Anda di halaman 1dari 5

Meneguhkan Kedaulatan Digital

Niat pemerintah meneguhkan kedaulatan digital perlu didukung. Namun, kontrol dan kuasa besar itu
jangan digunakan untuk mengekang kebebasan sipil, melanggar privasi, menyalahgunakan data
pribadi, dan mengancam demokrasi.

Oleh Ahmad Mustafid, Mahasiswa Magister Computer Science Technische UniversitÄt (TU)


Kaiserslautern, Jerman

Kompas, 2 Agustus 2022 06:00 WIB

HERYUNANTO

Heryunanto

Kedaulatan digital merupakan hal yang penting bagi sebuah bangsa berdaulat. Hal ini agaknya
terdengar seperti masalah teknis. Namun, kedaulatan digital bukan hanya soal teknis blokir-
memblokir layanan digital.

Kedaulatan digital dapat menyentuh dan berimbas ke semua lapisan masyarakat. Kedaulatan
merupakan bentuk kekuasaan yang sah yang memiliki kekuatan untuk mengendalikan. Analoginya
seperti kendali untuk mengomando kapal besar bangsa (ship of state), metafora Plato dalam
Politeia.

Indonesia adalah bangsa yang lahir ketika dunia sedang mengalami guncangan luar biasa.
Guncangan akibat dua revolusi—AS dan Perancis—hingga dua perang dunia yang memunculkan
ekuilibrium baru konsep negara-bangsa (nation-state).

Dalam negara-bangsa, negara mempunyai kedaulatan atas wilayah, sumber daya alam (SDA), dan
orang-orang yang tinggal di dalamnya. Namun, menengok infosfer di era saat ini, kedaulatan bukan
hanya soal wilayah dan sumber daya alam di dalamnya, melainkan juga kedaulatan atas data. Data
adalah sumber kekayaan baru. Data bukanlah SDA yang terbatas, langka, dan tidak terbarukan
seperti minyak bumi, batubara, ataupun nikel.
Namun, menengok infosfer di era saat ini, kedaulatan bukan hanya soal wilayah dan sumber daya
alam di dalamnya, melainkan juga kedaulatan atas data.

Namun, data dan aset digital merupakan sumber daya yang tak terbatas, besar, dan banyak, tetapi
sebagian besar bersifat pribadi dan tunduk pada kekuatan pasar. Data diproduksi, dimiliki, dan
digunakan tak hanya oleh warga dan negara, tetapi juga perusahaan besar multinasional. Oleh sebab
itu, era digital ini telah mendorong kita berkontemplasi dan memikirkan ulang apa itu kedaulatan
digital? Siapa yang dapat menjalankannya, untuk apa, bagaimana, dan untuk tujuan apa?

Pertanyaan-pertanyaan menarik ini perlu dijawab, didiskusikan, dan dimusyawarahkan bersama.


Kedaulatan semestinya mampu meregulasi secara efektif dan demokratis persoalan kedaulatan atas
data hingga teknologinya.

Kedaulatan digital

Kedaulatan digital adalah sebuah gagasan untuk menegaskan kembali otoritas negara atas internet
dan melindungi warga serta bisnis dari berbagai macam tantangan di dunia digital (Julia Pohle &
Thorsten Thiel, 2022). Kedaulatan digital juga bisa dimaknai sebagai kemampuan negara dan
warganya untuk memiliki kontrol dan kemandirian atas data dan aktivitas mereka di dunia digital.

Perjuangan menegakkan kedaulatan digital adalah upaya bagaimana mengendalikan


data, software  (misalnya kecerdasan buatan/AI), standar dan protokol (misalnya 5G, TCP/IP, nama
domain), processes (misalnya komputasi awan), hardware (misalnya  internet of things/IoT, telepon
pintar, cyber-physical system), services (misalnya media sosial, e-dagang), serta infrastruktur digital
(misalnya kabel, satelit, kota cerdas) (Luciano Floridi, 2020). Dengan kata lain, kendali dan kontrol ke
seluruh ekosistem digital.

Kendali dan kontrol bukan dalam arti yang negatif, melainkan arti positif untuk ikut terlibat secara
aktif dalam ekosistem digital. Lebih lanjut, bagaimana negara memiliki kemampuan untuk
memeriksa dan mengoreksi setiap penyimpangan yang terjadi di dalamnya. Hal ini penting karena
bentuk kendali tertinggi adalah kedaulatan individu atau warga melalui negara, yang bisa diartikan
sebagai kepemilikan diri, terutama hak atas tubuh, pilihan, dan datanya sendiri.
Dengan pertumbuhan ekonomi digital tertinggi di Asia Tenggara, sebesar 70 miliar dollar AS pada
2021 dan diperkirakan 146 miliar dollar AS pada 2025 (Kemenkeu, 2022), Indonesia perlu melihat
dengan serius permasalahan kedaulatan digital. Kedaulatan digital jadi faktor kunci dalam
melindungi pertumbuhan ekonomi. Selain sisi ekonomi, ini juga penting bagi keamanan negara,
misalnya bagaimana data sensitif serta rahasia disimpan dan digunakan.

Kemenkominfo sepertinya sangat serius dalam melindungi kedaulatan digital. Ia menyatakan akan
memblokir Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat jika tak mendaftar hingga 20 Juli
2022. Diungkapkan, pendaftaran ini bertujuan untuk mengawasi dan melindungi konsumen di Tanah
Air dan bukan mengekang kebebasan berekspresi.

Upaya Kemenkominfo untuk menegakkan kedaulatan digital layak kita dukung. Dengan adanya
pendataan, negara dapat menarik pajak kepada PSE Lingkup Privat, khususnya PSE asing. Sebab,
selama ini pemerintah kesulitan berkoordinasi dengan PSE asing, bahkan sering kali permintaan dan
undangan yang diberikan ditolak, bahkan tak digubris.

Selain itu, dengan adanya pendaftaran PSE, pemerintah memiliki posisi yang lebih kuat jika
berhadapan dengan PSE yang merugikan pengguna dan masyarakat Indonesia.

Melindungi masyarakat

Apabila pemerintah memang serius melindungi masyarakat, sebenarnya mereka masih memiliki
banyak pekerjaan rumah tak kalah penting sebelum menegakkan kedaulatan digital.

Mulai dari menyelesaikan UU Perlindungan Data Pribadi dengan DPR dan memastikan independensi
otoritas perlindungan data pribadi, kemudian memastikan privasi masyarakat terjaga dengan baik,
memperbaiki teknis aplikasi pendaftaran PSE, hingga merevisi Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020
dan amendemen Permenkominfo No 10/2021 yang bisa mengancam kebebasan berekspresi baik
pers maupun warga dalam dunia digital.

Selain itu, apabila ada rencana pemblokiran terhadap PSE, semestinya perlu pengkajian mendalam
dan memaparkan hasilnya berupa rekomendasi alternatif aplikasi yang serupa. Dengan demikian,
masyarakat bisa mempersiapkan diri jauh-jauh hari untuk migrasi ke aplikasi pengganti. Sebelumnya,
Kemenkominfo membuat kebijakan pendaftaran bagi PSE dan membuat whitelist bagi yang sudah
daftar.
Didie SW

Ketika membahas soal data security, ada dua paradigma besar antara  whitelisting (siapa yang bisa
diakses) atau blacklisting (siapa yang harus diblokir). Masing-masing memiliki kelebihan dan
kekurangan. Internet terlalu luas jika menggunakan konsep whitelisting. Namun, pilihan yang tepat
bergantung pada kebutuhan dan tujuan. Sering kali yang ideal adalah kombinasi
keduanya, graylisting, dengan kriteria tertentu sebelum memasukkan antara keduanya.

Pemblokiran jadi salah satu cara efektif untuk menunjukkan kedaulatan dalam ranah digital. Namun,
pemblokiran jangan sampai berlebihan, seperti internet di China. Sejak era Deng Xiaoping dengan
kebijakan pintu terbukanya, ia telah meletakkan fondasi pembatasan internet. Ia memberikan pesan
analogi, ketika membuka jendela untuk mendapatkan angin segar, lalat bisa masuk.

Dari fondasi ini, kemudian pada tahun 2000, otoritas China memperkenalkan Proyek Tameng Emas
(The Golden Shield Project) dengan subproyek Tembok Api Besar (The Great Firewall). Pada 2015,
bahkan mereka menggunakan Meriam Besar (Great Cannon) untuk menyerang
menggunakan  distributed denial-of-service (DDoS) hingga membajak lalu lintas data dan mengganti
konten atau biasa dikenal dengan istilah man-in-the-middle (MITM) (Bill Marczak et al, 2015). Proyek
besar ini bahkan mampu menghalau banyak aplikasi dari perusahaan teknologi besar dunia.

Upaya meneguhkan kedaulatan digital perlu kita dukung.

Terkadang memang aplikasi dari raksasa teknologi terlalu berperilaku bak sebuah negara sendiri.
Mereka menggunakan data dan informasi pribadi kita sebagai kekuatan tawar untuk
mengonsolidasikan posisi dominan mereka. Alhasil, ini bisa menghasilkan eksternalitas negatif
seperti manipulasi politik skala besar hingga fenomena penyalahgunaan algoritma.

Oleh sebab itu, niat pemerintah merupakan hal yang baik untuk melindungi masyarakat dan negara
dari ancaman di dunia digital. Upaya meneguhkan kedaulatan digital perlu kita dukung. Namun,
kontrol dan kuasa besar tersebut jangan justru digunakan untuk mengekang kebebasan sipil,
melanggar privasi, menyalahgunakan data pribadi, bahkan hingga membungkam suara-suara kritis
yang dapat mengancam demokrasi.
Editor: SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN

Anda mungkin juga menyukai