample.
topografi. Berbeda dengan statistik non spasial yang Adapun data – data yang dikumpulkan terbagi menjadi
tidak memasukkan unsur keruangan dalam analisisnya. dua, yaitu:
yaitu:
1) Diperolehnya pemahaman yang lebih baik 4.2.1 Data Primer
mengenai fenomena geografis dari suatu kejadian
2) Diketahuinya dengan tepat penyebab suatu Data Primer meliputi:
kejadian berasarkan pola geografis yang spesifik 1) Data hasil pengukuran parameter air
2) Data GPS berupa koordinat, jarak dari
3) Disimpulkannya distribusi kejadian berdasarkan pantai, ketinggian
satuan data
3) Data MAT masing – masing sumur di
Kota Padang

158
ISSN: 2302-3333 Jurnal Bina Tambang, Vol.5, No.1

4.2.2 Data Sekunder Ada 9 parameter yang diperlukan dalam


pembuatan grid ini yaitu:
Data Sekunder meliputi: a. Number of cell (X, Y, Z) menunjukkan
a. Gambaran umum daerah pengambilan sample berapa jumlah blok x, y dan z pada grid
b. Data geologi regional tersebut. Number of cell x, y, z
didapatkan dari nilai range dibagi dengan
4.3. Pengolahan Data nilai size of cell (ukuran blok).
b. Size of cell (X, Y, Z) menunjukkan
Adapun pengolahan data-data yang diperlukan dalam
ukuran dari tiap blok x, y dan z pada grid
penelitian ini meliputi:
tersebut. Nilai Size of cell x dan y
a. Menyusun data pada ms. Excel sesuai dengan merupakan setengah dari jarak rata-rata
parameter-parameter yang diteliti. antar lubang bor terdekat sedangkan nilai
size of cell z merupakan nilai kedalaman
b. Data yang telah dikelompokkan maka dibuat lah lubang bor minimum.
diangram batang, pada masing – masing c. X, Y, Z coordinate of the origin of the
parameternya. grid menunjukkan koordinat minimum
dari x, y dan z.
c. Analisis yang digunakan dalam mengkaji hubungan
antara variabel-variabel berdasarkan pengaruh musim 4.3.3. Analisis Statistik multivariate
yang di inginkan adalah analisis regresi univariate
mengunakan software SGeMs Pada pengolahan data analisis statistik
multivariate dilakukan beberapa tahapan
4.3. Teknik Analisis Data
yaitu:
4.3.1. Tahapan Analisis Data a) Variogram Eksperimental
Analisis data dilakukan dengan Pada tahap ini kita perlu
menganalisis data primer yang telah diambil memasukkan nilai parameter penyusun
sehingga didapatkan nilai-nilai berikut: variogram eksperimental yaitu:
a. Nilai masing – masing parameter yang diteliti, Number of lag ( jumlah lag) yang
pada tahapan ini penulis ingin melihat didapatkan dari jarak diagonal grid dibagi
perbandingan nilai dari 2 parameter masing – lag separation
masing yang diteliti (TDS & DHL). 1) Lag separation merupakan nilai jarak
b. Nilai dari koefiien hubungan antara lubang bor terdekat
parameter – parameter yang penulis teliti, 2) Lag tolerance bernilai 1/2 dari lag
baik dari uji analisis multivariate, yang separation
bertujuan untuk melihat seberapa besar 3) Number of direction
hubungan variabel-variabel tersebut. 4) Azimuth, dip, angle tolerance dan
c. Nilai dari uji t dan uji f anatara variabel – bandwidth
variabel yang diteliti, untuk menjawab b) Variogram Model
hipotesa ditolak atau diterimanya pernyataan Setelah semua parameter
hipotesa penulis. variogram eksperimental dimasukkan kita
d. Nilai MAT berfungsi untuk melihat batang tentukan model variogram yang akan
tubuh air. dipakai. Model variogram yang akan
e. Nilai dari masing – masing parameter yang digunakan disesuaikan dengan bentuk dari
telah disusun dalam ms. Excel tersebut akan persebaran data pada variogram
di jadikan sebagai data untuk pembuatan peta eksperimental.
zonasi masing – masing parameter di Kota c) Fitting Variogram
Padang Perhitungan Analisis Statistik Pada tahap fitting variogram kita
Multivariate. Akan menghasilkan histogram masukkan nilai variance dari histogram
ini terdapat nilai mean, median, variance, sebagai nilai sill+nugget, kemudian
maksimum, minimum, upper quartile dan lakukan fitting variogram dengan
lower quartile. Nilai variance yang ketentuan yang telah dijelaskan pada
didapatkan pada histogram ini akan dasar teori.
digunakan sebagai paramater dalam fitting
variogram. 4.3.4. Estimasi dengan metode ordinary kriging
Pada penelitian ini peneliti akan
4.3.2. Pembuatan Grid melakukan kriging untuk masing-masing
parameter TDS dan DHL. Estimasi dengan
Pembuatan grid dilakukan berdasarkan metode kriging ini menggunakan parameter–
pada nilai range x, y, z, jarak rata-rata antar parameter sebagai berikut:
lubang bor dan nilai titik koordinat minimum. Data yang digunakan berjumlah 127 Sumur
a) Luas daerah pencarian (search area)
berupa ellipsoid yang dinyatakan dengan

159
ISSN: 2302-3333 Jurnal Bina Tambang, Vol.5, No.1

parameter sumbu yaitu : Rmax, Rmed,


dan Rmin. Pemilihan nilai Rmax
disesuaikan dengan area estimasi terjauh.
Untuk nilai angle (sudut) dipakai 0o
karena pada Airtanah memiliki sifat
keseragaman yang tinggi (homogen).
b) Untuk parameter hasil variogram (nugget
effect, sill, dan range) disesuaikan dengan
hasil sebelumnya per masing-masing
parameter TDS dan DHL.

1.Koreksi Topografi Terhadap Hasil Estimasi


Ordinary Kriging
Koreksi topografi terhadap hasil
estimasi ordinary kriging dilakukan dengan
menggunakan phyton. Hasil koreksi topografi
ini akan dimodelkan dengan
mempresentasikan penyebaran cadangan
sumberdaya batubara hasil ordinary kriging
blok tiga dimensi.
2.Melihat perbandingan TDS dan DHL dengan
metode ordinary kriging.
3.Membuat pemodelan geologi dengan
menggunakan software Arcgis

5. Hasil dan Pembahasan


5.1. Hasil Histogram DHL

Kegiantan ini berguna untuk mengetahui hasil univariat


dari Daya Hantar Listrik, dan mengetahui secara
langsung yang dibutuhkan untuk membuat variogram
TDS. Gambar 5 Data Aktual Geometri Peledakan

Gambar 4. Histogram DHL Gambar 6. variogram DHL

160
ISSN: 2302-3333 Jurnal Bina Tambang, Vol.5, No.1

Gambar 10. Hasil Keadaan Permodelan Peta Geologi

6. Kesimpulan dan Saran


6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan


dapat disimpulkan seperti berikut:
1. Nilai DHL (EC) yang paling tinggi terdapat di kel.
Purus.
2. Sebagian besar daerah pesisir Kota Padang
Gambar 7. Hasil Estimasi kriging mengalami intrusi air laut, terbukti berdasarkan
pengukuran nilai salinitas air tanah dangkal dimana
rata-rata kandungan salinitas berada pada kisaran
0,5 ppt – 30 ppt yaitu air agak asin/payau
(moderately saline) baik pada kondisi air laut
pasang maupun kondisi air laut surut.

6.2. Saran

1. Hendaknya pemerintah yang terkait untuk


memberikan perhatian guna meminimalisir dampak
yang dialami air tanah dangkal yang mengalami intrusi
air asin.
2. Pada kawasan yang terindikasi air asin agar air sumur
Gambar 8. Pengolahan Dengan Python dangkal tidak digunakan untuk konsumsi sehari-hari
karena tidak baik untuk kesehatan dan perabot rumah.

Daftar Pustaka
[1] Amri, Hafizul., Putra, Ardian. Estimasi
Pencemaran Air Sumur yang Disebabkan Oleh
Intrusi Air Laut di Daerah Pantai Tiram,
Kecamatan Ulakan Tapakis, Kabupaten Padang
Pariaman. Jurnal Fisika Unand. Vol. 3.
No.4.Oktober 2014. ISSN. 2302-8491 (2014)
[2] Leidonald, Rusdi. Kajian Intrusi Air Laut pada
Sumur Dangkal di Desa Denai Kuala di
Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli
Serdang.Jurnal Manajemen dan Sumberdaya
Perairan USU. (2015)
Gambar 9. regresi linier [3] Afrianita, Reri. dkk. Analisis Intrusi Air Laut
dengan Pengukuran Total Dissolved Solid (TDS)
Pada Gambar sembilan dapat diketahui nilai dari Air Sumur Gali di Kecamatan Padang Utara.
kumpulan data dapat dicari dengan rumus regresi linier Jurnal Teknik Lingkungan UNAND. (2017)
Y=3,0007X+1e+07

161
ISSN: 2302-3333 Jurnal Bina Tambang, Vol.5, No.1

[4] Serikat Negara, R.I. (2004) Undang-Undang [9] Gusman, M., Muchtar, B., N., Akbar, M.D., and Deni,
Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air A.V. Estimasion Of Limestones Using Three Dimension
[5] Indriastoni, Rendi Novi. Intrusi Air Laut Terhadap Block Kriging Method, a Case Study : Limestone
Kualitas Air Tanah Dangkal di Kota Sawahlunto. Sediment at PT Semen Padang. IOP Conf. Series: Earth
[6] Sihwanto, Satriyo. 1991. Metode Penentuan Penyebab and EnvironmentalScience 314 (2019)
Keasinan Air Tanah : Studi Kasus Daerah Dataran 012069,2019,pp.1-10
Pantai Dumai, Riau[Kumpulan Makalah Ikatan Ahli [10] Machbub, B. 2004. Pengelolaan Kualitas Lingkungan
Geologi Indonesia]. Bandung(ID). Hal 26-40 Daerah Aliran Sungai (DAS) untuk Menunjang
[7] Widada S. 2007 . Gejala Intrusi Air Laut di Daerah Pembangunan yang Berkelanjutan. Jurnal Lingkungan
Pantai Kota Pekalongan. Jurnal Ilmu Kelautan ISSN dan Pembangunan : Vol. 24(2) : 137-157.
0853-7291. 12(1): 45-52. [11] Husni mubarak kurnia zein, A. 2012 “Sebaran TDS,
[8] Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Daerah Aliran Sungai. DHL, Penurunan Muka Airtanah dan Prediksi Intrusi Air
Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Laut di Kota Tangerang Selatan” bogor Agritucutural
University(2012).

162
PROMINE, Juni 2020, Vol. 8 (1), Halaman 34 - 39

Pendekatan Semivariogram Anisotropik dalam Metode Ordinary Kriging (OK)


terhadap Pola Penyebaran Mineral Ikutan Timah
(The Approach of Anisotropic Semivariogram using Ordinary Kriging (OK)
Method for The Distribution Pattern of Tin Mineral Associations)
1* 2
Ririn Amelia , Guskarnali
1
Jurusan Matematika, Universitas Bangka Belitung
2
Jurusan Teknik Pertambangan, Universitas Bangka Belitung

* Korespondensi E-mail: rynamelia.babel@gmail.com

Abstrak
Penambangan secara inkonvensional masih menjadi pilihan masyarakat Pulau Bangka. Salah satu
lokasi di Pulau Bangka yang masih melakukan aktivitas penambangan timah darat dengan skala kecil
atau skala rakyat adalah Bukit Sambung Giri, Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka. Dengan
mengetahui pola distribusi penyebaran mineral ikutan timah akan memberikan gambaran umum yang
dapat mencegah dan meminimalisir kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan
penambangan. Interpolasi penyebaran mineral ikutan timah (Sn) seperti zirkon (Zr) dan hematit
(Fe2O3) menggunakan semivariogram anisotropik dalam metode Orinary Kriging mempengaruhi pola
penyebaran masing-masing mineral tersebut. Hal ini dapat terlihat berdasarkan pencocokan model
semivariogram teoritis yang menghasilkan model yang berbeda-beda. Model yang lebih cocok untuk
mineral hematit dan zirkon adalah eksponensial, sedangkan timah menggunakan model Gaussian.
Berdasarkan hasil dari metode Ordinary Kriging,diperoleh bahwa pola penyebaran ketiga mineral
tersebut berada pada arah timur sekitar Bukit Sambung Giri. Perkiraan pola penyebaran ketiga
mineral ini, memberikan gambaran umum yang dapat meminimalisir kerusakan lingkungan akibat
kegiatan penambangan di Bukit Sambung Giri.

Kata kunci: Anisotropik, ordinary kriging, penambangan, timah

Abstract
Unconventional mining is still the choice of the people of Bangka Island. One of the locations on the
Bangka islands that still conduct tin mining activities on a small scale or community scale is Sambung
Giri Hill, Merawang District, Bangka Regency. Based on understanding distribution patterns of the
mineral will provide a general description that can prevent and minimize damage caused by mining
activities. Interpolation of Tin (Sn), zircon (Zr) and hematite (Fe2O3) using anisotropic semivariogram
in the Ordinary Kriging method uses the distribution pattern of each of these minerals. In this method
uses the best anisotropic semivariogram model of each mineral. Models that are more suitable for
hematite and zircon minerals are exponential, whereas tin uses the Gaussian model. Based on the
results of the Ordinary Kriging method, the mineral distribution pattern was obtained in accordance
with the east direction around the Sambung Giri Hill. The estimated pattern of mineral distribution,
provides a general description that can minimize environmental damage due to mining activities in
Sambung Giri Hill.

Keywords: Anisotropic, ordinary kriging, mining, tin

1. Pendahuluan
Pulau Bangka dan Belitung dikenal sebagai menyebutkan bahwa Pulau Bangka dan Belitung
daerah penghasil timah (Sn) terbesar di pernah tercatat dalam sejarah sebagai penghasil
Indonesia dan merupakan bagian dari jalur timah terbesar di dunia. Komoditi timah pada
mineralisasi logam di Indonesia bagian barat. masa lalu pernah menjadi penyumbang devisa
Kegiatan penambangan di Pulau Bangka sudah yang signifikan bagi Indonesia. Penemuan
dimulai pada tahun 1711 sedangkan di Pulau sumberdaya mineral bijih timah yang berlimpah
Belitung telah dimulai sejak Tahun 1852 dan di Pulau Bangka dan Belitung sangat
berlangsung sejak zaman Belanda sampai berhubungan erat dari posisi strategis geologi
sekarang (Susanto, 2015). Menurut Cobbing Pulau Bangka dan Belitung yang terbentuk pada
(2005) dalam Irvani dan Elsha (2018) juga Sabuk Timah Asia Tenggara.

34
PROMINE, Juni 2020, Vol. 8 (1), Halaman 34 - 39

Praktek penambangan timah telah menjadi Gaussian, spherikal) dipilih salah satu model
aktivitas keseharian bagi masyarakat di Pulau semivariogram terbaik untuk mengestimasi curah
Bangka Belitung yang dilakukan dengan hujan di Kota Semarang (Bahtiyar dkk., 2014).
penambangan lepas pantai (perusahaan Pendekatan semivariogram dan Metode
mengoperasionalkan armada kapal keruk untuk Ordinary Kriging juga telah dilakukan oleh
operasi produksi di daerah lepas pantai (off Guskarnali (2016) dalam mengestimasi
shore)) dan penambangan timah darat-gravel sumberdaya bijih besi (Fe) pada daerah Tanjung
pump (prosesnya dilakukan menggunakan Buli Kabupaten Halmahera Timur. Dimana, hasil
pompa semprot (gravel-pump)) (Susanto, 2015). model penaksiran sumberdaya kadar bijih besi
Penambangan secara inkonvensional pun (Fe) menunjukkan pola penyebaran yang tinggi
masih menjadi pilihan masyarakat Pulau Bangka. yakni diatas14,40% dan tersebar secara acak
Salah satu lokasi di Pulau Bangka yang masih (bervariasi). Metode yang sama juga dilakukan
melakukan aktivitas penambangan timah darat oleh Amelia dan Guskarnali (2017) dalam
dengan skala kecil atau skala rakyat adalah Bukit memperkirakan data Composite Jumlah
Sambung Giri, Kecamatan Merawang, Hambatan Lekat pada data tanah. Kemudian,
Kabupaten Bangka. metode yang sama juga dilakukan untuk
Bukit Sambung Giri memiliki catatan geologi menentukan arah penambangan yang
sebagai salah satu lokasi pembentukan timah berorientasi lingkungan menggunakan metode
primer di Pulau Bangka. Pada kawasan Bukit Ordinary Kriging di Bukit Sambung Giri,
Sambung Giri terdapat aktivitas penambangan Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka.
bijih timah primer pada bagian tubuh atas dan Dimana, data yang digunakan adalah mineral
lereng bukit dengan skala kecil, dan pada bagian yang terkandung didalam kasiterit hasil dari
bawah bukit terdapat penambangan timah secara penambangan timah (Amelia dkk. 2019). Ketiga
inkonvesional yang juga dilakukan pada skala penelitian tersebut menggunakan semivariogram
kecil. Bijih timah menjadi daya tarik bagi para isotropik yang selanjutnya model hasil
penambang untuk datang dari berbagai daerah semivariogram isotropik tersebut digunakan
sekitarnya (Mardiah dan Irvani, 2018). untuk mengestimasi nilai yang dicari
Ketertarikan tersebut juga sebabkan oleh menggunakan metode Ordinary Kriging.
adanya mineral-mineral lain yang ditemukan atau Berbeda dengan penelitian yang dilakukan
terikutsertakan bersamaan dengan oleh Sari dan Neswan (2015) yang menuliskan
penambangan timah. Mineral-mineral tersebut bahwa pemodelan semivariogram anisotropik
disebut sebagai mineral ikutan. Dimana, mineral- dapat diaplikasikan dalam industri perminyakan,
mineral ikutan dari hasil penambangan ini dengan studi kasus produksi minyak di lapangan
memiliki nilai yang ekonomis. Adapun jenis-jenis Jatibarang. Dalam tiga model semivariogram
mineral ikutan tersebut seperti: kalsium, hematit, yaitu eksponensial, Gaussian dan spherikal,
titanium, zirkonium dan mineral ikutan lainnya. peningkatan sudut pada semivariogram
Namun, efek dari penambangan darat ini anisotropik memberikan pengaruh yang berbeda
mengakibatkan terbentuknya lubang bekas untuk fungsi rentang dan pergeseran nilai
penambangan timah (lubang camuy atau kulong) semivariogram.
di kawasan Bukit Sambung Giri. Lama kelamaan Selanjutnya Carol dkk., (2017) menggunakan
hal ini dapat mengakibatkan kerusakan metodologi interpolasi kriging anisotropik dan
lingkungan yang berakibat fatal jika terus- isotropik. Dimana, kriging anisotropik digunakan
menerus dibiarkan tanpa adanya reklamasi. dalam menginterpolasi kecepatan angin,
Untuk itu, penting untuk mengetahui perkiraan memperhitungkan arah dan tren kecepatan
pola penyebaran dari mineral tersebut agar angin dipermukaan yang heterogen.
penambangan dapat dilakukan dengan cara dan Penulisan artikel ini juga merupakan lanjutan
arah yang tepat. Dengan mengetahui pola dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya
distribusi penyebaran mineral biji timah, akan di Bukit Sambung Giri Kecamatan Merawang.
memberikan gambaran umum kegiatan Adapun penelitian sebelumnya adalah
penambangan yang dapat mencegah kerusakan mengetahui arah penambangan yang
lingkungan. Sehingga kerusakan lingkungan berorientasi lingkungan dengan Metode Ordinary
yang disebabkan oleh kegiatan penambangan Kriging yang menggunakan pendekatan
dapat diminimalisir (Amelia dkk., 2019). semivariogram isotropik (berdasarkan dari jarak
Pola distribusi penyebaran mineral ikutan pengamatan). Namun, kali ini akan dilanjutkan
timah dalam dilakukan dengan pendekatan dengan melihat data dari perspektif
metode ordinary kriging. Metode Ordinary Kriging semivariogram anisotropik (berdasarkan dari
dalam mengsestimasi curah hujan di Kota jarak dan arah pengamatan). Harapannya,
Semarang. Menggunakan variogram dengan mengetahui pola penyebaran mineral
eksperimental yang dibandingkan dengan ikutan timah berdasarkan jarak dan arah dapat
beberapa variogram teoritis (eksponensial,

© Mining Engineering, Univ. of Bangka Belitung 35


PROMINE, Juni 2020, Vol. 8 (1), Halaman 34 - 39

meminimalisir kerusakan lingkungan akibat mengetahui kandungan unsur yang ada di setiap
kegiatan penambangan. lokasi.
Berdasarkan hasil pengujian tersebut terdapat
2. Metode dua puluh dua mineral yang terdeteksi
Data yang digunakan pada penelitian ini menggunakan XRF tersebut. Namun, yang
diambil pada sekitar Bukit Sambung Giri, Desa digunakan dalam penelitian ini adalah Timah (Sn),
Jurung, Kecamatan Merawang, Kabupaten Zirkon (Zr) dan Hematit (Fe2O3). Pemilihan
Bangka (lihat Gambar 1). Terdapat dua puluh mineral ini didasarkan bahwa ketiganya memiliki
enam data sampel yang kemudian diuji nilai ekonomis baik dari hasil penambangan legal
menggunakan X-Ray Fluorescence (XRF) untuk maupun penambangan illegal.

Gambar 1. Dua puluh enam data sampel penelitian di Bukit Sambung Giri, Desa Jurung,
Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka.

Adapun tahapan dalam penelitian ini adalah: dengan d adalah jarak, z(si) merupakan nilai
a. Menentukan Statistika Deskriptif observasi pada lokasi-lokasi sampel dan N(d)
Dalam hal ini, statistika seskriptif digunakan adalah nilai banyaknya pasangan data yang
untuk menganalisis dan meninterpretasikan berjarak d. Terdapat tiga parameter yang ada
penyebaran data timah (Sn), zirkon (Zr) dan pada semivariogram yaitu: sill (C), nugget effect
hematit (Fe2O3). Kemudian, berdasarkan analisis (C0), dan range (a). Jika parameter tersebut
statistika deskriptif ini dapat diketahui distribusi menunjukan nilai yang berbeda untuk setiap arah
penyebaran data, koefisien variasi dan maka fenomena ini disebut semivariogram
sebagainya. (Amelia dkk., 2019). semivariogram anisotropik. Hal ini dikarenakan
b. Semivariogram Anisotropik semivariogram anisotropik tidak hanya
Semivariogram bertujuan untuk mengetahui bergantung pada jarak saja tetapi juga
korelasi spasial antar lokasi yang terpisahkan bergantung pada arah antar pasangan lokasi.
oleh jarak tertentu. Jika data observasi diketahui, Dimana, semivariogram anistropik diukur dalam
0 0 0 0
maka dapat menggunakan semivariogram empat sudut yaitu 0 , 45 , 90 dan 135 .
eksperimental: c. Model Semivariogram yang terbaik
1 N (d ) Dalam menentukan model semivariogram
ˆ (d )  
2( N (d )) i  j ,i 1
[ z ( si  d )  z ( si )]2 (1) yang terbaik, dapat menggunakan
semivariogram eksperimental yang kemudian
akan dicocokkan dengan model semivariogram

© Mining Engineering, Univ. of Bangka Belitung 36


PROMINE, Juni 2020, Vol. 8 (1), Halaman 34 - 39

teoritis. Adapun model semivariogram teoritis 3. Hasil dan Pembahasan


yang biasa digunakan adalah model linear, Berdasarkan hasil dari analisis statistika
seperti model spherikal, eksponensial dan deskriptif diperoleh bahwa hematit memiliki
gaussian (Weckernagel, 2003). Ketiga model variabilitas yang tinggi, terlihat dari tingginya nilai
tersebut ditunjukaan oleh persamaan berkut: rata-rata dan variansi dibandingkan unsur lainnya.
Spherikal,   3  h  1  h 3  (2) Selanjutnya, zirkon memiliki data yang homogen
C0  C        , h  a
 ( h)    2  a  2  a   jika dibandingkan dengan unsur timah dan
 hematit (Amelia dkk., 2019).
 C0  C ,h  a
Apabila dilihat dari nilai median dan rata-rata
Eksponensial,  (h)  C0  C 1  exp   h   (3) terlihat bahwa data tidak berdistribusi normal.
 
  a  Sehingga, dalam hal ini dilakukanlah log
transformation. Kemudian, data tersebut diolah
Gaussian,  (h)  C  C 1  exp    h   
2
(4)
0       untuk mengetahui korelasi spasial antar lokasi
   a    data dengan menggunakan persaman (1).
Dengan menggunakan semivariogram Adapun hasil dari pengolahan data
eksperimental akan dipilih satu model terbaik menggunakan semiariogram anistropik dapat
diantara ketiga model semivariogram tersebut. dilihat pada Tabel 1.
Tentunya berdasarkan dari pendekatan Berdasarkan pada Tabel 1 terlihat bahwa
semivariogram anisotropik dengan empat arah proporsi parameter untuk setiap mineral
sudut yang telah ditentukan. cenderung mengarah pada model
d. Metode Ordinary Kriging semovariogram yang Gaussian. Namun, jika
Metode Ordinary Kriging (OK) ini dilihat sesuai dengan koefisien determinasi,
menghasilkan prediksi atau kriging variansi yang mineral hematit (Fe2O3) cenderung mengarah
merupakan parameter tingkat keyakinan dari pada model eksponensial, sedangkan Timah (Sn)
suatu data estimasi, artinya suatu data estimasi cenderung mengarah pada model Gaussian dan
dikatakan baik jika memiliki nilai kriging variansi model yang mendekati cocok untuk mineral
yang lebih kecil. Metode OK juga merupakan zirkon juga Gaussian.
metode interpolasi yang menghasilkan estimasi Namun, nugget variance (C0) dari model
tak bias yang disebut juga sebagai Best Linear Gaussian pada mineral timah (Sn) lebih besar
Unbiased Estimator (BLUE). Nilai estimasi pada daripada model eksponensial dan spherikal.
variabel yang ditaksir menggunakan persamaan Akan tetapi, berdasarkan proporsi parameter dan
nilai koefisien determinasi menunjukan bahwa
Zˆ   in1wi .Zi dengan  in1wi  1 . Ẑ
model yang lebih cocok untuk mineral timah (Sn)
merupakan nilai taksiran dan Zi nilai dari sampel adalah model Gaussian.
pada lokasi yang dibobot, dan wi merupakan Begitu pula yang terlihat pada mineral zirkon
bobot sampel. Bobot sampel tidak hanya (Zr). Nugget variance (C0) dari model Gaussian
didasarkan pada jarak antara ukuran dan lokasi pada mineral zirkon (Zr) lebih besar ketimbang
titik prediksi tetapi juga pada keseluruhan letak dari model eksponensial dan spherikal. Namun,
titik-titik yang diukur disekitar observasi lapangan apabila dilihat berdasarkan proporsi parameter
(Oliver dan Webster, 2015). (hubungan kebergantungan antar ruang dan
jarak) menunjukan bahwa model yang lebih
cocok adalah model eksponensial.

Tabel 1. Parameter dari model semivariogram


Nugget Proportion 2
Sampel C0+C R Model
effect (C0) (C/[C0+C])
Hematit 0.212 1.579 0.866 0.124 Eksponensial
0.377 1.744 0.784 0.114 Gaussian
0.217 1.584 0.863 0.123 Spherikal
Timah 0.440 23.596 0.981 0.425 Eksponensial
1.620 17.346 0.907 0.475 Gaussian
0.550 13.136 0.958 0.432 Spherikal
Zirkon 0.077 0.531 0.855 0.044 Eksponensial
0.105 0.559 0.812 0.059 Gaussian
0.063 0.517 0.878 0.044 Spherikal

Secara visual, hal ini juga terlihat dari fit sudut dalam setiap model semivariogram
model semivariogram eksperimental dengan menunjukkan bahwa model yang cocok adalah
semivariogram teoritis pada Gambar 1. Pada model eksponensial untuk mineral hematit dan
setiap model semivariogram diukur dalam empat zirkon (Gambar 1.a dan 1.c) serta model
0 0 0 0
sudut 0 , 45 , 90 dan 135 . Masing-masing Gaussian untuk timah (Gambar 1.b). Sehingga,

© Mining Engineering, Univ. of Bangka Belitung 37


PROMINE, Juni 2020, Vol. 8 (1), Halaman 34 - 39

untuk menganalisis dan menginterpolasi hingga timur lokasi penelitian. Selanjutnya,


distribusi mineral tersebut digunakan masing- kandungan timah terbentang dari arah barat daya
masing model sesuai dengan model hingga arah timur lokasi penelitian. Sedangkan
semivariogram yang telah dicocokan dengan untuk zirkon, sebagian besar penyebaran terletak
model semivariogram teoritis. pada arah barat dan timur. Apabila akan
Berdasarkan hasil interpolasi penyebaran melakukan penambangan timah namun juga
mineral ikutan timah menggunakan dengan mineral ikutan hematit dan zirkon, maka
semivariogram anisotropik dalam metode Orinary letak ketiga mineral tersebut dapat ditemukan
Kriging mempengaruhi pola penyebaran masing- pada tiga lokasi penelitian yang terdapat pada
masing mineral di lokasi penelitian. Mineral arah timur.
hematit tersebar melingkar dari arah barat, utara

(a) (b) (c)

Gambar 2. Semivariogram teoritis untuk (a) model eksponensial dari mineral Hematit (Fe2O3); (b)
model Gaussian untuk Timah (Sn); and (c) model eksponensial untuk Zirkon (Zr)

U U U

(a) (b) (c)

Gambar 3. Pola penyebaran mineral ikutan timah: (a) Hematite (Fe2O3); (b) Timah (Sn); and (c) Zirkon
(Zr) pada lokasi Bukit Sambung Giri, Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka dengan
menggunakan metode Ordinary Kriging (OK).

Pencegahan kerusakan lingkungan di sekitar 4. Kesimpulan


Bukit Sambung Giri, Kecamatan Merawang, Pencocokan semivariogram secara teoritis
Kabupaten Bangka dapat dihindari atau menghasilkan model yang berbeda-beda untuk
diminimalisir dampak yang ditimbulkan dengan tiap mineral. Model yang lebih cocok untuk
menerapkan penambangan terbuka di sebelah mineral hematit dan zirkon adalah model
timur lokasi penelitian. Adapun lokasi tersebut eksponensial, sedangkan timah menggunakan
berada disekitar tiga titik koordinat (x;y) yaitu model Gaussian. Sedangkan arah penyebaran
(620509;9785283), (620523; 9785253) dan yang tepat dalam melakukan penambangan
(620483; 9785243) atau titik lokasi 10, 11, dan dapat dilakukan pada arah timur dari lokasi
12 pada Gambar 1. penelitian.

© Mining Engineering, Univ. of Bangka Belitung 38


PROMINE, Juni 2020, Vol. 8 (1), Halaman 34 - 39

Ucapan Terimakasih geographically diverse regions, Geomatics,


Terimakasih kepada tim Penelitian Dosen Natural Hazards and Risk, 8:2, 207-224.
Pemula (PDP) tahun pelaksanaan 2018 Jurusan Guskarnali. 2016. Metode Point Kriging Untuk
Teknik Pertambangan Universitas Bangka Estimasi Sumberdaya Bijih Besi (Fe). Promine
Belitung, yang telah memberikan kesempatan Journal, 13-20.
kepada penulis untuk menggunakan data-data Irvani, dan Artasari, E. D., 2018. Studi
yang diperlukan dalam penyelesaian artikel ini. Karakteristik Tailing Pada Lokasi Eks
Penambangan Timah di Bukit Sambung Giri
Daftar Pustaka Kecamatan Merawang Kabupaen Bangka.
Amelia, R., dan Guskarnali. 2017. Penaksiran Promine Journal, Vol. 6, p. 31-36.
Data Composite Jumlah Hambatan Lekat Mardiah, dan Irvani., 2018. Studi Unsur Tanah
Menggunaan Metode Ordinary Kriging. Jarang REE di Bagian Barat Bukit Sambung
Seminar Nasional Penelitian dan Pengabdian Giri KEcamatan Merawang Kabupaten
kepada Masyarakat (SNPPM) 2017 (pp. p. Bangka. Promine Journal, 6(1), p.41-46.
364-369). Pangkalpinang, Indonesia: SNPPM Oliver, M. A., dan Webster, R., 2015. Basic Steps
FT UBB. in Geostatistics: The Variogram and Kriging.
Amelia, R., Guskarnali, dan Mardiah. 2019. The London: Springer International Publishing.
determining of an environmentally oriented Sari, R. N., dan Neswan, O., 2015. Simulation of
mining direction using the ordinary kriging angle on geometry anisotropic semivariogram
method. International Conference on Green modeling in the case of oil in Jatibarang
Energy and Environment 2019. Vol. 353, pp. p. reservoir. ICASS 2014. Vol. 1692, p. 020013.
1-6. Pangkalpinang: IOP Publishing. Bandung, Indonesia: AIP Publishing LLC.
Bahtiyar, A. D., Hoyyi, A., dan Yasin, H. 2014. Susanto. 2015. Daerah Kolong Timah di Bangka
Ordinary Kriging dalam Estimasi Curah Hujan Belitung dengan Data Satelit Spot_6. Seminar
di Kota Semarang. Jurnal Gaussian, 151-159. Nasional Sains dan Teknologi Universitas
Carol J. Friedland, T. Andrew Joyner, Carol Muhammadiyah Jakarta 2015, Jakarta,
Massarra, Robert V. Rohli, Anna M. Treviño, Indonesia. Universitas Muhammadiyah
Shubharoop Ghosh, Charles Huyck dan Mark Jakarta.
Weatherhead., 2017. Isotropic and anisotropic Wackernagel, H., 2003. Multivariate Geostatistics.
kriging approaches for interpolating surface- Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
level wind speeds across large,

© Mining Engineering, Univ. of Bangka Belitung 39


Volume 3 Nomer 2, Juli 2020

Kualitas Batuan di Tambang Tanah Liat Sebagai Bahan Campuran Semen


PT Semen Gresik Kabupaten Rembang

Charlotte Tiffany1*, Tri Winarno1, Jenian Marin1


1
Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro

Abstrak
Tambang batugamping diperlukan untuk memenuhi kebutuhan komponen kalsium karbonat (CaCO3)
dan tambang tanah liat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan komponen alumina (Al2O3) dan silika
(SiO2). Daerah penelitian di tambang tanah liat PT Semen Indonesia (Persero) Tbk di Kabupaten
Rembang, tersusun oleh beberapa jenis litologi yang berbeda, sehingga memerlukan penelitian ini
mengetahui pengaruh variasi litologi terhadap kualitas kimia batuan sebagai bahan campuran semen
berdasarkan standar perusahaan. Metode yang dilakukan mencakup observasi lapangan, pengambilan
sampel batuan, uji laboratorium berupa X-Ray Fluorescence (XRF), dan pengamatan petrografi. Tujuan
dilakukanya penelitian yaitu untuk mengetahui jenis dan persebaran litologi, mengetahui persebaran
kadar kimia (Al2O3, SiO2, dan SO3), mengetahui kaitan jenis litologi dengan kadar kimia, dan
menentukan area dengan litologi yang memenuhi standar bahan campuran semen di daerah penelitian.
Lokasi penelitian tersusun oleh 4 jenis satuan litologi yang termasuk dalam Formasi Ngrayong, yaitu
Satuan Batupasir Kuning, Satuan Batulanau, Satuan Batulempung, dan Satuan Batupasir Cokelat.
Satuan batuan yang memenuhi standar kualitas kimia bahan campuran semen adalah Satuan
Batulempung dan Satuan Batupasir Cokelat, dan satuan yang tidak memenuhi standar adalah Satuan
Batulanau dan Satuan Batupasir Kuning.

Kata kunci: Batugamping; Formasi Ngrayong; Rembang; semen; tanah liat; XRF.

Abstract
Limestone is needed to fulfill lime (CaCO3) content, and clay is needed to fulfill alumina (Al2O3) and
silica (SiO2) content. Research area, located at PT Semen Indonesia (Persero) Tbk clay mine in
Rembang Regency, is composed of several different lithology types, so it is necessary to determine the
relation of chemical quality of rock to the lithology variation. The methods conducted include field
observations, X-Ray Fluorescence (XRF) test and petrographic analysis. The aim of this research is to
determine lithology and its distribution, to map the distribution of chemical composition (Al2O3, SiO2,
dan SO3), to determine the correlation of lithology and chemical composition and map the qualified
lithology for cement mixture. The research area is composed of 4 types of lithology units included in the
Ngrayong Formation, namely Yellow Sandstone Units, Siltstone Units, Claystone Units, and Brown
Sandstone Units. Rock units that meet the chemical quality standards of cement mixture are Claystone
Units and Brown Sandstone Units, and units that do not meet the standards are Siltstone Units and
Yellow Sandstone Units.

Key words: Limestone; Ngrayogn Formation; Rembang; cement; clay; XRF.

PENDAHULUAN tanah berukuran lempung yang bersifat plastis


PT Semen Indonesia (Persero) Tbk Rembang dan kohesif. Menurut Shetty (2000), SiO2
memiliki dua tambang bahan baku semen yaitu merupakan senyawa berbentuk padatan dengan
tambang batugamping dan tambang tanah liat. persentase volume sekitar 50 hingga 60% yang
Batugamping dibutuhkan untuk memenuhi salah berguna untuk memperkokoh struktur semen,
satu komponen utama semen yaitu kapur (CaO), sedangkan Al2O3 dibutuhkan agar semen dapat
sedangkan tanah liat dibutuhkan untuk memenuhi dengan mudah bereaksi terhadap air dan
komponen alumina (Al2O3) dan silika (SiO2). membentuk pasta semen.
Menurut Darwis (2018), tanah liat merupakan Tambang yang dimiliki PT Semen Indonesia

*
Korespondensi: charlottetiffany@students.undip.ac.id
Jurnal Geosains dan Teknologi
Volume 3 no. 2, Juli 2020

(Persero) Tbk tergolong baru sehingga informasi dengan kadar kimia, dan mengetahui area dengan
terkait kualitas bahan baku semen yang ada pada litologi yang memenuhi standar sebagai bahan
tambang tersebut masih sedikit dan data hasil campuran semen.
eksplorasi yang dimiliki belum mendetail.
Khususnya pada tambang tanah liat yang Geologi Regional
memiliki jenis litologi yang cukup bervariasi, Peta geologi regional area tambang PT Semen
diperlukan adanya penelitian lebih lanjut terkait Indonesia (Persero) Tbk di Kabupaten Rembang
kualitas sebagai bahan campuran semen yang dapat dilihat pada Gambar 2 dengan Izin Usaha
dipengaruhi oleh perbedaan jenis litologi, Pertambangan (IUP) batugamping berada pada
sehingga didapatkan rekomendasi area daerah yang tersusun oleh satu formasi, yaitu
penambangan sesuai standar kualitas kimia yang Formasi Paciran. Formasi Paciran terdiri dari satu
dibutuhkan. jenis litologi, yaitu batugamping masif bersifat
Penelitian dilakukan pada area tambang dolomitan, mengandung koral algae dan
terbuka tanah liat PT Semen Indonesia (Persero) foraminifera (terumbu) (Firmansyah dan Dewi,
Tbk di Desa Kajar, Kecamatan Gunem, 2014). IUP tanah liat dan daerah penelitian
Kabupaten Rembang, Jawa Tengah (Gambar 1). tersusun oleh satu formasi, yaitu Formasi
Tujuan dilakukanya penelitian yaitu untuk Ngrayong. Formasi Ngrayong terdiri dari 5 jenis
mengetahui jenis litologi serta persebarannya di litologi, yaitu batupasir, serpih, batulempung,
area penelitian, mengetahui persebaran kadar batulanau, dan batubara. Formasi Ngrayong
kimia (Al2O3, SiO2, dan SO3) di daerah diendapkan pada Miosen Awal sampai Miosen
penelitian, mengetahui kaitan jenis litologi Tengah (Pardosi dan Solihin, 2018).

Gambar 1.1 Lokasi penelitian (PTSG, 2019)

97
Jurnal Geosains dan Teknologi
Volume 3 no. 2, Juli 2020

Gambar 2. Peta geologi regional daerah penelitian.

Abdillah (2012) menyebutkan bahwa terdapat menyusun sekitar 5-10% klinker semen portland
4 satuan litologi pada Formasi Ngrayong yang biasa. Senyawa ini melepaskan panas yang
ditemukan di daerah Tempuran Blora. Satuan banyak ketika tahap awal hidrasi, tetapi memiliki
litologi tersebut yaitu batulanau sisipan pasir sedikit kontribusi dalam penguatan semen.
yang diendapkan pada fasies delta plain, Gipsum memperlambat hidrasi senyawa ini.
batupasir sisipan lanau (terdapat sisipan material Semen yang rendah C3A resisten terhadap sulfat.
karbon) yang diendapkan pada fasies distributary Ferrite atau tetrakalsium aluminoferrit
mouth bar, batupasir diendapkan pada fasies (C4AF), menyusun sekitar 5-15% klinker semen
backshore, dan batugamping klastik diendapkan portland biasa. Senyawa ini merupakan agen
di shallow marine. “fluxing” yang mengurangi temperatur bahan
mentah dalam kiln dari 3000°F ke 2600°F.
Komposisi Kimia Semen Portland Terhidrasi dengan cepat, namun tidak
Oksida saling berinteraksi dan membentuk berkontribusi banyak terhadap kekuatan semen.
senyawa yang lebih kompleks. Semen portland Standar Kualitas Bahan Baku Semen
tersusun oleh empat senyawa kimia dasar yaitu Menurut Labahn (1983), untuk memproduksi
belite, alite, aluminate, dan ferrite (Aldieb dan semen diperlukan campuran bahan baku yang
Ibrahim, 2010). komposisi kimianya sesuai dengan batas-batas
Belite atau dikalsium silikat (C2S), menyusun tertentu. Produksi semen dengan kualitas tinggi
sekitar 15-30% klinker semen portland biasa. yang berkelanjutan hanya memungkinkan jika
Senyawa ini terhidrasi dan mengeras secara campuran bahan baku memiliki komposisi
perlahan. Sangat berperan pada penguatan semen optimal. Batas nilai komposisi bahan baku dapat
setelah 1 minggu. dilihat pada Tabel 2 yang umumnya digunakan
Alite atau trikalsium silikat (C3S), merupakan pabrik semen. Standar komposisi kimia Semen
komponen yang paling penting, menyusun sekitar Portland yang dikeluarkan oleh Badan
50-70% klinker semen portland biasa. Senyawa Standarisasi Nasional (2004), dapat dilihat pada
ini sangat cepat terhidrasi dan megeras. Sangat Tabel 2. Klasifikasi oksida yang digunakan oleh
berperan pada initial set dan penguatan awal laboratorium pabrik PT Semen Gresik Rembang
semen. untuk bahan-bahan yang didapatkan dari
Aluminate atau trikalsium aluminat (C3A), tambang tanah liat dapat dilihat pada Tabel 3.

98
Jurnal Geosains dan Teknologi
Volume 3 no. 2, Juli 2020

Tabel 1. Standar komposisi kimia Semen Portland (Badan Standarisasi Nasional, 2004)
Jenis Semen Portland
Uraian
I II III IV V
SiO2 minimum - 20,0 - - -
Al2O3 maksimum - 6,0 - - -
Fe2O3 maksimum - 6,0 - 6,5 -
MgO maksimum 6,0 6,0 6,0 6,0 6,0
SO3 maksimum
Jika C3A ≤ 8,0 3,0 3,0 3,5 2,3 2,3
Jika C3A > 8,0 3,5 - 4,5 - -
Hilang pijar, maksimum 5,0 3,0 3,0 2,5 3,0
Bagian tak larut, maksimum 3,0 1,5 1,5 1,5 1,5
C3S, maksimum - - - 35 -
C2S, minimum - - - 40 -
C3A, maksimum - 8,0 15 7 5
C4AF + 2 C3A atau - - - - 25
C4AF + C2F maksimum

Tabel 2. Batas komposisi oksida (Labahn, 1983) HASIL


Oksida Persentase Konten (%) Kondisi Geologi
CaO 60-67 Kondisi litologi di daerah penelitian telah
SiO2 18-24 mengalami pelapukan dengan derajat pelapukan
Al2O3 4-8 II-III (lapuk ringan - lapuk sedang), namun di
Fe2O3 1-8
beberapa tempat masih terdapat singkapan segar
MgO <5
Alkali (K2O, Na2O) <2 yang menunjukkan kenampakan struktur sedimen
SO3 <3 dan fosil jejak. Penelitian hanya dilakukan pada
area tambang yang sudah terkupas karena area
Tabel 3. Klasifikasi kadar senyawa tanah liat (PTSG, IUP tambang tanah liat yang belum ditambang
2019) masih dipinjamkan ke masyarakat sekitar untuk
Oksida Persentase (%) dikelola sebagai lahan pertanian.
Al2O3 low < 16,5 < high Pada daerah penelitian ditemukan empat jenis
SiO2 low < 65-70 < high satuan litologi yang berbeda, yaitu Batupasir
SO3 low < 1-2,5 < high Kuning, Batulanau, Batulempung, dan Batupasir
Cokelat. Hasil pengamatan lapangan berupa titik
METODOLOGI pengamatan dan jalur yang dilintasi ditunjukkan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini pada peta lintasan (Gambar 4.1) dan persebaran
yaitu observasi lapangan, uji X-Ray Fluorescence satuan batuan dapat dilihat pada Gambar 4.2.
(XRF), dan analisis petrografi. Pengamatan Pada STA 21 ditemukan kontak batuan antara
lapangan dilakukan untuk mengetahui kondisi Batupasir Cokelat (ketebalan 3 m) dan
geologi daerah penelitian yaitu jenis litologi dan Batulempung (ketebalan 2 m) yang memiliki
penampang geologi. Lokasi stasiun pengamatan struktur laminasi dan terdapat perselingan
ditampilkan pada Gambar 3. batupasir. Pada STA 26 ditemukan kontak batuan
Analisis petrografi dilakukan untuk antara Batulempung (ketebalan 1 m) dan
mengetahui pemerian batuan berdasarkan Batulanau (ketebalan 1 m) yang berwarna hitam.
komposisi mineral yang teramati di bawah Pada STA 12 ditemukan Batulempung dengan
mikroskop polarisator. Uji XRF dilakukan untuk tebal kurang lebih 2 m yang memiliki struktur
mengetahui kadar kimia batuan di area penelitian. laminasi dan terdapat perselingan batupasir. Pada
Hasil uji XRF dipakai untuk membuat peta STA 30 ditemukan kontak batuan antara
distribusi kadar kimia. Metode interpolasi yang Batulanau yang berwarna hitam (ketebalan 2 m)
diaplikasikan adalah kriging. dan Batupasir Kuning yang berwarna putih
kekuningan (ketebalan 2 m).
Satuan Batupasir Kuning terdiri dari satu
litologi yaitu batupasir. Kondisi singkapan yang

99
Jurnal Geosains dan Teknologi
Volume 3 no. 2, Juli 2020

ditemukan di lapangan memiliki derajat Satuan Batulanau terdiri dari 3 litologi, yaitu
pelapukan tingkat III (lapuk sedang). Litologi ini batulanau, batubara, dan batupasir. Kondisi
secara megaskopis memiliki struktur masif, singkapan yang ditemukan di lapangan memiliki
tekstur berwarna kuning keputih-putihan, ukuran derajat pelapukan tingkat II (lapuk ringan).
butir pasir sangat halus – pasir sedang, kemas Secara megaskopis batulanau memiliki tekstur
tertutup, serta sortasi yang tergolong well-sorted. berwarna hitam dan berukuran butir lanau.
Sementasi batuan ini non-karbonatan. Strukturnya sebagian masif, di beberapa tempat
Pengamatan petrografi sayatan tipis sampel dijumpai laminasi, serta ichnofossil berupa
dari Batupasir Kuning menunjukkan struktur burrowing. Semennya non-karbonatan dan
masif, tekstur berupa ukuran butir <1/256 – ¼ dijumpai mineral pirit baik yang terdiseminasi
mm, sortasi sedang, dan kemas terbuka. Dijumpai maupun terkonsentrasi menyelimuti nodul.
mineral kuarsa (45%), mineral lempung (50%), Batubara dijumpai dengan ketebalan kurang lebih
mineral opak (5%) (Gambar 4). Berdasarkan 5 mm, berwarna hitam, memiliki densitas yang
komposisi tersebut, batuan ini termasuk Quartz sangat ringan dan sangat rapuh. Batupasir
Wacke (Pettijohn, 1975). dijumpaidengan ketebalan 5-10 mm, berwarna

Gambar 3. Peta lokasi stasiun pengamatan

Kuarsa

Lempung

Gambar 4. Batupasir dari Satuan Batupasir Kuning di STA 17 polarisator sejajar (kiri), polarisator tegak lurus
(kanan)

100
Jurnal Geosains dan Teknologi
Volume 3 no. 2, Juli 2020

abu-abu dengan ukuran butir pasir sangat halus – menunjukkan ukuran butir <1/256 mm, sortasi
pasir halus. baik, dan kemas tertutup. Komposisi penyusun
Berdasarkan pengamatan petrografi sayatan terdiri dari kuarsa (3%), mineral lempung (82%),
tipis batulanau, diketahui bahwa ukuran butir mineral opak (15%). Berdasarkan komposisi,
<1/256 – 1/6 mm, sortasi sedang, dan kemas batuan ini termasuk Mudrock (Pettijohn, 1975).
terbuka. Dijumpai mineral kuarsa (20%), mineral Satuan Batupasir Cokelat terdiri dari satu
lempung (73%), dan mineral opak (7%) (Gambar litologi yaitu batupasir. Kondisi singkapan yang
5). Berdasarkan komposisi tersebut, batuan ini ditemukan di lapangan memiliki derajat
diklasifikasikan Mudrock (Pettijohn, 1975). pelapukan tingkat II (lapuk ringan). Litologi ini
Satuan Batulempung terdiri dari dua litologi secara megaskopis memiliki struktur masif
yaitu batulempung dan batupasir. Kondisi dengan tekstur berwarna cokelat keabuan, ukuran
singkapan yang ditemukan di lapangan memiliki butir pasir sedang, kemas tertutup, dengan sortasi
derajat pelapukan tingkat III (lapuk sedang). tergolong well-sorted, sementasi non-karbonatan.
Secara megaskopis batulempung memiliki Pada litologi ini juga ditemukan pecahan-
tekstur berwarna abu-abu kemerahan dan ukuran pecahan batubara berukuran ± 1 cm. Hasil
butir lempung. Strukturnya masif dan di beberapa pengamatan petrografi sayatan tipis batupasir
tempat ditemui struktur sedimen berupa laminasi. dijumpai mineral kuarsa (30%), mineral lempung
Semen batuan ini non-karbonatan. Batupasir (69%), mineral opak (1%) (Gambar 6).
berwarna kuning kecoklatan ditemukan dengan Berdasarkan komposisi tersebut, batuan ini
ketebalan 1-5 mm dengan struktur laminasi. termasuk Quartz Wacke (Pettijohn, 1975).
Hasil pengamatan petrografi batulempung

Opak Kuarsa Opak

Lempung

Gambar 5. Batulanau dari Satuan Batulanau di STA 2 polarisator sejajar (kiri), polarisator tegak lurus (kanan)

Lempung

Lempung
Opak Opak

Kuarsa

Gambar 6. Batupasir dari Satuan Batupasir Cokelat di STA 10 polarisator sejajar (kiri), polarisator tegak lurus
(kanan)

101
Jurnal Geosains dan Teknologi
Volume 3 no. 2, Juli 2020

Gambar 4.2 Peta geologi daerah penelitian

Persebaran Kadar Kimia Tabel 4.1 Kisaran kadar kimia satuan batuan di
Persebaran titik sampel dapat dilihat pada daerah penelitian
Gambar 4.14. Sebelum data kadar kimia Al2O3 SiO2
Litologi SO3 (%)
diinterpolasi, terlebih dahulu mengatur (%) (%)
variogram data yang dimiliki untuk Batupasir
12-16 62-82 0,5-1,5
meningkatkan akurasi prediksi interpolasi. Kuning
Variogram dilakukan dengan membuat grafik Batulanau 18-22 50-60 1-3,25
sesuai dengan trend data yang dimiliki. Setelah Batulempung 18-26 50-68 0-1,5
membuat variogram, data diinterpolasi dengan Batupasir
15-21 60-80 0-0,5
metode kriging. Hasil interpolasi yang diperoleh Cokelat
dari metode kriging secara visual lebih baik
dibandingkan dengan metode lainnya. kejinggaan hingga merah memiliki kadar SiO2
Hasil interpolasi kadar Al2O3 dapat dilihat yang tinggi (high silica) yaitu di atas 70%.
pada Gambar 4.15. Dari hasil interpolasi kadar Hasil interpolasi kadar SO3 dapat dilihat pada
Al2O3, dapat diketahui bahwa daerah yang Gambar 4.17. Dari hasil interpolasi kadar SO3,
berwarna merah hingga jingga memiliki dapat diketahui bahwa daerah yang berwarna
komposisi Al2O3 yang rendah (low alumina) putih hingga jingga kekuningan memiliki
yaitu di bawah 16,5%, sedangkan daerah yang komposisi SO3 yang rendah (low sulphur) yaitu
berwarna jingga kekuningan hingga kuning di bawah 1%, daerah yang berwarna jingga
keputihan memiliki komposisi Al2O3 yang tinggi kekuningan hingga jingga memiliki komposisi
(high alumina) yaitu di atas 16,5%. SO3 menengah (medium sulphur) yaitu di antara
Hasil interpolasi kadar SiO2 dapat dilihat pada 1% - 2,5%, dan daerah yang berwarna jingga
Gambar 4.16. Dari hasil interpolasi kadar SiO2, hingga merah memiliki kadar SO3 yang tinggi
dapat diketahui bahwa daerah yang berwarna (high sulphur) yaitu di atas 2,5%.
hijau tua kebiruan hingga hijau memiliki kadar
SiO2 yang rendah (low silica) yaitu di bawah PEMBAHASAN
65%, daerah yang berwarna hijau muda hingga Kaitan Jenis Batuan Dengan Kadar Kimia
kuning kejinggaan memiliki kadar SiO2 Distribusi kadar kimia masing-masing litologi,
menengah (medium silica) yaitu di antara 65% - dilakukan overlay antara peta kontur kadar kimia
70%, dan daerah yang berwarna kuning dengan batas litologi yang hasilnya dapat dilihat

102
Jurnal Geosains dan Teknologi
Volume 3 no. 2, Juli 2020

pada Gambar 7, Gambar 8, dan Gambar 9. dari hasil pelapukan, erosi, dan transportasi
Rekapitulasi kisaran kadar kimia masing- masing batuan induk feldspatik. Akibat proses tersebut,
satuan batuan dari hasil interpolasi kadar kimia mineral penyusun batuan induk feldspatik yang
dapat dilihat pada Tabel 4.1. memiliki komposisi Al2O3 menjadi berukuran
Batuan yang memiliki kadar Al2O3 tinggi dan sangat halus sehingga lebih banyak terakumulasi
paling dominan adalah batulempung, disusul dan terendapkan pada daerah dengan energi
dengan satuan batulanau, batupasir cokelat, dan pengendapan yang sangat rendah, oleh karena itu
batupasir kuning. Jika dilihat dari tekstur satuan komposisi Al2O3 akan lebih banyak dijumpai
batuan tersebut, semakin halus ukuran butirnya pada batulempung yang memiliki ukuran butir
maka semakin besar kadar Al2O3. Komposisi sangat halus.
Al2O3 pada batuan sedimen silisiklastik berasal

Gambar 7. Peta overlay kadar alumina dan batas litologi

Gambar 8. Peta overlay kadar silika dan batas litologi

103
Jurnal Geosains dan Teknologi
Volume 3 no. 2, Juli 2020

Gambar 9. Peta overlay kadar sulfur dan batas litologi

Batuan yang memiliki kadar SiO2 tinggi dan Kualitas Batuan Sebagai Bahan Campuran
paling dominan adalah batupasir kuning, disusul Semen
dengan batupasir cokelat, batulanau dan Penentuan kualifikasi satuan batuan untuk
batulempung. Komposisi SiO2 pada batuan menjadi bahan campuran semen mengacu kepada
sedimen silisiklastik berasal dari hasil pelapukan, standar pada Tabel 3. Batupasir Kuning memiliki
erosi, dan transportasi mineral kuarsa yang kadar Al2O3 12%-16%, SiO2 62%-82%, dan
terbentuk dari magma yang kaya akan silika. SO3 0,5%-1,5%, sehingga tidak dapat digunakan
Mineral kuarsa merupakan mineral yang sebagai bahan campuran semen. Satuan ini
memiliki sifat paling stabil, dan paling banyak membutuhkan bahan korektif yang lebih banyak
membentuk butiran pasir. Oleh karena itu, untuk dapat digunakan sebagai bahan campuran
mineral kuarsa banyak ditemukan pada batuan semen di tahap awal, dampaknya adalah
sedimen berukuran pasir yang terakumulasi dan peningkatan biaya produksi.
terendapkan pada daerah dengan energi Batulanau memiliki kadar Al2O3 18%-22%,
pengendapan sedang. SiO2 50%-60%, dan SO3 1%-3,25%. sehingga
Batuan yang memiliki kadar SO3 tinggi dan tidak dapat digunakan sebagai bahan campuran
paling dominan adalah batulanau, disusul dengan semen karena memiliki kadar sulfur yang
batupasir kuning, batulempung, dan batupasir dominan melebihi batas yang ditentukan.
cokelat. Komposisi SO3 pada batuan sedimen Batulanau ini akan berpengaruh pada penurunan
silisiklastik berasal dari mineral pirit yang kinerja alat produksi terutama kiln, karena akan
terbentuk akibat proses kimia di lingkungan mempercepat pembentukan coating di seluruh
pengendapan transisi hingga laut. Pada satuan sisinya.
batulanau yang ditemukan di lapangan terdapat Batulempung memiliki kadar Al2O3 18%-
komposisi mineral pirit baik yang terdiseminasi 26%, SiO2 50%-68%, dan SO3 0%-1,5% yang
atau terkonsentrasi mengelilingi nodul oksida dapat digunakan sebagai bahan campuran semen
besi. Mineral pirit dapat terbentuk akibat dengan memperhatikan kadar SiO2.
senyawa sulfat yang banyak terdapat pada air laut Batulempung dengan kadar SiO2 kurang dari
bereaksi dengan ion besi yang dibawa oleh air 65% dapat dikoreksi dengan pasir kuarsa pada
sungai, dibantu oleh aktivitas bakteri. Dapat tahap pencampuran di Raw Mill. Batupasir
disimpulkan bahwa pada batuan sedimen Cokelat juga dapat digunakan sebagai bahan
silisiklastik yang terendapkan pada lingkungan campuran semen karena memiliki kadar Al2O3
transisi akan banyak memiliki komposisi SO3 15%-21%, SiO2 60%-80%, dan SO3 0%-0,5%.
yang dijumpai dalam bentuk mineral pirit.

104
Jurnal Geosains dan Teknologi
Volume 3 no. 2, Juli 2020

Gambar 4.21 Peta area kualitas litologi berdasarkan standar laboratorium PT Semen Gresik Kabupaten Rembang

Area persebaran litologi yang memenuhi dan memenuhi ketentuan, Batulanau tidak dapat
tidak memenuhi standar laboratorium PT Semen digunakan sebagai bahan campuran semen
Gresik Kabupaten Rembang dapat dilihat pada karena kadar SO3 melebihi batas maksimum.
Gambar 4.21. Batupasir Kuning tidak dapat
digunakan sebagai bahan campuran semen UCAPAN TERIMA KASIH
karena hanya kadar SiO2 yang tinggi, namun Penulis bermaksud mengucapkan terima kasih
dapat digunakan sebagai bahan korektif semen, kepada PT Semen Indonesia (Persero) Tbk
batulanau tidak dapat digunakan sebagai bahan Rembang yang telah memberikan izin melakukan
campuran semen karena kadar SO3 melampaui pengambilan data di IUP.
batas maksimal, batulempung dapat digunakan
sebagai bahan campuran semen dengan DAFTAR PUSTAKA
memperhatikan kadar SiO2, dan batupasir Abdillah, 2012. Studi Batuan Asal (Provenance)
cokelat dapat digunakan sebagai bahan campuran dan Diagenesis Batupasir Formasi Ngrayong
semen. Daerah Tempuran dan Sekitarnya,
Kecamatan Medang, Kabupaten Blora, Jawa
KESIMPULAN Tengah. Tidak dipublikasikan. Universitas
Daerah penelitian tersusun dari empat jenis Diponegoro: Semarang.
satuan batuan di daerah penelitian yaitu Satuan Aldieb, M. A. dan Ibrahim, H. G., 2010,
Batupasir Kuning, Satuan Batulanau, Satuan Variation of Feed Chemical Composition and
Batulempung, dan Satuan Batupasir Cokelat. Its Effect on Clinker Formation – Simulation
Persebaran kadar Al2O3 paling tinggi dijumpai di Process, San Fransisco: World Congress on
daerah yang tersusun oleh batulempung, kadar Engineering and Computer Science Vol II
SiO2 paling tinggi dijumpai di daerah yang Badan Standarisasi Nasional, 2014, SNI 15-2049
tersusun oleh batupasir kuning, dan kadar SO3 Semen Portland, Jakarta: Badan Standarisasi
paling tinggi dijumpai di daerah yang tersusun Nasional
oleh batulanau. Kadar Al2O3 banyak terdapat Badan Standarisasi Nasional, 2004, SNI 15-7064
pada batulempung. Kadar SiO2 berasal dari Semen Portland Komposit, Jakarta: Badan
mineral kuarsa dijumpai pada batupasir. Standarisasi Nasional
Batupasir Cokelat dan Batulempung dapat British Geological Survey, 2005, Cement Raw
digunakan sebagai bahan campuran semen. Materials, Nottingham: British Geological
Batupasir Kuning tidak dapat digunakan sebagai Survey
bahan campuran semen karena kadar Al2O3 tidak Darwis, 2018, Dasar-Dasar Mekanika Tanah,

105
Jurnal Geosains dan Teknologi
Volume 3 no. 2, Juli 2020

Yogyakarta: Pena Indis Pettijohn, F. J., 1975, Sedimentary Rocks 3rd


Firmansyah, D. P. dan Dewi, K. I., 2014, Fasies Edition, New York: Harper & Row
Batugamping Formasi Paciran Berdasarkan PT Semen Gresik, 2019, Kadar Kualitas Kimia
Data Biostratigrafi, Sedimentologi, dan Tanah Liat dan Proses Industri PT Semen
Petrografi, Pusat Studi Energi Universitas Gresik, Rembang
Padjadjaran: Bandung. Shetty, 2000, Concrete Technology. S. Chand &
Kadar, D. dan Sudijono, 1993, Peta Geologi Company Ltd.: New Delhi.
Lembar Rembang, Jawa, Bandung: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi
Labahn, O., 1983, Cement Engineers Handbook,
Bauverlag: Berlin.
Pardosi, N. dan Solihin, 2018, Geologi dan Studi
Analisa Batuan Asal (Provenance) Batupasir
Formasi Ngrayong Daerah Todanan dan
Sekitarnya Kecamatan Todanan Kabupaten
Blora Jawa Tengah. Universitas Pakuan:
Bogor.

106
SKRIPSI

PERBANDINGAN ANTARA METODE POLIGON, INVERSE


DISTANCE WEIGHTING, DAN ORDINARY KRIGING
PADA ESTIMASI SUMBERDAYA TIMAH ALUVIAL,
DAN ANALISIS SEBARAN ENDAPANNYA
(Studi Kasus: Blok X, Laut Tanjung Gunung, PT Timah Tbk, Bangka Tengah,

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung)

Disusun dan diajukan oleh

MUHAMMAD SYAHRUL RAMADHAN

D62116018

PROGRAM STUDI TEKNIK PERTAMBANGAN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2021
ii
iii
ABSTRAK

Pulau Bangka merupakan satu dari sekian banyak daerah di Indonesia yang memiliki
potensi sumberdaya mineral yang cukup banyak. Salah satunya adalah endapan timah.
Penyebaran timah di Pulau Bangka merupakan kelanjutan dari Tin Mayor South East
Asian Tin Belt. Endapan timah merupakan komoditas utama dalam eksplorasi endapan
mineral logam di Pulau Bangka yang membuat Indonesia merupakan salah satu negara
penghasil timah terbesar di dunia. Salah satu perusahaan pertambangan bijih timah di
Bangka Belitung adalah PT Timah Tbk yang mengeksplorasi dan mengestimasi
sumberdaya mineral yang dilanjutkan dengan proses perhitungan cadangan. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui besarnya sumberdaya timah aluvial dan menganalisis
sebaran timah aluvial dengan mempertimbangkan genesis endapan timah aluvial pada
sungai purba. Pada penelitian ini dilakukan estimasi sumberdaya dengan menggunakan
metode poligon, inverse distance weighting, dan ordinary kriging untuk mengetahui
metode yang tepat berdasarkan kondisi geologi, genesis endapan, dan mineralisasi dari
endapan yang diestimasi. Berdasarkan hasil estimasi dari tiga kategori kelas sumberdaya
(terukur, tertunjuk dan tereka) dengan metode poligon didapatkan total sumberdaya
endapan timah aluvial sebesar 8732 ton Sn, dengan metode inverse distance weighting
sebesar 8627 ton Sn, dan dengan metode ordinary kriging sebesar 8752 ton Sn. Sebaran
timah pada lokasi penelitian banyak terkonsentrasi pada bagian punggungan (hulu)
sungai purba, semakin jauh dari hulu menunjukkan konsentrasi endapan timah aluvial
semakin sedikit. Dari hasil analisis besarnya sumberdaya dan sebaran timah aluvial,
maka metode estimasi yang paling optimal dilakukan adalah metode ordinary kriging.

Kata Kunci: Timah aluvial, estimasi sumberdaya, metode poligon, inverse distance
weighting, ordinary kriging.

iv
ABSTRACT

Bangka Island is one of the many regions in Indonesia that has a lot of mineral resource
potential. One of them is tin deposit. The distrubution of tin deposit in Bangka Island is
a continuation of the Tin Mayor South East Asian Tin Belt. Tin deposits are the main
commodity in the exploration of metal mineral deposits on Bangka Island, which makes
Indonesia one of the largest tin producing countries in the world. One of the tin ore
mining companies in Bangka Belitung is PT Timah Tbk which is exploring and estimating
this mineral resource for calculation of its reserves. This study aims to determine the
amount of alluvial tin resources and to analyze the distribution of alluvial tin by
considering the genesis of alluvial tin deposits in ancient rivers. In this study, resource
estimation was carried out using polygon methods, inverse distance weighting, and
ordinary kriging in order to determine the appropriate method based on geological
conditions, genesis deposit, and mineralization of the estimated deposits. Based on the
estimation results of the three resource class categories (measured, indicated, and
inferred), by the polygon method, the total alluvial tin deposit resource is 8732 tonnes,
by the inverse distance weighting method is 8627 tonnes, and by the ordinary kriging
method is 8752 tonnes. The distribution of tin at the research location is mostly
concentrated on the ridge (up stream) of ancient rivers, which is the farther from the
upper coarse, the less of the concentration of the alluvial tin deposits. From the results
of the analysis of the amount of resources and the distribution of alluvial tin deposit, the
most optimum estimation method used is ordinary kriging method.
Keywords: Alluvial Tin, resource estimation, polygon method, inverse distance
weighting, ordinary kriging.

v
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahanirrahim,
Assalamualaikum warahmataullahi wabarakatuh
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan

rahmat dan nikmat-Nya kepada kita semua untuk terus menuntut ilmu sebagai bentuk

ketaatan kepada sang pemilik ilmu pengetahuan. Shalawat serta salam atas junjungan

kita Rasulullah Muhammad SAW, manusia terbaik yang senantiasa ruku’ dan sujud

kepada Allah SWT dalam rangka menegakkan panji-panji kebenaran di muka bumi ini.

Skripsi dengan judul “ Perbandingan antara Metode Poligon, Inverse Distance

Weighting, dan Ordinary Kriging pada Estimasi Sumberdaya Timah Aluvial, dan Analisis

Sebaran Endapannya “ (Studi kasus: Blok X Laut Tanjung Gunung, Bangka Tengah,

Bangka Belitung PT Timah Tbk) akhirnya dapat diselesaikan dengan baik melalui

dinamika yang mendalam dilalui dalam proses penyusunan skripsi ini.

Dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada

seluruh pihak yang telah memberikan dukungan serta ilmu yang bermanfaat. Penulis

berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat dan semoga dicatat sebagai sebutir

kebaikan oleh Allah SWT.

Penyusunan skripsi tidak akan berlangsung tanpa ada bantuan dari orang-orang

hebat yang telah memfasilitasi penulis untuk menyusun skripsi ini mulai dari tahap

pengolahan data di perusahaan sampai selesai. Olehnya itu, penulis menyampaikan

terima kasih kepada pihak PT Timah Tbk, khususnya kepada Bapak Novhy Gumelar

selaku pembimbing penulis yang senantia memberikan ilmu dan arahan, Bapak Ciputra

selaku kepala bidang P2P Unit Produksi Laut Bangka yang telah memfasilitasi penulis

sehingga dapat melakukan kegiatan Skripsi di divisi eksplorasi, Bapak Gilang Putra

Bahana, Bapak Satrio Gahara selaku pegawai di bidang Validasi yang senantiasa

vi
memberikan ilmu yang bermanfaat dari tahap awal pengolahan data, Bapak M. Muchtar

Arifin yang telah memfasilitasi penulis dan juga senantiasa berbagi ilmu dan pengalaman

terkait industri pertambangan, Bapak Wahyu Hidayat yang juga memberikan fasilitas

kepada penulis pada saat kegiatan tugas akhir di PT Timah Tbk.

Terima kasih pula penulis sampaikan kepada Bapak Asran Ilyas, ST. MT. Ph.D.

selaku Pembimbing I dan Bapak Dr. Ir. Irzal Nur, MT. selaku Pembimbing II yang

senantiasa meluangkan waktu, tenaga, pikiran serta memberikan ilmu yang bermanfaat

dan motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Terima kasih yang tiada henti kepada Bapak Syafaruddin dan Ibu Rosnaeni atas

segala doa yang telah dipanjatkan, ridho yang senantiasa diberikan serta rasa cinta yang

tiada henti diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

Terima kasih pula penulis haturkan kepada Kakak Muhammad Nur Fajri dan Adik

Muhammad Taufiq Hidayat atas segala bantuan, semangat dan doa yang tulus yang

diberikan kepada penulis.

Terima kasih pula kepada teman-teman Teknik Pertambangan Universitas

Hasanuddin Angkatan 2016 (Rockbolt 2016). Terima kasih pula penulis sampaikan

kepada organisasi tercinta Persatuan Mahasiswa Tambang Fakultas Teknik Universitas

Hasanuddin (PERMATA FT-UH).

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat

kekurangan dalam penyusunannya. Oleh karena itu, penulis menyampaikan

permohonan maaf atas semua kekurangan yang dijumpai dalam proses penyusunan

skripsi ini.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Gowa, Oktober 2020

Penulis

vii
DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ............................................................................................................ iv

ABSTRACT ........................................................................................................... v

KATA PENGANTAR............................................................................................... vi

DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. x

DAFTAR TABEL ................................................................................................... xii

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ xiii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

Latar Belakang ........................................................................................ 1

Rumusan Masalah ................................................................................... 2

Tujuan Penelitian .................................................................................... 2

Manfaat Penelitian ................................................................................... 3

Tahapan Kegiatan Penelitian..................................................................... 3

Lokasi Penelitian ..................................................................................... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 8

Geologi Regional ..................................................................................... 8

Endapan Timah Aluvial........................................................................... 12

Klasifikasi Sumberdaya Mineral ............................................................... 14

Data Spasial.......................................................................................... 16

Metode Estimasi Sumberdaya ................................................................. 18

Variogram dan Semivariogram ................................................................ 25

viii
BAB III METODE PENELITIAN............................................................................. 30

Sumber Data ........................................................................................ 31

Metode Pengolahan Data ....................................................................... 31

Bagan Alir Penelitian .............................................................................. 38

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 40

Analisis Statistik .................................................................................... 40

String, Wireframe dan Assign ................................................................. 41

Top Cut ................................................................................................ 42

Hasil Variogram Model ........................................................................... 42

Hasil Estimasi Sumberdaya Metode Poligon .............................................. 45

Hasil Estimasi Sumberdaya Metode Inverse Distance Weighting ................. 46

Hasil Estimasi Sumberdaya Metode Ordinary kriging ................................. 46

Analisis Sebaran Endapan Timah Aluvial .................................................. 47

BAB V PENUTUP .............................................................................................. 53

Kesimpulan ........................................................................................... 53

Saran ................................................................................................... 53

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 55

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Peta tunjuk lokasi penelitian ..................................................................... 5

2.1 Penampang klasifikasi endapan aluvial (Smirnov,1976).............................. 13

2.2 Endapan kaksa dan mincan (Tjia, 1989)................................................... 13

2.3 Hubungan antara hasil eksplorasi, sumberdaya mineral dan cadangan ........ 16

2.4 (A) Data Geostatistik (B) Data Area ......................................................... 17

2.5 Metode estimasi sumberdaya menggunakan poligon (Hartman, 1992). ....... 18

2.6 Metode estimasi sumberdaya dengan IDW (Arifuddin Idrus, 2007). ............ 21

2.7 Komponen Variogram (Goovaets, 1997) ................................................... 27

2.8 Semivariogram (Goovaerts, 1997) ........................................................... 29

3.1 Input data collar .................................................................................... 32

3.2 Input data assay ................................................................................... 33

3.3 Tampilan blok model kosong pada micromine 2018................................... 34

3.4 Tampilan assign wireframe pada micromine 2018 ..................................... 35

3.5 Tampilan top cut pada micromine 2018 ................................................... 36

3.6 Bagan alir penelitian .............................................................................. 39

4.1 Histogram penentuan nilai bottom cut ..................................................... 40

4.2 Histogram data kaksa ............................................................................ 42

4.3 Histogram data kaksa top cut ................................................................. 43

4.4 Variogram model ................................................................................... 44

4.5 Proses pembentukan endapan timah aluvial ............................................. 47

4.6 Penampang proses pembentukan timah aluvial ......................................... 48

4.7 Peta kedalaman batuan dasar 2D ............................................................ 50

x
4.8 Peta kedalaman batuan dasar 3D ............................................................ 50

4.9 Peta sebaran timah aluvial menggunakan metode kriging .......................... 52

xi
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

4.1 Data statistik penentuan nilai bottom cut ................................................. 41

4.2 Statistik data kaksa ................................................................................ 42

4.3 Data kaksa top cut................................................................................. 44

4.6 Hasil estimasi sumberdaya metode poligon .............................................. 45

4.7 Hasil estimasi sumberdaya menggunakan metode idw ............................... 46

4.8 Hasil estimasi sumberdaya menggunakan metode ordinary kriging ............. 47

xii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

A Data collar.............................................................................................. 57

B Data assay ............................................................................................. 58

C Peta lubang bor ...................................................................................... 59

D Blok metode poligon ............................................................................... 60

E Blok model inverse distance weighting ...................................................... 61

F Blok model ordinary kriging ...................................................................... 62

G Blok sumberdaya inverse distance weighting ............................................. 63

F Blok sumberdaya ordinary kriging ............................................................. 64

xiii
1 BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Endapan timah di dunia umumnya terdiri sekitar 20 % endapan primer dan 80 %

endapan sekunder atau endapan dari hasil pelapukan endapan primer. Keterdapatan

endapan timah pun tidak berada pada semua negara. Keterdapatan endapan timah di

Asia Tenggara membentang dari daratan Cina, Birma, Thailand, Malaysia hingga

Indonesia (Ramadhan, 2015).

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan sumberdaya

logam yang cukup besar di dunia, seperti seperti emas, tembaga, dan timah (Kavaleris

et al., 1992). Khusus untuk bijih timah, endapannya banyak tersebar di pulau Sumatera,

khususnya di pulau Bangka dan sebagian di Kalimantan. Endapan timah ini berasosiasi

dengan batuan granitoid, serta terkait dengan keberadaan zona kolisi Indonesia yang

termasuk ke dalam kawasan Sabuk Timah Asia Tenggara. Penyebaran timah di Pulau

Bangka merupakan kelanjutan dari Tin Mayor South East Asian Tin Belt (Crow dan van

Leeuwen, 2005).

Pulau Bangka merupakan satu dari sekian banyak daerah di Indonesia yang

memiliki potensi sumberdaya bijih timah yang besar. Endapan timah tersebut merupakan

komoditas utama dalam eksplorasi endapan mineral logam di Pulau Bangka yang

membuat Indonesia merupakan salah satu negara penghasil timah terbesar di dunia.

(Ali et al., 2017). Salah satu perusahaan pertambangan bijih timah di Bangka Belitung

adalah PT Timah Tbk. Perusahaan ini melakukan eksplorasi endapan timah aluvial dan

melakukan estimasi sumberdaya timah tersebut. Estimasi sumberdaya merupakan hal

1
yang sangat penting sebelum dilakukan proses penambangan karena berkaitan dengan

jumlah sumberdaya yang terdapat di suatu daerah yang berimplikasi pada nilai investasi.

Dalam melakukan estimasi sumberdaya dibutuhkan metode yang tepat sesuai

dengan kondisi geologi, genesis endapan, dan mineralisasi dari endapan logam tersebut.

Olehnya itu, penulis mengangkat penelitian tentang estimasi sumberdaya timah aluvial

dan mencoba menganalisis genesis pembentukan endapan timah aluvial di daerah

penelitian (pulau Bangka).

Rumusan Masalah

Estimasi sumberdaya merupakan hal yang sangat vital dilakukan sebelum

dilakukannya kegiatan penambangan, karena dari hasil estimasi inilah yang akan

dievaluasi untuk menentukan ke proses selanjutnya yaitu perhitungan cadangan.

Berdasarkan hal tersebut maka dilakukanlah penelitian perbandingan antara metode

poligon, inverse distance weighting, dan ordinary kriging sehingga dapat diketahui

tonase sumberdaya timah aluvial dan juga sebaran timah aluvial dengan

mempertimbangkan genesis endapan timah aluvial pada sungai purba.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini berdasarkan rumusan masalah di atas, yaitu:

1. Mengestimasi tonase sumberdaya timah aluvial dengan membandingkan antara

metode poligon, inverse distance weighting, dan ordinary kriging pada PT Timah

Tbk.

2. Menganalisis sebaran timah aluvial dengan mempertimbangkan genesis endapan

timah aluvial pada sungai purba.

2
Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini, yaitu:

1. Bagi perusahaan

Sebagai bahan pertimbangan kepada perusahaan dalam memilih metode yang

akan digunakan dalam mengestimasi sumberdaya timah aluvial pada PT Timah

Tbk.

2. Bagi kalangan akademik

Bahan pembelajaran/referensi dalam menambah wawasan mengenai metode

estimasi sumberdaya timah aluvial dengan menggunakan metode poligon, metode

inverse distance weighting, dan ordinary kriging.

Tahapan Kegiatan Penelitian

Tahapan penelitian yang dilakukan dalam penyusunan tugas akhir adalah

sebagai berikut:

1. Tahap studi literatur

Studi literatur merupakan kegiatan yang meliputi pengumpulan dan pengkajian

berbagai teori dan referensi mengenai topik penelitian yang dapat mendukung

jalannya penelitian. Kajian ini ditinjau melalui buku, jurnal penelitian, prosiding,

artikel ataupun sumber-sumber lain yang berkaitan dengan topik penelitian.

2. Tahap perumusan masalah

Perumusan masalah dilakukan untuk menentukan masalah yang akan diteliti dan

menjadi batasan dalam melakukan penelitian

3
3. Tahap orientasi lapangan dan pengambilan data

Orientasi lapangan dilakukan di daerah PT Timah Tbk. Pengambilan data dilakukan

dengan mengambil beberapa data seperti data assay dan collar. Data ini

merupakan data sekunder.

4. Tahap pengolahan data

Data yang telah diperoleh dari hasil pengambilan data kemudian dianalisis untuk

mengestimasi sumberdaya mineral daerah penelitian. Pengolahan data dilakukan

dengan menggunakan software micromine 2018 untuk memudahkan dalam

mengestimasi sumberdaya dengan membandingkan antara metode poligon,

inverse distance weighting, dan ordinary kriging.

5. Tahap penyusunan laporan tugas akhir

Penyusunan laporan tugas akhir merupakan kegiatan mengumpulkan keseluruhan

data yang didapatkan dan disusun dalam bentuk laporan akhir.

6. Tahap seminar dan penyerahan laporan tugas akhir

Laporan hasil penelitian akan dipresentasikan dalam seminar hasil. Koreksi dan

saran pada saat seminar akan digunakan untuk merevisi kembali laporan yang

telah diseminarkan.

Lokasi Penelitian

Secara administratif PT Timah Tbk terletak di Kota Pangkalpinang, Provinsi

Kepulauan Bangka Belitung. Lokasi PT Timah Tbk dapat ditempuh dengan menggunakan

pesawat komersil dengan waktu sekitar 4 jam dari kota Makassar ke Pangkalpinang,

kemudian dilanjutkan dengan jalur darat menggunakan kendaraan roda 4 (empat) dari

Bandar Udara Depati Amir di kota Pangkalpinang menuju ke kantor PT Timah Tbk.

Lokasi penambangan PT Timah Tbk berjarak sekitar 17 km dari kantor pusat PT

Timah Tbk. Lokasi penambangan terletak di Laut Tanjung Gunug, Kecamatan Pangkalan

4
Baru, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Lokasi penelitian

dapat dicapai dengan menggunakan kendaraan roda 4 (empat) dengan waktu tempuh

sekitar 27 menit, kemudian dilanjutkan dengan jalur laut menggunakan perahu sekitar

15 menit menuju lokasi penambangan. Peta tunjuk lokasi penelitian diperlihatkan pada

Gambar 1.1.

Gambar 1.1 Peta tunjuk lokasi penelitian

5
2 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Geologi Regional

2.1.1 Fisiogafi Pulau Bangka

Pulau Bangka termasuk ke dalam gugusan pulau yang berada di Paparan Sunda

(Sunda Shelf), di mana pulau-pulau ini dahulunya merupakan bagian dari Daratan Sunda

(Sunda Land). Bagian dari Daratan Sunda yang kini dikenal sebagai Paparan Sunda

tersusun oleh Pulau Bangka bersama dengan Pulau Belitung, Lingga dan Singkep,

Kepulauan Natuna, Anambas, Tambelan, Riau, Karimata, Karimunjawa dan Bawean.

Akibat dari proses peneplainasi yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama,

banyak dari tinggian pada pulau-pulau ini lapuk dan tererosi. Hal ini dibuktikan dengan

tebalnya profil tanah yang dapat dijumpai di pulau-pulau ini. Selain proses peneplainasi,

fenomena naik turun muka air laut yang terjadi pada zaman Kuarter juga mengakibatkan

gugusan pulau ini terpisah oleh perairan dangkal seperti sekarang. Meskipun sekarang

pulau-pulau ini dipisahkan oleh perairan dangkal, susunan dari pulau-pulau ini terlihat

mengindikasikan arah struktur utama yang menghubungkan Asia Tenggara dengan tiga

pulau besar yang termasuk dalam Daratan Sunda yakni Pulau Jawa, Sumatera dan

Kalimantan. Pulau dengan luas 11.534,142 km2 ini dikelilingi oleh Pulau Sumatera dan

Selat Bangka di sebelah baratdaya, Pulau Belitung di sebelah timur, Pulau Kalimantan di

sebelah timurlaut, Kepulauan Riau di sebelah baratlaut, Pulau Anambas dan Laut Cina

Selatan di sebelah utara serta Laut Jawa di sebelah tenggara.

Secara fisiografi Pulau Bangka merupakan pulau terbesar dalam Paparan Sunda

(Sunda Shelf) dan merupakan Sunda Peneplain, dicirikan oleh daerah berbukit dengan

8
ketinggian batuan dasar yang membatasi Cekungan Sumatra Selatan di bagian timur

dan Cekungan Sunda di bagian utara (Van Bemmelen,1949).

2.1.2 Tektonik dan Struktur Geologi Regional

Melihat Pulau Bangka dari koridor tektoniknya, evolusi tektonik dari Pulau Bangka

sangat berkaitan erat dengan pembentukkan inti benua Asia Tenggara yang juga dikenal

sebagai Daratan Sunda (Sunda Land). Pulau Bangka sebagai bagian dari blok Indocina–

Malaya Timur (Indochina–East Malaya block) berasal dari bagian timurlaut Gondwana.

Blok benua ini mulai memisahkan diri dari Gondwana pada Silur Akhir dan bergerak

hingga membentuk kerangka dari Asia Tenggara pada Devon Awal (Metcalfe, 2011).

Berdasarkan kerangka tektonik Asia Tenggara pada Resen, terlihat bahwa blok

Indocina- Malaya Timur dibatasi oleh batas-batas tektonik di sekelilingnya. Di bagian

timur, blok ini berbatasan dengan blok Kalimantan baratdaya (Southwest Borneo block).

Di bagian selatan dan barat, blok ini berbatasan dengan blok Sibumasu, sedangkan di

bagian utara, blok ini berbatasan dengan blok Cina Selatan ( South China block). Blok-

blok tersebut, bersama dengan blok Burma Barat (West Burma block) dan blok Sumatera

Barat (West Sumatra block) membentuk daratan Sunda.

Evolusi tektonik dari pembentukkan daratan Sunda telah dimulai semenjak Silur

Akhir hingga Jura (Metcalfe, 2011). Pada Silur Akhir, terjadi fenomena rifting pada batas

timurlaut Gondwana yang menyebabkan blok Cina Selatan, Tarim, Indocina dan Cina

Utara berpisah dari Gondwana (Metcalfe, 1996 dalam Metcalfe, 2011). Rifting yang

terjadi memicu pembukaan laut PaleoTetis pada Devon Awal hingga Devon Tengah yang

dibuktikan dengan keberadaan endapan rijang radiolarian laut dalam pada zona sutur.

Pada Karbon Awal, blok Cina Selatan dan Indocina–Malaya Timur telah teramalgamasi

sepanjang zona sutur Song Ma, membentuk blok yang dinamakan daratan Cathaysia

(Cathaysia land). Hal ini ditandai dengan kemiripan fauna pada zaman tersebut (Laveine

et al., 1999 dalam Metcalfe, 2011). Pada Karbon Akhir hingga Perm Awal, blok Sibumasu

9
mulai melepaskan diri dari baratlaut Gondwana dan bergerak ke arah utara. Hal ini

mengakibatkan laut Paleo-Tetis tertutup dan mensubduksi daratan Cathaysia. Subduksi

ini menyebabkan terjadinya back-arc spreading yang menghasilkan pembentukkan busur

Sukhotai ke arah barat sebagai busur kepulauan pada Perm Akhir. Namun, akibat dari

desakan subduksi laut Paleo-Tetis, busur tersebut terdorong ke arah timur,

menyebabkan back arc collapse berupa kolisi antara busur Sukhotai dan daratan

Cathaysia membentuk zona sutur Jinghon, Nan-Uttaradit dan Sra Kaeo pada akhir Perm

(Metcalfe, 2011). Pada Trias Awal, penutupan laut Paleo-Tetis yang diikuti dengan kolisi

antara blok Sibumasu dan busur Sukhotai menghasilkan zona sutur Changnin-Menglian,

Inthanon dan Bentong-Raub. Selain itu, pada masa ini juga terjadi pergerakan

transcurrent baratlaut dari blok Burma Barat dan baratdaya Borneo akibat pembukaan

laut Meso-Tetis ke arah utara dan pegerakan laut Paleo-Pasifik ke arah barat. Kedua blok

tersebut kemudian teramalgamasi dengan blok Sibumasu pada Jura. Pulau Bangka yang

posisinya berada di baratdaya dari blok Indocina-Malaya Timur membuat Pulau tersebut

sangat dekat dengan perbatasan daratan Cathaysia dan blok Sibumasu. Kedua blok ini

dibatasi oleh zona sutur Bentong-Raub (Bentong-Raub Suture Zone) yang terbentuk di

Trias Awal dan memanjang sepanjang Semenanjung Malaya (Malaya Peninsula)

(Metcalfe, 2000). Menurut Katili (1967), menjelaskan bahwa pada batuan metamorf dan

sedimen di Bangka Utara terdapat adanya perlipatan silang akibat dua buah deformasi.

Deformasi pertama mengakibatkan lipatan dengan arah baratlaut - tenggara, umurnya

sulit ditentukan dengan pasti. Struktur lipatan berarah timurlaut - baratdaya (orogen II)

disebabkan oleh deformasi pada Jura Atas. Orogen yang kedua ini menghilangkan jejak

orogen yang lebih tua. Struktur lipatan ini kemungkinan merupakan hasil tumbukan

lempeng yang ada pada barat Sumatera karena wilayah Bangka relatif stabil atau tidak

terlalu terganggu oleh pergerakan tektonik karena posisinya yang berada di back

volcanic arc.

10
2.1.3 Sratigrafi Regional

Berdasarkan Peta Geologi Lembar Bangka Utara, Sumatera, maka geologi daerah

Bangka Utara dapat dibagi sebagai berikut.

1. Aluvium berupa endapan permukaan yang terdiri dari bongkah, kerakal, kerikil,

pasir, lempung, dan gambut, masa Konozoikum Zaman Kuarter yang berumur

Holosen.

2. Formasi Ranggam berupa perselingan batupasir, batulempung dan batulempung

tufaan dengan sisipan tipis batu lanau dan bahan organik, berlapis baik, dengan

struktur sedimen berupa perlapisan sejajar dan perlapisan silang siur dengan

tebal 150 m. Fosil yang dijumpai antara lain moluska, ammonia, quinqueloculina

sp, dan triloculina sp, menunjukkkan umur relatif tidak lebih tua dari Miosen

Akhir. Lingkungan pengendapan diduga fluviatil sampai peralihan. Lokasi tipe

Ranggam, dapat dikorelasikan dengan Formasi Kasai di daerah Sumatera.

Formasi Ranggam terdapat di daerah masa Kenozoikum, Zaman Tersier berumur

Pliosen.

3. Formasi Tanjung Genting berupa perselingan batupasir malih, batupasir,

batupasir lempungan dan batupasir dengan lensa batugamping, setempat

dijumpai oksida besi. Berlapis baik, terlipat kuat, terkekarkan dan tersesarkan,

dengan tebal lapisannya 250 m - 1.250 m. Di dalam batugamping ditemui fosil

montlivaultia molukkana, peronidella G, Entrochus sp dan Encrinus sp. Kumpulan

fosil ini menunjukkan umur Trias, dengan lingkungan pengendapan diperkirakan

laut dangkal. Lokasi keterdapatannya di Tanjung Genting dan dapat dikorelasikan

dengan Formasi Bintan. Formasi ini diterobos oleh Granit Kelabat dan menindih

tak selaras Kompleks Pemali.

4. Granit Klabat berupa batuan, granodiorit, adamalit, diorit dan diorit kuarsa, serta

dijumpai retas aplit dan pegmatit. Terkekarkan dan tersesarkan dan menerobos

11
Diabas Penyabung. Umur dari analisa radiometri menunjukkan umur 217±5 atau

Trias Akhir hingga Jura pada Masa Mesozoikum.

5. Diabas Penyabung, berupa batuan diabas, terkekarkan dan tersesarkan,

diterobos oleh granit klabat dan menerobos Kompleks Malihan Pemali. Umur

diperkirakan pada usia Perem atau Trias hingga Jura pada Masa Mesozoikum.

6. Kompleks Pemali berupa filit dan sekis dengan sisipan kuarsit dan lensa batu

gamping terkekarkan, terlipat, tersesarkan dan diterobos oleh granit klabat,

dijumpai fosil berumur Perem pada batugamping di dekat Air Duren sebelah

selatan - tenggara Pemali. Umur satuan diduga Perem pada Masa Paleozoikum

Paleosen, dengan lokasi tipe di daerah Pemali.

Endapan Timah Aluvial

Endapan timah aluvial adalah hasil rombakan dari batuan induk yang mengalami

pelapukan, transportasi dan sedimentasi tetapi belum mengalami pembatuan (Smirnov,

1976). Pembahasan perihal endapan timah aluvial menjadi sangat penting di dalam

dunia pertambangan timah, hal ini disebabkan awal mula ditemukannya timah adalah

timah pada aluvial dan sampai saat ini produksi terbesar PT Timah Tbk adalah hasil

penambangan pada endapan aluvial baik aluvial darat maupun laut. Endapan timah

aluvial biasa disebut dengan timah sekunder. Endapan aluvial merupakan endapan yang

relatif berumur muda (Kuarter) yang berada di atas batuan dasar yang jauh lebih tua

(Tersier atau pra Tersier). Keterdapatan timah di dalam endapan aluvial inilah yang

menjadikan paradigma eksplorasi timah berkembang dimulai teori mother rock hunting

dan teori valey hunting. Dalam dunia pertimahan di Indonesia pada endapan timah

aluvial ada yang dikenal dengan istilah kaksa dan mincan. Kaksa merupakan lapisan

endapan timah aluvial yang kaya dengan mineral kassiterit (SnO2) yang terletak di atas

batuan dasar (bed rock), sedangkan mincan merupakan lapisan endapan timah aluvial

12
yang terbentuk secara berulang setelah terbentuknya lapisan kaksa (Osberger, 1965).

Penampang klasifikasi endapan aluvial dapat dilihat pada Gambar 2.1. Model lapisan

kaksa dan mincan dapat dilihat pada Gambar 2.2

Gambar 2.1 Penampang klasifikasi endapan aluvial (Smirnov,1976).

Gambar 2.2 Lapisan kaksa dan mincan (Tjia, 1989).

Teori tersebut berkembang karena untuk mendapatkan endapan aluvial yang kaya

akan potensi mineral timah maka harus ada sumber yang menghasilkan mineral tersebut

selanjutnya harus ada proses pelapukan, erosi dan transportasi serta yang terpenting

13
adalah adanya tempat terjadinya akumulasi. Dengan demikian tidak semua endapan

aluvial kaya akan kandungan timah, dengan kata lain tidak semua lembah menjadi

perangkap timah yang ekonomis. Dengan kata lain bahwa kita akan mendapatkan timah

aluvial jika terpenuhi tiga kriteria yaitu adanya batuan sumber pembawa timah, media

transportasi, dan tempat akumulasi.

Klasifikasi Sumberdaya Mineral

Sumberdaya mineral adalah suatu konsentrasi atau keterjadian dari material yang

memiliki nilai ekonomi pada atau di atas kerak bumi, dengan bentuk, kualitas dan

kuantitas tertentu yang memiliki keprospekan yang beralasan untuk pada akhirnya dapat

diekstraksi secara ekonomis. Lokasi, kuantitas, kadar, karakteristik geologi dan

kemenerusan dari sumberdaya mineral harus diketahui, diestimasi atau diintepretasikan

berdasar bukti-bukti dan pengetahuan geologi yang spesifik, termasuk pengambilan

contonya. Sumberdaya mineral dikelompokkan lagi berdasar tingkat keyakinan

geologinya, ke dalam kategori tereka, tertunjuk dan terukur (KCMI, 2017).

1. Sumberdaya mineral tereka

Sumberdaya mineral tereka merupakan bagian dari sumberdaya mineral dimana

kuantitas dan kualitas kadarnya diestimasi berdasarkan bukti-bukti geologi dan

pengambilan conto yang terbatas. Bukti geologi tersebut memadai untuk menunjukkan

keterjadiannya tetapi tidak memverifikasi kemenerusan kualitas atau kadar dan

kemenerusan geologinya. Sumberdaya mineral tereka memiliki tingkat keyakinan lebih

rendah dalam penerapannya dibandingkan dengan sumberdaya mineral tertunjuk dan

tidak dapat dikonversi ke cadangan mineral. Sangat beralasan untuk mengharapkan

bahwa sebagian besar sumberdaya mineral tereka dapat ditingkatkan menjadi

sumberdaya mineral tertunjuk sejalan dengan berlanjutnya eksplorasi.

14
2. Sumberdaya mineral tertunjuk

Sumberdaya mineral tertunjuk merupakan bagian dari sumberdaya mineral di mana

kuantitas, kadar atau kualitas, kerapatan, bentuk, dan karakteristik fisiknya dapat

diestimasi dengan tingkat keyakinan yang cukup untuk memungkinkan penerapan

faktor-faktor pengubah secara memadai untuk mendukung perencanaan tambang dan

evaluasi kelayakan ekonomi cebakan tersebut. Bukti geologi didapatkan dari eksplorasi,

pengambilan conto dan pengujian yang cukup detail dan andal, dan memadai untuk

mengasumsikan kemenerusan geologi dan kadar atau kualitas di antara titik-titik

pengamatan. Sumberdaya mineral tertunjuk memiliki tingkat keyakinan yang lebih

rendah penerapannya dibandingkan dengan sumberdaya mineral terukur dan hanya

dapat dikonversi ke cadangan mineral terkira.

3. Sumberdaya mineral terukur

Sumberdaya mineral terukur merupakan bagian dari sumberdaya mineral di mana

kuantitas, kadar atau kualitas, kerapatan, bentuk, karakteristik fisiknya dapat diestimasi

dengan tingkat keyakinan yang memadai untuk memungkinkan penerapan faktor-faktor

pengubah untuk mendukung perencanaan tambang detail dan evaluasi akhir dari

kelayakan ekonomi cebakan tersebut. Bukti geologi didapatkan dari eksplorasi,

pengambilan conto dan pengujian yang detail dan andal, dan memadai untuk

memastikan kemenerusan geologi dan kadar atau kualitasnya di antara titik-titik

pengamatan. Sumberdaya mineral terukur memiliki tingkat keyakinan yang lebih tinggi

penerapannya dibandingkan dengan sumberdaya mineral tertunjuk ataupun

sumberdaya mineral tereka. Sumberdaya mineral terukur dapat dikonversi ke cadangan

mineral terbukti atau cadangan mineral terkira (KCMI, 2017). Hubungan umum antara

hasil eksplorasi sumberdaya mineral dan cadangan mineral dapat dilihat pada gambar

Gambar 2.3.

15
Gambar 2.3 Hubungan umum antara hasil eksplorasi, sumberdaya mineral dan
cadangan mineral (KCMI, 2017).

Data Spasial

Data spasial adalah data yang diperoleh dari hasil pengukuran suatu lokasi. Data

spasial merupakan data dependen karena berasal dari lokasi spasial yang berbeda yang

mengindikasikan ketergantungan antara nilai pengukuran dengan lokasi (Cressie, 1993).

Data spasial memiliki lokasi spasial yang beraturan (regular) dan tak beraturan

(irregular). Data spasial merupakan salah satu model data dependen (variabel tak

bebas), karena data spasial dikumpulkan dari lokasi berbeda yang mengindikasikan

ketergantungan antara pengukuran data dan lokasi. Data spasial mempunyai dua bagian

penting yang membuatnya berbeda dari data yang lain, yaitu informasi lokasi (spasial)

dan informasi deskriptif (atribut). Data spasial dibagi menjadi tiga tipe mendasar yaitu

data geostatistik (geostatistical data), data area (lattice area), dan pola titik (point

pattern) (Cressie, 1993). Berikut merupakan gambar beserta penjelasannya (Gambar

2.4).
16
Gambar 2.4 (A) Data geostatistik (B) Data area.

1. Data geostatistik (geostatistical) mengarah pada data sampel yang berupa titik,

baik beraturan (regular) atau tak beraturan (irregular) dari suatu distribusi spasial

kontinu.

2. Data area (lattice data) terdiri dari dua bentuk, yaitu berupa unit regular dan unit

irregular yang didukung pula oleh informasi lingkungan dan dihubungkan dengan

batas-batas tertentu. Data area sendiri berhubungan dengan wilayah spasial,

merupakan kumpulan data atribut diskrit yang merupakan hasil pengukuran pada

wilayah tertentu. Data area merupakan sebuah konsep dari garis tepi dan

persekitaran (neighbour).

3. Pola titik (point pattern) adalah pola yang muncul dari variabel yang dianalisis

pada lokasi kejadian. Sampel yang digunakan adalah sampel yang tak beraturan

(memiliki jarak yang berbeda). Lokasi pola titik diperoleh berdasarkan pada posisi

koordinat kartesius (x, y) dari titik yang diamati sedangkan data pola titik spasial

diperoleh dari informasi atribut pada objek yang bersesuaian. Hal penting pada

analisis data pola titik adalah untuk mengetahui hubungan ketergantungan antar

titik. Maksudnya adalah untuk mengetahui apakah lokasi titik-titik yang menjadi

objek penelitian membentuk klaster atau regular, sehingga dapat dilihat apakah

terjadi ketergantungan antar titik atau tidak.

17
Metode Estimasi Sumberdaya

Metode untuk estimasi sumberdaya umumnya bergantung pada keadaan geologi

endapan, metode eksplorasi, keakuratan data dan nilai koefisien variasi, manfaat serta

tujuan estimasi sumberdaya. Dalam mengestimasi sumberdaya mineral biasanya

digunakan berbagai metode seperti metode poligon, metode inverse distance weighting

(IDW), dan metode kriging.

2.5.1 Metode Poligon

Metode poligon disebut juga metode daerah pengaruh (area of influence). Pada

metode ini semua faktor ditentukan untuk suatu titik tertentu pada endapan mineral,

diekstensikan sejauh setengah jarak dari titik di sekitarnya yang membentuk suatu

daerah pengaruh. Batas daerah pengaruh terluar dari poligon ini bisa hanya sampai pada

titik-titik bor terluar saja (included area), atau diekstensikan sampai sejauh setengah

jarak (extended area) (Hartman, 1992).

Gambar 2.5 Metode estimasi sumberdaya menggunakan poligon (Hartman, 1992).

18
Estimasi sumberdaya dengan metode poligon dapat dilakukan dengan:

1. Setiap lubang bor ditentukan suatu batas daerah pengaruh yang dibentuk oleh

garis-garis berat antara titik tersebut dengan titik-titik terdekat di sekitarnya.

2. Masing-masing daerah atau blok diperlakukan sebagai suatu poligon yang

mempunyai kadar dan ketebalan yang konstan yaitu sama dengan kadar dan

ketebalan titik bor di dalam poligon tersebut.

3. Sumberdaya endapan diperoleh dengan menjumlahkan seluruh tonase tiap blok/

poligon, sedangkan kadar rata-ratanya dihitung memakai pembobotan tonase.

2.5.2 Metode Inverse Distance Weighting (IDW)

Metode IDW merupakan suatu cara penaksiran yang telah memperhitungkan

adanya hubungan letak ruang (jarak), merupakan kombinasi linear atau harga rata-rata

pembobotan (weighting average) dari titik-titik data yang ada disekitarnya. Suatu cara

penaksiran di mana harga rata-rata suatu blok merupakan suatu kombinasi linear atau

harga rata-rata pembobotan (weighting average) dari data lubang bor di sekitar blok

tersebut. Nilai data-data hasil taksiran tersebut merupakan nilai rata-rata pembobotan

(weighting average) dari data sampel yang telah ada (Bankes et al., 2003). Dalam

penaksiran data kadar dilakukan teknik-teknik pembobotan yang ada pada umumnya

didasarkan pada:

1. Letak grid yang atau blok yang akan ditaksir terhadap letak data sampel.

2. Kecenderungan penyebaran kualitas data.

3. Orientasi setiap sampel yang menunjukkan hubungan letak ruang antar sampel.

4. Untuk mendapatkan efek penghalusan (pemerataan) data, dilakukan faktor

pangkat. Pilihan dari pangkat yang digunakan (titik bor 1, titik bor 2, titik bor 3,

dst) yang berpengaruh terhadap hasil taksiran. Semakin tinggi pangkat yang

digunakan, hasilnya semakin mendekati metode poligon sampel terdekat.

19
5. Dalam metode ini, komputer memeriksa jarak antara sampel dari kumpulan blok

dan menolak data yang berada diluar radius tertentu dan ditentukan dengan

persamaan sebagai berikut (Annels, 1991).


1
∑𝑛
𝑖=1 𝑘 𝑍𝑖
𝑑
𝑍= 𝑖
1 (1)
∑𝑛
𝑖=1 𝑑𝑘
𝑖

dimana,

Z = Kadar taksiran (%)

n = Jumlah data

i = Kadar ke-i (%)

di = Spasi Antar Titik Taksiran dengan Titik ke-i yang Ditaksir (m)

k = Pangkat (script)

Zi = Kadar awal (%)

Pangkat “k” biasanya bervariasi antara 1, 2, 3, dan seterusnya. Metode ini hanya

berlaku ketika sampel dalam area pencarian tertentu dan dilakukan secara berulang-

ulang dan biasanya dilakukan dengan komputerisasi (Annels, 1991). Data di dekat blok

memperoleh bobot lebih besar, sedangkan data jauh dari blok bobotnya lebih kecil.

Bobot ini berbanding terbalik dengan jarak data dari blok yang ditaksir. Metode ini hanya

memperlihatkan jarak dan belum memperlihatkan efek pengelompokan data, sehingga

data dengan jarak yang sama namun mempunyai sebaran yang berbeda masih akan

memberikan hasil yang sama sehingga tidak memberikan korelasi ruang antara titik data

dengan titik data yang lain. Metode IDW yang digunakan yaitu di mana kadar dibagikan

pada blok-blok terdekat dengan jarak tertentu untuk tiap titik pengambilan sampel

seperti pada gambar berikut ini:

20
Gambar 2.6 Metode estimasi sumberdaya dengan IDW (Idrus, 2007).

Suatu penyederhanaan yang akan dilakukan dalam pembahasan IDW ini akan

mempertimbangkan blok-blok lebih sebagai nilai titik dari pada sebagai volume dengan

memperlakukan blok sebagai titik (point). Kadar blok dapat dihitung rata-rata

berdasarkan jarak dari pusat blok ke titik sekelilingnya, apalagi blok ini dibagi menjadi

blok-blok yang lebih kecil sehingga estimasinya dapat dilakukan untuk setiap sub blok

dan hasilnya dapat dijumlahkan.

2.5.3 Metode Kriging

Pada tahun 1950, peneliti pertambangan bernama Daniel Gerhardus (DG) Krige,

merancang metode interpolasi untuk menentukan struktur bijih emas. Dia

menginterpolasi suatu kandungan bijih emas berdasarkan data sampel. Dari sini kriging

dijadikan sebuah nama metode interpolasi atas penemuannya tersebut.

G. Matheron memperkenalkan metode kriging dalam menonjolkan metode

khusus dalam moving average terbobot (weighted moving average) yang meminimalkan

variansi dari hasil estimasi. Kriging menghasilkan best linear unbiased estimation (BLUE)

dari variabel yang ingin diketahui nilainya. Hasil prediksi kriging lebih akurat daripada

metode regresi. Sebab, metode ini mampu membaca error yang berkorelasi, sehingga

21
dapat diketahui nilai kedekatannya (Kleijnen and Van Beers, 2004).

Estimator kriging Ẑ(𝑠) dapat dirumuskan sebagai berikut (Bohling, 2005):

Ẑ(s)-m(s)= ∑na=1 λa (Z (si )-m(si )) (2)

dimana,

si ,si : lokasi untuk estimasi dan salah satu lokasi dari data yang berdekatan,

dinyatakan dengan i

m(s) : nilai ekspektasi dari Z(s)

m(si ) : nilai ekspektasi dari Z(si )

λi : faktor bobot

n : banyaknya data sampel yang digunakan untuk estimasi.

Z (s) diperlakukan sebagai bidang acak dengan suatu komponen trend, m(s)

dan komponen sisa atau error e(s) = (Z)(s)-m(s). Estimasi kriging yang bersifat sisa

pada s sebagai penjumlahan berbobot dari sisa data disekitarnya. Nilai λi diperoleh dari

kovariansi atau semivariogram, dengan diperlukan komponen karakteristik sisa (Bohling,

2005).

Tujuan kriging adalah untuk menentukan nilai λi yang meminimalkan variansi

pada estimator, dapat dinyatakan sebagai berikut:

σ2 =var [Ẑ(s)-(Z)(s)] (3)

Tiga pokok dalam estimasi kriging yang bergantung pada model dengan sifat acak yaitu

simple kriging, ordinary kriging, dan universal kriging (Bohling, 2005; Goovaerts, 1998).

1. Simple Kriging

Simple kriging merupakan metode kriging dengan asumsi bahwa rata-rata

(mean) dari populasi telah diketahui dan bernilai konstan. Pengolahan dari

metode simple kriging adalah dengan cara data spasial yang akan diduga dipartisi

menjadi beberapa bagian.

22
2. Ordinary Kriging

Ordinary kriging merupakan metode yang diasumsikan rata-rata (mean) dari

populasi tidak diketahui, dan pada data spasial tersebut tidak mengandung trend.

Selain tidak mengandung trend, data yang digunakan juga tidak mengandung

pencilan.

3. Universal Kriging

Universal kriging merupakan metode kriging yang dapat diaplikasikan pada data

spasial yang mengandung trend atau data yang tidak stasioner.

2.5.4 Metode Ordinary Kriging

Ordinary kriging dikenal sebagai teknik kriging linear karena menggunakan

kombinasi linier terbobot dari data yang tersedia untuk proses estimasi (Isaaks and

Srivastava, 1989). Metode ordinary kriging merupakan metode Kriging yang

menghasilkan estimator yang bersifat BLUE. Hal tersebut berarti mempunyai variansi

terkecil dibanding estimator lain. Data yang digunakan pada metode ordinary Kriging

merupakan data spasial dengan rata-rata populasi tidak diketahui dan diasumsi bersifat

stasioner.

Bobot ordinary kriging memenuhi sifat tak bias dengan ∑ni=1 λi =1 dengan n

adalah jumlah sampel yang diketahui. Parameter tambahan 𝑚 merupakan Lag range

multiplier yang digunakan untuk meminimalkan galat kriging. Nilai bobot ordinary kriging

dapat diperoleh melalui persamaan berikut:

-1
λ1 γ(s1 ,s1 ) γ(s1 ,s2 ) … γ(s1 ,sn ) 1 γ(s1 ,s0 )
λ2 γ(s2 ,s1 ) γ(s2 ,s2 ) … γ(s2 ,sn ) 1 γ(s2 ,s0 )
⋮ = ⋮ ⋮ ⋱ ⋮ ⋮ ⋮ (4)
λn γ(sn ,s1 ) γ(sn ,s2 ) … γ(sn ,sn ) 1 γ(sn ,s0 )
(m) ( 1 1 … 1 0) ( 1 )

dimana,

λ(1,2…..n ) : vektor pembobot ke si

23
γ : semivariogram antara titk (s1…n ,s1..n ) yang terdapat pada jarak sebesar

Ordinary kriging berhubungan dengan prediksi spasial dengan 2 asumsi (Cressie,

1990), yaitu:

1. Asumsi Model

Z(s)=μ+e(s), s ϵ R dan μ tidak diketahui (5)

2. Asumsi Prediksi

Ẑ(s)= ∑ni=1 λi Z(s) dengan ∑ni=1 λi =1 (6)

dimana,

Z(s) : Peubah acak bebas

μ : Ekspektasi peubah acak Z(s)

e(s) : Nilai error pada Z(s)

R : Bilangan real

N : Banyaknya data sampel yang digunakan untuk estimasi

Karena koefisien dari hasil penjumlahan prediksi linier adalah 1 dan memiliki

syarat tak bias maka EẐ(s)=μ= E Z(s)= Z(s), untuk setiap μ ϵ R dan karena Z(s)

merupakan suatu konstanta maka E Z(s)=Z(s) terdapat estimator error e(s), pada setiap

lokasi merupakan perbedaan antara nilai estimasi Ẑ(𝑠) dengan nilai sebenarnya Z(s)

yang dinyatakan sebagai berikut:

e(s)=Ẑ(s) - Z(s) (7)

dimana,

e(s) : Estimator error

Ẑ(s) : Nilai estimasi

Z(s) : Nilai sebenarnya

24
Dengan E e(s)=0. Selisih Ẑ(s)- Z(s) disebut dengan galat estimasi atau bias.

Bobot λi ,i=1,2,….,n ditentukan berdasarkan kriteria:

1. Tak bias: [Ẑ(s)- Z(s)] = 0

2. Variansi: var[Ẑ(s)- Z(s)] minimum

Dengan menggunakan persamaan (10) dapat dibuktikan bahwa Ẑ(s) merupakan

estimator tak bias yaitu:

E e(s)= E Ẑ(s)-E Z(s) (8)

dengan E e(s)=0, maka diperoleh:

E Ẑ(s)=Z(s) (9)

Variogram dan Semivariogram

Variogram adalah grafik variansi terhadap jarak (lag) sedangkan semivariogram

adalah setengah kuantitas dari semivariogram (Cressie, 1993). Variogram menentukan

ukuran dari variansi yang digunakan untuk menentukan jarak dimana nilai-nilai data

pengamatan menjadi tidak ada kolerasinya. Estimasi variogram memiliki peran yang

menentukan, misalnya dalam penentuan nilai-nilai optimal dari bobot setiap sampel.

Cara yang paling alami untuk membandingkan dua nilai, Z(x) dan Z(x+h) pada dua poin

x dan x+h pada nilai yang mutlak seharusnya mempertimbangkan nilai rata-rata

[Z(x)-Z(x+h)] (Cressie, 1993).

1. Variogram eksperimental

Variogram eksperimental adalah variogram yang diperoleh dari data yang

diamati. Variogram didefinisikan sebagai berikut:

2γ(h)= E[Z(x)-Z(x+h)]2 (10)

25
2. Semivariogram eksperimental

Semivariogram eksperimental adalah nilai dugaan yang diperoleh dari penarikan

sampel di lapangan. Variogram eksperimental dibuat berdasarkan nilai korelasi

spasial antara dua buah variabel yang dipisahkan oleh suatu jarak (h) tertentu.

Semivariogram eksperimental dirumuskan sebagai berikut:

1 n
γ(h)= ∑i=1[Z(xi )-Z(xi +h)]2 (11)
2N(h)

dimana,

γ(h) : Semivariogram eksperimental

xi : Lokasi titik sampel

Z(xi ) : Nilai observasi pada lokasi 𝑥𝑖

h : Jarak antara dua titik sampel

xi +h : Pasangan titik sampel yang berjarak ℎ

N(h) : Banyak pasangan data yang memilki jarak ℎ.

Setelah diperoleh nilai semivariogram eksperimental, maka dapat dihitung

parameter-parameter yang akan digunakan untuk perhitungan semivariogram teoritis.

Beberapa parameter yang digunakan untuk mencari nilai dalam semivariogram teoritis

adalah nugget effect, sill, dan range.

1. Range

Range adalah jarak dimana variogram merupakan sebuah dataran tinggi (Isaaks

and Srivastava, 1989). Jarak yang dimaksud adalah variogram harus mencapai

nilai sill.

2. Sill

Sill adalah masa stabil suatu variogram dalam mencapai range. Variogram

menjadi suatu wilayah yang datar yaitu ragamnya tidak mengalami suatu

kenaikan (Isaaks and Srivastava, 1989).

26
3. Nugget Effect

Kediskontinuan pada pusat variogram terhadap garis vertikal yang melompat dari

nilai 0 pada pusat nilai variogram dengan pemisahan jarak terkecil disebut

dengan nugget effect (Isaaks and Srivastava, 1989).

Gambar 2.7 Komponen Variogram (Goovaerts, 1997).

Setelah memperoleh nilai dari ketiga parameter di atas, selanjutnya dilakukan

perhitungan nilai semivarogram teoritis. Nilai yang diperoleh dari semivariogram teoritis

akan digunakan untuk membandingkan nilai antara semivariogram eksperimental

dengan teoritis. Selanjutnya dipilih model mana yang memiliki nilai paling kecil, yang

nantinya akan digunakan untuk melakukan pendugaan data spasial. Berikut adalah

beberapa model semivariogram teoritis yang digunakan sebagai pembanding

(Micromine, 2014):

1. Model Spherical (Sph) adalah bentuk linear dengan kecapatan perubahan slope

untuk mencapai sill. Model spherical digunakan dalam estimasi kualitas kadar.

27
3h h 3
C0 +C [( ) -0,5 ( ) ]
y(h) = { 2a a } h ≤ a dan untuk h > a (12)
C0 +C

dimana,

h : Jarak lokasi sampel

C0 +C : Sill, yaitu nilai semivariogram untuk jarak pada saat besarnya konstan

a : Range, yaitu jarak pada saat nilai semivariogram mencapai sill.

2. Model Exponential (Exp) adalah model yang memiliki lengkungan lebih besar

dibandingkan dengan model spherical dan menunjukkan perubahan slope secara

bertahap hingga mencapai sill. Model exponential digunakan dalam estimasi

kualitas kadar.

3h
γ(h)=C0 +C [1-exp (- )] (13)
a

3. Model Gaussian (Gaus) merupakan model yang berbentuk parabolik yang secara

bertahap perubahan slope akan mencapai sill. Model Gaussian digunakan untuk

perhitungan kontaminasi air dan udara.


2
-3h
γ(h)=C0 +C [1-exp ( )] (14)
a2

4. Linear (Lin) dan General Linear (Gen Lin) merupakan model yang tidak mencapai

sill. General Linear digunakan untuk elevasi topografi dan ketebalan seam

batubara.

28
Gambar 2.8 Semivariogram (Goovaerts, 1997).

29
PROSIDING XXVII DAN KONGRES X PERHAPI 2018

PENGGUNAAN METODE GEOSTATISTIK DALAM


ESTIMASI KADAR NIKEL PADA
CEBAKAN BIJIH NIKEL LATERIT PETEA

Nur Anbiyak*
*Direktorat Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM
nur.anbiyak@esdm.go.id, atau anbiyak@yahoo.co.id

Intisari
Cebakan bijih nikel laterit Petea berada di Kabupaten Luwu Timur, Provinsi
Sulawesi Selatan yang terbentuk sebagai produk dari proses pelapukan batuan
ultramafik yang tersebar di sebagian lengan selatan dan tenggara Pulau Sulawesi.
Profil pelapukan batuan di Petea terdiri dari tiga lapisan utama dengan urutan dari
bawah ke atas, yaitu batuan dasar, lapisan saprolit, dan limonit. Mineralisasi nikel
terbentuk pada lapisan saprolit dan limonit dan dapat dibedakan berdasarkan
karakteristik geologi dan geokimianya.

Metode geostatistik dipakai karena kemampuan metode tersebut untuk


menunjukkan korelasi spasial dalam populasi data. Analisis variografi dilakukan
dengan membuat variogram untuk yang mewakili arah utama sebaran nikel pada
lapisan saprolit dan limonit. Variogram directional mengindikasikan bahwa kadar
nikel tersebar pada kedua lapisan tersebut dan tidak menunjukkan kecenderungan
pada arah tertentu. Parameter variogram dipergunakan sebagai dasar analisis
geostatistik untuk melakukan estimasi kadar nikel.

Metode ordinary kriging dipilih untuk melakukan estimasi kadar nikel Petea dan
menghasilkan kadar nikel rata-rata sebesar 1,89% pada bijih saprolit. Hasil
rekonsiliasi dengan data produksi bijih saprolit menunjukkan deviasi sebesar
4,42% dimana hasil estimasi menghasilkan nilai kadar nikel yang lebih besar.

Kata Kunci: (Petea), (geostatistik), (nikel)

Latar Belakang
Cebakan bijih nikel laterit Petea merupakan bagian dari kompleks cebakan bijih
nikel Sorowako yang terletak di Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi
Tenggara. Wilayah ini termasuk dalam area konsesi Kontrak Karya PT Vale
Indonesia (PT VI) yang mengoperasikan tambang dan pabrik pengolahan nikel
beserta fasilitas penunjangnya dengan kapasitas 5,5 juta ton bijih per tahun
dengan kadar rata-rata 1,8% Ni untuk menghasilkan 80.000 ton nickel matte
(Crundwell dkk, 2011).

271
Gambar 1 Lokasi cebakan bijih nikel laterit Sorowako
(Gambar direproduksi dari Google Earth)

Cebakan nikel laterit di daerah penelitian terbentuk sebagai produk pelapukan


batuan ultramafik East Sulawesi Ophiolite (ESO) yang tersebar di sebagian besar
lengan tenggara dan bagian tengah Pulau Sulawesi. ESO terdiri dari sekuen
batuan ultramafik, gabbro, kompleks dyke basalt berlapis, dan batuan volkanik.
Karakter batuan ultramafik ESO adalah keterdapatan lherzolit yang lebih besar
daripada harzburgit dan dunit, kecuali di sekitar area Sorowako dimana harzburgit
dan dunit mendominasi (Kadarusman dkk, 2004).

Cebakan bijih nikel laterit Sorowako terbentuk dari kompleks ofiolit pada daerah
busur akresi yang berasosiasi dengan batas lempeng dan zona tumbukan. Menurut
Brand dkk (1998), cebakan bijih yang berkembang pada tatanan tektonik tersebut
dipengaruhi oleh pengangkatan kompleks ofiolit ke permukaan sehingga memicu
proses lateritisasi. Batuan ultramafik Sorowako berumur Kapur (Kadarusman dkk,
2004) sedangkan proses lateritisasi dimulai sejak Miosen Akhir (Golightly, 1981).

Proses pelapukan kimia batuan ultramafik menghasilkan profil laterit berlapis


yang terdiri dari batuan dasar serta lapisan saprolit dan limonit. Batuan dasar
Sorowako dapat dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu peridotit-dunit yang
ditemukan di bagian barat serta peridotit terserpentinisasi dengan proporsi mineral
olivin sebesar 20-90% yang berkembang di bagian timur Sorowako dan Petea
(Golightly, 1979).

272
Lapisan saprolit terbentuk dari akumulasi bongkah-bongkah hasil pelapukan
batuan dasar yang dikelilingi oleh massa mineral primer dan mineral alterasi dan
masih memperlihat tekstur batuan dasar (Elias, 2002). Faktor pengontrol
ketebalan saprolit adalah laju pengangkatan tektonik dan tinggi muka air tanah,
dimana laju pengangkatan tektonik yang lambat dan muka air tanah rendah selama
periode pelapukan yang panjang menghasilkan lapisan saprolit yang semakin tebal
(Golightly, 1981). Lapisan ini dicirikan dengan kadar nikel lebih tinggi yang
terkandung dalam mineral alterasi seperti garnierit dan serpentinit sekunder.
Pelepasan ion Ni dari rekristalisasi goetit dan hematit dari lapisan limonit
tertransportasi kembali ke saprolit dan terendapkan mineral serpentinit sekunder
(Pelletier, 1996).

Pembentukan lapisan limonit terjadi pada bagian atas profil laterit dan
merepresentasikan produk akhir dari proses pelapukan. Lapisan ini kaya akan
mineral goetit berbutir halus dan di bagian bawah lapisan, pada zona transisi
saprolit-limonit didominasi oleh nodul Fe-Mn dan mengandung kadar Ni dan Co
yang signifikan (Golightly, 1979).

Gambar 2 Profil nikel laterit (Elias, 2002)

Cebakan bijih nikel laterit Petea terbentuk dari batuan dasar peridotit
terserpentinisasi dengan kandungan olivine rata-rata sebesar 65% dan dicirikan
dengan warna abu-abu terang sampai kuning kehijauan dan bertekstur halus.
Lapisan saprolit yang terbentuk di atasnya berwarna coklat-kuning, bertekstur
halus, dan sebaran bongkah jarang dan mengandung mineral serpentinit dan
smektit. Proses pelapukan lebih lanjut menghasilkan lapisan limonit yang kaya
mineral goetit dan berwarna kekuningan. Kadar nikel pada cebakan Petea

273
bervariasi dari 1,2% Ni hingga 2,4% Ni dan kadar besi sebesar 14,7-22,4% Fe
(Golder Associates, 2010).

Metodologi Studi
Data bor yang dipergunakan dalam pemodelan cebakan bijih nikel laterit Petea,
berasal dari PT VI dalam format Microsoft Excel. Data tersebut terdiri dari
informasi geologi, collar, serta assay Ni, Co, Fe, SiO2, dan MgO 521 lubang
lubang bor yang tersebar di area seluas 2 km x 1,5 km yang kemudian diunggah
ke dalam database perangkat lunak Micromine.

Penentuan domain sesuai data geokimia dilakukan berdasarkan populasi data Ni,
Co, Fe, SiO2, dan MgO yang digambarkan dalam histogram untuk seluruh
domain. Histogram dipilih karena kemampuannya untuk mendeteksi multi-
modalism dan menentukan outliers. Multi-modalism mengindikasikan
keterdapatan domain yang lain dalam data sehingga perlu dilakukan koreksi untuk
analisis geostatistik lebih lanjut.

Gambar 3 Histogram Fe untuk seluruh domain

Kadar nikel dan elemen lainnya dalam cebakan bijih Petea diestimasi dengan
menggunakan metode geostatistik ordinary kriging. Metode ini dipilih karena
kemampuannya untuk melakukan pembobotan dan menentukan kecenderungan
sebaran kadar sehingga mengurangi faktor kesalahan dalam estimasi. Menurut
Rossi dan Deutsch (2014), kriging merupakan metode algoritma non-stationary
berdasarkan pendekatan nilai perhitungan error variance untuk menentukan
pembobotan pada lokasi yang tidak diambil contonya tanpa membuat asumsi nilai
rata-rata.

274
Perhitungan faktor pembobotan dilakukan dengan mempertimbangkan jarak
antara lokasi yang diestimasi dengan lokasi yang diketahui datanya serta
konfigurasi spasial data assay sekelilingnya. Oleh karena itu, metode ini
membutuhkan variogram sebagai dasar perhitungan untuk menentukan jarak dan
nilai variance antar nilai kadar dalam populasi data assay (Oliver dan Webster,
1990).

Variogram menunjukkan derajat kemenerusan antara nilai kadar dengan jarak


antar conto pada arah tertentu, sehingga mengindikasikan tingkat anisotropy
dalam tubuh cebakan bijih. Grafik variogram menggambarkan nilai semi-variance
pada sumbu vertikal (γ(h)) dan jarak (h) pada sumbu horizontal (Abzalov, 2016).
Perhitungan nilai semi-variance adalah sebgai berikut:
𝑛𝑛−ℎ
(𝒵𝒵𝒵𝒵 − 𝒵𝒵𝒵𝒵 + ℎ)2
γ(h) = ∑
2𝑛𝑛
𝑖𝑖
γ(h) = semi-variance
𝒵𝒵 i = nilai kadar pada lokasi i
𝒵𝒵 i+h = nilai kadar pada jarak h dari i
n = jumlah conto

Gambar 4 Komponen variogram (Snowden, 2001)

275
Variabilitas spasial dalam data Petea yang terdiri dari kadar Ni, Co, Fe, SiO 2, dan
MgO pada masing-masing domain mineralisasi diplot ke dalam downhole dan
directional variogram. Untuk mempermudah proses perhitungan, directional
variogram dibuat untuk tiga arah utama kecenderungan nilai kadar, dimana arah
sumbu utama ditentukan dari peta variogram, sedangkan dua arah utama lainnya
dihitung secara otomatis dengan menggunakan perangkat lunak.

Gambar 5 Peta variogram untuk nikel pada lapisan saprolit

Hasil Penelitian dan Pembahasan


Berdasarkan karakteristik geologi dan geokimia, cebakan bijih laterit Petea
dikelompokkan menjadi tiga domain mineralisasi yaitu, batuan dasar, saprolit, dan
limonit. Batuan dasar mempunyai karakteristik kadar nikel, kobal, dan besi yang
rendah dan kandungan silika dan magnesia yang tinggi. Kadar rata-rata nikel pada
batuan dasar sebesar 0,4% Ni. Sedangkan pada domain saprolit, kadar rata-rata
nikel sebesar 1,7% Ni yang kemudian turun menjai 0,9% Ni pada domain limonit.

276
Gambar 6 Sebaran kadar Ni, Co, Fe, SiO2, dan MgO

Batas antara lapisan saprolit dan limonit dicirikan oleh perubahan mendadak
kadar besi, dimana kadar besi pada lapisan saprolit secara umum kurang dari 35%
dan kemudian meningkat secara signifikan menjadi rata-rata 45% pada lapisan
limonit. Analisis geostatistik hanya dilakukan pada lapisan limonit dan saprolit
karena kadar nikel yang ekonomis hanya terdapat pada kedua domain tersebut.

Gambar 7 Visualisasi domain batuan dasar, saprolit, dan limonit

277
Directional variogram pada lapisan limonit dihitung dengan menggunakan lag
bervariasi dari 25 m sampai 100 m dan sudut toleransi sebesar 22,5 0. Variogram
nikel dan kobal menunjukkan bahwa tidak terdapat adanya anisotropy dan sebaran
kedua elemen tersebut tidak menunjukkan preferensi ke arah tertentu.

Gambar 8 Directional variogram nikel pada limonit

Gambar 9 Directional variogram nikel pada saprolit

Pola yang sama juga terjadi pada domain saprolit, tetapi nilai range pada
variogram saprolit menunjukkan angka yang lebih besar yaitu sejauh 43 m. Hal ini
mengindikasikan bahwa sebaran data assay pada lapisan saprolit memiliki
korelasi spasial yang lebih jauh daripada domain limonit. Berdasarkan analisis

278
variografi untuk keseluruhan elemen maka ditentukan parameter variogram pada
Tabel 1 berikut sebagai dasar estimasi kadar pada lapisan saprolit dan limonit.

Tabel 1 Parameter variogram


Nugget Range Arah Utama
Domain Elemen
Effect Axis a Axis b Axis c (N0E)

Ni 0,04 8,1 43 36 6

Co 0,0003 8,76 20,08 6,28 270

Saprolit Fe 18,27 18,95 10,54 11,38 270

SiO2 8,4 6,63 19,67 27,18 6

MgO 13,7 25,1 26,6 10,7 248

Ni 0,02 36,92 21,36 2,96 320

Co 0,0023 6,81 13,65 15,4 19

Limonit Fe 6,2 31,4 30 31,6 1

SiO2 4,41 40,4 12,3 19 218

MgO 1,59 31 22,7 21,19 174

Berdasarkan parameter variogram di atas, dapat ditentukan radius pencarian untuk


interpolasi kadar pada domain saprolit dan limonit (Tabel 2). Radius pencarian
nikel dipakai untuk keseluruhan elemen dikarenakan perannya sebagai komoditas
utama pada cebakan bijih. Sumbu horizontal ellipsoid pencarian pada limonit
lebih kecil daripada saprolit karena nilai range variogram yang juga lebih kecil,
sedangkan sumbu vertikalnya lebih tinggi dikarenakan beberapa conto pada
domain limonit yang tidak dilakukan analisis kadar kobalnya sehingga radius 4 m
bisa merepresentasikan ketersediaan data pada seluruh interval.

Tabel 2 parameter ellipsoid pencarian untuk nikel


Parameter pencarian Saprolit Limonit
X radius (m) 80 60
Y radius (m) 80 60
Z radius (m) 2 4
Rotasi (0) 0 0
Jumlah conto maksimum 4 4
Jumlah conto minimum 1 1

279
Sebagai pembanding hasil estimasi kadar dengan metode geostatistik ordinary
kriging, juga dilakukan penaksiran dengan metode inverse distance weighted
anisotropic (IDW) dan simple points. Hasil perhitungan dengan ketiga metode di
atas ditampilkan dalam gambar 10 dan 11 berikut.

Estimasi Kadar Limonit

50.00 44.9465.08
45.39
40.00
Percent (%)

30.00
20.00
0.95 6.81
10.00 0.95 0.13 6.86
0.94 0.13 1.68
0.00 0.13
6.45 1.73 Kriging
1.70Simple Average
Ni (%) Co (%)
Fe (%) SiO2 MgO
(%) (%)

Simple Average IDW Kriging


Gambar 10 Hasil estimasi kadar pada domain limonit

Estimasi Kadar Saprolit

37.18
40.00 36 .8 4.25
3 7

30.00
Percent (%)

22.74
20.00 22.84
13.62 22.91
1.63 13.54
10.00 13.59
1.64 0.03
1.68 0.03 Kriging
0.00 0.03
Ni Co Simple Average
Fe SiO2
(%) (%) MgO
(%) (%)
(%)

Simple Average IDW Kriging


Gambar 11 Hasil estimasi kadar pada domain saprolit

280
Hasil penaksiran di atas belum memperhatikan nilai cut-off grade dalam block
model. Jika menggunakan nilai cut-off grade operasional Petea sebesar 1,5% Ni,
maka didapatkan kadar rata-rata nikel pada domain saprolit sebesar 1,89% Ni.
Hasil perbandingan estimasi kadar pada block model dengan rekonsiliasi data
aktual produksi saprolit Petea adalah sebagai berikut.

Rekonsiliasi Kadar (Saprolit)

40.00 35.54
36.13
Percent (%)

30.00
22.80
20.00 15.54 22.21
14.30
10.00 1.81
1.89
0.00 Production
Block Model
Ni (%) Fe (%)
SiO2 MgO
(%) (%)

Block Model Production

Gambar 12 Rekonsiliasi data kadar pada domain saprolit

Hasil estimasi kadar nikel dengan metode ordinary kriging menunjukkan angka
yang lebih tinggi daripada data aktual produksi dengan deviasi sebesar 4,42%. Hal
ini dapat disebabkan oleh dilusi dari material waste yang ikut tertambang sehingga
mengurangi kadar rata-rata nikel.

Kesimpulan
Cebakan nikel laterit Petea merupakan produk dari proses pelapukan batuan dasar
peridotit terserpentinisasi yang membentuk profil pelapukan berlapis yang dapat
dibagi menjadi lapisan batuan dasar, saprolit, dan limonit. Profil pelapukan
tersebut dipakai sebagai domain mineralisasi dikarenakan perbedaan karakter
geologi dan geokimianya.

Batuan dasar dicirikan dengan kehadiran batuan ultramafik segar dengan kadar
nikel rata-rata kurang dari 0,5% Ni. Sedangkan saprolit disusun oleh bongkah-
bongkah hasil pelapukan batuan ultramafik dan masih mempertahankan tekstur
primer batuan dasar. Lapisan ini mengandung kadar nikel paling tinggi
dibandingkan domain lainnya dan kadar besi yabg relatif rendah. Pelapukan lebih
lanjut menghasilkan lapisan limonit yang didominasi oleh kehadiran mineral
goetit dan hematit sehingga mempunyai kadar besi rata-rata sebesar 45% Fe.

281
Hasil estimasi kadar nikel dengan metode geostatistik ordinary kriging
memberikan hasil dengan tingkat keyakinan yang tinggi dan telah divalidasi
dengan metode estimasi simple points dan inverse distance weighted anisotropic.
Dengan menggunakan cut-off grade sebesar 1,5% Ni pada domain saprolit, kadar
rata-rata nikel hasil estimasi sebesar 1,89% Ni. Angka ini lebih besar dari data
aktual produksi saprolit Petea sebesar 1,81% Ni dan kemungkinan disebabkan
oleh dilusi material yang belum dipertimbangkan dalam estimasi kadar nikel.

Ucapan Terima Kasih


Ucapan terima kasih Penulis sampaikan kepada PT Vale Indonesia yang telah
mengizinkan pemakaian data tambang Petea dalam penelitian ini.

Daftar Pustaka
Abzalov, M. (2016). Applied Mining Geology (Vol. 12). Switzerland: Springer
International Publishing.
Brand, N. W., Butt, C. R. M., & Elias, M. (1998). Nickel laterites: Classification
and features. AGSO Journal of Australian Geology & Geophysics, 17, 81–88.
Crundwell, F. K., Moats, M. S., Ramachandran, V., Robinson, T. G., &
Davenport, W. G. (2011). Chapter 8 - Smelting Laterite Concentrates to Sulfide
Matte Extractive Metallurgy of Nickel, Cobalt and Platinum Group Metals (pp.
95-107). Oxford: Elsevier.
Elias, M. (2002). Nickel laterite deposits – geological overview, resources and
exploitation dalam D. R. Cooke & J. Pongratz (Eds.), Giant ore deposits :
characteristics, genesis and exploration (Vol. CODES Special Publication 4, pp.
205-220). Hobart, Tasmania: Centre for Ore Deposit Research, University of
Tasmania.
Golder Associates. (2010). Vale Inco Ltd. External Audit of Mineral Reserves: PT
Inco Operations, Sorowako Project Area. Diakses dari
http://www.hkexnews.hk/listedco/listconews/sehk/2010/1202/06210_950098/E12
3.PDF pada tanggal 16 Maret 2017.
Golightly, J. P. (1979). Geology of Soroako nickeliferous laterite deposits. dalam
D. Evans, R. Shoemaker, & H. Veltman (Eds.), International Laterite Symposium
(pp. 38-56). New York: Society of Mining Engineers of the American Institute of
Mining, Metallurgical, and Petroleum Engineers, Inc.
Golightly, J. P. (1981). Nickeliferous laterite deposits. dalam B. Skinner (Ed.),
Economic Geology Seventy-fifth Anniversary Volume 1905-1980 (pp. 710-735).
El Paso, Texas: Economic Geology Pub. Co.
Kadarusman, A., Miyashita, S., Maruyama, S., Parkinson, C. D., & Ishikawa, A.
(2004). Petrology, geochemistry and paleogeographic reconstruction of the East
Sulawesi Ophiolite, Indonesia. Tectonophysics, 392(1–4), 55-83.
doi:http://dx.doi.org/10.1016/j.tecto.2004.04.008

282
Oliver, M. A., & Webster, R. (1990). Kriging: a method of interpolation for
geographical information systems. International Journal of Geographical
Information Systems, 4(3), 313-332. doi:10.1080/02693799008941549
Pelletier, B. (1996). Serpentines in nickel silicate ore from New Caledonia. Paper
presented at the Nickel '96 : Mineral to market, Kalgoorlie, Western Australia 27-
29 November 1996 Carlton, Vic.
Rossi, M. E., & Deutsch, C. V. (2014). Mineral Resource Estimation Dordrecht,
Heidelberg, New York, London: Springer.
Snowden, D. V. (2001). Practical Interpretation of Mineral Resource and Ore
Reserve Classification Guidelines. dalam A. C. Edwards (Ed.), Mineral resource
and ore reserve estimation-the AusIMM guide to good practice (Vol. 23).
Melbourne, Victoria: Australasian Institute of Mining and Metallurgy.
Zhang, Y. (2011). Introduction to Geostatistics. Course Notes. Dept. of Geology
& Geophysics. University of Wyoming. Diakses dari
http://geofaculty.uwyo.edu/yzhang/files/Geosta1.pdf pada tanggal 23 Mei 2017.

283
Jurnal Teknik Lingkungan Volume 26 Nomor 1, April 2020 (Hal 37 – 52)

PENYISIHAN MERKURI (Hg) DARI AIR HASIL PENCUCIAN


TANAH MENGGUNAKAN ADSORBEN GAC
TERIMPREGNASI Fe DAN Ce

ALLOWANCE FOR MERCURY (Hg) FROM GROUNDWATER WASH


ING USING GAC IMPREGNATED ADSORBENT Fe AND Ce
Rizki Rilda Aulia1 dan Agus Jatnika Effendi2
Program Magister Teknik Lingkungan
Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung
Jl. Ganesha No. 10 Bandung 40132
Email: 1auliarizkirilda@gmail.com dan 2jatnika@indo.net.id

Abstrak. Merkuri banyak digunakan secara bebas dalam proses amalgamisasi pada pertambangan emas skala
kecil (PESK), salah satunya di Kabupaten Lebak, Banten. Merkuri dapat mengalami transformasi sehingga
dapat meningkatkan mobilitas dan sifat racunnya. Hal ini menjadi perhatian karena dapat menjadi potensi polusi
pada permukaan tanah, air tanah, penyerapan oleh tumbuhan serta bioakumulasi pada rantai makanan. Pada
penelitian pendahuluan dilakukan proses remediasi merkuri pada tanah dengan metode soil washing
menggunakan pelarut KI. Namun pada pengolahan menggunakan metode soil washing, air hasil pencucian
membutuhkan pengolahan lebih lanjut sebelum akhirnya dibuang karena memiliki konsentrasi merkuri
melebihi baku mutu (1-3 ppm) sehingga perlu dilakukan pengolahan lanjutan yakni adsorpsi menggunakan
adsorben GAC terimpregnasi Fe dan Ce dengan sistem batch. Berdasarkan PP No 101 Tahun 2014 tentang
pengolahan limbah B3, baku mutu merkuri pada TCLP A 0,3 ppm dan TCLP B 0,05 ppm. Percobaan
menunjukan bahwa sistem batch memiliki nilai kapasitas adsorpsi terbaik pada jenis adsorben GAC-Ce sebesar
0,087 mg/g dan konsentrasi merkuri mengalami penurunan hingga mencapai 0,443 ppm. Proses adsorpsi
merkuri menggunakan GAC, GAC-Fe dan GAC-Ce lebih cocok dimodelkan dengan model isotherm
Freundlich. Proses adsorpsi merkuri menggunakan GAC dan GAC-Fe mengikuti kinetika orde kedua semu
sedangkan GAC-Ce mengikuti kinetika orde dua.

Kata kunci: adsorpsi, GAC, merkuri, impregnasi, air soil washing, batch.

Abstract. Mercury is widely used freely in the process of amalgamization in small scale gold mining (ASGM),
one of which is in Lebak Regency, Banten. Mercury can undergo transformation so that it can increase its
mobility and toxicity. This is a concern because it can be a potential pollution on the ground surface, ground
water, absorption by plants and bioaccumulation in the food chain. In a preliminary study carried out the process
of remediation of mercury in the soil with the method of soil washing using KI solvent. However, in the
processing using the soil washing method, the washing water needs further treatment before finally being
discharged because it has mercury concentrations exceeding the quality standard (1-3 ppm) so that further
processing needs to be done ie adsorption using GAC adsorbent impregnated with Fe and Ce with a batch
system. Based on PP No. 101 of 2014 concerning B3 waste treatment, the mercury quality standard at TCLP A
is 0.3 ppm and TCLP B is 0.05 ppm. Experiments show that the batch system has the best value of adsorption
capacity in the type of GAC-Ce adsorbent of 0.087 mg / g and the concentration of mercury has decreased to
reach 0.443 ppm. The mercury adsorption process using GAC, GAC-Fe and GAC-Ce is more suitable to be
modeled with the Freundlich isotherm model. The mercury adsorption process uses GAC and GAC-Fe
following pseudo second-order kinetics while GAC-Ce follows second-order kinetics.

Keywords: adsorption, GAC, mercury, impregnation, air soil washing, batch.

37
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara dengan sumber daya alam yang melimpah. Salah satu
sumberdaya alam Indonesia yakni emas yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia baik
dengan skala besar seperti Tambang Gasbeg (Freeport) di Papua maupun penambangan emas
skala kecil (PESK) seperti di Lebak, Banten. PESK banyak menggunakan merkuri atau air
raksa (Hg) dalam proses penambangan emas yang penggunaanya tidak diawasi dan dilakukan
secara bebas. Merkuri digunakan untuk mengekstraksi emas dalam PESK, khususnya di
Indonesia, sudah menunjukkan indikasi membahayakan dan bisa dikatakan sebagai bencana
lingkungan (C. Aspinall, 2001).
Berdasarkan UNEP, Indonesia merupakan negara terbesar ketiga di dunia yang sudah
mengalami polusi Hg setelah Cina dan Pillipina. Merkuri merupakan logam berat yang
bersifat unik karena tidak dapat mengalami degradasi baik secara biologis maupun kimiawi
sehingga dampaknya bisa berlangsung sangat lama. Berdasarkan Yani (2013) mengenai
keracunan akibat limbah pengolahan emas di Banten, 8 warga Kabupaten Lebak mengalami
keracunan akibat minum air yang tercemar oleh limbah hasil pertambangan emas. Warga
mengeluhkan kontaminasi limbah pada air sumur dan air Sungai Cimadur padahal kedua
tempat itu adalah sumber air minum bagi warga (Yani, 2013).
Oleh karena itu, perlu dilakukan pengolahan untuk menyisihkan kandungan merkuri
di lingkungan sekitar kegiatan PESK. Penelitian ini merupakan proses lanjutan penyisihan
merkuri yang telah melalui proses soil washing menggunakan larutan Kalium Iodida (KI).
Soil washing adalah proses penggabungan fisika dan kimia untuk menyisihkan logam berat
yang terkontaminasi pada tanah dengan cara pencucian tanah secara ex-situ dengan
menggunakan pelarut tertentu (Liu, et al, 2018). Larutan pencuci yang digunakan pada proses
ini adalah larutan asam, chelating agents, elektrolit, oxidizing agents, dan surfaktan (Khalid,
et al, 2017). Karena proses soil washing bukan merupakan teknologi destroy atau imobilisasi,
maka hasil tanah olahan harus dibuang dengan hati-hati dan air hasil pencucian
membutuhkan pengolahan lebih lanjut sebelum pembuangan akhir.
Air hasil pencucian tanah pada umumnya masih memiliki konsentrasi merkuri yang
tinggi dan berada diatas baku mutu yang telah di tentukan sebelum akhirnya di buang ke
lingkungan, sehingga air hasil pencucian ini perlu dilakukan pengolahan lanjutan (Karthika,

38 Jurnal Teknik Lingkungan Vol. 26 No. 1  Rizki Rilda Aulia dan Agus Jatnika Effendi
N, 2016). Pada penelitian ini air hasil pencucian tanah diolah menggunakan metode adsorpsi
dengan menggunakan GAC (Granular Activated Carbon) terimpregnasi. Beberapa
penelitian terkait penggunaan karbon aktif dalam penyisihan merkuri antara lain penelitian
yang dilakukan oleh Calvin (2018) yakni studi adsorpsi merkuri menggunakan karbon aktif
berbahan baku kulit durian yang diaplikasikan pada limbah pertambangan emas rakyat dari
Kab. Mandailing Natal. Dengan menggunakan variasi waktu dan massa adsorben karbon
aktif (yang diaktivasi dengan KOH) dapat mengadsorpsi Hg hingga 99,979% dengan
konsentrasi awal Hg sebesar 9,129 ppm, waktu selama 150 menit dan massa karbon aktif
sebesar 9gram serta konsentrasi Hg setelah adsorpsi sebesar 0,0019 ppm (Calvin, 2018).
Jatmiko (2013) pemanfaatan karbon aktif dari limbah tempurung kemiri untuk adsorpsi
limbah merkuri-Hg(II).
Dengan menggunakan variasi massaadsorben dan pH maka diperoleh penyisihan
sebesar 89% pada pH 4 dan massa adsorben 5gram sebesar 143,074 ppm dari konsentrasi
merkuri awal sebesar 160 ppm (Jatniko dan Hadi, Tri, 2013).
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa variasi yakni variasi jenis adsorben Granular
Activated Carbon (GAC, GAC terimpregnasi Fe dan Ce), pH, dosis adsorben dan waktu
kontak. Tujuan dalam penelitian ini yakni untuk mengetahui optimalisasi penyisihan merkuri
dan kapasitas adsorpsi merkuri dari air hasil pencucian tanah.

METODOLOGI
Penelitian dilakukan di Lab Kualitas Air Institut Teknologi Bandung dalam periode waktu 6
bulan dan dilakukan dua kali pengulangan atau replikasi dalam pelaksanaanya.

Persiapan Air Hasil Pencucian Tanah


Pencucian tanah dilakukan menggunakan larutan KI 0,2 M dengan perbandingan
sebesar 1:15 (1gram tanah dan 15 ml pelarut KI) pada pH 2 menggunakan jar test dengan
kecepatan 100 rpm selama 3 jam, hal ini mengacu pada penelitian sebelumnya yang
dilakukan Riyandini, 2019. Air hasil pencucian tanah dipisahkan dengan cara sedimentasi
dan dianalisis konsentrasi merkuri awal pada air hasil pencucian tanah menggunakan AAS
(Rivandini, V dan Jatnika, E, 2019).

39
Impregnasi Adsorben
Impregnasi mengacu pada Raychoudhury, 2015 menggunakan metode hidrolisis.
Sebanyak 250 mL larutan logam yang akan di impregnasi (FeCl3 dan Ce(NO3)3.6H2O)
dengan konsentrasi 0,03 M dicampurkan dengan 10 gram padatan GAC yang kemudian di
aduk selama 1 jam pada kecepatan 30 rpm. Campuran didiamkan selama 24 jam dan
kemudian dipisahkan antara larutan dan residu yang dihasilkan. Residu kemudian di
keringkan pada suhu 110OC selama 24 jam. Residu kemudian didinginkan pada suhu ruang
dan dicuci beberapa kali menggunakan deionization water dan kemudian dikeringkan
kembali untuk menghilangan larutan pencuci yang tersisa dan menguapkan bahan-bahan
pengotor (Raychoudhury, et al, 2015).

Karakteriasi Air Hasil Pencucian Tanah


Penentuan ion-ion logam dan senyawa lain didalam air sebagai kompetitor dalam
penyerapan logam merkuri. Kompetitor logam Fe, Al dan Mn dianalisis mengguanakan
AAS, logam Ca dan Mg dianalisis mengguanakan metode kesadahan, nitrogen (nitrat, nitrit
dan ammonium) dilakukan masing-masing dengan menggunakan metode Nessler-
Spektrofotometri, metode reaksi Diazotasi- Spektrofotometri dan metode Brucin-
Spektrofotometri. Anion Cl dilakukan menggunakan metode Mohr dengan mentitrasi larutan
sampel dengan larutan AgNO3. Kompetitor SO4 dianalisis menggunakan metode
Turbidimetri dengan cara menambahkan air sampel dengan BaCl2. Kompetitor PO4 dalam air
limbah ditentukan dalam bentuk total Phospat.

Percobaan Adsorpsi Sistem Batch


Variasi yang ditentukan dalam proses ini adalah pH, dosis adsorben dan waktu kontak
pada jenis adsorben yang berbeda. Percobaan dilakukan dalam reaktor 500 ml. Pengadukan
dilakukan selama 2 jam. Adsorben yang terbawa pada saat pengambilan sampel diasumsikan
tidak mempengaruhi perhitungan. Penentuan konsentrasi merkuri di dalam sampel di ukur
menggunaan AAS. Sebanyak 10 gram adsorben GAC dimasukan kedalam reaktor dan
ditambahkan 500 ml air limbah hasil pencucian tanah terkontaminasi merkuri, dilakukan

40 Jurnal Teknik Lingkungan Vol. 26 No. 1  Rizki Rilda Aulia dan Agus Jatnika Effendi
variasi pH yakni pada pH 4, 6 dan 8. Selanjutnya sampel diaduk dengan kecepatan 100 rpm
selama 2 jam. Sampel diambil per skala waktu yaitu 0, 5, 10, 15, 20, 30, 45, 60, 90 dan 120
menit. Kemudian sampel disentrifuge dengan kecepatan 1000 rpm selama 15 menit untuk
memisahkan partikel adsorben yang ikut pada saat pengambilan sampel dan larutanya.
Kemudian sampel di saring menggunakan pompa vakum. Sampel kemudian di destruksi
sebelum ditentukan konsentrasi merkuri nya menggunakan AAS. Prosedur destruksi
mengikuti Metode EPA 7471B. Setalah dilakukan variasi pH maka dilakukan pula variasi
jenis adsorben yakni GAC-Fe dan GAC-Ce serta variasi dosis adsorben sebesar 10, 20 dan
30 gram.

Analisis Data
Analisis data dilakukan untuk mengetahui proses adsorpsi sistem batch sebagai post
treatment dalam penyisihan merkuri dari air hasil pencucian tanah, optimasi pH, dosis
adsorben, waktu kontak dan jenis adsorben yang digunakan terhadap optimasi penyisihan
dan kapasitas adsorpsi merkuri. Data yang diperoleh dari hasil analisis laboratorium
kemudian diolah dan ditabulasi. Selain itu, studi lainya juga dibahas lebih lanjut dalam
penelitian ini seperti kapasitas adsorpsi, isotherm yang dianalisis menggunakan model
Langmuir dan Freundlich. Penentuan kinetika reaksi dengan penentuan orde reaksi 1, orde
reaksi 2 orde reaksi 1 semu, dan orde reaksi 2 semu dan menentukan nilai koefisien
determinasi dalam menentukan orde reaksi.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pencucian tanah terkontaminasi merkuri
Dalam melakukan pencucian tanah terkontaminasi untuk menghasilkan limbah air
pencucian yang akan diolah selanjutnya, perlu diperhatikan kandungan yang berada didalam
tanah. Teknik pencucian tanah (soil washing) akan lebih sulit dilakukan jika tanah yang akan
diolah mengandung fined-grained (clay) yang tinggi (Claire, 2007). Hal tersebut dikarenakan
kontaminan akan lebih banyak berikatan dengan partikel yang lebih kecil yaitu clay,
selanjutnya partikel-partikel kecil tersebut akan berikatan dengan partikel yang lebih besar
yaitu coarse-grained (sand dan gravel). Luas permukaan spesifik clay yang lebih besar akan

41
memungkinkan jumlah kontaminan yang teradsorpsi di permukaan partikel tanah tersebut
juga akan lebih banyak dari sand dan gravel.
Tanah kemudian dilakukan pencucian dengan rasio solid : liquid (1 : 15) selama 3
jam menggunakan pelarut KI dengan konsentrasi 0,2 M. Konsentrasi merkuri pada air hasil
pencucian masih berada diatas baku mutu yakni sekitar 1-3 ppm, sehingga perlu dilakukan
pengolahan lanjutan sebelum dibuang ke lingkungan. Sedangkan kandungan merkuri pada
tanah adalah sebesar 136,9 ppm. Sistem pengadukan pada proses soil washing dapat
membantu dalam pendistribusian butiran tanah ke larutan pencuci sehingga terjadi kontak
antara fase padat dan cair. KI merupakan agen pengkhelat yang digunakan sebagai larutan
pencuci yang membentuk kompleks logam lebih kuat daripada interaksi logam dengan tanah.
Senyawa I - pada KI digunakan sebagai ligan yang akan berikatan dengan logam merkuri
dalam tanah. Secara umum mekanisme reaksi KI sebagai agen pengkelat logam merkuri
dapat diekspresikan dengan persamaan berikut: (Rivandini, V dan Jatnika, E, 2019).

Hg-X2(s) +2K+ +4I- 2KX + HgI4- (1)

Adsorben
Adsorben Granular Activated Carbon (GAC) diimpregnasi dengan tujuan untuk
mengisi pori-pori penyangga yakni GAC dengan larutan logam aktif melalui adsorpsi logam,
yaitu dengan merendam GAC dalam larutan yang mengandung logam aktif.

Tabel 1. BET adsorben


Luas Permukaan BET Total Volume Radius Pori Rata-
2
Adsorben (m /g) Pori (cc/g) rata (Å)
GAC 68,289 0,0662 19,39
GAC-Fe 110,89 0,1078 19,44
GAC-Ce 172,35 0,1531 17,76

Pada Tabel 1 analisis menggunakan BET dapat terlihat bahwa luas permukaan GAC
terimpregnasi Ce memiliki luas permukaan sebesar 172,35 m2/g yang memiliki nilai lebih
besar dibandingkan dengan GAC saja dan GAC terimpregnasi Fe. Pada Tabel 2 GAC

42 Jurnal Teknik Lingkungan Vol. 26 No. 1  Rizki Rilda Aulia dan Agus Jatnika Effendi
sebelum di impregnasi dengan logam Fe sudah terdapat Fe didalamnya beserta unsur yang
lain sedangkan pada GAC terimpregnasi Ce memiliki keberadaan unsur yang sama dengan
GAC namun memiliki tambahan keberadaan unsur Ce akibat adanya impregnasi GAC
menggunakan Ce. Keberadaan Ce dan Fe menunjukan bahwa proses impregnasi memang
terjadi.

Tabel 2. % Massa unsur dalam GAC dan GAC terimpregnasi Ce dan Fe

Unsur % Massa pada GAC % Massa pada GAC-Ce % Massa pada GAC-Fe

C 55,21 56,46 65,75


O 32,97 31,8 28,11
Al 2,63 2,23 0,54
Si 4,13 3,86 0,79
K 1,74 0,29 0,44
Ca 0,54 0,3 -
Fe 2,29 1,73 4,34
Ce - 3,33 -
Mg 0,5 - -
Total 100 100 100

Karakterisasi awal air hasil pencucian tanah


Air olahan yang menggunakan sampel limbah asli tidak buatan (artificial) memiliki
beragam kompetitor didalamnya, lain halnya jika menggunakan limbah artificial yang tidak
memiliki kompetitor lain selain zat yang akan diolah dan akan memiliki efektifitas penyisihan
yang lebih baik. Karakterisasi air hasil pencucian tanah dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Karakterisasi air hasil pencucian tanah


Parameter Hasil Analisa Satuan
COD 6268,5 mg/l
DHL 19,03 mS/cm
Fe 0,677 ppm
Mn 0,403 ppm
Ca 164,15 mg/l CaCO3
Mg 9,415 mg/l CaCO3

43
Parameter Hasil Analisa Satuan
Al <0,5 ppm
NH4 <0,33 mg/l
Cl 0,379 mg/l
SO4 67,559 mg/l
NO2 0,057 ppm
NO3 3,538 ppm
PO4 0,336 ppm

Selain merkuri, didalam tanah yang terkontaminasi terdapat berbagai macam unsur
hara baik yang bersifat organik dan anorganik yang dapat mengalami distribusi ke air olahan
selama proses pencucian tanah. Hal ini dapat mengganggu selektivitas adsorben GAC untuk
mengadsorpsi merkuri.

3.4 Percobaan adsorpsi sistem batch


Optimasi pH
Nilai optimasi pH terhadap nilai kapasitas adsorpsi merkuri dapat dilihat pada Gambar 1
berikut ini:

0,100
Kapasitas Adsorpsi (mg/g)

0,090
GAC GAC-Fe GAC-Ce
0,080
0,070
0,060
0,050
0,040
0,030
0,020
0,010
0,000
4 6 8
pH

(a)

44 Jurnal Teknik Lingkungan Vol. 26 No. 1  Rizki Rilda Aulia dan Agus Jatnika Effendi
(b)
Gambar 1. (a) Optimasi nilai variasi pH terhadap kapasitas adsorpsi merkuri (b)
Penurunan konsentrasi merkuri pada adsorben GAC dan GAC-Fe pH 8 dan GAC-Ce pH 6
serta kontrol pada pH 6.

pH dapat mempengaruhi larutan kimia dari logam dan keadaan ionisasi gugus
fungsional yang ada pada permukaan sorben. Dari gambar 1, dapat diketahui bahwa nilai pH
optimum untuk adsorpsi khelat logam merkuri dengan jenis adsorben yang berbeda yakni
GAC, GAC-Fe dan GAC-Ce memiliki nilai pH optimum yang berbeda pula. Pada adsorben
GAC tanpa impregnasi memiliki pH optimum 8 yakni memiliki nilai kapasitas adsorpsi
sebesar 0,048 mg/g. Pada GAC-Fe memiliki pH optimum 8 dengan nilai kapasitas adsorpsi
sebesar 0,054 mg/g, sedangkan untuk GAC-Ce memiliki pH optimum 6 dengan nilai
kapasitas adsorpsi sebesar 0,087 mg/g.
Pada adsorben GAC memiliki nilai konsentrasi merkuri awal sebesar 3,255 ppm dan
memiliki penurunan yang optimum pada menit ke 20 dengan konsentrasi sebesar 2,283 ppm.
Pada adsorben GAC-Fe memiliki konsentrasi awal merkuri sebesar 3,354 ppm dan
mengalami penurunan konsentrasi pada menit ke 20 dengan konsentrasi sebesar 2,269 ppm,
sedangkan pada adsorben GAC-Ce memiliki konsentrasi awal sebesar 2,204 ppm dan
mengalami penurunan yang sangat baik pada menit ke 120 dan mencapai konsentrasi sebesar
0,443 ppm. Sebagai kontrol dilakukan penyisihan merkuri pada air olahan dengan tidak

45
menggunakan adsorben pada pH yang sama dan memiliki pH optimum 6 dengan nilai
konsentrasi hanya mencapai 3,13 ppm pada menit ke 60.
Pada GAC-Ce mengikuti adsorpsi dengan cara logam yakni dengan meningkatnya
pH dari 6 ke 8 mengalami penurunan konsentrasi (adsorpsi meningkat). Sedangkan pada jenis
adsorben GAC dan GAC-Fe mengikuti adsorpsi senyawa kompleks dengan cara seperti
logam dimana peningkatan pH memiliki pengaruh peningkatan konsentrasi pada penyisihan
merkuri.

Optimasi dosis adsorben


Nilai optimasi dosis adsorben terhadap kapasitas adsorpsi merkuri dapat dilihat pada
Gambar 2. Berdasarkan Gambar 2 menunjukan penurunan nilai kapasitas adsorpsi seiring
dengan meningkatnya dosis adsorben yang digunakan. Hal ini menunjukan peningkatan dosis
adsorben terkait dengan adanya gangguan diantara ruang situs aktif adsorben yang terjadi
akibat adanya penggumpalan adsorben pada dosis yang lebih besar, sehingga permukaan
adsorben tidak seluruhnya terbuka (Abuzar, et al, 2014). Hal lain yang dapat mempengaruhi
adalah ketika adanya penambahan dosis adsorben diatas jumlah optimal maka situs aktif
dapat menutup situs aktif satu sama lain, memungkinkan terjadinya tumpang tindih situs
adsorpsi karna kepadatan adsorben yang berlebihan. Sehingga konsentrasi ion yang telah
terikat pada permukaan adsorben akan terdesorps kembali ke larutan (Hutapea, et al, 2018).

0,10
Kapasitas Adsorpsi(mg/g)

0,09
0,08 GAC GAC-Fe GAC-Ce
0,07
0,06
0,05
0,04
0,03
0,02
0,01
0,00
10 20 30
Dosis Adsorben (g)

Gambar 2. Optimasi dosis adsorben terhadap kapasitas adsorpsi

46 Jurnal Teknik Lingkungan Vol. 26 No. 1  Rizki Rilda Aulia dan Agus Jatnika Effendi
Penurunan nilai kapasitas adsorpsi ini dapat terjadi karena adanya penurunan
ketersediaan ion merkuri dalam fase air per situs aktif adsorben dan adanya situs aktif pada
permukaan adsorben yang tidak mengalami penjenuhan (Hadi, et al, 2014). Faktor lain yang
dapat mempengaruhi penurunan nilai kapasitas adsorpsi yakni gaya tarik menarik yang
terjadi antara permukaan karbon aktif dan ion merkuri yang tidak begitu kuat akibat luas
permukaan yang tersedia untuk proses adsorpsi terlalu besar. Konsentrasi merkuri pada
larutan tidak cukup kuat untuk mengakomodasi seluruh permukaan yang tersedia, sehingga
titik kesetimbangan antara konsentrasi merkuri dan adsorben telah tercapai pada efisiensi
tersebut (Afifah, N, 2018). Penggunaan limbah asli juga menjadi faktor yang cukup
mempengaruhi kapasitas adsorpsi merkuri. Terdapatnya zat-zat kompetitor lain didalam air
hasil pencucian tanah selain merkuri juga dapat menyebabkan adanya situs aktif pada
adorben ditempati oleh ion selain ion merkuri. Hal ini dibuktikan dengan dilakukannya
pengujian nilai kapasitas adsorpi GAC (10 gram) dan GAC-Fe (6,5 gram) menggunkan
limbah artificial HgNO3 dengan konsentrasi awal 3 ppm yang dapat dilihat pada Gambar 3.

0,200
Kapasitas Adsorpsi (mg/g)

Kapasitas Adsorpsi (mg/g)

0,180 0,172
0,140 0,125 0,160 0,142
0,120 0,140
0,120 0,105
0,100 0,087 0,100
0,080 0,068 0,080
0,060
0,060 0,040
0,040 0,020
0,000
0,020
5 30 60
0,000 Waktu (Menit)
20 30 60 Waktu (Menit))

(b)
Gambar 3. Nilai kapasitas adsorpsi menggunakan limbah artificial dengan jenis adsorben
(a) GAC (b) GAC-Fe.

47
Optimasi waktu kontak
Optimasi waktu kontak pada adsorpsi merkuri ditunjukan pada Gambar 1 b dengan
menggunakan tiga jenis adsorben serta kontrol dan keadan pH dan dosis adsorben optimum,
dapat dilihat pada grafik bahwa pada jenis adsorben GAC dan GAC-Fe mengalami fluktuasi
konsentrasi seiring dengan bertambahnya waktu kontak. Mengalami penurunan dari menit
pertama hingga menit ke 5, hal ini disebabkan oleh masih banyaknya situs aktif pada
adsorben diawal proses dan masih tingginya kandungan merkuri dilarutan, sehingga pada
saat dikontakan, merkuri langsung menempati situs aktif di permukaan adsorben. Namun
tidak hanya merkuri yang terdapat didalam larutan air olahan tetapi juga terdapat ion-ion lain
yang disebut sebagai ion kompetitor.
Kenaikan nilai konsentrasi pada menit selanjutnya diakibatkan oleh adanya
persaingan antar ion dilarutan yang teradsorp pada permukaan adsorben. Ion-ion kompetitor
ini umumnya teradsorpsi secara fisik yang bersifat reversible yang menyebabkan semakin
lamanya waktu kontak akan menyebabkan terlepas kembalinya ion-ion kompetitor tersebut
(desorpsi), sehingga situs aktif kembali kosong dan dapat diisi kembali oleh merkuri. Proses
adsorpsi dapat terjadi secara kimia dan fisika.

0,100
GAC GAC-Fe GAC-Ce
0,090
Kapasitas Adsorpsi (mg/g)

0,080
0,070
0,060
0,050
0,040
0,030
0,020
0,010
0,000
5 10 15 20 30 45 60 90 120

Waktu Kontak (Menit)

Gambar 4. Optimasi waktu kontak terhadap kapasitas adsorpsi merkuri

Nilai kapasitas adsorpsi untuk jenis adsorben GAC dan GAC-Fe sama dengan nilai
konsentrasi terhadap optimasi waktu kontak yakni mengalami nilai yang fluktuatif.

48 Jurnal Teknik Lingkungan Vol. 26 No. 1  Rizki Rilda Aulia dan Agus Jatnika Effendi
Sedangkan kapasitas adsorpsi merkuri untuk jenis adsorben GAC-Ce meningkat seiring
dengan meningkatnya waktu kontak. Nilai kapasitas adsorpsi GAC optimum memiliki nilai
sebesar 0,048 mg/g pada menit ke 20, GAC-Fe sebesar 0,054 mg/g pada menit ke 20
sedangkan GAC-Ce sebesar 0,087 mg/g pada menit ke 120.

Isoterm adsorpsi
Berdasarkan nilai koefisien korelasi (R2) serta nilai KF dan n pada persamaan
isotherm Freundlich, proses adsorpsi merkuri dengan GAC, GAC-Fe dan GAC-Ce lebih
cocok dimodelkan dengan model isotherm Freundlich. Pada proses adsorpsi merkuri
menggunakan adsorben GAC memiliki nilai KF yang lebih kecil dibandingkan jenis adsorben
yang lain yakni sebesar 0,001 sedangkan untuk adsorben GAC-Fe yang memiliki nilai KF
yang terbesar yakni 1477,747 sedangkan jenis adsorben GAC-Ce memiliki nilai KF sebesar
4,642. Semakin besar nilai KF pada persamaan Freundlich maka semakin tinggi potensi untuk
mengkarakterisasi adsorben sebagai lebih reaktif, meskipun konstanta cenderung spesifik
bergantung pada situs dan adsorben (Payne, K dan Abdel, F, 2005).
Proses adsorpsi merkuri menggunakan GAC, GAC-Fe dan GAC-Ce memiliki nilai
1/n > 1 atau n < 1. 1/n merupakan parameter heterogenitas, dimana semakin kecil nilai 1/n
maka semakin besar heterogenitas yang diharapkan. Proses adsorpsi dengan nilai 1/n >1 atau
n < 1 menunjukan bahwa proses sorpsi yang kooperatif yang mengindikasikan adanya
mekanisme tarik menarik antar solute pada permukaan adsorben (Utami, et al, 2015).

Tabel 4. Isoterm Adsorpsi


Langmuir
Proses Persamaan Linier R2 KL RL
GAC y=280,61x-102,15 0,650 -0,364 -10,860
GAC-Fe y=-1168,6x+513,3 0,971 0,439 0,431
GAC-Ce y=37,004x-71,68 0,704 -1,937 -0,208
Freundlich
Proses Persamaan Linier R2 KF n
GAC y=4,4067x-2,8965 0,757 0,001 0,227
GAC-Fe y=-12,482x+3,1696 0,999 1477,747 0,080
GAC-Ce y=4,9015x+0,6667 0,829 4,642 0,204

49
Kinetika adsorpsi
Bedasarkan nilai koefisien korelasi (R2) tiga jenis adsorben terhadap kapasitas
adsorpsi, proses adsorpsi jenis adsorben GAC dan GAC-Fe mengikuti kinetika orde dua semu
sedangkan jenis adsorben GAC-Ce mengikuti kinetika orde dua. Pada jenis adsorben
terhadap nilai kapasitas adsorpsi optimum pada tiap kondisi variasi optimum menunjukan
nilai koefisien korelasi (R2) pada GAC-Ce memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan
GAC dan GAC-Fe yakni sebesar 0,978. Hal ini dipengaruhi oleh adaanya perbedaan terhadap
nilai luas permukaaan adsorben GAC-Ce dengan adsorben yang lainya sehingga pada
adsorben GAC-Ce dapat mempercepat reaksi penyisihan merkuri diikuti dengan GAC-Fe
dan GAC.

KESIMPULAN
Adsorben GAC-Ce memiliki efektifitas yang baik dalam penyisihan merkuri dalam
air hasil pencucian tanah dibandungkan dengan adsorben GAC dan GAC-Fe. Pada adsorben
GAC memiliki pH optimum sebesar 8 dengan dosis 10 gram. Pada adsorben GAC-Fe
memiliki pH optimum 8 dan memiliki dosis optimum 10 gram, sedangkan pada adsorben
GAC-Ce memiliki pH optimum 6 dan dosis adsorben pada sebesar 10 gam, hal ini didasarkan
pada nilai kapasitas adsorpsi masing-masing jenis adsorben. Kapasitas adsorpsi untuk proses
adsorpsi merkuri dari air hasil pencucian tanah dengan GAC, GAC-Fe dan GAC-Ce optimum
adalah masing-masing sebesar 0,048, 0,054 dan 0,087 dalam milligram adsorbat per gram
adsorben. Proses adsorpsi merkuri dari air hasil pencucian tanah dengan adsorben GAC,
GAC-Fe dan GAC-Ce lebih cocok dimodelkan dengan model isotherm Freundlich ditinjau
dari nilai koefisien korelasi dan nilai KF serta n pada soterm adsorpsi pada masing-masing
jenis adsorben. Proses adsorpsi merkuri dari air hasil pencucian tanah dengan adsorben GAC
dan GAC-Fe mengikuti kinetika orde dua semu, sedangkan untuk adsorben GAC-Ce
mengikuti kinetika orde dua, hal ini didasarkan pada nilai koefisien korelasi (R2) yang
mendekati 1.

50 Jurnal Teknik Lingkungan Vol. 26 No. 1  Rizki Rilda Aulia dan Agus Jatnika Effendi
Tabel 5. Kinetika Adsorpsi (K dalam menit -1)
GAC GAC-Fe GAC-Ce
Kinetika Orde 1
2
R K1 R2 K1 R2 K1
0,0374 0,0005 0,0055 -0,0002 0,9015 0,014
Kinetika Orde 2
2
R K2 R2 K2 R2 K2
0,0267 0,0002 0,0092 0,0001 0,978 0,0158
Kinetika Orde Semu 1
R2 K1 R2 K1 R2 K1
0,0016 0,001 0,0089 0,0005 0,9623 0,0355
Kinetika Orde Semu 2
2
R K2 R2 K2 R2 K2
0,9503 -11,13129 0,9650 -13,8808 0,0906 0,27244

DAFTAR PUSTAKA
Abuzar, S., Dewilda, Yommi dan Stefani, Windy. 2014. Analisis Penyisihan COD Limbah Cair Hotel
Menggunakan Serbuk Kulit Jagung. Jurnal Teknik Limgkungan UNAND. 18-27.
Afifah, N. A. (2018). Identifikasi sebaran logam berat arsen (As) pada air tanah dangkal dengan metode kriging
(Studi kasus: Air tanah dangkal SubDAS Ciwidey). Bandung: Tesis Program Magister, Institut
Teknologi Bandung.
C. Aspinall. (2001): Small-scale Mining in Indonesia. Indonesia Institute for Environment and Development,
Mining Minerals and Sustainable Development Report, Jakarta.
Calvin. (2018): Studi Adsorpsi Merkuri Menggunakan Karbon Aktif Berbahan Baku Kulit Durian (Aplikasi
pada Limbah Pertambangan Emas Rakyat dari Kab. Mandailing Natal). Jurnal Teknik Lingkungan
USU.
Hadi, P., to, Ming-Ho., Hui, Chi-Wai., dkk. 2014. Aqueous Mercury Adsorption by Activated Carbon.
Manuscript. Chemical and Biomolecular Engineering Departement. Hong Kong University of
Science and Technology.
Hutapea, Kartini Efridawati. 2018. Penyisihan Kadar Logam Fe dan Mn dari Air Sumur dengan Menggunakan
Kulit Singkong sebagai Adsorben. Skripsi. Universitas Sumatra Utara.
Jatmiko, Tri Hadi. (2013): Pemanfaatan Karbon Aktif dari Limbah Tempurung Kemiri untuk Adsorpsi Limbah
merkuri-Hg (II). Prosiding Seminar Nasional Peran Teknologi di Era Globalisasi ke 2. Teknik
Kimia, ITM, Medan.
Karthika, N., Jananee, K dan Murugaiyan, V. (2016): Remediation of Contaminated Soil Using Soil Washing-
a Review. Journal of Engineering Research and Applications. 2248-9622 Vol 6.

51
Khalid, Sana., Shahid, Muhammad., Niazi, Nabeel., Murtaza, Behza., Bibi, Irshad dan Dumat, Camille. (2017):
A comparison of techbologies for remediation of heavy metal. Journal of Geochemical Exploration.
182 (2017) 247-268.
Liu, Lianwen., Li, Wei dan Guo, Mingxin. (2018): Remediation techniques for heavy metal-contaminated soils:
Principles and applicability. Jurnal Science of the Total Environment. 633 (2018) 206-219.
Payne, K. B., & Abdel-Fattah, T. M. (2005). Adsorption of arsenate and arsenite by iron-treated activated carbon
and zeolites: effects of pH, temperature, and ionic strength. Journal of Environmental Science and
Health, 723-749.
Raychoudhury, T., Schiperski, F dan Scheytt, T. (2015): Distribution of Iron in Activated Carbon Composites:
Assessment of Arsenic Removal Behavior. Journal. IWA Publishing.
Riyandini, V L dan Effendi, A J. 2019. Analisis Koefisien Distribusi (Kd) pada Tanah Tercemar Merkuri Di
Provinsi Banten Menggunakan Potassium Iodida dengan Metode Soil Washing. Tesis. Institut
Teknologi Bandung.
Utami, J B., Wijaya, G S., Sediawan, W B., dkk. 2015. Prediksi Kesetimbangan Adsorpsi Uranium Pada Air
dan Berbagai Sedimen. Jurnal Forum Nuklir. Vol 9. No 2. 29-37.
Yani. (2013): Akibat Limbah Pengolahan Emas, 8 Warga Citorek Keracunan. http://harianjayapos.com/detail-
2834-akibat-limbah-pengolahan-emas8-warga-citorek-keracunan.html (Diakses pada 29 Januari
2019).

52 Jurnal Teknik Lingkungan Vol. 26 No. 1  Rizki Rilda Aulia dan Agus Jatnika Effendi
ISSN: 2302-3333 Jurnal Bina Tambang, Vol. 4, No. 3

Estimasi Sumberdaya Batubara Dengan Menggunakan Metode


Ordinary Kriging Pada Pit X Di PT Selamat Jaya Job Site Puteri
Hijau Kecamatan Puteri Hijau Kabupaten Bengkulu Utara
Provinsi Bengkulu
Dian Nur Ikhsan1*, Adree Octova1**
1Jurusan Teknik Pertambangan Fakultas Teknik Universitas Negeri Padang

*dianikhsan95@gmail.com
**adree@ft.unp.ac.id

Abstract. PT Selamat Jaya is a coal contracting company located in Puteri Hijau sub-district,
Bengkulu Utara District, Bengkulu Province. PT Selamat Jaya has 2 work locations, namely PT
Bara Mega Quantum and PT Kaltim Global. The research area of the researcher is PT Katim
Global. Where in the Mining Business Permit area, PT Kaltim Global has a newly opened pit
and is nearing completion for the initial coal mining stage. To increase production, it is necessary
to develop the pit area. PT Selamat Jaya with the owner of PT Kaltim Global does not yet have
a resource sediment model, so estimation of coal resources is needed. This process aims to
estimate the amount of coal tonnage and how coal deposits are spread below. In this study, the
method used to estimate coal resources is the ordinary kriging method. From the estimation
results using this ordinary kriging method, later sediment models from coal will be obtained
including the amount of coal tonnage. The total coal tonnage in the study area was
10.274.544 tons, with a covering layer of 41.088.000 Bcm. From the calculation we also got a
stripping ratio of 1 : 3,9.

Keywords : Coal, estimation, ordinary kriging , sediment model, resources

1 Pendahuluan Penambangan di pit X desain tahap awal akan habis dan


akan melakukan pengembang area pit X tersebut. Pada
PT Selamat Jaya merupakan perusahaan swasta yang area pit X telah ada sebagian area yang sedang dilakukan
bergerak di bidang usaha kontraktor pertambangan. proses penambangan dan sebagian area lagi belum
PT Selamat Jaya berpusat di Kecamatan Nakau, ditambang.
Kabupaten Bengkulu Tengah, Provinsi Bengkulu. Unit Dengan adanya rencana pengembangan pit X maka
penambangan (job site) berada di Kabupaten Bengkulu perlu dilakukan estimasi sumberdaya batubara pada area
Tengah dan Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi pengembangan pit X tersebut. Perhitungan sumberdaya
Bengkulu. Pada job site Kabupaten Bengkulu Tengah batubara merupakan hal dasar yang harus dilakukan
dengan owner PT Bara Mega Quantum (PT BMQ) dalam kegiatan penambangan. Oleh karena itu
terletak di Kecamatan Taba Penanjung. Sedangkan pada dibutuhkan pembaharuan serta penambahan data agar
job site Kabupaten Bengkulu Utara dengan owner PT hasil yang dihasilkan semakin detil dan akurat.
Kaltim Global terletak di Kecamatan Puteri Hijau. Diperlukannya pemodelan untuk area pengembangan pit
PT Selamat Jaya job site menerapkan sistem tambang X.
terbuka (surface mining) dengan metode open pit, yaitu Perhitungan sumberdaya batubara akan dilakukan
sistem tambang terbuka yang diterapkan untuk menggunakan metode ordinary kriging yang merupakan
menambang endapan-endapan yang tidak terlalu jauh salah satu metode estimasi geostatistik. Metode ini
didalam tanah seprerti batubara. Pada saat ini PT Selamat nantinya akan digunakan untuk menaksir nilai ketebalan
Jaya job site Puteri Hijau dengan owner PT Kaltim dari suatu blok pada suatu lokasi yang nilainya tidak
Global sedang melakukan penambangan di pit X dengan diketahui, berdasarkan dari nilai blok-blok yang terdapat
dengan kalori 5.500 dan Stripping Rasio (SR) 1:4. disekitarnya.
119
Metode geostatistik kriging dianggap sebagai metode pengkajian kelayakan dinyatakan layak untuk
paling baik dalam hal ketepatan penaksirannya. Kriging ditambang.
merupakan analisis data geostatistika yang digunakan
untuk mengestimasi besarnya nilai yang mewakili suatu
titik yang tidak tersampel berdasarkan titik–titik 2.1.2 Ganesa Batubara
tersampel yang berada di sekitarnya dengan Proses pembatubaraan secara umum dapat digolongkan
mempertimbangkan korelasi spasial yang ada dalam menjadi dua tahap, yaitu penggambutan (pearificarion)
data. dan pembatubaraan (coalfication). Proses pembentukan
Beberapa analisa yang dilakukan dalam estimasi batubara diawali dengan fase biokimia dan kemudian
geostatistik diantaranya adalah eksplorasi data dan diikuti fase geokimia (peran organisme sudah tidak ada
pembuatan model menggunakan variogram. Dari blok lagi). Fase biokimia terjadi pada gambut segera setelah
model yang telah dikoreksi selanjutnya akan dilakukan deposisi dan pengendapan sedimen lain terjadi di atas
pemodelan geologi terhadap endapan batubara. gambut tersebut[4].
Dalam penelitian ini akan membahas beberapa aspek
masalah antara lain bagaimana sebaran nilai ketebalan
batubara, berapa jumlah tonnase batubara, bagaimana 2.1.2.1 Faktor- Faktor Pembentukan Batubara
pemodelan endapan batubara dan berapa nilai stripping
ratio. Dengan melakukan penelitian di aspek-aspek Beberapa faktor yang berpengaruh dalam pembentukan
tersebut maka bisa didapatkan beberapa tujuan. batubara adalah[4]:
1. Meteri dasar, yakni flora atau tumbuhan yang tumbuh
beberapa juta tahun yang lalu, yang kemudian
2. Kajian Teori terakumulasi pada suatu lingkungan dan zona
fisiografi dengan iklim dan topografi tertentu. Jenis
Pemilihan metode perhitungan sumberdaya didasari oleh dari flora sendiri amat sangat berpengaruh terhadap
faktor geologi endapan, metode eksplorasi, data yang tipe dari batubara yang terbentuk.
dimiliki, tujuan perhitungan, dan tingkat kepercayaan 2. Proses dekomposisi, yakni proses transformasi dari
yang diinginkan. material dasar pembentuk batubara menjadi batubara.
Secara umum, pemodelan dan perhitungan Dalam proses ini, sisa tumbuhan yang terendapkan
sumberdaya batubara memerlukan data-data dasar akan mengalami perubahan baik secara fisika
sebagai berikut[1]: Peta topografi, data dan sebaran titik maupun kimia.
bor, peta geologi lokal (meliputi litologi, stratigrafi, dan 3. Umur geologi, yakni skala waktu (dalam jutaan
struktur geologi). tahun) yang menyatakan berapa lama material dasar
yang diendapkan mengalami transformasi. Untuk
2.1 Batubara material yang diendapkan dalam skala waktu geologi
yang panjang, maka proses dekomposisi yang terjadi
adalah fase lanjut dan menghasilkan batubara dengan
2.1.1 Pengertian Batubara kandungan karbon yang tinggi.
Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan 4. Posisi geotektonik, yang dapat mempengaruhi proses
yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh- pembentukan suatu lapisan batubara yang terbentuk.
tumbuhan. Pertambangan Batubara adalah Struktur dari lapisan batubara tersebut, yakni bentuk
pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam cekungan stabil, atau patahan. Intrusi magma, yang
bumi, termasuk birumen padat, gambut dan batuan akan mempengaruhi dan/atau merubah grade dari
aspal[2]. lapisan batubara yang dihasilkan.
Endapan batubara adalah endapan yang mengandung
hasil akumulasi material organik yang berasal dari sisa- 2.1.3 Kelas Batubara
sisa tumbuhan yang telah melalui proses litifikasi untuk
membentuk lapisan batubara. Material tersebut telah
mengalami kompaksi, ubahan kimia dan proses 2.1.3.1 Berdasarkan Proses Terbentuknya
metamorfosis oleh peningkatan panas dan tekanan
selama periode geologis. Bahan-bahan organik yang a. Antrasit adalah kelas batubara tertinggi, dengan
terkandung dalam lapisan batubara mempunyai berat warna hitam berkilauan (luster) metalik, mengandung
lebih dari 50% atau volume bahan organik tersebut, antara 80% - 98% `unsur karbon (C) dengan kadar air
termasuk kandungan lengas bawaan (inherent moisture), kurang dari 8%.
lebih dari 70%. b. Bituminus mengandung 68% - 80% unsur karbon (C)
Sumberdaya batubara adalah bagian dari endapan dan berkadar air 8-10% dari beratnya. Kelas batubara
batubara yang diharapkan dapat dimanfaatkan (SNI, yang paling banyak ditambang di Australia.
2011)[3]. Sumberdaya ini dapat meningkat menjadi c. Sub-bituminus mengandung sedikit karbon dan
cadangan apabila setelah dilakukan kajian kelayakan banyak air, dan oleh karenanya menjadi sumber panas
dinyatakan layak. Cadangan batubara adalah bagian dari yang kurang efisien dibandingkan dengan bituminus.
sumberdaya batubara yang telah diketahui dimensi,
sebaran kuantitas, dan kualitasnya, yang pada saat

120
d. Lignit atau batubara coklat adalah batubara yang 4. Sumberdaya batubara terukur (measured coal
sangat lunak yang mengandung air 33-75% dari resource): jumlah batubara di daerah penyelidikan
beratnya. atau bagian dari daerah penyelidikan yang dihitung
e. Gambut, berpori dan memiliki kadar air di atas 75% berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat
serta nilai kalori yang paling rendah. yang ditetapkan untuk tahap eksplorasi rinci.
5. Cadangan batubara terkira (probable coal reserve):
Sumberdaya batubara terindikasi dan sebagian
2.1.3.2 Berdasarkan Tingkat Kalori sumberdaya terukur. tetapi berdasarkan kajian
kelayakan semua faktor yang terkait telah
Berdasarkan tingkat kalorinya, batubara Indonesia
terpenuhi sehingga penambangan dapat dilakukan
dikelompokkan menjadi[5]:
secara layak.
6. Cadangan batubara terbukti (proved coal reserve):
a. Batubara Kalori Rendah, yaitu jenis batubara yang
Sumberdaya batubara terukur yang berdasarkan
paling rendah peringkatnya, bersifat lunak-keras,
kajian kelayakan semua faktor yang terkait telah
mudah diremas, mengandung kadar air tinggi (10-
terpenuhi sehingga penambangan dapat dilakukan
70%), memperlihatkan struktur kayu, nilai kalorinya
secara layak.
kurang dari 5100 kal/gr (adb).
b. Batubara Kalori Sedang, yaitu jenis batubara yang
peringkatnya lebih tinggi daripada batubara kalori
rendah, bersifat lebih keras, mudah diremas – tidak
bisa diremas, kadar air relatif lebih rendah,
umumnya struktur kayu masih tampak, nilai kalori
5100-6100 kal/gr (adb).
c. Batubara Kalori Tinggi, adalah jenis batubara yang
peringkatnya lebih tinggi lagi, kadar air relatif lebih
rendah dibandingkat batubara kalori sedang,
umumnya struktur kayu tidak tampak, nilai kalorinya
6100-7100kal/gr (adb).
Gambar 1. Hubungan Sumberdaya dan Cadangan Batubara
d. Batubara Kalori Sangat Tinggi, adalah jenis batubara
dengan peringkat paling tinggi, umumnya
dipengaruhi intrusi ataupun struktur lainnya, kadar air 2.2.2 Persyaratan Sumberdaya dan Cadangan
sangat rendah, nilai kalorinya lebih dari 7100 kal/gr Batubara
(adb).
2.2.2.1 Aspek Geologi
2.2 Sumberdaya dan Cadangan Batubara
Berdasarkan tingkat keyakinan geologi, sumberdaya
terukur harus mempunyai tingkat keyakinan yang lebih
2.2.1 Klasifikasi Sumberdaya dan Cadangan besar dibandingkan dengan sumberdaya terunjuk, begitu
Batubara pula sumberdaya terunjuk harus mempunyai tingkat
keyakinan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
Klasifikasi sumberdaya batubara didasarkan pada tingkat
sumberdaya tereka..
keyakinan geologi dan kajian kelayakan. Klasifikasi
sumberdaya dan cadangan batubara berdasarkan SNI, Tabel 1. Jarak Titik Informasi Menurut Kondisi Geologi[3]
2011 yaitu[3]:
1. Sumberdaya batubara hipotetik (hypothetical
coal resource): jumlah batubara di daerah
penyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan
yang dihitung berdasarkan data yang memenuhi
syarat-syarat yang ditetapkan untuk tahap survey
tinjau.
2. Sumberdaya batubara tereka (inferred coal resource):
jumlah batubara di daerah penyelidikan atau bagian
dari daerah penyelidikan yang dihitung berdasarkan Uraian tentang batasan umum untuk masing-masing
data yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan kondisi geologi di atas adalah sebagai berikut:
untuk tahap prospeksi. 1. Kondisi Geologi Sederhana Dengan ciri sebagai
3. Sumberdaya batubara terindiksi (indicated coal berikut:
resource): jumlah batubara di daerah penyelidikan a. Endapan batubara umumnya tidak dipengaruhi
atau bagian dari daerah penyelidikan yang dihitung oleh aktivitas tektonik seperti sesar, lipatan, dan
berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat intrusi.
yang ditetapkan untuk tahap eksplorasi b. Lapisan batubara umumnya landai, menerus
pendahuluan. secara lateral sampai ribuan meter, dan hampir
tidak memiliki percabangan.
121
c. Ketebalan lapisan batubara secara lateral dan menunjukkan angka yang berbeda. Persyaratan tersebut
kualitasnya tidak menunjukkan variasi yang diperlihatkan pada Tabel 3.
berarti.
2. Kondisi Geologi Moderat Tabel 3. Persyaratan Kuantitatif Ketebalan Lapisan Batubara
Dengan ciri sebagai berikut: dan Lapisan Pengotor[5]
a. Endapan batubara sampai tingkat tertentu telah
mengalami pengaruh deformasi tektonik.
b. Pada beberapa tempat, intrusi batuan beku
mempengaruhi lapisan dan kualitas batubaranya.
c. Dicirikan oleh kemiringan lapisan dan variasi
ketebalan lateral yang sedang.
d. Sebaran percabangan batubara masih dapat 2.2 Metode Perhitungan Sumberdaya
diikuti sampai ratusan meter.
3. Kondisi Geologi Kompleks dengan ciri sebagai Pemilihan metode perhitungan sumberdaya didasari oleh
berkut: faktor geologi endapan, metode eksplorasi, data yang
a. Umumnya telah mengalami deformasi tektonik dimiliki, tujuan perhitungan, dan tingkat kepercayaan
yang intensif. yang diinginkan.
b. Pergeseran dan perlipatan akibat aktivitas Secara umum, pemodelan dan perhitungan
tektonik menjadikan lapisan batubara sulit sumberdaya batubara memerlukan data-data dasar
dikorelasikan. sebagai berikut[1,6] : Peta topografi, Data dan sebaran titik
c. Perlipatan yang kuat juga mengakibatkan bor, Peta geologi lokal (meliputi litologi, stratigrafi, dan
kemiringan lapisan terjal. struktur geologi). Dari data-data dasar tersebut akan
dihasilkan data olahan, yaitu data dasar yang diolah
d. Sebaran lapisan batubara secara lateral terbatas untuk mendapatkan model endapan batubara secara 3
dan hanya dapat diikuti sampai puluhan meter.
dimensi untuk selanjutnya akan dilakukan perhitungan
sumberdaya endapan batubara[6].
2.2.2.2 Aspek Ekonomi
2.3.1 Statistik Univarian
Beberapa unsur yang terkait dengan aspek ekonomi dan
perlu diperhatikan dalam menggolongkan sumberdaya Statistik Univarian adalah metode statistik yang
batubara yaitu Ketebalan minimal lapisan batubara yang digunakan untuk menganalisis hubungan antar masing-
dapat ditambang dan ketebalan maksimal lapisan masing data dari suatu populasi tanpa memperhatikan
pengotor atau dirt parting yang tidak dapat dipisahkan lokasi dari data-data tersebut. Hasil dari statistik ini pada
pada saat ditambang, yang menyebabkan kualitas umumnya dipresentasikan dalam bentuk tabel frekuensi
batubaranya menurun karena kandungan abunya atau histogram. Histogram merupakan suatu gambaran
meningkat[3,5]. dari distribusi, suatu data kedalam beberapa kelas yang
memiliki interval kelas tertentu dan kemudian
Tabel 2. Klasifikasi Sumberdaya dan Cadangan Batubara[3,5] menentukan jumlah data dari masing-masing kelas
(frekuensi)[7].
Parameter statistik yang digunakan untuk analisis
statistik univariat adalah sebagai berikut:
1. Mean
2. Median
3. Modus
4. Range
5. Jangkauan antar kuartil
6. Varians
7. Simpangan baku
8. Skewness
Jenis batubara energi rendah (brown coal) 9. Kurtosis
menunjukkan kandungan panas yang relatif lebih rendah
dibandingkan dengan batubara jenis batubara energi 2.3.2 Statistik Spasial
tinggi (hard coal)[5]. Karena pada hakikatnya kandungan
panas merupakan parameter utama kualitas batubara, Statistik spasial adalah segala teknik analisis untuk
persyaratan batas minimal ketebalan batubara yang dapat mengukur distribusi suatu kejadian berdasarkan
ditambang dan batas maksimal lapisan pengotor yang keruangan Keruangan yang dimaksud disini adalah
tidak dapat dipisahkan pada saat ditambang untuk variabel yang ada di permukan bumi seperti kondisi
batubara jenis batubara energi rendah (brown coal) dan topografi. Berbeda dengan statistik non spasial yang
batubara jenis batubara energi tinggi (hard coal) akan tidak memasukkan unsur keruangan dalam analisisnya[7-
8]
.

122
1. Variogram tergantung dari pengalaman dan sense seseorang.
a. Variogram Eksperimental Tujuan dari fitting ini adalah untuk menentukan
Variogram eksperimental dibuat berdasarkan parameter geostatistik seperti a, C dan Co.
pengukuran korelasi spasial antara 2 (dua)
conto/data yang dipisahkan dengan jarak tertentu
2.3 Metode Ordinary Kriging
sebesar h. Data tersebut merupakan data yang
diperoleh dari pengukuran di lapangan, dapat Metode Kriging digunakan oleh G. Matheron pada tahun
berupa data kadar, ketebalan, ketinggian 1960-an, untuk menonjolkan metode khusus dalam
topografi, porositas, dan permeabilitas. moving avarage terbobot (weighted moving average)
Kemudian hasil perhitungan variogram di plot yang meminimalkan variasi dan hasil estimasi[10].
pada suatu koordinat kartesian antar jarak antar Kriging adalah suatu teknik perhitungan untuk estimasi
pasangan data (h) dan variogram γ(h). dari suatu variabel terregional yang menggunakan
b. Variogram Model pendekatan bahwa data yang dianalisis dianggap sebagai
1) Model Spherical suatu realisasi dari suatu variabel acak, dan leseluruhan
Bentuk semivariogram ini dirumuskan variabel acak yang dianalisis tersebut akan membentuk
sebagai berikut: suatu fungsi acak menggunakan struktural variogram[11].
(2) Kriging merupakan analisis data geostatistika yang
digunakan untuk mengestimasi besarnya nilai yang
mewakili suatu titik yang tidak tersampel berdasarkan
titik–titik tersampel yang berada di sekitarnya dengan
mempertimbangkan korelasi spasial yang ada dalam
data. Kriging merupakan suatu metode interpolasi yang
menghasilkan prediksi atau estimasi tak bias dan
memiliki kesalahan minimum[11-12].
Metode estimasi ini menggunakan semivariogram
yang merepresentasikan perbedaan spasial dan nilai
Gambar 2. Model SphericalI[9] diantara semua pasangan sampel data. Semivariogram
juga menunjukkan bobot yang digunakan dalam
interpolasi.
2) Model Eksponensial Banyak metode yang dapat digunakan dalam metode
Pada model eksponensial terjadi peningkatan Kriging namun berdasarkan asumsi mean yang
dalam semivariogram yang sangat curam dan digunakan maka dapat dibedakan menjadi tiga yaitu
mencapai nilai sill secara asimtotik, Simple Kriging, Ordinary Kriging, dan Universal
dirumuskan sebagai berikut: Kriging. Simple Kriging mengasumsikan bahwa mean
(3) konstan dan diketahui. Ordinary Kriging
mengamsusikan bahwa mean konstan dan tidak
diketahui, sedangkan Universal Kriging mengasumsikan
bahwa mean tidak konstan dan berubah sesuai lokasi.
Dalam perkembangannya, ketiga metode tersebut
menjadi dasar dalam pengembangan metode Kriging[12].

3 Metode Penelitian
Gambar 3. Model Eksponensial[9] Pada penelitian ini penulis menggunakan metodologii
penelitian kuantitatif. Menjelaskan bahwa penelitian
3) Model Gaussian kuantitatif adalah: Metode penelitian yang digunakan
Model Gaussian merupakan bentuk kuadrat untuk meneliti pada sampel tertentu, pengumpulan data
dari eksponensial sehingga menghasilkan menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat
bentuk parabolik pada jarak yang dekat. kuantitatif/statistik[13].
Model Gauss dirumuskan sebagai berikut[9]: Selain metode penelitian kuantitaif penulis juga
(4) menggunakan metode penelitian deskriptif. Penelitian
deskriptif adalah data kuantitatif yang dikumpulkan
dalam penelitian korelasional, komparatif, atau
eksperimen diolah dengan rumus-rumus statistik yang
c. Fitting Variogram sudah disediakan baik secara manual maupun dengan
Metode yang digunakan dalam melakukan fitting menggunakan aplikasi komputer[13]. Teknik
variogram ada 2 (dua), yaitu : metode visual dan pengumpulan data yang dilakukan penulis adalah berupa
metode last square. Para ahli geostatistik lebih data sekunder yang berisikan peta topografi, data
banyak menggunakan metode visual (manual) koordinat batubara, dan lithologi batubara.
untuk fitting variogram karena hasilnya cukup
memuaskan. Namun pekerjaan ini sangat
123
4. Hasil dan Pembahasan 4.3 Import Data
Sebelum melakukan pengolahan data drillhole di SGeMS
4.1 Basis Data terlebih dahulu kita melakukan kelompokkan dan
sesuaikan dengan format yang telah ditentukan. Untuk
Basis data yang digunakan pada penelitian ini yaitu data lapisan batubara terlebih dahulu dilakukan penyeleksian
topografi dan data lubang bor (drillhole) batubara, yang berdasarkan SNI (Standar Nasional Indonesia) 1998.
terdiri dari data koordinat lubang bor dan data ketebalan Dari penyeleksian tersebut didapat data lapisan hasil
batubara. Dimana data-data tersebut akan digunakan pengelompokan berdasarkan SNI 1998. Kemudian data
sebagai data awal untuk melakukan estimasi sumberdaya tersebut dan data bor (drillhole) yang ada, dibuatlah
batubara. Selain itu data topografi, data survey, dan data database yang diolah dengan software SGeMS disususun
geologi diperlukan juga guna melengkapi dan dengan aplikasi notepad yang berformat text document
mendukung hal-hal yang penting guna mengestimasi (*.txt). Kemudian data yang telah disusun dalam format
sumberdaya batubara. (*.txt) yang akan diimport ke dalam software SGeMS
Jarak antar lubang bor pada pit X sangat beragam, (Stanford Geostatisticial Earth Modeling Software).
yaitu berkisar antara 35 – 300 meter, dengan jarak rata- Data bor Pada software SGeMS ini nantinya akan
rata yaitu 134 meter. Berikut merupakan sebaran dari dilakukan analisis statistik Univarian, pembuatan
titik bor pada pit X PT Selamat Jaya dengan owner variogram dan estimasi Ordinary kriging ketebalan
PT Kaltim Global. batubara. Berikut merupakan contoh database disusun
pada notepad yang akan diimport ke dalam software
SGeMS.

Gambar 4. Peta Sebaran Titik Bor Pit X

4.2 Lokasi Penelitian


PT Selamat Jaya dengan owner PT Kaltim Global memiliki Gambar 6. Susunan Database Untuk SGeMS
lokasi kegiatan penambangan batubara di Kecamatan
Puteri Hijau, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Hasil import dari data tersebut nantinya akan berupa
Bengkulu. PT Kaltim Global selaku owner memiliki luas sebaran lubang bor tiga dimensi. Setelah itu akan dibuat
Izin Usaha Penambangan (IUP) adalah seluas 921 Ha. grid sebagai batas area estimasi. Setelah dilakukan
Dimana area yang telah dipetakan berdasarkan survey perhitungan, dibuatlah grid dengan ukuran blok 20 x 20
dan telah dipetakan oleh software pertambangan adalah x 1 meter, dengan ukuran area grid 1340 x 1700 x 90
363 Ha. Peneliti melakukan penelitian di area pit X meter. Pada gambar dibawah ini merupakan gambar
dengan luas area adalah 219,64 Ha. Dimana luasan area sebaran lubang bor hasil import yang berada di dalam
pit X terbagi atas area yang telah tertambang dan belum grid yang telah dibuat sebelumnya.
tertambang, untuk area yang belum tertambang adalah
194,64 Ha. Peta topografi PT Selamat Jaya dengan owner
PT Kaltim Global dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 7. Sebaran Lubang Bor 3D di SgeMS

Gambar 5. Peta Topografi PT Selamat Jaya Job Site


Bengkulu Utara dengan Owner PT Global

124
4.4 Perhitungan Volume Lapisan

Untuk analisis ketebalan dan perhitungan volume


lapisan. Total lubang bor berjumlah 63 lubang bor
dengan persebaran lapisan yang beragam. Analisis
ketebalan dan perhitungan volume lapisan dimulai dari
lapisan teratas yaitu overburden, untuk lapisan
Selanjutnya seam A1 lapisan 1 dengan jumlah 46 titik
bor dan trakhir itu lapisan seam A1 Lapisan 3.

Gambar 11. Sebaran Titik Bor Seam A1 Lapisan 2

Gambar 8. Sebaran Titik Bor Lapisan Overburden

Gambar 12 . Sebaran Titik Bor Split Seam A1 Lapisan 2

Gambar 9. Sebaran Titik Bor Seam A1 Lapisan 1

Gambar 13. Sebaran Titik Bor Seam A1 Lapisan 3

Berdasarkan data-data yang ada, kemudian akan


dilakukan beberapa tahap analisis untuk mendapatkan
volume, yaitu:

4.4.1 Analisis Univariat


Analisis Univarian dilakukan pada variabel yang sama
dalam lokasi yang berbeda. Pada proses ini data yang di
analisis hanya data ketebalan batubara saja Hasil dari
Gambar 10. Sebaran Titik Bor Overburden 2 analisis univarian dapat berupa kurva histogram yang
ditampilkan pada software SGeMS.
Pada kurva histogram, dapat dianalisa bagaimana
sebaran data ketebalan batubara pada daerah penelitian.
Hasil analisa tersebut dapat berguna sebagai informasi
awal untuk kegiatan pengolahan data tersebut. Dari
analisis statistik univarian yang telah dilakukan
menggunakan software SGeMS, didapatkan histogram
sebagai berikut:
125
Gambar 19. Histogram Ketebalan Seam A1 Lapisan 3
Gambar 14. Histogram Ketebalan Lapisan Overburden 1
4.4.2 Analisis Statistik Spasial

1. Variogram Eksperimental

Variogram digunakan untuk menganalisis variabel


parameter yang ada, dalam hal ini yang akan dianalisi
adalah data ketebalan. Dengan kata lain variogram
digunakan untuk menganalisis variabilitas antar data
ketebalan. Untuk menentukan variogram yang sesuai,
maka perlu dibuat suatu variogram eksperimental.
Gambar 15. Histogram Ketebalan Seam A1 Lapisan 1 Sebelum itu, perlu dilakukan penentuan parameter
pembuatan variogram. Penentuan parameter ini
dilakukan dengan memperhatikan pola sebaran dan jarak
dari data. Parameter variogram untuk ketebalan untuk
setiap lapisan dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini.

Tabel 4. Parameter Variogram Eksperimental Ketebalan


Setiap Lapisan

Gambar 16. Histogram Ketebalan Overburden 2

Adapun variogram eksperimental yang didapatkan


adalah sebagai berikut.

Gambar 17. Histogram Ketebalan Seam A1 Lapisan 2

Gambar 20. Variogram Eksperimental Ketebalan Lapisan


Overburden 1

Gambar 18. Histogram Ketebalan Overburden 3

Gambar 21. Variogram Eksperimental Ketebalan Seam A1


Lapisan 1
126
Gambar 22. Variogram Eksperimental Ketebalan
Overburden 2
Gambar 26. Variogram Omni-directional Ketebalan
Lapisan Overburden 1
Kurva variogram omini-directional pada Gambar 26
memiliki dip = 0º, dengan tolerance = 100 dan bandwith
500. Variogram ini menggunakan model spherical
dengan nugget effect = 0, sill = 117,637 dan range = 300
meter.

Gambar 23. Variogram Eksperimental Ketebalan Seam A1


Lapisan 2

Gambar 27. Variogram Omni-directional Ketebalan Seam A1


Lapisan 1

Kurva variogram omini-directional pada Gambar 27


memiliki dip = 0º, dengan tolerance = 100 dan bandwith
Gambar 24. Variogram Eksperimental Ketebalan 500. Variogram ini menggunakan model spherical
Overburden 3 dengan nugget effect = 0, sill = 2,09 dan range = 87
meter.

Gambar 25. Variogram Eksperimental Ketebalan Seam A1


Lapisan 3 Gambar 28. Variogram Omni-directional Ketebalan
Overburden 2
2. Variogram Model dan Fitting Variogram
Kurva variogram omini-directional pada Gambar 28
Model variogram teoritis yang digunakan adalah model memiliki dip = 0º, dengan tolerance = 100 dan bandwith
Spherical, karena berdasarkan analisis terhadap 500. Variogram ini menggunakan model spherical
variogram eksperimental, diperoleh sifat-sifat yang dengan nugget effect = 0, sill = 0,252 dan range = 136
hampir sama dengan model Spherical. Berikut ini akan meter.
ditampilkan hasil fitting variogram dari setiap lapisan
model masing-masing arah azimuth yang dibuat pada
parameter sebelumnya untuk data ketebalan setiap
lapisan.

127
4.4.3 Estimasi Ordinary Kriging

Setelah melakukan kegiatan fitting variogram model,


langkah selanjutnya adalah melakukan estimasi nilai
ketebalan pada blok model dengan menggunakan metode
ordinary kriging. Proses estimasi ini dilakukan
menggunakan software SGeMS. Dalam proses ini perlu
diperhatikan beberapa parameter, yaitu:
a. Grid Dimensions (jumlah blok) dalam arah X, Y dan
Z, yang pada penelitian kali ini adalah 67 x 85 x 90
blok.
Gambar 29. Variogram Omni-directional Ketebalan Seam
b. Cell Size (dimensi blok), yaitu berukuran 20 x 20 x 1
A1 Lapisan 2
meter.
Kurva variogram omini-directional pada Gambar 29 c. Daerah pencarian data (Search ellipsoid) yang
memiliki dip = 0º, dengan tolerance = 100 dan bandwith dinyatakan dengan parameter sumbu R max = 300 m,
500. Variogram ini menggunakan model spherical Rmed = 300 m, dan Rmin = 100 m, serta sudut yang
dengan nugget effect = 0, sill = 1,964 dan range = 195 bernilai 00 dikarenakan batubara memiliki sifat
meter. keseragaman yang tinggi.

Hasil dari estimasi blok model kriging pada lapisan


setiap lapisan dapat dilihat pada dibawah ini.

Thick (m)

Gambar 30. Variogram Omni-directional Ketebalan


Overburden 3
Gambar 32. Blok Model Hasil Estimasi Kriging Ketebalan
Kurva variogram omini-directional pada Gambar 30 Lapisan Overburden 1
memiliki dip = 0º, dengan tolerance = 100 dan bandwith
500. Variogram ini menggunakan model spherical
dengan nugget effect = 0, sill = 0,00083 dan range = 182 Thick (m)

meter.

Gambar 33. Blok Model Hasil Estimasi Kriging Ketebalan


Seam A1 Lapisan 1

Gambar 31. Variogram Omni-directional Ketebalan Seam A1


Lapisan 3 Thick (m)

Kurva variogram omini-directional pada Gambar 31


memiliki dip = 0º, dengan tolerance = 100 dan bandwith
500. Variogram ini menggunakan model spherical
dengan nugget effect = 0, sill = 4,8373 dan range = 195
meter.

Gambar 34. Blok Model Hasil Estimasi Kriging Ketebalan


Overburden 2
128
Thick (m)

Gambar 38. Blok Model 3D Lapisan Overburden 1 Setelah


Gambar 35. Blok Model Hasil Estimasi Kriging Ketebalan Koreksi
Seam A1 lapisan 2
Thick (m)

Thick (m)

Gambar 39. Blok Model 3D Lapisan Seam A1 Lapisan 1


Setelah Koreksi

Gambar 36. Blok Model Hasil Estimasi Kriging Ketebalan


Overburden 3 Thick (m)

Thick (m)

Gambar 40. Blok Model 3D Overburden 2 Setelah


Koreksi

Gambar 37 . Blok Model Hasil Estimasi Kriging Ketebalan


Thick (m)
Seam A1 Lapisan 3

Hasil dari estimasi ordinary kriging ini mengandung


informasi mengenai nilai-nilai ketebalan hasil estimasi.
Namun, dari hasil estimasi ini kita belum dapat
melakukan perhitungan volume. Sebelum melakukan
perhitungan volume, harus dilakukan terlebih dahulu
proses koreksi terhadap nilai topografi daerah
perhitungan dan elevasi bottom dari lapisan.
Gambar 41. Blok Model 3D Seam A1 Alpisan 2 Setelah
4.4.4 Koreksi Blok Model Hasil Estimasi Kriging Koreksi

Proses koreksi topografi serta top dan bottom dari


lapisan dilakukan menggunakan bantuan software Thick (m)
Phyton Command Line dan software pertambangan
untuk mendapatkan nilai z toografi. Hasil dari proses
koreksi ini nantinya akan digunakan untuk pemodelan
lapisan dan juga perhitungan volume. Untuk pemodelan
dari lapisan overburden dilakukan menggunakan
bantuan software pertambangan. Dari hasil estimasi dan
koreksi ini nantinya akan diketahui bentuk dan arah
penyebaran dari setiap lapisan. Hasil koreksi topografi
dapat dilihat pada berikut: Gambar 42. Blok Model 3D Overburden 3 Setelah
Koreksi
Thick (m)
129
Tabel 8. Nilai Ketebalan Original dan Hasil Estimasi Seam
Thick (m)
A1 Lapisan 1

Gambar 43. Blok Model 3D Seam A1 Lapisan 3 Setelah


Koreksi

4.4.5 Korelasi Ketebalan Original dengan Ketebalan


Hasil Estimasi

Korelasi sederhana merupakan suatu teknik statistik


yang dipergunakan untuk mengukur kekuatan hubungan
diantara 2 variabel dan juga bentuk hubungannya. Pada
penelitian ini, variabel yang diukur adalah nilai ketebalan
original dengan nilai ketebalan hasil estimasi hasil
kriging. Untuk nilai ketebalan original dan nilai
ketebalan hasil estimasi setiap lapisan dapat dilihat pada
berikut ini.
Kedua variabel tersebut kemudian dibuat dalam bentuk
scatter diagram menggunakan software Microsoft excel. Hasil
perhitungan nilai korelasi pada data ketebalan setiap lapisan
dapat dilihat pada berikut ini.
Gambar 45. Gafik Korelasi Nilai Ketebalan Seam A1
Tabel 5. Nilai Ketebalan Original dan Hasil Estimasi Lapisan 1
Lapisan Overburden 1
Tabel 9. Nilai Ketebalan Original dan Hasil Estimasi
Overburden 2

Gambar 46. Gafik Korelasi Nilai Ketebalan Overburden 2

Gambar 44. Gafik Korelasi Nilai Ketebalan Lapisan


Overburden 1
130
Tabel 10. Nilai Ketebalan Original dan Hasil Estimasi
Seam A1 Lapisan 2

Gambar 49. Gafik Korelasi Nilai Ketebalan Seam A1


Lapisan 3

Dari hasil korelasi nilai estimasi ordinasi kriging dan


ketebalan original didapat nilai cross validation dari
masing-masing setiap lapisan menunjukan keterkaitan
satu sama lain antara ketebalan original dan ketebalan
estimasi yang tergolong korelasi erat atau kuat dengan
range antara 0,8 – 1

4.4.6 Perhitungan Volume

Perhitungan volume overburden dilakukan untuk melihat


volume hasil estimasi. Perhitungan volume setiap lapisan
merupakan langkah selanjutnya setelah dilakukan proses
koreksi terhadap blok hasil estimasi ordinary kriging.
Gambar 47. Gafik Korelasi Nilai Ketebalan Seam A1 Perhitungan dilakukan berdasarkan jumlah blok dari
Lapisan 2 blok model. Adapun hasil perhitungan volume setiap
lapisan adalah:
Tabel 11. Nilai Ketebalan Original dan Hasil Estimasi Volume Overburden 1 = Volume satu blok x jumlah
Overburden 3 blok
= (20 x 20 x 1) m3 x 100.125
blok
= 400 x 100.125
= 40.050.000 Bcm

Tonase Seam A1 Lapisan 1 = Volume satu blok x jumlah


blok x density
= (20 x 20 x 1) m3 x 13.775
blok x 1,26 Bcm/Ton
= 400 x 13.775 x 1,26
Ton/m3
= 6.942.600 Ton

Volume Overburden 2 = Vol satu blok x jumlah blok


= (20 x 20 x 1) m3 x 1.600 blok
= 400 x 1.600
= 640.000 Bcm
Gambar 48. Gafik Korelasi Nilai Ketebalan Overburden 3
Tonase Seam A1 Lapisan 2 = Volume satu blok x jumlah
blok x density
Tabel 12. Nilai Ketebalan Original dan Hasil Estimasi Seam = (20 x 20 x 1) m3 x 4.188
A1 Lapisan 3
blok x 1,26 Ton/m3
= 400 x 4.188 x 1,26
= 2.110.752 Ton

Volume Overburden 3 = Vol satu blok x jumlah blok


= (20 x 20 x 1) m3 x 930 blok
= 400 x 930
= 372.000 Bcm
131
Tonase Seam A1 Lapisan 3 = Volume satu blok x jumlah Daftar Pustaka
blok x density
= (20 x 20 x 1) m3 x 2.423 [1] Asikin, S. (1997). Diktat Geologi Struktur
blok x 1,26 Ton/m3 Indonesia. Jurusan Teknik Geologi, Institut
= 400 x 27.717 x 1,26 Teknologi Bandung.
= 1.221.192 Ton [2] Indonesia. (2009). Undang-Undang No. 4 Tahun
2009 tentang pertambangan mineral dan batubara.
4.9 Hasil Estimasi Sumberdaya Batubara Justika Siar Publika.
[3] Indonesia, S. N. (2011). Pedoman pelaporan
Hasil estimasi sumberdaya batubara untuk semua seam sumberdaya dan cadangan batubara. Badan
batubara dapat dilihat pada dibawah ini. Standardisasi Nasional (BSN).
[4] Maharza, C., & Octova, A. (2018). Estimasi
Tabel 13. Hasil Estimasi Sumberdaya Batubara Sumberdaya Batubara dengan Menggunakan
PT Selamat Jaya Job Site Bengkulu Utara (Owner
PT Kaltim Global)
Metode Cross Section di Pit 2 PT. Tambang Bukit
tambi. Site Padang Kelapo. Kec. Muaro Sebo Ulu.
Kab. Batanghari. Provinsi Jambi. Bina
Tambang, 3(4), 1793-1803.
[5] Nasional–SNI, B. S. (1997). Klasifikasi
Sumberdaya dan Cadangan Batubara.
[6] Taufiqurrahman, R., Yulhendra, D., & Octova, A.
(2015). Perbandingan Estimasi Sumberdaya
Batubara Menggunakan Metode Ordinary Kriging
dan Metode Cross Section di PT. Nan Riang
Jambi. Bina Tambang, 2(1), 311-325.
[7] Mulya, G. (2009). Estimasi Cadangan
Batugamping dengan Metoda kriging Block 3
(Tiga) Dimensi Studi Kasus : Endapan
Batugamping PT. Semen Padang. Tesis. ITB:
5. Penutup Bandung.
[8] Yulhendra, D., & Anaperta, Y. M. (2013). Estimasi
5.1 Kesimpulan Sumberdaya Batubara dengan Menggunakan
Geostatistik (Krigging). Jurnal Teknologi
1. Jumlah estimasi sumberdaya batubara dengan Informasi & Pendidikan ISSN, 2086-4981.
mnggunakan metode ordinary kriging pada pit X [9] Totok, D. (2000). Geostatistik, Diktat Kuliah
untuk area yang belum tertambang sebesar Departemen Teknik Pertambangan.
10.274.544 Ton dengan lapisan tanah penutup [10] Puspita, W., Rahmatin, D., & Suherman, M. (2013).
(overburden) sebesar 41.088.000 Bcm. Analisis Data Geostatistik Menggunakan Metode
2. Nilai dari cross validation setiap lapisan menunjukan Ordinary Kriging. Jurnal EurekaMatika, 1(1).
keterkaitan satu sama lain antara ketebalan original [11] Faisal, F. (2013). Metode Ordinary Kriging Blok
dan ketebalan estimasi yang tergolong korelasi erat pada Penaksiran Ketebalan Cadangan Batubara
atau kuat dengan range antara 0,8 – 1. (Studi Kasus: Data Ketebalan Batubara pada
3. Stripping Rasio yang didapatkan sebesar satu Lapangan Eksplorasi X). Prosiding SEMIRATA
banding tiga koma sembilan (1 : 3,9 ≈ 1 : 4) 2013, 1(1).
[12] Bryanco, B., Yulhendra, D., & Octova, A. (2018).
5.2 Saran Estimasi Sumberdaya Batubara Menggunakan
Metode Penampang dan Geostatistik Pada Area
1. Dari kegiatan penelitian yang telah dilakukan, DDU Blok Timur Site Sungai Cuka, Kecamatan
peneliti memberikan saran diperlukan sense khusus Kintap, Kabupaten Tanah Laut, Provinsi
dalam ketentuan fitting variogram untuk Kalimantan Selatan. Bina Tambang, 3(4), 1703-
meminimalisir kesalahan dalam mengestimasi data 1713.
ketebalan batubara. [13] Sugiyono, P. (2011). Metodologi penelitian
2. Diperlukan pemilihan software tambang yang tepat kuantitatif kualitatif dan R&D. Alpabeta, Bandung.
untuk membantu mengerjakan apabila menggunakan
sofware tambang sebagai tools tambahan, karena
setiap sofware tambang memiliki cara yang berbeda-
bedadalam membaca data dan memprosesnya.
3. Diperlukan pemantauan lebih lanjut untuk
mengetahui keakuratan hasil perhitungan dengan
kenyataan di lapangan pada saat melakukan
penambangan dan setelah operasi penambangan.

132
Struktur Komunitas Fitoplankton di Area Tambang Timah dan
Perairan Sekitar Kabupaten Bangka Barat

Phytoplankton Community Structure in The Waters Around The


Coastal Tin Mining of West Bangka
ARIEF RACHMAN
Laboratorium Plankton dan Produktivitas Primer, Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jl. Pasir
Putih I, Ancol Timur, Jakarta Utara (14430). Phone/Fax: 021 64713850 / 021 64711948
Email: arie027@lipi.go.id

ABSTRACT
Tin mining in the coastal waters of West Bangka Regency is known to affect water quality, which has an
impact on the phytoplankton community structure. This research aims to study phytoplankton communities
in mining tin areas and outside of mining areas (non-mining areas). Sampling was carried out in 22 sampling
stations with 7 stations in the tin mining area. Phytoplankton samples were taken by the vertical haul
method. Zooplankton sampling and measurement of water parameters in the form of temperature, pH, and
salinity were also conducted to determine the relationship of these parameters with the phytoplankton
community. Based on the density of phytoplankton in the water column, the coastal waters of West Bangka
are generally in the category of oligotrophic with cell densities ranging from 3.6 × 105 - 1.6 × 107 cells.m-
3. The results of the IS-ID analysis showed a difference of 56% in phytoplankton community structures in
the mining and non-mining areas of West Bangka coastal. Although no differences were found in the
number of phytoplankton genus present, phytoplankton cell density in the waters around the tin mining area
was found to be lower compared to the waters in the non-mining area. Differences in community structure
and phytoplankton cell density in mining and non-mining areas are thought to be related to mining activities
in the coastal. However, further studies are needed to study the magnitude of the influence and exact cause
of the emergence of differences in community structure and phytoplankton density.

Keywords: Tin mining, spatial distribution, phytoplankton community, Bray-Curtis clustering

ABSTRAK
Penambangan timah di perairan pesisir Kabupaten Bangka Barat diketahui dapat mempengaruhi kualitas
perairan sehingga berdampak pada struktur komunitas fitoplankton. Penelitian ini bertujuan untuk
mempelajari komunitas fitoplankton di kawasan tambang timah pesisir (mining) dan di luar area tambang
(non-mining) di pesisir Bangka Barat. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Oktober 2012 di 22
stasiun sampling, termasuk 7 stasiun sampling yang berada di area penambangan timah. Sampel
fitoplankton diambil dengan metode vertical haul menggunakan jaring Kitahara (mata jaring 80 µm).
Pengambilan sampel zooplankton dan pengukuran parameter air berupa suhu, pH, dan salinitas juga
dilakukan untuk mengetahui hubungan parameter tersebut dengan komunitas fitoplankton di area kajian.
Berdasarkan densitas fitoplankton di kolom air, perairan pesisir Bangka Barat secara umum berada dalam
kategori oligotrofik dengan densitas sel berkisar antara 3,6×105 – 1,6×107 sel.m-3. Komunitas fitoplankton
di Bangka Barat terdiri atas 28 genus, mencakup 23 genus Diatomae dan 5 genus Dinoflagellata, dengan
Bacteriastrum, Chaetoceros, Thalassiothrix, Rhizosolenia, dan Pseudo-nitzschia sebagai genera paling
dominan di perairan. Hasil analisis IS-ID menunjukkan perbedaan sebesar 56% pada struktur komunitas
fitoplankton di area mining dan non-mining perairan Bangka Barat. Meskipun tidak ditemukan perbedaan
pada jumlah genus fitoplankton yang hadir, densitas sel fitoplankton di perairan sekitar kawasan mining
timah ditemukan lebih rendah dibandingkan dengan perairan yang ada di kawasan non-mining Kabupaten
Bangka Barat. Perbedaan struktur komunitas dan densitas sel fitoplankton di area mining dan non-mining
diduga terkait dengan aktivitas penambangan di perairan pesisir Bangka Barat. Namun diperlukan kajian
lebih lanjut untuk mempelajari besar pengaruh dan penyebab pasti munculnya perbedaan struktur
komunitas dan densitas fitoplankton tersebut.

Kata kunci: Tambang timah, distribusi spasial, komunitas fitoplankton, Bray-Curtis clustering

Jurnal Teknologi Lingkungan Vol. 20, No 2, Juli 2019, 189-204. 189


1. PENDAHULUAN
Kabupaten Bangka Barat merupakan salah Perubahan kondisi perairan akibat
satu wilayah penghasil timah (Sn) di Pulau penambangan timah di pesisir Bangka Barat
Bangka yang kegiatan pertambangannya diduga akan berpengaruh pada struktur
tercatat telah berlangsung sejak zaman Kerajaan komunitas fitoplankton di perairan. Hal tersebut
Sriwijaya pada abad ke 7 Masehi(1). Kegiatan terkait dengan kondisi fisiologis dari sel-sel
penambangan timah di wilayah Bangka Barat fitoplankton yang sangat bergantung pada
tersebut dilakukan baik secara legal maupun kondisi lingkungan, seperti cahaya dan
ilegal oleh masyarakat lokal, investor lokal, dan ketersediaan nutrien, sehingga perubahan
investor asing(1). kondisi perairan akan mengakibatkan respons
Secara umum, proses penambangan timah yang tampak pada perubahan densitas dan
di perairan pesisir Bangka Barat dilakukan komposisi komunitas fitoplankton di perairan(11,
dengan metode cutter suction dredge 12). Selain itu, komunitas fitoplankton juga

menggunakan kapal isap atau bagan (platform) diketahui sensitif terhadap kehadiran senyawa
apung berukuran kecil (inkonvensional)(1,2,3). logam pencemar dari sedimen, seperti: timah
Meskipun penambangan timah di pesisir Bangka (Sn), timbal (Pb), nikel (Ni), kadmium (Cd), dan
Barat dilakukan tanpa menggunakan bahan tembaga (Cu)(7).
kimia, namun limbah seperti: tumpahan oli, Secara umum, komunitas fitoplankton di
bahan bakar, dan tailing merupakan beberapa perairan sekitar Pulau Bangka didominasi oleh
contoh polutan dari proses penambangan timah jenis-jenis fitoplankton dari kelompok Diatomae.
yang mengakibatkan pencemaran perairan(4,5,3) . Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Kegiatan penambangan timah di kawasan Thoha(13), diketahui bahwa komunitas
pesisir dapat meningkatkan laju sedimentasi dan fitoplankton di perairan sekitar Pulau Bangka
turbiditas perairan akibat pengadukan sedimen didominasi oleh kelompok Diatomae dari genus
dasar ke kolom air, sehingga menyebabkan Skeletonema, Rhizosolenia, dan Chaetoceros,
berkurangnya penetrasi cahaya di air. Kondisi sedangkan Putri et al.(14) menemukan komunitas
tersebut dapat menurunkan laju produktivitas fitoplankton yang didominasi Chaetoceros,
fitoplankton di perairan sekitar penambangan(6). Thalassiothrix, dan Bacteriastrum di perairan
Selain itu, proses penambangan sedimen sekitar pulau tersebut.
dengan mengeruk dasar perairan menggunakan Penelitian di perairan Pulau Bangka telah
alat cutter-suction dredge umumnya tidak sering dilakukan, namun informasi mendetail
optimal, terutama yang dilakukan oleh tambang terkait pola sebaran dan struktur komunitas
inkonvensional. Hal tersebut mengakibatkan fitoplankton di perairan sekitar perairan tersebut,
kandungan timah dan logam berat lain masih terutama yang berada di sekitar area tambang
cukup tinggi dalam sedimen yang dibuang timah perairan pesisir, masih belum banyak
sebagai tailing(2). Kondisi tersebut diketahui. Sehingga pengaruh kegiatan
mengakibatkan semakin tercemarnya perairan penambangan tersebut terhadap komunitas
oleh berbagai senyawa logam berat yang dapat fitoplankton juga belum diketahui secara pasti.
menyebabkan penurunan keanekaragaman dan Oleh karena itu, penelitian ini secara umum
densitas sel fitoplankton di air. Terkait hal bertujuan untuk mendeskripsikan komunitas
tersebut, penelitian yang dilakukan oleh Nayar et fitoplankton di perairan pesisir di sekitar
al.(7) menunjukkan bahwa peningkatan kabupaten Bangka Barat, serta mempelajari
kandungan timah di air dapat menurunkan kemungkinan adanya efek penambangan timah
kelimpahan fitoplankton, namun terdapat di pesisir Bangka Barat terhadap densitas dan
peningkatan laju pertumbuhan bakteri yang struktur komunitas fitoplankton di perairan.
toleran terhadap senyawa pencemar berupa Selain itu, diharapkan informasi yang didapatkan
timah tersebut. dari penelitian ini dapat pula digunakan sebagai
Pengadukan dasar perairan akibat kegiatan dasar untuk menentukan strategi pengelolaan
tambang juga dapat melepaskan hara dan kista wilayah pesisir Bangka Barat guna
(cyst) fitoplankton dari sedimen dasar ke kolom mempertahankan kualitas perairan kawasan
air(8,9,10). Hal tersebut tentu dapat menyebabkan tersebut, serta melakukan mitigasi terhadap
terjadinya eutrofikasi perairan dan berpotensi dampak negatif dari kegiatan penambangan.
memicu ledakan populasi (blooming) fitoplankton
yang berbahaya di perairan. Eutrofikasi dan 2. BAHAN DAN METODE
turbiditas tinggi di perairan juga dapat memicu
2.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
terjadinya fenomena oxygen depletion, berupa
kondisi minim oksigen (hipoksia) atau tanpa Penelitian ini dilakukan di perairan pesisir
oksigen (anoksia), sehingga berpotensi Kabupaten Bangka Barat dengan jarak stasiun
menyebabkan kematian massal organisme laut pengambilan sampel terjauh ± 8 km dari tepi
di perairan sekitar area pertambangan(4). pantai. Perairan di sekitar Kabupaten Bangka

190 Struktur Komunitas Fitoplankton .... (Rahman, A.)


Barat tergolong dalam perairan dangkal dengan 2.2. Pengambilan sampel plankton dan
kedalaman antara 1 – 40 m. Lokasi penelitian pengukuran parameter fisik-kimia
berada pada koordinat derajat desimal (DD) perairan
105.05939 – 105.67986 BT, serta -2.22118 – -
Sampel fitoplankton dalam penelitian ini
1.50051 LS (Gambar 1). Di Kabupaten Bangka
diambil dengan metode penarikan vertikal
Barat terdapat dua sungai besar, yaitu Sungai
(vertical towing) pada kedalaman maksimum 15
Jebus di Kecamatan Jebus dan Sungai Niur di
m menggunakan jaring plankton Kitahara
Kecamatan Tempilang (Gambar 1). Kota
(ukuran mata jaring 80 µm), sedangkan sampel
terbesar di Kabupaten Bangka Barat adalah
zooplankton diambil menggunakan jaring
Muntok, sedangkan di Paritiga terdapat
NORPAC (ukuran mata jaring 300 µm). Dalam
perusahaan pertambangan timah terbesar di
penelitian ini, plankton yang menjadi kajian, baik
kabupaten tersebut.
fitoplankton maupun zooplankton, tergolong
Pengambilan sampel dilakukan pada 6 – 11 dalam kategori ukuran microplankton (20 – 200
Oktober 2012 di 22 stasiun sampling yang terbagi µm) dan mesoplankton (0,2 – 20 mm) (15,16,17,18,19).
dalam 2 zona, yaitu Zona Utara dan Zona Sampel yang sudah disaring dimasukkan ke
Selatan (Gambar 1). Pembagian wilayah ini dalam botol sampel 250 ml, kemudian diawetkan
didasarkan atas pengaruh Sungai Jebus di menggunakan formalin dengan konsentrasi akhir
wilayah utara, dan Sungai Niur di wilayah ± 4%. Pengambilan sampel zooplankon
selatan. Zona Utara meliputi wilayah Paritiga, dilakukan untuk mengkaji apakah komunitas
Jebus dan sebagian area utara Simpang Teritip, zooplankton berperan mempengaruhi distribusi
sedangkan Zona selatan meliputi wilayah komunitas fitoplankton di perairan Bangka Barat.
Muntok, Tempilang, dan sebagian area selatan Koordinat setiap stasiun pengambilan sampel
Simpang Teritip. Dari 22 stasiun sampling, plankton dicatat dengan GPS Garmin 76.
terdapat 7 stasiun yang berada di sekitar area Parameter fisik-kimia perairan yang diukur
tambang timah aktif, yaitu stasiun 7, 9, 12, 13, 14, meliputi salinitas, suhu air, dan pH air.
18, dan 22 (Gambar 1). Penambangan timah di Pengukuran salinitas dilakukan dengan
area penelitian ini dilakukan secara konvensional refraktometer portabel; suhu air dengan
(kapal isap) maupun inkonvensional (bagan termometer merkuri lapangan; dan pH air dengan
apung). Perairan di sekitar area tambang timah Horiba TwinpH digital pHmeter.
sering kali ditemukan dalam kondisi keruh,
sebagai akibat dari penambangan timah yang
menyebabkan teraduknya sedimen dasar 2.3. Enumerasi dan identifikasi sampel
perairan. plankton
Penghitungan dan identifikasi genus
fitoplankton dilakukan menggunakan metode
fraksi dengan memindahkan 1,5 ml sampel
fitoplankton dari botol sampel ke dalam ke
Sedgewick Rafter Counting Cell (SRCC). Fraksi
sampel ini kemudian diamati dengan mikroskop
Nikon Diaphot inverted phase-contrast pada
perbesaran 200 – 400X. Identifikasi fitoplankton
dilakukan hingga tingkat genus berdasarkan
informasi dari buku-buku referensi taksonomi
plankton(15,16,17,18,19). Penghitungan taksa
zooplankton juga dilakukan dengan metode
fraksi sampel, namun dengan memindahkan 2,5
mL sampel zooplankton ke Ward counting wheel
menggunakan pipet stempel. Fraksi sampel
zooplankton kemudian diamati dengan
mikroskop stereo LEICA MZ-6 pada perbesaran
4 – 40X.
2.4. Analisa data
Analisis komunitas fitoplankton dalam
Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel di penelitian ini dilakukan dengan menghitung nilai
perairan sekitar Bangka Barat densitas absolut (DA), densitas relatif (DR),
frekuensi (F), frekuensi relatif (FR), dan nilai
penting (NP)(20). Data parameter biotik dan
abiotik lalu dianalisis lebih lanjut dengan matriks

Jurnal Teknologi Lingkungan Vol. 20, No 2, Juli 2019, 189-204. 191


korelasi Pearson(21). Analisis Bray-Curtis klasifikasi Spatharis & Tsirtsis(23), secara umum
clustering (Simple Average Linkage) dilakukan perairan pesisir Bangka Barat digolongkan dalam
menggunakan BioDiversity Professional ver.2(22) kategori oligotrofik yang memiliki densitas sel
untuk melihat tingkat kesamaan struktur fitoplankton <4,16×106 sel.m-3 (Tabel 1). Namun
komunitas fitoplankton pada setiap stasiun beberapa stasiun penelitian diketahui memiliki
sampling. Pengelompokan (clustering) dilakukan kondisi mesotrofik-bawah (lower mesotrophic)
terhadap data DR genus-genus fitoplankton pada dengan densitas fitoplankton pada kisaran
semua stasiun penelitian berdasarkan nilai 4,16×106 – 3,14×107 sel.m-3 (Tabel 1). Kondisi
similaritas >70%. Nilai DR digunakan sebagai tersebut serupa dengan penelitian Thoha(13) dan
proses normalisasi dari tingginya perbedaan nilai Putri et al.(14) yang menemukan bahwa perairan
DA spesies fitoplankton antar stasiun penellitian. di sekitar Bangka-Belitung secara umum bersifat
Analisis Indeks Similaritas (IS) dan Indeks oligotrofik dan mesotrofik-bawah. Pada dua
Disimilaritas (ID) Sorenson dilakukan untuk penelitian tersebut, densitas sel fitoplankton di
mengetahui tingkat kesamaan atau perbedaan perairan berkisar antara 2,1×106 – 2,3×107 sel.m-
struktur komunitas fitoplankton di dalam dan di 3(13) dan 2,6×105 – 5×106 sel.m -3(14). Selain itu,

luar area tambang timah(20). Peta kontur penelitian terdahulu tersebut(13,14) menemukan
parameter biotik dan biotik dibuat dengan adanya beberapa area yang bersifat mesotrofik-
metode Kriging Gridding menggunakan program atas (higher-mesotrophic) yang memiliki densitas
Surfer ver. 8.0 Surface Mapping System. fitoplankton dengan kisaran 3,2×107 – 1,8×108
sel.m-3(23). Namun, berbeda dengan penelitian-
penelitian sebelumnya, area yang bersifat
3. HASIL DAN PEMBAHASAN mesotrofik-atas tersebut tidak ditemukan pada
penelitian ini. Sebagian besar stasiun sampling
3.1 Kategori trofik perairan Bangka Barat
(16 stasiun) di perairan sekitar Kabupaten
berdasarkan densitas fitoplankton
Bangka Barat dalam penelitian ini diketahui
Densitas fitoplankton di perairan Bangka memiliki kondisi oligotrofik, sedangkan kondisi
Barat diketahui berkisar antara 3,6×105 – 1,6×107 mesotrofik-bawah hanya ditemukan pada 6
sel.m-3 (Gambar 2B). Berdasarkan sistem stasiun saja (Tabel 1).

Tabel 1. Kategori trofik stasiun-stasiun pengambilan sampel di Bangka Barat. Kategori trofik didasarkan
pada kelimpahan atau densitas sel fitoplankton di setiap stasiun pengambilan sampel.
Kategori Trofik*
Densitas Mesotrofik- Mesotrofik-Atas
Stasiun Fitoplankton Oligotrofik Bawah (Lower- (Higher- Eutrofik
(sel.m-3) (Oligotrophic) mesotrophic) mesotrophic) (Eutrophic)
(<4.16×106 sel.m-3) (4.16×106 – (3.14×107 – (>1.88×108cells.m-3)
3.14×107 sel.m-3) 1.88×108 sel.m-3)
1 1,716,981 V - - -
2 3,472,727 V - - -
3 1,198,113 V - - -
4 12,509,194 - V - -
5 9,695,898 - V - -
6 8,647,808 - V - -
7** 623,762 V - - -
8 1,243,816 V - - -
9** 531,825 V - - -
10 860,606 V - - -
11 359,264 V - - -
12** 654,545 V - - -
13** 653,465 V - - -
14** 915,194 V - - -
15 876,945 V - - -
16 1,587,694 V - - -
17 2,000,000 V - - -
18** 1,516,266 V - - -
19 15,593,640 - V - -
20 3,951,909 V - - -

192 Struktur Komunitas Fitoplankton .... (Rahman, A.)


Kategori Trofik*
Densitas Mesotrofik- Mesotrofik-Atas
Stasiun Fitoplankton Oligotrofik Bawah (Lower- (Higher- Eutrofik
(sel.m-3) (Oligotrophic) mesotrophic) mesotrophic) (Eutrophic)
(<4.16×106 sel.m-3) (4.16×106 – (3.14×107 – (>1.88×108cells.m-3)
3.14×107 sel.m-3) 1.88×108 sel.m-3)
21 8,571,429 - V - -
22** 4,741,867 - V - -
Rerata 3,723,770 V - - -
Note: *Kategori trofik berdasarkan densitas sel plankton dari penelitian Spatharis & Tsirtsis (23)
**Stasiun pengambilan sampel berada di kawasan penambangan timah pesisir pantai

3.2 Pola Distribusi Fitoplankton di Perairan Densitas fitoplankton yang tinggi di stasiun 19
Bangka Barat diduga merupakan efek dari suplai hara yang
berasal dari Sungai Niur (Gambar 2A). Sedangkan
Densitas fitoplankton tertinggi di perairan
tingginya densitas fitoplankton di sekitar stasiun 4
Bangka Barat ditemukan di stasiun 19 dengan
(Gambar 2A) diduga merupakan efek gabungan
densitas sebesar 1,56×106 sel.m-3, sedangkan
dari suplai hara yang berasal dari kota Muntok,
densitas fitoplankton terendah ditemukan di
serta aliran sungai Niur di selatan (Gambar 1).
stasiun 11 yaitu <5×105 sel.m-3 (Gambar 2). Selain
Asumsi tersebut disusun berdasarkan penelitian
itu, densitas fitoplankton di perairan zona utara
sebelumnya oleh Hafsah et al. (24) menunjukkan
diketahui lebih rendah dibandingkan dengan zona
bahwa kandungan fosfat dan nitrat yang tinggi di
selatan (Gambar 2B), yaitu sebesar 5,3×105 –
pesisir kawasan pulau Bangka merupakan efek
1,6×106 sel.m-3 (zona selatan) dan 3,6×105 –
dari tingginya suplai hara dari aliran sungai yang
4,7×106 sel.m-3 (zona utara).
melewati perkotaan di kawasan tersebut.
Pola distribusi fitoplankton bertipe agregat Pengayaan nutrien di perairan akibat peningkatan
terlihat pada zona selatan perairan Bangka Barat curah hujan dan masukan sungai merupakan
dengan pusat densitas fitoplankton terletak di salah satu faktor yang menstimulasi aktivitas
stasiun 4 dan 19 (Gambar 2A). Berbeda dari zona fitoplankton, sehingga produktivitas primer di
selatan, pola distribusi spasial fitoplankton di zona perairan bertambah hingga dua kali lipat dari
utara cenderung lebih homogen (Gambar 2A). kondisi normal(25,26,27). Zona utara perairan
Densitas fitoplankton dalam penelitian ini juga Bangka Barat mendapat pengaruh minimum dari
ditemukan semakin rendah di area yang aliran sungai, sehingga perairannya cenderung
berhadapan dengan perairan terbuka (oceanic), bersifat oligotrofik (Gambar 2A). Meskipun
seperti stasiun 13, 15, dan 16 (Gambar 2A). Selain demikian, tidak diketahui secara pasti penyebab
itu, densitas fitoplankton di stasiun-stasiun sekitar rendahnya densitas fitoplankton di stasiun 10
tambang timah, yaitu stasiun 7, 9, 12, 13, 14, 18, yang berada di depan muara Sungai Jebus
dan 22, diketahui lebih rendah dibandingkan (Gambar 2A). Kondisi ini sangat berbeda dari
dengan stasiun lain yang ada di sekitarnya stasiun 19 di depan muara Sungai Niur, yang
(Gambar 2B). diketahui memiliki densitas fitoplankton sangat
tinggi (Gambar 2A).

Jurnal Teknologi Lingkungan Vol. 20, No 2, Juli 2019, 189-204. 193


Gambar 2. Peta distribusi spasial densitas fitoplankton (A) dan densitas absolut sel fitoplankton di tiap
stasiun (B), serta distribusi spasial zooplankton (C), pH (D), salinitas (E), dan suhu (F) pada
penelitian ini. Stasiun pengambilan sampel yang diberi tanda (*) berada di sekitar tambang
timah.

Berdasarkan penelitian ini, diketahui bahwa fitoplankton di perairan Bangka Barat. Sehingga,
pola distribusi pH, salinitas, suhu, dan densitas diduga faktor-faktor fisika-kimia lain yang tidak
zooplankton (Gambar 2D-2E) tidak memiliki diukur dalam penelitian ini, seperti kandungan
korelasi signifikan secara statistik terhadap hara serta pola arus, memiliki peranan yang lebih
komunitas fitoplankton di Bangka Barat (p>0,05; besar dalam menentukan pola distribusi, ataupun
r<0,7) (Tabel 2). Meskipun demikian, densitas komposisi genus dalam komunitas fitoplankton di
fitoplankton cenderung memiliki korelasi positif- area kajian. Parameter fisik seperti pola arus dan
lemah dengan densitas zooplankton dan pH air pasang-surut diketahui dapat mengubah
(rfito-zoo= 0,32; rfito-pH= 0,05; r<0,7; p>0,05). komposisi spesies penyusun komunitas
Sebaliknya, densitas fitoplankton di perairan fitoplankton, terutama di kawasan pesisir dan
Bangka Barat ditemukan memiliki korelasi negatif- muara sungai(28). Di Teluk Tokyo misalnya, pola
lemah dengan salinitas dan suhu air (rfito-salin= - arus merupakan salah satu faktor yang
0,26; rfito-temp= -0,40; r<0,7; p>0,05). Hasil tersebut mendistribusikan masukan nurien dari sungai ke
mengindikasikan bahwa parameter-parameter perairan, sehingga ikut berperan menentukan
yang diukur dalam penelitian ini tidak berpengaruh pola distribusi fitoplankton di ekosistem
cukup kuat terhadap pola distribusi komunitas sekitarnya(27).

Tabel 2. Hasil korelasi antara densitas fitoplankton, densitas zooplankton, salinitas, pH, dan suhu air
permukaan di pesisir Bangka Barat. Tidak ditemukan korelasi kuat dan/atau signifikan antara
parameter-parameter yang diukur dalam penelitian ini.
Phytoplankton Zooplankton Salinity pH Temperature
Phytoplankton 1
Zooplankton 0.33 1
Salinity -0.27 -0.12 1
pH 0.05 -0.17 0.14 1
Temperature -0.40 0.08 -0.07 -0.12 1

194 Struktur Komunitas Fitoplankton .... (Rahman, A.)


Meskipun fitoplankton dan salinitas tidak wilayah utama penangkapan ikan (fishing ground)
memiliki korelasi yang signifikan dalam penelitian oleh nelayan lokal. Oleh karena itu, tingginya
ini, namun suksesi komunitas fitoplankton di densitas fitoplankton (Gambar 2A) dan
perairan pesisir dan estuari sungai pada zooplankton (Gambar 2C) di zona selatan
umumnya sangat bergantung pada kombinasi merupakan salah satu faktor pendukung kegiatan
antara salinitas dan gradien parameter lingkungan perikanan di wilayah Bangka Barat.
lainnya, seperti suhu di kolom air(29, 27). Sebagai
contoh, kombinasi suhu tinggi (> 20°C) dan 3.3 Struktur komunitas fitoplankton di
salinitas rendah (< 30 ppt) diketahui memicu perairan Bangka Barat secara umum
tingginya densitas fitoplankton seperti
Dalam penelitian ini ditemukan 28 genus
Thalassiosira, Navicula, Cerataulina, Eucampia,
fitoplankton di perairan Bangka Barat yang terdiri
dan Skeletonema di perairan Teluk Tokyo Dalam
atas: 23 genus Diatomae dan 5 genus
(Inner Tokyo Bay) (27). Serupa dengan penelitian
Dinoflagellata (Gambar 3). Secara umum,
tersebut, dalam penelitian di pesisir Bangka Barat
Bacteriastrum, Chaetoceros, dan Thalassiothrix
ini terdapat kecenderungan bahwa pusat distribusi
merupakan tiga genus fitoplankton yang paling
fitoplankton (stasiun 19) (Gambar 2A) berada di
melimpah di perairan Bangka Barat (Gambar 3A
area yang memiliki salinitas terendah (28 ppt)
& 3B). Masing-masing genus tersebut memiliki
(Gambar 2E) dan suhu cukup tinggi (24°C)
rata-rata densitas absolut (DA) sebesar 1,13×10 6
(Gambar 2F).
sel.m-3, 1,05×106 sel.m-3, dan 4,05×105 sel.m-3
Peta distribusi spasial fitoplankton (Gambar
(Gambar 3A) serta memiliki densitas relatif (DR)
2A) menunjukkan tidak adanya perbedaan
sebesar 30,12%, 27,93%, dan 10,78% (Gambar
densitas fitoplankton yang ekstrem antara area
4B).
tambang timah (mining) dan sekitarnya (non-
mining). Stasiun-stasiun penelitian yang berada di Genus fitoplankton dominan dalam penelitian
sekitar area penambangan, yaitu stasiun 7, 9, 12, ini serupa dengan penelitian terdahulu(14) di
13, 14, dan 18 (Gambar 2A), juga memiliki perairan Pulau Bangka. Genus lain yang
perairan yang bersifat oligotrofik berdasarkan ditemukan memiliki densitas tinggi di perairan
kriteria Spatharis & Tsirtsis (2010) (23) (Tabel 1). Bangka Barat adalah Rhizosolenia dan Pseudo-
Hanya stasiun 22 yang berada di area mining nitzschia (Gambar 3A & 3B). Rata-rata DA untuk
yang termasuk kategori mesotrofik-bawah (Tabel kedua genus tersebut adalah 2,66×105 sel.m-3 dan
1). Secara umum, densitas fitoplankton lebih tinggi 2,86×105 sel.m-3 (Gambar 3A). Dominasi
di zona perairan luar area penambangan timah Chaetoceros, Bacteriastrum, Rhizosolenia,
(Gambar 2A). Pola serupa juga tampak pada Thalassiothrix, Rhizoslenia, Pseudo-Pseudo-
distribusi spasial zooplankton di area kajian nitzschia, dan Leptocylindrus umum ditemukan di
(Gambar 2C). Selain itu, diketahui bahwa densitas perairan pesisir pantai kawasan tropis, terutama
plankton lebih tinggi di zona selatan perairan pada musim hujan(25).
Bangka Barat (Gambar 2A &2C) yang merupakan

Gambar 3. Nilai (A) rata-rata densitas absolut (DA), (B) densitas relatif (DR), (C) frekuensi kehadiran (F),
dan (D) nilai penting (NP) komunitas fitoplankton.

Secara umum, semua genus fitoplankton distribusi yang luas di perairan Bangka Barat. Hal
dominan dalam penelitian ini juga memiliki tersebut ditandai dengan nilai F>90% untuk genus

Jurnal Teknologi Lingkungan Vol. 20, No 2, Juli 2019, 189-204. 195


Chaetoceros, Bacteriastrum, Thalasiothrix, Analisis nilai penting (NP) menunjukkan bahwa
Rhizosolenia, serta Pseudo-nitzschia (Gambar genera fitoplankton dominan memiliki NP yang
3C). Beberapa genus fitoplankton, yaitu yaitu tinggi, seperti Bacteriastrum 18%, Chaetoceros
Odontella, Coscinodiscus, Lauderia, dan 16,94%, Thalassiothrix 8,33%, Pseudo-nitzschia
Guinardia ditemukan memiliki distribusi luas 6,74%, dan Rhizosolenia 6,48 % (Gambar 3D).
namun dengan densitas sel yang sangat rendah, Nilai tersebut mengindikasikan bahwa kelima
yang ditunjukkan dengan nilai DR<1% (Gambar genus fitoplankton itu memiliki peranan paling
3B) dan nilai F>80% (Gambar 3C) dari keempat penting dalam komunitasnya. Sehingga,
genus tersebut. Kondisi tersebut kemungkinan perubahan kelimpahan kelima genus tersebut
merupakan akibat dari rendahnya kemampuan dapat mempengaruhi semua struktur komunitas
dalam melakukan kompetisi hara dengan genus fitoplankton di perairan. Selain itu, tidak ditemukan
lain yang lebih dominan di perairan. adanya over-dominasi satu genus fitoplankton di
Dalam penelitian ini, ditemukan pula beberapa perairan Bangka Barat, yang umumnya ditandai
genus fitoplankton yang tergolong langka di dengan nilai penting genus yang sangat tinggi (NP
perairan Bangka Barat, yaitu Surirella, >70%) (Gambar 3D).
Amphizolenia, dan Pyrocystis (Gambar 3A-3C).
Ketiganya digolongkan dalam genus langka 3.4 Struktur Komunitas Fitoplankton di Area
karena memiliki DR dan F yang rendah di semua Tambang Timah Perairan Pesisir Bangka
perairan Bangka Barat. Genus dari kelompok Barat
Dinoflagellata, seperti Ceratium, Protoperidinium,
Dalam analisis sub-bab ini, semua stasiun
Amphizolenia, Pyrophacus, dan Pyrocystis juga
penelitian dikelompokkan menjadi stasiun yang
ditemukan di perairan Bangka Barat, namun
berada di dalam tambang (mining) dan di luar area
dengan DA yang sangat rendah (Gambar 3A) dan
tambang timah (non-mining). Hasil analisis
nilai DR<1% (Gambar 3B). Kelima genus tersebut
menunjukkan bahwa genus Chaetoceros,
merupakan Dinoflagellata autotrofik yang umum
Rhizosolenia, dan Thalassiothrix secara umum
ditemukan di perairan pantai kawasan tropis,
mendominasi kelimpahan fitoplankton di perairan
namun jarang menjadi dominan dalam
tambang timah (mining) (Gambar 4A). Proporsi
komunitasnya(25). Di antara genera Dinoflagelata
dominasi nilai DR ketiga genus tersebut nyaris
yang hadir di perairan Bangka Barat, hanya
serupa, yaitu masing-masing sebesar 21,6%,
Ceratium yang ditemukan di hampir semua
21,2%, dan 22,1%. Berbeda dengan area
stasiun penelitian dan memiliki nilai F sebesar
tambang timah, area di luar tambang timah (non-
86,36% (Gambar 3C).
mining) didominasi oleh genus Bacteriastrum,
Rendahnya densitas sel Dinoflagellata di
Chaetoceros, dan Thalassiothrix (Gambar 7B),
perairan dapat terkait dengan kemampuan
dengan nilai DR masing-masing sebesar 33,7%,
kompetisi yang lebih rendah dibandingkan
29,2%, dan 9,3%. Selain itu diketahui pula bahwa
fitoplankton lain, terutama Diatomae (Tabel 1). Di
secara umum densitas sel fitoplankton di area
ekosistem perairan yang didominasi oleh
tambang timah lebih rendah dibandingkan dengan
Diatomae, densitas sel Dinoflagellata umumnya
perairan sekitarnya (Gambar 7A). Kondisi tersebut
tidak terlalu tinggi, bahkan bila eutrofikasi terjadi di
mengindikasikan adanya gangguan pada
perairan tersebut(26). Namun kondisi tersebut
komunitas plankton di area tambang timah di
dapat berbalik apabila parameter fisik-kimia
pesisir Bangka Barat. Gangguan tersebut dapat
perairan berubah menjadi lebih sesuai untuk
berasal dari tingginya turbiditas di kolom air akibat
reproduksi dan pertumbuhan Dinoflagellata.
kegiatan penambangan, sehingga dapat
Sebagai contoh, pergeseran spesies penyebab
mengurangi penetrasi cahaya dan menyebabkan
fenomena Harmful Algal Blooms (HABs) dari
penurunan aktivitas fotosintesis fitoplankton yang
Diatomae Skeletonema costatum menjadi
hidup di area tersebut. Namun, jumlah genus yang
Dinoflagellata Prorocentrum donghainese,
hadir di area mining dan non-mining ditemukan
diketahui terjadi secara periodik di pesisir timur
sama, yaitu berjumlah 25 genus (Gambar 7B).
Cina yang diakibatkan oleh perubahan temperatur
dan masukan (input) nutrien di perairan
tersebut(30, 31).

196 Struktur Komunitas Fitoplankton .... (Rahman, A.)


Gambar 4. Perbedaan struktur komunitas fitoplankton (A) di dalam area tambang timah (mining) dan (B) di
luar area tambang timah (non-mining) berdasarkan nilai densitas relatif (DR). Tabel di kanan
(C) menunjukkan rerata densitas sel tiap genus fitoplankton di area mining dan non-mining

Stasiun-stasiun non-mining dalam penelitian Curtis (Gambar 6) yang menunjukkan bahwa


ini dicirikan dengan berlimpahnya Bacteriastrum stasiun 1, 3, 8, dan 17 memiliki karakteristik
dan Chaetoceros di perairan, sedangkan perairan komunitas fitoplankton yang jauh berbeda dari
kawasan penambangan dicirikan dengan
stasiun lainnya. Komunitas fitoplankton di stasiun
tingginya densitas Chaetoceros, Thalassiothrix,
dan Rhizosolenia (Gambar 5). Genus Diatomae 1 dicirikan dengan nilai densitas relatif
seperti Bacteriastrum dapat ditemukan semakin Climacodium, dan Bacillaria yang lebih tinggi
berlimpah seiring dengan bertambahnya dibandingkan stasiun lainnya (Gambar 5). Namun
konsentrasi fosfat di perairan, sedangkan densitas dalam komunitas tersebut tidak ditemukan genus
sel genus fitoplankton seperti Chaetoceros Thalassiothrix, yang umumnya hadir dalam
diketahui meningkat seiring dengan semakin komunitas fitoplankton di stasiun lainnya di
tingginya masukan air sungai dan curah hujan(26).
perairan Bangka Barat (Gambar 5). Mengacu
Selain itu, Bacteriastrum dan Chaetoceros
merupakan dua genus fitoplankton yang umum pada pola distribusi zooplankton di area kajian
ditemukan berlimpah di perairan yang mengalami (Gambar 2C), diketahui bahwa stasiun 1
proses eutrofikasi(37). Meskipun demikian, dalam merupakan pusat densitas individu zooplankton di
penelitian ini tidak ditemukan stasiun penelitian perairan Bangka Barat. Hal tersebut diduga terkait
dengan kategori eutrofik (Tabel 2). dengan kemunculan karakteristik komunitas
Beberapa stasiun di perairan Bangka Barat fitoplankton yang khas di stasiun 1. Tekanan
dalam penelitian ini ditemukan memiliki struktur predasi yang tinggi ketika zooplankton melimpah
komunitas fitoplankton yang khas (Gambar 5). di perairan diketahui dapat mengubah komposisi
Tren tersebut dipertegas oleh hasil analisis Bray- spesies atau genus fitoplankton di area

Jurnal Teknologi Lingkungan Vol. 20, No 2, Juli 2019, 189-204. 197


tersebut(28,32). Meskipun demikian, belum densitas zooplankton dan ketidakhadiran genus
diketahui pasti hubungan antara tingginya Thalassiothrix di stasiun 1.

Gambar 5. Struktur komunitas fitoplankton di semua stasiun penelitian perairan Bangka Barat yang dibagi
menjadi stasiun di dalam area tambang (mining) dan di luar tambang timah (non-mining).

Berbeda dari stasiun lainnya, genus Dalam penelitian ini, hanya stasiun 8 yang
Thalassiosira, dengan nilai DR sebesar 29,9% diketahui memiliki struktur komunitas tanpa
tampak lebih mendominasi komunitas fitoplankton kehadiran genus Chaetoceros (Gambar 4).
di stasiun 3 dibandingkan genus lainnya, seperti Dibandingkan dengan stasiun lainnya, nilai DR
Chaetoceros atau Bacteriastrum (Gambar 5). genus dominan seperti Thalassiothrix dan
Keunikan struktur komunitas fitoplankton di Rhizosolenia juga ditemukan lebih rendah pada
stasiun 3 diduga muncul akibat percampuran komunitas fitoplankton di stasiun 8 (Gambar 4).
massa air laut dan tawar (Gambar 3). Sehingga Stasiun ini diketahui berada dekat area pesisir
pH dan salinitas air di stasiun 3 lebih rendah kota Muntok yang memiliki perairan dengan
dibandingkan perairan sekitarnya (Gambar 2D salinitas terendah dalam penelitian ini, yaitu
&2E). Namun belum diketahui penyebab stasiun sebesar 28 ppt, serta nilai pH cukup rendah, yaitu
19 yang berada di depan muara Sungai Niur sebesar 7,6 (Gambar 2E &2D). Tidak diketahui
(Gambar 2A) tidak memiliki komunitas fitoplankton pasti penyebab tidak hadirnya Chaetoceros di
khas seperti stasiun 3 (Gambar 5). Stasiun 19 stasiun 8, meskipun lokasi tersebut berdekatan
justru memiliki > 70% kemiripan struktur dengan perkotaan yang seharusnya memberikan
komunitas fitoplankton dengan stasiun 18 yang banyak suplai hara ke perairan.
berada di area tambang timah (Gambar 6).

Gambar 6. Hasil analisis Bray-Curtis clustering (Simple Average Linkage). Stasiun yang diberi tanda (*)
berada di sekitar area tambang timah di pesisir Bangka Barat. Stasiun-stasiun dianggap berada
dalam satu kelompok yang sama bila memiliki nilai kesamaan (similarity) ≥70%

198 Struktur Komunitas Fitoplankton .... (Rahman, A.)


Hasil analisis IS-ID menunjukkan bahwa pergeseran dominasi fitoplankton berukuran
struktur komunitas fitoplankton di area tambang besar (makro- atau mikro-) ke fitoplankton
timah memiliki tingkat kesamaan <50% dengan berukuran kecil (nano- atau pico-)(33). Meskipun
komunitas fitoplankton perairan sekitarnya demikian, fenomena co-dominance
(Gambar 7C). Perbedaan struktur komunitas Rhizosolenia bersama Thalassiothrix dan
fitoplankton tersebut (Gambar 4A & 4B) diduga Chaetoceros di kawasan penambangan timah
muncul sebagai efek kegiatan penambangan (mining) dalam penelitian tampak bertolak
timah di perairan Bangka Barat yang belakang dengan pola pergeseran dominansi
mengakibatkan perubahan kondisi fisik-kimia di fitoplankton di perairan (Gambar 4).
kolom air. Seperti yang telah dijelaskan Rhizosolenia sendiri merupakan genus
sebelumnya, penambangan timah dengan fitoplankton yang berukuran besar, yaitu
cutter suction dregde mengaduk dasar perairan memiliki diameter sel hingga 250 µm (34).
serta menghasilkan polutan yang dapat berasal Meskipun demikian, data penelitian ini (Gambar
dari mesin-mesin tambang. 4C & 7A) menunjukkan bahwa densitas sel
Perubahan struktur komunitas fitoplankton fitoplankton di perairan yang berada di kawasan
akibat tekanan senyawa beracun (toxicant mining jauh lebih rendah dibanding perairan di
stress), umumnya terjadi dalam bentuk kawasan non-mining.

Gambar 7. Rerata densitas sel fitoplankton (A), jumlah genus (B), dan nilai IS-ID antara komunitas
fitoplankton di dalam dan di luar area tambang timah (C).

Pergeseran besar peranan Rhizosolenia ke toleran terhadap stres turbiditas tinggi(35,31),


genus Bacteriastrum yang berukuran lebih kecil dan/atau konsentrasi logam terlarut yang tinggi
(Gambar 4A & 4B), dapat terjadi akibat di perairan pesisir Bangka Barat. Fenomena
pelepasan senyawa pencemar dari sedimen blooming tersebut dapat dipicu dari munculnya
yang teraduk ke kolom air akibat kegiatan percampuran vertikal (vertical mixing) secara
penambangan timah(7). Penelitian yang periodik(8,9), ataupun akibat aktivitas manusia
dilakukan oleh Kim et. al(35) menunjukkan bahwa seperti dredging dan penambangan(36). Dalam
fitoplankton berukuran kecil dapat mengalami kasus perairan pesisir Bangka Barat, proses
blooming (ledakan populasi) pada perairan keruh penambangan timah yang mengakibatkan
akibat resuspensi sedimen yang tercemar oleh teraduknya sedimen dasar perairan berpotensi
polutan berupa senyawa merkuri. Meskipun tidak memicu terjadinya blooming fitoplankton,
memberikan penjelasan detail, Kim et. al(35) terutama bila perairan tersebut juga mengalami
menduga resuspensi sedimen melepaskan tekanan akibat eutrofikasi yang berasal dari
senyawa anorganik (zat hara) yang memicu aktivitas manusia lain di kawasan pesisirnya.
percepatan pertumbuhan fitoplankton di kolom
air. Fitoplankton juga diketahui dapat melakukan 3.5 Implikasi Terhadap Pengelolaan
penyerapan (uptake) terhadap logam-logam Pengelolaan Penambangan Timah di
terlarut dalam air sehingga berpotensi memicu Pesisir Bangka Barat
bioakumulasi pada organisme yang berada di
Hasil penelitian menunjukkan indikasi
tingkat trofik lebih tinggi, seperti pada
adanya pengaruh kegiatan penambangan
zooplankton dan kerang(35).
timah di perairan pesisir Bangka Barat terhadap
Selain akibat senyawa pencemar, perubahan
densitas sel (Gambar 7A) dan komposisi genus
struktur komunitas fitoplankton dapat pula terjadi
fitoplankton di perairan (Gambar 4). Meskipun
akibat terlepasnya sel-sel fitoplankton bentik
demikian, tidak diketahui sejauh mana kegiatan
ataupun kista fitoplankton di sedimen dasar
tersebut mampu memengaruhi densitas serta
perairan(36) akibat resuspensi sedimen karena
struktur komunitas fitoplankton di perairan
aktivitas pertambangan. Hal tersebut
sekitarnya. Oleh karena itu, diperlukan
menimbulkan kekhawatiran akan munculnya
pemantauan rutin yang mencakup pengukuran
fenomena blooming genus fitoplankton yang

Jurnal Teknologi Lingkungan Vol. 20, No 2, Juli 2019, 189-204. 199


terhadap parameter fisika-kimia, komunitas 4. KESIMPULAN
fitoplankton, dan komposisi kista fitoplankton di
Berdasarkan penelitian ini secara umum
sedimen dasar perairan Bangka Barat. Hal ini
disimpulkan bahwa kegiatan penambangan
penting untuk dilakukan, mengingat adanya
timah di perairan pesisir Bangka Barat dapat
potensi masalah ekologis akibat ledakan
memunculkan karakter komunitas fitoplankton
populasi fitoplankton di perairan Bangka Barat.
yang khas, serta menyebabkan terjadinya
Selain kegiatan pemantauan, diperlukan pula penurunan densitas sel fitoplankton di
penataan dan pengelolaan kegiatan perairan sekitar kegiatan penambangan.
penambangan timah di perairan Bangka Barat. Terdapat perbedaan sebesar 56% pada
Salah satu alat (tools) yang dapat digunakan struktur komunitas fitoplankton yang terdapat
untuk membantu kegiatan tersebut adalah pada area di luar (non-mining) dan di dalam
dengan menggunakan kehadiran taksa plankton tambang timah (mining) perairan Bangka
tertentu sebagai indikator biologis (bioindikator) Barat. Secara umum, densitas fitoplankton di
terhadap gangguan di kolom air akibat area tambang timah lebih rendah
penambangan timah. Beberapa genus dibandingkan dengan area di luar tambang.
fitoplankton yang diketahui sangat sensitif Namun jumlah genus yang ditemukan di area
terhadap perubahan kondisi kolom air akibat mining dan non-mining tidak berbeda. Sebagai
pengadukan sedimen yang dihasilkan dari catatan, beberapa taksa plankton dalam
aktivitas dredging pada penambangan di pesisir. penelitian ini diketahui memiliki potensi untuk
Genus tersebut di antaranya adalah Surirella digunakan sebagai bioindikator dampak
spp., Asterionellopsis spp., dan Thalassiosira gangguan perairan sebagai efek resuspensi
spp. Sedangkan genus yang cenderung tahan sedimen akibat adanya kegiatan
terhadap anomali kolom air akibat pengadukan penambangan di perairan pesisir.
sedimen adalah Coscinodiscus spp., Navicula Selain itu, berdasarkan penelitian ini
spp., dan Nitzschia spp.(36). Oleh karena itu diketahui pula bahwa densitas fitoplankton di
pergeseran dominasi fitoplankton dapat menjadi perairan selatan Bangka Barat lebih tinggi
indikator akan adanya gangguan di kolom air, dibandingkan perairan utara, yang diduga kuat
terutama bila taksa yang mendominasi adalah terkait dengan tingginya pengaruh sungai dan
taksa yang resistan terhadap perubahan kualitas kota-kota di perairan selatan Bangka Barat
perairan. tersebut. Namun demikian, distribusi spasial
Untuk menghindari pengadukan sedimen fitoplankton di perairan kajian dalam penelitian
akibat penambangan, dapat pula ini tidak dipengaruhi secara signifikan oleh
dipertimbangkan untuk menggunakan alat distribusi zooplankton, pH, salinitas, dan suhu
tambang yang menghasilkan gangguan minimal permukaan air, sehingga dibutuhkan kajian
terhadap sedimen di dasar perairan, sehingga lebih lanjut untuk memahami mekanisme
resuspensi sedimen berlebihan di kolom air regulasi yang menentukan distribusi dan
dapat dihindari. Selain itu, dapat pula melakukan kelimpahan fitoplankton di perairan Bangka
pembuangan limbah sedimen hasil Barat, terutama terkait dengan adanya
penambangan pada kedalaman jauh di bawah aktivitas pertambangan timah di perairan
SML (surface mixing layer)(38), sehingga tidak pesisir kawasan tersebut.
semua kolom air mengalami peningkatan
turbiditas yang berdampak pada penurunan PERSANTUNAN
produktivitas primer akibat berkurangnya
Penelitian ini merupakan bagian dari
penetrasi cahaya untuk fotosintesis fitoplankton
kajian rona dasar lingkungan Kabupaten
atau karena adanya polutan yang terlepas dari
Bangka Barat pada tahun 2012, atas kerja
sedimen dasar ke kolom air.
sama antara Puslit Oseanografi LIPI, Puslit
Hal serupa juga berlaku untuk pemantauan
Geoteknologi LIPI, dan Pemda Bangka Barat.
komposisi plankton berdasarkan musim, yang
Saya mengucapkan terima kasih yang
pada penelitian ini, belum dilakukan akibat
sebesar-besarnya pada rekan-rekan Pemda
keterbatasan waktu, tenaga, dan dana.
Bangka Barat yang telah membantu dan
Perubahan musim, yang mengakibatkan
memfasilitasi kegiatan pengambilan sampel di
perubahan curah hujan, besaran masukan
lapangan. Selain itu saya mengucapkan
(input) daratan ke perairan, serta pola arus dapat
terima kasih kepada Prof. Wahyoe S. Hantoro,
memunculkan karakter komunitas plankton yang
sebagai koordinator penelitian ini, dan atas
berbeda dengan yang ditemukan pada penelitian
diskusi yang berharga mengenai proses
ini.
sedimentasi perairan.
Terima kasih juga saya berikan kepada
Sugestiningsih, Trimaningsih, dan Elly
Asnariati, teknisi Laboratorium Plankton dan

200 Struktur Komunitas Fitoplankton .... (Rahman, A.)


Produktivitas Primer Puslit Oseanografi-LIPI & G. Hallegraeff (Eds.), Physiological
(P2O-LIPI), yang semuanya kini telah memasuki Ecology of Harmful Algal Blooms (pp. 81-
masa pensiun, namun sangat membantu dalam 92). Berlin: Springer-Verlag.
proses analisa sampel plankton pada saat
9. Kremp, A. (2001). Effects of cyst
penelitian ini dilakukan. Saya juga berterima
resuspension on germination and seeding
kasih kepada Prof. Yasuwo Fukuyo, dan Dr.
of two bloom-forming dinoflagellates in the
Mitsunori Iwataki dari Tokyo University, Jepang,
Baltic Sea. Marine Ecology Progress
serta peneliti senior di Laboratorium Plankton
Series, 216, 57-66.
dan Produktivitas Primer P2O-LIPI, Hikmah
Thoha, atas diskusi dan saran yang diberikan 10. Oberholster, P. J., Myburgh, J. G., Ashton,
P. J., & Botha, A.-M. (2010). Responses of
phytoplankton upon exposure to a mixture
DAFTAR PUSTAKA of acid mine drainage and high levels of
nutrient pollution in Lake Loskop, South
1. Erman, E. (2008). Rethinking Legal and
Africa. Ecotoxicology and environmental
Illegal Economy: A Case Study of Tin Mining
safety, 73(3), 326-335.
in Bangka Island. Southeast Asia: History
and Culture, 2008(37), 91-111. 11. Reynolds, C. S. (1997). Vegetation
processes in the pelagic: a model for
2. Hutahaean, B. P., & Yudoko, G. (2013).
ecosystem theory. Oldendorf/Luhe:
Analysis and Proposed Changes of TIN ORE
Ecology Institute.
Processing System on Cutter Suction
Dredges Into Low Grade to Improve Added 12. Alves-de-Souza, C., González, M. T., &
Value for the Company. Indonesian Journal Iriarte, J. L. (2008). Functional groups in
of Business Administration, 2(16). marine phytoplankton assemblages
dominated by diatoms in fjords of southern
3. Syarbaini, S., Warsona, A., & Iskandar, D.
Chile. Journal of Plankton Research,
(2014). Natural Radioactivity in Some Food
30(11), 1233-1243.
Crops from Bangka-Belitung Islands,
Indonesia. Atom Indonesia, 40(1), 27-32. 13. Thoha, H. (2010). Kelimpahan plankton di
perairan Bangka-Belitung dan Laut Cina
4. Charlier, R. (2002). Impact on the coastal
Selatan, Sumatera, Mei-Juni 2002. Makara
environment of marine aggregates mining.
Journal of Science.
International journal of environmental
studies, 59(3), 297-322. 14. Putri, B., Retnoningtyas, H., Mujib, A.,
Firman, S., & Thoha, H. (2010).
5. Prasetya, N. B. A., Aulia, W., Syahbana, A.,
Kelimpahan dan sebaran plankton di
& Kewe, E. (2010). Pemantauan kadar logam
perairan Pulau Bangka. In B. Putri, H.
berat Pb, Cd, Cu, Zn dan Ni dalam air laut
Retnoningtyas, A. Mujib, S. Firman, H.
dan sedimen di Perairan Pulau Bangka.
Thoha, Ruyitno, Sulistijo, Pramudji, M.
Dalam: R. Nuchsin (ed.). Perairan Provinsi
Muchtar, T. Susana, & Fahmi (Eds.),
Kepulauan Bangka Belitung sumber daya
Perairan provinsi Kepulauan Bangka
laut dan osenaografi. 136-151. LIPI Press,
Belitung: Sumber daya laut dan
Jakarta.
oseanografi (pp. 105-112). Jakarta: LIPI
6. Alldredge, A. L., Elias, M., & Gotschalkt, C. Press.
C. (1986). Effects of drilling muds and mud
15. Davis, C. (1955). The marine and fresh-
additives on the primary production of natural
water plankton. Michigan State University
assemblages of marine phytoplankton.
Press; USA.
Marine environmental research, 19(2), 157-
176. 16. Shirota, A. (1966). The plankton of South
Vietnam-fresh water and marine plankton.
7. Nayar, S., Goh, B. P. L., & Chou, L. M.
Japan: Over Tech Coop Agent.
(2004). Environmental impact of heavy
metals from dredged and resuspended 17. Yamaji, I. (1966). Illustrations of the marine
sediments on phytoplankton and bacteria plankton of Japan. Hoikusha.
assessed in in situ mesocosms.
18. Wickstead, J. H. (1976). The Institute of
Ecotoxicology and environmental safety,
Biology’s studies in biology no. 62: marine
59(3), 349-369.
zooplankton. USA: Edward Arnold
8. Usup, G., & Azanza, V. (1998). Physiology Publisher Ltd. USA.
and bloom dynamics of the Tropical
dinoflagellate Pyrodinium bahamense. In G. 19. Praseno, D. P., & Sugestiningsih. (2000).
Usup, V. Azanza, D. Anderson, A. Cembella, Retaid di perairan Indonesia. Jakarta:

Jurnal Teknologi Lingkungan Vol. 20, No 2, Juli 2019, 189-204. 201


Pusat Penelitian dan Pengembangan 29. Gasiūnaitė, Z. R., Cardoso, A. C.,
Oseanologi-LIPI. Heiskanen, A.-S., Henriksen, P., Kauppila,
P., Olenina, I., Pilkaitytė, R., Purina, I.,
20. Cox, G. (1976). Laboratory manual of
Razinkovas, A. & Sagert, S. (2005).
general ecology 3rd ed. Iowa: Wm C. Brown
Seasonality of coastal phytoplankton in the
Company Pub.
Baltic Sea: influence of salinity and
21. Bakus, G. (2007). Quantitative analysis of eutrophication. Estuarine, Coastal and
Maine biological communities: Field biology Shelf Science, 65(1-2), 239-252.
and Environment. USA: John Wiley & Sons,
30. Zhou, M. J., & Yu, R. C. (2007).
Inc.
Mechanisms and impacts of harmful algal
22. McAleece, N., Gage, J., Lambshead, J., & blooms and the countmeasures. Chinese
Peterson, G. (1997). Biodiversity Journal of Nature, 29(2), 72-77.
Professional Statistical Analysis Software.
31. Xu, N., Duan, S., Li, A., Zhang, C., Cai, Z.,
London: The Natural History Museum &
& Hu, Z. (2010). Effects of temperature,
Scottish Association of Marine Science.
salinity and irradiance on the growth of the
23. Spatharis, S., & Tsirtsis, G. (2010). harmful dinoflagellate Prorocentrum
Ecological quality scales based on donghaiense Lu. Harmful Algae, 9(1), 13-
phytoplankton for the implementation of 17.
Water Framework Directive in the Eastern
32. Aßmus, J., Melle, W., Tjøstheim, D., &
Mediterranean. Ecological Indicators, 10(4),
Edwards, M. (2009). Seasonal cycles and
840-847.
long-term trends of plankton in shelf and
24. Hafsah, Gumbira, G., Taufik, N., & Muchtar, oceanic habitats of the Norwegian Sea in
M. (2010). Dinamika konsentrasi nitrat, relation to environmental variables. Deep
fosfat, derajat keasaman, dan oksigen Sea Research Part II: Topical Studies in
terlarut di perairan Bangka. In Hafsah, G. Oceanography, 56(21-22), 1895-1909.
Gumbira, N. Taufik, M. Muchtar, Ruyitno,
33. Petersen, S., & Gustavson, K. (1998). Toxic
Sulistijo, Pramudji, M. Muchtar, T. Susana, &
effects of tri-butyl-tin (TBT) on autotrophic
Fahmi (Eds.), Perairan provinsi Kepulauan
pico-, nano-, and microplankton assessed
Bangka Belitung: Sumber Daya Laut dan
by a size fractionated pollution-induced
Oseanografi (pp. 85-104). Jakarta: LIPI
community tolerance (SF-PICT) concept.
Press.
Aquatic toxicology, 40(2-3), 253-264.
25. Lugomela, C., Wallberg, P., & Nielsen, T. G.
34. Hasle, G., & Syvertsen, E. (1997). Chapter
(2001). Plankton composition and cycling of
2: Marine diatoms. In G. Hasle, E.
carbon during the rainy season in a tropical
Syvertsen, & C. Tomas (Ed.), Identifying
coastal ecosystem, Zanzibar, Tanzania.
Marine Phytoplankton (pp. 5-385). USA:
Journal of Plankton Research, 23(10), 1121-
Academic Press.
1136.
35. Kim, E.-H., Mason, R., Porter, E., & Soulen,
26. Malej, A., Mozetič, P., Turk, V., Terzič, S.,
H. (2004). The effect of resuspension on
Ahel, M., & Cauwet, G. (2003). Changes in
the fate of total mercury and methyl
particulate and dissolved organic matter in
mercury in a shallow estuarine ecosystem:
nutrient-enriched enclosures from an area
a mesocosm study. Marine Chemistry,
influenced by mucilage: the northern Adriatic
86(3-4), 121-137.
Sea. Journal of plankton research, 25(8),
949-966. 36. Cabrita, M. T. (2014). Phytoplankton
community indicators of changes
27. Nakane, T., Nakaka, K., Bouman, H., & Platt,
associated with dredging in the Tagus
T. (2008). Environmental control of short-
estuary (Portugal). Environmental pollution,
term variation in the plankton community of
191, 17-24.
inner Tokyo Bay, Japan. Estuarine, Coastal
and Shelf Science, 78(4), 796-810. 37. Sankar, C. S. (2012). Species Composition,
Abundance and Distribution of
28. Brunet, C., & Lizon, F. (2003). Tidal and diel
Phytoplankton in the Harbour Areas and
periodicities of size-fractionated
Coastal Waters of Port Blair, South
phytoplankton pigment signatures at an
Andaman 1R. Siva Sankar and 2G.
offshore station in the southeastern English
Padmavati. Int. J. Oceanogr. Marine Ecol.
Channel. Estuarine, Coastal and Shelf
Sys, 1(3), 76-83
Science, 56(3-4), 833-843.

202 Struktur Komunitas Fitoplankton .... (Rahman, A.)


38. Ellis, D. V. (2001). A review of some
environmental issues affecting marine
mining. Marine Georesources &
Geotechnology, 19(1), 51-63.

39.

Jurnal Teknologi Lingkungan Vol. 20, No 2, Juli 2019, 189-204. 203


40.

204 Struktur Komunitas Fitoplankton .... (Rahman, A.)

Anda mungkin juga menyukai