Anda di halaman 1dari 5

Catatan Demokrasi Akhir Tahun

Pandemi Memuluskan Langkah Mundur Demokrasi di


Indonesia

Public Virtue Research Institute

Jakarta, 30 Desember 2021. Dalam rangka mengakhiri tahun 2021 dan menyambut
pergantian tahun 2022, Public Virtue menyampaikan lima refleksi catatan akhir tahun
dan beberapa catatan proyeksi awal tahun. Keenam refleksi disusun berdasarkan tiga
pertanyaan sederhana; adakah kebijakan negara baik pemerintah maupun DPR, yang
melawan demokrasi, adakah praktik kebijakan yang menyalahi demokrasi, dan adakah
tindakan aparatur negara yang menyalahgunakan demokrasi di sepanjang tahun 2021.
Ketiga pertanyaan ini kami tujukan kepada enam sektor, yaitu penanganan pandemi,
hubungan pemerintah pusat dan daerah, maka kami menyampaikan refleksi sebagai
berikut:

I. Tahun Ketidakadilan Vaksin dan Duka Bagi Nakes dan Warga

Tahun 2021 dikatakan sebagai tahun duka karena sebanyak 144.071 ribu jiwa warga
Indonesia, diantaranya adalah 2066 tenaga kesehatan telah meninggal akibat COVID-
19, per Desember 2021.1 Tingginya kematian nakes dan warga, ditambah dengan
diterbitkannya kebijakan vaksinasi berbayar, menjadikan tahun 2021 sebagai tahun
ketidakadilan bagi nakes dan warga, termasuk dalam memperoleh vaksin gratis.

Public Virtue mencatat lima masalah. Pertama, pejabat negara membuat pernyataan-
pernyataan irasional dan kurang memprioritaskan perlindungan nakes yang tekanan
dan beban kerjanya berat.

Kedua, pemerintah terlalu mementingkan ekonomi sehingga lambat dalam penetapan


kebijakan PPKM darurat dan berakibat angka infeksi tinggi dan nyaris kolapsnya rumah
sakit. Kasus positif meningkat 44 persen hanya dalam sepekan pada bulan Juni dan
300% lebih pada bulan Juli yang ditandai oleh nyaris kolapsnya layanan pandemi.

Ketiga, pemerintah membuat kebijakan vaksinasi berbayar atas nama menciptakan


herd immunity melalui Permenkes No. 19/2021 yang inkonsisten dengan Permenkes
tahun sebelumnya (No. 84/2020) yang menjamin vaksinasi tanpa bayaran.

Keempat, pemerintah menghapus data kematian akibat COVID-19 atas nama evaluasi
pembatasan sosial. Ini memperburuk kondisi yang sudah tidak kondusif. Warga berhak
mengakses data, dan transparansi data adalah dasar pengambilan kebijakan berbasis
perlindungan masyarakat.

1
Lihat data worldometers sepanjang 2021 dan Laporcovid19 pada tahun 2021.
II. Tahun Hilangnya Otonomi untuk Papua

Tahun 2021 adalah tahun inkonsistensi negara terhadap penyelesaian konflik Papua
secara bermartabat. Pertama, negara mengubah UU Otsus Papua untuk kedua kalinya
tanpa konsultasi dengan rakyat Papua, setidaknya melalui MRP sebagai representasi
kultural Orang Asli Papua (OAP).

Pemerintah tidak melakukan konsultasi dengan representasi kultural OAP, yaitu MRP
(Majelis Rakyat Papua) terkait amandemen UU Otsus. Jajaran pemerintah justru turut
menghalangi upaya MRP untuk menggelar rapat-rapat dengar pendapat rakyat lewat
pemolisian yang represif: melarang, membubarkan, dan menangkap tim MRP.

Kedua, perubahan UU Otsus itu mengandung perubahan substansial yang melanggar


prinsip otonomi OAP dalam menjalankan pemerintahan sendiri (self-government). Di
sejumlah ketentuan, terlihat jelas resentralisasi pemerintahan dari Papua ke Jakarta
melalui pembentukan badan khusus di bawah wakil presiden, penghapusan hak OAP
mendirikan partai politik lokal, dan penghapusan wewenang pemekaran wilayah dari
MRP.

Ketiga, alih-alih memenuhi seruan dialog, pemerintah menandai tahun ini dengan
stigma tambahan kepada OAP lewat penetapkan status organisasi teroris kepada OPM
(Organisasi Papua Merdeka).

Akibatnya, orang asli Papua tak hanya menilai praktik kebijakan otonomi khusus gagal
membawa kemakmuran bagi mereka selama 20 tahun pelaksanaan, tetapi kebijakan
terbaru pemerintah pusat berupa amandemen UU Otsus Jilid II juga dianggap sebagai
tambahan kegagalan. Inkonsistensi kebijakan Jakarta memperluas kekecewaan dan
tuntutan penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan Papua.

III. Tahun Klimaks Pelemahan dan Penggembosan KPK

Tahun 2021 adalah tahun klimaks pelemahan dan penggembosan KPK. Di tahun ini, 58
pegawai KPK diberhentikan atas nama Tes Wawasan Kebangasaan (TWK). Jika dahulu
KPK dilemahkan oleh aktor-aktor di luar KPK seperti DPR, pemerintah, dan kepolisian,
maka tahun ini ditambah dengan serangan buzzer bayaran dan penggembosan dari
aktor internal KPK yaitu pimpinan yang sebelumnya terpilih dari seleksi yang diragukan
integritas dan kredibilitasnya.

Terhitung sejak 2006, KPK mengalami beragam serangan. Dari serangan fisik pegawai
dan pimpinan, ancaman kriminalisasi, peretasan akun komunikasi, perusakan fasilitas,
teror, hingga serangan air keras dan percobaan pembunuhan. Selain kekerasan, cara
lainnya adalah penempatan elite politik di luar jangkauan KPK, delegitimasi diskursif
berupa labelisasi “taliban” kepada penyidik, dan pemilihan perwira aktif polisi sebagai
pimpinan KPK. Tahun ini adalah klimaks pelemahan struktural dan agensial KPK.

Pelemahan KPK memundurkan demokrasi karena itu sama dengan menyerang politik
transparasi dan akuntabilitas atas kekuasaan. KPK yang semula dinilai efektif dalam
membongkar korupsi, kolusi, dan nepotisme warisan Orde Baru, perlahan tetapi pasti
sedang kembali dipupuskan oleh kepentingan partisan penguasa.

Bagi Public Virtue, pemberhentian pegawai KPK adalah politik eliminasi atas individu
yang berkapasitas dan berintegritas memberantas korupsi dalam mengusut korupsi di
sektor politik dan penegak hukum. TWK hanya dalih, bukan benar-benar sebuah ujian
wawasan kebangsaan. Pemecatan ini adalah babak akhir rangkaian pelemahan KPK.

IV. Tahun Erosi Kebebasan Sipil dan Perlindungan Pembela Keadilan Sosial

Tahun 2021 adalah tahun erosi kebebasan sipil akibat merebaknya serangan terhadap
para aktivis HAM dan keadilan sosial. Ini adalah salah satu tren paling meresahkan dari
fenomena regresi demokrasi.

Seperti negara lain, Indonesia mengalami kebangkitan populisme sayap kanan,


rasisme, fundamentalisme agama, xenofobia, patriarki, ekstremisme, militerisasi,
pengawasan, dan menyusutnya ruang demokrasi. Isu-isu ini mengurangi perhatian
publik dari masalah besar seperti meningkatnya kegiatan industri ekstraktif tanpa
analisis dampak lingkungan dan kental dengan perebutan lahan dan hutan: Sulawesi,
Kalimantan, dan Papua, yang merugikan masyarakat adat dan petani.

Sepanjang 2021, Amnesty International mencatat 92 kasus serangan terhadap aktivis


dengan 294 orang korban. Rinciannya; 37 kasus jurnalis dengan 47 korban, 16 kasus
mahasiswa dengan 139 korban, 11 kasus aktivis HAM dengan 15 korban, 8 kasus
aktivis lingkungan dengan 15 korban, 3 kasus aktivis anti Korupsi dengan 4 korban, 3
kasus aktivis KNPB dengan 34 korban, 5 kasus masyarakat adat dengan 28 korban, 4
kasus advokat dengan 4 korban, 3 kasus aktivis buruh dengan 3 korban, 2 kasus petani
dengan 5 korban.

Di ranah digital, tercatat 58 kasus serangan peretasan akun milik pribadi dari pembela
HAM, dan akun milik lembaga dengan 58 orang korban. Rincian; 26 kasus serangan
akun WhatsApp milik pribadi dengan 26 korban, 4 kasus serangan akun twitter milik
pribadi dengan 4 korban, 5 kasus serangan akun telegram pribadi dengan 5 korban,
12 kasus serangan doxing dengan 12 korban, 1 kasus serangan akun febecok milik
lembaga, 2 kasus akun zoom lembaga dibajak, 3 kasus serangan twitter milik lembaga,
6 kasus serangan telegram milik lembaga.

V. Tahun Suram Lingkungan Hidup: Perampasan Lahan Saat Pandemi - 388

Dikatakan suram karena pada tahun ini pemerintah menerapkan standar ganda dalam
pembatasan sosial saat pandemi, khususnya di sektor lahan dan lingkungan. Meskipun
menerapkan status darurat kesehatan, pemerintah tidak menunda kegiatan ekspansi
kapital yang merampas ruang hidup masyarakat. Alih-alih menunda, pemerintah tetap
melaksanakan kebijakan investasi yang pro pemodal dan mengamankan protes warga
dengan pemolisian yang brutal.
Sekadar contoh, di Desa wadas, Jawa Tengah. Pada 23 April 2021, warga Desa Wadas
yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (GEMPADEWA)
melakukan aksi damai menolak rencana pengukuran dan pematokan lahan untuk
penambangan di wilayah mereka. Sebelas orang ditangkap dan sembilan orang lain
mengalami luka-luka akibat brutalitas kepolisian.

Contoh lainnya di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Pada 25 Juni 2021, Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan izin produksi emas
No.163.K/MB.04/DJB/2021 kepada PT. Tambang Mas Sangihe (TMS) di Kabupaten
Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Lebih dari separuh pulau seluas 42.000 hektar
akan menjadi lahan tambang emas dari total luas pulau sangihe 73.689 hektare. Wakil
bupati Helmud Hontong yang menolak izin tersebut karena alasan merusak keindahan
alam dan tenggelamnya pulau tersebut. Namun Helmud kemudian meninggal dunia
secara mendadak.

Public Virtue menyesalkan sikap pemerintah yang terkesan memaksakan peta jalan
ekonomi berbasis industri ekstraktif. Pola ini menguntungkan segolongan pemilik
korporasi melalui konsesi yang diberikan pemerintah. Pola ini juga bersifat destruktif,
mengeruk sumber daya alam secara berlebihan, meminggirkan ruang hidup petani,
nelayan dan masyarakat adat, dan menimbulkan krisis ekologis. Dalam kasus Sangihe,
Public Virtue menyesalkan tidak adanya investigasi atas kematian wakil bupati.

VI. Tahun Yang Dibayangi Ekstremisme dan Aksi Teror

Tahun 2021 merupakan tahun yang masih diwarnai oleh aksi teorisme, dengan pola
kekerasan yang cukup mengkhawatirkan. Terjadinya ledakan bom di Gereja Katedral
Makassar pada 28 Maret 2021 kembali merusak ketenteraman masyarakat Indonesia.
Kejadian tersebut jelas mencederai toleransi dan demokrasi. Keseriusan pemerintah
untuk membongkar dan menangani jaringan kelompok teror di Indonesia dapat
mencegah Indonesia terjerumus kembali pada aksi-aksi kekerasan ekstrem, kejahatan
terorisme, dan konflik komunal seperti pengalaman di Ambon, Sampit, dan Poso.

Public Virtue menilai temuan keterlibatan perempuan sebagai pelaku kekerasan


bukan hal baru karena telah terjadi di banyak situasi, mulai dari konflik bersenjata
internal di sebuah negara hingga konflik bersenjata internasional berskala besar. Di
Indonesia, sejak tahun 2005 hingga 2017, terdapat 6 kali proses peradilan yang
melibatkan perempuan sebagai pelaku terorisme. Meski bukan hal baru, masalah ini
harus terus menjadi perhatian semua kalangan, baik pembuat kebijakan pemerintah,
swasta, maupun juga kalangan masyarakat sipil.

Public Virtue setuju dengan pernyataan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan


Perlindungan Anak (Kemen PPPA) yang mengafirmasi laporan di atas. Isu perempuan
masuk ke dalam terorisme dan ekstremisme dalam tiga pusaran posisi yaitu sebagai
kelompok rentan terpapar, sebagai korban, dan sebagai pelaku. Situasi tersebut
dipengaruhi oleh kuatnya faktor budaya patriarki, ekonomi, dan akses informasi.

Keenam catatan akhir tahun di atas tidak berarti bahwa demokrasi di Indonesia sudah
berakhir. Bagi Public Virtue, naif jika ada pihak menyangkal bahwa Indonesia pernah
mencapai kemajuan demokrasi yang mengesankan sejak berakhirnya rezim otoriter
Suharto pada Mei 1998. Capaian politik gerakan demokrasi Indonesia jelas ditandai
dengan terbangunnya 5pluralisme5 dalam politik, berkurangnya peran militer dalam
politik, terbukanya ruang kebebasan sipil dan kebebasan pers, serta berlangsungnya
sirkulasi kekuasaan yang damai melalui pemilu.

Di wilayah mana pun dan di waktu kapan pun, gerakan demokrasi beserta capaian-
capaiannya akan terus menghadapi berlanjutnya tantangan-tantangan lama; korupsi
politik yang sistemik, masih kuatnya kultur militerisme, diskriminasi dan kekerasan
terhadap kaum minoritas, politisasi instansi dan undang-undang (pencemaran nama
baik, makar, dan penodaan agama), hingga pendekatan keamanan dan represi dalam
merespon protes-protes gerakan sipil, terutama di Papua.

Berdasarkan keenam refleksi di atas, Public Virtue memproyeksikan tahun 2022 masih
akan menghadapi tantangan demokrasi yang berat.

1. Vaksinasi berbayar lambat laun akan berpotensi memicu kekecewaan dan


kemarahan warga masyarakat, sebagaimana terjadi di sejumlah negara. Kami
mendesak Pemerintah untuk menghapuskan kebijakan vaksin berbayar.
2. Pelaksanaan UU Otsus amandemen kedua dan pemberlakuan status teroris ke
OPM akan menambah kekecewaan dan protes meluas di Papua. Karenanya,
kami mendesak Mahkamah Konstitusi agar membatalkan pasal-pasal UU Otsus
amandemen kedua yang melanggar prinsip-prinsip otonomi orang asli Papua.
3. Pelemahan dan penggembosan KPK lambat laun akan menghasilkan KPK yang
tindakannya bersifat partisan dan pada akhirnya merugikan keuangan negara.
Kami mendesak partai-partai politik
4. Pembiaran serangan terhadap pejuang HAM dan keadilan sosial, khususnya di
sektor masyarakat adat akan berakibat pada kegagalan pembangunan yang
berkelanjutan. Kami mendesak pemerintah beserta jajaran kementerian serta
kepolisian untuk melindungi pembela keadilan di sektor paling berisiko, yaitu
lingkungan, perkebunan sawit dan hak-hak masyarakat adat.
5. Perambahan hutan demi proyek-proyek industri ekstraktif akan kian merusak
bentang alam dan membuat Indonesia bukan hanya kehilangan sumber daya
kekayaan alam, tapi juga akan menuai berbagai bencana akibat krisis iklim.
Kami mendesak pemerintah untuk membatalkan seluruh aturan pelaksanaan
UU Cipta Kerja karena telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK.
6. Penanganan aksi terorisme masih diwarnai oleh tindakan represif. Ke depan,
penindakan kepolisian/Densus harus menghormati kaidah hukum dan HAM.
Tanpa itu, maka pemerintah akan sulit menghapuskan aksi-aksi terror di masa
depan.

Demikian catatan ini disampaikan,

Salam kebajikan!

Usman Hamid Mohammad Hikari Ersada


Ketua Dewan Pengurus Direktur Program Keadilan Sosial

Anda mungkin juga menyukai