Anda di halaman 1dari 11

[22/9 19.

55: Oktober 2021 genap 2 tahun Pemerintahan Jokowi periode II dan lebih tepatnya 7
tahun Pemerintahan Jokowi. Selama 7 tahun ini konsolidasi politik Pemerintah semakin kuat ditandai
salah satunya dengan bergabungnya Prabowo ke dalam kabinet Jokowi. Selain itu oposisi di DPR
terlihat semakin lemah untuk menjalankan checks and balances, berbagai UU inisiatif Presiden
dengan disahkan dalam waktu singkat seperti UU Minerba hanya sekitar sebulan, Omnibus Law
Cipta Kerja hanya sekitar 8 bulan padahal mengubah 72 UU, 1 UU disisipkan dan 2 UU dicabut, Revisi
UU MK dalam 7 hari dan Revisi UU KPK dalam waktu 12 hari saja.

Secara umum, kasus dan kebijakan yang terjadi pada masa 7 tahun Pemerintahan Jokowi ini dapat
dilihat menjadi beberapa gejala umum.

Kebebasan Sipil Semakin Menyempit

Pemerintahan Jokowi membuat demonstrasi menjadi hal yang terlarang padahal pasca Reformasi
UU 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum adalah salah satu UU
yang segera dibentuk untuk membedakan masa otoritarian dengan demokrasi. Hal ini terlihat dari
aksi May Day/Hari Buruh Internasional setiap tanggal 1 Mei. Dalam masa Pemerintahan Jokowi
setidaknya hanya dua kali aksi ini dapat dilakukan di depan istana. Seperti aksi-aksi lainnya,
demonstrasi hanya diperbolehkan sampai patung kuda. Berbagai kekerasan menimpa demonstrasi di
berbagai kota. Beberapa diantaranya aksi PP Pengupahan 78/2015, May Day 2019 dengan
stigmatisasi anarko, aksi Reformasi Dikorupsi tahun 2019, aksi-aksi penolakan Omnibus Law tahun
2020 dan aksi May Day serta Hari Pendidikan tahun 2021. Tidak hanya pembubaran tidak sah tetapi
juga kekerasan serta kriminalisasi kepada peserta aksi damai. Hal ini diikuti dengan stigmatisasi
peserta aksi sebagai perusuh untuk menjustifikasi tindakan-tindakan sewenang-wenang tersebut.

Salah satu instrumen penyempitan ruang kebebasan sipil adalah kriminalisasi dengan korban paling
banyak kriminalisasi kebebasan berpendapat. UU ITE dan perluasan siar kebencian/hate speech yang
tidak sesuai dengan Pasal 20 (2) Kovenan Hak Sipil menjadi hal utama penyumbang kriminalisasi
kebebasan berpendapat ini. Tahun 2020 LBH-YLBHI menangani 43 kasus kriminalisasi dengan jumlah
korban 151 orang. Jumlah korban terbanyak adalah petani/nelayan sejumlah 71 orang, diikuti
aktivis/mahasiswa/pelajar sebanyak 50 orang.

Perampasan ruang hidup rakyat melalui UU, kebijakan dan pembiaran praktik-praktik menyimpang

UU Omnibus Law, UU Minerba

Kedua paket Undang-undang ini mendapat penolakan keras dari masyarakat sipil karena
mengabaikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat dan lingkungan hidup dan sebaliknya
memberikan keistimewaan kepada para pemilik modal yang juga berkuasa. Namun, penolakan
rakyat ini dianggap angin lalu sehingga kedua UU ini disahkan dan sudah memakan korban.
Lebih dari 50 Peraturan Pemerintah pelaksana “UU Cilaka” telah diterbitkan, belum lagi peraturan
pelaksana di level Kementerian. Peraturan-peraturan itu menajamkan semangat “UU Cilaka”
memberikan karpet merah bagi investasi, mengabaikan pertimbangan-pertimbangan
lingkungan,memberikan kemudahan bagi pelepasan kawasan hutan, wilayah adat dan lahan-lahan
pertanian produktif hingga melegalkan kejahatan lingkungan. Seperti dihilangkannya Faba Batubara
dalam daftar limbah B3 melalui PP No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup

Ditutupnya data HGU

Ketertutupan data Hak Guna Usaha (HGU) sudah terjadi selama bertahun-tahun dan meskipun
masyarakat sipil memenangkan gugatan di pengadilan menuntut dibukanya data HGU, tetapi
pemerintah tetap pada keputusannya tidak membuka data HGU dengan berbagai alasan.
Tertutupnya data HGU ini membuat penyelesaian konflik agraria semakin terkatung-katung tanpa
kejelasan.

Pembiaran dan Semakin Masifnya Perampasan Tanah

Salah satu tuntutan masyarakat untuk terciptanya keadilan di bidang agraria adalah penyelesaian
konflik agraria melalui peninjauan ulang dan pembatalan berbagai perizinan yang dikeluarkan
pemerintah kepada para pengusaha perkebunan, kehutanan, pertambangan, dan proyek-proyek
infrastruktur. Tetapi pemerintah tidak memiliki komitmen untuk melakukannya, dan sebaliknya
justru memperpanjang izin-izin tersebut. Pada sisi lain, pemerintah justru memfasilitasi maupun
melakukan perampasan tanah dan hak-hak rakyat atas sumber daya alam dengan dikejarnya proyek-
proyek infrastruktur dan penetapan Proyek Strategis Nasional (PSN) termasuk di dalamnya
pembangunan food estate. Kasus-kasus terkait PSN sudah bermunculan di antaranya kasus Wadas di
Purworejo.

Pemerintah juga gagal melindungi hak-hak masyarakat adat. Kegagalan pengesahan RUU
Masyarakat Adat ternyata diimbangi juga dengan kegagalan pemerintah melindungi hak-hak
masyarakat adat, bahkan mengakibatkan kematian anggota masyarakat adat, seperti yang terjadi
baru-baru ini di Kabupaten Bolaang Mongondow Sulawesi Utara. Seorang warga meninggal dunia
akibat konflik pertambangan dengan sebuah perusahaan.

Pemerintah juga gagal mempertahankan dan melindungi hak-hak masyarakat atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat. Bahkan, masyarakat yang mencoba membela hak-haknya atas lingkungan hidup
dikriminalkan, sebagaimana yang sedang terjadi dalam kasus PT. Pajitex di Kabupaten Pekalongan,
Jawa Tengah, dimana dua orang warga dikriminalkan saat sedang memperjuangkan hak atas
lingkungan hidup.

Pemerintah juga tidak memberikan pemulihan lingkungan hidup terhadap masyarakat yang
wilayahnya terdampak pertambangan, yang lingkungannya rusak dengan lubang-lubang menganga
paska beroperasinya pertambang. Anak-anak yang meninggal di lubang tambang pun tidak
mendapat perhatian, para pengusaha melenggang santai tanpa jerat hukum.

Sampai sekarang, Presiden juga tidak kunjung mengeluarkan perpanjangan Perpres tentang
Moratorium Sawit yang sudah berakhir September 2021, sementara pembabatan hutan untuk sawit
terus berlangsung direstui pemerintah.

Impunitas Pelanggaran HAM yang Berat.

Meskipun penuntasan pelanggaran HAM yang berat menjadi janji Jokowi sejak menjadi kampanye
periode pertama Presiden, hingga 7 tahun pemerintahan janji ini tak kunjung terjadi. Masalah utama
adalah pola menetap yaitu Kejaksaan Agung mengembalikan berkas penyelidikan Komnas HAM.
Padahal menurut UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM, Kejaksaan adalah penyidik yang tugasnya
menurut KUHAP “…mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Komnas HAM sendiri
adalah penyelidik yang tugasnya sebatas “…mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga
sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan”. Proses hukum
pelanggaran HAM yang berat telah menjadi impunitas itu sendiri. Jaksa Agung dipilih oleh Presiden
dan dalam sistem pemerintahan Presidensil menjadi wakil dan wajah Presiden dalam menjalankan
penuntutan. Oleh karena itu ketidakmauan Jaksa Agung dalam melakukan penyidikan pelanggaran
HAM yang berat menjadi tanggung jawab Presiden.

Selain itu Presiden tidak berusaha menjalankan Putusan MK untuk membuat kembali UU Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi. Perlakuan yang sangat berbeda ketika Presiden mengajukan RUU
Omnibus Law Cipta Kerja sebagai inisiatif Presiden.

Kegagalan Menjadikan Polisi sebagai Pintu Akses Keadilan Alih-alih Kepolisian Tampil sebagai
Penegak Hukum yang Arogan, Anti Kritik dan “Bumper Kekuasaan”.

Diskriminasi Penegakan Hukum

Kepolisian selama masa pemerintahan Jokowi menjadi salah satu institusi paling banyak disorot
karena kecenderungannya sebagai “bumper” kekuasaan untuk membungkam kritik dengan
melakukan penangkapan sewenang-wenang, kriminalisasi dan pembungkaman. Hal ini dilakukan
terhadap mereka yang dianggap oposisi atau melakukan kritik kepada Pemerintah, pers dan bahkan
pembela/lembaga bantuan hukum. Pada tahun 2019 LBH-YLBHI menangani 1.144 orang dengan
pengaduan penangkapan secara sewenang-wenang. Tahun 2020 penanganan kasus penangkapan
sewenang-wenang meningkat menjadi 3.539 orang.

Diskriminasi penegakan hukum ini juga terlihat dalam kasus-kasus UU ITE. Laporan-laporan
peretasan oleh individu dan lembaga pers tidak berjalan. Peretasan yang bukan merupakan delik
aduan juga tidak ditangani oleh Kepolisian meskipun telah tersiar luas. Sangat kontras dengan kasus
mereka yang kritis, Ravio Patra misalnya yang ditangkap dengan dasar Laporan Tipe A yaitu dibuat
Polisi sendiri.
Terhadap pers diantaranya dengan pola memberikan cap hoax pada sejumlah berita pers seperti
pada project Multatuli yang mengangkat pemberitaan #percumalapor polisi dalam kasus kekerasan
seksual yang kasusnya mandeg. Atau membuat laporan sendiri pada kasus Ravio Patra dan LBH
Padang. LBH Padang dipanggil untuk penyidikan besar dugaannya terkait karikatur berseragam Polisi
dengan kepala tikus yang pada dasarnya mempertanyakan mandegnya proses hukum dugaan
korupsi dana covid di Padang. Beberapa akun kepolisian bahkan tercatat menangkal beberapa kritik
kepada Kepolisian. Kepolisian yang langsung berada di bawah Presiden tanpa adanya Kementerian
diantaranya telah bertumbuh menjadi lembaga anti kritik.

Kekerasan Polisi

Kekerasan terhadap peserta aksi mencuat sejak demonstrasi PP 78/2015 tentang Pengupahan, May
Day 2019, Reformasi Dikorupsi 2019, penolakan Omnibus Law Cipta Kerja dan aksi-aksi serupa pada
tahun 2021. Kekerasan ini pada umumnya terjadi saat menangkap demonstran atau terhadap
demonstran yang telah ditangkap, juga terhadap warga masyarakat dalam kasus-kasus lain. Kasus
penyiksaan terhadap tersangka juga terus terjadi. Pada tahun 2020 LBH-YLBHI mencatat adanya 38
kasus penyiksaan dengan jumlah korban 474 orang.

Penundaan Berlarut dan Kegagalan Memberikan Korban Akses Keadilan

Tahun 2020 LBH-YLBHI mencatat 49 kasus penundaan berlarut dengan korban 944 orang.
Didalamnya termasuk kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan termasuk kekerasan seksual.
Baru-baru ini terjadi perempuan yang hendak menjadi korban kekerasan ditolak melapor di Polresta
Banda Aceh dengan alasan belum divaksin. Di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Polisi juga menolak
laporan seorang ibu yang tiga orang anaknya mengalami kekerasan seksual dari mantan suaminya
yang merupakan ASN. Bahkan pelapor justru dilaporkan balik ke Polda Sulsel. Penundaan berlarut ini
juga banyak terkait laporan petani, nelayan dan masyarakat adat tentang korporasi baik tentang
perampasan lahan maupun hal-hal lain.

Hambatan Memberikan Bantuan Hukum

Tahun 2015-2021 tercatat 18 Pembela dari LBH-YLBHI ditangkap karena menjalankan fungsi pemberi
bantuan hukum. Penangkapan ini terkait isu Papua, konflik agraria baik penggusuran maupun
pencemaran, Cicak – Buaya/Pelemahan KPK, Aksi Kamisan dan aksi Myanmar. Dari tahun 2015-2021
juga terdapat 5 orang pembela dari LBH-YLBHI dikriminalisasi oleh Kepolisian karena menjalankan
tugasnya sebagai penerima kuasa. Setidaknya sejak tahun 2019 penghalang-halangan bantuan
hukum terjadi di berbagai Polda untuk mendampingi massa aksi yang ditangkap secara sewenang-
wenang. Tahun 2020 LBH-YLBHI mencatat 1.265 orang dihalang-halangi untuk mendapatkan
bantuan hukum dan data ini hanya yang ditangani serta hanya di 17 Provinsi.

Dwi Fungsi Aparat Pertahanan – Keamanan dan Militerisme

TAP MPR VI/2000 sudah mengatakan “peran sosial politik dalam dwifungsi Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia menyebabkan tejadinya penyimpangan peran dan fungsi Tentara Nasional
Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berakibat tidak berkembangnya sendi-
sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat”. Saat ini kita melihat
TNI dan Kepolisian dilibatkan di luar fungsinya untuk berbagai hal termasuk penanganan COVID-19
misal menjadi garda depan vaksinasi (bukan hanya peran memberi dukungan) dan produksi obat
COVID-19 oleh TNI AD. Selain itu TNI saat ini dapat terlibat langsung dalam penanganan terorisme
dan bukan sebagai perbantuan aparat keamanan. Selain melanggar pakem TNI sebagai penjaga
pertahanan dan Kepolisian sebagai penjaga keamanan, akuntabilitas terhadap anggota TNI yang
melakukan tindak pidana umum belum tuntas direformasi. Meskipun UU 34/2004 memandatkan TNI
yang melakukan tindak pidana umum diadili di peradilan umum dan peradilan militer hanya untuk
TNI yang melakukan tindak pidana militer, pada kenyataannya Pemerintah dan DPR tidak melakukan
perubahan terhadap UU Pengadilan Militer. Oleh karena itu apabila terdapat pelanggaran hukum
oleh anggota TNI dalam menjalankan kerja keamanan, penanganan COVID-19 dll akan mengalami
masalah akuntabiltas dalam penegakan hukumnya. Selain itu kebijakan Pemerintahan Jokowi yang
menerjunkan pasukan tanpa keputusan negara ataupun meminta persetujuan DPR merupakan
operasi militer ilegal. Pada kenyataannya kebijakan ini telah melahirkan berbagai pelanggaran HAM
mulai salah tangkap, pembunuhan di luar proses hukum dan pengungsi internal.

Perlindungan Kelompok Minoritas yang Tidak Sampai & Menjadi Gimmick Politik

Meskipun Pemerintah saat ini banyak melakukan kampanye kebhinekaan seperti Saya Indonesia,
Saya Pancasila pada kenyataannya nasib kelompok minoritas keagamaan tidak banyak berubah.
Pengungsi Ahmadiyah belum dapat kembali begitu pula beberapa minoritas keagamaan yang tidak
dapat membangun rumah ibadah dan beribadah. Kepolisian tercatat masih melakukan pembiaran
terhadap serang kepada kelompok minoritas serta tidak melakukan perlindungan yang memadai.
Bahkan Omnibus Law Cipta Kerja yang merupakan UU inisiatif Presiden memiliki beberapa pasal
bermasalah dalam soal kebebasan beragama berkeyakinan. Salah satunya adalah mengembalikan
konsep “agama yang diakui” padahal dua putusan MK terkait PNPS 1/1965 dan hak Penghayat dalam
administrasi kependudukan telah menegaskan tidak benar hanya ada 6 agama yang diakui di
Indonesia dan semua agama serta keyakinan memiliki hak yang sama.

Pelemahan KPK

Salah satu “keberhasilan utama” Pemerintahan Jokowi adalah melemahkan KPK. Dalam sistem
Presidensial tidak mungkin ada UU yang dapat terjadi apabila Presiden tidak mengirim Surpres/Surat
Presiden dan/atau menyetujui isi RUU dalam Pembahasan Tingkat I dan Tingkat II. Dewan Pengawas
telah membuat independensi KPK terganggu baik dalam masalah penyitaan barang bukti yang bocor
dan penggeledahan terlambat maupun dalam masalah pemeriksaan etik internal.

Penuntasan pelemahan KPK adalah Tes Wawasan Kebangsaan. Agenda ini berhasil dengan operator
lapangan Ketua KPK, Firli Bahuri, hasil dari Pansel bermasalah bentukan Presiden Jokowi dengan
Keppres 54/P Tahun 2019. Presiden juga menerima tanpa keberatan hasil dari pansel dan
mengirimkan seluruh nama termasuk calon yang bermasalah kepada DPR. Lebih dari itu TWK adalah
Litsus model baru yang menilai dan memutuskan ideologi seseorang bahkan tanpa melalui proses
pengadilan.

Presiden Joko Widodo


Ir. H. Joko Widodo

Unduh Foto Resmi

Ir. H. Joko Widodo adalah Presiden ke-7 Republik Indonesia yang mulai menjabat sejak 20 Oktober
2014. Lahir di Surakarta, Jawa Tengah, pada 21 Juni 1961, Joko Widodo pertama kali terjun ke
pemerintahan sebagai Wali Kota Surakarta (Solo) pada 28 Juli 2005 hingga 1 Oktober 2012.

Selepas itu, Joko Widodo menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 15 Oktober 2012 sebelum
terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Saat Pilpres
tersebut Joko Widodo terpilih bersama pasangannya, Jusuf Kalla.

Dalam Pilpres 2019, Joko Widodo kembali terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia untuk masa
jabatannya yang kedua. Kali ini, Joko Widodo didampingi oleh Wakil Presiden K.H. Ma’ruf Amin dan
dilantik pada 20 Oktober 2019 untuk masa jabatan 2019 hingga 2024 mendatang.

Pembangunan infrastruktur menjadi program prioritas di masa kepemimpinannya yang pertama.


Pembangunan yang dilakukan secara merata hingga ke daerah terluar Indonesia ini dilakukan untuk
mengejar ketertinggalan Indonesia dalam sektor ini dibandingkan negara-negara lain.

Program prioritas tersebut dibarengi dengan program berupa bantuan sosial seperti Kartu Indonesia
Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), hingga Program Keluarga Harapan (PKH). Selain itu, sejak
awal masa jabatannya, Joko Widodo juga mengupayakan reforma agraria dengan salah satunya
melakukan percepatan penerbitan sertifikat hak atas tanah untuk mengurangi terjadinya sengketa
lahan oleh karena ketiadaan sertifikat.

Di masa jabatannya yang kedua, Joko Widodo mengalihkan fokus pemerintahan pada pembangunan
dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia Indonesia untuk dapat bersaing dengan negara-
negara lainnya. Adapun program pembangunan infrastruktur masih terus dilanjutkan bersamaan
dengan itu

Oktober 2021 genap 2 tahun Pemerintahan Jokowi periode II dan lebih tepatnya 7 tahun
Pemerintahan Jokowi. Selama 7 tahun ini konsolidasi politik Pemerintah semakin kuat ditandai salah
satunya dengan bergabungnya Prabowo ke dalam kabinet Jokowi. Selain itu oposisi di DPR terlihat
semakin lemah untuk menjalankan checks and balances, berbagai UU inisiatif Presiden dengan
disahkan dalam waktu singkat seperti UU Minerba hanya sekitar sebulan, Omnibus Law Cipta Kerja
hanya sekitar 8 bulan padahal mengubah 72 UU, 1 UU disisipkan dan 2 UU dicabut, Revisi UU MK
dalam 7 hari dan Revisi UU KPK dalam waktu 12 hari saja.

Secara umum, kasus dan kebijakan yang terjadi pada masa 7 tahun Pemerintahan Jokowi ini dapat
dilihat menjadi beberapa gejala umum.
Kebebasan Sipil Semakin Menyempit

Pemerintahan Jokowi membuat demonstrasi menjadi hal yang terlarang padahal pasca Reformasi
UU 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum adalah salah satu UU
yang segera dibentuk untuk membedakan masa otoritarian dengan demokrasi. Hal ini terlihat dari
aksi May Day/Hari Buruh Internasional setiap tanggal 1 Mei. Dalam masa Pemerintahan Jokowi
setidaknya hanya dua kali aksi ini dapat dilakukan di depan istana. Seperti aksi-aksi lainnya,
demonstrasi hanya diperbolehkan sampai patung kuda. Berbagai kekerasan menimpa demonstrasi di
berbagai kota. Beberapa diantaranya aksi PP Pengupahan 78/2015, May Day 2019 dengan
stigmatisasi anarko, aksi Reformasi Dikorupsi tahun 2019, aksi-aksi penolakan Omnibus Law tahun
2020 dan aksi May Day serta Hari Pendidikan tahun 2021. Tidak hanya pembubaran tidak sah tetapi
juga kekerasan serta kriminalisasi kepada peserta aksi damai. Hal ini diikuti dengan stigmatisasi
peserta aksi sebagai perusuh untuk menjustifikasi tindakan-tindakan sewenang-wenang tersebut.

Salah satu instrumen penyempitan ruang kebebasan sipil adalah kriminalisasi dengan korban paling
banyak kriminalisasi kebebasan berpendapat. UU ITE dan perluasan siar kebencian/hate speech yang
tidak sesuai dengan Pasal 20 (2) Kovenan Hak Sipil menjadi hal utama penyumbang kriminalisasi
kebebasan berpendapat ini. Tahun 2020 LBH-YLBHI menangani 43 kasus kriminalisasi dengan jumlah
korban 151 orang. Jumlah korban terbanyak adalah petani/nelayan sejumlah 71 orang, diikuti
aktivis/mahasiswa/pelajar sebanyak 50 orang.

Perampasan ruang hidup rakyat melalui UU, kebijakan dan pembiaran praktik-praktik menyimpang

UU Omnibus Law, UU Minerba

Kedua paket Undang-undang ini mendapat penolakan keras dari masyarakat sipil karena
mengabaikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat dan lingkungan hidup dan sebaliknya
memberikan keistimewaan kepada para pemilik modal yang juga berkuasa. Namun, penolakan
rakyat ini dianggap angin lalu sehingga kedua UU ini disahkan dan sudah memakan korban.

Lebih dari 50 Peraturan Pemerintah pelaksana “UU Cilaka” telah diterbitkan, belum lagi peraturan
pelaksana di level Kementerian. Peraturan-peraturan itu menajamkan semangat “UU Cilaka”
memberikan karpet merah bagi investasi, mengabaikan pertimbangan-pertimbangan
lingkungan,memberikan kemudahan bagi pelepasan kawasan hutan, wilayah adat dan lahan-lahan
pertanian produktif hingga melegalkan kejahatan lingkungan. Seperti dihilangkannya Faba Batubara
dalam daftar limbah B3 melalui PP No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup

Ditutupnya data HGU

Ketertutupan data Hak Guna Usaha (HGU) sudah terjadi selama bertahun-tahun dan meskipun
masyarakat sipil memenangkan gugatan di pengadilan menuntut dibukanya data HGU, tetapi
pemerintah tetap pada keputusannya tidak membuka data HGU dengan berbagai alasan.
Tertutupnya data HGU ini membuat penyelesaian konflik agraria semakin terkatung-katung tanpa
kejelasan.

Pembiaran dan Semakin Masifnya Perampasan Tanah

Salah satu tuntutan masyarakat untuk terciptanya keadilan di bidang agraria adalah penyelesaian
konflik agraria melalui peninjauan ulang dan pembatalan berbagai perizinan yang dikeluarkan
pemerintah kepada para pengusaha perkebunan, kehutanan, pertambangan, dan proyek-proyek
infrastruktur. Tetapi pemerintah tidak memiliki komitmen untuk melakukannya, dan sebaliknya
justru memperpanjang izin-izin tersebut. Pada sisi lain, pemerintah justru memfasilitasi maupun
melakukan perampasan tanah dan hak-hak rakyat atas sumber daya alam dengan dikejarnya proyek-
proyek infrastruktur dan penetapan Proyek Strategis Nasional (PSN) termasuk di dalamnya
pembangunan food estate. Kasus-kasus terkait PSN sudah bermunculan di antaranya kasus Wadas di
Purworejo.

Pemerintah juga gagal melindungi hak-hak masyarakat adat. Kegagalan pengesahan RUU
Masyarakat Adat ternyata diimbangi juga dengan kegagalan pemerintah melindungi hak-hak
masyarakat adat, bahkan mengakibatkan kematian anggota masyarakat adat, seperti yang terjadi
baru-baru ini di Kabupaten Bolaang Mongondow Sulawesi Utara. Seorang warga meninggal dunia
akibat konflik pertambangan dengan sebuah perusahaan.

Pemerintah juga gagal mempertahankan dan melindungi hak-hak masyarakat atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat. Bahkan, masyarakat yang mencoba membela hak-haknya atas lingkungan hidup
dikriminalkan, sebagaimana yang sedang terjadi dalam kasus PT. Pajitex di Kabupaten Pekalongan,
Jawa Tengah, dimana dua orang warga dikriminalkan saat sedang memperjuangkan hak atas
lingkungan hidup.

Pemerintah juga tidak memberikan pemulihan lingkungan hidup terhadap masyarakat yang
wilayahnya terdampak pertambangan, yang lingkungannya rusak dengan lubang-lubang menganga
paska beroperasinya pertambang. Anak-anak yang meninggal di lubang tambang pun tidak
mendapat perhatian, para pengusaha melenggang santai tanpa jerat hukum.

Sampai sekarang, Presiden juga tidak kunjung mengeluarkan perpanjangan Perpres tentang
Moratorium Sawit yang sudah berakhir September 2021, sementara pembabatan hutan untuk sawit
terus berlangsung direstui pemerintah.

Impunitas Pelanggaran HAM yang Berat.

Meskipun penuntasan pelanggaran HAM yang berat menjadi janji Jokowi sejak menjadi kampanye
periode pertama Presiden, hingga 7 tahun pemerintahan janji ini tak kunjung terjadi. Masalah utama
adalah pola menetap yaitu Kejaksaan Agung mengembalikan berkas penyelidikan Komnas HAM.
Padahal menurut UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM, Kejaksaan adalah penyidik yang tugasnya
menurut KUHAP “…mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Komnas HAM sendiri
adalah penyelidik yang tugasnya sebatas “…mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga
sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan”. Proses hukum
pelanggaran HAM yang berat telah menjadi impunitas itu sendiri. Jaksa Agung dipilih oleh Presiden
dan dalam sistem pemerintahan Presidensil menjadi wakil dan wajah Presiden dalam menjalankan
penuntutan. Oleh karena itu ketidakmauan Jaksa Agung dalam melakukan penyidikan pelanggaran
HAM yang berat menjadi tanggung jawab Presiden.

Selain itu Presiden tidak berusaha menjalankan Putusan MK untuk membuat kembali UU Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi. Perlakuan yang sangat berbeda ketika Presiden mengajukan RUU
Omnibus Law Cipta Kerja sebagai inisiatif Presiden.

Kegagalan Menjadikan Polisi sebagai Pintu Akses Keadilan Alih-alih Kepolisian Tampil sebagai
Penegak Hukum yang Arogan, Anti Kritik dan “Bumper Kekuasaan”.

Diskriminasi Penegakan Hukum

Kepolisian selama masa pemerintahan Jokowi menjadi salah satu institusi paling banyak disorot
karena kecenderungannya sebagai “bumper” kekuasaan untuk membungkam kritik dengan
melakukan penangkapan sewenang-wenang, kriminalisasi dan pembungkaman. Hal ini dilakukan
terhadap mereka yang dianggap oposisi atau melakukan kritik kepada Pemerintah, pers dan bahkan
pembela/lembaga bantuan hukum. Pada tahun 2019 LBH-YLBHI menangani 1.144 orang dengan
pengaduan penangkapan secara sewenang-wenang. Tahun 2020 penanganan kasus penangkapan
sewenang-wenang meningkat menjadi 3.539 orang.

Diskriminasi penegakan hukum ini juga terlihat dalam kasus-kasus UU ITE. Laporan-laporan
peretasan oleh individu dan lembaga pers tidak berjalan. Peretasan yang bukan merupakan delik
aduan juga tidak ditangani oleh Kepolisian meskipun telah tersiar luas. Sangat kontras dengan kasus
mereka yang kritis, Ravio Patra misalnya yang ditangkap dengan dasar Laporan Tipe A yaitu dibuat
Polisi sendiri.

Terhadap pers diantaranya dengan pola memberikan cap hoax pada sejumlah berita pers seperti
pada project Multatuli yang mengangkat pemberitaan #percumalapor polisi dalam kasus kekerasan
seksual yang kasusnya mandeg. Atau membuat laporan sendiri pada kasus Ravio Patra dan LBH
Padang. LBH Padang dipanggil untuk penyidikan besar dugaannya terkait karikatur berseragam Polisi
dengan kepala tikus yang pada dasarnya mempertanyakan mandegnya proses hukum dugaan
korupsi dana covid di Padang. Beberapa akun kepolisian bahkan tercatat menangkal beberapa kritik
kepada Kepolisian. Kepolisian yang langsung berada di bawah Presiden tanpa adanya Kementerian
diantaranya telah bertumbuh menjadi lembaga anti kritik.

Kekerasan Polisi
Kekerasan terhadap peserta aksi mencuat sejak demonstrasi PP 78/2015 tentang Pengupahan, May
Day 2019, Reformasi Dikorupsi 2019, penolakan Omnibus Law Cipta Kerja dan aksi-aksi serupa pada
tahun 2021. Kekerasan ini pada umumnya terjadi saat menangkap demonstran atau terhadap
demonstran yang telah ditangkap, juga terhadap warga masyarakat dalam kasus-kasus lain. Kasus
penyiksaan terhadap tersangka juga terus terjadi. Pada tahun 2020 LBH-YLBHI mencatat adanya 38
kasus penyiksaan dengan jumlah korban 474 orang.

Penundaan Berlarut dan Kegagalan Memberikan Korban Akses Keadilan

Tahun 2020 LBH-YLBHI mencatat 49 kasus penundaan berlarut dengan korban 944 orang.
Didalamnya termasuk kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan termasuk kekerasan seksual.
Baru-baru ini terjadi perempuan yang hendak menjadi korban kekerasan ditolak melapor di Polresta
Banda Aceh dengan alasan belum divaksin. Di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Polisi juga menolak
laporan seorang ibu yang tiga orang anaknya mengalami kekerasan seksual dari mantan suaminya
yang merupakan ASN. Bahkan pelapor justru dilaporkan balik ke Polda Sulsel. Penundaan berlarut ini
juga banyak terkait laporan petani, nelayan dan masyarakat adat tentang korporasi baik tentang
perampasan lahan maupun hal-hal lain.

Hambatan Memberikan Bantuan Hukum

Tahun 2015-2021 tercatat 18 Pembela dari LBH-YLBHI ditangkap karena menjalankan fungsi pemberi
bantuan hukum. Penangkapan ini terkait isu Papua, konflik agraria baik penggusuran maupun
pencemaran, Cicak – Buaya/Pelemahan KPK, Aksi Kamisan dan aksi Myanmar. Dari tahun 2015-2021
juga terdapat 5 orang pembela dari LBH-YLBHI dikriminalisasi oleh Kepolisian karena menjalankan
tugasnya sebagai penerima kuasa. Setidaknya sejak tahun 2019 penghalang-halangan bantuan
hukum terjadi di berbagai Polda untuk mendampingi massa aksi yang ditangkap secara sewenang-
wenang. Tahun 2020 LBH-YLBHI mencatat 1.265 orang dihalang-halangi untuk mendapatkan
bantuan hukum dan data ini hanya yang ditangani serta hanya di 17 Provinsi.

Dwi Fungsi Aparat Pertahanan – Keamanan dan Militerisme

TAP MPR VI/2000 sudah mengatakan “peran sosial politik dalam dwifungsi Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia menyebabkan tejadinya penyimpangan peran dan fungsi Tentara Nasional
Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berakibat tidak berkembangnya sendi-
sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat”. Saat ini kita melihat
TNI dan Kepolisian dilibatkan di luar fungsinya untuk berbagai hal termasuk penanganan COVID-19
misal menjadi garda depan vaksinasi (bukan hanya peran memberi dukungan) dan produksi obat
COVID-19 oleh TNI AD. Selain itu TNI saat ini dapat terlibat langsung dalam penanganan terorisme
dan bukan sebagai perbantuan aparat keamanan. Selain melanggar pakem TNI sebagai penjaga
pertahanan dan Kepolisian sebagai penjaga keamanan, akuntabilitas terhadap anggota TNI yang
melakukan tindak pidana umum belum tuntas direformasi. Meskipun UU 34/2004 memandatkan TNI
yang melakukan tindak pidana umum diadili di peradilan umum dan peradilan militer hanya untuk
TNI yang melakukan tindak pidana militer, pada kenyataannya Pemerintah dan DPR tidak melakukan
perubahan terhadap UU Pengadilan Militer. Oleh karena itu apabila terdapat pelanggaran hukum
oleh anggota TNI dalam menjalankan kerja keamanan, penanganan COVID-19 dll akan mengalami
masalah akuntabiltas dalam penegakan hukumnya. Selain itu kebijakan Pemerintahan Jokowi yang
menerjunkan pasukan tanpa keputusan negara ataupun meminta persetujuan DPR merupakan
operasi militer ilegal. Pada kenyataannya kebijakan ini telah melahirkan berbagai pelanggaran HAM
mulai salah tangkap, pembunuhan di luar proses hukum dan pengungsi internal.

Perlindungan Kelompok Minoritas yang Tidak Sampai & Menjadi Gimmick Politik

Meskipun Pemerintah saat ini banyak melakukan kampanye kebhinekaan seperti Saya Indonesia,
Saya Pancasila pada kenyataannya nasib kelompok minoritas keagamaan tidak banyak berubah.
Pengungsi Ahmadiyah belum dapat kembali begitu pula beberapa minoritas keagamaan yang tidak
dapat membangun rumah ibadah dan beribadah. Kepolisian tercatat masih melakukan pembiaran
terhadap serang kepada kelompok minoritas serta tidak melakukan perlindungan yang memadai.
Bahkan Omnibus Law Cipta Kerja yang merupakan UU inisiatif Presiden memiliki beberapa pasal
bermasalah dalam soal kebebasan beragama berkeyakinan. Salah satunya adalah mengembalikan
konsep “agama yang diakui” padahal dua putusan MK terkait PNPS 1/1965 dan hak Penghayat dalam
administrasi kependudukan telah menegaskan tidak benar hanya ada 6 agama yang diakui di
Indonesia dan semua agama serta keyakinan memiliki hak yang sama.

Pelemahan KPK

Salah satu “keberhasilan utama” Pemerintahan Jokowi adalah melemahkan KPK. Dalam sistem
Presidensial tidak mungkin ada UU yang dapat terjadi apabila Presiden tidak mengirim Surpres/Surat
Presiden dan/atau menyetujui isi RUU dalam Pembahasan Tingkat I dan Tingkat II. Dewan Pengawas
telah membuat independensi KPK terganggu baik dalam masalah penyitaan barang bukti yang bocor
dan penggeledahan terlambat maupun dalam masalah pemeriksaan etik internal.

Penuntasan pelemahan KPK adalah Tes Wawasan Kebangsaan. Agenda ini berhasil dengan operator
lapangan Ketua KPK, Firli Bahuri, hasil dari Pansel bermasalah bentukan Presiden Jokowi dengan
Keppres 54/P Tahun 2019. Presiden juga menerima tanpa keberatan hasil dari pansel dan
mengirimkan seluruh nama termasuk calon yang bermasalah kepada DPR. Lebih dari itu TWK adalah
Litsus model baru yang menilai dan memutuskan ideologi seseorang bahkan tanpa melalui proses
pengadilan.

Masa pemerintahan Joko Widodo selama tujuh tahun diwarnai dengan berbagai peristiwa penting
global yang mengiringi perjalanan ekonomi -khususnya sektor industri manufaktur- Indonesia.
Beberapa peristiwa dimaksud antara lain penurunan harga beberapa komoditas yang berakibat pada
adanya tekanan terhadap ekspor Indonesia, pelambatan ekonomi Tiongkok sebagai entitas ekonomi
terbesar dunia yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi secara global, perang dagang
antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang menciptakan kembali high cost economy dan
mengganggu sisi supply, serta tentunya pandemi Covid-19 yang memberikan tekanan hebat –
utamanya kepada sektor industri- baik dari sisi supply dan maupun sisi demand. Dengan latar
belakang kondisi global yang penuh dengan gejolak dan ketidakpastian tersebut, perjuangan bangsa
Indonesia dalam membangun sektor industri manufaktur yang berdaulat, mandiri, berdaya saing,
dan inklusif menghadapi tantangan yang tidak mudah.

Anda mungkin juga menyukai