Anda di halaman 1dari 8

Lex et Societatis, Vol. III/No.

10/Nov/2015

URGENSI OBITER DICTA DALAM PUTUSAN fakta di persidangan maupun terhadap segenap
HAKIM PERKARA PERDATA1 peraturan perundang-undangan yang berlaku
Oleh: Masni Larenggam2 maupun hukum tidak tertulis yang melingkupi
kasus atau perkara yang sedang ditangani
ABSTRAK (consider all of the circumstances of the case).
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk Dengan implementasi hal tersebut, maka
mengetahui bagaimana keadilan dan kepastian putusan hakim tidak akan dikualifikasi sebagai
hukum dalam putusan Hakim bisa terwujud onvoldoende gemotiveerd.
bagi para pencari keadilandan bagaimana Kualitas suatu putusan hakim serta tingkat
penerapan obiter dicta putusan hakim dalam kecerdasan dan intelektualitas yang dimilikinya
perkara perdat. Dengan menggunakan merode akan direfleksikan sekaligus dipertaruhkan pada
penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: bagaimana hakim merumuskan ratio decidendi
1. Keadilan dan kepastian hukum merupakan dalam putusannya. Penalaran hukum (legal
dua entitas yang tidak dapat dipisahkan yaitu: reasoning) serta rumusan argumentasi hukum
a. Keadilan adalah sebagai tujuan tertinggi (legal argumentation) akan menggambarkan
hukum (The Ultimate Goal) yang ingin dicapai kecermatan dan tingkat intelektualitas
dalam suatu penegakkan hukum, keadilan hakimnya. Hakim dalam merumuskan
adalah cita-cita luhur yang lahir dan senantiasa putusannya tidak hanya berkutat pada
tumbuh bersama masyarakat; b. Kepastian silogisme formal belaka, bukan juga sekadar
hukum sebenarnya dapat dipahami sebagai menafsir secara mekanis, melainkan sebagai
buah proses atau dinamika hukum yang selama pekerjaan intelektual yang membutuhkan
ini hidup dan berkembang dan dijalani oleh analisis dan penafsiran secara komprehensif.3
masyarakat yang dimaksud adalah yang Begitu pentingnya arti dan kedudukan
memenuhi tiga kriteria umum yaitu: Ius putusan yang kemudian melambangkan
constitutum; Ius constituendum; Ius operatum. mahkota hakim, hakim pada akhirnya dituntut
2. Obiter Dicta merupakan pernyataan dan untuk senantiasa mengerahkan daya cipta,
proposisi hakim dalam mempertimbangkan rasa, dan karsa yang dimilikinya untuk
suatu kasus atau perkara yang sedang memutus dengan seadil-adilnya. Dalam konteks
ditanganinya tentang tidak secara langsung demikian, hakim harus memperhatikan sekalian
bersentuhan atau berkaitan dengan pokok instrumen hukum yang melingkupi suatu
perkara (not directly relevant to the case). perkara (perundang-undangan, konteks kasus
Obiter dicta secara implisit terdapat dalam atau perkara) serta hal-hal lain di luar hukum
Pasal 170 HIR dan Pasal 1906 KUHPerdata. itu sendiri (aspek filosofi, sosiologi, antropologi,
Kata kunci: perkara perdata, obiter dicta dan psikologi).

PENDAHULUAN B. Rumusan Masalah


A. Latar Belakang Masalah 1. Bagaimana keadilan dan kepastian hukum
HIR/R.Bg telah memberikan pedoman dalam putusan Hakim bisa terwujud bagi
kepada para hakim bagaimana prosedur yang para pencari keadilan?
tepat dalam mengadili dan memutus suatu 2. Bagaimana penerapan obiter dicta putusan
perkara. Sebelum menentukan konklusi hakim dalam perkara perdata?
(judgment) terhadap setiap bagian gugatan
Penggugat, hakim wajib untuk mencukupkan C. Metode Penelitian
alasan-alasan atau pertimbangan hukumnya Penulis dalam menyusun skripsi ini
(ratio decidendi; reasons of the judgment), baik menggunakan metode penelitian kepustakaan
dari pemahaman secara utuh terhadap fakta- yang bersifat yuridis normatif. Sebagai ilmu
normatif (ilmu hukum perdata), membantu
1 memecahkan persoalan-persoalan hukum yang
Artikel sskripsi. Pembimbing skripsi: Gress Thelma
Mozes, SH, MH; Constance Kalangi, SH, MH; dan Drs.
3
Frans Kalesaran, SH, M.Si, MH Basuki Rekso Wibowo, Pembaruan Hukum yang
2
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Berwajah Keadilan, artikel, Majalah Hukum Varia
Manado; NIM: 110711551. Peradilan Tahun XXXVII No. 313 Desember 2011, hal. 19

94
Lex et Societatis, Vol. III/No. 10/Nov/2015

dihadapi oleh masyarakat.4 Dengan tujuan agar disebutkan sebelumnya, hukum akan
dapat menemukan fakta-fakta (fact finding) menyesuaikan dirinya dengan kebutuhan akan
sebagaimana yang diungkapkan oleh Soerjono perikatan yang menembus batas ruang dan
Soekanto,5 agar bisa terwujud fakta di lapangan waktu, antara lain dengan memproduksi sub
terhadap aplikasi ketentuan hukum yang ada sistem baru, yaitu peraturan-peraturan baru
dan hidup dalam masyarakat. yang mengakomodir hal dimaksud.
Dengan demikian, pemaknaan kepastian
PEMBAHASAN hukum perlu direkonstruksi ulang, karena
A. Keadilan dan Kepastian Hukum Dalam selama ini, hemat penulis, kepastian hukum
Putusan Hakim cenderung dimaknai sebagai status quo, suatu
Dialektika antara hukum dan masyarakat keadaan yang sudah menetap dan cenderung
terjadi dalam kerangka dialektika transformatif. dipertahankan untuk menjaga kestabilan suatu
Artinya, bahwa dialektika antara hukum dan aturan. Meskipun pada kenyataannya,
masyarakat senantiasa berlangsung secara mempertahankan hal tersebut pada hakikatnya
dinamis mengikuti perkembangan dan mempertahankan sesuatu yang sudah usang
kebutuhan zaman. Sebagai contoh, pada masa (out to date), tidak logis (unlogic), dan tidak
lalu, hukum hanya dipandang mengatur aplikatif (not aplicable).7
tentang perikatan yang menghadirkan pihak- Pula dengan keadilan, yang selama ini
pihak dalam satu tempat dan saling berhadap- dipersepsikan sebagai sesuatu yang berada
hadapan untuk mengutarakan maksudnya jauh di atas hukum, melampaui batas-batas
secara verbal. Seiring dengan perkembangan normatif hukum itu sendiri. Dalam sebuah
zaman dan teknologi yang kian canggih pengertian sederhana, keadilan digambarkan
menerobos batas ruang dan waktu, perikatan sebagai sebuah eksistensi transenden, sehingga
tidak lagi hanya dilakukan secara konvensional, mewujudkannya dipandang akan menerobos
melainkan dapat dilakukan antar daerah, aturan-aturan normatif yang bersifat pasti
bahkan antar negara tanpa harus (certainty), terbatas (limited), dan kaku (rigid).8
mempertemukan secara fisik pihak-pihak yang Seringkali dijumpai asumsi-asumsi yang
melakukan perikatan. sentimentil tentang penegakan keadilan yang
Situasi tersebut menuntut adanya bertentangan dcngan aturan hukum yang ada.
transformasi (perubahan), baik dalam sistem Contra legem yang dilakukan oleh hakim dalam
maupun dalam operasionalisasi hukum. Hukum putusannya adalah contoh sederhana untuk
tidak lagi hanya boleh mengatur tentang menggambarkan kesalahan persepsi tentang
perikatan yang dilakukan secara konvensional, apa dan bagaimana keadilan itu.
melainkan juga harus mengatur hal-hal lain Contra legem pada asasnya dilakukan oleh
yang menerobos tradisi konvensional tersebut hakim ketika suatu aturan hukum yang diterima
(beyond traditional ways). 6 dan berlaku tidak merepresentasikan cita dan
Inilah sesungguhnya makna kepastian aspirasi keadilan serta nilai-nilai luhur yang
hukum, yaitu suatu keadaan dalam hukum itu tumbuh dan berkembang di masyarakat. Hakim
sendiri yang menyesuaikan dengan keadaan dalam mengadili suatu perkara, terlebih yang
dan kebutuhan masyarakat. Hukum, menganut pandangan progresifitas dan
merupakan sistem yang autopoetic, yaitu responsifitas hukum, akan berani membuat
sistem yang di dalamnya berjalan suatu semacam antitesa terhadap bunyi dan
mekanisme untuk mengadaptasi diri dengan keberlakuan aturan dalam undang-undang.
perubahan pada lingkungan eksternalnya yang Tujuannya jelas, untuk mewujudkan keadilan
dapat mewujud pada produksi sub sistem-sub substantif.
sistem baru. Seperti pada contoh yang Dalam tulisan ini diajukan semacam
pandangan awal bahwa keadilan sebagai
4 dipahami selama ini tidaklah bertentangan
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum
Normatif¸ Bahu Media, Surabaya, 2007, hal. 52 secara diametris dengan kepastian hukum,
5
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,
7
Jakarta, UI Press, 1986, hal. 50-51 Ibid, hal. 116
6 8
Ibid, hal. 116 Ibid, hal. 116

95
Lex et Societatis, Vol. III/No. 10/Nov/2015

melainkan berjalan seiring dan selaras dalam not necessarily involved in the case or
suatu aras tunggal. Bahwa kepastian hukum essential to its determination”. 11
adalah kepastian tentang tegaknya suatu “pernyataan hakim berkaitan dengan
hukum yang dicita-citakan, dikonstitusi, dan pandangan atau pertimbangannya terhadap
dilaksanakan oleh masyarakat sebagai subjek suatu kasus atau perkara, di dalamnya
utama dari hukum itu sendiri.9 mencakup pandangan terhadap aturan-
Dalam kerangka pikir demikian, sebenarnya aturan, prinsip-prinsip, maupun penerapan
polemik mengenai dikotomi antara keadilan hukum, atau dapat juga merupakan jawaban
dan kepastian hukum dapat dijawab. Keadilan atas pertanyaan-pertanyaan berkenaan
yang selama ini sering dimaknai keluar dari atau dengan kasus tertentu, akan tetapi tidak
bertentangan dengan kepastian hukum patut berkaitan secara langsung dengan substansi
untuk ditinjau ulang. Tulisan ini mencoba (pokok permasalahan) suatu perkara”.
menguraikan hal tersebut secara singkat Obiter dicta dalam putusan bersifat tidak
dengan pendekatan yuridis, filosofis, sosiologis, mengikat (not binding) yang berbeda dengan
dan psikologis. ratio (yang mengikat), tetapi dapat
Dikotomi pemaknaan keadilan dan menentukan putusan yang akan diambil. Obiter
kepastian hukum muncul dari perbedaan dalam dicta merupakan pendapat atau pandangan
menafsirkan apa keadilan dan kepastian hukum hukum tertentu yang tidak berkaitan secara
itu. Diskursus mengenai hal ini berangkat dari langsung dengan kasus atau perkara yang
titik tolak yang berbeda tentang pemaknaan sedang ditangani. Obiter dicta dalam putusan
hukum itu sendiri. Ketika sebagian yuris (dalam tradisi common law) biasanya dipakai
memahami dan memaknai hukum secara ketika hakim ingin menggunakan indikasi atau
positivistik, sebagian lainnya memahami hukum petunjuk-petunjuk tertentu dalam memutus
dalam optik sosiologis yang erat kaitannya suatu kasus yang serupa, tetapi tidak identik
dengan konsep efektifitas hukum dan ketaatan (berbeda dalam beberapa hal) dengan kasus
hukum. yang sedang ditangani.
Tujuan dari penerapan obiter dicta dalam
B. Urgensi Obiter Dicta Dalam Putusan Hakim putusan adalah untuk memperjelas prinsip-
Perkara Perdata prinsip dan aturan-aturan hukum yang akan
Obiter dicta merupakan terminologi yang digunakan hakim dalam pertimbangannya.
berasal dari bahasa Latin. Obiter dicta tcrdiri Dalam konteks demikian, obiter dicta pada
atas dua frasa, yaitu “obiter” yang berarti umumnya dikemukakan dalam kontruksi yang
“inpassing” dan “incidentally” atau “sambil analogis, ilustratif, poin-poin penting atau
lalu” dan “insidentil” serta “dicta” (jamak, kesimpulan yang didasarkan pada hipotesis atas
tunggal “dictum”) yang berarti “something that suatu keadaan. Meskipun tidak mengikat
is said” atau “sesuatu yang dikemukakan”. seperti halnya ratio decidendi, obiter dicta
Dengan demikian, secara etimologi, obiter dicta dapat diaplikasikan sebagai ratio decidendi
adalah “something said in passing”,”things said dalam pertimbangan hukum atas kasus-kasus
by the way”, atau “sesuatu yang dikemukakan berikutnya. 12
secara sambil lalu atau insidentil”.10 Berdasar penjelasan-penjelasan tersebut,
Dalam Black's Law Dictionary, obiter dicta dapat disimpulkan bahwa obiter dicta
(obiter dictum) didefinisikan sebagai: merupakan pernyataan atau proposisi hakim
“an observation or remark made by a judge dalam mempertimbangkan suatu kasus atau
in pronouncing an opinion upon a cause, perkara yang sedang ditanganinya tetapi tidak
concerning some rule, principle, or secara langsung bersentuhan atau berkaitan
application of law, or the solution of a dengan pokok permasalahan (not directly
question suggested by the case at bar, but relevant to the case).

9 11
Basuki Rekso Wibowo, Pembaruhan Hukum Yang Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary( Revised
Berwajah Keadilan, Majalah Varia Peradilan Tahun XXVII Fourth Edition), Minnesota West Publishing, 1968, hal.
No. 313, Desember 2011, Jakarta, hal. 70 241
10 12
Ibid, hal. 106 Ibid, hal. 242

96
Lex et Societatis, Vol. III/No. 10/Nov/2015

Poin penting yang perlu digaris bawahi dengan asumsi dasar bahwa suatu perkawinan
adalah bahwa eksistensi obiter dicta tidak yang pada awalnya harmonis biasanya diwarnai
mengikat dan tidak pula wajib dikemukakan dengan kegiatan suami istri secara bersama-
oleh hakim, yang sama sekali berbeda dengan sama, baik itu makan bersama, ke pesta
ratio decidendi yang wajib dikemukakan bersama, bercanda bersama, diskusi bersama,
sekaligus mengikat hakim dalam menjatuhkan dan sebagainya. Suatu perkawinan yang telah
putusan atas suatu perkara. Lazimnya, dalam pecah salah satunya dapat diindikasikan
tradisi hukum Indonesia, obiter dicta baru dengan hilangnya kebiasaan-kebiasaan
diaplikasikan jika dalam pemeriksaan suatu bersama tersebut, meskipun pertengkaran
perkara, pokok permasalahan tidak terungkap nyata, baik ucapan secara verbal maupun
secara gamblang, meskipun telah melalui suatu tindakan tertentu tidak tampak, karena pada
pembuktian yang panjang. Dalam konteks beberapa pasangan suami istri, perselisihannya
inilah, obiter dicta yang mewujud dalam justru berwujud pada sikap saling mendiamkan
analogi, ilustrasi, maupun hipotesa atas satu sama lain, memutus komunikasi, dan
serangkaian fakta atau kejadian digunakan. aktivitas-aktivitas tersembunyi lainnya
Sebagai contoh, dalam pemeriksaan perkara (indicated by silent activity). Bukankah ketika
perceraian dengan alasan syiqaq (onheelbare rumah tangga masih harmonis, keinginan untuk
tweespalt),13 sebagaimana maksud Pasal 19 berbagi satu sama lain sangat besar sehingga
huruf (f) PP Nomor 9 tahun 1975 tentang kecenderungan untuk melakukan hal secara
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun bersama-sama juga besar? Inilah yang dalam
1974 tentang Perkawinan. Dalam tradisi common law dipersepsikan sebagai
pemeriksaannya, seringkali hakim kesulitan obiter dicta yang antara lain diwujudkan dalam
dalam mengungkap fakta hukum sebenarnya analogi, ilustrasi, maupun penarikan suatu
berkaitan dengan “perselisihan yang tajam dan hipotesis atas satu atau beberapa kejadian.
terus-menerus” antara Penggugat dan Tergugat Penulis akan menjelaskan sedikit tentang
karena kesaksian para saksi tidak ada yang sengketa perkawinan yang dijelaskan
dapat mengungkap perselisihan dimaksud, sebelumnya. Suatu gugatan cerai didasarkan
seperti apa bentuknya, intensitasnya, pada alasan yang dikemukakan Pasal 19 huruf
kualitasnya, dan sebagainya. (f) PP Nomor 9 Tahun 1975, yaitu perselisihan
Dari sinilah sesungguhnya hakim berangkat yang tajam dan terus-menerus yang tidak
untuk turn over atau beralih ke obiter dicta, mungkin didamaikan lagi (pokok
yaitu dengan mencoba mengungkap fakta-fakta permasalahan). Proses untuk menerapkan
kejadian lain yang tidak berhubungan langsung obiter dicta dalam kasus tersebut adalah
dengan pokok permasalahan syiqaq, tetapi sebagai berikut:
dapat membuat jelas suatu permasalahan. 1. Dalam persidangan, ternyata para saksi
Pengungkapan fakta-fakta dimaksud tidak melihat atau mengetahui adanya
dirumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan perselisihan atau pertengkaran dimaksud
tertentu, misalnya:14 (pokok permasalahan tidak terungkap).
1. Apakah Penggugat dan Tergugat masih Jika permasalahan terungkap, maka Hakim
sering makan bersama? tidak akan menggunakan obiter dicta,
2. Apakah Penggugat dan Tergugat masih melainkan akan menggunakan ratio
menghadiri undangan pernikahan bersama? decidendi15.
3. Apakah Penggugat dan Tergugat masih
sering bercanda atau membicarakan hal-hal 15
Ratio decidendi (terminologi Latin, jamak rationes
tertentu? decidendi) adalah dasar atau alasan hakim dalam
Semua pertanyaan tersebut diajukan memutus suatu perkara (rational for decision). Ratio
decidendi ini merupakan point penting yang menentukan
pertimbangan hukum hakim dalam mengabulkan atau
13
Lihat PP Nomor 9 Tahun 1975, tentang pelaksanaan menolak gugatan penggugat. Berbeda dengan obiter dicta,
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ratio decidendi merupakan ketentuan umum yang
Pasal 19 Huruf (f) mengikat hakim dalam memutus suatu perkara. Proses
14
Moh. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara atau tahapan dalam menentukan ratio decidendi suatu
Perdata, Rineka Cipta, Jakarta, 2009, hal. 42 putusan didasarkan pada substansi atau pokok sengketa

97
Lex et Societatis, Vol. III/No. 10/Nov/2015

2. Hakim kemudian mengajukan pertanyaan- Kemudian dalam Pasal 1906 KUHPdt,


pertanyaan tertentu kepada para saksi disebutkan:17
untuk menemukan indikator akhir “Jika kesaksian-kesaksian berbagai orang
(misalnya tidak makan bersama, tidak ke mengenai berbagai peristiwa terlepas satu
pesta bersama, sering saling mendiamkan, sama lain, dan masing-masing berdiri
dan sebagainya) untuk kemudian sendiri, namun menguatkan suatu peristiwa
membandingkannya dengan indikator awal tertentu karena mempunyai kesesuaian dan
(misalnya ketika rukun dan harmonis hubungan satu sama lain, maka Hakim,
masih makan bersama, ke pesta bersama, menurut keadaan, bebas untuk memberikan
aktif berkomunikasi, dan sebagainya). kekuatan pembuktian kepada kesaksian-
3. Jika indikator akhir berhasil ditemukan, kesaksian yang berdiri sendiri itu.”
maka Hakim akan melakukan analisis
dengan analogi, ilustrasi maupun hipotesis Dari kedua pasal tersebut, dapat dipahami
(misalnya, Penggugat dan Tergugat sudah bahwa kesaksian para saksi di persidangan
tidak rukun lagi dan terlibat perselisihan dapat berbeda satu sama lain. Berbeda di sini
yang terus-menerus karena kebiasaan- adalah peristiwa yang dikemukakan oleh para
kebiasaan awal sewaktu rumah tangga saksi saling berlainan, akan tetapi dari
Penggugat dan Tergugat masih harmonis keterangan-keterangan tersebut justru dapat
tidak pernah lagi dilakukan) ditarik suatu benang merah atau kesimpulan.
4. Dengan dasar obiter dicta tersebut, hakim Dengan demikian, dari ketentuan tersebut di
dapat mengabulkan gugatan atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
18
cerai Penggugat, tetapi sekali lagi, obiter
dicta tidak mengikat hakim. a. Obiter dicta mencakup kesaksian yang
Pada bagian sebelumnya telah dikemukakan berbeda tentang suatu peristiwa yang
bahwa obiter dicta sejatinya merupakan berdiri sendiri. Misalnya Saksi A menyatakan
pandangan hakim yang dibangun atas suatu bahwa Penggugat ke pesta perkawinan
fakta yang tidak secara langsung bersentuhan sendiri, tidak pernah ditemani Tergugat,
atau berkaitan dengan pokok perkara. Dalam kemudian Saksi B mengemukakan bahwa
penerapannya, obiter dicta lebih cenderung Tergugat lebih sering membeli makanan di
diaplikasikan ketika suatu pokok sengketa tidak luar sementara sebelumnya, Tergugat jarang
terungkap dalam persidangan. Hal ini dapat atau bahkan tidak pernah membeli makanan
disebabkan karena keterbatasan pengetahuan di luar, dan Saksi C mengemukakan bahwa
saksi mengenai pokok sengketa maupun karena Penggugat mengantarkan anak ke sekolah
konstruksi sengketa yang sedemikian rumit. sendiri, tidak lagi ditemani oleh Tergugat;
Ketentuan mengenai obiter dicta secara b. Kesaksian-kesaksian yang berbeda tersebut
implisit terdapat dalam Pasal 170 HIR dan Pasal memiliki keterkaitan satu sama lain,
1906 KUHPdt. Pasal 170 HIR menyebutkan:16 meskipun peristiwa yang dikemukakan
“Jika kesaksian-kesaktian yang terpisah- adalah peristiwa tunggal atau berdiri sendiri.
pisah dan berdiri sendiri dari beberapa Berdasar contoh pada huruf (a) tadi, masing-
orang tentang beberapa kejadian dapat masing kesaksian memiliki hubungan atau
meneguhkan perkara tertentu karena keterkaitan satu sama lain, yaitu bahwa
kesaksian-kesaksian itu sesuai dan Penggugat dan Tergugat mengerjakan atau
berhubungan satu sama lain, maka kekuatan melakukan aktivitas sehari-hari secara
bukti hukum sepanjang yang akan diberikan sendiri-sendiri, tidak lagi secara bersama-
kepada kesaksian-kesaksian yang beraneka sama sebagaimana dahulu;
ragam itu, hal itu diserahkan kepada c. Kesaksian-kesaksian yang terpisah-pisah
pertimbangan hakim, berhubung dengan tersebut ternyata dapat meneguhkan suatu
keadaan” perkara, dalam hal ini dapat memperjelas

17
serta aturan hukum apa yang berkaitan dengannya R. Subekti Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum
(http://en.wikipedia.org/wiki/Ratio_decidendi) Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1978
16 18
Lihar Pasal 170 HIR M. Natsir Asnawi, Loc Cit, hal. 111

98
Lex et Societatis, Vol. III/No. 10/Nov/2015

pokok sengketa. Berdasar ilustrasi pada tersebut ternyata kemudian mempengaruhi


huruf (a) dan (b) tadi, maka kesaksian- pemikiran sebagian hakim mengenai
kesaksian tersebut dapat memperjelas atau kedudukan, fungsi, dan dinamika nafkah anak
mengungkap suatu fakta bahwa hubungan yang terbukti dengan menjadi yurisprudensi
atau ikatan lahir dan batin antara Penggugat Mahkamah Agung (ruling in a subsequent case).
dan Tergugat sudah renggang, rumah tangga Disinilah sesungguhnya urgensi obiter dicta
Penggugat dan Tergugat sudah tidak dalam putusan hakim. Meskipun tidak wajib
harmonis, serta tidak ada atau kurangnya dan tidak mengikat bagi hakim, akan tetapi
kesepahaman antara Penggugat dan dalam kasus tertentu yang pokok sengketanya
Tergugat; tidak terungkap, obiter dicta menjadi teramat
d. Berdasar hal tersebut, hakim bebas untuk penting. Karena itu, sudah sepatutnya hakim
memilih apakah akan menggunakan untuk tidak hanya berfokus pada pokok
petunjuk-petunjuk tersebut untuk mencapai sengketa, tetapi lebih jauh menganalisis hal-hal
suatu kesimpulan bahwa rumah tangga atau fakta-fakta maupun aturan dan prinsip-
antara Penggugat dan Tergugat sudah retak prinsip hukum yang tidak berkaitan langsung
atau tidak. Hal tersebut bergantung pada dengan pokok sengketa tadi.
keyakinan hakim, bahwa fakta-fakta yang Penulis ingin mengemukakan satu contoh
terungkap sudah membuktikan bahwa lain perihal pentingnya obiter dicta. Dalam
antara Penggugat dan Tergugat terus- kasus kewarisan misalnya, hakim berhasil
menerus terjadi perselisihan sehingga mengungkapkan fakta bahwa A sebagai laki-laki
rumah tangga demikian sudah tidak dalam kesehariannya hanya menghabiskan
mungkin lagi dipertahankan. harta pewaris dan bahkan pernah mencoba
Obiter dicta sendiri pada dasarnya tidak mengelabui pewaris dengan menjual salah satu
hanya mencakup analisis terhadap fakta-fakta aset terbaiknya, yaitu rumah. Sementara itu, B
yang tidak secara langsung berkaitan dengan sebagai perempuan ternyata menggunakan
pokok sengketa. Obiter dicta dapat pula harta pewaris dengan sebaik-baiknya, bahkan
menyentuh sisi aturan maupun prinsip hukum sangat mengutamakan bagi terpenuhinya
serta penerapannya. Sebagai contoh, salah satu kebutuhan pewaris sampai yang bersangkutan
kaidah yurisprudensi yang diabstraksi dari meninggal dunia. Selain itu, B ternyata sangat
Putusan Mahkamah Agung Nomor 608 menjaga harta pewaris dan bertekad akan
K/AG/2003 tanggal 23 Maret 2005 menggunakannya untuk kepentingan seluruh
menyebutkan bahwa nafkah lampau anak yang anggota keluarga. Dengan fakta demikian,
tidak terbayarkan bersifat lil intifa’ bukan li hakim menerapkan obiter dicta dengan
tamlik. Kaidah tersebut lahir dari analisis hakim mengaitkan fakta tadi (yang tidak bersentuhan
yang mengadili perkara tersebut bahwa pada langsung dengan pokok sengketa) dengan
dasarnya, nafkah anak ditujukan untuk substansi dari ketentuan perundang-undangan
kepentingan dan kemanfaatan bagi anak.19 Jika mengenai bagian waris. Akhirnya, hakim
hal tersebut diabaikan oleh ayahnya, memutuskan bahwa B sebagai perempuan
sementara anak tersebut tetap tumbuh mendapatkan dua bagian waris, sementara A
kembang secara wajar, maka isteri tidak dapat sebagai laki-laki mendapat satu bagian waris.
menuntutnya karena nafkah dimaksud bukan Pada beberapa putusan pengadilan yang
hak milik istri. menerapkan obiter dicta, dapat disimpulkan
Lahirnya kaidah tersebut didasarkan pada bahwa penerapan tersebut didasarkan pada
kenyataan bahwa dalam pokok sengketa keinginan untuk memutus secara lebih adil, dan
dimaksud, ditemukan fakta bahwa anaknya sedapat mungkin tetap menciptakan kepastian
tetap tumbuh secara wajar, sehingga hukum dan kemanfaatan. Karena itu, sangat
penerapan aturan hukum terkait kewajiban beralasan bagi para hakim untuk mulai melirik
ayah menafkahi anaknya tidak dapat ditarik dan menerapkannya secara massif dalam
untuk diberlakusurutkan. Kaidah yang lahir memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa
yang ditanganinya.
19
Jurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI No. 608 Putusan hakim didasarkan pada
K/AG/2003, tanggal 23 Maret 2005

99
Lex et Societatis, Vol. III/No. 10/Nov/2015

pertimbangan yang utuh dan komprehensif - Ius operatum.


mengenai fakta-fakta hukum yang menjadi 2. - Obiter Dicta merupakan pernyataan dan
pokok perkara. Hakim dalam memeriksa, proposisi hakim dalam
mengadili, dan memutus suatu perkara akan mempertimbangkan suatu kasus atau
diperhadapkan pada kompleksitas kasus yang perkara yang sedang ditanganinya
berbeda antara satu dengan lainnya. Dua tentang tidak secara langsung
perkara misalnya, meskipun memiliki topik bersentuhan atau berkaitan dengan
yang sama, namun duduk perkaranya berbeda pokok perkara (not directly relevant to
dengan tingkat kompleksitas yang berbeda the case).
pula. - Obiter dicta secara implisit terdapat
Tidak jarang dalam pemeriksaan suatu dalam Pasal 170 HIR dan Pasal 1906
perkara pokok perkara tidak dapat terungkap KUHPerdata.
yang pada akhirnya menyulitkan hakim dalam
menyusun pertimbangan hukum. Ratio B. Saran
decidendi (reasons of the judgment) adalah 1. Pemaknaan kepastian hukum perlu
pertimbangan hukum yang dipakai hakim rekonstruksi ulang, karena selama ini
dalam memutus suatu perkara. Dalam ratio kepastian hukum cenderung dimaknai
decidendi, hakim akan menghubungkan fakta- sebagai status quo, suatu keadaan yang
fakta hukum (pokok perkara) dengan ketentuan sudah menetap dan cenderung
perundang-undangan yang berkaitan dengan dipertahankan untuk menjaga kestabilan
hal itu. Pada proses selanjutnya, hakim suatu aturan.
berupaya menemukan hukumnya dengan 2. Diharapkan agar obiter dicta dapat
menggunakan berbagai pisau analisis (metode) dipertimbangkan oleh para hakim
seperti penafsiran (interpretation) maupun terutama kasus-kasus perdata, dengan
konstruksi hukum (rechtschepping, law tujuan agar penerapan obiter dicta untuk
making).20 memperjelas prinsip-prinsip dan aturan-
aturan hukum yang akan digunakan oleh
PENUTUP hakim dalam pertimbangan hukumnya.
A. Kesimpulan
1. Keadilan dan kepastian hukum DAFTAR PUSTAKA
merupakan dua entitas yang tidak dapat Aritonang Baharudin dan Muslim Hutasoit,
dipisahkan yaitu: Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman,
a. Keadilan adalah sebagai tujuan Pustaka Pergaulan, Jakarta, 2004.
tertinggi hukum (The Ultimate Goal) Asnawi M. Natsir, Kekuasaan Kehakiman Dalam
yang ingin dicapai dalam suatu Perspektif Politik Hukum, Majalah Peradilan
penegakkan hukum, keadilan adalah Tahun XXVII No. 332, Jakarta, 22 Juli 2003.
cita-cita luhur yang lahir dan Basiang Marthin, The Contemporary Law
senantiasa tumbuh bersama Dictionary (First Edition), Red & White
masyarakat. Publishing, 2009
b. Kepastian hukum sebenarnya dapat Campbell Henry Black, Law Dictionary (Revised
dipahami sebagai buah proses atau Fourth Edition), Minesota West Publishing,
dinamika hukum yang selama ini hidup 1968
dan berkembang dan dijalani oleh Djamali R. Abdoel, Pengantar Hukum Indonesia,
masyarakat yang dimaksud adalah Rajawali, Jakarta, 1984
yang memenuhi tiga kriteria umum Effenddi Jon, KY dan Intervensi Putusan Hakim,
yaitu: 2011, http://padangekspres.
- Ius constitutum; co.id/news=nberita&id=280
- Ius constituendum; Fuady Munir, Dinamika Teori Hukum, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 2007
20
M. Syamsuddin, Mengenai Tipologi Perilaku Hakim Gultom Binsar, Kualitas Putusan Hakim Harus
dalam Memutuskan Perkara, Majalah Media Informasi Didukung Oleh Masyarakat, Suara
Hukum dan Keadilan Komisi Yudisial, Edisi Mei-Juni 2013.

100
Lex et Societatis, Vol. III/No. 10/Nov/2015

Pembaharuan, 20 April 2006. Tresna R, Komentar HIR, Pradnya Paramita,


Hamzah, Andi, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980
Jakarta, 1986 Yuti Winanto Darmoko dan Arya Putra Negara
Harahap M. Yahya, Hukum Acara Perdata, Kertawaringin, Direksi Hakim Sebuah
Tentang Gugatan,Sinar Grafika, 2008 Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif
Ibrahim Johny, Teori dan Metodologi Penelitian dalam Perkara Pidana, Alfabeta, Bandung,
Hukum Normatif, Bahu Media, Surabaya, 2013.
2007.
Lotulung Paulus E, Mewujudkan Putusan Yang
Berkualitas Rasa Keadilan, Peradilan Tata
Usaha Negara, Rapat Kerja Tanggl 10
Oktober 2010
Makarao Moh. Taufik, Pokok-Pokok Hukum
Acara Perdata, Rineka Cipta, Jakarta, 2009
Manan Bagir, Hukum Positif Indonesia Suatu
Kajian Teoritik, Yogyakarta, UII Press, 1981.
Manan H. Abdul, Penerapan Hukum Acara
Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
Kencana, Jakarta, 2006
Mertokusumo Sudikno, Hukum Acara Perdata
di Indonesia,Liberty, Yogyakarta, 1988.
Muhammad Abdulkadir, Hukum Acara Perdata
di Indonesia, Alumni, Bandung, 1986.
Rasais M. Nur, Hukum Acara Perdata, Sinar
Grafika, Jakarta, 2003.
Rekso Wibowo Basuki, Pembaharuan Hukum
Yang Berwajah Keadilan, Varia p
Rifai Ahmad, Penemuan Hukum Oleh Hakim
Dalam Perspektif Hukum Progresif, Bumi
Aksara, Jakarta, 2011.
Saleh K. Wantjik, Hukum Acara Perdata
HIR/Rbg, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981.
Siregar Bismar, Hukum Hakim dan Keadilan
Tuhan, Kumpulan Catatan Hukum dan
Peradilan di Indonesia, Gema Insani Press,
Jakarta, 1995.
Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian
Hukum, UI Press, Jakarta, 1986.
Subekti R., Hukum Pembuktian, Pradnya
Paramita, Jakarta, 2010.
Sutantiek Sri, Menyoal Akuntabilitas Moral
Hakim Pidana dalam Memeriksa, Mengadili
dan Memutuskan Perkara, Aswaja
Pressindo, Yogyakarta, 2013
Syahrani Riduan, Himpunan Peraturan Hukum
Acara Perdata Indonesia, Alumni, Bandung,
1991.
Syamsudin M, Mengenai Tipologi Perilaku
Hakim Dalam Memutuskan Perkara,
Majalah Media Informasi Hukum Dan
Keadilan, Mei-Juni 2013

101

Anda mungkin juga menyukai