Anda di halaman 1dari 68

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Dalam kegiatan penambangan sering dijumpai batuan relatif keras dan
tidak dapat digali menggunakan alat gali, sehingga produksi dapat terganggu
dan produksi dapat tidak mencapai target yang diinginkan. Salah satu metode
yang sering digunakan untuk dapat memberai batuan yang relatif keras yaitu
dengan metode pemboran dan peledakan (drill & blast). Tujuan dari kegiatan
pemboran dan peledakan adalah untuk memecah dan memberai batuan
sehingga dapat dengan mudah digali dengan alat gali dan dapat masuk ke
dalam crusher.
PT. Marunda Grahamineral merupakan salah satu perusahaan yang
beroperasi di kabupaten Murung Raya Provinsi Kalimantan Tengah. Operasi
penambangan batubara menerapkan system tambang terbuka (surface mining)
dengan metode open pit. Untuk batubara yang telah terbongkar dimuat
kelokasi permukaan dan disimpan di stockfile. Untuk dapat mencapaai target
ukuran fragmentasi batuan yang diinginkan pada proses penambangan PT
Marunda Grahamineral menerapkan metode pemboran dan peledakan (drill
and blast) dengan target permintaan fragmentasi P80 pada ukuran ≤30 cm,
dan P20 pada ukuran 30-70 cm, namun kegiatan peledakan yang dilakukan
belum mencapai target yang diinginkan dimana masih banyak terdapat boulder
sehingga diharuskan untuk dilakukan analisis untuk proses dalam kegiatan
peledakannya. Hal ini dapat terjadi akibat penggunaan bahan peledak yang
belum maksimal sehingga diperlukan analisis mengenai pengaruh nilai
powder factor untuk mendapatkan target fragmentasi di pit CTM PT Marunda
Grahamineral.

1.2. Masalah penelitian


Dari latar belakang penelitian ini dapat diidentifikasikan masalah sebagai
berikut :

1
1. Bagaimana desain geometri peledakan yang digunakan oleh PT
Marunda Grahamineral?
2. Berapa nilai powder factor yang optimal untuk kegiatan peledakan?
3. Berapa ukuran fragmentasi hasil peledakan yang diharapkan?

1.3. Batasan masalah


Penelitian ini dibatasi hanya meliputi nilai powder factor yang sesuai dan
optimal untuk kegiatan peledakan dan hubungannya dengan ukuran
fragmentasi yang diharapkan.

1.4. Tujuan penelitian


Tujuan dilakukannya penelitian ini untuk mengetahui :
a. Mendapatkan geometri peledakan yang sesuai dengan penggunaan bahan
peledak yang efisien untuk mencapai produksi peledakan yang
diharapkann.
b. Mengetahui nilai powder factor yang optimal
c. Mengetahui ukuran fragmentasi hasil peledakan yang diharapkan
1.5. Manfaat penelitian
Manfaat dari penelitian ini mempunyai dua hal yaitu mengembangkan ilmu
pengetahuan (secara teoritas) dan membantu mengatasi, memecahkan masalah
dalam proses penelitian di bidang peledakan, fragmentasi batuan dan
penggunaan powder factor juga untuk mencegah masalah yang ada pada objek
yang diteliti dan adapun kegunaannya yaitu menambah wawasan dan
kemampuan berfikir mengenai penerapan teori yang telah didapat dari mata
kuliah yang telah diterima dalam penelitian yang sebenarnya.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DESKRIPSI PERUSAHAAN


2.1.1 Profil perusahaan
PT Marunda Grahamineral adalah perusahaan pemegang kontrak
perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan batubara
(PKP2B) generasi II dengan nomor 006/PK/PTBA-MGM/1994
tanggal 15 agustus 1994. Pada awalnya luas PKP2B ini adalah
99.792 Ha, kemudian dengan terbitnya SK Dirjen Pertambangan
Umum No 692.K/20.01DJP/1999, luas PKP2B menjadi 72.120 Ha.
Pada triwulan IV/1999, PT Marunda Grahamineral telah
melakukan penciutan dan perluasan tahap eksplorasi terhadap
wilayah PKP2B menjadi 69.720 dengan dikeluarkannya SK Dirjen
Pertambangan umum No 930.K/20.01/DJP/1999 pada tanggal 15
desember 1999.
Berdasarkan surat Keputusan Menteri ESDM nomor
409.K/30/DJB/2009 bahwa wilayah PKP2B PT.Marunda
Grahamineral seluas 18.084 Ha, yang terdiri dari :
- Wilayah KW 00 PB 0179 seluas 12.880 Ha status tahap
produksi terdiri dari blok potensial yaitu : north kawi, central
kawi, SE mantubuh, central mantubuh, tahujan, bonding, east
kawi, bambang, menyango, pendasirun.
- Wilayah KW 09 PB 0025 seluah 5.204 Ha status permulaan
tahap operasi produksi terdiri dari blok potensial yaitu :
Maruwei dan Belawan.
Untuk lokasi tambang aktif saat ini yaitu :

3
- North kawi dengan jarak ke coal crushing plant di Beras
Belange 55 km
- Central kawi dengan jarak ke coal crushing plant di beras
belange 51 km
- SE Mantubuh dengan jarak ke coal crushing plant di beras
belange 47 km
- Menyango dengan jarak ke coal crushing plant di beras
belange 47.7 km

2.2. KEADAAN GEOGRAFI


2.2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah
Lokasi PT Marunda Grahamineral secara administrative terletak di
kecamatan Laung Tuhup, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan
Tengah. Sedangkan secara astronomis terletak pada 0 0 17’ 31’’ LS
sampai 00 35’ 12’’ LS dan 1140 43’ 27’’ BT sampai 1140 47’ 23’’
BT, dengan batas-batas sebagai berikut.
- Utara dibatasi oleh tambang batubara PT Maruwai Coal
- Timur dibatasi oleh Desa Tumbang Baloi, desa Batu Tujah,
Desa Tumbang Bauh, Desa Tumbang Masalo dan Desa Dirung
Sararung.
- Selatan dibatasi oleh Desa Murung Laung, Desa Muara Tuhup,
Desa Makujung dan Desa Bumban Tuhup
- Barat dibatasi oleh desa Kelang Duhung, Desa Beralang, Desa
Narui, Desa Tumbang Bana dan Desa Batu Tuhup

Untuk mencapai lokasi PT Marunda Grahamineral dapat dicapai


dari Yogyakarta – Banjarmasin dengan menggunakan pesawat
terbang selama 1,5 jam, selanjutnya bisa ditempuh dengan
perjalanan darat dari kota Banjarmasin menuju Muara Teweh
selama ±10 jam. Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan
menggunakan speed boat sampai di daerah jamut. Dari Jamut

4
perjalanan dilanjutkan dengan perjalanan darat dengan kondisi
jalan baik sejauh 40 km kearah utara menju menyango camp yang
merupakan site office dari PT MGM. Lokasi tambang yang dimiliki
oleh PT MGM terletak di sebelah utara menyango camp sejauh ±12
km, dapat ditempuh dengan kendaraan darat dengan kondisi jalan
yang baik.

Gambar 2.1. Peta Lokasi dan Kesampaian Daerah

2.2.2 Kondisi Iklim dan Cuaca


Salah satu ciri tambang terbuka yang membedakannya dengan
tambang bawah tanah adalah pengaruh iklim pada kegiatan
penambangan. Elemen-elemen iklim seperti hujan, temperature
serta tekanan udara dapat mempengaruhi kondisi tempat kerja,
efisiensi alat dan kondisi pekerja.
Iklim di daerah penelitian adalah tropis yang ditandai dengan
terjadinya dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau.
Pada PT Marunda Grahamineral curah hujan yang turun tiap tahun

5
rata-rata cukup tinggi. Pada saat penelitian data curah hujan yang
digunakan dari tahun 2005-2020. Dari stasiun pengamatan curah
hujan PT Marunda Grahamineral diketahui curah hujan tertinggi
dalam kurun waktu 15 tahun (2005-2020) terjadi pada bulan
januari 2020 sebesar 648 mm dalam 1 bulan. Sedangkan curah
hujan terendah terjadi pada bulan juli 2006 sebesar 0 mm dalam 1
bulan. Untuk jumlah hari hujan dalam satu bulan yang tertinggi
terdapat pada bulan April dan Mei tahun 2017 sebanyak 27 hari
dalam 1 bulan. Sedangkan yang terendah terdapat pada bulan juli
tahun 2005 sebanyak 0 hari dalam 1 bulan. Grafik curah hujan dari
hari hujan wilayah penambangan PT Marunda Grahamineral
ditunjukkan pada gambar 2.2. dan gambar 2.3.

table 2.1. Tabel Curah Hujan Tahunan


CURAH HUJAN ( MM )
BULAN Minimal ( mm ) Maximal ( mm ) Rata - rata ( mm )
2015 2016 2017 2018 2019 2020
Januari 401 167 262 511 455 648 167 648 407.33
Februari 416 164 322 511 315 521 164 521 374.83
Maret 350 167 583 354 421 580 167 583 409.17
April 256 361 704 442 554 753 256 753 511.67
Mei 345 192 517 361 424 482 192 517 386.83
Juni 343 422 551 261 458 562 261 562 432.83
Juli 0 474 431 290 71 424 0 474 281.67
Agustus 46 263 535 164 241 334 46 535 263.83
September 10 308 176 210 80 372 10 372 192.67
Oktober 43 483 348 215 366 470 43 483 320.83
November 259 469 831 385 209 455 209 831 434.67
Desember 289 292 295 392 390 356 289 392 335.67

6
gambar 2.2. grafik curah hujan rata-rata bulanan 2005-2020

table 2.2. hari hujan tahunan


DATA JUMLAH HARI CURAH HUJAN ( MM )
BULAN Minimal ( mm ) Maximal ( mm ) Rata - rata ( mm )
2015 2016 2017 2018 2019 2020
Januari 13 13 21 23 19 17 13 23 18
Februari 25 7 18 20 20 17 7 25 18
Maret 25 8 22 19 21 21 8 25 19
April 21 21 27 25 22 24 21 27 23
Mei 19 16 27 24 17 22 16 27 21
Juni 23 15 24 10 19 18 10 24 18
Juli 0 17 21 15 6 23 0 23 14
Agustus 7 14 22 10 10 16 7 22 13
September 1 16 17 14 5 20 1 20 12
Oktober 2 22 20 19 26 19 2 26 18
November 22 26 29 26 14 24 14 29 24
Desember 17 22 21 26 17 23 17 26 21

2.2.3 Flora dan Fauna


Sebagian besar tumbuhan penutup daerah sungai Laung dan
sekitarnya adalah hutan sekunder, semak belukar (bekas ladang
berpindah) dan perkebunan penduduk (70%) sedangkan sisanya
adalah hutan primer (30%). Beberapa jenis pohon dilindungi untuk
di tebang adalah ulin dan tengkawan, sedangkan tumbuhan yang di
usahakan oleh penduduk adalah perkebunan karet dan rotan, serta
ladang padi yang masih menggunakan cara berpindah.
Berbagai jenis satwa yang terdapat di daerah ini adalah jenis
mamalia seperti bekantan, owa, rusa, kijang, pelanduk, biawak,
kura-kura gading, ular, sanca, enggang, elang, tiung, cucakrowo,
patin, baung, udang, tapah, dan jelawat.
2.2.4 Sungai
Sungai barito merupakan sungai terbesar yang mengalir di daerah
penelitian (bagian selatan), mempunyai lebar antara 200-500 meter
dan kedalaman berkisar antara 10-25 meter (keadaan normal, di
bagian palung), mengalir relative barat-timur. Sungai Laung adalah
anak sungai Barito dan merupakan sungai utama yang mengalir di

7
daerah penelitian, mengalir relative dari utara ke selatan,
mempunyai lebar antara 50-75 m dan kedalaman antara 3-10
meter. Sungai lain yang cukup besar dan mengalir relative dari
Timur Laut ke Barat Daya bermuara di sungai Laung adalah sungai
Maruwai, sungai Mantubuh dan sungai Tahujan serta sungai Tupuh
(mengalir relatif Barat Laut ke Tenggara)
2.3. KEADAAN GEOLOGI
2.3.1 Keadaan morfologi
Keadaan morfologi di daerah penelitian disusun oleh perbukitan
bergelombang sedang-kuat, morfologi perbukitan lemah-sedang,
morfologi perbukitan kerucut dan morfologi dataran alluvial.
a. Satuan morfologi perbukitan lemah-sedang
Satuan perbukitan ini terdapat di ruas tengah-hulu sungai, ditandai
dengan perbukitan yang memanjang dan saling berhubungan, beda
tinggi antara puncak bukit dengan lembah yang berdekatan antara 25-
80 meter, dengan bentuk lembah relative menyerupai huruf V. batuan
penyusun yang ada merupakan batupasir dengan vegetasi penutup
berupa hutan primer yang menempati luasan hampir 65%.
b. Satuan morfologi perbukitan lemah-sedang
Pada umumnya satuan morfologi ini menempati daerah kiri-kanan
sungai besar dengan bentuk bukit membulat dan bentuk lembah
relative menyerupai huruf U. Batuan penyusunnya umumnya adalah
batu lempung dan batu lanau. Beda tinggi antara puncak bukit dengan
lembah yang terdekat antara 10-30 meter dengan vegetasi penutup
berupa hutan sekunder dan ladang maupun bekas ladang yang ditanami
pohon karet yang menempati luasan kurang lebih 30%.
c. Satuan morfologi perbukitan kerucut
Terdapat di bagian kiri-kanan sungai laung, bentuk bukit kerucut
dengan lereng yang terjal. Beda tinggi antara puncak bukit dengan
lembah bisa mencapai 50-100 meter. Batuan penyusun morfologi ini
adalah batuan beku intrusive (andesit-diorit), dengan vegetasi

8
penyusunnya bervariasi mulai dari semak belukar sampai hutan
primer. Morfologi ini menempati luasan kurang lebih 5%.

2.3.2 Stratigrafi regional


Stratigrafi regional di daerah penelitian terdiri dari 8 formasi batuan
sedimen dan 2 formasi batuan beku. (formasi adalah pembedaan batuan
berdasarkan klasifikasi stratigrafi dan penamaannya berdasarkan tempat
pertama kali batuan ditemukan). Formasi-formasi yang ada di sekitar
daerah penelitian dijelaskan sebagai berikut (dari tua-muda) :
a. Formasi Tanjung
Formasi ini merupakan formasi tertua di cekungan barito yang
diendapkan pada Eosen Bawah. Formasi ini dicirikan dengan adanya
perselingan batupasir (kuarsa), batulempung dan batulanau sisipan
batubara, batu gamping dan konglomerat.
b. Formasi Batu Ayau, Formasi Halog-Batu Kelau
Tidak ada hubungan yang jelas antara formasi Batu Ayau dan Formasi
Halog-Batu Kelau dengan Formasi Tanjung. Karena formasi ini
terdapat di sub-Cekungan Barito. Formasi Batu Ayau berumur Eosen
dan mempunyai hubungan yang menjari dengan Formasi Halog-Batu
kelau.
Formasi Batu Ayau merupakan penyusun utama stratigrafi daerah
sungai Laung dan sekitarnya, dan juga merupakan formasi pembawa
seam batubara. Formasi ini disusun oleh batupasir, batulempung, dan
batulanau, umumnya karbon setempat bersifat tufa dan batubara.
Formasi Halog dicirikan oleh batupasir kuarsa, sedikit konglomerat,
batulumpur, sedikit batu gamping. Sedangkan formasi batu kelau
didominasi oleh serpih, batu lumpur, dan sedikit batu pasir.
c. Formasi Ujohbilang
Formasi ini terendapkan selaras diatas formasi Batu Ayau, berumur
Oligosen bawah, dan tersebar di bagian timur sampai timur laut daerah

9
penelitian. Formasi ini dicirikan dengan batu lumpur(dominan) dan
sedikit batupasir.
d. Formasi Karamuan dan Formasi Perukcahu
Kedua formasi ini diendapkan tidak selaras di atas formasi ujohbilang
dan mempunyai hubungan menjari. Umur formasi ini dari oligosen
atas-miosen bawah.
Formasi Karamuan dicirikan dengan batulumpur warna abu-abu,
gampingan dan berfosil, batulanau yang bersifat serpihan dan karbon.
Sedangkan formasi perukcahu dicirikan oleh batulempung abu-abu tua,
berfosil, berseling dengan batulanau dengan lensa tipis batubara,
batupasir sisipan breksi dan lensa-lensa batubara.
e. Formasi warukin
Formasi ini diendapkan tidak selaras di atas formasi karamuan dan
formasi purukcahu. Formasi ini berumur miosen tengah dan pada
umumnya tersebar di bagian timur daerah penelitian. Formasi ini
dicirikan oleh batu pasir kuarsa, berbutir halus dan bersisipan batu
lempung karbonat dan batu lanau karbonat.
Selama oligosen atas-miosen bawah tersebut juga terendapkan batu-
batuan dari anggota:batu gamping penuut, batu gamping jangkaan,
formasi montalat dan formasi berai.
Formasi-formasi batuan sedimen diterobos oleh intrusi batuan beku
andesit diorite dan batuan gunung api bonding (andesit dan basalt).

10
11
Gambar 2.4. stratigrafi regional

2.4. LANDASAN TEORI


pada proses penambangan terdapat bermacam-macam cara untuk
melepaskan bahan/material dari batuan induknya, salah satu cara adalah
menggunakan pemboran dan peledakan. Pekerjaan ini ditempuh apabila
cara lain yang lebih efektif tidak dapat digunakan terhadap batuan,
misalnya dengan alat mekanis.
Powder Factor(PF) didefinisikan menurut teori R.L.Ash, sebagai
perbandingan jumlah bahan peledak yang dipakai dengan volume
peledakan dalam satuan kg/m3. Karena volume peledakan dapat pula
dikonversi dengan berat, maka pernyataan PF bisa pula menjadi jumlah
bahan peledak yang digunakan bagi berat peledakan atau kg/ton. Secara
umum, powder factor dapat dihubungkan dengan unit hasil produksi pada
operasi peledakan. Dengan powder factor dapat diketahui konsumsi bahan
peledak yang dipakai untuk menghasilkan sejumlah batuan.
Operasi peledakan dapat dikatakan berhasil apabila pekerjaan tersebut
menghasilkan produk serta dengan yang direncanakan baik dari segi
jumlah fragmentasi dan stabilitas dinding yang ditinggalkan. Target
produksi merupakan jumlah atau volume keseluruhan batuan yang akan
diledakkan yang dihitung dari luas area dan kedalaman lubang tembaknya.
Fragmentasi batuan hasil peledakan merupakan salah satu petunjuk untuk
dapat mengetahui keberhasilan dari suatu peledakan selain powder factor.
Karena apabila dalam suatu peledakan, powder factor tercapai tetapi tidak
menghasilkan fragmentasi batuan yang diinginkan, maka peledakan
tersebut belum bisa dikatakaan berhasil.
2.4.1 Peledakan
Peledakan merupakan tindak lanjut dari kegiatan pemboran dimana
bertujuan melepaskan batuan dari batuan induknya agar menjadi
fragmen-fragmen yang berukuran lebih kecil sehingga
mempermudah pendorongan dan pengangkutan.

12
a. Persiapan peledakan
Persiapan peledakan semua kegiatan baik teknik dan tindakan
pengamanan yang bertujuan untuk dapat melaksanakan suatu
pekerjaan yang aman dan berhasil. Persiapan peledakan
meliputi :
1. Pengamanan lapangan kerja selama persiapan
peledakan dengan memberi tanda tambah daerah
peledakan diantaranya membuat daerah batas
peledakan, dengan memasang bendera tanda bahaya.
2. Persiapan alat bantu peledakan antara lain detonator
nonel, LIL, inisiasi inhole, surface delay serta mesin
pemicu peledakan
3. Melakukan pengukuran kedalaman terhadap lubang bor
untuk mengetahui seberapa banyak bahan peledak yang
akan dimasukkan untuk setiap lubang tembak
4. Pengisian bahan peledak ke dalam lubang ledak
5. Merangkai primer dengan hati-hati karena detonator in-
hole sangat peka terhadap tumbukan, kemudian
merangkai surface delay, in hole serta LIL
6. Pemilihan tempat atau posisi pemegang blasting
machine (BM) sebelum peledakan dimulai, seorang
pemegang blasting machine harus menentukan terlebih
dahulu tempat perlindungan yang aman. Untuk tambang
terbuka harus diperhitungkan arah dan jarak fly rock,
untuk itu perlu diambil posisi yang berlawanan dengan
arah lemparan batu.
7. Pengamanan lapangan sebelum peledakan.
Sebelum melakukan peledakan dilakukan pengamanan
terhadap manusia dan alat, menutup setiap akses masuk
radius peledakan dengan menggunakan tanda blokir,
serta membunyikan sirene pendek satu kali sebagai

13
tanda adanya peledakan, pengumuman melalui radio
komunikasi oleh pimpinan peledakan. Pada saat
penarikan LIL harus memberi tanda warning terhadap
sekitar dengan mengumumkan di radio dan
membunyikan sirene pendek satu kali kemudian
melakukan inspeksi setiap blokiran. Jika semuanya
sudah aman sirene pendek tiga kali dibunyikan untuk
memulai hitungan mundur 5 sampai 1 hingga pemimpin
peledakan memberikan perintah terhadap blaster untuk
meledakkan bahan peledak dengan blasting machine.
b. Jenis bahan peledak
Jenis bahan peledak yang digunakan pada kegiatan peledakan
adalah emulsi. Emulsi adalah bahan peledak yang mempunyai
energi dan kekuatan yang tinggi serta tahan terhadap air yang
sangat baik. Emulsi sensitive terhadap detonator yang memiliki
kekuatan no.6 maupun no.8.
Emulsi aman terhadap gesekan, efek panas dan dapat
dipergunakan pada terowongan, peledakan quarry terbuka serta
untuk pekerjaan konstruksi sipil.
c. Pengisian bahan peledak
Pengisian bahan peledak primer dilakukan
d. Produksi peledakan
Dalam pekerjaan peledakan setiap unit operasi saling
berhubungan satu terhadap yang lain, walaupun pekerjaan
pemboran dan peledakan adalah merupakan bagian yang paling
penting. Pola dan teknik peledakan direncanakan sedemikian
rupa sehingga hasil peledakan atau pemecahan batuan mampu
memenuhi target produksi optimum perusahaan. Disamping itu
pula kegiatan peledakan dapat menghasilkan kegiatan
fragmentasi yang sesuai untuk produktivitas kerja alat muat dan
alat angkut.

14
Produksi peledakan adalah beberapa besar volume (BCM) yang
terbongkar dalam satu kali peledakan. Untuk menentukan
besarnya produksi peledakan dapat digunakan persamaan
berikut :

V= B x S x L

V = volume batuan yang terbongkar (BCM)

B = burden (Meter)

S = spasing

L = Tinggi Jenjang (Meter)

2.4.2 Geometri peledakan


Geometri peledakan adalah salah satu parameter yang digunakan
dalam merancang atau mendesain peledakan agar menghasilkan
hasil ledakan yang diinginkan, geometri peledakan terdiri dari :
burden (B), spacing (S), subdrilling (J), stemming (T), dan
kedalaman lubang tembak (H).
a. Burden
Burden adalah jarak terdekat tegak lurus antara bidang bebas
(free face) dengan lubang tembak atau arah batuan yang
diledakkan dan batuan yang akan dilempar. Secara teoritis
besarnya burden dapat ditentukan dengan persamaan yang
dikemukakan oleh R. L. Ash Formula :
Kb = kb std x Af1 x Af2
1

Af1=
( Dstd
D ) 3

15
( )
1
SG x Ve2 3
2
std
SG std x Ve
Af2 =

Dimana :

Kb std : Burden Ratio Standart (30)

Af1 : factor koreksi karena batuan

Af2 : Faktor koreksi karena bahan peledak

Dstd : density batuan standart 2,5 ton/m3

D : Density batuan yang diledakkan 2,3 ton/m3

SG : Berat jenis bahan peledak yang digunakan 0,8 gr/m3

SGstd : Berat jenis bahan peledak standart 1,2 gr/cm3

Ve An : Kecepatan bahan peledak untuk ANFO 4.500bm/detik

Ve Standart : Kecepatan standart bahan peledak 12.000

fps=3658,5 m/s

Ukuran burden sangat berpengaruh terhadap kualitas hasil

peledakan. Dimana burden yang terlalu besar menyebabkan

hasil peledakan berupa boulder-boulder karena adanya

gelombang tekan dan Tarik yang ditimbulkan dari peledakan

akan melemah secara drastic pada saat menuju bidang bebas.

Dalam peledakan dengan baris lubang ledak yang berjumlah

banyak, maka yang sangat penting adalah burden, dimana pada

lubang ledak baris depan jangan sampai berlebihan. Jika pada

garis depan gagal melepaskan batuan, maka pelepasan batuan

secara bertahap tidak akan tercapai,fragmentasi dan tumpukan

16
berkurang tetapi over break dan getaran peledakan akan

bertambah sebaliknya jika penerapan burden terlalu kecil,

pemecahan batuan oleh gelombang tekan terjadi begitu cepat

secara langsung didepan lubang ledak, sementara energy

dorong berkurang sebagai air belus dan energy kinetic dari

pelemparan batuan yang berlebihan sebelum hal ini digunakan

secara penuh untuk fragmentasi. Dan jarak burden sangat erat

hubungannya dengan besar kecilnya diameter lubang bor yang

digunakan.

b. Spacing
Spacing adalah jarak antara lubanng bor dengan lubang bor
lainnya dalam satu row atau baris. Penentuan spacing ratio
ditentukan besarnya (1-2) atau dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut :
S
Ks=
B
Dimana :
Ks = Spacing ratio, nilainya (1-2)
S = Spacing (feet)
B = Burden (feet)
Apabila spacing lebih kecil dari burden akan menyebabkan
peretakan secara awal diantara lubang ledak. Kondisi ini
menghasilkan kehancuran yang baik diantara lubang ledak
(dalam satu baris) tetapi pada daerah burden akan terbentuk
boulder sementara itu apabila spacing yang diterapkan terlalu
besar selalu menghasilkan cekungan horizontal, tonjolan
diantara lubang ledak.
Prinsip dasar penentuan spacing adalah :

17
1. Apabila lubang ledak dalam satu baris diledakkan secara
beruntun, maka Ks = 1 atau S=B
2. Apabila lubang ledak dalam satu baris diledakkan secara
serentak maka Ks = 2 atau S = 2B
3. Apabila dalam multiple row, lubang ledak dalam satu baris
diledakkan secara beruntun dalam lubang ledak dalam arah
lateral dari baris yang berlebihan diledakkan secara
serentak maka pemboran harus dibuat square arrangement
4. Apabila dalam multiple row,lubang ledak dalam satu baris
diledakkan dengan waktu tunda, maka pemboran dibuat
dengan pola staggered pattern.
c. Stemming
Stemming adalah bagian dari lubang ledak yang diisi dengan
bahan material hasil pemboran (cutting).
Fungsi stemming adalah untuk mengurangi gas-gas yang
terbentuk pada saat peledakan dan untuk mencegah terjadinya
fly rock pada saat peledakan. Pada dasarnya tinggi ukuran
stemming dipengaruhi oleh kedalaman lubang ledak dan tinggi
kolom pengisian bahan peledak.
Penggunaan stemming yang terlalu besar akan mengakibatkan
pada bagian atas jenjang tidak mengalami pecahan dengan
baik. Namun sebaiknya penggunaan stemming yang terlalu
kecil itu juga akan menimbulkan peledakan yang tidak
sempurna. Secara teoritis ukuran stemming sekitar 0.75-1 kali
ukuran burden. Dimaksudkan agar tekanan kearah atas dan
arah samping seimbang.
Stemming dapat ditentukan dengan menggunakan rumus
sebagai berikut

T
Kt =
B

18
Dimana :
Kt = Stemming, nilainya (0.5-1.0)
T = Stemming ( Feet )
B = Burden (feet)
d. Sub drilling
Sub drilling adalah penambahan kedalaman pada suatu lubang
bor diluar rencana rantai jenjang, penggunaan sub drilling
dimaksudkan agar batuan terbongkar secara full face akan
mengakibatkan lantai jenjang yang tidak rata atau adanya
tonjolan-tonjolan(toe) yang akan menyulitkan setelah
dilakukan peledakan terutama pada kegiatan pemuatan dan
pengangkutan.
Sub drilling dapat ditentukan dengan persamaan :

J
Kj=
B
Dimana :
Kj = sub drilling ratio, nilainya (0.3)
J = Sub drilling (feet)
B = Burden (feet)

Gambar 2.4. geometri peledakan

e. Kedalaman lubang ledak

19
Secara teoritis kedalaman lubang ledak tidak boleh lebih kecil
dari burden. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya
over break atau cratering. Dimana ukuran burden berpengaruh
terhadap kualitas hasil ledakan, dengan ukuran burden yang
terlalu besar akan menyebabkan hasil ledakan berupa boulder
karena gelombang tekan dan Tarik yang ditimbulkan dari
peledakan akan melemah secara drastis pada saat menuju
bidang bebas. Dan mengenai penentuan diameter lubang bor
sangat berpengaruh terhadap energy yang dihasilkan dari suatu
kegiatan peledakan, karena diameter lubang ledak berbanding
lurus dengan jumlah bahan peledak yang dipakai.
Pada penentuan besarnya lubang ledak selain factor jenis
batuan yang akan diledakkan juga tidak lepas dari tingkat
produksi yang diinginkan, dengan lubang bor yang besar maka
besar pula target produksi yang diinginkan.
Secara spesifik tinggi jenjang maksimum ditenukan oleh
peralatan lubang bor dengan alat muat yang tersedia.
Ketinggian jenjang disesuaikan dengan kemampuan alat bor,
dimana jenjang yang rendah digunakan diameter lubang bor
kecil, sedangka diameter lubang yang besar untuk jenjang yang
tinggi.
Kedalaman lubang bor dapat dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut :

H= L+ J

Dimana :
H = Kedalaman lubang bor (M)
L = Tinggi jenjang yang diinginkan (M)
J = Subdrilling (M)
Secaara spesifik tinggi jenjang maksimum ditentukan oleh
peralatan lubang bor dengan alat muat yang tersedia.

20
Ketinggian jenjang disesuaikan dengan kemampuan alat bor,
dimana jenjang yang rendah digunakan diameter lubang bor
kecil, sedangkan diameter lubang yang besar untuk jenjang
yang tinggi.

2.4.3 Fragmentasi hasil peledakan


Fragmentasi adalah istilah pecahan batuan yang digunakan untuk
menggambarkan distribusi ukuran boulder batuan atau partikel-
partikel yang dihasilkan ketika massa batuan dibongkar dengan
bahan peledak.
Fragmentasi tidak dapat diabaikan sebagai salah satu perhitungan
dalam suksesnya suatu peledakan. Karena akan mempengaruhi
pada biaya operasi dan perawatan dari operasi selanjutnya dan
peralatan, termasuk dalam unit operasi seperti penggalian dan
pemuatan, peremukan dan alat reduksi ukuran.
Hasil fragmentasi buruk, ukuran lebih (boulder) dalam produksi
melibatkan biaya secondary blasting untuk mengecilkan ukuran
yang dapat ditangani secara ekonomi, aman dan efisien dengan alat
muat angkut. Produksi yang hilang dari material bawah ukuran
atau halus tidak dapat dimanfaatkan yang merupakan indikasi dari
peledakan yang sia-sia : reduksi ukuran dapat dicapai dengan
kegunaan yang tepat dari instalasi ayakan dan peremuk.
Fragmentasi dapat ditingkatkan dengan mengadopsi satu atau
semua dari ukuran :
1. Mengurangi kedalaman lubang (lubang dangkal
mengingkatkan distribusi dari peledakan)
2. Mengurangi spasi lubang yang berdekatan dalam satu baris
3. Mengurangi jarak burden
4. Penggunaan bahan peledak dengan lebih besar gas (daya
angkat)
5. Penggunaan detonator tunda yang singkat.

21
Faktor-faktor yang mempengaruhi fragmentasi hasil peledakan :
1. Diameter lubang ledak
Pemilihan diameter lubang ledak tergantung pada tingkat
produksi yang diinginkan. Dengan lubang ledak yang besar,
lebih besar pula tingkat produksi yang dihasilkan. Pemilihan
ukuran lubang ledak secara tepat adalah penting untuk
memperoleh hasil fragmentasi secara maksimal dengan biaya
rendah.
2. Burden
Burden adalah jarak tegak lurus dari lubang ledak ke bidang
bebas (free dace) atau dapat dikatakan jarak antara lubang
ledak dalam satu kolom. Burden merupakan variable yang
sangat penting dan kritis dalam suatu desain peledakan.
Jika jarak burden ke bidang (free face) terlalu besar, maka
sebagian besar energy peledakan akan terdistribusi secara
berlebihan untuk memecah batuan banyak energy yang
bergerak kedalam tanah dalam bentuk getaran, karena energy
yang tersisa kurang maka proses rekahan gas tidak terjadi. Hal
ini berakibat pelepasan batuan yang dihasilkan menjadi lebih
sedikit dan fragmentasi dikehendaki tidak terpenuhi sehingga
harus memperkecil kesalahan akibat kekeliruan dalam
menentukan ukuran burden yang tepat.
3. Spacing
Spacing adalah jarak antara lubang-lubang ledak yang
berdekatan, terangkai dalam satu baris (row), diukur sejajar
dengan dinding jenjang (pit wall) dan tegak lurus burden.
Spacing dihitung setelah burden ditetapkan terlebih dahulu. Jika
ukuran spacing lebih kecil dari burden maka cenderung
mengakibatkan steming ejection lebih dini, gas hasil peledakan
disemburkan ke udara bebas diikuti dengan noise dan air blast.

22
Sebaliknya jika spacing terlalu besar diantara lubang ledak
maka fragmentasi yang dihasilkan menjadi tidak baik.
4. Stemming
Stemming adalah material penutup dari lubang tembak.
Stemming berfungsi sebagai pengurung gas yang timbul pada
saat detonasi terjadi. Tinggi stemming dapat berpengaruh pada
distribusi peledakan dan juga pembentukan fragmentasi yang
baik.
5. Kedalaman lubang tembak
Kedalaman lubang tembak ditentukan oleh peralatan lubang bor
dan alat muat yang tersedia. Untuk diameter 3 inchi (77 mm)
maka kedalaman lubang bor yang dicapai adalah 16m.
6. Powder column
Powder column adalah panjang lubang isian pada lubang ledak
yang akan diisi bahan peledak. Hal ini sangat berpengaruh
terhadap banyaknya penggunaan bahan peledak

2.5. TINJAUAN TEORI


Metode pemboran dan peledakan (drill and blast) merupakan salah satu
metode yang sering dilakukan untuk memberai atau membongkar material
batuan yang keras. Tujuan dilakukannya kegiatan pemboran dan peledakan
adalah untuk membongkar bahan galian dari batuan induknya sehingga
dapat mudah digali menggunakan alat gali. Metode peledakan yang
diterapkan pada tambang emas yaitu metode peledakan jenjang. Suatu
peledakan dapat dinyatakan berhasil dengan baik pada kegiatan
penambangan apabila (Koesnaryo, 2001) :
 Target produksi terpenuhi atau tercapai (dinyatakan dalam ton/hari
atau ton/bulan)
 Penggunaan bahan peledak efisien yang dinyatakan dalam jumlah
batuan yang berhasil dibongkar per kilogram bahan peledak
(disebut powder factor)

23
 Perolehan fragmentasi batuan berukuran merata dengan sedikit
bongkah (kurang dari 15% dari jumlah batuan yang terbongkar per
peledakan)
 Diperoleh dinding batuan yang stabil dan rata (tidak ada overbreak,
maupun retakan-retakan)
 Tidak menimbulkan dampak lingkungan seperti flyrock,getaran,
kebisingan, gas beracun, dan debu.

Untuk dapat mencapai keberhasilan tersebut, maka dalam kegiatan


peledakan terdapat beberapa hal yang dapat diperhatikan, yaitu
keadaan batuan, pengaruh air, cuaca, pola pemboran, geometri
peledakan, pola peledakan dan powder factor. Terdapat beberapa
tipe peledakan pada peledakan tambang terbuka yaitu :
a. Peledakan jenjang (bench blasting)
Peledakan jenjang merupakan teknik peledakan yang paling
umum digunakan pada tambang open pit. Peledakan jenjang
merupakan teknik peledakan yang melakukan pemboran secara
vertical atau subvertikal yang diatur dalam suatu barisan lubang
ledak terhadap bidang bebas di permukaan [A.Rustan,1998].
Peledakan jenjang atau dapat dikatakan sebagai peledakan
produksi bertujuan untuk memecahkan batuan dalam jumlah
besar untuk mendapatkan nilai fragmentasi yang tepat sehingga
dapat mudah di muat menggunakan excavator.
Parameter yang terdapat pada peledakan jenjang antara lain
diameter lubang ledak (D), Burden (B), spasi lubang ledak (S),
Tinggi jenjang (L), Subdrill lubang bor (J), panjang stemming
lubang ledak (T), panjang kolom isian (PC) dan panjang lubang
ledak (H). parameter-parameter lain yang diperhitungkan
dalam perhitungan peledakan jenjang yaitu jumlah bahan
peledak yang digunakan, powder factor, dan loading density
atau jumlah isian bahan peledak dalam satu kolom isian. Pola

24
peledakan, waktu delay dan inisiasi sequence juga penting
dalam parameter operasional peledakan jenjang. Pada
penelitian ini dilakukan dengan tipe peledakan jenjang.

b. Cast blasting
Cast blasting merupakan teknik peledakan yang di terapkan
pada peledakan tambang terbuka untuk meledakan overburden
dimana arah lemparan ledakan diarahkan langsung ke area
yang tidak ada batubara dan minim material untuk ditangani
dengan menggunakan alat-alat mekanis [A.Rustan,1998].
Biasanya pola cast blasting digunakan untuk menutup void.
Cast blasting memiliki banyak keuntungan seperti
produktivitas yang lebih tinggi dan mengurangi biaya
operasional dan biaya alat. Teknik peledakan cast blasting
tidak selalu cocok untuk diterapkan pada setiap tambang dan di
setiap tambang berbeda dapat menghasilkan hasil yang
berbeda. Cast blasting dapat menghasilkan hasil yang baik
tergantung pada keadaan strata batuan dan kondisi batuan yang
tepat, paremeter peledakan, karakteristik bahan peledak yang
digunakan. Biasanya pada teknik cast blasting ini diterapkan
system dragline striping system untuk penanganan overburden
yang tersisa dan disontinous system shovel and truck.
Terdapat beberapa kondisi untuk menerapkan teknik cast
blast untuk menghasilkan hasil yang optimal yaitu :
- Tinggi jenjang (bench height) dengan tinggi minimum 12 m
sangat direkomendasikan, walaupun tinggi yang lebih rendah
dapat di terapkan cast blast
- Lebar pit (pit width), lebar pit hasil peledakan sebelumnya
harus diantara 1 atau 1.25 kali dari tinggi muka jenjang.

25
- Sudut dinding (wall angle), untuk mendapatkan hasil yang
optimal, muka dinding dapat di gali secara vertical dengan
peledakan pre-splitting sebelumnya.
- Tipe formasi batuan (type of rock formation). Tipe formasi
batuan yang akan dipindahkan dapat mempengaruhi peledakan
dan struktu batuan harus sangat diperhatikan.

c. Presplitting
Presplitting merupakan salah satu teknik pengontrol hasil
peledakan yang diaplikasikan pada tambang open pit yaitu
dengan membuat rekahan diantara area yang akan diledakan
dengan area yang tiddak diledakan untuk mengurangi efek
peledakan. Tujuan utama dilakukannya pre-splitting dilakukan
untuk mengendalikan getaran berlebih, menjaga kestabilan
lereng dan membantu membuat dinding menjadi lebih halus.
Pada tambang open pit pre-splitting dilakukan dengan
membuat barisan lubang-lubang ledak di bagian paling akhir
pola peledakan atau lubang-lubang produksi yang kemudian
diledakan sebelum atau bersamaan dengan lubang-lubang
produksi. Pre-splitting membutuhkan barisan lubang bor yang
memiliki spasi antar lubang yang dekat terhadap daerah batas
penggalian dan diameter lubang yang cukup kecil, diameter
lubang ledak untuk pre splitting berkisar antara 100 hingga 125
mm.
Karena membutuhkan lubang ledak yang banyak,
peledakan pre-splitting cenderung membutuhkan biaya yang
lebih besar dibandingkan dengan peledakan produksi sehingga
membutuhkan pengawasan yang lebih tinggi agar memastikan
jika lubang ledak di bor secara tepat.

d. Peledakan bongkah (secondary blasting)

26
Dikarenakan banyaknya faktor yang tidak dapat dikontrol
dalam peledakan sehingga sering menyebabkan terjadinya
bongkahan-bongkahan yang tertinggal. Bongkahan-bongkahan
yang cukup besar sulit untuk dimuat oleh alat dan dapat
mengganggu jalannya produksi sehingga dibutuhkan peledakan
kembali yang dapat dikatakan sebagai secondary blasting
untuk memperkecil ukuran, namun kegiatan ini menambah
biaya peledakan.
Peledakan bongkah biasanya dilakukan apabila terdapat
fragmentasi yang tidak sempurna, adanya bongkahan besar
yang tidak dapat diangkut sehingga dapat mengganggu
produksi, terganggu proses penggerusan pada crushing.
Terdapat dua metode yang digunakan dalam peledakan
bongkah.
- Plaster shooting, yaitu metode peledakan bongkah dimana
bahan peledak diletakan diatas bongkah batuan dan ditutupi
oleh lapisan clay. Metode ini dapat digunakan apabila jauh dari
bangunan-bangunan
- Pop shooting, metode ini biasanya digunakan untuk
memecahkan bongkah batu yang cukup besar dengan membuat
lubang bor kearah pusat bongkah batuan. Batuan dibor antara
setengah hingga seperempat tinggi bongkah batu yang dibor.

2.5.1 Teknik Pemboran


Kegiatan awal yang dilakukan dalam suatu operasi
peledakan batuan yaitu kegiatan pemboran. Kegiatan ini bertujuan
untuk membuat sejumlah lubang yang akan diisi dengan sejumlah
bahan peledak untuk diledakan. Pembuatan lubang disesuaikan
dengan rancangan yang telah dibuat sebelumnya. Terdapat
banyak tipe system pemboran yang dapat diterapkan dalam
pemboran batuan, namun untuk menyediakan lubang ledak

27
umumnya digunakan sistem mekanik. Terdapat dua sistem
pemboran mekanik yang sering digunakan yaitu rotary percussive
drilling, dan rotary drilling (Gokhale,B.V, 2001). Pada bor putar
tumbuk (rotary percussive drilling), metode penumbukan
dikombinasikan dengan aksi pemutaran, sehingga terjadi proses
peremukan dan penggerusan permukaan batuan sedangkan pada
bor putar (rotary drilling) penggerusan dan pemecahan batuan
dilakukan dengan aksi pemutaran. Untuk pemilihan sistem
pemboran ditentukan berdasarkan kapasitas produksi,
pertimbangan teknik dan ekonomi.
Untuk mengatur susunan lubang ledak disesuaikan dengan
pola pemboran yang telah dibuat sebelumnya yang telah
disesuaikan dengan geometri peledakan yang akan diterapkan.
Pada tambang terbuka terdapat 2 pola pemboran yang umum
diterapkan (Gokhale,B.V, 2001). Yang dapat dilihat pada gambar
2.8. :
1. Pola pemboran sejajar (pararel pattern). Merupakan pola
dengan penempatan lubang-lubang ledak saling sejajar pada
setiap kolomnya. Terdapat dua jenis pola sejajar yaitu, square
pattern dimana jarak spacing dan jarak burden sama. Dan
rectangular pattern dimana jarak spacing dalam satu baris
lebih besar dari jarak burden.
Keuntungan menggunakan pola pemboran sejajar yaitu
menentukan lubang bor yang lebih mudah karena lubang bor
terdapat pada baris dengan jarak yang sama dan sejajar
dengan baris lainnya, sehingga waktu yang diperlukan untuk
menempatkan alat bor akan lebih cepat.
Selain itu, pola ini memiliki kekurangan apabila diterapkan
yaitu volume batuan yang tidak terkena pengaruh penyebaran
energy bahan peledak lebih banyak sehingga memungkinkan
terjadinya boulder.

28
Gambar 2.5. Pola Pemboran square pattern dan
rectangular pattern

2. Pola pemboran selang-seling (staggered pattern), pada pola


ini penempatan lubang-lubang ledak secara selang-seling pada
setiap kolomnya. Dalam peledakan jenjang pola selang-seling
merupakan pola yang paling efektif, dikarenakan distribusi
energi ledakan dapat terdistribusi secara merata ke setiap
lubang ledak. Pola peledakan ini sangat cocok untuk
digunakan dalam perbaikan hasil fragmentasi.
Keuntungan dari pola pemboran selang-seling yaitu pola ini
memberikan distribusi energy dan tekanan yang baik sehingga
volume batuan yang tidak terkena distribusi energi lebih kecil
dan pola inisiasi dan arah peledakan dapat di desain secara
fleksibel. Namun pola ini juga memiliki kerugian antara lain
waktu untuk menempatkan alat bor akan cenderung lebih
lama, karena ukuran burden dan spacing tidak sama dan
lubang bor yang akan dibuat tidak sejajar dengan baris yang
lain.

2.5.2 Klasifikasi bahan peledak


Bahan peledak merupakan bahan kimia padat maupun cair
yang berupa senyawa tunggal maupun campuran, apabila
terkena suatu reaksi panas, tekanan, benturan gesekan atau
ledakan awal dapat berekasi dengan cepat membentuk gas-gas
dan menimbulkan efek panas serta tekanan-tekanan yang
sangat tinggi. Peledakan memiliki daya rusak yang bervariasi
tergantung jenis bahan peledak yang digunakan dan tujuan

29
penggunaan bahan peledak. Umumnya bahan peledak rata-rata
memiliki kecepatan detonasi sebesar 4500-7000 m/s.
Menurut keppres No.5/1998 SK tentang pengadaan bahan
peledak, membagi bahan peledak menjadi dua golongan yaitu
bahan peledak industry (komersial) dan bahan peledak militer.
Berdasarkan komposisinya bahan peledak industry dapat
dibagi menjadi dua yaitu dynamite dan blasting agents.

a. Dynamites
Dynamites merupakan nitroglycerin (NG) sebagai bahan
dasarnya. Dynamites merupakan bahan peledak komersial
pertama yang digunakan dengan specific gravity sebesar
1.6 dan dengan kecepatan detonasi ±25000 ft/s. NG sangat
sensitive terhadap getaran, gesekan dan panas, sehingga
sangat berbahaya apabila berinteraksi dengan cairan.
b. Blasting agent
Dari keseluruhan bahan peledak blasting agent merupakan
bahan peledak yang banyak digunakan saat ini. Blasting
agent yang umum digunakan saat ini adalah ANFO, emulsi
dan heavy ANFO
- ANFO
ANFO merupakan campuran dari Ammonium nitrat zat
pengoksida dan Fuel Oil sebagai bahan bakar yang banyak
digunakan sebagai produk komersil. Campuran
AN(Ammonium nitrat) dan FO(solar) sebesar 94.5% AN dan
5.5% FO. Bergantung pada komposisi campurannya. Densitas
ANFO berkisar antara 0.80 hingga 0.85 g/cm3
- Emulsi
Emulsi adalah bahan peledak yang terbuat dari fase oksida
liquid dicampur dengan fase minyak (solar atau minya diesel)
ditambah emulsifier untuk mempertahankan fase emulsinya.

30
Emulsi bahan peledak memiliki energi dan kekuatan yang
tinggi serta tahan terhadap air yang baik. Emulsi memiliki
densitas berkisar 1,0 g/cm3 hingga 1,45 g/cm3. Pada tambang
batubara banyak digunakan bahan peledak emulsi dengan
pertimbangan biaya yang lebih rendah, ketahanan terhadap air
yang baik dibandingkan dengan ANFO, kecepatan detonasi
yang tinggi berkisar 4000 hingga 5000 m/s. pada penelitian ini
bahan peledak yang digunakan adalah emulsi dengan densitas
1,31 gr/cc.
- Heavy ANFO
Heavy ANFO merupakan campuran dari dasar emulsi dan
ANFO, heavy ANFO mengandung 45-50% Ammonium nitrate
emulsi yang dicampur dengan ANFO untuk meningkatkan
densitas ANFO sehingga sensitivitas lebih baik dan dapat lebih
tahan terhadap air.
2.5.3 Sifat bahan peledak
Pemilihan jenis bahan peledak yang digunakan harus aman dan
disesuaikan dengan kondisi lingkungan sekitar,selain itu untuk
dapat memperoleh hasil yang baik bahan peledak harus
digunakan secara efisien agar mendapatkan hasil yang baik.
Terdapat beberapa karakteristik bahan peledak yang
berpengaruh dalam pemilihan bahan peledak, yaitu :
1. Kekuatan (strength)
Kekuatan bahan peledak adalah ukuran dari kemampuan
bahan peledak untuk dapat memecahkan batuan. Kekuatan
menunjuk pada energy yang mampu dihasilkan oleh suatu
bahan peledak. Terdapat banyak cara untuk
mengekspresikan kekuatan dari sebuah bahan peledak,
terdapat tiga cara yang digunakan yaitu wight strength,
volume strength dan yang paling umum digunakan adalah
relative weight strength(WRS).

31
2. Kecepatan detonasi (detonation velocity)
Kecepatan detonasi mengacu kepada kecepatan dimana
gelombang detonasi disebarkan melalui bahan peledakan
yang dapat dinyatakan dalam meter per detik atau feet per
detik. Faktor yang mempengaruhi kecepatan detonasi adalah
densitas bahan peledak, diameter bahan peledak, derajat
pengurungan, ukuran partikel bahan penyusunannya dan
bahan yang terdapat dalam bahan peledak. Untuk peledakan
pada batuan keras dipakai bahan peledak yang mempunyai
kecepatan detonasi tinggi sedangkan pada batuan yang lunak
dipakai bahan peledak dengan kecepatan detonasi rendah.
3. Bobot isi (density)
Densitas bahan peledak merupakan salah satu sifat penting
bahan peledak untuk menghitung berat bahan peledak yang
dapat dimasukan pada suatu diameter lubang peledakan.
Dinyatakan dalam satuan gr/cm3. Bahan peledak komersial
rata-rata memiliki densitas 0,5 hingga 1,35 gr/cc
(Charles.H,1992). Bahan peledak dengan densitas kurang
dari satu dapat lebih cepat larut dalam air. Untuk
mendapatkan fragmentasi berukuran kecil diperlukan
densitas bahan peledak yang tinggi yang menghasilkan
kecepatan detonasi dan tekanan yang tinggi. Bobot isi dapat
dinyatakan dalam beberapa cara, yaitu :
a. Berat jenis (SG), tanpa satuan
b. Stick count (SC), yaitu jumlah dodol ukuran standar
2,175 cm x 20,32 cm yang terdapat dalam satu doos
seberat 22,68 kg
c. Loading density (de), yaitu berat bahan peledak per
meter panjang isian yang dinyatakan dalam kg/m.

Tabel 2.3. Bobot isi beberapa bahan peledak

32
BAHAN PELEDAK Bobot isi (ton/m3)
ANFO 0,75-0,85
Emulsi 1,1-1,3
Water gels dan sluries 1,0-1,3

4. Kepekaan (Sensitivity)
Kepekaan bahan peledak didefinisikan dengan tingkat
kemudahan inisiasi bahan peledak. Beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi kepekaan bahan peledak yaitu seperti
penyerapan air dan terlapisinya Kristal-kristal oleh zat lilin
cenderung mengurangi kepekaan, sedangkan peningkatan
temperature dapat menyebabkan kepekaan. Jika diameter
bahan peledak cukup besar maka perambatan reaksinya akan
lebih mudah karena permukaan bahan peledak lebih luas,
sedangkan tingkat pengurungan cenderung memusatkan
tenaga reaksinya mengarah sepanjang isian dan menghindari
penyebaran tenaga reaksi.
5. Kestabilan kimia dan karakteristik gas (stability fumes)
Suatu bahan peledak harus memiliki kemampuan untuk tidak
berubah atau terdekomposisi dibawah kondisi normal selama
penyimpanan. Kestabilan kimia berkaitan dengan waktu
maksimum penyimpanan sehingga efek ledakan tidak
berkurang. Faktor-faktor yang mempercepat ketidakstabilan
kimia antara lain temperatur, kelembapan, kualitas bahan
baku, kontaminasi, pengepakan, fasilitas gudang.
Fumes merupakan gas-gas yang dihasilkan dari detonasi
bahan peledak. Bahan peledak yang meledak dapat
menghasilkan dua kemungkinan jenis gas yang saling
berbeda sifatnya yaitu smoke dan fumes. Smoke tidak
berbahaya, terjadi apabila di dalam bahan peledak terdapat
jumlah oksigen yang tepat sehingga selama reaksi seluruh

33
hydrogen akan membentuk uap air (H 2O), karbon bereaksi
membentuk karbon dioksida (CO2) dan nitrogen menjadi N 2
bebas. Sedangkan fumes berwarna kuning dan berbahaya
karena sifatnya beracun, yang terdiri dari karbon monoksida
(CO) dan oksida nitrogen baik itu NO maupun NO2.
6. Ketahanan terhadap air (water resistance)
Ketahanan bahan peledak terhadap air merupakan
kemampuan bahan peledak untuk mempertahankan
fungsinya terhadap gangguan air dalam waktu tertentu dan
masih dapat diledakkan dengan baik. Ketahanan ini
dinyatakan dalam satuan jam. Sifat ini sangat penting
terutama sebagai parameter dalam pemilihan bahan peledak,
dalam hubungannya dengan kondisi tempat kerja.

2.5.4 Peralatan peledakan


Peralatan peledakan merupakan semua bahan dan alat yang
dapat digunakan dalam operational peledakan. Terdapat
beberapa peralatan dalam operasional peledakan yang
digunakan perusahaan PT Marunda Grahamineral, antara lain :
a. Blasting Machine
Blasting machine merupakan alat yang digunakan sebagai
sumber energi penghantar arus listrik menuju detonator.
Blasting machine berfungsi menginisiasi detonator yang
telah ditempatkan pada lubang ledak pada peledakan.
b. Lead in line (Lil)

34
Lead in line (Lil) berfungsi sebagai penghubung rangkaian
peledakan dengan alat pemicu peledakan (blasting machine).
Dengan menggunakan Lil menyebabkan inisiasi peledakan
non-electric dapat dilakukan dari lokasi yang aman.
c. Alat pengaman peledakan
Peralatan pengamanan yang biasa digunakan dalam operasi
peledakan diantaranya radio komunikasi portable, bendera
merah atau pita pembatas lokasi yang akan diledakkan dan
rambu-rambu di lokasi yang diperkirakan terkena dampak
negative langsung akibat peledakan, road blocker map yang
digunakan sebagai acuan dalam melakukan pembatasan
jalan selama aktivitas peledakan berlangsung, bendera
penanda radius aman baik untuk peralatan (200 m) maupun
untuk manusia (500 m), tanda-tanda peringatan yang
menandakan lokasi tersebut sedang diisi bahan peledak,
sedang dilakukan pengeboran dan sedang dalam keadaan
sleep blast.
d. Peralatan pendukung
Peralatan pendukung peledakan merupakan segala peralatan
yang memudahkan dan mendukung terjadinya proses
peledakan, berikut ini beberapa peralatan pendukung
peledakan meliputi MMU(mobile mixing unit) yang
merupakan alat pencampur bahan peledak emulsi. Mobil
pengangkut aksesories peledakan, dan mobil pengangkut
stemming.

2.5.5 Aksesoris peledakan


Terdapat bermacam-macam aksesoris yang digunakan dalam
peledakan, antara lain sebagai berikut :
1. Detonator

35
Detonator atau blasting caps adalah alat pemicu awal
yang menimbulkan inisiasi dalam bentuk letupan
(ledakan kecil) sebagai bentuk aksi yang memberikan
efek kejut terhadap bahan peledak peka detonator atau
primer. Pengelompokkan jenis detonator didasarkan atas
sumber energi pemicunya, yaitu detonator listrik
(electric detonator), elektronik detonator (electronic
delay detonator) detonator ini merupakan generasi
terbaru yang memiliki akurasi delay yang tinggi karena
detonator jenis ini dilengkapi dengan microelectronic
circuits. Detonator nonel(Non-electronics detonator)
bisa disebut juga sebagai detonator biasa karena
diinisiasi dengan sumbu api dibandingkan dengan listrik.
Nonel detonator banyak digunakan pada tambang emas
skala menengah Karena harganya lebih rendah
dibandingkan dengan elektronik detonator dan lebih
aman digunakan.
2. Booster (pentolite cast booster)
Booster merupakan bahan peledak dengan daya ledak
tinggi yang banyak digunakan dipertambangan.

36
BAB III
DASAR TEORI

3.1. PEMBORAN
3.1.1 Konsep Pemboran
Pemboran adalah proses penembusan material batuan dengan
teknik pembuatan lubang dengan kedalaman dan diameter yang telah

37
ditentukan dalam penambangan suatu endapan bahan galian yang keras
dan kompak. (Singgih Saptono, 2006). Pada kegiatan pembongkaran
material dengan system pengeboran dan peledakan, kinerja pengeboran
adalah kemampuan alat bor untuk membuat lubang bor sebagai tempat
bahan peledak. Kegiatan ini disebut pengeboran produksi (production
drilling).
Pola pemboran pada dasarnya merupakan suatu pola pada kegiatan
pemboran dengan menempatkan lubang-lubang tembak secara sistematis.
Berdasarkan letak-letak lubang bor maka pola pemboran pada umumnya
dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
1. Pola pemboran sejajar (pararel pattern)
2. Pola pemboran selang-seling (stagerred pattern)

Pola pemboran sejajar adalah pola dengan penempatan lubang-lubang


tembak yang saling sejajar pada setiap kolomnya, sedangkan pola
pemboran selang-seling, adalah pola dengan penempatan lubang-lubang
tembak secara selang-seling pada setiap kolomnya. Dalam penerapannya
di lapangan, pola pemboran sejajar merupakan pola yang lebih mudah
dalam melakukan pemboran dan untuk pengaturan lebih lanjut, tetapi
perolehan fragmentasi batuannya kurang seragam, sedangkan pola
pemboran selang-seling lebih sulit penangannya di lapangan namun
fragmentasi batuannya lebih baik dan seragam.

Menurut hasil penelitian di lapangan pada jenis batuan kompak,


menunjukkan bahwa hasil produktivitas dan fragmentasi peledakan
dengan menggunakan pola pemboran selang-seling lebih baik dari pada
pola pemboran sejajar, hal ini disebabkan energi yang dihasilkan pada
pemboran selang-seling lebih optimal dalam mendistribusikan energi,
peledakan yang bekerja dalam batuan. Hambatan-hambatan yang
mungkin timbul pada saat kegiatan pemboran berlangsung antara lain :

1. Hambatan yang tak dapat dihindari

38
a. Factor cuaca (hujan lebat)
b. Kerusakan alat bora tau kompresor
c. Batang bor terjepit karena adanya sesar
d. Air tanah
e. Hambatan yang dapat dihindari
f. Posisi titik lubang bor belum dipersiapkan
g. Masuknya material ke dalam lubang bor

Gambar 3.1. Jenis Pola Pemboran

Sifat-sifat batuan yang dapat berpengaruh terhadap kegiatan


pemboran antara lain :

1. Kekerasan (hardness)
Kekerasan adalah ketahanan permukaan material terhadap
penetrasi material lain yang lebih keras. Kekerasan batuan
perlu diketahui untuk memudahkan operasi pemboran. Batuan
diklasifikasikan kekerasannya dengan menggunakan skala

39
friedrich von mohs (1882). Skala ini didasarkan pada ketahanan
gores mineral terhadap mineral lain dan mempunyai skala dari
1 sampai 10.
2. Kekuatan (strength)
Kekuatan mekanik suatu batuan adalah sifat dari kekuatan
batuan terhadap gaya luar, baik statis maupun dinamis.
Kekuatan batuan tergantung dari komposisi mineralnya.
Mineral yang terkompak adalah kuarsa, sehingga semakin
banyak komposisi kuarsa dalam batuan maka kekuatannya
semakin besar.
3. Elastisitas
Kebanyakan batuan memiliki perilaku elastic-fragile yang
dapat didekati dengan hokum hooke. Batuan akan hancur jika
regangan melewati batas elastiknya.
4. Plastisitas
Perubahan plastisitas pada batuan dapat menimbulkan
kerusakan bentuk batuan. Hal ini terjadi jika batuan mengalami
stress yang melebihi batas elastisnya. Sifat plastis batuan
dipengaruhi oleh komposisi mineral dan kandungan kuarsanya.
5. Abrasiveness
Abrasiveness adalah sifat batuan yang dapat digores oleh
batuan lain yang lebih keras. Sifat ini dipengaruhi oleh
kekerasan butiran batuan, bentuk butir, ukuran butir, porositas
batuan, dan sifat heterogenitas batuan.
6. Tekstur
Tekstur batuan dipengaruhi oleh struktur butiran mineral yang
menyusun batuan tersebut. Ukuran butir mempunyai pengaruh
yang sama dengan bentuk batuan, porositas batuan, dan sifat-
sifat batuan lainnya. Semua aspek ini berpengaruh dalam
keberhasilan operasi pemboran.
7. Struktur

40
Sifat struktur masa batuan seperti schistocity, bidang
perlapisan, kekar, diabases, dan sesar mempunyai pengaruh
yang sama pentingnya dengan jurus dan kemiringan dalam
pengaturan lubang ledak, kegiatan pemboran dan kestabilan
dinding lubang ledak.

3.1.2 Geometri pemboran


Geometri pemboran dirancang secara terpadu dalam rancangan
peledakan. Geometri pemboran meliputi diameter lubang bor, kedalaman
lubang bor, kemiringan lubang bor, tinggi jenjang dan juga pola
pemboran.
1. Diameter lubang bor
Diameter lubang bor yang terlalu kecil menyebabkan factor
energi yang dihasilkan akan berkurang sehingga tidak cukup
besar untuk membongkar batuan yang akan diledakkan,
sedangkan jika diameter lubang bor terlalu besar maka lubang
bor tidak cukup untuk menghasilkan fragmentasi yang baik,
terutama pada batuan yang banyak terdapat kekar dengan jarak
kecepatan yang tinggi. Diameter lubang bor yang kecil juga
memberikan patahan atau hancuran yang lebih baik pada
bagian atap jenjang. Hal ini berhubungan dengan stemming,
dimana lubang bor yang besar maka panjang stemming juga
akan semakin besar dikarenakan untuk menghindari getaran
dan batuan terbang, sedangkan jika menggunakan lubang bor
yang kecil maka panjang stemming dapat dikurangi. Penentuan
diameter lubang bor yang ideal tergantung pada beberapa factor
seperti :
a. Volume massa batuan yang akan dibongkar (volume
produksi)
b. Tinggi jenjang dan konfigurasi isian

41
c. Tingkat fragmentasi yang diinginkan
d. Kondisi mesin bor yang tersedia(tergantung dengan biaya
pemboran)
e. Kapasitas alat muat yang digunakan untuk menangani
material hasil peledakan

2. Kedalaman lubang bor


Kedalam lubang bor biasanya disesuaikan dengan tinggi
jenjang yang diterapkan. Untuk mendapatkan lantai jenjang
yang rata maka kedalaman lubang bor harus lebih besar dari
tinggi jenjang yang mana kelebihan daripada kedalaman ini
disebut dengan subdrilling.
3. Kemiringan lubang bor
Kemiringan pemboran secara teoritis ada dua, yaitu
pemboran tegak dan pemboran miring. Menurut Mc Gregor K
(1967), kemiringan lubang bor antara 10-20 derajat dari bidang
vertical yang biasanya digunakan pada tambang terbuka telah
memberikan hasil yang baik.
Arah pemboran dalam membuat lubang bor pada system
jenjang ada dua macam (gambar) yaitu :
a. Pemboran dengan lubang ledak miring. Keuntungan dari
lubang ledak miring adalah dinding jenjang dan lantai
jenjang yang dihasilkan relative lebih rata, mengurangi
terjadinya pecah berlebihan pada batas baris lubang ledak
bagian belakang(back break), fragmentasi dari hasil
tumpukan hasil peledakan yang dihasilkan relative lebih
rata, powder factor lebih rendah, ketika gelombang kejut
yang dipantulkan untuk menghancurkan batuan pada lantai
jenjang lebih efisien. Sedangkan kerugian dari lubang ledak
miring adalah, mengalami kesulitan dalam pengisian bahan
peledak, kesulitan dalam penempatan sudut kemiringan

42
yang sama antar lubang ledak serta dibutuhkan lebih banyak
ketelitian dalam pembuatan lubang ledak, sehingga
membutuhkan pengawasan yang ketat.
b. Pemboran dengan lubang ledak tegak. Keuntungan dari
lubang ledak tegak adalah pemboran dapat dilakukan
dengan lebih baik dan akurat, kelurusan lubang bor yang
seragam dapat terkontrol, karena merupakan factor yang
penting dalam mengurangi biaya pemboran dan peledakan,
penyimpangan burden dan spasi pada bagian bawah lubang
dapat terkontrol. Sedangkan kerugian dari lubang ledak
tegak adalah kemungkinan timbulnya tonjolan pada lantai
jenjang (toe) besar, pada bagian atas jenjang kurang bagus
karena ada back break , fragmentasi kurang dan pada
bagian lantai dasar daya ledak tidak biasa sepenuhnya
tersalurkan, dan kemungkinan terdapat boulder pada bagian
atas.

Gambar 3.2. Arah Pemboran

3.2. PELEDAKAN
3.2.1 Konsep peledakan
Metode peledakan bertujuan untuk membongkar atau memberaikan
suatu batuan dari batuan induknya. Pada pemberaian batuan dengan
metode pemboran dan peledakan ukuran fragmentasi batuan hasil

43
peledakan merupakan suatu factor yang sangat penting, dimana ukuran
fragmentasi batuan diharapkan sesuai dengan kebutuhan pada kegiatan
penambangan selanjutnya. Disamping itu factor penting lainnya yang
harus diperhatikan adalah efek peledakan, untuk itu perlu adanya
pengetahuan dasar atau parameter yang harus diketahui dalam
merencanakan peledakan yang akan dilakukan.
Peledakan akan memberikan hasil yang berbeda dari yang
diharapkan karena tergantung pada kondisi eksternal saat di lapangan yang
mempengaruhi kualitas bahan kimia pembentuk bahan peledak tersebut.
Panas merupakan awal terjadinya proses dekomposisi bahan kimia
pembentuk bahan peledak yang menimbulkan pembakaran, dilanjutkan
dengan deflagrasi dan terakhir detonasi.

Proses dekomposisi bahan peledak diuraikan sebagai berikut :

1. Pembakaran adalah reaksi permukaan yang eksotermis dan dijaga


keberlangsungannya oleh panas yang dihasilkan dari reaksi itu sendiri
dan produknya berupa pelepasan gas-gas. Reaksi pembakaran
memerlukan unsur oksigen (O2) baik yang terdapat di alam bebas
maupun dari ikatan molekuler bahan atau material yang terbakar.
2. Deflagrasi adalah proses reaksi permukaan yang reaksinya meningkat
menjadi ledakan dan menimbulkan gelombang kejut (shock wave)
dengan kecepatan rambat rendah, yaitu 300-100 ms/s atau lebih rendah
kecepatan suara (subsonic).
3. Ledakan, menurut Berthelot, adalah ekspansi seketika yang cepat dari
gas menjadi bervolume lebih besar dari sebelumnya diiringi suara
keras dan efek mekanis yang merusak.
4. Detonasi adalah kecepatan reaksi yang sangat tinggi tersebut
menyebarkan tekanan panas ke seluruh zona peledakan dalam bentuk
gelombang tekan kejut (shock compression wave) kecepatan rambat
reaksi pada proses detonasi ini berkisar antara 3000-7500 m/s
3.2.2 Sifat dan jenis bahan peledak

44
Bahan peledak adalah suatu bahan kimia yang berupa senyawa tunggal
atau campurannya yang berbentuk padat atau cair, yang apabila dikenai
suatu aksi panas, benturan, gesekan atau ledakan awal, akan berubah
mejadi bahan-bahan yang lebih stabil yang sebagian atau seluruhnya
berbentuk gas dan disertai dengan panas dan tekanan yang sangat tinggi.
Sifat-sifat fisik bahan peledak adalah suatu kenampakan nyata dari sifat
bahan peledak ketika menghadapi perubahan kondisi lingkungan
sekitarnya, yaitu antara lain :
1. Densitas yaitu angka yang menyatakan perbandingan berat per volume
2. Sensitifitas adalah sifat yang menunjukkan kemudahan inisiasi bahan
peledak atau ukuran minimal booster yang diperlukan.
3. Ketahanan terhadap terhadap air (checimal stability)
4. Kestabilan kimia (chemical stability)
5. Karakteristik gas (fumes characteristic)

Sedangkan jenis-jenis dari bahan peledak dapat dibagi menurut


R.L.Ash, sebagai berikut :
a. Bahan peledak kuat (high explosive) bersifat menghancurkan
dengan kecepatan detonasi 5.000-24.000 fps, kekuatan 50.000-
400.000 psi. untuk jenis bahan peledak contohnya produk ANFO
dan Emulsion digunakan pada tambang batubara di PT Marunda
Grahamineral
b. Bahan peledak lemah (low explosive) bersifat mendorong atau
mengangkat dengan kecepatan detonasi <5.000 fps, kekuatan
<50.000 psi.

3.2.3 Mekanisme Pecahnya Batuan


Konsep yang dipakai adalah konsep pemecahan dan reaksi-reaksi
mekanik dalam batuan homogen. Sifat mekanis dalam batuan yang
homogen akan berbeda dari batuan yang mempunyai rekahan-rekahan dan
heterogen seperti yang dijumpai dalam pekerjaan peledakan. Proses

45
pecahnya batuan akibat dari peledakan dibagi dalam tiga proses (gambar
3,3,), yaitu dynamic loading, quasi-static loading dan release of loading .
1. Proses pemecahan tingkat I (dynamic loading)
Pada saat bahan peledak meledak, tekanan tinggi menghancurkan
batuan di daerah sekitar lubang ledak. Gelombang kejut yang
meninggalkan lubang ledak merambat dengan kecepatan 3000-5000
m/det akan mengakibatkan tegangan tangensial, yang menimbulkan
rekahan yang menjalar dari daerah lubang ledak. Rekah pertama
menjalaar terjadi dalam waktu 1-2 ms.
2. Proses pemecahan tingkat II (quasi-static loading)
Tekanan sehubungan dengan gelombang kejut yang meningkatkan
lubang ledak pada proses pemecahan tingkat I adalah positif. Apabila
mencapai bidang bebas akan dipantulkan, tekanan akan turun dengan
cepat, kemudian berubah menjadi negative dan timbul gelombang
Tarik. Gelombang Tarik ini merambat kembali di dalam batuan. Oleh
karena batuan lebih kecil ketahanannya terhadap tarikan daripada
tekanan, maka akan terjadi rekahan-rekahan primer disebabkan karena
tegangan Tarik dari gelombang yang dipantulkan. Apabila tegangan
regang cukup kuat akan menyebabkan slambing atau spalling pada
bidang bebas.
Dalam proses pemecahan tingkat I dan tingkat II, fungsi dari
gelombang kejut adalah menyiapkan batuan dengan sejumlah
rekahan-rekahan kecil. Secara teoritis energi gelombang kejut
jumlahnya berkisar antara 5-15% dari energi total bahan peledak. Jadi
gelombang kejut menyediakan kesiapan dasar untuk proses
pemecahan tingkat akhir.
3. Proses pemecahan tingkat III (release of loading)
Dibawah pengaruh tekanan yang sangat tinggi dari gas-gas hasil
peledakan maka rekahan-rekahan radial primer (tingkat II) akan
diperlebar secara cepat oleh kombinasi efek dari tegangan Tarik
disebabkan kompresi radial dan pembajian (pneumatic wedging).

46
Apabila massa batuan di depan lubang ledak gagal dalam
mempertahankan posisinya bergerak ke depan maka tegangan tekan
tinggi yang berada dalam batuan akan dilepaskan. Efek dari
terlepasnya batuan adalah menyebabkan tegangan Tarik tinggi dalam
massa batuan yang akan melanjutkan pemecahan hasil yang telah
terjadi pada proses pemecahan tingkat II.
Rekahan hasil dalam pemecahan tingkat II menyebabkan bidang-
bidang lemah untuk memulai reaksi-reaksi fragmentasi utama pada
proses peledakan.

Gambar 3.3. proses pecahnya batuan akibat peledakan

3.2.4 Geometri dan Pola Peledakan


Geometri peledakan merupakan suatu rancangan yang diterapkan
pada suatu peledakan yang meliputi burden, spasi,
stemming,subdrilling, powder charge, tinggi jenjang dan kedalaman
lubang ledak.

47
Dalam menghitung nilai geometri peledakan, terdapat beberapa
persamaan yang sering digunakan. Seperti persamaan menurut C.J
Konya, R.L. Ash, Anderson, Langefors, olofsson dan lain-lain.
Berikut adalah persamaan menghitung nilai geometri peledakan
menurut salah satu ahli yaitu ICI explosivess.

Geometri menurut ICI explosives


Pada geometri ini menyarankan bahwa dalam merancang
peledakan jenjang yang pertama dipertimbangkan adalah tinggi jenjang
(H) dan diameter lubang ledak (D), yaitu :
a. Tinggi jenjang (H) : disesuaikan dengan kondisi batuan setempat,
peraturan yang berlaku dan ukuran dari alat muat yang akan
digunakan. Atau secara empiris H=60D-140D
b. Burden (B) antar baris B=25D-40D
c. Spasi antar lubang ledak sepanjang baris (S) S=1B-2B
d. Subgrade (J) yaitu = 8D-12D
e. Stemming (T) yaitu = 20D-30D
mass
x charge length
f. Powder factor (PF) yaitu = m
BxSx H
Buden dan spasi, poin a dan b, dapat berubah tergantung pada
sekuen penyalaan yang digunakan, yaitu :
a. Tipe system penyalaan tergantung pada bahan peledak yang
dipilih dan peraturan setempat yang berlaku.
b. Delay antar lubang sepanjang baris yang sama disarankan
minimal 4 ms per meter panjang spasi.
c. Delay minimum antara baris lubang yang berseberangan
antara 4 ms-8 ms per meter. Dikhawatirkan apabila lebih kecil
dari angka ms tersebut tidak cukup waktu untuk batuan
bergerak ke depan dan konsekuensinya bagian bawah setiap
baris material akan tertahan.

48
d. In-hole delay direkomendasikan untuk meledak terlebih
dahulu sampai seluruh surface delay terpropagasi seluruhnya.

Rule Of Five
Merupakan salah satu metode penentuan geometri yang
dicetuskan oleh CJ.Konya dimana teori ini menjelaskan bahwa
kedalaman jenjang lubang ledak (Dalam feet) adalah sama dengan
lima kali diameter lubang ledak (dalam inch).
Gambar 3.4. Tinggi Jenjang minimum berdasarkan konsep

49
“rule of five”

Pola Peledakan
Pola peledakan merupakan urutan waktu peledakan antara
lubang-lubang bor dalam satu baris dengan bor pada baris
berikutnya ataupun antara lubang bor yang satu dengan yang lain.
Pola peledakan ini ditentukan berdasarkan urutan waktu
peledakan dan arah runtuhan material yang diharapkan.
Berdasarkan arah runtuhan batuan, pola peledakan
diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Box cut , Yaitu peledakan yang arah runtuhan batuannya
kearah depan dan membentuk kotak.
b. Corner cut, yaitu pola peledakan yang arah runtuhan
batuannya ke salah satu sudut dari bidang bebasnya.
c. “V” cut, yaitu pola peledakan yang arah runtuhan batuannya
kedepan dan membentuk huruf “V”
.

Gambar 3.5. Pola peledakan berdasarkan arah runtuhan


batuan.

50
Berdasarkan urutan waktu peledakan, maka pola peledakan
diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Pola peledakan serentak, yaitu pola yang menerapkan
peledakan yang secara serentak untuk semua lubang ledak.
b. Pola peledakan beruntun, yaitu suatu pola yang menerapkan
peledakan dengan waktu tunda antara baris satu dengan baris
lainnya.

3.3. WAKTU TUNDA, POWDER FACTOR DAN FLYROCK


3.3.1 Waktu Tunda (tr)
Pemakaian delay detonator sebagai waktu tunda untuk peledakan secara
beruntun. Keuntungan dari peledakan yang menggunakan delay detonator
adalah :
a. Dapat menghasilkan fragmentasi yang lebih baik
b. Dapat mengurangi timbulnya getaran tanah
c. Dapat menyediakan bidang bebas untuk baris berikutnya
Bila waktu antar baris terlalu pendek maka beban muatan pada baris depan
menghalangi pergeseran baris berikutnya, material pada baris kedua akan
tersembur kearah vertical dan membentuk tumpukan dan kemudian akan
menyebabkan backbreak pada dinding akhir jenjang tetapi bila waktu
tunda terlalu lama maka produk hasil bongkaran akan terlempar jauh
kedepan serta kemungkinan besar akan mengakibatkan flyrock hal ini
dikarenakan tidak ada dinding batuan sebagai penahan dibelakangnya.

51
Sumber : Konya, C.J.,1990

Gambar 3.6. Pengaruh delay time terhadap arah lemparan

Untuk menentukan interval tunda antar baris tidak kurang dari 2 ms/ft dan
tidak lebih dari 6 ms/ft dari ukuran burden. Persamaan dibawah ini dapat
digunakan untuk besarnya interval waktu antar baris.
tr = Tr x B
untuk interval antar lubang satu baris digunakan rumus :
th = Th x B
keterangan
tr = Interval waktu antar baris (ms)
Tr = Konstanta waktu antar baris (ms/m)
Th = Konstanta waktu antar lubang (ms/m)
Th = Interval waktu antar lubang (ms)

Table 3.1. Konstanta waktu antar baris

Tr Constanta (ms/m) Result

6.50 Excessive air blast, backbreak, etc

8.00 high pile close to face, moderate air blast, backbreak

11.50 average pile height, average air blast and backbreak

16.50 Scattered pile with minimum backbreak

Sumber : Konya, C. J., 1990

52
Tabel 3.2. konstanta waktu antar lubang

Tipe Batuan TH Konstanta (ms/m)

batu pasir, marls, batubara, lempung 5.7-6.6

Batu gamping, salt, shales 4.7-5.7

batu gamping kompak, marmer, granit, kuarsa, gneiss, 3.8-4.7


dan gabro

Diabes, diabas porphirite, gneiss kompak dan magnetit 2.8-3.8

Sumber : Konya, C.J., 1990

Gambar 3.7 pengaruh delay time terhadap kondisi tumpukan

3.3.2 Nilai powder factor

53
Powder factor adalah suatu bilangan yang menyatakan perbandingan
antara penggunaan bahan peledak terhadap jumlah material yang diledakan
atau dibongkar dalam kg/m3. Untuk mencari nilai powder factor terlebih
dahulu mencari volume terbongkar dan jumlah bahan peledak yang
digunakan kemudian kita dapat menghitung nilai powder factor dengan
rumus :

E
PF =
V
Keterangan :
PF = powder factor (kg/m3)
V = Volume batuan yang diledakkan (m3)
E = Jumlah bahan peledak yang digunakan (kg)
Besaran nilai powder factor biasanya sudah ditetapkan dari
perusahaan, semakin kecil nilai PF maka semakin ekonomis peledakan
tersebut maka PF dan hasil fragmentasi batuan biasanya menjadi
parameter penentu keberhasilan dari suatu peledakan.

Tabel 3.3. Kisaran Nilai powder factor berdasarkan jenis batuan


Yang diledakkan

No Batuan PF-Kg/m3

1 Fat soft clay, heavy clay, morainic clay, heavy loam, 0.3-0.5
coarse grid

2 marl, brown coal, gypsum, tuff, pumice stone, 0.35-0.55


anthracite, soft lime stone, diatomite

3 Clay sandstone, conglomerate, hard clay shale, marl, 0.45-0.6


limestone, anhydrite, micaceous shale

54
4 Granites, gneisses, synites, limestone, sandstone, 0.6-0.7
siderite,magnesite, dolomite, marble

5 Coarse-grained, serpentine, audisite and basalt 0.7-0.75


weathered gneiss, trachyte

6 Hard gneiss, diabase, porphyryte, trachyte, granite- 0.85


gneiss, diorite, quartz

7 Andesite, basalt, hornfels, hard diabase, diorite, 0.9


gabbro,gabbro diabase

(sumber : bandhari, 1997)

Loading density dan jumlah bahan peledak


Penggunaan bahan peledak disebut loading density (de), yaitu banyaknya bahan
peledak (kg) tiap satu meter kedalaman lubang ledak.
de = 0.508 x (De)2 x sg
keterangan :
de = loading density (kg/m)
sg = specific grafity bahan peledak (gr/cc)
De = Diameter lubang ledak (inchi)
Setelah didapat jumlah bahan peledak per meter maka dicari bahan peledak dalam
satu lubang ledak. Rumusnya yaitu :
E = PC x de
Keterangan
E = Jumlah bahan peledak dalam satu lubang ledak (kg/lubang)
PC = powder charge (m)
de = loading density (kg/m)

55
Volume terbongkar
Untuk mencari volume terbongkar dalam satu lubang ledak menggunakan rumus :
V=BxSxH
Keterangan :
V = Volume batuan terbongkar (m3)
B = Burden (m)
S = Spasi (m)
H = Kedalaman lubang ledak (m)

3.3.3 Flyrock
Flyrock adalah fragmentasi batuan yang terlempar akibat hasil peledakan ,
fragmentasi batuan yang terlempar melebihi radius aman dapat
menyebabkan kerusakan untuk alat mekanis dan juga dapat mengakibatkan
cidera bahkan kematian untuk manusia. Ada beberapa factor yang
mempengaruhi terjadinya flyrock, diantaranya :
a. Ukuran aktuan burden dan spasi yang tidak sesuai dengan ukuran
rancangan pemboran
b. Jumlah isian bahan peledak yang terlalu banyak
c. Pengaruh struktur geologi, seperti kekar, retakan dan sebagainya
d. Penempatan lubang bor yang tidak tepat
e. Stemming yang tidak cukup, baik itu panjang maupun ukuran material
stemming
f. Kesalahan pola penyalaan (tie-up) dan waktu tunda
g. Lantai jenjang yang tidak rata

Ebrahim Ghasemi (2012)

Perhitungan jarak lemparan batuan menggunakan metode analisis dimensi


berdasarkan parameter peledakan yang dapat dikontrol diantaranya

56
burden, spasi, stemming, kedalaman lubang ledak, diameter lubang ledak,
isian bahan ledak per delay, dan powder factor.

Dimana :

L = flyrock distance (m)

B = burden (m)

S = Spasi (m)

St = Stemming (m)

H = kedalaman lubang ledak (m)

P = powder factor (kg/m3)

D = diameter lubang ledak (m)

Q = Isian Handak / lubang (kg)

3.4. ANALISIS STATISTIK


3.4.1 Analisis Statistik Deskriptif
Analisis statistik deskriptif adalah statistic yang digunakan dalam
menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data
yang telah terkumpul. Menurut Ghozali (2009) analisis ini bertujuan untuk
memberikan gambaran atau mendeskripsikan data dalam variabel yang dilihat
dari nilai rata-rata (mean), minimum, maksimum dan standar deviasi. Statistik
deskriptif adalah statistika yang digunakan dalam mendiskripsikan data
menjadi informasi yang lebih jelas serta mudah dipahami yang memberikan
gambaran mengenai penelitian berupa hubungan dari variabel-variabel
interikat.

57
Mean
Mean adalah nilai rata-rata dari beberapa buah data. Nilai mean dapat
ditentukan dengan membagi jumlah data dengan banyaknya data. Mean
merupakan suatu ukuran pemusatan data. Mean suatu data juga merupakan
statistic karena mampu menggambarkan bahwa data tersebut berada pada
kisaran mean data tersebut. Mean tidak dapat digunakan sebagai ukuran
pemusatan untuk jenis data nominal dan ordinal.
Berdasarkan definisi dari mean adalah jumlah seluruh data dibagi dengan
banyaknya data. Dengan kata lain jika kita memiliki N data sebagai berikut
maka mean data tersebut dapat kita tuliskan sebagai berikut :
X 1 x X 2 x X 3 … … x Xn
X=
n

Dimana :
X = data ke n
X bar = X (nilai sampel) rata-rata
n = banyaknya data

Standar Deviasi
Menurut sugiyono (2013:57) standar deviasi atau simpangan baku dari
data yang telah disusun dalam table hasul pengtabulasian dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut :

S= √(Xi−X )2
( n−1)
Keterangan :
S = Standar Deviasi
Xi = Nilai X ke 1 sampai ke n
X = Nilai rata-rata
N = Jumlah sampel

58
Standar deviasi menginformasikan tentang seberapa jauh bervariasinya
data terhadap nilai rata-ratanya. Semakin besar nilai standar deviasi semakin
bervariasi data (heterogen) dan sebaliknya jika nilai SD jauh lebih besar
dibandingkan nilai mean maka nilai mean merupakan representasi yang buruk
dari keseluruhan data. Sedangkan jika nilai SD sangat kecil dibandingkan
nilai mean, maka nilai mean merupakan representasi yang baik yang dapat
digunakan sebagai representasi dari keseluruhan data.

3.4.2 Analisis Regresi


Regresi adalah pengukur hubungan dua variabel atau lebih yang dinyatakan
dengan bentuk hubungan atau fungsi. Untuk menentukan bentuk hubungan
(regresi) diperlukan pemisahan yang tegas antara variabel bebas yang sering
diberi symbol X dan variabel tak bebas dengan symbol Y. Pada regresi harus
terdapat variabel yang ditentukan dan variabel yang menentukan atau dengan
kata lain adanya ketergantungan variabel yang satu dengan variabel yang
lainnya dan sebaliknya. Kedua variabel biasanya bersifat kausal atau
mempunyai hubungan sebab akibat yaitu saling berpengaruh, sehingga
dengan demikian regresi merupakan bentuk fungsi tertentu antara variabel tak
bebas Y dengan variabel bebas X atau dapat dinyatakan bahwa regresi adalah
sebagai suatu fungsi Y = f(x). Bentuk analisis regresi tergantung pada fungsi
yang menunjangnya atau tergantung pada persamaannya.
Dalam regresi linier sederhana telah dipelajari analisis regresi yang terdiri
atas dua variabel. Dalam pembicaraan tersebut di mana analisisnya terdiri atas
sebuah variabel bebas X (independent variable) sering disebut variabel X
atau predictor dan sebuah variabel tak bebas Y (dependent variable) atau
variable Y atau variable penjelaskan. Tentu dapat dengan mudah dimengerti
bahwa, ada juga analisis regresi dimana terdapat lebih dari dua variabel, yaitu
analisis regresi di mana terdapat satu variabel yang tergantung (variabel Y)
yang diterangkan atau dijelaskan oleh lebih dari satu variabel lain yang
menerangkan (variabel x) yang disebut analisis regresi berganda multivariate
atau analisis ragam multi variat (multivariate multiple regression). Analisis

59
regresi dengan satu variabel diterangkan atau variabel Y oleh lebih dari
sebuah variabel yang lain atau variabel bebas X, maka analisis yang demikian
ini dinamakan analisis regresi adalah untuk mengetahui bentuk hubungan
matematis antara sebuah atau beberapa variabel bebas (independen) dengan
sebuah variabel tak bebas (dependen). Adapun kegunaannya adalah untuk
membuat ramalan tentang nilai dari variabel bebas, jika setiap nilai dari
variabel tak bebas diketahui.

Regresi Eksponensial
Regresi eksponensial adalah regresi non-linier yang variabel terikatnya
berdistribusi eksponensial, lalu dalam scatter plot terbentuk garis seperti
eksponensial dan merupakan pengembangan dari regresi linier dengan
memanfaatkan fungsi logaritmik. Model regresi eksponensial mempunyai
peranan penting dalam beberapa bidang statistic dan telah banyak digunakan
pada beberapa penelitian yaitu penelitian data survival atau penelitian tentang
ketahanan benda-benda produksi, dan penelitian pada bidang kedokteran. Bila
sekelompok data tampaknya paling baik disajikan melalui kurva regresi yang
tak linier, maka kita harus mencoba menentukan kurva dan menduga
parameternya.
Distribusi eksponensial merupakan suatu distribusi yang berguna untuk
mencari selisih waktu yang terjadi dalam suatu peluang tertentu. Dalam
distribusi eksponensial ini digunakan pencarian atau pengolahan data dengan
menggunakan variabel acak, dimana variabel acak itu sendiri adalah variabel
yang berupa nilai atau angka yang merupakan hasil dari eksperimen acak.
Variabel acak bersifat diskrit bila hanya berupa nilai tertentu yang dapat
dihitung. Namun variabel acak bersifat kontinu bila mana berupa suatu nilai
manapun dalam suatu interval.
Pada kenyataannya dalam analisis regresi eksponensial, data yang menjadi
variabel terikat haruslah distribusi eksponensial terlebih dahulu dan
dilanjutkan pada tahap berikutnya. Pengujian data variabel terikat
berdistribusi eksponensial dapat menggunakan distribusi yang mendekati

60
distribusi teoritis atau hipotesis tertentu seperti distribusi eksponensial,
binomial, poisson dan normal.
Mekanisme dalam pengujian uji chi-square ini adalah sebagai berikut :
a. Hipotesis
H0 : data berdistribusi eksponensial
H1 : data tidak berdistribusi eksponensial
b. Menentukan taraf signifikansi (α) dan nilai ꭓ2 (α,n-1) ditentukan
dengan derajat kebebasan df = n-1
c. Statistic uji
n
( Oi−Ei )2
ꭓ =∑
2

i=1 Ei

Dimana :
ꭓ2 : Uji chi-square
Oi : Frekuensi observasi ke i, i=1,2,.. n
Ei : Frekuensi ekspektasi ke I

d. Daerah kritik
Untuk memperoleh keputusan pengujian nilai statistic uji ꭓ2
dibandingkan dengan table chi-square yaitu Ho ditolak jika nilai ꭓ2 >
ꭓ2(α; n-1)

Model Regresi Eksponensial


Model ini banyak digunakan untuk memodelkan pertumbuhan
populasi makhluk hidup. Mengenal teori tentang pertumbuhan
penduduk yang dikembangkan oleh Mathus, dalam teori tersebut
dijelaskan bagaimana model eksponensial itu sendiri. Secara umum
model eksponensial dirumuskan sebagai berikut (Sudjana, 2003)

61
Yi = β0βiXi . εi i=1,2,….,n
Dimana :
Y : variabel terikat untuk observasi ke-i
X : variabel bebas
β : parameter model regresi
e : 2,71828
εi : residual
menurut atmaja (2009), berdasarkan persamaan regresi eksponensial
ini dapat disimpulkan bahwa jika tanpa adanya pengaruh dari variabel
bebas maka tidak dapat diperkirakan untuk variabel terikatnya, dan
jika adanya pengaruh dari variabel bebas maka dapat diperkirakan nilai
kenaikan atau penambahannya secara eksponensial.

3.5. METODE PENELITIAN


Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kuantitatif. Metode penelitian kuantitatif merupakan metode
penelitian yang dilakukan dengan menggunakan proses data-data berupa angka-
angka yang dapat dianalisis dengan menggunakan statistic dan bersifat sistematis
dan terstruktur.
Untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan, dilakukan pengambilan data
actual secara langsung dilapangan dengan mengukur kedalaman lubang aktual,
steming,digging time,dari lokasi yang telah diledakan dan pengambilan
dokumentasi hasil peledakan, selain itu dibutuhkan juga data-data pendukung

62
seperti peta design peledakan dan loading sheet peledakan yang didapatkan
langsung dari perusahaan.
Data-data yang telah dikumpulkan kemudian diolah dan dianalisis untuk
mengetahui pengaruh powder factor terhadap hasil peledakan pada pit main
ridge, serta memberikan alternative solusi untuk meningkatkan perolehan hasil
peledakan.
3.5.1 Waktu dan lokasi penelitian
A. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada September-November 2021
B. Lokasi Penelitian
Adapun lokasi penelitian yang akan dilaksanakan pada PT. Marunda
Grahamineral, Kabupaten Murung Raya, Provinsi Kalimantan Tengah
3.5.2 Jenis penelitian dan sumber data
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kuantitatif yaitu penelitian yang data-
datanya berhubungan dengan angka-angka baik yang diperoleh dari
pengukuran maupun dari nilai suatu data yang diperoleh dengan jalan
mengubah kualitatif ke dalam data kuantitatif (Sugiyono, 2006). Selain
itu penelitian ini juga dimaksudkan untuk memberikan deskripsi secara
sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan fenomena yang
diselidiki, maka penelitian ini memakai metode deskriptif
B. Sumber data
Data primer adalah data yang langsung di peroleh dari objek pengamatan
yaitu pada PT. Marunda Grahamineral berupa data :
1. Geometri Peledakan, yang memuat data :
a. Burden
b. Spacing
c. Kedalaman
d. Jumlah lubang
e. Pemakaian anfo
f. Pemakaian emulsi

63
g. Volume batuan

2. Nilai powder factor


Yang digunakan di perusahaan dan data-data lainnya yang
dianggap perlu.
Data sekunder adalah data yang pengumpulannya dilakukan oleh
orang lain dan digunakan sebagai data tambahan, data ini meliputi
data
a. Morfologi
b. Data stratigrafi
c. Data curah hujan
d. Peta geologi
Dan data-data lainnya yang dianggap perlu.

3.5.3 Teknik pengumpulan data


Teknik pengambilan data yang dilakukan adalah dengan metode observasi
dan wawancara yaitu suatu usaha untuk mengumpulkan data yang dilakukan
secara sistematis dengan prosedur yang terstandar melalui pengamtan,
pengukuran dan perhitungan geometri peledakan.
Observasi lapangan dimaksudkan untuk mengumpulkan data di lapangan,
data-data yang dibutuhkan selama penelitian.

3.5.4 Teknik pengolahan data


Data yang diperoleh dilapangan masih merupakan data mentah yang
memerlukan pengolahan lebih lanjut. Untuk memperoleh nilai data yang
representative dari jumlah data yang ada maka digunakan metode statistic
dan selanjutnya dilakukan perhitungan dengan menggunakan persamaan-
persamaan yang sesuai dengan yang diharapkan.

3.5.5 Analisis data


Analisa data dilaksanakan dengan cara :

64
1. Melakukan analisis terhadap geometri peledakan, penggunaan PF dan
hasil produksi peledakan untuk mencapai target produksi di PT.
Marunda Grahamineral.
2. Metode perhitungan yang dilakukan dengan menggunakan rumus-
rumus yang berkaitan dengan judul penelitian. Data ini menggunakan
rumus formula ”R.L.Ash”

3.5.6 Kesimpulan dan saran


A. Kesimpulan
Merupakan suatu rumusan hasil akhir atau rangkuman dari suatu
pemaparan atau pernyataan dari hasil tujuan yang diteliti

B. Saran
Pemberian pendapat atau masukan-masukan terhadap kekurangan-
kekurangan yang timbul terhadap suatu permasalahan agar dapat
diperbaiki kedepannya.

65
3.6. Bagan alir penelitian

Studi Literatur

Pengambilan Data

Data Primer Data Skunder


Geometri
Peledakan Data Morfologi

nilai Data Statigrafi


powder factor

Data Curah
Hasil Hasil
Fragmentasi Hujan
Pembahasan

Selesai

Gambar 3.1. bagan alir penelitiann

66
3.7. Jadwal penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan selama kurang lebih 2 bulan terhitung mulai
bulan September 2021 sampai dengan November 2021.

Sept Oktober November

Kegiatan
IV V I II III IV I II III

Orientasi

Lapangan

Pengambilan

Data

Pengolahan

Data

Penyusunan

Laporan

Konsultasi

Laporan

Tabel 3.1. Tabel rencana waktu penelitian

67
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, 1990, "Geometri Peledakan".

KartodharmoMoelhimIr 1990, "TeknikPeledakan". Kursus Pengawas Tambang


(MINE SUPERFISOR COURSE), Jurusan Teknik Pertambangan – ITB
Prodjosumarto, Partanto, 1987, "Tambang Terbuka", Jurusan teknik
Pertambangan Institut Teknologi Bandung
Sudjana, 1996, "MetodeStatistika". Tarsito Bandung.

Nurhakim.2016.Teknik Eksplorasi (HTKK-009) Banjarbaru Unlam

68

Anda mungkin juga menyukai