Anda di halaman 1dari 12

Hakim Agung dan Penemuan Hukum (Rechtsvinding)

Pada Era Reformasi dan Transformasi Hukum


Prof. DR. Komariah Emong Sapardjaja, S.H.*

Latar Belakang
Pernyataan-pernyataan bahwa dunia seakan-akan tidak
lagi mengenal batas-batas wilayah Negara, telah menjadi
kenyataan. Arus informasi menyebabkan permasalahan di
dalam suatu negara dapat dibaca bagaikan dalam buku ter-
buka. Suatu negara bahkan tidak dapat mengisolasi dirinya
dari pergaulan internasionnal. Perjanjian-perjanjian interna-
sional dan dampak ratifikasi konvensi internasional, lebih
mengentalkan kenyataan bahwa hukum nasional suatu neg-
ara tidak dapat secara mutlak berdiri sendiri tanpa menghi-
raukan perkembangan-perkembangan yang terjadi di dunia
internasional, terlebih lagi ketika perkembangan teknologi
yang semakin canggih. Di dalam era transformasi dan infor-
masi, seperti itu permasalahan-permasalahan di dalam ma-
syarakat menjadi lebih rumit dan kompleks.
Perkembangan di dalam masyarakat ini juga mempen-
garuhi perkembangan hukum di suatu negara, khususnya di
dalam suatu masyarakat yang sedang membangun. “Apabila
kita teliti maka semua masyarakat yang sedang memban-
gun dicirikan oleh perubahan bagaimanapun kita mendefi-
nisikan pembangunan itu dan apapun yang kita pergunakan
bagi “masyarakat dalam pembangunan. Peranan hukum

*
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan 95


dalam pembangunan adalah menjamin bahwa perubahan
itu terjadi dengan cara yang teratur”1 Selanjutnya dikatakan
juga oleh Mochtar Kusumaatmadja bahwa: “Ada anggapan
yang boleh dikatakan hampir merupakan keyakinan bahwa
perubahan yang teratur demikian dapat dibantu oleh perun-
dang-undangan atau keputusan pengadilan atau kombinasi
dari kedua-duanya”.2
Tetapi selalu saja terjadi bahwa ‘undang-undang keting-
galan dari kenyataan-kenyataan masyarakat’ (het recht hink
achter de feiten aan‘). Beberapa contoh mengemuka yang
menjadi pemikiran dari para ahli hukum sekarang, misal-
nya, kloning, bayi tabung, kejahatan cyber, kejahatan terha-
dap kemanusiaan, dan mungkin banyak lagi masalah-ma-
salah di dalam masyarakat yang perlu mendapat pemecahan
hukumnya.
Khususnya bagi persoalan-persoalan yang menjadi ka-
sus konkrit yang dihadapkan kepada seorang hakim untuk
mendapatkan penyelesaian, maka seorang hakim “tidak bo-
leh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memer-
iksa dan mengadilinya”.3 (psl. 6 UUPK)
Disinilah letak peran hakim (Agung) dalam penemuan
hukum (rechtsvinding) dan pembentukan hukum (rechts-
schepping), dalam kasus-kasus yang terjadi dalam masyara-
kat yang sedang bereformasi dan transformasi.
Pokok Masalah
1. Bagaimanakah syarat-syarat suatu penemuan hukum
(rechtsvinding) dan pembentukan hukum (rechtsschep-
ping)?
2. Sejauh manakah hakim, dalam kebebasannya, melaku-
kan penemuan hukum sehingga tidak melakukan ke-
sewenang-wenangan hukum yang pada akhirnya justru

1
Mochtar Kusumaatmaja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Hukum
Nasional, Lcmbaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Universitas Padjadjaran,
Bandung, 1976, hlm.3.
2
Ibid
3
Lihat pasal 16 Undang-undang Republik Indonesia No. 4 tahun 2004 Tentang Kc-
kuasaan Kehakiman

96 Bunga Rampai
menimbulkan ketidakadilan, ketidakpastian, atau keti-
dakmanfatan?

Pembahasan Masalah
1. Arti penemuan hukum dan mengapa (seringkali) diper-
lukan
Rechtsvinding menjadi sangat terkenal terutama setelah
perang dunia kedua, pandangan tentang penemuan hukum
yang dikemukakan oleh Paul Scholten memperoleh banyak
pengikut.4
Sudikno Mertokusumo mengatakan “Apa yang dimak-
sud dengan penemuan hukum lazimnya adalah proses pem-
bentukan hukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya
yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum
pada peristiwa hukum konkrit”.5
J.A. Pontier mendefinisikan penemuan hukum sebagai
‘sebuah reaksi terhadap situasi-situasi problematikal yang
dipaparkan orang dalam peristilahan hukum’. Ia berkenaan
dengan pertanyaan-pertanyaan hukum, konflik-konflik hu-
kum atau sengketa-sengketa yuridis. Penemuan hukum
diarahkan pada pemberian jawaban terhadap pertanyaan-
pertanyaan tentang hukum dan hal pencarian penye1esaian-
penyelesaian terhadap sengketa-sengketa konkrit. Terkait
padanya antara lain diajukan pertanyaan-pertanyaaan ten-
tang penjelasan (tafsiran) dan penerapan aturan-aturan
hukum, dan pertanyaan-pertanyaan tentang makna dari
fakta-fakta yang terhadapnya hukum harus diterapkan.
Penemuan hukum, berkenaan dengan hal menemukan pe-
nyelesaian dan jawaban berdasarkan kaidah-kaidah hukum,
yang lebih atau kurang, secara cermat dan teliti mengemu-
kakan bagaimana terhadap situasi-situasi problematik ter-
tentu seyogyanya harus diberikan reaksi.6
Asumsi dasar yang melandasi penemuan hukum terse-
but adalah berkaitan dengan pengakuan bahwa tidak semua
hukum dapat ditemukan dalam undang-undang.7

4
J.A.Pontier, Rechtsvinding. diterjemahkan oleh B.Arief Sidharta, Labotatorium Hu-
kum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2001, hlm. 95
5
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum. Liberty, Yogyakarta. 2001, hlm. 37.
6
J.A. Pontier, op cit, hlm. 1.
7
Ibid, hlm.16

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan 97


Hal tersebut telah mengemuka sejak lama, seperti di-
katakan oleh Bregstein8 yang berpendapat: “In woorden
belichaamt de wetgever zijn will. Slechts die woorden hebben
aanspraak op absoluut gezag. Het maatschappelijk leven, dat
op deze woorden reageert, brengt deze woorden, de dode tek-
sten, tot leven, geeft er aan hun zin. [Pembuat undang-undang
melahirkan kehendaknya dengan kata-kata. Hanya kata-
kata itulah yang berhak atas wibawa yang mutlak. Kehidu-
pan sosial yang mereaksi kata-kata ini, membuat kata-kata
ini, tanda-tanda mati itu menjadi hidup, memberikan pada
kata-kata itu arti], dan apabila dilanjutkan dengan kata-kata
dan Suijling:9 “… behoort hij de abstract geredigeerde wet met
de prescripten der volksmoraal aan te vullen en dus altijd de
gerechtigheid te oefenen, welke de wet in vereneging met de
volksmoraal aan de Justitiabelen waarborgt”. [... hakim ha-
rus melengkapi undang-undang yang dirumuskan secara
abstrak dengan ketentuan-ketentuan dari moral rakyat, dan
karena itu selalu menyelenggarakan keadilan, yang adanya
dijamin oleh undang-undang bersama dengan moral rakyat
untuk melindungi para pencari keadilan.
Dalam hukum pidana yang sangat legistis karena se-
cara fundamental didasarkan pada prinsip legalitas, di mana
sangat ditentukan oleh unsur-unsur yang terdapat di dalam
perumusan deliknya, Schaffmeister10 menyatakan: “De in
delictsomschrijvingen geimpliceerde gedragsnormen zijn geen
omvattende weersplegelingen van de gehele materiele norm.
De delictsomscrijvingen vormen ten opzichte van de gedrag-
snormen veeler deelstukken van het geheel. Het strafrecht
handhaaft de materiele norm jragmentarisch” [Norma-norma
perilaku yang tersirat dalam perumusan delik bukan pencer-
minan yang mencakup seluruh noma-norma materiel. Peru-
musan delik lebih banyak membentuk bagian-bagian dari-
pada merumuskan keseluruhan norma perilaku. Hukum
pidana mempertahankan norma-norma secara fragmenta-
ris].

8
M.H.Bregstein, dalam Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum
Materiel dalam Hukum Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, hlm. 16
9
Ibid, hlm. 17.
10
Ibid, hlm. 22

98 Bunga Rampai
Dengan demikian, di dalam situasi masyarakat dengan
tingkat perkembangan di segala bidangnya sangat tinggi dan
kompleks, seringkali undang-undang tidak dapat lagi meng-
antisipasi perkembangan itu, tetapi disinilah letak peranan
hakim selaku penjaga hukum dan keadilan memainkan pe-
ranannya. Oleh karena itu Bregstein11 pernah mengatakan:
“Tegenover de worden der wet komt hem echter een vrijheid
toe. Hij is dus niet ‘la bouche de la loi’, tenzij men daaronder
verstaat ‘la bouche de l’esprit de la loi’ [Terhadap kata-kata
undang-undang penerap undang-undang memiliki suatu ke-
bebasan yang luas. Jadi dia bukanlah ‘mulut undang-un-
dang’ tetapi ‘mulut jiwa undang-undang’].
2. Teknik/metode penemuan hukum dan kebebasan ha-
kim
Penemuan hukum dapat dilakukan melalui beberapa
cara/teknik/metode.
Menurut Pontier12, penemuan hukum dapat dilakukan
melalui metode, antara lain:
a. metode interpretasi;
(penulis tidak akan menguraikan secara mendalam ten-
tang metode interpretasi karena dalam pelajaran tentang
Pengantar Ilmu Hukum telah diperkenalkan metode
penafsiran berupa penafsiran gramatikal, sistematis,
sejarah undang-undang, sejarah hukum, teleologis, an-
tisipatif, evolutif dinamikal)
b. penghalusan hukum, interpretasi restriktif dan inter-
pretasi ekstensif
c. penalaran hukum
d. teknik penemuan hukum lain berupa:
i. penerapan atau penafsiran undang-undang secara
rasional
ii. penimbangan kepentingan
e. Motivering vonnis
Walaupun demikian hakim tidaklah sebebas-bebasnya
dapat menggunakan seluruh metode penemuan hukum

11
Ibid, hlm. 16
12
Pontier, op.cit. hlm. 34

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan 99


tersebut untuk menyelesaikan kasus konkrit yang dihadap-
kan kepadanya. Pertama hendaknya diperhatikan landasan/
norma hukum yang menjadi dasar kasus tersebut (dalam
perkara perdata biasanya dapat dilihat dari dasar-dasar gu-
gatan yang diajukan oleh pihak penggugat sedangkan dalam
perkara pidana dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum, se-
dangkan dalam perkara tata usaha negara dapat dilihat dari
permohonan pemohon). Selain itu harus diperhatikan pula
fakta konkrit yang diperoleh dari dasar penyelidikannya,
yang biasanya diperoleh dari fakta yang terungkap di muka
persidangan. Barulah apabila undang-undang yang menjadi
dasar kasus tersebut tidak jelas, hakim dapat melakukan
penafsiran. Pertama-tama hendaknya digunakan penafsiran
gramatikal, dan dilanjutkan dengan penelusuran sejarah
perundang-undangan untuk mengetahui maksud dari pem-
buat undang-undang tentang diterbitkannya undang-undang
tersebut. Dengan menggunakan penafsiran sosiologis dan te-
leologis, barulah hakim dapat menemukan hukum yang ha-
rus dikemukakan dalam putusan yang definitif. Penemuan
hukum dengan menggunakan metode seperti itu ditemukan
dalam kasus Mochtar Pakpahan, di mana dijelaskan bahwa
hatzaai artikelen yang menjadi dasar dakwaan sudah tidak
sesuai lagi dengan semangat reformasi.
Demikian juga dalam kasus BNI 46 New York, pasal 362
KUHP tidak mungkin dapat diterapkan, apabila melihat ke-
pada kecanggihan alat-alat yang digunakannya.
Khususnya penemuan hukum yang hanya didasarkan
pada nalar hakim saja dapat menimbulkan kesewenang-
wenangan terhadap undang-undang itu sendiri.
Di bidang hukum pidana, J.J.M. van der Veen, telah
memperingatkan bahaya penggunaan logika secara berlebih-
Iebihan dalam upaya menerangkan undang-undang.13
Juga Jescheck14 mengingatkan bahwa penafsiran bisa
jadi akan sangat melebar, padahal tujuan akhir dari setiap
aturan hukum pidana adalah perlindungan tertib hukum.

13
J.J.M.van der Veen, dalam Jan Remmelink, Hukum Pidana, terjemahan oleh Tristam
Moeliono dan DR.Marjanne Termorshuizen, Gramedia, Jakarta, 2003, hlm. 47
14
Ibid, hIm. 54

100 Bunga Rampai


3. Prinsip-prinsip penyelenggaraan peradilan dan Kedudu-
kan serta Peranan Hakim Agung
Prinsip penyelenggaraan peradilan telah ditetapkan
dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Prinsip-prinsip tersebut adalah:
1. Dilakukan “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa” - pasal 4 ayat (1);
2. Dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya
ringan - pasal 4 ayat (2);
3. Independent - pasal 4 ayat (3);
4. non- diskriminasi dan imparsial - pasal 5 ayat (1);
5. Dilaksanakan sesuai dengan prinsip ne bis in idem
– pasal 6 ayat (1);
6. Putusan tentang kesalahan seseorang didasarkan
pada keyakinan hakim dengan alat pembuktian yang
sah menurut Undang-undang - pasal 6 ayat (2);
7. Prinsip legalitas - pasal 7;
8. Prinsip presumption of innocence - pasal 8;
9. Hak untuk memperoleh ganti rugi dan rehabilitasi
- pasal 9.
10. Terbuka untuk umum - pasal 20
Demikian pula dengan kedudukan hakim, telah ditetap-
kan dalam undang-undang tersebut, bahwa hakim adalah
pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur
dalam Undang-undang (pasal 31), dengan syarat-syarat bah-
wa seorang hakim harus memiliki integritas dan kepribadian
yang tidak tercela. Jujur, adil, profesional, dan berpenga-
laman di bidang hukum (pasal 32), dan wajib menjaga ke-
mandirian peradilan (pasal 33)
Khusus berkenaan dengan Mahkamah Agung, yang telah
ditetapkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.
5 tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-undang No.
14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, menetapkankan
bahwa:
Kekuasaan Mahkamah Agung sebagaimana ditetapkan
dalam Undang-undang tersebut adalah:
Pasal 28:
“Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan 101


dan memutus:
a. permohonan kasasi;
b. sengketa tentang kewenangan mengadili;
c. permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 30:
(1) Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan
putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari
semua lingkungan peradilan, karena:
a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang ber-
laku;
c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh
peraturan perundang-undangan yang mengancam
kelalaian itu dengan batalnya putusan yang ber-
sangkutan.
Pasal 31:
(1) ... menguji peraturan perundang-undangan di bawah
Undang-Undang terhadap Undang-undang .
Pasal 35:
“ ... memberikan pertimbangan hukum kepada Presiden
dalam permohonan grasi dan rehabilitasi”
Pasal 37:
“ ... dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan
dalam bidang hukum baik diminta maupun tidak kepada
Lembaga Tinggi Negara yang lain”
Melihat kepada peraturan perundang-undangan yang
memberikan kedudukan istimewa kepada seorang Hakim
Agung, maka peraturan perundang-undangan yang disebut-
kan di atas memberikan tugas-tugas mulia yang diembankan
kepadanya, sekaligus pedoman perilaku bagi mereka.
Terlebih-lebih apabila dikaitkan dengan Kedudukan
Mahkamah Agung, seperti dimuat dalam pasal 2:
“Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi
dari semua Lingkungan Peradilan, yang dalam melaksanakan
tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-
pengaruh lain”. Hal tersebut mengisyaratkan pula bahwa pu-
tusan Mahkamah Agung adalah putusan yang memberikan
penyelesaian definitif sesuai dengan asas lites finiri oportet,
yang berarti tidak membiarkan sengketa hukum berlarut-

102 Bunga Rampai


larut tanpa akhir. Dengan demikian Hakim Agung dalam
menjalankan tugasnya telah memberikan kepastian hukum
dari kasus tersebut.
Oleh karena itu, mantan Ketua Mahkamah Agung Re-
publik Indonesia, Prof. Oemar Seno Adji, S.H., (alm.)15 per-
nah mengatakan: “Suatu pengadilan yang bebas dan tidak
dipengaruhi merupakan syarat yang ‘indipensable’ bagi
negara hukum. Bebas berarti tidak ada campur tangan dari
kekuasaan eksekutif dan legislati dalam menjalankan fungsi
yudiciair. Ia tidak berarti bahwa ia berhak untuk bertindak
sewenang-wenang dalam menjalankan tugasnya, ia ‘sub-or-
dinated’, terikat pada hukum”.
Kesewenang-wenangan seorang Hakim Agung, sekali-
pun harus menemukan hukum, tidak diperbolehkan . Fran-
cis Bacon pemah menyatakan: ”there is no worse torture than
the torture of laws”
4. Penemuan hukum dan pembentukan hukum Indonesia
yang mengemuka.
Beberapa penemuan hukum yang pernah ada, dan men-
jadikannya suatu pembentukan hukum baru melalui yuris-
prudensi yang terkenal, antara lain:
a. Dalam bidang hukum perdata, antara lain:
1. Dikukuhkannya janda sebagai ahli waris,
2. Anak angkat yang memperoleh bagian waris yang
sama dengan anak kandung,
3. Diperkenankannya seorang wanita yang belum me-
nikah mengangkat anak melalui adopsi;
4. Mahkamah Agung menolak gugatan Presiden Suhar-
to atas pencemaran nama baik yang dilakukan oleh
New York Times dengan pemuatan gambar presiden
sebagai joker dalam kartu ‘remi’, tetapi menyatakan-
nya sebagai perwujudan kebebasan pers.
b. Dalam bidang hukum pidana, antara lain:
1. Putusan Mahkamah Agung RI No. 275K/Pid/1982,
yang memberi arti terhadap kata “perbuatan tidak

15
Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum,Cctakan Kedua, Pcnerbit Erlang-
ga, Jakarta, 1985, him. 46

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan 103


patut dan terce1a dari suatu tindak pidana korup-
si”,
2. Dalam kasus pembobolan dana Bank BNI New York,
hakim memberikan penafsiran luas terhadap unsur
“mengambil” dalam tindak pidana pencurian, se-
hingga penggunaan alat komputer (dengan menekan
satu panel/tombol pada key board komputer) disa-
makan dengan lichamelijk gedraging.
3. Dalam kasus “Rahardi Ramelan”, dan “Adam Damiri
di Pengadilan HAM” hakim menerima teleconference
sebagai cara yang sah dari kehadiran saksi;
4. Dalam kasus “Mochtar Pakpahan” hakim me-
nyatakan bahwa demonstrasi (waktu itu sedang
terjadi era reformasi) bukanlah sebagai pemyataan
permusuhan terhadap negara sebagaimana terdapat
dalam unsur pasal 154 KUHP yang terkenal dengan
haatzaai artikelen.
5. Dalam kasus “Bambang Harymurti Tempo” Mah-
kamah Agung menyatakan bahwa UU No. 40/1998
tentang Pers adalah lex speciali dan karenanya
dalam kasus tersebut tidak dapat digunakan pasal
310 KUHP tentang penghinaan.

Simpulan
1. Penemuan hukum pada dasarnya merupakan kegiatan
sehari-hari para yuris, dan terjadi pada semua bidang
hukum baik oleh hakim, pembentuk undang-undang,
bahkan ilmuwan hukum. Penemuan hukum adalah se-
buah aspek penting dari ilmu hukum (teori hukum) dan
praktek hukum. Tetapi berbeda dengan penemuan hu-
kum oleh para ilmuwan hukum sebagai hasil dari pene-
litiannya, yang bersifat teoritis terhadap suatu masalah
hukum tertentu serta tidak terikat dalam batas-batas
waktu, dalam praktek hukum hakim harus memberi-
kannya di dalam putusannya dalam jangka waktu yang
masuk akal.
2. Agar tidak menjadi suatu kesewenang-wenangan hu-
kum dan tertibnya pembentukan hukum yang dcip-
takan karena penemuan hukum, dalam kebebasannya,
penemuan hukum oleh hakim harus selalu dijalankan
berdasarkan prinsip-prinsip penyelenggaraan peradi-

104 Bunga Rampai


lan yang baik, tetap memperhatikan fakta hukumnya,
dasar-dasar/norma, kaidah hukum yang menjadi dasar
kasus konkrit yang dihadapkan kepadanya, menghar-
monisasikan antara fakta dan kaidah hukum tersebut
dengan menggunakan metode yang diperkenankan, ser-
ta mengabstrasikannya.

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan 105


Daftar Pustaka
- Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan
Hukum Dalam Hukum Pidana Indonesia, Studi Kasus
tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yuris-
prudensi, Alumni, Bandung, 2002
- Moehtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum Dalam
Rangka Pembangunan Nasional, Panel Diskusi V yang
diselenggarakan oleh MAHINDO di Jakarta -bulan Maret
1972, Binacipta, Bandung, 1972
- Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, ce-
takan kedua, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1985.
- Pontier, J.A., Rechtsvinding, diterjemahkan oleh B.Arief
Sidharta, Penemuan Hukum, Universitas Parahyangan,
Bandung, tanpa tahun.
- Remmelink. Jan, Hukum Pidana, Komentar atas Pas-
al-pasal Terpenting dari Kitab Undang-undang Pidana
Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Indonesia, diterjemahkan oleh Tristam
P.Moeliono, Marjanne - Termorshuizen, dan Widati Wu-
landari, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 2003
- Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, eetakan
kedua, Liberty, Yogyakarta, 2001

106 Bunga Rampai

Anda mungkin juga menyukai