1, Mei 2013 : 7 - 15
Ringkasan
Endapan nikel laterit merupakan hasil pelapukan dari batuan ultramafik berupa peridotit
atau dunit sebagai pembawa unsur Ni, umumnya terjadi di daerah tropis sampai sub-
tropis. Pembentukan endapan nikel laterit secara umum dikendalikan oleh beberapa fak-
tor yakni; morfologi, litologi dan struktur geologi. Penelitian ini difokuskan pada geologi
dan estimasi cadangan dengan metode ordinary kriging pada endapan nikel laterit. Dae-
rah penelitian terletak di daerah Tambang Tengah Bukit TLC4 Pomalaa, wilayah konsesi
penambangan PT. Aneka Tambang,Tbk. Kondisi daerah berupa perbukitan dengan ke-
tinggian 205 m sampai 235 m dari permukaan laut. Secara megaskopis maupun petro-
grafis satuan ini didominasi oleh batuan beku ultramafik berupa dunit dan peridotit dari je-
nis harzburgite . Daerah penelitian seluas 300 x 325 m telah dibor secara reguler dengan
spasi 25 m terdapat 112 blok, diantaranya ada 101 blok yang tersampel dan 11 blok tidak
tersampel. Dengan menggunakan salah satu tools pada program ArcGIS 9.3, yakni geo-
statistical analyst, data titik bor tersebut diestimasi menggunakan metode ordinary kriging
yang bertujuan untuk mengoreksi kadar-kadar conto sampel titik bor, dan memprediksi
nilai titik bor pada blok yang tidak tersampel. Hasil semivariogram kadar nikel menghasil-
kan anisotropi geometri yang menggambarkan daerah pengaruh (range) sebaran endap-
an nikel sepanjang 197, 6 m berarah N 296,4°, searah dengan struktur kekar pada lokasi
penelitian yang berarah Tenggara-Barat Laut. Untuk ketebalan memiliki daerah pengaruh
atau range sepanjang 172, 5 m berarah N 135° E. Kadar nikel mula-mula yang masuk
dalam kategori cut off grade sebanyak 56 blok, namun setelah melalui estimasi dengan
metode ordinary kriging jumlah blok yang masuk kategori cut off grade sebanyak 71 blok.
Dalam hal ini nilai cut off grade yang ditetapkan adalah 1,4 %. Nilai simpangan baku dari
data sampel titik bor sebesar 0,39, setelah proses kriging diperoleh simpangan baku
sebesar 0,24. Sedangkan koefisien variasi dari sampel data titik bor sebelum proses
kriging sebesar 0,26 dan setelah proses kriging sebesar 0,17. Jumlah cadangan atau
tonase nikel yang diperoleh sebelum dilakukan kriging sebesar 4.279,006 ton dan sete-
lah dilakukan kriging diperoleh tonase nikel sebesar 4.267,280 ton. Estimasi kriging me-
rupakan metode pendekatan dari nilai sebenarnya dengan tujuan utama untuk menghin-
dari kesalahan sistimatis dalam estimasi yang terlalu besar atau terlalu kecil dalam me-
naksir cadangan.
Kata Kunci : Geologi, Nikel laterit, geostatistik, ordinary kriging, semivariogram, estimasi
cadangan
kah sebuah kegiatan penam-bangan layak atau lalui Gunung Watumohai dan Bombaea sampai
tidak. ke Torobulu. Kedua kelompok tersebut kemu-
Metode yang sering digunakan dalam per- dian bergabung lagi di ujung tenggara Sulawesi
hitungan cadangan adalah metode konvensio- Tenggara (sekitar Teluk Wawonii).
nal, namun untuk estimasi cadangan bijih meto- Jalur batuan ultramafik tersusun oleh harz-
de ini dianggap kurang teliti sehingga banyak burgit, dunit, serpentin dan piroksenit. Pada be-
yang beralih ke metode geostatistik yang me- berapa bagian dalam komplek tersebut, batuan-
miliki tingkat presisi yang lebih tinggi. batuan ultramafik menunjukan adanya korok-
Kriging adalah estimator geostatistik yang korok dan intrusi kecil yang bersusunan gabro
dirancang untuk melakukan penaksiran kadar dan diorite. Menurut Hasanuddin (1992), batuan
blok sebagai kombinasi linear dari contoh-con- peridotit yang tersingkap di daerah Pomalaa
toh yang ada di dalam / sekitar blok. Faktor bo- umumnya telah mengalami proses serpentinisa-
bot dipilih sedemikian rupa sehingga diperoleh si dan mineralisasi yang kemudian mengalami
varians estimasi yang minimum. Proses kriging pelapukan yang cukup kuat dengan warna la-
ini memberikan harga-harga pengestimasi ka- pukannya kuning, kecoklatan berbintik hitam
dar-kadar blok berdasarkan kadar-kadar conto atau abu-abu putih dengan warna kehijauan pa-
yang sudah dikoreksi. Penelitian ini dilakukan da bagian luarnya.
untuk menambah wacana keilmuan tentang
kontrol geologi terhadap pembentukan endapan
nikel laterit, dan ikut andil memberikan alternatif
dalam perhitungan cadangan secara gesostatis-
tik dengan metode ordinary kriging.
2. DASAR TEORI
Lokasi
Menurut Atmadja (dalam Suratman, 2000) Penelitian
batuan ultramafik yang menyusun daerah Po-
malaa merupakan bagian dari komplek ultra-
mafik yang terdapat di Busur Timur Sulawesi.
Pulau Sulawesi dicirikan dengan 2 busur yang
berbeda, sebelah barat dicirikan oleh batuan
granit dan granodiorit, sedangkan busur timur
15 dicirikan dengan batuan mafik dan ultramafik
(Gambar 2.1). Komplek batuan ultramafik yang
luas terdapat pada lengan timur dan lengan te-
nggara. Tektonik setting batuan ultramafik di
Busur Timur Sulawesi sama dengan tipe Alpin.
Gambar 1 : Peta lokasi penelitian, terletak di
Menurut Soeria-Atmadja et al. (1972) jalur batu-
an ultramafik di Busur Timur Sulawesi memper- Kab. Kolaka, Sulawesi Tenggara.
lihatkan kenampakan yang sama dengan peri-
dotit Tipe Alpin, dengan ciri-ciri bentuk dan Laterit merupakan produk dari hasil pela-
distribusi yang tidak teratur, mineral olivin lebih pukan yang terjadi dalam kondisi lembab, ha-
dominan dibandingkan dengan piroksen dalam ngat dan terjadi di daerah tropis yang dicirikan
tubuh ultramafik. Batas intrusi ultramafik umum- oleh melimpahnya unsur besi dan aluminium
nya mengalami serpentinisasi dan pensesaran (Robb, 2005). Pelapukan merupakan proses
pada batuan yang menutupinya dan adanya rusaknya material-material batuan yang dekat
pembentukan kromit dengan tekstur nodul dan permukaan bumi dan membentuk produk yang
orbicular dalam dunit yang merupakan bagian baru (Ollier, 1969). Lingkungan dekat permuka-
dari ultramafik. Komplek ultramafik yang terda- an dicirikan oleh suhu dan tekanan yang ren-
pat di Sulawesi Timur dan Tenggara merupakan dah, konsentrasi air, oksigen bebas dan karbon
suatu jalur yang terputus – putus dan dapat di- dioksida yang tinggi. Pada lingkungan tersebut
ikuti dari bagian paling timur Sulawesi Timur pelapukan kimia akan lebih intensif daripada
kearah Barat kemudian membelok mengikuti a- pelapukan fisika.
rah struktur Sulawesi Tenggara. Jalur batuan ul- Prijono (1977) menyatakan bahwa pencuci-
tramafik di Sulawesi Tenggara dapat dibagi an pada batuan yang tidak resisten mengakibat-
menjadi dua kelompok. Kelompok pertama di- kan terjadinya pengkayaan in-situ pada Fe, Al,
dapatkan mulai dari Sua-sua sampai Pomalaa Cr, Ni dan Co pada peridotit. Proses pencucian
lalu menyebar kearah timur melalui Androweng- silika dan mineral yang mudah larut dari profil
ga, Mekelulu dan Benua sampai Kendari. Ke- soil pada lingkungan yang bersifat asam, ha-
lompok kedua menyebar ke arah tenggara me- ngat dan lembab disebut sebagai laterisasi.
Jurnal INTEKNA, Tahun XIII, No. 1, Mei 2013 : 7 - 15
Proses laterisasi berawal dari infiltrasi air ses presipitasi (pertukaran unsur Mg dengan
hujan yang bersifat asam yang masuk ke dalam unsur Ni diantara air tanah dan mineral serpen-
zone retakan, kemudian melarutkan mineral- tin), seperti reaksi berikut :
2+ 2+
mineral yang mudah larut pada batuan dasar. Mg Si O (OH) + 3 Ni Ni Si O (OH) + 3Mg
Mineral dengan berat jenis yang tinggi akan ter- 3 2 5 4 3 2 5 5
3. METODE PENELITIAN
Metode Geostatistik
Saat ini dikenal dua cara dalam mengana-
lisa karasteristik cebakan mineral secara sta-
tistik, yaitu statistik klasik dan statistik spasial.
Penggunaan statistik klasik untuk menyatakan
sifat suatu nilai conto mengambil asumsi bahwa
nilai conto merupakan realisasi peubah acak,
komposisi conto secara relatif diabaikan dan
diasumsikan bahwa semua nilai conto di dalam
cebakan mineral mempunyai kemungkinan sa-
ma untuk dipilih. Hadirnya kecenderungan-ke-
cenderungan, zona pengkayaan dan pay shoot
pada mineralisasi akan diabaikan. Kenyataan
pada ilmu kebumian menunjukan bahwa dua
contoh yang diambil saling berdekatan seharus-
nya mempunyai nilai yang mirip jika dibanding-
kan conto lain yang berjauhan.
Pada statistik spasial, nilai contoh merupa-
kan realisasi fungsi acak. Nilai contoh merupa-
kan suatu fungsi dari posisinya dalam cebakan,
dan posisi relatif conto dimasukan dalam per-
Gambar 2. : Profil endapan nikel laterit (Elias, timbangan. Kesamaan nilai-nilai conto yang
1979) merupakan fungsi jarak conto serta yang saling
berhubungan ini merupakan dasar teori statistik
Alkali tanah, Mg dan Ca berubah menjadi spasial.
bikarbonat oleh air permukaan yang asam, se- Untuk mengetahui sejauh mana hubungan
mentara silika (SiO ) akan larut dan tertransport spasial antara titik-titik di dalam cebakan, maka
2
sebagai larutan koloid, karena mengalami per- harus diketahui fungsi strukturalnya yang dicer-
pindahan oleh alkali tanah dan silika, logam- minkan oleh model semivariogram. Menetapkan
logam primer yang terdapat pada batuan pe- model semivariogram merupakan langkah awal
ridotit seperti Fe, Al, Cr, Ni, dan Co larut dan dalam perhitungan geostatistik, disusul dengan
mengalami pengayaan in situ, zona ini dina- perhitungan varians estimasi, varians dispersi
makan zona limonit. Dalam proses laterisasi, dan varians kriging (Darijanto, 1999).
pelapukan lebih lanjut, Ni akan larut dan ter- Semivariogram menggambarkan selisih ra-
bawa oleh air tanah kemudian mengalami pro- ta-rata antara harga titik percontoh yang ter-
Geologi dan Estimasi Sumberdaya Nikel Laterit ………… (Muhammad Amril Asy’ari, dkk)
pisah oleh jarak pada arah tertentu atau titik-titik Dalam pengolahan data dengan mengguna-
yang dipisahkan oleh lag tertentu. Menurut Arm- kan metode ordinary kriging (OK) beberapa hal
strong (1998) Semivariogram eksperimental di- yang perlu diketahui antara lain :
nyatakan dalam rumus sebagai berikut : 1. Mencari nilai rata-rata diseluruh blok.
N Harga taksiran terhadap suatu kadar Z dari
[ z( x ) z( x
i 1
i i h)] 2 *
volume B dipilih Z x taksiran kadar dapat di-
γ (h) = hitung melalui pembobotan rata-rata tertim-
2 N ( h) Pers. (1) bang (weighted average) kadar-kadar conto
dimana : Z(xi).
γ(h) = semivariogram untuk arah tertentu n
dari jarak h Zb =
*
.Z (x ) i
i 1
i i = 1…….n
h = jarak antara contoh atau lag semi-
variogram 2. Adanya penaksir linear
z(xi) = nilai variable z(xi + h) = nilai variabel n
yang terpisah sejauh h Z =
*
.Z
i 1
i i
N(h) = jumlah pasangan data Pers. (2)
Hubungan antara z(xi) dan z(xi + h) dapat 3. Mempertimbangkan kondisi tak bias, dima-
ditunjukan dengan gambar sebagai berikut : na jumlah faktor pembobot λi dibuat sama
h=2 dengan satu
n
i
i 1
Pers. (3)
Dimana :Z* = Nilai estimasi
Z = Nilai suatu blok
h=1 λi = Faktor pembobot
h=34 Harga yang diharapkan untuk perbedaan
*
antara Z dan Zb adalah nol
*
(Zb - Z) = 0
V
lakukan pada nilai koefisien variansi mendekati
satu, contoh cebakan seperti sedimenter dan i
porfiri (Sulistyana, 1998). i 1 Pers. (5)
Jurnal INTEKNA, Tahun XIII, No. 1, Mei 2013 : 7 - 15
Urat garnierit
yang dijadikan tolak ukur dalam menentukan dengan arah orientasinya memungkinkan mun-
zona saprolit antara lain, pertama: perbanding- culnya anisotropi. Dalam penelitian ini aniso-
an kadar unsur Fe dan kadar unsur Ni nilainya tropi yang muncul, yakni γ(h) dengan arah yang
harus kurang atau sama dengan 7 (Fe/ Ni ≤ 7). berbeda tetapi mempunyai harga sill dan nug-
Kedua: perbandingan kadar unsur SiO dengan get variance yang sama, maka anisotropi yang
2
MgO nilainya harus kurang atau sama dengan 2 dihasilkan adalah anisotropi geometri.
(S/ M ≤ 2). Ketiga adalah perbandingan antara Ketika program ArcGIS dijalankan, dengan
kadar unsur CaO dan MgO dengan kadar unsur sendirinya bentuk anisotropi akan ditampilkan,
SiO , nilainya kurang atau sama dengan 0,5 namun tampilan tersebut harus diuji dari empat
2 arah untuk mengetahui kondisi yang terbaik de-
(BC ≤ 0,5).59. ngan patokan yang memiliki nilai range (a) ter-
panjang dan hasil prediksi variabel memberikan
Analisa Data dan Perhitungan nilai eror terkecil
Proses kriging menggunakan progam Arc Berdasarkan analisa anisotropi yang dila-
GIS 9.3 dengan memanfaatkan salah satu pe- kukan, hasil yang diperoleh memberikan aniso-
rangkat pada program ini, yakni Geostatistical tropi geometri bentuk elips untuk kadar nikel
Analyst, melalui beberapa tahapan sebagai dengan range (a) terpanjang 197,642 m dan
berikut: o
range (a) terpendek 35,674 m, berarah N 296,4
Semivariogram E (Gambar 4.3). Kondisi ini merupakan kondisi
Menetapkan model semivariogram merupa- terbaik dari keempat arah yang telah diamati.
kan langkah awal dalam perhitungan geosta- Bentuk dari anisotropi ini menggambarkan
tistik. Dalam penelitian ini model semivariogram range (a) atau daerah pengaruh dimana nilai
yang dipilih adalah model spherical, karena mo- semivariogram masih memiliki korelasi spasial
del ini yang memberikan prediksi paling baik atau kondisi seperti ini dapat dijabarkan sebagai
dengan nilai root-mean-sequare standardized pola penyebaran kadar nikel yang menempati
prediction error mendekati nilai satu, sebagai areal sepanjang 197,642 m yang berarah Teng-
syarat bahwa hasil prediksi tidak bias (unbia- gara-Barat Laut. Hasil ini juga dapat dijadikan
sed). Semivariogram bertujuan untuk mengeta- sebagai salah satu acuan untuk memberikan
hui sejauh mana hubungan spasial antara titik- rekomendasi bagi kegiatan eksplorasi selan-
titik di dalam cebakan. Suatu variabel dikatakan jutnya.
terregional jika terdistribusi dalam ruang dan
biasanya mencirikan suatu fenomena tertentu.
Secara matematik variabel terregional me-
rupakan penyajian nilai fungsi f(x) yang menem-
pati setiap titik x pada ruang. Prilaku karakteris-
tik atau struktur variabilitas dalam ruang dari va-
riabel terregional dapat dilihat/ dikenali suatu
aspek erratic secara lokal, yakni adanya zona
yang lebih kaya dibandingkan yang lainnya.
Dalam penelitian ini data yang diproses secara
geostatistik meliputi kadar dan ketebalan nikel.
Tahapan geostatistik meliputi:
balan lapisan nikel yang prospek berada pada cut off grade adalah 1,4%, untuk mencapai tar-
areal sepanjang 172,5 m yang berarah Teng- get dari kadar minimal yang ditetapkan maka
gara-Barat Laut. Hasil semivariogram ini dapat dilakukan pencampuran atau blending dengan
dijadikan salah satu acuan dalam memberikan bijih yang lebih tinggi. Hasil penambangan bijih
rekomendasi pada kegiatan eksplorasi selan- dengan kandungan nikel lebih tinggi biasanya
jutnya. didapat dari beberapa blok penambangan yang
memiliki kandungan nikel diatas 2%, atau dipe-
roleh dari hasil penambangan bijih dari daerah
lain, seperti halmahera yang hasil tambang bi-
jihnya rata-rata mengandung nikel 2 – 3 %.
Dari data sampel bijih hasil pengeboran se-
banyak 101 sampel yang masuk dalam cut off
grade (memiliki kandungan nikel diatas 1,4%)
sebanyak 56 blok, namun setelah melalui pro-
ses kriging data sampel bijih yang masuk dalam
kategori cut off grade sebanyak 71 blok (Lihat
Lampiran H). Disini berarti bahwa conto bor
tersebut bukanlah suatu harga estimasi yang
paling baik untuk menaksir blok, sehingga
diperlukan suatu koreksi.
Dalam program ArcGIS semua nilai conto
dikoreksi dan diberikan harga perkiraan melalui
Gambar 7 : Semivariogram Tebal nikel pada pembobotan nilai-nilai variabel disekitarnya.
program ArcGIS 9.3. Harga estimasi dikatakan tidak bias bila jumlah
faktor pembobot sama dengan satu (Gambar
8). Parameter lain yang dijadikan indikator kesa-
Kriging lahan dalam prediksi adalah hasil estimasi/
Ordinary kriging merupakan suatu metode prediksi dikatakan akurat apabila rata-rata error
penaksir variabel terregional pada suatu titik atau mean error mendekati nol dan average
atau wilayah dengan kriteria meminimumkan standard error sekecil mungkin.
taksiran variansi. Ordinary kriging merupakan Hasil estimasi/prediksi terhadap nilai conto
suatu metode yang sering dihubungkan dengan cukup akurat karena nilai perkiraan mendekati
sifat BLUE yaitu Best Linear Unbiased Estima- nilai yang sebenarnya yang ditandai dengan ra-
tor, yakni penaksir tak bias linear yang terbaik. ta-rata error mendekati nol atau -0,01002 dan
Ordinary kriging berbentuk linear karena penak- nilai average standard error yang cukup kecil,
sir-penaksirnya dipengaruhi oleh kombinasi li- yakni 0,360. Demikian halnya dengan hasil
near data, tak bias karena bertujuan menda- prediksi nilai conto tidak bias yang ditandai de-
patkan m, varians galat (Amstrong, 1998). R ngan nilai root-mean-sequare standardized pre-
mean galat sama dengan nol dan bertujuan diction error mendekati satu, yakni 0,961
memperkecil 2Rσ (Gambar 9).
Proses kriging merupakan kegiatan tahap
berikutnya setelah melalui proses semivario-
gram, model semivariogram yang dipilih akan
sangat menentukan hasil kriging dalam mengo-
reksi dan memprediksi nilai suatu variabel. Sa-
lah satu keunggulan dari proses krging pada
program ArcGIS adalah kemampuannya untuk
mengoreksi semua nilai yang ada serta dapat
memprediksi lokasi yang tidak tersampel. Dae-
rah penelitian seluas 300 m x 325 m, ada 101
blok yang tersampel dan 11 blok tidak tersam-
pel, namun setelah melalui proses kriging se-
mua blok memiliki nilai sehingga jumlah blok
menjadi 112.
Pihak perusahaan dalam hal ini PT. Aneka
Tambang Tbk menetapkan hasil tambang da-
lam bentuk bijih yang ekonomis untuk diolah/ di-
proses harus memiliki kandungan nikel minimal
sebesar 1,8%. Namun dalam kegiatan penam- Gambar 8 : Nilai kadar nikel yang diprediksi dan
bangan kadar nikel yang masuk dalam kategori faktor pembobotnya
Geologi dan Estimasi Sumberdaya Nikel Laterit ………… (Muhammad Amril Asy’ari, dkk)
Hasil semivariogram pada sampel data bor 5. Hasanuddin, D, Arifin Karim, dan Apud Dja-
daerah penelitian diperoleh daerah pengaruh juli, (1992). Pemantauan Teknologi Penam-
atau Range (a) sebaran endapan nikel se- bangan Bijih Nikel di UPN Pomalaa PT.
o
panjang 197,6 m berarah N 296 E. Sedangkan Aneka Tambang Pomalaa.Kolaka,Sulawesi
untuk ketebalan mempunyai range (a) ter- Tenggara.
o 6. Golightly, J.P, (1981). Nickelferous Laterite
panjang 172, 495 m berarah N 135 E. Kondisi Deposit. Economic Geology 75 th Anniver-
ini searah dengan struktur kekar pada daerah sary Volume 1981
penelitian yang berarah Tenggara-Barat Laut 7. Ollier, C, (1969). Weathering. T and A Con-
dan sesuai dengan bentuk morfologi daerah pe- stable Ltd, Great Britain, 304p.
nelitian yang memiliki kelerengan sedang sam- 8. Prijono, A., (1977). Potensial of the Lateri-
pai landai pada arah tersebut. Kondisi ini meng- tic- Nickel Deposit in Indonesia and Their
gambarkan, bahwa pada arah tersebut sebaran Succesfull Development Much Depends on
endapan nikel cenderung lebih homogen se- The Right Processing Method on The Indo-
hingga dapat direkomendasikan pengambilan nesian Mining Industry, it’spresent and futu-
sampel data titik bor dapat dilakukan dengan re. The Indonesian Mining Association. Ja-
spasi yang lebih besar. karta 184- 250p.
Koefisien variasi dari sampel data bor sebe- 9. Rauf.A, (1998). Perhitungan Cadangan En-
sar 0,26. Setelah melalui proses kriging diper- dapan Mineral. Jurusan Teknik Pertam-
oleh nilai koefisien variasi yang lebih kecil, yakni bangan FTM UPN “Veteran” Yogyakarta.
0,17. Sampel data bor hasil proses kriging 10. Robb, L, (2005). Introduction to Ore For-
menghasilkan data yang memiliki variabilitas ming Processes. Blackwell publishing com-
populasi yang homogen. pany. USA
Kadar nikel pada sampel conto yang masuk 11. Soeria Atmadja, R. Golightly. J.P dan Wah-
dalam cut off grade sebelum proses kriging se- yu. B.N, (1974). Mafic and Ultramafic Rock
banyak 56 blok, namun setelah melalui proses Association in The East Arc of Sulawesi.
kriging diperoleh sebanyak 71 blok. Metode Proceeding ITB, Vol. 8 No.2 .Bandung
ordinary kriging memberikan hasil estimasi yang 12. Sulistiyana,W, (1998). Kriging Indikator Se-
lebih baik, dimana kadar unsur Ni yang masuk bagai Metode Alternatif Untuk Penaksiran
dalam cut off grade jumlahnya lebih banyak dan Kadar Bijih Secara Geostatistik. Prosiding
melalui metode ini pula kadar contodikoreksi, di- Temu Ilmiah dan Reuni 1998 Jurusan Tek-
naikan atau diturunkan sehingga mempersempit nik Pertambangan UPN “ Veteran” FTM
elips pencaran data. UPN “Veteran” Yogyakarta
Jumlah cadangan atau tonase nikel yang 13. Suratman, (2000). Geology and Nickel Late-
diperoleh sebelum dilakukan kriging sebesar rit Weathering Deposit in The South East
4.279,006 ton dan setelah dilakukan kriging Arm of Sulawesi. Berita Sedimentologi edisi
diperoleh tonase nikel sebesar 4.267,280 ton. 14/11/2000. Jakarta
Hal ini menggambarkan bahwa estimasi kriging
merupakan metode pendekatan dari nilai sebe-
narnya dengan tujuan utama untuk menghindari
kesalahan sistimatis dalam estimasi yang terlalu
besar atau terlalu kecil dalam menaksir cadang-
an.
6. DAFTAR PUSTAKA
SKRIPSI
OLEH:
D621 16 015
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
GOWA
2020
i
ii
iii
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahimm
Assalamualaikum wr wb
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya yang telah diberikan kepada kita semua sehingga segala aktivitas yang kita
lakukan dapat berjalan sesuai kodrat yang telah ditentukan oleh-Nya. Shalawat dan
salam senantiasa kita haturkan kepada sang tauladan, sang revolusioner, sang pembawa
obor keselamatan Rasulullah Nabi Muhammad SAW yang telah mengangkat derajat
Laporan Tugas Akhir dengan judul “Estimasi Sumberdaya Terukur Endapan Bijih
Pengaruh Kemiringan Lereng Terhadap Sebaran Kadar Nikel (Studi Kasus: Blok E Pt Sinar
Jaya Sultra Utama, Desa Waturambaha Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi
Tenggara)” dapat diselesaikan dengan berbagai suka dan duka yang dilalui dalam proses
penyusunannya.
Tidak ada kata yang layak untuk menggambarkan besarnya rasa terima kasih
penulis bagi semua pihak yang telah memberikan dukungan, tenaga, serta ilmunya
dalam penyusunan skripsi yang sederhana ini. Penulis berharap dengan selesainya
laporan Tugas Akhir ini dapat memberikan berkat bagi semua pihak yang terlibat dalam
Terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua penulis (Bapak Ahmad
Dahlan dan Ibu Jumriah Zainuddin S,Pd) atas semua yang telah diberikan kepada penulis
mulai dikandung badan sampai sekarang. Terima kasih pula penulis haturkan kepada
adik penulis Ringga Damara Aprilia Swara atas dukungan dan semangat yang telah
iv
Terima kasih pula penulis sampaikan kepada Bapak Asran Ilyas, ST. MT. Ph.D.
selaku Pembimbing I penulis yang senantiasa memberikan arahan dan motivasi bagi
Terima Kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Ir. Irzal Nur, MT. selaku
Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin telah menjadi motivasi bagi penulis untuk terus
Pertambangan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih serta
mengirimkan doa semoga beliau senantiasa diberkati oleh Tuhan dan senantiasa
diberikan kesehatan.
Angkatan 2016 (Rockbolt 2016) yang telah menemani penulis dikala sedih dan bahagia,
penulis mengucapkan terima kasih atas segala hal yang telah dilalui bersama. Tetap
selama ini di atas panji yang sama masih terus terasah sampai akhir hayat.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan Tugas Akhir ini masih
permohonan maaf atas semua kekurangan yang dijumpai dalam proses penyusunan
laporan Tugas Akhir ini. Semoga Tugas Akhir ini dapat memberikan manfaat bagi kita
semua, Amin.
v
ABSTRAK
Endapan nikel laterit merupakan salah satu endapan penghasil nikel dunia di
samping endapan nikel sulfida. Endapan ini diproyeksikan dapat memenuhi permintaan
nikel dunia yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Sejalan dengan hal
tersebut, maka perlu dilakukan kajian estimasi sumberdaya endapan ini secara lebih
mendalam dengan melakukan identifikasi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi
pembentukan dan distribusi kadarnya. Salah satu faktor tersebut adalah kemiringan
lereng topografi. Penelitian pada skripsi ini mencoba menggali pengaruh tersebut dalam
meningkatkan estimasi sumberdaya endapan ini secara lebih baik. Untuk memperoleh
hal ini, maka digunakanlah metode geostatistik (ordinary kriging) yang diketahui
memiliki teknik prediksi yang lebih baik karena mempertimbangkan sepenuhnya
hubungan spasial endapan. Salah satu lokasi sebaran endapan ini yang sangat berlimpah
adalah terdapat di Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara, tepatnya di
lokasi tambang PT Sinar Jaya Sultra Utama, sehingga lokasi ini dipilih sebagai lokasi
daerah penelitian. Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa terdapat trend yang kuat
antara ketebalan zona limonit dengan kemiringan lereng, di mana ketebalan zona
limonit akan bertambah seiring dengan menurunnya derajat kemiringan lereng. Hasil ini
dipakai sebagai dasar penggunaan pengaruh kelerengan untuk melakukan estimasi. Dari
hasil penelitian, diperoleh estimasi sumberdaya endapan nikel laterit di daerah penelitian
adalah sebesar 1.445.827 ton.
Kata kunci: Estimasi sumberdaya mineral, endapan nikel laterit, kelerengan topografi,
ordinary kriging, Konawe Utara.
vi
ABSTRACK
Laterite nickel deposits are one of the world's nickel-producing beside sulfide
deposits.. This deposit is projected to meet the world nickel demand which has increased
from the last few decades. In line with this, it is necessary to improve a more accurate
study of its estimation resources by identifying the factors that influence the formation
and distribution of Ni grade. One such factor is the slope of topography. The research in
this thesis tries to explore this influence for a better estimation results. To obtain this,
an ordinary krigging method is used which is known to have better prediction
techniques because it takes full account of the spatial correlation. One of
the most abundant distribution of this deposit is located in North Konawe Regency,
Southeast Sulawesi Province, precisely at the PT.Sinar Jaya Sultra Utama mine site.
Therefore, this area was chosen as the location of the research study. The results of this
study found that there is a strong correlation between the thickness of the limonite zone
and the slope topography, in which the thickness of the limonite zone will increase with
decreasing degree of slope topography. This result is used as a basis understanding for
using the slope topography effect to maintain a better estimation resources. From the
results of the study, it was estimated that the resources of the laterite nickel
deposits in the study area are 1,445,827 tons.
Key words : Mineral resource estimation, laterite nickel deposits, topographic slope,
ordinary kriging, North Konawe.
vii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ....................................................................................................... vi
viii
2.6 Ordinary kriging ....................................................................................... 21
5.2 Saran..................................................................................................... 94
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1.1 Peta tunjuk lokasi penelitian .................................................................... 6
2.3 Pengelompokan Sumberdaya Mineral dan Cadangan Bijih (KCMI, 2017). ...... 14
3.13 DTM Solid zona limonit Tipe Kemiringan Lereng 00-150. ........................... 43
x
3.15 DTM Solid zona limonit Tipe Kemiringan Lereng 160-300. .......................... 43
3.16 DTM Solid zona saprolit Tipe Kemiringan Lereng 160-300. ......................... 44
4.2 Korelasi Ketebalan zona limonit dengan Tipe Kemiringan Lereng. ............... 50
4.5 Analisis regresi linear kadar maximum ni di setiap titik bor (tipe II). ............. 53
4.6 Analisis regresi linear kadar maximum ini di setiap titik bor (Tipe III). ......... 54
4.7 Analisis regresi linear kadar maximum ni pada zona saprolit (Tipe I). .......... 54
4.8 Analisis regresi linear kadar maximum ni pada zona saprolit (Tipe II). ......... 55
4.9 Analisis Regresi Linear Kadar Maximum Ni Pada zona saprolit (Tipe III). ..... 56
xi
4.17 Variogram Semimayor Limonit Kemiringan Lereng 00-150. ......................... 68
4.19 Variogram Map Semi Mayor Limonit Kemiringan Lereng 00-150. ................ 70
4.24 Variogram Map Sumbu Mayor zona Limonit Kemiringan Lereng 160-300 ..... 73
4.25 Variogram Map Semi Mayor zona limonit Kemiringan Lereng 160-300 ......... 74
4.30 Variogram Map Sumbu Mayor zona Limonit Kemiringan Lereng 310-550 .... 76
4.31 Variogram Map Sumbu Mayor zona Limonit Kemiringan Lereng 310-550. .... 77
4.34 Variogram Saprolit Sumbu Semi Mayor Kemiringan Lereng 00-150 .............. 78
4.36 Variogram Map Sumbu Mayor saprolit Kemiringan Lereng 00-150 .............. 80
4.37 Variogram Map Sumbu semi Mayor Saprolit Kemiringan Lereng 00-150........ 80
xii
4.39 Variogam Sumbu mayor Saprolit Kemiringan Lereng 160-300 ..................... 81
4.40 Variogam Sumbu Semi mayor Saprolit Kemiringan Lereng 160-300 ............. 81
4.42 Variogram Map Saprolit Sumbu Mayor Kemiringan Lereng 160-300 ............. 83
4.43 Variogram Map Saprolit Sumbu Semi Mayor Kemiringan Lereng 160-300 ..... 83
4.46 Variogram Sumbu Semi Mayor Saprolit Kemiringan Lereng 310-550. .......... 85
4.49 Variogram Map Sumbu Semi Mayor Saprolit Kemiringan Lereng 310-550. ..... 87
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
3.1 Contoh data assay .................................................................................. 30
4.8 Hasil Analisis Geostatistik Zona limonit Kemiringan Lereng 00-150 ................. 69
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
C Peta Kemiringan Lereng Blok E PT Sinar Jaya Sultra Utama .......................... 102
D Blok Model Zona limonit dan Saprolit Setiap Tipe Kemiringan Lereng ............. 104
xv
1 SATU
BAB I
PENDAHULUAN
Endapan nikel berdasarkan proses pembentukannya terdiri dari dua jenis yaitu
endapan nikel laterit dan endapan nikel sulfida. Berdasarkan jumlah sumberdayanya,
nikel laterit memiliki sumberdaya dan cadangan yang lebih banyak dan merupakan
sumber utama penghasil nikel dunia yang terbentuk dari hasil pelapukan batuan beku
ultrabasa. Berdasarkan jumlah produksinya nikel laterit memproduksi nikel yang lebih
sedikit dibandingkan dengan nikel sulfida. Indonesia menjadi salah satu negara yang
Salah satu daerah yang memiliki cadangan nikel laterit terbesar di Indonesia
adalah Provinsi Sulawesi Tenggara. Berdasarkan kondisi geologi serta iklimnya, daerah
Sulawesi tenggara termasuk daerah yang beriklim tropis dan memiliki banyak singkapan
batuan beku ultrabasa, sehingga menjadikan daerah ini sangat berpotensi sebagai
Meskipun telah dipahami bahwa nikel laterit terbentuk dari proses pelapukan yang intens
dari batuan beku ultrabasa akan tetapi proses penyebaran nikel laterit dipengaruhi oleh
berbagai faktor yang salah satunya yaitu faktor geomorfologi. Faktor kemiringan lereng
menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap persebaran nikel laterit selain
Tonase endapan nikel laterit dari suatu daerah dapat diestimasi dengan
menggunakan berbagai metode antara lain metode IDW (Inverse Distance Weighting),
metode AOI (Area of Influence), serta metode kriging. Estimasi sumberdaya dengan
1
menggunakan metode kriging terbagi menjadi tiga jenis yaitu metode simple kriging,
metode ordinary kriging, serta metode universal kriging (Bohling, 2005; Goovaerts
1998).
Jenis dari metode kriging yang dapat digunakan untuk melakukan estimasi
sumberdaya nikel laterit adalah metode ordinary kriging. Metode ini dapat mengestimasi
dapat mengestimasi nilai kadar pada titik tertentu dengan menggunakan data lain di
sekitarnya. Ordinary kriging dapat digunakan untuk melakukan estimasi pada endapan
keterkaitan antara persebaran kadar endapan nikel laterit dengan bentuk geomorfologi
serta zona saprolit pada endapan nikel laterit di daerah penelitian pada setiap
kadar Ni pada setiap tipe kemiringan lereng serta bagaimana model distribusi
3. Berapa jumlah tonase Ni pada zona limonit dan zona saprolit apabila dilakukan
1.3 Tujuan
zona limonit serta zona saprolit dari nikel laterit di setiap tipe kemiringan lereng.
2
2. Melakukan analisis terkait penyebaran kadar Ni baik pada zona limonit maupun
zona tersebut.
3. Menghitung jumlah tonase Ni pada zona limonit dan zona saprolit apabila
1.4 Manfaat
Manfaat dilakukannya penelitian ini adalah dapat menjadi salah satu rujukan bagi
akademisi dan praktisi penambangan endapan nikel laterit terkait estimasi sumberdaya
1. Tahap persiapan
Tahap persiapan meliputi studi literatur dan survei lapangan. Studi literatur
Literatur yang diperoleh sebagai bahan pustaka dapat diperoleh dari beberapa
a. Jurnal Internasional
d. Instansi terkait.
3
Sedangkan survei lapangan meliputi seluruh kegiatan yang berkaitan dengan
dilaksanakan.
yang relevan dengan penelitian yang dilakukan. Jenis-jenis data yang diambil
a. Data Topografi
b. Data Assay
Data assay memuat data kadar dari setiap titik bor kemudian dianalisis
untuk mengetahui jenis dari lapisan di setiap kedalaman titik bor tersebut.
4
Analisis kadar dan jenis lapisan pada setiap titik bor dilakukan setiap
c. Data Koordinat
d. Data Litologi
mengenai jenis perlapisan ini dilakukan pada setiap kedalaman satu meter
e. Data Survey
Tahapan pengolahan data dilakukan terhadap data topografi dan titik bor
yang memuat data geologi, data assay, data survey, dan data koordinat.
pengolah citra satelit dan informasi geografis yaitu ArcGis serta surpac 6.5.1.
Analisis data dilakukan dengan dua acara yaitu analisis data secara
kuantitatif, dan analisis data secara kualitatif. Hasil dari analisis data akan
Hasil dari penelitian berupa hubungan antara pengolahan data yang telah
5
1.6 Lokasi Penelitian
PT. Sinar Jaya Sultra Utama (SJSU) merupakan salah satu perusahaan
penambangannya. PT. Sinar Jaya Sultra Utama memiliki IUP (Izin Usaha Pertambangan)
Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara ( Gambar 1.1). Luas wilayah perusahaan
lokasi penelitian seluas 301 Ha. PT sinar Jaya Sultra Utama site Waturambaha memiliki
beberapa pit penambangan yaitu Blok A, Blok B, Blok C, Blok D, Blok E, Blok F, Blok G,
6
Gambar 1.2 Lokasi Penelitian
Lokasi PT Sinar Jaya Sultra Utama site Waturambaha dapat dijangkau dengan
menggunakan pesawat dari Kota Makassar menuju Kota Kendari dengan waktu
mobil dari Kota Kendari menuju ke arah utara menuju ke Langgikima dengan perjalanan
selama 5 jam kemudian dilanjut dengan perjalanan menuju site Waturambaha selama 1
jam.
7
2 DUA
BAB II
Endapan nikel Laterit adalah produk residu yang berasal dari pelapukan kimia
batuan beku yang kaya akan olivin dan turunan metamorfnya yang memiliki kandungan
Ni awal primer pada kisaran 0,2 - 0,4%. Karakteristik Ni laterit, termasuk kadar, tonase
dan mineralogi, dikendalikan oleh interaksi faktor iklim dan geologis, seperti sejarah
geomorfologi, drainase, struktur, dan litologi, dan merupakan efek gabungan dari faktor-
faktor individual ini yang, dalam sistem yang dinamis, memungkinkan Ni untuk
Secara dominan, tetapi tidak eksklusif, terletak di sabuk tropis dan subtropis
dunia dan mewakili lebih dari 70% sumberdaya Ni daratan, namun saat ini menyumbang
kurang dari 30% dari produksi Ni global tahunan. Operasi laterit nikel umumnya
8
membutuhkan penambangan terbuka dengan tonase tinggi dan kemajuan metalurgi
baru-baru ini akan memungkinkan eksploitasi sumber daya ini secara ekonomi.
seperti perubahan batuan induk, iklim, drainase, sejarah geomorfologi, dan komposisi
mineral penyusunnya (Butt 1975, Golightly 1981, Alcock 1988). Ada tiga tipe utama dari
1. Deposit hidrosilikat: endapan silikat Ni, didominasi oleh silikat Mg-Ni terhidrasi
2. Deposit silikat lempung: endapan silikat Ni, didominasi oleh lempung smektit
Endapan silikat Ni, didominasi oleh tipe A, merupakan 80% dari sumberdaya
laterit Ni global; kebanyakan endapan Ni laterit mengandung bijih silikat dan oksida
dalam proporsi yang berbeda-beda. Oksida mangan, yang diperkaya dengan Co dan Ni,
kemungkinan terbentuk selama fase akhir pelapukan, terdapat pada setiap jenis deposit,
mineral yang mengandung mineral feromagnesium (olivin, piroksin, dan amfibol) dalam
jumlah yang besar yang berasosiasi dengan struktur geologi. Pada umumnya nikel laterit
terbentuk dari pelapukan batuan ultrabasa yang merupakan pembawa unsur nikel. Salah
satu jenis batuan ultrabasa pembawa unsur nikel antara lain peridotite. Batuan-batuan
1. Dunite, yang mengandung olivin lebih dari 90% dan piroksen sekitar 5%.
9
3. Serpentinite, merupakan hasil perubahan dari batuan peridotite oleh proses
faktor. Faktor-faktor tersebut yaitu batuan induk, iklim, intensitas pelapukan, dan
topografi.
a) Batuan Induk
Litologi Nikel Laterit hampir secara keseluruhan terbentuk pada batuan ultramafic
yang kaya akan olivine dan diimbangi dengan proses serpentinisasi, yang mengandung
0,2 – 0,7% Ni. Beberapa deposit kecil di Yunani terbentuk oleh pemanasan ulang
sedimen yang mengandung laterit yang berasal dari peridotit yang terserpentinisasi
(Valeton dkk, 1987). Jenis endapan sebagian dipengaruhi oleh litologi batuan ultramafik.
Peridotit dapat menimbulkan oksida dan kumpulan hidrat Mg silikat atau silikat tanah
memiliki silika bebas berlimpah yang dapat melarutkan bijih. Tingkat serpentinisasi
peridotit memengaruhi sifat dan kelimpahan silikat Mg hidro yang terbentuk dalam profil
yang dikembangkan di lingkungan kering (Golightly 1979; Pelletier 1996). Pada batuan
yang tidak terserpentinisasi, endapan cenderung kaya akan oksida, dengan mineralisasi
silikat kecil (mis. Sorowako Barat, Indonesia). Dalam batuan dengan serpentinisasi yang
lemah hingga sedang, zona silikat lebih tebal dan sebagian besar terdiri dari "garnierit"
yang terbentuk secara neo, seperti urat, fraktur dan lapisan, dan smektit Fe-Mg
terbentuk dari olivin. Namun, Ni juga dipengaruhi oleh lizardite primer yang diubah, di
mana Ni telah ditukar dengan Mg di situs oktahedral (Manceau dan Calas, 1985). Dalam
batuan yang sangat terserpentinisasi, lizardit yang diubah oleh Ni kaya adalah mineral
bijih utama. Profil endapan nikel lateri dapat dilihat pada gambar 2.2.
10
Gambar 2.2 Kenampakan lapangan endapan nikel laterit
b) Iklim
Sebagian besar endapan Ni laterit saat ini terdapat di daerah tropis lembap (lihat
gambar 2.2). Terdapat banyak deposit (misalnya Soroako Provinsi Sulawesi Selatan,
Teluk Weda Provinsi Maluku Utara) dan beberapa di Afrika Barat (Sipolou, Conakry) dan
Amerika Selatan (Onça, Puma, Vermelho, Cerro Matoso) memiliki iklim hutan hujan yang
ditandai dengan hujan > 1800 mm per tahun dan musim kemarau kurang dari 2 bulan.
Namun, sebagian besar endapan, termasuk yang ada di Kaledonia Baru, Filipina, timur
laut Australia, Karibia, Burundi, dan banyak lainnya di Brasil, terletak di sabana basah
yang lembab secara musiman (curah hujan musim panas 900–1800 mm dan musim
kering musim dingin 2–5 bulan ). Thorne et al. (2012) menghitung bahwa Ni laterit
berkembang di mana curah hujan melebihi 1000 mm / tahun dan rata-rata suhu bulanan
Ada juga banyak endapan di daerah beriklim hangat, semi-kering sampai kering
di Australia tengah dan barat daya dan di Mediterania yang lebih lembap hingga daerah
beriklim sedang di AS (Oregon dan California), Balkan, Turki, dan Ural. Namun, masing-
masing daerah ini dianggap memiliki iklim yang lebih hangat dan lembap (Scotese 2000;
11
Thorne et al. 2012) ketika endapan terbentuk, meskipun pada lintang tinggi (mis.
Australia barat daya). Modifikasi endapan di bawah iklim kemudian umumnya kecil,
seperti presipitasi magnesit dan silika dalam kondisi semi-kering hingga kering di
Australia.
Tidak ada hubungan yang jelas antara iklim dan jenis bijih saat ini, baik itu kadar
atau ukuran sebaran. Meskipun saat ini silikat hidro Mg sangat melimpah di daerah tropis
dan silikat tanah liat di daerah semi-kering, distribusi ini sebagian besar disebabkan oleh
keadaan tektonik, struktural dan geomorfologi, yang mempengaruhi status drainase dan
c) Intensitas Pelapukan
Karena sebagian besar endapan Ni laterit, dan bentang alam tempat mereka
terbentuk, terbentuk dan berevolusi dalam periode yang lama di bawah rezim pelapukan
yang berbeda, kita hanya dapat memperkirakan periode pelapukan yang paling intens,
telah terjadi di Australia utara dan di perisai Amerika Selatan bagian tengah dan Afrika
Barat, tetapi di sana kondisi tropis lembap umumnya berlanjut sepanjang Kenozoikum
(Scotese 2000).
d) Topografi
Nikel laterit terjadi di daerah dengan regolith yang dalam dan sangat lapuk. Ini
menyiratkan pembentukan di medan dengan stabilitas tektonik yang memadai dan relief
yang rendah sehingga tingkat pelapukan melebihi erosi. Keadaan topografi setempat
sangat mempengaruhi sirkulasi air beserta reagen-reagen lain. Untuk daerah yang
landai, maka air akan bergerak perlahan-lahan sehingga akan mempunyai kesempatan
untuk mengadakan penetrasi lebih dalam melalui rekahan-rekahan atau pori-pori batuan
kemiringan sedang, hal ini menerangkan bahwa ketebalan pelapukan mengikuti bentuk
12
topografi. Pada daerah yang curam, secara teoritis, jumlah air yang meluncur (run off)
lebih banyak daripada air yang meresap, sehingga dapat menyebabkan pelapukan
kurang intensif.
yang memiliki nilai ekonomi pada atau di atas kerak bumi, dengan bentuk, kualitas dan
kuantitas tertentu yang memiliki prospek yang beralasan untuk pada akhirnya dapat
semua mineralisasi yang telah dibor atau diambil contonya, terlepas dari kadar
di mana di bawah kondisi keekonomian dan keteknikan yang dapat diasumsikan dan
13
Gambar 2.3 Pengelompokan Sumberdaya Mineral dan Cadangan Bijih (KCMI, 2017).
pengambilan conto yang terbatas. Bukti geologi tersebut memadai untuk menunjukkan
kemenerusan geologinya.
ke terjadian mineral dapat diidentifikasi, dan pengukuran serta percontoan terbatas telah
diselesaikan, dimana data yang diperoleh belum cukup untuk melakukan interpretasi
14
untuk mengharapkan bahwa sebagian besar Sumberdaya Mineral Tereka dapat
untuk perencanaan rinci. Oleh karenanya, tidak ada hubungan langsung dari
Sumberdaya Tereka dengan salah satu kategori pada Cadangan Mineral. Kehati-hatian
harus diterapkan jika kategori ini akan dipertimbangkan dalam studi keteknikan dan
keekonomian.
dimana kuantitas, kadar atau kualitas, kerapatan, bentuk, dan karakteristik fisiknya
dapat diestimasi dengan tingkat keyakinan yang cukup untuk memungkinkan penerapan
evaluasi kelayakan ekonomi cebakan tersebut. Bukti geologi didapatkan dari eksplorasi,
pengambilan conto dan pengujian yang cukup detail dan andal, dan memadai untuk
pengamatan.
dikonversi ke Cadangan Mineral Terkira, tetapi memiliki tingkat keyakinan yang lebih
sifat alamiah, kualitas, jumlah dan distribusi datanya memungkinkan interpretasi yang
15
meyakinkan atas kerangka (model) geologi dan untuk mengasumsikan kemenerusan
mineralisasinya.
kelayakan ekonomi.
mana kuantitas, kadar atau kualitas, kerapatan, bentuk, karakteristik fisiknya dapat
akhir dari kelayakan ekonomi cebakan tersebut. Bukti geologi didapatkan dari eksplorasi,
pengambilan conto dan pengujian yang detail dan andal, dan memadai untuk
pengamatan.
suatu evaluasi kelayakan ekonomi yang memiliki tingkat kepastian lebih tinggi
16
2.3 Geostatistik
antar variabel yang diukur pada titik tertentu dengan variabel yang sama diukur pada
titik dengan jarak tertentu dari titik pertama (data spasial) dan digunakan untuk
mengestimasi parameter di tempat yang tidak diketahui datanya (Oliver dan Carol,
2005).
Sifat khusus dari data spasial ini adalah ketakbebasan dan keheterogenan.
Ketakbebasan disebabkan oleh adanya perhitungan galat pengamatan dan hasil yang
diteliti dalam satu titik ditentukan oleh titik yang lainnya dalam sistem dan
yang terletak di permukaan bumi untuk mengetahui apakah endapan tersebut layak
beberapa jenis dari metode estimasi yang dirancang untuk tujuan yang berbeda-beda
Bagaimanapun juga, tujuan yang paling penting yaitu untuk memprediksi kadar
dan tonase dari material yang akan ditambang. Ada dua situasi penting yang harus
1. Estimasi sementara yaitu estimasi dengan data bor yang memiliki spasi bor yang
lebar. Estimasi dapat dijadikan sebagai acuan untuk menentukan spasi titik bor
2. Estimasi akhir yaitu estimasi yang bertujuan untuk menentukan material ore dan
material waste.
17
Tujuan dari estimasi sementara yaitu untuk memperoleh prediksi tonase dan
kadar dari ore dengan produksi yang besar atau pada periode tertentu. Faktor penting
lainnya adalah akan diperoleh informasi tambahan di masa yang akan datang.
Sedangkan tujuan dari estimasi akhir adalah untuk melakukan estimasi sesuai dengan
nilai yang diharapkan, nilai sebenarnya akan sama dengan nilai estimasi yang
diharapkan.
Secara umum metode estimasi yang digunakan untuk endapan nikel laterit ada
beberapa jenis metode. Metode yang digunakan pada umumnya antara lain metode IDW
(Inverse Distance Weighting), metode poligon / metode AOI (Area of Influence) dan
metode Kriging.
dengan prinsip titik inputnya dapat berupa titik pusat plot yang tersebar secara acak
maupun tersebar merata. Metode bobot inverse distance atau jarak tertimbang terbalik
(IDW) memperkirakan nilai-nilai atribut pada titik-titik yang tidak disampel menggunakan
kombinasi linier dari nilai-nilai sampel tersebut dan ditimbang oleh fungsi terbalik dari
2.4.2 Kriging
dengan IDW yang menggunakan kombinasi linear dari bobot untuk memperkirakan nilai
di antara sampel data. Metode ini dikembangkan oleh D.L. Krige untuk memperkirakan
nilai dari bahan tambang. Asumsi dari model ini adalah jarak dan orientasi antara sampel
18
Metode kriging mempunyai keunggulan dan kelemahan menurut Largueche
(2006), keunggulannya yaitu kemampuan untuk menguantifikasi variansi dari nilai yang
diestimasi sehingga tingkat presisi dari hasil estimasi dapat diketahui. Metode kriging
tetap dapat digunakan meskipun tidak ditemukan korelasi spasial antar data. Kelemahan
lapangan tidak memenuhi kondisi tersebut. Selain itu, semi variogram yang dihitung
untuk suatu himpunan data tidak berlaku untuk himpunan data lainnya. Dengan
demikian estimasi semi variogram akan sulit bila titik sampel yang digunakan tidak
mencukupi.
menginterpolasi suatu kandungan biji emas berdasarkan data sampel. Dari sini kriging
khusus dalam moving average terbobot (weighted moving average) yang meminimalkan
variansi dari hasil estimasi. Kriging menghasilkan best linear unbiased estimator (BLUE)
dari variabel yang ingin diketahui nilainya. Hasil prediksi kriging lebih akurat daripada
metode regresi. Sebab, metode ini mampu membaca error yang berkorelasi, sehingga
Dengan,
si ,si : lokasi untuk estimasi dan salah satu lokasi dari data yang berdekatan,
19
dinyatakan dengan i
λi : faktor bobot
Z (s) diperlakukan sebagai bidang acak dengan suatu komponen trend, m(s)
dan komponen sisa atau error e(s) = (Z)(s)-m(s). Estimasi kriging yang bersifat sisa
pada s sebagai penjumlahan berbobot dari sisa data di sekitarnya. Nilai λi diperoleh dari
2005).
σ2 =var [Ẑ(s)-(Z)(s)]
Tiga pokok dalam estimasi kriging yang bergantung pada model dengan sifat
acak yaitu simple kriging, ordinary kriging, dan universal kriging (Bohling, 2005;
Goovaerts, 1998).
1. Simple Kriging
rata (mean) dari populasi telah diketahui dan bernilai konstan. Pengolahan dari
metode simple kriging adalah dengan cara data spasial yang akan diduga dipartisi
2. Ordinary kriging
dari populasi tidak diketahui, dan pada data spasial tersebut tidak mengandung
20
trend. Selain tidak mengandung trend, data yang digunakan juga tidak
mengandung pencilan.
3. Universal Kriging
Universal kriging merupakan metode kriging yang dapat diaplikasikan pada data
kombinasi linier terbobot dari data yang tersedia untuk proses estimasi (Isaaks and
menghasilkan estimator yang bersifat BLUE. Hal tersebut berarti mempunyai variansi
terkecil dibanding estimator lain. Data yang digunakan pada metode ordinary kriging
merupakan data spasial dengan rata-rata populasi tidak diketahui dan diasumsi bersifat
stasioner.
Bobot ordinary kriging memenuhi sifat tak bias dengan ∑ni=1 λi =1 dengan n
multiplier yang digunakan untuk meminimalkan galat kriging. Nilai bobot ordinary kriging
-1
λ1 γ(s1 ,s1 ) γ(s1 ,s2 ) … γ(s1 ,sn ) 1 γ(s1 ,s0 )
λ2 γ(s2 ,s1 ) γ(s2 ,s2 ) … γ(s2 ,sn ) 1 γ(s2 ,s0 )
⋮ = ⋮ ⋮ ⋱ ⋮ ⋮ ⋮
λn γ(sn ,s1 ) γ(sn ,s2 ) … γ(sn ,sn ) 1 γ(sn ,s0 )
(m) ( 1 1 … 1 0) ( 1 )
Dimana,
γ : semivariogram antara titk (s1…n ,s1..n ) yang terdapat pada jarak sebesar
21
Ordinary kriging berhubungan dengan prediksi spasial dengan 2 asumsi (Cressie,
1990), yaitu:
1. Asumsi Model
2. Asumsi Prediksi
Dimana,
R : bilanganreal
Karena koefisien dari hasil penjumlahan prediksi linier adalah 1 dan memiliki
syarat tak bias maka EẐ(s)=μ= E Z(s)= Z(s), untuk setiap μ ϵ R dan karena Z(s)
merupakan suatu konstanta maka E Z(s)=Z(s) terdapat estimator error e(s), pada setiap
lokasi merupakan perbedaan antara nilai estimasi Ẑ(𝑠) dengan nilai sebenarnya Z(s)
e(s)=Ẑ(s) - Z(s)
Dimana,
Dengan E e(s)=0. Selisih Ẑ(s)- Z(s) disebut dengan galat estimasi atau bias.
22
2. Variansi: var[Ẑ(s)- Z(s)] minimum
E Ẑ(s)=Z(s)
ukuran dari variansi yang digunakan untuk menentukan jarak dimana nilai-nilai data
pengamatan menjadi tidak ada kolerasinya. Estimasi variogram memiliki peran yang
menentukan, misalnya dalam penentuan nilai-nilai optimal dari bobot setiap sampel.
Cara yang paling alami untuk membandingkan dua nilai, Z(x) dan Z(x+h) pada dua poin
x dan x+h pada nilai yang mutlak seharusnya mempertimbangkan nilai rata-rata
1. Range
Range adalah jarak dimana variogram adalah sebuah dataran tinggi atau sebuah
masa stabil (Isaaks dan Srivastava, 1989). Jarak dimana variogram mencapai
nilai sill. Pendapat lain mengemukakan bahwa range adalah jarak antara lokasi-
tidak mengalami suatu kenaikan (Dorsel dan Breche, 1997). Dalam grafik
23
variogram range dinyatakan dengan lambang “a” yaitu jarak pada sumbu
horizontal mulai dari titik nol sampai titik proyeksi perubahan variogram dari
miring ke mendatar. Pada jarak range ini Variabel dipengaruhi oleh posisi. Dalam
batas range, antara nilai Z(s) dengan nilai lain akan terdapat korelasi. Besarnya
korelasi dari satu nilai ke nilai lain akan berkurang sesuai dengan bertambah
2. Sill
Sill adalah masa stabil suatu variogram yang mencapai rangenya disebut dengan
menjadi suatu wilayah yang datar, yakni ragamnya juga tidak mengalami suatu
3. Nugget effect
dari nilai 0 pada pusat ke nilai variogram pada pemisahan jarak terkecil disebut
dengan nugget effect. Rasio nugget effect terhadap sill seringkali disebut sebagai
nugget effect relative dan biasanya dinyatakan dalam persen (Isaaks and
24
C0
Nugget ratio = x 100%
C+C0
sumbu-sumbu jarak yang memisahkan antara dua titik dibagi ke dalam selang- selang
selang dan dipengaruhi oleh metode rata-ratanya. Yang termasuk dalam pengertian
1. Scale
25
2. Dekat dengan Pusat
stationary.
sekitarnya, yakni sill. Sebagai fungsi stationary, sill yang diperoleh akan
dipilih model mana yang memiliki nilai paling kecil, yang nantinya akan digunakan untuk
1. Model Spherical
Model Spherical adalah model yang paling sering digunakan dalam variogram.
adalah bentuk linear dengan kecapatan perubahan slope untuk mencapai sill.
3h h 3
C0 +C [( ) -0,5 ( ) ]
y(h) = { 2a a } h ≤ a dan untuk h > a
C0 +C
Dengan,
26
C0 +C : sill, yaitu nilai semivariogram untuk jarak pada saat besarnya konstan
2. Model exponensial
Model transisi lain yang biasa digunakan adalah model eksponensial yang
ini memiliki lengkungan lebih besar dibandingkan dengan model spherical dan
3h
γ(h)=C0 +C [1-exp (- )]
a
Model Gaussian adalah model transisi yang sering kali digunakan untuk
memodelkan fenomena kontinu yang ekstrim dan juga memberikn sill asimtotik.
2
-3h
γ(h)=C0 +C [1-exp ( )]
a2
4. Model linear
Model linear merupakan model yang tidak mencapai sill. General Linear
27
ISSN: 2302-3333 Jurnal Bina Tambang, Vol.5, No.1
*frusef22@gmail.com
**mgusman1974@gmail.com
153
ISSN: 2302-3333 Jurnal Bina Tambang, Vol.5, No.1
154
ISSN: 2302-3333 Jurnal Bina Tambang, Vol.5, No.1
e. Sumber air adalah tempat atau wadah air jumlah yang terbatas. Dengan demikian batuan ini
alami dan/atau buatan yang terdapat pada, di bersifat semi permeabel. Contoh : pasirlempungan,
atas, ataupun di bawah permukaan tanah. lempungpasiran.
f. Daya air adalah potensi yang terkadung d. Akuiklud yaitu suatu tubuh batuan yang
dalam air dan/atau pada sumber air yang mempunyai susunan sedemikian rupa, sehingga dapat
dapat memberikan manfaat atau pun kerugian menyimpan air, tetapi tidak dapat mengalirkan air dalam
bagi kehidupan dan penghidupan manusia jumlah yang berarti.Dengan demikian batuan ini bersifat
serta lingkungannya. kebal air. Contoh : lempung, lanau, tuf halus, serpih.
Terdapat lima sumber air yang dapat dimanfaatkan e. Akuifug yaitu suatu tubuh batuan yang tidak
bagi kebutuhan kegiatan perkotaan, yaitu: dapat menyimpan dan mengalirkan air. Dengan
a. Air hujan, yaitu air hasil kondensasi uap air demikian batuan ini bersifat kebal air. Contoh: batuan
yang jatuh ke tanah, beku yang kompak dan padat.
b. Air tanah, yaitu air yang mengalir dari mata air,
sumur artesis atau diambil melalui sumur Kapasitas penyimpanan/cadangan air suatu bahan
buatan, ditunjukkan dengan porositas yang merupakan nisbah
c. Air permukaan, yaitu air sungai dan danau, volume rongga (vv) dengan volume total (v),
d. Desalinasi air laut atau air payau/asin, dan
e. Hasil pengolahan air buangan. n= VV x 100% (1)
V
3.2.2 Sifat – Sifat Batuan dan Terjadinya Air Tanah
Keterangan
Air tanah ditemukan pada akifer. Pergerakan air tanah n = persen porositas ( % )
sangat lambat, kecepatan arus berkisar antara 10-10 Vv = volume rongga ( v )
sampai 10-3 m/detik dan dipengaruhi oleh porositas, V = volume total batuan (gas,cair,padat (cm3))
permeabilitas dari lapisan tanah, dan pengisian kembali
air (recharge). Karakteristik utama yang membedakan
air tanah dan air permukaan adalah pergerakan yang
sangat lambat dan waktu tinggal (residence time) yang
sangat lama, dapat mencapai puluhan bahkan ratusan
tahun. Karena pergerakan yang sangat lambat dan waktu
tinggal yang lama tersebut, air tanah akan sulit untuk
pulih kembali jika mengalami pencemaran.
Air tanah adalah air yang bergerak dalam tanah
yang terdapat dalam ruangruang antara butir-butir tanah
dan di dalam retak-retakan dari batuan yang terdahulu
disebut air lapisan dan terakhir disebut air celah
(fissurewater) keberadaan air tanah sangat tergantung Gambar 2. Jenis - jenis rongga batuan
besarnya curah hujan dan besarnya air yang meresap
3.3. Kedalaman (depth)
kedalam tanah. Faktor lain yang mempengaruhi adalah
kondisi litologi (batuan) dan geologi setempat. Kedalaman Air Tanah Faktor-faktor yang menyebabkan
Berdasarkan perlakukan batuan terhadap airtanah, terjadinya perbedaan kedalaman air tanah adalah
maka batuan (sebagai media air) dapat dibedakan sebagai berikut:
menjadi empat. yaitu :
a. Permeabilitas Tanah
a. Akuifer yaitu batuan yang mempunyai susunan Permeabilitas tanah adalah tingkat
sedemikian rupa sehingga dapat menyimpan dan kemampuan lapisan batuan atau kemampuan tanah
mengalirkan air dalam jumlah yang berarti dibawah dalam menyerap air. Hal ini ditentukan oleh besar
kondisi lapangan.Dengan demikian batuan ini berfungsi kecilnya pori-pori batuan penyusun tanah.
sebagai lapisan pembawa air yang bersifat permeabel. Semakin besar pori-pori batuan, semakin banyak
Contoh : pasir, batupasir, kerikil, batugamping dan lava air yang dapat diserap oleh tanah tersebut.
yang berlubang-lubang.
b. Kemiringan Lereng
b. Akuitar yaitu suatu tubuh batuan yang Kemiringan lereng atau topografi curam
mempunyai susunan sedemikian rupa, sehingga dapat menyebabkan air yang lewat sangat cepat sehingga
menyimpan air, tetapi hanya dapat me-ngalirkan dalam air yang meresap sangat sedikit.
jumlah yang terbatas. Dengan demikian batuan ini
bersifat semi permeabel. Contoh : pasirlempungan, 3.4. Sumur bor
lempungpasiran
Konstruksi sumur bor sangat tergantung dari kondisi
c. Akuitar yaitu suatu tubuh batuan yang akuifer serta kualitas air tanah. Oleh sebab itu ada
mempunyai susunan sedemikian rupa, sehingga dapat bermacam-macam jenis konstruksi sumur bor.
menyimpan air, tetapi hanya dapat me-ngalirkan dalam
155
ISSN: 2302-3333 Jurnal Bina Tambang, Vol.5, No.1
(2)
Hubungan TDS dan DHL dapat direpresentasikan dalam
satuan sebagai berikut :
Gambar 3. sumur bor 1μS = 1
S/cm
Untuk mengetahui besarnya debit yang dapat 1S/cm = 1 mho/cm
dihasilkan oleh suatu sumur dilakukan dengan cara uji 1μS/cm = 0,5 ppm
pemompaan. Prinsipnya adalah memompa air tanah dari 1 ppm = 2 μS/cm
sumur dengan debit konstan tertentu dan mengamati
surutan muka air tanah selama pemompaan berlangsung.
3.5.1 Konduktifitas dan Aliran Air
Dari situ dapat dilihat berapa besar kapasitas jenis
sumur, yakni jumlah air yang dapat dihasilkan dalam
satuan volume tertentu apabila muka air di dalam sumur Pengaruh aliran air pada nilai konduktivitas dan
diturunkan dalam satu satuan panjang. Di samping itu salinitas cukup mendasar. Jika inflow merupakan
dari uji pemompaan dapat diketahui juga parameter sumber air tawar, maka akan menurunkan nilai salinitas
akuifer, seperti angka kelulusan. dan konduktivitas. Sumber air tawar meliputi mata air,
lelehan salju, bening, aliran bersih dan air tanah segar.
3.5. Daya Hantar Listrik (DHL) Di sisi lain dari spektrum, aliran air tanah yang sangat
termineralisasi akan meningkatkan konduktivitas dan
Daya hantar listrik adalah bilangan yang menyatakan salinitas.
kemampuan larutan cair untuk menghantarkan arus Tingkat kerusakan kondisi dan lingkungan
listrik. Kemampuan ini tergantung keberadaan ion, total airtanah dapat diketahui dengan analisis kualitasnya
konsentrasi ion, valensi konsentrasi relatif ion dan suhu berdasarkan parameter conductivity (gambaran numerik
saat pengukuran. Makin tinggi konduktivitas dalam air, dari kemampuan air untuk menghantarkan arus listrik
maka air akan terasa payau sampai asin . Besarnya nilai tergantung pada kandungan garam-garam terlarut yang
daya hantar listrik digunakan sebagai indikator tingkat dapat terionisasi dalam air pada temperatur saat
kesuburan perairan. Tingginya daya hantar listrik pengukuran dilakukan. Secara teoritis air laut memiliki
menandakan banyaknya jenis bahan organik dan nilai conductivity yang tinggi karena mengandung
mineral yang masuk sebagai limbah ke perairan. Pada banyak senyawa kimia yang mengakibatkan tingginya
kondisi normal, perairan memiliki nilai DHL berkisar nilai salinitas dan daya hantar listrik. Oleh karena itu,
antara 20 - 1500 µS/cm. Sementara itu, alat yang untuk memprediksi suatu daerah terintrusi air laut dapat
digunakan dalam pengukuran daya hantar listrik adalah dilihat dari pola penyebaran hubungan nilai conductivity
konduktivitimeter. terhadap jarak dari garis pantai. Semakin jauh dari garis
Konduktivitas atau daya hantar listrik (DHL) pantai secara teoritis nilai conductivity semakin kecil.
merupakan ukuran dari kemampuan larutan untuk
menghantarkan arus listrik. Semakin banyak garam- 3.5.2 Konduktivitas dan Tingkat Air
garam terlarut yang dapat terionisasi, semakin tinggi
pula nilai DHL. Selain itu, bilangan valensi dan Konduktivitas air karena fluktuasi tingkat air sering
konsentrasi ion-ion terlarut sangat berpengaruh terhadap langsung terhubung ke aliran air. Fluktuasi
nilai DHL. Asam, basa dan garam merupakan konduktivitas dan salinitas karena perubahan tingkat air
penghantar listrik yang baik, sedangkan bahan organik paling terlihat di muara. Saat air pasang naik, air asin
(sukrosa dan benzene) yang tidak dapat mengalami dari laut didorong ke muara, meningkatkan salinitas dan
disosiasi merupakan penghantar listrik yang jelek . nilai konduktivitas. Ketika air pasang jatuh, air asin
ditarik kembali ke arah lautan, menurunkan
Tabel 1. klasifikasi air tanah berdasarkan DHL konduktivitas dan salinitas.
156
ISSN: 2302-3333 Jurnal Bina Tambang, Vol.5, No.1
setelah turun hujan akan mengakibatkan air sungai 3.7.1 Metode Perhitungan Sumberdaya
maupun kolam kelihatan keruh yang disebabkan oleh
larutnya partikel tersuspensi didalam air, sedangkan Secara umum, pemodelan dan perhitungan sumberdaya
pada musim kemarau air kelihatan berwarna hijau batubara memerlukan data-data dasar sebagai berikut
karena adanya ganggang di dalam air. Konsentrasi Peta topografi, Data dan sebaran titik bor, Peta geologi
kelarutan zat padat ini dalam keadaan normal sangat lokal (meliputi litologi, stratigrafi, dan struktur geologi).
rendah, sehingga tidak kelihatan oleh mata telanjang . a. Statistik Univarian adalah metode statistik
Padatan total adalah bahan yang tersisa setelah air yang digunakan untuk menganalisis hubungan
sampel mengalami evaporasi dan pengeringan pada antar masing-masing data dari suatu populasi
suhu tertentu. tanpa memperhatikan lokasi dari data-data
tersebut.
Tabel 2. Klasifikasi Padatan di Perairan berdasarkan Parameter statistik lainnya yang digunakan untuk
Ukuran Diameter analisis statistik univarian adalah sebagai berikut:
(4)
Keterangan : Md = Median
Bo = Tepi kelas bawah Median
N = Banyak Data
Cf = frekuensi kemulatf kelas
median
F Md = frekuensi kelas Median
Ci = interfal kelas Median
3.7. Ordinary Kriging
III. Modus
Kriging merupakan analisis data geostatistika yang Suatu nilai yang memiliki frekuensi yang terbesar
digunakan untuk mengestimasi besarnya nilai yang atau nilai yang paling banyak muncul dalam suatu
mewakili suatu titik yang tidak tersampel berdasarkan populasi. Modus mungkin ada dan mungkin juga tidak
titik–titik tersampel yang berada di sekitarnya dengan ada.
mempertimbangkan korelasi spasial yang ada dalam
data tersebut. Kriging merupakan suatu metode
interpolasi yang menghasilkan prediksi atau estimasi tak (5)
bias dan memiliki kesalahan minimum. Metode estimasi Keterangan: Mo = Modus
ini menggunakan variogram yang merepresentasikan B Mo = Tepi kelas bawah kelas Modus
perbedaan spasial dan nilai diantara semua pasangan d = Selisih frekuensi kelas Modus
sampel data. Variogram juga menunjukkan bobot yang dengan frekuensi kelas sebelumnya
digunakan dalam interpolasi. d² = Selisih frekuensi kelas Modus
Pada metode Ordinary Kriging, nilai-nilai sampel dengan frekuensi kelas sesudahnya
yang diketahui dijadikan kombinasi linier untuk Ci = Interval kelas Modus
menaksir titik-titik disekitar daerah (lokasi) sampel. Hubungan antara mean, Median dan Modus adalah
Pada Ordinary Kriging, m (s) merupakan mean dari Z (s) untuk mengetahui kemiringan kurva polygon distribusi
yaitu m(s)=E(Z(s)), dimana E(Z(s) )=μ frekuensi data observasi.
157
ISSN: 2302-3333 Jurnal Bina Tambang, Vol.5, No.1
158
ISSN: 2302-3333 Jurnal Bina Tambang, Vol.5, No.1
159
ISSN: 2302-3333 Jurnal Bina Tambang, Vol.5, No.1
160
ISSN: 2302-3333 Jurnal Bina Tambang, Vol.5, No.1
6.2. Saran
Daftar Pustaka
[1] Amri, Hafizul., Putra, Ardian. Estimasi
Pencemaran Air Sumur yang Disebabkan Oleh
Intrusi Air Laut di Daerah Pantai Tiram,
Kecamatan Ulakan Tapakis, Kabupaten Padang
Pariaman. Jurnal Fisika Unand. Vol. 3.
No.4.Oktober 2014. ISSN. 2302-8491 (2014)
[2] Leidonald, Rusdi. Kajian Intrusi Air Laut pada
Sumur Dangkal di Desa Denai Kuala di
Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli
Serdang.Jurnal Manajemen dan Sumberdaya
Perairan USU. (2015)
Gambar 9. regresi linier [3] Afrianita, Reri. dkk. Analisis Intrusi Air Laut
dengan Pengukuran Total Dissolved Solid (TDS)
Pada Gambar sembilan dapat diketahui nilai dari Air Sumur Gali di Kecamatan Padang Utara.
kumpulan data dapat dicari dengan rumus regresi linier Jurnal Teknik Lingkungan UNAND. (2017)
Y=3,0007X+1e+07
161
ISSN: 2302-3333 Jurnal Bina Tambang, Vol.5, No.1
[4] Serikat Negara, R.I. (2004) Undang-Undang [9] Gusman, M., Muchtar, B., N., Akbar, M.D., and Deni,
Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air A.V. Estimasion Of Limestones Using Three Dimension
[5] Indriastoni, Rendi Novi. Intrusi Air Laut Terhadap Block Kriging Method, a Case Study : Limestone
Kualitas Air Tanah Dangkal di Kota Sawahlunto. Sediment at PT Semen Padang. IOP Conf. Series: Earth
[6] Sihwanto, Satriyo. 1991. Metode Penentuan Penyebab and EnvironmentalScience 314 (2019)
Keasinan Air Tanah : Studi Kasus Daerah Dataran 012069,2019,pp.1-10
Pantai Dumai, Riau[Kumpulan Makalah Ikatan Ahli [10] Machbub, B. 2004. Pengelolaan Kualitas Lingkungan
Geologi Indonesia]. Bandung(ID). Hal 26-40 Daerah Aliran Sungai (DAS) untuk Menunjang
[7] Widada S. 2007 . Gejala Intrusi Air Laut di Daerah Pembangunan yang Berkelanjutan. Jurnal Lingkungan
Pantai Kota Pekalongan. Jurnal Ilmu Kelautan ISSN dan Pembangunan : Vol. 24(2) : 137-157.
0853-7291. 12(1): 45-52. [11] Husni mubarak kurnia zein, A. 2012 “Sebaran TDS,
[8] Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Daerah Aliran Sungai. DHL, Penurunan Muka Airtanah dan Prediksi Intrusi Air
Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Laut di Kota Tangerang Selatan” bogor Agritucutural
University(2012).
162
PROMINE, Juni 2020, Vol. 8 (1), Halaman 34 - 39
Abstrak
Penambangan secara inkonvensional masih menjadi pilihan masyarakat Pulau Bangka. Salah satu
lokasi di Pulau Bangka yang masih melakukan aktivitas penambangan timah darat dengan skala kecil
atau skala rakyat adalah Bukit Sambung Giri, Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka. Dengan
mengetahui pola distribusi penyebaran mineral ikutan timah akan memberikan gambaran umum yang
dapat mencegah dan meminimalisir kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan
penambangan. Interpolasi penyebaran mineral ikutan timah (Sn) seperti zirkon (Zr) dan hematit
(Fe2O3) menggunakan semivariogram anisotropik dalam metode Orinary Kriging mempengaruhi pola
penyebaran masing-masing mineral tersebut. Hal ini dapat terlihat berdasarkan pencocokan model
semivariogram teoritis yang menghasilkan model yang berbeda-beda. Model yang lebih cocok untuk
mineral hematit dan zirkon adalah eksponensial, sedangkan timah menggunakan model Gaussian.
Berdasarkan hasil dari metode Ordinary Kriging,diperoleh bahwa pola penyebaran ketiga mineral
tersebut berada pada arah timur sekitar Bukit Sambung Giri. Perkiraan pola penyebaran ketiga
mineral ini, memberikan gambaran umum yang dapat meminimalisir kerusakan lingkungan akibat
kegiatan penambangan di Bukit Sambung Giri.
Abstract
Unconventional mining is still the choice of the people of Bangka Island. One of the locations on the
Bangka islands that still conduct tin mining activities on a small scale or community scale is Sambung
Giri Hill, Merawang District, Bangka Regency. Based on understanding distribution patterns of the
mineral will provide a general description that can prevent and minimize damage caused by mining
activities. Interpolation of Tin (Sn), zircon (Zr) and hematite (Fe2O3) using anisotropic semivariogram
in the Ordinary Kriging method uses the distribution pattern of each of these minerals. In this method
uses the best anisotropic semivariogram model of each mineral. Models that are more suitable for
hematite and zircon minerals are exponential, whereas tin uses the Gaussian model. Based on the
results of the Ordinary Kriging method, the mineral distribution pattern was obtained in accordance
with the east direction around the Sambung Giri Hill. The estimated pattern of mineral distribution,
provides a general description that can minimize environmental damage due to mining activities in
Sambung Giri Hill.
1. Pendahuluan
Pulau Bangka dan Belitung dikenal sebagai menyebutkan bahwa Pulau Bangka dan Belitung
daerah penghasil timah (Sn) terbesar di pernah tercatat dalam sejarah sebagai penghasil
Indonesia dan merupakan bagian dari jalur timah terbesar di dunia. Komoditi timah pada
mineralisasi logam di Indonesia bagian barat. masa lalu pernah menjadi penyumbang devisa
Kegiatan penambangan di Pulau Bangka sudah yang signifikan bagi Indonesia. Penemuan
dimulai pada tahun 1711 sedangkan di Pulau sumberdaya mineral bijih timah yang berlimpah
Belitung telah dimulai sejak Tahun 1852 dan di Pulau Bangka dan Belitung sangat
berlangsung sejak zaman Belanda sampai berhubungan erat dari posisi strategis geologi
sekarang (Susanto, 2015). Menurut Cobbing Pulau Bangka dan Belitung yang terbentuk pada
(2005) dalam Irvani dan Elsha (2018) juga Sabuk Timah Asia Tenggara.
34
PROMINE, Juni 2020, Vol. 8 (1), Halaman 34 - 39
Praktek penambangan timah telah menjadi Gaussian, spherikal) dipilih salah satu model
aktivitas keseharian bagi masyarakat di Pulau semivariogram terbaik untuk mengestimasi curah
Bangka Belitung yang dilakukan dengan hujan di Kota Semarang (Bahtiyar dkk., 2014).
penambangan lepas pantai (perusahaan Pendekatan semivariogram dan Metode
mengoperasionalkan armada kapal keruk untuk Ordinary Kriging juga telah dilakukan oleh
operasi produksi di daerah lepas pantai (off Guskarnali (2016) dalam mengestimasi
shore)) dan penambangan timah darat-gravel sumberdaya bijih besi (Fe) pada daerah Tanjung
pump (prosesnya dilakukan menggunakan Buli Kabupaten Halmahera Timur. Dimana, hasil
pompa semprot (gravel-pump)) (Susanto, 2015). model penaksiran sumberdaya kadar bijih besi
Penambangan secara inkonvensional pun (Fe) menunjukkan pola penyebaran yang tinggi
masih menjadi pilihan masyarakat Pulau Bangka. yakni diatas14,40% dan tersebar secara acak
Salah satu lokasi di Pulau Bangka yang masih (bervariasi). Metode yang sama juga dilakukan
melakukan aktivitas penambangan timah darat oleh Amelia dan Guskarnali (2017) dalam
dengan skala kecil atau skala rakyat adalah Bukit memperkirakan data Composite Jumlah
Sambung Giri, Kecamatan Merawang, Hambatan Lekat pada data tanah. Kemudian,
Kabupaten Bangka. metode yang sama juga dilakukan untuk
Bukit Sambung Giri memiliki catatan geologi menentukan arah penambangan yang
sebagai salah satu lokasi pembentukan timah berorientasi lingkungan menggunakan metode
primer di Pulau Bangka. Pada kawasan Bukit Ordinary Kriging di Bukit Sambung Giri,
Sambung Giri terdapat aktivitas penambangan Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka.
bijih timah primer pada bagian tubuh atas dan Dimana, data yang digunakan adalah mineral
lereng bukit dengan skala kecil, dan pada bagian yang terkandung didalam kasiterit hasil dari
bawah bukit terdapat penambangan timah secara penambangan timah (Amelia dkk. 2019). Ketiga
inkonvesional yang juga dilakukan pada skala penelitian tersebut menggunakan semivariogram
kecil. Bijih timah menjadi daya tarik bagi para isotropik yang selanjutnya model hasil
penambang untuk datang dari berbagai daerah semivariogram isotropik tersebut digunakan
sekitarnya (Mardiah dan Irvani, 2018). untuk mengestimasi nilai yang dicari
Ketertarikan tersebut juga sebabkan oleh menggunakan metode Ordinary Kriging.
adanya mineral-mineral lain yang ditemukan atau Berbeda dengan penelitian yang dilakukan
terikutsertakan bersamaan dengan oleh Sari dan Neswan (2015) yang menuliskan
penambangan timah. Mineral-mineral tersebut bahwa pemodelan semivariogram anisotropik
disebut sebagai mineral ikutan. Dimana, mineral- dapat diaplikasikan dalam industri perminyakan,
mineral ikutan dari hasil penambangan ini dengan studi kasus produksi minyak di lapangan
memiliki nilai yang ekonomis. Adapun jenis-jenis Jatibarang. Dalam tiga model semivariogram
mineral ikutan tersebut seperti: kalsium, hematit, yaitu eksponensial, Gaussian dan spherikal,
titanium, zirkonium dan mineral ikutan lainnya. peningkatan sudut pada semivariogram
Namun, efek dari penambangan darat ini anisotropik memberikan pengaruh yang berbeda
mengakibatkan terbentuknya lubang bekas untuk fungsi rentang dan pergeseran nilai
penambangan timah (lubang camuy atau kulong) semivariogram.
di kawasan Bukit Sambung Giri. Lama kelamaan Selanjutnya Carol dkk., (2017) menggunakan
hal ini dapat mengakibatkan kerusakan metodologi interpolasi kriging anisotropik dan
lingkungan yang berakibat fatal jika terus- isotropik. Dimana, kriging anisotropik digunakan
menerus dibiarkan tanpa adanya reklamasi. dalam menginterpolasi kecepatan angin,
Untuk itu, penting untuk mengetahui perkiraan memperhitungkan arah dan tren kecepatan
pola penyebaran dari mineral tersebut agar angin dipermukaan yang heterogen.
penambangan dapat dilakukan dengan cara dan Penulisan artikel ini juga merupakan lanjutan
arah yang tepat. Dengan mengetahui pola dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya
distribusi penyebaran mineral biji timah, akan di Bukit Sambung Giri Kecamatan Merawang.
memberikan gambaran umum kegiatan Adapun penelitian sebelumnya adalah
penambangan yang dapat mencegah kerusakan mengetahui arah penambangan yang
lingkungan. Sehingga kerusakan lingkungan berorientasi lingkungan dengan Metode Ordinary
yang disebabkan oleh kegiatan penambangan Kriging yang menggunakan pendekatan
dapat diminimalisir (Amelia dkk., 2019). semivariogram isotropik (berdasarkan dari jarak
Pola distribusi penyebaran mineral ikutan pengamatan). Namun, kali ini akan dilanjutkan
timah dalam dilakukan dengan pendekatan dengan melihat data dari perspektif
metode ordinary kriging. Metode Ordinary Kriging semivariogram anisotropik (berdasarkan dari
dalam mengsestimasi curah hujan di Kota jarak dan arah pengamatan). Harapannya,
Semarang. Menggunakan variogram dengan mengetahui pola penyebaran mineral
eksperimental yang dibandingkan dengan ikutan timah berdasarkan jarak dan arah dapat
beberapa variogram teoritis (eksponensial,
meminimalisir kerusakan lingkungan akibat mengetahui kandungan unsur yang ada di setiap
kegiatan penambangan. lokasi.
Berdasarkan hasil pengujian tersebut terdapat
2. Metode dua puluh dua mineral yang terdeteksi
Data yang digunakan pada penelitian ini menggunakan XRF tersebut. Namun, yang
diambil pada sekitar Bukit Sambung Giri, Desa digunakan dalam penelitian ini adalah Timah (Sn),
Jurung, Kecamatan Merawang, Kabupaten Zirkon (Zr) dan Hematit (Fe2O3). Pemilihan
Bangka (lihat Gambar 1). Terdapat dua puluh mineral ini didasarkan bahwa ketiganya memiliki
enam data sampel yang kemudian diuji nilai ekonomis baik dari hasil penambangan legal
menggunakan X-Ray Fluorescence (XRF) untuk maupun penambangan illegal.
Gambar 1. Dua puluh enam data sampel penelitian di Bukit Sambung Giri, Desa Jurung,
Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka.
Adapun tahapan dalam penelitian ini adalah: dengan d adalah jarak, z(si) merupakan nilai
a. Menentukan Statistika Deskriptif observasi pada lokasi-lokasi sampel dan N(d)
Dalam hal ini, statistika seskriptif digunakan adalah nilai banyaknya pasangan data yang
untuk menganalisis dan meninterpretasikan berjarak d. Terdapat tiga parameter yang ada
penyebaran data timah (Sn), zirkon (Zr) dan pada semivariogram yaitu: sill (C), nugget effect
hematit (Fe2O3). Kemudian, berdasarkan analisis (C0), dan range (a). Jika parameter tersebut
statistika deskriptif ini dapat diketahui distribusi menunjukan nilai yang berbeda untuk setiap arah
penyebaran data, koefisien variasi dan maka fenomena ini disebut semivariogram
sebagainya. (Amelia dkk., 2019). semivariogram anisotropik. Hal ini dikarenakan
b. Semivariogram Anisotropik semivariogram anisotropik tidak hanya
Semivariogram bertujuan untuk mengetahui bergantung pada jarak saja tetapi juga
korelasi spasial antar lokasi yang terpisahkan bergantung pada arah antar pasangan lokasi.
oleh jarak tertentu. Jika data observasi diketahui, Dimana, semivariogram anistropik diukur dalam
0 0 0 0
maka dapat menggunakan semivariogram empat sudut yaitu 0 , 45 , 90 dan 135 .
eksperimental: c. Model Semivariogram yang terbaik
1 N (d ) Dalam menentukan model semivariogram
ˆ (d )
2( N (d )) i j ,i 1
[ z ( si d ) z ( si )]2 (1) yang terbaik, dapat menggunakan
semivariogram eksperimental yang kemudian
akan dicocokkan dengan model semivariogram
Secara visual, hal ini juga terlihat dari fit sudut dalam setiap model semivariogram
model semivariogram eksperimental dengan menunjukkan bahwa model yang cocok adalah
semivariogram teoritis pada Gambar 1. Pada model eksponensial untuk mineral hematit dan
setiap model semivariogram diukur dalam empat zirkon (Gambar 1.a dan 1.c) serta model
0 0 0 0
sudut 0 , 45 , 90 dan 135 . Masing-masing Gaussian untuk timah (Gambar 1.b). Sehingga,
Gambar 2. Semivariogram teoritis untuk (a) model eksponensial dari mineral Hematit (Fe2O3); (b)
model Gaussian untuk Timah (Sn); and (c) model eksponensial untuk Zirkon (Zr)
U U U
Gambar 3. Pola penyebaran mineral ikutan timah: (a) Hematite (Fe2O3); (b) Timah (Sn); and (c) Zirkon
(Zr) pada lokasi Bukit Sambung Giri, Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka dengan
menggunakan metode Ordinary Kriging (OK).
Abstrak
Tambang batugamping diperlukan untuk memenuhi kebutuhan komponen kalsium karbonat (CaCO3)
dan tambang tanah liat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan komponen alumina (Al2O3) dan silika
(SiO2). Daerah penelitian di tambang tanah liat PT Semen Indonesia (Persero) Tbk di Kabupaten
Rembang, tersusun oleh beberapa jenis litologi yang berbeda, sehingga memerlukan penelitian ini
mengetahui pengaruh variasi litologi terhadap kualitas kimia batuan sebagai bahan campuran semen
berdasarkan standar perusahaan. Metode yang dilakukan mencakup observasi lapangan, pengambilan
sampel batuan, uji laboratorium berupa X-Ray Fluorescence (XRF), dan pengamatan petrografi. Tujuan
dilakukanya penelitian yaitu untuk mengetahui jenis dan persebaran litologi, mengetahui persebaran
kadar kimia (Al2O3, SiO2, dan SO3), mengetahui kaitan jenis litologi dengan kadar kimia, dan
menentukan area dengan litologi yang memenuhi standar bahan campuran semen di daerah penelitian.
Lokasi penelitian tersusun oleh 4 jenis satuan litologi yang termasuk dalam Formasi Ngrayong, yaitu
Satuan Batupasir Kuning, Satuan Batulanau, Satuan Batulempung, dan Satuan Batupasir Cokelat.
Satuan batuan yang memenuhi standar kualitas kimia bahan campuran semen adalah Satuan
Batulempung dan Satuan Batupasir Cokelat, dan satuan yang tidak memenuhi standar adalah Satuan
Batulanau dan Satuan Batupasir Kuning.
Kata kunci: Batugamping; Formasi Ngrayong; Rembang; semen; tanah liat; XRF.
Abstract
Limestone is needed to fulfill lime (CaCO3) content, and clay is needed to fulfill alumina (Al2O3) and
silica (SiO2) content. Research area, located at PT Semen Indonesia (Persero) Tbk clay mine in
Rembang Regency, is composed of several different lithology types, so it is necessary to determine the
relation of chemical quality of rock to the lithology variation. The methods conducted include field
observations, X-Ray Fluorescence (XRF) test and petrographic analysis. The aim of this research is to
determine lithology and its distribution, to map the distribution of chemical composition (Al2O3, SiO2,
dan SO3), to determine the correlation of lithology and chemical composition and map the qualified
lithology for cement mixture. The research area is composed of 4 types of lithology units included in the
Ngrayong Formation, namely Yellow Sandstone Units, Siltstone Units, Claystone Units, and Brown
Sandstone Units. Rock units that meet the chemical quality standards of cement mixture are Claystone
Units and Brown Sandstone Units, and units that do not meet the standards are Siltstone Units and
Yellow Sandstone Units.
*
Korespondensi: charlottetiffany@students.undip.ac.id
Jurnal Geosains dan Teknologi
Volume 3 no. 2, Juli 2020
(Persero) Tbk tergolong baru sehingga informasi dengan kadar kimia, dan mengetahui area dengan
terkait kualitas bahan baku semen yang ada pada litologi yang memenuhi standar sebagai bahan
tambang tersebut masih sedikit dan data hasil campuran semen.
eksplorasi yang dimiliki belum mendetail.
Khususnya pada tambang tanah liat yang Geologi Regional
memiliki jenis litologi yang cukup bervariasi, Peta geologi regional area tambang PT Semen
diperlukan adanya penelitian lebih lanjut terkait Indonesia (Persero) Tbk di Kabupaten Rembang
kualitas sebagai bahan campuran semen yang dapat dilihat pada Gambar 2 dengan Izin Usaha
dipengaruhi oleh perbedaan jenis litologi, Pertambangan (IUP) batugamping berada pada
sehingga didapatkan rekomendasi area daerah yang tersusun oleh satu formasi, yaitu
penambangan sesuai standar kualitas kimia yang Formasi Paciran. Formasi Paciran terdiri dari satu
dibutuhkan. jenis litologi, yaitu batugamping masif bersifat
Penelitian dilakukan pada area tambang dolomitan, mengandung koral algae dan
terbuka tanah liat PT Semen Indonesia (Persero) foraminifera (terumbu) (Firmansyah dan Dewi,
Tbk di Desa Kajar, Kecamatan Gunem, 2014). IUP tanah liat dan daerah penelitian
Kabupaten Rembang, Jawa Tengah (Gambar 1). tersusun oleh satu formasi, yaitu Formasi
Tujuan dilakukanya penelitian yaitu untuk Ngrayong. Formasi Ngrayong terdiri dari 5 jenis
mengetahui jenis litologi serta persebarannya di litologi, yaitu batupasir, serpih, batulempung,
area penelitian, mengetahui persebaran kadar batulanau, dan batubara. Formasi Ngrayong
kimia (Al2O3, SiO2, dan SO3) di daerah diendapkan pada Miosen Awal sampai Miosen
penelitian, mengetahui kaitan jenis litologi Tengah (Pardosi dan Solihin, 2018).
97
Jurnal Geosains dan Teknologi
Volume 3 no. 2, Juli 2020
Abdillah (2012) menyebutkan bahwa terdapat menyusun sekitar 5-10% klinker semen portland
4 satuan litologi pada Formasi Ngrayong yang biasa. Senyawa ini melepaskan panas yang
ditemukan di daerah Tempuran Blora. Satuan banyak ketika tahap awal hidrasi, tetapi memiliki
litologi tersebut yaitu batulanau sisipan pasir sedikit kontribusi dalam penguatan semen.
yang diendapkan pada fasies delta plain, Gipsum memperlambat hidrasi senyawa ini.
batupasir sisipan lanau (terdapat sisipan material Semen yang rendah C3A resisten terhadap sulfat.
karbon) yang diendapkan pada fasies distributary Ferrite atau tetrakalsium aluminoferrit
mouth bar, batupasir diendapkan pada fasies (C4AF), menyusun sekitar 5-15% klinker semen
backshore, dan batugamping klastik diendapkan portland biasa. Senyawa ini merupakan agen
di shallow marine. “fluxing” yang mengurangi temperatur bahan
mentah dalam kiln dari 3000°F ke 2600°F.
Komposisi Kimia Semen Portland Terhidrasi dengan cepat, namun tidak
Oksida saling berinteraksi dan membentuk berkontribusi banyak terhadap kekuatan semen.
senyawa yang lebih kompleks. Semen portland Standar Kualitas Bahan Baku Semen
tersusun oleh empat senyawa kimia dasar yaitu Menurut Labahn (1983), untuk memproduksi
belite, alite, aluminate, dan ferrite (Aldieb dan semen diperlukan campuran bahan baku yang
Ibrahim, 2010). komposisi kimianya sesuai dengan batas-batas
Belite atau dikalsium silikat (C2S), menyusun tertentu. Produksi semen dengan kualitas tinggi
sekitar 15-30% klinker semen portland biasa. yang berkelanjutan hanya memungkinkan jika
Senyawa ini terhidrasi dan mengeras secara campuran bahan baku memiliki komposisi
perlahan. Sangat berperan pada penguatan semen optimal. Batas nilai komposisi bahan baku dapat
setelah 1 minggu. dilihat pada Tabel 2 yang umumnya digunakan
Alite atau trikalsium silikat (C3S), merupakan pabrik semen. Standar komposisi kimia Semen
komponen yang paling penting, menyusun sekitar Portland yang dikeluarkan oleh Badan
50-70% klinker semen portland biasa. Senyawa Standarisasi Nasional (2004), dapat dilihat pada
ini sangat cepat terhidrasi dan megeras. Sangat Tabel 2. Klasifikasi oksida yang digunakan oleh
berperan pada initial set dan penguatan awal laboratorium pabrik PT Semen Gresik Rembang
semen. untuk bahan-bahan yang didapatkan dari
Aluminate atau trikalsium aluminat (C3A), tambang tanah liat dapat dilihat pada Tabel 3.
98
Jurnal Geosains dan Teknologi
Volume 3 no. 2, Juli 2020
Tabel 1. Standar komposisi kimia Semen Portland (Badan Standarisasi Nasional, 2004)
Jenis Semen Portland
Uraian
I II III IV V
SiO2 minimum - 20,0 - - -
Al2O3 maksimum - 6,0 - - -
Fe2O3 maksimum - 6,0 - 6,5 -
MgO maksimum 6,0 6,0 6,0 6,0 6,0
SO3 maksimum
Jika C3A ≤ 8,0 3,0 3,0 3,5 2,3 2,3
Jika C3A > 8,0 3,5 - 4,5 - -
Hilang pijar, maksimum 5,0 3,0 3,0 2,5 3,0
Bagian tak larut, maksimum 3,0 1,5 1,5 1,5 1,5
C3S, maksimum - - - 35 -
C2S, minimum - - - 40 -
C3A, maksimum - 8,0 15 7 5
C4AF + 2 C3A atau - - - - 25
C4AF + C2F maksimum
99
Jurnal Geosains dan Teknologi
Volume 3 no. 2, Juli 2020
ditemukan di lapangan memiliki derajat Satuan Batulanau terdiri dari 3 litologi, yaitu
pelapukan tingkat III (lapuk sedang). Litologi ini batulanau, batubara, dan batupasir. Kondisi
secara megaskopis memiliki struktur masif, singkapan yang ditemukan di lapangan memiliki
tekstur berwarna kuning keputih-putihan, ukuran derajat pelapukan tingkat II (lapuk ringan).
butir pasir sangat halus – pasir sedang, kemas Secara megaskopis batulanau memiliki tekstur
tertutup, serta sortasi yang tergolong well-sorted. berwarna hitam dan berukuran butir lanau.
Sementasi batuan ini non-karbonatan. Strukturnya sebagian masif, di beberapa tempat
Pengamatan petrografi sayatan tipis sampel dijumpai laminasi, serta ichnofossil berupa
dari Batupasir Kuning menunjukkan struktur burrowing. Semennya non-karbonatan dan
masif, tekstur berupa ukuran butir <1/256 – ¼ dijumpai mineral pirit baik yang terdiseminasi
mm, sortasi sedang, dan kemas terbuka. Dijumpai maupun terkonsentrasi menyelimuti nodul.
mineral kuarsa (45%), mineral lempung (50%), Batubara dijumpai dengan ketebalan kurang lebih
mineral opak (5%) (Gambar 4). Berdasarkan 5 mm, berwarna hitam, memiliki densitas yang
komposisi tersebut, batuan ini termasuk Quartz sangat ringan dan sangat rapuh. Batupasir
Wacke (Pettijohn, 1975). dijumpaidengan ketebalan 5-10 mm, berwarna
Kuarsa
Lempung
Gambar 4. Batupasir dari Satuan Batupasir Kuning di STA 17 polarisator sejajar (kiri), polarisator tegak lurus
(kanan)
100
Jurnal Geosains dan Teknologi
Volume 3 no. 2, Juli 2020
abu-abu dengan ukuran butir pasir sangat halus – menunjukkan ukuran butir <1/256 mm, sortasi
pasir halus. baik, dan kemas tertutup. Komposisi penyusun
Berdasarkan pengamatan petrografi sayatan terdiri dari kuarsa (3%), mineral lempung (82%),
tipis batulanau, diketahui bahwa ukuran butir mineral opak (15%). Berdasarkan komposisi,
<1/256 – 1/6 mm, sortasi sedang, dan kemas batuan ini termasuk Mudrock (Pettijohn, 1975).
terbuka. Dijumpai mineral kuarsa (20%), mineral Satuan Batupasir Cokelat terdiri dari satu
lempung (73%), dan mineral opak (7%) (Gambar litologi yaitu batupasir. Kondisi singkapan yang
5). Berdasarkan komposisi tersebut, batuan ini ditemukan di lapangan memiliki derajat
diklasifikasikan Mudrock (Pettijohn, 1975). pelapukan tingkat II (lapuk ringan). Litologi ini
Satuan Batulempung terdiri dari dua litologi secara megaskopis memiliki struktur masif
yaitu batulempung dan batupasir. Kondisi dengan tekstur berwarna cokelat keabuan, ukuran
singkapan yang ditemukan di lapangan memiliki butir pasir sedang, kemas tertutup, dengan sortasi
derajat pelapukan tingkat III (lapuk sedang). tergolong well-sorted, sementasi non-karbonatan.
Secara megaskopis batulempung memiliki Pada litologi ini juga ditemukan pecahan-
tekstur berwarna abu-abu kemerahan dan ukuran pecahan batubara berukuran ± 1 cm. Hasil
butir lempung. Strukturnya masif dan di beberapa pengamatan petrografi sayatan tipis batupasir
tempat ditemui struktur sedimen berupa laminasi. dijumpai mineral kuarsa (30%), mineral lempung
Semen batuan ini non-karbonatan. Batupasir (69%), mineral opak (1%) (Gambar 6).
berwarna kuning kecoklatan ditemukan dengan Berdasarkan komposisi tersebut, batuan ini
ketebalan 1-5 mm dengan struktur laminasi. termasuk Quartz Wacke (Pettijohn, 1975).
Hasil pengamatan petrografi batulempung
Lempung
Gambar 5. Batulanau dari Satuan Batulanau di STA 2 polarisator sejajar (kiri), polarisator tegak lurus (kanan)
Lempung
Lempung
Opak Opak
Kuarsa
Gambar 6. Batupasir dari Satuan Batupasir Cokelat di STA 10 polarisator sejajar (kiri), polarisator tegak lurus
(kanan)
101
Jurnal Geosains dan Teknologi
Volume 3 no. 2, Juli 2020
Persebaran Kadar Kimia Tabel 4.1 Kisaran kadar kimia satuan batuan di
Persebaran titik sampel dapat dilihat pada daerah penelitian
Gambar 4.14. Sebelum data kadar kimia Al2O3 SiO2
Litologi SO3 (%)
diinterpolasi, terlebih dahulu mengatur (%) (%)
variogram data yang dimiliki untuk Batupasir
12-16 62-82 0,5-1,5
meningkatkan akurasi prediksi interpolasi. Kuning
Variogram dilakukan dengan membuat grafik Batulanau 18-22 50-60 1-3,25
sesuai dengan trend data yang dimiliki. Setelah Batulempung 18-26 50-68 0-1,5
membuat variogram, data diinterpolasi dengan Batupasir
15-21 60-80 0-0,5
metode kriging. Hasil interpolasi yang diperoleh Cokelat
dari metode kriging secara visual lebih baik
dibandingkan dengan metode lainnya. kejinggaan hingga merah memiliki kadar SiO2
Hasil interpolasi kadar Al2O3 dapat dilihat yang tinggi (high silica) yaitu di atas 70%.
pada Gambar 4.15. Dari hasil interpolasi kadar Hasil interpolasi kadar SO3 dapat dilihat pada
Al2O3, dapat diketahui bahwa daerah yang Gambar 4.17. Dari hasil interpolasi kadar SO3,
berwarna merah hingga jingga memiliki dapat diketahui bahwa daerah yang berwarna
komposisi Al2O3 yang rendah (low alumina) putih hingga jingga kekuningan memiliki
yaitu di bawah 16,5%, sedangkan daerah yang komposisi SO3 yang rendah (low sulphur) yaitu
berwarna jingga kekuningan hingga kuning di bawah 1%, daerah yang berwarna jingga
keputihan memiliki komposisi Al2O3 yang tinggi kekuningan hingga jingga memiliki komposisi
(high alumina) yaitu di atas 16,5%. SO3 menengah (medium sulphur) yaitu di antara
Hasil interpolasi kadar SiO2 dapat dilihat pada 1% - 2,5%, dan daerah yang berwarna jingga
Gambar 4.16. Dari hasil interpolasi kadar SiO2, hingga merah memiliki kadar SO3 yang tinggi
dapat diketahui bahwa daerah yang berwarna (high sulphur) yaitu di atas 2,5%.
hijau tua kebiruan hingga hijau memiliki kadar
SiO2 yang rendah (low silica) yaitu di bawah PEMBAHASAN
65%, daerah yang berwarna hijau muda hingga Kaitan Jenis Batuan Dengan Kadar Kimia
kuning kejinggaan memiliki kadar SiO2 Distribusi kadar kimia masing-masing litologi,
menengah (medium silica) yaitu di antara 65% - dilakukan overlay antara peta kontur kadar kimia
70%, dan daerah yang berwarna kuning dengan batas litologi yang hasilnya dapat dilihat
102
Jurnal Geosains dan Teknologi
Volume 3 no. 2, Juli 2020
pada Gambar 7, Gambar 8, dan Gambar 9. dari hasil pelapukan, erosi, dan transportasi
Rekapitulasi kisaran kadar kimia masing- masing batuan induk feldspatik. Akibat proses tersebut,
satuan batuan dari hasil interpolasi kadar kimia mineral penyusun batuan induk feldspatik yang
dapat dilihat pada Tabel 4.1. memiliki komposisi Al2O3 menjadi berukuran
Batuan yang memiliki kadar Al2O3 tinggi dan sangat halus sehingga lebih banyak terakumulasi
paling dominan adalah batulempung, disusul dan terendapkan pada daerah dengan energi
dengan satuan batulanau, batupasir cokelat, dan pengendapan yang sangat rendah, oleh karena itu
batupasir kuning. Jika dilihat dari tekstur satuan komposisi Al2O3 akan lebih banyak dijumpai
batuan tersebut, semakin halus ukuran butirnya pada batulempung yang memiliki ukuran butir
maka semakin besar kadar Al2O3. Komposisi sangat halus.
Al2O3 pada batuan sedimen silisiklastik berasal
103
Jurnal Geosains dan Teknologi
Volume 3 no. 2, Juli 2020
Batuan yang memiliki kadar SiO2 tinggi dan Kualitas Batuan Sebagai Bahan Campuran
paling dominan adalah batupasir kuning, disusul Semen
dengan batupasir cokelat, batulanau dan Penentuan kualifikasi satuan batuan untuk
batulempung. Komposisi SiO2 pada batuan menjadi bahan campuran semen mengacu kepada
sedimen silisiklastik berasal dari hasil pelapukan, standar pada Tabel 3. Batupasir Kuning memiliki
erosi, dan transportasi mineral kuarsa yang kadar Al2O3 12%-16%, SiO2 62%-82%, dan
terbentuk dari magma yang kaya akan silika. SO3 0,5%-1,5%, sehingga tidak dapat digunakan
Mineral kuarsa merupakan mineral yang sebagai bahan campuran semen. Satuan ini
memiliki sifat paling stabil, dan paling banyak membutuhkan bahan korektif yang lebih banyak
membentuk butiran pasir. Oleh karena itu, untuk dapat digunakan sebagai bahan campuran
mineral kuarsa banyak ditemukan pada batuan semen di tahap awal, dampaknya adalah
sedimen berukuran pasir yang terakumulasi dan peningkatan biaya produksi.
terendapkan pada daerah dengan energi Batulanau memiliki kadar Al2O3 18%-22%,
pengendapan sedang. SiO2 50%-60%, dan SO3 1%-3,25%. sehingga
Batuan yang memiliki kadar SO3 tinggi dan tidak dapat digunakan sebagai bahan campuran
paling dominan adalah batulanau, disusul dengan semen karena memiliki kadar sulfur yang
batupasir kuning, batulempung, dan batupasir dominan melebihi batas yang ditentukan.
cokelat. Komposisi SO3 pada batuan sedimen Batulanau ini akan berpengaruh pada penurunan
silisiklastik berasal dari mineral pirit yang kinerja alat produksi terutama kiln, karena akan
terbentuk akibat proses kimia di lingkungan mempercepat pembentukan coating di seluruh
pengendapan transisi hingga laut. Pada satuan sisinya.
batulanau yang ditemukan di lapangan terdapat Batulempung memiliki kadar Al2O3 18%-
komposisi mineral pirit baik yang terdiseminasi 26%, SiO2 50%-68%, dan SO3 0%-1,5% yang
atau terkonsentrasi mengelilingi nodul oksida dapat digunakan sebagai bahan campuran semen
besi. Mineral pirit dapat terbentuk akibat dengan memperhatikan kadar SiO2.
senyawa sulfat yang banyak terdapat pada air laut Batulempung dengan kadar SiO2 kurang dari
bereaksi dengan ion besi yang dibawa oleh air 65% dapat dikoreksi dengan pasir kuarsa pada
sungai, dibantu oleh aktivitas bakteri. Dapat tahap pencampuran di Raw Mill. Batupasir
disimpulkan bahwa pada batuan sedimen Cokelat juga dapat digunakan sebagai bahan
silisiklastik yang terendapkan pada lingkungan campuran semen karena memiliki kadar Al2O3
transisi akan banyak memiliki komposisi SO3 15%-21%, SiO2 60%-80%, dan SO3 0%-0,5%.
yang dijumpai dalam bentuk mineral pirit.
104
Jurnal Geosains dan Teknologi
Volume 3 no. 2, Juli 2020
Gambar 4.21 Peta area kualitas litologi berdasarkan standar laboratorium PT Semen Gresik Kabupaten Rembang
Area persebaran litologi yang memenuhi dan memenuhi ketentuan, Batulanau tidak dapat
tidak memenuhi standar laboratorium PT Semen digunakan sebagai bahan campuran semen
Gresik Kabupaten Rembang dapat dilihat pada karena kadar SO3 melebihi batas maksimum.
Gambar 4.21. Batupasir Kuning tidak dapat
digunakan sebagai bahan campuran semen UCAPAN TERIMA KASIH
karena hanya kadar SiO2 yang tinggi, namun Penulis bermaksud mengucapkan terima kasih
dapat digunakan sebagai bahan korektif semen, kepada PT Semen Indonesia (Persero) Tbk
batulanau tidak dapat digunakan sebagai bahan Rembang yang telah memberikan izin melakukan
campuran semen karena kadar SO3 melampaui pengambilan data di IUP.
batas maksimal, batulempung dapat digunakan
sebagai bahan campuran semen dengan DAFTAR PUSTAKA
memperhatikan kadar SiO2, dan batupasir Abdillah, 2012. Studi Batuan Asal (Provenance)
cokelat dapat digunakan sebagai bahan campuran dan Diagenesis Batupasir Formasi Ngrayong
semen. Daerah Tempuran dan Sekitarnya,
Kecamatan Medang, Kabupaten Blora, Jawa
KESIMPULAN Tengah. Tidak dipublikasikan. Universitas
Daerah penelitian tersusun dari empat jenis Diponegoro: Semarang.
satuan batuan di daerah penelitian yaitu Satuan Aldieb, M. A. dan Ibrahim, H. G., 2010,
Batupasir Kuning, Satuan Batulanau, Satuan Variation of Feed Chemical Composition and
Batulempung, dan Satuan Batupasir Cokelat. Its Effect on Clinker Formation – Simulation
Persebaran kadar Al2O3 paling tinggi dijumpai di Process, San Fransisco: World Congress on
daerah yang tersusun oleh batulempung, kadar Engineering and Computer Science Vol II
SiO2 paling tinggi dijumpai di daerah yang Badan Standarisasi Nasional, 2014, SNI 15-2049
tersusun oleh batupasir kuning, dan kadar SO3 Semen Portland, Jakarta: Badan Standarisasi
paling tinggi dijumpai di daerah yang tersusun Nasional
oleh batulanau. Kadar Al2O3 banyak terdapat Badan Standarisasi Nasional, 2004, SNI 15-7064
pada batulempung. Kadar SiO2 berasal dari Semen Portland Komposit, Jakarta: Badan
mineral kuarsa dijumpai pada batupasir. Standarisasi Nasional
Batupasir Cokelat dan Batulempung dapat British Geological Survey, 2005, Cement Raw
digunakan sebagai bahan campuran semen. Materials, Nottingham: British Geological
Batupasir Kuning tidak dapat digunakan sebagai Survey
bahan campuran semen karena kadar Al2O3 tidak Darwis, 2018, Dasar-Dasar Mekanika Tanah,
105
Jurnal Geosains dan Teknologi
Volume 3 no. 2, Juli 2020
106
SKRIPSI
D62116018
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
ii
iii
ABSTRAK
Pulau Bangka merupakan satu dari sekian banyak daerah di Indonesia yang memiliki
potensi sumberdaya mineral yang cukup banyak. Salah satunya adalah endapan timah.
Penyebaran timah di Pulau Bangka merupakan kelanjutan dari Tin Mayor South East
Asian Tin Belt. Endapan timah merupakan komoditas utama dalam eksplorasi endapan
mineral logam di Pulau Bangka yang membuat Indonesia merupakan salah satu negara
penghasil timah terbesar di dunia. Salah satu perusahaan pertambangan bijih timah di
Bangka Belitung adalah PT Timah Tbk yang mengeksplorasi dan mengestimasi
sumberdaya mineral yang dilanjutkan dengan proses perhitungan cadangan. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui besarnya sumberdaya timah aluvial dan menganalisis
sebaran timah aluvial dengan mempertimbangkan genesis endapan timah aluvial pada
sungai purba. Pada penelitian ini dilakukan estimasi sumberdaya dengan menggunakan
metode poligon, inverse distance weighting, dan ordinary kriging untuk mengetahui
metode yang tepat berdasarkan kondisi geologi, genesis endapan, dan mineralisasi dari
endapan yang diestimasi. Berdasarkan hasil estimasi dari tiga kategori kelas sumberdaya
(terukur, tertunjuk dan tereka) dengan metode poligon didapatkan total sumberdaya
endapan timah aluvial sebesar 8732 ton Sn, dengan metode inverse distance weighting
sebesar 8627 ton Sn, dan dengan metode ordinary kriging sebesar 8752 ton Sn. Sebaran
timah pada lokasi penelitian banyak terkonsentrasi pada bagian punggungan (hulu)
sungai purba, semakin jauh dari hulu menunjukkan konsentrasi endapan timah aluvial
semakin sedikit. Dari hasil analisis besarnya sumberdaya dan sebaran timah aluvial,
maka metode estimasi yang paling optimal dilakukan adalah metode ordinary kriging.
Kata Kunci: Timah aluvial, estimasi sumberdaya, metode poligon, inverse distance
weighting, ordinary kriging.
iv
ABSTRACT
Bangka Island is one of the many regions in Indonesia that has a lot of mineral resource
potential. One of them is tin deposit. The distrubution of tin deposit in Bangka Island is
a continuation of the Tin Mayor South East Asian Tin Belt. Tin deposits are the main
commodity in the exploration of metal mineral deposits on Bangka Island, which makes
Indonesia one of the largest tin producing countries in the world. One of the tin ore
mining companies in Bangka Belitung is PT Timah Tbk which is exploring and estimating
this mineral resource for calculation of its reserves. This study aims to determine the
amount of alluvial tin resources and to analyze the distribution of alluvial tin by
considering the genesis of alluvial tin deposits in ancient rivers. In this study, resource
estimation was carried out using polygon methods, inverse distance weighting, and
ordinary kriging in order to determine the appropriate method based on geological
conditions, genesis deposit, and mineralization of the estimated deposits. Based on the
estimation results of the three resource class categories (measured, indicated, and
inferred), by the polygon method, the total alluvial tin deposit resource is 8732 tonnes,
by the inverse distance weighting method is 8627 tonnes, and by the ordinary kriging
method is 8752 tonnes. The distribution of tin at the research location is mostly
concentrated on the ridge (up stream) of ancient rivers, which is the farther from the
upper coarse, the less of the concentration of the alluvial tin deposits. From the results
of the analysis of the amount of resources and the distribution of alluvial tin deposit, the
most optimum estimation method used is ordinary kriging method.
Keywords: Alluvial Tin, resource estimation, polygon method, inverse distance
weighting, ordinary kriging.
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahanirrahim,
Assalamualaikum warahmataullahi wabarakatuh
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan
rahmat dan nikmat-Nya kepada kita semua untuk terus menuntut ilmu sebagai bentuk
ketaatan kepada sang pemilik ilmu pengetahuan. Shalawat serta salam atas junjungan
kita Rasulullah Muhammad SAW, manusia terbaik yang senantiasa ruku’ dan sujud
kepada Allah SWT dalam rangka menegakkan panji-panji kebenaran di muka bumi ini.
Weighting, dan Ordinary Kriging pada Estimasi Sumberdaya Timah Aluvial, dan Analisis
Sebaran Endapannya “ (Studi kasus: Blok X Laut Tanjung Gunung, Bangka Tengah,
Bangka Belitung PT Timah Tbk) akhirnya dapat diselesaikan dengan baik melalui
seluruh pihak yang telah memberikan dukungan serta ilmu yang bermanfaat. Penulis
berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat dan semoga dicatat sebagai sebutir
Penyusunan skripsi tidak akan berlangsung tanpa ada bantuan dari orang-orang
hebat yang telah memfasilitasi penulis untuk menyusun skripsi ini mulai dari tahap
terima kasih kepada pihak PT Timah Tbk, khususnya kepada Bapak Novhy Gumelar
selaku pembimbing penulis yang senantia memberikan ilmu dan arahan, Bapak Ciputra
selaku kepala bidang P2P Unit Produksi Laut Bangka yang telah memfasilitasi penulis
sehingga dapat melakukan kegiatan Skripsi di divisi eksplorasi, Bapak Gilang Putra
Bahana, Bapak Satrio Gahara selaku pegawai di bidang Validasi yang senantiasa
vi
memberikan ilmu yang bermanfaat dari tahap awal pengolahan data, Bapak M. Muchtar
Arifin yang telah memfasilitasi penulis dan juga senantiasa berbagi ilmu dan pengalaman
terkait industri pertambangan, Bapak Wahyu Hidayat yang juga memberikan fasilitas
Terima kasih pula penulis sampaikan kepada Bapak Asran Ilyas, ST. MT. Ph.D.
selaku Pembimbing I dan Bapak Dr. Ir. Irzal Nur, MT. selaku Pembimbing II yang
senantiasa meluangkan waktu, tenaga, pikiran serta memberikan ilmu yang bermanfaat
Terima kasih yang tiada henti kepada Bapak Syafaruddin dan Ibu Rosnaeni atas
segala doa yang telah dipanjatkan, ridho yang senantiasa diberikan serta rasa cinta yang
tiada henti diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
Terima kasih pula penulis haturkan kepada Kakak Muhammad Nur Fajri dan Adik
Muhammad Taufiq Hidayat atas segala bantuan, semangat dan doa yang tulus yang
Hasanuddin Angkatan 2016 (Rockbolt 2016). Terima kasih pula penulis sampaikan
permohonan maaf atas semua kekurangan yang dijumpai dalam proses penyusunan
skripsi ini.
Penulis
vii
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
ABSTRACT ........................................................................................................... v
KATA PENGANTAR............................................................................................... vi
Data Spasial.......................................................................................... 16
viii
BAB III METODE PENELITIAN............................................................................. 30
Kesimpulan ........................................................................................... 53
Saran ................................................................................................... 53
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.3 Hubungan antara hasil eksplorasi, sumberdaya mineral dan cadangan ........ 16
2.6 Metode estimasi sumberdaya dengan IDW (Arifuddin Idrus, 2007). ............ 21
x
4.8 Peta kedalaman batuan dasar 3D ............................................................ 50
xi
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
A Data collar.............................................................................................. 57
xiii
1 BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
endapan sekunder atau endapan dari hasil pelapukan endapan primer. Keterdapatan
endapan timah pun tidak berada pada semua negara. Keterdapatan endapan timah di
Asia Tenggara membentang dari daratan Cina, Birma, Thailand, Malaysia hingga
logam yang cukup besar di dunia, seperti seperti emas, tembaga, dan timah (Kavaleris
et al., 1992). Khusus untuk bijih timah, endapannya banyak tersebar di pulau Sumatera,
khususnya di pulau Bangka dan sebagian di Kalimantan. Endapan timah ini berasosiasi
dengan batuan granitoid, serta terkait dengan keberadaan zona kolisi Indonesia yang
termasuk ke dalam kawasan Sabuk Timah Asia Tenggara. Penyebaran timah di Pulau
Bangka merupakan kelanjutan dari Tin Mayor South East Asian Tin Belt (Crow dan van
Leeuwen, 2005).
Pulau Bangka merupakan satu dari sekian banyak daerah di Indonesia yang
memiliki potensi sumberdaya bijih timah yang besar. Endapan timah tersebut merupakan
komoditas utama dalam eksplorasi endapan mineral logam di Pulau Bangka yang
membuat Indonesia merupakan salah satu negara penghasil timah terbesar di dunia.
(Ali et al., 2017). Salah satu perusahaan pertambangan bijih timah di Bangka Belitung
adalah PT Timah Tbk. Perusahaan ini melakukan eksplorasi endapan timah aluvial dan
1
yang sangat penting sebelum dilakukan proses penambangan karena berkaitan dengan
jumlah sumberdaya yang terdapat di suatu daerah yang berimplikasi pada nilai investasi.
dengan kondisi geologi, genesis endapan, dan mineralisasi dari endapan logam tersebut.
Olehnya itu, penulis mengangkat penelitian tentang estimasi sumberdaya timah aluvial
Rumusan Masalah
dilakukannya kegiatan penambangan, karena dari hasil estimasi inilah yang akan
poligon, inverse distance weighting, dan ordinary kriging sehingga dapat diketahui
tonase sumberdaya timah aluvial dan juga sebaran timah aluvial dengan
Tujuan Penelitian
metode poligon, inverse distance weighting, dan ordinary kriging pada PT Timah
Tbk.
2
Manfaat Penelitian
1. Bagi perusahaan
Tbk.
sebagai berikut:
berbagai teori dan referensi mengenai topik penelitian yang dapat mendukung
jalannya penelitian. Kajian ini ditinjau melalui buku, jurnal penelitian, prosiding,
Perumusan masalah dilakukan untuk menentukan masalah yang akan diteliti dan
3
3. Tahap orientasi lapangan dan pengambilan data
dengan mengambil beberapa data seperti data assay dan collar. Data ini
Data yang telah diperoleh dari hasil pengambilan data kemudian dianalisis untuk
Laporan hasil penelitian akan dipresentasikan dalam seminar hasil. Koreksi dan
saran pada saat seminar akan digunakan untuk merevisi kembali laporan yang
telah diseminarkan.
Lokasi Penelitian
Kepulauan Bangka Belitung. Lokasi PT Timah Tbk dapat ditempuh dengan menggunakan
pesawat komersil dengan waktu sekitar 4 jam dari kota Makassar ke Pangkalpinang,
kemudian dilanjutkan dengan jalur darat menggunakan kendaraan roda 4 (empat) dari
Bandar Udara Depati Amir di kota Pangkalpinang menuju ke kantor PT Timah Tbk.
Timah Tbk. Lokasi penambangan terletak di Laut Tanjung Gunug, Kecamatan Pangkalan
4
Baru, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Lokasi penelitian
dapat dicapai dengan menggunakan kendaraan roda 4 (empat) dengan waktu tempuh
sekitar 27 menit, kemudian dilanjutkan dengan jalur laut menggunakan perahu sekitar
15 menit menuju lokasi penambangan. Peta tunjuk lokasi penelitian diperlihatkan pada
Gambar 1.1.
5
2 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Geologi Regional
Pulau Bangka termasuk ke dalam gugusan pulau yang berada di Paparan Sunda
(Sunda Shelf), di mana pulau-pulau ini dahulunya merupakan bagian dari Daratan Sunda
(Sunda Land). Bagian dari Daratan Sunda yang kini dikenal sebagai Paparan Sunda
tersusun oleh Pulau Bangka bersama dengan Pulau Belitung, Lingga dan Singkep,
Akibat dari proses peneplainasi yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama,
banyak dari tinggian pada pulau-pulau ini lapuk dan tererosi. Hal ini dibuktikan dengan
tebalnya profil tanah yang dapat dijumpai di pulau-pulau ini. Selain proses peneplainasi,
fenomena naik turun muka air laut yang terjadi pada zaman Kuarter juga mengakibatkan
gugusan pulau ini terpisah oleh perairan dangkal seperti sekarang. Meskipun sekarang
pulau-pulau ini dipisahkan oleh perairan dangkal, susunan dari pulau-pulau ini terlihat
mengindikasikan arah struktur utama yang menghubungkan Asia Tenggara dengan tiga
pulau besar yang termasuk dalam Daratan Sunda yakni Pulau Jawa, Sumatera dan
Kalimantan. Pulau dengan luas 11.534,142 km2 ini dikelilingi oleh Pulau Sumatera dan
Selat Bangka di sebelah baratdaya, Pulau Belitung di sebelah timur, Pulau Kalimantan di
sebelah timurlaut, Kepulauan Riau di sebelah baratlaut, Pulau Anambas dan Laut Cina
Secara fisiografi Pulau Bangka merupakan pulau terbesar dalam Paparan Sunda
(Sunda Shelf) dan merupakan Sunda Peneplain, dicirikan oleh daerah berbukit dengan
8
ketinggian batuan dasar yang membatasi Cekungan Sumatra Selatan di bagian timur
Melihat Pulau Bangka dari koridor tektoniknya, evolusi tektonik dari Pulau Bangka
sangat berkaitan erat dengan pembentukkan inti benua Asia Tenggara yang juga dikenal
sebagai Daratan Sunda (Sunda Land). Pulau Bangka sebagai bagian dari blok Indocina–
Malaya Timur (Indochina–East Malaya block) berasal dari bagian timurlaut Gondwana.
Blok benua ini mulai memisahkan diri dari Gondwana pada Silur Akhir dan bergerak
hingga membentuk kerangka dari Asia Tenggara pada Devon Awal (Metcalfe, 2011).
Berdasarkan kerangka tektonik Asia Tenggara pada Resen, terlihat bahwa blok
timur, blok ini berbatasan dengan blok Kalimantan baratdaya (Southwest Borneo block).
Di bagian selatan dan barat, blok ini berbatasan dengan blok Sibumasu, sedangkan di
bagian utara, blok ini berbatasan dengan blok Cina Selatan ( South China block). Blok-
blok tersebut, bersama dengan blok Burma Barat (West Burma block) dan blok Sumatera
Evolusi tektonik dari pembentukkan daratan Sunda telah dimulai semenjak Silur
Akhir hingga Jura (Metcalfe, 2011). Pada Silur Akhir, terjadi fenomena rifting pada batas
timurlaut Gondwana yang menyebabkan blok Cina Selatan, Tarim, Indocina dan Cina
Utara berpisah dari Gondwana (Metcalfe, 1996 dalam Metcalfe, 2011). Rifting yang
terjadi memicu pembukaan laut PaleoTetis pada Devon Awal hingga Devon Tengah yang
dibuktikan dengan keberadaan endapan rijang radiolarian laut dalam pada zona sutur.
Pada Karbon Awal, blok Cina Selatan dan Indocina–Malaya Timur telah teramalgamasi
sepanjang zona sutur Song Ma, membentuk blok yang dinamakan daratan Cathaysia
(Cathaysia land). Hal ini ditandai dengan kemiripan fauna pada zaman tersebut (Laveine
et al., 1999 dalam Metcalfe, 2011). Pada Karbon Akhir hingga Perm Awal, blok Sibumasu
9
mulai melepaskan diri dari baratlaut Gondwana dan bergerak ke arah utara. Hal ini
Sukhotai ke arah barat sebagai busur kepulauan pada Perm Akhir. Namun, akibat dari
menyebabkan back arc collapse berupa kolisi antara busur Sukhotai dan daratan
Cathaysia membentuk zona sutur Jinghon, Nan-Uttaradit dan Sra Kaeo pada akhir Perm
(Metcalfe, 2011). Pada Trias Awal, penutupan laut Paleo-Tetis yang diikuti dengan kolisi
antara blok Sibumasu dan busur Sukhotai menghasilkan zona sutur Changnin-Menglian,
Inthanon dan Bentong-Raub. Selain itu, pada masa ini juga terjadi pergerakan
transcurrent baratlaut dari blok Burma Barat dan baratdaya Borneo akibat pembukaan
laut Meso-Tetis ke arah utara dan pegerakan laut Paleo-Pasifik ke arah barat. Kedua blok
tersebut kemudian teramalgamasi dengan blok Sibumasu pada Jura. Pulau Bangka yang
posisinya berada di baratdaya dari blok Indocina-Malaya Timur membuat Pulau tersebut
sangat dekat dengan perbatasan daratan Cathaysia dan blok Sibumasu. Kedua blok ini
dibatasi oleh zona sutur Bentong-Raub (Bentong-Raub Suture Zone) yang terbentuk di
(Metcalfe, 2000). Menurut Katili (1967), menjelaskan bahwa pada batuan metamorf dan
sedimen di Bangka Utara terdapat adanya perlipatan silang akibat dua buah deformasi.
sulit ditentukan dengan pasti. Struktur lipatan berarah timurlaut - baratdaya (orogen II)
disebabkan oleh deformasi pada Jura Atas. Orogen yang kedua ini menghilangkan jejak
orogen yang lebih tua. Struktur lipatan ini kemungkinan merupakan hasil tumbukan
lempeng yang ada pada barat Sumatera karena wilayah Bangka relatif stabil atau tidak
terlalu terganggu oleh pergerakan tektonik karena posisinya yang berada di back
volcanic arc.
10
2.1.3 Sratigrafi Regional
Berdasarkan Peta Geologi Lembar Bangka Utara, Sumatera, maka geologi daerah
1. Aluvium berupa endapan permukaan yang terdiri dari bongkah, kerakal, kerikil,
pasir, lempung, dan gambut, masa Konozoikum Zaman Kuarter yang berumur
Holosen.
tufaan dengan sisipan tipis batu lanau dan bahan organik, berlapis baik, dengan
struktur sedimen berupa perlapisan sejajar dan perlapisan silang siur dengan
tebal 150 m. Fosil yang dijumpai antara lain moluska, ammonia, quinqueloculina
sp, dan triloculina sp, menunjukkkan umur relatif tidak lebih tua dari Miosen
Pliosen.
dijumpai oksida besi. Berlapis baik, terlipat kuat, terkekarkan dan tersesarkan,
dengan Formasi Bintan. Formasi ini diterobos oleh Granit Kelabat dan menindih
4. Granit Klabat berupa batuan, granodiorit, adamalit, diorit dan diorit kuarsa, serta
dijumpai retas aplit dan pegmatit. Terkekarkan dan tersesarkan dan menerobos
11
Diabas Penyabung. Umur dari analisa radiometri menunjukkan umur 217±5 atau
diterobos oleh granit klabat dan menerobos Kompleks Malihan Pemali. Umur
diperkirakan pada usia Perem atau Trias hingga Jura pada Masa Mesozoikum.
6. Kompleks Pemali berupa filit dan sekis dengan sisipan kuarsit dan lensa batu
dijumpai fosil berumur Perem pada batugamping di dekat Air Duren sebelah
selatan - tenggara Pemali. Umur satuan diduga Perem pada Masa Paleozoikum
Endapan timah aluvial adalah hasil rombakan dari batuan induk yang mengalami
1976). Pembahasan perihal endapan timah aluvial menjadi sangat penting di dalam
dunia pertambangan timah, hal ini disebabkan awal mula ditemukannya timah adalah
timah pada aluvial dan sampai saat ini produksi terbesar PT Timah Tbk adalah hasil
penambangan pada endapan aluvial baik aluvial darat maupun laut. Endapan timah
aluvial biasa disebut dengan timah sekunder. Endapan aluvial merupakan endapan yang
relatif berumur muda (Kuarter) yang berada di atas batuan dasar yang jauh lebih tua
(Tersier atau pra Tersier). Keterdapatan timah di dalam endapan aluvial inilah yang
menjadikan paradigma eksplorasi timah berkembang dimulai teori mother rock hunting
dan teori valey hunting. Dalam dunia pertimahan di Indonesia pada endapan timah
aluvial ada yang dikenal dengan istilah kaksa dan mincan. Kaksa merupakan lapisan
endapan timah aluvial yang kaya dengan mineral kassiterit (SnO2) yang terletak di atas
batuan dasar (bed rock), sedangkan mincan merupakan lapisan endapan timah aluvial
12
yang terbentuk secara berulang setelah terbentuknya lapisan kaksa (Osberger, 1965).
Penampang klasifikasi endapan aluvial dapat dilihat pada Gambar 2.1. Model lapisan
Teori tersebut berkembang karena untuk mendapatkan endapan aluvial yang kaya
akan potensi mineral timah maka harus ada sumber yang menghasilkan mineral tersebut
selanjutnya harus ada proses pelapukan, erosi dan transportasi serta yang terpenting
13
adalah adanya tempat terjadinya akumulasi. Dengan demikian tidak semua endapan
aluvial kaya akan kandungan timah, dengan kata lain tidak semua lembah menjadi
perangkap timah yang ekonomis. Dengan kata lain bahwa kita akan mendapatkan timah
aluvial jika terpenuhi tiga kriteria yaitu adanya batuan sumber pembawa timah, media
Sumberdaya mineral adalah suatu konsentrasi atau keterjadian dari material yang
memiliki nilai ekonomi pada atau di atas kerak bumi, dengan bentuk, kualitas dan
kuantitas tertentu yang memiliki keprospekan yang beralasan untuk pada akhirnya dapat
pengambilan conto yang terbatas. Bukti geologi tersebut memadai untuk menunjukkan
14
2. Sumberdaya mineral tertunjuk
kuantitas, kadar atau kualitas, kerapatan, bentuk, dan karakteristik fisiknya dapat
evaluasi kelayakan ekonomi cebakan tersebut. Bukti geologi didapatkan dari eksplorasi,
pengambilan conto dan pengujian yang cukup detail dan andal, dan memadai untuk
kuantitas, kadar atau kualitas, kerapatan, bentuk, karakteristik fisiknya dapat diestimasi
pengubah untuk mendukung perencanaan tambang detail dan evaluasi akhir dari
pengambilan conto dan pengujian yang detail dan andal, dan memadai untuk
pengamatan. Sumberdaya mineral terukur memiliki tingkat keyakinan yang lebih tinggi
mineral terbukti atau cadangan mineral terkira (KCMI, 2017). Hubungan umum antara
hasil eksplorasi sumberdaya mineral dan cadangan mineral dapat dilihat pada gambar
Gambar 2.3.
15
Gambar 2.3 Hubungan umum antara hasil eksplorasi, sumberdaya mineral dan
cadangan mineral (KCMI, 2017).
Data Spasial
Data spasial adalah data yang diperoleh dari hasil pengukuran suatu lokasi. Data
spasial merupakan data dependen karena berasal dari lokasi spasial yang berbeda yang
Data spasial memiliki lokasi spasial yang beraturan (regular) dan tak beraturan
(irregular). Data spasial merupakan salah satu model data dependen (variabel tak
bebas), karena data spasial dikumpulkan dari lokasi berbeda yang mengindikasikan
ketergantungan antara pengukuran data dan lokasi. Data spasial mempunyai dua bagian
penting yang membuatnya berbeda dari data yang lain, yaitu informasi lokasi (spasial)
dan informasi deskriptif (atribut). Data spasial dibagi menjadi tiga tipe mendasar yaitu
data geostatistik (geostatistical data), data area (lattice area), dan pola titik (point
2.4).
16
Gambar 2.4 (A) Data geostatistik (B) Data area.
1. Data geostatistik (geostatistical) mengarah pada data sampel yang berupa titik,
baik beraturan (regular) atau tak beraturan (irregular) dari suatu distribusi spasial
kontinu.
2. Data area (lattice data) terdiri dari dua bentuk, yaitu berupa unit regular dan unit
irregular yang didukung pula oleh informasi lingkungan dan dihubungkan dengan
merupakan kumpulan data atribut diskrit yang merupakan hasil pengukuran pada
wilayah tertentu. Data area merupakan sebuah konsep dari garis tepi dan
persekitaran (neighbour).
3. Pola titik (point pattern) adalah pola yang muncul dari variabel yang dianalisis
pada lokasi kejadian. Sampel yang digunakan adalah sampel yang tak beraturan
(memiliki jarak yang berbeda). Lokasi pola titik diperoleh berdasarkan pada posisi
koordinat kartesius (x, y) dari titik yang diamati sedangkan data pola titik spasial
diperoleh dari informasi atribut pada objek yang bersesuaian. Hal penting pada
analisis data pola titik adalah untuk mengetahui hubungan ketergantungan antar
titik. Maksudnya adalah untuk mengetahui apakah lokasi titik-titik yang menjadi
objek penelitian membentuk klaster atau regular, sehingga dapat dilihat apakah
17
Metode Estimasi Sumberdaya
endapan, metode eksplorasi, keakuratan data dan nilai koefisien variasi, manfaat serta
digunakan berbagai metode seperti metode poligon, metode inverse distance weighting
Metode poligon disebut juga metode daerah pengaruh (area of influence). Pada
metode ini semua faktor ditentukan untuk suatu titik tertentu pada endapan mineral,
diekstensikan sejauh setengah jarak dari titik di sekitarnya yang membentuk suatu
daerah pengaruh. Batas daerah pengaruh terluar dari poligon ini bisa hanya sampai pada
titik-titik bor terluar saja (included area), atau diekstensikan sampai sejauh setengah
18
Estimasi sumberdaya dengan metode poligon dapat dilakukan dengan:
1. Setiap lubang bor ditentukan suatu batas daerah pengaruh yang dibentuk oleh
mempunyai kadar dan ketebalan yang konstan yaitu sama dengan kadar dan
adanya hubungan letak ruang (jarak), merupakan kombinasi linear atau harga rata-rata
pembobotan (weighting average) dari titik-titik data yang ada disekitarnya. Suatu cara
penaksiran di mana harga rata-rata suatu blok merupakan suatu kombinasi linear atau
harga rata-rata pembobotan (weighting average) dari data lubang bor di sekitar blok
tersebut. Nilai data-data hasil taksiran tersebut merupakan nilai rata-rata pembobotan
(weighting average) dari data sampel yang telah ada (Bankes et al., 2003). Dalam
penaksiran data kadar dilakukan teknik-teknik pembobotan yang ada pada umumnya
didasarkan pada:
1. Letak grid yang atau blok yang akan ditaksir terhadap letak data sampel.
3. Orientasi setiap sampel yang menunjukkan hubungan letak ruang antar sampel.
pangkat. Pilihan dari pangkat yang digunakan (titik bor 1, titik bor 2, titik bor 3,
dst) yang berpengaruh terhadap hasil taksiran. Semakin tinggi pangkat yang
19
5. Dalam metode ini, komputer memeriksa jarak antara sampel dari kumpulan blok
dan menolak data yang berada diluar radius tertentu dan ditentukan dengan
dimana,
n = Jumlah data
di = Spasi Antar Titik Taksiran dengan Titik ke-i yang Ditaksir (m)
k = Pangkat (script)
Pangkat “k” biasanya bervariasi antara 1, 2, 3, dan seterusnya. Metode ini hanya
berlaku ketika sampel dalam area pencarian tertentu dan dilakukan secara berulang-
ulang dan biasanya dilakukan dengan komputerisasi (Annels, 1991). Data di dekat blok
memperoleh bobot lebih besar, sedangkan data jauh dari blok bobotnya lebih kecil.
Bobot ini berbanding terbalik dengan jarak data dari blok yang ditaksir. Metode ini hanya
data dengan jarak yang sama namun mempunyai sebaran yang berbeda masih akan
memberikan hasil yang sama sehingga tidak memberikan korelasi ruang antara titik data
dengan titik data yang lain. Metode IDW yang digunakan yaitu di mana kadar dibagikan
pada blok-blok terdekat dengan jarak tertentu untuk tiap titik pengambilan sampel
20
Gambar 2.6 Metode estimasi sumberdaya dengan IDW (Idrus, 2007).
Suatu penyederhanaan yang akan dilakukan dalam pembahasan IDW ini akan
mempertimbangkan blok-blok lebih sebagai nilai titik dari pada sebagai volume dengan
memperlakukan blok sebagai titik (point). Kadar blok dapat dihitung rata-rata
berdasarkan jarak dari pusat blok ke titik sekelilingnya, apalagi blok ini dibagi menjadi
blok-blok yang lebih kecil sehingga estimasinya dapat dilakukan untuk setiap sub blok
Pada tahun 1950, peneliti pertambangan bernama Daniel Gerhardus (DG) Krige,
menginterpolasi suatu kandungan bijih emas berdasarkan data sampel. Dari sini kriging
khusus dalam moving average terbobot (weighted moving average) yang meminimalkan
variansi dari hasil estimasi. Kriging menghasilkan best linear unbiased estimation (BLUE)
dari variabel yang ingin diketahui nilainya. Hasil prediksi kriging lebih akurat daripada
metode regresi. Sebab, metode ini mampu membaca error yang berkorelasi, sehingga
21
dapat diketahui nilai kedekatannya (Kleijnen and Van Beers, 2004).
dimana,
si ,si : lokasi untuk estimasi dan salah satu lokasi dari data yang berdekatan,
dinyatakan dengan i
λi : faktor bobot
Z (s) diperlakukan sebagai bidang acak dengan suatu komponen trend, m(s)
dan komponen sisa atau error e(s) = (Z)(s)-m(s). Estimasi kriging yang bersifat sisa
pada s sebagai penjumlahan berbobot dari sisa data disekitarnya. Nilai λi diperoleh dari
2005).
Tiga pokok dalam estimasi kriging yang bergantung pada model dengan sifat acak yaitu
simple kriging, ordinary kriging, dan universal kriging (Bohling, 2005; Goovaerts, 1998).
1. Simple Kriging
(mean) dari populasi telah diketahui dan bernilai konstan. Pengolahan dari
metode simple kriging adalah dengan cara data spasial yang akan diduga dipartisi
22
2. Ordinary Kriging
populasi tidak diketahui, dan pada data spasial tersebut tidak mengandung trend.
Selain tidak mengandung trend, data yang digunakan juga tidak mengandung
pencilan.
3. Universal Kriging
Universal kriging merupakan metode kriging yang dapat diaplikasikan pada data
kombinasi linier terbobot dari data yang tersedia untuk proses estimasi (Isaaks and
menghasilkan estimator yang bersifat BLUE. Hal tersebut berarti mempunyai variansi
terkecil dibanding estimator lain. Data yang digunakan pada metode ordinary Kriging
merupakan data spasial dengan rata-rata populasi tidak diketahui dan diasumsi bersifat
stasioner.
Bobot ordinary kriging memenuhi sifat tak bias dengan ∑ni=1 λi =1 dengan n
adalah jumlah sampel yang diketahui. Parameter tambahan 𝑚 merupakan Lag range
multiplier yang digunakan untuk meminimalkan galat kriging. Nilai bobot ordinary kriging
-1
λ1 γ(s1 ,s1 ) γ(s1 ,s2 ) … γ(s1 ,sn ) 1 γ(s1 ,s0 )
λ2 γ(s2 ,s1 ) γ(s2 ,s2 ) … γ(s2 ,sn ) 1 γ(s2 ,s0 )
⋮ = ⋮ ⋮ ⋱ ⋮ ⋮ ⋮ (4)
λn γ(sn ,s1 ) γ(sn ,s2 ) … γ(sn ,sn ) 1 γ(sn ,s0 )
(m) ( 1 1 … 1 0) ( 1 )
dimana,
23
γ : semivariogram antara titk (s1…n ,s1..n ) yang terdapat pada jarak sebesar
1990), yaitu:
1. Asumsi Model
2. Asumsi Prediksi
dimana,
R : Bilangan real
Karena koefisien dari hasil penjumlahan prediksi linier adalah 1 dan memiliki
syarat tak bias maka EẐ(s)=μ= E Z(s)= Z(s), untuk setiap μ ϵ R dan karena Z(s)
merupakan suatu konstanta maka E Z(s)=Z(s) terdapat estimator error e(s), pada setiap
lokasi merupakan perbedaan antara nilai estimasi Ẑ(𝑠) dengan nilai sebenarnya Z(s)
dimana,
24
Dengan E e(s)=0. Selisih Ẑ(s)- Z(s) disebut dengan galat estimasi atau bias.
E Ẑ(s)=Z(s) (9)
ukuran dari variansi yang digunakan untuk menentukan jarak dimana nilai-nilai data
pengamatan menjadi tidak ada kolerasinya. Estimasi variogram memiliki peran yang
menentukan, misalnya dalam penentuan nilai-nilai optimal dari bobot setiap sampel.
Cara yang paling alami untuk membandingkan dua nilai, Z(x) dan Z(x+h) pada dua poin
x dan x+h pada nilai yang mutlak seharusnya mempertimbangkan nilai rata-rata
1. Variogram eksperimental
25
2. Semivariogram eksperimental
spasial antara dua buah variabel yang dipisahkan oleh suatu jarak (h) tertentu.
1 n
γ(h)= ∑i=1[Z(xi )-Z(xi +h)]2 (11)
2N(h)
dimana,
Beberapa parameter yang digunakan untuk mencari nilai dalam semivariogram teoritis
1. Range
Range adalah jarak dimana variogram merupakan sebuah dataran tinggi (Isaaks
and Srivastava, 1989). Jarak yang dimaksud adalah variogram harus mencapai
nilai sill.
2. Sill
Sill adalah masa stabil suatu variogram dalam mencapai range. Variogram
menjadi suatu wilayah yang datar yaitu ragamnya tidak mengalami suatu
26
3. Nugget Effect
Kediskontinuan pada pusat variogram terhadap garis vertikal yang melompat dari
nilai 0 pada pusat nilai variogram dengan pemisahan jarak terkecil disebut
perhitungan nilai semivarogram teoritis. Nilai yang diperoleh dari semivariogram teoritis
dengan teoritis. Selanjutnya dipilih model mana yang memiliki nilai paling kecil, yang
nantinya akan digunakan untuk melakukan pendugaan data spasial. Berikut adalah
(Micromine, 2014):
1. Model Spherical (Sph) adalah bentuk linear dengan kecapatan perubahan slope
untuk mencapai sill. Model spherical digunakan dalam estimasi kualitas kadar.
27
3h h 3
C0 +C [( ) -0,5 ( ) ]
y(h) = { 2a a } h ≤ a dan untuk h > a (12)
C0 +C
dimana,
C0 +C : Sill, yaitu nilai semivariogram untuk jarak pada saat besarnya konstan
2. Model Exponential (Exp) adalah model yang memiliki lengkungan lebih besar
kualitas kadar.
3h
γ(h)=C0 +C [1-exp (- )] (13)
a
3. Model Gaussian (Gaus) merupakan model yang berbentuk parabolik yang secara
bertahap perubahan slope akan mencapai sill. Model Gaussian digunakan untuk
4. Linear (Lin) dan General Linear (Gen Lin) merupakan model yang tidak mencapai
sill. General Linear digunakan untuk elevasi topografi dan ketebalan seam
batubara.
28
Gambar 2.8 Semivariogram (Goovaerts, 1997).
29
PROSIDING XXVII DAN KONGRES X PERHAPI 2018
Nur Anbiyak*
*Direktorat Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM
nur.anbiyak@esdm.go.id, atau anbiyak@yahoo.co.id
Intisari
Cebakan bijih nikel laterit Petea berada di Kabupaten Luwu Timur, Provinsi
Sulawesi Selatan yang terbentuk sebagai produk dari proses pelapukan batuan
ultramafik yang tersebar di sebagian lengan selatan dan tenggara Pulau Sulawesi.
Profil pelapukan batuan di Petea terdiri dari tiga lapisan utama dengan urutan dari
bawah ke atas, yaitu batuan dasar, lapisan saprolit, dan limonit. Mineralisasi nikel
terbentuk pada lapisan saprolit dan limonit dan dapat dibedakan berdasarkan
karakteristik geologi dan geokimianya.
Metode ordinary kriging dipilih untuk melakukan estimasi kadar nikel Petea dan
menghasilkan kadar nikel rata-rata sebesar 1,89% pada bijih saprolit. Hasil
rekonsiliasi dengan data produksi bijih saprolit menunjukkan deviasi sebesar
4,42% dimana hasil estimasi menghasilkan nilai kadar nikel yang lebih besar.
Latar Belakang
Cebakan bijih nikel laterit Petea merupakan bagian dari kompleks cebakan bijih
nikel Sorowako yang terletak di Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi
Tenggara. Wilayah ini termasuk dalam area konsesi Kontrak Karya PT Vale
Indonesia (PT VI) yang mengoperasikan tambang dan pabrik pengolahan nikel
beserta fasilitas penunjangnya dengan kapasitas 5,5 juta ton bijih per tahun
dengan kadar rata-rata 1,8% Ni untuk menghasilkan 80.000 ton nickel matte
(Crundwell dkk, 2011).
271
Gambar 1 Lokasi cebakan bijih nikel laterit Sorowako
(Gambar direproduksi dari Google Earth)
Cebakan bijih nikel laterit Sorowako terbentuk dari kompleks ofiolit pada daerah
busur akresi yang berasosiasi dengan batas lempeng dan zona tumbukan. Menurut
Brand dkk (1998), cebakan bijih yang berkembang pada tatanan tektonik tersebut
dipengaruhi oleh pengangkatan kompleks ofiolit ke permukaan sehingga memicu
proses lateritisasi. Batuan ultramafik Sorowako berumur Kapur (Kadarusman dkk,
2004) sedangkan proses lateritisasi dimulai sejak Miosen Akhir (Golightly, 1981).
272
Lapisan saprolit terbentuk dari akumulasi bongkah-bongkah hasil pelapukan
batuan dasar yang dikelilingi oleh massa mineral primer dan mineral alterasi dan
masih memperlihat tekstur batuan dasar (Elias, 2002). Faktor pengontrol
ketebalan saprolit adalah laju pengangkatan tektonik dan tinggi muka air tanah,
dimana laju pengangkatan tektonik yang lambat dan muka air tanah rendah selama
periode pelapukan yang panjang menghasilkan lapisan saprolit yang semakin tebal
(Golightly, 1981). Lapisan ini dicirikan dengan kadar nikel lebih tinggi yang
terkandung dalam mineral alterasi seperti garnierit dan serpentinit sekunder.
Pelepasan ion Ni dari rekristalisasi goetit dan hematit dari lapisan limonit
tertransportasi kembali ke saprolit dan terendapkan mineral serpentinit sekunder
(Pelletier, 1996).
Pembentukan lapisan limonit terjadi pada bagian atas profil laterit dan
merepresentasikan produk akhir dari proses pelapukan. Lapisan ini kaya akan
mineral goetit berbutir halus dan di bagian bawah lapisan, pada zona transisi
saprolit-limonit didominasi oleh nodul Fe-Mn dan mengandung kadar Ni dan Co
yang signifikan (Golightly, 1979).
Cebakan bijih nikel laterit Petea terbentuk dari batuan dasar peridotit
terserpentinisasi dengan kandungan olivine rata-rata sebesar 65% dan dicirikan
dengan warna abu-abu terang sampai kuning kehijauan dan bertekstur halus.
Lapisan saprolit yang terbentuk di atasnya berwarna coklat-kuning, bertekstur
halus, dan sebaran bongkah jarang dan mengandung mineral serpentinit dan
smektit. Proses pelapukan lebih lanjut menghasilkan lapisan limonit yang kaya
mineral goetit dan berwarna kekuningan. Kadar nikel pada cebakan Petea
273
bervariasi dari 1,2% Ni hingga 2,4% Ni dan kadar besi sebesar 14,7-22,4% Fe
(Golder Associates, 2010).
Metodologi Studi
Data bor yang dipergunakan dalam pemodelan cebakan bijih nikel laterit Petea,
berasal dari PT VI dalam format Microsoft Excel. Data tersebut terdiri dari
informasi geologi, collar, serta assay Ni, Co, Fe, SiO2, dan MgO 521 lubang
lubang bor yang tersebar di area seluas 2 km x 1,5 km yang kemudian diunggah
ke dalam database perangkat lunak Micromine.
Penentuan domain sesuai data geokimia dilakukan berdasarkan populasi data Ni,
Co, Fe, SiO2, dan MgO yang digambarkan dalam histogram untuk seluruh
domain. Histogram dipilih karena kemampuannya untuk mendeteksi multi-
modalism dan menentukan outliers. Multi-modalism mengindikasikan
keterdapatan domain yang lain dalam data sehingga perlu dilakukan koreksi untuk
analisis geostatistik lebih lanjut.
Kadar nikel dan elemen lainnya dalam cebakan bijih Petea diestimasi dengan
menggunakan metode geostatistik ordinary kriging. Metode ini dipilih karena
kemampuannya untuk melakukan pembobotan dan menentukan kecenderungan
sebaran kadar sehingga mengurangi faktor kesalahan dalam estimasi. Menurut
Rossi dan Deutsch (2014), kriging merupakan metode algoritma non-stationary
berdasarkan pendekatan nilai perhitungan error variance untuk menentukan
pembobotan pada lokasi yang tidak diambil contonya tanpa membuat asumsi nilai
rata-rata.
274
Perhitungan faktor pembobotan dilakukan dengan mempertimbangkan jarak
antara lokasi yang diestimasi dengan lokasi yang diketahui datanya serta
konfigurasi spasial data assay sekelilingnya. Oleh karena itu, metode ini
membutuhkan variogram sebagai dasar perhitungan untuk menentukan jarak dan
nilai variance antar nilai kadar dalam populasi data assay (Oliver dan Webster,
1990).
275
Variabilitas spasial dalam data Petea yang terdiri dari kadar Ni, Co, Fe, SiO 2, dan
MgO pada masing-masing domain mineralisasi diplot ke dalam downhole dan
directional variogram. Untuk mempermudah proses perhitungan, directional
variogram dibuat untuk tiga arah utama kecenderungan nilai kadar, dimana arah
sumbu utama ditentukan dari peta variogram, sedangkan dua arah utama lainnya
dihitung secara otomatis dengan menggunakan perangkat lunak.
276
Gambar 6 Sebaran kadar Ni, Co, Fe, SiO2, dan MgO
Batas antara lapisan saprolit dan limonit dicirikan oleh perubahan mendadak
kadar besi, dimana kadar besi pada lapisan saprolit secara umum kurang dari 35%
dan kemudian meningkat secara signifikan menjadi rata-rata 45% pada lapisan
limonit. Analisis geostatistik hanya dilakukan pada lapisan limonit dan saprolit
karena kadar nikel yang ekonomis hanya terdapat pada kedua domain tersebut.
277
Directional variogram pada lapisan limonit dihitung dengan menggunakan lag
bervariasi dari 25 m sampai 100 m dan sudut toleransi sebesar 22,5 0. Variogram
nikel dan kobal menunjukkan bahwa tidak terdapat adanya anisotropy dan sebaran
kedua elemen tersebut tidak menunjukkan preferensi ke arah tertentu.
Pola yang sama juga terjadi pada domain saprolit, tetapi nilai range pada
variogram saprolit menunjukkan angka yang lebih besar yaitu sejauh 43 m. Hal ini
mengindikasikan bahwa sebaran data assay pada lapisan saprolit memiliki
korelasi spasial yang lebih jauh daripada domain limonit. Berdasarkan analisis
278
variografi untuk keseluruhan elemen maka ditentukan parameter variogram pada
Tabel 1 berikut sebagai dasar estimasi kadar pada lapisan saprolit dan limonit.
Ni 0,04 8,1 43 36 6
279
Sebagai pembanding hasil estimasi kadar dengan metode geostatistik ordinary
kriging, juga dilakukan penaksiran dengan metode inverse distance weighted
anisotropic (IDW) dan simple points. Hasil perhitungan dengan ketiga metode di
atas ditampilkan dalam gambar 10 dan 11 berikut.
50.00 44.9465.08
45.39
40.00
Percent (%)
30.00
20.00
0.95 6.81
10.00 0.95 0.13 6.86
0.94 0.13 1.68
0.00 0.13
6.45 1.73 Kriging
1.70Simple Average
Ni (%) Co (%)
Fe (%) SiO2 MgO
(%) (%)
37.18
40.00 36 .8 4.25
3 7
30.00
Percent (%)
22.74
20.00 22.84
13.62 22.91
1.63 13.54
10.00 13.59
1.64 0.03
1.68 0.03 Kriging
0.00 0.03
Ni Co Simple Average
Fe SiO2
(%) (%) MgO
(%) (%)
(%)
280
Hasil penaksiran di atas belum memperhatikan nilai cut-off grade dalam block
model. Jika menggunakan nilai cut-off grade operasional Petea sebesar 1,5% Ni,
maka didapatkan kadar rata-rata nikel pada domain saprolit sebesar 1,89% Ni.
Hasil perbandingan estimasi kadar pada block model dengan rekonsiliasi data
aktual produksi saprolit Petea adalah sebagai berikut.
40.00 35.54
36.13
Percent (%)
30.00
22.80
20.00 15.54 22.21
14.30
10.00 1.81
1.89
0.00 Production
Block Model
Ni (%) Fe (%)
SiO2 MgO
(%) (%)
Hasil estimasi kadar nikel dengan metode ordinary kriging menunjukkan angka
yang lebih tinggi daripada data aktual produksi dengan deviasi sebesar 4,42%. Hal
ini dapat disebabkan oleh dilusi dari material waste yang ikut tertambang sehingga
mengurangi kadar rata-rata nikel.
Kesimpulan
Cebakan nikel laterit Petea merupakan produk dari proses pelapukan batuan dasar
peridotit terserpentinisasi yang membentuk profil pelapukan berlapis yang dapat
dibagi menjadi lapisan batuan dasar, saprolit, dan limonit. Profil pelapukan
tersebut dipakai sebagai domain mineralisasi dikarenakan perbedaan karakter
geologi dan geokimianya.
Batuan dasar dicirikan dengan kehadiran batuan ultramafik segar dengan kadar
nikel rata-rata kurang dari 0,5% Ni. Sedangkan saprolit disusun oleh bongkah-
bongkah hasil pelapukan batuan ultramafik dan masih mempertahankan tekstur
primer batuan dasar. Lapisan ini mengandung kadar nikel paling tinggi
dibandingkan domain lainnya dan kadar besi yabg relatif rendah. Pelapukan lebih
lanjut menghasilkan lapisan limonit yang didominasi oleh kehadiran mineral
goetit dan hematit sehingga mempunyai kadar besi rata-rata sebesar 45% Fe.
281
Hasil estimasi kadar nikel dengan metode geostatistik ordinary kriging
memberikan hasil dengan tingkat keyakinan yang tinggi dan telah divalidasi
dengan metode estimasi simple points dan inverse distance weighted anisotropic.
Dengan menggunakan cut-off grade sebesar 1,5% Ni pada domain saprolit, kadar
rata-rata nikel hasil estimasi sebesar 1,89% Ni. Angka ini lebih besar dari data
aktual produksi saprolit Petea sebesar 1,81% Ni dan kemungkinan disebabkan
oleh dilusi material yang belum dipertimbangkan dalam estimasi kadar nikel.
Daftar Pustaka
Abzalov, M. (2016). Applied Mining Geology (Vol. 12). Switzerland: Springer
International Publishing.
Brand, N. W., Butt, C. R. M., & Elias, M. (1998). Nickel laterites: Classification
and features. AGSO Journal of Australian Geology & Geophysics, 17, 81–88.
Crundwell, F. K., Moats, M. S., Ramachandran, V., Robinson, T. G., &
Davenport, W. G. (2011). Chapter 8 - Smelting Laterite Concentrates to Sulfide
Matte Extractive Metallurgy of Nickel, Cobalt and Platinum Group Metals (pp.
95-107). Oxford: Elsevier.
Elias, M. (2002). Nickel laterite deposits – geological overview, resources and
exploitation dalam D. R. Cooke & J. Pongratz (Eds.), Giant ore deposits :
characteristics, genesis and exploration (Vol. CODES Special Publication 4, pp.
205-220). Hobart, Tasmania: Centre for Ore Deposit Research, University of
Tasmania.
Golder Associates. (2010). Vale Inco Ltd. External Audit of Mineral Reserves: PT
Inco Operations, Sorowako Project Area. Diakses dari
http://www.hkexnews.hk/listedco/listconews/sehk/2010/1202/06210_950098/E12
3.PDF pada tanggal 16 Maret 2017.
Golightly, J. P. (1979). Geology of Soroako nickeliferous laterite deposits. dalam
D. Evans, R. Shoemaker, & H. Veltman (Eds.), International Laterite Symposium
(pp. 38-56). New York: Society of Mining Engineers of the American Institute of
Mining, Metallurgical, and Petroleum Engineers, Inc.
Golightly, J. P. (1981). Nickeliferous laterite deposits. dalam B. Skinner (Ed.),
Economic Geology Seventy-fifth Anniversary Volume 1905-1980 (pp. 710-735).
El Paso, Texas: Economic Geology Pub. Co.
Kadarusman, A., Miyashita, S., Maruyama, S., Parkinson, C. D., & Ishikawa, A.
(2004). Petrology, geochemistry and paleogeographic reconstruction of the East
Sulawesi Ophiolite, Indonesia. Tectonophysics, 392(1–4), 55-83.
doi:http://dx.doi.org/10.1016/j.tecto.2004.04.008
282
Oliver, M. A., & Webster, R. (1990). Kriging: a method of interpolation for
geographical information systems. International Journal of Geographical
Information Systems, 4(3), 313-332. doi:10.1080/02693799008941549
Pelletier, B. (1996). Serpentines in nickel silicate ore from New Caledonia. Paper
presented at the Nickel '96 : Mineral to market, Kalgoorlie, Western Australia 27-
29 November 1996 Carlton, Vic.
Rossi, M. E., & Deutsch, C. V. (2014). Mineral Resource Estimation Dordrecht,
Heidelberg, New York, London: Springer.
Snowden, D. V. (2001). Practical Interpretation of Mineral Resource and Ore
Reserve Classification Guidelines. dalam A. C. Edwards (Ed.), Mineral resource
and ore reserve estimation-the AusIMM guide to good practice (Vol. 23).
Melbourne, Victoria: Australasian Institute of Mining and Metallurgy.
Zhang, Y. (2011). Introduction to Geostatistics. Course Notes. Dept. of Geology
& Geophysics. University of Wyoming. Diakses dari
http://geofaculty.uwyo.edu/yzhang/files/Geosta1.pdf pada tanggal 23 Mei 2017.
283
Jurnal Teknik Lingkungan Volume 26 Nomor 1, April 2020 (Hal 37 – 52)
Abstrak. Merkuri banyak digunakan secara bebas dalam proses amalgamisasi pada pertambangan emas skala
kecil (PESK), salah satunya di Kabupaten Lebak, Banten. Merkuri dapat mengalami transformasi sehingga
dapat meningkatkan mobilitas dan sifat racunnya. Hal ini menjadi perhatian karena dapat menjadi potensi polusi
pada permukaan tanah, air tanah, penyerapan oleh tumbuhan serta bioakumulasi pada rantai makanan. Pada
penelitian pendahuluan dilakukan proses remediasi merkuri pada tanah dengan metode soil washing
menggunakan pelarut KI. Namun pada pengolahan menggunakan metode soil washing, air hasil pencucian
membutuhkan pengolahan lebih lanjut sebelum akhirnya dibuang karena memiliki konsentrasi merkuri
melebihi baku mutu (1-3 ppm) sehingga perlu dilakukan pengolahan lanjutan yakni adsorpsi menggunakan
adsorben GAC terimpregnasi Fe dan Ce dengan sistem batch. Berdasarkan PP No 101 Tahun 2014 tentang
pengolahan limbah B3, baku mutu merkuri pada TCLP A 0,3 ppm dan TCLP B 0,05 ppm. Percobaan
menunjukan bahwa sistem batch memiliki nilai kapasitas adsorpsi terbaik pada jenis adsorben GAC-Ce sebesar
0,087 mg/g dan konsentrasi merkuri mengalami penurunan hingga mencapai 0,443 ppm. Proses adsorpsi
merkuri menggunakan GAC, GAC-Fe dan GAC-Ce lebih cocok dimodelkan dengan model isotherm
Freundlich. Proses adsorpsi merkuri menggunakan GAC dan GAC-Fe mengikuti kinetika orde kedua semu
sedangkan GAC-Ce mengikuti kinetika orde dua.
Kata kunci: adsorpsi, GAC, merkuri, impregnasi, air soil washing, batch.
Abstract. Mercury is widely used freely in the process of amalgamization in small scale gold mining (ASGM),
one of which is in Lebak Regency, Banten. Mercury can undergo transformation so that it can increase its
mobility and toxicity. This is a concern because it can be a potential pollution on the ground surface, ground
water, absorption by plants and bioaccumulation in the food chain. In a preliminary study carried out the process
of remediation of mercury in the soil with the method of soil washing using KI solvent. However, in the
processing using the soil washing method, the washing water needs further treatment before finally being
discharged because it has mercury concentrations exceeding the quality standard (1-3 ppm) so that further
processing needs to be done ie adsorption using GAC adsorbent impregnated with Fe and Ce with a batch
system. Based on PP No. 101 of 2014 concerning B3 waste treatment, the mercury quality standard at TCLP A
is 0.3 ppm and TCLP B is 0.05 ppm. Experiments show that the batch system has the best value of adsorption
capacity in the type of GAC-Ce adsorbent of 0.087 mg / g and the concentration of mercury has decreased to
reach 0.443 ppm. The mercury adsorption process using GAC, GAC-Fe and GAC-Ce is more suitable to be
modeled with the Freundlich isotherm model. The mercury adsorption process uses GAC and GAC-Fe
following pseudo second-order kinetics while GAC-Ce follows second-order kinetics.
37
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara dengan sumber daya alam yang melimpah. Salah satu
sumberdaya alam Indonesia yakni emas yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia baik
dengan skala besar seperti Tambang Gasbeg (Freeport) di Papua maupun penambangan emas
skala kecil (PESK) seperti di Lebak, Banten. PESK banyak menggunakan merkuri atau air
raksa (Hg) dalam proses penambangan emas yang penggunaanya tidak diawasi dan dilakukan
secara bebas. Merkuri digunakan untuk mengekstraksi emas dalam PESK, khususnya di
Indonesia, sudah menunjukkan indikasi membahayakan dan bisa dikatakan sebagai bencana
lingkungan (C. Aspinall, 2001).
Berdasarkan UNEP, Indonesia merupakan negara terbesar ketiga di dunia yang sudah
mengalami polusi Hg setelah Cina dan Pillipina. Merkuri merupakan logam berat yang
bersifat unik karena tidak dapat mengalami degradasi baik secara biologis maupun kimiawi
sehingga dampaknya bisa berlangsung sangat lama. Berdasarkan Yani (2013) mengenai
keracunan akibat limbah pengolahan emas di Banten, 8 warga Kabupaten Lebak mengalami
keracunan akibat minum air yang tercemar oleh limbah hasil pertambangan emas. Warga
mengeluhkan kontaminasi limbah pada air sumur dan air Sungai Cimadur padahal kedua
tempat itu adalah sumber air minum bagi warga (Yani, 2013).
Oleh karena itu, perlu dilakukan pengolahan untuk menyisihkan kandungan merkuri
di lingkungan sekitar kegiatan PESK. Penelitian ini merupakan proses lanjutan penyisihan
merkuri yang telah melalui proses soil washing menggunakan larutan Kalium Iodida (KI).
Soil washing adalah proses penggabungan fisika dan kimia untuk menyisihkan logam berat
yang terkontaminasi pada tanah dengan cara pencucian tanah secara ex-situ dengan
menggunakan pelarut tertentu (Liu, et al, 2018). Larutan pencuci yang digunakan pada proses
ini adalah larutan asam, chelating agents, elektrolit, oxidizing agents, dan surfaktan (Khalid,
et al, 2017). Karena proses soil washing bukan merupakan teknologi destroy atau imobilisasi,
maka hasil tanah olahan harus dibuang dengan hati-hati dan air hasil pencucian
membutuhkan pengolahan lebih lanjut sebelum pembuangan akhir.
Air hasil pencucian tanah pada umumnya masih memiliki konsentrasi merkuri yang
tinggi dan berada diatas baku mutu yang telah di tentukan sebelum akhirnya di buang ke
lingkungan, sehingga air hasil pencucian ini perlu dilakukan pengolahan lanjutan (Karthika,
38 Jurnal Teknik Lingkungan Vol. 26 No. 1 Rizki Rilda Aulia dan Agus Jatnika Effendi
N, 2016). Pada penelitian ini air hasil pencucian tanah diolah menggunakan metode adsorpsi
dengan menggunakan GAC (Granular Activated Carbon) terimpregnasi. Beberapa
penelitian terkait penggunaan karbon aktif dalam penyisihan merkuri antara lain penelitian
yang dilakukan oleh Calvin (2018) yakni studi adsorpsi merkuri menggunakan karbon aktif
berbahan baku kulit durian yang diaplikasikan pada limbah pertambangan emas rakyat dari
Kab. Mandailing Natal. Dengan menggunakan variasi waktu dan massa adsorben karbon
aktif (yang diaktivasi dengan KOH) dapat mengadsorpsi Hg hingga 99,979% dengan
konsentrasi awal Hg sebesar 9,129 ppm, waktu selama 150 menit dan massa karbon aktif
sebesar 9gram serta konsentrasi Hg setelah adsorpsi sebesar 0,0019 ppm (Calvin, 2018).
Jatmiko (2013) pemanfaatan karbon aktif dari limbah tempurung kemiri untuk adsorpsi
limbah merkuri-Hg(II).
Dengan menggunakan variasi massaadsorben dan pH maka diperoleh penyisihan
sebesar 89% pada pH 4 dan massa adsorben 5gram sebesar 143,074 ppm dari konsentrasi
merkuri awal sebesar 160 ppm (Jatniko dan Hadi, Tri, 2013).
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa variasi yakni variasi jenis adsorben Granular
Activated Carbon (GAC, GAC terimpregnasi Fe dan Ce), pH, dosis adsorben dan waktu
kontak. Tujuan dalam penelitian ini yakni untuk mengetahui optimalisasi penyisihan merkuri
dan kapasitas adsorpsi merkuri dari air hasil pencucian tanah.
METODOLOGI
Penelitian dilakukan di Lab Kualitas Air Institut Teknologi Bandung dalam periode waktu 6
bulan dan dilakukan dua kali pengulangan atau replikasi dalam pelaksanaanya.
39
Impregnasi Adsorben
Impregnasi mengacu pada Raychoudhury, 2015 menggunakan metode hidrolisis.
Sebanyak 250 mL larutan logam yang akan di impregnasi (FeCl3 dan Ce(NO3)3.6H2O)
dengan konsentrasi 0,03 M dicampurkan dengan 10 gram padatan GAC yang kemudian di
aduk selama 1 jam pada kecepatan 30 rpm. Campuran didiamkan selama 24 jam dan
kemudian dipisahkan antara larutan dan residu yang dihasilkan. Residu kemudian di
keringkan pada suhu 110OC selama 24 jam. Residu kemudian didinginkan pada suhu ruang
dan dicuci beberapa kali menggunakan deionization water dan kemudian dikeringkan
kembali untuk menghilangan larutan pencuci yang tersisa dan menguapkan bahan-bahan
pengotor (Raychoudhury, et al, 2015).
40 Jurnal Teknik Lingkungan Vol. 26 No. 1 Rizki Rilda Aulia dan Agus Jatnika Effendi
variasi pH yakni pada pH 4, 6 dan 8. Selanjutnya sampel diaduk dengan kecepatan 100 rpm
selama 2 jam. Sampel diambil per skala waktu yaitu 0, 5, 10, 15, 20, 30, 45, 60, 90 dan 120
menit. Kemudian sampel disentrifuge dengan kecepatan 1000 rpm selama 15 menit untuk
memisahkan partikel adsorben yang ikut pada saat pengambilan sampel dan larutanya.
Kemudian sampel di saring menggunakan pompa vakum. Sampel kemudian di destruksi
sebelum ditentukan konsentrasi merkuri nya menggunakan AAS. Prosedur destruksi
mengikuti Metode EPA 7471B. Setalah dilakukan variasi pH maka dilakukan pula variasi
jenis adsorben yakni GAC-Fe dan GAC-Ce serta variasi dosis adsorben sebesar 10, 20 dan
30 gram.
Analisis Data
Analisis data dilakukan untuk mengetahui proses adsorpsi sistem batch sebagai post
treatment dalam penyisihan merkuri dari air hasil pencucian tanah, optimasi pH, dosis
adsorben, waktu kontak dan jenis adsorben yang digunakan terhadap optimasi penyisihan
dan kapasitas adsorpsi merkuri. Data yang diperoleh dari hasil analisis laboratorium
kemudian diolah dan ditabulasi. Selain itu, studi lainya juga dibahas lebih lanjut dalam
penelitian ini seperti kapasitas adsorpsi, isotherm yang dianalisis menggunakan model
Langmuir dan Freundlich. Penentuan kinetika reaksi dengan penentuan orde reaksi 1, orde
reaksi 2 orde reaksi 1 semu, dan orde reaksi 2 semu dan menentukan nilai koefisien
determinasi dalam menentukan orde reaksi.
41
memungkinkan jumlah kontaminan yang teradsorpsi di permukaan partikel tanah tersebut
juga akan lebih banyak dari sand dan gravel.
Tanah kemudian dilakukan pencucian dengan rasio solid : liquid (1 : 15) selama 3
jam menggunakan pelarut KI dengan konsentrasi 0,2 M. Konsentrasi merkuri pada air hasil
pencucian masih berada diatas baku mutu yakni sekitar 1-3 ppm, sehingga perlu dilakukan
pengolahan lanjutan sebelum dibuang ke lingkungan. Sedangkan kandungan merkuri pada
tanah adalah sebesar 136,9 ppm. Sistem pengadukan pada proses soil washing dapat
membantu dalam pendistribusian butiran tanah ke larutan pencuci sehingga terjadi kontak
antara fase padat dan cair. KI merupakan agen pengkhelat yang digunakan sebagai larutan
pencuci yang membentuk kompleks logam lebih kuat daripada interaksi logam dengan tanah.
Senyawa I - pada KI digunakan sebagai ligan yang akan berikatan dengan logam merkuri
dalam tanah. Secara umum mekanisme reaksi KI sebagai agen pengkelat logam merkuri
dapat diekspresikan dengan persamaan berikut: (Rivandini, V dan Jatnika, E, 2019).
Adsorben
Adsorben Granular Activated Carbon (GAC) diimpregnasi dengan tujuan untuk
mengisi pori-pori penyangga yakni GAC dengan larutan logam aktif melalui adsorpsi logam,
yaitu dengan merendam GAC dalam larutan yang mengandung logam aktif.
Pada Tabel 1 analisis menggunakan BET dapat terlihat bahwa luas permukaan GAC
terimpregnasi Ce memiliki luas permukaan sebesar 172,35 m2/g yang memiliki nilai lebih
besar dibandingkan dengan GAC saja dan GAC terimpregnasi Fe. Pada Tabel 2 GAC
42 Jurnal Teknik Lingkungan Vol. 26 No. 1 Rizki Rilda Aulia dan Agus Jatnika Effendi
sebelum di impregnasi dengan logam Fe sudah terdapat Fe didalamnya beserta unsur yang
lain sedangkan pada GAC terimpregnasi Ce memiliki keberadaan unsur yang sama dengan
GAC namun memiliki tambahan keberadaan unsur Ce akibat adanya impregnasi GAC
menggunakan Ce. Keberadaan Ce dan Fe menunjukan bahwa proses impregnasi memang
terjadi.
Unsur % Massa pada GAC % Massa pada GAC-Ce % Massa pada GAC-Fe
43
Parameter Hasil Analisa Satuan
Al <0,5 ppm
NH4 <0,33 mg/l
Cl 0,379 mg/l
SO4 67,559 mg/l
NO2 0,057 ppm
NO3 3,538 ppm
PO4 0,336 ppm
Selain merkuri, didalam tanah yang terkontaminasi terdapat berbagai macam unsur
hara baik yang bersifat organik dan anorganik yang dapat mengalami distribusi ke air olahan
selama proses pencucian tanah. Hal ini dapat mengganggu selektivitas adsorben GAC untuk
mengadsorpsi merkuri.
0,100
Kapasitas Adsorpsi (mg/g)
0,090
GAC GAC-Fe GAC-Ce
0,080
0,070
0,060
0,050
0,040
0,030
0,020
0,010
0,000
4 6 8
pH
(a)
44 Jurnal Teknik Lingkungan Vol. 26 No. 1 Rizki Rilda Aulia dan Agus Jatnika Effendi
(b)
Gambar 1. (a) Optimasi nilai variasi pH terhadap kapasitas adsorpsi merkuri (b)
Penurunan konsentrasi merkuri pada adsorben GAC dan GAC-Fe pH 8 dan GAC-Ce pH 6
serta kontrol pada pH 6.
pH dapat mempengaruhi larutan kimia dari logam dan keadaan ionisasi gugus
fungsional yang ada pada permukaan sorben. Dari gambar 1, dapat diketahui bahwa nilai pH
optimum untuk adsorpsi khelat logam merkuri dengan jenis adsorben yang berbeda yakni
GAC, GAC-Fe dan GAC-Ce memiliki nilai pH optimum yang berbeda pula. Pada adsorben
GAC tanpa impregnasi memiliki pH optimum 8 yakni memiliki nilai kapasitas adsorpsi
sebesar 0,048 mg/g. Pada GAC-Fe memiliki pH optimum 8 dengan nilai kapasitas adsorpsi
sebesar 0,054 mg/g, sedangkan untuk GAC-Ce memiliki pH optimum 6 dengan nilai
kapasitas adsorpsi sebesar 0,087 mg/g.
Pada adsorben GAC memiliki nilai konsentrasi merkuri awal sebesar 3,255 ppm dan
memiliki penurunan yang optimum pada menit ke 20 dengan konsentrasi sebesar 2,283 ppm.
Pada adsorben GAC-Fe memiliki konsentrasi awal merkuri sebesar 3,354 ppm dan
mengalami penurunan konsentrasi pada menit ke 20 dengan konsentrasi sebesar 2,269 ppm,
sedangkan pada adsorben GAC-Ce memiliki konsentrasi awal sebesar 2,204 ppm dan
mengalami penurunan yang sangat baik pada menit ke 120 dan mencapai konsentrasi sebesar
0,443 ppm. Sebagai kontrol dilakukan penyisihan merkuri pada air olahan dengan tidak
45
menggunakan adsorben pada pH yang sama dan memiliki pH optimum 6 dengan nilai
konsentrasi hanya mencapai 3,13 ppm pada menit ke 60.
Pada GAC-Ce mengikuti adsorpsi dengan cara logam yakni dengan meningkatnya
pH dari 6 ke 8 mengalami penurunan konsentrasi (adsorpsi meningkat). Sedangkan pada jenis
adsorben GAC dan GAC-Fe mengikuti adsorpsi senyawa kompleks dengan cara seperti
logam dimana peningkatan pH memiliki pengaruh peningkatan konsentrasi pada penyisihan
merkuri.
0,10
Kapasitas Adsorpsi(mg/g)
0,09
0,08 GAC GAC-Fe GAC-Ce
0,07
0,06
0,05
0,04
0,03
0,02
0,01
0,00
10 20 30
Dosis Adsorben (g)
46 Jurnal Teknik Lingkungan Vol. 26 No. 1 Rizki Rilda Aulia dan Agus Jatnika Effendi
Penurunan nilai kapasitas adsorpsi ini dapat terjadi karena adanya penurunan
ketersediaan ion merkuri dalam fase air per situs aktif adsorben dan adanya situs aktif pada
permukaan adsorben yang tidak mengalami penjenuhan (Hadi, et al, 2014). Faktor lain yang
dapat mempengaruhi penurunan nilai kapasitas adsorpsi yakni gaya tarik menarik yang
terjadi antara permukaan karbon aktif dan ion merkuri yang tidak begitu kuat akibat luas
permukaan yang tersedia untuk proses adsorpsi terlalu besar. Konsentrasi merkuri pada
larutan tidak cukup kuat untuk mengakomodasi seluruh permukaan yang tersedia, sehingga
titik kesetimbangan antara konsentrasi merkuri dan adsorben telah tercapai pada efisiensi
tersebut (Afifah, N, 2018). Penggunaan limbah asli juga menjadi faktor yang cukup
mempengaruhi kapasitas adsorpsi merkuri. Terdapatnya zat-zat kompetitor lain didalam air
hasil pencucian tanah selain merkuri juga dapat menyebabkan adanya situs aktif pada
adorben ditempati oleh ion selain ion merkuri. Hal ini dibuktikan dengan dilakukannya
pengujian nilai kapasitas adsorpi GAC (10 gram) dan GAC-Fe (6,5 gram) menggunkan
limbah artificial HgNO3 dengan konsentrasi awal 3 ppm yang dapat dilihat pada Gambar 3.
0,200
Kapasitas Adsorpsi (mg/g)
0,180 0,172
0,140 0,125 0,160 0,142
0,120 0,140
0,120 0,105
0,100 0,087 0,100
0,080 0,068 0,080
0,060
0,060 0,040
0,040 0,020
0,000
0,020
5 30 60
0,000 Waktu (Menit)
20 30 60 Waktu (Menit))
(b)
Gambar 3. Nilai kapasitas adsorpsi menggunakan limbah artificial dengan jenis adsorben
(a) GAC (b) GAC-Fe.
47
Optimasi waktu kontak
Optimasi waktu kontak pada adsorpsi merkuri ditunjukan pada Gambar 1 b dengan
menggunakan tiga jenis adsorben serta kontrol dan keadan pH dan dosis adsorben optimum,
dapat dilihat pada grafik bahwa pada jenis adsorben GAC dan GAC-Fe mengalami fluktuasi
konsentrasi seiring dengan bertambahnya waktu kontak. Mengalami penurunan dari menit
pertama hingga menit ke 5, hal ini disebabkan oleh masih banyaknya situs aktif pada
adsorben diawal proses dan masih tingginya kandungan merkuri dilarutan, sehingga pada
saat dikontakan, merkuri langsung menempati situs aktif di permukaan adsorben. Namun
tidak hanya merkuri yang terdapat didalam larutan air olahan tetapi juga terdapat ion-ion lain
yang disebut sebagai ion kompetitor.
Kenaikan nilai konsentrasi pada menit selanjutnya diakibatkan oleh adanya
persaingan antar ion dilarutan yang teradsorp pada permukaan adsorben. Ion-ion kompetitor
ini umumnya teradsorpsi secara fisik yang bersifat reversible yang menyebabkan semakin
lamanya waktu kontak akan menyebabkan terlepas kembalinya ion-ion kompetitor tersebut
(desorpsi), sehingga situs aktif kembali kosong dan dapat diisi kembali oleh merkuri. Proses
adsorpsi dapat terjadi secara kimia dan fisika.
0,100
GAC GAC-Fe GAC-Ce
0,090
Kapasitas Adsorpsi (mg/g)
0,080
0,070
0,060
0,050
0,040
0,030
0,020
0,010
0,000
5 10 15 20 30 45 60 90 120
Nilai kapasitas adsorpsi untuk jenis adsorben GAC dan GAC-Fe sama dengan nilai
konsentrasi terhadap optimasi waktu kontak yakni mengalami nilai yang fluktuatif.
48 Jurnal Teknik Lingkungan Vol. 26 No. 1 Rizki Rilda Aulia dan Agus Jatnika Effendi
Sedangkan kapasitas adsorpsi merkuri untuk jenis adsorben GAC-Ce meningkat seiring
dengan meningkatnya waktu kontak. Nilai kapasitas adsorpsi GAC optimum memiliki nilai
sebesar 0,048 mg/g pada menit ke 20, GAC-Fe sebesar 0,054 mg/g pada menit ke 20
sedangkan GAC-Ce sebesar 0,087 mg/g pada menit ke 120.
Isoterm adsorpsi
Berdasarkan nilai koefisien korelasi (R2) serta nilai KF dan n pada persamaan
isotherm Freundlich, proses adsorpsi merkuri dengan GAC, GAC-Fe dan GAC-Ce lebih
cocok dimodelkan dengan model isotherm Freundlich. Pada proses adsorpsi merkuri
menggunakan adsorben GAC memiliki nilai KF yang lebih kecil dibandingkan jenis adsorben
yang lain yakni sebesar 0,001 sedangkan untuk adsorben GAC-Fe yang memiliki nilai KF
yang terbesar yakni 1477,747 sedangkan jenis adsorben GAC-Ce memiliki nilai KF sebesar
4,642. Semakin besar nilai KF pada persamaan Freundlich maka semakin tinggi potensi untuk
mengkarakterisasi adsorben sebagai lebih reaktif, meskipun konstanta cenderung spesifik
bergantung pada situs dan adsorben (Payne, K dan Abdel, F, 2005).
Proses adsorpsi merkuri menggunakan GAC, GAC-Fe dan GAC-Ce memiliki nilai
1/n > 1 atau n < 1. 1/n merupakan parameter heterogenitas, dimana semakin kecil nilai 1/n
maka semakin besar heterogenitas yang diharapkan. Proses adsorpsi dengan nilai 1/n >1 atau
n < 1 menunjukan bahwa proses sorpsi yang kooperatif yang mengindikasikan adanya
mekanisme tarik menarik antar solute pada permukaan adsorben (Utami, et al, 2015).
49
Kinetika adsorpsi
Bedasarkan nilai koefisien korelasi (R2) tiga jenis adsorben terhadap kapasitas
adsorpsi, proses adsorpsi jenis adsorben GAC dan GAC-Fe mengikuti kinetika orde dua semu
sedangkan jenis adsorben GAC-Ce mengikuti kinetika orde dua. Pada jenis adsorben
terhadap nilai kapasitas adsorpsi optimum pada tiap kondisi variasi optimum menunjukan
nilai koefisien korelasi (R2) pada GAC-Ce memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan
GAC dan GAC-Fe yakni sebesar 0,978. Hal ini dipengaruhi oleh adaanya perbedaan terhadap
nilai luas permukaaan adsorben GAC-Ce dengan adsorben yang lainya sehingga pada
adsorben GAC-Ce dapat mempercepat reaksi penyisihan merkuri diikuti dengan GAC-Fe
dan GAC.
KESIMPULAN
Adsorben GAC-Ce memiliki efektifitas yang baik dalam penyisihan merkuri dalam
air hasil pencucian tanah dibandungkan dengan adsorben GAC dan GAC-Fe. Pada adsorben
GAC memiliki pH optimum sebesar 8 dengan dosis 10 gram. Pada adsorben GAC-Fe
memiliki pH optimum 8 dan memiliki dosis optimum 10 gram, sedangkan pada adsorben
GAC-Ce memiliki pH optimum 6 dan dosis adsorben pada sebesar 10 gam, hal ini didasarkan
pada nilai kapasitas adsorpsi masing-masing jenis adsorben. Kapasitas adsorpsi untuk proses
adsorpsi merkuri dari air hasil pencucian tanah dengan GAC, GAC-Fe dan GAC-Ce optimum
adalah masing-masing sebesar 0,048, 0,054 dan 0,087 dalam milligram adsorbat per gram
adsorben. Proses adsorpsi merkuri dari air hasil pencucian tanah dengan adsorben GAC,
GAC-Fe dan GAC-Ce lebih cocok dimodelkan dengan model isotherm Freundlich ditinjau
dari nilai koefisien korelasi dan nilai KF serta n pada soterm adsorpsi pada masing-masing
jenis adsorben. Proses adsorpsi merkuri dari air hasil pencucian tanah dengan adsorben GAC
dan GAC-Fe mengikuti kinetika orde dua semu, sedangkan untuk adsorben GAC-Ce
mengikuti kinetika orde dua, hal ini didasarkan pada nilai koefisien korelasi (R2) yang
mendekati 1.
50 Jurnal Teknik Lingkungan Vol. 26 No. 1 Rizki Rilda Aulia dan Agus Jatnika Effendi
Tabel 5. Kinetika Adsorpsi (K dalam menit -1)
GAC GAC-Fe GAC-Ce
Kinetika Orde 1
2
R K1 R2 K1 R2 K1
0,0374 0,0005 0,0055 -0,0002 0,9015 0,014
Kinetika Orde 2
2
R K2 R2 K2 R2 K2
0,0267 0,0002 0,0092 0,0001 0,978 0,0158
Kinetika Orde Semu 1
R2 K1 R2 K1 R2 K1
0,0016 0,001 0,0089 0,0005 0,9623 0,0355
Kinetika Orde Semu 2
2
R K2 R2 K2 R2 K2
0,9503 -11,13129 0,9650 -13,8808 0,0906 0,27244
DAFTAR PUSTAKA
Abuzar, S., Dewilda, Yommi dan Stefani, Windy. 2014. Analisis Penyisihan COD Limbah Cair Hotel
Menggunakan Serbuk Kulit Jagung. Jurnal Teknik Limgkungan UNAND. 18-27.
Afifah, N. A. (2018). Identifikasi sebaran logam berat arsen (As) pada air tanah dangkal dengan metode kriging
(Studi kasus: Air tanah dangkal SubDAS Ciwidey). Bandung: Tesis Program Magister, Institut
Teknologi Bandung.
C. Aspinall. (2001): Small-scale Mining in Indonesia. Indonesia Institute for Environment and Development,
Mining Minerals and Sustainable Development Report, Jakarta.
Calvin. (2018): Studi Adsorpsi Merkuri Menggunakan Karbon Aktif Berbahan Baku Kulit Durian (Aplikasi
pada Limbah Pertambangan Emas Rakyat dari Kab. Mandailing Natal). Jurnal Teknik Lingkungan
USU.
Hadi, P., to, Ming-Ho., Hui, Chi-Wai., dkk. 2014. Aqueous Mercury Adsorption by Activated Carbon.
Manuscript. Chemical and Biomolecular Engineering Departement. Hong Kong University of
Science and Technology.
Hutapea, Kartini Efridawati. 2018. Penyisihan Kadar Logam Fe dan Mn dari Air Sumur dengan Menggunakan
Kulit Singkong sebagai Adsorben. Skripsi. Universitas Sumatra Utara.
Jatmiko, Tri Hadi. (2013): Pemanfaatan Karbon Aktif dari Limbah Tempurung Kemiri untuk Adsorpsi Limbah
merkuri-Hg (II). Prosiding Seminar Nasional Peran Teknologi di Era Globalisasi ke 2. Teknik
Kimia, ITM, Medan.
Karthika, N., Jananee, K dan Murugaiyan, V. (2016): Remediation of Contaminated Soil Using Soil Washing-
a Review. Journal of Engineering Research and Applications. 2248-9622 Vol 6.
51
Khalid, Sana., Shahid, Muhammad., Niazi, Nabeel., Murtaza, Behza., Bibi, Irshad dan Dumat, Camille. (2017):
A comparison of techbologies for remediation of heavy metal. Journal of Geochemical Exploration.
182 (2017) 247-268.
Liu, Lianwen., Li, Wei dan Guo, Mingxin. (2018): Remediation techniques for heavy metal-contaminated soils:
Principles and applicability. Jurnal Science of the Total Environment. 633 (2018) 206-219.
Payne, K. B., & Abdel-Fattah, T. M. (2005). Adsorption of arsenate and arsenite by iron-treated activated carbon
and zeolites: effects of pH, temperature, and ionic strength. Journal of Environmental Science and
Health, 723-749.
Raychoudhury, T., Schiperski, F dan Scheytt, T. (2015): Distribution of Iron in Activated Carbon Composites:
Assessment of Arsenic Removal Behavior. Journal. IWA Publishing.
Riyandini, V L dan Effendi, A J. 2019. Analisis Koefisien Distribusi (Kd) pada Tanah Tercemar Merkuri Di
Provinsi Banten Menggunakan Potassium Iodida dengan Metode Soil Washing. Tesis. Institut
Teknologi Bandung.
Utami, J B., Wijaya, G S., Sediawan, W B., dkk. 2015. Prediksi Kesetimbangan Adsorpsi Uranium Pada Air
dan Berbagai Sedimen. Jurnal Forum Nuklir. Vol 9. No 2. 29-37.
Yani. (2013): Akibat Limbah Pengolahan Emas, 8 Warga Citorek Keracunan. http://harianjayapos.com/detail-
2834-akibat-limbah-pengolahan-emas8-warga-citorek-keracunan.html (Diakses pada 29 Januari
2019).
52 Jurnal Teknik Lingkungan Vol. 26 No. 1 Rizki Rilda Aulia dan Agus Jatnika Effendi
ISSN: 2302-3333 Jurnal Bina Tambang, Vol. 4, No. 3
*dianikhsan95@gmail.com
**adree@ft.unp.ac.id
Abstract. PT Selamat Jaya is a coal contracting company located in Puteri Hijau sub-district,
Bengkulu Utara District, Bengkulu Province. PT Selamat Jaya has 2 work locations, namely PT
Bara Mega Quantum and PT Kaltim Global. The research area of the researcher is PT Katim
Global. Where in the Mining Business Permit area, PT Kaltim Global has a newly opened pit
and is nearing completion for the initial coal mining stage. To increase production, it is necessary
to develop the pit area. PT Selamat Jaya with the owner of PT Kaltim Global does not yet have
a resource sediment model, so estimation of coal resources is needed. This process aims to
estimate the amount of coal tonnage and how coal deposits are spread below. In this study, the
method used to estimate coal resources is the ordinary kriging method. From the estimation
results using this ordinary kriging method, later sediment models from coal will be obtained
including the amount of coal tonnage. The total coal tonnage in the study area was
10.274.544 tons, with a covering layer of 41.088.000 Bcm. From the calculation we also got a
stripping ratio of 1 : 3,9.
120
d. Lignit atau batubara coklat adalah batubara yang 4. Sumberdaya batubara terukur (measured coal
sangat lunak yang mengandung air 33-75% dari resource): jumlah batubara di daerah penyelidikan
beratnya. atau bagian dari daerah penyelidikan yang dihitung
e. Gambut, berpori dan memiliki kadar air di atas 75% berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat
serta nilai kalori yang paling rendah. yang ditetapkan untuk tahap eksplorasi rinci.
5. Cadangan batubara terkira (probable coal reserve):
Sumberdaya batubara terindikasi dan sebagian
2.1.3.2 Berdasarkan Tingkat Kalori sumberdaya terukur. tetapi berdasarkan kajian
kelayakan semua faktor yang terkait telah
Berdasarkan tingkat kalorinya, batubara Indonesia
terpenuhi sehingga penambangan dapat dilakukan
dikelompokkan menjadi[5]:
secara layak.
6. Cadangan batubara terbukti (proved coal reserve):
a. Batubara Kalori Rendah, yaitu jenis batubara yang
Sumberdaya batubara terukur yang berdasarkan
paling rendah peringkatnya, bersifat lunak-keras,
kajian kelayakan semua faktor yang terkait telah
mudah diremas, mengandung kadar air tinggi (10-
terpenuhi sehingga penambangan dapat dilakukan
70%), memperlihatkan struktur kayu, nilai kalorinya
secara layak.
kurang dari 5100 kal/gr (adb).
b. Batubara Kalori Sedang, yaitu jenis batubara yang
peringkatnya lebih tinggi daripada batubara kalori
rendah, bersifat lebih keras, mudah diremas – tidak
bisa diremas, kadar air relatif lebih rendah,
umumnya struktur kayu masih tampak, nilai kalori
5100-6100 kal/gr (adb).
c. Batubara Kalori Tinggi, adalah jenis batubara yang
peringkatnya lebih tinggi lagi, kadar air relatif lebih
rendah dibandingkat batubara kalori sedang,
umumnya struktur kayu tidak tampak, nilai kalorinya
6100-7100kal/gr (adb).
Gambar 1. Hubungan Sumberdaya dan Cadangan Batubara
d. Batubara Kalori Sangat Tinggi, adalah jenis batubara
dengan peringkat paling tinggi, umumnya
dipengaruhi intrusi ataupun struktur lainnya, kadar air 2.2.2 Persyaratan Sumberdaya dan Cadangan
sangat rendah, nilai kalorinya lebih dari 7100 kal/gr Batubara
(adb).
2.2.2.1 Aspek Geologi
2.2 Sumberdaya dan Cadangan Batubara
Berdasarkan tingkat keyakinan geologi, sumberdaya
terukur harus mempunyai tingkat keyakinan yang lebih
2.2.1 Klasifikasi Sumberdaya dan Cadangan besar dibandingkan dengan sumberdaya terunjuk, begitu
Batubara pula sumberdaya terunjuk harus mempunyai tingkat
keyakinan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
Klasifikasi sumberdaya batubara didasarkan pada tingkat
sumberdaya tereka..
keyakinan geologi dan kajian kelayakan. Klasifikasi
sumberdaya dan cadangan batubara berdasarkan SNI, Tabel 1. Jarak Titik Informasi Menurut Kondisi Geologi[3]
2011 yaitu[3]:
1. Sumberdaya batubara hipotetik (hypothetical
coal resource): jumlah batubara di daerah
penyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan
yang dihitung berdasarkan data yang memenuhi
syarat-syarat yang ditetapkan untuk tahap survey
tinjau.
2. Sumberdaya batubara tereka (inferred coal resource):
jumlah batubara di daerah penyelidikan atau bagian
dari daerah penyelidikan yang dihitung berdasarkan Uraian tentang batasan umum untuk masing-masing
data yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan kondisi geologi di atas adalah sebagai berikut:
untuk tahap prospeksi. 1. Kondisi Geologi Sederhana Dengan ciri sebagai
3. Sumberdaya batubara terindiksi (indicated coal berikut:
resource): jumlah batubara di daerah penyelidikan a. Endapan batubara umumnya tidak dipengaruhi
atau bagian dari daerah penyelidikan yang dihitung oleh aktivitas tektonik seperti sesar, lipatan, dan
berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat intrusi.
yang ditetapkan untuk tahap eksplorasi b. Lapisan batubara umumnya landai, menerus
pendahuluan. secara lateral sampai ribuan meter, dan hampir
tidak memiliki percabangan.
121
c. Ketebalan lapisan batubara secara lateral dan menunjukkan angka yang berbeda. Persyaratan tersebut
kualitasnya tidak menunjukkan variasi yang diperlihatkan pada Tabel 3.
berarti.
2. Kondisi Geologi Moderat Tabel 3. Persyaratan Kuantitatif Ketebalan Lapisan Batubara
Dengan ciri sebagai berikut: dan Lapisan Pengotor[5]
a. Endapan batubara sampai tingkat tertentu telah
mengalami pengaruh deformasi tektonik.
b. Pada beberapa tempat, intrusi batuan beku
mempengaruhi lapisan dan kualitas batubaranya.
c. Dicirikan oleh kemiringan lapisan dan variasi
ketebalan lateral yang sedang.
d. Sebaran percabangan batubara masih dapat 2.2 Metode Perhitungan Sumberdaya
diikuti sampai ratusan meter.
3. Kondisi Geologi Kompleks dengan ciri sebagai Pemilihan metode perhitungan sumberdaya didasari oleh
berkut: faktor geologi endapan, metode eksplorasi, data yang
a. Umumnya telah mengalami deformasi tektonik dimiliki, tujuan perhitungan, dan tingkat kepercayaan
yang intensif. yang diinginkan.
b. Pergeseran dan perlipatan akibat aktivitas Secara umum, pemodelan dan perhitungan
tektonik menjadikan lapisan batubara sulit sumberdaya batubara memerlukan data-data dasar
dikorelasikan. sebagai berikut[1,6] : Peta topografi, Data dan sebaran titik
c. Perlipatan yang kuat juga mengakibatkan bor, Peta geologi lokal (meliputi litologi, stratigrafi, dan
kemiringan lapisan terjal. struktur geologi). Dari data-data dasar tersebut akan
dihasilkan data olahan, yaitu data dasar yang diolah
d. Sebaran lapisan batubara secara lateral terbatas untuk mendapatkan model endapan batubara secara 3
dan hanya dapat diikuti sampai puluhan meter.
dimensi untuk selanjutnya akan dilakukan perhitungan
sumberdaya endapan batubara[6].
2.2.2.2 Aspek Ekonomi
2.3.1 Statistik Univarian
Beberapa unsur yang terkait dengan aspek ekonomi dan
perlu diperhatikan dalam menggolongkan sumberdaya Statistik Univarian adalah metode statistik yang
batubara yaitu Ketebalan minimal lapisan batubara yang digunakan untuk menganalisis hubungan antar masing-
dapat ditambang dan ketebalan maksimal lapisan masing data dari suatu populasi tanpa memperhatikan
pengotor atau dirt parting yang tidak dapat dipisahkan lokasi dari data-data tersebut. Hasil dari statistik ini pada
pada saat ditambang, yang menyebabkan kualitas umumnya dipresentasikan dalam bentuk tabel frekuensi
batubaranya menurun karena kandungan abunya atau histogram. Histogram merupakan suatu gambaran
meningkat[3,5]. dari distribusi, suatu data kedalam beberapa kelas yang
memiliki interval kelas tertentu dan kemudian
Tabel 2. Klasifikasi Sumberdaya dan Cadangan Batubara[3,5] menentukan jumlah data dari masing-masing kelas
(frekuensi)[7].
Parameter statistik yang digunakan untuk analisis
statistik univariat adalah sebagai berikut:
1. Mean
2. Median
3. Modus
4. Range
5. Jangkauan antar kuartil
6. Varians
7. Simpangan baku
8. Skewness
Jenis batubara energi rendah (brown coal) 9. Kurtosis
menunjukkan kandungan panas yang relatif lebih rendah
dibandingkan dengan batubara jenis batubara energi 2.3.2 Statistik Spasial
tinggi (hard coal)[5]. Karena pada hakikatnya kandungan
panas merupakan parameter utama kualitas batubara, Statistik spasial adalah segala teknik analisis untuk
persyaratan batas minimal ketebalan batubara yang dapat mengukur distribusi suatu kejadian berdasarkan
ditambang dan batas maksimal lapisan pengotor yang keruangan Keruangan yang dimaksud disini adalah
tidak dapat dipisahkan pada saat ditambang untuk variabel yang ada di permukan bumi seperti kondisi
batubara jenis batubara energi rendah (brown coal) dan topografi. Berbeda dengan statistik non spasial yang
batubara jenis batubara energi tinggi (hard coal) akan tidak memasukkan unsur keruangan dalam analisisnya[7-
8]
.
122
1. Variogram tergantung dari pengalaman dan sense seseorang.
a. Variogram Eksperimental Tujuan dari fitting ini adalah untuk menentukan
Variogram eksperimental dibuat berdasarkan parameter geostatistik seperti a, C dan Co.
pengukuran korelasi spasial antara 2 (dua)
conto/data yang dipisahkan dengan jarak tertentu
2.3 Metode Ordinary Kriging
sebesar h. Data tersebut merupakan data yang
diperoleh dari pengukuran di lapangan, dapat Metode Kriging digunakan oleh G. Matheron pada tahun
berupa data kadar, ketebalan, ketinggian 1960-an, untuk menonjolkan metode khusus dalam
topografi, porositas, dan permeabilitas. moving avarage terbobot (weighted moving average)
Kemudian hasil perhitungan variogram di plot yang meminimalkan variasi dan hasil estimasi[10].
pada suatu koordinat kartesian antar jarak antar Kriging adalah suatu teknik perhitungan untuk estimasi
pasangan data (h) dan variogram γ(h). dari suatu variabel terregional yang menggunakan
b. Variogram Model pendekatan bahwa data yang dianalisis dianggap sebagai
1) Model Spherical suatu realisasi dari suatu variabel acak, dan leseluruhan
Bentuk semivariogram ini dirumuskan variabel acak yang dianalisis tersebut akan membentuk
sebagai berikut: suatu fungsi acak menggunakan struktural variogram[11].
(2) Kriging merupakan analisis data geostatistika yang
digunakan untuk mengestimasi besarnya nilai yang
mewakili suatu titik yang tidak tersampel berdasarkan
titik–titik tersampel yang berada di sekitarnya dengan
mempertimbangkan korelasi spasial yang ada dalam
data. Kriging merupakan suatu metode interpolasi yang
menghasilkan prediksi atau estimasi tak bias dan
memiliki kesalahan minimum[11-12].
Metode estimasi ini menggunakan semivariogram
yang merepresentasikan perbedaan spasial dan nilai
Gambar 2. Model SphericalI[9] diantara semua pasangan sampel data. Semivariogram
juga menunjukkan bobot yang digunakan dalam
interpolasi.
2) Model Eksponensial Banyak metode yang dapat digunakan dalam metode
Pada model eksponensial terjadi peningkatan Kriging namun berdasarkan asumsi mean yang
dalam semivariogram yang sangat curam dan digunakan maka dapat dibedakan menjadi tiga yaitu
mencapai nilai sill secara asimtotik, Simple Kriging, Ordinary Kriging, dan Universal
dirumuskan sebagai berikut: Kriging. Simple Kriging mengasumsikan bahwa mean
(3) konstan dan diketahui. Ordinary Kriging
mengamsusikan bahwa mean konstan dan tidak
diketahui, sedangkan Universal Kriging mengasumsikan
bahwa mean tidak konstan dan berubah sesuai lokasi.
Dalam perkembangannya, ketiga metode tersebut
menjadi dasar dalam pengembangan metode Kriging[12].
3 Metode Penelitian
Gambar 3. Model Eksponensial[9] Pada penelitian ini penulis menggunakan metodologii
penelitian kuantitatif. Menjelaskan bahwa penelitian
3) Model Gaussian kuantitatif adalah: Metode penelitian yang digunakan
Model Gaussian merupakan bentuk kuadrat untuk meneliti pada sampel tertentu, pengumpulan data
dari eksponensial sehingga menghasilkan menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat
bentuk parabolik pada jarak yang dekat. kuantitatif/statistik[13].
Model Gauss dirumuskan sebagai berikut[9]: Selain metode penelitian kuantitaif penulis juga
(4) menggunakan metode penelitian deskriptif. Penelitian
deskriptif adalah data kuantitatif yang dikumpulkan
dalam penelitian korelasional, komparatif, atau
eksperimen diolah dengan rumus-rumus statistik yang
c. Fitting Variogram sudah disediakan baik secara manual maupun dengan
Metode yang digunakan dalam melakukan fitting menggunakan aplikasi komputer[13]. Teknik
variogram ada 2 (dua), yaitu : metode visual dan pengumpulan data yang dilakukan penulis adalah berupa
metode last square. Para ahli geostatistik lebih data sekunder yang berisikan peta topografi, data
banyak menggunakan metode visual (manual) koordinat batubara, dan lithologi batubara.
untuk fitting variogram karena hasilnya cukup
memuaskan. Namun pekerjaan ini sangat
123
4. Hasil dan Pembahasan 4.3 Import Data
Sebelum melakukan pengolahan data drillhole di SGeMS
4.1 Basis Data terlebih dahulu kita melakukan kelompokkan dan
sesuaikan dengan format yang telah ditentukan. Untuk
Basis data yang digunakan pada penelitian ini yaitu data lapisan batubara terlebih dahulu dilakukan penyeleksian
topografi dan data lubang bor (drillhole) batubara, yang berdasarkan SNI (Standar Nasional Indonesia) 1998.
terdiri dari data koordinat lubang bor dan data ketebalan Dari penyeleksian tersebut didapat data lapisan hasil
batubara. Dimana data-data tersebut akan digunakan pengelompokan berdasarkan SNI 1998. Kemudian data
sebagai data awal untuk melakukan estimasi sumberdaya tersebut dan data bor (drillhole) yang ada, dibuatlah
batubara. Selain itu data topografi, data survey, dan data database yang diolah dengan software SGeMS disususun
geologi diperlukan juga guna melengkapi dan dengan aplikasi notepad yang berformat text document
mendukung hal-hal yang penting guna mengestimasi (*.txt). Kemudian data yang telah disusun dalam format
sumberdaya batubara. (*.txt) yang akan diimport ke dalam software SGeMS
Jarak antar lubang bor pada pit X sangat beragam, (Stanford Geostatisticial Earth Modeling Software).
yaitu berkisar antara 35 – 300 meter, dengan jarak rata- Data bor Pada software SGeMS ini nantinya akan
rata yaitu 134 meter. Berikut merupakan sebaran dari dilakukan analisis statistik Univarian, pembuatan
titik bor pada pit X PT Selamat Jaya dengan owner variogram dan estimasi Ordinary kriging ketebalan
PT Kaltim Global. batubara. Berikut merupakan contoh database disusun
pada notepad yang akan diimport ke dalam software
SGeMS.
124
4.4 Perhitungan Volume Lapisan
1. Variogram Eksperimental
127
4.4.3 Estimasi Ordinary Kriging
Thick (m)
meter.
Thick (m)
Thick (m)
132
Struktur Komunitas Fitoplankton di Area Tambang Timah dan
Perairan Sekitar Kabupaten Bangka Barat
ABSTRACT
Tin mining in the coastal waters of West Bangka Regency is known to affect water quality, which has an
impact on the phytoplankton community structure. This research aims to study phytoplankton communities
in mining tin areas and outside of mining areas (non-mining areas). Sampling was carried out in 22 sampling
stations with 7 stations in the tin mining area. Phytoplankton samples were taken by the vertical haul
method. Zooplankton sampling and measurement of water parameters in the form of temperature, pH, and
salinity were also conducted to determine the relationship of these parameters with the phytoplankton
community. Based on the density of phytoplankton in the water column, the coastal waters of West Bangka
are generally in the category of oligotrophic with cell densities ranging from 3.6 × 105 - 1.6 × 107 cells.m-
3. The results of the IS-ID analysis showed a difference of 56% in phytoplankton community structures in
the mining and non-mining areas of West Bangka coastal. Although no differences were found in the
number of phytoplankton genus present, phytoplankton cell density in the waters around the tin mining area
was found to be lower compared to the waters in the non-mining area. Differences in community structure
and phytoplankton cell density in mining and non-mining areas are thought to be related to mining activities
in the coastal. However, further studies are needed to study the magnitude of the influence and exact cause
of the emergence of differences in community structure and phytoplankton density.
ABSTRAK
Penambangan timah di perairan pesisir Kabupaten Bangka Barat diketahui dapat mempengaruhi kualitas
perairan sehingga berdampak pada struktur komunitas fitoplankton. Penelitian ini bertujuan untuk
mempelajari komunitas fitoplankton di kawasan tambang timah pesisir (mining) dan di luar area tambang
(non-mining) di pesisir Bangka Barat. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Oktober 2012 di 22
stasiun sampling, termasuk 7 stasiun sampling yang berada di area penambangan timah. Sampel
fitoplankton diambil dengan metode vertical haul menggunakan jaring Kitahara (mata jaring 80 µm).
Pengambilan sampel zooplankton dan pengukuran parameter air berupa suhu, pH, dan salinitas juga
dilakukan untuk mengetahui hubungan parameter tersebut dengan komunitas fitoplankton di area kajian.
Berdasarkan densitas fitoplankton di kolom air, perairan pesisir Bangka Barat secara umum berada dalam
kategori oligotrofik dengan densitas sel berkisar antara 3,6×105 – 1,6×107 sel.m-3. Komunitas fitoplankton
di Bangka Barat terdiri atas 28 genus, mencakup 23 genus Diatomae dan 5 genus Dinoflagellata, dengan
Bacteriastrum, Chaetoceros, Thalassiothrix, Rhizosolenia, dan Pseudo-nitzschia sebagai genera paling
dominan di perairan. Hasil analisis IS-ID menunjukkan perbedaan sebesar 56% pada struktur komunitas
fitoplankton di area mining dan non-mining perairan Bangka Barat. Meskipun tidak ditemukan perbedaan
pada jumlah genus fitoplankton yang hadir, densitas sel fitoplankton di perairan sekitar kawasan mining
timah ditemukan lebih rendah dibandingkan dengan perairan yang ada di kawasan non-mining Kabupaten
Bangka Barat. Perbedaan struktur komunitas dan densitas sel fitoplankton di area mining dan non-mining
diduga terkait dengan aktivitas penambangan di perairan pesisir Bangka Barat. Namun diperlukan kajian
lebih lanjut untuk mempelajari besar pengaruh dan penyebab pasti munculnya perbedaan struktur
komunitas dan densitas fitoplankton tersebut.
Kata kunci: Tambang timah, distribusi spasial, komunitas fitoplankton, Bray-Curtis clustering
menggunakan kapal isap atau bagan (platform) diketahui sensitif terhadap kehadiran senyawa
apung berukuran kecil (inkonvensional)(1,2,3). logam pencemar dari sedimen, seperti: timah
Meskipun penambangan timah di pesisir Bangka (Sn), timbal (Pb), nikel (Ni), kadmium (Cd), dan
Barat dilakukan tanpa menggunakan bahan tembaga (Cu)(7).
kimia, namun limbah seperti: tumpahan oli, Secara umum, komunitas fitoplankton di
bahan bakar, dan tailing merupakan beberapa perairan sekitar Pulau Bangka didominasi oleh
contoh polutan dari proses penambangan timah jenis-jenis fitoplankton dari kelompok Diatomae.
yang mengakibatkan pencemaran perairan(4,5,3) . Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Kegiatan penambangan timah di kawasan Thoha(13), diketahui bahwa komunitas
pesisir dapat meningkatkan laju sedimentasi dan fitoplankton di perairan sekitar Pulau Bangka
turbiditas perairan akibat pengadukan sedimen didominasi oleh kelompok Diatomae dari genus
dasar ke kolom air, sehingga menyebabkan Skeletonema, Rhizosolenia, dan Chaetoceros,
berkurangnya penetrasi cahaya di air. Kondisi sedangkan Putri et al.(14) menemukan komunitas
tersebut dapat menurunkan laju produktivitas fitoplankton yang didominasi Chaetoceros,
fitoplankton di perairan sekitar penambangan(6). Thalassiothrix, dan Bacteriastrum di perairan
Selain itu, proses penambangan sedimen sekitar pulau tersebut.
dengan mengeruk dasar perairan menggunakan Penelitian di perairan Pulau Bangka telah
alat cutter-suction dredge umumnya tidak sering dilakukan, namun informasi mendetail
optimal, terutama yang dilakukan oleh tambang terkait pola sebaran dan struktur komunitas
inkonvensional. Hal tersebut mengakibatkan fitoplankton di perairan sekitar perairan tersebut,
kandungan timah dan logam berat lain masih terutama yang berada di sekitar area tambang
cukup tinggi dalam sedimen yang dibuang timah perairan pesisir, masih belum banyak
sebagai tailing(2). Kondisi tersebut diketahui. Sehingga pengaruh kegiatan
mengakibatkan semakin tercemarnya perairan penambangan tersebut terhadap komunitas
oleh berbagai senyawa logam berat yang dapat fitoplankton juga belum diketahui secara pasti.
menyebabkan penurunan keanekaragaman dan Oleh karena itu, penelitian ini secara umum
densitas sel fitoplankton di air. Terkait hal bertujuan untuk mendeskripsikan komunitas
tersebut, penelitian yang dilakukan oleh Nayar et fitoplankton di perairan pesisir di sekitar
al.(7) menunjukkan bahwa peningkatan kabupaten Bangka Barat, serta mempelajari
kandungan timah di air dapat menurunkan kemungkinan adanya efek penambangan timah
kelimpahan fitoplankton, namun terdapat di pesisir Bangka Barat terhadap densitas dan
peningkatan laju pertumbuhan bakteri yang struktur komunitas fitoplankton di perairan.
toleran terhadap senyawa pencemar berupa Selain itu, diharapkan informasi yang didapatkan
timah tersebut. dari penelitian ini dapat pula digunakan sebagai
Pengadukan dasar perairan akibat kegiatan dasar untuk menentukan strategi pengelolaan
tambang juga dapat melepaskan hara dan kista wilayah pesisir Bangka Barat guna
(cyst) fitoplankton dari sedimen dasar ke kolom mempertahankan kualitas perairan kawasan
air(8,9,10). Hal tersebut tentu dapat menyebabkan tersebut, serta melakukan mitigasi terhadap
terjadinya eutrofikasi perairan dan berpotensi dampak negatif dari kegiatan penambangan.
memicu ledakan populasi (blooming) fitoplankton
yang berbahaya di perairan. Eutrofikasi dan 2. BAHAN DAN METODE
turbiditas tinggi di perairan juga dapat memicu
2.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
terjadinya fenomena oxygen depletion, berupa
kondisi minim oksigen (hipoksia) atau tanpa Penelitian ini dilakukan di perairan pesisir
oksigen (anoksia), sehingga berpotensi Kabupaten Bangka Barat dengan jarak stasiun
menyebabkan kematian massal organisme laut pengambilan sampel terjauh ± 8 km dari tepi
di perairan sekitar area pertambangan(4). pantai. Perairan di sekitar Kabupaten Bangka
luar area tambang timah(20). Peta kontur penelitian terdahulu tersebut(13,14) menemukan
parameter biotik dan biotik dibuat dengan adanya beberapa area yang bersifat mesotrofik-
metode Kriging Gridding menggunakan program atas (higher-mesotrophic) yang memiliki densitas
Surfer ver. 8.0 Surface Mapping System. fitoplankton dengan kisaran 3,2×107 – 1,8×108
sel.m-3(23). Namun, berbeda dengan penelitian-
penelitian sebelumnya, area yang bersifat
3. HASIL DAN PEMBAHASAN mesotrofik-atas tersebut tidak ditemukan pada
penelitian ini. Sebagian besar stasiun sampling
3.1 Kategori trofik perairan Bangka Barat
(16 stasiun) di perairan sekitar Kabupaten
berdasarkan densitas fitoplankton
Bangka Barat dalam penelitian ini diketahui
Densitas fitoplankton di perairan Bangka memiliki kondisi oligotrofik, sedangkan kondisi
Barat diketahui berkisar antara 3,6×105 – 1,6×107 mesotrofik-bawah hanya ditemukan pada 6
sel.m-3 (Gambar 2B). Berdasarkan sistem stasiun saja (Tabel 1).
Tabel 1. Kategori trofik stasiun-stasiun pengambilan sampel di Bangka Barat. Kategori trofik didasarkan
pada kelimpahan atau densitas sel fitoplankton di setiap stasiun pengambilan sampel.
Kategori Trofik*
Densitas Mesotrofik- Mesotrofik-Atas
Stasiun Fitoplankton Oligotrofik Bawah (Lower- (Higher- Eutrofik
(sel.m-3) (Oligotrophic) mesotrophic) mesotrophic) (Eutrophic)
(<4.16×106 sel.m-3) (4.16×106 – (3.14×107 – (>1.88×108cells.m-3)
3.14×107 sel.m-3) 1.88×108 sel.m-3)
1 1,716,981 V - - -
2 3,472,727 V - - -
3 1,198,113 V - - -
4 12,509,194 - V - -
5 9,695,898 - V - -
6 8,647,808 - V - -
7** 623,762 V - - -
8 1,243,816 V - - -
9** 531,825 V - - -
10 860,606 V - - -
11 359,264 V - - -
12** 654,545 V - - -
13** 653,465 V - - -
14** 915,194 V - - -
15 876,945 V - - -
16 1,587,694 V - - -
17 2,000,000 V - - -
18** 1,516,266 V - - -
19 15,593,640 - V - -
20 3,951,909 V - - -
3.2 Pola Distribusi Fitoplankton di Perairan Densitas fitoplankton yang tinggi di stasiun 19
Bangka Barat diduga merupakan efek dari suplai hara yang
berasal dari Sungai Niur (Gambar 2A). Sedangkan
Densitas fitoplankton tertinggi di perairan
tingginya densitas fitoplankton di sekitar stasiun 4
Bangka Barat ditemukan di stasiun 19 dengan
(Gambar 2A) diduga merupakan efek gabungan
densitas sebesar 1,56×106 sel.m-3, sedangkan
dari suplai hara yang berasal dari kota Muntok,
densitas fitoplankton terendah ditemukan di
serta aliran sungai Niur di selatan (Gambar 1).
stasiun 11 yaitu <5×105 sel.m-3 (Gambar 2). Selain
Asumsi tersebut disusun berdasarkan penelitian
itu, densitas fitoplankton di perairan zona utara
sebelumnya oleh Hafsah et al. (24) menunjukkan
diketahui lebih rendah dibandingkan dengan zona
bahwa kandungan fosfat dan nitrat yang tinggi di
selatan (Gambar 2B), yaitu sebesar 5,3×105 –
pesisir kawasan pulau Bangka merupakan efek
1,6×106 sel.m-3 (zona selatan) dan 3,6×105 –
dari tingginya suplai hara dari aliran sungai yang
4,7×106 sel.m-3 (zona utara).
melewati perkotaan di kawasan tersebut.
Pola distribusi fitoplankton bertipe agregat Pengayaan nutrien di perairan akibat peningkatan
terlihat pada zona selatan perairan Bangka Barat curah hujan dan masukan sungai merupakan
dengan pusat densitas fitoplankton terletak di salah satu faktor yang menstimulasi aktivitas
stasiun 4 dan 19 (Gambar 2A). Berbeda dari zona fitoplankton, sehingga produktivitas primer di
selatan, pola distribusi spasial fitoplankton di zona perairan bertambah hingga dua kali lipat dari
utara cenderung lebih homogen (Gambar 2A). kondisi normal(25,26,27). Zona utara perairan
Densitas fitoplankton dalam penelitian ini juga Bangka Barat mendapat pengaruh minimum dari
ditemukan semakin rendah di area yang aliran sungai, sehingga perairannya cenderung
berhadapan dengan perairan terbuka (oceanic), bersifat oligotrofik (Gambar 2A). Meskipun
seperti stasiun 13, 15, dan 16 (Gambar 2A). Selain demikian, tidak diketahui secara pasti penyebab
itu, densitas fitoplankton di stasiun-stasiun sekitar rendahnya densitas fitoplankton di stasiun 10
tambang timah, yaitu stasiun 7, 9, 12, 13, 14, 18, yang berada di depan muara Sungai Jebus
dan 22, diketahui lebih rendah dibandingkan (Gambar 2A). Kondisi ini sangat berbeda dari
dengan stasiun lain yang ada di sekitarnya stasiun 19 di depan muara Sungai Niur, yang
(Gambar 2B). diketahui memiliki densitas fitoplankton sangat
tinggi (Gambar 2A).
Berdasarkan penelitian ini, diketahui bahwa fitoplankton di perairan Bangka Barat. Sehingga,
pola distribusi pH, salinitas, suhu, dan densitas diduga faktor-faktor fisika-kimia lain yang tidak
zooplankton (Gambar 2D-2E) tidak memiliki diukur dalam penelitian ini, seperti kandungan
korelasi signifikan secara statistik terhadap hara serta pola arus, memiliki peranan yang lebih
komunitas fitoplankton di Bangka Barat (p>0,05; besar dalam menentukan pola distribusi, ataupun
r<0,7) (Tabel 2). Meskipun demikian, densitas komposisi genus dalam komunitas fitoplankton di
fitoplankton cenderung memiliki korelasi positif- area kajian. Parameter fisik seperti pola arus dan
lemah dengan densitas zooplankton dan pH air pasang-surut diketahui dapat mengubah
(rfito-zoo= 0,32; rfito-pH= 0,05; r<0,7; p>0,05). komposisi spesies penyusun komunitas
Sebaliknya, densitas fitoplankton di perairan fitoplankton, terutama di kawasan pesisir dan
Bangka Barat ditemukan memiliki korelasi negatif- muara sungai(28). Di Teluk Tokyo misalnya, pola
lemah dengan salinitas dan suhu air (rfito-salin= - arus merupakan salah satu faktor yang
0,26; rfito-temp= -0,40; r<0,7; p>0,05). Hasil tersebut mendistribusikan masukan nurien dari sungai ke
mengindikasikan bahwa parameter-parameter perairan, sehingga ikut berperan menentukan
yang diukur dalam penelitian ini tidak berpengaruh pola distribusi fitoplankton di ekosistem
cukup kuat terhadap pola distribusi komunitas sekitarnya(27).
Tabel 2. Hasil korelasi antara densitas fitoplankton, densitas zooplankton, salinitas, pH, dan suhu air
permukaan di pesisir Bangka Barat. Tidak ditemukan korelasi kuat dan/atau signifikan antara
parameter-parameter yang diukur dalam penelitian ini.
Phytoplankton Zooplankton Salinity pH Temperature
Phytoplankton 1
Zooplankton 0.33 1
Salinity -0.27 -0.12 1
pH 0.05 -0.17 0.14 1
Temperature -0.40 0.08 -0.07 -0.12 1
Gambar 3. Nilai (A) rata-rata densitas absolut (DA), (B) densitas relatif (DR), (C) frekuensi kehadiran (F),
dan (D) nilai penting (NP) komunitas fitoplankton.
Secara umum, semua genus fitoplankton distribusi yang luas di perairan Bangka Barat. Hal
dominan dalam penelitian ini juga memiliki tersebut ditandai dengan nilai F>90% untuk genus
Gambar 5. Struktur komunitas fitoplankton di semua stasiun penelitian perairan Bangka Barat yang dibagi
menjadi stasiun di dalam area tambang (mining) dan di luar tambang timah (non-mining).
Berbeda dari stasiun lainnya, genus Dalam penelitian ini, hanya stasiun 8 yang
Thalassiosira, dengan nilai DR sebesar 29,9% diketahui memiliki struktur komunitas tanpa
tampak lebih mendominasi komunitas fitoplankton kehadiran genus Chaetoceros (Gambar 4).
di stasiun 3 dibandingkan genus lainnya, seperti Dibandingkan dengan stasiun lainnya, nilai DR
Chaetoceros atau Bacteriastrum (Gambar 5). genus dominan seperti Thalassiothrix dan
Keunikan struktur komunitas fitoplankton di Rhizosolenia juga ditemukan lebih rendah pada
stasiun 3 diduga muncul akibat percampuran komunitas fitoplankton di stasiun 8 (Gambar 4).
massa air laut dan tawar (Gambar 3). Sehingga Stasiun ini diketahui berada dekat area pesisir
pH dan salinitas air di stasiun 3 lebih rendah kota Muntok yang memiliki perairan dengan
dibandingkan perairan sekitarnya (Gambar 2D salinitas terendah dalam penelitian ini, yaitu
&2E). Namun belum diketahui penyebab stasiun sebesar 28 ppt, serta nilai pH cukup rendah, yaitu
19 yang berada di depan muara Sungai Niur sebesar 7,6 (Gambar 2E &2D). Tidak diketahui
(Gambar 2A) tidak memiliki komunitas fitoplankton pasti penyebab tidak hadirnya Chaetoceros di
khas seperti stasiun 3 (Gambar 5). Stasiun 19 stasiun 8, meskipun lokasi tersebut berdekatan
justru memiliki > 70% kemiripan struktur dengan perkotaan yang seharusnya memberikan
komunitas fitoplankton dengan stasiun 18 yang banyak suplai hara ke perairan.
berada di area tambang timah (Gambar 6).
Gambar 6. Hasil analisis Bray-Curtis clustering (Simple Average Linkage). Stasiun yang diberi tanda (*)
berada di sekitar area tambang timah di pesisir Bangka Barat. Stasiun-stasiun dianggap berada
dalam satu kelompok yang sama bila memiliki nilai kesamaan (similarity) ≥70%
Gambar 7. Rerata densitas sel fitoplankton (A), jumlah genus (B), dan nilai IS-ID antara komunitas
fitoplankton di dalam dan di luar area tambang timah (C).
39.