Anda di halaman 1dari 9

Penegakan HAM di Indonesia 'stagnan'

Kirim
Image copyright AFP Image caption Pemerintah dianggap belum mampu menuntuskan berbagai
pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu.
Setahun setelah pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla berjalan, sebuah jajak pendapat dari
lembaga pemerhati Hak Asasi Manusia menunjukkan penegakkan HAM di Indonesia tidak
mengalami kemajuan yang berarti.
Survei yang dikeluarkan oleh Setara Institute dalam rangka memperingati Hari HAM sedunia
tanggal 10 Desember menggambarkan bahwa hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat
cenderung membaik, tetapi hal-hal lain seperti kebebasan berekspresi, beragama dan
penghapusan hukuman mati memburuk.
Hal tersebut, menurut wakil ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos, terjadi karena
pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla memang menitikberatkan pada pembangunan ekonomi.
"Jokowi harus lebih meyakinkan para pendukungnya memperjuangkan hak asasi manusia.
Sebagai contoh upaya dia dalam membentuk Komisi Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa
Lalu, pendukungnya hanya berpikir sederhana bahwa penyelesaian itu adalah kissing and hug,
jadi hanya peluk-cium, kemudian saling maaf-maafkan selesai," jelas Bonar.
"Padahal bukan itu, yang dibutuhkan adalah pengungkapan kebenaran," katanya.

Kasus 65
Sementara itu, seorang penyintas 1965, Nani Nurani, menggunakan Hari HAM sedunia sebagai
kesempatan untuk memperjuangkan kasusnya yang terhenti di Mahkamah Agung.
Wanita berusia 74 tahun yang pernah dipenjara setelah dituduh merupakan bagian dari Lekra dan
PKI karena dulu merupakan seorang penari, masih menuntut permintaan maaf dan pemulihannya
nama baiknya.
Image caption Persoalan terkait penegakkan HAM di Papua perlu segera diselesaikan.
Dia pun akan mendatangi Komisi Yudisial dan Ombudsman pada hari HAM sedunia dan
mengirim surat kepada presiden, wapres dan sejumlah pejabat negara lainnya.
"Saya sebagai rakyat kecil bertanya, kenapa seorang rakyat Indonesia harus mengurus kasusnya
ke luar negeri ( IPT 1965 di Den Haag, Belanda), memang ada apa hukum di Indonesia?" tanya
Nani.
"Kedua, pernyataan jaksa agung yang menyatakan, "Sabar dong, kita kan lagi mengurus dan
menyelesaikan. Nah, ibu tanya, sesudah 50 tahun ini, masih mengurus juga, masih
menyelesaikan juga, apa yang ditunggu? Apa menunggu kami (penyintas 65) yang sudah tua-tua
ini meninggal? Tidak lucu, tidak adil!" tambah Nani.

Larangan dan pembebasan


Riset Setara Institute menunjukkan dalam satu tahun terakhir ini ada sedikitnya lima larangan
kebebasan berekspresi yang terkait dengan peristiwa 65, salah satunya adalah larangan
pembacaan naskah drama dan diskusi mengenai 65 di ajang Festival Teater Jakarta pada hari
Selasa (08/12).
Namun di lain pihak pemerintah Indonesia dianggap berhasil menunjukkan perbaikan HAM
dengan adanya lima tahanan politik yang dibebaskan.
BBC Indonesia mencoba menghubungi pemerintah namun belum mendapatkan tanggapan.
Adapun Sekretaris Kabinet Pramono Anung ketika dihubungi menolak berkomentar.

Penegakan HAM di Era Reformasi Mandek

dapat membawa perbaikan pada isu penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM).
Namun setelah 14 tahun berlalu, berbagai pihak merasa proses reformasi berjalan
lamban. Bahkan ada yang mengatakan reformasi bukan jawaban untuk menuntaskan
persoalan yang dihadapi rakyat Indonesia.
Koordinator Komisi Nasional untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS)
Haris Azhar, menyatakan pasca lengsernya Soeharto, terdapat sejumlah kemajuan di
bidang penegakan HAM. Misalnya penguatan HAM di bidang legislasi dan diplomasi
pemerintah Indonesia di ranah internasional.
Sayangnya, dalam periode yang sama KontraS mencatat terdapat kemunduran.
Misalnya banyak legislasi yang anti HAM, serta terancamnya kepemilikan adat dan
kebebasan sipil. KontraS menilai pemerintah gagal menyesuaikan regulasi yang ada
dengan penegakan HAM sebagaimana diatur dalam konstitusi dan berbagai aturan
HAM lainnya.
Atas temuan itu KontraS berkesimpulan HAM hanya menjadi tren bagi pemerintahan
pasca reformasi. Pasalnya, ruang yang diberikan untuk pemenuhan dan perlindungan
HAM, terutama dalam tjuh tahun terakhir, tergolong minim.
KontraS mencatat praktik kekerasan terus terjadi. Ironisnya, negara memberikan
dukungan atau perlindungan kepada pelaku kekerasan lain seperti organisasi massa
dan perusahaan-perusahaan. Selain itu sistem dan mekanisme akuntabilitas negara
dalam soal kekerasan tergolong buruk dan diskriminatif.

Reformasi (perubahan) digunakan untuk memuluskan kepentingan kelompokkelompok tertentu saja. Penguasa di era reformasi, terutama SBY (Susilo Bambang
Yudhoyono,-red), malah takut, sehingga mengakomodir para pelaku kejahatan HAM,
kata Haris kepada hukumonline lewat pesan singkat, Senin (21/5).
Negara, Haris melanjutkan, lebih memilih penyelesaian berbagai kasus pelanggaran
HAM itu dalam institusinya. Sedangkan masyarakat sipil cukup mudah menjadi korban
rekayasa kasus. Upaya koreksi terhadap peristiwa dan kebijakan pelanggaran HAM bagi
Haris sangat rendah diakomodir.
Misalnya kasus pelanggaran HAM di Aceh, proses perdamaian dibentuk tanpa
memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat. Sementara di Papua pemerintah melakukan
diskriminasi, akibatnya masyarakat dibiarkan berhadapan dengan kekerasan.
Menurut Haris berbagai situasi itu disebabkan hilangnya etika politik dalam birokrasi
dan institusi-institusi negara. Presiden SBY dan pemerintahannya percaya terhadap
koalisi politik dan stabilitas keamanan lewat Polri, BIN dan TNI.
Semua hal itu menurut Haris ditujukan untuk mengamankan posisi SBY sampai 2014.
Akibatnya, kecerdasan politik pemerintahan SBY mandul untuk berani menuntaskan
kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat dari Aceh sampai Papua, dari waktu lampau
hingga kini. Sehingga, para pelaku pelanggaran HAM bebas berkeliaran. Mereka
berbisnis dan berpolitik menguasai sektor-sektor publik.
Senada, pengurus Sekretariat Bersama (Sekber) Buruh, Sultoni, secara terpisah
menyebut pemerintahan pasca reformasi belum memberikan jaminan atas pemenuhan
hak dasar rakyat. Misalnya hak atas penghidupan yang layak, kebebasan berekspresi,
serta berserikat dan berorganisasi.
Menurut Ketua KASBI Jakarta itu pemerintahan Soeharto masih mewariskan
kebijakan-kebijakan yang cenderung mengebiri kepentingan rakyat, khususnya kaum
pekerja. Misalnya politik upah murah dan produk perundang-undangan yang merepresi
rakyat. Ditambah lagi dengan tingkah laku aparat keamanan yang dirasa kerap
melakukan tindak kekerasan terhadap rakyat.
Atas dasar itu Sultoni tidak heran jika pemerintah menerbitkan sejumlah peraturan
perundang-undangan yang merepresi rakyat, salah satunya UU Penanganan Konflik
Sosial. Dia khawatir gaya pemerintahan Soeharto yang otoriter akan digunakan oleh
pemerintahan saat ini.
Sultoni berpandangan masyarakat sendiri yang harus memecah persoalan yang
dihadapi dengan cara memperkuat persatuan di seluruh elemen. Mulai dari kaum
pekerja, petani, nelayan, rakyat miskin dan lainnya. Berbagai elemen itulah menurut
Sultoni yang harus memegang tampuk pemerintahan, sehingga kebijakan yang
dihasilkan memberi perlindungan dan pemenuhan hak bagi rakyat. Sekber Buruh,
Senin (21/5).

Reformasi Penegakan HAM di Indonesia

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang dimiliki oleh manusia sejak lahir atas pemberian
tuhan Yang Maha Esa. HAM menjadi ambigu ketika diletakkan pada kondisi kehidupan
berbangsa dan bernegara. Mengapa demikian, hal ini dipengaruhi oleh suatu sikap dimana
masyarakat menganggap bahwa HAM menyangkut semua aspek dalam diri setiap manusia.
Sehingga kemudian hal ini menjadi opini publik, sebagai contoh melakukan sesuatu yang tidak
wajar di depan umum dianggap sebagai suatu hak yang asasi. Ternyata keadaannya tidaklah
seperti itu, setiap orang diberi hak baik yang bersifat asasi maupun yang bersifat relatif.
Hak yang bersifat asasi adalah hak sipil, hak politik, hak ekonomi dan hak sosial budaya.
Adapun hak yang bersifat relatif adalah hak yang berasal dari pengembangan hak asasi diatas.
Terkait dengan hak yang bersifat relatif tentu saja harus memperhatikan hak relatif orang lain,
karena sesungguhnya hak kita dibatasi dengan kewajiban menghormati hak orang lain.

Berbicara mengenai hak asasi manusia tidak terlepas dari peran aktif sebuah negara.
Indonesia merdeka pada tanggal 17 agustus 1945 sebagai gerbang awal untuk melakukan
reformasi tataran kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbagai macam implikasi diharapkan
dapat mengubah bangsa Indonesia menjadi lebih baik. Sebagai negara yang baru merdeka pada
waktu itu UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 agustus 1945 menjadi pondasi hukum
nasional. Walaupun Indonesia sudah merdeka, kondisi ini tidak serta merta mengakomodir
kebutuhan perangkat bernegara. Bicara hak asasi manusia pada waktu itu belum ada undangundang yang secara khusus mengaturnya.
Pasca kemerdekaan kita memasuki masa orde lama di bawah kepemimpinan presiden Soekarno,
perkembangan terhadap penghormatan hak asasi manusia belum menemukan langkah yang
konkrit, negara pada waktu itu masih sibuk melakukan penataan perangkat bernegara, mengatasi
masalah tekanan baik dari luar maupun dari dalam Indonesia sendiri. Kemudian pada masa orde
baru warna penegakan hak asasi manusia masih saja tidak mengalami perkembangan, bahkan
lebih parah, karena pada masa orde baru memerintah dengan otoriter.
Kendati pada orde baru HAM kurang berkembang, tahun 1990 an muncul Komisi Nasional Hak
Asasi manusia (Komnasham) sebagai konsekuensi Indonesia masuk dalam komite HAM PBB.
Oleh pemerintah Indonesia karena desakan dari dalam dan luar negeri. Akhirnya pemerintah
mengeluarkan kebijakan politik dalam rangkah perlindungan HAM dan pemerintah
memberlakukan undang-undang HAM serta mendirikan Komnasham.
Terkait dengan hukum tentu saja berhubungan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. HAM hari ini menjadi salah satu objek kajian yang menarik untuk diperhatikan.
Mengapa demikain hal ini disebabkan bahwa hampir semua kehidupan berbangsa dan bernegara
ini adalah untuk memenuhi HAM. HAM ini menjadi sebuah pekerjaan rumah yang besar bagi
bangsa dan negara, karena berhasil atau tidaknya suatu negara terlihat sejauh mana
penghormatan dan pemenuhan HAM di negara tersebut.
Indonesia sebagai negara yang berkembang tidak dapat dipungkiri akan rawan terhadap
pelanggaran HAM. Hal ini disebabkan oleh banyak hal, seperti masalah sosial, politik maupun
ekonomi. Antara masalah diatas saling mempengaruhi satu sama lainnya pelanggaran HAM
karena masalah sosial tidak menutup kemungkinan disebabkan oleh masalah politik dan
ekonomi. Kita memang perlu menyadari bahwa masalah penegakan hukum dindonesia masih
dalam tahap pembelajaran apalagi masalah penegakan HAM.
Dalam berbagai dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara kita seringkali menemukan
ketimpangan dalam proses penegakan hukum dan HAM. Kadang kala hukum yang ditegakkan,
namun disatu sisi mengabaikan HAM, begitu juga sebaliknya, HAM yng ditegakkan namun
mengabaikan hukum yang berlaku. Ketika terjadi hal demikian tidak hanya aparat penegak
hukum yang kesulitan, tetapi masyarakat lebih kesulitan lagi, karena berada dalam sistem

tersebut. Masalah hukum dan HAM ini memang menjadi sesuatu yang penting untuk dilakukan
kajian, baik secara normatif apalagi empirisnya.

Sejarah penegakan HAM di Indonesia

Sepanjang sejarah kehidupan manusia ternyata tidak semua orang mempunyai penghargaan
yang sama terhadap sesamanya. Ini yang menjadi latar belakang perlunya penegakan hak
asasi manusia. Manusia dengan teganya merusak, mengganggu, mencelakakan, dan
membunuh manusia lainnya.
Bangsa yang satu dengan semena-mena menguasai dan menjajah bangsa lain. Untuk
melindungi harkat dan martabat kemanusiaan yang sebenarnya sama antarumat manusia, hak
asasi manusia dibutuhkan. Berikut sejarah penegakan HAM di Indonesia.

Pada masa prakemerdekaan


Pemikiran modern tentang HAM di Indonesia baru muncul pada abad ke-19. Orang Indonesia
pertama yang secara jelas mengungkapkan pemikiran mengenai HAM adalah Raden Ajeng
Kartini. Pemikiran itu diungkapkan dalam surat-surat yang ditulisnya 40 tahun sebelum
proklamasi kemerdekaan (Mulya Lubis, 1993 : 52-54).
Pada masa kemerdekaan
Pada masa orde lama
Gagasan mengenai perlunya HAM selanjutnya berkembang dalam sidang BPUPKI. Tokoh yang
gigih membela agar HAM diatur secara luas dalam UUD 1945 dalam sidang itu adalah
Mohammad Hatta dan Mohammad Sukiman. Tetapi, upaya mereka kurang berhasil. Hanya
sedikit nilai-nilai HAM yang diatur dalam UUD 1945. Sementara itu, secara menyeluruh HAM
diatur dalam Konstitusi RIS dan UUDS 1950.

Pada masa orde baru


Pelanggaran HAM pada masa orde baru mencapai puncaknya. Ini terjadi terutama karena HAM
dianggap sebagai paham liberal (Barat) yang bertentangan dengan budaya timur dan
Pancasila. Karena itu, HAM hanya diakui secara sangat minimal. Komisi Hak Asasi Manusia
dibentuk pada tahun 1993. Namun, komisi tersebut tidak dapat berfungsi dengan baik karena
kondisi politik. Berbagai pelanggaran HAM terus terjadi, bahkan disinyalir terjadi pula berbagai
pelanggaran HAM berat. Hal itu akhirnya mendorong munculnya gerakan reformasi untuk
mengakhiri kekuasaan orde baru.

Pada masa reformasi


Masalah penegakan hak asasi manusia di Indonesia telah menjadi tekad dan komitmen yang
kuat dari segenap komponen bangsa terutama pada era reformasi sekarang ini. Kemajuan itu
ditandai dengan membaiknya iklim kebebasan dan lahirnya berbagai dokumen HAM yang lebih
baik. Dokumen itu meliputi UUD 1945 hasil amendemen, Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang
Hak Asasi Manusia, UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 26 tahun
2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Pada tahun 2005, pemerintah meratifikasi dua instrumen yang sangat penting dalam
penegakan HAM, yaitu Kovenan Internasional tentang Hak- Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
(ICESCR) menjadi Undang-Undang No. 11 tahun 2005, dan Kovenan Internasional tentang
Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) menjadi Undang-Undang No. 12 tahun 2005.

Anda mungkin juga menyukai