Anda di halaman 1dari 5

Wajah Mangrove Kita

Sikap tebang dan tanam mangrove yang silih berganti menunjukkan adanya kebijakan yang ambigu.
Ambigu tidak hanya karena soal tumpang tindih kewenangan secara administrasi, tetapi juga
kewenangan dalam substansi.

Oleh Yonvitner, Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB University.

Kompas, 1 Agustus 2022 13:00 WIB

HERYUNANTO

Ilustrasi

Euforia dengan mangrove menguat dari hulu sampai hilir. Isu perubahan iklim menobatkan
mangrove sebagai salah satu pilihan, setelah banyak publikasi mengungkapkan peran mangrove
untuk adaptasi.

Sebuah penelitian di Palau (negara kepualuan di Samudra Pasifik) dan Vietnam menyampaikan
bahwa laju akumulasi karbon belowground  mencapai 69-602 gC per meter persegi per tahun atau
secara global laju penyimpanan karbon mencapai 10-20 kali lebih besar daripada hutan daratan
(MacKenzie et al, 2016).

Setali tiga uang, peran mangrove dalam mendukung kehidupan biota laut dari serasah daun
mangrove terlihat besar. Mangrove mampu mendukung kelangsungan hidup biota mencapai 1,03
ton biomass ikan, udang, kerang, kepiting, dan biota lainya dalam setahun.

Baca juga: Karbon Inklusif

Sebagai instrumen ekonomi, wisata mangrove yang ditelaah Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan IPB 2018 mendapatkan rata-rata pendapatan mencapai Rp 40 juta per bulan. Pendapatan
yang dikelola oleh desa atau kelompok pencinta mangrove ini mampu memberikan manfaat secara
ekonomi kepada masyarakat.
Begitu juga peran mangrove dalam mereduksi gelombang tsunami, seperti yang dijelaskan
Kathiresan et al 2005, bahwa mengrove lebih toleran dan mampu menahan gelombang, apalagi jika
kerapatan mangrove tinggi.

Melihat kemanfaatan mangrove yang begitu komplet, mulai dari aspek pengendali bencana,
ekonomi, pengendali iklim, serta penunjang daya dukung, sudah pantas kemudian kita mendorong
mangrove sebagai instrumen pembangunan.

Euforia tanam mangrove ini rupanya belum diikuti dengan kesetiaan mengawal agar kemudian
tumbuh, atau ekosistem menjadi sehat dan kemudian tidak ditebang.

Aksi kepedulian menyeruak seperti aksi tanam mangrove pada lahan terkonversi (restorasi) dan
rehabilitas, serta tentu juga konservasi. Euforia tanam mangrove ini rupanya belum diikuti dengan
kesetiaan mengawal agar kemudian tumbuh, atau ekosistem menjadi sehat dan kemudian tidak
ditebang.

Aksi tanam mangrove kemudian seolah-olah berlomba dengan aksi tebang mangrove di lain pihak.
Menanam untuk melindungi, tetapi kemudian banyak juga yang ditebang dengan alasan investasi
baik untuk jalan tol, industri, dan reklamasi.

PRESENTASI CECEP KUSMANA

Konversi Ekosistem Mangrove

Ambiguitas kebijakan

Sikap tebang dan tanam mangrove yang silih berganti menunjukkan kepada kita adanya kebijakan
yang ambigu. Ambigu tidak hanya karena soal tumpang tindih kewenangan (secara administrasi),
tetapi juga kewenangan dalam substansi, bahkan di hilir juga ke akun belanja dan anggaran
pemerintah terkait mangrove.

Polemik keberadaan mangrove antara lain meliputi soal tempat hidup pada area gambut versus
bukan gambut, berada dalam kawasan hutan versus kawasan nonhutan, berada dalam kewenangan
pusat versus kewenangan daerah kemudian menyekat upaya pemulihan ekosistem mangrove.

Sikap ambigu ini kemudian menjalar kepada kewenangan pemberian izin menanam, izin mengawasi,
dan pengembangan lainya. Jerat kebijakan ini seharusnya dapat diselesaikan dengan baik agar
mangrove yang ditanam bisa dirawat dan ketika dewasa difungsikan secara berkelanjutan.

Baca juga: Perusahaan Perusak Mangrove di Teluk Balikpapan Dinyatakan Bersalah, Aktivis


Mempertanyakan Sanksi

Alasan investasi juga kemudian sering mengorbankan mangrove yang sudah tumbuh dan sehat.
Kasus yang paling mudah kita lihat ketika ada pihak yang mengonversi mangrove beberapa waktu
lalu di Balikpapan, berdekatan dengan rencana IKN untuk kepentingan usaha.

Praktik-praktik seperti itu seharusnya tidak boleh lagi terjadi di tengah euforia kita menumbuhkan
kesadaran dan kepedulian terhadap pentingnya mangrove, yang tidak hanya untuk hari ini, tetapi
juga bagi generasi kita mendatang. Setidaknya ada empat upaya penting yang harus dilakukan
pemerintah dalam memastikan keberhasilan pemulihan ekosistem mangrove ke depan.

Upaya pertama ialah perbaikan. Upaya perbaikan yang diperlukan menurut penulis ialah; pertama,
reformasi kelembagaan. Kedua, pengawalan program tidak boleh lagi parsial. Ketiga, perbaikan
indikator evaluasi antarlembaga pengelola dan pemegang kewenangan, keempat mendorong aksi
yang tidak lagi parsial dan sistem yang lebih padu.

Alasan investasi juga kemudian sering mengorbankan mangrove yang sudah tumbuh dan sehat.

Ego sektoral sangat terasa sekali dalam upaya rehabilitas dan restorasi mangrove yang tengah
berjalan. Kewenangan menurut Peraturan Presiden Nomor 120 Tahun 2020 yang diberikan kepada
Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) seolah tidak kuasa mendorong penyatuan langkah
secara penuh.

Kewenangan untuk program strategis nasional yang dikelola BRGM sering berbenturan dengan sikap
lembaga yang lebih tinggi, seperti kementerian yang ditetapkan menurut undang-undang. Walaupun
dalam rapat koordinasi terkesan mudah dikoordinasikan, dalam teknis benturan kewenangan ini
mencuat jadi kendala dan membatasi langkah implementasi program perbaikan mangrove.
Upaya kedua yang tidak kalah penting dilakukan ialah pengawalan terhadap semua aktivitas
rehabilitasi, restorasi, dan konservasi mangrove. Banyak kegiatan penanaman mangrove tidak
diiringi dengan perawatan, dengan alasan kabupaten tidak diajak koordinasi dan kewenangan laut di
provinsi.

Kasus penanaman mangrove di daerah Sekotong, misalnya, setelah ditanam langsung ditinggal
sehingga sebagian yang ditanam kembali tercabut karena gelombang, dan tidak ada yang
memperbaiki kembali. Akibatnya, dari mangrove yang ditanam, kurang dari 10 persen yang mampu
bertahan.

Kasus lain, karena mengejar target penyerapan anggaran, mangrove ditanam pada perairan dangkal
yang banyak ditumbuhi oleh lamun, seperti yang terjadi di pesisir Bontang. Program penanaman
tidak hanya mempertimbangkan jumlah yang ditanam, anggaran yang terserap, tetapi juga
memperhatikan keharmonisan ekosistem.

Karena mengejar target penyerapan anggaran, mangrove ditanam pada perairan dangkal yang
banyak ditumbuhi oleh lamun, seperti yang terjadi di pesisir Bontang.

Untuk itu, penting dalam setiap aksi penanaman adanya koordinasi antara BRGM, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, perguruan tinggi, lembaga
swadaya masyarakat, Masyarakat Mangrove Indonesia (IMS), serta provinsi dan kabupaten/kota
yang menjadi target. Bagian penting lainya ialah BRGM harus mengalokasi biaya perawatan untuk
kabupaten kota atau kelompok masyarakat pengawas agar mangrove berhasil tumbuh.

Upaya ketiga ialah menyiapkan indikator yang sama untuk memastikan keberhasilan restorasi,
rehailitasi, dan konservasi mangrove. Ketika ada program penanaman, seharusnya luas mangrove
akan bertambah. Faktor hilirnya, maka usaha ekonomi, fungsi ekologi, dan daya dukung serta
mitigasi karbon akan membaik.

Untuk setiap komponen tersebut, perlu dibangun indikator untuk mengukur keberhasilan program
rehabilitas dan restorasi mangrove. Jangan sampai dana pinjaman konservasi terserap tanpa terlihat
keberhasilnya, minimal luas mangrove Indonesia setelah program.

Baca juga: ”Quo Vadis” Rehabilitasi Mangrove

Agar terlihat lebih berhasil, seharusnya program rehabilitasi dan rekonstruksi serta konservasi
mangrove memiliki sistem pendataan, monitoring, dan pengelolaan yang inklusif. Semua pihak yang
terlihat dalam aksi mangrove dapat berkontribusi untuk semua upaya pemerintah.

Dengan sistem yang inklusif, apa yang sudah dilakukan, dan akan dilakukan, dapat direspons juga
oleh semua pihak. Ketika mangrove kita berkembang, dalam hal isu karbon, pengelolaan mangrove
untuk iklim harus dikelola Indonesia. Jangan kemudian mangrove yang sudah terehabilitasi
diserahkan kepada asing termasuk data riset dan inovasinya.

Agar langkah pengelolaan mangrove lebih baik, penulis melihat perlu normalisasi kelembagaan.
Kelembagaan pengelolaan mangrove semestinya tidak lagi tersekat oleh ego sektoral. Harusnya
undang-undang sektor yang berbenturan dengan itu juga harus segera direvisi agar kemudian tidak
terjadi tumpeng tindih program, dualisme kebijakan, dan pemborosan anggaran. Kemudian baru
diikuti dengan penguatan kapasitas semua pihak dalam mewujudkan mangrove yang lebih inklusif,
mangrove untuk semua sebagai pinjaman anak cucu kita.

Editor: YOVITA ARIKA

Anda mungkin juga menyukai