Anda di halaman 1dari 5

Nama : Yuliza Hera Tri Anugraeni

Nim : 2211080019
Dosen Pengampu : Hernastiti Sedya Utami, M.Tr.Kes.
Mata Kuliah : Pendidikan Budaya Anti Korupsi

Tugas Individu
Peraturan perundang-undangan yang mendukung upaya pemberantasan korupsi antara lain:
 UU No. 3 tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
 Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih
dan Bebas KKN.
 UU no 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas
KKN.
 UU Nomor 20 Tahun 2001 jo UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
 Peraturan Pemerintah No 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan
Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
 UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
 UU No 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
 Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2018 tentang Strategi Nasional
Pencegahan Korupsi (Stranas PK).
 Peraturan Presiden No.102/2020 tentang tentang Pelaksanaan Supervisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
 Permenristekdikti Nomor 33 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penyelenggaraan
Pendidikan Anti Korupsi (PAK) di Perguruan Tinggi.

Adapun pasal yang menghalangi pemberantasan korupsi yaitu Pasal 221 KUHP yaitu pasal
dalam Kitab Undang-undang Pidana (KUHP) yang mengatur hukum tentang suatu tindak
pidana yang dilakukan oleh pelaku yang terbukti berupaya untuk menghalang-halangi suatu
proses hukum.
KPK mempunyai tugas dan kewenangan di Indonesia yaitu:
o berkoordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi.
o Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi.
o Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi,
melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan melakukan
monitor.

Dalam melaksanakan tugas koordinasi, KPK mempunyai wewenang yaitu:

o mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi.


o Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi.
o Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada
instansi yang terkait.
o Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
o Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Untuk mencegah pemberantasan korupsi, KPK telah melakukan berbagai upaya antara lain
menerapkan TriSula yaitu Sula Penindakan, Sula Pencegahan, dan Sula Pendidikan. Adapun
hal yang harus di perbaiki oleh lembaga KPK adalah penindakan tegas bagi pemimpin dan
pegawai yang melanggar kode etik, menegaskan hukum, meningkatkan kejujuan, dan
Pelayanan publik. Banyak di berbagai negara bahkan tidak menerapkan Lembaga-lembaga
seperti KPK, namun negara-negara tersebut tingkat korupsinya sangat rendah, karena hukum
di negara tersebut sangat tegas sehingga tidak banyak orang yang melakukan korupsi.
Masyarakat menilai Lembaga Peradilan di Indonesia masih buruk. Karena salah satu
penyebab tidak pedulinya masyarakat terhadap hukum, adalah karena penegaknya tidak
menegakkan hukum dengan baik. Banyak orang yang memiliki pengalaman “buruk” dengan
penegak hukum. Penegak hukum nampaknya masih “pandang bulu” terhadap para pelanggar
hukum. Karena sifat “pandang bulu” inilah, masyarakat berpikir asalkan punya uang, atau
punya koneksi-koneksi tertentu, maka bisa terhindar dari hukum. orang-orang yang memiliki
kerabat yang “penting” dapat terhidar dari hukum dengan mudahnya. Penegak pun masih
“takut” dengan hal tersebut, padahal seharusnya, di mata hukum semua orang itu sama.
Hukum dibuat agar menertibkan, dan sanksi-sanksi pun bukan untuk merugikan, tetapi agar
ada efek jera. Untuk membenahi sistem hukum Indonesia, diperlukan perubahan sikap dari
semua orang yang terlibat dalam hukum. Penegaknyapun harus lebih tegas. Hukum harus
ditaati oleh seluruh lapisan masyarakat dengan menumbuhkan kesadaran dimulai dari diri
sendiri. Kalau semua lapisan masyarakat sudah sadar maka pasti akan tercipta Sistem hukum
yang baik di Indonesia.

Media Massa yang dicabut izin usahanya oleh Pemerintah


Majalah Tempo
Pembredelan majalah Tempo terjadi pada dua periode, tepatnya pada 1982 sebagi periode
pertama dan periode kedua pada 21 Juni 1994. Pada 1982, Majalah Tempo diberedel untuk
pertama kalinya. Pembredelan dilakukan karena Tempo dianggap terlalu tajam dalam
mengkritik rezim Orde Baru serta kendaraan politiknya pada masa itu, yakni Partai Golkar.
Majalah Tempo akhirnya diizinkan untuk terbit kembali setelah menandatangani sebuah
pernyataan diatas kertas segel dengan Menteri Penerangan, saat itu Ali Murtopo. Pada masa
ini, Departemen Penerangan ditugaskan untuk mengawasi Pers.
Setelah mengalami pembredelan pada 1982, majalah Tempo kembali dibredel pada 21 Juni
1994. Alasan pembredelan pun berbeda pada periode pertama, majalah Tempo terbitan 7 Juni
1994 mengkritik pembelian 39 kapal perang bekas dari Jerman Timur seharga USD 12,7 juta
menjadi USD 1,1 miliar. Sepekan sebelumnya, majalah Tempo mengungkapkan
pelipatgandaan harga kapal bekas sebesar 62 kali lipat.
Pemberedalan pun dilakukan oleh pemerintah melalui Menteri Penerangan saat itu. Terkait
pemberitaan yang diterbitkan tersebut, Tempo dinilai terlalu keras mengkritik B.J. Habibie
dan Soeharto tentang pembelian kapal – kapal bekas dari Jerman Timur yang bermasalah.
Pembelian kapal perang tersebut dilakukan oleh B.J. Habibie, sedangkan pemerintah sendiri
dalam hal ini Menteri Keuangan, tidak pernah merencanakan pembelian tersebut.
Pembredelan kedua yang dialami oleh majalah Tempo dilakukan perlawanan dengan
mengajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara. Dari kasus ini, banyak jurnalis yang
mengecam sikap Departemen, para jurnalis akhirya mendirikan AJI atau Aliansi Jurnalis
Indonesia sebagai bentuk perlawanan terhadap bentuk kontrol informasi dan organisasi
wartawan di tangan pemerintah. Setelah pemberedelan kedua yang dialaminya, Tempo
sempat berhenti beroperasi selama empat tahun. Sebelum akhirnya bangkit kembali setelah
lengsernya Presiden Soeharto pada Mei 1998. Tepat 12 Oktober 1998, Tempo kembali
muncul setelah mengalami pembredelan
Harian Sinar Harapan
Sinar Harapan mulai dibredel oleh pemerintah pada 2 Oktober 1965 silam. Hal ini dilakukan
agar peristiwa G 30 S-PKI saat itu tidak diekspos secara bebas oleh media. Hanya media–
media tertentu yang boleh diterbitkan, sebelum akhirnya pemerintah mengizinkan Sinar
Harapan untuk terbit kembali pada 8 Oktober 1965.
Selang lima tahun setelah pemberedelan pertama dilakukan, pada Juli 1970, pemerintah Orba
kembali menyorot Sinar Harapan terkait pemberitaannya yang mengekspos laporan Komisi
IV mengenai korupsi. Pemerintah menganggap Sinar Harapan telah melanggar kode etik pers
karena telah mendahului pers akan hal tersebut. Pasalnya, laporan Komisi IV baru akan
dibacakan Presiden pada 16 Agustus 1970. Dalam kasus ini, Dewan Kehormatan PWI saat itu
mengaku belum melihat cukup alasan untuk mengatakan telah terjadi pelanggaran kode etik
pers oleh Sinar Harapan.
Pada Januari 1972, Sinar Harapan kembali berurusan dengan Dewan Kehormatan Pers karena
pemberitaan yang terbit pada 31 Desember 1971 dengan judul tulisan “Presiden Larang
Menteri–Menteri Beri Fasilitas Pada Proyek Mini”. Tanggal 2 Januari 1973, Sinar Harapan
kembali dibredel oleh Pangkokamtib terkait pemberitaan RAPBN dengan judul “Anggaran
’73-74’ Rp. 862 Miliyard”.
Dalam hal ini, Pangkokamtib melakukan pencabutan sementara surat izin cetak media
tersebut. namun, akhirnya Sinar Harapan diizinkan untuk terbit kembali pada 12 Januari
1973.
Hampir satu tahun Sinar Harapan diperbolehkan terbit kembali, pada Januari 1974 terkait
peristiwa “Malari” sejumlah media kembali dibredel oleh pemerintah termasuk Sinar
Harapan. Peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) adalah peristiwa demonstrasi
mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974. Hal ini dilakukan untuk
mencegah pemberitaan yang diterbitkan dapat memanaskan situasi politik pada masa itu.
Hingga akhurnya, pada 4 Februari 1978 Sinar Harapan diperbolehkan terbit kembali.
Dari rangkaian pembredelan yang telah dialmai oleh Sinar Harapan , yang paling memukul
ialah pembatalan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan) oleh pemerintah Soeharto pada
Oktober 1986 akibat Sinar Harapan `memuat headline “Pemerntah Akan Cabut 44 SK Tata
Niaga Bidang Impor”. Hal ini mengakibatkan, selama 15 tahun lamanya Sinar Harapan
dipaksa tidak boleh terbit. Dan kini, Sinar Harapan pun harus gulung tikar selamanya.

Harian Indonesia Raya


Pemberedelan atau larangan terbit dilakukan terkait peristiwa Malari yang mengekor pada
larangan terbit tanpa batas waktu terhadap sebelas surat kabar dan satu majalah berita,
termasuk Harian Indonesia Raya. Harian Indonesia Raya telah mengalami pencabutan Surat
Izin Cetak sejak 21 Januari 1974 dan disusul dengan pencabutan Surat Izin Terbit dua hari
setelahnya.
Selama periade ini, dua pimpinannya mengalami penahanan, Mochtar Lubis selama hampr
2,5 bulan sedangkan wakil pemimpin redaksi, Enggak Bahau’ddin ditahan selama hampr satu
tahun. Penahanan dilakukan karena kedua pimpinan tersebut diduga terlibat dalam Peristiwa
Malari, sebelum akhirnya dibebaskan tanpa syarat.
Harian Rakyat
Harian Rakyat merupakan salah satu media massa Indonesia yang pertama kali terbit pada 31
Januari 1951. Dalam perjalannanya, surat kabar yang memilki aliran jurnasme konfrontasi ini
pernah mengalami pembredelan yang dilakukan oleh pemerintah.
Sebagai surat kabar yang mengambil aliran konfrontasi, Harian Rakyat selalu bertentangan
dengan berbagai pihak, begitu pula kalangan penguasa. Pemberitaan yang dianggap
melanggar ketentuan pihak penguasa, membuat Harian Rakyat ditutup. Penutupan pertama
dilakukan dengan kisaran waktu 23 jam terhitung pada 13 September 1957 tepatnya pada
pukul 21.00 hingga 14 September 1957 tepatnya pukul 20.00 bersama media lainnya.
Penutupan atau pencabutan izin terbit selanjutnya terjadi pada 16 Juli 1959. Hal ini dilakukan
karena Harian Rakyat memuat pernyataan CC PKI pada 3 Juli dengan judll “Penilaian
Sesudah Satu Tahun Kabinet Kerdja, Komposisi, Tidak Mendjamin Pelaksanaan Program 3
Pasal, Perlu Segera Diretul”. Penutupan kedua ini terjadi selama satu bulan, sebelum
akhirnya diizinkan terbit kembali pada 2 Agustus 1959.
Selang beberapa bulan, tepatnya 2 November 1959, Harian Rakyat kembali dibreidel oleh
Penguasa Perang. Alasan pembredelan kali ini tidak begitu jelas, dari pembredelan ini
mencuatnya aksi perluasan peredaran Harian Rakyat yang dipimpin oleh para petinggi PKI
yaitu D. N. Aidit, M.H Lukman, serta aktivis lainnya yang turun langsung ke lapangan.
Pada 9 Desember 1959, pembredelan kembali terjadi pada surat kabar ini. Alasan
pembredelan pun kembali tidak dijelaskan sehingga menimbulkan protes dan desakan agar
Harian Rakyat dizinkan kembali dan banyak pihak yang mendesak untuk memberikan izin
terbit terhadap surat kabar ini, agar dapat terbitt kembali pada 23 Desember 1959.
Selang dua tahun setelah melakukan pembredelan tersebut, pada 3 Februari 1961, Harian
Rakyat kembali ditutup oleh Penguasa Perang Jakarta Raya. Dengan alasan pemuatan
sambutan ketua CC PKI D.N Aidit pada hari jadi ke-10 koran Harian Rakyat. Dalam
pidatonya, Aidit mengajukan tuntutan struktur cabinet dan menyinggung masalah demokrasi
serta kebebasan politik. Bagi Penguasa Perang, hal ini dapat mengganggu kestabilan politik
Indonesia saat itu.
Pada 3 Oktober 1965, akhirnya surat kabar ini mengalami akhir perjalanannya setelah
terjadinya peristiwa G30S-PKI. Tidak hanya bubar, banyak para aktisi dan partai pendukung
surat kabar tersebut yang dipenjara dan dibunuh.

Harian Abadi
Harian Abadi merupakan surat kabar harian yang diterbitkan oleh Partai Masyumi atau
Majelis Syuro Muslimin Indonesia. Surat kabar yang terbit pada 1974 ini memiliki tujuan
untuk menyuarakan aspirasi umat islam Indonesia yang mayoritas berhimpun di dalam Partai
Masyumi.
Surat kabar harian ini pun pernah merasakan dibreidel oleh pemerintah. Pembredelan
dilakukan terkait pemberitaan peristiwa Malari pada 1974 silam. Akibat pembredelan ini,
sebagian wartawan Harian Abadi ditampung di Koran pelita.

Televisi dan Radio


Pada masa Orde Baru, media elektronik juga tidak luput dari aksi pemberedelan oleh
pemerintah. Pada 1995, salah satu program televisi sempat dilarang tayang lantaran
mengundang tokoh-tokoh kritis di dalamnya. Para tokoh kritis tersebut menyampaikan
pendapat bahwa ada pejabat yang merangkap banyak jabatan. Akibatnya, program ini hanya
bertahan selama satu tahun dan akhirnya dilarang tayang pada 1996.
Selain itu ada juga wartawan yang diintimidasi, dianiaya, bahkan dibunuh karena ingin
membela kebenaran, Fuad Muhammad Syarifuddin adalah seorang jurnalis Harian Bernas di
Yogyakarta. Ia dibunuh pada 16 Agustus 1996. Dikabarkan, pembunuhan ini dikarenakan
pemberitaan mengenai dugaan korupsi di Bantul. Harian Kompas mengabarkan, Udin
memang sering menulis mengenai pemberitaan kritis tentang kebijakan pemerintah Orde
Baru. Salah satunya adalah berita bahwa Bupati akan membantu pendanaan Yayasan
Dharmais jika kembali terpilih. Tiga hari sebelum dibunuh, Udin diserang dan dianiaya orang
tidak dikenal di rumahnya, Bantul, Yogyakarta.

Dari kasus diatas dapat di simpulkan masih sangat rendahnya lembaga keadilan dan kejujuran
di Indonesia, dimana letak kebenaran yang harusnya menjadi hal yang paling di utamakan
malah di rahasiakan. Dengan begitu ada beberapa upaya yang harus dilakukan oleh
pemerintah, mahasiswa, bahkan masyarakat yaitu dengan menerapkan kejujuran dan
keadilan. Sejak dulu, media massa menjadi bagian tak terpisahkan dari proses perjalanan
bangsa Indonesia. Media massa berfungsi menjadi agen perubahan dan rekayasa sosial.
Meskipun berada diluar sistem pemeritahan, media massa memiliki posisi strategis sebagai
alat kontrol sosial dan sumber informasi bagi masyarakat, jadi masyarakat berharap bisa
diberikan kebebasan pers.

Anda mungkin juga menyukai