sempit. Selain itu ada berbagai aturan juga yang diterabkan TNC bagi penduduk pulau
Komodo seperti pohon tidak bisa dipotong. Sekarang, mereka hanya bisa memakai kayu
apung dan akibatnya, keadaan rumahnya buruk sekali. Ada juga peraturan yang melarang
pembangunan perlindungan pada siang hari. Perlindungan hanya bisa dibangun pada
malam dan harus dirusak pada pagi. Selain itu, metode pemancingan tradisionil diawasi
keras. Metode itu termasuk pemancingan kerang laut, dan metode berbahaya termasuk
pemancingan bom dan sianida. Seorang kampung bilang Kami terpaksa pindah dari
hutan, sekarang kami tidak bisa tinggal di laut. Kami bukan kelelawar, kami tidak bisa
tinggal di langit. Walaupun ada restriksi ini, metode alternatif atau perlengkapan baru
sulit untuk ditemukan. Karena TNC, lingkungan di Taman Nasional Komodo diperbaiki
tetapi kebudayaan orang kampung Komodo terancam lagi.
Ada banyak kesimpang siuran mengenai informasi umum seperti sejarahnya dan
karena peraturan yang ditetapkan oleh TNC, naga Komodo mulai masuk kampung dan
mempertegang persahabatan karib antara masyarakat dan naga Komodo. Peraturan itu
juga menyebabkan perubuhan utama dengan gaya hidup orang setempat karena mereka
harus menghentikan pemburuan di gunung dan mulai pemancingan. Sekarang, kegiatan
ini juga diawasi keras dan mata pencaharian alternatif yang hasilnya memadai sulit untuk
ditemukan. Sistim pendidikan yang tidak mendukung kebudayaan tradisionil atau bahasa
setempat, begitu pula halnya dengan masuknya penduduk luar secara terus-menerus
menyebabkan versi halus bahasa setempat hampir hilang.
Jumlah penduduk Desa komodo yang mayoritasnya adalah nelayan (97%),
menurut sensus penduduk tahun 2012 terdapat 4. 390 jiwa, dan hampir 60 persen
penduduknya masih berada dibawah garis kemiskinan. 3 Ini merupakan hal yang sungguh
ironis dengan tingkat kenaikan jumlah wisatawan yang mengunjungi Taman Nasional
Komodo. Tahun 2013 terdapat sekitar 60.000 wisatawan asing yang masuk TNK dan
menyumbang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp. 4,5 miliyar.4
Selain itu di pulau komodo terdapat juga masalah pendidikan, di pulau komodo
Ada sekolah dasar kecil untuk 400-500 anak setempat. Tingkat pendidikan sedang adalah
kelas empat dan tidak ada murid baru setiap tahun. Rata-rata, ada empat kelas dan empat
guru di setiap kampung di Taman Nasional Komodo dan kebanyakan anak ini tidak tamat
dari sekolah dasar. Hanya kira-kira 10% murid yang tamat akan ikut SMP karena
kesempatan ekonomi utama adalah pemancingan dan pendidikan tingkat tinggi tidak
diperlukan untuk itu. Jika ingin melanjutkan sekolahnya Anak-anaknya harus dikirim ke
Labuan Bajo untuk ikut SMP tetapi ini jarang terjadi di keluarga nelayan. Hampir semua
guru yang bekerja di kampung Komodo berasal dari pulau lain. Akibatnya, mereka tidak
tahu tentang kebudayaan orang kampung Komodo dan tidak mengajar hal itu. Karena itu,
anak Komodo tidak tahu tentang sejarahnya dan walaupun ada beberapa orang tua yang
memberi tahu kepada anaknya tentang dongeng-dongeng tradisionil, tetapi sangatlah
jarang. Sejak The Nature Conservancy, atau TNC, menguasai Taman Nasional Komodo,
ada banyak iklan. Iklan ini termasuk plakat, buku dan selebaran tentang taman itu. Juga,
ada papan pengumuman, lagu dan pertunjukan golek tentang peraturan taman dan
pengawetan laut. Tetapi tidak ada iklan tentang tempat bersejarah di Pulau Komodo.
Selain itu terjadi pengkaliman pulau sebagai milik pribadi dalam kawasan TNK.
Kasus yang paling terang adalah kasus Pulau Mawang yang diklaim oleh pemilik alam
Kul-Kul. hari ini komodo telah terglobalisasi, komodo tidak hanya berada di TNK
Indonesia, melainkan telah tersebar kebeberapa negara seperti Singapura, Jepang,
Belanda, Jerman, Amerika Serikat, Ceko, Hongaria, Brazilia, Spanyol dan Afrika Selatan
ini menunjukan ketidak tegasan pemerintah dalam melakukan pengawasan aset langka
dunia. Atas dasar itulah penulis tertarik meneliti problematika masyarakat pulau komodo,
yang dipengaruhi oleh perusahaan transnasional Then Nature Concervacy.
B. LATAR BELAKANG
Taman Nasional Komodo didirikan pada tahun 6 maret 1980 lewat pengumuman
menteri pertanian, yang dipertegas dalam keputusan Menteri Kehutanan No. 306/kptsII/92 tanggal 29 febuari 1992 tentang Perubahan Fungsi Suaka Margasatwa Pulau
Komodo, Pulau Rinca, Pulau Padar seluas 40.728 Ha serta Penunjukan Perairan Laut di
Sekitarnya Seluas 40.728 Ha serta Penujukan Perairan Laut di sekitarnya seluas 132.572
Ha sebagai Taman Nasional dengan nama Taman Nasional Komodo (TNK).5 Penetapan
ini dilakukan dalam upaya melindungi satwa komodo dari kepunahan serta berbagai
satwa lainya yang ada di kepulauan tersebut, serta melindungi biota lautnya yang sangat
beragam. Terdapat kurang lebih 277 spesies hewan yang merupakan kombinasi dari
kawasan Asia dan Australia. Dari perairannya terdapat sekitar 253 spesies karang dan
1000 spesies ikan, termasuk terkaya di dunia.6
Ini adalah sejarah Taman Nasional Komodo menurut kantor informasi di Loh
Liang, Komodo:
dalam UU.
Perlindungan binatang liar.
1938 Pembentukan Suaka Marga Satwa P. Rinca dan P.Padar
1965 Pembentukan Suaka Marga Satwa P. Komodo
1980 Pembentukan Taman Nasional Komodo
1991 Penunjukan sebagai Warisan alam dunia oleh UNESCO
1992 Komodo sebagai satwa nasional kepres No.4 Tahun 1992
Pada tahun 2000, rencana pimpinan Taman Nasional Komodo diakui oleh
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. The Nature Conservancy
(TNC), perusahaan trans-nasional asal Amerika Serikat, dan pedagang yang berasal dari
Malaysia, Feisol Hashim, akan menguasai Taman Nasional Komodo selama 25 tahun.
Mereka mau melindungi lingkungan setempat dengan hasil turisme yang akan diperbaiki.
Lewat sebuah Perusahaan swastanya (joint venture) Putri Naga Komodo, menguasai
enam posisi di dewan pimpinan dan hanya ada dua untuk wakil pemerintah. 60%
perusahaan itu dimilik oleh TNC. Putri Naga Komodo menanam kira-kira dua juta dolar
AS setahun untuk taman tersebut, hampir 100 kali anggaran belanja sebelumnya.
Meskipun itu, masih ada persoalan.
Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat dengan menjadikan pariwisata sebagai
leading sector. Namun dijadikan periwisata sebagai leading sector tidak memberikan
kontribusi yang besar dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD) bahkan mengalami defisit.
Tahun 2011 Pendapatan daerah Manggarai Barat dari retribusi TNK dan situs wisata
lainnya hanya 1,6 miliyard dan 1,8 miliyard pada tahun 2012, sementara Dinas Pariwisata
menghabiskan dana APBD sebesar 3,8 milyar sebagain besar untuk operasional pegawai
dan gaji.7 Ditambah lagi pelik tidak transparanya pengelolaan TNK oleh PT. JPU.
Dijadikannya pariwisata sebagai leading sector tidak hanya menjadi ironi dalam
hal pendapatan daerah melainkan pembangunan masyarakat lokal desa Komodo sendiri.
Dalam hal pendidikan misalnya, rata-rata adalah tingkat empat sekolah dasar. Fasilitas
pendidikanpun minim terutama dalam ketersedian gedung dan pengajar,rata-rata
mempunyai empat kelas dan empat guru, sementara untuk melanjutkan pendidikan
Sekolah Menegah Pertama (SMP) mereka mesti berhijrah ke Labuan Bajo, ibukota
kabupaten Manggarai Barat. Dibidang kesehatan problem utama di desa ini adalah
kurangnya ketersedian air tawar, terutama pada musim kering. Penduduk desa Komodo
mesti mengambil air dari Labuan Bajo dengan menggunakan perahu dan rata-rata
pengeluaran untuk penyedian air setiap keluarga adalah Rp. 100.000,- /bulan.8
Adanya TNK ternyata tidak membawa perubahan bagi penduduk desa Komodo
tetapi malah mengeksklusi masyarakat dari akses kemanfaatanya, makin terperosok
dalam garis kemiskinan. Oleh karena itu dalam tulisan ini penulis hendak mengambil
proses liberalisasi kebudayaan terutama yang dilakukan oleh perusahan bisnis konservasi
trans-nasional TNC, atas nama konservasi.
Budaya menurut Kuntowijoyo adalah suatu sistem yang mempunyai koherensi.
Bentuk-bentuk simbolis yang berupa kata, benda, laku, mite, sastra, lukisan, nyanyain,
musik, kepercayaan mempunyai kaitan erat dengan konsep-konsep epistimologis dari
7 Dale. Cypri Jehan P. Kuasa, Pembagunan dan Pemiskinan Sistemik analisis
kontra-hegemoni dengan studi kasus di Manggarai Raya, NTT, Indonesia. Labuan
Bajo: Sunspirit for Justice and Peace. 2013. Hal. 104
8 Dirjen perlindungan dan konservasi kawasan, tahun 2000
Materialisme
Dialektika
Historisnya
(MDH),
Marx
membagi
fase
dimana pun, ketika satu bagian dari masyarakat memiliki monopoli atas
sarana-sarana produksi, pekerja, bebas atau tidak, harus menambahkan pada
pekerja (labour) yang diperlukan untuk hidupnya sendiri, sejumlah kerja ekstra
demi sarana subsistensi untuk pemilik dari sarana produksi itu15
Beban kerja lebih (surplus labour) untuk memproduksi nilai lebih (surplus
value) yang bukan merupakan kerja perlu bagi siburuh upahan, melainkan untuk si
kapitalis pemilik kapital. Mekanisme ini disebut Marx sebagai pencurian nilai lebih
atau eksploitasi yang pada intinya berarti menjalankan kerja bagi kelas dominan
dibawah kondisi koersif. Proses kerja, ketika iya merupakan proses yang dengannya si
kapitalis mengkonsumsi tenaga kerja, memamerkan dua karakteristik;
pertama, pekerja bekerja dibawah kontrol kapitalis, yang memiliki kerjanya;
si kapitalis menjaga agar pekerjaannya berjalan selayaknya dan alat-alat
produksi dipakai dengan cerdas, sehingaa tidak ada bahan mentah yang
diboroskan dan perkakas kerja dihemat...kedua, produk itu adalah milik
kapitalis dan bukan milik pekerja, yaitu produsen langsungnya. Andaikan
seorang kapitalis membayar tenaga kerja sehari menurut nilainya; maka hak
penggunaan tenaga kerja itu untuk sehari menjadi miliknya, tepat sama dengan
penggunaan komoditi lain, seperti seekor kuda yang telah disewanya untuk
hari itu16
Marx mengamati dengan jelas bahwa penguasaan alat produksi dan eksploitasi
tenaga kerja demi nilai lebih inilah yang menciptakan kapital bagi kelas dominan.
Jadi, kapital dan kapitalis bukannlah faktor alami seperti tanah, melainkan hasil dari
proses penguasaan kapital dan eksploitasi. Dengan amatan seperti itu Marx membantu
kita melihat secara kritis bagaimana proses akumulasi kapital itu berlangsung pada
zaman kita dengan berbagai wujut dan mekanisme antara lain lewat konservasi,
investasi, turisme dan lain sebagainya.
Posisi negara menurut Marx pada zamannya sama sekali tidak berpihak pada
rakyat. negara lebih tepatnya adalah alat dari kaum borjuise untuk memperjuangkan
kepentingan kelas mereka.17 Selain itu Marx juga mengkritik ideologi (ajaran, paham,
atau pandangan) yang menjelaskan suatu keadaan, terutama struktur kekuasaan,
sedemikian rupa sehingga orang mengangap sah, padahal jelas tidak sah atau
memberikan legitimasi kepada suatu keaadaan yang sebenarnya tidak memiliki
legitimasi.18
Dengan menggunakan pandanngan Marxist ini, membantu penulis melihat
wujutnyata kontemporer dari mode produksi kapitalis (capitalist mode of production)
hendak melihat proses marginalisasi penduduk desa Komodo, kontrol dan penguasaan
atas alat produksi demi akumulasi Kapital, sehingga melahirkan tatanan atas (supra
structure) berupa liberalisasi kebudayan penduduk desa Komodo.
Modus-modus akumulasi kapital TNC dilakukan dengan kamuflase hijau atas
nama konservasi. Alat-alat produksi masyakat desa Komodo, berupa laut dan tanah
dikuasai oleh TNC lewat bentuk zonanisasi, yang dilegalkan Pemerintah. Dikuasainya
alat produksi ini membuat masyarakat desa komodo kehilangan alat produksinya dan
terasionaliasasi atau taken for granted oleh masyarakat desa Komodo lewat kuasa
pengetahuan yang dimiliki pemerintah.
Hal ini mengubah struktur kelas masyarakat desa Komodo, menjadi kelas
proletar, kelas yang tidak memiliki alat produksi. Kehilangan alat produksi ini
kemudian merubah kebudayaan lokal, dari hidup bergantung pada alam (laut) kini
berubah menjadi sekedar buruh penjual pernak-pernik cendaramata di pulau Komodo.
Kebudayaan konservasi tradisional turut berubah karna lebih terasional oleh kerjakerja konservasi TNC.
E. HIPOTESA
Berawal dari latar belakang, rumusan masalah dan kerangka teori, maka dapat ditarik
hipotesa bahwa peran korporasi trans-nasional The nature concervacy dalam
17 Suseno, Frans Magnis. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke
Perselisihan Revisoniisme. Jakarta: Gramedia. Hal. 122
18 Dale. Cypri Jehan P. Kuasa, Pembagunan dan Pemiskinan Sistemik analisis
kontra-hegemoni dengan studi kasus di Manggarai Raya, NTT, Indonesia. Labuan
Bajo: Sunspirit for Justice and Peace. 2013 hal. 25