Anda di halaman 1dari 461

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Penegakan hukum kini selalu menjadi sorotan publik. Masyarakat kian

hari semakin kritis dalam menyikapi penegakan hukum di Indonesia, terlebih

ketika mencederai rasa keadilan dan melibatkan rakyat kecil. Penegakan hukum

dalam kerangka Sistem Peradilan Pidana memang sangat diharapkan memberikan

keadilan bagi masyarakat, namun faktanya memberikan keadilan bagi seluruh

masyarakat tidaklah mudah.

Banyak kasus yang menjadi sorotan publik, diantaranya adalah pencurian

kayu bakar di kawasan hutan lindung Sarikuning di Kabupaten Jembrana Bali

oleh seorang nenek yang bernama Ni Komang Kanten (55 tahun) dari Dusun

Sarikuning, Jembrana Bali yang terjadi pada tahun 2015. Ni Komang Kanten

dalam kasus ini mengumpulkan kayu bakar di kawasan hutan lindung sehingga

dituntut dengan tindak pidana pencurian.1 Kasus lainnya adalah kasus pencurian

kayu oleh seorang kakek yang bernama Harso Taruno (67 tahun) pada tahun 2014

di Gunungkidul Yogyakarta. Harso Taruno dituntut melakukan pencurian karena

menyingkirkan satu balok kayu di lahan yang bersebelahan dengan lahan Balai

Konservasi Sumber Daya Alam.2

1
http://denpostnews.com, dibuka pada tanggal 14 Agustus 2016, diakses pada pukul
13.57 WITA.
2
Yoachim Agus Tridiatno, 2015, Keadilan Restoratif, Cetakan Kelima, Cahaya Atma
Pustaka, Yogyakarta, h. 3.

1
2

Kasus yang menghebohkan juga terjadi dalam kasus pencurian 3 (tiga)

buah kakao oleh nenek Minah (55 tahun) pada tahun 2009 di Jawa Tengah. Akibat

memungut 3 (tiga) buah biji kakao yang terjatuh di tanah yang akan dibawa

pulang untuk dijadikan benih nenek Minah dituduh melakukan pencurian.3 Kasus

yang memilukan juga terjadi pada Aal (15 tahun) yang dituntut dengan kasus

pencurian sandal jepit pada tahun 2011 di Palu karena Aal mengambil sandal

milik polisi yang ia temukan di luar pagar.4 Kasus lainnya adalah kasus pencurian

sebuah semangka karena lapar oleh Basar Suyanto (45 tahun) dan Kholil (49

tahun) pada tahun 2009 di Kediri. 5 Kasus-kasus pencurian tersebut dalam

praktiknya dominan dituntut dengan Pasal 362 KUHP sebagai pencurian biasa,

tidak dikenakan Pasal 364 KUHP sebagai pencurian ringan (tindak pidana

ringan).

Tidak hanya kasus pencurian ringan, pada tahun 2009 Prita Mulyasari

(32 tahun) yang mengkritik pelayanan kesehatan sebuah Rumah Sakit di sosial

media dianggap menghina pihak Rumah Sakit Omni Internasional di Jakarta. Prita

dijerat pasal berlapis, yaitu Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik,

Pasal 311 KUHP tentang pencemaran nama baik secara tertulis, serta Pasal 27

ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

3
Nur Muhammad Wahyu Kuncoro, 2012, 69 Kasus Hukum Mengguncang Indonesia,
Raih Asa Sukses, Jakarta, h. 145-146.
4
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 3, lihat juga Nur Muhammad Wahyu Kuncoro,
Op.Cit, h. 149-151.
5
Muhammad Taufiq, 2014, Keadilan Substansial Memangkas Rantai Birokrasi Hukum,
Cetakan Pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta (Selanjutnya disebut Muhammad Taufiq I), h. 161.
3
6
Informasi dan Transaksi Elektronik. Kasus-kasus tersebut pada umumnya

diproses sampai ketingkat pengadilan, pelaku tetap dikenakan penahanan, dan

tidak diberlakukan acara pemeriksaan cepat dengan hakim tunggal. Kasus-kasus

ini hanyalah sebagian kecil kasus tindak pidana ringan yang telah menjadi sorotan

publik karena menyentuh rasa kemanusiaan dan rasa keadilan masyarakat.

Gustav Radbruch menyatakan bahwa, “The idea of law is defined

throught a triad of justice, utility, and certainty”. 7 Hukum dituntut untuk

memenuhi tujuan hukum yang oleh Gustav Radbruch disebut sebagai 3 (tiga) nilai

dasar dari hukum yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. 3 (tiga) nilai

dasar dari hukum ini menjadi tujuan ideal yang diharapkan mampu dipenuhi dan

berjalan berdampingan dalam kehidupan masyarakat, namun hal ini senyatanya

sulit untuk dipenuhi. Muhammad Taufiq menyatakan bahwa, “...seringkali antara

kepastian hukum terjadi benturan dengan keadilan, atau benturan antara kepastian

hukum dengan kemanfaatan”.8

Muhammad Taufiq juga mengemukakan bahwa mengacu pada

penyelesaian tindak pidana ringan yang diproses sampai ke tingkat pengadilan

menunjukkan bahwa penyelesaian kasus yang dilakukan oleh aparat penegak

hukum ternyata masih jauh dari rasa keadilan yang diharapkan masyarakat.

Penanganan yang terlalu terpaku dengan peraturan perundang-undangan sehingga

dapat diketahui pemahaman aparat penegak hukum terhadap hukum menjadi salah

satu penyebab gagalnya mewujudkan keadilan substansial. Penyelesaian tindak


6
Aloysius Soni BL de Rosari, 2010, Elegi Penegakan Hukum, Cetakan Pertama,
Kompas Media Nusantara, Jakarta, h. 169-176.
7
Lask, Radbruch, and Dabin, 1950, The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and
Dabin, Translate by Kurt Will, etc, Massacilusetts Harvards Univercity press, Cambrigg, h. 107.
8
Muhammad Taufiq I, Op.Cit, h. 2.
4

pidana ringan ini terjadi karena kebanyakan aparat penegak hukum mereduksi

pemahaman bahwa menegakkan hukum berarti menegakkan undang-undang.

Padahal, masalah penegakan hukum tidak hanya bisa dilihat dari kacamata

undang-undang saja, tetapi harus dilihat secara utuh dengan melibatkan semua

unsur yang ada, seperti moral, perilaku, dan budaya. Aparat penegak hukum kerap

menerapkan seluruh bunyi undang-undang terhadap rakyat kecil, namun tidak

demikian jika berkaitan dengan masyarakat kelas atas, misalnya dalam kasus

Rasyid Rajasa.9

Fenomena kasus-kasus tindak pidana ringan yang diproses sampai ke

tingkat pengadilan juga dinyatakan oleh Mahrus Ali. Mahrus Ali menyatakan

bahwa dalam fenomena ini hakim digambarkan hanya sebagai “corong undang-

undang” sehingga seringkali putusan-putusannya tidak mencerminkan rasa

keadilan. Kasus-kasus ini juga dianggap sebagai korban penegakan hukum yang

prosedural dan mengabaikan nilai-nilai keadilan. 10 Hal-hal inilah yang menjadi

penyebab gagalnya pemenuhan keadilan dalam penyelesaian tindak pidana ringan

9
Muhammad Taufiq I, Op.Cit, h. 160-161.
10
Mahrus Ali, 2013, Membumikan Hukum Progresif, Cetakan Pertama, Aswaja
Pressindo, Yogyakarta, h.2. Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa hukum prosedural akan
menghasilkan output berupa keadilan prosedural atau formal. Di kalangan hukum masih sering
prosedur diunggulkan di atas substansi. Secara empirik dapat disaksikan bahwa ketidakberhasilan
memberikan keadilan di Indonesia lebih terletak pada kekalahan prosedur, yaitu kekalahan dalam
perang yang sifatnya lebih prosedural dari pada substansial. Institusi hukum (khususnya hukum
modern) dalam penyelesaian persoalan, sangat bertumpu pada prosedur. Ciri terpenting dalam
hukum dalam hukum modern adalah bekerja secara prosedural. Kalaupun hukum dianggap sebagai
institusi dalam masyarakat yang bertugas memberikan keadilan maka caranya juga dilakukan
secara prosedural. Pandangan Satjipto Rahardjo ini memberikan gambaran bahwa penegakan
hukum yang prosedural merupakan penegakan hukum yang lebih mengutamakan prosedur dari
pada substansi sehingga yang dihasilkan adalah keadilan prosedural. Keadilan prosedural belum
tentu dapat memberikan keadilan yang dibutuhkan rakyat sebagaimana yang dikemukan oleh
Satjipto Rahardjo bahwa, “Ketidakberhasilan memberikan keadilan di Indonesia lebih terletak
pada kekalahan prosedur”. Lihat Satjipto Rahardjo, 2009, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia,
Cetakan Ketiga, Kompas, Penerbit Buku Kompas, Jakarta (Selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo
I), h. 28 dan h. 67.
5

karena lebih mengutamakan kepastian hukum daripada rasa keadilan dan

kemanfaatan.

Muhammad Taufiq juga mengemukakan bahwa penyelesaian tindak

pidana ringan yang diproses sampai ke tingkat pengadilan menunjukkan bahwa

hukum tidak membumi, bahkan mencederai rasa keadilan masyarakat.

Penanganan atas tindak pidana seperti halnya kekuatan jaring laba-laba yang

hanya mampu menjerat kejahatan-kejahatan kecil.11

Menurut Suteki fenomena peradilan terhadap wong cilik (the poor)

membuktikan bahwa hukum hanya dipahami sebatas skeleton legal formalistik

yang terasing (teralienasi) dengan masyarakatnya sehingga seringkali mengalami

kebuntuan legalitas formalnya. Hukum di Indonesia seolah seperti sebilah pisau

yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Terhadap orang kecil (the poor) hukum

bersifat represif, sedangkan terhadap orang besar (the have) hukum bersifat

protektif dan memihaknya. Fenomena ini seolah menunjukkan bahwa penegakan

hukum menemui kebuntuan legalitas formalnya untuk melahirkan keadilan

substantif. Hal ini disebabkan karena penegak hukum terpenjara oleh ritual

penegakan hukum yang mengandalkan materi, kelembagaan, serta prosedur yang

kaku dan anti dengan inisiasi rule breaking.12 Hal-hal ini semakin menegaskan

11
Muhammad Taufiq I, Op.Cit, h. 4-5.
12
Suteki, 2015, Masa Depan Hukum Progresif, Cetakan Pertama, Thafa Media,
Yogyakarta, h. 6-7. Terkait dengan keadilan substantif, Munir Fuady menguraikan bahwa keadilan
substansial (substansial juctice) adalah bukan sekedar penerapan hukum yang sama bagi orang
dalam kualifikasi yang sama dan berbeda bagi orang dalam kualifikasi berbeda. Keadilan
substansial mempersoalkan hukum yang akan diterapkan tersebut memang sudah adil. Keadilan
yang substantif ini mengacu pada hasil yang adil (just outcome) bukan proses/prosedur formal
(fair procedure) dalam keadilan formal. Keadilan substansial sangat diperlukan untuk mencapai
keadilan bagi masyarakat karena keadilan prosedural tidak selalu dapat memberikan keadilan.
Lihat, Munir Fuady, 2010, Dinamika Teori Hukum, Cetakan Kedua, Ghalia Indonesia, Bogor, h.
113-117.
6

bahwa kekakuan hukum dalam sebuah legalitas formal juga menjadi penyebab

tidak terpenuhinya keadilan masyarakat.

Fenomena yang terjadi menunjukkan bahwa banyak implikasi atau

dampak yang ditimbulkan akibat penanganan tindak pidana ringan yang diproses

hingga ke tingkat pengadilan, diantaranya yaitu:

1. Ketidakadilan

2. Waktu yang lama/prosedur yang panjang dan biaya mahal

3. Penumpukan perkara

4. Peningkatan jumlah narapidana di Lembaga Pemasyarakatan

5. Menambah beban APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara)

6. Stigma/labelisasi pelaku

7. Tidak selalu menyelesaikan masalah/berkepanjangan.

Mahrus Ali menyatakan bahwa kasus-kasus tindak pidana ringan yang

diselesaikan sampai ke pengadilan mencerminkan praktek penegakan hukum yang

dinilai oleh masyarakat tidak mencerminkan keadilan. 13 Tindak pidana ringan

yang diproses hingga ke tingkat pengadilan terutama berdampak pada rasa

ketidakadilan.

Umi Rozah mengemukakan bahwa proses peradilan pidana dilakukan

dengan proses yang panjang, sehingga memerlukan waktu yang panjang, biaya,

dan tenaga yang besar untuk satu kasus atau perkara pidana. Keadaan ini

13
Mahrus Ali, Op.Cit, h. 2.
7

menyebabkan timbulnya beban penumpukan perkara pidana bagi pengadilan. 14

Hal ini tentu melelahkan dan menguras banyak waktu, tenaga, dan pikiran, karena

ini pula tidak jarang terjadi bahwa korban ingin menarik laporannya, namun

terhalang karena laporan tidak boleh dicabut sehingga proses harus tetap

dilanjutkan. Upaya pengembalian atau ganti rugipun tidak akan efisien karena

menunggu proses dan prosedur yang sedang berjalan.

Penanganan tindak pidana ringan yang diproses hingga ke tingkat

pengadilan ini juga berakibat pada peningkatan jumlah narapidana di Lembaga

Pemasyarakatan. Mengingat kondisi Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia saat

ini, nampaknya bukan menjadi solusi yang tepat untuk mempidana penjara

seseorang yang melakukan tindak pidana ringan. Romli Atmasasmitha

menegaskan bahwa telah terjadi overkapasitas penghuni lapas, yang dalam hal ini

penjeraan tidak terjadi. Terkait dengan tingkat recidivisme Romli Atmasasmitha

juga menyatakan bahwa “dikeluarkan dari Lapas perminggu rata-rata adalah 250

orang, kembali masuk ke Lapas per minggu rata-rata 250 orang”.15

Romli Atmasasmitha juga menyebutkan bahwa Lapas telah menjadi

sekolah tinggi kejahatan.16 Kondisi Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia yang

menunjukkan kelebihan kapasitas, sehingga berakibat lemahnya pengawasan yang

dapat memberikan kesempatan bagi narapidana untuk berinteraksi lebih banyak

14
Umi Rozah, 2012, “Konstruksi Politik Hukum Mediasi Penal Sebagai Alternatif
Penyelesaian Perkara Pidana” dalam Agustinus Pohan, Topo Santoso, dan Martin Moerings (ed),
Hukum Pidana Dalam Perspektif, Cetakan Pertama, Pustaka Larasan, Denpasar Bali, h. 310-311.
15
Romli Atmasasmitha, 2017, Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Tiada Kesalahan
Tanpa Kemanfaatan (Geen Straf Zonder Schuld, Geen Schuld Zonder Nut), Makalah pada
Penataran Dosen dan Praktisi Hukum Pidana & Kriminologi Tingkat Nasional Tahun 2017,
Ikhabara dan Mahupiki, Surabaya, 29 November 2017-1 Desember 2017, h. 3.
16
Ibid, h. 6.
8

dengan narapidana lainnya dan belajar mengenai kejahatan lebih banyak, dengan

demikian anggapan bahwa Lembaga Pemasyarakatan merupakan tempat bagi

orang belajar kejahatan seperti munculnya para residivis adalah anggapan yang

perlu ditindaklanjuti. 17 Munculnya kasus di Lembaga Pemasyarakatan seperti

misalnya peredaran narkoba di dalam Lembaga Pemasyarakatan tentu

menimbulkan pesimistis dan sikap skeptis terhadap keberhasilan Lembaga

Pemasyarakatan dalam upaya pembinaan dan resosialisasi narapidana.18

Dampak lainnya dengan diprosesnya tindak pidana ringan sampai pada

tingkat pengadilan adalah menambah beban negara dalam APBN (Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara), bahkan telah menimbulkan hutang negara untuk

membiayai konsumsi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Cahya Wulandari

mengutip pernyataan dari Aziz Syamsudin (pimpinan Komisi III DPR RI) dalam

Seminar Nasional “Pembaharuan KUHP dan KUHAP tiada ujung” menyatakan

bahwa sampai dengan bulan April 2012 negara masih menanggung hutang terkait

dengan uang makan narapidana yang belum dibayarkan ke Lembaga

Pemasyarakatan seluruh Indonesia sejumlah kurang lebih 250 milyar. Cahya

Wulandari menyatakan bahwa banyaknya penumpukan perkara di Mahkamah

Agung dan jumlah hutang negara kepada Lembaga Pemasyarakatan sebagai akibat

tunggakan uang makan narapidana tentunya menimbulkan keprihatinan tersendiri

dalam dunia hukum kita. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya perkara tindak

17
Kondisi Lembaga Pemasyarakatan menunjukkan kelebihan kapasitas (data dari Sistem
database pemasyarakatan), Lihat http://smslap.ditjenpas.go.id/.
18
Fakta yang diungkap oleh Kepala Badan Narkotika (BNN) Budi Waseso tentang
pengendalian narkotika dari dalam Lapas atau penjara. Lihat, www.koran-jakarta.com, dibuka
pada tanggal 5 Mei 2018, diakses pada pukul 15.00 wita.
9

pidana ringan dan pencurian dengan nilai kerugian yang relatif kecil diselesaikan

melalui pengadilan.19

Terkait dengan reaksi masyarakat terhadap penanganan suatu perkara

pidana, maka sesuai dengan teori labeling (labeling theory) maka pelaku akan

mendapatkan stigma atau labelisasi sebagai pelaku kejahatan. Status jahat ini

diberikan oleh Sistem Peradilan Pidana maupun oleh masyarakat luas.20 Hal ini

tentu sangat merugikan dalam jangka waktu yang lama terutama jika melibatkan

seorang anak dan akan menambah penderitaan jika pelaku sudah lanjut usia.

Penanganan tindak pidana ringan yang diproses hingga ke tingkat

pengadilan juga tidak selalu mampu menyelesaikan masalah/konflik. Nazarkhan

Yasin menulis bahwa berdasarkan kenyataannya, putusan pengadilan tidak

mampu memberikan penyelesaian yang memuaskan. Putusan pengadilan tidak

mampu memberikan kedamaian dan ketentraman kepada pihak yang berperkara.

Salah satu pihak pasti menang dan pihak lainnya kalah. Keadaan menang kalah ini

tidak membawa kedamaian, namun dapat menumbuhkan rasa dendam dan

permusuhan serta kebencian.21

Mengacu pada penyelesaian kasus tindak pidana ringan Muhammad

Taufik menyatakan bahwa begitu mudahnya seseorang dipidanakan atas

19
Cahya Wulandari, 2013, Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif,
Cetakan Pertama, Thafa Media, Yogyakarta, h. 661. Romli Atmasasmitha juga mencoba
mengkalkulasi pengeluaran uang negara untuk kebutuhan biaya makan narapidana/tahanan/tahun:
a. Jumlah narapidana/tahanan tahun 2017 = Rp. 200.000.
b. Biaya makan Rp. 15.000/hari/per orang x Rp. 200.000 = Rp. 3.000.000.000 (tiga milyar)/hari.
c. Hukuman penjara 1 (satu) tahun: 12 x Rp. 3.000.000.000 = Rp. 36 M.
d. Hukuman penjara 5 tahun x 12 = Rp. 180 M. Lihat, Ibid, h. 5.
20
Topo Santoso, 2001, Kriminologi, Cetakan Pertama, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, (Selanjutnya disebut Topo Santoso I), h. 98.
21
Nazarkhan Yasin, 2004, Mengenal Klaim Konstruksi & Penyelesaian Sengketa
Konstruksi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 88.
10

perbuatan yang ia lakukan, walaupun itu hanyalah kasus-kasus kecil yang

sebenarnya dapat diselesaikan di luar persidangan.22 Hal ini menunjukkan bahwa

sebenarnya kasus-kasus tersebut tidak perlu sampai di tingkat pemeriksaan di

pengadilan apabila penegak hukum kita berfikir progresif dan responsif.

Fenomena dalam penyelesaian kasus tindak pidana ringan ini

menunjukkan bahwa kepastian hukum tidak selalu dapat memberikan keadilan

bagi masyarakat dan pencari keadilan. Kepastian hukum juga tidak selalu dapat

menyelesaikan masalah atau dengan kata lain undang-undang tidak selalu mampu

memberikan keadilan. Fenomena ini juga menjadi dasar penulis untuk mengkaji

tindak pidana ringan untuk diselesaikan melalui mediasi penal karena telah

menjadi kebutuhan hukum masyarakat.

Mahrus Ali menyatakan bahwa, “...ketika hukum formal dinilai tidak

dapat menciptakan keadilan, maka penegak hukum harus berani menerobos aturan

tersebut”. 23 Pandangan ini mengarah pada diperlukannya terobosan melalui

sebuah alternatif penyelesaian kasus yang mampu memberikan keadilan bagi

seluruh masyarakat. Alternatif penyelesaian kasus yang dikenal saat ini adalah

“mediasi penal”.

Barda Nawawi Arief dalam bukunya yang berjudul Mediasi Penal :

Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Pengadilan menulis bahwa mediasi penal

merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan

yang biasa dikenal dengan istilah ADR atau Alternative Dispute Resolution, ada

22
Muhammad Taufiq, 2012, Mahalnya Keadilan Hukum; Belajar dari Kasus Lanjar,
Cetakan Pertama, MT&P Law Firm, Surakarta (Selanjutnya disebut Muhammad Taufiq II), h. v.
23
Mahrus Ali, Op.Cit, h. 2.
11

pula yang menyebutnya Appropriate Dispute Resolution. ADR pada umumnya

digunakan di lingkungan kasus-kasus perdata, tidak untuk kasus-kasus pidana.24

Mengacu pada berbagai instrumen Internasional Umi Rozah

menyatakan bahwa mediasi penal adalah suatu proses yang mempertemukan

korban dan pelaku tindak pidana jika mereka mengkehendakinya secara bebas

untuk secara aktif berpartisipasi dalam menyelesaikan masalah yang muncul dari

kejahatan melalui bantuan seorang pihak ketiga yang tidak memihak atau disebut

sebagai mediator. 25 Pandangan ini menunjukkan bahwa mediasi penal adalah

sebuah alternatif penyelesaian perkara pidana yang berupaya untuk

mempertemukan korban dan pelaku tindak pidana untuk menyelesaikan masalah

yang muncul dari kejahatan dengan bantuan seorang mediator.26

Mediasi penal telah dikenal diberbagai negara dan telah mewarnai

perkembangan dan pembaharuan hukum pidana di dunia. Hal ini juga telah

dikemukakan oleh Umi Rozah yang menulis bahwa mediasi penal telah dilakukan

oleh berbagai negara yakni antara lain: Amerika, Kanada, San Fransisco, Italia,

Belgia, Austria, Prancis, dan Jerman. Praktek mediasi penal memang masih

diterapkan dalam penyelesaian perkara pidana di beberapa daerah di Indonesia

yakni dalam peradilan adat, namun mediasi penal sebagai sebuah lembaga

penyelesaian perkara pidana belum populer dilakukan dalam penyelesaian perkara

24
Barda Nawawi Arief, 2008, Mediasi Penal : Penyelesaian Perkara Pidana di Luar
Pengadilan, Cetakan Pertama, Pustaka Magister, Semarang (Selanjutnya disebut Barda Nawawi
Arief I), h. 3.
25
Umi Rozah, Op.Cit, h. 321.
26
Mediasi penal memang mengupayakan pertemuan pelaku dengan korban, namun hal
ini bukan merupakan suatu keharusan karena prinsip utama mediasi penal adalah komunikasi.
Mediasi penal seperti yang diterapkan di Inggris mengenal mediasi penal langsung (pertemuan
tatap muka antara korban dan pelaku) dan tidak langsung (tidak difasilitasi pertemuan sesi tatap
muka secara langsung antara korban dan pelaku).
12

pidana. Mediasi penal belum poluler dilakukan untuk menyelesaikan perkara

pidana sebagai bagian dari proses peradilan pidana di Indonesia. 27 Hal ini

menunjukkan bahwa konsep mediasi penal memang dikenal dan telah

dipraktekkan pada masyarakat hukum adat di Indonesia, namun mediasi penal

belum memiliki eksistensi sebagai lembaga formal dalam penyelesaian perkara

pidana.

Secara filosofis, hukum hendaknya mampu memberikan keadilan bagi

seluruh masyarakat. Hal ini sebagaimana yang diamanatkan dalam sila ke-lima

Pancasila yaitu, “Keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia” yang merupakan

tujuan dari negara Indonesia (pembukaan Undang-Undang Dasar 1945).

Fenomena bahwa rakyat kecil (the poor) sangat rentan diperlakukan tidak adil

menggambarkan perlunya pembenahan dengan memberikan sebuah perlindungan

hukum. Alternatif penyelesaian kasus (mediasi penal) yang memberikan keadilan

bersifat pengayoman sangat diharapkan dapat menjadi media

pengayoman/sarana/perlindungan untuk seluruh masyarakat terutama untuk rakyat

kecil (the poor). Tidak hanya bagi masyarakat miskin, tetapi juga berlaku bagi

masyarakat yang termaginalkan dan kesulitan akses untuk mendapatkan keadilan.

Masyarakat menginginkan semua pihak terlibat dalam penyelesaian suatu

kasus pidana, namun hukum pidana Indonesia saat ini belum memberikan ruang

karena fokus utama ditujukan pada pelaku kejahatan, sedangkan korban tidak

cukup mendapat perhatian. Keterlibatan korban dan masyarakat dalam

penyelesaian kasus pidana nampaknya dapat menjadi sebuah sarana untuk

27
Umi Rozah, Op.Cit, h. 310.
13

mencapai keadilan bagi semua pihak dengan berlandaskan musyawarah mufakat

sebagaimana diamanatkan dalam Sila ke-IV Pancasila yakni, “Kerakyatan yang

dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawatan/Perwakilan”. Secara

filosofis, mediasi penal akan memberikan kesempatan yang sama bagi semua

pihak yang terkait untuk terlibat dalam penyelesaian perkara pidana. Mediasi

penal sebagai media pengayoman/sarana mencapai keadilan yang melibatkan

semua pihak dalam hal ini tentu menarik untuk dikaji.

Mediasi penal nampaknya dapat menjadi sebuah jawaban atau solusi

dalam mengatasi ketidakadilan dan permasalahan-permasalahan yang dialami oleh

para pihak yang berperkara dan penegak hukum akibat penyelesaian tindak pidana

ringan melalui peradilan pidana. Mediasi penal menawarkan sebuah alternatif

penyelesaian perkara pidana dengan berbagai manfaat.

Manfaat atau alasan pembenar mediasi penal dalam penyelesaian perkara

pidana diantaranya adalah:

1. Lebih cepat, sederhana, dan biaya lebih murah

2. Menempatkan posisi korban lebih kuat

3. Penghukuman lebih fleksibel

4. Sistem Peradilan Pidana lebih efektif

5. Mencegah/mengurangi labelisasi

6. Mencegah permusuhan/kebencian yang berlarut-larut

Mediasi penal merupakan penyelesaian kasus yang lebih cepat,

sederhana, dan murah, sehingga dapat membantu penegak hukum dan Sistem

Peradilan Pidana untuk meringankan beban peradilan (mengurangi penumpukan


14

perkara), mengurangi beban Lembaga Pemasyarakatan (mengurangi narapidana

secara kuantitas), serta mengurangi beban APBN (Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara) dalam pembiayaan narapidana. Mediasi juga menguntungkan

pihak yang berperkara karena efektifitas dan efisiensi yang dapat dicapai dalam

proses penyelesaiannya. Pengembalian kerugian kepada korban kejahatan juga

semakin cepat dapat dilakukan.28

DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur menyatakan bahwa sifat dasar

mediasi penal adalah sama dengan mekanisme musyawarah. Van Ness dan Strong

yang dikutip dari DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur menulis bahwa dalam

mediasi penal, korban dan pelaku akan berhadapan langsung sebagai orang, bukan

sebagai dua kubu yang saling bermusuhan tanpa wajah, yang membuat mereka

memahami perbuatan yang dilakukan, kondisi yang melatarbelakangi, dan apa

yang harus dilakukan untuk memperbaiki keadaan. 29 Hal ini akan memulihkan

hubungan antara pihak korban dengan pelaku, serta pihak yang terkait

(keluarga/masyarakat) sehingga tidak ada permusuhan atau rasa kebencian yang

berlarut-larut. Kondisi ini juga akan menempatkan posisi korban lebih kuat untuk

mendapatkan pemulihan dan pemenuhan hak-haknya sebagai korban kejahatan.

Penyelesaian tindak pidana melalaui pengadilan sesuai dengan teori

labeling (labeling theory) tentu berdampak pada pemberian stigma atau labelisasi

28
DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur menyatakan bahwa mediasi penal diperlukan
karena: dapat mengurangi penumpukan perkara, merupakan salah satu proses penyelesaian
sengketa yang cepat, murah, dan sederhana, memberikan akses luas untuk memperoleh keadilan,
memperkuat dan memaksimalkan fungsi pengadilan dalam penyelesaian sengketa disamping
proses menjatuhkan pemidanaan. Lihat, DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, 2011, Mediasi Penal:
Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia, Cetakan Pertama, Indie Publishing,
Depok, h. 89.
29
Ibid, h. 7-88.
15

sebagai pelaku kejahatan. 30 Berdasarkan hal ini, penyelesaian di luar pengadilan

melalui mediasi penal akan dapat mencegah penggunaan pemidanaan yang

merugikan dan labelisasi bagi pelaku kejahatan, sehingga tidak ada status jahat

yang diberikan oleh Sistem Peradilan Pidana dan reaksi masyarakat untuk

memberikan stigma/label kepada pelaku kejahatan dapat dikurangi/ditekan.

Mediasi penal pada konteks keadilan restoratif, memberikan keadilan


31
bagi semua pihak. Uraian ini menunjukkan bahwa mediasi penal dapat

bermanfaat bagi semua pihak, yakni bagi korban, pelaku,

masyarakat/keluarga/pihak terkait, dan juga bagi penegak hukum/negara.

Penyelesaian perkara pidana melalui mediasi penal memang memiliki

banyak kelebihan, namun metode ini juga memiliki kelemahan. DS. Dewi dan

Fatahillah A. Syukur mengutip hasil penelitian Mark Umbreit dan Robert B.

Coates menyebutkan bahwa kelemahan mediasi penal yang menimbulkan

kekecewaan bagi korban diantaranya yaitu:

1. Kurangnya tindak lanjut pelaku terhadap kesepakatan yang telah dibuat.

2. Penundaan antara perbuatan kriminal yang telah dilakukan dan solusinya

karena proses mediasi penal.

3. Banyaknya waktu yang dibutuhkan untuk berpartisipasi dalam proses mediasi

penal (apabila menggunakan shuttle mediation).32

30
Topo Santoso, Loc.Cit.
31
Yoachim Agus Tridiatno mengemukakan bahwa keadilan restoratif adalah bentuk
keadilan yang berpusat pada kebutuhan korban, pelaku kejahatan, dan masyarakat. 31 Lihat,
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 27.
32
Shuttle mediation artinya dalam proses mediasi mediator dapat bertemu kedua belah
pihak ditempat yang terpisah. Lihat DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Op.Cit, h. 89.
16

DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur juga menambahkan hambatan-

hambatan yang menjadi kelemahan mediasi penal. DS. Dewi dan Fatahillah A.

Syukur menyatakan bahwa hambatan utama dari pelaksanaan mediasi penal

adalah penolakan dari pihak utama yang terlibat, yakni korban dan pelaku.

Korban enggan berhadapan langsung dengan pelaku karena takut dan marah

terhadap pelaku, sementara pelaku merasa malu dan bersalah ketika berhadapan

dengan korban, serta adanya kewajiban untuk bertanggung jawab dalam proses

mediasi penal. 33 Kelemahan-kelemahan ini nampaknya dapat menjadi masukan

dalam mengantisipasi dan dalam perbaikan pelaksanaan proses mediasi penal

kedepan.

Mediasi penal memiliki banyak manfaat atau keunggulan apabila

dibandingkan dengan penyelesaian melalu pengadilan (litigasi). Alternatif

penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan ini kemudian menjadi dilema

karena bertentangan dengan prinsip umum dalam hukum pidana yang tidak

mengenal adanya perdamaian. Hal ini merupakan problem teoritis yang

nampaknya akan menjadi paradigma yang penghambat dalam penerapan mediasi

penal di Indonesia, namun perlu diketahui bahwa dalam praktiknya perdamaian

dalam perkara pidana memang terjadi dan telah diakui dalam yurisprudensi di

Indonesia.

Lilik Mulyadi mengemukakan bahwa pada hukum positif Indonesia

asasnya perkara pidana tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, walaupun

dalam hal-hal tertentu dimungkinkan adanya penyelesaian kasus di luar

33
DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Loc.Cit.
17

pengadilan melalui diskresi aparat penegak hukum, mekanisme perdamaian,

lembaga adat, dan lain sebagainya. Praktik sosial pada masyarakat Indonesia

menunjukkan bahwa mediasi penal sudah lama dikenal dan menjadi tradisi di

berbagai daerah di Indonesia, diantaranya adalah di masyarakat Papua, Aceh,

Bali, Sumatra Barat dan hukum adat Lampung. 34 Hal ini menunjukkan bahwa

secara sosiologis konsep mediasi penal telah ada dalam prakteknya dan sudah

tumbuh sejak lama sejalan dengan eksistensi peradilan adat/hukum adat di

daerah-daerah di Indonesia. Konsep mediasi penal telah menjadi budaya bangsa

Indonesia karena pada hakikatnya mediasi penal sebagai cerminan dari ideologi

bangsa (Pancasila) dan kearifan lokal yang menjelma dalam musyawarah

mufakat yang berlandaskan pada asas kekeluargaan.

Penerapan mediasi penal juga membawa dilema lainnya karena

bertentangan dengan nilai-nilai dalam due process model yang mengutamakan

“formal adjudicative” dan “adversary fact-findings” sehingga model ini menolak


35
“informal fact-process”. Muladi menyatakan bahwa due process model

menganggap proses peradilan sebagai coercive (menekan), restricting

(membatasi) dan merendahkan martabat (demadge) sehingga proses peradilan

harus dikendalikan agar dapat dicegah penggunaannya sampai pada titik

optimum karena kekuasaan cenderung disalahgunakan atau memiliki potensi

34
Lilik Mulyadi, 2015, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia,
Cetakan Pertama, Alumni, Bandung, h. 3-4.
35
Peradilan pidana di Indonesia (berdasarkan KUHAP) mengarah pada due process
model. Dapat dikatakan bahwa Indonesia menganut due process model yang memiliki karakteristik
preventif, presumption of innocence, formal-adjudicative, legal guilt, dan efektivitas serta dengan
tipologi negative model. Lihat Muladi, 1996, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Universitas
Diponegoro, Semarang, h. 21.
18

untuk menempatkan individu pada kekuasaan yang koersif dari negara.36 Hal ini

menunjukkan problem teoritis lainnya bahwa mediasi penal bertentangan dengan

due process model dalam Sistem Peradilan Pidana, namun mediasi penal sebagai

alternatif penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan nampaknya dapat

menjadi solusi mewujudkan due process model yang lebih baik.

Mediasi penal jika dibandingkan dengan penyelenggaraan Sistem

Peradilan Pidana saat ini juga memuat perbedaan fokus, karena dalam Sistem

Peradilan Pidana di Indonesia secara teoritis lebih menitik beratkan kepada

posisi pelaku yang diadili, sedangkan korban tidak mendapatkan cukup

perhatian. Mediasi penal berupaya memberikan keadilan bagi semua pihak

sehingga menempatkan korban pada posisi yang penting. Perbedaan ini menarik

untuk dikaji karena korban sepatutnya diberikan keadilan dan pemenuhan hak-

haknya sebagai korban kejahatan atau pemulihan/perbaikan.

Kini, mediasi penal menjadi topik yang menarik untuk dikaji karena

meskipun bersinggungan dengan problem teoritis, namun mediasi penal

dibutuhkan dalam hukum di Indonesia. Hukum pidana memang pada prinsipnya

tidak mengenal adanya perdamaian, namun faktanya dapat ditemukan

penyelesaian di luar pengadilan terhadap kasus pidana. James Hasudungan

Hutajulu menyatakan bahwa berdasarkan data Polres Malang telah terjadi kasus

pencurian ringan yang diselesaikan melalui mediasi pada tahun 2012. Kasus

pencurian ringan ini terjadi di MOG Jalan Kawi Malang yang dilakukan oleh

Nuna Octaviani (18 tahun), bertempat tinggal di Jl. Jodipan Wetan Gang 1 Kota

36
Ibid, h. 5.
19

Malang. Nuna Octaviani telah didapati melakukan pencurian satu potong

pakaian di Center Point MOG Malang yang berharga sekitar Rp. 120.000,00.

Pihak Kepolisian Kota Malang meminta kepada pelapor yaitu Kardi Wantoko

(Pihak MOG) untuk melakukan mediasi karena barang yang dicuri itu jumlahnya

hanya sedikit.37

Tindak pidana pencurian ringan di Malang yang diselesaikan di luar

pengadilan juga dapat ditemukan dalam kasus Diyan Prayogo (15 tahun) yang

melakukan pencurian di Center Point MOG Malang. Barang yang dicuri adalah

sebuah pakaian yang harganya berkisar 80.000-an (delapan puluh ribuan). Pihak

Polres Malang Kota meminta kepada pelapor untuk melakukan mediasi.38

Praktik lainnya yang sering terjadi adalah dalam pelanggaran lalu lintas.

Eva Achjani Zulfa menyatakan bahwa dalam pelanggaran lalu lintas, Polda Metro

Jaya mengeluarkan surat tilang atas pelanggaran lalu lintas di jalan raya sejumlah

kurang lebih dua ribu lembar perbulan. 1076 perkara lalu lintas yang masuk ke

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan di tahun 2004 dan 3.904 di tahun 2006,

seluruhnya dikenakan pidana denda, demikian pula di Pengadilan Negeri Bitung

yakni sejumlah 13.265 perkara pelanggaran lalu lintas yang masuk semuanya

diputus dengan pidana denda. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat

37
James Hasudungan Hutajulu, 2014, Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian
Perkara Pencurian Ringan (Studi Di Polres Malang Kota), Jurnal Arena Hukum: Vol 7, No 3,
Malang, h. 391-392. Mediasi adalah salah satu bentuk Alternative Dispute Resolution (ADR) yang
dikenal dalam hukum perdata. Pasal 1 angka 7 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung Republik
Indonesia menyatakan bahwa mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses
perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Dalam
hukum pidana, mediasi dikenal dengan nama mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara
pidana di luar pengadilan dengan melibatkan mediator.
38
Ibid.
20

memperhitungkan pengeluaran atau biaya yang akan dikeluarkan dalam

penyelesaian suatu perkara yang dihadapi. Dibandingkan menghadapi birokrasi

yang panjang dan hasilnya akan sama saja, maka penyelesaian langsung melalui

polisi menjadi pilihan utama.39

Setiap masyarakat adat di Indonesia juga memiliki tradisi atau kearifan

lokal dalam menyelesaikan permasalahan. Masyarakat adat di Indonesia pada

dasarnya menggunakan asas musyawarah mufakat dengan pendekatan

kekeluargaan untuk menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi, termasuk dalam

penyelesaian perkara pidana. Salah satunya misalnya di Bali yang memiliki desa

adat pakraman yang berperan dalam penyelesaian masalah. Penyelesaian masalah

melalui desa adat pakraman diterapkan melalui awig-awig (aturan-aturan),

misalnya dalam Pasal (pawos) 66 awig-awig desa pakraman tanah Aron

Kabupaten Karangasem menyebutkan bahwa yang berwenang menyelesaikan

perkara di desa adalah prajuru desa sebagai hakim peradilan desa adalah Kelian

Banjar dan bendesa jika yang berperkara semuanya berasal dari satu desa, selain

itu masih banyak tradisi lainnya di Indonesia yang menunjukkan bahwa terdapat

alternatif lain dari peradilan pidana dalam penyelelesaian kasus yang terjadi di

39
Eva Achjani Zulfa, 2011, Mediasi Penal: Perkembangan Kebijakan Hukum Pidana,
disampaikan pada diskusi terbatas tentang, “Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan Melalui
Mediasi Penal (Penal Mediation) Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia: Pengkajian Asas,
Norma, Teori dan Praktik”, Palangkaraya, h. 2.
21

masyarakat. 40 Mediasi penal telah ada sejak dahulu di Indonesia yang telah

menjadi tradisi dalam penyelesaian permasalahan yang terjadi dalam masyarakat.

Penyelesaian perkara di luar pengadilan juga dapat ditemukan dalam

sidang adat. Salah satunya terhadap Tamrin Amal Tamagola yang dilakukan oleh

Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) yang dinamakan Persidangan Dayak

Maniring Tuntang Manetes Hinting Bunu antara masyarakat Dayak dengan

Tamrin di Betang Nganderang, Palangkaraya, Kalimantan Tengah pada hari

Sabtu, tanggal 11 Januari 2011. Kasus ini tidak lagi diproses melalui peradilan

pidana karena telah diselesaikan melalui mekanisme adat.41

Beberapa putusan pengadilan juga telah mengakui keberadaan praktik

penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan dengan perdamaian. Hal ini dapat

ditemukan dalam yurisprudensi Indonesia, diantaranya dalam praktik peradilan

tingkat pertama. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara tanggal 17 Juni 1978

Nomor: 46/Pid/UT/781/WAN yang menyatakan dalam amar putusan bahwa

dalam perkara Ny. Ellya Dado (Kasus Ny. Elda) ini telah terjadi penyelesaian

secara perdamaian sehingga tidak lagi merupakan suatu kejahatan atau

pelanggaran yang dapat dihukum lagi dan melepaskan tertuduh dari segala

tuntutan hukum. Jaksa mendakwa Ny. Ellya Dado dengan sengaja melawan

hukum telah merampas kemerdekaan seseorang sebagaimana diatur dalam Pasal

333 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) sebagai

40
Lilik Mulyadi, Op.Cit, h. 9-11. Pasal 1 Perda Provinsi Bali No.3 Tahun 2001 tentang
Desa Pakraman menentukan bahwa, “Desa pakraman adalah kesatuan tradisi dan tata krama
pergaulan hidup masyarakat umat hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau
Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak
mengurus rumah tangganya sendiri”.
41
Ibid, h. 3-14.
22

dakwaan primer, tindak pidana pemerasan sebagaimana diatur dalam Pasal 368

ayat (1) KUHP (subsider), dan penghinaan secara lisan sebagaimana diatur dalam

Pasal 315 KUHP (lebih subsider).42

Pengakuan terhadap penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan juga

dapat ditemukan dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644K/Pid/1988

tanggal 15 Mei 1991. Ratio decidendi dalam putusan ini menyebutkan apabila

seorang melanggar hukum adat kemudian kepala dan para pemuka adat

memberikan reaksi adat atau sanksi adat, berarti yang bersangkutan tidak dapat

diajukan kembali sebagai terdakwa dalam persidangan Badan Peradilan Negara

atau Pengadilan Negeri dengan dakwaan yang sama melanggar hukum adat dan

dijatuhi penjara menurut KUHP. Konklusi dasar dari yurisprudensi ini mengakui

eksistensi peradilan adat dengan adanya mediasi penal.43

Putusan lainnya yang menghargai pidana adat dapat ditemukan dalam

Putusan Mahkamah Agung Nomor 984K/Pid/1996 tanggal 30 Januari 1996 yang

menyatakan jika pelaku perzinahan telah dijatuhi sanksi adat/reaksi adat dari para

pemangku desa adat maka tuntutan jaksa harus dinyatakan tidak dapat diterima.44

Putusan Mahkamah Agung Nomor 984K/Pid/1996 tanggal 30 Januari 1996 ini

menunjukkan bahwa pengadilan tidak menuntut untuk kedua kalinya terhadap

kasus pelanggaran hukum adat yang telah dijatuhi sanksi adat/reaksi adat.

Praktik penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan juga dapat

ditemukan dalam putusan tingkat Peninjauan Kembali. Mahkamah Agung


42
Lihat Yurisprudensi/Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara tanggal 17 Juni 1978
Nomor: 46/Pid/UT/781/WAN dengan hakim ketua sidang: Bismar Siregar.
43
Lilik Mulyadi, Op.Cit, h. 14.
44
Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005, Relevansi Hukum Pidana Adat Dalam Pemba-
haruan Hukum Pidana Nasional, Cetakan Pertama, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 169.
23

Republik Indonesia dalam mengadili perkara pada tingkat Peninjauan Kembali

Nomor:107/PK/Pid/2006 tanggal 21 November 2007 dalam kasus tindak pidana

“pembunuhan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP dalam dakwaan

kesatu dan “tanpa hak membawa, menguasai, senjata api dan amunisi”

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 12/Drt/1951 dalam dakwaan kedua, oleh terpidana yang

bernama Adiguna Sutowo. Amar putusan ini menyatakan bahwa mengabulkan

permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan

kembali/terpidana Adiguna Sutowo dengan meringankan hukuman terpidana

karena adanya perdamaian antara terpidana dan keluarga korban.45

Penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan ini menunjukkan bahwa

dalam praktik terdapat upaya lain yang dilakukan oleh masyarakat dan juga

penegak hukum (khususnya kepolisian) dalam menyelesaian perkara pidana.

Praktik ini juga menegaskan bahwa terdapat pilihan atau alternatif lain dalam

penyelesaian perkara pidana selain melalui proses peradilan pidana.

Alternatif penyelesaian perkara pidana dalam hal ini memiliki arti

bahwa terdapat cara lain atau pilihan lain dalam penyelesaian sebuah perkara

pidana yang tentunya berbeda dengan penyelesaian perkara pidana yang berlaku

dalam hukum positif di Indonesia. Berdasarkan hukum pidana yang berlaku di

Indonesia, pelaku kejahatan akan diproses melalui peradilan pidana hingga

diputus oleh pengadilan dan dijatuhi pidana. Terdapat suatu prosedur atau proses

baku dalam sebuah lembaga peradilan dan hal ini menimbulkan pemikiran

45
Lihat Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 107/PK/Pid/2006 tanggal 21 November
2007 dengan hakim ketua sidang: H. Parman Soeparman.
24

bahwa penyelesaian perkara pidana hanya dapat dilakukan melalui lembaga

peradilan formal saja. Kini dalam perkembangannya terjadi pergeseran bahwa

telah muncul sebuah alternatif berupa penyelesaian perkara pidana di luar

pengadilan yang mewarnai perkembangan hukum pidana dan pembaharuan

hukum pidana di dunia. Alternatif penyelesaian perkara pidana di luar

pengadilan ini dikenal dengan istilah “mediasi penal”.

Mediasi penal sebagai perwujudan dari keadilan restoratif (restorative

justice) yang menitikberatkan pada pemenuhan keadilan bagi semua pihak

nampaknya dapat menjadi arah baru dalam hukum pidana modern yang lebih

memanusiakan pelaku kejahatan dan menempatkan posisi korban dan pelaku

menjadi pihak yang penting untuk dipulihkan. Mediasi penal menurut penulis

menjadi bentuk yang paling cocok untuk diterapkan di Indonesia dibandingkan

dengan bentuk restorative justice lainnya (conferencing dan circles) karena lebih

efisien dan fleksibel. Mediasi penal atau yang juga dikenal dengan nama victim-

offender mediation memiliki mekanisme yang lumrah sehingga memudahkan

dalam penerapannya dan juga sesuai dengan kondisi masyarakat di Indonesia

yang mengutamakan musyawarah mufakat dengan pendekatan kekeluargaan

dalam penyelesaian masalah, oleh sebab itu mediasi penal menjadi kajian yang

penting dan menarik.

Terdapat kategorisasi sebagai tolak ukur dan ruang lingkup perkara

pidana yang dapat diselesaikan melalui mediasi penal sebagaimana yang

dikategorikan oleh Mudzakkir, yakni dalam pelanggaran hukum pidana:


25

1) Termasuk kategori delik aduan, baik aduan yang bersifat absolut


maupun aduan yang bersifat relatif.
2) Diancam dengan pidana denda dan pelanggar telah membayar denda
tersebut (Pasal 82 KUHP).
3) Termasuk kategori “pelanggaran”, bukan “kejahatan”, yang hanya
diancam dengan pidana denda.
4) Tindak pidana di bidang hukum administrasi yang menempatkan sanksi
pidana sebagai ultimum remedium.
5) Merupakan tindak pidana dengan kategori ringan/serba ringan dan
aparat penegak hukum menggunakan wewenangnya untuk melakukan
diskresi.
6) Pelanggaran hukum pidana biasa yang dihentikan atau tidak diproses ke
pengadilan (deponir) oleh Jaksa Agung sesuai dengan wewenang
hukum yang dimilikinya.
7) Termasuk kategori pelanggaran hukum pidana adat yang diselesaikan
melalui lembaga adat.46

Melalui kategorisasi perkara pidana yang dapat diselesaikan melalui

mediasi penal sebagaimana yang dikategorikan oleh Mudzakkir dapat diketahui

bahwa tidak semua tindak pidana bisa diterapkan mediasi penal. Poin ke 5 (lima)

kategorisasi tersebut yakni, “tindak pidana dengan kategori ringan/serba ringan

dan aparat penegak hukum menggunakan wewenangnya untuk melakukan

diskresi”, telah tegas menunjukkan bahwa mediasi penal nampaknya tepat untuk

diterapkan untuk menyelesaikan tindak pidana ringan karena termasuk kategori

ringan, namun perlu diketahui dalam perkembangannya di berbagai negara telah

46
Lilik Mulyadi, Op.Cit, h. 5, lihat juga Mudzakkir, 2007, Alternative Dispute
Resolution (ADR): Penyelesaian Perkara Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia,
Makalah pada workshop, Jakarta, Tanggal 18 Januari 2007.
26

menerapkan mediasi penal dalam penyelesaian kasus kejahatan kekerasan yang

berat.47

Kategorisasi tindak pidana yang dapat diselesaikan melalui mediasi penal

dari Mudzakkir ini menunjukkan bahwa tindak pidana ringan dapat diselesaikan

melalui mediasi penal. Hal ini menjadi dasar bagi penelitian ini untuk mengkaji

tindak pidana ringan untuk dapat diselesaikan melalui mediasi penal. Penelitian

ini diarahkan sebagai pilot project untuk mengembangkan mediasi penal di

Indonesia, yang dimulai dengan penerapan mediasi penal dalam penyelesaian

tindak pidana ringan.

Definisi tindak pidana ringan (tipiring) dapat dikaji berdasarkan

ketentuan yuridis. Berdasarkan Pasal 205 ayat (1) Undang-Undang RI No. 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (yang selanjutnya disebut Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP), Pasal 1 dan Pasal 3 Peraturan

Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak

Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP, dan 9 (sembilan) pasal

mengenai Tindak Pidana Ringan dalam KUHP dapat dipahami bahwa tindak

pidana ringan adalah tindak pidana yang memuat unsur-unsur yang meringankan

(yang secara tegas disebutkan dalam KUHP/undang-undang), diancam dengan

pidana penjara/kurungan paling lama tiga bulan dan untuk kejahatan harta benda

47
Dalam perkara-perkara tertentu mediasi penal mulai diperluas untuk dapat digunakan
terhadap kasus kekerasan yang sangat berat (Extremely severe violence) atau kasus-kasus yang
serius (namun tidak dalam kasus korban yang meninggal dunia), seperti di Jerman, Austria,
Canada, dan Amerika Serikat. Negara-negara lainnya sudah mulai mengembangkan penggunaan
mediasi penal dalam kasus violent crime dan juga untuk kasus-kasus KDRT (domestice violence).
Lihat Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, h. 28-59, Restorative Justice in Canada: what victims should
know (Prepared by the Canadian Resource Centre for Victims of Crime),
https://crcvc.ca/docs/restjust.pdf, dibuka pada tanggal 18 September diakses pukul 07.30 WITA,
dan Alyssa H. Shenk, 2003, Hate and Bias Crime, Routledge, New York, h. 442.
27

kerugian yang ditimbulkan tidak lebih dari Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus

ribu rupiah), beserta penghinaan ringan.48

Tindak pidana ringan merupakan tindak pidana yang bersifat ringan

berdasarkan kualifikasi ancaman pidana dan besarnya kerugian yang ditimbulkan,

serta dengan adanya unsur-unsur yang meringankan.49 Konsekuensi dari hal ini

maka dalam penyelesaiannya sesuai dengan KUHAP tindak pidana ringan

diperiksa dengan acara pemeriksaan cepat dengan pemeriksaan yang lebih

sederhana dan menggunakan hakim tunggal serta tidak dikenakan penahanan.50

Berdasarkan keberadaan dari 3 (tiga) jenis penggolongan tindak pidana dalam

KUHP yaitu tindak pidana dalam bentuk pokok/tindak pidana biasa, tindak pidana

dalam bentuk yang diperberat/dikualifikasi berat, dan tindak pidana ringan, maka

tindak pidana ringanlah yang kini menjadi sorotan publik.

Mediasi penal nampaknya perlu diatur secara eksplisit dalam Peraturan

Perundang-undangan di Indonesia sehingga dapat berlaku secara efektif. Hal ini

juga sejalan dengan perkembangan mediasi penal di dunia Internasional yang

48
Lihat Pasal 302 Ayat (1) KUHP mengenai penganiayaan ringan terhadap hewan, Pasal
352 Ayat (1) KUHP mengenai penganiayaan ringan, Pasal 364 KUHP mengenai pencurian ringan,
Pasal 373 KUHP mengenai penggelapan ringan, Pasal 379 KUHP mengenai penipuan ringan,
Pasal 384 KUHP mengenai penipuan ringan oleh penjual, Pasal 407 Ayat (1) KUHP mengenai
perusakan ringan, Pasal 482 KUHP mengenai penadahan ringan, Pasal 315 KUHP mengenai
penghinaan ringan.
49
Lihat Pasal 205 ayat (1) KUHAP, Pasal 1 dan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung RI
Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda
Dalam KUHP, dan 9 (sembilan) pasal mengenai Tindak Pidana Ringan dalam KUHP.
50
Pasal 205-210 KUHAP menyatakan bahwa acara pemeriksaan tindak pidana ringan
diselesaikan melalui acara pemeriksaan cepat dengan pemeriksaan yang lebih sederhana dengan
menggunakan hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir, kecuali dalam hal dijatuhkan
pidana perampasan kemerdekaan terdakwa dapat mengajukan banding. Pasal 21 ayat (4) huruf a
KUHAP menyatakan bahwa penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa
yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak
pidana tersebut dalam hal tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih,
sehingga dengan demikian kasus tindak pidana ringan yang diancam dengan pidana
penjara/kurungan paling lama tiga bulan tidak dikenakan penahanan.
28

mengarahkan penggunaan mediasi penal yaitu dapat ditemukan dalam: Kongres

PBB ke-9/1995 mengenai manajemen peradilan pidana (Ninth United Nation

Congress on The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders)

khususnya pada dokumen A/CONF.169/6 (31 Januari 1995) dan dokumen

A/CONF. 169/16, International Penal Reform Conference, The Committee of

Ministers of the Council of Europe pada tanggal 15 September 1999, Deklarasi

Wina pada Kongres PBB ke-10/2000 (Tenth United Nations Congress on the

Prevention of Crime and the Treatment of Offenders Vienna) khususnya pada

dokumen A/CONF. 187/4/Rev.3, Council Framework Decision of 15 March

2001, dan ECOSOC pada tanggal 24 Juli 2002.

Secara yuridis, pada instrumen nasional telah terjadi kekosongan norma

(recht vacuum) terkait mediasi penal dalam perpsektif ius constitutum.51 Sebagai

upaya untuk mengatasi kekosongan norma mengenai mediasi penal maka

diperlukan harmonisasi norma hukum yakni pembentukan hukum berupa

konstruksi (model). Konstruksi menjadi solusi utama dalam penyelesaian

permasalahan norma dalam disertasi ini.52

Memang jika ditelusuri dapat ditemukan beberapa ketentuan yang

dijadikan dasar dalam pelaksanaan mediasi penal di Indonesia, namun ketentuan

51
Abdul Latif dan Hasbi Ali mengemukakan bahwa ius constitutum merupakan suatu
istilah bahasa Latin yang berarti hukum yang telah ditetapkan, yang berlaku disuatu tempat
tertentu dan pada waktu tertentu pula. Lihat Abdul Latif dan Hasbi Ali, 2011, Politik Hukum,
Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, h. 37.
52
Istilah konstruksi dalam disertasi ini berarti “model”. Hilman Hadikusuma menyatakan
bahwa konstruksi hukum (rechtsconstructie) merupakan alat-alat yang dipakai untuk menyusun
bahan hukum yang dilakukan secara sistematis dalam bentuk bahasa dan istilah yang baik.
Menyusun dalam hal ini adalah menyatukan apa yang termasuk dalam satu bidang yang sama, satu
pengertian yang sama. Membentuk pengertian-pengertian dari berbagai bahan hukum dalam suatu
istilah hukum. Kontruksi dalam disertasi ini berarti membentuk atau menyusun model secara
sistematis yang memuat konstruksi yuridis (norma) dan konstruksi teori hukum. Lihat Hilman
Hadikusuma, 2013, Bahasa Hukum Indonesia, Cetakan Kelima, Alumni, Bandung, h. 15.
29

tersebut belum kuat dijadikan sebagai dasar hukum pelaksanaan mediasi penal di

Indonesia. Mediasi penal dalam prakteknya dilakukan dengan penggunaan

kewenangan diskresi kepolisian yaitu kewenangan yang dimiliki oleh Kepolisian

RI dalam menjalankan tugas dan wewenangnya untuk bertindak atau melakukan

tindakan lain berdasarkan penilaiannya sendiri menurut hukum yang bertanggung

jawab demi kepentingan umum. Hal ini sebagaimana yang telah diatur dalam

undang-undang yakni Pasal 16 ayat (1) huruf l dan Pasal 18 ayat (1) Undang-

Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia (selanjutnya

disebut UU Kepolisian) dan Pasal 5 ayat (1) angka 4 dan Pasal 7 ayat (1) huruf j

Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya

disebut KUHAP) yang mengatur terkait diskresi yang menjadi kewenangan

kepolisian RI.

Mediasi penal dalam prakteknya memang dilakukan berdasarkan

kewenangan diskresi kepolisian, namun jika dianalisis kewenangan diskresi

kepolisian sifatnya masih sangat luas dan masih sangat implisit atau tidak tegas

menyebutkan bahwa mediasi penal adalah kewenangan diskresi yang dapat

dilakukan oleh kepolisian. Kewenangan diskresi memberikan kewenangan yang

sangat luas bagi kepolisian untuk bertindak menurut penilaiannya sendiri dan

tidak tegas menyebutkan tindakan apa saja yang dapat dilakukan melalui diskresi

temasuk mediasi penal, sehingga mediasi penal menjadi sangat terbatas untuk

dilakukan atau sangat tergantung pada pilihan kepolisian untuk melakukan atau

tidak melakukan mediasi penal. Konsekuensi dari hal ini maka kepolisian kerap

ragu-ragu dalam menerapkan mediasi penal. Konsekuensi lainnya dari pengaturan


30

diskresi yang sangat luas tersebut dapat menimbulkan peluang penyalahgunaan

wewenang.

Penerapan mediasi penal dalam kasus tindak pidana ringan di Indonesia

dalam prakteknya dilakukan dengan menggunakan Surat Kepolisian Negara

Republik Indonesia No. Pol: B/3022/XXI/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember

2009, perihal Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR)

(Selanjutnya disebut Surat Kapolri 2009). Surat Kapolri ini pada dasarnya

menyatakan bahwa salah satu bentuk penyelesaian masalah dalam penerapan

Pemolisian Masyarakat (Polmas) adalah penerapan konsep Alternatif Dispute

Resolution (ADR) yakni pola penyelesaian masalah sosial melalui jalur alternatif

selain proses hukum atau non litigasi antara lain melalui upaya perdamaian yakni

mengupayakan penanganan kasus pidana yang mempunyai kerugian materi kecil,

penyelesaiannya dapat diarahkan melalui konsep Alternatif Dispute Resolusion

(ADR).

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun

2015 Tentang Pemolisian Masyarakat (selanjutnya disebut Perkap No. 3 Tahun

2015 Tentang Pemolisian Masyarakat) juga mengatur mengenai “mediasi”. Sub.

C mengenai Panduan Pelaksanaan Penyelesaian Perselisihan Warga

Masyarakat/Komunitas angka 2 (dua) menyatakan bahwa dalam menangani

perkara ringan dalam KUHP, Babinkamtibmas/petugas Polmas dapat melakukan

penyelesaian secara kekeluargaan (musyawarah mufakat).

Bhabinkamtibmas/petugas polmas memfasilitasi dan memediasi penyelesaian

perkara tersebut.
31

Menjadi sebuah awal yang sangat baik dengan munculnya Surat Kapolri

2009 dan Perkap No. 3 Tahun 2015 Tentang Pemolisian Masyarakat. Hal ini

tidaklah cukup karena Surat Kapolri 2009 dan Perkap No. 3 Tahun 2015 Tentang

Pemolisian Masyarakat ini bukan merupakan Peraturan Perundang-undangan,

namun masih terbatas sebagai peraturan kebijakan yang kekuatan mengikatnya

bukan pada konteks legislasi namun melekat pada kewenangan kepolisian. Hal ini

menunjukkan bahwa penelitian dalam disertasi ini sangat diperlukan karena

belum terdapat kepastian hukum terkait pengaturan mediasi penal di Indonesia.53

Konsep mediasi penal juga dapat ditemukan dalam Undang-Undang RI

Nomor 39 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang memberi

kewenangan kepada Komnas HAM untuk melakukan mediasi dalam kasus

pelanggaran HAM. Mediasi penal adalah salah satu bentuk pelaksanaan

restorative justice, selain itu juga dikenal adanya diversi dalam restorative justice

yang diterapkan dalam pengadilan anak.54

Berdasarkan kondisi norma dalam pengaturan mediasi penal, nampaknya

perlu dilakukan optimalisasi dengan memperkuat dasar hukum mediasi penal,

khususnya dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia dengan cara mempertegas

mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan.

Mediasi perlu dituangkan dalam sebuah undang-undang (KUHAP) sebagaimana

53
Perkap No. 3 Tahun 2015 Tentang Pemolisian Masyarakat dibentuk bukan
berdasarkan perintah dari Undang-Undang untuk melaksanakan mediasi penal sehingga bukan
termasuk Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang RI
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
54
Diversi menurut Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak
dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Undang-undang Sistem Peradilan
Pidana Anak ini dapat menjadi dasar bahwa mediasi penal juga dapat diterapkan, namun berlaku
juga untuk orang dewasa.
32

yang telah dilakukan oleh negara-negara yang menerapkan mediasi penal. Mediasi

penal telah digunakan di berbagai negara dalam penyelesaian perkara pidana.

Melalui metode perbandingan hukum (comparative law) akan dikaji mengenai

pengaturan dan penerapan mediasi penal di berbagai negara, seperti misalnya di

Jerman dan Amerika Serikat, serta di berbagai negara lainnya yang akan diuraikan

dalam pembahasan disertasi ini.

Mediasi penal sangat berkembang di Jerman. Mark S. Umbreit

menunjukkan dalam sebuah data (tahun 1999) bahwa Jerman merupakan negara

di Eropa yang paling banyak mempunyai program mediasi penal yaitu sejumlah

450 program. 55 Pasal 46a ke dalam StGB (KUHP) Jerman ditambahkan pada

tanggal 12 Januari 1994 yang menetapkan bahwa jika pelaku memberi ganti

rugi/kompensasi kepada korban secara penuh atau sebagian besar, atau telah

dengan sungguh-sungguh berusaha keras untuk memberi ganti rugi, maka

pidananya dapat dikurangi atau bahkan dapat dibebaskan dari pemidanaan.56

Amerika Serikat (United States of America/USA) juga menerapkan

mediasi penal yang dikenal dengan istilah Victim-offender mediation. Alyssa H.

Shenk menyatakan bahwa:

Victim-offender mediation emerged in the United States in the late 1970s,


and its use continues to flourish. Originally employed in cases involving
property crime or minor assaults, victim-offender mediation programs have
become increasingly widespread. In recent years the scope of victim-
offender mediation programs has deepened, expanding the process to
provide for the mediation of severely violent crimes.57

55
Mark S. Umbreit, 2001, The Handbook of Victim Offender Mediation (An Essential
Guide to Practice and Research), 1st edition, Jossey-Bass, San Francisco, California, h. xiv.
56
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, h. 30-31.
57
Alyssa H. Shenk, Op.Cit, h. 440.
33

Pandangan Alyssa H. Shenk sebagaimana yang dikutip diatas menjelaskan bahwa

victim-offender mediation awalnya digunakan dalam kasus yang melibatkan

kejahatan properti atau kasus-kasus ringan/kecil, lalu victim-offender mediation

programe atau program mediasi penal berkembang semakin luas. Beberapa tahun

terakhir lingkup program victim-offender mediation telah diperdalam dengan

memperluas proses, untuk menyediakan mediasi terhadap severely violent crimes

(kejahatan kekerasan yang berat).

Pengaturan dan penerapan mediasi penal di Jerman dan Amerika Serikat

menunjukkan bahwa mediasi penal dikenal, diterapkan, dan dikembangkan di

berbagai negara dengan berbagai program. Mediasi penal berkembang tidak hanya

digunakan dalam tindak pidana ringan namun juga diperluas dapat diterapkan

dalam kasus kejahatan kekerasan yang berat.

Berdasarkan kajian perbandingan/komparasi dapat dipetik sebuah spirit

untuk mengembangkan mediasi penal di Indonesia. Kajian ini nampaknya dapat

menjadi pertimbangan bagi negara Indonesia untuk melegitimasi dan mengatur

secara tegas mediasi penal dalam sebuah Peraturan Perundang-undangan, salah

satunya dengan mulai mengatur dan menerapkan mediasi penal dalam kejahatan

ringan (tindak pidana ringan). Kajian perbandingan ini akan memberikan

manfaat/kontribusi di dalam membangun konstruksi dan dalam pembentukkan

hukum untuk mengatasi kekosongan norma terkait mediasi penal di Indonesia.

Penelitian ini sangatlah menarik dan penting sebagai upaya pembaharuan

hukum pidana ke arah yang progresif dan responsif dalam sebuah model

penyelesaian kasus pidana melalui mediasi penal. Berdasarkan hal-hal seperti


34

yang telah penulis uraikan maka merupakan pendorong bagi penulis untuk

menulis disertasi dengan judul: “Konstruksi Mediasi Penal Dalam Penyelesaian

Tindak Pidana Ringan di Indonesia”.

1.2 Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas,

maka dikemukakan tiga permasalahan pokok yaitu:

1. Apa makna mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana ringan ?

2. Apakah yang menjadi dasar hukum mediasi penal dalam tindak pidana ringan

di Indonesia (ius contitutum) ?

3. Bagaimanakah konstruksi mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana

ringan di masa yang akan datang (ius constituendum) ?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang dikaji, maka tujuan yang akan dicapai

dalam disertasi ini adalah sebagai berikut:

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan sebuah konstruksi mediasi

penal dalam penyelesaian tindak pidana ringan di Indonesia.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah mengkaji 3 (tiga) rumusan

masalah yang diajukan dalam penelitian ini, yakni:


35

1. Menganalisis secara mendalam dan menemukan makna mediasi penal

dalam penyelesaian tindak pidana ringan.

2. Menganalisis secara mendalam dan menemukan dasar hukum mediasi

penal dalam tindak pidana ringan di Indonesia (ius contitutum).

3. Menganalisis secara mendalam dan menemukan konstruksi mediasi

penal dalam penyelesaian tindak pidana ringan di masa yang akan

datang (ius constituendum).

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini tentu memiliki banyak manfaat sehingga penting untuk

diteliti. Adapun manfaat-manfaat yang akan diberikan dari hasil penelitian ini

adalah meliputi manfaat teoritis dan manfaat praktis:

1.4.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat memberikan manfaat pengembangan ilmu

hukum dan dapat memberikan sebuah inovasi baru. Manfaat utama dalam

penelitian ini adalah memberikan sebuah konstruksi mediasi penal dalam

penyelesaian tindak pidana ringan di Indonesia. Penelitian ini akan

memberikan sebuah konsep dan model mediasi penal yang ideal, yang dapat

diterapkan dalam penyelesaian kasus tindak pidana ringan. Hal ini akan

memberikan warna baru dalam pengembangan mediasi penal yang telah ada

secara teoritis. Sumbangan pemikiran akademis dari penelitian ini juga

ditujukan dalam pengembangan konsep mediasi penal sebagai perwujudan

dari ius constituendum (hukum yang diharapkan berlaku di masa yang akan

datang/hukum yang dicita-citakan). Penelitian ini juga bermanfaat dalam


36

perbaikan sistem penegakan hukum secara teoritis kearah penegakan hukum

yang menjungjung asas trilogi peradilan (peradilan yang sederhana, cepat,

dan biaya ringan), pencapaian keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan

dalam kerangka penegakan hukum yang progresif dan responsif.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini dapat memberikan manfaat praktis bagi Negara

Indonesia untuk menyadari bahwa kasus tindak pidana ringan perlu

diselesaikan melalui mediasi penal dan mediasi penal dapat diterapkan di

Indonesia. Penelitian ini juga dapat menambah kesadaran penggunaan

mediasi penal baik bagi masyarakat dan juga bagi penegak hukum yang

terkait. Penegak hukum (terutama kepolisian) tidak akan ragu-ragu lagi

dalam menerapkan mediasi penal dalam penyelesaian kasus tindak pidana

ringan di Indonesia. Masyarakat juga mengetahui bahwa telah ada alternatif

penyelesaian perkara pidana yang memiliki banyak manfaat jika

dibandingakan dengan penyelesaian perkara pidana melalui litigasi.

Penelitian ini akan menghasilkan rumusan atau formulasi

ketentuan-ketentuan (secara normatif) mengenai konstruksi mediasi penal

dalam penyelesaian tindak pidana ringan di masa yang akan datang (ius

constituendum). Secara praktis, rumusan atau formulasi ini dapat menjadi

masukan bagi lembaga legislatif dalam pengaturan mediasi penal dalam

penyelesaian kasus tindak pidana ringan di Indonesia. Banyak manfaat yang

diperoleh dari penerapan mediasi penal, sehingga penelitian ini akan

bermanfaat bagi semua pihak yang dapat menjadi pedoman atau arahan
37

dalam pelaksanaan mediasi penal dalam penyelesaian kasus tindak pidana

ringan di Indonesia.

1.5 Orisinalitas Penelitian

Disertasi ini merupakan karya tulis asli dengan tanpa adanya unsur

plagiasi di dalam proses penelitian yang dilakukan, sehingga dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas saran dan

kritik yang bersifat membangun. Orisinalitas penelitian dari disertasi ini akan

ditunjukkan dengan membandingkannya dengan disertasi lainnya. Adapun

disertasi yang menyangkut “Konstruksi Mediasi Penal Dalam Penyelesaian

Tindak Pidana Ringan di Indonesia”, yakni:

1. Disertasi yang ditulis oleh Nirmala Sari dari Universitas Diponogoro

Semarang pada tahun 2011, dengan judul “Mediasi Penal Sebagai Alternatif

Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan”,

dengan rumusan masalah dan kesimpulan sebagai berikut:

Rumusan Masalah:

1. Mengapa mediasi penal seyogyanya menjadi alternatif penyelesaian

perkara tindak pidana lingkungan hidup di luar pengadilan?

2. Bagaimana konstruksi mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian

perkara tindak pidana lingkungan hidup yang ideal dalam sistem hukum

pidana di Indonesia?
38

Kesimpulan :

1. Justifikasi/alasan-alasan pembenar menjadikan mediasi penal sebagai

alternatif penyelesaian tindak pidana lingkungan hidup (TPLH) di luar

pengadilan adalah sebagai berikut:

a. Mediasi penal merupakan rekonstruksi terhadap cara penyelesaian

perkara tindak pidana lingkungan hidup yang telah ada selama ini.

Penyelesaian perkara TPLH melalui mediasi penal relatif lebih

sederhana, cepat dan berbiaya ringan. Dengan adanya mediasi penal

sebagai alternatif penyelesaian perkara TPLH, maka penyelesaian

perkara tindak pidana lingkungan hidup dapat dilakukan melalui

proses pengadilan atau melalui proses mediasi penal.

b. Mediasi penal merupakan cara penyelesaian TPLH yang

menempatkan korban pada posisi yang lebih kuat. Proses mediasi

penal menempatkan korban sebagai subyek yang terlibat langsung

dalam menentukan prosedur penyelesaian perkara TPLH. Selain itu,

kepentingan korban juga menjadi bagian terpenting dalam

menentukan substansi kesepakatan yang merupakan hasil akhir dari

mediasi penal.

c. Mediasi penal dapat memberikan alternatif penghukuman terhadap

pelaku TPLH agar penghukuman yang dijatuhkan lebih bermanfaat.

Proses mediasi penal memberikan kemungkinan untuk menerapkan

penghukuman yang lebih fleksibel dan bermanfaat bagi lingkungan

hidup.
39

d. Mediasi penal merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki Sistem

Peradilan Pidana agar lebih efektif dan efisien. Dengan adanya

mediasi penal, tidak semua perkara TPLH harus diselesaikan di

pengadilan dan mediasi penal dapat berperan sebagai kompetitor

pengadilan dalam upaya penegakan hukum.

2. Konstruksi Mediasi Penal dalam Penyelesaian Tindak Pidana Lingkungan

Hidup yang Ideal dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia

a. Konstruksi Mediasi Penal dalam Sistem Hukum Pidana Saat Ini

1) Di dalam Hukum Pidana Positif, mediasi penal sebagai alternatif

penyelesaian perkara tindak pidana di luar pengadilan belum diatur

dalam peraturan perundang-undangan, meskipun mediasi penal

belum diatur, namun di dalam hal-hal tertentu, hukum pidana positif

memberikan kemungkinan perkara tindak pidana diselesaikan di luar

proses pengadilan.

2) Di dalam Hukum Adat, istilah mediasi penal tidak ditemukan, tetapi

penyelesaian perkara melalui perdamaian oleh masyarakat adat,

relatif tidak berbeda dengan mekanisme penyelesaian perkara

melalui mediasi penal.

3) Di dalam Hukum Pidana di beberapa Negara, sudah terdapat

pengaturan tentang mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian

perkara tindak pidana di luar pengadilan. Pengaturan tentang mediasi

penal di beberapa Negara dicantumkan di dalam Kitab Undang-


40

undang Hukum Pidana dan/atau Kitab Undang-undang Hukum

Acara pidana atau di dalam Undang-undang khusus tentang Mediasi

Penal.

b. Konstruksi Mediasi Penal dalam Penyelesaian tindak pidana lingkungan

hidup yang Ideal di Dalam Sistem Hukum di Indonesia, adalah dengan

menempatkan dan memberi dasar hukum pada mediasi penal sebagai

alternatif penyelesaian perkara tindak pidana di luar pengadilan di

dalam Sistem hukum Pidana di Indonesia. Untuk memberikan dasar

hukum terhadap mediasi penal, diperlukan:

1) Pembaharuan Substansi Hukum Pidana dengan melakukan revisi

terhadap KUHP, KUHAP, UUPPLH dan Peraturan Pelaksanaannya.

2) Pembaharuan Struktur Hukum Pidana dengan membentuk

lembaga/badan Penyelenggara Mediasi Penal di dalam struktur

hukum pidana, dan melakukan revisi terhadap tugas dan wewenang

lembaga-lembaga yang terkait dengan penyelenggaraan mediasi

penal.

3) Pembaharuan Kultur hukum pidana dengan mengembangkan kultur

aparat penegak hukum, penyelenggara mediasi penal dan masyarakat

pada umumnya.

2. Disertasi yang ditulis oleh Ahmad Syaufi dari Universitas Brawijaya

Malang pada tahun 2014, dengan judul “Mediasi Penal Sebagai Alternatif

Penyelesaian Perkara Pidana Beraspek Perikatan Perdata Pada Sistem


41

Peradilan Pidana Indonesia”, dengan rumusan masalah dan hasil penelitian

sebagai berikut :

Rumusan Masalah :

1. Mengapa mediasi penal dapat menjadi alternatif pilihan dalam

penyelesaian perkara pidana beraspek perikatan perdata pada sistem

peradilan pidana Indonesia?

2. Bagaimanakah konstruksi ideal model alternatif pilihan penyelesaian

perkara pidana beraspek perikatan perdata dalam sistem

peradilan pidana di Indonesia?

Hasil Penelitian :

1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mediasi penal dapat dijadikan

sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana beraspek perikatan

perdata pada sistem peradilan pidana di Indonesia, karena mediasi penal

merupakan bagian dari upaya memperbaiki sistem peradilan pidana

supaya efektif dan efisien. Keberadaan mediasi penal akan memberikan

solusi bahwa penyelesaian perkara pidana beraspek perikatan perdata

tidak mesti harus diselesaikan melalui proses peradilan pidana,

sehingga beban kerja sistem peradilan pidana menjadi lebih ringan.

Mediasi penal akan mempunyai implikasi positif terhadap tercapainya

peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan. Tindak pidana

beraspek perikatan perdata mempunyai karakteristik atau ciri-ciri

khusus, yakni konflik lebih mengarah pada kepentingan individu

(privat) yang berakibat pada kerugian materiil, sehingga


42

memungkinkan terjadinya penyelesaian secara damai oleh kedua belah

pihak (pelaku dan korban). Karakteristik tersebut dapat ditemukan

dalam Pasal 263 KUHP (pemalsuan surat), Pasal 378 KUHP

(penipuan), dan Pasal 372 (penggelapan).

Mediasi penal merupakan mekanisme penyelesaian perkara

pidana beraspek perikatan perdata yang memperkuat keterlibatan

korban secara aktif dan otonom. Korban tidak dilihat sebagai objek dari

prosedur penyelesaian perkara sebagaimana penyelesaian melalui

proses peradilan pidana, tetapi lebih sebagai subjek yang mempunyai

tanggungjawab pribadi dan kemampuan untuk berbuat

atas kehendaknya sendiri untuk menyelesaikan perkaranya. Mediasi

penal dapat membangun tanggung jawab pelaku supaya menyadari atas

kesalahannya, sehingga perkara pidana beraspek perikatan perdata

dapat diselesaikan secara tuntas dengan suasana kedamaian antara

pelaku dan korban. Mediasi penal dapat memberi kesempatan

kepada pelaku untuk melakukan tindakan perbaikan sebagai bentuk

tanggung jawab dan upaya membebaskan pelaku dari rasa bersalah.

2. Menjadikan mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara

pidana beraspek perikatan perdata pada sistem peradilan pidana di

Indonesia memerlukan konstruksi ideal model alternatif pilihan

penyelesaian perkara yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia,

untuk itu dapat dipertimbangkan penerapan mediasi penal yang berlaku

saat ini, yakni: (1) dalam hukum pidana positif, mediasi penal sebagai
43

alternatif penyelesaian perkara pidana belum ada pengaturannya, tetapi

dalam hal-hal tertentu terdapat peluang penyelesaian di luar proses

peradilan pidana; (2) dalam hukum Islam, mekanisme penyelesaian

konflik secara damai dimungkinkan. Model sudah dapat dikembangkan

dalam mekanisme penyelesaian perkara pidana.

3. Disertasi yang ditulis oleh Wawan dari Universitas Islam Bandung pada

tahun 2015, dengan judul, “Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Pengadilan

Pada Tingkat Penyidikan Melalui Mediasi Penal Dalam Perspektif

Restorative Justice”, dengan rumusan masalah dan hasil penelitian sebagai

berikut :

Rumusan Masalah :

1. Aspek-aspek yang dijadikan landasan penerapan penyelesaian perkara

pidana pada tingkat penyidikan melalui mediasi penal dalam perspektif

restorative justice.

2. Pengaturan penyelesaian perkara pidana pada tingkat penyidikan

melalui mediasi penal dalam perspektif restorative justice, di masa

yang akan datang.

Hasil penelitian :

1. Mediasi penal dapat diterapkan dalam penyelesaian perkara pidana

diluar pengadilan pada tingkat penyidikan oleh polisi dilihat dari

berbagai aspek yaitu : Aspek Filosofis, aspek sosiologis/ adat, aspek

yuridis, dan aspek religious atau norma agama; dan


44

2. Pengaturan penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan pada tingkat

penyidikan dalam perspektif hukum di masa yang akan datang

tercantum dalam Pasal 145 huruf d RKUHP 2012 yaitu kewenangan

menuntut gugur jika diselesaikan di luar proses serta dalam Pasal 111

ayat ( 2 ) huruf b Rancangan KUHAP yaitu Mediasi Penal diatur pada

Pasal 111 Penyidik berwenang menghentikan penyidikan atas dasar

dicapainya penyelesaian mediasi antara korban/pelapor dengan

tersangka.

4. Disertasi yang ditulis oleh Karim dari Universitas Airlangga Surabaya, pada

tahun 2015, dengan judul, “Pertanggung Jawaban Pidana Pelaku Terhadap

Korban Tindak Pidana Ringan Dalam Perspektif Restorative Justice”,

dengan rumusan masalah dan hasil penelitian sebagai berikut :

Rumusan Masalah :

1. Landasan filosofi penyelesaian kasus tindak pidana pidana ringan

melalui restorative justice.

2. Karakteristik pendekatan restorative justice dalam penyelesaian kasus

tindak pidana ringan.

3. Ius constituendum dalam pengaturan penyelesaian perkara tindak

pidana ringan melalui restoratif justice.

Hasil Penelitian :

1. Penanganan kasus tindak pidana ringan cenderung ditangani seperti

tindak pidana biasa, karena hanya memfokuskan aspek

pertanggungjawaban pidana pelaku berdasarkan kemampuan


45

bertanggungjawab dan kesalahan, tanpa mempertimbangkan kualitas

atau nilai obyek pelanggaran hukumnya, sehingga seringkali

mencederai rasa keadilan masyarakat. Padahal sesungguhnya tindak

pidana ringan adalah tindak pidana yang sifatnya sederhana, tidak

berbahaya, dan kerugian korban relatif kecil. Untuk itulah perlu

alternatif penyelesaian perkara tindak pidana ringan yang berperspektif

pendekatan restorative justice, yaitu suatu pendekatan yang lebih

menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan

(pemulihan) antara pelaku dan korban yang terlibat dalam suatu

penyelesaian suatu kasus melalui dialog/mediasi yang mengedepankan

nilai-nilai kearifan lokal yang berlandaskan pada musyawarah-mufakat.

2. Kriteria penyelesaian perkara tindak pidana ringan melalui restorative

justice adalah penyelesaian perkara diluar peradilan yang terjadi karena

adanya permintaan maaf pelaku dan korban memaafkannya, kemudian

timbul kesepakatan diantara pelaku dan korban diikuti

pertanggungjawaban pelaku sehingga kepentingan/kerugiannya korban

dipulihkan. Model restorative justice ini seharusnya diupayakan sejak

awal sebelum proses penyidikan dan Polri sebagai mediatornya,serta

tetap dalam lingkup sistem peradilan pidana terpadu. Hal ini tidak

hanya dapat memulihkan kerugian yang diderita oleh korban, tetapi

juga dapat menghilangkan rasa malu pelaku akibat pelanggaran hukum

yang dilakukannya, melalui mekanisme mediasi penal yang dilakukan


46

secara damai dan tanpa menyebarluaskan permasalahan tersebut kepada

pihak publik.

3. Pendekatan restorative justice melalui mekanisme mediasi penal

tersebut perlu direkonstruksikan penormaannya dalam ketentuan

perundangundangan, sehingga dapat digunakan sebagai dasar hukum

bagi aparat penegak hukum dalam penyelesaian perkara tindak pidana

ringan, guna memenuhi rasa keadilan, kepastian hukum, dan

kemanfaatan. Namun demikian, jika mediasi penal yang diupayakan

gagal maka kasusnya akan dibawa ke pengadilan.

Apabila dibandingkan disertasi ini dengan disertasi-disertasi lainnya

sebagaimana yang telah diuraikan diatas tentu terlihat perbedaannya dari segi

fokus penelitian/objek yang diteliti. Disertasi pertama yang ditulis oleh Nirmala

Sari dari Universitas Diponogoro Semarang pada tahun 2011, dengan judul

“Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Tindak Pidana

Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan”, memfokuskan penelitiannya pada

penggunaan mediasi penal dalam penyelesaian perkara tindak pidana lingkungan

hidup. Disertasi kedua, yang ditulis oleh Ahmad Syaufi dari Universitas

Brawijaya Malang pada tahun 2014, dengan judul “Mediasi Penal Sebagai

Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Beraspek Perikatan Perdata Pada Sistem

Peradilan Pidana Indonesia”, memfokuskan penelitiannya pada pengkajian

mediasi penal pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, sebagai alternatif

penyelesaian perkara pidana beraspek perikatan perdata. Disertasi ketiga, yang

ditulis oleh Wawan dari Universitas Islam Bandung pada tahun 2015, dengan
47

judul, “Penyelesaian Perkara Pidana Diluar Pengadilan Pada Tingkat Penyidikan

Melalui Mediasi Penal Dalam Perspektif Restorative Justice”, memfokuskan

penelitiannya pada pengkajian mediasi penal dalam perspektif Restorative

Justice, sedangkan penelitian dalam disertasi ini memfokuskan pada pengkajian

penggunaan mediasi penal dalam kasus tindak pidana ringan di Indonesia.

Disertasi keempat yang ditulis oleh Karim dari Universitas Airlangga

Surabaya pada tahun 2015 dengan judul “Pertanggung Jawaban Pidana Pelaku

Terhadap Korban Tindak Pidana Ringan Dalam Perspektif Restorative Justice”,

memfokuskan penelitiannya pada pengkajian pertanggung jawaban pidana pelaku

terhadap korban tindak pidana ringan dengan menggunakan perspektif restorative

justice. Disertasi tersebut, walaupun sama-sama mengkaji tindak pidana ringan

namun perbedaannya adalah disertasi keempat ini, khusus mengkaji mengenai

pertanggung jawaban pidana pelaku terhadap korban tindak pidana ringan dengan

menggunakan perspektif restorative justice, sedangkan disertasi ini tidak khusus

meneliti mengenai pertanggung jawaban pidana pelaku terhadap korban tindak

pidana ringan, namun disertasi ini meneliti dan membentuk konstruksi mediasi

penal dalam tindak pidana ringan.

Penelitian disertasi ini berbeda dengan disertasi lainnya yang telah dibuat

sebelumnya. Disertasi ini berjudul “Konstruksi Mediasi Penal Dalam

Penyelesaian Tindak Pidana Ringan di Indonesia” dengan tiga permasalahan

pokok yaitu:
48

1. Apa makna mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana ringan ?

2. Apakah yang menjadi dasar hukum mediasi penal dalam tindak pidana ringan

di Indonesia (ius contitutum) ?

3. Bagaimanakah konstruksi mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana

ringan di masa yang akan datang (ius constituendum) ?

Banyaknya penelitian hukum yang ada, tentu memberikan manfaat bagi

pengembangan ilmu hukum, serta dapat menambah khasanah keilmuan terhadap

obyek yang diteliti. Begitu pula terhadap penggunaan mediasi penal dalam

perkara pidana, khususnya dalam tindak pidana ringan di Indonesia. Orisinalitas

penelitian ini menunjukkan bahwa disertasi ini belum pernah diteliti atau dikaji,

oleh karena itu penelitian dalam disertasi ini bersifat orisinal.

1.6 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir

1.6.1 Landasan Teoritis

Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasikan asas-asas

hukum, konsep-konsep hukum, doktrin, yurisprudensi, hasil penelitian terdahulu,

dan teori-teori hukum yang akan digunakan sebagai landasan untuk membahas

masalah penelitian. Uraian ini akan membahas secara singkat landasan teoritis

yang akan dikembangkan dan diuraikan lebih mendalam dalam bab II disertasi ini.

1.6.1.1 Asas-asas Hukum

Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa asas hukum merupakan

pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan

yang konkrit yang terdapat dalam dan dibelakang setiap sistem hukum yang
49

terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang

merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat

umum dalam peraturan kongkrit tersebut. Asas hukum bukanlah kaedah hukum

yang konkrit, tetapi merupakan latar belakang peraturan yang konkrit dan bersifat

umum atau abstrak.58 Hal ini menunjukkan bahwa asas hukum merupakan latar

belakang dari sebuah peraturan.

J. J. H Bruggink dalam terjemahan Arief Sidhartha menyatakan bahwa,

“Asas hukum adalah kaidah yang memuat ukuran (kriteria) nilai”. 59 Berdasarkan

pengertian asas hukum dari Sudikno Mertokusumo dan J. J. H Bruggink dapat

diketahui bahwa asas hukum adalah suatu pemikiran yang mendasari adanya suatu

norma hukum.

Asas-asas hukum sangatlah penting yang menjadi landasan berpijak serta

pedoman yang menjiwai suatu Peraturan Perundang-undangan. Penelitian ini

menggunakan asas-asas hukum yakni diantaranya: asas Trilogi Peradilan

(peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan), asas musyawarah mufakat

(pembahasan bersama untuk mencapai keputusan/kesepakatan atas penyelesaian

masalah), asas kekeluargaan (kesadaran hubungan sebagai sebuah keluarga), asas

opportunitas (kewenangan jaksa dalam penuntutan), asas deponering

(kewenangan yang dimiliki Jaksa Agung untuk tidak menuntut suatu perkara

dengan alasan demi kepentingan umum), asas diskresi kepolisian (kewenangan

yang dimiliki oleh Kepolisian RI dalam menjalankan tugas dan wewenangnya

58
Sudikno Mertokusumo, 2008, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Cetakan Keempat,
Liberty Yogyakarta, Yogyakarta (Selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo I), h. 34.
59
J. J. H Bruggink, 1999, Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Arief Sidhartha, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, h. 123.
50

untuk bertindak atau melakukan tindakan lain berdasarkan penilaiannya sendiri

menurut hukum yang bertanggung jawab yang dilakukan demi kepentingan

umum), asas-asas Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan yang Baik

(kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian

antara jenis, hierarki, dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan

kehasilgunaan, kejelasan rumusan; dan, keterbukaan), dan asas keadilan,

kemanfaatan, dan kepastian hukum (tujuan hukum).

1.6.1.2 Konsep

Menurut Soerjono Soekanto konsep adalah suatu abstraksi dari gejala

yang akan diteliti. Gejala tersebut biasanya dinamakan fakta sedangkan konsep

merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut.60

Soetandyo Wignjosoebroto menyatakan bahwa konsep sesungguhnya

menjadi penentu bangunan teori. Dalam bahasa sehari-hari konsep adalah kata

dengan makna yang disepakati bersama. Konsep secara umum ini merupakan

“terma” dalam logika dan merupakan “istilah” dalam setiap perbincangan hukum.

Konsep berasal dari “com” yang berarti bersama dan “capere” yang berarti

menangkap, itu adalah simbol kebahasaan tertentu yang digunakan sebagai

representasi objek yang diketahui dan/atau dialami bersama oleh sekelompok

manusia dalam kehidupan bermasyarakatnya. Dalam konsep hukum (ilmu

hukum), konsep-konsep yang dikembangkan akan condong lebih bersifat abstrak,

imajinatif, dan merupakan konstruksi-konstruksi rasional dalam alam pikiran.

60
Soerjono Soekanto, 2015, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, UI Press,
Jakarta, h.132.
51

Ilmu hukum lebih mudah dicenderungkan ke gambarannya yang ideal dengan

blue sky concepts-nya dibandingkan dalam kajian-kajian ilmu alam kodrat. 61 Ilmu

hukum memiliki banyak konsep hukum yang tentunya bermanfaat dalam analisis

dalam disertasi ini diantaranya:

1.6.1.2.1 Konsep Negara Hukum

Berdasarkan fungsi negara, Utrech membedakan dua macam negara

hukum yakni negara hukum formil dan materiil. Negara hukum formil adalah

negara yang didasarkan pada hukum dalam arti formal dan sempit yaitu Peraturan

Perundang-undangan tertulis, sedangkan dalam arti negara hukum materiil

memahami hukum yang mencakup keadilan didalamnya. 62 Pada negara hukum

material, pemerintah bertanggung jawab atas kesejahteraan warganya sehingga

harus turut campur dalam kegiatan masyarakat. 63 Konsep kesejahteraan ini

menitikberatkan pada tercapainya kesejahteraan warga negara.

Nurul Qamar menyatakan bahwa negara hukum Indonesia memiliki ciri-

ciri khas ke Indonesiaannya, oleh sebab itu Negara Hukum Indonesia dapat

dinamakan Negara Hukum Pancasila karena Pancasila harus didudukkan sebagai

dasar pokok dan sumber hukum. Negara Hukum Pancasila bertitik pangkal dari

asas kekeluargaan dan kerukunan sebagai dua asas yang terpadu. Dalam hal ini

kepentingan rakyat diutamakan, namun harkat dan martabat manusia

61
Soetandyo Wignjosoebroto, 2013, Pergeseran Paradigma Dalam Kajian-Kajian
Sosial dan Hukum, Setara Press, Malang (Selanjutnya disebut Soetandyo Wignjosoebroto I), h. 2-
3.
62
Janedjri M. Gaffar, 2013, Demokrasi dan Pemilu di Indonesia, Cetakan Pertama,
Konstitusi Press, Jakarta, h. 45-46, Lihat juga JJ. Von Schimid, 1998, Pemikiran tentang Negara
dan Hukum, Jakarta, Erlangga, h. 7, Jimly Asshiddiqie, h. 56.
63
Janedjri M. Gaffar, Op.Cit,h. 57. Lihat, Moh. Mahfud MD, 1999, Hukum dan Pilar-
Pilar Demokrasi, Cetakan Pertama, Gama Media Offset, Yogyakarta (Selanjutnya disebut Moh.
Mahfud MD I), h. 127.
52

perindividual tetap dihormati dan dihargai. 64 Berdasarkan hal tersebut dapat

diketahui bahwa Negara Hukum Indonesia adalah Negara Hukum Pancasila yang

bertitik pangkal dari asas kekeluargaan dan kerukunan.

Mediasi penal nampaknya dapat menjadi sebuah representatif dari

adanya negara hukum di Indonesia, sehingga konsep negara hukum khususnya

konsep negara hukum materiil dan Negara Hukum Pancasila tepat digunakan

untuk membahas masalah pertama dalam disertasi ini. Konsep negara hukum

materiil dan Negara Hukum Pancasila diharapkan mampu memberikan analisis

bahwa negara wajib mensejahterakan warga negaranya dengan memberikan

keadilan sosial melalui sarana mediasi penal.

Disertasi ini juga menggunakan Konsep Pembaharuan Hukum Pidana

dari Barda Nawawi Arief dan Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pidana dari

Andi Hamzah yang akan dijelaskan dalam Teori Kebijakan Hukum Pidana/Politik

Hukum Pidana (Penal Policy) dari M. Cherif Bassiouni dan Barda Nawawi Arief.

Hal ini dikarenakan Konsep Pembaharuan Hukum Pidana adalah salah satu

bentuk kebijakan hukum pidana sehingga akan dibahas sebagai satu kesatuan

secara sistematis.

1.6.1.3 Doktrin

Penelitian ini juga menggunakan doktrin (pendapat ahli hukum). Sudikno

Mertokusumo menyatakan bahwa pendapat para sarjana hukum yang merupakan

64
Nurul Qamar, 2013, Hak Asasi Manusia Dalam Negara Hukum Demokrasi, Cetakan
Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, h. 47-48.
53

doktrin adalah sumber hukum, tempat hakim menemukan hukumnya. 65 Banyak

doktrin hukum yang digunakan dalam disertasi ini, salah satunya adalah doktrin

dari Lilik Mulyadi mengenai mediasi penal dalam praktik. Sebagaimana yang

telah diuraikan sebelumnya Lilik Mulyadi menyatakan dalam hal-hal tertentu

dimungkinkan adanya penyelesaian kasus (perkara pidana) di luar pengadilan.

Dalam praktik penegakan hukum di Indonesia sering juga perkara pidana

diselesaikan di luar pengadilan melalui diskresi aparat penegak hukum,

mekanisme perdamaian, lembaga adat, dan lain sebagainya. Dalam praktiknya

mediasi penal telah terjadi di masyarakat Indonesia dan dapat ditemukan dalam

hukum adat di Indonesia. Doktrin ini digunakan untuk memperkuat analisis dalam

permasalahan kedua dalam disertasi ini.

Disertasi ini juga menggunakan doktrin dari Hans Kelsen yang

mengemukakan bahwa perdamaian dimungkinkan dalam hukum. Dalam bukunya

yang berjudul General Theory of Law & State Hans Kelsen membahas mengenai

hukum dan perdamaian (law and peace). Hans Kelsen menyatakan bahwa:

Peace is a condition in which there is no use of force. In this sense of the


word, law provides for only relative, not absolute peace, in that it deprives
individuals of the right to employ force but reserves it for the community.
The peace of the law is not a condition of absolute absence of force, a state
of anarchy; it is a condition of monopoly of force, a force monopoly of the
community.66

(Terjemahan bebas: perdamaian adalah suatu kondisi yang di situ tidak


terdapat penggunaan paksaan. Menurut pengertian ini, hukum hanya
memberikan perdamaian relatif, bukan absolut, karena hukum mencabut hak
para individu untuk menggunakan paksaan tetapi menyerahkannya kepada
masyarakat. Perdamaian hukum bukan suatu kondisi dari ketiadaaan

65
Sudikno Mertokusumo I, Op.Cit, h. 116.
66
Hans Kelsen, 1949, General Theory of Law & State, terjemahan Anders Wedberg,
Oxford University Press, London, (Selanjutnya disebut Hans Kelsen I), h. 22.
54

paksaan mutlak, suatu keadaan anarkis; perdamaian hukum adalah suatu


kondisi monopoli paksaan, suatu monopoli paksaan oleh masyarakat).67

Pandangan dari Hans Kelsen ini dapat dijadikan dasar bahwa perdamaian dalam

hukum dimungkinkan dan masyarakat memiliki peranan yang sangat besar dalam

penggunaan pilihan penyelesaian permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat

melalui perdamaian.

1.6.1.4 Yurisprudensi

Sebagai sumber hukum, yurisprudensi tepat digunakan untuk membahas

permasalahan kedua dalam disertasi ini. Yurisprudensi yang digunakan dalam

disertasi ini diantaranya:

1. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991.

2. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 984K/Pid/1996 tanggal 30 Januari

1996.

3. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 107/PK/Pid/2006 tanggal 21

November 2007 dengan hakim ketua sidang: H. Parman Soeparman.

4. Putusan Mahkamah Agung RI No.1600 K/Pid/2009 tanggal 24 November

2009, dengan hakim ketua Dr. Harifin A. Tumpa,SH.MH

5. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor: 46/Pid/UT/781/WAN

tanggal 17 Juni 1978, dengan hakim ketua sidang: Bismar Siregar.

6. Putusan Pengadilan Negeri Nomor 46/Pid.B/2014/PN.Mrb Marabahan

tanggal 1 Maret 2014, dengan hakim ketua: Roedy Suharso, S.H, M.H.

67
Hans Kelsen, 2015, General Theory of Law & State; Teori Umum Tentang Hukum dan
Negara, terjemahan Raisul Muttaqien, Cetakan kesembilan, Nusa Media, Bandung (Selanjutnya
disebut Hans Kelsen II), h. 27-28.
55

7. Putusan Pengadilan Negeri Singaraja Bali Nomor: 30/Pid.Sus/2015/PN.Sgr,

tanggal 1 April 2015 dengan hakim ketua sidang: Haruno Patriadi, SH., MH.

1.6.1.5 Hasil Penelitian Terdahulu

Disertasi ini menggunakan hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan

mediasi penal, diantaranya yakni penelitian yang dilakukan oleh Lilik Mulyadi

pada Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI yang dilakukan pada

bulan Mei-Juni 2011 dengan judul “Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana

Indonesia”.68 Hasil penelitian tersebut dilakukan di 4 (empat) wilayah Pengadilan

Tinggi yaitu wilayah hukum Pengadilan Tinggi Palangkaraya, Pengadilan Tinggi

Mataram, Pengadilan Tinggi Jambi, dan Pengadilan Tinggi Semarang. Hasil

penelitian ini adalah:69

1) Penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan melalui mediasi penal dalam

Sistem Peradilan Pidana Indonesia dari perspektif pengkajian asas, norma,

dan teori eksistensi hasil penelitian sebesar 85,21 % menyebutkan bahwa

keberadaan mediasi penal antara “ada” dan “tiada”. Dikatakan ada karena

praktik mediasi penal telah dilakukan. Dikatakan tiada karena mediasi penal

dalam ketentuan undang-undang tidak dikenal dalam Sistem Peradilan

Pidana, tetapi dalam tataran di bawah undang-undang dikenal secara terbatas

melalui diskresi penegak hukum dan beberapa peraturan lainnya.

2) Pengkajian terhadap dimensi praktik penyelesaian perkara di luar pengadilan

melalui dimensi mediasi penal dari perspektif Sistem Peradilan Pidana

68
Hasil Penelitian ini dituangkan dalam sebuah buku dengan judul “Mediasi Penal
Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia”, lihat Lilik Mulyadi, Op.Cit, h. iii.
69
Lilik Mulyadi, Op.Cit, h. 105-108.
56

Indonesia dilakukan melalui diskresi oleh penegak hukum, dilakukan

masyarakat Indonesia, dan penyelesaian tersebut dilakukan di luar pengadilan

seperti melalui mekanisme lembaga adat.

3) Eksistensi dan pengaturan terhadap asas, norma, teori, dan praktik

penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui dimensi mediasi penal dikaji

dari pespektif norma perundang-undangan (ius constitutum) dan di masa yang

akan datang (ius constituendum) sesuai Sistem Peradilan Pidana Indonesia

sudah waktunya apabila penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui

mediasi penal diatur secara tegas dalam produk undang-undang khususnya

terhadap perkara yang sifatnya ringan, kecil, bersifat pribadi, dan dilakukan

oleh pelaku dalam masa psikologis masih relatif baru berkembang sehingga

ke depan diharapkan dapat menekan penumpukan perkara peradilan.

Hasil penelitian terdahulu lainnya yang digunakan dalam disertasi ini

adalah penelitian yang dilakukan oleh James Hasudungan Hutajulu dengan judul

“Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pencurian Ringan (Studi

di Polres Malang Kota)”. Hasil penelitian ini adalah:70

1) Digunakannya mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara

pencurian ringan yang dilakukan oleh Polres Malang Kota dilatarbelakangi

oleh beberapa hal, yaitu: pertama, untuk menciptakan rasa keadilan terhadap

para pihak yaitu: saksi, korban, dan tersangka, sehingga masyarakat puas atas

pelayanan yang dilakukan oleh penyidik Polres Malang Kota, karena tidak

semua kasus harus diselesaikan sampai ke tingkat persidangan; Kedua,

70
Penelitian ini dituangkan dalam sebuah Jurnal. Lihat James Hasudungan Hutajulu,
Op.Cit, h. 402.
57

pelaksanaan mediasi penal juga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat

terhadap Polri karena ada sebagian korban yang sebenarnya hanya ingin agar

kerugiannya diganti daripada harus berperkara di pengadilan sehingga dengan

mediasi penal masyarakat percaya bahwa Polri dapat menjadi mediator dalam

penyelesaian perkara masyarakat; dan ketiga, meningkatkan penyelesaian

perkara dan mengurangi beban kerja penyidik.

2) Pelaksanaan mediasi penal yang dilakukan oleh Polres Malang Kota dalam

menyelesaikan perkara pencurian ringan, dilakukan dengan langkah-langkah

sebagai berikut: pertama, mempertemukan para pihak (saksi, korban dan

tersangka maupun keluarga korban/tersangka). Kedua, penyidik menyaksikan

pengembalian barang yang dicuri oleh pelaku atau ganti kerugian lainnya.

Ketiga, membantu membuat surat kesepakatan bersama para pihak (saksi,

korban dan tersangka). Keempat, menerima surat pencabutan perkara

(Laporan Polisi). Kelima, penyidik melakukan gelar perkara untuk

penyelesaian kasus tersebut.

1.6.1.6 Teori Hukum

Jan Gijssels dan Mark Van Hoecke menyatakan bahwa, “Meer konkreet

is een teorie ‘een systeem van logische samenhangende beweringen, opvattingen

en begrippen betreffende een werkelijkheidsgebied, die zo zijn geformuleerd dat

het mogelijk is er toetsbare hypotesen uit af te leiden”71 (Terjemahan bebas: suatu

teori akan berhubungan dengan kesatuan pandang yang logis dan koheren

71
Jan Gijssels dan Mark Van Hoecke, 1982, Wat is Rechtstheorie?, Kluwer
Rechtswetenschappen, Antwerpen, h.134.
58

(logische samenhangende), pendapat, dan konsep sehingga mungkin ada

pengujian hipotesa untuk menyimpulkan). Berdasarkan hal tersebut dapat

diketahui bahwa teori hukum adalah teori-teori mengenai hukum yang merupakan

suatu pernyataan, pandangan, pendapat, dan pengertian-pengertian/konsep yang

diformulasikan sedemikian rupa. Teori hukum yang relevan digunakan sebagai

kajian dan pisau analisis dalam disertasi ini diantaranya yakni: teori keadilan, teori

pertanggaan atau teori jenjang norma (stufenbau theory), teori kebijakan hukum

pidana/politik hukum pidana (penal policy), teori hukum responsif dan teori

hukum progresif.

1.6.1.6.1 Teori Keadilan

Apabila dikaji dari berbagai teori keadilan yang ada, teori keadilan yang

relevan digunakan untuk membahas permasalahan dalam disertasi ini adalah teori

keadilan dari John Rawls, keadilan Pancasila, dan teori keadilan restoratif

(restorative justice) dari Howard Zehr dan Ali Gohar. Teori keadilan dari John

Rawls dan keadilan Pancasila ini sangat terkait dengan permasalahan pertama

dalam disertasi ini, sehingga dapat digunakan sebagai dasar analisis permasalahan

pertama. Teori keadilan restoratif (restorative justice) dari Howard Zehr dan Ali

Gohar dapat digunakan sebagai pijakan atau arah dalam pembentukkan konstruksi

mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana ringan, sehingga tepat digunakan

sebagai dasar analisis dalam permasalahan ketiga.

1.6.1.6.1.1 Teori Keadilan dari John Rawls

Disertasi ini menggunakan teori keadilan dari John Rawls karena

sependapat dengan Priyono bahwa teori keadilan John Rawls ini dipandang
59

sebagai teori yang paling komprehensif sampai saat ini dan sangat terkait dengan

permasalahan dalam disertasi ini yang menyikapi fenomena ketimpangan

ekonomi dan sosial dalam mencapai keadilan sosial. John Rawls memberikan

prinsip-prinsip keadilan yang sangat relevan digunakan dalam pembahasan

disertasi ini.

John Rawls dalam teorinya mengemukakan dua prinsip keadilan (two

principles of justice) yakni:

The first statement of the two principles reads as follows.


First : each person is to have an equal right to the most extensive basic
liberty compatible with a similar liberty for other.
Second : social and economic inequalities are to be arranged so that they
are both (a) reasonably expected to be everyone’s advantage, and (b)
attached to positions and offices open to all.72

Hal ini menunjukkan bahwa John Rawls mengemukakan dua prinsip keadilan.

Prinsip pertama, menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama atas

kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang.

Prinsip kedua menyatakan bahwa ketimpangan sosial dan ekonomi harus diatur

sedemikian rupa sehingga (a) dapat diharapkan memberi keuntungan bagi semua

orang, dan (b) semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang.73

Menurut penulis, dua prinsip dalam teori keadilan John Rawls

menunjukkan bahwa setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan yang

paling luas dan untuk mencapai itu perlu dilakukan penyetaraan untuk mencapai

keadilan (sebagaimana yang ditentukan dalam prinsip pertama). Keadilan juga

72
John Rawls, 1971, A Theory of Justice, The Belknap Press of Harvard of Harvard
University Press, Cambridge Massachusetts, America (Selanjutnya disebut John Rawls I), h. 60.
73
John Rawls, 2011, A Theory of Justice; Teori Keadilan, terjemahan Uzair Fauzan dan
Heru Prasetyo, Pustaka Pelajar, Yogyakarta (Selanjutnya disebut John Rawls II), h, 72.
60

dapat dicapai dengan mengutamakan pemberian keuntungan bagi semua orang

dan membuka kesempatan atau akses bagi semua orang untuk mendapatkan posisi

dan jabatan. Hal inilah yang akan mengatur ketimpangan sosial ekonomi

sedemikian rupa sehingga semua orang dapat diuntungkan (sebagaimana diatur

dalam prinsip kedua). Teori keadilan dari John Rawls berorientasi pada keadilan

sosial sehingga akan menjawab kebutuhan keadilan di Indonesia.

1.6.1.6.1.2 Keadilan Pancasila

Keadilan yang sesuai dengan rasa keadilan bangsa Indonesia adalah

keadilan Pancasila yang mengacu pada sila kedua dan sila ke lima Pancasila yakni

Kemanusiaan yang adil dan beradab dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia. Kedua sila tersebut juga terlefleksikan atau juga terkait dengan sila-sila

lainnya sehingga menjadi kesatuan yang utuh untuk dapat memenuhi rasa

keadilan masyarakat. Keadilan Pancasila akan mencakup semua sila yang

menunjukkan keselarasan, kesatuan dan keseimbangan :

1) Keadilan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.


2) Keadilan berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab.
3) Keadilan berdasarkan Persatuan Indonesia.
4) Keadilan berdasarkan pada kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5) Keadilan berdasarkan pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.74

Bahder Johan Nasution mengemukakan bahwa konsep keadilan menurut

pandangan bangsa Indonesia adalah konsep keadilan menurut Pancasila yang

74
Barda Nawawi Arief, 2015, yang disampaikan pada kuliah umum di Fakultas Hukum
Universitas Udayana, Bali (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief II).
61

merupakan filsafat bangsa.75 Konsep keadilan Indonesia adalah konsep keadilan

Pancasila, sehingga kajian secara idiologis berdasarkan Pancasila sangatlah tepat

dilakukan untuk dapat mencapai rasa keadilan masyarakat atau bangsa Indonesia.

1.6.1.6.1.3 Teori Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dari Howard Zehr


dan Ali Gohar

Mediasi penal ditujukan untuk pemenuhan keadilan bukan hanya

keadilan bagi korban, pelaku, dan juga bagi masyarakat luas, oleh sebab itu

digunakan teori keadilan restorative (restorative justice) dalam pembahasan

permasalahan ketiga dalam disertasi ini. Menurut Howard Zehr dan Ali Gohar

dalam bukunya yang berjudul, The Little Book of Restorative Justice :

“Restorative justice is a process to involve, to the extent possible, those who have

a stake in a specific offense to collectively identify and address harms, needs and

obligations in order to heal and put things as right as possible”.76 Berdasarkan

pendapat ini dapat diketahui bahwa konsep restorative justice ini melibatkan

semua pihak yang berkepentingan (those who have a stake) untuk

mengidentifikasi kerugian, kebutuhan dan kewajiban, untuk memulihkan dan

mendapatkan hak-hak yang mungkin diperoleh.

Howard Zehr merumuskan prinsip-prinsip dasar dalam keadilan restoratif

(restorative justice), yang ditegaskan dalam sembilan bukan atau dengan istilah

“restorative justice is not ...”.77 Kesembilan prinsip ini dapat dijadikan pedoman

75
Bahder Johan Nasution, 2011, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, CV. Mandar
Maju, Bandung, Op.Cit, h. 109.
76
Ibid, h. 40.
77
Howard Zehr, 2002, The Little Book of Restorative Justice, Good Books,
Pennsylvania, h. h. 8-13.
62

dan dasar analisis dalam membentuk kontruksi mediasi penal dalam penyelesaian

tindak pidana ringan di Indonesia, sehingga mediasi penal dapat menjiwai hakikat

dan keberadaan restorative justice.

1.6.1.6.2 Teori Jenjang Norma (Stufentheorie) dari Hans Kelsen dan Hirarki
Peraturan Perundang-undangan

Teori tentang jenjang norma (Stufentheorie) dari Hans Kelsen membahas

mengenai the hierarchy of the norms atau tata urutan norma-norma. Terkait the

hierarchy of the norm Hans Kelsen memaparkan tata urutan norma, dari norma

yang lebih tinggi (the superior norm) dan norma yang lebih rendah (the inferior

norm) sebagaimana yang diuraikan dalam bukunya yang berjudul General Theory

of Law & State.

Hans Kelsen dalam teorinya mengenai teori pertanggaan atau teori

jenjang norma (Stufenbau Theory) menyatakan bahwa:

Law regulates its own creation inasmuch as one legal norm determines the
way in which another norm is created, and also, to some extent, the contents
of that norm. Since a legal norm is valid because it is created in a way
determined by another legal norm, the latter is the reason of validity of
another norm and this other norm may be presented as a relationship of
super- and sub-ordination, which is a spatial figure of speech. The norm
created according to this regulation, the inferior norm.78

(Terjemahan bebas: Hukum mengatur pembentukannya sendiri karena suatu


norma hukum menentukan cara untuk membuat norma hukum lain dan
sampai derajat tertentu menentukan isi dari norma yang lain. Norma hukum
yang satu valid, karena dibuat dengan cara yang ditentukan oleh suatu
norma hukum yang lain, dan norma hukum yang lain ini menjadi landasan
validitas dari norma hukum yang disebut pertama. Hubungan antara norma
yang mengatur pembentukan norma lain dengan norma yang lain dapat
digambarkan sebagai hubungan antara “superordinasi” dan “subordinasi”
yang merupakan kiasan keruangan. Norma yang menentukan pembentukan

78
Hans Kelsen I, Op.Cit, h. 124.
63

norma lain adalah norma yang lebih tinggi, sedangkan norma yang dibentuk
menurut peraturan ini adalah norma yang lebih rendah).79

Teori Stufenbau Theory dari Hans Kelsen ini melihat hukum sebagai

suatu sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida. Norma yang

lebih rendah memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi.

Semakin tinggi suatu norma akan semakin abstrak sifatnya dan sebaliknya,

semakin rendah kedudukannya akan semakin konkret norma tersebut. Norma

yang paling tinggi, yang menduduki puncak piramida disebut Kelsen dengan

nama Grundnorm (norma dasar).80 Teori Stufenbau Theory dari Hans Kelsen ini

dapat digunakan untuk mengetahui keberlakuan hukum sehingga dapat dijadikan

dasar analisis dalam membahas permasalahan kedua dalam disertasi ini.

1.6.1.6.3 Teori Kebijakan Hukum Pidana/Politik Hukum Pidana (Penal


Policy) dari M. Cherif Bassiouni dan Barda Nawawi Arief serta
Dilengkapi dengan Konsep Pembaharuan Hukum Pidana dari
Barda Nawawi Arief dan Pembaharuan Hukum Acara Pidana
Pidana dari Andi Hamzah

Pembentukkan sebuah konstruksi terkait dengan hukum pidana tentu

memerlukan sebuah kebijakan hukum pidana sebagai arah dan pedoman agar

konstruksi tersebut dapat berlaku sebagai hukum positif yang efektif. Berdasarkan

hal ini digunakanlah teori kebijakan hukum pidana/politik hukum pidana (penal

policy) dari M. Cherif Bassiouni dan Barda Nawawi Arief, karena teori ini relevan

dengan kondisi hukum di Indonesia. Melalui teori ini akan dibentuk sebuah

konstruksi yang memuat ide-ide/kebijakan-kebijakan mengenai model

79
Hans Kelsen II, Op.Cit, h. 179.
80
Darji Darmodiharjo dan Sidartha, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum (Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, h.116.
64

penyelesaian kasus tindak pidana ringan yang baik dan dapat diterapkan di

Indonesia, sehingga teori ini tepat digunakan untuk membahas permasalahan

ketiga.

Terkait dengan kebijakan hukum pidana, Barda Nawawi Arief

menyatakan bahwa:

Pada hakikatnya masalah kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata


pekerjaan teknik perundang- undangan yang dapat dilakukan secara yuridis
normatif dan sistematik dogmatik. Disamping pendekatan yuridis normatif,
kebijakan hukum pidana juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang
dapat berupa pendekatan sosiologis, historis, dan komparatif; bahkan
memerlukan pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin sosial lainnya
dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional
pada umumnya.81

Pendekatan-pendekatan dalam kebijakan hukum pidana ini dapat digunakan

dalam membentuk konstruksi yang ideal.

Menurut M. Cherif Bassiouni, “... the policy-oriented approach should

be considered as one scientific device which is to be employed as an alternative to

the emotionally laden value judgment approach presently followed in most

legislative bodies”.82 Pandangan dari M. Cherif Bassiouni ini menunjukkan bahwa

pendekatan yang berorientasi pada kebijakan ini harus dipertimbangkan sebagai

salah satu scientific device yang akan digunakan sebagai alternatif dari pendekatan

yang secara emosional diorientasikan pada pertimbangan nilai (the emosionally

laden value judgment approach) yang sebagian besar diikuti oleh badan legislatif.

81
Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana; Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru, Cetakan Pertama, Semarang (Selanjutnya disebut Barda
Nawawi Arief III), h. 24.
82
M. Cherif Bassiouni, 1978, Substantive Criminal Law, Thomas, USA, h. 83.
65

M. Cherif Bassiouni menyatakan bahwa, “To that extent, the discipline of

criminal law is not only pragmatic but also value-based and value-oriented”.83

Berdasarkan pendapat dari M. Cherif Bassiouni ini dapat diketahui bahwa disiplin

hukum pidana tidak hanya pragmatis, tetapi juga suatu disiplin yang berdasar dan

berorientasi pada nilai (not only pragmatic but also value-based and value-

oriented). Sebagai salah satu bentuk kebijakan hukum pidana maka akan

diuraikan Konsep Pembaharuan Hukum Pidana dari Barda Nawawi Arief dan

Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pidana dari Andi Hamzah yang akan

digunakan untuk menganalisis permasalahan ketiga dalam disertasi ini.

Menurut Barda Nawawi Arief banyak perubahan atau hal-hal baru di

dalam konsep rancangan KUHP. Terkait dalam disertasi ini, salah satunya adalah

mengenai asas Pertanggungjawaban Pidana. Mengenai asas pertangungjawaban

pidana Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa dalam masalah

pertangungjawaban pidana konsep RUU KUHP memberi kemungkinan untuk

menerapkan asas "pemberian maaf/pengampunan oleh hakim" ("rechterlijk

pardon" atau''judicial pardon), sehingga konsep tidak kaku dan bersifat absolut.84

Barda Nawawi Arief menulis bahwa kewenangan hakim untuk memberi

maaf ("rechterlijk pardon") berarti bahwa hakim tidak menjatuhkan sanksi pidana

tindakan apapun.85 Asas "pemberian maaf/pengampunan oleh hakim" ("rechterlijk

pardon" atau''judicial pardon) ini merupakan sebuah terobosan yang sangat

83
Ibid, h. 78.
84
Barda Nawawi Arief, 2011, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian
Perbandingan, Cetakan Kedua, PT Citra Aditya Bakti, Bandung (Selanjutnya disebut Barda
Nawawi Arief IV), h. 1.
85
Barda Nawawi Arief III, Loc.Cit.
66

progresif dan responsif untuk mewujudkan keadilan bagi masyarakat dalam

kerangka restorative justice.

Rancangan KUHP baru juga memuat mengenai Tujuan Pemidanaan dan

Pedoman Pemidanaan. Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa tujuan

pemidanaan ini bertolak dari pemikiran bahwa sistem hukum pidana merupakan

satu kesatuan sistem yang bertujuan ("purposiv system") dan pidana hanya

merupakan alat/sarana untuk mencapai tujuan, maka konsep merumuskan tujuan

pemidanaan yang bertolak pada keseimbangan dua sasaran pokok, yaitu

"perlindungan masyarakat" dan "perlindungan/pembinaan individu".86

Mengenai pedoman pemidanaan, Barda Nawawi Arief juga menyatakan

bahwa masalah keseimbangan antara kepastian/kekakuan dengan kelenturan

(elastisitas/fleksibilitas) juga diimplementasikan dalam "pedoman dan aturan

pemidanaan". 87 Adanya tujuan dan pedoman pemidanaan maka hukum pidana

materiil dan formil (penegakan atau pelaksanaannya) tentunya akan semakin

terarah.

Adanya pembaharuan hukum pidana materiil (KUHP) tentu menuntut

juga untuk dilakukannya pembaharuan terhadap hukum pidana formil (KUHAP).

Penyusunan RUU KUHAP yang diketuai oleh Andi Hamzah banyak hal-hal baru

yang diatur dalam RUU KUHAP.

Terkait dengan disertasi ini terdapat pengaturan tentang penegasan

penyelesaian perkara di luar pengadilan. Andi Hamzah menyatakan bahwa dalam

ketentuan Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan (afdoening buiten process),

86
Barda Nawawi Arief III, Op.Cit, h. 18.
87
Barda Nawawi Arief III, Op.Cit, h. 20.
67

hanya perkara yang tidak berat, dan penuntut umum yang memutuskan karena

dalam perkara pidana yang menjadi pihak ialah pelaku berhadapan dengan negara

yang diwakili oleh jaksa. Dalam Rancangan KUHAP delik yang diancam dengan

pidana penjara empat tahun dan bagi tersangka yang berumur 70 tahun ke atas,

lima tahun ke bawah. Syarat lain, tersangka bukan residivis, motif ringan,

tersangka tidak dalam keadaan ditahan. 88 Ini merupakan pembaharuan yang

relevan dan sangat tepat untuk mencapai rasa keadilan bagi masyarakat.

Konsep Pembaharuan Hukum Pidana dari Barda Nawawi Arief dan

Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pidana dari Andi Hamzah tepat digunakan

untuk mengkaji permasalahan ketiga. Konsep ini diharapkan mampu

menunjukkan bahwa mediasi penal dalam penyelesaian kasus tindak pidana

ringan sejalan dengan apa yang digariskan dalam Rancangan KUHP dan

Rancangan KUHAP sebagai cerminan dari ius contituendum (hukum yang dicita-

citakan) Indonesia.

1.6.1.6.4 Teori Hukum Responsif dari Philippe Nonet dan Philip Selznick,
serta dilengkapi dengan Teori Hukum Progresif dari Satjipto
Rahardjo

Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam teorinya tentang hukum

responsif menyatakan bahwa:

It perceives social pressures as sourcess of knowledge and opportunities for


self-correction. To assume that posture, an institution requires the guidance
of purpose. Purposes set standards for criticizing established practice,
thereby opening ways to change. At the same time, taken seriously, thet can
control administrative discretion and thus mitigate the risk of institutional

88
Andi Hamzah, 2016, “Pembaharuan Hukum Acara Pidana” dalam Jufrina Rizal dan
Suhariyono AR (ed), Demi Keadilan Antologi Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana; Enam
Dasawarsa Harkristuti Harkrisnowo, Pustaka Kemang, Jakarta. h. 324-325.
68

surender. Conversely, a lack of purpose lies at the root of both regidity and
opportunism. These maladies, in fact, involve each other and coexist. A
formalist, rule-bound institution is ill equipped to recognize what is really at
stake in its conflicts with the environment. It is likely to adapt
opportunistically because it lack criteria for rational reconstruction of out
moded or inappropriate policies. Only when an institution is truly purposive
can there be a combination of integrity and openness, rule and discretion.
Hence, responsive law presumes that purpose can be made objective
enaough and authoritative enought to control adaptive rule making.89

Teori responsif dari Philippe Nonet dan Philip Selznick pada intinya

menyatakan bahwa lembaga responsif menganggap tekanan-tekanan sosial

sebagai sumber pengetahuan dan kesempatan untuk melakukan koreksi diri.

Sebuah institusi memerlukan panduan ke arah tujuan. Tujuan menetapkan standar

untuk mengkritisi praktik yang sudah mapan, dan membuka jalan untuk

melakukan perubahan. Ketiadaan tujuan berakar pada kekakuan serta

oportunisme. Suatu institusi yang formalis, yang terikat pada peraturan, menjadi

institusi yang cenderung beradaptasi secara oportunis karena tidak mempunyai

kriteria untuk secara rasional merekontruksi kebijakan yang sudah ketinggalan

zaman atau sudah tidak layak lagi diberlakukan. Hukum responsif beranggapan

bahwa tujuan dapat dibuat cukup obyektif dan cukup otoritatif untuk mengontrol

pembuatan peraturan yang adaptif.90

Sangat diperlukan kepekaan untuk mengetahui tuntutan masyarakat dan

kebutuhan masyarakat, karena peran dari hukum responsif salah satunya yakni

sebagai sarana yang memfasilitasi aspirasi publik dan menjawab berbagai

89
Philippe Nonet dan Philip Selznick, 1978, Law and Society in Transition : Toward
Responsive Law, Harper & Row, London (Selanjutnya disebut Philippe Nonet dan Philip Selznick
I), h.77.
90
Philippe Nonet dan Philip Selznick, 2015, Hukum Responsif, terjemahan Raisul
Muttaqien, Nusa Media, Bandung (Selanjutnya disebut Philippe Nonet dan Philip Selznick II), h.
87-88.
69

kebutuhan masyarakat. Hukum responsif akan melakukan perubahan dan proses

pengoreksian diri. Peraturan yang dibentukpun akan bersifat adaptif, sesuai

dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Teori ini diharapkan mampu menjadi

dasar analisis perlunya mediasi penal di Indonesia dan sebagai sarana yang akan

memfasilitasi pengaturan mediasi penal dalam penyelesaian kasus tindak pidana

ringan di Indonesia, sehingga tepat untuk membahas permasalahan ketiga dalam

disertasi ini.

Sejalan dengan teori hukum responsif, Satjipto Rahardjo juga menggagas

teori Hukum Progresif yang berkembang di Indonesia. Teori Hukum Progresif

dari Satjipto Rahardjo dilhami dari teori hukum responsif dari Philippe Nonet dan

Philip Selznick, sehingga tepat untuk dijadikan kajian dalam melengkapi teori

hukum responsif dari Philippe Nonet dan Philip Selznick.

Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa hukum progresif dimulai dari suatu

asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Hukum

progresif tidak menerima hukum sebagai institusi yang mutlak dan final, namun

sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi untuk manusia. Hukum

progresif merupakan koreksi terhadap kelemahan sistem hukum modern yang

sarat dengan birokrasi serta ingin membebaskan diri dari dominasi tipe hukum

yang liberal. Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada

ideal hukum dan menolak status-quo. Hukum progresif tidak ingin menjadikan
70

hukum sebagai teknologi yang tidak memiliki nurani, melainkan suatu institusi

yang bermoral.91

Teori progresif dari Satjipto Rahardjo juga menyatakan bahwa berkaitan

dengan asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya,

maka hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih

luas dan lebih besar. Satjipto Rahardjo juga menyatakan bahwa hukum adalah

institusi yang secara terus menerus membangun dan mengubah dirinya menuju

pada tingkat kesempurnaan yang lebih baik, yakni yang diverifikasikan ke dalam

faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian terhadap rakyat, dan lain-lain.

Inilah hakekat “hukum yang selalu dalam proses menjadi”. Hukum akan selalu

berada dalam status law in the making. 92 Teori hukum progresif dari Satjipto

Rahardjo ini sangatlah menarik untuk dikaji yang menunjukkan sebuah

pergerakan, menjadikannya sebuah teori yang memuat paradigma-paradigma

untuk menjawab berbagai permasalahan hukum yang tidak bisa diselesaikan

melalui paradigma positivisme. Teori ini tepat digunakan dalam membahas

permasalahan ketiga yang memberikan arah pembentukan hukum yang progresif.

91
Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum Progresif, Cetakan Pertama, Genta Publising,
Yogyakarta (Selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo II), h. 1.
92
Ibid, h. 5-17.
71

1.6.2 KERANGKA BERPIKIR

Landasan filosofis,
sosiologis, yuridis, Konstruksi Mediasi Penal Dalam Penyelesaian
ideologis. Tindak Pidana Ringan
Aspek ontologi, di Indonesia
epistemologi, dan
aksiologi

1. Apa makna 2. Apakah yang menjadi 3. Bagaimanakah konstruksi


mediasi penal dasar hukum mediasi mediasi penal dalam
dalam penal dalam tindak penyelesaian tindak pidana
penyelesaian pidana ringan di ringan di masa yang akan
tindak pidana Indonesia (ius datang (ius constituendum) ?
ringan ? contitutum) ?

1. Teori Keadilan : Teori Pertanggaan 1. Teori Kebijakan Hukum


teori keadilan atau Teori Jenjang Pidana/Politik Hukum Pidana
John Rawls dan Norma (Stufenbau (Penal Policy) dari M. Cherif
keadilan Theory) dari Hans Bassiouni dan Barda Nawawi Arief
pancasila Kelsen 2. Teori Keadilan Restoratif
1. Konsep Negara (Restorative Justice) dari Howard
Hukum: Negara Zehr dan Ali Gohar
Hukum Materiil 3. Teori Hukum Responsif dari
dan Negara Philippe Nonet dan Philip Selznick
Hukum 4. Teori Hukum Progresif dari
Asas, dokrtin,
yurisprudensi, Satjipto Rahardjo
hasil Konstruksi Teori dan 1. Konsep Pembaharuan Hukum
penelitian Konsep Hukum Pidana dari Barda Nawawi Arief
terdahulu dan Konsep Pembaharuan Hukum
Acara Pidana dari Andi Hamzah

KonstruksiKonstruksi yuridis & Konstruksi teori hukum


Metode
Penelitian
Pengaturan mediasi penal dalam tindak pidana ringan di Indonesia

1. Pembaharuan KUHAP tegas secara eksplisit


mengatur bahwa "tindak pidana ringan dapat
TEMUAN diselesaikan melalui mediasi penal".
2. Model mediasi penal yang ideal diterapkan di
Indonesia
3. Mekanisme mediasi penal dalam penyelesaian
tindak pidana ringan
72

1.7 Metode Penelitian

1.7.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam disertasi ini adalah penelitian

hukum normatif yang mengkaji mengenai “Konstruksi Mediasi Penal Dalam

Penyelesaian Tindak Pidana Ringan di Indonesia”. Penelitian ini beranjak dari

kekosongan norma mengenai mediasi penal.

Menurut Sudikno Mertokusomo, penelitian hukum normatif adalah

penelitian hukum yang meneliti kaidah atau norma. 93 Menurut Peter Mahmud

Marzuki, penelitian hukum adalah proses untuk menemukan aturan hukum,

prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum

yang dihadapi. 94 Telah terjadi kesosongan norma sebagai permasalahan atau

kesenjangan norma dalam disertasi ini, oleh sebab itu penelitian ini akan dikaji

dengan metode penelitian hukum normatif.

1.7.2 Jenis Pendekatan

Pada penelitian ini untuk kedalaman pengkajian dan sesuai dengan

konteks permasalahan atau isu yang dikaji, maka digunakan berbagai pendekatan.

Disertasi ini menggunakan lima jenis pendekatan yakni pendekatan kasus (the

case approach), pendekatan perundang-undangan (the statute approach),

pendekatan konseptual (conseptual approach), pendekatan sejarah (historical

approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach).

93
Sudikno Mertokusumo, 2014, Penemuan Hukum, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta
(Selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo II), h.37.
94
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, h. 35.
73

1.7.2.1 Pendekatan kasus (the case approach)

Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa pendekatan kasus dilakukan

dengan cara menelaah kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi dan

telah menjadi putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.

Bagian dalam putusan pengadilan yang menjadi kajian pokok dalam pendekatan

kasus adalah ratio decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan atau

alasan-alasan hukum yang digunakan hakim untuk sampai pada putusannya. Ratio

decidendi atau reasoning ini dapat menjadi referensi bagi penyusunan

argumentasi dalam pemecahan isu hukum.95

Penulis dalam disertasi ini mengkaji kasus-kasus dalam putusan

pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap yang berkaitan dengan

permasalahan yang dikaji (kasus tindak pidana ringan). Pendekatan kasus ini

digunakan dalam disertasi ini untuk membantu dalam argumentasi dan

memperkuat analisis dalam penelitian ini. Kasus-kasus tersebut juga akan

menggambarkan kondisi kebutuhan hukum masyarakat sehingga dapat diketahui

isu hukum yang terjadi. Analisis (berupa solusi) akan dituangkan dalam dalam

kontruksi pengaturan mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana ringan.

1.7.2.2 Pendekatan perundang-undangan (the statute approach)

Menurut Peter Mahmud Marzuki pendekatan perundang-undangan

adalah pendekatan yang menelaah semua undang-undang dan regulasi yang

bersangkut paut dengan isu yang sedang ditangani. Pendekatan perundang-

undangan adalah pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi. Peneliti

95
Ibid, h. 93-119.
74

perlu memahami hirarki dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan

dalam penggunaan metode pendekatan perundang-undangan. Peneliti tidak hanya

melihat bentuk peraturan, namun juga menelaah materi muatannya. Peneliti juga

perlu mempelajari dasar ontologis lahirnya undang-undang, landasan filosofis dari

undang-undang, dan ratio legis dari ketentuan undang-undang.96

Penelitian hukum normatif tidak dapat lepas dari pendekatan perundang-

undangan (the statute approach) karena objek yang dikaji atau yang diteliti adalah

Peraturan Perundang-undangan, sehingga penulis juga menggunakan pendekatan

perundang-undangan (the statute approach) dalam disertasi ini. Penulis mengkaji

semua perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan atau isu hukum

yang ada, serta melakukan pengkajian mengenai dasar ontologis lahirnya undang-

undang, landasan filosofis, dan ratio legis dari ketentuan undang-undang yang

terkait.

1.7.2.3 Pendekatan konseptual (conseptual approach)

Menurut Peter Mahmud Marzuki pendekatan konseptual adalah

pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang

berkembang di dalam ilmu hukum. Melalui pandangan-pandangan dan doktrin-

doktrin tersebut, peneliti akan menemukan ide-ide yang menciptakan pengertian-

pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan

dengan isu yang ada. Pemahaman pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin

96
Ibid, h. 93-102.
75

menjadi sandaran dalam membangun argumentasi hukum dalam memecahkan isu

yang dihadapi.97

Pendekatan konseptual ini digunakan untuk membantu penulis dalam

penyusunan analisis dan argumentasi, selain itu juga sangat bermanfaat di dalam

memberikan ide-ide dalam menyusun sebuah konstruksi dalam disertasi ini.

Penulis akan mengkaji berbagai pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin terkait

dengan permasalahan yang ada.

1.7.2.4 Pendekatan sejarah (historical approach)

Menurut Peter Mahmud Marzuki pendekatan sejarah dilakukan dengan

menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan

mengenai isu yang dihadapi. Hal ini diperlukan jika peneliti jika ingin

mengungkap filosofis dan pola pikir yang melahirkan suatu yang sedang

dipelajari.98

Pendekatan sejarah digunakan dalam disertasi ini karena aspek filosofis

penting untuk diketahui sebagai awal dalam membentuk sebuah model baru dalam

penggunaan mediasi penal untuk menyelesaikan kasus tindak pidana ringan di

Indonesia. Pendekatan ini tidak hanya menggali mengenai sejarah/masa lalu

namun juga perkembangannya hingga saat ini yang akan sangat bermanfaat dalam

membangun sebuah konstruksi untuk hukum yang berlaku pada masa yang akan

datang (ius constituendum). Pendekatan ini akan menunjukkan kebaikan atau

kekurangan mengenai keberadaan dan dasar hukum mediasi penal di Indonesia

sehingga dapat membantu di dalam pembentukan hukumnya.

97
Ibid, h. 95.
98
Ibid, h. 94.
76

1.7.2.5 Pendekatan perbandingan (comparative approach)

Peter Mahmud Marzuki juga menyatakan bahwa studi perbandingan

hukum merupakan kegiatan membandingkan hukum suatu negara dengan hukum

negara lain atau hukum dari suatu waktu tertentu dengan hukum pada waktu yang

lain. Selain itu, juga membandingkan suatu putusan pengadilan untuk masalah

yang sama. Hal ini bermanfaat untuk penyingkapan latar belakang terjadinya

ketentuan hukum tertentu untuk masalah yang sama dari dua negara atau lebih

yang selanjutnya dapat dijadikan rekomendasi dalam penyusunan atau perubahan

peraturan perundang-undangan.99

Penelitian ini melakukan studi perbandingan mengenai pengaturan dan

penerapan mediasi penal di beberapa negara dengan sistem hukum Eropa

Kontinental (Civil Law) yakni Belanda dan Jerman, sistem hukum Anglo Saxon

(Common Law) diantaranya adalah negara Amerika Serikat dan Inggris, sistem

hukum/keluarga hukum sosialis yaitu di Cina (China), sistem hukum campuran

yakni Jepang (Japan), dan negara-negara ASEAN (Association of Southeast Asian

Nations) yakni Singapura (Singapore). Negara-negara ini digunakan dalam

pengkajian komparasi dalam disertasi ini karena dapat mewakili keberadaan dan

perkembangan mediasi penal di dunia.

Pendekatan perbandingan (comparative approach) digunakan dalam

disertasi ini karena banyak manfaat yang diperoleh, terutama dapat memberikan

masukan atau kontribusi yang sangat besar dalam pembentukan hukum,

khususnya dalam menyusun kontruksi hukum mengenai mediasi penal dalam

99
Ibid, h. 132-133.
77

penyelesaian kasus tindak pidana ringan. Melalui pendekatan ini akan

memberikan ide-ide dalam menemukan model mediasi penal yang sesuai untuk

ditrapkan di Indonesia, dengan perbandingan hukum juga dapat diketahui

kelebihan dan kelemahan pengaturan dan penerapan mediasi penal di negara-

negara lainnya. Penulis dapat mengadopsi hal-hal positif dari hasil pengkajian

melalui perbandingan hukum, namun tentu hal yang diadposi adalah yang sesuai

untuk dapat diterapkan di Indonesia.

1.7.3 Sumber Bahan Hukum.

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Bahan hukum primer

dan bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :

a) Bahan hukum primer. Dalam penelitian ini dapat berupa bahan-bahan hukum

yang mengikat yang dalam penelitian ini terdiri dari peraturan dasar,

peraturan perundang-undangan, serta peraturan lainnya yaitu:

a) Pancasila.

b) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

c) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

d) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang

Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982

Nomor 76; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

3209).

e) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang

Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN (Lembaran Negara


78

Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 3851; Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3851)

f) Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1999 Nomor 138; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 3872).

g) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang

Kepolisian Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4168; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4168).

h) Undang-undang RI Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157;

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).

i) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012

Nomor 153; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

5332).

j) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 Tentang

Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2014 Nomor 292; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5601).

k) Peraturan Kepala Badan Pembinaan Keamanan Kepolisian Negara RI

Nomor 13 Tahun 2009 Tanggal 31 Desember 2009.


79

l) Peraturan Kepala Badan Pemelihara Keamanan Kepolisian Negara

Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Penanganan Tindak

Pidana Ringan (Tipiring).

m) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun

2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

n) Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2012 Tentang

Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam

KUHP.

o) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun

2015 Tentang Pemolisian Masyarakat.

p) Surat Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol :

B/3022/XXI/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember 2009, Perihal

Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR).

Penelitian dalam disertasi ini juga mempergunakan yurisprudensi dan berbagai

instrumen internasional.

b) Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :

pendapat para pakar hukum (doktrin), buku-buku hukum (text book), dan

artikel dari perkembangan informasi internet.

c) Bahan hukum tersier/tertier yang digunakan dalam penelitian ini adalah

kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia.


80

1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Bahan hukum primer yang terkait dengan penelitian ini dikumpulkan

secara sistematis. Bahan-bahan hukum sekunder yang terkait dalam penelitian ini

selanjutnya dikumpulkan dan ditelusuri dengan menggunakan metode bola salju

(snow ball method). M. Hadin Muhjad dan Nunuk Nuswardani menyatakan

bahwa cara atau teknik “snow ball” dilakukan dalam pengumpulan bahan hukum

sekunder karena sangat minimnya referensi tentang hal yang dibahas. Dalam hal

menjaga kedalaman kajian dan tetap fokus pada permasalahan yang dikaji, cara

atau teknik “snow ball” disusun secara sistematik. 100 Teknik ini pengumpulan

bahan hukum secara sistematis dan metode bola salju digunakan dalam disertasi

ini untuk mempermudah penulis dalam mengumpulkan bahan-bahan hukum yang

relevan.

1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Keseluruhan bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dalam disertasi

ini dianalisis dengan menggunakan teknik analisis bahan hukum. Teknik analisis

bahan hukum yang digunakan dalam disertasi ini berupa teknik

deskripsi/deskriptif, teknik komparatif, teknik evaluasi/evaluatif, teknik

interpretasi, teknik konstruksi, dan teknik argumentasi/argumentatif:

1.7.5.1 Teknik deskripsi/deskriptif

Pasek Diantha menyatakan bahwa dalam teknik deskriptif peneliti

memaparkan apa adanya tanpa disertai tanggapan atau pendapat pribadi peneliti.

100
M. Hadin Muhjad dan Nunuk Nuswardani, 2012, Penelitian Hukum Indonesia
Kontemporer, Cetakan Pertama, Genta Publising, Yogyakarta, h. 51.
81

tentang suatu peristiwa hukum atau kondisi hukum. 101 Teknik ini digunakan

dalam disertasi ini karena telah menjadi teknik dasar dalam analisis bahan hukum

yang selalu digunakan dan tidak dapat dihindari penggunaannya karena bersifat

memaparkan atau menguraikan bahan-bahan hukum yang dianalisis terkait

dengan permasalahan yang ada.

1.7.5.2 Teknik komparatif

Teknik komparatif diperlukan untuk menganalisis bahan hukum sekunder

yang didalamnya terdapat berbagai pandangan sarjana hukum. Identifikasi

berbagai pandangan juris atau ahli hukum ini diperlukan untuk kemudian

dilakukan kristalisasi untuk menghasilkan kebenaran sementara atas argumentasi

peneliti. 102 Teknik komparatif digunakan dalam disertasi ini untuk menemukan

kebenaran dari berbagai pandangan dalam bahan hukum sekunder yang ada.

1.7.5.3 Teknik evaluasi/evaluatif

Pandangan-pandangan atau pendapat-pendapat ahli hukum yang pro dan

kontra akan dievaluasi dan hasil evaluasi kemungkinan bahwa peneliti menyetujui

salah satunya dan menolak yang lainnya atau peneliti tidak setuju terhadap

keduanya. 103 Teknik ini tentu diperlukan dalam disertasi ini untuk menentukan

pendapat atau pandangan ahli hukum yang dapat digunakan dalam membahas

permasalahan.

101
Pasek Diantha, 2016, Metodelogi Penelitian Hukum Normatif; Dalam Justifikasi
Teori Hukum, Cetakan Pertama, Prenada Media Group, Jakarta, h. 152.
102
Ibid, h. 153.
103
Ibid, h. 153-154.
82

1.7.5.4 Teknik interpretasi

Menurut Sudikno Mertokusumo, “Interpretasi atau penafsiran merupakan

salah satu metode penemuan hukum yang memberikan penjelasan gamblang

mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat diterapkan pada

peristiwa hukum tertentu”.104 Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa teknik ini

tentu sangat perlu digunakan dalam penelitian hukum normatif, terutama dalam

menganalisis bahan hukum primer (peraturan perundang-undangan yang tidak

jelas, tidak lengkap, tidak tuntas). Teknik interpretasi yang digunakan dalam

disertasi ini adalah penafsiran gramatikal (tata bahasa), penafsiran otentik,

penafsiran sejarah, penafsiran sistematis/logis, penafsiran teleologis/sosiologis,

penafsiran komparatif/perbandingan, penafsiran antisipatif atau futuristis,

penafsiran restriktif, dan penafsiran ekstensif.

Penelitian ini juga menggunakan penafsiran hukum yang progresif dalam

menyikapi dinamisasi perkembangan hukum dan masyarakat. Penafsiran hukum

yang progresif dapat mengakomodasi kebutuhan hukum dan kebutuhan

masyarakat akan keadilan. Dapat dikatakan bahwa penafsiran hukum yang

progresif dalam penelitian ini digunakan untuk melengkapi penafsiran dalam

lingkaran undang-undang.

Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa sejak adanya tradisi written law,

maka pembacaan terhadap teks hukum menjadi masalah yang penting, sehingga

penafsiran terhadap teks tidak dapat dihindari. Penafsiran hukum menjadi

aktivitas yang mutlak terbuka untuk dilakukan. Muncul pandangan bahwa kalimat

104
Sudikno Mertokusumo II, Op.Cit, h. 169.
83

dalam peraturan hanyalah semacam eksemplar saja, sedangkan yang ingin

dijangkau adalah suatu makna yang lebih dalam lagi, katakanlah: keadilan. Setiap

kali membaca peraturan, maka setiap kali pula kita harus mencari makna lebih

dalam yang ada dalam peraturan tersebut. 105 Hal ini menunjukkan bahwa

diperlukannya penafsiran terbuka untuk mencapai keadilan.

Menurut Satjipto Rahardjo penafsiran merupakan pekerjaan yang kreatif,

inovatif, progresif, dan bahkan terkadang merupakan sebuah lompatan. Lompatan

dalam hal ini berarti penafsiran tidak lagi rulebound, melainkan keluar dari logika

peraturan (logic of the rule).106

Undang-undang tidaklah selalu dirumuskan secara tepat dan jelas.

Undang-undang tidaklah selalu memberikan keadilan. Terkait hal ini, Satjipto

Rahardjo menyatakan bahwa masyarakat membutuhkan ketertiban serta

keteraturan sehingga membutuhkan hukum. Masyarakat pasti menolak untuk

diatur oleh hukum yang cacat, oleh sebab itu diperlukan cara-cara untuk

mengadilkan, membenarkan, meluruskan, serta membumikan hukum. Cara-cara

ini dilayani oleh penafsiran terhadap teks-teks hukum. Hukum membutuhkan

pemaknaan lebih lanjut agar menjadi lebih adil dan membumi.107

105
Satjipto Rahardjo II, Op.Cit, h. 116-117. Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa dalam
tradisi civil law, hukum adalah tertulis, maka semua penalaran akan dikembalikan kepada “a finite
closed scheme of permissible justification”, yang tidak lain adalah teks tertulis. Hal ini
mengakibatkan bahwa teks tersebut harus ditafsirkan, sedangkan alam dan kehidupan sosial bukan
suatu “scheme” yang “finite closed”, melainkan terus berubah, bergerak secara dinamis. Dalam
common law, penafsiran hukum tidak menjadi begitu mendesak, karena dalam common law yang
tidak tertulis ini seperti yang dikemukakan oleh Twining, tidak “finite closed”. Common law pada
dasarnya, tidak ada teks yang harus ditafsirkan. Common law pada hakikatnya dibangun dari
penafsiran kejadian berlangsung terus menerus dari waktu ke waktu. Penafsiran mengalir secara
alami, Lihat Satjipto Rahardjo II, Op.Cit, h. 118-120.
106
Satjipto Rahardjo II, Op.Cit, h. 123.
107
Satjipto Rahardjo II, Loc.Cit.
84

Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa pekerjaan penafsiran bukan

semata-mata membaca peraturan dengan logika peraturan, melainkan juga

membaca kenyataan atau apa yang terjadi di masyarakat. Kedua pembacaan ini

disatukan sehingga muncul kreativitas, inovasi, dan progresivisme. Penafsiran

progresif adalah pemberian makna terhadap teks peraturan dan karena itu tidak

boleh berhenti pada pembacaan harafiah saja. Penafsiran progresif memahami

proses hukum sebagai proses pembebasan terhadap suatu konsep yang kuno yang

tidak lagi dapat dipakai untuk melayani kehidupan masa kini.108

Menurut Satjipto Rahardjo hukum progresif dan penafsiran progresif

berpegangan pada paradigma “hukum untuk manusia”, sedangkan analytical

yurisprudence mengikuti paradigma “manusia untuk hukum”. Manusia menjadi

simbol bagi kenyataan dan dinamika kehidupan. Hukum memandu dan melayani

masyarakat, dengan demikian, diperlukan keseimbangan antara “statika dan

dinamika”, antara “peraturan” dan “jalan yang terbuka”. Dalam konteks ini,

hukum perlu diberi kebebasan untuk memberikan penafsiran. Menafsirkan adalah

bagian dari tugas memandu dan melayani masyarakat. Semua alam pikiran hukum

tersebut pada dasarnya menerima penafsiran hukum yang menjembatani antara

undang-undang yang statis, kaku, dengan masa kini dan masa depan. Hukum tidak

dapat bergayut kebelakang melainkan ke masa kini dan depan. Itulah hakikat

hukum progresif dan penafsiran hukum progresif.109

108
Satjipto Rahardjo II, Op.Cit, h. 127-128.
109
Satjipto Rahardjo II, Op.Cit, h. 134-135.
85

1.7.5.5 Teknik konstruksi

Penelitian ini menggunakan teknik konstruksi hukum berupa

rechtverfijning atau determinasi (penghalusan hukum). Menurut Pasek Diantha

rechtverfijning atau determinasi adalah menghaluskan atau mengkhususkan

berlakunya peraturan perundang-undangan, berkenaan dengan asas yang berlaku

secara luas menjadi berlaku secara lebih sempit atau khusus. 110 Teknik konstruksi

juga diperlukan dalam penelitian disertasi ini terutama dalam menganalisis bahan

hukum primer.

1.7.5.6 Teknik argumentasi/argumentatif

Teknik argumentasi/argumentatif dilakukan pada saat terakhir setelah

dilakukannya teknis evaluasi terhadap argumen-argumen yang saling berbeda. Inti

dari argumentasi adalah penalaran atau reasoning atau penjelasan yang masuk

akal. Sebelum sampai pada tingkat nalar diupayakan terlebih dahulu membuat

ulasan, telaah kritis atas berbagai pandangan dalam bentuk komparasi untuk

menggiring opini ke arah terbangunnya nalar. 111 Teknik ini digunakan dalam

disertasi ini karena memiliki peranan yang penting untuk membangun analisis

berupa argumentasi yang baik (tepat/benar, logis).

110
Pasek Diantha, Op.Cit, h. 154.
111
Pasek Diantha, Op.Cit, h. 155.
86

BAB II

KAJIAN TEORITIK

2.1 Kerangka Konsep

2.1.1 Mediasi Penal

Sebelum membahas mengenai pengertian mediasi penal perlu dijelaskan

terlebih dahulu mengenai pengertian mediasi yang secara umum dikenal dalam

bidang hukum perdata. Hal ini akan memudahkan dalam memahami mediasi

penal karena walaupun memiliki prinsip-prinsip yang berbeda, namun diantara

keduanya juga memiliki prinsip dasar yang sama yakni sama-sama melibatkan

pihak ketiga yang disebut mediator. Penjelasan mengenai pengertian mediasi

secara umum juga dapat memberi pemahaman mengenai mediasi penal.

Perkembangan mediasi penal di bidang hukum pidana juga tidak bisa dilepaskan

dari mediasi sebagai alternatif penyelesaian perkara yang digunakan dan telah

sangat berkembang di bidang hukum perdata.

Secara umum, definisi mediasi dalam Kamus Hukum adalah, “Suatu

proses penyelesaian suatu sengketa secara damai yang melibatkan bantuan pihak

ketiga untuk memberikan solusi yang dapat diterima pihak-pihak yang

bersengketa; Pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa antara

dua pihak”.112 Mediasi dalam Kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai, “Proses

penyertaan pihak ketiga (sebagai mediator atau penasihat) dalam penyelesaian

112
M. Marwan dan Jimmy P., 2009, Kamus Hukum; Dictionary of Law Complete
Edition, Cetakan Pertama, Reality Publisher, Surabaya, h. 426.

86
87

suatu perselisihan”.113 Pengertian mediasi dalam kamus hukum dan kamus Bahasa

Indonesia ini menitikberatkan kehadiran pihak ketiga sebagai mediator dalam

penyelesain suatu kasus.

Syahrizal Abbas mengemukakan bahwa secara etimologi istilah mediasi

berasal dari bahasa latin, mediare yang berarti berada di tengah. Makna mediasi

ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam

menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak.

Mediator yang berada di tengah juga bermakna bahwa mediator harus berada pada

posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Mediator harus

mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama,

sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari para pihak yang bersengketa.

Penjelasan mediasi secara etimologi atau dari sisi kebahasaan lebih menekankan

pada keberadaan pihak ketiga yang menjembatani para pihak bersengketa untuk

menyelesaikan perselisihannya. 114 Pendapat ini juga menekankan pada peranan

pihak ketiga sebagai mediator.

Peran mediator memang sangat penting dalam proses mediasi

sebagaimana terlihat dalam definisi mediasi dari I Made Widnyana. I Made

Widnyana menyatakan bahwa mediasi adalah proses penyelesaian sengketa antara

para pihak yang dilakukan dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang netral

dan tidak memihak sebagai fasilitator, dalam mediasi keputusan untuk mencapai

suatu kesepakatan tetap diambil oleh para pihak itu sendiri, tidak boleh mediator.

113
Windy Novia, tanpa tahun terbit, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Kashiko,
Surabaya, h. 348.
114
Syahrizal Abbas, 2009, Mediasi; Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, Cetakan Kedua, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 2.
88

Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa negosiasi dengan bantuan pihak

ketiga. Pihak ketiga inilah yang menyingsingkan lengan bajunya dan bertindak

untuk kedua belah pihak dalam menegosiasikan suatu sengketa.115 Pandangan ini

menunjukkan bahwa mediator adalah fasilitator dalam proses mediasi.

Priyatna Abdurrasyid juga mengemukakan pandangannya terkait mediasi

sebagai upaya perdamaian bahwa:

Mediasi merupakan suatu proses perdamaian berlangsung dan


diselenggarakan antara para pihak yang bersengketa dan dibantu
penyelesaiannya oleh seorang mediator (seseorang yang mengatur
pertemuan antara 2 pihak - atau lebih - yang bersengketa) demi tercapainya
hasil akhir yang adil, tanpa membuang biaya yang terlalu besar, akan tetapi
tetap efektif dan diterima sepenuhnya oleh kedua belah pihak yang
bersengketa secara sukarela.116

Pandangan Priyatna Abdurrasyid ini menunjukkan bahwa mediasi merupakan

proses perdamaian demi tercapainya hasil akhir yang adil, dengan demikian

proses mediasi juga dapat membawa keadilan karena berdasarkan pada hasil

kesepakatan di antara pihak yang berperkara.

Mediasi penal memiliki persamaan prinsip dasar dengan pengertian

mediasi secara umum, namun terdapat beberapa perbedaan karena sifat

hukumnya, bidang hukum perdata bersifat privat sedangkan bidang hukum pidana

bersifat publik. Mediasi dalam bidang hukum perdata merupakan salah satu

bentuk alternatif penyelesaian sengketa atau Alternative Dispute Resolution

(ADR). Penjelasan mediasi dalam bidang hukum perdata selanjutnya akan dibahas

115
I Made Widnyana, 2014, Alternatif Penyelesaian Sengketa & Arbitrase, Cetakan
Ketiga, PT. Fikahati Aneska, Jakarta, h. 116.
116
Priyatna Abdurrasyid, 2011, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS);
Suatu Pengantar, Cetakan Kedua, Fikahati Aneska Bekerja Sama dengan Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI), Jakarta, h. 35.
89

pada sub 2.3 mengenai penyelesaian kasus secara non litigasi/alternatif

penyelesaian sengketa (Alternative Dispute Resolution/ADR)/informal

adjudikatif.

Mengacu pada pengertian mediasi secara umum dapat diketahui bahwa

pada dasarnya mediasi penal juga merupakan sebuah alternatif penyelesaian kasus

di luar pengadilan dengan melibatkan pihak ketiga sebagai mediator, hanya saja

istilah mediasi penal kerap digunakan dalam bidang hukum pidana bukan perdata.

Secara terminologi mediasi penal (penal mediation) dikenal dengan

berbagai istilah yang berbeda-beda di berbagai negara di dunia, antara lain:

mediation in criminal cases atau mediation in penal matters yang dalam istilah

Belanda disebut strafbemiddeling, dalam istilah Jerman disebut Der

Außergerichtliche Tataus-gleich (disingkat ATA), dan dalam istilah Perancis

disebut de mediation pénale. Mediasi penal terutama mempertemukan antara

pelaku tindak pidana dengan korban, oleh sebab itu mediasi penal ini sering juga

dikenal dengan istilah Victim Offender Mediation (VOM), Täter-Opfer-Ausgleich

(TOA) atau Offender-Victim Arrangement (OVA).117

Mediasi sebagai alternatif penyelesaian perkara juga dikenal dalam

hukum pidana. Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa dalam perkembangan

wacana teoritik maupun perkembangan pembaharuan hukum pidana di berbagai

negara, ada kecenderungan kuat untuk menggunakan mediasi pidana atau mediasi

penal sebagai salah satu alternatif penyelesaian masalah di bidang hukum pidana.

Mengutip pandangan Prof. Detlev Frehsee bahwa meningkatnya penggunaan

117
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, h. 1.
90

restitusi dalam proses pidana menunjukkan bahwa perbedaan antara hukum

pidana dan perdata tidak begitu besar dan perbedaan itu menjadi tidak

berfungsi.118 Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa mediasi penal sudah

berkembang penggunaannya sebagai salah satu alternatif penyelesaian masalah di

bidang hukum pidana, dengan demikian mediasi penal adalah alternatif

penyelesaian masalah di bidang hukum pidana.

Barda Nawawi Arief menguraikan bahwa mediasi penal bertolak dari ide

dan prinsip kerja (working principles) sebagai berikut:

a. Penanganan konflik (Conflict Handling/Konfliktbearbeitung):

Tugas mediator adalah membuat para pihak melupakan kerangka hukum

dan mendorong mereka terlibat dalam proses komunikasi, hal ini didasarkan

pada ide bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal. Konflik

itulah yang dituju oleh proses mediasi.

b. Berorientasi pada proses (Process Orientation; Prozessorientierung):

Mediasi penal lebih berorientasi pada kualitas proses daripada hasil, yaitu:

menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhan-

kebutuhan konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut dan

sebagainya.

c. Proses informal (Informal Proceeding Informalität):

Mediasi penal merupakan suatu proses yang informal, tidak bersifat

birokratis, dan menghindari prosedur hukum yang ketat.

118
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, h. 4.
91

d. Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and Autonomous

Participation -Parteiautonomie/Subjektivie-rung)

Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai objek dari prosedur

hukum pidana, tetapi lebih sebagai subjek yang mempunyai tanggungjawab

pribadi dan kemampuan untuk berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas

kehendaknya sendiri.119

Mediasi penal atau sering juga dikenal dengan istilah Victim Offender

Mediation (VOM) juga diuraikan oleh Mark S. Umbreit. Mark S. Umbreit dalam

bukunya yang berjudul The Handbook of Victim Offender Mediation menyatakan

bahwa, “Victim offender mediation is one process of striving for restorative

justice and, by far, the most widespread in North America”.120 Berdasarkan hal

tersebut dapat diketahui bahwa Victim Offender Mediation merupakan salah satu

process of striving for Restorative justice.

Victim Offender Mediation memang merupakan salah satu perwujudan

dari restorative justice, hal ini juga dinyatakan oleh Carmel Benjamin AM dan

Victoria dalam makalahnya yang berjudul, “Why Is Victim/Offender Mediation

Called Restorative Justice?”. Benjamin AM dan Victoria dalam tulisannya

mengemukakan bahwa:

Victim/offender mediation is a restorative justice process because it is a


viable and positive pathway from a criminal justice system of retribution to
one of restoration and responsibility. It emphasizes the needs of victims of
crime and holds offenders accountable and responsible for the harm they

119
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, h.5-7, lihat juga Stefanie Tränkle, The Tension
between Judicial Control and Autonomy in Victim-Offender Media-tion - a Microsociological
Study of a Paradoxical Procedure Based on Examples of the Mediation Process in Germany and
France, http://www. iuscrim.mpg.de/forsch/krim/traenkle_ e.html, dibuka pada tanggal 6 April
2017 diakses pukul 17.05 WITA.
120
Mark S. Umbreit, Op.Cit, h. xvi.
92

have caused. These, together with a goal of increased community well being
through direct involvement with the rehabilitation and reintegration of both
parties back into society, are at the heart of restorative justice.121

Berdasarkan pandangan dari Benjamin AM dan Victoria ini dapat dipahami

bahwa Victim Offender Mediation adalah suatu proses peradilan restoratif. Victim

Offender Mediation menekankan pada kebutuhan korban kejahatan dan meminta

pertanggungjawaban pelaku atas kerugian yang ditimbulkan. Hal ini bertujuan

meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui keterlibatan langsung dengan

rehabilitasi dan reintegrasi kedua belah pihak kembali ke masyarakat, dan

merupakan jantung keadilan restoratif. Victim Offender Mediation juga menjadi

langkah yang tepat dalam Sistem Peradilan Pidana.

Terkait dengan victim-offender mediation, Joana Marques Vidal

mengemukakan bahwa:

victim-offender mediation: hundreds of programmes and pilot projects


proliferate in almost the whole of Europe, bringing to the core of the
criminal justice system a new way of tackling crime and of dealing with its
consequences, actively involving victims and offenders in the resolution of
the conflict arising from the crime that has occurred. The main qualities
inherent in this practice are to allow victims to express the feelings they
have experienced, the consequences arising from the crime that has been
perpetrated on them, and the necessities to overcome its effects and to
provide the offenders with the possibility of concretely understanding the
impact that their action has had on the victim, of taking responsibility for
the performed action and of repairing in any way, totally or at least
partially, the damage which has been caused.122

(Terjemahan bebas: victim-offender mediation telah berkembang dengan


ratusan program dan proyek percontohan di hampir seluruh Eropa. Victim-
offender mediation sebagai cara baru Sistem Peradilan Pidana dalam

121
Carmel Benjamin AM and Victoria, 1999, Why Is Victim/Offender Mediation
Called Restorative Justice?, Paper presented at the Restoration for Victims of Crime Conference
convened by the Australian Institute of Criminology in conjunction with Victims Referral and
Assistance Service and held, Melbourne, September 1999, h. 3.
122
Joana Marques Vidal, 2008, Restorative Justice and Victims of Crime; Terjemahan:
Consenso Global, Lda, Portuguese Association for Victim Support – APAV, Portugal, h. 9.
93

mengatasi kejahatan dan konsekuensinya, yang secara aktif melibatkan


korban dan pelaku dalam resolusi tersebut. Kualitas utama yang melekat
dalam praktik ini adalah untuk memungkinkan korban mengekspresikan
perasaan yang mereka alami, akibat yang ditimbulkan dari kejahatan yang
telah dilakukan terhadap mereka, dan kebutuhan untuk mengatasi
pengaruhnya dan untuk memberi kemungkinan kepada para pelanggar
pemahaman yang konkret, dampak tindakan pelaku terhadap korban,
mengambil tanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh pelaku dan
memperbaiki dengan cara apapun, keseluruhan atau setidaknya sebagian
kerusakan yang diakibatkannya.

Korban dan pelaku kejahatan memang menjadi pihak yang penting dalam

victim offender mediation. Mark S. Umbreit juga menguraikan bahwa:

Victim offender mediation is a process that gives victims of property crimes


or minor assaults the opportunity to meet the perpetrators of these crimes in
a safe and structured setting, with the goal of holding the offenders directly
accountable while providing important assistance and compensation to the
victims. Assisted by a trained mediator, the victim is able to let the offender
know how the crime affected him or her, receive answer to questions, and be
directly involved in developing a restitution plan for the offender to be
accountable for the loss or damage caused. The offenders are able to take
direct responsibility for their behavior, understand the full impact of what
they did, and develop a plan for making amends.123

(Terjemahan bebas: Victim Offender Mediation adalah proses yang


memberikan kesempatan kepada korban pencurian atau tindak pidana ringan
untuk bertemu dengan para pelaku kejahatan dalam lingkungan/suasana
yang aman dan terstruktur, dengan tujuan meminta para pelaku kejahatan
untuk bertanggung jawab secara langsung sekaligus memberikan bantuan
yang penting dan kompensasi kepada para korban. Dengan dibantu oleh
mediator yang ahli, korban dapat memberi tahu pelaku bagaimana kejahatan
yang dilakukannya mempengaruhi hidupnya, menerima jawaban
pertanyaan, dan terlibat langsung dalam membuat/mengembangkan rencana
restitusi sebagai pertanggungjawaban pelaku atas kerugian atau kerusakan
yang ditimbulkan. Pelaku dapat bertanggung jawab langsung atas perilaku
mereka, memahami dampak dari apa yang mereka lakukan, dan
mengembangkan rencana untuk memperbaiki kesalahannya).

Terkait perhatian terhadap korban dalam victim-offender mediation,

Mark S. Umbreit juga menyatakan bahwa:

123
Mark S. Umbreit, Op.Cit, h. xxxviii.
94

People who have been victimized by crime have been able to play an active
role in the justice process, receive direct information about the crime,
express their concerns about the full impact of the criminal behavior on
their lives, and negotiate with the offender a mutually acceptable plan for
restoring losses to the greatest extent possible. Individuals who have
committed criminal acts have been able to gain a far better understanding
of the real human impact of their actions, “own up” to their behavior, and
have the opportunity for making amends directly to the person they harmed.
Family members or other support persons who are often present also have
an opportunity to become involved and to express their concerns. Both
victim and offender can gain a greater sense of closure and the ability to
move on with their lives.124

(Terjemahan bebas: orang-orang yang telah menjadi korban kejahatan sudah


dapat berperan aktif dalam justice process, menerima informasi langsung
tentang kejahatan, mengungkapkan keprihatinan/kekhawatiran mereka
tentang dampak penuh dari perilaku kriminal dalam hidup mereka,
bernegosiasi dengan pelaku kejahatan mengenai sebuah rencana yang dapat
diterima atau disetujui bersama untuk pemulihan kerugian semaksimal
mungkin. Individu yang telah melakukan tindak pidana mampu untuk
mendapatkan pemahaman yang jauh lebih baik dari dampak nyata dari
tindakan mereka, "mengakui sepenuhnya (own up)” dari perilaku atau
tindakan mereka, dan memiliki kesempatan untuk memperbaiki kesalahan
langsung kepada orang yang mereka rugikan. Anggota keluarga atau orang
pendukung lainnya yang sering hadir juga memiliki kesempatan untuk
terlibat dan untuk mengekspresikan keprihatinan mereka. Melalui proses ini,
pelaku dan korban kejahatan akan lebih merasa puas dan mampu untuk
melanjutkan kehidupan mereka).

Uraian Victim Offender Mediation dari Mark S. Umbreit ini menguraikan

mengenai posisi atau peran korban dan pelaku dalam proses mediasi. Secara

singkat dapat dikatakan bahwa dalam proses mediasi korban dapat menunjukkan

akibat dari kejahatan bagi korban dan korban dapat berpartisipasi dalam rencana

restitusi. Pelaku dapat bertanggung jawab langsung, memahami dampak dari

kejahatan yang dilakukan, dan mengembangkan rencana termasuk restitusi untuk

memperbaiki kesalahannya. Melalui proses Victim Offender Mediation (VOM)

pelaku kejahatan dapat "mengakui sepenuhnya (own up)” atas kejahatannya.

124
Mark S. Umbreit, Op.Cit, h. xxxviii – xxxviiii.
95

Anggota keluarga atau orang pendukung lainnya yang sering hadir juga memiliki

kesempatan untuk terlibat dan untuk mengekspresikan keprihatinan mereka.

Terkait dengan program victim offender mediation, Mark S. Umbreit

menyatakan bahwa:

In some programs, cases are primarily referred to victim offender mediation


as a diversion from prosecution, assuming that the agreement is successfully
completed. In other programs, cases are referred primarily after a formal
admission of guilt has been accepted by the court, with the mediation being
a condition of probation (if the victim so desires). 125

Berdasarkan kutipan tersebut dapat diketahui bahwa dalam beberapa program,

victim offender mediation sebagai pengalihan dari penuntutan, dengan asumsi

bahwa telah tercapai kesepakatan. Program lain kasus dirujuk terutama setelah ada

pengakuan bersalah secara resmi yang telah diterima oleh pengadilan.126

Banyak pakar hukum lainnya yang memberi pengertian tentang mediasi

penal atau yang dikenal juga dengan istilah Victim Offender Mediation (VOM).

Berdasarkan berbagai pengertian dan uraian dari mediasi penal dapat diketahui

bahwa mediasi penal adalah alternatif penyelesaian perkara pidana yang

melibatkan mediator yang bersifat netral dan tidak memihak. Keberadaan

mediator sangatlah penting yang membedakannya dengan alternatif penyelesaian

sengketa lainnya. Mediasi penal adalah sebuah proses atau mekanisme

125
Mark S. Umbreit, Op.Cit, h. xxxix.
126
Beberapa program menerima rujukan kasus baik di tingkat pengalihan dan di tingkat
post adjudication. Judges, probation officers, victim advocates, prosecutors, defense attorneys,
atau police dapat mengajukannya ke program victim offender mediation. Kebanyakan kasus,
rujukan ke mediasi dimulai oleh orang terhubung dengan pelaku atau dengan sistem peradilan
pidana. Terkadang korban ingin mengejar mediasi tanpa menerima kontak tersebut. Korban
biasanya memasuki proses melalui program local victim services, menghubungi local probation
department mereka, atau langsung menghubungi lembaga peradilan pidana (criminal justice
agency) tertentu yang menangani kasus. Lihat, Mark S. Umbreit, Op.Cit, h. xxxix.
96

penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan. Mediasi penal juga dapat disebut

sebagai pengalihan proses dari pengadilan ke luar pengadilan.

2.1.1.1 Sejarah Mediasi Penal

Mediasi penal dari segi historisnya pertama kali dikenal di Kitchener-

Ontario, Kanada. Mediasi penal berkembang melalui berbagai program-program

mediasi penal di Canada dan berkembang ke negara-negara lainnya. Hal ini

dinyatakan oleh Jeff Latimer Senior Research Officer & Steven Kleinknecht

dalam penelitian yang dilakukannya.

Jeff Latimer Senior Research Officer & Steven Kleinknecht, dalam

penelitiannya yang berjudul “The Effects of Restorative Justice Programming: A

Review of The Empirical” di Canada menyatakan bahwa, “In 1974, the first

victim-offender mediation program occurred in Canada when two offenders

charged with vandalism met with their victim s to establish restitution agreements.

Since that time, a number of similar programs have been developed throughout

Canada and internationally”. 127 Pandangan ini menunjukkan bahwa mediasi

penal atau victim-offender mediation pertama kali ada di Kanada, ketika dua

pelaku bertemu dengan korban-korban mereka, untuk membangun kesepakatan

ganti rugi. Sejak itu sejumlah program serupa telah dikembangkan di seluruh

Kanada dan berkembang ke ranah internasional.

Mark S. Umbreit juga menguraikan mengenai sejarah dan perkembangan

mediasi penal atau yang dikenal dengan nama Victim Offender Mediation

127
Jeff Latimer & Steven Kleinknecht, 2000, The Effects of Restorative Justice
Programming: A Review of The Empirical, Department of Justice Canada, Research and Statistics
Division, Department of Justice Canada, h. 5.
97

Mediation (VOM). Mengenai history and development of Victim Offender

Mediation ini Mark S. Umbreit menyatakan bahwa:

The origin of what is today known as victim offender mediation (referred to


as criminal court mediation by some) began in Canada many years ago in
the province of Ontario. In May 1974, an experiment began in Elmira, a few
miles north of Kitchener, Ontario, that would later trigger the international
development of a new justice reform.128

Uraian ini menyatakan bahwa sejarah atau asal usul Victim Offender Mediation

(VOM) adalah bermula di Kanada yakni di provinsi Ontario. Sebuah eksperimen

(kasus) terjadi di Elmira, beberapa mil utara dari Kitchener, Ontario, pada bulan

Mei 1974 yang kemudian memicu perkembangan internasional ke arah new

justice reform.

Kasus yang terjadi di Elmira yang mengacu pada munculnya Victim

Offender Mediation Mark S. Umbreit menjelaskan bahwa:

Two young men pleaded guilty to twenty-two counts of property damage.


Their probation officer and a colleague of his with the Mennonite Central
Committee in Canada had the vision and courage to try some basic
peacemaking principles in resolving the conflict between these young men
and the twenty-two people they had victimized.129

Uraian ini menjelaskan bahwa telah terjadi sebuah kasus perusakan properti

(property damage) yang menjadi awal mula kehadiran mediasi penal di Kanada.

Kasus perusakan/kerusakan properti (property damage) yang terjadi di

Elmira, Kanada, yang telah diuraikan oleh Mark S. Umbreit menunjukkan bahwa

pada kasus tersebut terdapat dua orang pemuda yang mengaku bersalah terhadap

22 (dua puluh dua) tuduhan perusakan properti (property damage). Their

probation officer dan a colleague of his with the Mennonite Central Committee di

128
Mark S. Umbreit, Op.Cit, h. xlii.
129
Mark S. Umbreit, Op.Cit, h. xlii-xliii.
98

Kanada memiliki visi dan keberanian untuk mencoba beberapa prinsip

perdamaian dasar dalam menyelesaikan konflik di antara anak-anak muda dan dua

puluh dua orang mereka telah menjadi korban. Dapat dikatakan bahwa kasus

kerusakan properti (property damage) inilah yang menjadi awal mula kehadiran

mediasi penal di Kanada dengan mencoba mempertemukan pelaku dengan 22

(dua puluh dua) korban untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi melalui

konsep perdamaian.

Mark S. Umbreit juga menguraikan mengenai proses Victim Offender

Mediation Mediation (VOM) dalam kasus kerusakan properti (property damage)

yang dilakukan oleh dua orang pemuda terhadap 22 (dua puluh dua) orang

korban. Mark S. Umbreit mengemukakan bahwa, “A recommendation was made

to the court that these two offenders go back and meet every single person they

had victimized and assess how much loss occurred.”.130 Berdasarkan hal ini dapat

diketahui bahwa sebuah rekomendasi diajukan ke pengadilan bahwa kedua pelaku

tersebut kembali dan bertemu korban dan menilai berapa banyak kerugian yang

terjadi.

Terkait dengan pertemuan pelaku dan korban dalam kasus property

damage ini Mark S. Umbreit selanjutnya menyatakan bahwa, “The judge ordered

a onemonth remand in order to allow these two young men to meet their victims,

with the help of their probation officer and his colleague from the Mennonite

Central Committee”. 131 Hal ini menjelaskan bahwa hakim memerintahkan “a

onemonth remand in order”, mengizinkan kedua pemuda ini menemui korban,

130
Mark S. Umbreit, Op.Cit, h. xliii.
131
Mark S. Umbreit, Loc.Cit.
99

dengan bantuan probation officer dan rekan kerjanya dari Mennonite Central

Committee.

Mengenai pertemuan pelaku dan korban dalam kasus ini Mark S.

Umbreit menyatakan bahwa, “After the offenders had met with their victims and

gained a more human understanding of the impact of their criminal behavior, the

judge sentenced them to probation and required them to pay restitution to the

victims. Three months later, the offenders again visited each victim and handed

each a check for the amount of his or her loss”.132 Hal ini menunjukkan bahwa

setelah pelaku bertemu dengan korban dan memperoleh pemahaman yang lebih

manusiawi dari dampak perilaku kriminal yang mereka lakukan, hakim

menjatuhkan hukuman untuk masa percobaan (probation) dan mengharuskan

mereka untuk membayar ganti rugi kepada korban. Tiga bulan kemudian, pelaku

kembali mengunjungi masing-masing korban dan menyerahkan cek untuk ganti

rugi.

Mark S. Umbreit selanjutnya menyatakan bahwa, “The Kitchener

experiment led to the initiation of the Victim Offender Reconciliation Project

(VORP) in North America”. 133 Kasus perusakan/kerusakan properti (property

damage) yang terjadi di Elmira, Kanada telah menjadi awal munculnya Victim

Offender Mediation. Kasus atau eksperimen ini juga telah menjadi awal

perkembangan Victim Offender Mediation ke berbagai negara lainnya

sebagaimana yang diungkapkan oleh Mark S. Umbreit bahwa eksperimen

132
Mark S. Umbreit, Loc.Cit.
133
Mark S. Umbreit, Loc.Cit.
100

Kitchener menyebabkan inisiasi the Victim Offender Reconciliation Project

(VORP) di Amerika Utara.

Terkait perkembangan Victim Offender Mediation pada saat itu di

Kanada, Mark S. Umbreit menyatakan bahwa, “Victim offender mediation and

reconciliation projects have now spread to more than twenty other jurisdictions

throughout Canada, largely as “alternative measures” programs pursuant to the

provisions of the Canadian Young Offenders Act of 1984”. Hal ini menunjukkan

bahwa victim offender mediation dan reconciliation projects saat itu telah

menyebar ke lebih dari 20 (dua puluh) yurisdiksi lainnya di seluruh Kanada,

sebagian besar sebagai program "alternative measures" sesuai dengan ketentuan

Canadian Young Offenders Act of 1984.

Victim Offender Mediation berkembang ke berbagai negara, mengenai

hal ini Mark S. Umbreit menyatakan bahwa:

Development of similar programs in the Untied States followed fairly


rapidly. The first replication of VORP in the United States occurred in 1978
when the Mennonite Central Committee, probation staff, and a local judge
in Elkhart, Indiana, began accepting cases. By the mid-1990s, a network of
approximately 150 victim offender mediation or reconciliation programs
existed in the United States, in addition to the 26 programs in Canada, and
awareness of such programs and their replication began to spread across
the globe.134

Uraian ini menunjukkan bahwa pengembangan program serupa (Victim Offender

Mediation) di Amerika Serikat diikuti cukup cepat. Replikasi pertama VORP

(Victim-Offender Reconciliation Program) di Amerika Serikat terjadi pada tahun

1978 ketika Mennonite Central Committee, probation staff, dan local judge di

Elkhart, Indiana, mulai menerima kasus. Terdapat sekitar 150 jaringan Victim

134
Mark S. Umbreit, Op.Cit, h. xIiv.
101

Offender Mediation atau reconciliation programs existed pada pertengahan tahun

1990-an, ada di Amerika Serikat, disamping 26 (dua puluh enam) program di

Kanada dan kesadaran program tersebut dan replikasi mereka mulai menyebar di

seluruh dunia.

Mark S. Umbreit juga telah meneliti penyebaran program Victim

Offender Mediation di berbagai negara di dunia. Mark S. Umbreit (tahun 1999-

2001) menyatakan bahwa, “More than thirteen hundred victim offender mediation

programs are known to exist throughout the world, primarily in North America

and Europe. Undoubtedly there are many other programs in existence that have

not yet been listed in directories”.135 Hal ini menunjukkan bahwa victim offender

mediation diketahui ada di seluruh dunia dengan lebih dari seribu tiga ratus

program, terutama di utara Amerika dan Eropa. Tidak diragukan lagi ada banyak

program lain yang ada yang belum terdaftar di direktori.

Pergerakan victim offender mediation ditandai dengan menyebarnya

program ini ke berbagai wilayah. Mark S. Umbreit menyatakan bahwa:

After twenty years of development and many thousands of cases (primarily


property crimes and minor assaults) in more than one thousand
communities in North America and Europe, victim offender mediation is
finally beginning to move from the margins toward the mainstream of
criminal justice. Some programs are still quite small, with a very limited
number of case referrals. Many other programs are receiving several
hundred referrals a year.136

Pandangan ini menyatakan bahwa setelah dua puluh tahun berkembang dan ribuan

kasus lainnya (terutama property crimes and minor assaults) lebih dari seribu

135
Mark S. Umbreit, Loc.Cit.
136
Mark S. Umbreit, Loc.Cit.
102

komunitas di Amerika Utara dan Eropa, victim offender mediation akhirnya mulai

bergerak dari pinggir menuju arus utama peradilan pidana.

Victim offender mediation dalam perkembangannya pada akhirnya

menjadi sebuah pilihan yang dapat diterapkan. Mark S. Umbreit menyatakan

bahwa, “It is clear that the field of victim offender mediation has grown

extensively since its unassuming 1974 beginnings in Kitchener, Ontario. A recent

statewide survey of victim service providers in Minnesota found that 91 percent

believed that victim offender mediation should be offered as an option to crime

victims in every judicial district”. Pandangan ini menyatakan bahwa victim

offender mediation telah berkembang dan survei di seluruh negara bagian baru -

baru ini (tahun 1999-2001) mengenai penyedia layanan korban di Minnesota

menemukan bahwa 91 persen percaya bahwa victim offender mediation harus

ditawarkan sebagai pilihan untuk korban kejahatan di setiap judicial district.

Mark S. Umbreit membuat tabel mengenai program victim offender

mediation dalam konteks perkembangan dan penyebarannya sebagaimana

digambarkan dalam tabel di bawah ini:


103

Tabel 1
Victim Offender Mediation Programs Around the World

Country Number of Programs


Australia 5
Austria 17
Belgium 31
Canada 26
Denmark 5
Finland 175
France 159
Germany 450
Italy 4
Netherlands 2
New Zealand Available in all jurisdictions
Norway 41
Poland 5
South Africa 1
Sweden 50
United Kingdom 46
United States 302
Total 1,319

Sources: Umbreit and Greenwood (1999); author’s own data.137

Secara historis jika ditelusuri mengenai keberadaan mediasi penal ini,

Fatahillah A. Syukur mengemukakan bahwa mediasi penal pertama kali dikenal di

Kitchener-Ontario, Kanada pada tahun 1974 dan menyebar di Amerika Serikat,

Inggris, dan negara-negara lain di Eropa. Mediasi penal di Amerika Serikat

pertama kali dipraktekkan di Elkhart-Indiana dan pada tahun 1979 di Inggris oleh

The Exeter Youth Support Team. Kemudian, program mediasi penal tersebar ke

137
Mark S. Umbreit, Op.Cit, h. xIv.
104

banyak negara-negara di dunia, terutama yang paling berkembang adalah negara-

negara di Eropa.138 Mediasi penal pada awalnya digunakan untuk menyelesaikan

kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak, namun metode ini kemudian digunakan

untuk menangani kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa.139 Mediasi penal

mengalami pergerakan, penyebaran, dan perkembangan yang cepat, hingga saat

ini mediasi penal atau yang dikenal dengan istilah victim offender mediation

sangat berkembang di negara-negara lainnya.

Mediasi penal juga dapat ditemukan dan berkembang di kawasan negara-

negara di Asia. Sesuai dengan adat timur yang menjungjung tinggi harmoni di

tengah keluarga dan masyarakat, negara-negara di Asia telah mempraktekkan

mediasi dalam penyelesaian sengketa sejak dahulu kala. Evektifitas mekanisme

penyelesaian sengketa berdasarkan kearifan lokal ini selalu menjadi prioritas bagi

masyarakat sebelum berlanjut ke pengadilan. Mediasi penal dapat ditemukan

dalam prakteknya, namun negara tidak memprioritaskannya, ada semacam

keengganan pemerintah/pengadilan menggunakan mekanisme ini seperti

kekhawatiran kehilangan kekuasaan, politik, dan lain-lain, namun sejak dasawarsa

terakhir negara-negara di Asia mulai menyadari urgensi dan keunggulan mediasi

penal sebagai salah satu bentuk keadilan restoratif.140

138
Fatahillah A. Syukur, 2011, Mediasi Perkara KDRT (Kekerasan Dalam Rumah
Tangga) Teori dan Praktek di Pengadilan Indonesia, Cetakan Pertama, Mandar Maju, Bandung,
h. 64-65.
139
Ibid, h. 64-65.
140
Ibid, h. 186-187.
105

2.1.2 Tindak Pidana Ringan (Tipiring)

Tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (yang

selanjutnya disebut KUHP) dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) jenis berdasarkan

berat ringannya kejahatan atau sanksi pidananya. P.A.F Lamintang menyatakan

bahwa para ahli hukum telah membagi tindak pidana ke dalam 3 (tiga) jenis

tindakan yang disebut crimina atrocissima, atrocia, dan levia yang tidak

didasarkan pada suatu asas tertentu, melainkan hanya didasarkan pada berat-

ringannya kejahatan. Berat ringannya kejahatan ini, semata-mata hanyalah

didasarkan pada berat ringannya hukuman yang diancamkan terhadap masing-

masing kejahatan.141 Hal ini juga diberlakukan di beberapa negara.

P.A.F Lamintang juga menyatakan bahwa para pembentuk Code Penal

tahun 1810 di Prancis juga telah membuat suatu division tripartite atau suatu

pembagian ke dalam 3 (tiga) jenis tindakan melanggar hukum yang dituangkan

dalam Pasal 1 Code Penal yaitu crime, delit, dan contraention, yang di dalam

bahasa Belanda disebut dengan istilah misdaden, wanbedrijven, dan

overtred.ingen, yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai kejahatan-

kejahatan, perbuatan-perbuatan yang tercela, dan pelanggaran-pelanggaran.

Jerman juga mengikuti pembagian tindak pidana ini, dengan membagi tindak

pidana ke dalam 3 (tiga) jenis tindakan melanggar hukum seperti yang dilakukan

oleh pembentuk Code Penal tahun 1810 yang disebut sebagai erbrechen, ergehen,

dan ubertretungen.142

141
P.A.F Lamintang, 2013, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Kelima,
Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 208.
142
Ibid, h. 209.
106

Pembagian tindak pidana berdasarkan berat-ringannya tindak pidana juga

berlaku hingga saat ini di Indonesia. Amir Ilyas menyatakan bahwa berdasarkan

berat ringannya pidana yang diancamkan, maka tindak pidana dapat dibedakan

menjadi 3 (tiga) jenis yakni, tindak pidana bentuk pokok, tindak pidana yang

diperberat dan tindak pidana yang diperingan :

1) Tindak pidana dalam bentuk pokok disebut juga bentuk sederhana atau dapat

juga disebut dengan bentuk standar

2) Tindak pidana dalam bentuk yang diperberat, dan

3) Tindak pidana dalam bentuk ringan. 143

Tindak pidana dalam bentuk pokok ini dirumuskan secara lengkap,

artinya semua unsurnya dicantumkan dalam rumusan. Tindak pidana pada bentuk

yang diperberat dan/atau diperingan, tidak mengulang kembali unsur-unsur

bentuk pokok itu, melainkan sekedar menyebut kualifikasi bentuk pokoknya atau

pasal bentuk pokoknya, kemudian disebutkan atau ditambahkan unsur yang

bersifat memberatkan atau meringankan secara tegas dalam rumusan. Ancaman

pidana terhadap tindak pidana terhadap bentuk yang diperberat atau yang

diperingan ini menjadi lebih berat atau lebih ringan dari pada bentuk pokoknya,

karena ada faktor pemberatnya atau faktor peringannya. 144 Berdasarkan hal ini

dapat diketahui bahwa tindak pidana ringan memiliki unsur yang meringankan

sehingga ancaman hukuman juga diperingan yang secara tegas diatur dalam

rumusan pasal.

143
Amir Ilyas, 2012, Memahami Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana
Sebagai Syarat Pemidanaan, Cetakan Pertama, Mahakarya Rangkang Offset Yogyakarta, Sleman
Yogyakarta, h. 32-33.
144
Ibid.
107

Pembagian tindak pidana menjadi 3 (tiga) jenis yakni, tindak pidana

dalam bentuk pokok atau yang sering disebut sebagai tindak pidana biasa, tindak

pidana dalam bentuk yang diperberat/dikualifikasi berat, dan tindak pidana ringan

menunjukkan bahwa terdapat dikotomi atau penggolongan tindak pidana

didasarkan pada berat ringannya ancaman pidananya. Pembagian ini tentu

memiliki maksud atau tujuan dari pembentuk undang-undang pada masa itu. Hal

ini juga sangat terkait dengan kondisi pada saat itu, yang membagi orang-orang

yang bertempat tinggal di Indonesia pada zaman Hindia Belanda menjadi

beberapa golongan. Pembagian ini membawa pengaruh terhadap hukum pada

masa Hindia Belanda, terutama mengenai susunan peradilan yang berlaku saat itu.

Soepomo menyatakan bahwa menurut hukum Hindia Belanda orang-

orang yang bertempat tinggal di daerah Indonesia dapat dibagi dalam golongan-

golongan berikut:

1) Kaulanegara Belanda dan orang asing

2) Penduduk negara dan bukan penduduk negara

3) Orang Eropah, Bumiputera, dan Orang Timur Asing

4) Orang Belanda, Kaulanegara Pribumi – bukan orang Belanda dan

Kaulanegara Mancabumi – bukan orang Belanda.145

Soepomo menjelaskan mengenai pembedaan rakyat menurut undang-undang

dalam golongan Eropah, Bumiputera, dan Timur Asing. Soepomo mengemukakan

bahwa pembedaan rakyat dalam golongan Eropah, Bumiputera, dan Timur Asing

yang ditetapkan dalam Pasal 163 Indische Staatsregeling memiliki arti asasi,

145
R. Soepomo, 1988, Sistem Hukum di Indonesia; Sebelum Perang Dunia II, Cetakan
Ketiga Belas, PT Pradnya Paramita, Jakarta, h. 13.
108

karena itu adalah dasar dari perundang-undangan, pemerintahan, dan peradilan di

Hindia Belanda pada masa itu.146

Menurut Pasal 109 dari Regerings-Reglement baru yang ketentuannya

beralih ke Pasal 163 Indische Staatsregeling dengan tanpa perubahan, rakyat

Indonesia dibedakan ke dalam 3 (tiga) golongan yakni:

1) Orang Eropah
2) Bumiputera
3) Orang Timur Asing.
Golongan yang termasuk orang Eropah adalah:
a) Semua orang Belanda
b) Semua orang yang tidak termasuk a yang asalnya dari Eropah
c) Semua orang Jepang
d) Semua orang yang berasal dari tempat lain, tidak termasuk a dan b
yang dinegerinya akan tunduk kepada hukum kekeluargaan, yang
pada pokoknya berdasarkan asas-asas yang sama dengan hukum
Belanda
e) Anak sah atau yang diakui menurut undang-undang dan keturunan
selanjutnya dari orang yang dimaksudkan dalam b, c, dan d, yang lahir
di Hindia Belanda.147

Bumiputera adalah semua orang yang termasuk rakyat Indonesia asli dari

Hindia Belanda dan tidak beralih masuk golongan rakyat lain dan meraka yang

semula termasuk golongan lain lalu mencampurkan diri dengan rakyat Indonesia

asli, sedangkan Orang Timur Asing adalah semua orang yang bukan orang Eropah

atau bumiputera. Sejak tanggal 1 Januari 1920, 3 (tiga) penggolongan ini

diberlakukan. 148 Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, pembagian

golongan-golongan ini sangat berpengaruh terhadap susunan peradilan, sehingga

pada masa itu susunan peradilan beserta jenis pengadilan yang ada juga

digolongkan berdasarkan 3 (tiga) golongan tersebut.

146
Ibid, h. 23.
147
Ibid, h. 27-28.
148
Ibid, h. 26.
109

Soepomo menyatakan bahwa terdapat 5 (lima) tatanan peradilan pada

masa Hindia Belanda yaitu: peradilan gubernemen, peradilan pribumi, peradilan

swapraja, peradilan agama, dan peradilan desa. Kekuasaan mengadili berbagai

golongan pengadilan itu tidak dibatasi menurut daerah, melainkan tiap-tiap

golongan peradilan mempunyai lingkungan kekuasaan menurut perkara dan


149
lingkungan kekuasaan menurut orang. Tiap-tiap peradilan tersebut juga

membagi jenis-jenis pengadilan berdasarkan golongan orang dan jenis

perkaranya/jenis tindak pidananya.

Pengadilan gubernemen Eropah di Jawa dan Madura adalah

Residentiegerecht, Raad van Justitie, dan Hooggerechtshof. Kekuasaan mengadili

Residentiegereht memutus perkara perdata kecil-kecil. Raad van Justitie adalah

hakim untuk orang Eropah baik dalam perkara perdata dan pidana, serta

merupakan majelis bandingan untuk perkara-perkara yang ditingkat pertama

diputus oleh Landraad. Hooggerechtshof menjadi hakim tertinggi yang memiliki

tugas pengawasan atas pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang berada di

bawahnya. Pengadilan gubernemen Eropah di luar Jawa dan Madura juga terdiri

atas Residentiegerecht, Raad van Justitie, dan Hooggerechtshof. 150

Menurut Soepomo hakim gubernemen Bumiputera di Jawa dan Madura

terdiri dari districtsgerecht, regentschapsgerecht, dan landraad. Districtsgerecht

mengadili perkara pidana kecil-kecil terhadap orang Indonesia dan sengketa-

sengketa perdata. Districtsgerecht pada perkara-perkara pidana, mengadili

pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang Indonesia, yang seberat-

149
Ibid, h. 36-37.
150
Ibid, h. 40-51.
110

beratnya diancam dengan hukuman denda sebanyak-banyaknya 3 rupiah.

Bandingan terhadap keputusan pidana dari districtsgerecht tidak dimungkinkan.

Regentschapsgerecht mengadili dalam instansi kedua tentang keputusan-

keputusan districtsgerecht. Landraad adalah hakim biasa untuk orang Indonesia

terhadap semua perkara perdata dan pidana. Landraad pada perkara pidana juga

merupakan hakim biasa untuk orang Tionghoa dan orang timur lainnya.151

Soepomo juga menjelaskan mengenai hakim gubernemen Bumiputera di

daerah luar Jawa dan Madura. Soepomo menyatakan bahwa hakim gubernemen

Bumiputera di daerah luar Jawa dan Madura terdiri dari negorijrechtbank,

districtsgerecht, magistraatsgerecht, dan landraad. Negorijrechtbank memiliki

kekuasaan mengadili hanya pada perkara pidana yang tidak membedakan

kebangsaan terdakwa dalam tingkat pertama tentang semua pelanggaran yang

dilakukan oleh penduduk negorij yang diancam dengan hukuman kurungan

selama-lamanya 6 (enam) hari atau denda sebanyak-banyaknya 15 (lima belas)

rupiah, kecuali pelanggaran fiskal. Negorijrechtbank ini merupakan pengadilan

bumiputera.152

Districtgerecht mengadili tingkat pertama dalam perkara perdata tentang

gugatan yang dimajukan oleh orang Indonesia atau Timur Asing bukan Tionghoa

terhadap orang Indonesia, jika pokok perkaranya tidak lebih dari 50 (lima puluh)

rupiah, dan juga mengadili semua pelanggaran yang dilakukan oleh orang

Indonesia yang diancam dengan kurungan selama-lamanya 6 (enam) hari atau

denda uang paling banyak 15 (lima belas) rupiah, kecuali pelanggaran fiskal.

151
Ibid, h. 54-57.
152
Ibid, h. 54-55.
111

Bandingan masih dimungkinkan sepanjang pokok perkaranya tidak lebih dari 20

(dua puluh) rupiah dalam perkara perdata dan dalam perkara pidana jika

pelanggaran itu diancam dengan hukuman kurungan atau denda yang lebih berat

dari 3 (tiga) rupiah. Magistraatsgerecht ini memiliki wewenang dalam lapangan

hukum yang sama dengan landgerecht yang berlaku di daerah yang tidak terdapat

landgerecht dan dilakukan oleh orang Indonesia atau Timur Asing.153

Landraad mengadili dalam perkara perdata dan pidana untuk bumiputera.

Landraad pada perkara pidana adalah hakim biasa juga untuk orang Timur

Asing.154 Soepomo juga menegaskan bahwa terdapat penerobosan terhadap asas

peradilan dualistis dengan pembentukkan landgerecht untuk semua golongan

rakyat. Soepomo mengemukakan bahwa landgerecht merupakan suatu pengadilan

bagi semua golongan rakyat yang mengadili perbuatan yang kecil-kecil.

Landgerecht di Jawa dan Madura dibentuk tahun 1914 (S. 1914 No. 137), di

daerah luar Jawa dan Madura sejak tahun 1919 dibeberapa kota yakni Medan,

Pematangsiantar, Kisaran dan Binjei, Padang, Makasar, Hollandia, dan Fak-Fak

(Irian). 155

Susunan landgerecht di Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 116 bis -

116 undecies R.O dan untuk daerah di luar Jawa dan Madura diatur dalam Pasal

49-60 R.Bg. Landgerecht hanya memiliki kewenangan mengadili pada perkara

pidana, dengan tidak memandang kebangsaan terdakwa dan merupakan

pengadilan tingkat pertama dan tertinggi. Landgerecht mengadili semua

153
Ibid, h. 55-56.
154
Ibid, h. 56-57.
155
Ibid, h. 61-62.
112

pelanggaran dan beberapa kejahatan ringan yang diancam dengan hukuman

minimal 3 (tiga) bulan atau denda maksimal 500 rupiah. Tidak ada banding dalam

landgerecht.156

Terkait dengan landgerecht dapat diketahui bahwa pada masa Hindia

Belanda terdapat penggolongan orang, susunan pengadilan, jenis pengadilan, dan

juga penggolongan tindak pidana. Kondisi ini juga menunjukkan bahwa

penggolongan tindak pidana menjadi 3 (tiga) jenis sebagaimana yang telah

diuraikan sebelumnya adalah merupakan konsekuensi dari pembagian susunan

peradilan dan jenis pengadilan yang digolongkan berdasarkan golongan orang dan

perkara. Seperti misalnya dengan adanya Landgerecht yang mengadili semua

pelanggaran dan beberapa kejahatan/tindak pidana ringan menunjukkan telah ada

eksistensi penanganan tindak pidana ringan di Indonesia.

Sejalan dengan uraian Soepomo, Wirjono Prodjodikoro juga menyatakan

bahwa pada zaman penjajahan Belanda semua orang tanpa diskriminasi yang

melakukan kejahatan ringan akan diadili oleh Landrechter seperti semua orang

yang melakukan pelanggaran. Orang Indonesia atau Orang Timur Asing (Cina,

Arab, dan India-Pakistan) yang melakukan kejahatan biasa (tindak pidana dalam

bentuk pokok) diadili oleh Landraad (sekarang Pengadilan Negeri) dan Orang

Eropa yang melakukan kejahatan biasa (tindak pidana dalam bentuk pokok)

diadili oleh Raad van Justitie (sekarang Pengadilan Tinggi).157

156
Ibid, h. 63-64.
157
Wirjono Prodjodikoro, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, cetakan kedua,
PT Refika Aditama, Bandung (Selanjutnya disebut Wirjono Prodjodikoro I ), h. 36.
113

Mengenai kondisi pengadilan terkait dengan tindak pidana ringan pada

masa Hindia Belanda, J.E Jonkers menjelaskan bahwa lembaga kejahatan ringan

berasal dari Hindia Belanda. Timbulnya lembaga ini disebabkan adanya

kebutuhan untuk mengajukan kejahatan-kejahatan atau menyelesaikan suatu

perkara pada hakim yang lebih dekat tempat tinggalnya. Kondisi bahwa jarak

yang jauh dan pekerjaan hakim yang terlalu banyak, menjadikan lembaga

kejahatan ringan dibutuhkan pada masa itu. Terutama pekerjaan dari Pengadilan

Negeri (landraad) dari hakim-hakim golongan bukan Eropa yang terlalu banyak

dan bagi golongan orang Eropa, mengingat jarak-jarak yang jauh.158

J.E Jonkers juga menyatakan bahwa pada masa itu, hanya ada enam

Raad van Justitie (Pengadilan Tinggi), maka ada cukup alasan untuk mengajukan

kejahatan-kejahatan ringan yang sering terjadi pada hakim setempat yang paling

dekat, sebagai ganti pengadilan tinggi yang jauh tempatnya. Lembaga ini

berhubungan dengan persoalan kekuasaan untuk mengadili (kompetensi

pengadilan). 159 Hal inilah yang menjadi pertimbangan munculnya lembaga

kejahatan ringan pada saat itu.

Sehubungan dengan apa yang telah diuraikan oleh Wirjono Prodjodikoro,

Ansori Sabuan, dan J.E. Jonkers mengenai kondisi peradilan pada pada masa

Hindia Belanda menunjukkan bahwa pembagian tindak pidana dalam bentuk yang

diperberat/dikualifikasi berat, tindak pidana biasa, dan tindak pidana ringan

berkaitan dengan susunan pengadilan, kompetensi pengadilan, dan kondisi

158
J.E. Jonkers, 1987, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, Cetakan
Pertama, PT Bina Aksara, Jakarta, h. 37.
159
Ibid, h. 37-38.
114

pengadilan pada masa itu. Pembagian tindak pidana menjadi 3 (tiga) jenis

tersebut, secara praktis juga bertujuan untuk efisiensi penyelesaian kasus. Hal-hal

inilah yang secara filosofis mendasari pembagian tindak pidana menjadi 3 (tiga)

jenis tersebut.

Pembagian tindak Pidana dalam bentuk tindak pidana dalam bentuk

pokok atau yang sering disebut sebagai tindak pidana biasa, tindak pidana dalam

bentuk yang diperberat/dikualifikasi berat, dan tindak pidana ringan pada masa

kolonial/Penjajahan Belanda terkait dengan adanya Landrechter, Landraad, dan

Raad van Justitie tentu relevan pada masa itu, namun jika dikaji

perkembangannya saat ini, Indonesia tidak memberlakukan lagi susunan

pengadilan seperti itu.

Dikotomi berdasarkan susunan pengadilan (Landrechter, Landraad, dan

Raad van Justitie) ini sudah tidak berlaku lagi, namun jika dilihat dari segi

efisiensi atau kemudahan sehingga perlu pembagian mengenai hal ini, juga dapat

ditemukan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981

Tentang Hukum Acara Pidana (yang selanjutnya disebut KUHAP).

KUHAP membagi pemeriksaan perkara menjadi 3 (tiga), yaitu acara

pemeriksaan biasa, singkat, dan cepat yang juga dikelompokkan berdasarkan

berat-ringannya kejahatan yang berhubungan dengan mudah atau tidaknya proses

pembuktian dan penerapan hukumnya, serta penyederhanaan proses

pemeriksaannya. Tindak pidana ringan yang dikelompokkan ke dalam acara

pemeriksaan cepat diatur dalam Pasal 205 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa,

“Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara
115

yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan

atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan

ringan kecuali yang ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian ini”.

Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa KUHP memuat beberapa

kejahatan yang merupakan kejahatan ringan atau tindak pidana ringan. Wirjono

Prodjodikoro menyebutkan beberapa kejahatan ringan atau tindak pidana ringan

yang dapat ditemukan dalam kejahatan mengenai harta benda

(vermogensdelicten), kejahatan terhadap tubuh, dan tindak pidana terhadap

kehormatan seseorang. Berdasarkan pandangan dan pengelompokkan dari

kejahatan ringan atau tindak pidana ringan yang telah diuraikan oleh Wirjono

Prodjodikoro dapat diketahui definisi dari tindak pidana ringan. Inti yang dapat

menjadi definisi dari pandangan Wirjono Prodjodikoro mengenai tindak pidana

ringan adalah tindak pidana atau kejahatan yang hanya diancam dengan hukuman

seberat-beratnya hukuman penjara selama tiga bulan atau kerugian yang

diakibatkan tidak melebihi dua puluh lima rupiah atau terdapat unsur-unsur yang

meringankan yang secara tegas diatur dalam rumusan pasal.160

Secara yuridis, dasar hukum mengenai tindak pidana ringan dapat

dijumpai dalam KUHP, KUHAP, dan beberapa peraturan terkait dengan

penyesuaian nilai nominal atau jumlah denda dalam tindak pidana ringan yang

diatur dalam KUHP. KUHP tidak memberikan definisi mengenai tindak pidana

ringan, namun definisi tersebut dapat dipahami dalam rumusan Pasal 205 ayat (1)

160
Wirjono Prodjodikoro I, Op.Cit, h. 35, Lihat juga Wirjono Prodjodikoro, 2012,
Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, cetakan ketiga, PT Rafika Utama, Bandung
(Selanjutnya disebut Wirjono Prodjodikoro II ), h. 70.
116

KUHAP. Pasal 205 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa, “Yang diperiksa

menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam

dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda

sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali

yang ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian ini”. Dalam penjelasan Pasal 205 ayat

(1) KUHAP dinyatakan bahwa, “Tindak pidana "penghinaan ringan" ikut

digolongkan di sini dengan disebut tersendiri, karena sifatnya ringan sekalipun

ancaman pidana penjara paling lama empat bulan”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 205 ayat (1) KUHAP dan penjelasan Pasal

205 ayat (1) KUHAP dapat diketahui bahwa, ancaman pidana (pidana penjara

atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh

ribu lima ratus rupiah) dan sifatnya yang ringan yang disebutkan secara tegas

dalam KUHP merupakan batasan dan kriteria dalam menentukan tindak pidana

ringan (tipiring). Identifikasi dan klasifikasi tindak pidana ringan akan dibahas

pada pembahasan dalam disertasi ini.

Nilai uang yang tercantum dalam KUHP tentu tidak sesuai lagi dengan

kondisi saat ini. Tidak ada lagi nilai barang sebesar dua puluh lima rupiah.

Penyesuaian nilai uang tentu pernah dilakukan dengan dikeluarkannya Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 1960 tentang

Beberapa Perubahan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagaimana

telah ditetapkan menjadi undang-undang melalui Undang-Undang Nomor l Tahun

1961 tentang Penetapan Semua Undang-Undang Darurat dan Semua Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang Sudah Ada Sebelum Tanggal 1


117

Januari 1961 Menjadi Undang-Undang. Perubahan juga terjadi melalui Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1960 tentang Perubahan

Jumlah Hukuman Denda dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan

Ketentuan-Ketentuan Pidana Lainnya yang Dikeluarkan Sebelum 17 Agustus

1945 sebagaimana telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Penetapan Semua Undang-Undang Darurat

dan Semua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang Sudah Ada

Sebelum Tanggal 1 Januari 1961 Menjadi Undang-Undang.

Pasal 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang RI Nomor 16

Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana sebagaimana telah ditetapkan menjadi undang-undang melalui Undang-

Undang Nomor l Tahun 1961 tentang Penetapan Semua Undang-Undang Darurat

dan Semua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang Sudah Ada

Sebelum Tanggal 1 Januari 1961 Menjadi Undang-Undang, menyatakan bahwa,

“Kata-kata "vijf en twintig gulden" dalam Pasal 364, 373 379, 384 dan Pasal 407

ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diubah menjadi "dua ratus lima

puluh rupiah". Terjadi penyesuaian jumlah kerugian yang ditimbulkan dari tindak

pidana pencurian ringan (Pasal 364 KUHP), penggelapan ringan (Pasal 373

KUHP), penipuan ringan (Pasal 379 KUHP), penipuan oleh penjual (384 KUHP)

dan perusakan ringan (Pasal 407 ayat (1) KUHP) yang sebelumnya tidak lebih

dari 25,- (dua puluh lima rupiah) menjadi tidak lebih dari 250,- (dua ratus lima

puluh rupiah).
118

Pengaturan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 18 Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana dan Ketentuan-Ketentuan Pidana Lainnya yang

Dikeluarkan Sebelum 17 Agustus 1945 sebagaimana telah ditetapkan menjadi

undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Penetapan

Semua Undang-Undang Darurat dan Semua Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang yang Sudah Ada Sebelum Tanggal 1 Januari 1961 Menjadi

Undang-Undang menyatakan bahwa:

Pasal 1
(1) Tiap jumlah hukuman denda yang diancamkan, baik dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, sebagaimana beberapa kali telah ditambah
dan diubah dan terakhir dengan Undang-undang No. 1 tahun 1960
(Lembaran-Negara tahun 1960 No. 1), maupun dalam ketentuan-ketentuan
pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945,
sebagaimana telah diubah sebelum hari mulai berlakunya Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang ini, harus dibaca dalam mata uang
rupiah dan dilipatgandakan menjadi lima belas kali.
(2) Ketentuan dalam ayat (1) tidak berlaku terhadap jumlah hukuman denda
dalam ketentuan-ketentuan tindak-pidana yang telah dimasukkan dalam
tindak-pidana ekonomi.

Berdasarkan ketentuan ini dapat diketahui bahwa, terdapat penyesuaian nilai

jumlah hukuman denda dalam mata uang rupiah yang dirubah dengan

dilipatgandakan menjadi lima belas kali dari jumlah semula yang diatur dalam

KUHP.

Sejak tahun 1960 nilai uang dalam KUHP belum pernah disesuaikan lagi,

padahal nilai tersebut tidak sesuai lagi dalam perkembangannya, oleh karena itu

pada tahun 2012 dikeluarkanlah Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun

2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda
119

Dalam KUHP. Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2012 Tentang

Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP

inilah yang menjadi pedoman tentang penyesuaian mata uang dalam tindak pidana

ringan yang berlaku hingga saat ini.

Dasar menimbang huruf c dan d Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor

2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah

Denda Dalam KUHP menguraikan bahwa Mahkamah Agung memandang perlu

melakukan penyesuaian nilai rupiah yang ada dalam KUHP berdasarkan harga

emas yang berlaku pada tahun 1960. Bahwa sejak tahun 1960 nilai rupiah telah

mengalami penurunan sebesar ± 10.000 kali jika dibandingkan harga emas pada

saat ini. Untuk itu maka seluruh besaran rupiah yang ada dalam KUHP kecuali

Pasal 303 dan Pasal 303bis perlu disesuaikan.

Mengenai besaran nilai kerugian dalam tindak pidana ringan, telah terjadi

penyesuaian sesuai dengan Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2

Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah

Denda Dalam KUHP yang menyatakan bahwa, Kata-kata “dua ratus lima puluh

rupiah” dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407, dan Pasal 482 KUHP dibaca

menjadi Rp. 2.500.000, 00 (dua juta lima ratus ribu rupiah)”. Jumlah kerugian

yang ditimbulkan dari tindak pidana pencurian ringan (Pasal 364 KUHP),

penggelapan ringan (Pasal 373 KUHP), penipuan ringan (Pasal 379 KUHP),

penipuan oleh penjual (384 KUHP) dan perusakan ringan (Pasal 407 ayat (1)

KUHP), dan penadahan ringan (Pasal 482 KUHP) yang sebelumnya tidak lebih
120

dari 250,- (dua ratus lima puluh rupiah) kini berubah menjadi tidak lebih dari Rp.

2.500.000, 00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).

Jumlah denda juga mengalami penyesuaian. Pasal 3 Peraturan

Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak

Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP menyatakan bahwa, “Tiap

jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali Pasal

303 ayat (1) dan ayat (2), 303 bis ayat (l) dan ayat (2), dilipatgandakan menjadi

1.000 (seribu) kali”. Ketentuan inilah yang berlaku saat ini, sehingga jumlah

hukuman denda berdasarkan nilai uang akan berlaku secara proposional.

Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2012 Tentang

Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP ini

kemudian ditindaklanjuti dengan penandatanganan Kesepakatan Bersama antara

Ketua Mahkamah Agung RI, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jaksa

Agung RI, Kepala Kepolisian Negara RI tentang Pelaksanaan Penerapan

Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara

Pemeriksaan Cepat, Serta Penerapan Keadilan Restoratif (Restoratve Justice)

Nomor : 131/KMA/SKB/X/2012, Nomor : M.HH-07.HM.03.02 Tahun 2012,

Nomor : KEP-06/E/EJP/10/2012, Nomor : B/39/X/2012.

Pasal 1 angka 1 Peraturan Kepala Badan Pembinaan Keamanan

Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2009 Tentang

Penanganan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) menyatakan bahwa, “Tindak pidana

ringan yang selanjutnya disingkat Tipiring adalah perkara yang diancam dengan
121

pidana penjara atau kurungan paling lama 3 bulan dan/atau denda sebanyak-

banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali dalam
161
pelanggaran lalu lintas”. Peraturan Kepala Badan Pembinaan Keamanan

Kepolisian Negara Republik Indonesia ini merupakan pedoman penanganan

tindak pidana ringan yang berlaku di Indonesia.

Berdasarkan Pasal 205 ayat (1) KUHAP, Pasal 1 dan Pasal 3 Peraturan

Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak

Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP, dan 9 (sembilan) Pasal

mengenai Tindak Pidana Ringan dalam KUHP dapat dipahami bahwa tindak

pidana ringan adalah tindak pidana yang memuat unsur-unsur yang meringankan

(yang secara tegas disebutkan dalam KUHP), diancam dengan pidana penjara

paling lama tiga bulan dan untuk kejahatan harta benda kerugian yang

ditimbulkan tidak lebih dari Rp. 2.500.000, 00 (dua juta lima ratus ribu rupiah),

beserta penghinaan ringan.

Tindak pidana ringan merupakan tindak pidana yang bersifat ringan

berdasarkan kualifikasi ancaman pidana dan besarnya kerugian yang ditimbulkan,

serta dengan adanya unsur-unsur yang meringankan. Seperti yang diuraikan

sebelumnya bahwa dalam tindak pidana ringan terdapat faktor yang meringankan

yang secara tegas dimuat dalam rumusan pasal, sehingga ancaman pidana/sanksi

161
Besaran nilai disesuaikan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2
Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam
KUHP.Kata “kecuali pelanggaran lalu lintas” dalam hal ini berarti pemeriksaan tindak pidana
ringan dengan pelanggaran lalu lintas adalah berbeda. Tindak pidana ringan diperiksa dengan
acara pemeriksaan cepat sedangkan pelanggaran lalu lintas diperiksa dengan acara pemeriksaan
perkara pelanggaran lalu lintas.
122

pidana terhadap tindak pidana ringan ini menjadi diperingan atau lebih ringan dari

bentuk pokoknya.

Faktor yang meringankan dalam tindak pidana ringan menunjukkan

bahwa dikaji dari berat ringannya kejahatan, tindak pidana ringan sifatnya lebih

ringan dengan kerugian yang tidak terlalu besar. Konsekuensi dari hal ini, maka

dalam penyelesaiannya sesuai dengan KUHAP tindak pidana ringan diperiksa

dengan acara pemeriksaan cepat dengan pemeriksaan yang lebih sederhana.

Penyelesaian kasus tindak pidana ringan (tipiring) dalam KUHAP, diatur

dalam Pasal 205-210 KUHAP yang mengatur mengenai acara pemeriksaan tindak

pidana ringan. Berdasarkan ketentuan Pasal 205-210 KUHAP yang mengatur

mengenai acara pemeriksaan tindak pidana ringan dapat diketahui bahwa KUHAP

telah mengatur acara pemeriksaan tindak pidana ringan melalui acara pemeriksaan

cepat dengan hakim tunggal. Terhadap pelaku/tersangka/terdakwa dalam tindak

pidana ringan juga tidak dikenakan penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 21

ayat (4) huruf a KUHAP : Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap

tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maup

un pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal : a. tindak pidana

itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Tindak pidana ringan

yang ancaman hukumannya 3 (tiga) bulan penjara tidak dapat dikenakan

penahanan.

Terkait dengan acara pemeriksaan cepat dan pengertian tindak pidana

ringan, M. Yahya Harahap juga menyatakan pandangannya. M. Yahya Harahap

menyatakan bahwa pemeriksaan dengan acara cepat dibagi dalam dua paragraf
123

dalam Bab XVI KUHAP yakni acara pemeriksaan tindak pidana ringan dan acara

pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas. Undang-undang menentukan

patokan dari segi ancaman pidana dalam tindak pidana ringan.162

Menurut M. Yahya Harahap dalam menentukan tindak pidana yang

diperiksa dengan acara ringan bertitik tolak dari ancaman tindak pidana yang

didakwakannya. Secara umum, ancaman tindak pidana yang menjadi ukuran

dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan diatur dalam Pasal 250 ayat (1)

yakni: tindak pidana yang ancaman pidananya paling lama 3 (tiga) bulan penjara

atau kurungan, atau denda sebanyak-banyaknya (Rp. 7.500,00/yang telah

disesuaikan) dan penghinaan ringan. Tindak pidana penghinaan ringan ikut

digolongkan sebagai tindak pidana ringan karena sifatnya yang ringan sekalipun

ancaman pidana paling lama 4 (empat) bulan. Pengertian tindak pidana ringan

secara formal harus diperiksa dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan.163

2.1.3 Penyelesaian kasus/perkara pidana di Indonesia

Secara konvensional, sebuah perkara pidana akan diselesaikan secara

litigasi di pengadilan melalui peradilan pidana berdasarkan hukum pidana materiil

dan hukum pidana formil dalam sebuah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice

System). Suatu kasus awalnya dapat diproses setelah adanya laporan atau

pengaduan dari masyarakat atau jika kasus itu merupakan peristiwa tertangkap

tangan. Setelah adanya laporan, pengaduan, atau tertangkap tangan kepolisian

162
M. Yahya Harahap, 2015, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP;
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Cetakan Keempat
Belas, Sinar Grafika, Jakarta (Selanjutnya disebut M. Yahya Harahap II), h. 422.
163
Ibid, h. 422-423.
124

dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan, selanjutnya jika berkas perkara

sudah lengkap (P21) akan dilakukan penuntutan oleh Penuntut Umum, Penuntut

Umum kemudian akan melimpahkan perkara tersebut ke Pengadilan untuk

dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan. Hakim akan menjatuhkan putusan

yang akan dilaksanakan oleh Jaksa. Terpidana yang dikenakan sanksi pidana akan

menjalankan hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan (jika sanksi pidana yang

dijatuhkan adalan pidana penjara) dan terdapat juga upaya hukum yang dapat

ditempuh. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat prosedur baku yang panjang

dalam penyelesaian suatu perkara pidana.

Seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan serta tuntutan

hukum masyarakat, proses penyelesaian sengketa di luar pengadilanpun (non

litigasi) ikut berkembang sebagai alternatif penyelesaian sengketa. 164 Frans

Hendra Winartha menyatakan bahwa penyelesaian sengketa di luar pengadilan

bersifat tertutup untuk umum (close door session) dan kerahasiaan para pihak

terjamin (confidentiality), proses beracara lebih cepat dan efisien. Proses

penyelesaian di luar pengadilan ini menghindari kelambatan yang diakibatkan

prosedural dan administratif sebagaimana beracara di pengadilan umum dan win-

win solution. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini disebut sebagai

Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS).

164
Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) juga dikenal dengan nama ADR (Alternatif
Dispute Resolution) atau Penyelesaian Sengketa Alternatif (PSA). ADR (Alternatif Dispute
Resolution) juga dapat disebut sebagai penyelesaian sengketa secara non litigasi atau di luar
pengadilan atau juga dikenal merupakan penyelesaian kasus secara informal adjudikatif. Suyud
Margono menyebutkan bahwa ADR bisa diartikan sebagai Pilihan Penyelesaian Sengketa (PPS),
Mekanisme Penyelesaian Sengketa (MPS), dan mekanisme penyelesaian sengketa secara
kooperatif. Lihat, Frans Hendra Winarta, 2011, Hukum Penyelesaian Sengketa; Arbitrase Nasional
Indonesia & Internasional, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, h. 9.
125

Menurut Chistoper W. Moore keunggulan Alternative Dispute Resolution

dibandingkan dengan pengadilan adalah:

a. sifat kekeluargaan (kesukarelaan) dalam proses


b. prosedur yang cepat
c. keputusan non-yudicial
d. kontrol menajer yang paling tahu kebutuhan organisasi
e. prosedur rahasia
f. fleksibelitas yang besar dalam merancang syarat-syarat penyelesaian
masalah
g. hemat waktu
h. hemat biaya
i. perlindungan dan pemulihan hubungan kerja
j. tinggi kemungkinan untuk melaksakan kesepakatan
k. tingkatan yang lebih tinggi untuk melakukan kontrol dan lebih mudah
memperkirakan hasil
l. kesepakatan-kesepakatan yang lebih daripada sekedar kompromi atas
hasil yang diperoleh dan cara penyelesaian kalah/menang
m. keputusan dapat bertahan sepanjang waktu
n. dapat memuaskan semua pihak, dan
o. penyelesaian tuntas.165

ADR (Alternative Dispute Resolution) memang digunakan untuk

menyelesaikan kasus-kasus perdata (privat). Seiring dengan perkembangannya

hingga kini tidak hanya perkara perdata (hukum privat) yang dapat diselesaikan

melalui ADR. Penyelesaian sengketa melalui ADR dalam prakteknya juga mulai

merambah ke dalam hukum publik.

Istilah ADR (Alternative Dispute Resolution) relatif baru dikenal di

Indonesia, akan tetapi sebenarnya penyelesaian-penyelesaian sengketa secara

konsensus sudah lama dilakukan oleh masyarakat, yang intinya menekankan pada

upaya musyawarah mufakat, kekeluargaan, perdamaian dan sebagainya. ADR

mempunyai daya tarik khusus di Indonesia karena keserasiannya dengan sistem

165
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi
Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian Kedalam Perancangan Kontrak, Cetakan Pertama,
Udayana University Press, Denpasar Bali, h. 20.
126

sosial budaya tradisional berdasarkan musyawarah mufakat. Melalui semangat

musyawarah untuk mencapai mufakat yang sudah mengakar dalam jiwa bangsa

Indonesia, alternatif penyelesaian sengketa memiliki potensi yang sangat besar

untuk dikembangkan dan digunakan oleh para praktisi hukum di Indonesia.

Pentingnya peran Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam penyelesaian

sengketa semakin besar dengan diundangkannya Undang-Undang RI Nomor 30

Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.166 Undang-

Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman juga telah

mengakui keberadaan dari Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam lingkungan

kekuasaan kehakiman di Indonesia sebagaimana diatur dalam Bab XII mengenai

Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Pasal 58 Undang-Undang RI Nomor

48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa, “Upaya

penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui

arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.

Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 Tentang

Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa, “Alternatif penyelesaian sengketa

merupakan lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur

yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara

konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli”. Pasal 60 ayat (2)

dan (3) Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman juga menentukan bahwa, “Penyelesaian sengketa melalui alternatif

penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hasilnya dituangkan

166
Frans Hendra Winarta, Loc.Cit.
127

dalam kesepakatan tertulis. Kesepakatan secara tertulis sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) bersifat final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan

itikad baik”.

Sejarah munculnya Alternatif Penyelesaian Sengketa dimulai pada tahun

1976 pada saat ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat Warren Burger

mempelopori ide ini pada sebuah konferensi di Saint Paul, Minnesota Amerika

serikat. Hal ini dilatarbelakangi oleh berbagai faktor gerakan reformasi pada awal

tahun 1970, saat itu banyak pengamat dalam bidang hukum dan akademisi mulai

merasakan adanya keprihatinan yang serius mengenai efek negatif yang semakin

meningkat dari penggunaan penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau secara

litigasi. American Bar Association (ABA) pada akhirnya merealisasikan rencana

tersebut dan menambahkan Komite Alternatif Penyelesaian Sengketa pada

organisasi mereka diikuti dengan kurikulum Alternatif Penyelesaian Sengketa

pada sekolah hukum di Amerika Serikat dan juga di sekolah ekonomi.167

Alternatif Penyelesaian Sengketa pertama kali berkembang di Amerika

Serikat. Perkembangan Alternatif Penyelesaian Sengketa di Amerika Serikat

dilatarbelakangi oleh:

a. mengurangi kemacetan di pengadilan. Banyaknya kasus yang diajukan di

pengadilan mengakibatkan proses pengadilan sering berkepanjangan, dengan

biaya yang tinggi, dan sering memberikan hasul yang kurang memuaskan.

b. Meningkatkan ketertiban masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa.

c. Memperlancar serta memperluas akses ke pengadilan.

167
Frans Hendra Winarta, Op.Cit, h. 10.
128

d. Memberi kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang

menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak dengan hasil

yang memuaskan.168

Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan definisi Alternatif Penyelesaian

Sengketa. Pasal 1 angka 10 Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa, “Alternatif

Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat

melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar

pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian

ahli”. Definisi Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) juga diberikan oleh

beberapa ahli. Frans Hendra Winarta menyatakan bahwa, “APS adalah pranata

penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan kesepakatan para pihak

dengan mengesampingkan penyelesaian sengketa melalui proses litigasi di

pengadilan”.169

I Made Widnyana menyatakan bahwa, “Dispute Resolution biasa disebut

“Alternative Dispute Resolution” adalah serangkaian proses yang bertujuan untuk


170
menyelesaikan sengketa antara pihak-pihak”. Dalam Alternative Dispute

Resolution, kata alternative menunjukan bahwa para pihak yang bersengketa

bebas melalui kesepakatan bersama memilih bentuk dan tata cara apa yang

168
Frans Hendra Winarta, Loc.Cit
169
Frans Hendra Winarta, Op.Cit, h. 15.
170
I Made Widnyana, 2007, Alternatif Penyelesaian Sengketa Indonesia, Cetakan
Pertama, Kantor Hukum Gani Djemaat & Partner, Jakarta, h. 19.
129

terdapat dalam Alternatif Penyelesaian Sengketa dan akan diterapkan kepada

penyelesaian sengketanya.171

2.1.4 Konstruksi

Pengertian istilah kontruksi dalam Kamus Bahasa Indonesia adalah

susunan, model, atau tata letak suatu bangunan, susunan dan hubungan kata dalam

kalimat atau kelompok kata.172 Konstruksi juga dapat berarti susunan dari bagian-

bagian sesuatu, ling susunan kata atau frase dalam sebuah kalimat.173 Berdasarkan

pengertian ini dapat diketahui bahwa istilah konstruksi tidak hanya digunakan

dalam bidang teknik sipil untuk merujuk sebuah bangunan/gedung/infrastruktur.

Konstruksi juga dapat digunakan di semua bidang ilmu yang terkait pada

penggunaan kalimat, kata, atau frase. Istilah konstruksi pada konteks ini dapat

berarti kalimat, kata, atau frase yang dihubungkan, disusun, dikelompokkan

sedemikian rupa sehingga membentuk sebuah bangunan atau sebuah model.

Secara singkat istilah konstruksi dapat diartikan sebagai “bangunan”, dengan

demikian istilah konstruksi dalam disertasi ini berarti “model”.

Istilah-istilah hukum, bahasa hukum, dan pengertian hukum yang ada

baik dalam perundang-undangan maupun di luar perundang-undangan merupakan

bagian dari ilmu pengetahuan hukum. Ilmu pengetahuan hukum ini bukanlah ilmu

pengetahuan jika ia berhenti pada pengertiannya yang lama, istilah-istilahnya

dapat saja tetap tetapi pengertiannya dapat berubah dan berkembang, oleh karena

171
Moch. Basarah, 2011, Prosedur Alternatif Penyelesaian Sengjketa Arbitrase
Tradisional dan Modern (Online), Cetakan Pertama, Genta Publishing, h. 1.
172
Ernawati Waridah dan Suzana, 2014, Kamus Bahasa Indonesia, Cetakan Pertama,
Ruang Kata Imprint Kawan Pustaka, Bandung, h. 304.
173
J.S. Badudu, 2007, Kamus Kata-Kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia,
Cetakan Ketiga, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, 194.
130

itu hukum tidak hanya memerlukan uraian sebab akibat tetapi yang terpenting

adalah penafsirannya. Penafsiran dalam hal ini adalah penafsiran yang hidup dan

sesuai dengan kesadaran hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Pengertian

hukum yang dimaksud dalam hal ini adalah konstruksi hukum

(rechtsconstructie).174

Sebagaimana yang telah diuraikan dalam latar belakang pengertian

konstruksi hukum (rechtsconstructie) menurut Hilman Hadikusuma adalah alat-

alat yang dipakai untuk menyusun bahan hukum yang dilakukan secara sistematis

dalam bentuk bahasa dan istilah yang baik. Menyusun dalam hal ini ialah

menyatukan apa yang termasuk dalam satu bidang yang sama, satu pengertian

yang sama.

Hilman Hadikusuma juga memberikan ilustrasi atau contoh sebuah

konstruksi hukum. Misalnya, sebuah pencurian adalah suatu konstruksi hukum,

yakni suatu pengertian tentang semua perbuatan mengambil barang dengan

maksud untuk dimiliki secara melawan hukum sebagaimana yang diatur dalam

Pasal 362 KUHP. Apakah perbuatan itu disebut “maling”, “nyolong”, “nyopet”,

apakah ia mengambil benda berwujud atau tidak berwujud (aliran listrik),

kesemuanya apabila dilakukan dengan maksud dimiliki dengan melawan hukum,

maka perbuatan itu disebut pencurian.175

Contoh lainnya adalah konstruksi peristiwa hukum. Akan lebih luas lagi

pengertiannya, apabila disebut peristiwa hukum (rechtsfeit) yang merupakan

kenyataan hukum yang terjadi. Semua peristiwa (karena tangan manusia) yang

174
Hilman Hadikusuma, Op.Cit, h. 14-15.
175
Hilman Hadikusuma, Op.Cit, h. 15.
131

diatur oleh hukum adalah peristiwa hukum, misalnya peristiwa penilaian umum

adalah peristiwa tata negara, peristiwa hukum internasional, peristiwa

pembunuhan adalah peristiwa hukum pidana, peristiwa hutang piutang adalah

peristiwa hukum perdata, dan lain sebagainya.176

Gregory Leyh juga memberikan definisi mengenai kontruksi. Menurut

Gregory Leyh, “Kontruksi adalah penarikan kesimpulan mengenai pokok bahasan

yang ada dibalik ekspresi langsung teks, dari unsur-unsur yang diketahui dan

terdapat dalam teks  kesimpulan yang terkandung dalam semangat, dan bukan

pada huruf yang tertera pada teks”.177

Menurut Gregory Leyh prinsip-prinsip umum yang dapat berlaku dalam

konstruksi adalah:

1. Semua prinsip interpretasi, jika memang bisa diterapkan pada


konstruksi, adalah hal yang sah pula bagi yang disebutkan kedua.
2. Petunjuk utama bagi konstruksi adalah analogi atau lebih tepatnya
penalaran melalui paralelisme.
3. Tujuan dan maksud suatu instrumen, hukum, dst, bersifat esensial, jika
memang diketahui secara tersendiri, dalam upaya penafsirannya.
4. Hal itu bisa terjadi pada kausa-kausa hukum.
5. Tidak ada teks tentang pembebanan kewajiban yang menuntut hal-hal
yang mustahil dilakukan.
6. Hak-hak istimewa, atau pengutamaan, harus ditafsirkan sehingga tidak
merugikan bagi yang tidak memiliki hak istimewa atau bagi yang tidak
diutamakan.
7. Sedemikian besar peran serta teks dalam suatu kesepakatan yang tertata
dan resmi, maka semakin cermat pula seharusnya konstruksinya.
8. Suatu teks yang menekankan pelaksanaan mengekspresikan segi-segi
yang bersifat minimum, jika pelaksanaan tersebut membebani si
pelaksana, dan maksimum, jika melibatkan pembebanan atau
penderitaan di pihak lain.
9. Konstruksi harus sesuai dengan substansi dan semangat umum teks.

176
Hilman Hadikusuma, Loc.Cit.
177
Gregory Leyh, 2015, Hermeneutika Hukum: Sejarah, Teori, dan Praktik, terjemahan
M. Khozim, Cetakan Keempat, Nusa Media, Bandung, h. 142.
132

10. Efek-efek yang berasal dari konstruksi tertentu bisa menuntun kita
untuk memutuskan konstruksi yang perlu diambil.
11. Semakin tua sebuah hukum atau teks yang memuat peraturan mengenai
tindakan kita, meskipun digariskan pada waktu silam, akan semakin
luas cakupan konstruksinya dalam kasus-kasus tertentu.
12. Tidak ada hal yang bisa memberikan perlindungan substansial bagi
kebebasan individu selain kebiasaan menjalankan konstruksi dan
interpretasi secara seksama.
13. Penting memastikan kata-kata yang digunakan memiliki karakter
terbatas, mutlak, dan bermakna khusus, atau mempunyai karakter
umum, relatif, atau ekspansif.
14. Upayakan agar para pihak yang lemah bisa mendapat manfaat dari
ketentuan yang mengandung hal-hal yang meragukan, tanpa
mengalahkan tujuan umum hukum. Upayakan agar belas kasih berlaku
jika memang ada keraguan yang nyata.
15. Diperlukan adanya pertimbangan atas keseluruhan teks atau wacana
agar konstruksi yang dilakukan tepat dan benar.
16. Diatas segalanya, upayakan bersikap tepat dalam semua konstruksi.
Konstruksi terwujud sebagai upaya membangun unsur-unsur dasar, dan
bukan pemaksaan materi luar ke dalam teks.178

Berdasarkan pada pengertian konstruksi dalam bidang ilmu pengetahuan

hukum dapat diketahui bahwa ilmu pengetahuan hukum selalu berkaitan dengan

istilah, pengertian, bahasa hukum, kata, kalimat, teks, dan frase. Mengingat bahwa

hukum akan selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman dan mengikuti

perkembangan masyarakat maka dalam bidang ilmu pengetahuan hukum akan

sangat terkait dengan proses konstruksi, oleh sebab itu konstruksi perlu dilakukan

agar hukum dapat berlaku dan ditaati.

Banyak ahli hukum yang menggunakan istilah konstruksi, diantaranya

adalah Barda Nawawi Arief dan Satjipto Rahardjo. Barda Nawawi Arief

menggunakan istilah rekonstruksi (pembangunan kembali) dengan demikian

istilah konstruksi berarti pembangunan. Barda Nawawi Arief juga menggunakan

178
Ibid, h. 142-143.
133

istilah konstruksi dalam beberapa tulisannya, seperti konstruksi pemikiran hukum,

konstruksi berfikir hukum, konstruksi ilmu hukum positif, dan lain-lain. 179

Satjipto Rahardjo juga menggunakan istilah konstruksi dalam beberapa

tulisannya, seperti dalam bukunya yang berjudul, “Sisi-Sisi Lain dari Hukum di

Indonesia”. Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa hukum adalah hasil konstruksi

dan karena itu kita juga boleh merubah konstruksi, membuat konstruksi baru, dan

sebagainya. 180 Hal ini menunjukkan bahwa hukum juga merupakan sebuah

konstruksi dan hukum juga memerlukan sebuah konstruksi baru atau yang kini

sering dikenal dengan istilah “rekonstruksi”.

Konstruksi juga dapat merujuk pada sebuah metode (cara), sangat terkait

pada penafsiran atau hermeneutika, penalaran dan penemuan hukum

(rechtsvinding). Yesmil Anwar dan Adang menyatakan bahwa konstruksi hukum

dilakukan dalam situasi memang tidak ada peraturan sehingga terdapat

kekosongan hukum (recht vaccum) atau dapat disebut sebagai kekosongan

undang-undang (wet vaccum). Hakim dapat mengisi kekosongan tersebut dengan

kegiatan penafsiran logis sitematis dengan menggunakan metode analogi.

Hermeneutika bermanfaat untuk meluruskan penalaran hukum, dalam artian ini ia

dapat masuk penafsiran hukum atau konstruksi hukum, jadi sifatnya sangat

praktis.181

179
Barda Nawawi Arief, 2009, Menembus Kebuntuan Legalitas Formal Menuju
Pembangunan Hukum dengan Pendekatan Hukum Progresif, Makalah pada Seminar FH UNDIP:
Pembaharuan Sistem Penegakan Hukum dengan Nilai-Nilai Moral Religius, Semarang, 19
Desember 2009 (Selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief V).
180
Satjipto Rahardjo II, Op.Cit, h.27.
181
Yesmil Anwar dan Adang, 2008, Pembaharuan Hukum Pidana, PT. Grasindo,
Jakarta (Selanjutnya disebut Yesmil Anwar dan Adang I), h. 280.
134

Philipus M. Hadjon dan Tatik Sri Djatmiati menyatakan bahwa model

rechtsvinding atau penemuan hukum yang dianut dewasa ini seperti yang telah

dikemukakan oleh J.J.H Bruggink dalam bukunya Opzoek Naar Het Recht

(Rechtsvinding in Rechtstheoritisch Perspectief) meliputi metode interpretasi

(interpretatiemethoden) dan model penalaran (redeneerweijzen) atau konstruksi

hukum. 182 Berdasarkan hal ini konstruksi hukum juga merupakan salah satu

model penemuan hukum atau rechtsvinding.

Mengenai bentuk konstruksi hukum Philipus M. Hadjon dan Tatik Sri

Djatmiati menyatakan bahwa disamping interpretasi juga dikenal adanya 3 (tiga)

bentuk konstruksi hukum yaitu analogi, rechtsverfijning, dan argumentum a

contrario. Konstruksi hukum sangat dibutuhkan dalam menghadapi kekosongan

hukum (leemten).183

Konstruksi hukum berupa analogi, rechtsverfijning, dan argumentum a

contrario dapat digunakan dalam disertasi ini yang sangat terkait dengan

penggunaan penalaran dalam mengkaji permasalahan dalam disertasi ini. 3 (tiga)

langkah konstruksi hukum ini dapat dijelaskan dalam bagan atau gambar yang

dipaparkan oleh J.J.H Bruggink di bawah ini:

182
Philipus M. Hadjon dan Tatik Sri Djatmiati, 2009, Argumentasi Hukum, Cetakan
Keempat, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h. 25.
183
Ibid, h. 28.
135

Model Nalar (Konstruksi Hukum)

1. Analogi

Bagan 1

ANALOGIE

Ratio: Niemand hoeft op kosten van een ander er beter van te


Beginselen worden.
(Asas) (Tidak seorangpun boleh menikmati suatu keadaan
yang lebih baik atas beban orang lain)

Rechtregels
(Aturan Hukum) 1849 BW Ongeshreven Rechttregels
Nederland (Hukum tidak tertulis)

Retentierecht Voor last hebber Retentierecht Voor zaak Waarnemer

Hak retensi bagi penerima kuasa Hak retensi untuk pengurus barang

Feiten handelen van last hebber handelen van zaak waarnemer


(Fakta) (tindakan penerima kuasa) m.b.t Sleepboot Marcel
PETIT
Tindakan dari pengurus barang d.h.i:
Sleepboot Marcel Petit
Penjelasan Bagan:

Bagan 1 dalam analogi diatas secara sederhana dapat dijelaskan dengan

sederhana bahwa pada kasus pengurusan barang, apakah pengurus barang

mempunyai hak retensi? Dalam hukum Belanda atau BW lama Pasal 1849

mengatur hak retensi berkaitan dengan pemberian kuasa. Pertanyaan hukumnya

apakah ketentuan tersebut dapat diterapkan dalam fakta hukum pengurusan

barang. Langkah yang harus diambil untuk menjawab pertanyaan ini adalah

mencari ratio legis yang merupakan asas yang melandasi ketentuan Pasal 1849
136

BW Belanda. Asas tersebut mengatakan bahwa: “tidak seorang pun boleh

menikmati suatu keadaan lebih baik atas beban orang lain”. Berdasarkan asas

yang melandasi ketentuan Pasal 1849 BW Belanda tersebut, ketentuan Pasal 1849

BW dapat diterapkan pada fakta hukum pengurusan barang. Pengurusan barang

“analog” dengan pemberian kuasa. Inilah yang disebut penalaran analogi. 184

Penalaran analogi sebagaimana yang dicontohkan dalam bagan 2 dapat

diterapkan dalam disertasi ini dalam mengkaji atau menganalisis permasalahan

dengan bertolak pada suatu fakta/gejala-gejala/peristiwa/kasus-kasus pidana yang

dapat diselesaikan melalui mediasi penal. Mengingat bahwa mediasi penal awal

mulanya berkembang dalam hukum perdata, melalui penalaran analogi juga akan

ditemukan persamaan-persamaan dalam hukum perdata yang dapat diterapkan di

bidang hukum pidana dengan tidak mengurangi karakteristik hukum pidana

sebagai hukum publik. Berdasarkan persamaan-persamaan ini dapat ditarik

sebuah kesimpulan yang bermanfaat dalam pembentukan model mediasi penal

dalam penyelesaian tindak pidana ringan di Indonesia.

184
Ibid, h. 28-29.
137

2. Argumentatum a contrario

Bagan 2

ARGUMENTATUM A CONTRARIO

Beginselen Ratio: Niemand hoeft er zonder reden ten koste van een andr
betr op te worden
(tidak seorangpun tanpa alasan, atas beban orang lain
menjadi lebih baik)

Regels Ongeshreven Rechtsregels


651 & 652 BW
(Hukum tidak tertulis)
cfr. 590. BW Indonesia

Oeverlijn is igendomgrens:
Voordeel voor oevereigenaar Batas itu bukan merupakan batas hak milik,
(Garis batas hak milik merupakan bukan bagian dari pemilik saluran air
bagian pemilik disampingnya)

aanspoeling van land bij lopend water Afkalving van land bij waterplas
Feiten (mengairi tanah oleh air yang mengalir) Pemisahan tanah oleh air yang tergenang
(Fakta) (lopend water) (water plas) (pg.107)

A-Contrario: waterplas is geen lopend water


Dus: Pasal 651 tidak bisa diterapkan terhadap
waterplas
Penjelasan bagan:

Pertanyaan hukum yang muncul dari bagan Argumentatum a contrario

diatas adalah apakah Pasal 651 dan Pasal 652 BW Belanda dapat diterapkan

dalam kasus pemisahan tanah hak milik oleh air yang tergenang (water plas).

Pasal 651 dan Pasal 652 BW menentukan bahwa garis batas hak milik merupakan

bagian disampingnya. Air yang mengaliri tanah yang merupakan bagian dari hak

milik, maka aliran air tersebut merupakan bagian dari hak milik pemilik tanah

yang dialiri. Air yang tergenang (water plas) tidak sama dengan air yang mengalir
138

(lopend water). Ketentuan Pasal 651 dan Pasal 652 BW BW dengan argumentasi

a contrario tidak dapat diterapkan dalam kasus ini. 185

Bagan 2 terkait contoh penggunaan argumentatum a contrario

menunjukkan bahwa jenis penalaran ini juga akan bermanfaat tidak hanya dalam

mengkaji fakta/peristiwa/gejala/kasus namun juga dapat diimplementasikan dalam

membaca, memahami, dan mengaplikasikan teks peraturan perundang-undangan.

Poin penting dalam argumentatum a contrario adalah memberikan perlawanan

pengertian (mencari kebalikannya) antara fakta/peristiwa konkrit/gejala/kasus

dengan apa yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Kesimpulan yang

ditarik sebagai hasil dari penggunaan argumentatum a contrario dapat menjadi

bahan analisis dalam disertasi ini, misalnya dalam mencari makna dalam Pasal 82

KUHP yang mengatur tentang penyelesaian di luar pengadilan yang hanya

berlaku bagi pelanggaran yang diancam dengan denda saja lalu dibandingkan

dengan kejahatan ringan.

185
Ibid, h. 29.
139

3. Rechtsverfijning

Bagan 3

RECHTSVERFIJNING

Ratio: voor ieder moet er een zogelijk mogelijke maatschappelijke


uitgangspositie zijn
(Setiap orang harus memiliki kedudukan yang sama
dalam masyarakat)

Rechtregels 63 Armenwet Ongeschreven rechtsregel


(Aturan Hukum) (UU Kemiskinan) (Hukum tidak tertulis)

Veerhaal op ondersteunde Green veerhaal op ondersteunde


(pengembalian subsidi) (tak ada pengembalian subsidi)

Feiten Gezinshoofd (Kepala keluarga) Gezinsleden (anggota keluarga)


(Fakta) allen die van ondersteuning
profiteren
(semua yang menikmati subsidi)

Penjelasan bagan:

Mengacu pada armenwet, setiap keluarga penerima subsidi diwajibkan

mengembalikan subsidi yang diterima jika mereka telah berhasil. Seorang anggota

keluarga pada kasus ini, yakni anak gadisnya ternyata berhasil. Pemerintah

mewajibkan anak gadis itu mengembalikan subsidi yang telah diterima oleh

keluarganya. Anak tersebut menolak permintaan pemerintah dan akhirnya kasus

ini sampai pada tingkat kasasi. Hakim mempertanyakan apakah setiap anggota

keluarga bertanggungjawab atas pengembalian subsidi berdasarkan ketentuan

armenwet. Hakim berpandangan bahwa konsep keluarga dalam armenwet terlalu

luas sehingga perlu diperhalus atau dipersempit. Dengan langkah ini konsep
140

keluarga diperhalus atau dipersempit menjadi kepala keluarga. Inilah yang

dimaksud dengan penghalusan hukum atau penyempitan hukum.186

Cara berpikir dengan rechtsverfijning (penghalusan hukum) sebagaimana

contoh yang telah diberikan dalam bagan 3 menunjukkan bahwa makna atau

pengertian yang ada dalam peraturan perundang-undangan akan diperhalus atau

dipersempit untuk bisa diterapkan pada kasus/fakta/peristiwa konkrit/gejala,

karena rumusan peraturan perundang-undangan terlalu luas. Penggunaan

rechtsverfijning dapat ditemukan dalam asas diskresi kepolisian yang diatur dalam

UU Kepolisian dan KUHAP yang dipersempit atau diperhalus agar dapat

digunakan sebagai dasar pelaksanaan mediasi penal. Hal ini digunakan secara

praktis meskipun asas dikresi ini masih sangat abstrak atau luas sifatnya sehingga

mediasi penal perlu dikontruksikan kembali secara eksplisit dalam sebuah

undang-undang.

Berdasarkan berbagai pengertian dari kontruksi dapat dirumuskan bahwa

konstruksi adalah frasa atau kalimat atau kata yang dihubungkan, disusun,

dikelompokkan sedemikian rupa secara sistematis sehingga membentuk sebuah

bangunan atau sebuah model. Konstruksi secara singkat dapat disebut sebagai

“bangunan” atau sebuah “model”. Konstruksi akan berkaitan dengan istilah,

pengertian, bahasa hukum, kata, kalimat, teks dan frase yang digali atau ditelusuri

makna atau kesimpulan yang terkandung dalam semangat teks tersebut.

Konstruksi hukum juga berkaitan dengan metode atau cara, terkait dengan

penafsiran/hermeneutika, penalaran, dan penemuan hukum. Konstruksi hukum

186
Ibid, h. 29.
141

juga menjadi solusi atas kekosongan norma (recht vaccum). Perlu diketahui

bahwa sebagaimana dinyatakan oleh Satjipto Rahardjo bahwa hukum adalah hasil

konstruksi sehingga dapat dibentuk kontruksi baru atau merubah konstruksi yang

telah ada (rekontruksi).

2.2 Kerangka Teoritis

2.2.1 Teori Keadilan

Keadilan bukanlah satu-satunya tujuan dari hukum karena hukum juga

memiliki tujuan untuk kepastian hukum dan kemanfaatan. Idealnya hukum harus

mengakomodasikan ketiga tujuan tersebut, meskipun demikian tetap ada yang

berpendapat bahwa keadilan adalah tujuan yang paling penting. Misalnya, Bisman

Siregar (hakim) menyebutkan bahwa, “Bila untuk menegakkan keadilan saya

korbankan kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu. Hukum hanya

sarana, sedangkan tujuannya adalah keadilan. Mengapa tujuan dikorbankan untuk

sarana?”.187 Pernyataan ini menunjukkan bahwa keadilan menjadi tujuan hukum

yang penting untuk dicapai.

Mengingat bahwa keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang

paling banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum, maka

banyak teori mengenai keadilan yang muncul dari para filsuf atau para ahli

hukum. Terkait dengan sejarah perkembangannya, keadilan sudah muncul pada

abad 200 M. Ulpianus (200 M) yang kemudian diambil alih oleh Kitab Hukum

Justinianus menyebutkan bahwa, “Iustitia est constants et perpetua voluntas ius

187
Darji Darmodiharjo dan Sidartha, Op.Cit, h. 156.
142

suum cuiqu tribuendi,” yang artinya bahwa keadilan adalah kehendak yang ajeg

dan tetap memberikan masing-masing bagiannya. Aristoteles dalam bukunya yang

berjudul Nicomachean Ethics menyatakan bahwa keadilan adalah kebajikan yang

berkaitan dengan hubungan antar manusia. Menurut Aristoteles, adil mengandung

dua arti yakni, adil dapat berarti menurut hukum, dan apa yang sebanding, yakni

yang semestinya.188

Thomas Aquinas membedakan keadilan menjadi 2 (dua) kelompok,

yakni keadilan umum/justitia generalis (keadilan menurut kehendak undang-

undang yang harus dilaksanakan untuk kepentingan umum) dan keadilan khusus

(keadilan atas kesamaan atau proposionalitas). Friedman (1990) membedakan

keadilan menurut hukum dan keadilan menurut alam, serta keadilan abstrak

(kurang lebih sama pengertiannya dengan keadilan menurut hukum) dan

kepatutan (mengurangi dan menguji kekerasan dengan mempertimbangkan hal

yang sifatnya individual). Pakar-pakar hukum di Indonesia juga memberikan

pandangannya mengenai keadilan. Notohamidjojo (1973) membagi keadilan

menjadi 2 (dua) jenis yakni keadilan kreatif (memberikan kepada setiap orang

untuk bebas menciptakan sesuatu) dan keadilan protektif (memberikan

pengayoman kepada setiap orang, yakni perlindungan yang diperlukan dalam

masyarakat. Keadilan memang sulit untuk dirumuskan, meskipun demikian

pembahasan mengenai keadilan dapat dikatakan selalu muncul pada setiap aliran

filsafat hukum.189 Hal ini menunjukkan bahwa teori keadilan terus berkembang

188
Darji Darmodiharjo dan Sidartha, Loc.Cit.
189
Darji Darmodiharjo dan Sidartha, Op.Cit, h. 157-158.
143

dan memiliki kemungkinan persepsi yang berbeda-beda dari setiap filsuf atau

pakar hukum.

Perkembangan teori keadilan juga dapat dilihat dari aliran-aliran filsafat

yang ada. Para penganut hukum alam meyakini bahwa alam semesta diciptakan

dari prinsip keadilan. Terdapat stoisisme norma hukum alam primer yang bersifat

umum bahwa, “Berikanlah kepada setiap orang apa yang menjadi haknya”

(unicuiqui suum tribuere) dan “Jangan merugikan seseorang” (neminem laedere).

Cicero menyebutkan bahwa hukum dan keadilan tidak ditentukan dari pendapat

manusia, tetapi oleh alam.190

Aliran positivisme memandang bahwa keadilan memang merupakan

tujuan hukum, namun penganut aliran ini berpandangan bahwa relativitas dari

keadilan sering mengaburkan unsur kepastian hukum. Summun jus, summa

injuria; summa lex, summa crux (hukum yang keras akan dalam melukai, kecuali

keadilan dapat menolongnya”. Adagium atau ungkapan ini menunjukkan kurang

kepercayaannya kaum positivisme terhadap keadilan yang sebenarnya. 191 Kaum

positivisme lebih mementingkan kepastian hukum.

Selanjutnya, penganut utilitarianisme berpendapat bahwa tujuan hukum

adalah kemanfaatan bagi seluruh orang. Bagi kaum utilitarianisme, keadilan

diartikan lebih luas bahwa keadilan bukan untuk perorangan atau kadar

pendistribusian barang seperti pandangan Aristoteles. Penganut utilitarianisme

berpandangan bahwa satu-satunya ukuran untuk mengukur adil atau tidak adalah

seberapa besar dampaknya bagi kesejahteraan manusia (human welfare).

190
Darji Darmodiharjo dan Sidartha, Op.Cit, h. 158.
191
Darji Darmodiharjo dan Sidartha, Op.Cit, h. 159.
144

Kesejahteraan individual dapat dikorbankan untuk kemanfaatan yang lebih besar

bagi kelompok yang lebih besar (general welfare). Bermanfaat atau tidaknya

diukur menurut kacamata ekonomi.192

Penganut sociological Jurisprudence yakni Roscoe Pound menyatakan

bahwa keadilan dapat dilaksanakan dengan atau tanpa hukum. Dalam sejarah

hukum, tampak ada gerak diskresi yang luas dengan aturan-aturan tegas dan

terperinci. Dalam perkembangannya banyak muncul pandangan-pandangan

tentang keadilan, seperti John Rawls. Teori keadilan dari John Rawls ini menurut

Priyono dipandang sebagai teori keadilan yang paling komprehensif sampai saat

ini. dapat dikatakan bahwa teori keadilan dari John Rawls berangkat dari

pemikiran utilitarianisme dan pemikiran keadilan dari John Rawls banyak sekali

dipengaruhi oleh Jeremy Bentham, J.S Mill, dan Hume sebagai tokoh

utilitarianisme, namun John Rawls lebih sering dimasukkan dalam kelompok

penganut realisme hukum.193

Teori keadilan yang terkait dan akan digunakan sebagai dasar analisis

dalam disertasi ini adalah teori keadilan dari John Rawls, keadilan Pancasila, dan

teori keadilan restoratif (restorative justice) dari Howard Zehr dan Ali Gohar:

2.2.1.1 Teori Keadilan dari John Rawls

John Rawls adalah salah satu filsuf penting dengan karyanya dalam buku

berjudul “A Theory of Justice”, yang dalam bukunya juga memuat dasar-dasar

filsafat politik untuk mewujudkan keadilan sosial dalam negara. Dalam bukunya,

John Rawls menggagas teori keadilan yang disebut dengan keadilan sebagai

192
Darji Darmodiharjo dan Sidartha, Op.Cit, h. 160.
193
Darji Darmodiharjo dan Sidartha, Op.Cit, h. 161.
145

fairness. John Rawls memberikan prinsip-prinsip keadilan yang menurut penulis

dapat digunakan sebagai dasar analisis untuk mencapai keadilan sosial.

Teori John Rawls tentang keadilan awalnya beranjak dari pengakuan

keberadaan paham utilitarianisme yang berkembang dominan pada masa itu. John

Rawls menyatakan bahwa:

During much of modern moral philosophy the predominant systematic


theory has been some form of utilitarianism. One reason for this is that it
has been espoused by a long line of brilliant writers who have built up a
body of thought truly impressive in its scope and refinement. We sometimes
forget that the great utilitarians, Hume and Adam Smith, Bentham and Mill,
were social theorists and economists of the first rank; and the moral
doctrine they worked out was framed to meet the needs of their wider
interests and to fit into a comprehensive scheme. Those who criticized them
often did so on a much narrower front. They pointed out the obscurities of
the principle of utility and noted the apparent incongruities between many
of its implications and our moral sentiments.194

(Terjemahan bebas: dalam filsafat moral modern, sistem teori yang paling
dominan adalah utilitarianisme, karena didukung oleh penulis hebat yang
menciptakan bangunan pemikiran yang cukupan dan kecermelangan yang
sangat mengesankan. Hal ini terkadang menjadikan orang-orang melupakan
bahwa para tokoh utilitarianisme besar, seperti Hume, Adam Smith,
Bentham, dan Mill merupakan teoritisi sosial dan ahli ekonomi yang wahid,
dan doktrin moral yang mereka susun dikerangkai untuk pemenuhan
kebutuhan mereka yang lebih luas, serta dimasukkan ke dalam skema yang
komprehensif. Banyak kritikan sempit yang ditujukan pada utilitarianisme
yang menyebutkan kekacauan prinsip utilitas dan mengungkapkan
ketidaksesuaian antara berbagai implikasinya dengan setimen-sentimen
moral).195

John Rawls pada akhirnya merespon kritikan-kritikan sempit yang ditujukan pada

utilitarianisme lewat pengembangan teori keadilan yang beranjak dari konsep

kontrak sosial yang ada pada masa itu.

194
John Rawls I,Op.Cit, h. xvii.
195
John Rawls II, Op.Cit, h. v-vi.
146

Terkait latar belakang kemunculan pemikiran-pemikiran John Rawls

akan keadilan, John Rawls mengemukakan bahwa:

What I have attempted to do is to generalize and carry to a higher order of


abstraction the traditional theory of the social contract as represented by
Locke, Rousseau, and Kant, this theory seems to offer an alternative
systematic account of justice that is superior, or so I argue, to the dominant
utilitarianism of the tradition.”. My ambitions for the book will be
completely realized if it enables one to see more clearly the chief structural
features of the alternative conception of justice that is implicit in the
contract tradition and points the way to its further elaboration. Of the
traditional views, it is this conception, I believe, which best approximates
our considered judgments of justice and constitutes the most appropriate
moral basis for a democratic society.196

(Terjemahan bebas: John Rawls ingin menggeneralisasi dan


mengabstraksikan teori kontrak sosial dari Locke, Rousseau, dan Kant.
Teori ini juga memberikan penilaian sistematis yang lebih superior terhadap
utilitarianisme tradisi yang dominan. John Rawls melalui teori keadilannya
ingin membuat orang melihat lebih jelas gambaran struktural utama dari
konsep keadilan alternatif yang implisit dalam tradisi kontrak serta
menunjukkan elaborasi lebih lanjut. Konsep inilah yang menurut John
Rawls yang paling bisa memperkirakan keadilan dan membentuk landasan
moral bagi masyarakat demokratis).197

Mengenai gagasan teori keadilan yang dirumuskan oleh John Rawls, John

Rawls menyatakan bahwa:

My aim is to present a conception of justice which generalizes and carries


to a higher level of abstraction the familiar theory of the social contract as
found, say, in Locke, Rousseau, and Kant. Rather, the guiding idea is that
the principles of justice for the basic structure of society are the object of
the original agreement. They are the principles that free and rational
persons concerned to further their own interests would accept in an initial
position of equality as defining the fundamental terms of their association.
These principles are to regulate all further agreements; they specify the
kinds of social cooperation that can be entered into and the forms of
government that can be established. This way of regarding the principles of
justice I shall call justice as fairness.198

196
John Rawls I, Op.Cit, h. 10.
197
John Rawls II, Op.Cit, h. vi.
198
John Rawls I, Op.Cit, h. 10.
147

(Terjemahan bebas: Tujuan utama dalam gagasan teori keadilan menurut


John Rawls adalah menyajikan konsep keadilan yang menggeneralisasikan
dan mengangkat teori kontrak sosial dari Locke, Rousseau, dan Kant ke
tingkat abstraksi lebih tinggi. John Rawls berpandangan bahwa prinsip-
prinsip keadilan bagi struktur dasar masyarakat merupakan tujuan dari
kesepakatan. Prinsip ini akan mengatur semua persetujuan lebih lanjut,
menentukan kerja sama sosial yang dapat dimasuki dan bentuk pemerintah
yang dapat didirikan. Cara pandang prinsip ini disebut keadilan sebagai
fairness).199

Terkait dengan (2) bagian teori keadilan John Rawls menyatakan bahwa,

“The theory of justice may be divided into two main parts: (1) an interpretation of

the initial situation and a formulation of the various principles available for

choice there, and (2) an argument establishing which of these principles would in

fact be adopted”. 200 (Terjemahan bebas: teori keadilan dapat dibagi menjadi 2

(dua) bagian utama yakni 1) Penafsiran atas situasi awal dan perumusan berbagai

prinsip yang bisa dipilih, dan 2) Suatu argumentasi yang menyatakan prinsip

mana yang bisa digunakan).201

John Rawls juga menentukan subjek utama dari prinsip keadilan yang

diterapkan. John Rawls menyatakan bahwa, “We have seen that these principles

are to govern the assignment of rights and duties in these institutions and they are

to determine the appropriate distribution of the benefits and burdens of social

life”.202 (Terjemahan bebas: Subjek utama dari prinsip keadilan adalah struktur

dasar masyarakat, tatanan institusi-institusi sosial utama dalam satu skema kerja

sama. Prinsip-prinsip tersebut mengatur pemberian hak dan kewajiban dalam

199
John Rawls II, Op.Cit, h. 12-13.
200
John Rawls I, Op.Cit, h. 47.
201
John Rawls II, Op.Cit, h. 65.
202
John Rawls I, Loc.Cit.
148

institusi-institusi dan menentukan pembagian kenikmatan serta beban kehidupan

sosial).203

Sebagaimana yang telah disebutkan dalam kajian pustaka, dalam teorinya

John Rawls mengemukakan dua prinsip keadilan (two principles of justice) yakni:

The first statement of the two principles reads as follows.


First : each person is to have an equal right to the most extensive basic
liberty compatible with a similar liberty for other.
Second : social and economic inequalities are to be arranged so that they
are both (a) reasonably expected to be everyone’s advantage, and (b)
attached to positions and offices open to all.204

John Rawls telah mengemukakan dua prinsip keadilan. Prinsip pertama,

menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar

yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Prinsip kedua

menyatakan bahwa ketimpangan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa

sehingga (a) dapat diharapkan memberi keuntungan bagi semua orang, dan (b)

semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang.205

Terkait dengan dua prinsip keadilan (two principles of justice) John

Rawls memberikan uraian bahwa prinsip-prinsip ini terutama menerapkan struktur

dasar masyarakat. Mereka akan mengatur penerapan hak dan kewajiban dan

mengatur distribusi keuntungan sosial dan ekonomi. Mereka membagi antara

aspek-aspek sistem sosial yang mendefinisikan dan menjamin kebebasan

warganegara dan aspek-aspek yang menunjukkan dan mengukuhkan ketimpangan

sosial-ekonomi. Kebebasan dasar warga negara dalam hal ini adalah kebebasan

politik (hak untuk memilih dan dipilih menduduki jabatan publik), kebebasan

203
John Rawls II, Loc.Cit.
204
John Rawls I, Op.Cit, h. 60.
205
John Rawls II, Op.Cit, h. 72.
149

berbicara, dan berserikat, berkeyakinan, dan kebebasan berpikir; kebebasan

mempertahankan hak milik (personal), dan kebebasan dari penangkapan

sewenang-wenang sebagaimana konsep rule of law. John Rawls menegaskan

bahwa, “These liberties are to be equal by the first principle”. Kebebasan-

kebebasan ini oleh prinsip pertama harus disetarakan, karena warga negara yang

adil memiliki hak-hak dasar yang sama.206

Prinsip kedua dalam teori keadilan John Rawls menjelaskan bahwa, “In

the first approximation, to the distribution of income and wealth and to the design

of organizations that make use of differences in authority and responsibility”.

John Rawls juga menegaskan bahwa, “While the distribution of wealth and

income need not be equal, it must be to everyone’s advantage”. Prinsip kedua ini

berkaitan dengan distribusi pendapatan dan kekayaan, serta desain organisasi

dengan perbedaan otoritas dan tanggung jawab, atau rantai komando. Distribusi

kekayaan dan pendapatan tidak perlu sama, keuntungan bagi semua orang yang

akan diutamakan, dan pada saat yang sama, posisi-posisi otoritas dan jabatan

komando harus diakses oleh semua orang. Melalui posisi-posisi yang terbuka bagi

semua orang akan mengatur ketimpangan sosial ekonomi sedemikian rupa

sehingga semua orang dapat diuntungkan.207

John Rawls juga menjelaskan bahwa, “These principles are to be

arranged in a serial order with the first principle prior to the second”. Dua

prinsip keadilan ini ditata dalam urutan dengan prinsip pertama mendahului

prinsip kedua. Konsekuensi dari hal ini bahwa pemisahan dari lembaga-lembaga

206
John Rawls I, Op.Cit, h. 53, Lihat juga John Rawls II, Op.Cit, h. 73.
207
John Rawls I, Loc.Cit, lihat juga John Rawls II, Loc.Cit.
150

kebebasan setara yang diperlukan prinsip pertama tidak bisa

dijustifikasi/digantikan oleh prinsip keuntungan sosial dan ekonomi yang lebih

besar. Distribusi kekayaan dan pendapatan, serta hierakhi otoritas, harus sejalan

dengan kebebasan warga negara dan kesamaan atas kesempatan.208

Dua prinsip dalam teori keadilan John Rawls sebagaimana yang telah

dijelaskan penulis menunjukkan bahwa setiap orang memiliki hak yang sama atas

kebebasan yang paling luas dan untuk mencapai itu perlu dilakukan penyetaraan

untuk mencapai keadilan (prinsip pertama). Keadilan juga dapat dicapai dengan

mengutamakan pemberian keuntungan bagi semua orang dan membuka

kesempatan atau akses bagi semua orang untuk mendapatkan positions dan

offices. Hal inilah yang akan mengatur ketimpangan sosial ekonomi sedemikian

rupa sehingga semua orang dapat diuntungkan (prinsip kedua).

Teori keadilan dari John Rawls tepat dijadikan dasar analisis bahwa

semua orang memiliki hak yang sama dan situasi perbedaan (sosial ekonomi)

harus diatur sedemikian rupa sehingga menguntungkan semua orang, termasuk

golongan masyarakat yang lemah. Golongan masyarakat yang lemah ini posisinya

disetarakan dahulu untuk mendapatkan hak atas kebebasan yang sama dengan

golongan lainnya, selanjutnya diberikan akses atau kesempatan yang sama untuk

mendapatkan keadilan. Teori keadilan dari John Rawls berorientasi pada keadilan

sosial sehingga tepat untuk menjawab kebutuhan keadilan di Indonesia.

208
John Rawls II, Op.Cit, h. 73-74.
151

2.2.1.2 Keadilan Pancasila

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang RI No. 48 Tahun 2009 Tentang

Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa, “Kekuasaan Kehakiman adalah

kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara

Hukum Republik Indonesia”. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang RI No. 48 Tahun

2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa, “Peradilan negara

menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila”.

Terkait dengan keadilan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang RI No. 48 Tahun 2009

Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa, “Peradilan dilakukan "Demi

Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa", selain itu pada alinea keempat

pembukaan UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara Indonesia yang

berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada pada sila-sila Pancasila.

Berdasarkan uraian ini dapat diketahui bahwa keadilan yang sesuai

dengan rasa keadilan bangsa Indonesia adalah keadilan Pancasila yang mengacu

pada sila kedua dan sila ke lima Pancasila yakni Kemanusiaan yang adil dan

beradab dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kedua sila tersebut

juga terlefleksikan atau juga terkait dengan sila-sila lainnya sehingga menjadi

kesatuan yang utuh untuk dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Terkait dengan sila kedua dan sila ke lima Pancasila yakni Kemanusiaan

yang adil dan beradab dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan
152

sistem filsafat, keadilan Pancasila akan mencakup semua sila yang menunjukkan

keselarasan, kesatuan dan keseimbangan :

1) Keadilan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

2) Keadilan berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab.

3) Keadilan berdasarkan Persatuan Indonesia.

4) Keadilan berdasarkan pada kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan

5) Keadilan berdasarkan pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.209

Kelima sila ini saling terkait dalam mewujudkan keadilan.

Menurut Kaelan kedudukan Pancasila sebagai sebagai suatu sistem

filsafat berarti Pancasila yang terdiri dari 5 sila pada hakikatnya merupakan suatu

asas sendiri, fungsi sendiri-sendiri, namun secara keseluruhan merupakan

kesatuan yang sistematis. Susunan kesatuan sila-sila Pancasila itu bersifat organis,

bersifat hierarkhis dan berbentuk piramidal, serta rumusan hubungan kesatuan

sila-sila Pancasila yang saling mengisi dan saling mengkualifikasi. 210 Berdasarkan

hal ini dapat diketahui bahwa Pancasila merupakan sistem filsafat sehingga perlu

dikaji ke-5 sila tersebut sebagai satu kesatuan yang utuh.

Bahder Johan Nasution telah menyatakan bahwa konsep keadilan

menurut pandangan bangsa Indonesia adalah konsep keadilan menurut Pancasila

yang merupakan filsafat bangsa. 211 Konsep keadilan Indonesia adalah konsep

keadilan Pancasila, sehingga kajian secara idiologis berdasarkan Pancasila

209
Barda Nawawi Arief II.
210
Kaelan, 2004, Pendidikan Pancasila, Cetakan Kedelapan, Paradigma, Yogyakarta, h.
57-61.
211
Bahder Johan Nasution, Op.Cit, h. 109.
153

sangatlah tepat dilakukan untuk dapat mencapai rasa keadilan masyarakat atau

bangsa Indonesia.

2.2.1.3 Teori Keadilan Restoratif (Restorative Justice)

2.2.1.3.1 Pengertian Keadilan Restoratif (Restorative Justice)

Howard Zehr dalam bukunya yang berjudul The Little Book of

Restorative Justice telah memberikan definisi mengenai keadilan restoratif

(restorative justice). Howard Zehr menyatakan bahwa, “Restorative justice is a

process to involve, to the extent possible, those who have a stake in a specific

offense and to collectively identify and address harms, needs, and obligations, in

order to heal and put things as right as possible”.212

Pada buku selanjutnya yang ditulis bersama Ali Gohar, Howard Zehr

juga memberikan definisi yang sama mengenai keadilan restoratif (restorative

justice). Sebagaimana yang telah diuraikan pada landasan teoritis bahwa Howard

Zehr dan Ali Gohar dalam bukunya yang berjudul, The Little Book of Restorative

Justice telah memberikan definisi mengenai keadilan restoratif (restorative

justice). Menurut Howard Zehr dan Ali Gohar konsep restorative justice ini

melibatkan semua pihak yang berkepentingan (those who have a stake) untuk

mengidentifikasi kerugian, kebutuhan dan kewajiban, untuk memulihkan dan

mendapatkan hak-hak yang mungkin diperoleh.

Tony F. Marshall mengemukakan bahwa, “Restorative Justice is a

problem-solving approach to crime which involves the parties themselves, and the

212
Howard Zehr, Op.Cit, h. 37.
154

community generally, in an active relationship with statutory agencies”. 213

Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa Restorative Justice adalah sebuah

pendekatan pemecahan masalah. Tony F. Marshall juga mengemukakan bahwa,

“Restorative Justice is a process whereby parties with a stake in a specific offence

collectively resolve how to deal with the aftermath of the offence and its

implications for the future”. 214 (Terjemahan bebas: Restorative Justice adalah

proses dimana pihak-pihak yang berkepentingan, memecahkan bersama cara

mencapai kesepakatan pasca terjadinya suatu tindak pidana, termasuk implikasi di

kemudian hari).

Mengenai definisi dari keadilan restoratif (restorative justice) Yoachim

Agus Tridiatno mengemukakan bahwa, “Keadilan restoratif adalah bentuk

keadilan yang berpusat pada kebutuhan korban, pelaku kejahatan, dan

masyarakat”.215 Pandangan ini tentu berbeda dengan konsep pemidanaan retributif

dengan tujuan untuk pembalasan dan menekankan pada penghukuman berupa

pidana.

Yoachim Agus Tridiatno menyatakan bahwa keadilan restoratif

mementingkan pemulihan korban, pelaku kejahatan, dan masyarakat. 216 Keadilan

restoratif merupakan keadilan yang diberikan tidak hanya kepada korban tapi juga

kepada pelaku, dan masyarakat. Fokus keadilan restoratif ada pada pemulihan dan

pendamaian kembali korban, pelaku kejahatan, dan masyarakat. Tujuan tersebut

dapat dicapai dengan rekonsiliasi yang melibatkan semua pihak yaitu korban,
213
Tony F. Marshall, 1999, Restorative Justice: An Overview, Home Office, London, h.
5.
214
Ibid.
215
Yoachim Agus Tridiatno, Loc.Cit.
216
Yoachim Agus Tridiatno, Loc.Cit.
155

keluarga korban, masyarakat, dan pelaku kejahatan. Keadilan restoratif tidak

mementingkan hukuman yang harus dijalani pelaku kejahatan, namun yang

dipentingkan adalah kompensasi yang harus dibayar untuk memulihkan kerusakan

dan kerugian yang dialami korban dan masyarakat.217

Indonesia telah menerapkan diversi dalam peradilan anak sebagai bentuk

dari Restorative Justice. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun

2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga memberikan definisi terkait

Restorative Justice. Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa,

“Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan

melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait

untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan

pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan”.

2.2.1.3.2 Sejarah Perkembangan Keadilan Restoratif (Restorative Justice)

Terkait dengan asal mula istilah keadilan restoratif (restorative justice),

Yoachim Agus Tridiatno mengemukakan bahwa istilah keadilan restoratif telah

muncul dalam tulisan-tulisan Colson dan Van Ness (1990), Mackey (1981, 1992),

Van Ness dan Strong (1997), Wrights (1991), dan Zehr (1985, 1990), meskipun

demikian gerakan sosial yang kemudian diberikan nama keadilan restoratif sudah

muncul jauh sebelumnya. Misalnya pada tahun 1970-an di Kanada pertama kali

217
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 41.
156

diadakan Victim-Offender Reconciliation Program (VORP, Program Rekonsiliasi

Korban dan Pelaku).218

Munculnya keadilan restoratif didorong oleh perpaduan antara gerakan

sosial, praktik dan program, serta penelitian dan teori ilmiah sebagaimana yang

dikemukan oleh K. Daly dan R. Immaregon bahwa:

Victim-offender mediation, family group conferences, sentencing circles,


victim impact panels, and other processes that are now called restorative
evolved from different groups of people (often unknown to each other), who
were experimenting with alternative practices. What prompted this interest,
and how did it unfold? We review these streams of activism and thought:
social movements of the 1960s, particular practices and programs, and
academic research and theories”.219

Pandangan ini juga menguraikan beberapa bentuk dari keadilan restoratif seperti

victim-offender mediation, family group conferences, sentencing circles, victim

impact panels, dan lain sebagainya.

Sejarah perkembangan keadilan restoratif (restorative justice)

sebagaimana yang diuraikan oleh K. Daly dan R. Immaregon meliputi gerakan

sosial, praktik dan program, serta penelitian, dan teori ilmiah, yakni:

a) Social Movements (Gerakan Sosial)

Terkait dengan gerakan sosial K. Daly dan R. Immaregon menyatakan

bahwa:

... we view the civil rights and women’s movements of the 1960s as crucial
starting points. The U.S. civil rights movement was based, in part, on
critiques of racism in police practices, in courts, and in prisons. Racial
domination by whites was maintained, many claimed, by the
overcriminalization and imprisonment of African-Americans and other
racial ethnic minority groups. This analysis was central to decarceration

218
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 27-28.
219
Daly K. and R. Immarigeon, 1998, The past, present, and future of restorative
justice: some critical reflections, The Contemporary Justice Review 1 (1): 21-45.
157

actions, including prisoners’ rights and alternatives to confinement. In the


U.S., Native American challenges to white colonialism also contained a
critique of the prison system; indigenous challenges to incarceration
occurred in other nations, including Australia, Canada, New Zealand, and
South Africa.220

(Terjemahan bebas: Gerakan sosial atas hak sipil dan gerakan perempuan
pada tahun 1960an di Amerika Serikat adalah bibit-bibit munculnya
restorative justice. Gerakan atas hak sipil di Amerika Serikat memberi kritik
terhadap rasisme dalam praktik-praktik di kepolisian, penjara, dan
pengadilan. Dominasi ras kulit putih dipelihara dan dikembangkan melalui
kriminalisasi dan pemenjaraan golongan Afrika-Amerika dan kelompok
minoritas lainnya. Maka upaya-upaya pembebasan narapidana, termasuk
upaya mendapatkan hak-hak narapidana dan alternatif dari hukuman
pemenjaraan diupayakan. Kanada, Australia, Selandia Baru, dan Afrika
Selatan telah ada gerakan pembebasan penduduk aborigin dari penjajahan
kulit putih).221

K. Daly dan R. Immaregon juga menulis mengenai gerakan perempuan

yang gencar dilakukan pada masa itu, bahwa:

The women’s movement also figured prominently. During the 1970s,


campaigns around violence against women were a central element of
feminist organizing, and feminist groups were among the first to call
attention to the mistreatment of victims in the criminal justice process.
Feminist activists were also involved in prisoners’ rights campaigns. Social
movement activists thus identified overincarceration of offenders and an
underappreciation of victims' experiences. Although offenders and victims
are often viewed as protagonists in the justice system, they increasingly
came to see themselves as having common experiences of unfair and
unresponsive treatment.222

(Terjemahan bebas: Gerakan perempuan juga gencar dilakukan. Tahun


1970-an diadakan kampanye besar-besaran menolak kekerasan terhadap
perempuan dan gerakan melawan perlakuan secara keliru terhadap korban
dari proses peradilan. Aktivis feminis juga terlibat dalam kampanye
terhadap hak-hak narapidana. Para aktivis gerakan sosial mengidentifikasi
pemenjaraan yang semena-mena terhadap para pelanggar hukum dan sikap
tidak menghargai pengalaman-pengalaman korban. Meskipun para
pelanggar dan korban sering dipandang sebagai pemberontak dalam sistem

220
Ibid, h. 5.
221
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 28.
222
Daly K. and R. Immarigeon, Op.Cit, h. 5-6.
158

peradilan, mereka lama-kelamaan menyadari bahwa mereka mendapatkan


perlakuan tidak adil dan tidak pantas).223

b) Programs and Practices (Berbagai Praktik dan Program)

Terkait dengan berbagai praktik dan program K. Daly dan R. Immaregon

menyatakan bahwa:

Since the 1970s, many programs and practices have been implemented that
could now fall under the restorative justice rubric. Early efforts focused on
moderated meetings between victims and offenders, adapting or drawing
from traditional mediation models. Later, these meetings expanded to
include family members and friends of both parties, as well as professionals
and others with access to community resources. We describe the major
kinds of practices and political challenges that have given shape and
substance to restorative justice.224

Pandangan ini menjelaskan bahwa praktik dan program keadilan restoratif

(restorative justice) telah banyak diadakan sejak tahun 1970-an. Upaya-upaya

awal dipusatkan pada usaha menyelenggarakan pertemuan-pertemuan antara

korban dan pelaku yang mengadaptasi praktik-praktik tradisional. Pertemuan-

pertemuan ini kemudian diperluas dengan melibatkan anggota keluarga dan

kerabat dari dua pihak, serta melibatkan para profesional dan pihak-pihak yang

memiliki akses ke masyarakat. Praktik-praktik dan program tersebut kemudian

berkembang menjadi keadilan restoratif (restorative justice).225

K. Daly dan R. Immaregon menguraikan praktik-praktik dan program-

program yang kemudian berkembang menjadi keadilan restoratif (restorative

justice) yakni meliputi:

223
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 28-29.
224
Daly K. and R. Immarigeon, Op.Cit, h. 6.
225
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 29.
159

1. Prisoner Rights and Alternatives to Prisons (Perjuangan Atas Hak


Narapidana dan Alternatif Pemenjaraan)

Perjuangan atas hak narapidana dan alternatif pemenjaraan menjadi program

yang mencari alternatif lain dari pemenjaraan dan memperhatikan keberadaan

korban. Terkait hal ini K. Daly dan R. Immaregon menyatakan bahwa:

During the 1970s, some scholars and practitioners felt offenders were
victims of societal neglect, impoverished communities, and racial and
gender discrimination. Accordingly, advocates hoped to change prison
conditions, minimize the use of incarceration, and even abolish jails and
prisons. In this context, Fay Honey Knopp (1976) and others (Hull and
Knopp 1978) hoped to build “a caring community” that addressed victims
and victimizers. During the 1980s, as U.S. prison populations became
increasingly bloated, intermediate sanctions gained in popularity and use
(Morris and Tonry 1990; more recently, DiMascio 1997). Then and now,
neither victim-offender mediation nor restorative justice has featured in the
intermediate sanctions literature.226

(Terjemahan bebas: pada tahun 1970-an para pejuang hak narapidana dan
alternatif atas pemenjaraan merasakan bahwa para pelaku kejahatan atau
para pelanggar hukum adalah korban penolakan masyarakat, komunitas-
komunitas yang dimiskinkan, serta diskriminasi ras dan gender. Para aktivis
mengharapkan agar kondisi penjara diperbaiki, diupayakan alternatif
terhadap pemenjaraan, bahkan menghapuskan sama sekali penjara.
Diharapkan dapat dibangun sebuah komunitas yang lebih perduli pada
korban dan pihak-pihak yang menjadi korban sosial).227

2. Conflict Resolution (Resolusi Konflik)

Program dan praktik proses informal terkait penyelesaian konflik juga

mendorong lahirnya keadilan restoratif sebagaimana dinyatakan oleh K. Daly dan

R. Immaregon bahwa:

During the mid- and late 1970s, the development of community justice
boards and neighborhood justice centers reflected a desire for greater
“access to justice” characterized by more informal processes and greater
citizen participation. These methods of conflict resolution (referred also as

226
Daly K. and R. Immarigeon, Loc.Cit.
227
Yoachim Agus Tridiatno, Loc.Cit.
160

alternative dispute resolution) reflected a growing disillusionment with


adversarial fact-finding and adjudication according to legal principles.
Emphasis was given to negotiation, exchange between disputants, and a less
central role for legal professionals (see Pavlich 1996: 161, notes 4-6, for
references to developments in Britain, the U.S. and Canada during this
period).228

(Terjemahan bebas: sekitar pertengahan hingga akhir tahun 1970-an,


perkembangan organisasi keadilan masyarakat dan pusat-pusat keadilan
merefleksikan keinginan yang lebih besar pada akses ke arah keadilan yang
ditandai oleh proses-proses informal dan partisipasi warga masyarakat.
Metode resolusi konflik juga merefleksikan kekecewaan yang semakin
besar pada proses peradilan. Penekanan diberikan pada negosiasi,
pertukaran diantara para pihak yang berselisih, dan pengurangan peran para
profesional peradilan).229

3. Victim-Offender Reconciliation Programs/VORPs (Program Rekonsiliasi


Antara Korban dan Pelaku)

Dalam perkembangannya muncul adanya program rekonsiliasi antara

korban dan pelaku dalam penyelesaian konflik sebagaimana dikemukana oleh K.

Daly dan R. Immaregon:

VORPs, which were first introduced in Canada in 1974 and in the U.S. in
1977, were founded on Mennonite principles of exchange and dialogue.
They involved meetings between crime victims and offenders, usually after
sentencing, in the presence of a neutral third-party. VORPs focused
primarily on restoring “the right relationships” that should exist between
two parties (Zehr 1990). VORP proponents envisaged a close working
relationship with religious principles and institutions (Immarigeon 1984).230

(Terjemahan bebas: program rekonsiliasi antara korban dan pelaku yang


dilakukan pertama kali di Kanada pada tahun 1974 dan di Amerika Serikat
pada tahun 1977, diselenggarakan berdasarkan prinsip-prinsip pertukaran
dan dialog Mennonite. Program ini melibatkan pertemuan antara korban dan
pelaku kejahatan yang dihadiri pihak ketiga yang bersifat netral. Program
rekonsiliasi antara korban dan pelaku/Victim-Offender Reconciliation
Programs/VORPs pertama-tama memfokuskan pada memperbaiki relasi
yang baik yang seharusnya ada di antara pihak korban dan pelaku kejahatan.

228
Daly K. and R. Immarigeon, Op.Cit, h. 7.
229
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 30.
230
Daly K. and R. Immarigeon, Loc.Cit.
161

Pendukung VORP membayangkan suatu relasi kerja yang akrab dengan


prinsip-prinsip dan semangat keagamaan).231

4. Victim-Offender Mediation/VOMs (Mediasi Korban-Pelaku Kejahatan)

Mediasi menjadi pilihan dalam penyelesaian konflik dalam praktiknya

sebagaimana dikemukakan oleh K. Daly dan R. Immaregon bahwa:

During the last part of the 1970s, victims (and their advocates) increasingly
preferred the term mediation rather than reconciliation in developing
programs for victim-offender meetings. The program model for VOMs was
similar to that for VORPs, although other people affected by an offense
could be brought to meetings, particularly when more serious crimes were
being addressed. VOMs were introduced to England, Scandinavia, and
Western European countries in the late 1970s and 1980s, primarily in the
handling of youth justice cases.232

(Terjemahan bebas: pada akhir tahun 1970-an, pertemuan-pertemuan antara


korban dan pelaku kejahatan lebih memilih model mediasi antara korban
dan pelaku kejahatan (VOM) dibandingkan penggunaan rekonsiliasi
(VORP). Model VOM ini, lebih banyak orang dapat dilibatkan, terlebih jika
menyangkut kejahatan yang lebih serius. Model ini diperkenalkan di
Inggris, Skandinavia, dan negara-negara Eropa Barat).233

5. Victim Advocacy (Pembelaan Korban)

Korban mulai mendapat perhatian pada berbagai program dan praktik

seperti yang dinyatakan oleh K. Daly dan R. Immaregon bahwa:

Conservative and progressive voices alike share the view that crime victims
have insufficient voice in the criminal process. In the 1970s and 1980s,
feminist activists and socio-legal scholars focused attention on making the
police and courts more accountable to women and children who had been
sexually or physically abused. “Victim’s rights” groups focused efforts on
restitution for crime, on victims having a formal voice in the court process,
and on community safety. In 1982, the Reagan administration issued a task
force report on crime victims that stimulated the growth of victim’s rights
groups. Alliances between victim advocacy groups and criminal justice

231
Yoachim Agus Tridiatno, Loc.Cit.
232
Daly K. and R. Immarigeon, Loc.Cit.
233
Yoachim Agus Tridiatno, Loc.Cit.
162

reform groups began to grow in the 1990s, as members recognized some


common interests. The U.S. Office for Victims of Crime has since shown
keen interest in victim-offender mediation; a chapter on restorative justice
is to be included in a forthcoming revision of the 1982 task force report on
crime victims.234

(Terjemahan bebas: pembelaan korban banyak dilakukan pada tahun 1970-


an dan tahun 1980-an, karena diketahui bahwa korban kejahatan tidak
memiliki suara dalam proses peradilan. Aktivis perempuan dan ahli hukum
mendorong agar polisi dan pengadilan lebih memperhatikan perempuan dan
anak-anak yang mengalami kekerasan seksual dan fisik. Kelompok-
kelompok pembela hak korban juga mengupayakan ganti rugi bagi korban,
serta pembelaan dalam proses peradilan. Pemerintah Reagan pada tahun
1982 mengeluarkan laporan tentang data korban kejahatan yang merangsang
munculnya kelompok-kelompok pembela hak-hak korban. Kantor urusan
kejahatan di Amerika Serikat kemudian juga menunjukkan perhatian besar
pada program VOM ini).235

6. Family Group Conferences/FGCs (Konferensi Antar Kelompok


Keluarga)

Resolusi konflik pada perkembangannya juga dapat melibatkan banyak

pihak sebagaimana ditawarkan dalam program Family Group Conferences/FGCs.

Terkait hal ini K. Daly dan R. Immaregon menyatakan bahwa:

FGCs were first introduced into Australia in 1991 as part of police


operations in one jurisdiction (the “Wagga” model of diversionary
conferences in New South Wales). Police-run conferences were also
established in the Australian Capital Territory, and on a trial basis in other
states and the Northern Territory. Conferencing was established
legislatively in the handling of juvenile cases in South Australia and
Western Australia in 1993-94, where non-police professionals convene and
run conferences. Legislation has recently passed in New South Wales and
Queensland to employ conferencing in juvenile cases; and it is being used in
schools in Queensland. The conferencing model has been introduced in
other countries, including Canada, the U.S., and England (Hudson et al.
1996).236

234
Daly K. and R. Immarigeon, Op.Cit, h. 8.
235
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 30-31.
236
Daly K. and R. Immarigeon, Loc.Cit.
163

(Terjemahan bebas: Family Group Conferences/FGCs (Konferensi Antar


Kelompok Keluarga pertama kali dikenalkan di Australia pada tahun 1991.
Program ini berbeda dengan VORP atau VOM karena melibatkan lebih
banyak orang terutama bagi keluarga pelaku kejahatan. Program ini
merupakan bagian dari operasi kepolisian berdasarkan salah satu yurisdiksi.
Pertemuan model ini terlebih digunakan untuk penanganan kasus yang
melibatkan anak. Tahun 1993-1994 di Australia konferensi semacam ini
juga diselenggarakan oleh profesional yang bukan seorang polisi. Di New
South Wales dan Queensland konferensi semacam ini diselenggarakan
untuk menangani kasus kejahatan yang melibatkan anak-anak, juga di
sekolah. Model ini juga diterapkan di Amerika dan Kanada).237

7. Sentencing Circles (Lingkaran Peradilan)

Program resolusi konflik juga berkembang dengan munculnya

Sentencing Circles yang bertujuan sebagai pemulihan sebagaimana dinyatakan

oleh K. Daly dan R. Immaregon bahwa:

Sentencing circles emerged in Canada during the 1980s as part of First


Nation groups’ ways of responding to offenders. Ross (1992) observes that
the objectives are conflict resolution, restoration of order and harmony, and
offender, victim, and community healing. Sentencing circles are a consensus
process (Stuart 1997), which involves “a broad holistic framework [that
includes] crime victims and their families, an offender’s family members
and kin, and community residents in the response to the behavior and the
formulation of a sanction which will address the needs of all parties”
(Griffiths 1996: 201).11 Sentencing circles are now being tried by non-
Aboriginal groups in Canada and the U.S., including African-Americans in
Minnesota.238

(terjemahan bebas: Sentencing Circles (Lingkaran Peradilan) diterapkan di


Kanada pada tahun 1980-an. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk resolusi
konflik, pemulihan harmoni, dan penyembuhan bagi korban-pelaku-
masyarakat. Program ini merupakan sebuah proses untuk membuat
persetujuan antara korban dan keluarganya, pelaku kejahatan dan
keluarganya, serta masyarakat untuk menanggapi kejahatan yang telah
dilakukan pelaku dan untuk menetapkan sanksi bagi pelaku, sehingga dapat
memuaskan semua pihak. Model ini juga diterapkan kelompok-kelompok

237
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 31.
238
Daly K. and R. Immarigeon, Op.Cit, h. 10.
164

non aborigin di Kanada dan Amerika termasuk keturunan Amerika-Afrika


di Minnesota.239

8. Other Practices (Praktik-Praktik Lainnya)

Berbagai praktik lainnya juga terjadi yang mendorong muncul dan

berkembangnya keadilan restoratif sebagaimana dikemukakan oleh K. Daly dan

R. Immaregon bahwa:

Other practices emerging in the 1980s and 1990s fall under the restorative
justice umbrella. In Vermont, Reparation Boards are composed of
community members who fashion penalties for juvenile offenders; the
penalties are typically community service and occasionally victim-offender
mediation. Victims are not normally present at these meetings. Another
practice is victim impact panels, originally established by Mothers Against
Drunk Driving. These panels allow victims and their families to express
their feelings about the consequences of drunk driving to those offenders
who have been court-ordered to attend. Unlike many restorative justice
practices, victim impact panels are not voluntary. These panels may bring
an important element of victim-offender contact into the process, one that is
missing in traditional proceedings. Some argue, however, for the
importance of distinguishing between a victim’s rights to services and a
victim’s procedural rights in the criminal process. Whereas the former
should be provided, the latter may be inappropriate (Ashworth 1994: 34-
37).240

(Terjemahan bebas: praktik-praktik lain bermunculan pada tahun 1980-an


dan 1990-an yang dapat dimasukkan sebagai praktik keadilan restoratif
(restorative justice). Di Vermont, misalnya dibentuk Dewan Reparasi yang
terdiri dari anggota komunitas untuk menangani pelaku kejahatan anak-
anak. Hukuman bagi pelaku yang masih anak-anak biasanya berupa kerja
bakti dan kadang-kadang mediasi antara korban dan pelaku (VOM). Model
lainnya adalah pertemuan panel yang memberi kesempatan korban dan
keluarganya untuk mengungkapkan perasaan mereka dihadapan pelaku).241

239
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 31-32.
240
Daly K. and R. Immarigeon, Loc.Cit.
241
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 32.
165

c) Academic Research and Theories (Penelitian dan Teori-Teori Ilmiah)

Tidak hanya dalam praktik, berbagai penelitian dan teori-teori ilmiah

juga mendorong adanya keadilan restoratif. K. Daly dan R. Immaregon

menyatakan bahwa:

Paralleling social movement activism and the emergence of alternatives to


traditional justice system practices was academic research and theories.
Some commentators suggest that the practice of restorative justice came
first, born of the exigencies of needing to do justice differently, and that the
theory came later (Marshall 1996). In fact there was a good deal of
theoretical work undertaken by socio-legal and critical legal scholars in the
1970s and 1980s; this fell under the rubric of informal justice.242

Berdasarkan pandangan ini dapat diketahui bahwa terdapat pandangan bahwa

praktik keadilan restoratif muncul lebih dulu, lahir dari kebutuhan yang urgent

untuk melakukan justice differently, dan teori tersebut kemudian muncul. Ada

banyak karya teoretis yang dilakukan oleh para socio-legal dan sarjana hukum

pada tahun 1970an dan 1980an. Hal ini berkaitan dengan keadilan informal.

Terdapat beberapa penelitian-penelitian dan teori-teori ilmiah yang

penting dalam sejarah perkembangan keadilan restoratif (restorative justice)

sebagaimana yang telah diuraikan oleh Daly K. and R. Immarigeon yang terkait

dengan Informal Justice, Abolitionism, Reintegrative Shaming, Psychological

Theories, Feminist Theories of Justice, Peacemaking Criminology, Philosophical

Theories, dan Religious and Spiritual Theories:

242
Daly K. and R. Immarigeon, Op.Cit, h. 11.
166

1. Informal Justice

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Informal Justice mulai diminati

oleh masyarakat sebagaimana dinyatakan oleh Daly K. and R. Immarigeon

bahwa:

Socio-legal scholars (e.g., Abel 1982 and contributors; Harrington 1985;


Henry 1983; Matthews 1988) have conducted empirical research on
informal and formal justice in Western industrialized societies and in tribal,
agriculturalbased societies. Matthews (1988: 1) notes that “less than a
decade after the emergence of the first wave of optimism it was
overshadowed by an equally forceful wave of pessimism.” There appears to
be renewed interest in informal and community justice as critical legal and
socio-legal scholars acknowledge the tensions between the transformative
potential of legal pluralism and the impossible “goal of attaining justice
through law” (Lacey 1996: 135). Works by Merry and Milner (1993),
Pavlich (1996), and the contributors to the special issue of Social and Legal
Studies (Santos 1992) are indicative of this trend.243

Berdasarkan padangan ini dapat diketahui bahwa para ahli sosiologi hukum telah

melakukan penelitian empiris tentang keadilan informal dan formal dalam

masyarakat industri Barat dan masyarakat suku, pertanian. Tampaknya ada minat

baru terhadap keadilan informal dan community justice as critical legal serta para

ahli sosiologi mengakui ketegangan antara potensi transformatif pluralisme

hukum dan ketidakmungkinan "goal of attaining justice through law”.

2. Abolitionism

Daly K. and R. Immarigeon juga menguraikan tentang keinginan

pengahapusan pemenjaraan pada masa itu:

During the 1970s and 1980s criminologists in Norway, The Netherlands,


and elsewhere (e.g., Mathieson 1974; Bianchi and Van Swaaningen 1986)
called for the abolition of prisons. Their work dovetailed with the
alternatives to prison and decarceration activities during this time period.
Few people today would argue for a complete ban on prisons, although

243
Daly K. and R. Immarigeon, Loc.Cit.
167

many take a strong stance of a minimal use of prisons (Carlen 1990; de


Haan 1990). Some restorative justice initiatives, e.g., diversion from court
and pre-sentencing conferences, can be used as alternatives to
confinement.244

Pandangan ini menguraikan bahwa pada tahun 1970-an dan 1980-an para

kriminolog di Norwegia, Belanda dan di tempat lainnya

mengusulkan/menyerukan penghapusan penjara. Saat itu mereka berusaha

mencari alternatif terhadap hukuman penjara dan pengurungan/penahanan selama

periode ini. Hanya sedikit orang yang memperdebatkan atau menolak larangan

penjara secara menyeluruh, walaupun banyak yang mengambil sikap

tegas/berpendirian kuat tentang sedikit mungkin penggunaan penjara. Beberapa

prakarsa atau inisiatif keadilan restoratif yaitu pengalihan dari pengadilan dan

sidang-sidang pengadilan dan mengusulkan diterapkannya alternatif atas hukuman

penjara.

3. Reintegrative Shaming

Daly K. and R. Immarigeon menguraikan pandangan dari John

Braithwaite terkait reintegrative shaming to argue yang menyatakan bahwa:

John Braithwaite (1989) introduced the term reintegrative shaming to argue


for an integrative rather than stigmatizing response to crime. His analysis
focused on the positive benefits of informal methods of social control (e.g.,
social disapproval that inculcates feelings of shame) in regulating social
order. Braithwaite’s ideas were put into practice as “the theory” behind the
model of conferencing in Wagga Wagga, New South Wales (Australia). In
the Antipodes, it was only in Wagga (and a handful of other police
departments), and now in the Australian Capital Territory, that shame has
featured as an element in the FGC. It has not been part of FGCs in New
Zealand, nor in the Australian states of South Australia, Western Australia,
and Victoria. To date, it has primarily been the Wagga model that has been
exported to the U.S. and England. In the Antipodes, there is considerable

244
Daly K. and R. Immarigeon, Op.Cit, h. 12.
168

debate over whether “shame” should be made a central feature of the


conferencing process, especially in cases involving Aboriginal offenders
(Blagg 1997).245

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa John Braithwaite (1989)

memperkenalkan ide tentang rasa malu yang memadukan. John Braithwaite

mengusulkan agar kejahatan ditanggapi secara menyeluruh bukan dengan

memberikan stigma. John Braithwaite menyatakan bahwa kontrol sosial

mendatangkan rasa malu dapat memberikan akibat positif bagi pelaku kejahatan.

Ide John Braithwaite ini dijadikan sebagai landasan teori bagi praktik konferensi

korban dan pelaku (VORP, VOM, FGC) di Wagga, Australia. 246 Di Antipodes,

hanya di Wagga (dan beberapa departemen kepolisian lainnya), dan sekarang di

Australian Capital Territory, rasa malu itu telah ditampilkan sebagai elemen

dalam FGC. Ini bukan bagian dari FGCs di Selandia Baru, atau di negara-negara

Australia di Australia Selatan, Australia Barat, dan Victoria. Sampai saat ini,

model Wagga terutama telah diekspor ke AS dan Inggris. Di Antipodes, ada

banyak perdebatan mengenai apakah "rasa malu" harus dijadikan ciri utama

proses konferensi, terutama dalam kasus yang melibatkan aboriginal offenders.

4. Psychological Theories

Terkait dengan Psychological Theories Daly K. and R. Immarigeon

menyatakan bahwa:

In further refinements of the Wagga model and applications of shaming


theory, some advocates have added affect and script theories to describe the
microdynamics and sequences of experienced emotions (Moore 1993).

245
Daly K. and R. Immarigeon, Loc.Cit.
246
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 33.
169

Attention has also been given to disputants’ senses of procedural vgjustice


in the legal process (Tyler 1990).247

Pandangan ini menjelaskan bahwa sebagai perbaikan atau penyempurnaan atas

model Wagga dan penerapan rasa malu, para ahli psikologi menambahkan aspek-

aspek microdynamics dan akibat emosi yang dialami. Perhatian dan kritik juga

telah diberikan pada keadilan prosedural dalam proses peradilan.

5. Feminist Theories of Justice

Kaum feminist juga berperan dalam muncul dan berkembangnya keadilan

restoratif sebagaimana dinyatakan oleh Daly K. and R. Immarigeon bahwa:

Substantial body of feminist work has emerged in moral theories, building


in part from Carol Gilligan’s (1982) construct of “care” and “justice” in
moral reasoning and decision-making. In criminology, some have found the
“ethic of care” useful (e.g., Harris 1987; Heidensohn 1986) whereas others
are more skeptical (Daly 1989). An ethic of care approach is being applied
to family group conferencing of domestic violence cases in Canada (Pennell
and Burford 1994).248

Pandangan ini menunjukkan munculnya teori-teori keadilan dari para feminist.

Sebagian besar karya feminis muncul dalam teori moral. Misalnya konstruksi

“care” and “justice” dari Carol Gilligan’s (1982) dalam penalaran moral dan

pengambilan keputusan. Dalam kriminologi, beberapa telah menemukan “ethic of

care” useful (e.g., Harris 1987; Heidensohn 1986) whereas others are more

skeptical (Daly 1989). Teori etika kepedulian (ethic of care) diterapkan pada

konferensi antar kelompok keluarga (family group conferencing) tentang kasus

kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence cases) di Kanada.

247
Daly K. and R. Immarigeon, Op.Cit, h. 13.
248
Daly K. and R. Immarigeon, Loc.Cit.
170

6. Peacemaking Criminology

Kriminologi juga menjadi kajian yang berkaitan dengan keadilan

restoratif. Daly K. and R. Immarigeon menyatakan bahwa:

The criminology of peacemaking, according to Pepinsky and Quinney


(1991: ix), is “a criminology that seeks to alleviate suffering and thereby
reduce crime.” Peacemaking criminology draws on different traditions,
including spiritualism and feminism. For peacemaking criminologists, crime
and criminal justice are violence. “Crime is suffering,” Quinney notes.
“The ending of both suffering and crime, which is the establishing of justice,
can only come out of peace, peace that is spiritually grounded in our very
being" (Quinney 1991: 11).249

Pandangan ini menunjukkan bahwa terdapat teori lainnya yakni Kriminologi

Perdamaian (The criminology of peacemaking) yakni kriminologi yang berusaha

mengangkat penderitaan dan menghapuskan kejahatan. Menurut teori ini,

kejahatan adalah penderitaan. Penderitaan dan kejahatan akan berakhir jika terjadi

keadilan. Itu semua hanya dapat terjadi bila ada perdamaian yang secara spiritual

berlandaskan pada keberadaan kita manusia.250

7. Philosophical Theories

Tokoh-tokoh filosofis juga memberikan kajian atau pemikirannya

terhadap pembatasan penggunaan sanksi pidana dan retribusi sebagaimana

dinyatakan oleh Daly K. and R. Immarigeon bahwa:

Philosophical arguments for alternatives to traditional justice system


responses have been made by Braithwaite and Pettit (1990), Cragg (1992),
and Fatic (1995). In different ways these authors call for restricting the use
of penal sanctions and for non-retributivist modes of response. Retributivist
oriented (or desert-based) philosophers and legal theorists have been
critical of Braithwaite and Pettit’s (1990) republican theory of criminal

249
Daly K. and R. Immarigeon, Loc.Cit.
250
Yoachim Agus Tridiatno, Loc.Cit.
171

justice (see exchanges, discussed below, between Ashworth and von Hirsch,
and Pettit and Braithwaite).251

Pandangan ini menunjukkan adanya pandangan-pandangan filosofis yang

mengkritisi atau memberikan respon terhadap sistem peradilan tradisional yang

disampaikan oleh banyak ahli misalnya Braithwaite and Pettit (1990), Cragg

(1992), and Fatic (1995). Melalui cara yang berbeda mereka mengusulkan untuk

membatasi penggunaan sanksi pidana dan retribusi.

8. Religious and Spiritual Theories

Teori keagamaan dan spiritualitas juga berkaitan dengan keadilan

restoratif sebagaimana dinyatakan oleh Daly K. and R. Immarigeon bahwa:

Although restorative justice requires managerial, mediating, and


organizational skills, its practices have also been animated -- in Canada
and the U.S. at least -- by religious and spiritual theories. The first VORPs
came from Mennonite traditions; and Aboriginal, First Nation, and Native
American peacemaking processes merge spiritual and cultural elements. In
addition to Mackey, Van Ness and Strong, and Zehr, other religion-based
writers (primarily Christian) include Boers (1992), Burnside and Baker
(1994), and Consedine (1995).252

Pandangan ini menjelaskan bahwa meskipun keadilan restoratif memerlukan

keterampilan manajerial, mediasi, dan keahlian organisasi, dalam praktik keadilan

restoratif juga melibatkan teori keagamaan dan spiritualitas (di Kanada dan A.S).

VORP pertama berasal dari tradisi Mennonite; dan proses pembuatan perdamaian

Aborigin, Bangsa Pertama, dan Penduduk Asli Amerika menggabungkan unsur

spiritual dan budaya.

251
Daly K. and R. Immarigeon, Op.Cit, h. 13-14.
252
Daly K. and R. Immarigeon, Op.Cit, h. 14.
172

2.2.1.3.3 Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Restoratif (Restorative Justice)

Yoachim Agus Tridiatno menguraikan mengenai prinsip-prinsip dasar

Keadilan Restoratif (Restorative Justice):253

1) Keadilan Restoratif (Restorative Justice) mengutamakan pemulihan


atau restorasi bagi semua pihak yang terkena dampak dari tindak
kejahatan, yaitu korban, pelaku, dan masyarakat.

Keadilan Restoratif (Restorative Justice) mengutamakan pemulihan

atau restorasi bagi semua pihak yang terkena dampak dari tindak kejahatan,

yaitu korban, pelaku, dan masyarakat. Terjadinya kejahatan mengakibatkan

rusaknya kondisi pelaku, korban, dan masyarakat. Keadilan restoratif

bercita-cita ingin memulihkan ketiga pihak tersebut. Korban dipulihkan dari

luka-luka fisik, luka batin, dan semua kerugian lainnya. Pelaku kejahatan

dipulihkan kehormatan dan martabatnya sebagai pribadi manusia. Tatanan

hidup bersama juga ingin dipulihkan. Disinilah, keadilan restoratif tidak

memusatkan diri pada menghukum pelaku kejahatan, tetapi memulihkan

semua pihak yang dirugikan oleh karena tindak kejahatan.

2) Keadilan restoratif fokus pada kebutuhan tiga pihak yaitu korban,


pelaku kejahatan, dan masyarakat yang tidak dipenuhi oleh proses
peradilan.

Terkait dengan cita-cita pemulihan (restorasi), keadilan restoratif

fokus pada kebutuhan tiga pihak yaitu korban, pelaku kejahatan, dan

masyarakat yang tidak dipenuhi oleh proses peradilan. Korban tindak pidana

seringkali diabaikan dalam proses peradilan karena tindak kejahatan

dimengerti sebagai tindakan yang melawan atau merugikan negara. Peranan

253
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 34.
173

korban dalam hal ini diambil alih oleh negara. Negaralah yang mempunyai

tanggungjawab menghukum pelaku kejahatan, sementara korban tindak

pidana tidak mendapatkan apa-apa. Hukuman yang diberikan pada pelaku

tindak kejahatan sama sekali tidak bersangkut paut dengan penderitaan

korban. Kebutuhan korban diabaikan, oleh sebab itu keadilan restoratif akan

fokus pada kebutuhan korban.

Paling tidak ada 4 (empat) kebutuhan korban yang harus dipenuhi

yaitu:

a) Informasi tentang mengapa tindak pidana dikenakan pada dirinya.

b) Korban membutuhkan kesempatan untuk menceritakan pengalamannya

tentang penderitaan oleh karena kejahatan. Korban memiliki kebutuhan

untuk didengarkan untuk penyembuhan luka batin atau troma.

c) Pemberdayaan dan dukungan. Daya atau kekuatan itu akan pulih jika

korban dilibatkan dalam proses perundingan.

d) Ganti rugi (restitusi). Akan lebih sempurna jika dalam pemberian ganti

rugi pelaku kejahatan juga menyampaikan perminaan maaf dan

penyesalan serta pegakuan apa yang telah dilakukannya.

Pelaku kejahatan membutuhkan kesempatan untuk

mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ia butuh untuk mengakui

kejahatannya dan segala dampak dari kejahatannya itu. Berdasarkan

pengakuan tersebut, kemudian disepakati kompensasi dan ganti rugi yang

harus ditanggung oleh pelaku kejahatan.


174

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa masyarakat

juga menjadi korban akibat terjadinya kejahatan oleh sebab itu maka

masyarakat juga memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi. Tatanan hidup

bersama dan tertib hukum rusak karena tindak kejahatan dan pelanggaran

hukum, oleh sebab itu masyarakat harus memperkokoh diri, misalnya

mencari kebenaran atas tindak kekerasan yang terjadi dan tidak menambah

rumor atau isu-isu yang tidak benar. Pemimpin masyarakat harus berinisiatif

membentuk forum-forum komunikasi bersama. Masyarakat harus

menciptakan kondisi yang dapat membantu pemulihan korban dan pelaku

kejahatan.

3) Keadilan restoratif memperhatikan kewajiban dan tanggungjawab

yang muncul oleh karena kejahatan.

Pelaku kejahatan wajib memulihkan kerusakan yang diderita

korban dan masyarakat. Kewajiban terhadap korban dilakukan dengan

mengakui bahwa ia (pelaku kejahatan) bersalah. Pengakuan ini penting,

karena merupakan bukti pengakuan atas penderitaan yang dialami korban.

Korban membutuhkan didengarkan diakui penderitaannya. Pengakuan dan

permohonan maaf tersebut merupakan proses yang penting di dalam

penyembuhan luka-luka batin dan penderitaan mental korban. Pelaku

kejahatan juga memiliki kewajiban untuk memulihkan penderitaan fisik dan

material melalui kompensasi untuk membayar biaya penyembuhan luka-

luka fisik dan mengganti kehilangan materi korban.


175

Pelaku kejahatan juga harus mengungkapkan pengakuan dan

permintaan maafnya kepada masyarakat atau orang yang dipercaya untuk

mewakilinya. Pelaku kejahatan juga harus memberikan kompensasi untuk

memperbaiki kerusakan yang terjadi di dalam masyarakat yang diakibatkan

oleh karena kejahatan yang telah dilakukannya. Kewajiban korban dan

masyarakat untuk menerima pengakuan dari pelaku kejahatan dan

memaafkan pelaku kejahatan, dengan demikian terjadilah rekonsiliasi dan

perdamaian kembali.

2.2.1.3.4 Teori Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dari Howard Zehr


dan Ali Gohar

Sebagaimana yang telah diuraikan, Howard Zehr adalah orang pertama

mengarahkan victim offender conferencing program di Amerika Serikat dan

merupakan salah satu pengembang konsep restorative justice. Dr. Zehr juga

menjadi orang yang penting dalam pengembangan restorative justice.254

Teori keadilan restorative dari Howard Zehr dan Ali Gohar ini muncul

menyikapi adanya problem sosial dan isu-isu penegakan hukum yang tidak

mampu memberikan keadilan bagi semua pihak (korban, pelaku, dan masyarakat).

254
Howard Zehr dalam bukunya yang berjudul Changing Lenses: A New Focus for
Crime and Justice is considered a classic in the field. Publikasi lainnya termasuk melakukan
Reflections of Men and Women Serving Life Sentences, Transcending: Reflections of Crime
Victims and The Little Book of Restorative Justice. Forthcoming in fall, 2003, is The Little Book of
Family Group Conferences, New Zealand Style (with AllanMacRae). Dr. Zehr menjadi Co-
Director of the graduate Conflict Transformation Program at Eastern Mennonite University. Ia
juga mengajar dan praktek di bidang restorative justice. Mengingat bahwa, Howard Zehr adalah
orang yang pertama mengarahkan victim offender conferencing program di Amerika Serikat dan
merupakan salah satu pengembang konsep restorative justice, ia juga dikenal sebagai “visionary
and architeck of the restorative justice movement”. Dr. Zehr juga menjadi orang yang penting
dalam pengembangan restorative justice, karena ia menjadi Co-Director of the graduate Conflict
Transformation Program at Eastern Mennonite University, mengajar dan praktek di bidang
restorative justice. Lihat, Howard Zehr and Ali Gohar, Op.Cit, h. 90.
176

Penegak hukum juga merasakan bahwa proses penegakan hukum pada saat itu

hanyalah memperdalam luka sosial dan konflik daripada memberikan

penyembuhan atau kedamaian. Keadilan restoratif inilah yang menjawab

kebutuhan hukum saat itu dan dianggap sebagai sebuah harapan di masa depan.255

Hal inilah yang memicu kemunculan keadilah restoratif dan berkembang hingga

saat ini di berbagai negara.

Konsep keadilan restoratif menurut Howard Zehr dan Ali Gohar dalam

bukunya yang berjudul, The Little Book of Restorative Justice: “Restorative

justice is a process to involve, to the extent possible, those who have a stake in a

specific offense to collectively identify and address harms, needs and obligations

in order to heal and put things as right as possible”. 256 Hal ini menunjukkan

bahwa konsep restorative justice ini melibatkan semua pihak yang berkepentingan

(those who have a stake) untuk mengidentifikasi kerugian, kebutuhan dan

kewajiban, untuk memulihkan dan mendapatkan hak-hak yang mungkin

diperoleh.

Terkait dengan prinsip-prinsip dasar dalam keadilan restoratif

(restorative justice), Howard Zehr menegaskan dalam sembilan bukan atau

dengan istilah “restorative justice is not ...”:

1) Restorative justice is not primarily about forgiveness or reconciliation

Howard Zehr menegaskan bahwa keadilan restoratif bukanlah berarti

hanya tentang memaafkan dan rekonsiliasi sebagai hal yang utama. Howard Zehr

menyatakan bahwa:

255
Howard Zehr and Ali Gohar, Op.Cit, h. 2.
256
Howard Zehr and Ali Gohar, Op.Cit, h. 40.
177

Some victims and victim advocates react negatively to restorative justice


because they imagine that the goal of such programs is to encourage, or
even to coerce, them to forgive or reconcile with offenders. As we shall see,
forgiveness or reconciliation is not a primary principle or focus of
restorative justice. It is true that restorative justice does provide a context
where either or both might happen. Indeed, some degree of forgiveness or
even reconciliation does occur much more frequently than in the
adversarial setting of the criminal justice system. However, this is a choice
that is entirely up to the participants. There should be no pressure to choose
to forgive or to seek reconciliation.257
(Terjemahan bebas: keadilan restoratif bukanlah pertama-tama berarti
memaafkan dan rekonsiliasi. Banyak pihak, termasuk korban dan para
pembela korban, curiga bahwa keadilan restoratif adalah bentuk pemaksaan
pada korban untuk memaafkan dan berdamai dengan pelaku tindak
kejahatan. Keadilan restoratif tidaklah memfokuskan pada pemaafan dan
rekonsiliasi. Tentu sangat mungkin terjadi bahwa dampak dari program
restorative justice adalah pemaafan dan rekonsiliasi).258

2) Restorative justice is not mediation

Howard Zehr menyatakan bahwa keadilan restoratif bukanlah sekedar

mediasi. Terkait hal ini Howard Zehr menyatakan bahwa:

Like mediation programs, many restorative justice programs are designed


around the possibility of a facilitated meeting or an encounter between
victims, offenders, and perhaps community members. However, an
encounter is not always chosen or appropriate. Moreover, restorative
approaches are important even when an offender has not been apprehended
or when a party is unwilling or unable to meet. So restorative approaches
are not limited to an encounter.259

(Terjemahan bebas: Seperti program mediasi, banyak program keadilan


restoratif yang mengutamakan terjadinya pertemuan atau memfasilitasi
pertemuan antara korban, pelaku, dan mungkin anggota masyarakat, namun
pertemuan tidak selalu dipilih. Pendekatan restoratif penting bahkan ketika
seorang pelaku belum ditangkap atau ketika ada pihak yang tidak bersedia
atau tidak dapat bertemu. Jadi pendekatan restoratif tidak terbatas pada
adanya sebuah pertemuan).

257
Howard Zehr, 2002, The Little Book of Restorative Justice, Good Books,
Pennsylvania, h. 8.
258
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 38.
259
Howard Zehr, Op.Cit, h. 8-9.
178

Howard Zehr juga menyatakan bahwa, “Even when an encounter occurs,

the term “mediation” is not a fitting description of what could happen”. 260

Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa pendekatan restorative justice

memang mengutamakan terjadinya pertemuan namun tidak semata-mata terjadi

mediasi. Howard Zehr dalam hal ini menyatakan bahwa bahkan pada saat

pertemuan terjadi, "mediasi" bukanlah deskripsi yang tepat tentang apa yang

terjadi.

Terkait dengan pertemuan dalam keadilan restoratif, Howard Zehr

menyatakan bahwa:

At any rate, to participate in most restorative justice encounters, a


wrongdoer must admit to some level of responsibility for the offense, and an
important component of such programs is to name and acknowledge the
wrongdoing. The neutral language of mediation may be misleading and
even offensive in many cases. Although the term “mediation” was adopted
early on in the restorative justice field, it is increasingly being replaced by
terms such as “conferencing” or “dialogue” for the reasons outlined
above.261

Berdasarkan pandangan ini dapat diketahui bahwa untuk berpartisipasi dalam

pertemuan keadilan restoratif, pelaku pelanggaran harus mengakui beberapa

tingkat tanggung jawab atas pelanggaran tersebut, dan komponen penting dari

program semacam ini adalah untuk mengakui kesalahan tersebut. Mediasi tidak

tepat disebutkan dalam hal ini, meskipun istilah "mediasi" diadopsi sejak awal di

bidang keadilan restoratif, namun semakin digantikan oleh istilah seperti

"konferensi" atau "dialog" dengan alasan yang diuraikan di atas. Dapat dikatakan

260
Howard Zehr, Op.Cit, h. 9.
261
Howard Zehr, Loc.Cit.
179

bahwa pendekatan keadilan restoratif dapat terjadi walaupun pertemuan antara

korban dan pelaku tidak terjadi.

3. Restorative justice is not primarily designed to reduce recidivism or


repeating offenses

Howard Zehr mengemukakan bahwa keadilan restoratif bukanlah

terutama dimaksudkan atau dirancang untuk memberikan efek jera agar pelaku

tidak mengulangi tindak kejahatan lagi/mengurangi residivisme. Terkait hal ini

Howard Zehr menyatakan bahwa:

In an effort to gain acceptance, restorative justice programs are often


promoted or evaluated as ways to decrease repeat crimes.
There are good reasons to believe that, in fact, such programs will
reduce offending. Indeed, the research thus far—centering mainly on
juvenile offenders—is quite encouraging on this issue. Nevertheless,
reduced recidivism is not the reason for operating restorative justice
programs.
Reduced recidivism is a byproduct, but restorative justice is done first
of all because it is the right thing to do. Victims’ needs should be addressed,
offenders should be encouraged to take responsibility, those affected by an
offense should be involved in the process, regardless of whether offenders
catch on and reduce their offending.262

(Terjemahan bebas: Program keadilan restoratif sering dipromosikan atau


dievaluasi sebagai cara untuk mengurangi pengulangan
kejahatan. Sebenarnya, program ini akan mengurangi
pelanggaran/kejahatan. Memang, penelitian yang sejauh ini berpusat pada
juvenile offenders - cukup menggembirakan dalam masalah ini. Meskipun
demikian, mengurangi residivis bukanlah alasan untuk menjalankan
program keadilan restoratif. Pengurangan residivis adalah produk
sampingan. Keadilan restoratif dilakukan terutama karena ini adalah hal
yang benar untuk dilakukan. Kebutuhan korban harus ditangani, pelaku
kejahatan harus didorong untuk bertanggung jawab, mereka yang terkena
dampak kejahatan harus dilibatkan dalam proses tersebut).

262
Howard Zehr, Op.Cit, h. 9-10.
180

4. Restorative justice is not a particular program or a blueprint

Howard Zehr menegaskan bahwa keadilan restoratif bukan program siap

pakai dengan cetak-biru yang telah jadi. Menurut Howard Zehr:

Various programs embody restorative justice in part or in full. However,


there is no pure model that can be seen as ideal or that can be simply
implemented in any community. We are still on a steep learning curve in
this field. The most exciting practices that have emerged in the past years
were not even imagined by those of us who began the first programs, and
many more new ideas will surely emerge through dialogue and
experimentation. Also, all models are to some extent culture-bound. So
restorative justice should be built from the bottom up, by communities in
dialogue assessing their needs and resources and applying the principles to
their own situations. Restorative justice is not a map, but the principles of
restorative justice can be seen as a compass pointing a direction. At a
minimum, restorative justice is an invitation for dialogue and exploration.263

Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa program-program keadilan restoratif

harus mencari bentuk, sesuai dengan kondisi masyarakat serta budaya yang ada.

Program-program keadilan restoratif haruslah dibangun dari bawah sesuai dengan

keadaan dan kebutuhan masyarakat. Inisiatif dari masyarakat dalam hal ini

sangatlah dibutuhkan, namun prinsip-prinsip keadilan restoratif harus dipegang

teguh.264 Hal yang menarik dalam pandangan ini disebutkan bahwa, “Restorative

justice is not a map, but the principles of restorative justice can be seen as a

compass pointing a direction”.265

263
Howard Zehr, Op.Cit, h. 10.
264
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 39.
265
Howard Zehr, Loc.Cit.
181

5. Restorative justice is not primarily intended for comparatively minor

offenses or for first-time offenders

Howard Zehr menyatakan bahwa keadilan restoratif tidak hanya dapat

diterapkan pada kasus-kasus kecil atau kasus-kasus baru. Terkait hal ini Howard

Zehr menguraikan bahwa:

It may be easier to get community support for programs that address so-
called “minor” cases. However, experience has shown that restorative
approaches may have the greatest impact in more severe cases. Moreover, if
the principles of restorative justice are taken seriously, the need for
restorative approaches is especially clear in severe cases. The guiding
questions of restorative justice (see page 38) may help to tailor justice
responses in very difficult situations. Domestic violence is probably the most
problematic area of application, and here great caution is advised.266

Berdasarkan pandangan ini dapat diketahui bahwa keadilan restoratif tidak hanya

dapat diterapkan pada kasus-kasus kecil atau kasus-kasus baru dilakukan oleh

pelaku kejahatan. Keadilan restoratif dapat diterapkan pada kasus apa saja, yang

penting prinsip-prinsip dasar dalam keadilan restoratif dapat diterapkan. Kasus

besar dan kecil, kasus anak-anak atau orang dewasa, dapat ditangani dengan

pendekatan keadilan restoratif. Kasus-kasus baru atau kasus lama juga bisa

ditangani dengan pendekatan keadilan restoratif.267

6. Restorative justice is not a new or North American development

Howard Zehr menyatakan bahwa restorative justice bukanlah hal baru

atau North American development. Terkait hal ini Howard Zehr menyatakan

bahwa:

266
Howard Zehr, Op.Cit, h. 11.
267
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 39-40.
182

The modern field of restorative justice did develop in the 1970s from
case experiments in several communities with a proportionately sizable
Mennonite population. Seeking to apply their faith as well as their peace
perspective to the harsh world of criminal justice, Mennonites and other
practitioners (in Ontario, Canada, and later in Indiana, U.S.A)
experimented with victim-offender encounters that led to programs in these
communities and later became models for programs throughout the world.
Restorative justice theory developed initially from these particular efforts.
However, the movement owes a great deal to earlier movements and to
a variety of cultural and religious traditions. It owes a special debt to the
Native people of North America and New Zealand. The precedents and
roots of restorative justice are much wider and deeper than the Mennonite-
led initiatives of the 1970s. Indeed, they are as old as human history.268

(Terjemahan bebas: Bidang keadilan restoratif modern berkembang pada


tahun 1970-an dari eksprimen kasus di beberapa komunitas dengan populasi
Mennonite yang cukup proporsional. Mencari untuk menerapkan keyakinan
mereka dan juga perspektif perdamaian mereka ke dunia peradilan pidana
yang keras, Mennonit dan praktisi lainnya (di Ontario, Kanada, dan
kemudian di Indiana, AS) bereksperimen dengan korban-pelaku kejahatan
yang menyebabkan program di komunitas ini menjadi model program di
seluruh dunia. Teori keadilan restoratif awalnya dikembangkan dari usaha-
usaha khusus ini, namun gerakan tersebut tidak bisa lepas pada gerakan
sebelumnya dan beragam tradisi budaya dan agama, khususnya pada
penduduk asli Amerika Utara dan Selandia Baru. Precedents dan akar
keadilan restoratif jauh lebih luas dan lebih dalam daripada inisiatif yang
diprakarsai oleh Mennonite pada tahun 1970-an dan telah ada sejak lama).

7. Restorative justice is neither a panacea nor necessarily a replacement for


the legal system

Howard Zehr menegaskan bahwa keadilan restoratif bukanlah solusi

segala permasalahan atau pengganti sistem hukum. Menurut Howard Zehr:

Restorative justice is by no means an answer to all situations. Nor is it clear


that it should replace the legal system, even in an ideal world. Many feel
that even if restorative justice could be widely implemented, some form of
the Western legal system (ideally, a restoratively-oriented one) would still
be needed as a backup and guardian of basic human rights. Indeed, this is
the function that the youth courts play in the restorative juvenile justice
system of New Zealand. Most restorative justice advocates agree that crime
has both a public dimension and a private dimension. I believe it would be

268
Howard Zehr, Loc.Cit.
183

more accurate to say that crime has a societal dimension, as well as a more
local and personal dimension. The legal system focuses on the public
dimensions; that is, on society’s interests and obligations as represented by
the state. However, this emphasis downplays or ignores the personal and
interpersonal aspects of crime. By putting a spotlight on and elevating the
private dimensions of crime, restorative justice seeks to provide a better
balance in how we experience justice.269

(Terjemahan bebas: Keadilan restoratif sama sekali bukan jawaban untuk


semua situasi. Keadilan restoratif bukan dimaksudkan untuk menggantikan
sistem hukum, bahkan di dunia ideal. Banyak yang merasa bahwa meskipun
keadilan restoratif dapat diterapkan secara luas, beberapa bentuk sistem
hukum Barat (idealnya bersifat berorientasi restorasi) masih dibutuhkan
sebagai cadangan dan melindungi hak asasi manusia. Memang, ini adalah
fungsi yang dimainkan oleh restorative juvenile justice system di New
Zealand New (Selandia Baru). Sebagian besar advokat (keadilan restoratif)
setuju bahwa kejahatan memiliki dimensi publik dan dimensi privat. Saya
percaya akan lebih akurat untuk mengatakan bahwa kejahatan memiliki
dimensi kemasyarakatan, dan juga dimensi yang lebih lokal dan personal.
Sistem hukum berfokus pada dimensi publik. Artinya pada kepentingan dan
kewajiban masyarakat seperti yang diwakili oleh negara, namun penekanan
ini merendahkan atau mengabaikan aspek kejahatan pribadi dan
interpersonal. Dengan menyoroti dan meningkatkan dimensi kejahatan
pribadi, keadilan restoratif berusaha memberikan keseimbangan yang lebih
baik dalam bagaimana kita merasakan keadilan).

8. Restorative justice is not necessarily an alternative to prison

Menurut Howard Zehr keadilan restoratif belum tentu menjadi alternatif

penjara. Howard Zehr menyatakan bahwa:

Western society, and especially the United States, greatly overuses prisons.
If restorative justice were taken seriously, our reliance on prisons would be
reduced and the nature of prisons would change signifi-cantly. However,
restorative justice approaches may also be used in conjunction with, or
parallel to, prison sentences. They are not necessarily an alternative to
incarceration.270

(Terjemahan bebas: Masyarakat Barat dan terutama Amerika Serikat sangat


sering menggunakan "penjara". Jika keadilan restoratif diterapkan secara
serius maka ketergantungan kita pada penjara akan berkurang dan sifat

269
Howard Zehr, Op.Cit, h. 12.
270
Howard Zehr, Op.Cit, h. 12-13.
184

penjara akan berubah secara signifikan, namun pendekatan keadilan


restoratif juga dapat digunakan bersamaan dengan atau sejajar dengan
hukuman penjara. Mereka tidak harus menjadi alternatif penahanan).

9. Restorative justice is not necessarily the opposite of retribution

Howard Zehr juga menyatakan bahwa keadilan restoratif belum tentu

kebalikan dari retribution. Howard Zehr menyatakan bahwa, “Despite my earlier

writing, I no longer see restoration as the polar opposite of retribution. 271

Pandangan ini menegaskan bahwa terlepas dari tulisannya sebelumnya, Howard

Zehr tidak lagi melihat restorasi sebagai the polar opposite of retribution.

Kesembilan prinsip ini menjadi penting dalam memahami restorative

justice sehingga digunakan oleh penulis sebagai dasar analisis dalam membentuk

kontruksi hukum mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana ringan di

Indonesia. Howard Zehr juga menguraikan tentang 3 pilar keadilan restoratif

(restorative justice). Menurut Howard Zehr, “Three central concepts or pillars

deserve a closer look: harms and needs, obligations, and engagement”.272 3 (tiga)

pilar ini diuraikan oleh Howard Zehr sebagaimana berikut:

1) Restorative justice focuses on harm

Howard Zehr menyatakan bahwa Keadilan Restoratif fokus pada

kerugian/kerusakan. Berkaitan dengan hal ini Howard Zehr menyatakan bahwa:

Restorative justice understands crime first of all as harm done to


people and communities. Our legal system, with its focus on rules and laws,
and with its view that the state is the victim, often loses sight of this reality.
Concerned primarily with making sure offenders get what they
deserve, the legal system considers victims, at best, a secondary concern of

271
Howard Zehr, Op.Cit, h. 12-13.
272
Howard Zehr, Op.Cit, h. 22.
185

justice. Focusing on harm, on the contrary, implies an inherent concern for


victims’ needs and roles.
For restorative justice, then, justice begins with a concern for victims
and their needs. It seeks to repair the harm as much as possible, both
concretely and symbolically. This victim-oriented approach requires that
justice be concerned about victims’ needs even when no offender has been
identified or apprehended.
While our first concern must be the harm experienced by victims, the
focus on harm implies that we also need to be concerned about harm
experienced by offenders and communities. This may require us to address
the root causes of crime. The goal of restorative justice is to provide an
experience of healing for all concerned.273

Terjemahan bebas:

Keadilan restoratif memahami kejahatan sebagai kerugian yang


dialami orang-orang dan masyarakat. Dalam sistem hukum kita, dengan
fokus pada peraturan dan undang-undang/hukum, dan dengan
pandangannya bahwa negara adalah korbannya, seringkali kehilangan
pandangan akan kenyataan ini.
Perhatian terutama dengan memastikan pelaku mendapatkan apa yang
layak mereka dapatkan, sistem hukum menganggap korban menjadi
perhatian sekunder dari keadilan. Berfokus pada kerugian, sebaliknya,
menyiratkan kekhawatiran yang melekat pada kebutuhan dan peran korban.
Untuk keadilan restoratif, keadilan dimulai dengan perhatian akan
korban dan kebutuhan mereka. Keadilan restoratif berusaha memperbaiki
kerusakan/kerugian sebanyak mungkin, baik secara kongkrit maupun
simbolis. Pendekatan yang berorientasi pada korban menuntut agar keadilan
memperhatikan kebutuhan korban bahkan ketika tidak ada pelaku yang
diidentifikasi atau ditangkap.
Sementara perhatian pertama kami adalah kerugian yang dialami oleh
korban, fokus pada kerugian menyiratkan bahwa kita juga perlu
memperhatikan kerugian yang dialami oleh pelaku dan masyarakat. Ini
mungkin mengharuskan kita untuk mengatasi akar penyebab kejahatan.
Tujuan keadilan restoratif adalah memberikan experience
penyembuhan/pemulihan bagi semua pihak.

273
Howard Zehr, Op.Cit, h. 22-23.
186

2. Wrongs or harms result in obligations

Howard Zehr menyatakan bahwa kesalahan atau kerugian menimbulkan

kewajiban. Hal inilah yang harus dipenuhi oleh pelaku kejahatan, seperti yang

dinyatakan oleh Howard Zehr bahwa:

Therefore, restorative justice emphasizes offender accountability and


responsibility. The legal system defines accountability as making sure
offenders are punished. If crime is essentially about harm, however,
accountability means offenders must be encouraged to understand that
harm. Offenders must begin to comprehend the consequences of their
behavior. Moreover, it means they have a responsibility to make things right
as much as possible, both concretely and symbolically. As we shall see, the
first obligation is the offender’s, but the community and society have
obligations as well.274

(Terjemahan bebas: Keadilan restoratif menekankan pertanggungjawaban


dan tanggung jawab pelaku. Sistem hukum mendefinisikan
pertanggungjawaban karena memastikan pelaku dihukum. Jika kejahatan
pada dasarnya adalah tentang kerugian/kerusakan, pertanggungjawaban
berarti pelaku harus didorong untuk memahami bahaya/kerugian/kerusakan
yang ditimbulkan akibat kejahatan yang dilakukannya. Pelanggar harus
mulai memahami konsekuensi dari perilaku mereka, selain itu itu berarti
mereka memiliki tanggung jawab untuk membuat sesuatu dengan benar
sebanyak mungkin (memperbaiki), baik secara konkret maupun simbolis.
Seperti yang akan kita lihat, kewajiban pertama adalah pada pelaku, namun
community dan masyarakat memiliki kewajiban juga).

3. Restorative justice promotes engagement or participation

Terkait dengan keterlibatan dan partisipasi dalam proses penyelesaian

konflik dengan keadilan restoratif Howard Zehr menyatakan bahwa:

The principle of engagement suggests that the primary parties affected


by crime—victims, offenders, members of the community—are given
significant roles in the justice process. These “stakeholders” need to be
given information about each other and to be involved in deciding what
justice requires in this case.
In some cases, this may mean actual dialogue between these parties,
as happens in victim offender conferences. They would share their stories

274
Howard Zehr, Op.Cit, h. 23-24.
187

and come to a consensus about what should be done. In other cases, it may
involve indirect exchanges, the use of surrogates, or other forms of
involvement.
The principle of engagement implies involvement of an enlarged circle
of parties as compared to the traditional justice process.275

(Terjemahan bebas: Keadilan restoratif mendorong adanya keterlibatan


(engagement) atau partisipasi. Prinsip engagement menunjukkan bahwa
pihak-pihak utama yang terkena dampak karena terjadinya kejahatan-korban
kejahatan, pelaku kejahatan, anggota masyarakat - diberi peran penting
dalam justice process. "Pemangku kepentingan" ini perlu diberikan
informasi satu sama lain dan dilibatkan dalam menentukan keadilan yang
dibutuhkan dalam kasus ini. Dalam beberapa kasus, ini bisa berarti dialog
aktual antara pihak-pihak yang terkait, seperti yang terjadi dalam victim
offender conferences. Mereka akan membagikan cerita mereka dan sampai
pada konsensus tentang apa yang harus dilakukan. Dalam kasus lain,
mungkin melibatkan pertukaran tidak langsung, penggunaan
pengganti/wakil, atau bentuk keterlibatan lainnya. Prinsip engagement
menyiratkan keterlibatan sekelompok besar pihak-pihak dibandingkan
dengan proses peradilan tradisional).

Howard Zehr memberikan kesimpulan dari 3 (tiga) pilar dalam keadilan

restoratif yakni:

So restorative justice is constructed upon three simple elements or


pillars: harms and related needs (of victims, first of all, but also of the
communities and the offenders); obligations that have resulted from (and
given rise to) this harm (the offenders’, but also the communities’); and
engagement of those who have a legitimate interest or stake in the offense
and its resolution (victims, offenders,and community members).
Here, in summary, is a skeletal outline of restorative justice. Although it
is inadequate by itself, it provides a framework upon which a fuller
understanding can be built. Restorative justice requires, at minimum, that
we address victims’ harms and needs, hold offenders accountable to put
right those harms, and involve victims, offenders, and communities in this
process.276

(Terjemahan bebas: Jadi keadilan restoratif dibangun di atas tiga elemen


atau 3 pilar sederhana yaitu: harms and related needs (korban, yang
terutama, masyarakat dan pelaku); Kewajiban yang timbul dari kerugian ini
(pelaku kejahatan, tapi juga masyarakat); dan keterlibatan (engagement)
mereka yang memiliki kepentingan atau kepentingan yang sah dalam

275
Howard Zehr, Op.Cit, h. 24.
276
Howard Zehr, Op.Cit, h. 24-25.
188

pelanggaran dan resolusi (korban, pelaku kejahatan, dan anggota


masyarakat). Di sini, secara ringkas, adalah kerangka keadilan restoratif.
Meskipun tidak memadai dengan sendirinya, ia menyediakan kerangka kerja
di mana pemahaman yang lebih lengkap dapat dibangun. Keadilan restoratif
setidaknya, mengharuskan kita mengatasi kerugian/kerusakan yang terjadi
akibat kejahatan dan kebutuhan korban, mendorong pertanggungjawaban
pelaku kejahatan untuk memberikan hak atas kerugian yang ditimbulkan
(memberikan ganti kerugian), dan melibatkan korban, pelaku, dan
masyarakat dalam proses ini).

Mengenai korban (victim) dalam konsep restorative justice, Howard Zehr

dan Ali Gohar menyatakan bahwa:

Of special concern to restorative justice are the needs of crime victims that
are not being adequately met by the criminal justice system. Victims often
feel ignored, neglected, or even abused by the justice process. This results in
part from the legal definition of crime, which does not include victims:
crime is defined as against the state, so the state takes the place of the
victim. Yet victims often have a number of specific needs from a justice
process.277

Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa perhatian khusus dalam keadilan

restoratif adalah kebutuhan korban kejahatan yang tidak cukup terpenuhi oleh

sistem peradilan pidana. Korban sering merasa diabaikan, atau bahkan mendapat

perlakuan yang sewenang-wenang oleh proses peradilan.

Menurut Howard Zehr dan Ali Gohar bahwa ada empat jenis kebutuhan

korban kejahatan yang tampaknya secara khusus diabaikan dan dalam hal ini

perlu mendapatkan perhatian. Howard Zehr dan Ali Gohar menguraikan bahwa:

Due to the legal definition of crime and the nature of the criminal justice
process, the following four types of needs seem to be especially neglected:
1. Information. Victims need answers to questions they have about the
offense, why it happened and what has happened since. They need “real”
information, not speculation or the legally-constrained information that
comes from a trial or plea agreement. Often this requires direct or
indirect access to offenders who hold this information.

277
Howard Zehr and Ali Gohar, Op.Cit, h. 12.
189

2. Truth-telling. An important element in healing or transcending the


experience of crime is an opportunity to tell their story of what happened.
Indeed, it is often important to retell this many times. There are good
therapeutic reasons for this: part of the trauma of crime is the way it
upsets our views of ourselves and our world, our life-stories.
Transcendence of this experience means “restorying” one's life by telling
the story in significant settings, often where it can receive public
acknowledgment. Often too it is important for them to tell this story to the
ones who caused this harm and to have them understand the impact of
their actions. Three day mourn in case of death is a good example, when
the secondary victim tells the story to any new comer and feel themselves
right.
3. Empowerment. Victims often feel like control has been taken away from
them by the offense control over their property, their body, their
emotions, their dreams. Involvement in their own case as it goes through
a justice process can be an important way to return a sense of
empowerment to them.
4. Restitution or vindication. Restitution by offenders is often important to
victims, sometimes because of the actual losses but just as importantly,
because of the symbolic statement implied. When an offender makes an
effort to make right the harm, even if only partially, it is a way of saying
“I am taking responsibility, and you are not to blame." Restitution, in
fact, is a symptom or sign of a more basic need, the need for vindication.
While the concept of vindication is beyond the scope of this booklet, I am
convinced that it is a basic need that we all have when we are treated
unjustly. Restitution is one of a number of ways of meeting this need to
even the score. Apology may also contribute to this.278

Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa Information, Truth-telling,

Empowerment, Restitution or vindication adalah hal-hal yang perlu diperhatikan

dalam penanganan korban kejahatan dalam restorative justice.

Howard Zehr dan Ali Gohar dalam konteks pelaku kejahatan juga

memberikan pandangannya. Howard Zehr dan Ali Gohar menyatakan bahwa :

A second major area of concern that gave rise to restorative justice is


offender accountability. The criminal justice system is concerned about
holding offenders accountable but what is meant is making sure offenders
get the punishment they deserve. Little in the process encourages offenders
to understand the consequences of their actions or to empathize with

278
Howard Zehr and Ali Gohar, Op.Cit, h. 13-14.
190

victims. On the contrary, the adversarial game requires offenders to look


out for themselves. Offenders are discouraged from acknowledging their
responsibility and are given little opportunity to act on this responsibility in
concrete ways. The “neutralizing strategies” the stereotypes and
rationalizations that offenders often use to distance themselves from the
people they hurt are never challenged.279

Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa menjadi bagian proses yang penting

untuk mendorong pelaku untuk memahami konsekuensi dari tindakan mereka atau

berempati dengan korban.

Terkait dengan pengaruh negatif dari penjatuhan sanksi pidana Howard

Zehr and Ali Gohar menyatakan bahwa:

Restorative justice has brought an awareness of the limits and negative by


products of punishment. Beyond that, however, it has argued that
punishment is not real accountability. Real accountability involves facing
up to what one has done: it means encouraging offenders to understand the
impact of their behavior - the harms they have done - and to take steps to
put things right as much as possible. This accountability, it is argued, is
better for victims, better for society, better for offenders. Offenders have
other needs beyond their responsibilities to victims and communities. If we
are to expect them to assume their responsibilities, to change their behavior,
to become contributing members of our communities, restorative justice
assumes that these needs must be addressed as well.280

Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa, keadilan restoratif telah membawa

kesadaran batas dan pengaruh negatif dari sebuah hukuman.

2.2.2 Teori Jenjang Norma (Stufentheorie) dari Hans Kelsen dan Hirarki
Peraturan Perundang-undangan

Hans Kelsen sebagai salah satu tokoh positivisme hukum sebagaimana

dikenal sebagai pencetus teori hukum murni, juga mengembangkan teori jenjang

norma (Stufentheorie). Hans Kelsen banyak memberikan pemikiran-pemikiran

279
Howard Zehr and Ali Gohar, Op.Cit, h. 14.
280
Howard Zehr and Ali Gohar, Op.Cit, h. 14-15.
191

dan gagasan-gagasan terkait dengan hukum positif. Dalam bukunya yang berjudul

General Theory of Law & State Hans Kelsen merumuskan kembali pemikiran-

pemikirannya tentang norma.

Terkait teorinya tentang Jenjang Norma (Stufentheorie) Hans Kelsen

menyatakan bahwa:

The theory which will be expounded in the main part of this book is a
general theory of positive law. Positive law is always the law of a definite
community: the law of the United States, the law of France, Mexican law,
international law. To attain a scientific exposition of those particular legal
orders constituting the corresponding legal communities is the design of the
general theory of law here set forth. This theory, resulting from a
comparative analysis of the different positive legal orders, furnishes the
fundamental concepts by which the positive law of a definite legal
community can be described. The subject matter of a general theory of law
is the legal norms, their elements, their interelation, the legal order as a
whole, its structure, the relationship between different legal orders, and,
finally, the unity of the law in the plurality of positive legal orders.281

(Terjemahan bebas: Hukum positif merupakan hukum dari suatu masyarakat


tertentu. Perancangan teori umum tentang hukum yang dikemukakan oleh
Hans Kelsen dimaksudkan untuk memberikan penjelasan secara ilmiah
mengenai tatanan hukum tertentu yang menggambarkan komunitas hukum
terkait. Teori dari Hans Kelsen ini juga didasarkan dari hasil dari analisis
komparatif terhadap sejumlah tatanan hukum positif yang berlainan,
menyajikan konsep-konsep fundamental yang dapat memaparkan hukum
positif. Materi utama yang dikaji dalam teori umum tentang hukum adalah
terkait norma-norma hukum).282

Teori Hans Kelsen tentang jenjang norma (Stufentheorie) membahas

mengenai the hierarchy of the norms atau tata urutan norma-norma yang terkait

dengan tata urutan norma, dari norma yang lebih tinggi (the superior norm) dan

norma yang lebih rendah the inferior norm, Hans Kelsen dalam hal ini

menyatakan bahwa:

281
Hans Kelsen I, Op.Cit, h. xiii.
282
Hans Kelsen II, Op.Cit, h. v.
192

Law regulates its own creation inasmuch as one legal norm determines the
way in which another norm is created, and also, to some extent, the contents
of that norm. Since a legal norm is valid because it is created in a way
determined by another legal norm, the latter is the reason of validity of
another norm and this other norm may be presented as a relationship of
super- and sub-ordination, which is a spatial figure of speech. The norm
created according to this regulation, the inferior norm.283

(Terjemahan bebas: Hukum mengatur pembentukannya sendiri karena suatu


norma hukum menentukan cara untuk membuat norma hukum lain dan
sampai derajat tertentu menentukan isi dari norma yang lain. Norma hukum
yang satu valid, karena dibuat dengan cara yang ditentukan oleh suatu
norma hukum yang lain, dan norma hukum yang lain ini menjadi landasan
validitas dari norma hukum yang disebut pertama. Hubungan antara norma
yang mengatur pembentukan norma lain dengan norma yang lain dapat
digambarkan sebagai hubungan antara “superordinasi” dan “subordinasi”
yang merupakan kiasan keruangan. Norma yang menentukan pembentukan
norma lain adalah norma yang lebih tinggi, sedangkan norma yang dibentuk
menurut peraturan ini adalah norma yang lebih rendah).284

Terkait dengan tatanan hukum dalam sebuah negara Hans Kelsen

mengemukakan bahwa:

The legal order, especially the legal order the personification of which is
the state, is therefore not a system of norm coordinated to each other,
standing, so to speak, side by side on the same level, but the hierarchy of
different levels of norms, The unity of theses norm is constituted by the fact
that the creation of on norm. The lower on, is determined by another-the
higher-the creation of which is deterined by still higher norm, and that this
regressus is terminated by a highest, the basic norm which, being the
supreme reason of validity of the whole legal order, constitutes its unity.285

(Terjemahan bebas: Tatanan hukum, terutama tatanan hukum yang


dipersonifikasikan dalam bentuk negara, bukanlah sistem norma yang satu
sama lain hanya dikordinasikan, yang berdiri sejajar atau sederajat,
melainkan suatu tatanan urutan norma-norma dari tingkatan-tingkatan yang
berbeda. Kesatuan norma-norma ini ditunjukkan oleh fakta bahwa
pembentukan norma yang satu, yakni norma yang lebih rendah ditentukan
oleh norma lain yang lebih tinggi, yang pembentukkannya ditentukan oleh
norma lain yang lebih tinggi lagi, dan bahwa regressus (rangkaian proses
pembentukkan hukum) ini diakhiri oleh suatu norma dasar tertinggi yang

283
Hans Kelsen I, Op.Cit, h. 124.
284
Hans Kelsen II, Op.Cit, h. 179.
285
Hans Kelsen I, Loc.Cit.
193

karena menjadi dasar tertinggi dari validitas keseluruhan tatanan hukum,


membentuk suatu kesatuan tatanan hukum ini).286

Hans Kelsen melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari

susunan norma berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah memperoleh

kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma akan

semakin abstrak sifatnya dan sebaliknya, semakin rendah kedudukannya akan

semakin konkret norma tersebut. Norma yang paling tinggi, yang menduduki

puncak piramida disebut Kelsen dengan nama Grundnorm (norma dasar).287

Teori jenjang norma ini kemudian dikembangkan lagi oleh Hans

Nawiasky. Teori Hans Nawiasky ini disebut die Lehre von Stufenaufbau der

rechtsordnung. Menurut Hamid S. Attamimi teori Hans Nawiasky jika

dihubungkan dengan negara hukum Indonesia memiliki struktur hierarki tata

hukum sebagai berikut:

1. Staat fundamental norm : Pancasila (Pembukaaan : UUD 1945).

2. Staatgrundgesetz. Batang tubuh UUD 1945, TAP MPR, dan Konvensi

Ketatanegaraan.

3. Formell Gesestz : Undang-Undang.

4. Vorordnungen autonome satzung. Secara khirarkhi mulai dari peraturan

pemerintah hingga keputusan bupati atau walikota.288

Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011

Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menegaskan mengenai

jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan:

286
Hans Kelsen I, Loc.Cit.
287
Darji Darmodiharjo dan Sidartha, Op.Cit, h.116.
288
Bahder Johan Nasution, Op.Cit, h. 52.
194

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:


a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

2.2.3 Teori Kebijakan Hukum Pidana/Politik Hukum Pidana (Penal


Policy) dari M. Cherif Bassiouni dan Barda Nawawi Arief serta
Dilengkapi dengan Konsep Pembaharuan Hukum Pidana dari
Barda Nawawi Arief dan Pembaharuan Hukum Acara Pidana
Pidana dari Andi Hamzah

2.2.3.1 Teori Kebijakan Hukum Pidana/Politik Hukum Pidana (Penal


Policy) dari M. Cherif Bassiouni dan Barda Nawawi Arief

Barda Nawawi Arief menguraikan teori kebijakan hukum pidana/politik

hukum pidana (penal policy) yang beranjak dari problema sosial dalam dimensi

hukum yang penting yakni pengendalian perbuatan anti sosial dengan

menggunakan pidana. 289 Penggunaan upaya hukum, termasuk pidana menurut

Barda Nawawi Arief menjadi salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial

termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum. Tujuannya adalah mencapai

kesejahteraan masyarakat, oleh sebab itu kebijakan penegakan hukum ini

termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yakni segala macam usaha rasional

untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagai suatu masalah yang termasuk

289
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2010, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, PT
Alumni, Bandung, h.viii.
195

masalah kebijakan, maka penggunaan (hukum) pidana pada dasarnya tidak

menjadi suatu keharusan.290

Menurut Barda Nawawi Arief, tidak ada absolutisme dalam bidang

kebijakan, karena pada hakikatnya dalam hal kebijakan, orang akan dihadapkan

pada masalah penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif. Alternatif

ini dapat menjadi salah satu kebijakan hukum pidana yang baik dalam mencapai

kesejahteraan masyarakat. Alternatif penyelesaian kasus ini perlu dilakukan

dengan kebijakan pidana yang tepat dengan menggunakan berbagai macam

pendekatan, yang tujuan utamanya adalah kesejahteraan masyarakat.291

Terkait dengan pendekatan dalam kebijakan, Barda Nawawi Arief

menyatakan bahwa:

Pada hakikatnya masalah kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata


pekerjaan teknik perundang- undangan yang dapat dilakukan secara yuridis
normatif dan sistematik dogmatik. Disamping pendekatan yuridis normatif,
kebijakan hukum pidana juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang
dapat berupa pendekatan sosiologis, historis, dan komparatif; bahkan
memerlukan pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin sosial lainnya
dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional
pada umumnya.292

Pendekatan-pendekatan dalam kebijakan hukum pidana ini dapat digunakan

dalam membentuk konstruksi yang ideal.

Teori kebijakan hukum pidana/politik hukum pidana (penal policy) dari

Barda Nawawi Arief ini mengandung 2 (dua) hal yakni pendekatan kebijakan dan

pendekatan nilai dalam hukum pidana.293 Menurut M. Cherif Bassiouni, “... the

290
Ibid, h. 149.
291
Ibid.
292
Barda Nawawi Arief III, Op.Cit, h. 24.
293
Barda Nawawi Arief III, Op.Cit, h. 30.
196

policy-oriented approach should be considered as one scientific device which is to

be employed as an alternative to the emotionally laden value judgment approach

presently followed in most legislative bodies”. 294 Pandangan dari M. Cherif

Bassiouni ini menunjukkan bahwa pendekatan yang berorientasi pada kebijakan

ini harus dipertimbangkan sebagai salah satu scientific device yang akan

digunakan sebagai alternatif dari pendekatan yang secara emosional

diorientasikan pada pertimbangan nilai (the emosionally laden value judgment

approach) yang sebagian besar diikuti oleh badan legislatif.

M. Cherif Bassiouni menyatakan bahwa, “To that extent, the discipline of

criminal law is not only pragmatic but also value-based and value-oriented”.295

Berdasarkan pendapat dari M. Cherif Bassiouni ini dapat diketahui bahwa disiplin

hukum pidana tidak hanya pragmatis, tetapi juga suatu disiplin yang berdasar dan

berorientasi pada nilai (not only pragmatic but also value-based and value-

oriented).

Mengacu pada pandangan M. Cherif Bassiouni mengenai pendekatan

kebijakan dan pendekatan nilai, Barda Nawawi Arief juga memberikan

kesimpulan mengenai pandangan M. Cherif Bassiouni tersebut. Muladi dan Barda

Nawawi Arief menyatakan bahwa terkait dengan pandangan M. Cherif Bassiouni

dapat dikemukakan bahwa menurut Bassiouni dalam melakukan kebijakan hukum

pidana diperlukan perbuatan yang berorientasi pada kebijakan (policy-oriented

approach) yang lebih bersifat pragmatis dan juga pendekatan yang berorientasi

pada nilai (value-judgement approach). Muladi dan Barda Nawawi Arief

294
M. Cherif Bassiouni, 1978, Substantive Criminal Law, Thomas, USA, h. 83.
295
Ibid, h. 78.
197

memberikan pendapat bahwa antara pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai

jangan dipandang sebagai dichotomy karena dalam pendekatan kebijakan sudah

seharusnya juga dipertimbangkan faktor-faktor nilai.296

2.2.3.2 Konsep Pembaharuan Hukum Pidana dari Barda Nawawi Arief dan
Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pidana dari Andi Hamzah

Pembaharuan hukum pidana merupakan salah satu masalah besar dalam

agenda kebijakan/politik hukum di Indonesia. Khususnya pembaharuan sistem

hukum pidana nasional masih sangat memprihatinkan. Hal ini dikarenakan: 1)

pembaharuan sistem hukum nasional masih sangat lamban, tidak berkelanjutan,

bersifat parsial (tidak sistemik/integral), dan bahkan terkesan tidak berpola/tidak

konsisten. 2) Gagasan memperbaharui dan melakukan rekonstruksi/restrukturisasi

sistem KUHP sampai saat ini belum terwujud. 3) Banyaknya masalah yuridis

dalam penyusunan produk legislatif (kebijakan formulasi) atau dalam melakukan

perubahan/amandemen undang-undang.297 Hal ini menunjukkan perlunya sebuah

konsep pembaharuan hukum pidana yang mampu menjadi kerangka dalam

menciptakan hukum pidana nasional Indonesia yang dicita-citakan. Menyikapi hal

ini para pakar hukum pidana, salah satunya Barda Nawawi Arief melakukan

kajian terkait masalah pembaharuan dan perkembangan hukum pidana di

Indonesia.

Barda Nawawi Arief menulis bahwa membangun atau melakukan

pembaharuan hukum (law reform, khususnya “penal reform”) pada hakikatnya

adalah “membangun/memperbaharui pokok-pokok pemikiran/konsep/ide

296
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit, h.166-167.
297
Barda Nawawi Arief III, Op.Cit, h. v.
198

dasarnya”, bukan sekedar memperbaharui/mengganti perumusan pasal (undang-

undang) secara tekstual, oleh karena itu kajian atau diskusi tekstual mengenai

konsep RUU KUHP harus disertai dengan diskusi konseptual.298 Terkait proses

pembaharuannya banyak substansi yang berubah atau banyak hal-hal baru yang

diatur dalam RKUHP. Berkaitan dengan konsep rancangan KUHP Baru, Barda

Nawawi Arief menyatakan bahwa:

Konsep rancangan KUHP Baru disusun dengan bertolak pada tiga


materi/substansi/masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu :
1) Masalah tindak pidana;
2) Masalah kesalahan atau pertanggungjawaban pidana, dan
3) Masalah pidana dan pemidanaan.299

Berdasarkan pandangan Barda Nawawi Arief sebagaimana yang dikutip diatas

dapat diketahui bahwa terdapat 3 (tiga) masalah pokok dalam hukum pidana yang

kemudian menjadi fokus dalam Rancangan KUHP Indonesia, yaitu tindak pidana,

kesalahan/pertanggungjawaban pidana, dan pidana dan pemidanaan.

Menurut Barda Nawawi Arief bahwa di dalam KUHP yang berlaku

sekarang tidak semua bangunan/konstruksi konsepsional sistem hukum pidana

atau ajaran hukum pidana umum dimasukkan/dirumuskan di dalam Bagian Umum

Buku I. Hal-hal yang tidak dimasukkan atau dirumuskan secara eksplisit di dalam

Buku I KUHP adalah ketentuan mengenai tujuan dan pedoman pemidanaan,

pengertian atau hakikat tindak pidana, sifat melawan hukum (termasuk asas tiada

pertanggungjawaban pidana tanpa sifat melawan hukum; “no liability without

unlawfullness”; asas ketiadaan sama sekali sifat melawan hukum secara materiel

atau dikenal dengan nama asas “afwezigheids van alle materiele

298
Barda Nawawi Arief III, Op.Cit h. 1.
299
Barda Nawawi Arief III, Op.Cit h.75.
199

wederrechtelijkheid” (AVAW), masalah kausalitas, masalah kesalahan atau

pertanggung-jawaban pidana (termasuk asas tiada pidana tanpa kesalahan;asas

culpabilitas; “no liability without blameworthiness”; afwezigheids van alle

schould” (AVAS); pertanggungjawaban akibat/erfolgshaftung, kesesatan/error,

dan pertanggungjawaban korporasi.300

Barda Nawawi Arief menulis bahwa banyak perubahan atau hal-hal baru

di dalam konsep rancangan KUHP. Terkait dalam disertasi ini, salah satunya

adalah mengenai asas Pertanggungjawaban Pidana. Mengenai asas

pertangungjawaban pidana Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa dalam

masalah pertangungjawaban pidana konsep RUU KUHP memberi kemungkinan

untuk menerapkan asas "pemberian maaf/pengampunan oleh hakim" ("rechterlijk

pardon" atau''judicial pardon), sehingga konsep tidak kaku dan bersifat absolut.

Asas "Judicial pardon" mengandung ide/pokok pemikiran:

a) Menghindari kekakuan/absolutisme pemidanaan;

b) Menyediakan "klep/katup pengaman" ("veiligheidsklep'');

c) Bentuk koreksi judisial terhadap asas legalitas (judicial corrective to the

legality principle)

d) Pengimplementasian/pengintegrasian nilai atau paradigma "hikmah

kebijaksanaan" dalam pancasila;

e) Pengimplementasian/pengintegrasian "tujuan pemidanaan" kedalam syarat

pemidanaan (karena dalam memberikan permaafan/pengampunan, hakim

harus mempertimbangkan tujuan pemidanaan); jadi syarat atau justifikasi

300
Barda Nawawi Arief III, Op.Cit, h. 4.
200

pemidanaan tidak hanya didasarkan pada adanya "tindak pidana" (asas

legalitas) dan "kesalahan" tetapi juga pada tujuan pemidanaan.301

Menurut Barda Nawawi Arief kewenangan hakim untuk memberi maaf

("rechterlijk pardon") berarti bahwa hakim tidak menjatuhkan sanksi pidana


302
tindakan apapun. Asas "pemberian maaf/pengampunan oleh hakim"

("rechterlijk pardon" atau''judicial pardon) ini merupakan sebuah terobosan yang

sangat progresif dan responsif untuk mewujudkan keadilan bagi masyarakat

dalam kerangka restorative justice.

Rancangan KUHP baru juga memuat mengenai Tujuan Pemidanaan dan

Pedoman Pemidanaan. Perumusan mengenai tujuan Pemidanaan dan pedoman

pemidanaan tentu merupakan hal yang baik untuk memperkuat prinsip dan

pelaksanaan KUHP kedepannya. KUHP yang berlaku sekarang jika dibandingkan

tidak mengatur mengenai tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan. RUU

KUHP mengatur mengenai Tujuan Pemidanaan yang diatur dalam Pasal 54 RUU

KUHP dan pedoman pemidanaan yang diatur dalam Pasal 55 RUU KUHP.

Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa tujuan pemidanaan ini bertolak

dari pemikiran bahwa sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem yang

bertujuan ("purposiv system") dan pidana hanya merupakan alat/sarana untuk

mencapai tujuan, maka konsep merumuskan tujuan pemidanaan yang bertolak

pada keseimbangan dua sasaran pokok, yaitu "perlindungan masyarakat" dan

"perlindungan/pembinaan individu".303

301
Barda Nawawi Arief III, Loc.Cit.
302
Barda Nawawi Arief III, Loc.Cit.
303
Barda Nawawi Arief III, Op.Cit, h. 18.
201

Mengenai pedoman pemidanaan, Barda Nawawi Arief juga menyatakan

bahwa masalah keseimbangan antara kepastian/kekakuan dengan kelenturan

(elastisitas/fleksibilitas) juga diimplementasikan dalam "pedoman dan aturan

pemidanaan", antara lain sebagai berikut:

a) Walaupun sanksi pidana dirumuskan secara tunggal (bersifat imperatif kaku),

namun hakim dapat memilih alternatif pidana lainnya yang tidak tercantum

dalam perumusan delik atau mengenakan pidana secara kumulatif dengan

pidana lain.

b) Walaupun sanksi pidana dirumuskan secara alternatif, namun hakim dapat

menjatuhkan sanksi pidana secara kumulatif.

c) Walaupun sudah ada putusan pemidanaan yang berkekuatan tetap, masih

dimungkinkan adanya modifikasi/perubahan/penyesuaian/peninjauan kembali

(asas "modification of sanction"; asas "the alteration/annulment/revocation of

sanction terhadap putusan tersebut berdasarkan:

a. Adanya perubahan UU atau perubahan "legislative policy"

b. Adanya perubahan/perbaikan/perkembangan pada diri terpidana

d) Walaupun pada prinsipnya konsep bertolak dari ide keseimbangan, namun

dalam hal ada perbenturan antara kepastian hukum dan keadilan, konsep

memberikan pedoman agar "dalam mempertimbangkan hukum yang akan

diterapkan, hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian

hukum" .304

304
Barda Nawawi Arief III, Op.Cit, h. 20.
202

Adanya tujuan dan pedoman pemidanaan maka hukum pidana materiil dan formil

(penegakan atau pelaksanaannya) tentunya akan semakin terarah.

Adanya pembaharuan hukum pidana materiil (KUHP) tentu menuntut

juga untuk dilakukannya pembaharuan terhadap hukum pidana formil (KUHAP).

Penyusunan RUU KUHAP yang diketuai oleh Andi Hamzah banyak hal-hal baru

yang diatur dalam RUU KUHAP. Terkait dengan disertasi ini, salah satunya yakni

tentang Penuntut Umum dan Penuntutan.

RUU KUHAP memuat pengertian penuntut umum diatur dalam Pasal 1

angka 4 yang menyatakan bahwa, “Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi

wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan

putusan pengadilan atau penetapan hakim”. Penuntutan dalam RUU KUHAP

diatur dalam Pasal 1 angka 3 yang menyatakan bahwa “Penuntutan adalah

tindakan penuntut umum untuk menentukan suatu perkara tindak pidana dapat

dilakukan penuntutan atau tidak, membuat surat dakwaan, dan melimpahkan

perkara pidana ke pengadilan yang berwenang dengan permintaan supaya

diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan”.

Pengertian penuntut umum jika dibandingkan dengan KUHAP yang

berlaku sekarang diatur dalam Pasal 1 angka 6 huruf b KUHAP yang menyatakan

bahwa, “Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang

ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim”. Pasal 1

angka 7 KUHAP menyatakan bahwa, “Penuntutan adalah tindakan penuntut

umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang


203

dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan

permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan”.

Andi Hamzah menyatakan bahwa jika dikaji secara seksama, seakan-

akan penuntut umum Indonesia menganut asas legalitas yakni semua perkara yang

ada di tangannya dan cukup bukti harus dilimpahkan ke pengadilan padahal

Indonesia menganut asas oportunitas yang secara universal diartikan bahwa

penuntut umum “boleh menuntut” atau “tidak menuntut” baik dengan syarat

maupun tanpa syarat. 305 Penuntut umum boleh tidak menuntut suatu perkara

dengan alasan salah satunya karena telah diselesaikan diluar sidang pengadilan.

Terkait dengan disertasi ini juga terdapat perubahan tentang penegasan

penyelesaian perkara di luar pengadilan. Andi Hamzah menyatakan bahwa dalam

ketentuan Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan (afdoening buiten process),

hanya perkara yang tidak berat, dan penuntut umum yang memutuskan karena

dalam perkara pidana yang menjadi pihak ialah pelaku berhadapan dengan negara

yang diwakili oleh jaksa. Dalam Rancangan KUHAP delik yang diancam dengan

pidana penjara empat tahun dan bagi tersangka yang berumur 70 tahun ke atas,

lima tahun ke bawah. Syarat lain, tersangka bukan residivis, motif ringan,

tersangka tidak dalam keadaan ditahan. 306 Ini merupakan pembaharuan yang

relevan dan sangat tepat untuk mencapai rasa keadilan bagi masyarakat.

305
Andi Hamzah, 2016, “Pembaharuan Hukum Acara Pidana” dalam Jufrina Rizal dan
Suhariyono AR (ed), Demi Keadilan Antologi Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana; Enam
Dasawarsa Harkristuti Harkrisnowo, Cetakan Pertama, Pustaka Kemang, Jakarta, h. 324.
306
Ibid, h. 324-325.
204

2.2.4 Teori Hukum Responsif dari Philippe Nonet dan Philip Selznick,
serta dilengkapi dengan Teori Hukum Progresif dari Satjipto
Rahardjo

2.2.4.1 Teori Hukum Responsif dari Philippe Nonet dan Philip Selznick

Teori hukum responsif dari Philippe Nonet dan Philip Selznick muncul

dari respons adanya krisis hukum dan kekuasaan, yang terlihat sedang

menggerogoti landasan dari semua institusi pada saat itu (1968-1978). Kemudian

muncullah sebuah gagasan yang menangkap berbagai aspirasi hukum dan sosial

dan ditawarkan sebagai sesuatu yang berbeda jauh dengan idiom represif, yakni

hukum dan ketertiban.307

Mengenai teori hukum responsif dari Philippe Nonet dan Philip Selznick

dalam bukunya yang berjudul “Law and Society in Transition: Toward

Responsive Law”, Philippe Nonet dan Philip Selznick menyatakan bahwa:

... responsive law represents a “higher” stage of legal evolution than


autonomous and repressive law. Our thesis is that responsive law brings
larger institutional competencies to the quest for justice. This evaluation,
however, does not entail an unambiguous prescription or councel. In our
view responsive law is a precarious ideal whose achievement and
desirability are historically contingent and depend especially on the
urgencies to be met and the resources that can be tapped.308

Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam kutipan diatas menyatakan bahwa

hukum responsif merupakan suatu tahapan evolusi yang lebih tinggi dibandingkan

dengan hukum otonom dan represif. Hukum responsif melahirkan kompetensi

kelembagaan yang besar dalam mencapai keadilan. Hukum responsif adalah suatu

yang ideal yang ringkih (lemah), yang keberhasilan dan dapat diterimanya oleh

307
Philippe Nonet dan Philip Selznick II, Op.Cit, h. v.
308
Philippe Nonet dan Philip Selznick I, Op.Cit, h.116.
205

masyarakat sangat tergantung khususnya pada hal-hal yang mendesak yang harus

dipenuhi dan pada sumber daya yang dapat digunakan.309

Terkait dengan teori hukum responsif, Philippe Nonet dan Philip

Selznick menyatakan bahwa:

It perceives social pressures as sourcess of knowledge and opportunities for


self-correction. To assume that posture, an institution requires the guidance
of purpose. Purposes set standards for criticizing established practice,
thereby opening ways to change. At the same time, taken seriously, thet can
control administrative discretion and thus mitigate the risk of institutional
surender. Conversely, a lack of purpose lies at the root of both regidity and
opportunism. These maladies, in fact, involve each other and coexist. A
formalist, rule-bound institution is ill equipped to recognize what is really at
stake in its conflicts with the environment. It is likely to adapt
opportunistically because it lack criteria for rational reconstruction of out
moded or inappropriate policies. Only when an institution is truly purposive
can there be a combination of integrity and openness, rule and discretion.
Hence, responsive law presumes that purpose can be made objective
enaough and authoritative enought to control adaptive rule making.310

Philippe Nonet dan Philip Selznick pada intinya menyatakan bahwa

lembaga responsif menganggap tekanan-tekanan sosial sebagai sumber

pengetahuan dan kesempatan untuk melakukan koreksi diri. Sebuah institusi

memerlukan panduan ke arah tujuan. Tujuan menetapkan standar untuk

mengkritisi praktik yang sudah mapan, dan membuka jalan untuk melakukan

309
Hukum represif, hukum otonom, dan hukum responsif dapat dipahami sebagai 3
(tiga) respon terhadap dilema dari integritas dan keterbukaan. Ciri dari hukum yang represif adalah
adaptasi pasif dan oportunistik dari institusi-institusi hukum terhadap lingkungan sosial dan
politik. Hukum otonom, merupakan reaksi yang menentang terhadap keterbukaan yang
serampangan. Kegiatan atau perhatian utamanya adalah bagaimana menjaga integritas
institusional. Untuk mencapai tujuan tersebut, hukum mengisolasi dirinya, mempersempit
tanggung jawabnya, dan menerima formalisme yang buta demi mencapai integritas. Tipe hukum
responsiflah yang berusaha mengatasi ketegangan tersebut. Responsif yang berarti bukan terbuka
atau adaptif. Intitusi yang responsif mempertahankan secara kuat hal yang esensial bagi
integritasnya dengan tetap memperhatikan keberadaan kekuatan-kekuatan baru dalam
lingkungannya. Dengan hal ini, hukum responsif memperkuat cara-cara bagaimana keterbukaan
dan integritas dapat saling menopang. Lihat, Ibid, h. 76-77 dan Philippe Nonet dan Philip Selznick
II, Op.Cit, h. 86-128.
310
Philippe Nonet dan Philip Selznick I, Op.Cit, h.77.
206

perubahan. Ketiadaan tujuan berakar pada kekakuan serta oportunisme. Suatu

institusi yang formalis, yang terikat pada peraturan, menjadi institusi yang

cenderung beradaptasi secara oportunis karena tidak mempunyai kriteria untuk

secara rasional merekontruksi kebijakan yang sudah ketinggalan zaman atau

sudah tidak layak lagi diberlakukan. Hukum responsif beranggapan bahwa tujuan

dapat dibuat cukup obyektif dan cukup otoritatif untuk mengontrol pembuatan

peraturan yang adaptif.311

Berdasarkan teori hukum responsif Philippe Nonet dan Philip Selznick,

dapat diketahui bahwa hukum responsif akan melakukan perubahan dan proses

pengoreksian diri. Peraturan yang dibentukpun akan bersifat adaptif, sesuai

dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat.

2.2.4.2 Teori Hukum Progresif dari Satjipto Rahardjo

Hukum Progresif dari Satjipto Rahardjo dilhami dan merupakan

pengembangan dari teori hukum responsif dari Philippe Nonet dan Philip

Selznick. Teori hukum progresif dari Satjipto Rahardjo berawal dari kondisi

reformasi di Indonesia yang menurut Satjipto Rahardjo belum berhasil, yang

disebabkan masih banyaknya korupsi, komersialisasi, dan commodification.

Mengatasi permasalahan dalam situasi ini, Satjipto Rahardjo menawarkan konsep

pemikiran yang disebut dengan hukum progresif. 312

Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa gagasan hukum progresif ini

mencari cara untuk mengatasi keterpurukan hukum di Indonesia secara lebih

311
Philippe Nonet dan Philip Selznick II, Op.Cit, h. 87-88.
312
Satjipto Rahardjo II, Op.Cit, h. 1.
207

bermakna (significant). Bermakna dalam artian ini adalah, lebih cepat, melakukan

pembalikan yang mendasar, pembebasan, terobosan, dan lain-lain. 313 Satjipto

Rahardjo juga menyatakan bahwa hukum progresif dimulai dari suatu asumsi

dasar bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Hukum progresif

tidak menerima hukum sebagai institusi yang mutlak dan final, namun sangat

ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi untuk manusia. Hukum progresif

merupakan koreksi terhadap kelemahan sistem hukum modern yang sarat dengan

birokrasi serta ingin membebaskan diri dari dominasi tipe hukum yang liberal.

Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada ideal hukum

dan menolak status-quo. Hukum progresif tidak ingin menjadikan hukum sebagai

teknologi yang tidak memiliki nurani, melainkan suatu institusi yang bermoral.314

Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa berkaitan dengan asumsi dasar

bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya, maka hukum tidak ada

untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar.

Selanjutnya, Satjipto Rahardjo juga menyatakan bahwa hukum adalah institusi

yang secara terus menerus membangun dan mengubah dirinya menuju pada

tingkat kesempurnaan yang lebih baik, yakni yang diverifikasikan ke dalam

faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian terhadap rakyat, dan lain-lain.

Inilah hakekat “hukum yang selalu dalam proses menjadi”. Hukum akan selalu

berada dalam status law in the making.315

313
Satjipto Rahardjo II, Op.Cit, h. 4-5.
314
Satjipto Rahardjo II, Op.Cit, h. 1.
315
Satjipto Rahardjo II, Op.Cit, h. 5-17.
208

Menurut Satjipto Rahardjo bahwa hukum adalah suatu institusi yang

bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera, dan

membuat manusia bahagia. Inilah yang menjadi pangkal pikiran yang pada

akhirnya memuncak pada tuntutan kehadiran hukum progresif. Ini juga menjadi

ideal sebuah hukum yang menuntut untuk diwujudkan. Sebagai konsekuensinya,

hukum merupakan suatu proses yang terus menerus membangun dirinya menunju

ideal. Inilah esensi dari hukum progresif. Hukum progresif bisa disebut sebagai

“hukum yang pro-rakyat” dan hukum yang pro keadilan.316

Satjipto Rahardjo menulis bahwa hukum progresif memilih untuk

menjadi kekuatan pembebasan yang ditujukan terhadap hal-hal yang

mengakibatkan hukum progresif tidak bisa mewujudkan pikiran-pikiran dasarnya.

Pembebasan ini ditujukan baik terhadap tipe, cara berpikir, asas, teori yang selama

ini dipergunakan dan menghambat perwujudan hukum progresif. Hukum

progresif selalu peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat.


317
Berdasarkan uraian ini dapat diketahui bahwa hukum progresif merupakan

cerminan teori hukum yang progress yang selalu tanggap terhadap perubahan, dan

tidak pernah berhenti untuk “terus menjadi” dan terus bergerak menuju hukum

yang ideal.

2.2.5 Konsep Negara Hukum

Secara historis, gagasan negara hukum telah berkembang sejak masa

Yunani kuno, yang dikembangkan oleh filosof besar seperti Plato dan Aristoteles.

316
Satjipto Rahardjo II, Op.Cit, h. 2.
317
Satjipto Rahardjo II, Op.Cit, h. 16.
209

Plato dalam bukunya yang berjudul, “Politikos” menguraikan bahwa

pemerintahan terbaik yang mungkin diwujudkan adalah pemerintahan yang

dibentuk melalui jalan hukum. Hukum dimaksudkan untuk mencapai kebenaran

dan kehidupan masyarakat yang terbaik. Hukum bersifat keilahian dan universal.

Aristoteles dalam konsep negara hukumnya menyebutkan bahwa negara hukum

merupakan negara yang berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan warga

negaranya. Keadilan adalah syarat terciptanya kebahagiaan dan rasa susila perlu

diajarkan. Menurut Aristoteles, yang memerintah bukanlah manusia sebenarnya,

namun pikiran yang adil. Penguasa hanyalah pemegang hukum dan keseimbangan

saja.318

Pemikiran negara hukum pada abad pertengahan lahir sebagai bentuk

perjuangan melawan kekuasaan absolut raja, yang kemudian reaksi ini

dirumuskan dalam piagam Bill of Right 1789 (Great Britain) yang berisi hak dan

kebebasan kaula negara dan peraturan pengganti raja di Inggris. 319 Negara hukum

digunakan dalam menerjemahkan “rechsstaat” maupun “the rule of law”. Sejarah

lahirnya konsep “rechsstaat” maupun “the rule of law” di Eropa seperti yang

dikemukakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto bahwa konsep “rechsstaat” lahir

saat terjadi pemisahan kekuasaan antara gereja dan kerajaan. Masa inilah, dimulai

tradisi perumusan norma hukum dalam dokumen hukum yang diundangkan secara

318
Janedjri M. Gaffar, Op.Cit, h. 7, Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi Ekonomi,
Kompas, Jakarta, h. 362, Budiono Kusumohamidjojo, 2004, Filsafat Hukum; Problematika yang
Adil, Jakarta, Grasindo, h. 36-37, dan Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar
Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, PSHTN FH UI dan Sinar Bakti, h. 153.
319
Janedjri M. Gaffar, Op.Cit, h. 47.
210

resmi, dilakukan penataan dan pembinaan lembaga peradilan, dan lembaga-

lembaga lain yang juga ditata berdasarkan aturan hukum.320

Janedjri M. Gaffar menyatakan bahwa konsepsi negara hukum memiliki

dua akar yang berbeda, walaupun dalam perkembangannya mengalami

persinggungan.321 Paham rechtsstaat pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum

Eropa Kontinental, sedangkan paham Rule of Law bertumpu pada sistem hukum

Anglo Saxon atau Common Law System. Paham rechtsstaat ini dikembangkan

oleh ahli-ahli hukum Eropa Kontinental seperti Immanuel Kant dan Friedrich

Julius Stahl, sedangkan paham Rule of Law mulai dikenal setelah Albert Vann

Dicey pada tahun 1885 menerbitkan bukunya yang berjudul Introduction to Study

of The Law of The Constitution. 322 Hal ini menunjukkan bahwa kemunculan

rechsstaat maupun the rule of law berkaitan dengan sistem hukum yang dianut

oleh suatu negara.

Perkembangan selanjutnya, konsep negara hukum dipengaruhi oleh

paham dan suasana liberalisme yang diperjuangkan dalam revolusi Perancis.

Konsep negara hukum masa ini merupakan cikal bakal paham negara hukum

320
Janedjri M. Gaffar, Op.Cit, h. 48, lihat juga Soetandyo Wignjosoebroto, 2002,
Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya, Cetakan Pertama, Jakarta, LSAM dan
HUMA (Selanjutnya disebut Soetandyo Wignjosoebroto II), h. 442.
321
Janedjri M. Gaffar, Op.Cit, h. 56.
322
Ciri-ciri atau unsur-unsur rechtsstaat yang klasik (formalrechtstaat) menurut
Friedrich Julius Stahl adalah : 1) Adanya pengakuan akan hak-hak dasar manusia. 2) Adanya
pembagian kekuasaan. 3) Pemerintahan berdasarkan peraturan (wetmatigheid vanbestuur). 4)
Adanya Peradilan Tata Usaha Negara, sedangkan menurut A.V. Dicey konsep rule of law
memiliki 3 (tiga) unsur pokok: 1) Supremasi absolut atau predominasi dari reguler law untuk
menentang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan kesewenang-wenangan prerogrative
atau discretionary authority dari pemerintah. 2) Persamaan di hadapan hukum. 3) Konstitusi adalah
hasil dari the ordinary law of the land, bahwa konstitusi bukanlah sumber, tetapi konsekuensi dari
hak-hak individu yang diru muskan dan ditegaskan oleh peradilan, prinsip-prinsip hukum privat
melalui tindakan peradilan dan parlemen sedemikian rupa, diperluas sehingga membatasi posisi
crown dan pejabat-pejabatnya. Lihat Bahder Johan Nasution, Op.Cit, h. 3-24.
211

modern untuk mencapai kepastian hukum melalui upaya positivisasi hukum dan

asas-asas normatif yang bersumber dari moral dan keadilan yang dirumuskan

dalam bentuk positif. Konsep negara hukum modern berakar dari kepercayaan

atas nilai individualisme dan terkait dengan ide bahwa urusan manusia harus

diatur dan diprediksi.323

Utrech membedakan dua macam negara hukum berdasarkan fungsi

negara, yakni negara hukum formil dan materiil. Negara hukum formil adalah

negara yang didasarkan pada hukum dalam arti formal dan sempit yaitu Peraturan

Perundang-undangan tertulis, sedangkan dalam arti negara hukum materiil

memahami hukum yang mencakup keadilan didalamnya.324 Setelah perang dunia

I, konsep negara hukum formal dan paham individualisme dikritik karena

melahirkan kesenjangan sosial dan ekonomi. Keadaan ini melahirkan

ketidakpuasan dan mendorong lahirnya negara kesejahteraan atau yang dikenal

dengan negara hukum material/materiil. Pemerintah pada negara hukum material

bertanggung jawab atas kesejahteraan warganya sehingga harus turut campur

dalam kegiatan masyarakat. 325 Konsep kesejahteraan ini menitikberatkan pada

tercapainya kesejahteraan warga negara.

Unger menyatakan bahwa munculnya paham negara kesejahteraan

(welfare state) membawa 2 (dua) pengaruh terhadap konsepsi negara hukum.

Pertama, perkembangan pesat penggunaan standar terbuka dan ketentuan legislasi

323
Janedjri M. Gaffar, Op.Cit, h. 48, lihat juga John Alder and Peter English, 1989,
Constitutional and Administrative Law, London, Macmilan, h. 42.
324
Janedjri M. Gaffar, Op.Cit,h. 56.
325
Janedjri M. Gaffar, Op.Cit,h. 57. Lihat, Moh. Mahfud MD, 1999, Hukum dan Pilar-
Pilar Demokrasi, Cetakan Pertama, Gama Media Offset, Yogyakarta (Selanjutnya disebut Moh.
Mahfud MD I), h. 127.
212

yang bersifat umum, administrasi, dan peradilan. Kedua, perubahan dari

pendekatan hukum yang formalistik kepada pendekatan tujuan dengan

argumentasi hukum yang berorientasi pada kebijakan, serta perubahan dari

keadilan formal kepada keadilan substansial. Paham “rechsstaat” maupun “the

rule of law” pada umumnya mengandung prinsip utama bahwa negara harus

dijalankan berdasarkan aturan hukum. Setiap negara memiliki sistem hukumnya


326
masing-masing dan mengklaim diri sebagai negara hukum. Hal ini

menunjukkan bahwa konsep negara hukum setiap negara akan berbeda-beda.

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 menyatakan bahwa, “Negara Indonesia adalah negara hukum”.

Negara hukum yang dianut Indonesia bukanlah dalam artian formal, namun dalam

artian materiil yang dikenal dengan istilah welfare state atau negara

kesejahteraan/negara kemakmuran/negara hukum materiil (dinamis), yang

termasuk ke dalam negara hukum modern.

Utrech menyatakan bahwa ide (konsepsi) negara hukum modern yang

dikenal dengan nama “modern welfare state” pemerintahnya turut serta aktif

dalam pergaulan sosial/kemasyarakatan, yang berbeda dengan ide negara hukum

dalam arti sempit maka ide negara hukum modern titik berat pokoknya tidak

terletak pada hukum (hukum positif) tetapi pada tujuannya untuk mencapai

keadilan sosial (sociale gerechtigheid) bagi semua warga negaranya. Apabila

perlu, negara juga boleh bertindak di luar hukum untuk dapat mencapai keadilan

326
Janedjri M. Gaffar, Op.Cit,h. 58-59. Lihat juga, Roberto Mangabeira Unger, 2015,
Law in Modern Sciety: Toward a Critism of Social Theory, Maple Press, London, h. 193-194.
213

sosial bagi semua warga negara itu.327 Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa

di dalam welfare state yang utama adalah mencapai keadilan sosial.

Moh. Mahfud MD mengemukakan bahwa dalam welfare state atau

negara hukum material (dinamis) pemerintah harus bertanggungjawab atas

kesejahteraan rakyat. Pemerintah tidak boleh bersifat pasif atau berlaku sebagai

penjaga malam (negara hukum formal) melainkan harus aktif melaksanakan

upaya-upaya untuk membangun kesejahteraan masyarakatnya dengan cara

mengatur kehidupan ekonomi dan sosial.328

Negara Indonesia memiliki karakter sistem hukum yang

membedakannya dengan negara lain. Dalam konteks ini negara Indonesia

memiliki Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai landasan

berpijak. Nurul Qamar menyatakan bahwa negara hukum Indonesia memiliki ciri-

ciri khas ke Indonesiaannya, oleh sebab itu Negara Hukum Indonesia dapat

dinamakan Negara Hukum Pancasila karena Pancasila harus didudukkan sebagai

dasar pokok dan sumber hukum. Negara Hukum Pancasila bertitik pangkal dari

asas kekeluargaan dan kerukunan sebagai dua asas yang terpadu. Dalam hal ini

kepentingan rakyat diutamakan, namun harkat dan martabat manusia

perindividual tetap dihormati dan dihargai. 329 Berdasarkan hal tersebut dapat

diketahui bahwa Negara Hukum Indonesia adalah Negara Hukum Pancasila yang

bertitik pangkal dari asas kekeluargaan dan kerukunan.

327
Utrech, 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Cetakan Keempat,
Ichtiar Baru, Jakarta, h. 33.
328
Moh. Mahfud MD, Op.Cit, h. 24-27.
329
Nurul Qamar, 2013, Hak Asasi Manusia Dalam Negara Hukum Demokrasi, Cetakan
Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, h. 47-48.
214

BAB III

MAKNA MEDIASI PENAL

DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA RINGAN

Berbicara tentang makna mediasi penal dalam penyelesaian tindak

pidana ringan tentu tidak bisa terlepas dari pengkajian dasar ontologis dan
330
filosofis dari mediasi penal itu sendiri. Makna mediasi penal dalam

penyelesaian tindak pidana ringan dalam perpsektif ontologis dan filosofis dalam

kajian disertasi ini berarti mencari “arti terdalam” mediasi penal dalam
331
penyelesaian tindak pidana ringan. Melalui pengkajian ini juga akan

menunjukkan urgensi mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana ringan,

sehingga dapat diketahui bahwa mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana

ringan perlu diterapkan di Indonesia.

Makna mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana ringan dari aspek

kajian ontologis pada dasarnya mencari dan menerangkan hakikat mediasi penal

dalam penyelesaian tindak pidana ringan. Hal ini tentu dikaji berdasarkan
330
Dasar ontologis menurut Jujun S. Suriasumantri yakni berbicara mengenai hakikat
apa yang dikaji. Amsal Bakhtiar juga menyebutkan bahwa pada persoalan ontologi orang
menghadapi persoalan mengenai bagaimanakah kita menerangkan hakikat dari segala yang ada
ini? Pertama kali orang dihadapkan pada adanya dua macam kenyataan. Pertama, kenyataan yang
berupa materi (kebenaran). Kedua, kenyataan berupa rohani (kejiwaan)”. Menentukan hakikat
tentu bukanlah hal yang mudah. Amsal Bakhtiar menyatakan bahwa, “Pembicaraan hakikat
sangatlah luas sekali, yaitu segala yang ada dan mungkin ada. Hakikat adalah realitas; realita
adalah ke-real-an, Rill artinya kenyataan yang sebenarnya sesuatu, bukan kenyataan sementara
atau keadaan yang menipu, juga bukan kenyataan yang berubah”. Menurut Romdon, yang dikutip
dalam buku Amsal Bakhtiar menyatakan bahwa, “Pembahasan ontologi sebagai dasar ilmu
berusaha untuk menjawab “apa” yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy dan
merupakan ilmu mengenai esensi benda”. Lihat, Jujun S. Suriasumantri, 2003, Filsafat Ilmu
Sebuah Pengantar Populer, cetakan keenambelas, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 61 dan
Amsal Bakhtiar, M.A, 2013, Filsafat Ilmu, cetakan keduabelas, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, h. 131.
331
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makna berarti: arti, maksud
pembicaraan atau tulisan. Lihat, Windy Novia, Op.Cit, h. 334.

214
215

realitasnya untuk memperoleh kebenaran. Secara lebih lengkap, kajian ini akan

membahas makna yang terdalam, hakikat, esensi, arti yang mendalam, dan inti

dari mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana ringan sebagaimana

diuraikan dalam sub bab berikut.

3.1 Mediasi Penal Merupakan Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana

Definisi mediasi penal telah diuraikan dalam bab 2 (dua) mengenai

tinjauan umum pada disertasi ini. Apabila dirangkum kembali berdasarkan

pengertian dari istilah/terminologis dan berbagai pandangan ahli mengenai

mediasi penal sebagaimana yang telah diuraikan pada bab 2 (dua) disertasi ini

dapat diketahui bahwa poin-poin penting dalam mediasi penal yaitu:

a) Mediasi penal merupakan alternatif penyelesaian perkara pidana di luar

pengadilan formal.

b) Tujuan mediasi penal adalah menyelesaikan permasalahan/perkara pidana

yang terjadi tanpa melalui pengadilan.

c) Mediasi penal merupakan proses/mekanisme penyelesaian perkara yang

melibatkan bantuan pihak ketiga untuk memberikan solusi penyelesaian

masalah kepada para pihak yang berperkara. Ciri utama dari mediasi penal

yang membedakannya dengan alternatif penyelesaian kasus lainnya adalah

adanya mediator yang memiliki peranan yang sangat penting. Makna

mediasi penal ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga

sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan memberikan

tawaran alternatif solusi yang dapat diterima para pihak untuk

menyelesaikan perkara yang terjadi. Mediator berada pada posisi netral dan
216

tidak memihak dalam menyelesaikan perkara (mediator bersifat imparsial).

Mediator hanya menjembatani, sebagai penengah, dan memfasilitasi,

menunjukkan jalan untuk mengakhiri perkara secara sukarela dan damai.

d) Mediator tidak berwenang untuk memberi keputusan/memutus. Keputusan

mutlak ditangan para pihak yang berperkara.

e) Pada mediasi penal keputusan untuk mencapai suatu kesepakatan tetap

diambil oleh Para Pihak itu sendiri, bukanlah mediator. Inilah yang

memberikan jaminan keadilan bagi para pihak, karena keputusan diambil

dari hasil kesepakatan bersama.

f) Mediasi penal memang mengupayakan pertemuan pihak-pihak yang

berperkara (rekonsiliasi) untuk berunding, bermusyawarah secara

kekeluargaan, mencari jalan keluar atau kesepakatan menyelesaikan perkara

yang terjadi, namun perlu diketahui bahwa mediasi penal juga dapat terjadi

tanpa adanya pertemuan para pihak. Mediatorlah yang berperan untuk

menjembatani atau menghubungkan para pihak untuk berkomunikasi secara

langsung atau tidak langsung. Poin penting dalam hal ini pertemuan para

pihak memang menjadi hal yang utama, namun jika kondisi tidak

memungkinkan, mediasi penal masih bisa tetap dilakukan. Inti dalam

mediasi penal bahwa dialog, hubungan, komunikasi para pihak sangat

penting dalam mediasi penal, meskipun tanpa harus bertemu. Inilah yang

menjadi peranan dari mediator.

g) Mediasi penal dapat ditempuh oleh dua pihak yang bersengketa atau lebih

(multiparties).
217

h) Mediasi penal dapat dikatakan berhasil jika telah tercapai kesepakatan yang

dapat menyelesaikan permasalahan dan kesepakatan itu diterima oleh semua

pihak tanpa terkecuali.

i) Jika tidak tercapai penyelesaian atau kesepakatan atau mediasi penal

berakhir dengan jalan buntu (deadlock, stalemate), maka proses akan

dilanjutkan melalui peradilan pidana formal.

j) Kemauan sukarela dan iktikad baik dari para pihak sangatlah penting dalam

menggunakan/tidak menggunakan upaya atau mekanisme mediasi penal.

k) Kesepakatan yang berhasil dicapai memang merupakan salah satu bentuk

keberhasilan dari mediasi penal, namun kesepakatan bukanlah menjadi

fokus utama.

l) Fokus utama dalam mediasi penal adalah berorientasi pada kualitas proses,

yakni menjalin hubungan, dialog, dan komunikasi diantara para pihak untuk

menyelesaikan perkara. Pemulihan para pihak dalam proses ini menjadi hal

yang penting.

m) Proses mediasi penal juga memuat proses pemulihan para pihak yang

terkena dampak dari kejahatan yang terjadi. Sesuai dengan prinsip keadilan

restoratif (restorative justice), proses mediasi penal juga mengupayakan

pemulihan para pihak, baik korban, pelaku, masyarakat, atau pihak yang

terkena dampak dari kejahatan yang terjadi. Inilah yang membedakannya

dengan mediasi dalam bidang hukum privat (perdata) yang merugikan

kepentingan pribadi saja. Mediasi penal dalam konteks penyelesaian kasus

pidana yang berada pada bidang hukum publik berusaha untuk


218

menyelesaikan kasus pidana yang terjadi dengan memperhatikan

kepentingan semua pihak yang terkena dampak kejahatan.

n) Sama halnya dalam mediasi secara umum, ganti rugi/restitusi/kompensasi

kepada korban dalam mediasi penal juga diupayakan.

Poin-poin penting dalam mediasi penal ini merupakan prinsip-prinsip

umum dalam mediasi penal. Berdasarkan poin-poin penting dalam mediasi penal

menunjukkan bahwa mediasi penal merupakan alternatif penyelesaian perkara

pidana di luar pengadilan dengan melibatkan mediator. Mediasi penal pada

konteks penyelesaian kasus tindak pidana ringan menjadi alternatif penyelesaian

kasus tindak pidana ringan di luar pengadilan dengan melibatkan mediator.

3.2 Mediasi Penal Dalam Hukum Pidana

Mediasi pada awalnya digunakan dan berkembang dalam penyelesaian

perkara perdata.332 Mekanisme penyelesaian kasus melalui mediasi memang kerap

digunakan dalam menyelesaikan kasus-kasus perdata, namun dalam

perkembangannya kasus pidana juga dapat diselesaikan melalui mekanisme

mediasi yang kini dikenal dengan istilah mediasi penal.

Lilik Mulyadi mengemukakan bahwa penyelesaian perkara pidana di luar

pengadilan melalui mediasi penal merupakan perkembangan baru dalam ranah

hukum pidana yang membawa implikasi mulai diterapkannya dimensi bersifat

privat ke ranah hukum publik.333 Hal ini tentu menimbulkan kontroversi karena

dalam hukum pidana tidak dikenal dengan perdamaian, namun mediasi penal

332
Sebagai salah satu bentuk dari Alternative Dispute Resolution (ADR) mediasi dalam
penyelesaian perkara perdata sangat diperlukan dan memiliki eksistensi hingga saat ini.
333
Lilik Mulyadi, Op.Cit, h. 19.
219

dapat ditemukan dalam praktek dan telah digunakan dan berkembang di berbagai

negara di dunia. Perkembangan ini telah menjadi paradigma baru dalam

perkembangan hukum pidana di Indonesia.

Secara normatif dan teoritis, mediasi hanya dapat digunakan dalam

lapangan hukum privat, tidak dalam lapangan hukum pidana yang bersifat publik.

Larangan ini berdasarkan pada perbedaan kategoris antara hukum privat dan

hukum pidana yang sifatnya hukum publik, khususnya pada delik biasa.334

Hukum publik adalah hukum yang mengatur kepentingan publik

(masyarakat umum), ciri-ciri hukum publik jika dikaitkan dengan hukum pidana

yakni:

1. Mengatur hubungan antara kepentingan negara atau masyarakat dengan orang

perseorangan.

2. Kedudukan penguasa (negara) adalah lebih tinggi dari orang perorangan.

334
Hal ini perlu dikritisi. Lihat, Takdir Rahmadi, 2011, Mediasi; Penyelesaian Sengketa
Melalui Pendekatan Mufakat, Cetakan Kedua, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 28-29. Sifat
hukum pidana adalah hukum publik (Van Apeldoorn, Van Hamel, Simons, Hazewinkel-Suringa,
Van Hattum). Lihat, E. Utrecht, 1958, Rangkaian Sari Kuliah; Hukum Pidana I, Universitas
Pajajaran, Bandung, h. 57-62. Banyak pandangan yang menyatakan bahwa hukum pidana adalah
hukum publik, namun ada beberapa sarjana yang menyatakan bahwa hukum pidana bukan hukum
publik (Van Kan, Paul Scholten, Logeman, Lemaire, dan Utrech). Para sarjana yang menganggap
hukum pidana bukan hukum publik berpendapat bahwa hukum pada pokoknya tidak mengadakan
kaedah-kaedah (norma) baru, melainkan norma hukum pidana itu telah ada sebelumnya pada
bagian hukum lainnya dan telah ada sanksinya. Hanya pada tingkatan tertentu, diperlukan sanksi
pidana yang merupakan sanksi yang lebih tegas dan lebih berat. Justru tidak selalu penguasa wajib
menuntut suatu tindak pidana tertentu karena dikenal adanya delik aduan yang dipersyaratkan
harus ada “pengaduan” dari yang dirugikan atau terkena tindak pidana. Hal ini menunjukkan
bahwa hukum pidana tidak bersifat hukum publik. Lihat, E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, 2012,
Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Cetakan Ketiga, Storia Grafika,
Jakarta, h. 23. E. Utrecht menyatakan bahwa hukum pidana bukanlah hukum publik tetapi hukum
sanksi istimewa. Lihat E. Utrecht, Op.Cit, h. 57. Ada pula yang berpandangan bahwa hukum
pidana adalah keduanya. Zainal Abidin yang dikutip dari Edi Setiadi dan Dian Andriasari
menyatakan bahwa hukum pidana sebagian besar kaidah-kaidahnya bersifat hukum publik dan
hukum privat, mempunyai sanksi istimewa karena sifatnya yang luas melebihi sanksi bidang
hukum lain, berdiri sendiri dan kadang menciptakan kaidah baru yang sifat dan tujuannya lain
daripada kaidah yang telah ada. Lihat, Edi Setiadi dan Dian Andriasari, 2013, Perkembangan
Hukum Pidana di Indonesia, Cetakan Pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta, h. 17.
220

3. Penuntutan seseorang (yang telah melakukan tindakan terlarang) tidak

tergantung kepada perseorangan (yang dirugikan). Negara/penguasa yang

wajib menuntut orang yang telah melakukan pelanggaran tersebut.

4. Hak subjektif penguasa ditimbulkan oleh peraturan-peraturan hukum pidana

objektif atau hukum pidana positif.335

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa hukum pidana

adalah hukum publik, dan keberadaan mediasi penal menunjukkan adanya

pergeseran dimensi hukum privat ke ranah hukum publik. Hal ini tidak dapat

dipungkiri karena hukum tidaklah bersifat statis. Hukum berkembang mengikuti

dinamika dan perkembangan masyarakat.

Perlu diketahui bahwa secara historis pada mulanya hukum pidana belum

bersifat hukum publik, karena dahulu ketika terjadi persengketaan atau kerugian

seseorang atau masyarakat yang ditimbulkan oleh seseorang/masyarakat lainnya,

diselesaikan sendiri atau dibalas sendiri oleh pihak yang merasa dirugikan dengan

cara yang sama atau bahkan dengan cara yang berlebihan. 336 Saat itu berlaku

adagium, “Tiada suatu pembalasan yang lebih rendah atau pembalasan itu selalu

lebih kejam”. Penyelesaian kasus dengan cara ini dapat dipahami, karena belum

adanya penguasa yang diberi hak (subjektif) untuk menyelesaikan suatu

335
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Loc.Cit.
336
Van Apeldoorn yang dikutip dari E. Utrecht juga menyatakan bahwa pada zaman
pertengahan (di dunia Barat) hukum pidana umumnya masih bersifat privat, karena pada waktu itu
kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum pidana pada umumya dilihat dari
kepentingan-kepentingan khusus. Lihat, E. Utrecht, Op.Cit, h. 57.
221

perselisihan, dengan demikian dasar penuntutan yang berlaku saat itu adalah balas

dendam (door wraak).337

Saat berlakunya penuntutan dengan dasar balas dendam, kedudukan

pihak adalah sama. Penuntutan sangat tergantung pada yang dirugikan. Lazimnya

pencurian yang dilakukan oleh suatu pihak dari pihak lainnya dibalas dengan

pencurian, pembunuhan dibalas dengan pembunuhan, demikian seterusnya.

Berdasarkan sejarahnya, berbagai suku bangsa “balas membalas” itu tiada

berkesudahan dan menjadi dendam secara turun menurun.338

Van Hattum juga menguraikan mengenai sejarah awal mula hukum

pidana sebagai hukum publik. Van Hattum yang dikutip dari E. Utrech

menyebutkan bahwa awal mulanya, pada suatu masyarakat yang belum mengenal

kekuasaan pusat, maka hukuman itu tidak lain dari peletusan hebat rasa marah dan

malu seseorang terhadap siapapun saja disekitarnya. Pembalasan dendam masih

bersifat suatu yang meredakan dan melenyapkan ketegangan psychis, maka objek

pembalasan tidak diperdulikan. Saat itu dikenal adanya pembalasan darah

(blodwraak) antara masyarakat, golongan, atau family tertentu.339

Pembalasan darah (blodwraak) ini menimbulkan keadaan peperangan

yang terus menerus, namun manusia yang selalu menginginkan perdamaian, tidak

dapat menahan keadaan peperangan tersebut. Lambat laun pembalasan darah

(blodwraak) digantikan dengan compositio (bahasa latin) yang artinya pembalasan

337
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menyatakan bahwa pada saat itu, penuntutan peristiwa
pidana berada di tangan individu yang dirugikan atau keluarganya. Balas dendam (door wraak)
berlaku sebagai “garis hukum” pada saat itu: “Darah dibayar dengan darah (dalam bahasa Belanda:
Oog om oog, tand om tand). Lihat, E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Loc.Cit.
338
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Loc.Cit.
339
E. Utrecht, Op.Cit, h. 60.
222

darah dapat ditebus atau dibeli (afkoop) oleh pelaku atau keluarga pelaku. Pelaku

kejahatan (penyerang) atau keluarganya membayar “uang damai” (zoengeld,

vrede-geld) atau memberi “barang damai” kepada orang atau keluarga orang yang

dirugikan. Sistem komposisi ini lambat laun dapat meredakan pembalasan darah

tersebut sehingga kehidupan masyarakat lebih terjamin dan tentram.340

Setelah diberikannya hak kepada penguasa/negara (bahkan telah menjadi

kewajiban negara) untuk menyelesaikan suatu perkara yang timbul atas dasar

kepentingan bersama/kepentingan umum, penyelesaian perkara mulai diarahkan

untuk menyelesaikan persengketaan secara wajar, seimbang, dan berkelanjutan.341

Van Hattum melihat hukum pidana sebagai hukum publik karena sejarah

perkembangannya. Hukum pidana telah mengalami suatu perubahan dari hukum

privat sampai ke zaman sekarang menjadi hukum publik.342 Perkembangan inilah

yang menempatkan hukum pidana sebagai hukum publik. E.Y. Kanter dan S.R.

Sianturi menyatakan bahwa dewasa ini dikatakan bahwa hukum pidana adalah

hukum publik. Penguasa (negara) akan menuntut (terutama delik biasa) tanpa

memperdulikan keinginan pihak lain, akan tetapi dalam beberapa hal tidak selalu

340
E. Utrecht, Loc.Cit.
341
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Loc.Cit. Van Hattum yang dikutip dari E. Utrech
menyatakan bahwa urusan menghukum pelanggar tata tertib masyarakat kemudian menjadi suatu
tindakan pemerintah. Maka hukum tidak lagi ditinggalkan di tangan individu. Pihak yang
dirugikan tidak boleh lagi menentukan sendiri dihukum tidaknya pelanggar (yang merugikannya).
Penentuan ini ada ditangan pemerintah. Sifat partikelir dari delik diubah menjadi sifat publik.
Lihat, E. Utrecht, Loc.Cit.
342
E. Utrecht, Op.Cit, h, 61.
223

penuntutan wajib dilakukan penguasa tanpa memperhatikan kehendak dari pihak

yang dirugikan. 343

Keadaan yang membuat negara harus memperhatikan kehendak dari

pihak yang dirugikan misalnya dalam delik aduan. Sebagai contoh dalam ilustrasi

kasus: telah terjadi delik penghinaan atau perjinahan, dipersyaratkan adanya

kehendak dari pihak yang dirugikan berupa pengaduan agar penguasa melakukan

penuntutan. Kondisi ini akan mempertimbangkan agar jangan sampai pihak yang

dirugikan malah menjadi lebih dirugikan lagi (nama baiknya) karena dalam

pengadilan adalah terbuka untuk umum jika delik ini diselesaikan sampai ke

tingkat pengadilan.344

Terdapat perkara-perkara yang mempersyaratkan adanya pengaduan dari

pihak korban, dengan demikian tidak semua perkara dapat langsung dilakukan

penuntutan oleh negara. Tidak dapat dipungkiri bahwa dari ilustrasi kasus yang

diuraikan oleh E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi mengenai penyelesaian kasus yang

merupakan delik aduan menunjukkan bahwa dalam penyelesaian kasus pidana

juga memperhatikan asas kemanfaatan. Inilah yang juga menjadi dasar

pelaksanaan mediasi penal yakni memberikan kemanfaatan sebanyak-banyaknya

untuk semua pihak. Kemanfaatan menjadi tujuan yang penting untuk dicapai.

343
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menunjukkannya dalam ilustrasi sebuah kasus: Jika A
membunuh atas dasar permintaan B dengan sungguh-sungguh, penguasa (negara) dalam hal ini
tetap berkewajiban menuntut A (sebagaimana yang diatur dalam Pasal 344 KUHP). Dalam kasus
ini tidak dipersoalkan keinganan pihak keluarga B agar A tidak dituntut oleh penguasa karena
diketahui bahwa pembunuhan terjadi karena permintaan B. Hal yang diutamakan adalah
kepentingan umum karena pembunuhan adalah tindakan tercela, harus dicegah dan pelaku layak
untuk dipidana. Lihat, E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op.Cit, h. 24.
344
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Loc.Cit.
224

Kajian historis terkait peralihan hukum pidana dari hukum privat menjadi

hukum publik menunjukkan bahwa hukum pidana yang kini dikatakan sebagai

hukum publik tidak bisa dilepaskan dengan hukum privat, karena awalnya hukum

pidana juga dimulai dari hukum privat. Terdapat benang merah antara hukum

pidana sebagai hukum publik dengan hukum privat. Apabila dikritisi, senyatanya

tidak tepat memisahkan atau mendikotomikan secara keras antara hukum publik

dan hukum privat, karena hukum pidana sebagai hukum publik juga memuat hal-

hal yang sifatnya privat, yang salah satunya adalah penuntutan terhadap delik

aduan dan dilakukannya penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan.

Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa dalam dunia ilmu pengetahuan

hukum, kiranya tidak ada seorangpun yang mengatakan adanya perpisahan antara

hukum publik dan hukum perdata (privat) sedemikian rupa, sehingga segala

hubungan hukum di masyarakat selalu dapat dikatakan bahwa hubungan-hukum

itu masuk golongan hukum publik atau perdata. Banyak hubungan hukum yang

mengandung bersama-sama unsur-unsur yang termasuk hukum publik dan hukum

perdata. Semua hukum pada pokoknya, mengatur tingkah laku dalam masyarakat

untuk keselamatan masyarakat, sedangkan masyarakat itu sendiri adalah manusia,

maka kepentingan masyarakatlah yang selalu menjadi faktor dalam segala

peraturan hukum. 345

Menurut Wirjono Prodjodikoro memang tidak ada perpisahan antara

hukum publik dan hukum perdata, hanya saja dalam hubungan hukum tertentu

titik berat ada pada kepentingan satu orang manusia, sedangkan pada hubungan

345
Wirjono Prodjodikoro I, Op.Cit, h. 2.
225

hukum lain titik beratnya pada kepentingan masyarakat (kumpulan kepentingan

orang-orang). Kembali kepada kemauan seorang manusia untuk menetapkan

apakah suatu hak dalam hubungan hukum harus dilaksanakan atau tidak. Harus

ditanyakan juga kepada masayarakat atau kepada wakilnya tentang ya atau

tidaknya dilaksanakan hak-hak yang ada pada hubungan hukum itu. disinilah letak

perbedaan yang tampak antara yang sejak dahulu dikatakan hukum publik dan

hukum perdata.346

Sesuai dengan sistem hukum Eropa Kontinental, dalam lapangan hukum

privat, prakarsa, dan bentuk penyelesaian masalah hubungan privat dengan

personal sepenuhnya diserahkan pada para pihak. 347 Tindakan-tindakan yang

termasuk delik biasa atau bukan delik aduan tidak lagi menjadi persoalan

perorangan atau korban tindak pidana saja, tetapi telah menjadi persoalan

masyarakat karena tindakan-tindakan itu dipandang sebagai pelanggaran terhadap

kepentingan masyarakat luas. Negaralah yang mewakili kepentingan masyarakat

melalui institusi negara (seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan)

menentukan proses dan bentuk penyelesaiannya.348

Penuntutan perkara pidana pada praktiknya dalam hukum publik diwakili

oleh jaksa penuntut umum yang mewakili kepentingan umum atas nama negara,

namun seringkali dalam persidangan korban atau keluarga korban merasa tidak

puas dengan tuntutan jaksa penuntut umum yang dirasakan tidak seimbang

dengan penderitaan atau pengorbanan mereka. Mengikuti pola ini, sesungguhnya

346
Wirjono Prodjodikoro I, Op.Cit, h. 2-3.
347
Takdir Rahmadi, Loc.Cit.
348
Takdir Rahmadi, Op.Cit, h. 30.
226

tidak ada kata “tidak puas” karena jaksa penuntut umum mempunyai ukuran-

ukuran tertentu berdasarkan pertimbangan hukum dan keadilan. 349 Inilah sisi

kelemahan dari beralihnya hak penuntutan korban ke tangan negara.

Proses penuntutan dalam proses litigasi menjadi sangat subjektif

berdasarkan penilaian penuntut umum. Korban tidak melakukan penuntutan

karena posisi korban hanya sebagai saksi, sehingga tidak serta merta proses

pengadilan memberikan keadilan bagi korban. Kedudukan korban dalam proses

litigasi menjadi sangat lemah, berbeda halnya dengan proses penyelesaian adat

atau proses penyelesaian perkara di luar pengadilan.

Konteks litigasi pada dasarnya hakim juga wajib menggali nilai-nilai

yang hidup dalam masyarakat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan

memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal

ini menunjukkan bahwa keberadaan kebiasaan atau hukum adat sebagai cerminan

dari hukum yang hidup dalam masyarakat perlu digali.

Keluarga korban dalam kasus pembunuhan pada sistem hukum pidana

islam, memegang andil atas tuntutan penuntut umum. Apabila korban telah

memaafkan, maka tuntutan dapat dibatalkan. Tidak berbeda dalam sistem hukum

adat. Sistem hukum adat mengenal pola pemidanaan dan penuntutan yang

memberikan kedudukan dan peranan keluarga korban yang sangat menentukan

jadi atau tidaknya dilakukan penuntutan terhadap pelaku. Jika dalam hukum islam

349
Erdianto Effendi, 2011, Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Pertama, Refika
Aditama, Bandung, h. 47.
227

persoalan hukum dilihat berdasarkan kemaslahatan, dalam hukum adat

penyelesaian hukum dilakukan dengan menitik beratkan pada kebersamaan atau


350
harmoni. Model penyelesaian dengan permaafan ini dikenal dengan

penyelesaian di luar pengadilan atau dengan perdamaian.

Menurut Erdianto Effendi penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan

dengan cara damai menimbulkan dua hal ironis dengan sifat hukum pidana

sebagai hukum publik, yakni:

1. Metode berpikir yuridis formal.

Bagi penganut metode ini, beranggapan bahwa hukum pidana adalah hukum

publik, konsekuensi dari hal ini maka pelanggaran terhadap ketentuan hukum

pidana harus diselesaikan oleh aparat penegak hukum. Sebagai hukum publik,

maka tidak diperkenankan untuk menyelesaikan pelanggaran yang terjadi

oleh kedua pihak saja yakni korban dan pelaku. Penganut metode berpikir

yuridis formal akan menolak kebenaran lembaga perdamaian dalam hukum

pidana karena menurutnya, seluruh kasus pidana harus diajukan kesidang

pengadilan, tanpa terkecuali. Penganut metode ini berpandangan bahwa

hukum sama dengan undang-undang sehingga di luar undang-undang tidak

ada hukum. Dalam metode ini, tercapainya kepastian hukum adalah yang

terpenting dalam penegakan hukum.

2. Metode berfikir yuridis materiel.

Penganut metode ini berpandangan bahwa hukum tidak identik dengan hanya

sebatas undang-undang saja. Masih banyak hukum di luar peraturan

350
Ibid, h. 48.
228

perundang-undangan, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Hal

yang terpenting pada metode ini, dalam penegakan hukum adalah mencapai

keadilan.351

Perdamaian dalam hukum pidana adalah bahwa penyelesaian kasus

pidana diselesaikan di luar acara peradilan, yakni dengan cara perdamaian antara

kedua belah pihak, sama halnya seperti dalam hukum perdata. Lembaga

perdamaian secara yuridis formal tidak diakui dalam Peraturan Perundang-

undangan hukum pidana, sehingga pelaksanaannya dianggap “liar” dan “illegal”,

karena tidak memiliki landasan hukum pidana positif.352

Hukum pidana pada prinsipnya memang tidak mengenal perdamaian,

namun patut disadari bahwa ditinjau dari sejarah peralihan hukum pidana dari

hukum privat menjadi hukum publik maka hal ini tidaklah mutlak. Senyatanya

dalam perkembangannya, hukum pidana sebagai hukum publik tidak bisa lepas

dari hukum privat. Mediasi yang prinsipnya memuat dimensi privat dalam

prakteknya telah membawanya ke ranah hukum publik. Tidak dapat dipungkiri

bahwa dalam prakteknya konsep mediasi penal telah ada dan digunakan untuk

menyelesaikan perkara pidana, sehingga pernyataan bahwa perdamaian tidak

dikenal dalam hukum publik nampaknya telah terbantahkan.

Penyelesaian kasus pidana melalui mediasi penal dapat ditemukan di

Indonesia. Perdamaian pada kasus pidana sebelum sampai pada tingkat kepolisian

351
Ibid.
352
Ibid, h. 49. Mediasi penal dalam hukum perdata dengan hukum pidana memiliki
perbedaa meskipun sama-sama diselesaikan di luar pengadilan.
229

sudah lazim terjadi, dan sepanjang dapat diselesaikan antara pelaku dan korban

dengan tidak menimbulkan keresahan di masyarakat.353

Penyelesaian secara perdamaian yang sering dilakukan adalah

penyelesaian di luar pengadilan dalam perkara lalu lintas. Perdamaian dalam

penyelesaian perkara tindak pidana lalu lintas tentu bertentangan dengan sifat

hukum pidana sebagai hukum publik, namun dalam praktik hal ini sering

diselesaikan melalui perdamaian. Masyarakat menganggap bahwa terjadinya

kecelakaan bukanlah suatu perbuatan yang benar-benar tercela, melainkan

dianggap sebagai musibah baik bagi pelaku maupun korban.354

Faktanya penyelesaian kasus pidana melalui mediasi dapat ditemukan

dan lazim digunakan dalam menyelesaikan kasus-kasus pidana tertentu. Contoh

yang sering terjadi adalah kasus kecelakaan lalu lintas yang bahkan sampai

menyebabkan matinya seseorang. Keluarga korban lazim menerima perdamaian

dengan alasan atau pendapat bahwa pihak korban yang meninggal tidak dapat

dihidupkan dengan menghukum pelaku. Perdamaian antara keluarga ini pada

dasarnya disertai dengan ganti rugi berupa tindakan pelaku dalam membiayai

upacara bahkan membiayai anak-anak korban untuk beberapa tahun sampai telah

dewasa. Hal ini telah diterima oleh pihak keluarga korban dan terjadilah

perdamaian.355

353
I Wayan Wiryawan dan I Ketut Artadi, Op.Cit, h. 94-95.
354
Erdianto Effendi, Op.Cit, h. 48.
355
Pada prakteknya, kasus-kasus yang relatif agak kabur dan memerlukan pembuktian
untuk beberapa saat bahkan dalam memberikan kesempatan para pihak menyelesaikan sendiri,
polisi dapat menolong dengan menunda pelaporan dimulainya penyidikan bahkan dapat
melakukan penghentian penyidikan dengan alasan tidak cukup bukti. Lihat, I Wayan Wiryawan
dan I Ketut Artadi, Op.Cit, h. 95.
230

Bagir Manan yang dikutip dari buku Takdir Rahmadi menyatakan bahwa

perdamaian lazim dalam perkara yang bersifat kepidanaan. Tidak jarang

perbuatan yang dapat dipidana diselesaikan secara kekeluargaan. Jika terjadi

kematian akibat perkelahian atau pertengkaran, perdamaian terjadi melalui

kompensasi terhadap keluarga korban. Upaya damai semacam ini harus membawa

konsekuensi hukum, yakni menutup perkara begitu tercapainya perdamaian.

Doktrin yang menyatakan bahwa sifat pidana tidak hapus sehingga perkaranya

akan tetap diteruskan walaupun telah ada perdamaian seharusnya dihapuskan.356

Takdir Rahmadi juga mengemukakan bahwa masalah-masalah pidana

seperti perkelahian dan pencurian barang dengan nilai relatif kecil juga

diselesaikan melalui mediasi. Penyelesaian kasus di masyarakat melalui

perdamaian secara musyawarah mufakat tidak hanya dibatasi dalam bidang

perdata saja, tapi juga dapat digunakan dalam menyelesaikan perkara pidana.357

Hasil mediasi penal pada umumnya dituangkan dalam sebuah kesepakatan atau

persetujuan perdamaian. Hal ini juga dapat ditemukan dikepolisian.

Uraian ini menegaskan bahwa mediasi telah berkembang tidak hanya

pada lapangan hukum privat. Mediasi penal juga dapat digunakan dalam

penyelesaian perkara pidana (khususnya dalam kasus-kasus tertentu). Esensi

dalam perkembangannya bahwa mediasi penal menjadi istilah yang menunjukkan

penggunaan mediasi dalam penyelesaian kasus pidana.

356
Kompensasi dapat berupa materiil dan immateril. Kompensasi yang bersifat
immateril misalnya seperti denda adat, kewajiban melakukan pemulihan keseimbangan magis.
Pernyataan menyesal dan permohonan maaf yang tulus dan diterima oleh pihak keluarga korban
tidak jarang juga menjadi dasar perdamaian yang penting. Lihat Takdir Rahmadi, Op.Cit, h. 30-31.
357
Takdir Rahmadi, Op.Cit, h. 70.
231

Tidak hanya berdasarkan perbedaan sifat hukum publik dan privat, dalam

hukum pidana senyatanya juga dapat ditemukan penyelesaian di luar pengadilan

atau di luar sidang namun sangat terbatas, sebagaimana yang ditemukan dalam

afkoop. KUHP memang tidak mengatur mengenai mediasi penal, namun Pasal 82

ayat (1) KUHP menunjukkan bahwa dimungkinkannya penyelesaian kasus di luar

pengadilan secara sangat terbatas.

Pasal 82 ayat (1) KUHP menentukan bahwa, “Kewenangan menuntut

pelanggaran yang diancam dengan pidana denda saja menjadi hapus, kalau dengan

sukarela dibayar maksimum denda dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau

penuntutan telah dimulai, atas kuasa pejabat yang ditunjuk untuk itu oleh aturan-

aturan umum, dan dalam waktu yang ditetapkan olehnya”. Terkait dengan Pasal

82 KUHP, R. Soesilo menyatakan bahwa hak menuntut hukuman karena

pelanggaran yang terancam hukuman utama tidak lain dari pada denda, tiada

berlaku lagi jika maksimum denda dibayar dengan kemauan sendiri.358

Ketentuan Pasal 82 KUHP ini mengatur tentang hapusnya kewenangan

menuntut pidana. Pasal 82 KUHP memberi ruang yang terbatas pada penerapan

penyelesaian di luar persidangan. Pasal 82 KUHP hanya berlaku pada bentuk

“pelanggaran yang hanya memuat sanksi pidana denda”.359 Apabila dibandingkan,

esensi dalam mediasi penal tidak terdapat dalam Pasal 82 ayat (1) KUHP, namun

pasal ini dapat menjadi celah atau dasar yang menunjukkan bahwa proses

358
R. Soesilo, 1956, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, h. 70.
359
Meskipun dalam Rancangan KUHP tidak lagi membagi/membedakan Pelanggaran
dan Kejahatan, namun KUHP yang berlaku sekarang membedakannya, meskipun secara teoritis
dan praktis tidak mendikotomikannya secara tegas.
232

penyelesaian perkara di luar pengadilan dimungkinkan walaupun terbatas hanya

pada pelanggaran yang memiliki sanksi pidana denda saja.

Menurut Adami Chazawi bahwa Pasal 82 KUHP memberikan

kemungkinan untuk perkara tertentu dengan cara tertentu dapat diselesaikan tanpa

harus menyidangkan si pembuat dan menjatuhkan pidana padanya. Berlakunya

pasal ini tidak untuk semua perkara pidana, namun hanya perkara pidana

pelanggaran yang diancam dengan pidana denda saja. Setelah dibayarkannya

denda maksimum dan biaya yang telah dikeluarkan jika penuntutan telah dimulai

maka hapuslah kewenangan negara melakukan penuntutan. Lembaga ini disebut

afkoop atau penebusan tuntutan pidana, yang hanya ada pada tindak pidana

pelanggaran, dan diancam pada pidana denda saja.360

Adami Chazawi juga menulis bahwa lembaga afkoop menjadi

pengecualian dari salah satu prinsip dalam hukum acara pidana tentang

penyelesaian perkara pidana dengan penjatuhan pidana hanya dapat melalui

peradilan pidana. Pembentukan lembaga afkoop ini didasari atas pertimbangan

atau alasan praktis-ekonomis.361

E.Y. Kanter dan S.R Sianturi menyatakan bahwa penyelesaian di luar

sidang tentu bertentangan dengan sifat hukum pidana yang merupakan bagian dari

hukum publik, namun dalam perkara-perkara kecil (pelanggaran dengan ancaman

pidana denda saja) sifat hukum publik ini perlu disimpangi untuk mempermudah

dan mempercepat acara penyelesaiannya. Pihak yang menyetujui ketentuan ini

360
Adami Chazawi, 2014, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2; Penafsiran Hukum
Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan & Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran
Kausalitas, Cetakan keenam, PT. Grafindo Persada, Jakarta, h. 182.
361
Ibid.
233

menyatakan bahwa penyelesaian di luar sidang tidak memperbesar biaya

penyelesaian perkara pelanggaran yang ringan-ringan saja, tidak memperbanyak

cap terpidana, meskipun pelanggaran ini diselesaikan di luar persidangan, tidak

menggoncangkan rasa keadilan masyarakat, karena terdakwa dengan sukarela

mengisi kas negara dengan denda maksimum.362 Uraian ini menunjukkan bahwa

penyelesaian di luar pengadilan memang ada dalam KUHP, namun esensinya

berbeda dengan mediasi penal.

Secara normatif, penyelesaian di luar pengadilan sebagai bentuk

perdamaian juga dimungkinkan dalam hukum. Hal ini dapat ditemukan dalam

doktrin dari Hans Kelsen yang membahas mengenai hukum dan perdamaian (law

and peace). Hans Kelsen menyatakan bahwa:

Peace is a condition in which there is no use of force. In this sense of the


word, law provides for only relative, not absolute peace, in that it deprives
individuals of the right to employ force but reserves it for the community.
The peace of the law is not a condition of absolute absence of force, a state
of anarchy; it is a condition of monopoly of force, a force monopoly of the
community.363

(Terjemahan bebas: perdamaian adalah suatu kondisi yang di situ tidak


terdapat penggunaan paksaan. Menurut pengertian ini, hukum hanya
memberikan perdamaian relatif, bukan absolut, karena hukum mencabut hak
para individu untuk menggunakan paksaan tetapi menyerahkannya kepada
masyarakat. Perdamaian hukum bukan suatu kondisi dari ketiadaaan
paksaan mutlak, suatu keadaan anarkis; perdamaian hukum adalah suatu
kondisi monopoli paksaan, suatu monopoli paksaan oleh masyarakat).364

Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa dimungkinkan adanya perdamaian

dalam hukum. Terdapat penggunaan paksaan (sanksi yang tegas), namun

362
E.Y. Kanter dan S.R Sianturi, Op.Cit, h. 433.
363
Hans Kelsen, 1949, General Theory of Law & State, terjemahan Anders Wedberg,
Oxford University Press, London, (Selanjutnya disebut Hans Kelsen I), h. 22.
364
Hans Kelsen, 2015, General Theory of Law & State; Teori Umum Tentang Hukum
dan Negara, terjemahan Raisul Muttaqien, Cetakan kesembilan, Nusa Media, Bandung
(Selanjutnya disebut Hans Kelsen II), h. 27-28.
234

penggunaan paksaan dapat ditiadakan karena masyarakat menyelesaikan

permasalahan yang terjadi dengan perdamaian atau yang disebut dengan

“monopoli paksaan” oleh masyarakat.

Masyarakat memiliki peranan yang sangat besar dalam penggunaan

pilihan penyelesaian permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat melalui

perdamaian. Hans Kelsen juga menyatakan bahwa:

Inasmuch as forcible interference in the sphere of interest of individuals is


permitted only as a reaction of the community againts prohibited conduct of
the individual, inasmuch as forcible interference in the sphere of interests of
the infividual is made a monopoly of the community, a definite sphere of
interest of th individuals is protected. As long as there exists no monopoly of
the community in forcible interference in the sphere of interests of the
individual, that is to say, as long as the social order does not stipulate that
forcible interference in the sphere of interests of the individual may be
resorted to only under very definite conditions (namely, as a reaction
against illegal interference in the sphere of interests of the individuals, and
then only by stipulated individuals), so long is there no sphere of interests of
the individuals protected by the socual order. In other words, there is no
state of law which, in the sense developed here, is essentially a state of
peace. (h. 22-23)

(Terjemahan bebas: suatu bidang kepentingan para individu tertentu


menjadi terlindungi selama gangguan yang dapat dipaksakan terhadap
bidang kepentingan para individu hanya diperbolehkan sebagai bentuk
reaksi masyarakat terhadap tindakan individu yang dilarang, dan selama
gangguan yang dapat dipaksakan terhadap bidang kepentingan individu
dimonopoli oleh masyarakat. Sepanjang tidak ada monopoli masyarakat
dalam gangguan yang dapat dipaksakan terhadap bidang kepentingan
individu, yakni sepanjang tatanan sosial tidak menetapkan bahwa gangguan
yang dipaksakan terhadap bidang kepentingan individu hanya dapat dipilih
di bawah kondisi-kondisi tertentu (sebagai reaksi atas gangguan ilegal
terhadap bidang kepentingan para individu dan kemudian hanya oleh
individu-individu yang ditunjuk oleh tatanan sosial), selama itu pula tidak
ada bidang kepentingan para individu yang dilindungi oleh tatanan sosial
tersebut. Dengan kata lain, tidak ada keadaan hukum, menurut pengertian
yang dikembangkan disini, yang pada hakikatnya merupakan keadaan
perdamaian. (h. 28-29)
235

Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan paksaan memang masih dibutuhkan

sebagai perlindungan masyarakat, namun monopoli paksaan dari masyarakat

berupa perdamaian juga dimungkinkan. Perdamaian dalam konteks ini dapat

berarti no state of law.

Hukum pidana berdasarkan asas legalitas juga masih membutuhkan

fungsi perlindungan dan pencegahan yang memberikan efek jera sebagaimana

dalam teori paksaan psikologis (Psychologische Zwang Thorie) dari Anselm von

Feuerbach yang berpandangan bahwa suatu ancaman pidana merupakan usaha

preventif terjadinya tindak pidana, namun dalam hal-hal tertentu dalam

prakteknya monopoli paksaan (penerapan pidana) dengan adanya perdamaian

dapat ditemukan dalam masyarakat.

Secara teoritis, hukum pidana memiliki asas legalitas yang sangat

dijunjung tinggi, sehingga perdamaian dalam prinsipnya menjadi hal yang

bertentangan, namun ketika dibenturkan dengan asas keadilan mediasi penal

menjadi hal yang dibutuhkan di Indonesia. Mediasi penal menjadi terobosan

melalui paradigma hukum progresif dalam hukum pidana. Mediasi penal

mencerminkan hukum pidana modern yang menitikberatkan pada individualisasi

pidana (kejahatan dilihat dari pelaku/orangnya). Mediasi penal dapat menjadi

sebuah sarana yang lebih memanusiakan pelaku kejahatan, yang berupaya untuk

memberikan keadilan bagi semua pihak (korban, pelaku kejahatan, dan

masyarakat).

Barda Nawawi Arief menulis bahwa kejahatan pada hakikatnya adalah

masalah kemanusiaan, namun pidana juga mengandung unsur penderitaan yang


236

menyerang kepentingan atau nilai yang paling berharga bagi kehidupan manusia.

Pendekatan humanistis menuntut pula diperhatikannya ide individualisasi pidana

dalam kebijakan atau pembaharuan hukum pidana.365

Secara teoritis, perkembangan hukum pidana menunjukkan bahwa

orientasi pemidanaan mulai berkembang ke arah sistem pemidanaan yang

berorientasi atau mengedepankan pada aspek kemanusiaan dengan mengacu pada

konsep individualisasi pemidanaan. Hal ini juga dapat ditemukan dalam

pembaharuan hukum pidana yang mengatur tentang tujuan dan pedoman

pemidanaan. Secara historis perkembangan ini dapat dilihat dalam aliran-aliran

hukum pidana dalam memandang tujuan pemidanaan.

Masruchin Ruba’i mengemukakan bahwa mengenai konsep tujuan

pemidanaan dalam rangka mencari dasar pembenaran dari pemberian pidana,

sebagai upaya untuk menjadikan pidana lebih fungsional maka perlu dikaji

berdasarkan aliran-aliran dalam hukum pidana. Aliran yang pertama adalah aliran

klasik. Aliran ini menghendaki hukum pidana tersusun secara sistematik serta

menitikberatkan kepada kepastian hukum. Aliran ini menitikberatkan pada

perbuatan dan tidak kepada orang yang melakukan tindak pidana.366

Aliran yang kedua adalah aliran neo klasik yang disebut juga sebagai

aliran sosiologis. Aliran ini sebagai kompromis antara aliran klasik dan aliran

modern. Melalui aliran klasik diterima sistem pidana dan hukum pidana

365
Karakteristik ide individualisasi pemidanaan ini adalah: a) pertanggungjawaban
(pidana) bersifat pribadi. b) pidana hanya dapat diberikan kepada orang yang bersalah. c) pidana
harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku; ini harus ada
kelonggaran/fleksibelitas bagi hakim dalam memilih sanksi pidana (jenis maupun berat ringannya
sanksi) dan harus ada kemungkinan modifikasi pidana.Barda Nawawi Arief III, Op.Cit, h. 39
366
Masruchin Ruba’i, 2014, Buku Ajar Hukum Pidana, cetakan pertama, Bayumedia
Publishing, Malang, h. 125-126.
237

didasarkan atas asas kesalahan. Aliran ini berprinsip bahwa suatu kenyataan anak-

anak dan orang gila tidak dapat mempertimbangkan antara kesakitan dan

kesenangan. Mereka tidak dapat dipandang sebagai penjahat dan tidak dapat

dipidana. Prinsip ini memperluas paham klasik dengan suatu sistem yang

mengindahkan hal-hal yang meringankan. 367

Terkait aliran yang ketiga adalah aliran modern atau aliran positif. Aliran

ini menitikberatkan perhatiannya kepada orang yang melakukan tindak pidana.

Menurut aliran ini, pemberian pidana atau tindakan dimaksudkan untuk

melindungi masyarakat terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh pelaku tindak

pidana. 368 Hal ini menunjukkan bahwa hukum pidana secara teoritis telah

berkembang dari masa ke masa dan kini arah hukum pidana tidak lagi hanya

melihat kejahatan pada perbuatannya saja (kepastian hukum) namun juga melihat

kejahatan dari sisi pelakunya untuk mencapai keadilan dan kemanfaatan

(individualisasi pidana). Mediasi penal menurut penulis merupakan penjelmaan

dari hukum pidana modern dalam kerangka keadilan restoratif (restorative

justice).

Aliran hukum modern dapat menjadi dasar pembenar bahwa mediasi

penal searah dengan perkembangan hukum pidana dan pembaharuan hukum

pidana di dunia. Terlepas dari asas legalitas (nullum delictum nulla poena sine

praevia lege poenali: tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan pidana

lebih dahulu) dan asas kesalahan (geen straf zonder schuld:tiada pidana tanpa

kesalahan), mediasi penal menjadi salah satu perwujudan dari prinsip ultimum

367
Ibid, h. 127.
368
Ibid.
238

remedium yang menjadi kajian menarik dalam perkembangan hukum pidana ke

depan. Romli Atmasasmitha mengutip pendapat Muljatno bahwa, “Orang tidak

mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau tidak melakukan

perbuatan pidana. Tapi meskipun melakukan perbuatan pidana, tidak selalu dapat

dipidana”. 369 Hal ini menyatakan bahwa pidana tidaklah mutlak dijatuhkan.

Terdapat pengecualian selain penjatuhan pidana, salah satunya diselesaikan

melalui mediasi penal yang penghukumannya sangat fleksibel.

Konsep mediasi penal mencerminkan kearifan lokal bangsa Indonesia

sehingga memiliki peluang untuk diterapkan, termasuk dalam konteks

penyelesaian perkara pidana. Mediasi penal dapat dikatakan menjadi sebuah

terobosan karena pada prinsipnya hukum pidana tidak mengenal adanya

perdamaian.

3.3 Mediasi Penal Sebagai Sarana Pemulihan

Mediasi penal mencerminkan tujuan pemidanaan yang paling modern.

Seiiring dengan perubahan paradigma masyarakat mengenai fungsi dan tujuan

pemidanaan, metode penyelesaian kasus melalui pemidanaan juga berkembang

dari masa ke masa. Dahulu tujuan pemidanaan adalah pembalasan, kini dikenal

tujuan pemidanaan yang lebih modern dan humanis yang dapat dicapai dengan

mediasi penal.

369
Romli Atmasasmitha mengembangkan asas tiada pidana tanpa kesalahan, tiada
kesalahan tanpa kemanfaatan (geen straf zonder schuld, geen schuld zonder nut). Atmasasmitha,
Romli, 2017, Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Tiada Kesalahan Tanpa Kemanfaatan (Geen
Straf Zonder Schuld, Geen Schuld Zonder Nut), Makalah pada Penataran Dosen dan Praktisi
Hukum Pidana & Kriminologi Tingkat Nasional Tahun 2017, Ikhabara dan Mahupiki, Surabaya,
29 November 2017-1 Desember 2017.
239

Pidana sebagai sebuah penderitaan, nestapa, siksaan, hukuman,

pembalasan merupakan bentuk hukuman yang sangat keras dan dikatakan kejam

dibandingkan dengan bidang hukum lain, sehingga dalam penjatuhannya harus

memperhatikan kemanfaatannya. Hal ini dikarenakan sanksi pidana dianggap

sebuah bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia sehingga perlu sangat selektif

dan hati-hati dalam menerapkannya.

Penggunaan pidana merupakan benteng terakhir, dalam artian ini sanksi

pidana baru digunakan apabila sanksi hukum lain dirasakan tidak mampu

menjaga atau memperkuat norma hukum yang telah ada. Hal ini dikenal dengan

istilah “ultimum remedium” atau “the last effort”.370 Dalam hal masih terdapat

upaya lain yang lebih efektif, maka penggunaan hukum pidana tidak merupakan

sebuah keharusan. Menjadi keharusan jika tidak terdapat kemungkinan lain


371
untuk diterapkan. Pengunaan sanksi pidana sebagai sarana terakhir

menunjukkan bahwa sanksi pidana dalam hal-hal atau kasus-kasus tertentu perlu

dialternatifkan.

Hingga saat ini sanksi pidana masih tetap menjadi sanksi yang

istimewa, yang memberikan ciri khas dalam hukum pidana. Sanksi hukum

pidana bersifat “ultimum remedium”, namun patut disadari bahwa pidana kerap

dijatuhkan dalam penyelesaian kasus pidana di Indonesia, tetutama pidana

pemenjaraan. Pidana pemenjaraan telah menjadi trend atau seringkali dijatuhkan

oleh hakim dalam putusannya. Berbeda dengan negara-negara lain di dunia yang

370
I Gede Widhiana Suarda, 2012, Hukum Pidana: Materi Penghapus, Peringan, dan
Pemberat Pidana, Bayu Media Publishing, Malang, h. 11.
371
M. Ali Zaidan, 2015, Menuju Pembaruan Hukum Pidana, Cetakan Pertama, Sinar
Grafika, Bandung, h. 13.
240

sudah mulai mengurangi penggunaan jenis pidana ini. Hal ini menimbulkan

pertanyaan terkait apakah pemidanaan, terutama pemenjaraan tersebut efektif.

M. Ali Zaidan menyatakan bahwa, “Perampasan kemerdekaan pun harus dilihat

sebagai bentuk noodrecht atau hukum darurat sehingga penggunaannya harus

dihindarkan sehingga tidak menjurus kepada kelebihan kriminalisasi

(overcriminalization).372

Tujuan pemidanaan yang berlaku sekarang adalah variasi dari bentuk-

bentuk: penjeraan, yang ditujukan kepada pelanggar hukum sendiri maupun

kepada mereka yang memiliki potensi menjadi penjahat, perlindungan

masyarakat dari perbuaan jahat, perbaikan terhadap penjahat. Tujuan

pemidanaan yang paling modern dewasa ini adalah memperbaiki kondisi

pemenjaraan dan mencari alternatif yang lain yang bukan bersifat pidana dalam

membina pelanggar hukum. Alternatif yang lain yang bukan bersifat pidana

dalam membina pelanggar hukum menurut penulis dapat ditemukan dalam

sebuah alternatif penyelesaian kasus pidana melalui “mediasi penal”.373

Sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Masruchin Ruba’i tujuan

pemidanaan yang berlaku sekarang adalah variasi dari bentuk-bentuk: penjeraan,

perlindungan masyarakat dari perbuaan jahat, perbaikan terhadap penjahat,

namun dalam prakteknya masih dapat ditemukan pemidanaan yang

372
Ibid.
373
Mengenai filosofi pemidanaan tujuan pemidanaan yang paling tua adalah
pembalasan (revenge) yaitu untuk memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat maupun
pihak yang menjadi korban kejahatan. Tujuan pemidanaan yang juga dipandang kuno adalah
retribusi (retribution), yaitu melepaskan pelanggar hukum dari perbuatan jahat atau menciptakan
balance atau memperbaiki keseimbangan moral yang dirusak oleh kejahatan. Lihat, Andi
Hamzah, 2007, Pelajaran Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 16 dalam Ibid,
h. 129.
241

mencerminkan tujuan pemidanaan yang bersifat pembalasan atau teori

absolut/retributive/vergeldings.374 Teori pembalasan/retributif dalam pemidanaan

di Indonesia masih dirasakan dalam penyelesaian kasus-kasus tertentu, misalnya

penyelesaian kasus tindak pidana ringan yang diproses sampai ke tingkat

pengadilan. Pembalasan masih menjadi tujuan utama tanpa memperdulikan

aspek lain misalnya kesejahteraan masyarakat, kesalahan merupakan satu-

satunya syarat untuk adanya pidana, dan proses pemidanaan tidak mencerminkan

kemanfaatan yang tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau

memasyarakatkan.

Tujuan pemidanaan yang bersifat pembalasan atau retributif tentu tidak

tepat untuk diterapkan. Bahkan ada pandangan bahwa, “... teori retributive atau

teori pembalasan dalam hal pemidanaan merupakan “a relic of barbarism”.”375

Pemidanaan tentu harus selektif dengan memperhatikan kemanfaatan tidak hanya

374
Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa menurut teori absolut atau teori pembalasan
(retributive/vergeldings), pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan kejahatan.
Dasar pembenar terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu. Hegel berpendapat bahwa
pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan. Setiap kejahatan
harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, dan tanpa tawar menawar. Penjatuhan pidana
bertitik pangkal pada pembalasan yang diberikan oleh negara kepada penjahat. Siapa saja yang
berbuat jahat maka harus dibalas dengan memberikan pidana. Tidak melihat akibat-akibat apa saja
yang dapat timbul karena dijatuhkan pidana. Teori ini, yang dilihat hanyalah masa lalu, tidak
melihat akibat-sebab apa saja yang akan ditimbulkan karena adanya penjatuhan pidana, tidak
melihat masa yang akan datang bagi terpidana. Tujuan menjatuhkan pidana untuk menjadikan si
penjahat menderita. Teori retribution: a) Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan; b)
Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan
lain, c) Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana; d) Pidana harus
disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar; d) Pidana melihat kebelakang. Lihat, Muladi dan
Barda Nawawi Arief, Op.Cit, h. 10-12. Lihat juga Dwidja Priyatno, 2013, Sistem Pelaksanaan
Pidana Penjara di Indonesia, Cetakan Ketiga, PT. Refika Utama, Bandung, h.24 dan , E.Y. Kanter
dan S.R. Sianturi, Op.Cit, h. 59-60.
375
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit, h. 150 dalam M. Cherif Bassiouni, 1978,
Op.Cit, h. 86 dengan menunjuk B. Malinowski, 1964, Crime and Custom in Savag Society; dan E.
Hoebel, 1961, The Law of Primitive Man.
242

melihat kesalahan sebagai unsur dari penjatuhan pidana sebagaimana yang

dianut dalam teori retributive atau pembalasan.

Pemidanaan perlu menggunakan pendekatan yang rasional pada konsep

perlindungan masyarakat. J. Andenaes menyatakan bahwa:

Apabila orang mendasarkan hukum pidana pada konsepsi perlindungan


masyarakat/social defence, maka tugas selanjutnya adalah
mengembangkannya serasional mungkin. Hasil-hasil maksimum harus
dicapai dengan biaya yang minimum bagi masyarakat dan minimum
penderitaan bagi individu. Dalam tugas demikian, orang harus
mengandalkan pada hasil-hasil penelitian ilmiah mengenai sebab-sebab
kejahatan dan evektivitas dari bermacam-macam sanksi.376

Muladi dan Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa apa yang telah dikemukakan

oleh J. Andenaes tersebut menunjukkan bahwa pendekatan kebijakan yang

rasional berkaitan erat pula dengan pendekatan ekonomis dalam penggunaan

sanksi pidana.377

Pendekatan ekonomis dalam penggunaan sanksi pidana tidak hanya

mempertimbangkan antara biaya atau beban yang ditanggung oleh masyarakat

dengan hasil yang ingin dicapai, namun juga dalam arti mempertimbangkan

evektifitas dari sanksi pidana tersebut. Pidana hanya dapat dibenarkan jika ada

suatu kebutuhan yang berguna bagi masyarakat. Pidana yang tidak diperlukan

tidak dapat dibenarkan dan berbahaya bagi masyarakat. Terlebih bagi Indonesia

yang berlandaskan pada Pancasila dan garis kebijakan pembangunan nasionalnya

yang bertujuan membentuk manusia Indonesia seutuhnya. Apabila pidana

376
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit, h. 165.
377
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Loc.Cit.
243

digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan ini, maka harus diperhatikan dan

diperlukan pendekatan humanistis.378

Penggunaan pendekatan humanistis ini penting karena kejahatan itu pada

hakikatnya tidak hanya merupakan masalah kemanusiaan (human problem), tapi

juga karena hakikatnya pidana mengandung unsur penderitaan yang dapat

menyerang kepentingan atau nilai yang paling berharga bagi kehidupan manusia.

Pendekatan humanistis dalam penggunaan sanksi pidana tidak hanya berarti

bahwa pidana harus sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang beradab, namun

juga harus membangkitkan kesadaran si pelanggar akan nilai-nilai kemanusiaan

dan nilai-nilai pergaulan hidup bermasyarakat.379

Berbagai pendekatan seperti pendekatan ekonomis, pendekatan

humanistis, pendekatan nilai, serta berbagai pendekatan diperlukan untuk


380
mempertimbangkan penjatuhan pidana. Sudah selayaknya Indonesia

meninggalkan paradigma dalam teori retributive atau pembalasan dan beralih

mengembangkan tujuan yang lebih modern dalam pemidanaan, yakni adalah

memperbaiki kondisi pemenjaraan dan mencari alternatif yang lain yang bukan

bersifat pidana yang dapat diterapkan dalam kasus-kasus tertentu, salah satunya

dalam penyelesaian kasus tindak pidana ringan.

Sesuai dengan prinsip ultimum remedium, pidana bukan lagi digunakan

sebagai sarana utama dalam penanggulangan kejahatan. Hal ini kemudian

378
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit, h. 167.
379
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Loc.Cit.
380
Menurut Bassiouni bahwa disiplin hukum pidana bukan hanya pragmatis namun juga
suatu disiplin yang berdasar dan berorientasi pada nilai. Dalam melakukan kebijakan hukum
pidana diperlukan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan yang bersifat pragmatis dan
berorientasi pada nilai. Lihat Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit, h. 166-167.
244

direalisasikan dalam tujuan pemidanaan yang semakin menarik untuk dikaji saat

ini yakni restorative (keadilan restoratif/restorative juctice). Restorative juctice

merupakan bentuk dari tujuan yang lebih modern dalam pemidanaan yakni sebuah

alternatif dalam penyelesaian kasus pidana dengan berorientasi pada

“pemulihan/perbaikan”, bukan “pembalasan, memberi penderitaan, mempidana”

sebagaimana yang dianut dalam teori retributive.381

Restorative juctice telah digunakan dan berkembang di berbagai negara

di dunia. Restorative juctice juga sesuai dengan budaya bangsa Indonesia yang

senantiasa mendambakan kedamaian, keseimbangan, dan keharmonisan, sehingga

tepat untuk diterapkan. Penyelesaian perkara pidana dalam kasus-kasus tertentu

misalnya penyelesaian tindak pidana ringan seharusnya dialternatifkan (tidak

melalui jalur litigasi) melalui restorative justice salah satunya dalam bentuk

mediasi penal.

Topo Santoso menyatakan bahwa pertanyaan terkait hukuman bagi

pelaku tindak pidana yang terkadang sangat ringan tetapi mendapat hukuman

penjara sungguh menyinggung perasaan keadilan masyarakat. 382 M. Ali Zaidan

juga menyatakan bahwa pada tindak pidana ringan, penjatuhan sanksi pidana

perampasan kemerdekaan sejauh mungkin dihindarkan. 383 Seharusnya, hal ini

dijawab dengan mengembangkan restorative juctice.384

381
Teori retributive atau pembalasan lebih memprioritaskan pada penjatuhan hukuman
kepada pelaku kejahatan tanpa memperhatikan pemulihan pihak yang dirugikan. Hal inilah yang
menyebabkan bahwa teori ini tidak mampu memberikan rasa keadilan bagi semua pihak.
382
Topo Santoso, 2012, “Suatu Tinjauan Atas Efektivitas Pemidanaan” dalam Agustinus
Pohan, Topo Santoso, dan Martin Moerings (ed), Hukum Pidana Dalam Perspektif, Pustaka
Larasan, Denpasar Bali, (Selanjutnya disebut Topo Santoso II), h. 221.
383
M. Ali Zaidan, Op.Cit, h. 72.
384
Topo Santoso II, Loc.Cit.
245

Ketika terjadinya sebuah kejahatan maka tentu pihak korban yang paling

merasa dirugikan atau yang paling menderita, pihak masyarakat pun mengalami

kerugian karena dengan terjadinya kejahatan maka keseimbangan dalam

masyarakat akan terganggu. Pihak pelakupun dapat mengalami penderitaan akibat

kejahatan yang dilakukannya (misalnya: merasa menyesal dan bersalah). Dampak

kejahatan sangat luas dan dapat dirasakan oleh semua pihak.

Yoachim Agus Tridiatno juga menyatakan bahwa dalam terjadinya

sebuah tindak pidana atau kejahatan maka korbanlah yang pertama-tama

menderita sebagai akibat dari tindak kejahatan tersebut.385 Korban menjadi pihak

yang paling dirugikan akibat kejahatan yang terjadi, yang secara langsung

menderita oleh karena kejahatan, dan dapat menderita secara fisik, mental atau

menderita kerugian materi atau immaterial. Korban dapat menderita kehilangan

materi, dalam bentuk uang atau harta kekayaan lainnya. Korban dapat pula

menderita kehilangan kehormatan karena diejek, dipermalukan, dilecehkan, atau


386
diperkosa. Pelaku kejahatan sebagai pihak yang melakukan kejahatan

bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukannya, dituntut untuk

bertanggungjawab atas tindakannya.387

Pelaku kejahatan juga menderita kerugian. Pelaku kejahatan yang

melakukan kejahatan akan mengalami kemerosotan mental. Ia kehilangan daya

kontrol diri dan kemampuannya untuk mengikuti hati nuraninya. Ia menyerah

pada godaan-godaan buruk, dan kehilangan kemampuan diri untuk memilih yang

385
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 27.
386
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 34.
387
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 27.
246

baik dan benar. Sebaliknya, ia justru memilih yang buruk dan salah. Pelaku

kejahatan kehilangan kehormatan dan martabatnya sebagai manusia. 388 Dalam hal

ini, dengan bertanggungjawab atas tindakannya maka martabat sebagai pribadi

dipulihkan. 389

Kehidupan bersama dan masyarakat juga dirugikan akibat adanya tindak

kejahatan. Tatanan hidup bersama menjadi kacau balau akibat terjadinya

kejahatan. Kewibawaan hukum dilecehkan oleh keberanian pelanggar hukum

yang telah melanggarnya. Kedamaian yang ada di dalam masyarakat hilang dan

diganti dengan ketakutan, kecemasan, saling curiga, dan perasaan tertekan.

Hubungan sosial antara warga masyarakat menjadi rusak oleh karena saling

menyalahkan satu sama lain atau dapat menimbulkan hilangnya rasa kepercayaan

dalam masyarakat. 390 Masyarakatpun harus dipulihkan karena kejahatan telah

merusak harmoni kehidupan dalam masyarakat.391

Kejahatan dapat merugikan korban, masyarakat, dan pelaku kejahatan.

Berdasarkan kondisi yang rusak inilah restorative justice bercita-cita ingin

memulihkan ketiga pihak tersebut. Dalam hal inilah restorative justice tidak

memusatkan diri untuk menghukum pelaku kejahatan, tetapi memulihkan semua

pihak yang dirugikan karena kejahatan.392

Sebagaimana yang telah diuraikan dalam bab II disertasi ini, sebagai

pendekatan pemecahan masalah restorative justice akan melibatkan semua pihak

yang berkepentingan (those who have a stake) untuk mengidentifikasi kerugian,


388
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 27.
389
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 27.
390
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 34.
391
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 27.
392
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 34.
247

kebutuhan dan kewajiban, untuk memulihkan dan mendapatkan hak-hak yang

mungkin diperoleh. Restorative justice memberikan keadilan dengan berpusat

pada kebutuhan korban, pelaku kejahatan, dan masyarakat. Restorative justice

melakukan perbaikan atau pemulihan terhadap korban, pelaku kejahatan, dan

masyarakat.

Saat ini kejahatan dimengerti tindakan yang melukai korban dan

keluarganya, serta merusak kondisi masyarakat.393 Luka itu harus dipulihkan agar

trauma yang dialami korban dapat disembuhkan, agar korban dan pelaku

kejahatan dipulihkan, dan agar perdamaian di dalam masyarakat dipulihkan

kembali.394

Restorative juctice dalam bentuk mediasi penal menjadi solusi yang tepat

untuk diterapkan di Indonesia. Sesuai dengan konsep restorative justice dapat

diketahui bahwa makna mediasi penal adalah pemulihan korban, masyarakat, dan

pelaku kejahatan yang rusak akibat kejahatan yang terjadi.

Proses mediasi penal dapat menjadi media atau sarana untuk memulihkan

dan memperbaiki kerusakan yang terjadi akibat kejahatan. Mediasi penal dalam

konsep restorative justice berupaya mengembalikan/memulihkan seperti keadaan

semula (restitutio in integrum), seperti sebelum terjadinya kejahatan. Mediasi

penal dalam konsep restorative justice akan memberikan atau mencapai

kedamaian, memulihkan dan menciptakan harmoni untuk mencapai keseimbangan

393
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 41, dalam Van Ness dalam Burt Galaway and
Joe Hudson, Restorative Justice: International Perspective, Monsey, New York: Criminal Justice
Press, h. 22-23.
394
Yoachim Agus Tridiatno, Loc.Cit.
248

dalam kehidupan masyarakat, dan mengembalikan atau memulihkan

kondisi/hubungan seperti keadaan semula.

3.4 Mediasi Penal Sebagai Pengalihan Proses

Mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana di luar

pengadilan dengan melibatkan mediator dalam hal ini dapat bermakna sebagai

“pengalihan”. Setiap perkara pidana pada umumnya diselesaikan melalui

peradilan pidana dalam sebuah Sistem Peradilan Pidana, namun melalui mediasi

penal penyelesaian perkara pidana akan dialihkan tidak lagi diproses melalui

peradilan pidana tetapi diselesaikan di luar pengadilan. Mediasi penal

mengalihkan penyelesaian perkara pidana dari Sistem Peradilan Pidana ke luar

Sistem Peradilan Pidana.

Prakteknya, perkara pidana tidak selalu diselesaikan melalui peradilan

pidana karena masyarakat juga memiliki mekanisme tersendiri dalam

menyelesaikan kasus yang terjadi. Secara teoritis negara wajib melakukan

penuntutan terhadap tindak pidana yang terjadi, namun beberapa kasus tidak

sampai diproses melalui peradilan pidana. Hal ini terkait dengan budaya

masyarakat Indonesia yang lebih cenderung menggunakan musyawarah mufakat

dengan pendekatan kekeluargaan dalam menyelesaikan kasus. Alternatif lain yang

tepat digunakan adalah mediasi penal.

Apabila digambarkan dalam sebuah gambar, pengalihan proses

penyelesaian perkara pidana ini dapat dilihat dalam bagan 4 di bawah ini:
249

Bagan 4.
Alternatif/Pengalihan Proses Penyelesaian Perkara Pidana
Sub Sistem
Tindak Pidana
Peradilan Pidana
advokat

Sub Sistem Sub Sistem Sub Sistem Sub Sistem


Laporan, Peradilan Peradilan Peradilan Peradilan
pengaduan, Pidana Pidana Pidana Pidana
tertangkap
tangan
Kepolisian Kejaksaan Pengadilan Lembaga
Pemasyarakatan
alternatif

Kejaksaan

Ket:
: alur/tahapan
: proses tidak berlanjut
Kepolisian MEDIASI PENAL
: dialihkan

Berdasarkan bagan 4 mengenai alternatif/pengalihan----


proses penyelesaian
: koordinasi/kerjasama

perkara pidana dapat diketahui bahwa proses peradilan pidana dapat dialihkan

melalui melalui mediasi penal. Mekanisme atau tahapan dalam mediasi penal

tentu lebih sederhana, dengan waktu yang tidak lama dan biaya yang relatif tidak

mahal. Mekanisme ini akan dibahas lebih lanjut dalam Bab V disertasi ini

mengenai kontruksi mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana ringan.

Mediasi penal merupakan sebuah terobosan dalam penegakan hukum

yang perlu dikedepankan dalam penyelesaian kasus-kasus tertentu. Memang

pemidaanaan merupakan hal yang krusial, namun untuk kasus-kasus tertentu

(tindak pidana ringan) hal ini seharusnya dapat dialternatifkan dengan

mengalihkan proses penyelesaian perkara pidana dari pengadilan ke luar

pengadilan.
250

3.5 Mediasi Penal Bermakna Memberikan Keadilan dan Kemanfaatan


Bagi Semua Pihak

Mediasi penal dapat memberikan keadilan karena prinsip dasar dari

mediasi penal adalah konsensus atau kesepakatan para pihak yang berperkara.

Kesepakatan yang diambil tentu berdasarkan keputusan para pihak. Mediasi

penal mengakomodir keinginan, kebutuhan, dan tuntutan para pihak sehingga

keadilan bersama dapat diraih.

Fenomena yang terjadi bahwa hukum masih bersifat diskriminatif

terutama bagi masyarakat kecil (miskin, termarginalkan, kesulitan akses

keadilan). Mediasi penal dapat menjadi media dalam memberikan keadilan yang

sifatnya pengayoman bagi masyarakat kecil tersebut. Inilah yang menjadi

kebutuhan hukum masyarakat Indonesia saat ini.

Berkaca dari idiologi bangsa Indonesia yakni Pancasila bahwa hukum

hendaknya mampu memberikan keadilan bagi seluruh masyarakat sebagaimana

yang diamanatkan dalam sila ke-lima Pancasila yaitu, “Keadilan sosial bagi

seluruh bangsa Indonesia”. Rakyat kecil (the poor) yang sangat rentan

diperlakukan tidak adil perlu diberikan sebuah perlindungan hukum dan keadilan,

inilah yang menjadi tugas dari negara untuk mengayomi dan melindungi warga

negaranya.

Keadilan yang bersifat mengayomi diibaratkan seperti lambang pohon

beringin. J.E. Sahetapy menyatakan bahwa pohon beringin pengayoman harus

menjadi lambang hukum dan keadilan bagi semua rakyat, tidak hanya bagi yang

kaya, yang berstatus sosial tinggi, tidak hanya bagi yang berkuasa, tetapi terutama

bagi yang tertindas, yang buta hukum, yang lemah ekonominya. Lambang pohon
251

beringin pengayoman harus menjadi sumber keteduhan yang penuh kearifan dan

sumber hikmat dan kebijaksanaan. 395 Mediasi penal diharapkan dapat menjadi

media pengayoman/sarana untuk seluruh masyarakat terutama untuk rakyat kecil

(the poor). Tidak hanya bagi masyarakat miskin, tetapi juga berlaku bagi

masyarakat yang termaginalkan dan kesulitan akses untuk mendapatkan keadilan.

Mengenai keadilan yang bersifat pengayoman Bahder Johan Nasution

menyatakan bahwa:

...konsep keadilan harus diterjemahkan dalam hubungannya dengan


pancasila, kemudian baru dikaitkan dengan kepentingan bangsa Indonesia
sebagai bangsa yang harus merasakan keadilan itu. Oleh karena itu, dalam
kaitannya dengan pengaturan hukum menurut konsep keadilan pancasila,
pengaturan tersebut dilakukan melalui pengaturan hukum yang sifatnya
mengayomi bangsa, yakni melindungi manusia secara pasif (negatif) dengan
mencegah tindakan sewenang-wenang, dan secara aktif (positif) dengan
menciptakan kondisi kemasyarakatan yang manusiawi yang memungkinkan
proses kemasyarakatan berlangsung secara wajar, sehingga secara adil tiap
manusia memperoleh kesempatan yang luas untuk mengembangkan seluruh
potensi kemanusiaannya secara utuh. Pengayoman dalam hal ini berarti rasa
keadilan yang ada pada nurani manusia Indonesia harus terpenuhi.396

Pengaturan hukum harus memberikan pengayoman bagi bangsanya. Pengaturan

hukum perlu dilakukan sebagai wadah dalam memberikan keadilan yang bersifat

pengayoman. Berkaitan dengan kepastian hukum, mediasi penal perlu diatur

untuk memperkuat kedudukannya sebagai sarana pengayoman bagi masyarakat.

Fenomena diskriminatif yang terjadi dalam penyelesaian perkara pidana

juga dapat dianalisis berdasarkan teori keadilan dari John Rawls. Dalam praktik

penegakan hukum di Indonesia, kesenjangan ekonomi dan status sosial masih

menjadi permasalahan terkait dengan pemenuhan keadilan. Kelompok

395
J.E. Sahetapy, 2009, Runtuhnya Etik Hukum, cetakan pertama, Kompas, Jakarta, h.
137-139.
396
Bahder Johan Nasution, Op.Cit, h. 112-113.
252

masyarakat yang lemah (ekonomi dan sosial) sangat rentan diperlakukan tidak

adil dan terjauh dari kadilan.

Sebagaimana yang telah diuraikan dalam landasan teoritis dalam

disertasi ini dapat diketahui bahwa dalam teori keadilan dari John Rawls terdapat

dua prinsip keadilan:

1. Setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling

luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang.

2. Ketimpangan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga :

a. memberi keuntungan bagi semua orang, dan

b. semua posisi jabatan terbuka bagi semua orang.

Teori keadilan dari John Rawls menunjukkan bahwa semua orang

memiliki hak yang sama untuk mendapatkan keadilan. Situasi perbedaan (sosial,

ekonomi) harus diatur sedemikian rupa sehingga menguntungkan golongan

masyarakat yang lemah. Prinsip pertama dan kedua dalam teori keadilan John

Rawls memiliki keterkaitan atau berhubungan diantara satu sama lainnya.

Prinsip pertama dalam teori keadilan dari John Rawls menunjukkan

bahwa semua orang berhak mendapatkan keadilan dan prinsip kedua

memberikan solusi untuk mencapai keadilan karena perbedaan sosial dan

ekonomi. Hak, kesempatan, kekayaan, kebebasan, dan lain sebagainya, pada

dasarnya dibagikan atau didistribusikan secara sama. Sama dalam artian ini

bahwa pembagian tersebut harus menguntungkan golongan masyarakat yang

lemah, sehingga golongan ini memiliki kesempatan atau peluang yang sama

dengan golongan yang lainnya dalam mencapai keadilan.


253

Perbedaan ekonomi, sosial, politik, budaya, dan lain sebagainya tidak

dapat menjadi dasar untuk tidak memperoleh keadilan, karena keadilan adalah

hak semua orang. Ketika terjadi perbedaan sosial, ekonomi, dan lain sebagainya

sehingga golongan ini menjadi golongan yang lemah dan rentan diperlakukan

tidak adil, maka perlu dilakukan pemerataan kesempatan mendapatkan keadilan

(kesempatan yang adil). Masyarakat kecil (miskin, termarginalkan, kesulitan

akses keadilan) yang berbeda secara ekonomi, sosial, dan lain sebagainya

disejajarkan dahulu kedudukannya sehingga dapat membuka peluang atau

kesempatan untuk mendapatkan keadilan. Golongan yang lemah ini menjadi

prioritas dalam mencapai keadilan.

Konsep keadilan yang bersifat pengayoman sangat relevan dengan teori

keadilan dari John Rawls sehingga masyarakat kecil yang kerap mendapat

diskriminasi dapat memperoleh kesempatan yang sama untuk mendapatkan

keadilan. Mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana dengan

sifatnya yang informal tentu dapat memberikan akses atau kesempatan yang

sama dalam memperoleh keadilan.

Tidak hanya permasalahan diskriminatif. Selama ini dalam praktik

penegakan hukum di Indonesia menunjukkan bahwa seringkali ketidakadilan

terjadi karena hanya menegakkan keadilan prosedural tanpa memperhatikan

keadilan substansial. Keadilan yang dibutuhkan masyarakat adalah hasil yang

adil (keadilan substansial). Adakalanya prosedur (dalam keadilan prosedural)

memiliki posisi yang penting sebagai sarana untuk mencapai keadilan, namun
254

prosedur formal dalam peradilan tidak selalu dapat menjamin memberikan

keadilan. Keadilan prosedural tidak selalu dapat memberikan keadilan.

Keadilan substansial mengacu pada hasil yang adil (just outcome). 397

Mediasi penal dapat memberikan keadilan substansial karena mediasi penal

dilakukan dengan pendekatan konsensus melalui musyawarah mufakat dengan

pendekatan kekeluargaan. Para pihak akan mengajukan segala permasalahan,

kebutuhan, kerugian, dan tuntutannya, untuk didiskusikan dengan melibatkan

mediator. Hasil keputusan yang diperoleh melalui pendekatan konsensus akan

memberikan keadilan karena diputuskan secara bersama-sama.

Terdapat banyak teori yang mengkaji mengenai keadilan. Sebagaimana

yang telah diuraikan dalam landasan teoritis dalam disertasi ini dapat diketahui

bahwa keadilan yang sesuai dengan rasa keadilan bangsa Indonesia adalah

keadilan Pancasila. Pancasila sebagai rechstidee, bintang pemandu, falsafah

bangsa, dasar negara Indonesia, tentu dapat menjadi pedoman dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara, serta dalam kehidupan sehari-hari, begitu pula dalam

hal mencapai keadilan.

Pancasila telah memuat tentang “keadilan” sebagaimana tercantum

dalam sila kedua dan sila ke lima Pancasila, yakni Kemanusiaan yang adil dan

beradab dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tidak hanya sila

kedua dan kelima Pancasila yang harus diperhatikan dalam mencapai keadilan.

397
Munir Fuady, Loc.Cit.
255

Sebagaimana yang telah diuraikan pada landasan teoritis dalam disertasi

ini, melalui sistem filsafat keadilan Pancasila akan mencakup semua sila yang

menunjukkan keselarasan, kesatuan dan keseimbangan:

1) Keadilan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

2) Keadilan berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab.

3) Keadilan berdasarkan Persatuan Indonesia.

4) Keadilan berdasarkan pada kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan

5) Keadilan berdasarkan pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Berdasarkan hal ini, keadilan mencakup kelima sila Pancasila sehingga dapat

memberi keadilan bagi semua pihak.

Keadilan adalah hak setiap orang dan merupakan kewajiban negara untuk

memberikan keadilan kepada warga negaranya. Negara dalam konteks ini dapat

menyediakan sarana melalui mediasi penal. Negara wajib mengayomi dan

memberikan perlindungan warganegaranya, sesuai dengan konsep negara hukum

materiil.

Negara Indonesia menganut negara hukum dalam artian materiil yang

dikenal dengan istilah welfare state atau negara kesejahteraan/negara

kemakmuran/negara hukum materiil (dinamis), yang termasuk ke dalam negara

hukum modern. Dalam hal ini, pencapaian keadilan sosial (sociale gerechtigheid)

menjadi hal yang sangat penting dan jika perlu negara boleh bertindak di luar

hukum untuk dapat mencapai keadilan sosial. Negara bertanggungjawab atas


256

kesejahteraan rakyat. Pemerintah harus aktif melakukan upaya-upaya untuk

mencapai kesejahteraan masyarakat.

Negara pada konteks negara hukum materiil memiliki kewajiban untuk

memberikan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh warga negaranya.

Negara harus bersikap aktif untuk mencapai hal tersebut. Dalam penegakan

hukum, negara juga wajib memberikan keadilan sosial. Salah satunya adalah

mengatasi diskriminasi dengan memberikan sarana atau kesempatan memperoleh

keadilan untuk semua orang. Dalam mengatasi berbagai permasalahan dalam

Sistem Peradilan Pidana dan untuk keadilan sosial, negara memerlukan alternatif

dalam penyelesaian perkara pidana melalui mediasi penal.

Sebagai upaya mencapai kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh

rakyat Indonesia, negara dapat menyediakan sarana berupa mediasi penal untuk

menyelesaikan perkara pidana (dalam kasus-kasus tertentu). Hal pertama yang

perlu dilakukan adalah menyediakan dasar hukum yang kuat yang mengatur

mengenai mediasi penal, sehingga dapat diterapkan secara efektif.

Sebagaimana yang telah diuraikan dalam landasan teoritis dalam disertasi

ini, terkait dengan konsep negara hukum juga berlaku konsep negara hukum

Pancasila, karena Pancasila menjadi dasar pokok dan sumber hukum di Indonesia.

Negara Hukum Pancasila bertitik pangkal dari asas kekeluargaan dan kerukunan

sebagai dua asas yang terpadu. Sebagaimana dalam negara hukum Pancasila yang

memiliki prinsip asas kekeluargaan dan kerukunan, mediasi penal tentu sesuai

dengan konteks negara hukum Pancasila. Mediasi penal merupakan sebuah


257

representatif dari adanya negara hukum di Indonesia, sehingga mediasi penal

tepat untuk diterapkan di Indonesia.

Terkait dengan negara hukum di Indonesia khususnya Negara Hukum

Pancasila perlu dipahami mengenai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan

Pancasila (P4) atau Ekaprasetya Pancakarsa yang merupakan sebuah panduan

tentang pengamalan Pancasila dalam kehidupan bernegara semasa Orde Baru.

Panduan P4 yang dibentuk dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Nomor: II/MPR/1978 walaupun telah dicabut dengan Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Nomor: XVIII/MPR/1998 dan termasuk dalam

kelompok Ketetapan MPR yang sudah bersifat final atau selesai dilaksanakan

menurut Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor: I/MPR/2003, namun nilai-nilai

yang terkandung dalam Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4)

atau Ekaprasetya Pancakarsa masih sangat relevan menjadi pijakan pengamalan

Pancasila dalam negara hukum di Indonesia atau dalam kehidupan bernegara dan

bermasyarakat.

Mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana yang

dilandasi semangat kekeluargaan dan pemusyawaratan sangat terkait dengan sila

ke empat Pancasila yang dalam P4 atau Ekaprasetya Pancakarsa dijabarkan

menjadi 10 butir pengamalan Pancasila:

1. Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia

mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama.

2. Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.


258

3. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk

kepentingan bersama.

4. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat

kekeluargaan.

5. Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai

sebagai hasil musyawarah.

6. Dengan iktikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan

melaksanakan hasil keputusan musyawarah.

7. Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas

kepentingan pribadi dan golongan.

8. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani

yang luhur.

9. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara

moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan

martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan

persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.

10. Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk

melaksanakan pemusyawaratan.

Butir-butir pengalaman Pancasila dalam sila ke-empat Pancasila ini dapat menjadi

dasar pijakan bagi mediasi penal di Indonesia.

Tidak hanya memberi keadilan kepada semua pihak, namun mediasi

penal juga memberi kemanfaatan bagi semua pihak. Mediasi penal dalam perkara
259

pidana memiliki banyak manfaat. Manfaat atau urgensi atau alasan pembenar

mediasi penal diantaranya adalah:

1) Lebih cepat, sederhana, dan biaya lebih murah

Proses penyelesaian kasus secara litigasi tentu memerlukan waktu yang

lama, dengan prosedur yang panjang, kaku dan rumit, serta mengeluarkan biaya

yang besar. Dapat dikatakan bahwa penyelesaian perkara pidana melalui litigasi

akan melewati serangkaian peradilan pidana yang sangat panjang. Hal ini tentu

merugikan para pihak yang berperkara. Mediasi penal sebagai alternatif

penyelesaian kasus pidana merupakan penyelesaian kasus secara informal, tanpa

melalui proses atau prosedur peradilan pidana yang panjang, sehingga dapat

memberikan efisiensi penyelesaian kasus. Mediasi penal merupakan proses

penyelesaian kasus yang sederhana, dan dapat menghemat waktu, serta biaya.398

Mediasi penal dengan sifatnya yang informal dan fleksibel juga

memudahkan para pihak. Dalam hal ini, para pihak dengan bantuan mediator juga

dapat mengatur waktu pertemuan, tempat pertemuan, prosedur/tata

cara/mekanisme, dan segala hal yang menyangkut proses mediasi penal.

Prosesnya yang informal dapat diupayakan untuk menyederhanakan penyelesaian

kasus.

Mediasi penal menguntungkan pihak yang berperkara karena efektifitas

dan efisiensi yang dapat dicapai dalam proses penyelesaiannya, serta memberikan

efisiensi dalam pengembalian kerugian kepada korban kejahatan. Mediasi penal

398
DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur menyatakan bahwa mediasi penal merupakan
salah satu proses penyelesaian sengketa yang cepat, murah, dan sederhana. Lihat, DS. Dewi dan
Fatahillah A. Syukur, Op.Cit, h. 89.
260

memberikan proses penyelesaian perkara pidana yang cepat, sederhana, dan biaya

lebih ringan sebagaimana asas trilogi peradilan.

2) Memulihkan hubungan antara pihak korban dengan pelaku, serta pihak


yang terkait (keluarga/masyarakat)

Dampak dari kejahatan adalah rusaknya hubungan serta keseimbangan

yang ada. Dampak terutama dirasakan bagi korban dan juga pihak lain seperti

keluarga korban, masyarakat, atau pihak lainnya yang terkait. Dampak kejahatan

juga dirasakan bagi pelaku. Proses mediasi akan akan memulihkan hubungan

antara pihak korban dengan pelaku, serta pihak yang terkait (keluarga/masyarakat)

yang rusak atau terganggu akibat terjadinya kejahatan.

Menurut DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur sifat dasar mediasi penal

adalah sama dengan mekanisme musyawarah. 399 Mediasi penal dalam konteks

musyawarah ini memberikan ruang dan kesempatan kepada para pihak untuk

berpartisipasi, berkomunikasi untuk memecahkan permasalahan dengan bantuan

mediator. Komunikasi dalam artian ini bahwa pihak korban dapat menyampaikan

segala permasalahannya, apa yang dirasakan (perasaannya), apa keinginannya,

kerugian, kebutuhan, dan tuntutannya. Pelaku dalam proses ini juga dapat

mengutarakan pengakuan dan permohonan maaf kepada korban/pihak yang

dirugikan, serta membicarakan proses ganti rugi/restitusi/kompensasi yang akan

diberikan. Komunikasi dalam sebuah perundingan menjadi hal yang penting

399
Lihat, DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Loc.Cit.
261

karena menentukan keputusan/kesepakatan yang diambil untuk menjamin

keadilan bagi semua pihak yang terkait.400

Permohonan maaf dari pelaku juga menjadi sangat penting. Tidak hanya

bagi korban, permintaan maaf dari pelaku juga dapat memberi manfaat bagi

pelaku itu sendiri untuk mengurangi rasa bersalah dari tindak pidana yang

dilakukannya. Hubungan antara pihak korban dengan pelaku, serta pihak yang

terkait (keluarga/masyarakat) yang awalnya rusak akibat tindak pidana atau

kejahatan yang dilakukan oleh pelaku akan pulih atau diperbaiki dalam proses

mediasi. Penyelesaian perkara pidana melalui proses litigasi kerap menimbulkan

permasalahan baru. Hasil putusan pengadilanpun tidak serta merta dapat

menyelesaikan masalah dan memberikan keadilan, serta memberikan kedamaian

dalam diri korban.

Masalah tidak terhenti setelah penjatuhan putusan pengadilan, masalah

akan berkepanjangan, bahkan dapat menimbulkan permusuhan dan rasa kebencian

diantara pihak yang berperkara. Putusan pengadilan tidak serta merta dapat

memaafkan kesalahan pelaku kejahatan dan memberikan kedamaian dalam diri

korban. Sering terjadi bahwa ada upaya balas dendam kembali walaupun telah

diselesaikan melalui litigasi. Permusuhan dan rasa kebencianpun masih melekat

diantara para pihak. Mediasi penal dapat memberikan solusi dengan proses yang

dapat mengurangi atau menghilangkan rasa kebencian yang berlarut-larut,

400
Mediasi penal pada dasarnya memberikan ruang bagi para pihak yang berperkara
untuk menyelesaikan permasalahanya dengan bantuan mediator. Mediasi penal pada umumnya
memang diharapkan dapat mempertemukan para pihak secara langsung atau yang dikenal dengan
nama rekonsiliasi, namun perlu dipahami bahwa pertemuan bukanlah menjadi fokus utama dalam
mediasi. Poin penting dalam mediasi adalah menjalin komunikasi antar para pihak. Komunikasi
dapat dilakukan juga tanpa melalui proses pertemuan. Hal inilah yang menjadi tugas dan peranan
mediator.
262

sehingga tidak ada dendam atau permusuhan dikemudian hari. Mediasi penal

dapat memperbaiki hubungan dan pembinaan hubungan agar lebih baik untuk

dikemudian hari. Mediasi penal menciptakan kembali kehidupan dan hubungan

yang harmonis yang telah rusak akibat kejahatan.

3) Menempatkan posisi korban lebih kuat

Penyelesaian perkara pidana melalui litigasi cenderung melemahkan

kedudukan/posisi korban dalam memperoleh hak-hak dan perlindungan. Hal ini

dikarenakan sifat hukum pidana adalah hukum publik yang menganggap bahwa

kejahatan adalah permasalahan yang merugikan kepentingan umum dan negaralah

yang diwakili oleh kejaksaan yang melakukan penuntutan terhadap pelaku. Dapat

dikatakan bahwa peranan korban dalam hal ini diambil alih oleh negara. Korban

hanya berkedukan sebagai saksi.

Kedudukan korban kerap kurang diperhatikan dalam Sistem Peradilan

Pidana. Perhatian utama lebih ditujukan kepada pelaku untuk segera dapat

diproses dan dihukum. Korban hanya mendapat perhatian sekunder atau bukan

menjadi perhatian utama, padahal korban adalah pihak yang sangat dirugikan

akibat terjadinya tindak pidana. Korban seharusnya mendapat perhatian/prioritas

utama untuk segera dipulihkan, baik secara fisik, psikologis, material/dan lain-

lain. Kedudukan korban yang lemah dalam proses litigasi memungkinkan korban

mengalami penderitaan kembali/menambah penderitaan korban.

Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Howard Zehr dan Ali Gohar

yang telah diuraikan dalam bab kedua disertasi ini bahwa, “Yet victims often have

a number of specific needs from a justice process”. Hal ini menunjukkan bahwa
263

korban sering merasa diabaikan, atau bahkan mendapat perlakuan yang sewenang-

wenang oleh proses peradilan.

Martin Moerings juga menyebutkan bahwa perhatian selama ini terlalu

banyak dicurahkan kepada pelaku, tidak memperhatikan nasib korban. Penjatuhan

pidana penjara sebagai sanksi selama ini paling kecil peluangnya untuk memberi

kesempatan bagi pelaku untuk memulihkan atau mengganti kerugian yang diderita

korban. Kemungkinan mendapatkan kompensasi atau kerugian yang diderita

korban pada dasarnya telah ada dalam hukum pidana di Indonesia namun dalam

prakteknya peluang ini jarang dimanfaatkan karena tidak bekerja sama

sebagaimana yang diharapkan, karena hanya kerugian nyata (material) yang dapat

dituntut. Padahal, pada umumnya korban justru hendak menuntut kompensasi atas

kerugian immaterial.401

Mediasi penal bermanfaat untuk menempatkan posisi korban lebih kuat.

Mediasi penal memfokuskan perhatiannya pada pemulihan semua pihak yang

terkena dampak kejahatan, terutama bagi korban kejahatan. Mediasi penal

memberikan kedudukan yang penting bagi korban untuk segera dipulihkan atau

dikembalikan seperti keadaan semula sebelum kejahatan terjadi.

Korban dalam proses mediasi dapat berpartisipasi dan berperan aktif

dalam menyampaikan apa yang ia rasakan (perasaannya), penderitaannya,

kerugian, keinginan, tuntutan, serta kebutuhannya untuk segera dipenuhi. Pelaku

dalam hal ini akan bertanggung jawab melakukan ganti rugi, pelaku akan

merespon segala kebutuhan, keinginan, dan tuntutan korban. Mediasi penal akan

401
Martin Moerings, 2012, “Apakah Pidana Penjara Efektif” dalam Agustinus Pohan,
Topo Santoso, dan Martin Moerings (ed), Op.Cit, h. 226.
264

mendorong pelaku untuk bertanggung jawab. Pelaku dalam proses ini juga

memberi pengakuan dan meminta maaf kepada korban. Mediasi penal

memperkuat kedudukan korban untuk mendapatkan keadilan, pemenuhan hak-

haknya, serta pemulihan secara komprehensif.

4) Penghukuman lebih fleksibel

I Ketut Sudira menulis bahwa pelaku dan korban dapat mengajukan

restitusi yang ditawarkan, dirundingkan, dan disepakati bersama. 402 Mediasi penal

yang identik dengan kata “perdamaian” tidaklah lepas dari penghukuman.

Penghukuman tersebut bukanlah menjatuhkan pidana sebagaimana yang berlaku

pada Pasal 10 KUHP, namun penghukuman ini juga diberikan kepada pelaku,

namun dengan bentuk dan cara yang berbeda. Mediasi penal mendorong pelaku

untuk bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukannya yang pada umumnya

dapat berupa ganti rugi atau sering disebut dengan kompensasi/restitusi.

Pelaku kejahatan wajib memulihkan kerusakan yang timbul akibat

kejahatan. Pelaku kejahatan melalui proses mediasi penal akan mengakui bahwa

ia bersalah dan akan memperbaiki kesalahan dan bertanggungjawab atas

perbuatannya. Permintaan maaf kepada korban juga penting di lakukan dalam

proses ini.

Mediasi penal dilakukan dengan pendekatan konsensus. Permasalahan

akan didiskusikan dan diselesaikan secara musyawarah mufakat dengan

pendekatan kekeluargaan. Para pihak dengan dibantu seorang mediator akan

402
I Ketut Sudira, 2016, Mediasi Penal; Perkara Penelantaran Rumah Tangga, Cetakan
Pertama, UII Press, Yogyakarta, h, 8.
265

mendiskusikan/merundingkan penghukuman yang tepat yang harus diterima

pelaku atau tindakan apa saja yang harus dilakukan oleh pelaku untuk

memperbaiki atau memulihkan kerusakan atau dampak yang terjadi akibat

kejahatan yang dilakukannya.

Hukuman yang diberikan pada umumnya berupa ganti

rugi/kompensasi/restitusi, atau tindakan lainnya yang dapat

memulihkan/memperbaiki kerusakan/dampak kejahatan. Dapat dikatakan bahwa

hukuman dapat ditetapkan secara fleksibel yang tergantung pada kebutuhan,

keinginan, dan tuntutan korban kejahatan, sehingga dirasakan adil bagi semua

pihak. Penghukuman dalam proses litigasi pada umumnya bersifat retributif (balas

dendam), tidak selalu mampu berhasil untuk membuat efek jera, dan memberikan

keadilan bagi korban. Mediasi penal akan menjatuhkan penghukuman yang

fleksibel untuk keadilan semua pihak.

5) Sistem Peradilan Pidana lebih efektif

Salah satu permasalahan dalam Sistem Peradilan Pidana adalah

banyaknya perkara yang masuk sehingga terjadi penumpukan perkara dan

kemacetan di lembaga pengadilan. Tentu tidak efektif dan efisien jika semua

tindak pidana diproses sampai ketingkat pengadilan. Banyaknya tindak pidana

yang terjadi dan keterbatasan SDM/penegak hukum di Indonesia tentu

menjadikan penyelenggaraan Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System)

tidak efektif. Penumpukan perkara tentu akan berpengaruh terhadap kinerja dari

para penegak hukum sebagai sub sistem peradilan pidana. Penumpukan perkara
266

dapat menghambat kinerja para penegak hukum untuk mencapai tujuan dalam

penanggulangan kejahatan.

Tindak pidana ringan yang diproses hingga sampai ke tingkat pengadilan

tentu akan menambah beban peradilan (penumpukan perkara). Seharusnya

terdapat selektifitas dengan mendayagunakan mediasi penal dalam penyelesaian

kasus-kasus tertentu.

Penumpukan perkara juga dapat mengakibatkan bertambahnya jumlah

narapidana di Lembaga Pemasyarakatan, karena perkara yang masuk harus

diproses melalui peradilan pidana dan apabila pidana yang dijatuhkan adalah

pidana penjara maka akan menambah beban Lembaga Pemasyarakatan. Kini,

hampir seluruh Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia mengalami over capacity

hal ini juga berdampak pada bertambahnya beban negara dalam pembiayaan

narapidana terkait dengan biaya makan, dan lain-lain.

Mediasi penal dapat membantu meringankan beban peradilan khususnya

dalam mengurangi penumpukan perkara karena perkara-perkara pidana yang

dapat diselesaikan melalui mediasi penal tidak perlu lagi diproses melalui

peradilan pidana. Mengingat masih banyak kasus serius lainnya yang harus

ditangani maka tidak efisien untuk menyelesaikan atau memaksakan perkara

ringan/tindak pidana ringan diselesaikan hingga ke tingkat pengadilan.

Penerapan mediasi penal juga dapat meringankan tugas penegak hukum.

Penegak hukum atau sub sistem peradilan pidana dapat fokus dan memproses

perkara pidana lainnya sehingga beban tugasnya menjadi proposional. Hal ini

dapat memaksimalkan fungsi sub sistem peradilan pidana dalam pelaksanaan


267

tugasnya, sehingga Sistem Peradilan Pidana lebih efektif. Mediasi penal dapat

mengurangi beban Lembaga Pemasyarakatan (mengurangi narapidana secara

kuantitas), dan mengurangi beban APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara) dalam pembiayaan narapidana. Mediasi penal dapat mengurangi beban

peradilan sehingga sistem peradilan pidana dapat bekerja lebih efektif.

6) Memberikan keadilan bagi semua pihak

Penyelesaian perkara pidana melalui mediasi penal menggunakan metode

musyawarah mufakat. Para pihak akan berkomunikasi menyelesaikan perkara

melalui bantuan mediator. Korban menyampaikan segala permasalahannya, apa

yang dirasakan (perasaannya), apa keinginannya, kerugian, kebutuhan, dan

tuntutannya yang timbul akibat kejahatan yang terjadi dan merugikan hidupnya.

Pelaku juga mengutarakan perhatiannya, perasaannya, pengakuan, dan

permohonan maaf kepada korban/pihak yang dirugikan, serta membicarakan

proses ganti rugi/restitusi yang akan diberikan.

Kesepakatan yang diperoleh dalam proses mediasi penal tentu

merupakan hasil keputusan bersama dengan mempertimbangkan keinginan,

kebutuhan, dan tuntutan para pihak, sehingga hasil kesepakatan tentu dapat

menjamin keadilan. Hal ini menunjukkan bahwa mediasi penal bersifat responsif

mengikuti keinginan dan kebutuhan semua pihak yang terkait. Mediasi penal

memberikan ruang untuk mendapatkan keadilan seluas-luasnya untuk para pihak.

Mediasi penal yang sifatnya konsensus dan sukarela memberikan arah

dalam mencapai kesepakatan yang memuaskan semua pihak dan dapat diterima

serta dijalankan oleh para pihak. Hasil kesepakatan akan menguntungkan semua
268

pihak (win win solution) dan memberikan keadilan bagi semua pihak karena

diputuskan bersama. Dapat dikatakan bahwa mediasi penal memberikan

penyelesaian perkara yang komprehensif.

I Ketut Sudira yang dikutip dari Chris Cunnen menyatakan bahwa

keadilan tertinggi yang hendak dicapai dalam mediasi penal adalah terjadinya

kesepakatan diantara para pihak yang terlibat, terutama bagi pelaku dan korban.

Kedua pihak tersebut diharapkan mencari dan mencapai solusi serta alternatif

yang terbaik untuk menyelesaikan perkara pidana yang terjadi. Pelaku dan korban

dapat mengajukan restitusi yang ditawarkan, dirundingkan, dan disepakati

bersama sehingga tercapai menang-menang (win-win).403

7) Mencegah penggunaan pemidanaan yang merugikan (labelisasi)

Pemberian label/cap merupakan salah satu bentuk reaksi masyarakat dari

sebuah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Pemberian label memiliki

dampak yang buruk bagi orang yang diberi label/cap.404

Yesmil Anwar dan Adang menyebutkan bahwa menurut teori labeling,

kejahatan terbentuk karena aturan-aturan lingkungan, sifat individualistik, serta

reaksi masyarakat terhadap kejahatan. Reaksi masyarakat terhadap suatu perilaku

dapat menimbulkan suatu perilaku jahat. Label atau cap yang sudah ada akan

diadopsi oleh penerima label dan mempengaruhi dirinya sehingga mengakui

403
Ibid.
404
Teori labeling dikenal dalam ilmu kriminologi. Menurut Howard S. Becker, kajian
terhadap teori labeling menekankan kepada dua aspek, yaitu: a) Menjelaskan tentang mengapa dan
bagaimana orang-orang tertentu diberi cap atau label. b) Pengaruh/efek dari label sebagai suatu
konsekuensi dari perbuatan yang telah dilakukannya. Lihat, Yesmil Anwar dan Adang, 2010,
Kriminologi, Cetakan pertama, PT. Refika Aditama, Bandung (Selanjutnya disebut Yesmil Anwar
dan Adang II), h. 108.
269
405
dengan sendirinya sebagaimana cap yang diberikan oleh si pengamat.

Berdasarkan hal ini dapat dikatakan bahwa pemberian label dapat menyebabkan

orang yang diberi label melakukan perilaku seperti apa yang dilabelkan padanya.

Dampak lain dari pemberian label adalah cap/label sebagai penjahat akan

melekat pada orang yang diberi label secara terus-menerus dan dalam waktu yang

lama, ketika terjadi kejahatan orang yang diberi label-lah yang akan dicurigai

melakukan kejahatan meskipun orang yang diberi label tidak melakukan

kejahatan lagi, orang yang diberi label merasa selalu diawasi, merasa dikucilkan,

merasa tidak disukai, dan tidak dipercaya oleh masyarakat.406 Orang yang diberi

label juga merasa tidak percaya diri dalam masyarakat. Secara psikologis

pemberian label dapat menimbulkan troma karena label/cap tersebut akan selalu

melekat pada penerima label dan mengingatkannya akan penyimpangan yang

pernah dilakukannya, penerima label akan stress atau depresi dan dalam jangka

waktu panjang tentu akan mempengaruhi kehidupannya/masa depannya.

Pelaku akan mendapatkan stigma atau labelisasi sebagai pelaku kejahatan

(kriminil) apabila suatu kasus tindak pidana ringan diproses hingga ke pengadilan.

Hal ini tentu sangat merugikan dalam jangka waktu yang lama terutama jika

melibatkan seorang anak dan akan menambah penderitaan jika pelaku sudah

lanjut usia. Mediasi penal dapat mencegah dan mengurangi dampak dari labeling.

405
Proses pemberian label adalah penyebab seseorang untuk menjadi jahat. Adanya label
akan menimbulkan perhatian masyarakat terhadap orang yang diberi label. Masyarakat akan
memperhatikan orang yang diberi label secara terus-menerus (terbentuk attachment partial).
Adanya label, mungkin diterima oleh individu tersebut dan berusaha untuk menjalankan
sebagaimana label yang diletakkan pada dirinya. Lihat, Ibid, h. 111.
406
Pemberian label memberikan dampak yang buruk bagi yang diberikan label/cap.
Lihat Indah Sri Utari, 2012, Aliran dan Teori Dalam Kriminologi, Cetakan Kedua, Thafa Media,
Yogyakarta, h. 110-112
270

Umbreit dan Coates telah melakukan penelitian tentang tingkat kepuasan

yang dirasakan korban dan pelaku yang menggunakan mediasi penal dalam

menyelesaikan perkara pidana yang terjadi. Menurut Umbreit dan Coates yang

dikutip dari DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur faktor-faktor mediasi penal yang

memuaskan penggunanya adalah sebagaimana terangkum dalam tabel berikut:407

Tabel 2
Kepuasan Pengguna Mediasi Penal

No Bagi Korban Bagi Pelaku

1. Kesempatan bertemu dengan pelaku Bertemu dengan korban dan


untuk memahami tindak kriminal mendapatkan kesempatan untuk
yang dilakukan dan situasi pelaku. didengar oleh korban.
2. Kesempatan untuk memastikan Terhindar dari penjara dan tidak
adanya restitusi memiliki catatan kriminal.
3. Mendapatkan curahan penyesalan Mendapatkan kesempatan untuk
dari pelaku. membuat restitusi yang terjangkau
menurut pelaku dan memperbaiki
kesalahan.
4. Mendapat perhatian dan perawatan
dari mediator.
Sumber: Umbreit dan Coates, 1992, “Victim-Offender Mediation: a Review of Research”

Marshall dan Merry yang dikutip dari DS. Dewi dan Fatahillah A.

Syukur juga menambahkan bahwa mediasi penal dapat membuat pelaku kejahatan

lebih bertanggung jawab daripada merasa terhina dan terpinggirkan ketika tindak

kriminal pelaku ditangani oleh sistem peradilan. 408 Menurut Mark Umbreit dan

Mearilysn Peterson Armour ada beberapa alasan yang mendorong korban untuk

memilih menggunakan mediasi penal yakni:

407
DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Op.Cit, h. 86.
408
DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Op.Cit, h. 87.
271

1. Untuk mendengar alasan pelaku melakukan tindakan kejahatan tersebut.

2. Untuk dapat berkomunikasi dengan pelaku tentang akibat dari perbuatannya.

3. Menolong pelaku apabila memungkinkan.

4. Memastikan pelaku untuk tidak mengulangi kejahatan yang sama.409

DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur menyebutkan bahwa:

Penelitian yang dilakukan oleh Umbreit menemukan bahwa mediasi penal


memberikan tingkat kepuasan yang tinggi dan adil bagi para pihak dan
menghasilkan lebih dari 90% kesepakatan yang sukses diraih untuk
mengompensasi korban. Penelitian lain yang dilakukan oleh Umbreit dan
Armour mencatat tingkat keberhasilan yang cukup tinggi, yaitu 40%-60% di
mana para pihak mengikuti proses mediasi penal.410

Data penelitian ini menunjukkan tingkat keberhasilan mediasi penal dalam

menyelesaikan perkara pidana, dan tingkat kepuasan yang tinggi dan adil juga

dirasakan bagi pengguna mediasi penal.

Van Ness dan Strong yang dikutip dari DS. Dewi dan Fatahillah A.

Syukur berpandangan bahwa mediasi penal memberikan manfaat yang besar bagi

pelaku dan korban. Manfaat tersebut diantaranya yaitu:

1. Korban bisa mengonfrontasi pelaku, mencurahkan perasaan, mengajukan


pertanyaan, dan memiliki peranan langsung dalam menentukan hukuman.
2. Pelaku diberikan kesempatan untuk bertanggungjawab terhadap
perbuatan yang dilakukan kepada korban dan memperbaikinya.
3. Korban dan pelaku berhadapan secara langsung sebagai orang, bukan
sebagai dua kubu yang saling bermusuhan tanpa wajah, yang membuat
mereka memahami perbuatan yang dilakukan, kondisi yang
melatarbelakangi, dan apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki
keadaan.411

Liebmann menyebutkan manfaat yang lebih rinci dari mediasi penal,

yang tidak hanya bermanfaat untuk korban dan pelaku, tetapi juga untuk

409
DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Loc.Cit.
410
DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Loc.Cit.
411
DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Op.Cit, h.87-88.
272

pengadilan dan masyarakat luas. Manfaat mediasi penal tersebut dapat dirasakan

bagi korban, pelaku, bagi pengadilan, dan bagi masyarakat sebagaimana yang

diuraikan di bawah ini:

Manfaat Bagi korban:


1. Mengenali dan mempelajari pelaku.
2. Mengajukan pertanyaan kepada pelaku.
3. Mencurahkan perasaan dan kebutuhan setelah kejahatan.
4. Menerima permintaan maaf dan/atau perbaikan ganti rugi.
5. Memberikan edukasi pada pelaku mengenai akibat dari perbuatannya.
6. Menyelesaikan konflik yang masih ada.
7. Menjadi bagian dari proses peradilan pidana.
8. Melupakan kejahatan yang terjadi.
Manfaat Bagi Pelaku:
1. Memiliki tanggungjawab atas kejahatan yang mereka lakukan.
2. Mengetahui akibat dari perbuatannya.
3. Meminta maaf atau menawarkan perbaikan/ganti rugi.
4. Instrospeksi diri.
Manfaat Bagi Pengadilan:
1. Mempelajari bagaimana hidup korban terpengaruh akibat kejahatan.
2. Membuat putusan yang lebih realistis.
Bagi Masyarakat:
1. Menerima permintaan maaf dan/atau perbaikan/ganti rugi dari pelaku.
2. Membantu reintegrasi korban dan pelaku.412

Setelah menelusuri makna mediasi penal dalam penyelesaian tindak

pidana ringan dengan kajian ontologi dan filosofisnya dapat diketahui bahwa

mediasi penal memiliki 5 (lima) makna yakni:

1. Mediasi penal adalah alternatif penyelesaian perkara pidana

2. Mediasi penal merupakan istilah mediasi dalam hukum pidana

3. Mediasi penal sebagai sarana pemulihan

4. Mediasi penal adalah pengalihan proses

5. Mediasi penal memberikan keadilan dan kemanfaatan bagi semua pihak.

412
DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Loc.Cit.
273

Mediasi penal adalah penyelesaian kasus tindak pidana ringan di luar

pengadilan dengan melibatkan mediator. Mediator sebagai pihak yang netral/tidak

memihak memiliki peran yang penting dalam proses mediasi penal dan sekaligus

menjadi pembeda dengan jenis alternatif penyelesaian sengketa/kasus lainnya.

Awalnya, mediasi kerap digunakan dalam menyelesaikan kasus-kasus di

bidang hukum perdata sebagai salah satu alternatif penyelesaian

sengketa/Alternative Dispute Resolution (ADR) dan berkembang dalam ranah

hukum pidana yang hingga saat ini dikenal dengan istilah mediasi penal. Mediasi

dalam bidang hukum perdata dengan hukum pidana memiliki perbedaan karena

memiliki sifat yang berbeda, hukum perdata bersifat privat dan hukum pidana

bersifat publik, sehingga perlu dibedakan penggunaan istilah dalam

penyebutannya. Mediasi penal merupakan istilah yang menunjukkan penggunaan

mediasi dalam penyelesaian kasus pidana.

Berbeda dengan penyelesaian perkara pidana melalui peradilan pidana

yang lebih memfokuskan perhatiannya untuk menghukum pelaku kejahatan,

mediasi penal memiliki makna sebagai pemulihan dengan memfokuskan pada

kepentingan semua pihak. Hal ini dikarenakan mediasi penal merupakan

penjelmaan dari keadilan restoratif (restorative justice) yang memberikan

keadilan dengan berpusat pada kebutuhan korban, pelaku kejahatan, dan

masyarakat. Mediasi penal dalam konteks perwujudan dari keadilan restoratif

melakukan perbaikan atau pemulihan terhadap korban, pelaku kejahatan, dan

masyarakat dengan mengembalikan posisi atau keadaan seperti keadaan semula

sebelum terjadinya kejahatan.


274

Mediasi penal juga bermakna sebagai pengalihan proses penyelesaian

perkara pidana dari pengadilan ke luar pengadilan dan dari Sistem Peradilan

Pidana ke luar dari Sistem Peradilan Pidana. Mediasi penal menawarkan sebuah

alternatif melalui proses informal di luar pengadilan dalam menyelesaikan perkara

pidana. Dalam hal ini para pihak yang menentukan pemilihan penggunaan

mediasi penal. Para pihak dengan bantuan mediator sebagai penegah akan

menghasilkan kesepakatan sebagai hasil dari proses penyelesaian perkara pidana.

Kesepakatan yang dihasilkan akan memberikan keadilan bagi semua

pihak, karena dibuat dan disetujui oleh semua pihak yang berperkara sehingga

mediasi penal dapat bermakna sebagai sarana yang memberikan keadilan bagi

semua pihak. Tidak hanya memberikan keadilan, mediasi penal juga memberikan

banyak kemanfaatan bagi semua pihak, diantaranya:

1. Lebih cepat, sederhana, dan biaya lebih murah

2. Memulihkan hubungan antara pihak korban dengan pelaku, serta pihak yang

terkait (keluarga/masyarakat)

3. Menempatkan posisi korban lebih kuat

4. Penghukuman lebih fleksibel

5. Sistem Peradilan Pidana lebih efektif

6. Memberikan keadilan bagi semua pihak

7. Mencegah penggunaan pemidanaan yang merugikan (labelisasi)

Makna utama mediasi penal menurut penulis adalah sebagai alternatif

penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan dengan melibatkan mediator.


275

BAB IV

DASAR HUKUM

MEDIASI PENAL DALAM TINDAK PIDANA RINGAN DI INDONESIA

(IUS CONTITUTUM)

Berdasarkan kajian penulis dapat diketahui bahwa telah terjadi

kekosongan norma/kekosongan hukum (recht vaccum) terkait mediasi penal

dalam penyelesaian kasus tindak pidana ringan di Indonesia, namun dalam

praktek dapat ditemukan dasar hukum yang digunakan dalam menerapkan

mediasi penal dalam penyelesaian kasus tindak pidana ringan di Indonesia.

Menarik untuk diteliti apakah dasar hukum yang digunakan tepat dan memiliki

kekuatan berlaku. Pertanyaan ini selanjutnya akan dikaji berdasarkan: 1)

ketentuan hukum yang berlaku, 2) kedudukan ketentuan hukum yang berlaku, dan

3) arti ketentuan hukum yang berlaku.413 Setelah diidentifikasi, diklasifikasi, dan

ditelusuri dapat ditemukan beberapa dasar hukum yang menjadi dasar dalam

413
1)Ketentuan hukum yang berlaku: ajaran sumber hukum: Pertama, ukuran yang
digunakan untuk menentukan apakah suatu ketentuan merupakan suatu ketentuan hukum atau
tidak. Kedua, ketentuan yang dapat diterapkan oleh pengadilan. Terdapat 3 (tiga) pengertian
sumber hukum yakni a. sumber hukum material (materi yang menentukan isi ketentuan hukum
yang berlaku, wujudnya adalah prinsip-prinsip; perundang-undangan dan kebiasaan, serta traktat,
b. sumber hukum formal (Peraturan Perundang-undangan dan kebiasaan menghasilkan peraturan
perundang-undangan, dan peraturan kebiasaan yang harus dipatuhi dalam kehidupan masyarakat,
dan juga diterapkan oleh Mahkamah dalam menyelesaikan sengketa), dan kumpulan ketentuan
hukum yang diterapkan untuk menyelesaikan sengketa.
2) Kedudukan Ketentuan Hukum yang Berlaku: a. hakikat ketentuan hukum tersebut
dan sistem Peraturan Perundang-undangan yang berlaku (meliputi prinsip hukum dan ketentuan
hukum biasa). b. Sistem Peraturan Perundang-undangan yang berlaku: hirarki Peraturan
Perundang-undangan.
3) Arti ketentuan hukum yang berlaku : terkait penafsiran. Lihat, Abdul Latif dan Hasbi
Ali, Op.Cit, Jakarta, h. 38-43.

275
276

penerapan mediasi penal dalam penyelesaian kasus tindak pidana ringan selama

ini di Indonesia diantaranya yakni:

4.1 Peraturan

a. Pasal 5 ayat (1) angka 4 dan Pasal 7 ayat (1) huruf j Undang-Undang RI
No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), serta Pasal
16 ayat (1) huruf l dan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun
2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia

Mediasi penal dalam prakteknya dapat dilakukan dengan menggunakan

diskresi kepolisian. KUHAP dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang

Kepolisian Republik Indonesia tidak memberikan definisi tentang diskresi.

Definisi Diskresi dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan

yang menyatakan bahwa, “Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang

ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi

persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal

peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak

lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan”.

Secara umum, diskresi adalah suatu kebijakan yang harus diambil oleh

penegak hukum karena situasi nyata dilapangan; Suatu kewenangan berupa

kebebasan bertindak dari pejabat Negara atau mengambil keputusan menurut

pendapat sendiri demi untuk melayani publik dengan penuh tanggung jawab.414

Menurut Pudi Rahardi bertindak demi kepentingan umum berdasarkan

414
M. Marwan dan Jimmy P., Op.Cit, h. 173.
277

penilaiannya sendiri bagi pejabat kepolisian merupakan “diskresi”. 415 Diskresi

kepolisian inilah dalam prakteknya yang dijadikan dasar pelaksanaan mediasi

penal dalam penyelesaian tindak pidana ringan di Indonesia.

Kewenangan diskresi kepolisian diatur dalam Pasal 5 ayat (1) angka 4

dan Pasal 7 ayat (1) huruf j Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1981 Tentang

Hukum Acara Pidana (KUHAP), serta Pasal 16 ayat (1) huruf l dan Pasal 18 ayat

(1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia.

Pasal 5 ayat (1) angka 4 KUHAP menyatakan bahwa:

(1) Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4:

a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang:

4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Mengenai penjelasan “tindakan lain” ini, Penjelasan dalam Pasal 5 ayat (1) angka

4 menyatakan bahwa:

Yang dimaksud dengan "tindakan lain" adalah tindakan dari penyelidik


untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat:
a) tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b) selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya
tindakan jabatan;
c) tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan
jabatannya;
d) atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa;
e) menghormati hak asasi manusia.

Diskresi juga diatur di dalam Pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP yang

menyatakan bahwa:

(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena

kewajibannya mempunyai wewenang :

415
Pudi Rahardi, 2014, Hukum Kepolisian Kemandirian Profesionalisme dan Reformasi
POLRI, Cetakan Pertama, Laksbang Grafika, Surabaya, h. 72.
278

j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf j Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1981 Tentang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa, “Lihat penjelasan Pasal 5

ayat (1) huruf a angka 4” yang menentukan bahwa:

Yang dimaksud dengan "tindakan lain" adalah tindakan dari penyelidik


untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat:
a) tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b) selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya
tindakan jabatan;
c) tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam
lingkungan jabatannya;
d) atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa;
e) menghormati hak asasi manusia.

Pasal 16 ayat (1) huruf l Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang

Kepolisian Republik Indonesia menyatakan bahwa:

(1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal

13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara indonesia berwenang

untuk :

j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Berdasarkan ketentuan pasal ini dapat diketahui bahwa diskresi merupakan

kewenangan kepolisian untuk melakukan tindakan lain menurut hukum yang

bertanggung jawab.

Diskresi juga diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

yang menyatakan bahwa:


279

(1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia

dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut

penilaiannya sendiri.

Berdasarkan ketentuan pasal ini, dapat diketahui bahwa diskresi dilakukan untuk

kepentingan umum.

UU Kepolisian RI hanya memberikan penjelasan di dalam Penjelasan

Pasal 18 ayat (1) UU Kepolisian RI menjelaskan bahwa, “Yang dimaksud dengan

“bertindak menurut penilaiannya sendiri” adalah suatu tindakan yang dapat

dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam

bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya dan

betul-betul untuk kepentingan umum”. KUHAP dan Undang-Undang No. 2

Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia memang tidak mengatur

mengenai pengertian diskresi, namun dari beberapa pasal yang mengatur

mengenai ketentuan diskresi dapat dipahami mengenai pengertian diskresi

kepolisian. Berdasarkan pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa diskresi

kepolisian adalah kewenangan yang dimiliki oleh Kepolisian RI dalam

menjalankan tugas dan wewenangnya untuk bertindak atau melakukan tindakan

lain berdasarkan penilaiannya sendiri menurut hukum yang bertanggung jawab

yang dilakukan demi kepentingan umum.

Diskresi kepolisian tidak serta merta selalu dapat dilakukan oleh

kepolisian. Terdapat batasan-batasan atau syarat-syarat yang harus dapat dipenuhi

untuk dapat menerapkan diskresi.


280

Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) angka 4 dan Pasal 7 ayat (1) huruf j

Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

serta Pasal 16 ayat (1) huruf l dan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun

2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia, dapat diketahui syarat atau batasan-

batasan diskresi yaitu:

a. Diskresi dilakukan untuk kepentingan umum.

b. Diskresi dilakukan menurut hukum yang bertanggung jawab.

c. Bertindak menurut penilaiannya sendiri dalam diskresi harus

mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-betul

untuk kepentingan umum.

d. Syarat dari tindakan lain dalam diskresi adalah:

a) tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

b) selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya

tindakan jabatan;

c) tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan

jabatannya;

d) atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa;

e) menghormati hak asasi manusia.

Ketentuan mengenai penerapan kewenangan diskresi ini memang sudah

diatur dalam Pasal 5 ayat (1) angka 4 dan Pasal 7 ayat (1) huruf j Undang-Undang

RI No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), serta Pasal 16

ayat (1) huruf l dan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang

Kepolisian Republik Indonesia tapi tidak diatur secara jelas mengenai dalam hal-
281

hal apa saja (secara lebih jelas dan kongkrit) polisi dapat melakukan diskresi.

Batasan-batasan atau syarat-syarat diskresi memang dapat ditentukan

sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, namun aturan ini masih kabur.

Pasal 5 ayat (1) angka 4 dan Pasal 7 ayat (1) huruf j Undang-Undang RI

No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengatur

mengenai apa saja tolak ukur hukum yang bertanggung jawab itu dan untuk

kepentingan umum yang bagaimanakah yang harus dicapai. Ketentuan ini masih

bersifat subyektif (berdasarkan penilaian sendiri) dan abstrak (demi kepentingan

umum) maka sangat dimungkinkan penyalahgunaan wewenang dan keragu-

raguan dalam menerapkan diskresi. Mengenai hal ini masih diperlukan kejelasan

mengingat penilaian setiap orang terhadap suatu hal akan berbeda, begitu pula

dalam penilaian bagaimana hukum yang bertanggung jawab serta kepentingan

umum tersebut, tentu juga akan berbeda diantara penegak hukum kepolisian ini.

Inilah yang menunjukkan kekaburan norma pengaturan diskresi.

Penerapan diskresi bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Seorang

polisi harus teliti serta melakukan petimbangan-pertimbangan yang sesuai, agar

nantinya tidak menyalahi hukum yang berlaku. Polisi memiliki tanggungjawab

yang sangat besar sebagai konsekuensi dari tindakan diskresi tersebut. Amir

Syamsudin mengatakan bahwa, “Para korban atau masyarakat lain secara umum

dapat meminta pertanggungjawaban aparat penegakan hukum sebagai pribadi

pejabat bila melakukan penyimpangan dalam proses penegakan hukum dan


282

bertindak sewenang-wenang (willkeur) yang melanggar hak-hak asasi warga

Negara”.416

Amir Syamsudin juga menyeutkan bahwa, “Pertanggungjawaban atas

penegakan hukum tingkat pidana dapat dimintakan kepada polisi/jaksa sebagai

pribadi pejabat sampai dengan jajaran di bawahnya yang melakukan penyelidikan,

penyidikan, dan penuntutan sebuah kasus secara ceroboh dan tidak

profesional”.417 Berdasarkan hal ini dapat dikatakan bahwa jika nantinya seorang

polisi salah dalam menerapkan kewenangan diskresi yang dimilikinya, petugas

polisi tersebut harus mempertanggungjawabkan tindakannya tersebut.

Pemberian diskresi ini disamping memberikan pengaruh positif sebagai

pelengkap dari hukum juga dapat memberikan pengaruh negatif jika nantinya

polisi salah dalam menggunakan kewenangan diskresinya. Pemberian dan

penggunaan kewenangan diskresi ini pada dasarnya bukan hal yang mudah dan

sederhana, karena didalamnya akan dijumpai konflik antara kepentingan hukum

dan kepentingan masyarakat.

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa mediasi penal

merupakan salah satu wujud pelaksanaan diskresi kepolisian, namun jika

dianalisis kewenangan diskresi kepolisian sifatnya masih sangat luas dan masih

sangat implisit atau tidak tegas mengatur tindakan-tindakan apa saja yang boleh

dilakukan diskresi. KUHAP dan UU Kepolisian tidak merumuskan ketentuan

mengenai mediasi penal atau tidak dijumpai/tidak ada istilah “mediasi penal

416
Amir Syamsuddin, 2008, Integritas Penegak Hukum; Hakim, Jaksa, Polisi, dan
Pengacara, Cetakan Pertama, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, h. 11.
417
Ibid.
283

dalam tindak pidana ringan”. Hal ini bergantung pada penafsiran, pertimbangan,

pandangan, dan keputusan polisi untuk menerapkan mediasi penal dalam tindak

pidana ringan dengan menggunakan kewenangan diskresi yang diberikan oleh

undang-undang, sehingga dipandang sebagai ketentuan yang implisit.

Kewenangan diskresi memberikan kewenangan yang sangat luas bagi

kepolisian untuk bertindak menurut penilaiannya sendiri berdasarkan kepentingan

umum dan menurut hukum yang bertanggung jawab, sehingga mediasi penal

menjadi sangat terbatas untuk dilakukan atau sangat tergantung pada pilihan

kepolisian untuk melakukan atau tidak melakukan mediasi penal melalui diskresi

dalam penyelesaian kasus tindak pidana ringan. Konsekuensi lainnya dari

pengaturan diskresi yang sangat luas tersebut dapat menimbulkan peluang

penyalahgunaan wewenang, sehingga polisi kerap takut atau ragu-ragu untuk

menggunakan kewenangan diskresi ini.

Ketentuan diskresi dalam KUHAP dan UU Kepolisian RI masih implisit

dan tidak mengatur secara tegas mengenai mediasi penal. Memang mediasi penal

dalam penyelesaian kasus tindak pidana ringan secara praktik dapat diterapkan

melalui kewenangan diskresi kepolisian, namun diskresi ini sifatnya terlalu luas

dan tidak tegas menyebutkan mediasi penal merupakan diskresi yang dapat

dilakukan kepolisian.

Perlu diketahui bahwa diskresi berbeda dengan mediasi penal, namun

memiliki keterkaitan. Diskresi pada umumnya dilakukan ketika tidak ada

peraturan yang dapat dijadikan dasar dalam bertindak sehingga kepolisian

melakukan tindakan lain berdasarkan penilaiannya sendiri. Diskresi adalah


284

kewenangan kepolisian dalam bertindak, sedangkan mediasi penal adalah

mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan. Mediasi penal belum

memiliki dasar hukum yang kuat, namun diperlukan dalam masyarakat sehingga

selama ini dilakukan berdasarkan diskresi kepolisian.

Pasal 5 ayat (1) angka 4 dan Pasal 7 ayat (1) huruf j Undang-Undang RI

No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), serta Pasal 16 ayat

(1) huruf l dan Pasal 18 ayat (1) UU Kepolisian RI yang mengatur mengenai

Diskresi Kepolisian, dikaji dari perspektif ius constitutum memang merupakan

ketentuan hukum yang berlaku. Ketentuan tersebut meskipun telah menjadi

ketentuan hukum yang berlaku namun belum cukup kuat menjadi dasar hukum

dalam menerapkan mediasi penal. Ketentuannya masih sangat luas, implisit,

sangat subjektif dan abstrak, atau dalam tataran kondisi norma masih kabur,

sehingga perlu diperkuat dengan mengatur mediasi penal dalam sebuah undang-

undang.

b) Surat Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol:


B/3022/XXI/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 perihal
Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR)

Mediasi penal dalam tindak pidana ringan pada dasarnya tidak diatur

dalam undang-undang, namun perihal penyelesaian kasus tindak pidana ringan

melalui Alternative Dispute Resolution (ADR) telah diatur dalam tataran dibawah

undang-undang yaitu berdasarkan Surat Kepolisian Negara Republik Indonesia

No. Pol : B/3022/XXI/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember 2009 tentang

Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR) (yang


285

selanjutnya disebut Surat Kapolri 2009). Surat Kapolri 2009 ini dalam praktek

dijadikan dasar dalam penerapan mediasi penal.

Surat Kapolri 2009 ini mengatur mengenai penerapan mediasi penal di

tingkat penyidikan (yang dalam konteks Surat Kapolri ini digunakan istilah

Alternative Dispute Resolution/ADR). Surat Kapolri 2009 ini pada dasarnya

menyatakan bahwa salah satu bentuk penyelesaian masalah dalam penerapan

Pemolisian Masyarakat (Polmas) adalah penerapan konsep Alternatif Dispute

Resolution (ADR), yaitu pola penyelesaian masalah sosial melalui jalur alternatif

selain proses hukum atau non litigasi antara lain melalui upaya perdamaian.

Ketentuan Surat Kapolri ini merupakan sebuah respon dari kondisi

penegakan hukum terkait penanganan tindak pidana ringan di Indonesia. Surat

Kapolri 2009 dalam hal ini menguraikan bahwa akhir-akhir ini banyak terjadi

proses penegakan hukum terhadap kasus tindak pidana dengan kerugian yang

sangat kecil menjadi sorotan media massa dan masyarakat, terkesan aparat

Criminal Justice System (CJS) terlalu kaku dalam penegakan hukum. Berkaitan

dengan hal tersebut, dapat mengambil langkah – langkah :

1. Mengupayakan penanganan kasus pidana yang mempunyai kerugian materi

kecil, penyelesaiannya dapat diarahkan melalui konsep Alternatif Dispute

Resolusion (ADR).

2. Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan Alternatif Dispute

Resolusion (ADR) harus disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara namun

apabila tidak terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai dengan prosedur

hukum yang berlaku secara profesional dan proporsional.


286

3. Penyelesaian kasus pidana yang menggunakan Alternatif Dispute Resolusion

(ADR) harus berprinsip pada musyawarah mufakat dan harus diketahui oleh

masyarakat sekitar dengan menyertakan RT/RW setempat.

4. Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan Alternatif Dispute

Resolusion (ADR) harus menghormati norma hukum sosial atau adat serta

memenuhi asas keadilan

5. Memberdayakan anggota Pemolisian Masyarakat (Polmas) dan memerankan

Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM) yang ada di wilayah masing-

masing untuk mampu mengidentifikasi kasus-kasus pidana yang mempunyai

kerugian materiil kecil dan memungkinkan untuk diselesaikan melalui konsep

Alternatif Dispute Resolusion (ADR).

6. Untuk kasus yang telah dapat diselesaikan melalui konsep Alternatif Dispute

Resolusion (ADR) agar tidak lagi disentuh oleh tindakan hukum lain yang

kontra produktif dengan tujuan Pemolisian Masyarakat (Polmas).

Surat Kapolri No. Pol : B/3022/XII/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember

2009 Tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolusion (ADR)

ini memberikan ruang dan dijadikan sebagai dasar oleh kepolisian untuk

melaksanakan mediasi penal. Surat Kapolri 2009 ini menjadi sebuah kebijakan

internal di kepolisian untuk mengarahkan penerapan konsep Alternatif Dispute

Resolution (ADR) di tingkat penyidikan sebagai alternatif penyelesaian kasus

tindak pidana ringan untuk diselesaikan secara non litigasi (di luar pengadilan)

melalui sebuah perdamaian. Hal ini searah dengan konsep mediasi penal dan

restorative justice.
287

Ketentuan Surat Kapolri No. Pol : B/3022/XII/2009/SDEOPS, tanggal 14

Desember 2009 Tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolusion

(ADR) jika dikritisi menggunakan istilah “ADR” dalam penyelesaian tindak

pidana ringan. Perlu dilakukan harmonisasi mengenai penggunaan istilah karena

ADR identik dengan penyelesaian perkara perdata, sedangkan mediasi penal telah

mencerminkan penyelesaian kasus/perkara pidana. ADR tentu berbeda jika

diterapkan dalam kasus pidana.

Surat Kapolri 2009 ini menunjukkan bahwa mediasi penal sudah mulai

diakui dan diarahkan penggunaannya di tingkat Kepolisian. Surat Kapolri ini jika

ditinjau dalam Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, berdasarkan khirarki peraturan perundang-

undangan belum merupakan peraturan perundang-undangan dan masih bersifat

peraturan kebijakan, sehingga belum memiliki kekuatan hukum yang kuat.

Secara ius constitutum, Surat Kapolri 2009 ini merupakan ketentuan

hukum yang berlaku dan arti atau isi dari ketentuan hukum tersebut juga dapat

diberlakukan, namun belum memiliki kekuatan hukum yang kuat berdasarkan

hierarki peraturan perundang-undangan, sehingga perlu diperkuat dengan

dibentuk dalam sebuah undang-undang.

c) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7


Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi
Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun

2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat

Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri (selanjutnya disebut Perkap Polmas 2008)


288

menjadi dasar dalam penyelenggaraan mediasi penal di Indonesia. Perkap Polmas

2008 ini telah mengatur mengenai mediasi yang dilakukan oleh Polmas dalam

penanganan perkara ringan/tindak pidana ringan di Indonesia.

Perkap Polmas 2008 dibentuk dengan pertimbangan untuk melaksanakan

tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam memelihara keamanan dan

ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan,

pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, diperlukan kemampuan anggota

Polri dalam menerapkan strategi Pemolisian masyarakat guna membangun

kemitraan dan kerja sama dengan mengikutsertakan masyarakat untuk menjaga

keamanan dan ketertiban di lingkungannya.418 Berdasarkan hal ini dapat diketahui

bahwa Perkap Polmas 2008 merupakan sebuah instrumen dalam pelaksanaan

Pemolisian masyarakat (Polmas).

Pasal 1 angka 2 Perkap Polmas 2008 menyatakan bahwa Pemolisian

Masyarakat (Community Policing) yang selanjutnya disingkat Polmas adalah

suatu kegiatan untuk mengajak masyarakat melalui kemitraan anggota Polri dan

masyarakat, sehingga mampu mendeteksi dan mengidentifikasi permasalahan

Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas) di lingkungan serta

menemukan pemecahan masalahnya. Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa

418
Lihat konsideran menimbang dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian
Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian
Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri ini merupakan perubahan dari Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan
Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri yang dianggap sudah
tidak relevan dengan perkembangan organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
perkembangan kehidupan masyarakat sehingga diganti dengan peraturan yang baru (Perkap 2015).
289

Polmas merupakan sebuah program kepolisian untuk mengikutsertakan atau

melibatkan peran masyarakat dalam pelaksanaan tugas Polri.

Polmas dengan melibatkan peran serta masyarakat akan mendeteksi dan

mengidentifikasi permasalahan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat

(Kamtibmas) di lingkungan serta menemukan pemecahan masalahnya. Salah satu

contoh pemecahan masalah yang dapat ditemukan dalam praktek adalah

penggunaan mediasi penal dalam penyelesaian kasus tindak pidana ringan.

Penggunaan mekanisme ini tentu melalui kesepakatan bersama.

Forum Kemitraan Polri dan Masyarakat (FKPM) adalah wahana

komunikasi antara Polri dan masyarakat yang dilaksanakan atas dasar kesepakatan

bersama dalam rangka membahas masalah Kamtibmas dan masalah-masalah

sosial yang perlu dipecahkan bersama guna menciptakan kondisi yang menunjang

kelancaran penyelenggaraan fungsi kepolisian dan peningkatan kualitas hidup

masyarakat. Forum ini tentu sangat berperan sebagai wadah komunikasi antara

Polri dan masyarakat.

Fungsi Polmas sebagaimana yang telah diatur pada Pasal 5 Perkap Polmas

2008 adalah:

a. mengajak masyarakat melalui kemitraan dalam rangka pemeliharaan


Kamtibmas;
b. membantu masyarakat mengatasi masalah sosial di lingkungannya dalam
rangka mencegah terjadinya gangguan Kamtibmas;
c. mendeteksi, mengidentifikasi, menganalisis, menetapkan prioritas
masalah, dan merumuskan pemecahan masalah Kamtibmas; dan
d. bersama masyarakat menerapkan hasil pemecahan masalah Kamtibmas.

Polmas memiliki strategi dan sasaran kerja. Salah satu strategi Polmas adalah
290

pemecahan masalah.419 Salah satu sasaran Polmas adalah kemampuan masyarakat

untuk mengidentifikasi akar permasalahan yang terjadi dilingkungannya, bekerja

sama dengan Polri untuk melakukan analisis dan memecahkan masalahnya.420

Pasal 9 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor

7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian

Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri menentukan pelaksanaan Polmas

meliputi 3 model yakni:

a. Model A, berupa pendayagunaan pranata sosial (tradisional dan modern).

b. Model B, berupa intensifikasi fungsi Polri di bidang pembinaan masyarakat.

c. Model C, berupa pengembangan konsep Polmas dari negara Jepang (Koban

dan Chuzaiso), Australia, New Zealand, dan Inggris (Neighbourhood Watch) di

Indonesia.

Model-model inilah yang digunakan dalam pelaksanaan Polmas di Indonesia.

Polisi yang bertugas sebagai pengemban Polmas bertugas salah satu

tugasnya adalah melakukan mediasi, hal sebagaimana diatur dalam Pasal 16 huruf

a Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008

Tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat

419
Pasal 6 Perkap 2015 Strategi Polmas dilaksanakan melalui: a. kemitraan dan kerja
sama dengan masyarakat atau komunitas; b. pemecahan masalah; c. pembinaan keamanan
swakarsa; d. penitipan eksistensi FKPM ke dalam pranata masyarakat tradisional; e. pendekatan
pelayanan Polri kepada masyarakat; f. bimbingan dan penyuluhan; g. patroli dialogis; h.
intensifikasi hubungan Polri dengan komunitas; i. koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis
kepolisian; dan j. kerja sama bidang Kamtibmas.
420
Sasaran Polmas meliputi: a. kepercayaan masyarakat/komunitas terhadap Polri; b.
kesadaran dan kepedulian masyarakat/komunitas terhadap potensi ancaman/gangguan keamanan,
ketertiban dan ketenteraman dilingkungannya; c. kemampuan masyarakat untuk mengidentifikasi
akar permasalahan yang terjadi dilingkungannya, bekerja sama dengan Polri untuk melakukan
analisis dan memecahkan masalahnya; d. kesadaran hukum masyarakat; e. partisipasi
masyarakat/komunitas dalam menciptakan kamtibmas di lingkungannya; dan f. gangguan
Kamtibmas di lingkungan masyarakat.
291

Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Dalam hal ini, Polmas berwenang

membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat atau komunitas

sebagaimana diatur dalam Pasal 17 huruf c Peraturan Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan

Implementasi Pemolisian Masyarakat.

Terkait pelaksanaan Polmas terdapat Bhabinkamtibmas (Bhayangkara

Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat) yang wajib menerapkan prinsip-

prinsip Polmas. Fungsi pokok Bhabinkamtibmas salah satunya adalah

melaksanakan konsultasi, mediasi, negosiasi, fasilitasi, motivasi kepada

masyarakat dalam Harkamtibmas (Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban

Masyarakat) dan pemecahan masalah kejahatan dan sosial sebagaimana diatur

dalam Pasal 26 huruf h Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi

Pemolisian Masyarakat.

Tugas pokok Bhabinkamtibmas dalam penyelesaian permasalahan dalam

hal ini terkait dengan wewenang Bhabinkamtibmas dalam penyelesaian atau

pemecahan masalah atau kasus yang terjadi sebagaimana yang dinyatakan dalam

Pasal 28 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor

7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian

Masyarakat bahwa:

Bhabinkamtibmas dalam melaksanakan kegiatan Polmas, berwenang untuk:


a. menyelesaikan perselisihan warga masyarakat atau komunitas;
b. mengambil langkah-langkah yang diperlukan sebagai tindak lanjut
kesepakatan FKPM dalam memelihara keamanan lingkungan;
c. mendatangi Tempat Kejadian Perkara (TKP) dan melakukan Tindakan
Pertama (TP) di TKP; dan
292

d. mengawasi aliran kepercayaan dalam masyarakat yang dapat


menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan
bangsa.

Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa Bhabinkamtibmas memiliki

peran dalam penyelesaian permasalahan atau kasus melalui mediasi dan memiliki

keterampilan dalam mediasi.

Pengaturan mengenai penyelesaian masalah oleh Bhabinkamtibmas/

Petugas Polmas ini dijelaskan lebih lanjut dalam lampiran C Panduan Pelaksanaan

Penyelesaian Perselisihan Warga Masyarakat/Komunitas dalam Peraturan Kepala

Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman

Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat. Panduan ini

menjelaskan mengenai panduan teknis Pelaksanaan Penyelesaian Perselisihan

Warga Masyarakat/Komunitas oleh Bhabinkamtibmas/ Petugas Polmas.

Panduan Pelaksanaan Penyelesaian Perselisihan Warga

Masyarakat/Komunitas dalam penyelesaian perkara ringan memuat beberapa hal:

a. Bhabinkamtibmas/petugas Polmas harus memperhatikan:

1. wajib menerima setiap laporan/ pengaduan masyarakat;

2. penerimaan laporan/pengaduan dilaksanakan dengan sikap yang sopan dan

ramah sehingga masyarakat merasa nyaman dan aman.

b. Dalam menangani perkara ringan yang terdiri dari beberapa pasal dalam

KUHP yaitu: Pasal 302 (penganiayaan ringan terhadap hewan), Pasal 352

(penganiayaan ringan terhadap manusia), Pasal 364 (pencurian ringan), Pasal

373 (penggelapan ringan), Pasal 379 (penipuan ringan), Pasal 482 (penadahan
293

ringan), dan Pasal 315 (penghinaan ringan), Bhabinkamtibmas/petugas

Polmas melakukan hal-hal sebagai berikut:

a. mencatat laporan/pengaduan masyarakat;

b. mendatangi TKP;

c. meminta keterangan kepada korban, saksi, dan pihak terkait lainnya

tentang perkara yang terjadi;

d. memberikan pandangan terhadap korban/pelapor apakah perkara akan

diteruskan kepada kepolisian atau diselesaikan secara kekeluargaan

(musyawarah mufakat);

e. apabila korban/pelapor menghendaki perkara diteruskan kepada

kepolisian, maka Bhabinkamtibmas/ petugas Polmas menyerahkan

penanganan perkara selanjutnya kepada Polsek;

f. apabila korban/pelapor menghendaki perkara diselesaikan secara

kekeluargaan, maka Bhabinkamtibmas/petugas Polmas melakukan:

1) menghubungi anggota FKPM atau nama/istilah lain untuk bersama-

sama menyelesaikan perkara dimaksud;

2) menentukan tempat dan tanggal waktu pertemuan dengan kedua

belah pihak yang berperkara;

3) mengadakan pertemuan dengan kedua belah pihak, anggota FKPM,

Bhabinkamtibmas/petugas Polmas, untuk menyelesaikan perkara;

4) Bhabinkamtibmas/petugas Polmas menfasilitasi dan memediasi

penyelesaian perkara tersebut;


294

5) Bhabinkamtibmas/petugas Polmas beserta anggota FKPM

memberikan pandangan, masukan, pendapat, saran kepada kedua

belah pihak berperkara untuk penyelesaian perkara;

6) apabila kedua belah pihak menerima penyelesaian yang dicapai

secara musyawarah dan mufakat, yang ditawarkan oleh

Bhabinkamtibmas/petugas Polmas dan anggota FKPM, maka

dibuatkan surat kesepakatan bersama tentang penyelesaian perkara;

7) Apabila salah satu atau kedua belah pihak tidak menerima

penyelesaian yang ditawarkan oleh Bhabinkamtibmas/petugas

Polmas dan anggota FKPM, maka perkara dilimpahkan ke polsek.

Lampiran C Panduan Pelaksanaan Penyelesaian Perselisihan Warga

Masyarakat/Komunitas dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik

Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan

Implementasi Pemolisian Masyarakat telah memuat panduan teknis pelaksanaan

penyelesaian perselisihan/perkara ringan dalam masyarakat/komunitas yang

dilakukan oleh Bhabinkamtibmas/petugas Polmas. Panduan ini menunjukkan

instrumen dalam penyelesaian kasus tindak pidana ringan melalui mediasi.

Panduan Pelaksanaan Penyelesaian Perselisihan Warga

Masyarakat/Komunitas memang belum mengatur secara detail tentang mediasi

penal dalam penyelesaian tindak pidana ringan, namun telah menjadi peraturan

yang memberikan ruang penerapan mediasi penal dalam penyelesaian kasus

pidana ringan. Pedoman ini juga memuat tentang panduan penyelisihan dalam
295

penyelesaian perkara biasa/berat namun tidak melalui mediasi. Kasus tindak

pidana biasa/berat tetap diselesaikan melalui proses peradilan/litigasi.

Ketentuan dalam panduan Pelaksanaan Penyelesaian Perselisihan Warga

Masyarakat/Komunitas jika dikritisi memang menjadi sebuah langkah yang

progresif dan responsif, hanya saja pengklasifikasian tindak pidana ringan yang

bisa diselesaikan melalui mediasi penal masih terbatas, jenis perkara ringan yang

dapat diselesaikan melalui mediasi dalam panduan ini hanya terdiri dari 7 (tujuh)

jenis tindak pidana ringan yakni: Pasal 302 (penganiayaan ringan terhadap

hewan), Pasal 352 (penganiayaan ringan terhadap manusia), Pasal 364 (pencurian

ringan), Pasal 373 (penggelapan ringan), Pasal 379 (penipuan ringan), Pasal 482

(penadahan ringan), dan Pasal 315 (penghinaan ringan). Hal ini perlu

direkonstruksi kembali mengenai jenis tindak pidana ringan yang bisa

diselesaikan melalui mediasi penal.

Panduan Pelaksanaan Penyelesaian Perselisihan Warga Masyarakat/

Komunitas menggunakan istilah “mediasi” dalam penyelesaian tindak pidana

ringan, perlu dilakukan harmonisasi mengenai penggunaan istilah karena mediasi

identik dengan penyelesaian perkara perdata, sedangkan mediasi penal telah

mencerminkan penyelesaian kasus/perkara pidana. Perlu dibentuk sebuah model

penyelesaian kasus tindak pidana ringan melalui mediasi penal yang jelas dan

sesuai untuk diterapkan di Indonesia.

Perkap No. 3 Tahun 2015 Tentang Pemolisian Masyarakat ini ditinjau

dalam Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan (berdasarkan hirarki peraturan perundang-undangan) serta


296

dianalisis berdasarkan teori pertanggaan/teori jenjang norma dari Hans Kelsen dan

Nawiasky merupakan bentuk hukum yang tidak cukup kuat untuk dijadikan dasar

hukum berlakunya mediasi penal. Perkap ini masih bersifat kebijakan internal

(peraturan kebijakan), sehingga perlu diperkuat dengan dibentuk dalam sebuah

undang-undang.

Berdasarkan uraian tentang landasan nasional dalam Peraturan

Perundang-undangan terkait mediasi penal dalam penyelesaian kasus tindak

pidana ringan, dapat diketahui bahwa dari berbagai peraturan yang ada

menunjukkan bahwa belum ada Peraturan Perundang-undangan yang mengatur

secara tegas dan eksplisit tentang mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana

ringan. Landasan atau dasar hukum yang digunakan selama ini dalam

menyelesaian kasus tindak pidana ringan merupakan bentuk hukum yang tidak

cukup kuat untuk dijadikan dasar hukum sehingga perlu diperkuat dalam sebuah

bentuk undang-undang. Berdasarkan hasil kajian dan analisis menunjukkan bahwa

belum ada dasar hukum yang kuat yang mengatur mediasi penal dalam

penyelesaian tindak pidana ringan, sehingga telah terjadi kekosongan norma

dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.

4.2 Kebiasaan Atau Hukum Adat

Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-

kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih

hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Hal ini menunjukkan


297

bahwa keberadaan hukum adat perlu dikaji dalam perspektif hukum yang berlaku

di Indonesia (hukum yang tidak tertulis).

Praktek mediasi penal dapat ditemukan dalam adat atau kebiasaan

masyarakat Indonesia, khususnya dalam peradilan adat. Sebagaimana yang telah

diuraikan sebelumnya dalam latar belakang masalah bahwa penyelesaian masalah

melalui musyawarah mufakat secara kekeluargaan sejalan dengan konsep yang

kini dikenal dengan nama mediasi penal. Penyelesaian masalah melalui

musyawarah mufakat telah lama dikenal dan menjadi tradisi di berbagai daerah di

Indonesia. Dapat dikatakan bahwa konsep mediasi penal telah menjadi budaya

bangsa Indonesia, karena pada hakikatnya mediasi penal sebagai cerminan dari

ideologi bangsa (Pancasila) dan kearifan lokal yang menjelma dalam musyawarah

mufakat yang berlandaskan pada asas kekeluargaan.

Berdasarkan kajian atropologi hukum, I Nyoman Nurjaya menyatakan

bahwa pada masyarakat yang masih sederhana dan subsisten, dimana relasi antar

individu, hubungan kekerabatan dan kelompok masih kuat, maka pilihan institusi

untuk menyelesaikan sengketa diarahkan kepada institusi-institusi penyelesaian

sengketa yang bersifat kerakyatan (folk institutions). Hal ini karena institusi

penyelesaian sengketa yang bersifat tradisional bermakna sebagai institusi penjaga

keteraturan sosial (social order) dan untuk pengembalian keseimbangan magis

dalam masyarakat. Makna penyelesaian sengketa melalui institusi tradisional

dengan mengacu pada hukum rakyat (folk law) lebih ditujukan untuk

mengembalikan hubungan sosial yang terganggu dan lebih dari itu

mengembalikan keseimbangan magis dalam masyarakat (win-win solution). Salah


298

satu model penyelesaian sengketa yang dikenal dalam masyarakat sederhana

maupun kompleks (modern) adalah mediasi.421

Frans Hendra Winarta mengemukakan bahwa pada dasarnya jiwa dari

alternatif penyelesaian sengketa/kasus telah ada dari nenek moyang bangsa

Indonesia. Hal ini terlihat dalam budaya musyawarah untuk mencapai mufakat

yang masih sangat terlihat di masyarakat pedesaan di Indonesia. Ketika terjadi

sengketa/permasalahan di antara mereka, masyarakat cenderung tidak membawa

permasalahan tersebut ke pengadilan, namun diselesaikan diantara para pihak

yang berperkara. Mereka akan membawa perkara tersebut ke hadapan kepala desa

untuk diselesaikan. 422 Jika timbul suatu sengketa, masyarakat sangat jarang

membawa ke pengadilan negara untuk diselesaikan. Pihak yang bersengketa

dengan senang hati dan lebih suka membawa ke lembaga yang tersedia pada

masyarakat adat untuk diselesaikan secara damai. Penyelesaian sengketa pada

masyarakat hukum adat biasa dilakukan dihadapan kepala desa atau hakim adat.

Hal ini perlu disadari bahwa secara historis kultural, masyarakat Indonesia sangat

menjungjung tinggi pendekatan konsensus.423

Masyarakat hukum adat lebih mengutamakan penyelesaian sengketa

melalui jalur musyawarah. Hal ini bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam

masyarakat. Musyawarah merupakan jalur yang utama digunakan masyarakat,

karena dalam musyawarah akan dapat dibuat kesepakatan damai yang

421
I Nyoman Nurjaya, Memahami Sengketa dan Budaya Penyelesaian Sengketa Dalam
Masyarakat Multikultural: Perspektif Antropologi Hukum, Makalah pada Seminar Nasional
Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Environmental Dispute Resolution), Medan, Tanggal 27 – 28
Juni 2007, h. 4-5.
422
Frans Hendra Winarta, Op.Cit, h. 11.
423
Suyud Margono, Op.Cit, h. 32.
299

menguntungkan kedua belah pihak. Perlu dipahami bahwa sistem hukum adat

tidak mengenal pembagian hukum privat dan publik sehingga perkara pidana juga
424
dapat diselesaikan melalui sistem hukum adat. Musyawarah dalam

penyelesaian sengketa melalui mekanisme hukum adat dapat berupa mediasi,

negosiasi, fasilitasi, dan arbitrase. Para tokoh adat menjalankan fungsinya sebagai

mediator, fasilitator, negosiator, dan arbiter. 425 Hal ini menunjukkan bahwa

penyelesaian perkara melalui musyawarah telah menjadi adat atau kebiasaan

masyarakat Indonesia dalam menyelesaikan masalah yang terjadi di masyarakat.

Adat atau kebiasaan merupakan salah satu sumber hukum dalam hukum

yang berlaku (ius constitutum) di Indonesia sehingga perlu ditelusuri

keberadaannya, khususnya terkait penyelesaian kasus melalui peradilan adat atau

lembaga adat di Indonesia. Sama halnya dengan hukum tertulis, hukum adat

sebagai hukum yang tidak tertulis juga memiliki kekuatan berlaku dan ditaati oleh

masyarakat. Hingga saat ini hukum adat masih tetap dihormati dan berlaku

sebagai hukum positif, walaupun telah terjadi perkembangan dan kemajuan zaman

yang modern, hukum adat tidak menghilang.

Soerojo Wignjodipoero menyatakan bahwa adat merupakan pencerminan

kepribadian suatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan jiwa bangsa yang

424
Syahrizal Abbas mengutip pandangan Bushar Muhammad menyebutkan bahwa
dalam sistem hukum adat tidak dikenal pembagian hukum publik dan hukum privat. Masyarakat
hukum adat tidak mengenal kategorisasi hukum pidana dan hukum perdata, sebagaimana yang
dianut dalam sistem Eropa Kontinental. Penggunaan istilah sengketa bagi masyarakat hukum adat
bukan hanya ditujukan untuk kasus perdata, yang menitikberatkan pada kepentingan perorangan.
Sengketa juga digunakan untuk tindak pidana kejahatan atau pelanggaran. Makna sengketa bagi
masyarakat hukum adat ditujukan pada ketidakseimbangan sosial yang tidak membedakan
lapangan hukum privat atau publik karena sama-sama mengganggu keseimbangan (terjadi
ketidakseimbangan), oleh sebab itu masyarakat akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui
mekanisme hukum adat. Lihat Syahrizal Abbas, Op.Cit, h. 248-249.
425
Syahrizal Abbas, Op.Cit, h. 249-250.
300

bersangkutan dari abad ke abad. Adat merupakan unsur yang terpenting yang

memberikan identitas kepada bangsa yang bersangkutan. Adat istiadat yang hidup

serta yang berhubungan dengan tradisi rakyat inilah yang merupakan sumber yang

mengagumkan bagi hukum adat kita.426 Soerojo Wignjodipoero juga menyatakan

bahwa hukum adat berurat berakar pada kebudayaan tradisional. Hukum adat

adalah hukum yang hidup karena ia menjelmakan perasaan hukum rakyat yang

nyata.427

Hukum adat di Indonesia bervariasi karena Negara Indonesia sangat kaya

dengan adat istiadat dan budaya, namun tetap 1 (satu) dalam keutuhan Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang disatukan melalui Bhineka Tunggal

Ika dan berdasarkan Pancasila. Banyak tradisi di setiap daerah di Indonesia yang

menerapkan prinsip musyawarah mufakat dengan semangat kekeluargaan yang

mencerminkan konsep mediasi penal, seperti yang dapat dijumpai di masyarakat

adat di Indonesia, diantaranya adalah:

1. Bali

Terdapat desa adat pakraman di Bali yang diterapkan melalui awig-awig,

misalnya dalam Pasal (pawos) 66 awig-awig desa pakraman tanah Aron

Kabupaten Karangasem menyebutkan bahwa yang berwenang menyelesaikan

perkara di desa adalah prajuru desa sebagai hakim peradilan desa adalah Kelian

Banjar dan bendesa jika yang berperkara semuanya berasal dari satu desa, selain

426
Soerojo Wignjodipoero, 1995, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Cetakan
kelima, PT Toko Gunung Agung, Jakarta, h. 13.
427
Ibid, h. 17.
301

itu masih banyak tradisi yang ada dalam masyarakat sebagai bentuk perwujudan

mediasi penal.428

Salah satu contoh adalah di Desa Tenganan Pagringsingan, Karangasem,

warga desa yang melakukan pelanggaran terhadap awig-awig desa setempat akan

dihadapkan kepada Kliang Desa (Kelian Desa yang berjumlah 6 orang). Kasus itu

berusaha didamaikan oleh Kliang Desa (Kelian Desa). Apabila Kliang Desa

(Kelian Desa) tidak berhasil menyelesaikannya secara damai, maka kasus tersebut

disidangkan di hadapan sangkepan desa di Balai Agung yang dihadiri oleh tetua-

tetua adat setempat yang disebut Luanan (jumlahnya 5 orang) dan warga desa

lainnya.429

Forum sangkepan desa di Balai Agung tersebut akan diadakan

musyawarah untuk mencari jalan penyelesaian kasus. Forum sangkepan ini,

pertama-tama Kliang Desa (Kelian Desa) meminta nasehat kepada para Luanan

dan juga selanjutnya meminta pendapat warga desa yang lain. Berdasarkan

nasihat atau pendapat tersebut barulah diambil putusan yang dianggap pantas

(patut) sebagai perwujudan kehendak bersama. Warga yang melakukan

pelanggaran kemudian diberikan nasihat oleh Kliang Desa (Kelian Desa) bahwa

perbuatannya itu keliru dan melanggar ketertiban umum, serta agar tidak

mengulanginya lagi. Pelanggar akan diberikan sanksi sesuai dengan kesepakatan

bersama dengan mengacu pada ketentuan awig-awig.430

428
Lilik Mulyadi, Op.Cit, h. 9-11.
429
Tjok Istri Putra Astiti, 1997, Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar/Pidato
Pengukuhan Guru Besar, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali, h. 5-6.
430
Tjok Istri Putra Astiti, Op.Cit, h. 6.
302

2. Papua

Terdapat budaya “Bakar Batu” yang dikenal pada masyarakat Papua.

Budaya bakar batu ini menjadi simbol budaya lokal yang digunakan dalam

menyelesaikan sengketa atau perkara, termasuk perkara pidana, melalui upaya

damai untuk terpeliharanya harmoni sosial. Melalui upaya ini, maka proses pidana

terhadap pelaku tindak pidana oleh aparatur negara dipandang tidak diperlukan

lagi, karena justru dinilai akan merusak kembali harmoni sosial yang sudah

tercapai.431

Budiyanto menyatakan bahwa pada umumnya jenis tindak pidana (delik

adat) yang terjadi di beberapa wilayah di Papua, yakni:

1. Delik Pembunuhan

Delik ini dikenal dengan istilah “kepala/darah ganti Kepala/darah”. Pelaku

wajib menyerahkan sejumlah uang dan/atau menyerahkan seorang anak gadis

untuk dijadikan isteri bagi keluarga korban sebagai proses pengembalian

keseimbangan yang terganggu akibat delik pembunuhan yang dilakukannya.

Hal ini bermakna bahwa kelak seorang gadis tersebut dapat memberikan

keturunan anak kepada keluarga korban yang telah meninggal akibat

pembunuhan yang dilakukan oleh pelaku. Apabila pelaku juga meninggal di

kemudian hari dan dinyatakan terbukti salah oleh kepala adat, maka pihak

keluarga korban hanya meminta sejumlah uang namanya uang darah serta

penyelesaianya dapat sampai ke Polisi.

431
Lilik Mulyadi, Op.Cit, h. 9.
303

2. Delik Penganiayaan (pemukulan atau perkelahian).

Pelaku dalam delik ini dikenakan denda adat yang bentuk dan nilainya sesuai

putusan Ondoafi. Apabila dendanya berupa uang, maka besarnya tergantung

dari permintaan si korban sesuai dengan kondisi lukanya.

3. Delik Pencurian.

Pelaku delik pencurian dikenakan denda. Dendanya berupa uang dan manik-

manik, uang yang dibayar tergantung nilai barang yang dicurinya. Pelaku

juga wajib mengembalikan barang tersebut kepada pemiliknya yang sah.

Apabila pelaku pencurian dilakukan oleh anak-anak, maka anak-anak itu

hanya diberikan nasehat untuk tidak mengulangi lagi, serta untuk barang yang

berharga saja yang biasanya melalui proses peradilan adat.

4. Delik Perusakan.

Delik perusakan ini misalnya merusak rumah, tanaman, hutan, dan laut.

Pelaku terhadap delim perusakan akan dikenakan denda adat yang bentuk dan

nilainya sesuai putusan Ondoafi.432

5. Delik Dalam Keluarga.

Delik dalam keluarga bisa meliputi:

a. Kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya di dalam rumah

keluarga istri.

b. Kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya hingga

menyebabkan istri lari ke rumah orang tuanya atau ke rumah saudara laki-

lakinya.

432
Ondoafi adalah penyelesaian melalui kepala adat di Papua.
304

c. Pemukulan yang dilakukan oleh anak-anak terhadap orang tua, atau

saudara dari orang tuanya.

6. Delik Kesusilaan.

Delik kesusilaan dalam hal ini dapat berupa:

a. Perzinahan antara suami dengan istri orang.

b. Persetubuhan yang dilakukan oleh suami dengan perempuan yang belum

menikah karena keinginan bersama hingga mengakibatkan kehamilan.

c. Persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki yang belum menikah dengan

perempuan yang sudah menikah karena keinginan bersama.

d. Persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki yang belum menikah dengan

perempuan yang belum menikah dan membawanya lari.433

Budiyanto mengemukakan bahwa penyelesaian secara musyawarah

mufakat sudah lama dikenal dan dipraktekkan sejak dulu di masyarakat adat

Papua. Penyelesaian delik adat yang timbul di masing-masing suku di Papua

tentunya berbeda-beda mekanisme dan cara yang dilakukan, tetapi pada umumnya

memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mengembalikan keadaan kosmis yang

terganggu, sehingga tercipta kembali keharmonisan dan keserasian dalam

kehidupan masyarakat.434

433
Budiyanto, 2014, Penyelesaian Tindak Pidana (Delik Adat) Melalui Keadilan
Restoratif (Restorative Justice), Jurnal Hukum dan Masyarakat: Volume 13 Nomor 2, Papua, h.
8-9.
434
Ibid, h. 9.
305

Penyelesaian delik adat yang terjadi di Papua pada umumnya dilakukan

dengan beberapa cara atau mekanisme:

1. Penyelesaian oleh para pihak yang bersengketa.

Awalnya penyelesaian delik dilakukan oleh para pihak yang bersengketa,

yaitu antara pelaku dan korban. Para pihak (pelaku dan korban) sepakat untuk

bertemu dan saling duduk bersama untuk bermusyawarah dan berupaya

mencari penyelesaian yang dipandang adil dan sesuai dengan kebiasaan yang

berlaku dalam masyarakat. Kedua belah pihak pada umumnya, sama-sama

menyadari kesalahan masing-masing dan saling memaafkan sehingga

bersepakat untuk berdamai dan tidak saling menuntut dan mendendam.

2. Penyelesaian secara musyawarah antar keluarga.

Penyelesaian secara musyawarah antar keluarga adalah penyelesaian yang

ditempuh oleh para pihak yang tidak mencapai kesepakatan dalam mencari

solusi, kemudian diselesaikan melalui para keluarga pelaku dan korban. Para

pihak bertemu di tempat/rumah korban atau pelaku atau di rumah keluarga

lain sesuai dengan kesepakatan bersama. Para pihak dan para anggota

keluarga dalam pertemuan ini berkumpul dan bermusyawarah untuk mencari

upaya penyelesaian yang seadil-adilnya bagi kedua belah pihak. Penyelesaian

di tingkat keluarga ini sangat efektif jika keluarga masih ada ikatan

kekerabatan sehingga kesepakatan akan lebih mudah dicapai.

3. Penyelesaian melalui mediasi.

Upaya penyelesaian melalui mediasi ini dilakukan apabila penyelesaian yang

telah ditempuh di tingkat antar keluarga tidak mencapai kesepakatan dan


306

perdamaian. Penyelesaian melalui mediasi ini dilakukan oleh para pihak yang

bersengketa untuk mencari dan menunjuk seorang mediator yang biasanya

adalah dari tokoh masyarakat (tomas), tokoh adat (todat), tokoh gereja (toga),

atau dari aparat kepolisian.

4. Penyelesaian melalui kepala suku.

Upaya penyelesaian ini dilakukan apabila cara penyelesaian antar para pihak,

keluarga, dan mediasi tidak mencapai kesepakatan. Kepala suku bertindak

sebagai penengah di antara para pihak yang bersengketa.

5. Penyelesaian melalui kepala adat (ondoafi),

Penyelesaian melalui kepala adat (ondoafi) ini adalah upaya penyelesaian

melalui lembaga adat. Kepala adat bertindak sebagai hakim adat yang

berwenang untuk memeriksa dan memutus delik adat yang terjadi. Hasil

perdamaian yang telah disepakati tersebut dilanjutkan pada saling bersalaman

dan berpelukan diantara pihak di hadapan ondoafi, maka perselisihan

dinyatakan selesai dan tidak ada lagi saling dendam dan bermusuhan, dan

kedua belah pihak dinyatakan sebagai satu keluarga/suku.435

3. Masyarakat Adat Banjar

Masyarakat adat Banjar mengenal adanya adat badamai sebagai salah

satu bentuk penyelesaian sengketa yang biasa/sering dilakukan oleh masyarakat

Banjar. Adat badamai bermakna sebagai hasil proses perembukan atau

435
Ibid, h. 9-10.
307

musyawarah dalam pembahasan bersama dengan maksud untuk mencapai suatu

keputusan sebagai penyelesaian dari suatu masalah yang terjadi.436

Seperti proses musyawarah pada umumnya, adat badamai juga

mengasilkan suatu putusan. Putusan Badamai yang dihasilkan melalui mekanisme

musyawarah merupakan upaya alternatif dalam mencari jalan keluar guna

memecahkan persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Masyarakat Banjar

cenderung menyelesaikan sengketa melalui adat badamai. Adat badamai diakui

efektif dalam penyelesaian pertikaian atau sengketa dan sekaligus untuk

menghilangkan perasaan dendam.437

Trisno Raharjo mengutip hasil penelitian disertasi dari Ahmadi Hasan

dengan judul “Penyelesaian Sengketa Hukum Berdasarkan Adat Badamai pada

Masyarakat Banjar dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional” mengemukakan

bahwa, istilah adat badamai merupakan istilah bagi penyelesaian sengketa baik

yang bersifat keperdataan maupun pidana. Adat badamai dalam penyelesaian

sengketa pidana disebut dengan istilah Baparbaik dan Bapatut.438

Hasil penelitian Ahmad Bahruni di Banjarmasin, menunjukkan bahwa

selama tahun 1995-2000 terjadi sebanyak 43 (empat puluh tiga) perkara

kecelakaan lalu lintas dari data kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Banjarmasin.

Sebanyak 25 (dua puluh lima) perkara lalu lintas diselesaikan secara badamai dari

43 (empat puluh tiga) kasus atau perkara lalu lintas yang terjadi di Banjarmasin

436
Trisno Raharjo, 2010, Mediasi Pidana Dalam Ketentuan Hukum Pidana Adat, Jurnal
Hukum: No. 3 Vol. 17, Yogyakarta, h. 497.
437
Ibid.
438
Ibid, h. 497-498, dalam Ahmadi Hasan, “Penyelesaian Sengketa Hukum
Berdasarkan Adat Badamai pada Masyarakat Banjar dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional”,
Disertasi, Pascasarjana FH UII, 2007, h. 117.
308

tersebut. Inisiatif penyelesaian melalui badamai diambil dari pihak pelaku atau

keluarganya sebanyak 17 (tujuh belas) kasus, inisiatif diambil oleh pihak korban

atau keluarganya sebanyak 5 (lima) kasus, dan inisiatif dilakukan oleh pihak

kepolisian bersama keluarga korban sebanyak 3 (tiga) kasus.439

Berdasarkan hasil penelitian Ahmad Bahruni terkait perkara kecelakaan

lalu lintas selama tahun 1995-2000 di Banjarmasin, dari 25 (dua puluh lima)

perkara kecelakaan lalu lintas yang diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian

kasus melalui perundingan badamai dapat dicapai kesepakatan secara umum

yaitu:

1. Sejumlah 15 (lima belas) kasus: korban mendapat bantuan biaya perawatan

atau pengobatan.

2. Sejumlah 6 (enam) kasus: korban meninggal dunia, mendapat santunan

berupa uang duka dari pihak penabrak.

3. Sejumlah 4 (empat) kasus: Korban mendapat bantuan biaya perbaikan

kendaraan dan biaya perawatan.440

4. Kalimantan Tengah

Masyarakat adat dayak, Kalimantan Tengah memiliki Peraturan Daerah

Kotawaringin Timur Nomor 15/2001 tentang Kedamangan dan Peraturan Daerah

Pulang Pisau Nomor 11/2003 tentang Pembentukan Kelembagaan dan

Pemberdayaan Adat Dayak, yang mengharuskan setiap kedamangan mempunyai

439
Ibid, h. 498, dalam Ahmad Bahruni, “Penyelesaian Tindak Pelanggaran Lalu-Lintas
Secara Kekeluargaan, sebuah Tinjauan Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif ”, dalam
Ahmadi Hasan, “Penyelesaian Sengketa Hukum Berdasarkan Adat Badamai pada Masyarakat
Banjar dalam Kerangka Hukum Nasional”, Disertasi, Pascasarjana S3 Program Doktor Ilmu
Hukum, Universitas Islam Indonesia, 2007, h. 299.
440
Ibid, dalam Ibid, h. 300.
309

seorang damang sebagai pemimpin. 441 Damang inilah yang berperan dalam

penyelesaian kasus.

Damang beserta let adat-nya membentuk sebuah Dewan Adat. Seorang

damang memiliki tugas utama antara lain yakni, mengawasi penerapan hukum

adat dan memelihara institusi-institusi adat, menyelesaikan perselisihan dan

pelanggaran hukum adat, memberi nasihat kepada pemerintah setempat yang

berkaitan dengan hukum adat, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan

penduduk asli, serta mempromosikan nilai-nilai budaya Dayak.442

Mengacu pada tugas-tugas damang dapat diketahui bahwa adat harus

menjadi tempat pertama bagi resolusi damai. Damang memiliki otoritas untuk

menyelesaikan kasus-kasus, baik pada kasus perdata maupun pidana. Keputusan

adat dianggap “mengikat” pada pihak-pihak yang terlibat, namun putusan tersebut

hanya menjadi “pertimbangan” bagi aparat hukum jika suatu sengketa diproses di

sistem formal. Berdasarkan hal ini, keputusan secara adat tidak mencegah

tindakan hukum formal. Konsekuensi hal ini maka pengadilan bebas

menggunakan atau mengabaikan hasil resolusi secara adat.443

Salah satu contoh tindak pidana yang melalui mekanisme adat adalah

perkara pembunuhan di Palangkaraya yang diselesaikan melalui mediasi. Salah

satu motivasi pelaku tindak pidana menggunakan hukum adat dalam

441
Ibid.
442
Kedamangan biasanya mencakup wilayah kecamatan. Terdapat mantir atau let adat
yang merupakan perangkat di bawah damang pada tingkat desa atau kelurahan. Di atas damang,
pada tingkat kabupaten terdapat Koordinator Adat Wilayah, yang dipilih dari para damang sendiri.
Lihat, Ibid, dalam Peri Umar Farouk, et.al, “Kembali ke Masa Depan: Otonomi Daerah dan
Kebangkitan Adat yang Tidak Pasti.” h. 4 (http://www.justiceforthepoor.or.id/ documents/
publikasi/vja-kalteng.pdf).
443
Ibid, h, 499.
310

menyelesaikan perkara atau kasus yang terjadi adalah untuk mengurangi hukuman

penjara yang dijatuhkan oleh pengadilan. Motivasi lainnya adalah untuk

memelihara kerukunan sosial, dan mediasi juga dianggap lebih murah dan lebih

pasti dalam menyelesaikan konflik antara pelaku dan korban tindak pidana.444 Hal

ini menunjukkan bahwa kasus pidana berat juga dalam prakteknya melalui proses

mediasi.

Ketentuan hukum adat mencakup baik kasus perdata remeh maupun

tindak pidana berat seperti pembunuhan dan perkosaan. Jika kedua belah pihak

rela, semua masalah dapat diselesaikan dengan damai melalui konsiliasi melalui

hukum adat.445

Ketua Dewan Adat Kabupaten Kotawaringin Timur menjelaskan proses

penyelesaian kasus yang ia terapkan, yang secara umum menggambarkan proses

resolusi sengketa, baik secara adat maupun non-adat di Kalimantan Tengah.

Proses ini meliputi:

1. Keluhan/keberatan dapat diterima dalam bentuk tertulis atau lisan;


2. Biaya perkara sekitar Rp100,000 dibayarkan kepadanya (Ketua Dewan
Adat Kabupaten Kotawaringin Timur) oleh pelapor. Ini mencakup
makanan ringan untuk acara “persidangan” dan biaya operasional;
3. Damang akan menelaah kasus, memeriksanya dahulu dengan kepala
desa/let adat (jika ada) untuk melihat apakah upaya-upaya resolusi telah
dilakukan di tingkat desa;
4. Damang memanggil pihak-pihak yang terlibat dan saksi-saksi ke
rumahnya untuk “persidangan”;
5. Damang akan mengajukan sebuah resolusi atau membantu melakukan
mediasi/memediasi untuk mencapai kompromi. Bila pihak-pihak sepakat,
hasil kesepakatan akan dicatat dan ditandatangani. Jika tidak mencapai
kesepakatan maka mereka biasanya akan merujuk masalah itu ke sistem
peradilan;

444
Ibid, dalam Ibid, h. 2.
445
Ibid.
311

6. Jika ditetapkan denda berupa uang atau kompensasi, 10% dari jumlah
denda dibayarkan kepada damang sebagai biaya perkara; dan
7. Kesepakatan tertulis diberikan juga kepada let adat atau kepala desa
sebagai alat untuk memastikan ditaatinya kesepakatan tersebut.446

Tidak hanya damang yang berperan menyelesaikan kasus, di tingkat desa

berdasarkan rasa hormat serta popularitas pribadinya, kepala desa acap dilibatkan

untuk menyelesaikan perselisihan. Sebagaimana diamati seorang penghulu.

Masalah tindak pidana ringan yang dapat diselesaikan dengan perdamaian

biasanya dirujuk kepada ketua RT/RW, kepala adat atau kepala desa. 447 Contoh

penyelesaian kasus di masyarakat Dayak yang terjadi misalnya telah dilakukan

melalui sidang adat terhadap Prof. Dr. Tamrin Amal Tamagola yang dilakukan

oleh Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) yang dinamakan Persidangan Dayak

Maniring Tuntang Manetes Hinting Bunu antara masyarakat Dayak dengan

Tamrin di Betang Nganderang, Palangkaraya, Kalimantan Tengah pada hari

Sabtu, tanggal 11 Januari 2011.448

5. Aceh

Nanggroe Aceh Darussalam sebagaimana Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh juga memiliki “Peradilan Gampong” atau

“Peradilan Damai” untuk menyelesaikan kasus yang terjadi di masyarakat.

Penyelesaian perkara pada prakteknya dilakukan lebih dulu melalui Peradilan

Gampong atau Peradilan Damai ini. Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tanggal 30

Desember 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat khususnya

446
Ibid, h. 499-500, dalam Ibid, h. 7.
447
Ibid, dalam Ibid, h. 10.
448
Lilik Mulyadi, Op.Cit, h. 3-14.
312

pasal 13 menentukan bahwa, penyelesaian sengketa/perselisihan adat dan istiadat

dilakukan secara bertahap. Disebutkan pula bahwa, aparat penegak hukum

memberikan kesempatan agar sengketa atau perselisihan diselesaikan lebih dahulu

secara adat atau nama lain.449

Proses penyelesaian adat di Aceh dapat berbeda-beda di masing-masing

kabupaten atau daerah akan tetapi terdapat kesamaan cara atau metode dalam

penyelesaian sengketa. Mengenai mekanisme penyelesaiannya secara umum,

setiap kasus akan diajukan kepada geuchik, yang terlebih dahulu akan mendorong

para pihak untuk membahas persoalan tersebut untuk dapat mencapai kompromi

melalui musyawarah. Apaila tidak tercapai kompromi barulah geuchik dan para

tetua gampong lainnya berusaha menegosiasikan kesepakatan, dan membantu

para pihak untuk mencapai kesepakatan bersama. Keterangan saksi juga

diperlukan untuk membenarkan fakta.450

Ketentuan tentang qisas dan diyat disesuaikan dengan adat Aceh dalam

penyelesaian kasus tindak pidana. Penyesuaian ini misalnya sebagai berikut: 100

(seratus) onta dipahami sama dengan seratus (100) ekor kerbau atau lembu.

Hukum qisas pada kenyataannya tidak pernah dijatuhkan karena keluarga korban

selalu memberikan pemaafan. Jumlah diyat walaupun pada dasarnya diakui

seratus (100) ekor lembu untuk pembunuhan sengaja, di dalam kenyataan sehari-

hari pada umumnya dapat disetujui hanya dengan membayar beberapa ekor

kerbau. Mengenai ta’zir dijatuhkan melalui musyawarah pimpinan gampong.

Jarang dalam prakteknya sampai pada mahkamah yang waktu itu hanya ada pada

449
Lilik Mulyadi, Op.Cit, h. 10.
450
Trisno Raharjo, Op.Cit, h. 500.
313

tingkat pemerintahan uleebalang dan ibu kota kerajaan. Bentuk-bentuk hukuman

yang dijatuhkan adalah hukuman denda atau ganti rugi pengakuan bersalah dan

meminta maaf secara resmi di muka umum, dicambuk dan diusir dari gampong.451

Terdapat empat pola penyelesaian konflik pada prakteknya dalam tradisi

masyarakat gampong di Aceh yaitu di’iet, sayam, suloeh dan peumat jaroe yang

menggunakan kerangka adat dan syari’at. Di’iet ditujukan untuk menghilangkan

rasa dendam dan rasa permusuhan yang berkepanjangan antara para pihak bertikai

yang telah mengakibatkan kekerasan dan bahkan pembunuhan. Penyelesaian

konflik yang terjadi dalam komunitas masyarakat gampong, baik yang bersifat

individual atau internal keluarga, antar individu maupun antar kelompok, melalui

bingkai adat dan agama, dapat membawa kedamaian yang abadi dan permanen.

Mekanisme di’iet dilakukan pada penyelesaian kasus pembunuhan yang

diwujudkan melalui kompensasi yang dibayarkan pelaku pidana kepada korban

atau ahli waris korban.452

Mekanisme di’iet terdapat perangkat yang dikenal dengan nama keuchik,

teungku meunasah, dan tetua gampong, termasuk pemangku adat yang biasanya

bertindak sebagai fasilitator, negosiator, dan mediator. Merekalah yang

melakukan pembicaraan-pembicaraan awal dengan ahli waris korban dan pelaku

451
Trisno Raharjo, Loc.Cit, dalam Al Yasa’ Abubakar, “Islam, Hukum dan Masyarakat
di Aceh Tajdid Syari’at Dalam Negara Bangsa”, Seminar: First International Conference of Aceh
and Indian Ocean Studies, penyelenggara Asia Risearch Institute, National University of
Singapore and Rehabilitation and Construction Executing Agency for Aceh and Nias (BRR),
Banda Aceh, Indonesia. 24-27 Februari 2007, h. 3.
452
Trisno Raharjo, Loc.Cit, dalam Syahrizal dan Agustina Arida, “Pola Penyelesaian
Konflik dalam Tradisi Masyarakat Gampong Aceh”, Jurnal Seumikee, Volume II, 2006, Aceh
Institute, h. 7.
314

pidana atau ahli warisnya. Pembicaraan ini juga melibatkan keluarga besar dari

para pihak untuk menghindari dendam di kemudian hari.453

Keuchik, teungku meunasah, dan tetua gampong dalam mekanisme di’et

memulai proses pemeriksaan terhadap pelaku tindak pidana untuk dapat

mengukur tingkat maaf yang diberikan oleh korban atau ahli waris korban.

Apabila pemaafan telah diberikan, maka para pemangku adat atau tetua gampong

akan mengkompromikan atau bermusyawarah dengan pelaku atau ahli warisnya

tentang jumlah di’iet yang harus dibayarkan oleh pelaku tindak pidana.

Selanjutnya, pelaku tindak pidana atau keluarganya memberikan sesuatu

(biasanya emas) kepada keluarga korban dan menyembelih hewan berupa sapi

atau kerbau yang diprakarsai oleh imuem mukim, geuchik, dan teungku meunasah.

Pembayaran di’iet pada umumnya dilakukan melalui upacara adat yang

didalamnya terdiri atas kegiatan peusijuek dan peumat jaroe.454

Penyelesaian konflik melalui mekanisme sayam dilakukan pada

penyelesaian kasus di luar pembunuhan seperti penganiayaan, atau pertengkaran

yang menyebabkan luka, sehingga mengalirnya darah. Sayam juga menggunakan

mekanisme kompensasi namun kompensasi yang diberikan berupa kambing atau

yang setara dengan itu. Sayam merupakan bentuk kompensasi yang bertujuan

453
Trisno Raharjo, Op.Cit, h. 501, dalam Ibid.
454
Perangkat peusijuek dapat berupa: nasi ketan kuning, kelapa gongseng gula merah
(ue mierah), ayam panggang, tumpoe (tepung yang telah diaduk dengan gula merah yang
digongseng), daun senijuek, daun ilalang (naleung samboe), padi dicampur beras, air tepung/air
bunga, air putih, air cuci tangan dan kemenyan. Penyelesaian kasus pembunuhan ditambah lagi
dengan kain putih dan pedang/rencong di dalam sarung. Bahkan di beberapa daerah tertentu
ditambah lagi dengan pemberian uang sekitar 2 juta sampai 5 juta rupiah. Peumat jaroe, berjabat
tangan. Pihak yang menfasilitasi mengucapkan kata-kata khusus seperti: “Nyoe kaseb oh no dan
bek na deundam le. Nyoe beujeut keujalinan silaturrahmi, karena nyan ajaran agama geutanyoe”
yang artinya: Masalah ini cukup di sini dan jangan diperpanjang lagi. Bersalaman ini diharapkan
menjadi awal dari jalinan silaturrahmi antara anda berdua, sebab ini ajaran agama kita. Lihat,
Trisno Raharjo, Op.Cit, h. 501-502, dalam Ibid.
315

untuk melindungi dan memberikan penghormatan terhadap ciptaan Allah berupa

tubuh manusia.455

Prosesi sayam dilaksanakan pada saat setelah para pihak yang

bersengketa atau bertikai dihubungi oleh keuchik dan teungku meunasah. Apabila

telah ada kesepakatan diantara para pihak, maka Prosesi sayam dilaksanakan di

rumah korban atau di meunasah. Mekanisme sayam hanya dapat dilakukan

terhadap tindak pidana yang bersifat ringan, namun menimbulkan luka atau

keluarnya darah. Peralatan dan bahan prosesi sayam harus disiapkan oleh pelaku

atau ahli warisnya.456

Mekanisme Suloh merupakan pola penyelesaian konflik yang bukan

hanya untuk kasus pidana, tetapi juga untuk kasus perdata atau sengketa dalam

rumah tangga. Bahkan suloh merupakan dasar dari mekanisme penyelesaian

konflik melalui di’iet dan sayam jika pengakhiran konflik diwujudkan dalam

islah.457

Penyelesaian kasus melalui peumat jaroe merupakan bagian dari

penyelesaian konflik dalam bentuk di’iet, sayam, suloeh. Mekanisme peumat

jaroe pada umumnya digunakan untuk menyelesaikan kasus-kasus yang sangat

ringan. Biasanya langsung dilakukan setelah terjadi konflik oleh para tetua adat

yang menguasai daerah tertentu, tanpa sampai kepada keuchik atau teungku

455
Trisno Raharjo, Op.Cit, h. 502, dalam Ibid.
456
Trisno Raharjo, Loc.Cit, dalam Ibid.
457
Trisno Raharjo, Loc.Cit.
316

meunasah. Penyelesaian seperti ini biasanya untuk dan cukup dengan bersalam-

salaman (peumat jaroe). Inilah makna dari peumat jaroe.458

6. Ambon

Tindak pidana ringan atau perkara ringan seperti perkelahian antar

pemuda di lingkungan komunitas atau penganiayaan ringan dapat diselesaikan

secara informal oleh komunitas setempat di Ambon. Raja atau kepala desa

mempunyai posisi sentral dan memiliki peranan serta pengaruh yang besar dalam

penyelesaian sengketa secara informal. Raja menengahi dan membantu

menyelesaikan berbagai persoalan dan kasus yang ada di masyarakat. Raja juga

berhubungan dan berkoordinasi dengan pihak kepolisian dalam kasus-kasus

pidana ringan atau sengketa tanah. Raja sebagai pihak pemutus akhir dalam kasus

atau sengketa yang sulit ditangani.459

Kepala Dusun juga bertindak sebagai mediator dalam sengketa perdata

dan pidana ringan. Tingkat yang terendah yakni melalui kepala soa dan ketua

RT/RW pada wilayah yang lebih urban seperti kota Ambon, kepala dusun

kemudian Raja yang berwenang menyelesaikan perkara. Seorang Raja pada

pelaksanaannya dibantu oleh “Saniri” (semacam dewan) dimana Raja sekaligus

menjadi anggotanya. Apabila ada kasus yang diajukan kepada pihak Raja, maka

Saniri akan memberikan dukungan baik dalam melakukan investigasi maupun

458
Trisno Raharjo, Op.Cit, h. 503, dalam Ibid.
459
Trisno Raharjo, Loc.Cit, dalam Peri Umar Farouk, et al., “Mekanisme Penyelesaian
Sengketa Informal di Kabupaten Buru, Kota Ambon dan Kabupaten Maluku Tengah”,
(http://www.justiceforthepoor.or.id/ documents/publikasi/vja-ambon.pdf), diakses 17 Oktober
2007, 11:10.
317

dalam musyawarah yang dilakukan, meskipun demikian sebagian besar keputusan

dan kata akhir tetap berada di tangan Raja. 460

Mekanisme penyelesaian sengketa pada umumnya di tingkat komunitas

di Ambon yaitu:

1. Pengaduan masuk ke pihak aktor penyelesai sengketa (misalnya Raja, tokoh

agama atau tokoh masyarakat). Ada juga kasus di tingkat desa atau Negeri

yang diajukan ke Saniri Negeri terlebih dahulu sebelum diajukan ke Raja;

2. Apabila kasus adalah pidana berat, maka diajukan ke pihak Kepolisian;

3. Para pihak dipanggil dan diwawancara dalam suatu pertemuan terbuka.

4. Raja/tokoh agama/tokoh masyarakat kemudian menganalisa kasus dan hasil

wawancara;

5. Pada kasus tanah, Raja akan meminta bantuan pihak Saniri terutama dalam

melakukan investigasi;

6. Raja memanggil para pihak untuk mengambil putusan sekaligus bernegosiasi

mengenai sanksi yang akan dijatuhkan. Apabila para pihak sepakat, maka

biasanya dituliskan suatu Berita Acara sederhana yang ditandatangani oleh

para pihak;

7. Apabila para pihak tidak puas terhadap proses penyelesaian yang ada, maka

mereka dapat menempuh jalur pengadilan.461

Proses penyelesaian kasus dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak

korban dan pelaku. Raja berperan menjadi pendamai pihak yang bersengketa.

Harapannya setelah para pihak pergi dari rumah negeri atau rumah Raja, tempat di

460
Trisno Raharjo, Op.Cit, h. 503-504.
461
Trisno Raharjo, Op.Cit, h. 504, dalam Ibid.
318

mana musyawarah dilakukan, maka komunitas setempat menjadi damai kembali.

Kondisi komunitas yang terganggu akibat sengketa yang terjadi, kini telah

dipulihkan.462

Salah satu contoh kasus yang terjadi di Maluku yang menunjukkan

digunakannya konsep mediasi penal adalah kasus perkelahian yang diakibatkan

karena pelemparan mobil angkot di Dusun Ruhua, Desa Sepa, P. Seram,

Kabupaten Maluku Tengah. Kasus ini terjadi pada bulan Desember tahun 2003.

Kasus ini bermula pada saat pemuda Ruhua yang pergi memetik cengkeh tetapi

oleh masyarakat Desa Haya para pemuda tersebut disangka sebagai anggota

masyarakat Tehoru. Sejak dulu masyarakat Haya memiliki masalah dengan

masyarakat Tehoru, sehingga inilah yang memicu konflik. Orang Haya juga

menduga bahwa Halue adalah orang Tehoru. Orang Haya memukuli dan

melempari orang-orang Ruhua yang memetik cengkeh ini. Halue dan kawan-

kawan membalas dengan menghentikan mobil angkutan kota yang dimiliki oleh

orang Haya dan melempari kacanya dengan batu sampai pecah. Akibatnya orang

Haya melaporkan persoalan ini ke pihak kepolisian.463

Pihak polisi pada kasus perkelahian tersebut memfasilitasi musyawarah

untuk menyelesaikan persoalan ini. Bapak Raja Sepa dan Sekretaris Desa juga

hadir di kantor polisi. Bapak Raja memberikan nasihat untuk menyelesaikan kasus

ini. Para pihak pada ujung musyawarah, diminta untuk membayar denda dan

462
Trisno Raharjo, Loc.Cit.
463
Trisno Raharjo, Op.Cit, h. 505, dalam Ibid.
319

membuat surat pernyataan damai. Halue diminta membayar 500.000,00 (lima

ratus ribu rupiah) sebagai bentuk ganti rugi kaca mobil yang telah dipecahkan.464

7. Lombok

Suku Sasak mengenal penyelesaian masalah melalui musyawarah

(Begundem) untuk mencapai perdamaian. Kotaragama angka 49 huruf b tentang

Kebidjaksanaan atau Kerdermawanan Radja menyebutkan bahwa, “Ini tjara

orang tjerdik pandai berbitjara. Dalam membitjarakan sesuatu masalah oleh

diantara warga desa (Negara), djika tidak ada pendahuluan nasihat

mengakibatkan tidak baik, akan tetapi bila masalah dislesaikan melalui

perdamaian, kedua belah pihak akan merasakan manfaatnja. Tjara inilah jang

dikehendaki/diterima baik oleh Radja karena memang tjara demikian itu

mendjadi ketentuan jang dinamakan keadilan”. 465 Berdasarkan hal ini dapat

diketahui bahwa penyelesaian masalah melalui perdamaian lebih bermanfaat dan

dapat mencapai keadilan.

Masyarakat Lombok Utara memiliki kepemimpinan adat yang dikenal

sebagai adat Wet Tu Telu. Masyarakat adat Lombok Utara juga memiliki model

penyelesaian sengketa di luar institusi formal hukum. Pendekatan langsung ke

tingkat yang lebih tinggi sangat terbuka (khirarkhi: mulai yang terbawah dari

RT/RW kemudian Dusun lalu Desa), akan tetapi selalu ada himbauan terlebih

464
Trisno Raharjo, Loc.Cit, dalam Ibid.
465
Lilik Mulyadi, Op.Cit, h. 9-11.
320

dahulu untuk menyelesaikannya di tingkat yang lebih rendah, yakni RT/RW atau

Dusun.466

Kasus-kasus yang ditangani melalui proses penyelesaian sengketa di luar

institusi formal hukum di Lombok Utara antara lain yakni kasus perkelahian atau

pengeroyokan, hamil luar nikah, pemidangan (apel) kepada istri orang dan

perzinahan. Kasus perkelahian atau pengeroyokan pada umumnya dilaporkan oleh

pelaku agar tidak terjadi balas dendam. Kasus yang berhubungan dengan

pergaulan laki-laki perempuan, inisiatif berasal dari Ketua RT/RW, pemuka

masyarakat seperti penghulu, kiyai, atau mangku adat, atau tokoh pemuda.

Pengaduan/laporan bisa diberikan secara tertulis maupun lisan.467

Proses penyelesaian perkara pidana melalui konsep mediasi penal pada

masyarakat Lombok Utara setelah adanya pengaduan atau laporan akan

dilanjutkan dengan penggalian informasi dari pihak pertama. Informasi digali dari

pengadu/pelapor atau orang yang mempunyai kasus. Kemudian, penggalian

informasi diberikan pada pihak yang diakses seperti RT/RW, Kadus, Kades yang

mempunyai hak diskresi untuk melibatkan orang lain atau tidak, terutama anggota

Krama-nya (penghulu dan mangku adat) untuk mendengarkan keterangan

pendahuluan.468

Kasus-kasus tertentu ada yang diselesaikan sendiri oleh RT/RW, Kadus,

Kades tanpa melibatkan majelis yang lebih besar. Penggalian informasi dari pihak

lainnya atau pihak lawan dilakukan, selang satu sampai tiga hari, mediator

466
Trisno Raharjo, Op.Cit, h. 505, dalam Ibid.
467
Trisno Raharjo, Op.Cit, h. 506, dalam Ibid, h. 9.
468
Trisno Raharjo, Op.Cit, h. 507.
321

penyelesai sengketa mengundang pihak lain dalam kasus yang ditangani untuk

didengar keterangan serta informasinya. Penggalian informasi lainnya adalah dari

pihak saksi atau pihak-pihak lain yang bisa menguatkan posisi kasus yang sedang

ditangani.469

Proses setelah laporan/pengaduan dan penggalian informasi adalah

mempertemukan para pihak. Masing-masing pihak pada proses pertemuan ini

mengemukakan secara terbuka persoalannya dan didengar langsung oleh pihak

lawannya, tanya jawab, saling mengkonfirmasi, bahkan saling silang pendapat.

Semua kalangan pada tahap ini yang berkaitan langsung seperti saksi, dihadirkan

dan mengemukakan apa yang disaksikannya. Pertemuan ini lebih terfokus pada

tuntutan yang dikehendaki satu pihak kepada pihak lainnya. Mediator akan

memperhatikan layak atau tidaknya sebuah tuntutan satu pihak dipenuhi oleh

pihak lainnya. Perkara-perkara kriminal ringan, dapat diselesaikan cepat, seperti

perkelahian, pencurian. Polisi pada perkara-perkara tersebut menyerahkan terlebih

dulu penyelesaian kepada kepala tokoh adat lingkungan.470

8. Flores-Nusa Tenggara Timur

Masyarakat adat Lamaholot di Flores-Nusa Tenggara Timur mengenal

adanya institusi adat mela sareka yang difungsikan untuk memperbaiki relasi

sosial yang rusak antara pihak karena perselisihan/perkara. 471 Proses ritual adat

perdamaian mela sareka adalah adanya getun liko petin pepa atau pemisahan para

469
Trisno Raharjo, Op.Cit, h. 506, dalam Ibid, h. 9.
470
Trisno Raharjo, Op.Cit, h. 507, dalam Ibid, h. 10.
471
Trisno Raharjo, Op.Cit, h. 508, dalam Karolus Kopong Medan, “Peradilan
Rekonsiliatif Konstruktif Penyelesaian Kasus Kriminal Menurut Tradisi Masyarakat Lamaholot, di
Flores NTT”, Disertasi, PDIH Undip, 2006, h. 240.
322

pihak sehingga mereka yang berkonflik tidak boleh bertemu dan makan bersama.

Apabila dilanggar maka akan terkena risiko adat yaitu sakit, celaka atau

meninggal dunia. Ritual lainnya adalah ritual herun haban yang merupakan acara

untuk mempertemukan para pihak dan diakhiri dalam Bua Behin atau deklarasi

hidup dalam damai, melalui makan dan minum bersama yang menandakan

konflik telah hilang antara pelaku dan korban.472

Proses lainnya yakni Soba Sewalet ajakan damai, mediator adat

merupakan pilihan dari orang-orang yang mempunyai pengaruh besar dalam suku

atau kampung. Kasus pertikaian antar kampung maka tokoh adat yang menjadi

mediator adalah tokoh adat netral yang tidak terlibat dalam perkelahian. Mediator

akan mengupayakan gencatan senjata (lebarekat leu) menghasilkan perjanjian

adat (nayu baya) agar dinamika masyarakat tidak terganggu.473

Tahapan atau proses lainnya adalah uku loyak gatu gatan atau

rekonstruksi kebenaran. Pelaku tindak pidana pada proses uku loyak gatu gatan

berbicara dari hati ke hati untuk merekonstruksi kebenaran. Pihak yang merasa

paling bersalah wajib memohon kepada korban untuk melakukan perdamaian,

selanjutnya pelaku dan korban menghapus segala kesalahan yang dilakukan oleh

para pihak maka baik pelaku dan korban melakukan ritual adat haput ele kirin.

Proses selanjutnya dilakukan ritual haput nuhuka bohok weweka untuk

menghapus segala kesalahan yang dilakukan melalui kata-kata. Puncaknya prosesi

472
Trisno Raharjo, Loc.Cit, dalam Ibid, h. 295-296.
473
Trisno Raharjo, Loc.Cit, dalam Ibid, h. 301.
323

dilakukan melalui mela sareka yaitu menuju dunia baru penuh damai sebagai

puncak ritual.474

9. Sumatra Barat

Masih dikenal adanya aturan tentang hukum pidana adat di

Minangkabau, yakni Undang-undang Nan Duopuluah. UU Nan Duopuluah ini

terbagi atas dua bagian, yaitu UU Nan Salapan dan UU Nan Duobaleh. UU Nan

Salapan menentukan perbuatan kejahatan, dan UU Nan Duobaleh menjelaskan

tanda bukti yang melanggar UU Nan Salapan.475

Sistem kanagarian telah ada sebelum Indonesia merdeka. Nagari-nagari

ini sejak awalnya telah berdiri sendiri (otonom) dengan adat salingka nagari dan

dipersatukan dalam adat sebatang panjang. Nagari dapat membuat peraturan adat

yang berlaku di nagari tersebut, tetapi tidak bertentangan dengan adat sebatang

panjang yang berlaku di alam Minangkabau. Terdapat dua aliran besar dalam

sistem pemerintahan Nagari di Minangkabau yakni Koto Piliang dan Bodi

Caniago. Kemudian muncul sistem ketiga pisang sekalek-kalek hutan, pisang

timbatu nan bagatah, Bodi Caniago inyo bukan Koto Piliang inyo antah. Struktur

masyarakat Minangkabau juga diwarnai oleh pengaruh agama Islam. 476

Nagari dipimpin oleh seorang Wali Nagari, dan dalam menjalankan

pemerintahannya, dahulunya Wali Nagari dibantu oleh beberapa orang Wali

Jorong, kini Wali Nagari dibantu oleh Sekretaris Nagari (Setnag) dan beberapa

474
Trisno Raharjo, Loc.Cit, dalam Ibid, h. 306.
475
Musyawarah Adat, Hasil, dan Rekomendasi Musyawarah Adat Aplikasi Manajemen
Suku dan Pemberdayaan Hukum Adat Dalam Hukum Nasional, Solok, tanggal 25-25 Maret 2012,
h. 11.
476
Ibid, h. 13.
324

Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang jumlahnya bergantung dengan kebutuhan

pemerintahan Nagari tersebut. Wali Nagari dipilih oleh anak nagari (penduduk

nagari) secara demokratis.477

Sistem kanagarian juga mengenal Kerapatan Adat Nagari (KAN), yakni

lembaga yang beranggotakan tungku tigo sajarangan. Tungku tigo sajarangan

merupakan perwakilan anak nagari yang terdiri dari alim ulama, cerdik pandai

(kaum intelektual) dan niniak mamak (pemimpin suku-suku dalam nagari).

Keputusan penting yang akan diambil selalu dimusyawarahkan antara Wali

Nagari dan tungku tigo sajarangan di balai adat atau balairung sari nagari. Badan

Musyawarah Nagari (BMN) sebagai nama lain dari Badan Permusyawaratan Desa

(BPD) dientuk untuk legislasi. Unsur dalam BMN memuat unsur yang ada pada

KAN dan dilengkapi dengan unsur pemuda, wanita dan perwakilan tiap suku.478

Berdasarkan uraian mengenai berbagai tradisi atau budaya masyarakat

adat dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi di masyarakat, seperti

diantaranya yakni di Bali, Papua, Banjar, Kalimantan Tengah, Aceh, Ambon,

Lombok, Flores-Nusa Tenggara Timur dan Sumatra Barat menunjukkan bahwa

prinsip mediasi penal telah ada dalam tradisi masyarakat adat dalam

menyelesaikan permasalahan. Setiap masyarakat adat memiliki tradisi atau budaya

dalam menyelesaikan masalah dengan ciri khas yang unik dan berbeda-beda

namun memiliki kesamaan prinsip yakni tetap menggunakan musyawarah

mufakat dengan pendekatan kekeluargaan. Masyarakat adat akan mengupayakan

perdamaian diantara para pihak dengan bantuan penengah seperti tokoh adat,

477
Ibid, h. 14.
478
Ibid.
325

pejabat di desa adat, atau orang yang mendapat kepercayaan. Tokoh adat atau

pejabat di desa adat, atau orang yang mendapat kepercayaan ini berperan seperti

layaknya mediator sebagai penengah yang memfasilitasi, sehingga tercapai

kesepakatan diantara para pihak.

Uraian ini menunjukkan bahwa konsep mediasi penal telah ada dalam

kebiasaan atau hukum adat di Indonesia. Dapat dikatakan bahwa mediasi penal

telah menjadi budaya masyarakat adat dalam menyelesaikan permasalahan,

termasuk kasus pidana. Hukum adat sebagai hukum asli Indonesia yang umumnya

tidak tertulis merupakan sumber hukum. Indonesia juga menghormati keberadaan

hukum adat sesuai dengan Pasal 18 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(Indonesia menghormati hukum adat yang hidup dalam masyarakat). Hukum adat

memang merupakan sumber hukum namun prinsip-prinsip mediasi penal yang

ada dalam kebiasaan atau hukum adat perlu diadopsi dalam hukum nasional agar

dapat diberlakukan secara formal dan dapat berlaku efektif.

Prinsip-prinsip serta asas-asas yang berlaku dalam hukum adat perlu

diadopsi dalam pembentukkan undang-undang tentang mediasi penal, diantaranya

yakni penerapan musyawarah mufakat dengan pendekatan kekeluargaan, serta

mengutamakan perdamaian. Dalam melakukan pemulihan atau pengembalian

keseimbangan akibat dari kejahatan yang terjadi perlu juga diatur tentang

pertanggungjawaban pelaku kejahatan, yang dalam hukum adat dilakukan dengan

sanksi yang disepakati para pihak yang dapat berupa ganti rugi, denda, upacara

agama, dll. Asas musyawarah, laras, patut (pantas), dan rukun yang diterapkan

dalam hukum adat dapat diimplementasikan dalam hukum nasional di Indonesia.


326

4.3 Yurisprudensi

Mediasi penal dapat ditemukan dalam yurisprudensi di Indonesia,

khususnya pada bagian menimbang yang menunjukkan fakta bahwa telah terjadi

perdamaian atau mediasi penal diantara para pihak dan menjadi pertimbangan

hakim dalam memutus. Putusan pengadilan yang sering dijadikan yurisprudensi

sebagai dasar menimbang dalam menjatuhkan hukuman bagi pelaku yang telah

melakukan proses mediasi penal, diantaranya yaitu:

1) Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor: 46/Pid/UT/781/WAN


tanggal 17 Juni 1978

Penerapan mediasi penal dalam praktik peradilan tingkat pertama dapat

ditemukan dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara tanggal 17 Juni 1978

Nomor: 46/Pid/UT/781/WAN yang menyatakan dalam amar putusan bahwa

dalam perkara Ny. Ellya Dado (Kasus Ny. Elda) ini telah terjadi penyelesaian

secara perdamaian sehingga tidak lagi merupakan suatu kejahatan atau

pelanggaran yang dapat dihukum lagi dan melepaskan tertuduh dari segala

tuntutan hukum. Jaksa mendakwa Ny. Ellya Dado dengan sengaja melawan

hukum telah merampas kemerdekaan seseorang sebagaimana diatur dalam Pasal

333 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) sebagai

dakwaan primer, tindak pidana pemerasan sebagaimana diatur dalam Pasal 368

ayat (1) KUHP (subsider), dan penghinaan secara lisan sebagaimana diatur dalam

Pasal 315 KUHP (lebih subsider).479

479
Lihat Yurisprudensi/ Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor: 46/Pid/UT/
781/ WAN tanggal 17 Juni 1978, dengan hakim ketua sidang: Bismar Siregar.
327

2) Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644K/Pid/1988 tanggal 15 Mei


1991

Mediasi penal juga dapat ditemukan dalam Putusan Mahkamah Agung

RI Nomor 1644K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 bahwa dalam ratio decidendi

putusan ini menyebutkan apabila seorang melanggar hukum adat kemudian kepala

dan para pemuka adat memberikan reaksi adat atau sanksi adat, berarti yang

bersangkutan tidak dapat diajukan kembali sebagai terdakwa dalam persidangan

Badan Peradilan Negara atau Pengadilan Negeri dengan dakwaan yang sama

melanggar hukum adat dan dijatuhi penjara menurut ketentuan KUHP. Konklusi

dasar dari yurisprudensi ini mengakui eksistensi peradilan adat dengan adanya

mediasi penal.480

3) Putusan Mahkamah Agung Nomor 984K/Pid/1996 tanggal 30 Januari


1996

Putusan lainnya yang menghargai pidana adat dapat ditemukan dalam

Putusan Mahkamah Agung Nomor 984K/Pid/1996 tanggal 30 Januari 1996 yang

menyatakan jika pelaku perzinahan telah dijatuhi sanksi adat/reaksi adat dari para

pemangku desa adat maka tuntutan jaksa harus dinyatakan tidak dapat diterima.481

Putusan Mahkamah Agung Nomor 984K/Pid/1996 tanggal 30 Januari 1996 ini

menunjukkan bahwa pengadilan tidak menuntut untuk kedua kalinya terhadap

kasus pelanggaran hukum adat yang telah dijatuhi sanksi adat/reaksi adat.

480
Lilik Mulyadi, Op.Cit, h. 14.
481
Nyoman Serikat Putra Jaya, Op.Cit, h. 169.
328

4) Putusan Mahkamah Agung Nomor: 107/PK/Pid/2006 tanggal 21


November 2007

Mediasi penal juga dapat ditemukan dalam putusan tingkat Peninjauan

Kembali yakni Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam mengadili perkara

pada tingkat Peninjauan Kembali Nomor:107/PK/Pid/2006 tanggal 21 November

2007 dalam kasus tindak pidana “pembunuhan” sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 338 KUHP dalam dakwaan kesatu dan “tanpa hak membawa, menguasai,

senjata api dan amunisi” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 12/Drt/1951 dalam dakwaan kedua, oleh

terdakwa yang bernama Adiguna Sutowo (47 tahun) dengan tuntutan pidana

penjara selama seumur hidup. Putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Mahkamah Agung R.I. adalah

Adiguna Sutowo dijatuhi pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dipotong masa

tahanan.482

Dasar menimbang dalam Putusan Peninjauan Kembali dalam kasus ini

mencantumkan adanya alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan

Kembali pada pokoknya yang salah satunya adalah adanya perdamaian tanpa

pertimbangan meringankan hukuman. Menanggapi alasan-alasan peninjauan

kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali terkait adanya

perdamaian tanpa pertimbangan meringankan hukuman Mahkamah Agung

berpendapat:

Bahwa alasan ini dapat dibenarkan berdasarkan alasan-alasan yang pada


pokoknya sebagai berikut :

482
Lihat Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 107/PK/Pid/2006 tanggal 21 November
2007 dengan hakim ketua sidang: H. Parman Soeparman, h. 15-16.
329

1. bahwa alasan tersebut, merupakan kekeliruan yang nyata yaitu dalam


fakta yang ada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2) huruf c
KUHAP, dimana adanya bentuk perdamaian antara terpidana dan
keluarga korban kurang sempurna dipertimbangkan;
2. bahwa fakta adanya perdamaian antara terdakwa dengan keluarga korban
seharusnya dihubungkan dengan yurisprudensi (putusan Pengadilan
negeri Jakarta Utara tanggal 17 Juni 1978 No.46/Pid/UT/781/WAN)
(kasus Ny. ELLYA DADO)
Sehingga dengan demikian walaupun yurisprudensi tersebut tidak
sepenuhnya harus diikuti tetapi putusan a quo dapat di jadikan alasan
untuk pertimbangan yang lebih meringankan pidana yang dijatuhkan
khususnya yang berkaitan dengan dakwaan primair, apabila judex facti
/judex iuris telah mengetahui adanya putusan yang bersifat memenuhi
keadilan sosiologis (restorative justice) tersebut pada waktu persidangan
berlangsung;
3. Bahwa tidak berkelebihan untuk dikemukakan “restorative justice”
(keadilan sosiologis) adalah suatu proses melalui mana para pelaku
kejahatan yang menyesal menerima tanggung jawab atas kesalahan
mereka kepada mereka yang dirugikan dan kepada masyarakat yang
sebagai balasannya, mengizinkan bergabungnya kembali pelaku
kejahatan yang bersangkutan ke dalam masyarakat yang ditekankan ialah
pemulihan hubungan antara pelaku dengan korban (cq. keluarga
korban) di dalam masyarakat suatu keadilan sosiologis (restorative
justice) tersebut berbeda dengan sistem keadilan kriminal, yang menurut
Wright selalu mengharapkan penggunaan hukuman, yang mengakibatkan
“criminologenic” (bersifat menciptakan kejahatan), yakni penggunaan
hukuman itu sendiri sebagai tindakan pertama terhadap kejahatan,
menghasilkan kejahatan;
4. Bahwa memperhatikan Pasal 263 ayat (2) huruf a dan Pasal 266 ayat (3)
memungkinkan Mahkamah Agung untuk menjatuhkan putusan yang
lebih ringan pada pemeriksaan tingkat Peninjauan kembali.

Merujuk pada yurisprudensi serta pertimbangan-pertimbangan yang ada,

Mahkamah Agung pada putusan Peninjauan Kembali Nomor:107/PK/Pid/2006

tanggal 21 November 2007 ini berpendapat terdapat cukup alasan untuk

mengurangi lamanya pidana yang dijatuhkan kepada terpidana sehingga dapat

dicapai tujuan restorative justice (keadilan sosiologis). Tujuan pemidanaan yang

lebih bersifat edukatif dan korrektif dengan tetap memperhatikan tujuan

pemidanaan yang bersifat preventif. Menurut pendapat Mahkamah Agung


330

terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan Peninjauan kembali yang

diajukan oleh Pemohon Peninjauan kembali/Terpidana : ADIGUNA SUTOWO

dan mengadili kembali dengan menjatuhkan pidana penjara selama 4 (empat)

tahun.483

Putusan pengadilan lainnya yang memuat adanya fakta telah terjadinya

mediasi penal diantara para pihak dan dijadikan dasar memutus bagi hakim

adalah:

1) Putusan Mahkamah Agung No.1600 K/Pid/2009 tanggal 24 November


2009

Putusan Mahkamah Agung No.1600 K/Pid/2009 tanggal 24 November

2009 atas terdakwa ISMAYAWATI (26 tahun) merupakan putusan atas

permohonan kasasi termohon/terdakwa atas putusan pengadilan negeri

Yogyakarta. Terdakwa Ismayawati dalam kasus ini dituntut dengan Pasal 378 jo

64 ayat (1) KUHP dalam dakwaan kesatu atau (sebagai dakwaan alternatif)

dituntut dengan Pasal 372 jo 64 ayat (1) KUHP .

Dasar menimbang dalam Putusan Mahkamah Agung No.1600

K/Pid/2009 tanggal 24 November 2009 ini, terkait dengan alasan-alasan pemohon

mengajukan kasasi, Mahkamah Agung berpendapat bahwa:

Bahwa walaupun perkara ini perkara pidana, namun perdamaian yang


terjadi antara pelapor dengan terlapor mengandung nilai yang tinggi yang
harus diakui, karena bagaimanapun juga bila perkara ini dihentikan
manfaatnya lebih besar dari pada bila dilanjutkan.
Bahwa ajaran keadilan Restoratif mengajarkan bahwa konflik yang disebut
kejahatan harus dilihat bukan semata-mata sebagai pelanggaran terhadap
negara dengan kepentingan umum tetapi konflik juga merepresentasikan
terganggunya, bahkan mungkin terputusnya hubungan antara dua atau lebih
individu di dalam hubungan kemasyarakatan dan Hakim harus mampu

483
Ibid, h. 18-19.
331

memfasilitasi penyelesaian konflik yang memuaskan untuk para pihak yang


berselisih;484

Atas pertimbangan hakim maka hakim mengabulkan permohonan kasasi

dari Pemohon Kasasi/Terdakwa : ISMAYAWATI dan membatalkan putusan

Pengadilan Tinggi Yogyakarta No. 01/PID/ PLW/2009/PTY. tanggal 02 Maret

2009 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta

No.317/PID.B/2008/PN.YK. tanggal 03 Desember 2008. Mengabulkan

permohonan pencabutan Pengaduan yang diajukan oleh EMIWATI.

3) Putusan Pengadilan Negeri Nomor 46/Pid.B/2014/PN.Mrb


Marabahan tanggal 1 Maret 2014

Putusan Pengadilan Negeri Nomor 46/Pid.B/2014/PN.Mrb Marabahan

tanggal 1 Maret 2014 ini adalah putusan pengadilan dalam kasus kecelakaan lalu

lintas yang mengakibatkan korban meninggal dunia. Terdakwa atas nama

Rosianto Bin Gumin (38 tahun) dengan tuntutan melakukan tindak pidana

“kelalaian yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan orang

lain meninggal dunia” sebagaimana dalam dakwaan dan melanggar dimaksud

dalam Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan, dengan tuntutan pidana penjara selama : 6 (enam)

bulan dengan masa percobaan selama 1 (satu) tahun.

Pembelaan dipersidangan terdakwa telah memohon keringanan hukuman

karena terdakwa telah menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan

mengulanginya lagi. Dasar menimbang di sebutkan juga bahwa faktanya atas

484
Lihat Putusan Mahkamah Agung No.1600 K/Pid/2009 tanggal 24 November 2009,
dengan hakim ketua Dr. Harifin A. Tumpa,SH.MH, h. 23.
332

peristiwa tersebut telah terjadi perdamaian antara terdakwa dengan keluarga

korban.485

Hal – hal yang meringankan dalam kasus atau persidangan sebagaimana

yang dicantumkan dalam Putusan Pengadilan Negeri Nomor

46/Pid.B/2014/PN.Mrb Marabahan tanggal 1 Maret 2014 ini salah satunya adalah

telah terjadi perdamaian antara terdakwa dengan keluarga korban Noor Ifansyah

dan terdakwa telah memberikan santunan kepada pihak Keluarga. Hakim menilai

dengan merujuk yurisprudensi (Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara tanggal

17 Juni 1978 Nomor : 46/Pid/UT/781/WAN: KAsus Ny. Ellya Dado), maka sudah

cukup beralasan Hakim menjatuhkan putusan sebagaimana dalam amar putusan

sehingga diharapkan dapat tercapainya tujuan dari keadilan sosiologis/restorative

justice. Tujuan pemidanaan yang bersifat edukatif dan korektif dengan tetap

memperhatikan tujuan pemidanaan yang bersifat preventif khususnya bagi

terdakwa.486

Hakim dalam putusan ini mengabulkan permohonan terdakwa. Hal ini

dituangkan dalam amar Putusan Pengadilan Negeri Nomor

46/Pid.B/2014/PN.Mrb Marabahan tanggal 1 Maret 2014 dengan tidak

menjatuhkan hukuman, kecuali dikemudian hari ada perintah lain dalam putusan

Hakim, bahwa terpidana sebelum waktu percobaan selama 10 (sepuluh) bulan

berakhir, telah bersalah melakukan suatu tindak pidana.487

485
Putusan Pengadilan Negeri Nomor 46/Pid.B/2014/PN.Mrb Marabahan tanggal 1
Maret 2014, dengan hakim ketua: Roedy Suharso, S.H, M.H, h. 13.
486
Ibid, h. 26.
487
Ibid, h. 30.
333

2) Putusan Pengadilan Negeri Singaraja Bali, Nomor :


30/Pid.Sus/2015/PN.Sgr, tanggal 1 April 2015

Terdakwa Moh. Ali Bilfakih (32 tahun) dalam kasus ini didakwa telah

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

“mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan

kecelakaan lalu lintas dengan mengakibatkan orang lain meninggal dunia”. Hal ini

sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor : 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan, sesuai dakwaan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana

penjara selama 6 (enam) bulan dengan masa percobaan 1 (satu) tahun.

Terkait adanya perdamaian dalam kasus ini telah dituangkan dalam

putusan ini sebagai dasar menimbang:

Menimbang, bahwa dipersidangan terungkap fakta bahwa antara terdakwa


dengan keluarga korban telah terjadi perdamaian dan terdakwa telah
memberikan santunan kepada keluarga korban sehingga pada pokoknya
keluarga korban meninggal dunia sudah memaafkan terdakwa maka tidak
berkelebihan untuk dikemukakan “restorative justice” (keadilan sosiologis)
sebagai suatu proses melalui mana para pelaku kejahatan yang menyesal
menerima tanggung jawab atas kesalahan mereka kepada mereka yang
dirugikan dan kepada masyarakat yang sebagai balasannya mengizinkan
bergabungnya kembali pelaku kejahatan yang bersangkutan ke dalam
masyarakat yang ditekankan ialah pemulihan hubungan antara pelaku
dengan korban (cq. keluarga korban) di dalam masyarakat, suatu keadilan
sosiologis (restorative justice) tersebut berbeda dengan sistem keadilan
kriminal, yang menurut Wright selalu mengharapkan penggunaan hukuman,
yang mengakibatkan “criminologenic” (bersifat menciptakan kejahatan),
yakni penggunaan hukuman itu sendiri sebagai tindakan pertama terhadap
kejahatan, menghasilkan kejahatan.

Dasar menimbang yang memuat adanya fakta perdamaian dalam

Putusan Pengadilan Negeri Singaraja Bali, Nomor : 30/Pid.Sus/2015/PN.Sgr,

tanggal 1 April 2015 ini dirujuk atau didasari dari Putusan Nomor 107
334

PK/Pid/2006 dalam perkara atas nama terpidana Adiguna Sutowo (putusan hal.16-

17), yang mendasarkan pula pada Yurisprudensi (putusan Pengadilan Negeri

Jakarta Utara tanggal 17 Juni 1978 No.46/Pid/UT/781/WAN: Kasus Ny. ELLYA

DADO).488 Putusan Pengadilan Negeri Singaraja Bali, Nomor : 30/Pid.Sus/2015/

PN.Sgr, tanggal 1 April 2015 secara tegas dan jelas menyatakan bahwa hal-hal

yang meringankan dalam kasus/persidangan salah satunya adala telah ada

perdamaian antara terdakwa dengan keluarga korban. Atas pertimbangan dan ini

hakim menjatuhkan putusan dalam amar putusan dengan memerintahkan pidana

yang dijatuhkan kepada terdakwa tidak usah dijalani, kecuali jika dikemudian hari

ada perintah/putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena terpidana

melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama 10 (sepuluh)

bulan habis. 489

Berdasarkan kajian dari yurisprudensi ini menunjukkan bahwa hakim

dalam yurisprudensi tersebut telah berpikir secara progresif dengan

memperhatikan keadilan restoratif dalam menjatuhkan putusan. Yurisprudensi ini

bukan menunjukkan bahwa mediasi penal dilakukan oleh hakim, namun hakim

menjadikan hasil mediasi penal sebagai dasar pertimbangan dalam memutus.

Fakta bahwa telah terjadi perdamaian atau mediasi penal diantara para pihak akan

menjadi pertimbangan hakim untuk meringankan hukuman atau bahkan dapat

membebaskan terdakwa.Yurisprudensi ini juga menunjukkan bahwa pengadilan

telah mengakui keberadaan mediasi penal.

488
Lihat Putusan Pengadilan Negeri Singaraja Bali, Nomor : 30/Pid.Sus/2015/PN.Sgr,
tanggal 1 April 2015 dengan hakim ketua sidang: Haruno Patriadi, SH., MH., h. 15-16.
489
Ibid, h. 17.
335

BAB V

KONSTRUKSI MEDIASI PENAL DALAM PENYELESAIAN TINDAK

PIDANA RINGAN DI MASA YANG AKAN DATANG

(IUS CONSTITUENDUM)

Mediasi penal telah diterapkan dan berkembang hingga saat ini di

beberapa negara di dunia. Dapat dikatakan bahwa perlunya penerapan mediasi

penal juga disadari oleh dunia internasional. Melalui berbagai pertemuan

internasional dan berbagai instrumen internasional mediasi penal dianjurkan

penggunaannya dalam menyelesaikan perkara pidana dan menjadi pembahasan

dalam pembaharuan hukum pidana, yakni:

1. Kongres PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)

a. Kongres PBB ke-9/1995 mengenai manajemen peradilan pidana (Ninth


United Nation Congress on The Prevention of Crime and The Treatment
of Offenders)

Kongres ini diselenggarakan di Cairo, Egypt pada tanggal 29 April

- 8 Mei 1995. Arahan penerapan mediasi penal dalam Kongres PBB ke-

9/1995 mengenai manajemen peradilan pidana (Ninth United Nation

Congress on The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders) ini

khususnya dapat ditemukan pada dokumen penunjang yaitu dokumen

A/CONF.169/6 (31 Januari 1995).

Dokumen A/CONF.169/6 dalam kesimpulannya salah satunya

menyatakan perlunya semua negara mempertimbangkan “privatizing some

law enforcement and justice functions” dan “drawing on alternative dispute

335
336

resolution procedures, including mediation and conciliation, restitution,

and compensation” dalam sistem peradilan pidana. Hal ini menunjukkan

bahwa prosedur penyelesaian kasus melalui mediasi dianjurkan

penggunaannya dalam penegakan hukum dan keadilan.

b. Laporan Kongres PBB ke-9/1995 (Ninth United Nation Congress on The


Prevention of Crime and The Treatment of Offenders), khususnya pada
dokumen A/CONF. 169/16

Laporan Kongres PBB ke-9/1995 (Ninth United Nation Congress

on The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders), khususnya

pada dokumen A/CONF. 169/16 dalam laporan No. 112 menyatakan bahwa:

The problems of court case overload and of the resultant delays in

proceedings were mentioned repeatedly. Other approaches mentioned were

release on paralo and mediation, restitution and compensation in

particular, for first offender and young offenders. Laporan ini menyatakan

perlunya mediasi penal sebagai pendekatan atau solusi untuk mengatasi

masalah penumpukan perkara di pengadilan dan penundaan/lamanya proses

persidangan di pengadilan.

Laporan Kongres PBB ke-9/1995 (Ninth United Nation Congress

on The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders), khususnya

pada dokumen A/CONF. 169/16 dalam Laporan No. 319 menyatakan

bahwa: Speaking on behalf of France, Ms. Toulmonde (Ministry of Justic)

explained the institution of “penal mediation” as alternative to

prosecution, which made it possible to seek a negotiated solution between

offender and victim, with the help of a third party appointed by the judicial
337

authorities. Laporan ini menyatakan bahwa “mediasi penal” sebagai suatu

alternatif penuntutan yang memberikan kemungkinan penyelesaian

negosiasi antara pelaku tindak pidana dengan korban dengan bantuan pihak

ketiga (mediator).

2. International Penal Reform Conference yang diselenggarakan di Royal


Holloway College, University of London, Egham, Surrey, United
Kingdom pada tanggal 13-17 April 1999

International Penal Reform Conference yang diselenggarakan di

Royal Holloway College, University of London, Egham, Surrey, United

Kingdom pada tanggal 13-17 April 1999 menyatakan bahwa the key

elements of a new agenda for penal reform (salah satu unsur kunci dari

agenda baru pembaharuan hukum pidana salah satunya adalah): “The need

to enrich the formal judicial system with informal, locally based, dispute

resolution mechanisms which meet human rights standards” (perlunya

memperkaya sistem peradilan formal dengan sistem atau mekanisme

informal dalam penyelesaian sengketa yang sesuai dengan standar-standar

hak asasi manusia. Hal ini menunjukkan mekanisme informal dalam

penyelesaian kasus diperlukan dan menjadi salah satu agenda baru dalam

pembaharuan hukum pidana. Salah satu mekanisme informal yang dikenal

adalah penggunaan mediasi penal.

Konfrensi ini juga mengidentifikasikan sembilan strategi

pengembangan dalam melakukan pembaharuan hukum pidana yaitu

mengembangkan/membangun:
338

1. Restorative justice

2. Alternative dispute resolution

3. Informal justice

4. Alternatives to Custody

5. Alternative ways of dealing with juveniles

6. Dealing with Violent Crime

7. Reducing the prison population

8. The Proper Management of Prisons, and

9. The role of civil society in penal reform.

Menurut penulis dalam konteks ini sembilan strategi pengembangan dalam

melakukan pembaharuan hukum pidana dapat diaktualisasikan dengan

menerapkan dan mengembangkan mediasi penal.

3. The Committee of Ministers of the Council of Europe (Komisi Para


Menteri Dewan Eropa) pada tanggal 15 September 1999

The Committee of Ministers of the Council of Europe (Komisi Para

Menteri Dewan Eropa) pada tanggal 15 September 1999 telah menerima

recommendation No. R (99) 19 tentang “Mediation in Penal Matters”

(Adopted by the Committee of Ministers on 15 September 1999 at the 679th

meeting of the Ministers' Deputies). Hal ini menunjukkan rekomendasi

“Mediation in Penal Matters” atau mediasi penal untuk menyelesaikan

kasus/perkara pidana telah diterima dan diadopsi di Eropa. Hal ini menurut

penulis dapat diikuti oleh negara-negara lainnya untuk menerapkan,


339

mengembangkan, dan mengadopsi mediasi penal dalam sistem peradilan

pidana yang berlaku.

4. Deklarasi Wina pada Kongres PBB ke-10/2000 (Tenth United Nations


Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders
Vienna, 10-17 April 2000) khususnya pada dokumen A/CONF.
187/4/Rev.3

Deklarasi Wina pada Kongres PBB ke-10/2000 (Tenth United

Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of

Offenders Vienna, 10-17 April 2000) khususnya pada dokumen A/CONF.

187/4/Rev.3, declare as follows deklarasi/ketentuan nomor 27 menyatakan

bahwa, We decide to introduce, where appropriate, national, regional and

international action plans in support of victims of crime, such as

mechanisms for mediation and restorative justice, and we establish 2002 as

a target date for States to review their relevant practices, to develop further

victim support services and awareness campaigns on the rights of victims

and to consider the establishment of funds for victims, in addition to

developing and implementing witness protection policies. Hal ini

menunjukkan bahwa mediasi diperkenalkan sebagai sebuah mekanisme

yang mendukung atau memberikan perlindungan kepada korban kejahatan.

Hendaknya dalam hal ini diintrodusir mekanisme mediasi dan restorative

justice.
340

5. ECOSOC (The United Nations Economic and Social Council) pada


tanggal 24 Juli 2002

ECOSOC pada tanggal 24 Juli 2002 telah menerima Resolution

2002/12 tentang “Basic Principles on The Use of Restorative Justice

Programmes In Criminal Matters”. Basic Principles on The Use of

Restorative Justice Programmes In Criminal Matters juga mencakup

masalah mediasi. Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa telah

diterimanya prinsip dasar penggunaan program Restorative Justice dalam

masalah pidana, salah satu program Restorative Justice yang ada adalah

mediasi penal.

6. Council Framework Decision of 15 March 2001 (2001/220/JHA)(regional)

Uni Eropa membuat the EU Council Framework Decision tentang

“kedudukan korban di dalam proses pidana” (the Standing of Victims in

Criminal Proceedings) yang di dalamnya termasuk juga masalah mediasi.

Article 1 (e) dari framework decision ini mendefinisikan mediation in

criminal cases shall be understood as the search, prior to or during

criminal proceedings, for a negotiated solution between the victim and the

author of the offence, mediated by a competent person. Hal ini menunjukkan

bahwa mediasi penal adalah proses mencari solusi untuk menyelesaikan

permasalahan dengan melakukan negosiasi antara korban dan pelaku

kejahatan dengan melibatkan mediator yang berkompeten.


341

Article 10 dalam framework decision ini juga membahas mengenai

mediasi yang menyatakan bahwa:

1) Each Member State shall seek to promote mediation in criminal cases


for offences which it considers appropriate for this sort of measure.
2) Each Member State shall ensure that any agreement between the victim
and the offender reached in the course of such mediation in criminal
cases can be taken into account.

Hal ini menunjukkan bahwa setiap Member State berusaha untuk

memperkenalkan penggunaan mediasi dalam penyelesaian kasus pidana

terhadap kasus-kasus pidana yang sesuai dan memastikan bahwa setiap

kesepakatan yang dibuat oleh korban dan pelaku kejahatan melalui

mekanisme mediasi dapat diperhitungkan/dipertimbangkan.

Berbagai instrumen internasional yang terkait dengan mediasi penal ini

pada dasarnya belum diratifikasi oleh Indonesia sehingga tidak memiliki kekuatan

mengikat, namun dapat menjadi arahan bagi Indonesia. Hal ini dapat

ditindaklanjuti dengan pembentukkan hukum mengenai mediasi penal, khususnya

dalam penyelesaian tindak pidana ringan agar dapat berlaku sebagai hukum positif

di Indonesia.

Pengaturan mediasi penal dalam penyelesaian kasus tindak pidana ringan

dapat dituangkan dalam beberapa bentuk aturan. Barda Nawawi Arief mengutip

uraian dari Tony Peters, dalam tulisannya yang berjudul “From Community

Sanction to Restorative Justice The Belgian Example” menyatakan bahwa

gambaran pengaturan atau legal framework mengenai mediasi penal dibeberapa

negara Eropa:
342

1. Ditempatkan sebagai bagian dari UU Peradilan Anak (the Juvenile


Justice Act), yaitu di Austria, Jerman, Finlandia, dan Polandia;
2. Ditempatkan dalam KUHAP (the Code of Criminal Procedure), yaitu di
Austria, Belgia, Finlandia, Perancis, dan Polandia;
3. Ditempatkan dalam KUHP (the Criminal Code), yaitu di Finlandia,
Jerman, dan Polandia;

4. Diatur tersendiri secara otonom dalam UU Mediasi (the Mediation Act),


seperti di Norwegia, yang diberlakukan untuk anak-anak maupun orang
dewasa.490

Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa ada berbagai cara dalam

merumuskan peraturan mediasi penal di negara-negara dengan sistem hukum

Eropa Kontinental (Civil Law), yakni dituangkan dalam undang-undang yang

terkodifikasi (KUHP dan KUHAP), tersebar di berbagai undang-undang (dalam

Undang-Undang Peradilan Anak) dan diatur tersendiri secara otonom dalam

Undang-Undang Mediasi. Indonesia dapat mengikuti semua cara ini, namun lebih

tepat menurut penulis jika diatur dalam KUHAP di Indonesia.

Apabila dikaji berdasarkan kondisi hukum di Indonesia, pengaturan

mediasi penal dalam penyelesaian kasus tindak pidana ringan dapat dimasukkan

dalam revisi KUHAP yang saat ini sedang berjalan, sehingga lebih efisien dan

menghemat biaya. Hal inilah yang perlu dikontruksikan.

Konstruksi kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana tentang

mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana ringan tidak hanya mengacu pada

teknik perancangan peraturan perundang-undangan dengan berpedoman pada asas

pembentukan perundang-undangan yang baik secara yuridis normatif/yuridis

490
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, h. 39; lihat juga Tony Peters, From Community
Sanctions to Restorative Justice The Belgian Example, www.unafei.or.jp/english/pdf/PDF
_rms/no61/ch12.pdf, dibuka pada tanggal 30 Agustus 2016 diakses pukul 23.38 WITA; lihat juga
Ivo Aertsen, Restorative Justice in A European Perspective, http://www.extern.org/restorative
/99_Conf_Aertsen.htm or link: http://www.justiciarestaurativa.org/www.restorativejustice.org
/articlesdb/articles/449, dibuka pada tanggal 30 Agustus 2016 diakses pukul 23.38 WITA.
343

formal, namun juga memerlukan pendekatan yuridis faktual seperti yang

dijelaskan oleh Barda Nawawi Arief. Pendekatan yuridis faktual ini seperti yang

telah disampaikan oleh Barda Nawawi Arief dapat meliputi berbagai pendekatan,

seperti pendekatan sosiologis, historis, dan komparatif, dan bahkan memerlukan

pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin sosial lainnya dan pendekatan

integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya.

Berbagai pendekatan yang diperlukan dalam membentuk suatu kebijakan

hukum pidana atau politik hukum pidana akan digunakan sebagai kajian dalam

membentuk kontruksi hukum mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana

ringan pada masa yang akan datang (ius constitutum). Mengacu pada pandangan

Barda Nawawi Arief yang diilhami atau merupakan ide pemikiran dari M. Cherif

Bassiouni bahwa kebijakan hukum pidana juga memuat pendekatan kebijakan dan

pendekatan nilai yang juga menjadi dasar dalam pembahasan ini.

Secara historis, seiring dengan perkembangan tipe hukum yang

sebagaimana dirumuskan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam tipe

hukum represif (koersif), otonom, dan responsif menunjukkan perkembangan

paradigma pengaturan sebuah peraturan perundang-undangan. Kini tipe hukum

negara Indonesia lebih mengarah pada tipe hukum responsif sehingga sangat

diharapkan mampu berlaku dan diakui oleh masyarakat. Penormaan mengenai

mediasi penal ini untuk kedepan merupakan langkah yang harus dilaksanakan dan

tetap berpegangan pada kerangka tipe hukum responsif. Bukan berdasarkan rezim

orde baru, namun kini mengarah pada rezim reformasi yang berlandaskan tipe

hukum responsif yang tidak melepaskan persoalan menjawab kebutuhan hukum


344

masyarakat, yang tentunya dapat bermanfaat bagi masyarakat luas. Pembentukan

hukum juga harus bersifat progresif sehingga hukum efektif untuk diterapkan.

Kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana tentang mediasi

penal dalam penyelesaian tindak pidana ringan pada masa yang akan datang (ius

constitutum) perlu dirumuskan dalam sebuah kontruksi hukum yang nantinya

dapat menjadi masukan bagi badan legislatif dalam mengatur mediasi penal dalam

sebuah undang-undang.

Konstruksi mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana ringan di

masa yang akan datang (ius constituendum) dalam disertasi ini dibagi menjadi 5

(lima) bagian yakni:

1. Konsep mediasi penal.

2. Konsep tindak pidana ringan dan jenis tindak pidana ringan yang dapat

diselesaikan melalui mediasi penal.

3. Konsep mediasi penal dan tindak pidana ringan dalam pembaharuan

hukum pidana di indonesia.

4. Model mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana ringan di

indonesia.

5. Prinsip-prinsip dan mekanisme mediasi penal dalam penyelesaian tindak

pidana ringan.

Konstruksi dalam hal ini adalah bangunan atau model yang ideal tentang konsep

mediasi penal, konsep tindak pidana ringan dan jenis tindak pidana ringan yang

dapat diselesaikan melalui mediasi penal, konsep mediasi penal dan tindak pidana

ringan dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia, model mediasi penal


345

dalam penyelesaian tindak pidana ringan di Indonesia, serta prinsip-prinsip dan

mekanisme mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana ringan.

Konstruksi ini dibentuk dengan berbagai pendekatan dengan tujuan untuk

menghasilkan model yang ideal. Kontruksi hukum ini secara lebih lengkap akan

dibahas dalam sub bahasan berikut ini.

5.1 Konsep Mediasi Penal

Mediasi penal merupakan alternatif penyelesaian perkara pidana di luar

pengadilan dengan melibatkan mediator. Mediasi penal menjadi sebuah

mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan dan di luar Sistem

Peradilan Pidana. Keberadaan mediatorlah yang membedakannya dengan jenis

alternatif penyelesaian kasus lainnya seperti yang dikenal dalam ADR

(Alternative Dispute Resolution) di bidang hukum perdata. Seperti yang

dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief, ADR pada umumnya digunakan di

bidang perdata, tidak digunakan dalam kasus-kasus pidana, oleh sebab itu perlu

penegasan konsep mediasi penal dalam hukum pidana.

Konsep mediasi penal menunjukkan penggunaan istilah mediasi dalam

bidang hukum pidana, sehingga perlu dibedakan dengan istilah mediasi yang

digunakan dalam hukum perdata. Tidak dapat dipungkiri bahwa mediasi penal

tidak bisa dilepaskan dari perkembangan mediasi dalam hukum perdata, karena

awalnya mediasi berkembang dalam hukum perdata, namun perlu dikaji mengenai

perbedaan mediasi dalam hukum perdata dan dalam hukum pidana.

Mediasi dalam hukum perdata dan mediasi penal dalam hukum pidana

memiliki beberapa perbedaan, meskipun memiliki berbagai kesamaan dalam


346

kemudahan atau keuntungan. Hal ini terkait dengan sifat hukum perdata sebagai

hukum privat dan hukum pidana sebagai hukum publik, meskipun kedua sifat ini

tidak tepat untuk didikotomikan secara tegas.

Terkait dengan pendapat Frans Hendra Winartha bahwa alternatif

penyelesaian sengketa dalam hukum perdata bersifat tertutup untuk umum (close

door session) dan menjamin kerahasiaan para pihak (confidentiality). Hal ini

menunjukkan adanya perbedaan dalam mediasi penal yang berlaku dalam hukum

pidana sebagai hukum publik. Hukum pidana, karena sifatnya sebagai hukum

publik maka pada kasus (delik biasa) dapat diketahui oleh publik, sehingga tidak

ada kerahasiaan dalam hal ini, kecuali pada kasus-kasus tertentu yang tertutup

untuk umum, misalnya pada delik kesusilaan. Hal dikarenakan dampak kejahatan

tidak hanya dirasakan oleh korban secara langsung. Masyarakat juga terkena

dampak dari kejahatan, sehingga proses yang tertutup dan kerahasiaan tidak

mutlak untuk dilakukan.

Mediasi penal sebagai proses pemulihan dan perbaikan pihak-pihak yang

terkena kejahatan (korban, pelaku, masyarakat) menjadi sarana yang penting

dalam mencapai keadilan dan kemanfaatan bagi semua pihak. Inilah yang juga

membedakannya dengan proses litigasi dalam peradilan pidana. Fokus utama

dalam mediasi penal adalah komunikasi para pihak untuk mencapai kesepakatan

(win-win solution) dan hal yang terpenting bukanlah pidana atau hukuman namun

proses pemulihan dan perbaikan pihak-pihak yang dirugikan akibat kejahatan,

melalui ganti rugi/kompensasi/restitusi yang diberikan pelaku kejahatan kepada

korban.
347

Konsep mediasi penal menjadi sebuah terobosan, sebagai proses

pengalihan proses penyelesaian perkara pidana dari pengadilan ke luar pengadilan

dan dari Sistem Peradilan Pidana ke luar dari Sistem Peradilan Pidana. Kajian

disertasi ini mengkaji mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana ringan,

khususnya pengalihan mekanisme atau sistem pemeriksaan tindak pidana ringan

yang diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP agar dapat dialternatifkan untuk

diselesaikan melalui mediasi penal.

Praktek mediasi penal memang dapat ditemukan, namun belum ada dasar

hukum yang kuat serta mekanisme yang jelas, karena yang berlaku dan memiliki

mekanisme yang jelas hanyalah proses penyelesaian perkara pidana melalui

litigasi. Perlu dilakukan konstruksi mediasi penal, khsususnya dalam penyelesaian

kasus tindak pidana ringan dengan konsep yang jelas.

Sebagai langkah awal, perlu diadakan penyelarasan penggunaan istilah

atau penyebutan alternatif penyelesaian perkara pidana dengan bantuan mediator

ini sebagai “mediasi penal”, karena dalam prakteknya alternatif penyelesaian

perkara pidana ini disebut dengan berbagai istilah yang berbeda-beda, dalam

praktek masih banyak yang menyebutnya sebagai mediasi atau ADR sehingga

mengakibatkan kerancuan makna yang mengarah pada mediasi dalam hukum

perdata.491 Dalam prakteknya di masyarakat, mediasi penal juga disebut dengan

berbagai istilah. Perlu diadakan penyamaan penggunaan istilah, sehingga secara

491
Terkait dengan penyebutan istilah, Surat Kepolisian Negara Republik Indonesia No.
Pol: B/3022/XXI/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember 2009 menyebut mediasi penal dengan
istilah “Alternative Dispute Resolution (ADR)”. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Pemolisian Masyarakat menyebut mediasi penal dengan
istilah “mediasi”. Masyarakat dalam prakteknya sering menyebut istilah mediasi penal dengan
istilah “damai”, “perdamaian”, dalam lembaga peradilan adat, juga digunakan istilah yang
berbeda-beda yang menunjukkan adanya penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan.
348

teoritis dan praktis mediasi dalam hukum pidana dapat disebut dengan istilah

“mediasi penal”.

Langkah selanjutnya adalah memberi penegasan konsep bahwa mediasi

penal merupakan alternatif penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan dengan

melibatkan mediator. Mediasi penal menjadi sebuah mekanisme pengalihan

proses dari pengadilan ke luar pengadilan, serta sebagai sarana perbaikan atau

pemulihan pihak-pihak yang terkena kejahatan. Konstruksi konsep mediasi penal

ini perlu dirumuskan dalam undang-undang agar mendapatkan kesepahaman

dalam penerapannya.

5.2 Konsep Tindak Pidana Ringan dan Jenis Tindak Pidana Ringan
yang Dapat diselesaikan Melalui Mediasi Penal

5.2.1 Konsep Tindak Pidana Ringan (Tipiring)

Penyelesaian tindak pidana ringan dalam penegakan hukum di Indonesia

kerap memberikan ketidakadilan. Hal ini dikarenakan masih terdapat

ketidaksesuaian pemahaman mengenai tindak pidana ringan, sehingga perlu

ditegaskan mengenai konsep tindak pidana ringan.

Beberapa penanganan kasus tindak pidana ringan menunjukkan masih

adanya ketidakpahaman dalam penanganan kasus tindak pidana ringan.

Berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, tindak pidana ringan seharusnya

diproses melalui acara pemeriksaan cepat dengan hakim tunggal dan tanpa

penahanan, namun kasus tindak pidana ringan cenderung ditangani seperti

penanganan tindak pidana biasa (delik biasa), sehingga merugikan dan tidak

memberikan keadilan.
349

Sebelum membentuk konstruksi konsep tindak pidana ringan, maka perlu

dilakukan konstruksi yuridis terkait pemahaman yuridis mengenai tindak pidana

ringan. Pengaturan tindak pidana ringan dapat ditemukan dalam berbagai

Peraturan-perundang-undangan dan juga ditunjang oleh beberapa dokumen.

KUHP tidak memberikan definisi mengenai tindak pidana ringan. 492

KUHP juga tidak mengatur secara tegas pengkategorisasian/pengelompokan

tindak pidana ringan. Definisi tindak pidana ringan dapat disimpulkan dari

pengaturannya dalam KUHAP.

KUHAP mengatur pemeriksaan tindak pidana berdasarkan berat-

ringannya kejahatan, serta mudah/sederhananya proses pembuktian dan penerapan

hukumnya. Terkait dengan hal ini, pemeriksaan perkara dalam KUHAP terbagi

menjadi 3 (tiga), yakni acara pemeriksaan biasa, singkat, dan cepat.

Tindak pidana ringan (tipiring) diperiksa menurut “acara pemeriksaan

cepat” yakni termasuk pada “acara pemeriksaan tindak pidana ringan”

sebagaimana diatur dalam Pasal 205 ayat (1) KUHAP. Pasal 205 ayat (1) KUHAP

menyatakan bahwa, yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana

ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling

lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah

492
KUHP mengatur berbagai tindak pidana dengan rumusan pasal yang memuat sanksi
yang berbeda-beda. KUHP membagi menjadi 3 buku yakni:
1. Buku kesatu: aturan umum,
2. Buku kedua: kejahatan, dan
3. Buku ketiga: pelanggaran.
KUHP membedakan antara kejahatan dan pelanggaran. Pelanggaran yang diatur dalam
buku ketiga memiliki sanksi pidana yang lebih rendah dari kejahatan, namun dalam buku kedua
tentang kejahatan juga dapat ditemukan perumusan delik atau tindak pidana ringan. Kini, dalam
Rancangan KUHP tidak membedakan lagi penggolongan tesebut. Dalam rancangan KUHP,
kejahatan dan pelanggaran disebut sebagai “tindak pidana”.
350

dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian ini

(pelanggaran lalu lintas). Penjelasan Pasal 205 ayat (1) KUHAP dinyatakan

bahwa, “Tindak pidana "penghinaan ringan" ikut digolongkan di sini dengan

disebut tersendiri, karena sifatnya ringan sekalipun ancaman pidana penjara paling

lama empat bulan”.

Ketentuan Pasal 205 ayat (1) KUHAP dan penjelasan Pasal 205 ayat (1)

KUHAP menunjukkan bahwa ancaman pidana (pidana penjara atau kurungan

paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus

rupiah) dan penghinaan ringan (karena sifatnya yang ringan yang disebutkan

secara tegas dalam KUHP) merupakan batasan dan kriteria dalam menentukan

tindak pidana ringan (tipiring) dalam KUHP). Tindak pidana ringan adalah tindak

pidana yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga

bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan

penghinaan ringan.493

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang

Sistem Peradilan Anak juga mengatur mengenai penjelasan tindak pidana ringan

yang dapat diselesaikan secara diversi jika pelakunya adalah seorang anak.

Menurut Penjelasan Pasal 9 ayat (2) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak yang dimaksud dengan

tindak pidana ringan adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara

atau pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan. Berdasarkan hal ini, Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan

493
Jumlah denda disesuaikan.
351

Anak hanya mengelompokkan tindak pidana ringan berdasarkan pada ancaman

pidananya saja yakni pidana penjara atau pidana kurungan paling lama 3 (tiga)

bulan.494

Pasal 1 angka 1 Peraturan Kepala Badan Pembinaan Keamanan

Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2009 Tentang

Penanganan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) menjelaskan bahwa tindak pidana

ringan yang selanjutnya disingkat tipiring adalah perkara yang diancam dengan

pidana penjara atau kurungan paling lama 3 bulan dan/atau denda sebanyak-

banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan, kecuali
495
pelanggaran lalu lintas. Peraturan Kepala Badan Pembinaan Keamanan

Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2009 Tentang

Penanganan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dalam hal ini menegaskan bahwa

pelanggaran lalu lintas tidak termasuk tindak pidana ringan yang dimaksudkan

dalam peraturan ini. Hal ini juga sejalan dengan pembagian sistem pemeriksaan

cepat dalam KUHAP.

Peraturan Kepala Badan Pemelihara Keamanan Kepolisian Negara

Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Penanganan Tindak Pidana

Ringan (Tipiring) juga memberikan pengertian tentang tindak pidana ringan yang

494
Terlihat adanya perbedaan yang dapat mengakibatkan kerancuan makna dalam
penjelasan mengenai tindak pidana ringan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11
tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Anak hanya mengkategorisasikan tindak pidana berdasarkan
ancaman pidananya yakni tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara atau pidana
kurungan paling lama 3 (tiga) bulan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Anak tidak menjelaskan bahwa penghinaan ringan juga dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana ringan, meskipun diancam hukuman selama 4 bulan penjara.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak tidak
memperhatikan tindak pidana yang sifatnya ringan yang secara tegas disebutkan dalam KUHP,
sebagai tolak ukur dalam menentukan tindak pidana ringan.
495
Jumlah denda disesuaikan.
352

sejalan dengan Peraturan Kepala Badan Pembinaan Keamanan Kepolisian Negara

Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2009 Tentang Penanganan Tindak Pidana

Ringan (Tipiring). Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa Tindak Pidana Ringan

yang selanjutnya disingkat Tipiring adalah perkara yang diancam dengan pidana

penjara atau kurungan paling lama 3 bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya

tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali pelanggaran lalu lintas.

KUHAP membagi acara pemeriksaan cepat menjadi 2 (dua), yakni acara

pemeriksaan tindak pidana ringan yang diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP dan

acara pemeriksan pelanggaran lalu lintas jalan yang diatur dalam Pasal 211-216

KUHAP. Pasal 205 ayat (1) KUHAP telah menegaskan bahwa yang diperiksa

menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam

dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda

sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan, kecuali

“perkara pelanggaran lalu lintas jalan”. 496 Pasal 211 KUHAP juga menegaskan

bahwa yang diperiksa menurut acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas

jalan ialah perkara pelanggaran tertentu terhadap peraturan perundang-undangan

lalu lintas jalan.

Acara pemeriksaan tindak pidana ringan dengan acara pemeriksan

pelanggaran lalu lintas memiliki sistem pemeriksaan yang berbeda, sehingga

berdasarkan KUHAP dan Peraturan Kepala Badan Pembinaan Keamanan

Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2009 Tentang

Penanganan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) maka tindak pidana ringan diperiksa

496
Jumlah denda disesuaikan.
353

melalui acara pemeriksaan tindak pidana ringan berdasarkan Pasal 205-210

KUHAP. Perkecualian ini semata-mata karena sistem pemeriksaan yang berbeda.

Berdasarkan Pasal 205 ayat (1) KUHAP, Pasal 9 ayat (2) huruf b

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Anak, dan Pasal 1 angka 1 Peraturan Kepala Badan Pembinaan

Keamanan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2009 Tentang

Penanganan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) menunjukkan bahwa tindak pidana

ringan adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan

paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus

rupiah dan penghinaan ringan, kecuali pelanggaran lalu lintas.497 Batasan ini dapat

menjadi tolak ukur atau kriteria dalam menentukan tindak pidana ringan, selain itu

yang perlu diperhatikan adalah jumlah kerugian dalam tindak pidana ringan untuk

kejahatan harta benda dan yang berkaitan dengan jumlah denda.

Apabila menggunakan batasan atau kriteria penentuan tindak pidana

ringan dalam KUHP khususnya pada kejahatan harta benda dapat diketahui bahwa

pada kejahatan harta benda tindak pidana ringan dalam KUHP dapat meliputi:

Pasal 364 KUHP mengenai pencurian ringan, Pasal 373 KUHP mengenai

penggelapan ringan, Pasal 379 KUHP mengenai penipuan ringan, Pasal 384

KUHP mengenai penipuan ringan oleh penjual, Pasal 407 ayat (1) KUHP

mengenai perusakan ringan, dan Pasal 482 KUHP mengenai penadahan ringan.

Nilai nominal uang yang tercantum dalam KUHP tentu tidak sesuai lagi.

Terkait dengan kejahatan harta benda, tidak ada lagi nilai barang sebesar dua

497
Jumlah denda disesuaikan.
354

puluh lima rupiah. Dalam berbagai pasal di KUHP jumlah denda juga tidak sesuai

lagi. Hal ini telah disesuaikan melalui Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2

Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah

Denda Dalam KUHP.

Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2012 Tentang

Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP

yang menyatakan bahwa, “Kata-kata “dua ratus lima puluh rupiah” dalam Pasal

364, 373, 379, 384, 407, dan Pasal 482 KUHP dibaca menjadi Rp. 2.500.000, 00

(dua juta lima ratus ribu rupiah)”. Berdasarkan hal ini, jumlah kerugian yang

ditimbulkan dari kejahatan harta benda yakni meliputi: tindak pidana pencurian

ringan (Pasal 364 KUHP), penggelapan ringan (Pasal 373 KUHP), penipuan

ringan (Pasal 379 KUHP), penipuan oleh penjual (384 KUHP), perusakan ringan

(Pasal 407 ayat (1) KUHP), dan penadahan ringan (Pasal 482 KUHP) yang

sebelumnya tidak lebih dari 250,- (dua ratus lima puluh rupiah) kini berubah

menjadi tidak lebih dari Rp. 2.500.000, 00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).

Jumlah denda juga mengalami penyesuaian. Jumlah denda di dalam

KUHP juga telah disesuaikan. Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2

Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah

Denda Dalam KUHP menyatakan bahwa, “Tiap jumlah maksimum hukuman

denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali Pasal 303 ayat (1) dan ayat (2), 303

bis ayat (l) dan ayat (2), dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kali”. Ketentuan

inilah yang berlaku saat ini, sehingga jumlah hukuman denda berdasarkan nilai

uang akan berlaku secara proposional.


355

Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2012 Tentang

Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP ini,

kemudian ditindaklanjuti dengan penandatanganan Kesepakatan Bersama antara

Ketua Mahkamah Agung RI, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jaksa

Agung RI, Kepala Kepolisian Negara RI tentang Pelaksanaan Penerapan

Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara

Pemeriksaan Cepat, Serta Penerapan Keadilan Restoratif (Restoratve Justice)

Nomor : 131/KMA/SKB/X/2012, Nomor : M.HH-07.HM.03.02 Tahun 2012,

Nomor : KEP-06/E/EJP/10/2012, Nomor : B/39/X/2012 (selanjutnya disebut nota

kesepakatan). Nota kesepakatan ini dibuat agar penegak hukum dalam Sistem

Peradilan Pidana mengetahui, memahami, dan menerapkan adanya penyesuaian

berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2012 Tentang

Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP.

Penjelasan tindak pidana ringan juga dapat ditemukan dalam Standar

Operasional Prosedur (SOP) Tentang Penanganan Tindak Pidana Ringan

(Tipiring) yang menyebutkan bahwa tindak pidana ringan adalah suatu perkara

yang melanggar KUHP maupun non KUHP dengan ancaman pidana penjara atau

kurungan maksimal 3 (tiga ) bulan denda sebanyak banyaknya Rp.7500, kecuali

pelanggaran Lalu Lintas. Berdasarkan ketentuan yuridis yang mengatur mengenai

tindak pidana ringan, dapat dipahami bahwa tindak pidana ringan adalah tindak

pidana yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan

dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah, dan untuk

kejahatan harta benda kerugian yang ditimbulkan tidak lebih dari Rp. 2.500.000,
356

00 (dua juta lima ratus ribu rupiah), beserta penghinaan ringan (karena memuat

unsur-unsur yang meringankan yang secara tegas disebutkan dalam KUHP),

kecuali pelanggaran lalu lintas. 498

Batasan atau kriteria tindak pidana ringan dalam KUHP berdasarkan

konstruksi yuridis:

1. Tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling

lama 3 (tiga) bulan.

2. Tindak pidana yang diancam dengan pidana denda sebanyak-banyaknya tujuh

ribu lima ratus rupiah (dengan penyesuaian)

3. Pada kejahatan harta benda kerugian yang ditimbulkan tidak lebih dari Rp.

2.500.000, 00 (dua juta lima ratus ribu rupiah)

4. Penghinaan ringan (karena memuat unsur-unsur yang meringankan yang

secara tegas disebutkan dalam KUHP).

Berdasarkan batasan-batasannya, tindak pidana ringan merupakan tindak

pidana yang sederhana, tidak serius/kecil, dan menimbulkan kerugian yang tidak

besar. Tindak pidana ringan memuat unsur yang meringankan sehingga ancaman
498
Pasal 205 ayat (1) KUHAP, Pasal 9 Ayat (2) huruf b Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak, dan Pasal 1 angka 1 Peraturan
Kepala Badan Pembinaan Keamanan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2009 Tentang Penanganan Tindak Pidana Ringan (Tipiring), serta Pasal 1 dan Pasal 3 Peraturan
Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan
dan Jumlah Denda Dalam KUHP. Kepolisian Negara RI Daerah Jawa Timur Polresta Sidoarjo,
2016, Standar Operasional Prosedur (SOP) Tentang Penanganan Tindak Pidana Ringan (Tipiring),
Jawa Timur, h. 10. Beberapa SOP seperti SOP di Kepolisian Negara RI Daerah Nusa Tenggara
Barat Resort Mataram dan SOP Satuan Sabhara Tentang Tindak Pidana Ringan (Tipiring) di
Wilayah Hukum Polres Bima juga memberikan pengertian yang sama mengenai tindak pidana
ringan, yaitu perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling 3 bulan dan atau
denda sebanyak-banyaknya tujuh puluh lima ribu rupiah dan penghinaan ringan kecuali
pelanggaran lalu lintas. Lihat, Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Kota Bima, 2016,
SOP Satuan Sabhara Tentang Tindak Pidana Ringan (Tipiring) di Wilayah Hukum Polres Bima,
Bima, h. 3 dan Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Daerah Nusa Tenggara Barat Resort
Mataram, 2016, SOP di Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Nusa Tenggara Barat
Resort Mataram, Mataram, h. 1.
357

hukuman juga diperingan yang secara tegas diatur dalam rumusan pasal, yakni

diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3 (tiga) bulan.

Meskipun penghinaan ringan diancam dengan pidana penjara atau kurungan

paling lama 4 (empat) bulan, juga termasuk tindak pidana ringan karena memuat

unsur-unsur yang meringankan yang secara tegas disebutkan dalam KUHP.

Tindak pidana ringan merupakan tindak pidana yang bersifat ringan

berdasarkan kualifikasi ancaman pidana dan besarnya kerugian yang ditimbulkan,

serta dengan adanya unsur-unsur yang meringankan. Tindak pidana ringan adalah

tindak pidana yang memuat unsur-unsur yang meringankan yang diancam dengan

pidana penjara atau kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan atau denda sebanyak-

banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah/dengan penyesuaian, dan kerugian yang

ditimbulkan tidak lebih dari Rp. 2.500.000, 00 (dua juta lima ratus ribu rupiah),

beserta penghinaan ringan.

5.2.2 Jenis Tindak Pidana Ringan yang Dapat diselesaikan Melalui


Mediasi Penal

Berdasarkan batasan atau kriteria dalam menentukan tindak pidana

ringan dapat diidentifikasikan dan diklasifikasikan jenis tindak pidana ringan yang

diatur di dalam KUHP maupun di luar KUHP:


358

Tabel 3
Sistematika Tindak Pidana Ringan Dalam Hukum Positif Indonesia

KUHP KUHAP Peraturan lainnya

BUKU II KUHP: Pasal 205 1. Pasal 3 Peraturan Mahkamah


Pasal 172, 174, 176, 178, 217, ayat (1) Agung RI Nomor 2 Tahun
219, 231 ayat (4), 232 ayat (3), KUHAP 2012 Tentang Penyesuaian
241 ke-2 , 302 ayat (1), 315, (Diancam Batasan Tindak Pidana
321 ayat (1), 334 ayat (1), 352 dengan Ringan dan Jumlah Denda
ayat (1), 364, 373, 379, 384, pidana Dalam KUHP.
407 ayat (1), 409, 427 ayat (2), penjara atau 2. Peraturan Daerah (Perda)
477 ayat (2), 482 KUHP. kurungan setempat yang berlaku pada
paling lama wilayah yuridiksi kesatuan
BUKU III KUHP: tiga bulan Polri setempat, diantaranya
Pasal 489, 490, 491, 492, 493, dan atau yakni:
494, 495, 496, 497, 500, 501, denda a. Perda tentang pedagang
502, 503, 504, 505 (1), 507, sebanyak- kaki lima; dan
508, 508bis, 509, 510, 511, banyaknya b. Perda tentang Parkir.
512, 512a, 513, 514, 515, 516, tujuh ribu 3. Penggolongan tindak pidana
517, 518, 519, 519bis, 520, lima ratus ringan yang diatur di dalam
521, 522, 524, 525, 526, 528, rupiah dan perundang-undangan di luar
529, 530, 531, 532, 533, 535, penghinaan KUHP yang diancam pidana
536, 537, 538, 536, 537, 538, ringan kurungan selama-lamanya 3
540, 541, 544, 545, 546, 547, kecuali bulan atau denda saja, kecuali
548, 549, 550. 551, 552, 554, pelanggaran pelanggaran lalu lintas:
555, 556, 557, 557a, 558, lalu lintas) a. Perundang-undangan
558a, 559, 560, 561, 562, 563, tentang Tera; dan
564, 565, 566, 567, 568, 569 b. Perundang-undangan
KUHP. tentang minuman keras.

Sumber: KUHP, KUHAP, Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2012 Tentang
Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP dan
Peraturan Kepala Badan Pembinaan Keamanan Kepolisian Negara RI No. 13 Tahun
2009 Tanggal 31 Desember 2009.499

Tabel 3 tentang sistematika tindak pidana ringan dalam hukum positif Indonesia

menunjukkan bahwa tindak pidana ringan dapat ditemukan di dalam KUHP dan

di luar KUHP yang secara lebih rinci diuraikan dalam tabel 4 dan tabel 5 berikut.

499
Lihat Peraturan Kababinkam Polri Nomor 13 Tahun 2009 Tanggal 31 Desember
2009, h. 15-16.
359

Tabel 4
Jenis Tindak Pidana Ringan Dalam KUHP
No. Pasal Tindak Pidana Ringan
KUHP
1. Pasal 172 Mengganggu ketentraman dengan memberikan teriakan
isyarat palsu
2. Pasal 174 Mengganggu rapat umum
3. Pasal 176 Membuat gaduh pertemuan agama
4. Pasal 178 merintangi jalan
5. Pasal 217 Membuat gaduh di sidang pengadilan negeri
6. Pasal 219 Merobek, membuat tidak bisa dibaca lagi/merusak surat
maklumat
7. Pasal 231 Kealpaan hingga barang sitaan hilang atau rusak
ayat (4)
8. Pasal 232 Kealpaan yang menimbulkan rusaknya materai (segel)
ayat (3)
9. Pasal 241 Membawa hewan dengan pas lain
ke-2
10. Pasal 302 Penganiayaan terhadap binatang
ayat (1)
11. Pasal 315 Penghinaan ringan
12. Pasal 321 Penghinaan dengan tulisan
ayat (1)
13. Pasal 334 Karena salahnya orang menjadi tertahan
ayat (1)
14. Pasal 352 Penganiayaan ringan
ayat (1)
15. Pasal 364 Pencurian Ringan
16. Pasal 373 Penggelapan Ringan
17. Pasal 379 Penipuan Ringan
18. Pasal 384 Penipuan terhadap pembeli
19. Pasal 407 Pengrusakan ringan
ayat (1)
20. Pasal 409 Karena salahnya merusak pekerjaan
21. Pasal 427 Pegawai Negeri (POLRI) karena salahnya orang lain jadi
ayat (2) tertahan
22. Pasal 477 Karena salahnya nakoda, orang yang ditahan lari
ayat (2)
23. Pasal 482 Pendahan ringan
24. Pasal 489 Kenakalan terhadap orang atau barang
25. Pasal 490 Pelanggaran keamanan umum terkait dengan hewan
26. Pasal 491 Meninggalkan kewajibannya untuk menjaga orang gila
atau anak-anak sehingga membahaya-kan orang gila dan
anak-anak tersebut
27. Pasal 492 Mabuk ditempat umum sehingga mengganggu
360

ketertiban.
28. Pasal 493 Dengan melawan hak merintangi kemerdekaan bergerak di
jalan umum (merintangi kawannya untuk diajak mogok).
29. Pasal 494 Perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan, menyusahkan
dan mendatangkan bahaya lalu lintas dijalan umum,
misalnya :
1) Tidak memberi tanda pada lobang/ galian di jalan
umum; dan
b) Tidak menjaga ternaknya terlepas dijalan umum
30. Pasal 495 Tanpa ijin dari Polri memasang perangkap binatang
buas yang dapat membahaya-kan orang.
31. Pasal 496 Tanpa ijin Polri, membakar gedung /rumah sendiri
32. Pasal 497 Memasang api bunga api ditepi jalan umum atau dekat
rumah yang dapat mendatangkan bahaya kebakaran atau
kecelakaan
33. Pasal 500 Secara tanpa ijin membikin obat ledak,
mata peluru (slaghoedjes) atau peluru untuk senjata api
34. Pasal 501 Menjual, menawarkan makanan / minuman yang
sudah rusak sehingga dapat merusak kesehatan
35. Pasal 502 Secara tanpa ijin memburu atau membawa senjata api ke
dalam hutan negara
36. Pasal 503 Membuat riuh atau ingar pada waktu malam membuat
orang tidur terganggu. Membuat riuh waktu ada ibadah
atau sidang Pengadilan.
37. Pasal 504 Minta-minta atau mengemis di tempat umum
38. Pasal 505 Gelandangan / tidak mempunyai mata pencaharian
(1) mengembara kemana-mana.
39. Pasal 507 Tidak berhak memakai gelar kebangsawanan bintang atau
tanda kehormatan Negara R.I. Memberitahukan nama palsu
waktu ditanya oleh pembesar yang berhak (cq. Polri).
40. Pasal 508 Tanpa wewenang memakai nama atau tanda jasa.
41. Pasal Tanpa wewenang memakai pakaian yang mirip dengan
508bis pakaian pejabat negara, sehingga dapat dipandang sebagai
demikian
42. Pasal 509 Tanpa izin meminjamkan uang atau barang dengan gadai,
atau dalam bentuk jual beli dengan boleh dibeli kembali
ataupun dalam bentuk kontrak komisi
43. Pasal 510 Tanpa ijin Polri (Pegawai Negeri yang berhak),
mengadakan pesta umum dan pawai dijalan umum.
44. Pasal 511 Tidak menurut perintah petunjuk Polri pada waktu ada
pesta / arak-arakan dijalan umum.
45. Pasal 512 Pencaharian tanpa izin
46. Pasal 512a Sebagai mata pencaharian menjalankan pekerjaan dokter
gigi dengan tidak mempunyai surat ijin dan dalam keadaan
yang tidak memaksa.
361

47. Pasal 513 Tanpa ijin menggunakan barang orang lain


48. Pasal 514 Kelalaian atau kekurangan dalam pengembalian perkakas
49. Pasal 515 Lalai tidak memberitahukan terlebih dahulu kepada Kepala
Desa atas kepindahannya. Lalai tidak memberi tahu kepada
Kepala Desa setelah 14 hari tinggal di daerah tersebut.
50. Pasal 516 Losmen, hotel penginapan yang pemiliknya :
1) Tidak mengadakan buku tamu; dan
2) Lalai tidak melaporkan / memperlihatkan buku tamu
kepada Polri.
51. Pasal 517 Membeli, menukar, menerima untuk ibadah, gadai, pakai
atau simpan dari seorang tentara di bawah pangkat perwira;
atau menjualkan, menggadaikan, meminjamkan atau
menyimpankan barang tersebut untuk seorang tentara di
bawah pangkat perwira, yang diberikan tanpa izin
52. Pasal 518 Tanpa wenang memberi pada atau menerima dari seorang
terpidana sesuatu barang
53. Pasal 519 membikin, menjual, menyiarkan atau mempunyai
persediaan untuk dijual atau disiarkan, ataupun
memasukannya ke Indonesia, barang cetakan, potongan
logam atau bendabenda lain yang bentuknya menyerupai
uang kertas, mata uang, benda-benda emas atau perak
dengan merek negara, atau perangko pos
54. Pasal Mengumumkan atau memberitahukan sesuatu yang tidak
519bis untuk diberitahukan/diumumkan
55. Pasal 520 Pengunduran bayar hutang (surseance)
56. Pasal 521 Melanggar ketentuan peraturan penguasa umum
57. Pasal 522 Tidak datang setelah dipanggil menurut undang-undang,
untuk menjadi saksi, ahli atau juru bahasa
58. Pasal 524 Mengenai orang yang belum dewasa, atau orang yang
sudah tahu akan di bawah pengampuan atau orang yang
akan atau sudah dimasukkan dalam rumah sakit jiwa
59. Pasal 525 Tidak memberikan pertolongan yang diminta kuasa hukum
(cq. Polri) terhadap bahaya bagi keamanan umum /barang
atau orang sedang berbuat kejahatan sedangkan
pertolongan itu tidak membahayakan dirinya.
60. Pasal 526 Menyobek, membikin tak terbaca atau merusak suatu
pemberitahuan di muka umum
61. Pasal 528 Tanpa izin membikin dan atau mengumumkan salinan atau
petikan dari surat-surat jabatan negara dan alat-alatnya,
yang rahasia.
62. Pasal 529 Tidak melaporkan kelahiran dan kematian pada pejabat
Catatan Sipil
63. Pasal 530 Seorang petugas agama yang melakukan upacara
362

perkawinan, yang hanya dapat dilangsungkan di hadapan


pejabat Catatan Sipil sebelum dinyatakan padanya bahwa
pelangsungan di muka pejabat itu
64. Pasal 531 Tidak memberikan pertolongan terhadap orang di dalam
keadaan bahaya maut, sedangkan pertolongan tersebut
tidak membahayakan dirinya.
65. Pasal 532 Dimuka umum : menyanyikan lagu-lagu, pidato,
mengadakan gambar / tulisan yang melanggar kesopanan.
66. Pasal 533 Dimuka umum mempertunjukkan atau menempelkan,
menawarkan, menyiarkan, mendengarkan dimuka
seseorang yang belum cukup umur, tulisan yang
membangkitkan nafsu birahi para remaja
67. Pasal 535 Mempertunjukkan/menyiarkan tulisan/menawarkan sarana
mencegah hamil
68. Pasal 536 Nyata mabuk / kentara mabuk di jalan umum.
69. Pasal 537 Menjual atau memberikan minuman keras atau arak kepada
anggota Angkatan Bersenjata di bawah pangkat letnan atau
kepada istrinya, anak atau pelayan, di luar kantin tentara
70. Pasal 538 Memberikan atau menjual minuman keras atau arak kepada
seorang anak di bawah umur enam belas tahun
71. Pasal 536 Nyata mabuk / kentara mabuk di jalan umum.
72. Pasal 537 Menjual atau memberikan minuman keras atau arak kepada
anggota Angkatan Bersenjata di bawah pangkat letnan atau
kepada istrinya, anak atau pelayan, di luar kantin tentara
73. Pasal 538 Memberikan atau menjual minuman keras atau arak kepada
seorang anak di bawah umur enam belas tahun
74. Pasal 540 Memakai binatang untuk pekerjaan yang terlampau berat.
Memakai binatang yang cacat, pincang, luka, hamil untuk
pekerjaan sesuatu dengan keadaannya.
75. Pasal 541 Pelanggaran penggunaan kuda muatan, tunggakan atau
tarikan
76. Pasal 544 Tanpa izin kepala polisi atau pejabat yang ditunjuk untuk
itu mengadakan sabungan ayam atau jangkrik
77. Pasal 545 Peramalan atau penafsiran impian sebagai pencariannya
78. Pasal 546 Menjual, menawarkan, membagikan menyerahkan benda
jimat / penangkal dengan dalih benda tersebut ada
kesaktiannya. Mengajarkan ilmu / kepandaian sehingga
menimbulkan kepercayaan terhindar dari bahaya apabila
melakukan tindak pidana.
79. Pasal 547 Saksi yang dibawah sumpah memakai jimat-jimat atau
benda- benda sakti
80. Pasal 548 Membiarkan : ayam, itik, angsa berjalan ditanah yang
sudah ditaburi / ditanami dengan melawan hak.
363

81. Pasal 549 Dengan tiada berhak membiarkan ternaknya berjalan


ditanah yang sudah ditaburi / ditanami.
82. Pasal 550 Tanpa wewenang berjalan atau berkendaraan di atas
benihan atau ditanami, atau yang disipakan untuk itu
83. Pasal 551 Dengan tidak berhak berjalan atau berkendaraan diatas
tanah kepunyaan orang lain, sedangkan sudah diberi tanda
larangan yang nyata.
84. Pasal 552 Mengeluarkan salinan atau petikan putusan pengadilan
yang belum ditandatangani
85. Pasal 554 Seorang bekas pejabat yang tanpa izin penguasa yang
berwenang menahan surat-surat jabatan
86. Pasal 555 Memasukkan atau menahan orang di situ tanpa minta
rujukan padanya surat perintah penguasa yang berwenang
atau putusan pengadilan, atau tidak memasukkan dalam
register
87. Pasal 556 Tidak minta diberikan bukti-bukti atau keterangan-
keterangan perkawinan
88. Pasal 557 Pejabat catatan sipil yang bertindak berlawanan dengan
ketentuan aturan- aturan umum mengenai register atau akta
catatan sipil
89. Pasal Bertindak berlawanan dengan ketentuan reglemen
557a pemeliharaan register catatan sipil orang-orang Tionghoa
90. Pasal 558 Tidak memasukkan suatu akta dalam register atau
menuliskan suatu akta di atas kertas lepas,
91. Pasal 558a Seorang perantara catatan sipil yang tidak membikin akta
daripada suatu pemberitahuan kepadanya
92. Pasal 559 Tidak melaporkan kepada penguasa yang berwenang
93. Pasal 560 Nakoda kapal yang berangkat sebelum dibikin dan
ditandatangani daftar anak buah (monsterrol)
94. Pasal 561 Nahkoda yang tidak memiliki kertas, surat, buku yang
diharuskan
95. Pasal 562 Nahkoda yang tidak menjaga buku, register pidana. tidak
memiliki register pidana, menolak memberikan buku-buku
harian yang dipelihara oleh kapalnya atau salinannya
96. Pasal 563 Nakoda kapal yang tidak mencukupi kewajibannya
mengenai pencatatan dan pemberitahuan kelahiran dan
kematian
97. Pasal 564 Nakoda atau anak buah yang tidak memperhatikan
ketentuan undang-undang untuk mencegah tabrakan karena
kapalnya melanggar atau terdampar,
98. Pasal 565 Tanpa wewenang menggunakan suatu tanda pengenal
walaupun dengan sedikit perubahan
99. Pasal 566 Nakoda kapal Indonesia yang tidak memenuhi kewajiban
100. Pasal 567 Menggunakan untuk pekerjaan anak buah orang-orang
yang tidak mengadakan perjanjian kerja
364

101. Pasal 568 Menandatangani kognosemen yang dikeluarkan dengan


melanggar ketentuan pasal 517b Kitab Undang-undang
Hukum Dagang
102. Pasal 569 Menandatangani surat jalan yang dikeluarkan dengan
melanggar ketentuan Pasal 533b Kitab Undang-undang
Hukum Dagang dan memberikan surat jalan yang tidak
ditandatangani.
Sumber : Peraturan Kepala Badan Pembinaan Keamanan Kepolisian Negara RI Nomor 13
Tahun 2009 Tanggal 31 Desember 2009, Standar Operasional Prosedur (SOP)
Tentang Penanganan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) Kepolisian Negara Republik
Indonesia Daerah Jawa Timur Polresta Sidoarjo Tahun 2016, dan KUHP500

Tabel 4 tentang jenis tindak pidana ringan dalam KUHP menunjukkan

bahwa jika diidentifikasi dan diklasifikasi dapat ditemukan 102 (seratus dua) pasal

yang merupakan tindak pidana ringan dalam KUHP. Tindak pidana ringan

terbanyak memang dapat ditemukan dalam Buku Ketiga KUHP tentang

pelanggaran, karena Buku Ketiga dalam KUHP memang memuat tindak pidana

berupa pelanggaran dengan ancaman hukuman yang ringan, namun tidak semua

buku ketiga dalam KUHP merupakan tindak pidana ringan. Tindak Pidana Ringan

dalam buku ketiga KUHP diatur dalam Pasal 486-569 KUHP, kecuali Pasal 505

(2) KUHP yang diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan Pasal

506 KUHP yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

Tidak hanya dalam buku ketiga KUHP tentang pelanggaran, buku kedua

tentang Kejahatan dalam KUHP juga memuat beberapa tindak pidana ringan

sebagaimana yang ditunjukkan dalam tabel 4, diantaranya yakni: Pasal 352 ayat

500
Lampiran mengenai jenis – jenis pelanggaran yang merupakan pelanggaran tindak
pidana ringan baik yang diatur dalam KUH Pidana, Non KUH Pidana dan Peraturan Daerah dalam
Peraturan Kepala Badan Pembinaan Keamanan Kepolisian Negara RI Nomor 13 Tahun 2009
Tanggal 31 Desember 2009, lihat Peraturan Kepala Badan Pembinaan Keamanan Kepolisian
Negara RI Nomor 13 Tahun 2009 Tanggal 31 Desember 2009, h. 11-15. Kepolisian Negara
Republik Indonesia Daerah Jawa Timur Polresta Sidoarjo, 2016, Standar Operasional Prosedur
(SOP) Tentang Penanganan Tindak Pidana Ringan (Tipiring), Jawa Timur, h. 4-5 dan Moeljatno,
2014, KUHP; Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cetakan ke-31, Bumi Aksara, Jakarta, h. 41-
204.
365

(1) KUHP mengenai penganiayaan ringan, Pasal 364 KUHP mengenai pencurian

ringan, Pasal 373 KUHP mengenai penggelapan ringan, Pasal 379 KUHP

mengenai penipuan ringan, Pasal 384 KUHP mengenai penipuan ringan oleh

penjual, Pasal 407 ayat (1) KUHP mengenai perusakan ringan, Pasal 482 KUHP

mengenai penadahan ringan, Pasal 315 KUHP mengenai penghinaan ringan, dan

lain-lain. Tindak pidana ringan seperti yang telah diidentifikasi dan

diklasifikasikan dalam Tabel 4 pada umumnya merupakan tindak pidana yang

diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3 (tiga) bulan, namun

ada pengecualiaan sebagaimana diatur dalam Pasal 205 KUHAP bahwa

penghinaan ringan juga termasuk tindak pidana ringan meskipun diancam dengan

pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling

banyak tiga ratus rupiah (jumlah denda dengan penyesuaian). Hal ini karena

penghinaan ringan memiliki unsur-unsur yang meringankan seperti yang telah

disebutkan secara tegas dalam Pasal 315 KUHP.

Jumlah atau besarnya kerugian yang ditimbulkan juga penting diketahui

dalam menentukan tindak pidana ringan, terutama dalam kejahatan harta benda.

Jumlah denda dan jumlah kerugian dalam KUHP sebagaimana yang telah

diuraikan dalam Tabel 4 menunjukkan bahwa belum dilakukan penyesuaian nilai

uang sebagaimana tercantum dalam KUHP, walaupun demikian senyatanya telah

dilakukan penyesuaian melalui Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun

2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda

Dalam KUHP.
366

Besaran nilai kerugian dalam tindak pidana ringan disesuaikan

berdasarkan Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2012

Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam

KUHP yang menentukan bahwa, “Kata-kata “dua ratus lima puluh rupiah” dalam

Pasal 364, 373, 379, 384, 407, dan Pasal 482 KUHP dibaca menjadi Rp.

2.500.000, 00 (dua juta lima ratus ribu rupiah)”. Berdasarkan hal ini, jumlah

kerugian yang ditimbulkan dari tindak pidana pencurian ringan (Pasal 364

KUHP), penggelapan ringan (Pasal 373 KUHP), penipuan ringan (Pasal 379

KUHP), penipuan oleh penjual (384 KUHP) dan perusakan ringan (Pasal 407 ayat

(1) KUHP), dan penadahan ringan (Pasal 482 KUHP) yang sebelumnya tidak

lebih dari dua ratus lima puluh rupiah kini berubah menjadi tidak lebih dari Rp.

2.500.000, 00 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Jumlah denda sesuai dengan Pasal

3 Perma ini menentukan bahwa jumlah denda dalam KUHP juga dilipatgandakan

menjadi 1.000 rupiah kecuali Pasal 303 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 303 bis ayat

(1) dan (2).501

Tindak pidana ringan selain dapat ditemukan dalam KUHP juga dapat

ditemukan dalam Peraturan Perundang-undangan di luar KUHP, sebagaimana

diuraikan dalam tabel 5 di bawah ini:

501
Dalam tabel 3 berdasarkan KUHP terjemahan Moeljatno, denda dilipatgandakan
menjadi 10.000 rupiah.
367

Tabel 5
Jenis Tindak Pidana Ringan di Luar KUHP

No. Jenis Tindak Pidana Ringan di Sanksi


Luar KUHP

1. Peraturan Daerah (Perda) Diancam dengan pidana kurungan


setempat yang berlaku pada paling lama 3 (tiga bulan)
wilayah yuridiksi kesatuan Polri
setempat, diantaranya yakni:
a. Perda tentang pedagang kaki
lima; dan
b. Perda tentang Parkir.

2 Penggolongan tindak pidana Diancam dengan pidana kurungan


ringan yang diatur di dalam paling lama 3 (tiga bulan)
perundang-undangan di luar
KUHP yang diancam pidana
kurungan selama-lamanya 3 bulan
atau denda saja, kecuali
pelanggaran lalu lintas, antara
lain:
a. Perundang-undangan tentang
Tera; dan
b. Perundang-undangan tentang
minuman keras.

Sumber : Peraturan Kepala Badan Pembinaan Keamanan Kepolisian Negara RI No. 13 Tahun
2009 Tanggal 31 Desember 2009.502

Tindak pidana ringan tidak hanya dapat ditemukan dalam KUHP, namun

juga dapat ditemukan di luar KUHP sebagaimana ditunjukkan dalam tabel 5

tentang jenis tindak pidana ringan di luar KUHP. Tindak `pidana di luar KUHP

berdasarkan tabel 5 ini dapat ditemukan di dalam Peraturan Daerah (Selanjutnya

disebut Perda) setempat yang berlaku pada wilayah yuridiksi kesatuan Polri

setempat, diantaranya yakni Perda tentang pedagang kaki lima; dan Perda tentang

502
Lampiran mengenai jenis – jenis pelanggaran yang merupakan pelanggaran tindak
pidana ringan baik yang diatur dalam KUH Pidana, Non KUH Pidana dan Peraturan Daerah dalam
Peraturan Kepala Badan Pembinaan Keamanan Kepolisian Negara RI Nomor 13 Tahun 2009
Tanggal 31 Desember 2009, lihat Peraturan Kababinkam Polri Nomor 13 Tahun 2009 Tanggal 31
Desember 2009, h. 15-16.
368

Parkir. Secara umum, selain Perda, tindak pidana ringan juga meliputi Peraturan

Perundang-undangan di luar KUHP yang diancam pidana kurungan selama-

lamanya 3 bulan atau denda saja, kecuali pelanggaran lalu lintas, antara lain:

Perundang-undangan tentang Tera dan Perundang-undangan tentang minuman

keras.

Sama halnya dengan tindak pidana ringan dalam KUHP, menentukan

tindak pidana ringan dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP juga

berdasarkan pada ancaman hukumannya, yakni pidana penjara atau kurungan

paling lama 3 (tiga) bulan, namun ada batasan-batasan yang perlu diperhatikan.

Tabel 5 menunjukkan terdapat adanya batasan-batasan dalam menentukan tindak

pidana ringan di luar KUHP yang tidak hanya berdasarkan pada ancaman

hukuman, namun juga kompetensi kepolisian dalam menanganinya.

Perlu dipahami bahwa tidak semua tindak pidana dapat diatur dalam 1

(satu) buah peraturan. Tidak semua tindak pidana dapat diatur dalam KUHP.

Seiring dengan kebutuhan masyarakat, perkembangan hukum, perkembangan

masyarakat, teknologi dan kejahatan itu sendiri, maka munculah berbagai

peraturan lainnya yang melengkapi hukum di Indonesia, misalnya Perda dan

peraturan lainnya selain KUHP.

Tidak semua Perda dapat diproses oleh kepolisian, dalam hal ini terdapat

kompetensi dan kewenangan. Terkait dengan munculnya Perda dapat diketahui

bahwa Perda mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan

yang berlaku menurut asas otonomi serta untuk mempercepat terwujudnya


369

kesejahteraan masyarakat. Seiring dengan telah terbitnya Undang-Undang RI No.

32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dalam rangka penyelenggaraan

pemerintahan, Pemerintah daerah (Pemda) bersama DPRD baik tingkat (TK) I

dan II telah membuat dan menerbitkan peraturan dalam bentuk Peraturan Daerah

yang dalam pelaksanaan penegakan terhadap undang-undang tersebut

dilaksanakan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sebagai Pejabat

Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Penyidik Polri selaku Koordinasi dan

Pengawasan (Korwas).503

Pasal 136 Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan

Daerah menunjukkan adanya Perda sebagai penjabaran lebih lanjut dari peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi dan tidak boleh bertentangan dengan

kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Berdasarkan Pasal 148 Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintahan Daerah dapat diketahui bahwa terdapat Satuan Polisi Pamong Praja

(Satpol PP) selain Kepolisian yang berwenang melakukan penegakan hukum

(Perda), namun Satpol PP hanya berwenang menegakkan Perda, dengan demikian

terdapat pembagian kewenangan dalam hal ini. Sebagaimana yang telah diuraikan

dalam Tabel 5, berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) Tentang

Penanganan Tindak Pidana Ringan (Tipiring), Kepolisian berwenang

menegakkan Perda, khususnya di dalam Peraturan Daerah setempat yang berlaku

503
Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Jawa Timur Polresta Sidoarjo, 2016,
Standar Operasional Prosedur (SOP) Tentang Penanganan Tindak Pidana Ringan (Tipiring), Jawa
Timur, h. 7.
370

pada wilayah yuridiksi kesatuan Polri setempat, diantaranya yakni Perda tentang

pedagang kaki lima dan Perda tentang Parkir.

Berdasarkan Tabel 5, tindak pidana ringan juga meliputi berbagai

peraturan perundang-undangan yang memuat sanksi pidana kurungan paling lama

3 (tiga) bulan, kecuali pelanggaran lalu lintas. Dalam konteks kewenangan

kepolisian, yang termasuk dalam hal tindak pidana ringan di luar KUHP adalah

peraturan perundang-undangan tentang tera dan perundang-undangan tentang

minuman keras. Hal ini memuat pengecualian bagi pelanggaran lalu lintas,

meskipun memiliki sanksi yang rendah yakni sanksi penjara atau kurungan paling

lama 3 (tiga) bulan, namun pelanggaran lalu lintas tidak dapat diselesaikan

melalui acara pemeriksaan tindak pidana ringan, karena berdasarkan KUHAP,

pelanggaran lalu lintas memiliki sistem pemeriksaan tersendiri yang berbeda

dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan yakni diselesaikan pada acara

pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan. Perbedaan ini perlu di analisis

dalam membentuk konstruksi penyelesaian kasus tindak pidana ringan melalui

mediasi penal.

Berdasarkan identifikasi dan klasifikasi dapat diketahui bahwa jenis

tindak pidana ringan yang dapat diselesaikan melalui mediasi penal dapat

ditemukan di dalam KUHP dan di luar KUHP. Berdasarkan hasil pengkajian

penulis, jenis tindak pidana ringan yang dapat diselesaikan melalui mediasi penal

dalam KUHP terdiri dari 102 (seratus dua) pasal sebagaimana yang diuraikan

dalam tabel 4, sedangkan di luar KUHP dapat ditemukan dalam Perda tentang

pedagang kaki lima dan Perda tentang Parkir, Perundang-undangan tentang Tera,
371

Perundang-undangan tentang minuman keras, serta semua tindak pidana di luar

KUHP yang diancam pidana penjara/kurungan selama-lamanya 3 bulan atau

denda saja, kecuali pelanggaran lalu lintas.

5.3 Konsep Mediasi Penal dan Tindak Pidana Ringan Dalam


Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia

5.3.1 Konsep Mediasi Penal dan Tindak Pidana Ringan Dalam


Pembaharuan Hukum Pidana Materiil (KUHP) di Indonesia

Banyak perubahan atau pembaharuan dalam Rancangan KUHP. Istilah

mediasi penal memang tidak ditemukan dalam Rancangan KUHP, dapat

dikatakan bahwa mediasi penal tidak diatur dalam Rancangan KUHP, namun

konsep, ide dasar, pokok pemikirannya, gagasan, pandangan, serta nilai-nilai yang

dianut menunjukkan bahwa Rancangan KUHP mengarah pada konsep mediasi

penal, “roh” mediasi penal dapat ditemukan dalam Rancangan KUHP. Mediasi

penal dalam Rancangan KUHP masih bersifat implisit, yang memuat pengaturan

yang mengakui keberadaan penyelesaian kasus di luar pengadilan.

Terkait dalam disertasi ini, konsep pembaharuan dalam Rancangan

KUHP yang sejalan dengan konsep mediasi penal, salah satunya adalah mengenai

asas Pertanggungjawaban Pidana. Mengenai asas pertangungjawaban pidana,

seperti yang dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief bahwa dalam masalah

pertangungjawaban pidana konsep RUU KUHP memberi kemungkinan untuk

menerapkan asas "pemberian maaf atau pengampunan oleh hakim" ("rechterlijk

pardon" atau''judicial pardon), sehingga konsep RUU KUHP menjadi lebih


372

fleksibel dalam mencapai keadilan dan tidak kaku.504 Sejalan dengan teori hukum

progresif dari Satjipto Rahardjo, penerapan rechterlijk pardon" atau''judicial

pardon menjadi langkah yang tepat untuk mengatasi kekakuan hukum yang

berujung pada ketidakadilan.

Perumusan konsep atau ide penerapan rechterlijk pardon" atau''judicial

pardon dalam hukum pidana Indonesia menjadi langkah yang baik dalam

mencapai hukum yang responsif sebagaimana yang terkandung dalam teori

Hukum Responsif dari Philippe Nonet dan Philip Selznick. Hukum yang baik

tentu hukum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, hukum yang baik tentu

adalah hukum yang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Melalui teori hukum

responsif ini dapat menjadikan pengadilan sebagai lembaga yang memiliki

kompetensi yang besar dalam mencapai keadilan. Peraturan memang harus adaptif

yang memfasilitasi keinginan, tuntutan serta kebutuhan masyarakat akan keadilan,

kesejahteraan, dan ketertiban.

Asas "pemberian maaf/pengampunan oleh hakim" ("rechterlijk pardon"

atau''judicial pardon”) menjadi dasar pertama sebagai celah yang membenarkan

penerapan mediasi penal pada masa yang akan datang. Asas "pemberian

maaf/pengampunan oleh hakim" ("rechterlijk pardon" atau''judicial pardon)

menunjukkan adanya pemberian maaf/pengampunan dalam sistem pemidanaan

pada masa yang akan datang. Pertimbangan-pertimbangan dalam menggunakan

504
Apabila ditelusuri secara historis, asas "pemberian maaf atau pengampunan oleh
hakim" ("rechterlijk pardon" atau''judicial pardon) telah diterapkan di Belanda. Lihat, Jan
Remmelink, 2003, Hukum Pidana; Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Indonesia, Cetakan Pertama, PT. Sun, Jakarta, h. 456.
373

“rechterlijk pardon" atau''judicial pardon” juga dapat menjadi pertimbangan

dalam menerapkan mediasi penal.

Hal baru lainnya dalam RUU KUHP adalah perumusan secara implisit

mengenai tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan yang sebelumnya tidak

diatur dalam KUHP yang berlaku saat ini. Tujuan pemidanaan dapat ditemukan

dalam Pasal 54 RUU KUHP:

(1) Pemidanaan bertujuan:


a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma
hukum demi pengayoman masyarakat;
b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan
sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat; dan
d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan
martabat manusia.

Tujuan pemidanaan tidak lagi sebagai pembalasan namun diarahkan

sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 54 Rancangan KUHP. Poin penting dalam

hal ini bahwa tujuan pemidanaan adalah menyelesaikan konflik yang ditimbulkan

oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai

dalam masyarakat, membebaskan rasa bersalah pada terpidana, serta pemidanaan

tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.

Tujuan pemidanaan sebagaimana hal ini juga dapat diperoleh dengan penggunan

mediasi penal sehingga tujuan pemidanaan ini menjadi dasar analisis kedua

sebagai celah yang membenarkan penerapan mediasi penal pada masa yang akan

datang.
374

Pedoman pemidanaan menjadi terobosan yang penting dalam mencegah

terjadinya pemidanaan yang merugikan dan tidak memberikan keadilan. Pedoman

pemidanaan dirumuskan dalam Pasal 55 Rancangan KUHP:

(1) Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan:


a. kesalahan pembuat tindak pidana;
b. motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
c. sikap batin pembuat tindak pidana;
d. tindak pidana yang dilakukan apakah direncanakan atau tidak
direncanakan;
e. cara melakukan tindak pidana;
f. sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;
g. riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pembuat tindak
pidana;
h. pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;
i. pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;
j. pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau
k. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
(2) Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada
waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan
dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan
tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.

Pedoman pemidanaan sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 55

Rancangan KUHP ini menjadi dasar ke tiga sebagai celah yang membenarkan

penerapan mediasi penal pada masa yang akan datang. Pasal 55 ayat (2)

Rancangan KUHP menjadi dasar pengakuan yang memperbolehkan tidak

menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi

keadilan dan kemanusiaan dengan pertimbangan ringannya perbuatan, keadaan

pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi

kemudian. Secara tegas Pasal 55 ayat (2) Rancangan KUHP menyatakan bahwa

ringannya perbuatan menjadi salah satu dasar pertimbangan untuk tidak

menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi


375

keadilan dan kemanusiaan, dengan demikian sejalan dengan disertasi ini maka

tindak pidana ringan tidak tepat untuk dilakukan pemidanaan. Hal ini dapat

dialternatifkan melalui mediasi penal.

Pemidanaan berdasarkan pedoman pemidanaan dalam Pasal 55

Rancangan KUHP memuat batasan-batasan pemidanaan yakni harus

mempertimbangkan kesalahan pembuat tindak pidana, motif dan tujuan

melakukan tindak pidana, sikap batin pembuat tindak pidana, tindak pidana yang

dilakukan apakah direncanakan atau tidak direncanakan, cara melakukan tindak

pidana, sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana, riwayat

hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pembuat tindak pidana, pengaruh

pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana, pengaruh tindak pidana

terhadap korban atau keluarga korban, pemaafan dari korban dan/atau

keluarganya, dan pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

Banyak aspek yang menjadi pertimbangan dalam menjatuhkan pidana, salah

satunya yakni aspek kemanfaatan, keadilan, dan kemanusiaan. Ketika dalam

pertimbangan tersebut dianggap bahwa pemidanaan tidak tepat dilakukan maka

pemidanaan tidak perlu dilakukan dan pertimbangan-pertimbangan tersebut juga

dapat dijadikan dasar meringankan pidana.

Berdasarkan uraian ini menunjukkan bahwa meskipun mediasi penal

tidak diatur dalam Rancangan KUHP, namun Rancangan KUHP telah mengarah

pada konsep mediasi penal. Hal ini dapat ditemukan dalam hal baru yang diatur

dalam Rancangan KUHP yakni terkait dengan asas "pemberian maaf atau

pengampunan oleh hakim" ("rechterlijk pardon" atau''judicial pardon) serta


376

tujuan dan pedoman pemidanaan yang mengakui keberadaan penyelesaian kasus

di luar pengadilan. Hal ini menunjukkan celah yang memungkinkan serta

membenarkan penerapan mediasi penal di masa yang akan datang atau dengan

kata lain konsep mediasi penal dapat bersinergi dengan konsep pembaharuan

hukum pidana materiil (KUHP) di Indonesia. Rancangan KUHP Indonesia tidak

merumuskan tentang konsep tindak pidana ringan yang akan diberlakukan

sehingga menurut penulis tidak ada perubahan terkait makna dari tindak pidana

ringan seperti yang berlaku saat ini.

5.3.2 Konsep Mediasi Penal dan Tindak Pidana Ringan Dalam


Pembaharuan Hukum Pidana Formil (KUHAP) di Indonesia

Banyak hal-hal baru yang diatur dalam RUU KUHAP. Terkait dengan

disertasi ini, diantaranya yakni tentang penghentian penyidikan dan penuntutan

(gugurnya kewenangan penunutan). Pasal 1 angka 3 RUU KUHAP menyatakan

bahwa, “Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk menentukan suatu

perkara tindak pidana dapat dilakukan penuntutan atau tidak, membuat surat

dakwaan, dan melimpahkan perkara pidana ke pengadilan yang berwenang

dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang

pengadilan”. Pengertian penuntut umum dalam KUHAP yang berlaku saat ini

diatur dalam Pasal 1 angka 7 KUHAP menyatakan bahwa, “Penuntutan adalah

tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri

yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang

ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang

pengadilan”.
377

Konsep Rancangan KUHAP apabila dibandingkan dengan KUHAP yang

beraku sekarang menunjukkan bahwa dalam Pasal 1 angka 3 RUU KUHAP

menunjukkan ketegasan dalam kewenangan dalam penuntutan yang dimiliki

penuntut umum. KUHAP yang berlaku sekarang penuntut umum dapat

mengesampingkan perkara dengan asas oportunitas, namun dalam RUU KUHAP

ditegaskan kembali bahwa penuntut umum menentukan suatu perkara tindak

pidana dapat dilakukan penuntutan atau tidak atau dengan kata lain penuntut

umum “boleh menuntut” atau “tidak menuntut” dengan berbagai pertimbangan.

Rancangan KUHAP juga memberikan pengakuan dan kedudukan pada

penyelesaian di luar pengadilan (afdoening buiten process). Ide atau konsep

penyelesaian di luar pengadilan tentu sejalan dengan konsep mediasi penal.

Penyelesaian di luar pengadilan (afdoening buiten process) dapat menjadi

pertimbangan bagi penuntut umum untuk tidak melakukan penuntutan. Penuntut

umum boleh tidak menuntut suatu perkara dengan alasan salah satunya karena

telah diselesaikan di luar sidang pengadilan.

Penyelesaian di luar pengadilan (afdoening buiten process) tentu menjadi

kebijakan yang bersifat progresif dan responsif dalam pemberlakuan hukum

pidana di Indonesia di masa yang akan datang. Andi Hamzah menyatakan bahwa

istilah Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan dikenal dengan berbagai istilah:

Belanda ; afdoening buiten proces; Inggris ; transaction out of judiciary. Konsep

ini mirip dengan restorative justice, perdamaian antara kedua pihak korban dan
378

pelaku dengan ganti kerugian, termasuk perkara berat. Arab bahkan sampai

menerapkannya pada delik pembunuhan.505

Ketentuan afdoening buiten process berlaku hanya pada perkara yang

tidak berat dan penuntut umum yang memutuskan penggunaannya karena dalam

perkara pidana yang menjadi pihak ialah pelaku berhadapan dengan negara yang

diwakili oleh jaksa. Afdoening buiten process telah diterapkan diberbagai negara

dengan berbagai persyaratan:

1. Nederland menerapkan afdoening buiten process pada delik yang diancam

dengan pidana penjara enam tahun ke bawah.

2. Rusia menerapkan afdoening buiten process pada delik yang diancam dengan

pidana penjara 10 tahun ke bawah.

3. Prancis menerapkan afdoening buiten process pada delik yang diancam

dengan pidana penjara lima tahun ke bawah.506

Rumusan afdoening buiten process ini terkait dengan gugurnya

kewenangan penuntutan yang dapat ditemukan dalam Pasal 42 ayat (2) dan (3)

Rancangan KUHAP dan Pasal 153 Rancangan KUHAP. Pasal 42 ayat (2) dan (3)

Rancangan KUHAP menyatakan bahwa:

(2) Penuntut umum juga berwenang demi kepentingan umum dan/atau


dengan alasan tertentu menghentikan penuntutan baik dengan syarat
maupun tanpa syarat.
(3) Kewenangan penuntut umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
dilaksanakan jika:
a. tindak pidana yang dilakukan bersifat ringan;

505
Andi Hamzah, 2016, Demi Keadilan Antologi Hukum Pidana dan Sistem Peradilan
Pidana; Enam Dasawarsa Harkristuti Harkrisnowo, cetakan pertama, Pustaka Kemang, Jakarta,
h. 324.
506
Ibid, h. 324-325.
379

b. tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara paling


lama 4 (empat tahun);
c. tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda;
d. umur tersangka pada waktu melakukan tindak pidana di atas 70 (tujuh
puluh) tahun; dan/atau
e. kerugian sudah diganti.

Pasal 42 ayat (2) dan (3) Rancangan KUHAP memberikan kewenangan

bagi penuntut umum menghentikan penuntutan baik dengan syarat maupun tanpa

syarat. Hal ini dapat dilakukan jika tindak pidana yang dilakukan bersifat ringan,

tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara paling lama 4

(empat tahun), tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana

denda, umur tersangka pada waktu melakukan tindak pidana di atas 70 (tujuh

puluh) tahun; dan/atau kerugian sudah diganti. Hal ini tentu sesuai dengan ciri

dari tindak pidana ringan, sehingga dalam konteks ini, tindak pidana ringan dapat

dihentikan penuntutannya sehingga lebih tepat untuk diselesaikan melalui mediasi

penal.

Ketentuan Pasal 153 dalam rumusan Rancangan KUHAP menyatakan

bahwa:

Kewenangan penuntutan gugur, jika:


a. Telah ada putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap;
b. Terdakwa meninggal dunia;
c. Daluwarsa;
d. Penyelesaian di luar proses;
e. Maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana
yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda paling banyak
kategori II;
f. Maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau
pidana denda paling banyak kategori III;
g. Presiden memberi amnesti atau abolisi;
h. Penuntutan dihentikan karena penuntutan diserahkan kepada negara lain
berdasarkan perjanjian;
380

i. Tindak pidana aduan yang tidak ada pengaduan atau pengaduannya


ditarik kembali; atau
j. pengenaan asas oportunitas oleh Jaksa Agung.

Berdasarkan Pasal 153 Rancangan KUHAP dapat diketahui bahwa penyelesaian

di luar proses menjadi salah satu dasar gugurnya kewenangan penuntutan dengan

kata lain dapat diketahui bahwa perkara pidana yang telah diselesaikan melalui

proses di luar pengadilan tidak dapat dituntut kembali. Ini tentu menjadi dasar

kemungkinan dalam pengakuan keberadaan mediasi penal sebagai alternatif

penyelesaian kasus di luar pengadilan.

Andi Hamzah mengemukakan bahwa Rancangan KUHAP di Indonesia

menetapkan beberapa persyaratan dalam penerapan afdoening buiten process,

yakni:

1) Delik dengan ancaman pidana penjara empat tahun

2) Bagi tersangka yang berumur 70 tahun ke atas dan lima tahun ke bawah

3) Tersangka bukan residivis

4) Motif ringan

5) Tersangka tidak dalam keadaan ditahan.

Penyelesaian perkara yang diselesaikan di luar pengadilan di Nederland mencapai

60 %, sedangkan di Norwegia mencapai 74 %. Asas trias politica menjadi luntur

di negara-negara tersebut, karena ternyata jaksa dapat mengenakan sanksi. 507

Berkaca dengan keberhasilan berbagai negara dalam menerapkan afdoening

buiten process, tentu Indonesia dapat menerapkannya melalui legitimasi KUHAP.

507
Ibid, h. 325.
381

Konsep atau ide afdoening buiten process merupakan langkah yang

sangat progresif dan responsif yang sejalan dengan tujuan pemidanaan

berdasarkan konsep rancangan hukum pidana materiil. Ini merupakan

pembaharuan yang relevan dan sangat tepat untuk mencapai rasa keadilan bagi

masyarakat. Penegakan hukum yang terlalu legalitis formal dan juga kaku

sebagaimana yang berlaku sekarang menjadikan hukum terjauh dengan rasa

keadilan masyarakat. Konsep ini merupakan terobosan yang sangat baik dengan

kembali mendasarkan penegakan hukum pada asas kemusyawaratan yang sejak

dahulu dianut oleh bangsa Indonesia.

Berdasarkan uraian ini dapat diketahui bahwa sama halnya dengan

Rancangan KUHP, Rancangan KUHAP juga tidak mengatur mengenai mediasi

penal, namun Rancangan KUHAP telah mengarah pada konsep mediasi penal.

Hal ini dapat ditunjukkan dengan pengaturan penyelesaian di luar pengadilan

(afdoening buiten process) dalam Rancangan KUHAP yang dapat menjadi

pertimbangan bagi penuntut umum untuk tidak melakukan penuntutan. Pengakuan

terhadap penyelesaian di luar pengadilan (afdoening buiten process) ini dapat

menjadi celah yang memungkinkan serta membenarkan penerapan mediasi penal

di masa yang akan datang atau dengan kata lain konsep mediasi penal dapat

bersinergi dengan konsep pembaharuan hukum pidana formil (KUHAP) di

Indonesia.

Rancangan KUHAP Indonesia merumuskan konsep tata cara acara

pemeriksaan tindak pidana ringan yang sama dengan ketentuan sebagaimana

diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP. Hal ini menegaskan bahwa tidak ada
382

perubahan untuk ide/pokok pikiran tentang tindak pidana ringan yang tersirat

dalam konsep tata cara acara pemeriksaan tindak pidana ringan dalam Rancangan

KUHAP, sehingga masih bisa diterapkan konsep tindak pidana ringan yang

berlaku saat ini.

5.4 Model Mediasi Penal Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Ringan di


Indonesia

Ide pemikiran mediasi penal akan membawa perubahan dalam

penyelesaian perkara pidana, yakni “adanya pengalihan” dalam kasus-kasus

tertentu yang dalam hal ini adalah kasus tindak pidana ringan. Mediasi penal

memiliki perbedaan yang mendasar lainnya yang tidak dapat ditemukan dalam

penyelesaian perkara pidana melalui Sistem Peradilan Pidana, sehingga mediasi

penal akan membawa perubahan besar dalam penegakan hukum di Indonesia.

Perubahan ini tentu perlu difasilitasi dengan perumusan model mediasi penal yang

sesuai dengan kondisi di Indonesia.

Konsep mediasi penal memang telah mengakar dalam kehidupan

masyarakat dalam menyelesaikan masalah, namun tidak dapat dipungkiri bahwa

keberadaan hukum pidana dengan asas legalitasnya telah membentuk paradigma

yang kuat dalam penegakan hukum di Indonesia. Sejalan dengan konsekuensi

keberadaan asas legalitas yang berlaku saat ini maka setiap tindak pidana akan

diproses melalui peradilan pidana yang diatur dalam KUHAP. Konsekuensi dari

hal ini, bahwa saat ini masih banyak ditemukan paradigma menegakkan hukum

adalah menegakkan undang-undang, sehingga tindak pidana yang terjadi akan

diproses berdasarkan KUHAP.


383

Masih banyak ditemukan penegak hukum yang memiliki paradigma

legalistik formal, kaku, positivistik dalam menyikapi tindak pidana yang terjadi.

Mediasi penal dapat menjadi instrumen yang secara bertahap dapat mengubah

paradigma penegak hukum di Indonesia untuk mencapai keadilan dan

kemanfaatan.

Sejalan dengan kondisi Sistem Peradikan Pidana dan kebutuhan

masyarakat, dalam prakteknya tidak semua kasus diproses dalam peradilan

pidana. Masih dapat ditemukan polisi yang berpikir progresif dan responsif

dengan menggunakan diskresi yang dimilikinya untuk menyelesaikan kasus tidak

pidana ringan dengan menggunakan konsep mediasi penal. Perlu dilakukan

perubahan dalam memandang hukum pidana bukan lagi sebagai premium

remidium (sarana utama), namun mulai bergeser pada ultimum redium (sarana

terakhir).

Paradigma pemidanaan juga perlu dirubah dari retributif (pembalasan)

menjadi restorarif (perbaikan/pemulihan). Konsep mediasi penal memang telah

menjadi budaya dalam bangsa Indonesia, mediasi penal juga dapat ditemukan

melalui penggunaan diskresi kepolisian, namun mediasi penal sebagai lembaga

formal belum memiliki eksistensi sehingga perlu dilakukan pengkajian untuk

dapat menentukan model mediasi penal yang akan diterapkan di Indonesia dalam

penyelesaian tindak pidana ringan yang terjadi. Tahap transisi ini, diperlukan

perubahan paradigma atau pola pikir yang sifatnya radikal dan mendasar pada

keadilan restoratif (restorative justice).


384

Mediasi penal sangat cocok untuk diterapkan di Indonesia dan mediasi

penal memiliki peluang yang sangat besar untuk berkembang di Indonesia. Hal ini

dikarenakan kondisi bangsa Indonesia yang sesuai dengan adat ketimuran selalu

menjaga harmoni, dengan semangat kekeluargaan yang sangat kuat senantiasa

menjaga kedamaian dan ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat. Secara

mendasar, mediasi penal juga merupakan penjelmaan dari ideologi bangsa

Indonesia yakni Pancasila, sehingga sangat memungkinkan untuk diaplikasikan

dalam kehidupan masyarakat.

Konsep mediasi penal memiliki peluang untuk diterapkan, meskipun

belum memiliki dasar hukum yang kuat. Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa

dalam hal-hal tertentu penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan

dimungkinkan untuk dilakukan antara lain dapat ditemukan dalam:

a. Dalam hal delik yang dilakukan berupa ”pelanggaran yang hanya


diancam dengan pidana denda”. Menurut Pasal 82 KUHP,
kewenangan/hak menuntut delik pelanggaran itu hapus, apabila
terdakwa telah membayar denda maksimum untuk delik pelanggaran itu
dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau penuntutan telah
dilakukan. Ketentuan dalam Pasal 82 KUHP ini dikenal dengan istilah
”afkoop” atau “pembayaran denda damai” yang merupakan salah satu
alasan penghapus penuntutan.
b. Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak di bawah usia 8 tahun.
Menurut UU No. 3/1997 (Pengadilan Anak), batas usia anak nakal yang
dapat diajukan ke pengadilan sekurang-kurangnya 8 tahun dan belum
mencapai 18 tahun. Terhadap anak di bawah 8 tahun, penyidik dapat
menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang
tua asuhnya apabila dipandang masih dapat dibina atau diserahkan
kepada Departemen Sosial apabila dipandang tidak dapat lagi dibina
oleh orang tua/ wali/orang tua asuh (Pasal 5 UU No. 3/ 1997).508

508
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, h. 44.
385

Berdasarkan pada 2 (dua) kemungkinan penyelesaian perkara pidana di

luar pengadilan yang dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief dapat diketahui

bahwa penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan dimungkinkan pada delik

yang berupa pelanggaran yang diancam dengan denda melalui afkoop yang diatur

dalam Pasal 82 KUHP. Afkoop memang menjadi instrumen dalam penyelesaian di

luar pengadilan. Melalui pembayaran denda damai maka dapat menjadi alasan

penghapus penuntutan. Menurut penulis afkoof memiliki esensi yang berbeda

dengan mediasi penal. Afkoof hanya menitikberatkan pada pembayaran denda

damai melalui penuntut umum, tidak ada proses penyelesaian perkara pidana oleh

pelaku dan korban. Ketika pelaku membayar denda kepada negara yang diwakili

oleh penuntut umum maka pelaku tidak dapat dituntut. Hal ini tentu berbeda

dengan esensi mediasi penal yang melakukan pemulihan dan perbaikan kondisi

korban akibat kejahatan yang terjadi. Korban dalam Afkoof tidak memiliki andil

dan tidak diberikan pemulihan.

Penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan sebagaimana yang telah

diuraikan oleh Barda Nawawi Arief juga dimungkinkan juga dalam tindak pidana

dilakukan oleh anak di bawah usia 8 (delapan) tahun. Kini berdasarkan Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak dikenal adanya diversi sebagai pengalihan penyelesaian perkara anak

dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Diversi merupakan perwujudan dari restorative justice yang digunakan

dalam penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Diversi

menitikberatkan pada pelaku yang merupakan seorang anak agar tidak melalui
386

peradilan pidana yang merugikan masa depan anak. Banyak pertimbangan-

pertimbangan dalam hal kemanfaatan yang menjadikan proses diversi diterapkan

bagi anak yang berhadapan dengan hukum (anak sebagai pelaku). Diversi berbeda

dengan mediasi penal, meskipun sama-sama berakar pada restorative justice.

Diversi hanya dikenal dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, tidak untuk orang

dewasa, dengan fokus utama adalah anak sebagai pelaku, sedangkan mediasi

penal dapat diterapkan bagi orang dewasa maupun anak dengan menitikberatkan

kepada semua pihak yang terkait (pelaku, korban, dan masyarakat). Diversi

merupakan instrumen yang sah karena telah diatur dalam Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak, sedangkan mediasi penal belum memiliki dasar hukum yang kuat.

Terkait dengan 2 (dua) kemungkinan penyelesaian perkara pidana di luar

pengadilan yang dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief, Barda Nawawi Arief

dalam hal ini mengemukakan bahwa:

Ketentuan di atas hanya memberi kemungkinan adanya penyelesaian


perkara pidana di luar pengadilan, namun belum merupakan “mediasi
penal” seperti yang diuraikan di atas. Penyelesaian di luar pengadilan
berdasar Pasal 82 KUHP di atas belum menggambarkan secara tegas adanya
kemungkinan penyelesaian damai atau mediasi antara pelaku dan korban
(terutama dalam masalah pemberian ganti rugi atau kompensasi) yang
merupakan “sarana pengalihan/ diversi” (means of diversion)” untuk
dihentikannya penuntutan maupun penjatuhan pidana. Walaupun Pasal 82
KUHP merupakan alasan penghapus penuntutan, namun bukan karena telah
adanya ganti rugi/ kompensasi terhadap korban, tetapi hanya karena telah
membayar denda maksimum yang diancamkan. Penyelesaian kasus pidana
dengan memberi ganti rugi kepada korban, dimungkinkan dalam hal hakim
akan menjatuhkan pidana bersyarat (Pasal 14c KUHP). Patut dicatat,
ketentuan pidana bersyarat dalam KUHP inipun masih tetap berorientasi
pada kepentingan pelaku (offender oriented), tidak ”victim oriented”.509

509
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, h. 45.
387

Pandangan ini menunjukkan bahwa afkoop dan diversi belum merupakan

“mediasi penal”. Mediasi penal memiliki esensi yang berbeda dengan afkoop dan

diversi, namun penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan dimungkinkan

melalui afkoop dan diversi. Mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian kasus di

luar pengadilan juga memiliki kemungkinan untuk diterapkan di Indonesia.

Penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan juga dimungkinkan

karena mediasi juga dilakukan dalam peradilan HAM. Barda Nawawi Arief dalam

hal ini menyatakan bahwa:

Kemungkinan lain terlihat dalam UU No. 39/1999 tentang Pengadilan HAM


yang memberi kewenangan kepada Komnas HAM (yang dibentuk berdasar
Kepres No. 50/1993) untuk melakukan mediasi dalam kasus pelanggaran
HAM (lihat Psl. 1 ke-7; Psl. 76:1; Psl. 89:4; Psl. 96). Namun tidak ada
ketentuan yang secara tegas menyatakan, bahwa semua kasus pelanggaran
HAM dapat dilakukan mediasi oleh Komnas HAM, karena menurut Pasal
89 (4) Komnas HAM dapat juga hanya memberi saran kepada para pihak
untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan (sub-c), atau hanya
memberi rekomendasi kepada Pemerintah atau DPR untuk ditindaklanjuti
penyelesaiannya (sub-d dan sub-e). Demikian pula tidak ada ketentuan yang
secara tegas menyatakan, bahwa akibat adanya mediasi oleh Komnas HAM
itu dapat menghapuskan penuntutan atau pemidanaan. Di dalam Pasal 96 (3)
hanya ditentukan, bahwa “keputusan mediasi mengikat secara hukum dan
berlaku sebagai alat bukti yang sah”.510

Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa mediasi dapat dilakukan oleh Komnas

HAM dalam kasus pelanggaran HAM (dalam Pasal 1 ke-7; Psl. 76 ayat (1); Pasal

89 ayat (4); dan Pasal 96 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun

1999 Tentang Hak Asasi Manusia), namun esensi mediasi dalam hal ini berbeda

dengan mediasi penal. Keputusan mediasi dalam hal ini hanya dapat digunakan

sebagai alat bukti yang sah, sehingga tidak ada aturan tegas yang mengatur bahwa

510
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, h. 47.
388

mediasi dalam pelanggaran HAM dapat menghapuskan penuntutan atau

pemidanaan.

Barda Nawawi Arief juga mengemukakan bahfwa di beberapa negara

lain, mediasi penal dimungkinkan untuk tindak pidana yang dilakukan oleh anak

dan untuk kasus KDRT (kekerasan dalam rumah tangga – domestic violence),

namun ketentuan ini belum diatur di Indonesia. Penyelesaian di luar pengadilan

pada konteks pembaharuan hukum pidana juga dapat menjadi alasan gugurnya

kewenangan penuntut umum sebagaimana diatur dalam Pasal 145 Rancangan

KUHP.511 Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa tidak hanya tindak pidana

ringan, namun penyelesaian di luar pengadilan juga dapat dilakukan dalam kasus-

kasus tertentu lainnya dan penyelesaian di luar pengadilan (termasuk mediasi

penal) dimungkinkan dalam hukum pidana di masa yang akan datang

sebagaimana diatur dalam Rancangan KUHP.

Mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana

dimungkinkan untuk diterapkan di Indonesia dan agar mediasi penal dapat

diterapkan secara efektif maka perlu dibentuk model mediasi penal dalam

penyelesaian tindak pidana ringan yang ideal yang dapat diterapkan di Indonesia.

Mediasi penal memiliki berbagai macam model dalam perkembangannya.

Menurut Barda Nawawi Arief mengacu pada Explanatory memorandum dari

Rekomendasi Dewan Eropa No. R (99) 19 tentang Mediation in Penal Matters,

dapat dikemukakan beberapa model mediasi penal sebagai berikut:

511
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, h. 48-49.
389

a. Model informal mediation: Model informal mediation ini dilaksanakan oleh

personil peradilan pidana (criminal justice personnel) dalam tugas

normalnya, yaitu dapat dilakukan oleh JPU (Jaksa Penuntut Umum) dengan

mengundang para pihak untuk melakukan penyelesaian informal dengan

tujuan agar tidak melanjutkan penuntutan jika tercapai kesepakatan. Model

ini juga dapat dilakukan oleh pekerja sosial atau pejabat pengawas (probation

officer), oleh pejabat polisi, atau oleh Hakim. Jenis intervensi informal ini

sudah biasa dalam seluruh sistem hukum.

b. Model traditional village or tribal moots: Pada model traditional village or

tribal moots, seluruh masyarakat bertemu untuk memecahkan konflik

kejahatan di antara warganya. Model ini ada di beberapa negara yang kurang

maju dan ada di wilayah pedesaan atau pedalaman. Model ini lebih memilih

keuntungan bagi masyarakat luas. Model ini mendahului hukum barat dan

telah memberi inspirasi bagi kebanyakan program-program mediasi modern.

Program mediasi modern ini sering mencoba memperkenalkan berbagai

keuntungan dari pertemuan suku (tribal moots) dalam bentuk yang

disesuaikan dengan struktur masyarakat modern dan hak-hak individu yang

diakui menurut hukum.

c. Model "victim offender mediation": Mediasi antara korban dan pelaku

merupakan model yang paling sering ada dalam pikiran orang. Model victim

offender mediation melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan dihadiri

oleh mediator yang ditunjuk. Banyak variasi dari model ini. Mediator dapat

berasal dari pejabat formal, mediator independen atau kombinasi. Mediasi ini
390

dapat diadakan pada setiap tahapan proses, baik pada tahap kebijaksanaan

polisi, tahap penuntutan, tahap pemidanaan atau setelah pemidanaan. Model

victim offender mediation ini ada yang diterapkan untuk semua tipe pelaku

tindak pidana, ada yang khusus untuk anak, ada yang untuk tipe tindak pidana

tertentu (misal pengutilan, perampokan dan tindak kekerasan). Ada yang

terutama ditujukan pada pelaku anak, pelaku pemula, namun ada juga untuk

delik-delik berat dan bahkan untuk residivis.

d. Model reparation negotiation programmes: Pada model reparation

negotiation programmes ini semata-mata untuk menaksir atau menilai

kompensasi atau perbaikan yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana

kepada korban, biasanya pada saat pemeriksaan di pengadilan. Program ini

tidak berhubungan dengan rekonsiliasi antara para pihak tetapi hanya

berkaitan dengan perencanaan perbaikan materiel. Pelaku tindak pidana dapat

dikenakan program kerja agar dapat menyimpan uang untuk membayar ganti

rugi atau kompensasi.

e. Model community panels or courts: Model community panels or courts

merupakan program untuk membelokkan kasus pidana dari penuntutan atau

peradilan pada prosedur masyarakat yang lebih fleksibel dan informal dan

sering melibatkan unsur mediasi atau negosiasi.

f. Model family and community group conferences: Model family and

community group conferences telah dikembangkan di Australia dan New

Zealand yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam Sistem Peradilan

Pidana. Tidak hanya melibatkan korban dan pelaku tindak pidana tetapi juga
391

melibatkan keluarga pelaku dan warga masyarakat lainnya, pejabat tertentu

(seperti polisi dan hakim anak) dan para pendukung korban. Pelaku dan

keluarganya diharapkan menghasilkan kesepakatan yang komprehensif dan

memuaskan korban serta dapat membantu untuk menjaga si pelaku keluar

dari kesusahan atau persoalan berikutnya.512

Menurut penulis, model mediasi penal yang paling cocok atau ideal

untuk diterapkan dalam penyelesaian kasus tindak pidana ringan di Indonesia

adalah model victim-offender mediation, karena memiliki karakteristik yang

menunjang terwujudnya mediasi penal dalam konteks restorative justice dan juga

sesuai dengan kondisi di Indonesia. Model ini memiliki mekanisme yang lumrah

atau seperti yang disebutkan oleh Barda Nawawi Arief bahwa model victim-

offender mediation merupakan model yang paling sering ada dalam pikiran orang-

orang. Hal ini tentu memudahkan dalam penerapannya.

Model victim-offender mediation akan melibatkan berbagai pihak dengan

tujuan pemulihan atau perbaikan kondisi seperti keadaan semula sebelum

terjadinya kejahatan. Rekonsiliasi atau mempertemukan para pihak secara

langsung memang diupayakan, namun bukan menjadi fokus utama karena yang

diutamakan adalah proses. Komunikasi dalam hal ini juga dapat dilakukan secara

tidak langsung, yang terpenting dalam hal ini adalah adanya proses pelibatan

antara para pihak untuk menyelesaikan kasus yang terjadi. Model victim-offender

mediation juga melibatkan mediator yang dapat berasal dari pejabat formal,

mediator independen atau kombinasi. Mediator memiliki peran yang sangat

512
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, h.7-12.
392

penting dalam mediasi penal sehingga dibutuhkan mediator yang terampil dan ahli

di bidangnya.

Penerapan model victim-offender mediation memungkinkan mediasi

penal dilakukan pada setiap tahapan proses, baik pada tahap kebijaksanaan polisi,

tahap penuntutan, dan pada tahap pemeriksaan di pengadilan. Beberapa pendapat

memang menyebutkan bahwa mediasi penal dapat dilakukan pada semua tingkat

pemeriksaan dan beberapa negara juga menerapkan hal ini seperti di Austria,

Jerman, dan lain-lain. DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur menyatakan bahwa

mengadopsi prosedur mediasi perdata yang membuka kemungkinan perdamaian

perkara pada setiap tahapan proses pemeriksaan perkara sebelum jatuhnya putusan

pengadilan, mediasi penal juga dapat dilakukan pada setiap tahapan pemeriksaan

sebelum jatuhnya putusan. Hal ini dilakukan untuk membuka semua kemungkinan

terciptanya perdamaian di antara kedua belah pihak.513

Mediasi penal dalam model victim offender mediation memang

memungkinkan dilakukannya mediasi penal pada semua tahapan dalam peradilan

pidana sehingga model yang ideal juga mengikuti prinsip ini. Mediasi penal dapat

diterapkan disemua tahapan di tingkat kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.

Kembali pada konsep mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara

pidana di luar pengadilan menurut penulis harus ditegaskan bahwa posisi mediasi

penal adalah di luar proses peradilan/di luar pengadilan/di luar sistem peradilan

pidana. Mediasi penal memang dapat diterapkan di tingkat kepolisian, kejaksaan,

dan pengadilan, namun posisinya di luar peradilan pidana/di luar sistem peradilan

513
DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Op.Cit, h. 88.
393

pidana. Proses mediasi penal dapat dilakukan oleh polisi, jaksa, hakim, namun

bukan dalam peradilan pidana.

Penyelesaian tindak pidana ringan melalui mediasi penal dapat

diupayakan disetiap tingkat baik di kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Hal ini

dilakukan untuk membuka kesempatan seluas mungkin untuk mencapai

perdamaian. Terkait posisi mediasi penal, meskipun mediasi penal berada di luar

pengadilan/di luar peradilan pidana/di luar sistem peradilan pidana, namun pada

penyelesaian perkara tindak pidana ringan mediasi penal dapat menjadi bagian

(dalam arti khusus) dari Sistem Peradilan Pidana. Letak mediasi penal memang di

luar sistem peradilan pidana, namun hasil mediasi penal dapat digunakan oleh

kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan untuk mengakhiri kasus untuk tidak

dilanjutkan ke tahapan peradilan pidana. Hal ini dimungkinkan karena dalam

hukum acara pidana, tindak pidana ringan tidak dikenakan penahanan sehingga

memungkinkan dilakukannya mediasi penal dalam waktu yang diinginkan para

pihak.

Ide bahwa hasil mediasi penal dalam penyelesaian kasus tindak pidana

ringan dapat digunakan oleh penuntut umum (kejaksaan) atau hakim (pengadilan)

sebagai pertimbangan untuk tidak melanjutkan proses pemeriksaan, sejalan

dengan konsep pembaharuan hukum pidana di Indonesia bahwa terdapat asas

"pemberian maaf/pengampunan oleh hakim dalam Rancangan KUHP dan

penyelesaian di luar pengadilan dalam Rancangan KUHAP. Penegasan konsep

mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan


394

memang penting dengan tanpa mengurangi manfaat dan fleksibelitas dalam

mekanisme mediasi penal.

Model victim offender mediation ini seperti yang telah disebutkan oleh

Barda Nawawi Arief bahwa mediasi penal ada yang diterapkan untuk semua tipe

pelaku tindak pidana, ada yang khusus untuk anak, ada yang untuk tipe tindak

pidana tertentu (misal pengutilan, perampokan dan tindak kekerasan). Ada yang

terutama ditujukan pada pelaku anak, pelaku pemula, namun ada juga untuk delik-

delik berat dan bahkan untuk residivis. Terdapat variasi di berbagai negara terkait

dengan tipe pelaku tindak pidana dan tindak pidana yang dapat diselesaikan

melalui mediasi penal.

Mediasi penal dalam model victim offender mediation pada dasarnya

dapat dilakukan oleh semua tipe pelaku kejahatan (berdasarkan usia yakni yang

sudah lanjut usia (tua), dewasa, remaja, anak, pelaku pemula, pelaku sebagai

residivis, dan lain-lain). Apabila dirumuskan sesuai dengan kondisi di negara

Indonesia, jika dikontruksikan maka mediasi penal dalam penyelesaian tindak

pidana ringan dapat diterapkan untuk semua tipe pelaku kejahatan, kecuali pada

residivis dan terhadap anak. Hal ini dikarenakan residivis dalam hukum di

Indonesia merupakan alasan pemberat dalam pemidanaan dan dalam Rancangan

KUHAP merupakan pengecualian dalam penerapan afdoening buiten process.

Anak sebagai pelaku kejahatan juga telah dirumuskan dalam mekanisme diversi

yang telah diatur dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, sehingga telah memiliki

sistemnya sendiri yang juga menggunakan pendekatan restorative justice.


395

Konsep mediasi penal merupakan perwujudan dari keadilan restoratif

(restorative justice) sehingga model mediasi penal yakni victim offender

mediation dalam penerapannya juga mengacu pada penggunaan model

pendekatan restorative justice. Eva Achjani Zulfa menyatakan bahwa dalam

konsep mediasi proses dialog dikenal sebagai media komunikasi sebagai modal

utama penyelenggaraan mediasi. Keseluruhan proses itulah yang dapat ditemukan

dalam model penyelenggaraan keadilan restoratif (restorative justice):

1. Victim Offender Mediation (VOM : Mediasi antara pelaku dan korban)


yaitu suatu forum yang mendorong adanya pertemuan antara pelaku dan
korban yang dibantu oleh mediator sebagai koordinator dan fasilitator
dalam pertemuan tersebut.
2. Conferencing yaitu suatu forum yang sama dengan VOM, namun dalam
bentuk ini terdapat perbedaan yaitu pelibatan penyelesaian bukan hanya
melibatkan pelaku dan korban langsung (primary victim), tetapi juga
korban tidak langsung (secondary victim), seperti keluarga atau kawan
dekat korban serta keluarga dan kawan dekat pelaku. Adapun alasan
pelibatan para pihak tersebut adalah karena mereka mungkin terkena
dampak baik langsung ataupun tidak langsung atas tindak pidana yang
terjadi atau mereka memiliki keperdulian yang tinggi dan kepentingan
akan hasil dari musyawarah serta mereka juga dapat berpartisipasi dalam
mengupayakan keberhasilan proses dan tujuan akhirnya.
3. Circles, suatu model penerapan keadilan restoratif yang pelibatannya
paling luas dibandingkan dengan dua bentuk sebelumnya, yaitu forum
yang bukan hanya korban, pelaku, keluarga atau mediator saja tapi juga
anggota masyarakat yang merasa berkepentingan dengan perkara
tersebut.514

Sesuai dengan model penyelenggaraan keadilan restoratif dapat

dikontruksikan bahwa model Victim Offender Mediation, Conferencing, dan

Circles dapat digunakan dalam proses mediasi penal. Model yang paling cocok

diterapkan dalam penyelesaian tindak pidana ringan adalah model Victim

Offender Mediation, karena lebih efisien. Model Conferencing dan Circles juga

514
Eva Achjani Zulfa, Op.Cit, h. 187-188.
396

dimungkinkan untuk diterapkan jika ada pihak lain seperti yang terkena dampak

kejahatan, seperti misalnya keluarga korban atau masyarakat. Hal ini karena

pertimbangan untuk memberikan keadilan bagi semua pihak dan dilakukan untuk

pemulihan atau perbaikan bagi semua pihak yang terkena dampak kejahatan.

Berdasarkan model penyelenggaraan keadilan restoratif (restorative

justice), dapat dikontruksikan bahwa mediasi penal dalam penyelesaian tindak

pidana ringan dilakukan dengan kualifikasi:

1. Apabila melibatkan mediator, pelaku, dan korban (korban langsung) maka

digunakan model Victim Offender Mediation (VOM).

2. Apabila melibatkan mediator, pelaku, dan korban langsung dan korban tidak

langsung seperti keluarga atau kawan dekat korban serta keluarga dan kawan

dekat pelaku, maka dapat digunakan model Conferencing

3. Apabila melibatkan mediator, pelaku, dan anggota masyarakat yang merasa

berkepentingan dengan perkara tersebut, dapat digunakan model Circles.

Berdasarkan model penyelenggaraan keadilan restoratif ini dapat diketahui bahwa

penggunaan model Victim Offender Mediation, Conferencing, dan Circles

tergantung pada kondisi keterlibatan korban dalam proses mediasi penal.

Sebelum mengkontruksi model yang ideal pada penerapan mediasi penal

dalam penyelesaian tindak pidana di Indonesia, perlu dikaji model yang kini

berlaku di Indonesia. Hal ini dapat ditemukan dalam Perkap Polmas 2008 yang

secara sederhana dapat penulis gambarkan seperti pada bagan di bawah ini:
397

Bagan 5
Mediasi di Kepolisian Berdasarkan Perkap Polmas 2008

Pemolisian Masyarakat
(Polmas)

Bhabinkamtibmas (Bhayangkara Pembina


Keamanan dan Ketertiban Masyarakat)

Laporan/
tertangkap mediasi
tangan
Tindak
Pidana Ringan
(dalam KUHP): Menghubungi anggota FKPM (Forum Kemitraan Polri dan
Pasal 302 Masyarakat) atau nama/istilah lain untuk bersama-sama menyelesaikan
(penganiayaan perkara
ringan terhadap
hewan), Pasal
352 Menentukan tempat dan tanggal waktu pertemuan dengan kedua belah
(penganiayaan pihak yang berperkara;
ringan terhadap
manusia), Pasal
364 (pencurian
ringan), Pasal Mengadakan pertemuan dengan kedua belah pihak, anggota FKPM,
373 Bhabinkamtibmas/petugas Polmas, untuk menyelesaikan perkara;
(penggelapan
ringan), Pasal
379 (penipuan Bhabinkamtibmas/petugas Polmas menfasilitasi dan memediasi
ringan), Pasal penyelesaian perkara tersebut;
482 (penadahan
ringan), dan
Pasal 315 KUHP Bhabinkamtibmas/petugas Polmas beserta anggota FKPM memberikan
(penghinaan pandangan, masukan, pendapat, saran kepada kedua belah pihak
ringan). berperkara untuk penyelesaian perkara;

Apabila kedua belah pihak menerima Apabila salah satu/kedua belah pihak
penyelesaian yang dicapai secara musyawarah tidak menerima penyelesaian yang
dan mufakat  maka dibuatkan surat ditawarkan oleh
kesepakatan bersama tentang penyelesaian Bhabinkamtibmas/petugas Polmas dan
perkara; anggota FKPM  maka perkara
dilimpahkan ke polsek.
398

Bagan 5 (lima) menunjukkan bahwa kepolisian melalui

Bhabinkamtibmas/petugas Polmas melakukan mediasi terhadap perkara tindak

pidana ringan. Tindak pidana ringan yang bisa diselesaikan kepolisian melalui

mediasi berdasarkan Perkap Polmas 2008 hanya terdiri dari 7 (tujuh) pasal yakni:

Pasal 302, 352, 364, 373, 379, 482, dan Pasal 315 KUHP. Proses mediasi yang

dilakukan Bhabinkamtibmas/petugas Polmas sebagaimana yang digambarkan

dalam bagan 5 (lima) melalui beberapa tahapan sederhana yakni

Bhabinkamtibmas/petugas Polmas akan menerima laporan masyarakat bahwa

telah terjadi tindak pidana ringan. Bhabinkamtibmas/petugas Polmas akan

menghubungi anggota FKPM atau nama/istilah lain untuk bersama-sama

menyelesaikan perkara dimaksud, menentukan tempat dan tanggal waktu

pertemuan dengan kedua belah pihak yang berperkara dan mengadakan

pertemuan.

Bhabinkamtibmas/petugas Polmas juga menunjukkan bahwa

menfasilitasi dan memediasi penyelesaian perkara tersebut,

Bhabinkamtibmas/petugas Polmas beserta anggota FKPM memberikan

pandangan, masukan, pendapat, saran kepada kedua belah pihak berperkara untuk

penyelesaian perkara, apabila kedua belah pihak menerima penyelesaian yang

dicapai secara musyawarah dan mufakat, yang ditawarkan oleh

Bhabinkamtibmas/petugas Polmas dan anggota FKPM, maka dibuatkan surat

kesepakatan bersama tentang penyelesaian perkara, apabila salah satu atau kedua

belah pihak tidak menerima penyelesaian yang ditawarkan oleh


399

Bhabinkamtibmas/petugas Polmas dan anggota FKPM, maka perkara dilimpahkan

ke polsek. Bagan 5 menunjukkan bahwa kepolisian telah menerapkan mediasi

dalam penyelesaian tindak pidana ringan yang terbatas dalam 7 pasal dalam

KUHP (Pasal 302, 352, 364, 373, 379, 482, dan Pasal 315 KUHP).

Mekanisme mediasi yang dilakukan kepolisian adalah mekanisme yang

telah dilaksanakan dalam praktek penegakan hukum di Indonesia. Secara ideal

perlu dikontruksikan model mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana

ringan yang tepat diterapkan di Indonesia yang sesuai dengan prinsip-prinsip

mediasi penal, dengan berdasarkan pada perbandingan di berbagai negara, serta

juga disesuaikan dengan kondisi hukum dan masyarakat di Indonesia. Hal ini

dapat ditawarkan penulis dalam Bagan 6. Mediasi penal dalam model victim

offender mediation dengan pendekatan keadilan restoratif yang sesuai atau ideal

diterapkan dalam penyelesaian perkara tindak pidana ringan di Indonesia dapat

digambarkan dalam bagan di bawah ini :


400

Bagan 6.
Mediasi Penal Pada Model Victim Offender Mediation Dalam
Penyelesaian Tindak Pidana Ringan di Indonesia
SISTEM PERADILAN PIDANA
Tindak Pidana Sub Sistem
Ringan Peradilan Pidana
advokat

Sub Sistem Sub Sistem Sub Sistem Sub Sistem


Laporan Peradilan Peradilan Peradilan Peradilan Pidana
dan Pidana Pidana Pidana Lembaga
tertangkap
tangan
Kepolisian Kejaksaan Pengadilan Pemasyarakatan
Alternatif

Kejaksaan

Tercapai
Polisi, Jaksa, dan Hakim kesepakatan
 mediator  kasus telah
Mediasi penal dapat berhasil
MEDIASI dilakukan disemua tahapan diselesaikan
PENAL peradilan pidana melalui
mediasi penal
kesepakatan
Lembaga Mediasi Penal tertulis
(LSM, LBH,
Pelaku Korban: masyarakat adat, atau
Kejahatan Lembaga Independen Tidak tercapai
1. Korban
(Semua lainnya) kesepakatan
2. Pihak lain
tipe pelaku yang
kejahatan, terkait
kecuali yang
residivis terkena
dan anak) dampak
kejahatan
(keluarga
korban/
masyaraka
t)

Keterangan :
atau  : alur/tahapan
: proses tidak berlanjut
: dialihkan
-------- : proses dalam Sistem Peradilan Pidana (peradilan pidana)
: proses dalam mediasi penal

---- : koordinasi/kerjasama
401

Bagan 6 (enam) mengenai mediasi penal pada model victim offender

mediation dalam penyelesaian tindak pidana ringan di Indonesia merupakan

model sederhana yang ditawarkan penulis untuk penerapan mediasi penal dalam

penyelesaian tindak pidana ringan di Indonesia. Mediasi penal merupakan proses

pengalihan dari pengadilan ke luar pengadilan, dengan demikian tindak pidana

ringan dapat langsung diselesaikan melalui mediasi penal sebagai alternatif

penyelesaian perkara pidana. Pihak yang terlibat dalam proses mediasi penal

dalam hal ini adalah pelaku, korban, dan dibantu oleh mediator sebagai fasilitator

dan penengah yang sifatnya netral/tidak memihak.

Idealnya mediasi penal sangat tepat jika dilakukan oleh sebuah lembaga

mediasi penal yang dibentuk khusus untuk melakukan mediasi penal dengan

mediator yang ahli di bidangnya. Lembaga mediasi penal ini juga dapat terdiri

dari LSM, LBH, masyarakat adat, atau Lembaga Independen lainnya. Mediasi

penal juga dapat dilakukan oleh polisi, jaksa, dan hakim jika kasus tersebut telah

masuk ke tingkat kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, sehingga ada 2 (dua)

jalan yang dapat ditempuh korban dan pelaku kejahatan dalam menyelesaikan

perkara pidana melalui mediasi penal yakni melalui lembaga mediasi penal atau

melalui polisi/jaksa/hakim. Mediator dalam model ini bisa berasal dari mediator

independen yang profesiaonal atau ahli di bidangnya dan bisa juga dilakukan oleh

pihak polisi/jaksa/hakim sebagai pejabat formal. Pihak pelaku adalah pelaku

tindak pidana ringan yang bukan merupakan residivis dan anak. Korban dalam hal

ini adalah korban yang terkena dampak kejahatan.


402

Berdasarkan bagan 6, mediasi penal berhasil ketika telah tercapai

kesepakatan para pihak, sedangkan apabila tidak tercapai kesepakatan maka

tindak pidana dapat diproses melalui peradilan pidana. Model victim offender

mediation menurut penulis menjadi model yang tepat untuk diterapkan di

Indonesia, meskipun model victim offender mediation ini banyak diterapkan oleh

negara dengan sistem common law seperti Amerika Serikat dan Inggris, namun

Indonesia bisa mengadopsi model ini dengan menyesuaikan dengan kondisi

hukum di Indonesia seperti misalnya membatasi pelaku yang dapat menggunakan

mediasi penal sebagaimana yang telah disebutkan dalam bagan 6 dan tetap perlu

diatur dalam sebuah undang-undang.

5.5 Prinsip-Prinsip dan Mekanisme Mediasi Penal Dalam Penyelesaian


Tindak Pidana Ringan

5.5.1 Perbandingan Hukum

Konstruksi Prinsip-Prinsip Mediasi Penal Dalam Penyelesaian Tindak

Pidana Ringan akan dibentuk berdasarkan hasil perbandingan hukum. Disertasi

ini mengkaji beberapa negara dengan sistem hukum atau keluarga hukum yang

beragam untuk dapat mengetahui perkembangan mediasi penal di berbagai negara

di dunia. Berikut ini akan diuraikan pengaturan dan penerapan mediasi penal di

beberapa negara dengan sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law) yakni

Belanda (Netherlands) dan Jerman (Germany), sistem hukum Anglo Saxon

(Common Law) diantaranya adalah negara Amerika Serikat dan Inggris, sistem

hukum/keluarga hukum sosialis yaitu di Cina (China), sistem hukum campuran


403

yakni Jepang (Japan), dan di negara-negara ASEAN (Association of Southeast

Asian Nations) yakni di Singapura (Singapore).

5.5.1.1 Belanda (Netherlands)

Mediasi penal di Belanda dikenal dalam istilah strafbemiddeling telah

diatur dalam regulasinya dan mengalami perkembangan dari masa ke masa.

Mediasi penal telah lama dikenal di Belanda dan berkembang dengan berbagai

perubahan. Pengaturan mediasi penal dapat ditemukan dalam Pasal 74 Sr Belanda

dan juga dalam Transactiebesluit 1994.

Afdoening buiten process di Belanda sebagaimana yang telah diatur

dalam Pasal 74 Sr Belanda telah mengalami perkembangan dan perubahan baik

dari segi rumusan, kualifikasi tindak pidana, serta proses penerapannya. 515 Jan

Remmelink menyatakan bahwa Pasal 74 Sr menentukan bahwa kewenangan

penuntut umum akan hilang dan seterusnya jaksa/penuntut umum sebelum

dimulainya persidangan dapat menetapkan satu atau lebih persyaratan

(pembayaran sejumlah uang tertentu) untuk mencegah dan diakhiri diteruskannya

penuntutan.516 Persyaratan atas kualifikasi tindak pidananya dalam hal ini adalah

pelanggaran atau kejahatan yang diancam dengan pidana penjara maksimum 6

(enam) tahun. Terhadap tindak pidana ringan, polisi diberikan kewenangan untuk

menjalankan mekanisme ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 74c Sr

Belanda. Mekanisme ini disebut sebagai transaktie.517

515
Eva Achjani Zulfa, Op.Cit, h. 177.
516
Jan Remmelink, Op.Cit, h. 442.
517
Eva Achjani Zulfa, Loc.Cit.
404

Perkembangan mengenai kualifikasi tindak pidana dengan mekanisme

transaktie ini mengalami sejarah yang panjang dengan beberapa kali perubahan

peraturan. Perubahan pertama terjadi dengan diberlakukannya Staatblad Nomor

833 tertanggal 5 Juni 1921 tentang penyederhanaan cara penyidangan mengenai

perkara-perkara pidana yang sifatnya ringan. Perubahan yang kedua terdapat

dalam Staatblad Nomor 308 tertanggal 29 Juni 1925 mengatur ketentuan dalam

pelaksanaan Pasal 74 mengenai batalnya hak jaksa melakukan penuntutan tidak

hanya berkaitan dengan tindak pidana yang diancam dengan denda, tetapi juga

terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana kurungan.518

Terkait dengan adanya perbedaan batalnya hak jaksa melakukan

penuntutan pada tindak pidana yang diancam dengan denda dan pidana kurungan

membawa konsekuensi perbedaan posisi penuntut umum terhadap permohonan

penyelesaian diluar sidang. Menurut Simons dalam hal ini terdapat perbedaan

posisi penuntut umum yang dapat dilihat dalam tabel dibawah ini: 519

518
Eva Achjani Zulfa, Op.Cit, h. 177-178.
519
Eva Achjani Zulfa, Loc.Cit.
405

Tabel 6.
Posisi Penuntut Umum Terhadap Permohonan Penyelesaian di luar Sidang

Dalam hal ancaman pidana Penuntut umum tidak diperkenankan


adalah denda menolak bila dengan sukarela pelaku mau
membayarkan denda maksimum dan
melaksanakan persyaratan sebagaimana
ditentukan dalam aturan perundang-
undangan.
Dalam hal ancaman pidana a) Penuntut umum memiliki hak untuk
adalah denda dan atau mengabulkan atau menolak.
kurungan b) Bila ia mengabulkan maka ia akan
menentukan syarat dibayarkannya
sejumlah uang tertentu sebagai
pengganti kurungan yang besarnya
minimum 50 sen dan seinggi-tingginya
sama dengan jumlah denda maksimum.
c) Penuntut umum juga berwenang
menentukan jangka waktu
pelaksanaannya dan tempat dimana
“transaktie” tersebut dilaksanakan.
d) Adapun bila sampai jangka waktu yang
ditentukan belum dapat dilunasi, maka
hal ini hanya dapat diperpanjang satu
kali saja sesuai dengan jangka waktu
yang pertama.
Sumber: Eva Achjani Zulfa dalam Mediasi Penal: Perkembangan Kebijakan Hukum Pidana 520

Tabel 6 menunjukkan bahwa penuntutan dapat tidak dilakukan dalam

tindak pidana yang diancam dengan sanksi denda dan atau kurungan. Dalam hal

tindak pidana yang diancam dengan denda maka penuntut umum tidak boleh

menolak penyelesaian dengan mekanisme ini. Apabila tindak pidana tersebut

diancam dengan pidana denda dan atau kurungan maka berlaku sistem seleksi.

Penuntut umum memiliki hak untuk mengabulkan atau menolak.521

520
Eva Achjani Zulfa, Loc.Cit.
521
Eva Achjani Zulfa, Op.Cit, h. 178.
406

Terkait dengan tipe pelaku jika pelaku adalah residivis dalam hal ini

Simons menegaskan bahwa jika terjadi pengulangan atas tindak pidana yang

diselesaikan diluar pengadilan, maka:

a) Terhadap tindak pidana yang baru dapat diperberat ancaman pidananya

(menjadi dasar recidive), dan

b) Terhadap tindak pidana yang pertama dapat dilakukan penuntutan, sehingga

penyelesaian dengan cara “transaktie” tersebut tidak diperhitungkan sebagai

ne bis in idem.522

Kondisi ini menegaskan bahwa recidive tetap menjadi dasar pemberatan pidana.

Ketentuan Staatblad tahun 1921 berbeda dengan Staatblad tahun 1925

dalam hal perkara pidana yang dilakukan oleh anak. Ketentuan Staatblad 1921 ini

tidak berlaku bagi anak-anak dibawah umur, sedangkan dalam Staatblad 1925

bagi anak-anak yang belum mencapai umur 18 tahun, maka ketentuan jumlah

denda yang tertinggi adalah sebesar 90 (sembilan puluh) rupiah. 523 Ketentuan

lembaga penyelesaian perkara diluar pengadilan pada tahun 1983 mengalami

perubahan melalui Wet Vermogenssancties Belanda (Undang-Undang tentang

Sanksi Terhadap Harta Benda) yang mulai berlaku tanggal 1 Mei 1983. Adapun

perubahan yang terjadi adalah:

1) Ketentuan ini tidak hanya berlaku untuk pelanggaran saja melainkan


juga bagi kejahatan-kejahatan yang ancaman pidana maksimal adalah
penjara paling lama 6 (enam) tahun.
2) Karena ini merupakan hak tersangka, maka Penuntut umum harus
menawarkan penyelesaian melalui mekanisme ini sebelum mengajukan
tuntutan ke Pengadilan. Dalam hal ini bila tawaran itu tidak

522
Eva Achjani Zulfa, Op.Cit, h. 179.
523
Eva Achjani Zulfa, Loc.Cit.
407

dilaksanakan oleh Penuntut umum, tesangka dapat mengajukannya


kepada Penuntut Umum.524

Poin penting dalam ketentuan ini bahwa penyelesaian di luar pengadilan

merupakan hak tersangka, oleh sebab itu maka penuntut umum harus menawarkan

penyelesaian melalui mekanisme ini sebelum mengajukan tuntutan ke Pengadilan

dan tesangka dapat mengajukannya kepada Penuntut Umum.

Pelaksanaannya, menanggapi kekhawatiran adanya penyalahgunaan

kewenangan dalam mekanisme transaktie ditanggapi oleh Menteri Kehakiman

Belanda dengan meyakinkan bahwa adanya publikasi terhadap pedoman-pedoman

umum tentang pelaksanaan kebijakan transaksi, yang membuka kesempatan akan

adanya keterbukaan atas informasi maupun pemantauan masyarakat terhadap

pelaksanaan kebijakan ini. Penegak hukum khususnya penuntut umum diharapkan

tidak sembarangan dan hanya akan menggunakannya secara sangat berhati-hati

dan dengan memperhatikan prinsip kemampuan terpidana (untuk membayar

jumlah denda atau pidana lain yang dijatuhkan (draagkrachtbeginsel). Tersangka

harus secara bebas dan mandiri mempertimbangkan baik-buruknya pilihan

menggunakan lembaga ini atau tidak dan tidak boleh dilakukannya tekanan

kepada mereka. Pertimbangan terakhir ini muncul pula dalam putusan Mahkamah

(untuk perlindungan) Hak Asasi Eropa tanggal 27 Februari 1980.525

Belanda juga mengenal permaafan atau pengampunan oleh hakim

(rechterlijk pardon). Pasal 9 a KUHP Belanda menyatakan bahwa:

The judge may determine in the judgement that no punishment or measure


shall be imposed, where he deems this advisable, bye reason of the lack of

524
Eva Achjani Zulfa, Op.Cit, h. 179.
525
Eva Achjani Zulfa, Op.Cit, h. 180.
408

gravity of the offense, the character of the offender, or the circumstances


attendant upon the commission of the offense or thereafter. (Hakim dapat
menentukan dalam penilaian bahwa tidak ada hukuman atau ukuran
dikenakan, dimana ia dianggap ini dianjurkan, dengan alasan kurangnya
gravitasi dari pelanggaran, karakter pelaku, atau keadaan petugas pada
komisi pelanggtaran atau setelahnya.)

Ketentuan ini menunjukkan bahwa adanya permaafan atau pengampunan oleh

hakim (rechterlijk pardon). Hakim tidak menjatuhkan pidana atau tindakan

apapun berdasarkan alasan : 1) Ringannya tindak pidana yang dilakukan; 2)

Karakter pribadi si pembuat; atau 3) Keadaan-keadaan pada waktu atau setelah

delik dilakukan. Dengan hal ini, maka pelaku tindak pidana terbebas dari

pemidanaan meskipun telah terbukti bersalah. Tindak pidana yang dapat diberikan

permaafan atau pengampunan oleh hakim (rechterlijk pardon) adalah tindak

pidana yang dipandang sangat ringan, karena rechterlijk pardon diberikan oleh

hakim dengan melihat kondisi kejahatan atau tindak pidananya, yakni terhadap

tindak pidana yang dipandang sangat ringan, kondisi pelaku atau karakter pribadi

si pelaku, serta kondisi dan keadaan sesudah dilakukannya delik.526

Permaafan atau pengampunan oleh hakim (rechterlijk pardon) adalah

kewenangan hakim sepenuhnya yang diberikan oleh undang-undang dan melalui

ini hakim menganggap konflik telah berakhir dan selesai. Tindakan hakim untuk

memberikan pengampunan (rechterlijk pardon) kepada pelaku untuk

menyelesaikan perkara dapat dikatakan telah terjadi perdamaian, karena dalam

pengampunan yang diberikan oleh hakim mengandung makna memaafkan yang

526
I Ketut Sudira, Op.Cit, h. 126-130.
409

merupakan inti dari perdamaian. Ketentuan rechterlijk pardon ini juga mengarah

pada perdamaian antara korban dengan pelaku.527

Jan Remmelink mengemukakan bahwa sudah sejak awal pemberlakuan

Sv. (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) pada tahun 1926 di Belanda

sudah ditemukan rechterlijk pardon (pernyataan salah tanpa penjatuhan pidana

atau yang lebih harfiah disebut sebagai pengampunan atau pemaafan oleh atau

atas kuasa hakim) dari hakim kanton (pengadilan tingkat terendah). Hal ini

diberikan atas dasar pertimbangan besar kecilnya makna tindak pidana yang

bersangkutan serta situasi kondisi yang melingkupi pelaksanaannya.528

Pada hukum pidana anak-anak juga mengenal pranata hukum yang

serupa, yakni pengembalian anak yang belum mencapai usia 16 (enam belas

tahun) ke bawah kekuasaan orang tua atau wali, tanpa sekaligus diiringi

penjatuhan pidana. Hukum pidana anak yang baru ini kemudian dialihkan ke

dalam lingkup hukum pidana materiil. Pasal 77f (3) ini menentukan bahwa hakim

dengan menentukan rendahnya tingkat keseriusan tindak pidana, personalitas

(kepribadian) pelaku, serta situasi dan kondisi sewaktu tindak pidana dilakukan

dapat menjadi pertimbangan bahwa akan lebih baik dijatuhkan putusan salah

tanpa penjatuhan pidana ataupun tindakan (maatregel).529

5.5.1.2 Jerman (Germany)

Mediasi penal dalam bahasa Jerman dikenal dengan istilah “der” atau

Außergerichtliche Tataus-gleich (disingkat ATA). Mediasi penal di Jerman

527
I Ketut Sudira, Loc.Cit.
528
Jan Remmelink, Loc.Cit.
529
Jan Remmelink, Loc.Cit.
410

mengalami perkembangan dan penyebaran yang pesat. Hasil penelitian Umbreit

dan Greenwood menunjukkan bahwa pada tahun 1999 dari 17 negara, Jerman

merupakan negara di Eropa yang memiliki program mediasi penal atau victim

offender mediation yang terbanyak yakni berjumlah 450 program. Nadja

Alexander, Walther Gottwald, dan Thomas Trenczek menyatakan bahwa, “Sejak

pertama kali mediasi penal dikenal pertengahan tahun 1980-an, mediasi penal di

Jerman mengalami perkembangan pesat. Persentase keberhasilan mediasi penal

mencapai 82 % dari total perkara yang menempuh proses ini pada tahun 1999”.530

Terkait dengan mediasi penal, di Jerman juga dikenal dan dibedakan dua

istilah yakni restitution dan Täter-Opfer-Ausgleich (TOA) atau offender-victim

arrangement (OVA).531 Mediasi penal pada umumnya dikenal sebagai mediasi

korban-pelaku, namun dalam bahasa Jerman mediasi penal dikenal dengan istilah

Täter-Opfer-Ausgleich (TOA) atau mediasi pelaku-korban. Penamaan yang tidak

lazim ini, memang dilakukan dengan sengaja karena mediasi penal di Jerman

lebih mengutamakan atau memprioritaskan pendekatan pada pelaku, bukan pada

korban.532

Proyek pertama mediasi penal di Jerman dilakukan pada tahun 1984

dengan 4 (empat) pilot project untuk menangani anak yang berhadapan dengan

hukum (ABH) dan 1 (satu) proyek untuk orang dewasa. Program yang paling

530
Fatahillah A. Syukur, Op.Cit, h. 193, dalam Nadja Alexander, Walther Gottwald,
and Thomas Trenczek, “Mediation in Grmany: The Long and Winding Roa” in Global Trends in
Mediation, ed. Nadja Alexander (Alphen: Kluwer Law International, 2006), h. 226.
531
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, h. 30.
532
Fatahillah A. Syukur, Op.Cit, h. 191.
411

banyak berkembang adalah ABH, namun mediasi penal untuk orang dewasa juga

masih tetap berjalan.533

Awalnya, program mediasi penal untuk orang dewasa dilakukan oleh

Lembaga Bantuan Hukum atau LSM independen. Mediasi penal pertama kali

dilakukan di kota Tubingen, Hamburg, dan Dussldorf. Mediasi penal berlaku

untuk semua jenis tindak pidana (termasuk KDRT), kecuali kejahatan yang tidak

memiliki korban langsung (pengedaran narkoba, pengutilan, dan pelanggaran lalu-


534
lintas) dan tindak pidana berat seperti pembunuhan. Perkembangannya,

didirikanlah Asosiasi Mediasi Nasional pada tahun 1992 yang menaungi berbagai

jenis mediasi dari berbagai bidang, termasuk di dalamnya mediasi penal.

Ketentuan atau aturan tentang restitusi terdapat dalam the Juvenile Penal

Code of 1923. Restitusi merupakan sanksi independen (an independent sanction)

atau digunakan dalam kombinasi dengan sanksi lain (combi-nation with further

orders), atau sebagai sarana diversi (as a means of diversion). Restitusi bagi orang

dewasa diakui sejak tahun 1953 sebagai syarat “probation” dan sejak tahun 1975

diakui sebagai sarana diversi bagi jaksa dan hakim [§ 153(a) StPO]. 535

OVA (offender-victim arrangement) diatur dalam hukum pidana anak

secara umum pada tahun 1990 (§ 10 I Nr. 7 JGG) dan dinyatakan sebagai “a

533
Fatahillah A. Syukur, Op.Cit, h. 191.
534
Fatahillah A. Syukur, Op.Cit, h. 192, dalam Michael Kilchling, “Victim-Offender
Mediation with Juvenile Offenders in Germany” in Victim-Offender Mediation with Youth
Offenders in Europe, ed. Anna Mestitz and Simona Ghetti (Dordrecht: Springer, 2005), h. 232.
535
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, h. 30-31, dalam Detlev Frehsee (Professor of
Criminology and Criminal Law, University of Bielefeld, Germany), Restitution and Offender-
Victim Arrangement in German Criminal Law: Development and Theoretical Implications,
http://wings.buffalo.edu/law/bclc/bclr.htm.
412

means of diversion” (§ 45 II S. 2 JGG).536 Pasal 46a ditambahkan ke dalam StGB

(KUHP) pada tahun 1994537. Pasal 46a StGB ini menentukan bahwa:

Mediation Between the Perpetrator and the Victim, Restitution for Harm
Caused If the perpetrator has:
1. in an effort to achieve mediation with the aggrieved party (mediation
between perpetrator and victim), completely or substantially made
restitution for his act or earnestly strived to make restitution; or
2. in a case in which the restitution for the harm caused required substantial
personal accomplishments or personal sacrifice on his part, completely or
substantially compensated the victim,
then the court may mitigate the punishment pursuant to Section 49
subsection (1), or, if the maximum punishment which may be incurred is
imprisonment for not more than one year or a fine of not more than three
hundred sixty daily rates, dispense with punishment.

Berdasarkan Pasal 46a StGB dapat diketahui bahwa apabila pelaku memberi ganti

rugi atau kompensasi kepada korban secara penuh atau sebagian besar, atau telah

dengan sungguh-sungguh berusaha keras untuk memberi ganti rugi, maka

pidananya dapat dikurangi atau bahkan dapat dibebaskan dari pemidanaan.

Pembebasan pidana hanya dapat diberikan apabila deliknya diancam dengan

maksimum pidana 1 tahun penjara atau 360 unit denda harian. 538 Pasal 46a

Hukum Pidana Jerman memperbolehkan hakim untuk meringankan atau

membebaskan terdakwa dari hukuman untuk kasus yang diancam dengan pidana

di bawah 1 (satu) tahun apabila menempuh mediasi penal.539

Sebagaimana diatur dalam Pasal 46a StGB, penyelesaian perkara pidana

antara pelaku dan korban melalui kompensasi ini di Jerman dikenal dengan istilah

536
Barda Nawawi Arief I, Loc.Cit.
537
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, h. 31, dalam Dieter Rössner, Mediation as a Basic
Element of Crime Control: Theoretical and Empirical Comments, wings.buffalo.edu/law/
bclc/bclrarticles /3(1)/roessner.pdf.
538
Barda Nawawi Arief I, Loc.Cit.
539
Fatahillah A. Syukur, Loc.Cit.
413

Täter-Opfer-Ausgleich (TOA). Apabila TOA telah dilakukan, maka penuntutan

dihentikan (s. 153b StPO/Strafpro-zessordnung/KUHAP).540

Pada tindak pidana ringan di Jerman, sejak tahun 1998 Pasal 153a

Hukum Acara Pidana Jerman memperbolehkan Jaksa untuk menunda secara

formal proses penuntutan jika mediasi penal memenuhi syarat untuk dilakukan.

Pasal 153a Hukum Acara Pidana Jerman mewajibkan jaksa dan hakim selalu

melihat peluang menggunakan mediasi penal di setiap tahapan pemeriksaan

perkara. Perumusan legislasi ini menjadikan mediasi penal dapat digunakan dalam

95% dari semua tindak pidana, namun penggunaannya masih di bawah 5 % dari

total perkara pidana.541

Mengenai mekanisme mediasi penal di Jerman. Fatahillah A. Syukur

mengemukakan bahwa:

Pada tahap investigasi perkara, jaksa memegang peranan dalam menentukan


suatu perkara layak dimediasi atau tidak. Ketika perkara tersebut sudah
didaftarkan ke pengadilan, maka tanggung jawab penyelesaian perkara
berpindah ke pengadilan. Sebelum proses persidangan perkara, majelis
hakim akan memeriksa apakah perkara tersebut mempunyai peluang untuk
di mediasi atau tidak. Hal ini terus berlanjut pada saat tahapan pemeriksaan
perkara sebelum jatuhnya putusan hakim. Apabila hakim melihat melihat
ada peluang untuk didamaikan maka majelis akan segera merujuk pada
proses mediasi penal. Jika hal ini terjadi sebelum proses persidangan
berlangsung maka proses pemeriksaan perkara dihentikan. Jika berhasil
mencapai kesepakatan akan berpengaruh terhadap putusan yang akan di
ambil oleh majelis hakim. Mayoritas putusan majelis hakim akan mengikuti
hasil kesepakatan, kecuali isi kesepakatan tersebut mengandung unsur
melawan hukum.542

540
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, h. 31-32.
541
Fatahillah A. Syukur, Loc.Cit, dalam Nadja Alexander, Walther Gottwald, and
Thomas Trenczek, “Mediation in Grmany: The Long and Winding Roa” in Global Trends in
Mediation, ed. Nadja Alexander (Alphen: Kluwer Law International, 2006), h. 226.
542
Fatahillah A. Syukur, Op.Cit, h. 193.
414

Terkait dengan bentuk mediasi penal yang sering dilakukan di Jerman,

Fatahillah A. Syukur mengemukakan bahwa:

Proses mediasi penal yang lebih terjadi berbentuk shuttle mediation dimana
para korban dan pelaku tidak saling bertemu, tetapi mediator-hakim yang
mengunjungi keduanya untuk mencapai titik temu. Ada beberapa syarat
yang diperhatikan oleh jaksa ataupun hakim untuk dipertimbangkan
terhadap suatu kasus layak untuk menempuh mediasi penal, yaitu:
1. Kesediaan dari korban
2. Bukan merupakan perkara yang terlalu ringan (sepele)
3. Kewajiban pelaku untuk bertanggung jawab.543

5.5.1.3 Amerika Serikat (United States of America/USA)

Mediasi penal di Amerika Serikat dikenal dengan istilah Victim Offender

Mediation (VOM). Mark S. Umbreit, Robert B. Coates dan Betty Vos juga

mengemukakan bahwa, “In the United States, some programs are also called

“victim-offender meetings” or “victim-offender conferences”.544

Alyssa H. Shenk menyatakan bahwa, “Victim-offender mediation

emerged in the United States in the late 1970s, and its use continues to

flourish”.545 Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa Victim-offender mediation

atau mediasi penal muncul di Amerika Serikat pada akhir 1970-an, dan

penggunaannya terus berkembang. Sebagaimana hasil penelitian Umbreit dan

Greenwood pada tahun 1999 dari 17 (tujuh belas) negara, Amerika Serikat

merupakan negara di Eropa yang memiliki program mediasi penal atau victim

543
Fatahillah A. Syukur, Loc.Cit.
544
Mark S. Umbreit, Robert B. Coates dan Betty Vos, 2004, Victim Offender
Mediation: Three Decades of Practice and Research, Conflict Resolution Quarterly, vol. 22, no. 1–
2, Fall–Winter, Wiley Periodicals, Inc., and the Association for Conflict Resolution, h. 279.
545
Alyssa H. Shenk, Op.Cit, h. 440.
415

offender mediation yang terbanyak kedua setelah Jerman yakni berjumlah 302

program.

Amerika Serikat dalam perkembangannya juga menerapkan VOM

(Victim-Offender Mediation) untuk violent crime dan juga untuk kasus-kasus

KDRT (domestice violence).546 VOM (Victim-Offender Mediation) di Amerika

tidak hanya digunakan untuk menyelesaikan kasus-kasus ringan/tindak pidana

ringan. Seperti yang telah diuraikan oleh Alyssa H. Shenk bahwa pada awalnya

memang victim-offender mediation digunakan dalam kasus yang melibatkan

kejahatan properti atau kasus-kasus ringan/kecil, namun kini berkembang

digunakan terhadap severely violent crimes (kejahatan kekerasan yang berat).

Mark S. Umbreit, Robert B. Coates dan Betty Vos menyatakan bahwa,

“In recent years, an increasing number of VOM programs have been periodically

working with cases involving severe violence, including homicide”. Hal ini

menunjukkan bahwa jumlah program VOM di Amerika Serikat terus meningkat

secara berkala dan digunakan juga terhadap kekerasan yang berat termasuk

pembunuhan (homicide).

Terkait dengan perkembangan victim-offender mediation, Alyssa H.

Shenk mengemukakan bahwa:

Since its inception, the use victim-offender mediation has continued to


flourish, as is evidenced by the endorsement that it received from the
American Bar Association in 1994. Most often employed in cases involving
property crime or minor assaults, Victim-offender mediation programs are
frequently found in juvenile courts, law enforcement agencies, probation
and correction departements, and victim assistance programs.547

546
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, h. 59.
547
Alyssa H. Shenk, Op.Cit, h. 440.
416

Pandangan Alyssa H. Shenk sebagaimana yang dikutip diatas menjelaskan bahwa

sejak awal, penggunaan victim-offender mediation terus berkembang, seperti yang

dibuktikan dengan dukungan yang diterima dari American Bar Association pada

tahun 1994. Victim-offender mediation paling sering digunakan dalam kasus-

kasus yang melibatkan kejahatan properti atau minor assaults, victim-offender

mediation programs sering ditemukan di juvenile courts, lembaga penegak

hukum, percobaan dan koreksi departemen-departemen, dan program bantuan

untuk korban.

Terkait dengan tipe pelaku yang dapat menyelesaikan kasusnya melalui

Victim-offender mediation, Mark S. Umbreit, Robert B. Coates dan Betty Vos

mengemukakan bahwa:

A national survey of VOM programs in the United States (Umbreit and


Greenwood, 1999) provides an overview of the types of cases typically
brought to mediation. Juvenile offenders are more likely to be the primary
focus of U.S. VOM programs, with 45 percent of programs offering services
solely to juveniles and an additional 46 percent serving both juveniles and
adults. Only 9 percent of VOM programs nationwide are focused on adults
alone. Among the reports reviewed for this chapter, 49 percent studied only
juvenile programs, 29 percent studied programs serving both, and 22
percent studied programs serving only adults.548

Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa program Victim-offender mediation di

Amerika Serikat dapat diberikan pada remaja dan orang dewasa, namun program

ini lebih difokuskan untuk juvenile offenders (remaja).

Program Victim-offender mediation di Amerika Serikat ditawarkan oleh

berbagai pihak. Mark S. Umbreit, Robert B. Coates dan Betty Vos menyatakan

bahwa:

548
Mark S. Umbreit, Robert B. Coates dan Betty Vos, Op.Cit, h. 283-284.
417

VOM programs across the United States are most often offered by private,
nonprofit community-based agencies (43 percent of programs). Various
elements of the justice system are responsible for another 33 percent of
VOM programs, including probation (16 percent), correctional facilities (8
percent), prosecuting attorney offices (4 percent), victim services (3
percent), and police departments (2 percent). The remaining 23 percent are
offered by churches or church-related agencies. 549

Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa program VOM di seluruh Amerika

Serikat paling sering ditawarkan oleh swasta, lembaga berbasis nirlaba.VOM juga

dapat ditawarkan oleh berbagai elemen sistem peradilan, termasuk masa

percobaan, fasilitas pemasyarakatan, kejaksaan, pelayanan korban, kepolisian,

selain itu bisa ditawarkan oleh gereja atau agencies yang berhubungan dengan

gereja.

Kesukarelaan untuk melakukan VOM juga sangat diperlukan. Terkait

dengan hal ini Mark S. Umbreit, Robert B. Coates dan Betty Vos menyatakan

bahwa, “All of the programs in the 1999 survey reported that participation was

completely voluntary for crime victims. Voluntary offender participation was


550
reported by 79 percent of the surveyed programs”. Hasil survei ini

menunjukkan bahwa partisipasi adalah benar-benar sukarela untuk korban

kejahatan. Partisipasi pelaku kejahatan secara sukarela adalah sebesar 79% (tujuh

puluh lima persen).

Victim-offender mediation process atau proses mediasi penal di Amerika

Serikat memiliki 4 (empat) tahapan dalam mekanisme pelaksanaannya yang

terdiri dari: intake, preparation for mediation, mediation, and follow-up yang

akan diuraikan di bawah ini:

549
Mark S. Umbreit, Robert B. Coates dan Betty Vos, Op.Cit, h. 284.
550
Mark S. Umbreit, Robert B. Coates dan Betty Vos, Loc.Cit.
418

1. Intake

Tahap pertama adalah intake. Alyssa H. Shenk dalam tahapan intake

mengemukakan bahwa:

Generally, there are four phases of the victim-offender mediation process.


The first phase is intake, in which the case is referred to victim-offender
mediation and is then prescreened by the mediator. The mediator is
responsible for contacting both the victim and offender and if the mediator
find that both parties are eager to negotiate and show no overt hostility
toward each other, the mediator will accept the case for victim-offender
mediation .551

Berdasarkan hal tersebut dapat ketahui bahwa proses intake mengacu pada

penentuan penyelesaian kasus menggunakan victim-offender mediation dan juga

melalui prescreened oleh mediator. Mediator bertanggung jawab untuk

menghubungi kedua belah pihak yakni korban dan pelaku dan jika mediator

menemukan bahwa kedua belah pihak sangat ingin bernegosiasi dan tidak

menunjukkan permusuhan terbuka terhadap satu sama lain, mediator akan

menerima kasus untuk diselesaikan melalui victim-offender mediation.

2. Preparation for Mediation

Proses/tahap kedua dalam victim-offender mediation process atau proses

mediasi penal di Amerika Serikat, Alyssa H. Shenk menjelaskan bahwa:

The next phase is preparation for mediation. During this phase the mediator
will first arrange individual meetings with each party, in which “the
mediator explains the program, answer question and screens the case for its
appropriateness for mediation. In meeting with the victim and offender
separately, if mediator does not feel she has effectively established trust and
rapport with each of the parties, the case is remanded to court. However, if
the mediator finds that case is suitable for mediation and both victim and
offender voluntarily agree to participate in the mediation session, the case
is ready for mediation. Preparation for the mediation session may include

551
Alyssa H. Shenk, Op.Cit, h. 440.
419

homework assignments and, in some situations, additional preliminary


meetings.552

Berdasarkan hal tersebut dapat ketahui bahwa tahap selanjutnya adalah

preparation for mediation (persiapan untuk mediasi). Selama fase ini mediator

pertama-tama akan mengatur pertemuan dengan masing-masing pihak, di mana

mediator menjelaskan program, tanya jawab dan menyaring kasus untuk

kesesuaian/kelayakan untuk dimediasi. Pertemuan dengan korban dan pelaku

dilakukan secara terpisah, jika mediator tidak merasa dia telah secara efektif

membentuk kepercayaan dan hubungan baik dengan masing-masing pihak, kasus

ini diserahkan ke pengadilan. Apabila mediator menemukan kasus tersebut cocok

untuk diselesaikan secara mediasi dan kedua korban dan pelaku secara sukarela

setuju untuk berpartisipasi dalam sesi mediasi, kasus siap mediasi. Dalam proses

ini mungkin termasuk homework assignments dan dalam beberapa situasi

diadakan additional preliminary meetings.

Terkait dengan mekanisme dalam VOM, Mark S. Umbreit, Robert B.

Coates dan Betty Vos menyatakan bahwa:

Careful preparation of participants has been one of the hallmarks of the


VOM movement. In the national survey (Umbreit and Greenwood, 1999), 78
percent of the programs reported that participants received at least on
preparation meeting. In general, preparation meetings are understood to
consist of personal, face-to-face contact with the participants by either the
actual mediator or some other worker from the VOM program. In fact, such
meetings sometimes are carried out by telephone. In some programs, the
offenders are more likely than the victims to have received their preparation
in face-to-face meetings (Umbreit, Coates and Vos, 2001a).553

552
Alyssa H. Shenk, Op.Cit, h. 440.
553
Mark S. Umbreit, Robert B. Coates dan Betty Vos, Op.Cit, h. 284.
420

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persiapan peserta yang cermat

merupakan salah satu keunggulan VOM. Para pihak menerima setidaknya satu

pertemuan persiapan. Pertemuan persiapan dapat dilakukan dengan consist of

personal, tatap muka dengan para peserta/pihak dan mediator atau beberapa

pekerja lain dari VOM program. Pertemuan ini terkadang dapat dilakukan melalui

telepon.554

Mark Umbreit terkait tahap preparation for mediation (persiapan untuk

mediasi) juga menyatakan bahwa:

Throughout the twenty-year development of victim offender mediation in the


United States, a great deal of emphasis has been placed on preparing the
parties for the mediation. This has usually involved the mediator’s
conducting an in-person meeting with the victim and with the offender
separately prior to bringing them together, as described in earlier chapters.
Nearly all (99 percent) of the programs in the survey contact both the victim
and the offender by telephone prior to the mediation session; calls are
placed by the mediator (51 percent of programs) or program staff (49
percent). Separate meetings are held with the victim and offender prior to
the joint mediation session in 78 percent of the programs; 80 percent of
these preparatory meetings are with the mediator and 20 percent with
intake staff.555

Berdasarkan pandangan ini dapat diketahui bahwa tahap persiapan untuk mediasi

ini biasanya melibatkan mediator untuk melakukan pertemuan langsung dengan

korban dan pelaku secara terpisah sebelum membawa mereka bersama

(mempertemukan mereka). Hasil survei menunjukkan bahwa hampir semua

554
Sebuah studi tambahan sebagai perbandingan (Roberts, 1995) melaporkan sebuah
program di Kanada dalam kejahatan kekerasan. Program ini berkembang yang tidak biasa dan
komponen persiapan yang lebih intensif: pelanggar dan korban direkam dalam percakapan tentang
pelanggaran dengan staf program, dan ini Video kemudian dibagikan dengan rekan mereka. Meski
tidak ada persentase yang diberikan, studi tersebut melaporkan bahwa partai merasa sangat puas.
Demikian pula, dalam penelitian eksplorasinya terhadap tujuh kasus kekerasan yang sampai pada
mediasi, Flaten (1996) mencatat bahwa persiapan disebut sebagai single yang paling penting faktor
yang berkontribusi terhadap keberhasilan mediasi. Lihat, Mark S. Umbreit, Robert B. Coates dan
Betty Vos, Op.Cit, h. 285.
555
Mark S. Umbreit, Op.Cit, h. 115.
421

(99%) menghubungi korban dan pelaku melalui telepon sebelum sesi mediasi.

Panggilan telepon dilakukan oleh mediator (51%) atau staf program (49%). Rapat

terpisah diadakan dengan korban dan pelaku sebelum sesi mediasi bersama (78%)

dan 80 % dari pertemuan persiapan ini adalah dengan mediator dan 20% dengan

intake staff.

3. Mediation

Terkait tahap ketiga dalam victim-offender mediation process atau proses

mediasi penal di Amerika Serikat, Alyssa H. Shenk mengemukakan bahwa:

The third phase is the mediation itself. Mediation sessions are designed to
“focus upon dialogue rather than upon reaching a restitution agreement,
facilitating empathy and understanding between victim and offender. The
mediation session generally begins with an explanation of the ground rules
and then the victim is given the opportunity the speak first. Once the victim
has explained to the offender’s crime, the victim may ask the offender
question, and the offender then has an opportunity to offer an explanation
and/or an apology. In the mediation session, the parties are expected to
reach a mutually acceptable agreement, usually a restitution agreement or
work order. If the parties are unable to reach an agreement the case will be
remanded back to the court for futher proceeding.556

Berdasarkan hal tersebut dapat ketahui bahwa tahap ketiga adalah mediation

(mediasi itu sendiri). Sesi mediasi dirancang untuk fokus pada dialog daripada

setelah mencapai kesepakatan ganti rugi, memfasilitasi empati, dan memahami

korban dan pelaku. Sesi mediasi biasanya dimulai dengan penjelasan tentang

peraturan dasar dan kemudian korban diberi kesempatan berbicara pertama.

Setelah korban menjelaskan kepada pelaku kejahatan, korban dapat mengajukan

pertanyaan kepada pelaku, dan pelaku kemudian memiliki kesempatan untuk

menawarkan penjelasan dan/atau permintaan maaf. Para pihak pada tahap mediasi

556
Alyssa H. Shenk, Op.Cit, h. 440.
422

diharapkan untuk mencapai kesepakatan yang dapat diterima bersama, biasanya

berupa perjanjian restitusi atau work order. Jika para pihak tidak dapat mencapai

kesepakatan kasus ini akan diserahkan kembali ke pengadilan untuk

dilanjutkan.557

4. Follow-up

Tahap terakhir dalam victim-offender mediation process atau proses

mediasi penal di Amerika Serikat, Alyssa H. Shenk mengemukakan bahwa, “The

final phase of the victim-offender mediation process is follow-up. After an

agreement is reached during mediation, the offender’s performance and

cooperation is monitored to ensure that he or she is acting in compliance with the

work or restitution agreement”.558 Berdasarkan hal tersebut dapat ketahui bahwa

tahap akhir dari proses victim-offender mediation adalah follow-up. Setelah

kesepakatan tercapai selama mediasi, kinerja pelaku dan kerja sama akan dipantau

untuk memastikan bahwa ia bertindak sesuai dengan perjanjian kerja atau

restitusi.

557
Mark Umbreit menyatakan bahwa: Following a brief opening statement by the
mediators, typical victim offender mediation sessions begin with the parties “telling their stories,”
describing what happened and its impact on their lives. In the majority of programs in the survey
(53 percent), the mediator determined which party begins the storytelling phase of the mediation,
while in other programs this decision was determined by either the program staff, the victim, or
the victim and offender mutually. In more than half of programs (53 percent), the victim spoke
first. The offender was first in a third of the programs, and in 14 percent of the programs it varied,
depending on the specific case. 557 Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa tahap mediasi mulai
dilakukan setelah pernyataan pembuka singkat oleh para mediator, VOM dimulai dengan para
pihak "menceritakan cerita mereka, "menggambarkan apa yang terjadi dan dampaknya terhadap
mereka hidup. Lihat, Mark S. Umbreit, Op.Cit, h. 116.
558
Alyssa H. Shenk, Loc.Cit.
423

5.5.1.4 Inggris (England)

Victim Offender Mediation juga dikenal di Inggris (England). Sections 7

and 8 of the Code for Crown Prosecutors provide guidance to Prosecutors on

alternatives to prosecution for adults and youths, including conditional cautions.

In addition, Standard 3 of the CPS Core Quality Standards (CQS) stipulates that

we will use out-of-court disposals as alternatives to prosecution, where

appropriate, to gain speedy reparation for victims and to rehabilitate or punish

offenders. Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa Jaksa (Penuntut Umum)

dapat melakukan alternatif penuntutan untuk orang dewasa dan orang yang belum

dewasa, termasuk conditional cautions (syarat).

Standard 3 of the CPS Core Quality Standards (CQS) juga menentukan

bahwa dapat digunakan out-of-court (penyelesaian di luar pengadilan) sebagai

alternatif penuntutan yang sesuai untuk mendapatkan ganti rugi yang cepat bagi

korban dan untuk merehabilitasi atau menghukum pelaku. The Revised Victims

Code mulai berlaku pada 10 Desember 2013 termasuk Restorative Justice untuk

pertama kalinya, dengan maksud meningkatkan kesadaran penerapan Restorative

Justice.

Mark S. Umbreit menyatakan bahwa, “In England, experimentation with

the concept of mediation in a small number of cases (prior to any major initiative)

actually began in the early 1970s. By 1986, there wewe twelve projects in
559
England, and this number had grown to twenty by the mid 1990s”.

Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa victim offender mediation atau mediasi

559
Mark S. Umbreit, Op.Cit, h. 235.
424

penal di Inggris telah dikenal sejak lama, yakni pada awal tahun 1970-an dan

berkembang dengan peningkatan project dari tahun ke tahun.

Victim offender mediation di Inggris dapat dilakukan dengan dua bentuk

yakni mediasi langsung (direct mediation) dan tidak langsung (indirect

mediation). Berkaitan dengan ini, Mark S. Umbreit menyatakan bahwa:

The process of victim offender mediation in England is similar in most ways


to the process being followed in the United States, with a few differences. In
England, the mediation phase consist of two distinct subcategories : direct
and indirect mediation. In direct mediation, a face-to-face meeting is
facilitated between the victim and the offender; in indirect mediation, the
mediator meets with both parties separately and exchanges information and
needs between the parties while never facilitating a face-to-face session. In
some cases, this may requite a few meetings with the involved individuals
before a final resolution of the conflict emerges. Only a small portion of
referred case in England involve direct mediation. In the United States, the
process of indirect mediation is often called “conciliation”. Others
sometimes refer to the process as “shuttle diplomacy”.560

Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa tahap mediasi penal di Inggris

terdiri dari dua sub kategori yang berbeda yaitu, mediasi langsung (direct

mediation) dan tidak langsung (indirect mediation). Dalam mediasi langsung

difasilitasi untuk pertemuan tatap muka antara korban dan pelaku, sedangkan pada

mediasi tidak langsung mediator bertemu dengan kedua belah pihak secara

terpisah dan terjadi pertukaran informasi dan kebutuhan antara pihak-pihak

sementara tidak pernah difasilitasi untuk pertemuan sesi tatap muka. Dalam

beberapa kasus, mungkin memerlukan beberapa pertemuan dengan

melibatkan individu sebelum resolusi akhir konflik. Hanya sebagian kecil kasus di

Inggris melibatkan mediasi langsung.

560
Mark S. Umbreit, Loc.Cit.
425

Sebagaimana prinsip dalam VOM bahwa fokus utama bukanlah hasil,

namun proses. VOM di Inggris memiliki 2 (dua) bentuk proses mediasi yakni

mediasi langsung dan tidak langsung, terkait dengan hal ini Mark S. Umbreit

menyatakan bahwa:

A clear majority of victims in direct and indirect mediation were satisfied


with the outcome of their mediation sessions. Direct mediation resulted in
considerably higher satisfaction with the outcome among victims than
indirect mediation. Overall, victims participating in direct face-to-face
mediation were satisfied in 84 percent of the cases, while those
participating in indirect mediation were satisfied in 74 percent of the cases.
This difference was not statistically significant. Offenders expressed an even
stronger sense of satisfaction with mediation outcomes than victims in
mediation did. Every single offender who participated in direct mediation
reported being satisfied with its outcome (100 percent), compared to 79
percent of offenders who were involved in indirect mediation. The 21
percent who said they were dissatisfied all came from Leeds.561

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar korban dalam mediasi

langsung dan tidak langsung puas dengan hasil sesi mediasi mereka. Mediasi

langsung menghasilkan kepuasan yang jauh lebih tinggi dengan hasilnya

di antara korban dari pada mediasi tidak langsung. Berdasarkan kepuasan terhadap

hasil mediasi, pelaku mengungkapkan rasa kepuasan yang bahkan lebih kuat dari

pada korban.

Peranan korban, pelaku, dan mediator tentu sangat penting dalam proses

VOM. Terkait dengan parsitispasi korban, Mark S. Umbreit menyatakan bahwa:

These officials identified two reasons as the most likely ones for a victim’s
electing to participate in mediation: the need to get answers to questions
about the crime and the need to express feelings of anger and frustration to
the offender. With respect to the most important immediate outcomes of the
mediation process for victims, the two themes identified most frequently by
interviewees were a sense of relief and reassurance and greater
understanding of what actually happened and why it happened. For

561
Mark S. Umbreit, Op.Cit, h. 246.
426

offenders, the themes most frequently identified by these criminal justice


officials were holding the offender directly accountable to the victim and
helping the offender understand the full impact of the crime on the specific
victim. When asked about hoped-for longer-term impacts of the mediation
process, the most common themes expressed were the ability for the victim
to resolve the incident and obtain closure and the reduction of recidivism
among offenders who participate in the program.562

Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa proses VOM dapat meliputi kebutuhan

untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan tentang kejahatan dan kebutuhan

untuk mengungkapkan perasaan kemarahan dan frustrasi terhadap pelaku.

Sehubungan dengan hasil langsung yang paling penting dari

proses mediasi untuk korban adalah rasa lega dan kepastian dan pemahaman yang

lebih besar tentang apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa hal itu terjadi

terhadap dirinya sebagai korban. Bagi pelaku kejahatan dapat bertanggung jawab

kepada korban. Proses VOM membantu pelaku memahami dampak penuh dari

kejahatan terhadap korban. Hasil proses VOM dalam jangka panjang yakni

kemampuan korban untuk menyelesaikan permasalahannya, obtain closure, dan

mengurangi residive.

Terkait dengan partisipasi pelaku kejahatan dalam VOM, Mark S.

Umbreit menyatakan bahwa, “The officials cited the most likely reasons for

offender participation in mediation as mitigation, diversion, and self-interest. All

are related to offenders’ perception that they would get a “better deal” or a lesser

punishment. These reasons were followed by the need to express remorse and the

need to make amends”. 563 Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa pada

umumnya persepsi pelaku yang menunjukkan partisipasinya untuk melakukan

562
Mark S. Umbreit, Op.Cit, h. 249.
563
Mark S. Umbreit, Loc.Cit.
427

VOM adalah mereka akan mendapatkan "kesepakatan yang lebih baik" atau

hukuman yang lebih rendah. Alasan ini diikuti oleh kebutuhan mengungkapkan

penyesalan dan kebutuhan untuk menebus kesalahan.

5.5.1.5 Cina (China)

Riccardo Berti dalam bukunya yang berjudul Victim-Offender

Reconciliation in The People’s Republic of China and Taiwan menyatakan

bahwa, “When we say Xingshi Hejie (刑事和解), which could be translated as

“victimoffender reconciliation” (VOR), we are talking about a conciliatory

practice that was only recently implemented in China's criminal legal system

although, despite its recent appearance, it has very ancient roots”.564 Berdasarkan

hal ini dapat diketahui bahwa mediasi penal di Cina dikenal dengan istilah Xingshi

Hejie yang diterjemahkan sebagai Victim-Offender Reconciliation (VOR). Xingshi

Hejie atau Victim-Offender Reconciliation (VOR) merupakan praktik rekonsiliasi

(conciliatory) yang baru saja diimplementasikan dalam sistem hukum pidana

China, meskipun merupakan hal yang baru namun VOR telah berakar di Cina

sejak lama.

Secara terminologi arti dari istilah Xingshi Hejie ( 刑 事 和 解 ) juga

dikemukakan oleh Riccardo Berti bahwa:

Xingshi Hejie is a word composed of characters 刑 xing: punishment,


torture, corporal punishment, commonly used to denote the criminal law
branch of law, 事 shi: literally "deal" with xing means "criminal", 和 he:
means harmonious, gentle, but also peace and is used as a conjunction as
its sense of union; finally 解 jie: means to explain, interpret, solve, together

564
Riccardo Berti, 2016, Victim-Offender Reconciliation in the People’s Republic of
China and Taiwan, Palgrave Macmillan, Italy, h. 1.
428

with he takes on the meaning of "resolve with harmony" and, then,


reconcile, mediate.565

Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa Xingshi Hejie adalah sebuah kata yang

terdiri dari karakter 刑 xing yang artinya hukuman, penyiksaan, hukuman fisik,

yang biasa digunakan pada the criminal law branch of law. 事 shi: secara harfiah

"berurusan" dengan xing berarti "kriminal". 和 he : berarti harmonis, lembut, tapi

juga damai dan digunakan atau disatukan sebagai rasa persatuan. 解 jie: berarti

menjelaskan, menafsirkan, memecahkan, dan bersama dengan “和 he” bermakna

"penyelesaian dengan harmoni" dan kemudian, mendamaikan, menengahi

(memediasi).

China menerapkan Victim-Offender Reconciliation (VOR) atau Xingshi

Hejie dalam proses peradilannya. Riccardo Berti menyatakan bahwa in China the

use of mediation is in fact very wide spread, but when dealing with criminal cases

its use is limited, growing, but limited. In China the mediation system does

replace the process, it is only a supplement, something that goes parallel to the

process and can have an influence over the sentencing, but it is a discretionary
566
decision of the judge and prosecutor. Pandangan Riccardo Berti ini

menunjukkan bahwa penggunaan mediasi di Cina sangat tersebar luas, namun

terhadap penyelesaian kasus pidana penggunaannya terbatas, tumbuh, namun

terbatas. Sistem mediasi di Cina (VOR) hanya suplemen, sesuatu yang sesuai

dengan proses dan dapat mempengaruhi hukuman, namun melalui diskresi hakim

dan jaksa penuntut.


565
Ibid.
566
Ibid, h. 116.
429

Terkait dengan pelaksanaan Xingshi Hejie atau VOR, Riccardo Berti

menyatakan bahwa:

It is founded, basically, on a choice that the person accused of minor


criminal offenses makes to enable a conciliatory procedure, with the
consent of the judge and the prosecutor, in order to obtain a less severe
punishment at the end of the judicial process. It is a procedure that allows
the victim to receive and promotes the offender’s repentance, in fact very
often the rules of Xingshi Hejie emphasize the formal apology from the
offender to the victim and society, or his acts expressing repentance and
contrition. These features of Xingshi Hejie led to its insertion in what are
called practices of restorative justice, which consist of encouraging the
offender, to repent for his criminal actions, which in turn leads to a
meeting.567

Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa VOR didasarkan pada pilihan bahwa

orang yang dituduh melakukan tindak pidana ringan membuat prosedur

conciliatory, dengan persetujuan hakim dan jaksa penuntut, untuk mendapatkan

hukuman yang lebih ringan pada akhir proses peradilan. Prosedur ini

memungkinkan korban menerima dan mem-promotes pertobatan pelaku.

Sebenarnya sangat sering peraturan Xingshi Hejie menekankan permintaan maaf

secara formal dari pelaku kepada korban dan masyarakat, atau tindakannya yang

mengungkapkan pertobatan dan penyesalan. Fitur-fitur dari Xingshi Hejie ini

menyebabkan penyisipannya dalam apa yang disebut praktik keadilan restoratif,

yang terdiri dari mendorong pelaku, untuk bertobat atas tindakan kriminalnya,

yang pada gilirannya mengarah pada sebuah pertemuan.

Aturan yang dapat digunakan sebagai dasar dari pelaksanaan Victim-

Offender Reconciliation (VOR) atau Xingshi Hejie adalah Pasal 172 KUHAP.

Article 172 of the Code of Criminal Procedure menyatakan bahwa, “VOR is

567
Ibid, h. 1-2.
430

applicable only if an agreement between the parties has been reached and the

victim has evidence to prove that the crime is a "minor criminal case". Pasal 172

KUHAP ini menunjukkan bahwa Xingshi Hejie atau VOR dapat dilakukan secara

terbatas, yakni terhadap minor criminal case atau tindak pidana ringan. Pasal 172

KUHAP menentukan bahwa VOR hanya berlaku jika ada kesepakatan antara

pihak dan korban memiliki bukti untuk membuktikan bahwa kejahatan tersebut

adalah "minor criminal case".

Pelaksanaan Victim-Offender Reconciliation (VOR) atau Xingshi Hejie

juga akan terkait dengan Pasal 130 dan 142 KUHAP. Article 130 of the Code of

Criminal Procedure menentukan bahwa, “A prosecutor in the stage of

preliminary investigation may decide not to proceed further in prosecuting if the

"criminal suspect's criminal responsibility should not have been investigated".

Pasal 130 KUHAP ini menentukan bahwa jaksa penuntut umum dalam tahap

preliminary investigation dapat memutuskan untuk tidak melakukan penuntutan

jika "criminal suspect's criminal responsibility should not have been

investigated".

Syarat untuk tidak melanjutkan proses penuntutan sebagaimana diatur

dalam Pasal 130 KUHAP dapat ditemukan pada Pasal 142 KUHAP. Article 142

of the Code of Criminal Procedure menentukan bahwa, “If an “act is obviously

minor, causing no serious harm, and is therefore not deemed a crime", or if "the

crime is to be handled only upon complaint according to the Criminal Law, but

there has been no complaint or the complaint has been withdrawn" and "if other

laws provide an exemption from investigation of criminal responsibility".”


431

Berdasarkan pasal ini dapat diketahui bahwa syarat penuntut umum dapat tidak

melanjutkan penuntutan adalah apabila merupakan tindak pidana ringan/kejahatan

ringan/kecil, tidak menyebabkan bahaya serius, dan karena perbuatan itu tidak

dianggap sebagai kejahatan, atau merupakan delik aduan, tapi belum ada

pengaduan atau pengaduan telah ditarik, dan jika undang-undang lain memberikan

pengecualian penyelidikan atas tanggung jawab pidana.

Pasal 130 dan 142 KUHAP yang berlaku di Cina menjadi dasar yang

penting dalam pelaksanaan Victim-Offender Reconciliation (VOR) atau Xingshi

Hejie, karena menjadi dasar bagi penuntut umum untuk tidak melanjutkan

penuntutan atau tidak melakukan penuntutan. Pasal 130 dan 142 KUHAP juga

menunjukkan bahwa kasus tindak pidana ringan dapat diselesaikan melalui

Victim-Offender Reconciliation (VOR) atau Xingshi Hejie dan dapat tidak

dilakukan penuntutan.

5.5.1.6 Jepang (Japan)

Jepang merupakan negara yang sukses dalam menekan angka

kriminalitas dan residivis, serta penerapan pendekatan restorative justice. John O.

Haley menyatakan bahwa:

Criminal justice in postwar Japan reflects a spiral of success. In


emphasizing offender correction and restoration to the community, law
enforcement authorities in Japan have learned from exprience that the
encouragement of confession, remorse, victim compensation, and pardon
are essential elements of a restorative approach that has proven to be a
effective in correcting socially deviant behaviour.568

568
John O. Haley, 2013, “Victim-Offender Mediation: Japanese and American
Comparisons” dalam H. Messmer,H. U. Otto, Restorative Justice on Trial: Pitfalls and Potentials
of Victim-Offender Mediation-International Research Perspective, Heinz Messmer, and Hans-Uwe
Otto (editor), Springer Science Business Media, B.V, Germany, h. 105.
432

Berdasarkan pandangan ini dapat diketahui bahwa peradilan pidana di Jepang

mencerminkan sebuah kesuksesan. Dalam menekankan “offender correction” dan

“restoration to the community”, otoritas penegakan hukum di Jepang telah belajar

dari pengalaman bahwa dorongan pengakuan, penyesalan, kompensasi kepada

korban, dan pengampunan adalah elemen penting dari pendekatan restoratif yang

terbukti efektif dalam mengoreksi/memperbaiki penyimpangan tingkah laku.

Terkait dengan victim restitution dan pengampunan (pardon), John O.

Haley mengemukakan bahwa:

Victim restitution and pardon are, as noted, critical elements of the process
of criminal justice in Japan. For wrongdoers generally in Japan, to seek out
those whom they have harmed and to seek their forgiveness by apologizing
and offering compensation is no intrinsic and natural that most Japanese
take such responses for granted. There pattern recur continuoesly in
Japanese social life.569

John O. Haley menyebutkan dalam kutipan di atas bahwa victim restitution dan

pengampunan (pardon) merupakan elemen-elemen penting dari proses peradilan

pidana di Jepang. Pelaku kejahatan di Jepang pada umumnya mencari orang-

orang yang telah mereka rugikan (victim) dan mencari pengampunan mereka

dengan meminta maaf dan menawarkan compensation is no intrinsic and natural.

John O. Haley juga menyatakan bahwa, “Apology and reciprocal pardon are
570
dominant threads of Japan’s cultural fabric”. Permintaan maaf dan

pengampunan telah menjadi bagian budaya di Jepang.

569
Ibid.
570
Ibid, h. 114.
433

John O. Haley menyatakan bahwa, “Mediation is a normal aspect of

daily life. Those in a position of authority of influence are expected to act as go-

betwens or intermediaries in the settlement of dispute”.571 Berdasarkan pandangan

ini dapat diketahui bahwa victim-offender mediation adalah aspek normal dari

kehidupan sehari-hari. Mereka dalam posisi otoritas pengaruhnya diharapkan

untuk bertindak sebagai go-betwens or intermediaries (perantara) dalam

penyelesaian sengketa.

Prija Djatmika menyebutkan bahwa dalam studi Hideo Tanaka, terdapat

lembaga konsiliasi di luar pengadilan di Jepang yang dikenal dengan nama Jidan.

Membawa sebuah perkara ke pengadilan bagi orang Jepang merupakan sifat yang

tidak terpuji. Paling bijak diselesaikan lebih dulu melalui forum mediasi Jidan.

Penyelesaian sengketa di pengadilan mengandung kelemahan yakni memakan

waktu yang lama, biaya yang tinggi, dan meregangkan hubungan pihak-pihak
572
yang bersengketa. Kondisi masyarakat Jepang dengan budaya saling

memaafkan dan mengampuni, serta lebih mengutamakan penyelesaian

permasalahan di luar pengadilan tentu menjadi aspek pendukung keberhasilan

penerapan mediasi penal dalam penyelesaian perkara pidana di Jepang.

Jidan tentu sangat berperan dalam penyelesaian perkara pidana di luar

pengadilan, namun dalam konteks peradilan pidana di Jepang, kewenangan

diskresi sangatlah penting. Terkait dengan hal ini, John O. Haley mengemukakan

bahwa:

571
Ibid.
572
Prija Djatmika, 2014, Mediasi Penal Untuk Penyelesaian Perkara Penghinaan Oleh
Pers, CetakanPertama, Selaras, Malang, h. 60.
434

Essential to the success of Japan’s restorative approach is the formal


discretionary authority of the police, prosecutors, and judges. Without the
discretion to deal leniently with offenders on a particularistic basic, law
enforcement authorities in Japan as in other industrial states would be
bound by the rules of Japan’s Penal Code and special criminal statutes that
otherwise dictate a more generalized equality and a more punitive approach
in responding to individual offenders. The three most critical institutional
features of Japan’s criminal justice system are thus the authority given to
the police not to report minor offenses (bizai shobun) in cases where they
deem it appropriate (Code of Criminal Procedure, art.246), the authority of
prosecutors to suspend prosecution where warranted by th nature and
circumstance of the crime and the offender’s attitude (Code of Criminal
Procedure, art. 248); and the courts broad authority to suspend execution of
sentences (Penal Code, art. 25).573

Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa kewenangan diskresi polisi, jaksa, dan

hakim merupakan hal yang penting bagi keberhasilan pendekatan restoratif di

Jepang. Tanpa diskresi, otoritas penegakan hukum di Jepang seperti di negara-

negara industri lainnya akan terikat oleh peraturan KUHP Jepang dan undang-

undang pidana khusus, yang sebaliknya mendikte persamaan yang lebih umum

(generalized equality) dan pendekatan yang lebih menghukum (punitive

approach) dalam merespon pelaku kejahatan. Terdapat tiga fitur kelembagaan

paling penting dari sistem peradilan pidana Jepang sebagaimana diatur dalam

Pasal 246 dan 248 KUHAP, serta Pasal 25 KUHP. Pasal 246 KUHAP Jepang

mengatur tentang wewenang yang diberikan kepada polisi untuk tidak melaporkan

pelanggaran ringan (bizai shobun), Pasal 248 KUHAP mengatur tentang

wewenang jaksa penuntut menangguhkan penuntutan yang dijamin oleh sifat dan

keadaan kejahatan dan sikap pelaku. Pasal 25 KUHP mengatur tentang

kewenangan pengadilan untuk menunda pelaksanaan hukuman.

573
Ibid, h. 115.
435

5.5.1.7 Singapura (Singapore)

Singapura menerapkan mediasi penal atau Criminal Mediation.

Singapura juga memiliki AD (Damages hearing) untuk menilai jumlah

kompensasi/ganti rugi, hal ini seperti yang telah dinyatakan oleh Lynn Tok dan

Hugh Turnbull bahwa mengenai Forums To Commence Legal Actions di

Singapura mengenal adanya AD (Damages hearing). Criminal mediation telah

menjadi perlengkapan dari Sistem Peradilan Pidana secara parallel to traditional

adversarial system of adjudicating crimes. Criminal mediation tidak lagi sarana

untuk akhir melainkan tujuan itu sendiri.

Terkait dengan perkembangan mediasi penal atau criminal mediation di

Singapura, Rathna N. Koman menyebutkan bahwa, “Criminal mediation is not

new. It has been in existence for more than a decade. However in Singapore,

criminal mediation is in its infancy, having only started in 2010. 574 Hal ini

menunjukkan bahwa criminal mediation di Singapura masih baru berkembang

dan masih dalam tahap awal, yang baru dimulai pada tahun tahun 2010.

Terkait mediasi penal di Singapura Rathna N. Koman mengemukakan

bahwa:

In Singapore, the criminal mediation is initiated through the Criminal Case


Management System (CCMS). A criminal case goes through the CCMS
between the Attorney General’s Chambers (AGC) and defense counsel prior
to criminal mediation, known as Criminal Case Resolution (CCR). An
unresolved case may only be referred for criminal mediation by the pre-trial
judge or by both consenting parties where the defendant is represented. The
role of a Judge mediator is limited to the extent that he or she is only
allowed to facilitate the session and not evaluate the case (Subordinate

574
Rathna N. Koman, 2016, Balancing the Force in Criminal Mediation, Beijing Law
Review journal, Singapore, h. 171.
436

Courts, 2011). The number of sessions required for criminal mediation will
depend on the complexity of the case.575

Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa criminal mediation di Singapura,

dimulai melalui Sistem Manajemen Kasus Pidana (Criminal Case Management

System/CCMS). Sebuah Kasus pidana akan melalui CCMS antara Kejaksaan

Agung (Attorney General’s Chambers/AGC) dan pembela (defense counsel prior)

sebelum criminal mediation dilakukan, yang dikenal dengan Criminal Case

Resolution (CCR). Criminal mediation untuk kasus yang belum terselesaikan

hanya bisa dirujuk oleh hakim pra-pengadilan (pre-trial judge) atau oleh kedua

pihak yang menyetujui di mana terdakwa dalam hal ini diwakili oleh penasihat

hukum/pembela. Peran seorang hakim mediator (Judge mediator) terbatas yang

hanya diizinkan untuk memfasilitasi sesi dan tidak mengevaluasi kasusnya

(Subordinate Courts, 2011). Hal ini menunjukkan bahwa dalam criminal

mediation, hakim sebagai mediator berperan sebagai pihak yang netral sebagai

penegah dalam proses criminal mediation. Jumlah sesi yang dibutuhkan untuk

criminal mediation akan tergantung pada kompleksitas kasus.

Rathna N. Koman menyebutkan bahwa one of the issues that needs to be

considered in criminal mediation is whether the process should additionally

facilitate mediation between the victim and the offender after acceptance of the

negotiated plea settlement. Victim-offender mediation is currently not offered in

Singapore.576 Hal ini menunjukkan bahwa victim-offender mediation saat ini tidak

ditawarkan di Singapura, dengan demikian tidak ada proses yang memfasilitasi

575
Ibid, h. 172.
576
Ibid, h. 177.
437

mediasi antara korban dan pelaku setelah menerima penyelesaian permohonan

yang dinegosiasikan (negotiated plea settlement).

Criminal Mediation di Singapura dapat dilakukan dengan permohonan

dan apabila permohonan dikabulkan oleh hakim, pemohon harus hadir. Ada

beberapa hal yang terjadi dalam Criminal Mediation yang diuraikan oleh Lynn

Tok dan Hugh Turnbull yakni:

At the Criminal Mediation, the following can happen:


a. The Magistrate may refer both parties to a Community Mediation Centre
where there are a panel of trained and respected mediators or to a Court
Mediator. Here, if there is an agreement, the parties can sign a
Settlement Agreement. If there is no agreement, there will be a fresh
Notice with another date to attend before the Magistrate.
b. Any person who fails to comply with the order of the Magistrate made
under (a.) [above] shall be guilty of contempt of court and action may be
taken against him under section 8 of the State Courts Act (Cap. 321).
c. The Magistrate may also mediate the matter. If there is no settlement
agreement here, the Complainant may wish to proceed to trial by way of
a Private Summons (there is a small fee payable for each summons).577

Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa, hakim dapat merujuk kedua belah

pihak yang berperkara ke Community Mediation Centre. Dalam Community

Mediation Centre terdapat panel mediator yang terlatih dan respected mediators

atau Mediator Pengadilan. Jika tercapai kesepakatan, para pihak dapat

menandatangani Kesepakatan Penyelesaian. Jika tidak ada kesepakatan, akan ada

pemberitahuan baru dengan tanggal lain untuk hadir. Setiap orang yang tidak

mematuhi perintah Hakim (huruf a), bersalah atas penghinaan terhadap

pengadilan dan tindakan dapat diambil terhadapnya

berdasarkan bagian 8 Undang-undang Pengadilan Negeri (Cap 321). Hakim juga

577
Lynn Tok dan Hugh Turnbull, Op.Cit, h. 96-97.
438

bisa memediasi masalah ini. Jika tidak ada kesepakatan penyelesaian, pemohon

dapat melanjutkan ke pengadilan.

5.5.2 Prinsip-Prinsip Mediasi Penal Dalam Penyelesaian Tindak Pidana

Ringan

Mengacu pada perbandingan hukum di berbagai negara terkait dengan

perkembangan dan penerapan mediasi penal yakni Belanda, Jerman, Amerika

Serikat, Inggris, Cina, Jepang, dan Singapura sebagaimana yang telah diuraikan

dapat diketahui bahwa:

a. Mediasi penal pada umumnya dapat diterapkan untuk semua tipe pelaku

tindak pidana. Mediasi penal dapat dilakukan terhadap anak, remaja, orang

dewasa, dan orang lanjut usia.578 Mediasi penal dapat diterapkan pada pelaku

pemula/bukan pemula, namun ada negara yang menerapkannya pada

residivis, ada pula yang membatasi bahwa recidive tetap menjadi dasar

pemberatan pidana seperti di Belanda.

b. Mediasi penal dapat dilakukan untuk semua tipe kejahatan, namun

senyatanya dalam hal ini berbagai negara menerapkan pembatasan yang

berbeda-beda. Awalnya, mediasi penal diterapkan untuk kasus-kasus

pelanggaran atau kejahatan ringan/tindak pidana ringan/yang termasuk pada

kejahatan harta benda atau properti, namun dalam perkembangannya mediasi

penal mulai diperluas untuk dapat digunakan terhadap kasus kekerasan yang

578
Barda Nawawi juga menegaskan bahwa pada awalnya mediasi penal digunakan
dalam menyelesaikan kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak namun dalam perkembangannya
juga digunakan untuk menangani kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa. Lihat, Barda
Nawawi Arief I, Op.Cit, h. 8.
439

sangat berat (Extremely severe violence) atau kasus-kasus yang serius, bahkan

ada negara yang menerapkannya pada kasus pembunuhan (homicide) seperti

di Amerika Serikat. 579 Semua negara pada umumnya menerapkan mediasi

penal dalam kejahatan ringan atau tindak pidana ringan, meskipun di Amerika

menerapkan mediasi penal pada kasus pembunuhan (homicide), namun ada

negara yang menerapkan mediasi penal hanya pada penyelesaian kasus tindak

pidana ringan, seperti di Cina. Jerman juga tidak menerapkan mediasi penal

pada kasus pembunuhan. Ada pula negara yang membatasi penerapan

mediasi penal pada ancaman pidana tindak pidana yang dilakukannya seperti

di Belanda. Hal ini menunjukkan adanya variasi terhadap tipe tindak pidana

yang dapat diselesaikan melalui mediasi penal.

c. Mediasi penal memberikan posisi dan peran yang penting bagi penegak

hukum khususnya kepolisan (polisi), Kejaksaan (jaksa), dan Pengadilan

(hakim) sebagai penyelenggara mediasi penal.580

d. Mediasi penal tidak hanya diselenggarakan melalui penegak hukum (polisi,

jaksa, hakim), namun banyak pihak yang dapat menyelenggarakan atau

579
Barda Nawawi Arief juga menegaskan bahwa mediasi penal dapat diterapkan untuk
semua tipe tindak pidana. Biasanya, mediasi penal digunakan untuk menangani tindak pidana
pencurian dan tindak pidana ringan lainnya, namun dalam perkembangannya mediasi penal
digunakan juga untuk menyelesaikan tindak pidana berat seperti pemerkosaan dan pembunuhan.
Lihat, Fatahillah A Syukur, Op.Cit, h. 63 dalam Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal:
Penyelesaian Proses di Luar Pengadilan, h. 8. Dalam Model VOM ada yang diterapkan untuk
semua tipe pelaku tindak pidana; ada yang khusus untuk anak: ada tindak pidana tertentu (misal
pengutilan, perampokan dan tindak kekerasan). Ada yang terutama ditujukan pada pelaku anak,
pelaku pemula, namun ada juga untuk delik-delik berat dan bahkan untuk recidivist. Lihat, Barda
Nawawi Arief I, Loc.Cit.
580
Pada tingkat kepolisian, polisi dapat menghentikan pemeriksaan kasus dengan
metode transaksi seperti yang dikenal di Belanda. Melalui diskresi kepolisian di Jepang, polisi
juga berwenang untuk tidak melaporkan atau melanjutkan proses pemeriksaan untuk pelanggaran
ringan dan melanjutkannya melalui Jidan. Banyak negara yang melaksanakan mediasi penal
melalui jaksa dan hakim sebagai mediator seperti di Singapura.
440

menawarkan mediasi penal. Mediasi penal dapat diberikan oleh sebuah

lembaga seperti Lembaga Bantuan Hukum atau LSM independen, seperti

yang diterapkan di Jerman. Singapura juga memiliki Community Mediation

Centre dalam penyelenggaraan Criminal Mediation. Amerika Serikat yang

banyak memiliki program VOM juga memberikan peluang kepada berbagai

pihak untuk menawarkan VOM, seperti pihak swasta (lembaga berbasis

nirlaba), pelayanan korban, gereja atau agencies yang berhubungan dengan

gereja.

e. Sebagai wujud dari restorative justice mediasi penal pada dasarnya

memberikan pemulihan pada semua pihak yang terkena dampak kejahatan.

Banyak negara pada umumnya mengutamakan atau memprioritaskan korban

dalam mediasi penal, oleh sebab itu banyak negara yang menggunakan istilah

victim-offender mediation, namun ada pula negara yang mengutamakan atau

memprioritaskan pendekatan pada pelaku, bukan pada korban sehingga

dikenal dengan istilah mediasi pelaku-korban yang dikenal di Jerman.

f. Mediasi penal pada umumnya dilakukan atas persetujuan antara korban dan

pelaku secara sukarela, sehingga tidak ada paksaan.

g. Mediasi penal dapat dimohonkan penggunaannya oleh pemohon dan dapat

juga ditawarkan oleh misalnya polisi, jaksa, atau hakim.

h. Ganti rugi/kompensasi/restitusi kepada korban menjadi hal penting dalam

mediasi penal, selain permohonan maaf dari pelaku. Terjadi pemulihan

kondisi korban pada proses mediasi,.


441

i. Pelaku juga mendapatkan pemulihan dengan permintaan maaf, pengampunan

dari korban, serta penebusan rasa bersalah atau penyesalan dengan

bertanggung jawab memberikan ganti rugi/kompensasi/restitusi kepada

korban.

j. Mediasi penal diterapkan dengan bentuk yang bervariasi. Ada negara yang

menggunakan proses mediasi langsung (difasilitasi untuk pertemuan tatap

muka antara korban dan pelaku), namun ada juga yang menerapkan mediasi

penal tidak langsung (mediator bertemu dengan kedua belah pihak secara

terpisah). Mediasi penal secara langsung memang memberikan kepuasan,

namun mediasi penal secara tidak langsung sering digunakan seperti di

Jerman, Inggris,

k. Mediasi penal juga dapat diterapkan dengan tahapan-tahapan, seperti di

Amerika Serikat memiliki tahapan-tahapan (ideal). Secara umum berlaku

adanya empat tahapan proses victim-offender mediation. Tahap pertama

adalah intake, tahap kedua adalah preparation for mediation (persiapan untuk

mediasi), tahap ketiga adalah mediation, dan tahap keempat adalah follow-up.

l. Patut disadari bahwa konsep mediasi penal pada dasarnya telah mengakar dan

menjadi budaya di sebuah negara, seperti di Jepang.

m. Hasil kesepakatan penyelesaian dalam mediasi penal dapat dituangkan dalam

bentuk kesepakatan dan ditandatangani oleh para pihak.

n. Apabila mediasi penal tidak berhasil mencapai kesepakatan, maka kasus

dapat dilanjutkan ke peradilan pidana.


442

Hal-hal ini merupakan prinsip-prinsip mediasi penal di beberapa negara (Belanda,

Jerman, Amerika Serikat, Inggris, Cina, Jepang, dan Singapura) yang dapat

menjadi masukan dalam konstruksi mediasi penal dalam penyelesaian tindak

pidana ringan pada masa yang akan datang.

Mediasi penal di beberapa negara berdasarkan studi perbandingan

menunjukkan adanya persamaan dan perbedaan dalam pengaturan dan

penerapannya. Persamaannya bahwa semua negara menerapkan mediasi penal

dalam kejahatan ringan atau tindak pidana ringan dan awal mulanya mediasi penal

di berbagai negara mulai diterapkan pada tipe kejahatan ringan (tindak pidana

ringan) dan dalam perkembangannya diperluas ke tipe kejahatan lainnya. Hal ini

juga menjadi alasan penulis mengkaji mediasi penal dalam kejahatan atau tindak

pidana ringan, yakni sebagai pilot project untuk memperkenalkan dan

melegitimasi keberaan mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana di

Indonesia.

Perbedaannya bahwa meskipun pada prinsipnya mediasi penal dapat

diterapkan untuk semua tipe kejahatan, namun berbagai negara menerapkan

pembatasan yang berbeda-beda. Mediasi penal awalnya memang diterapkan untuk

kejahatan ringan/tindak pidana ringan namun dalam perkembangannya diperluas

dengan menerapkannya pada jenis kejahatan lain sampai pada kasus pembunuhan

seperti di Amerika Serikat. Tidak semua negara menerapkan mediasi penal pada

kasus pembunuhan (mengakibatkan kematian), seperti Jerman, Belanda, Cina.

Mediasi penal pada prinsipnya juga dapat diterapkan pada semua tipe pelaku

kejahatan, namun hasil studi perbandingan menunjukkan bahwa terdapat


443

perbedaaan dalam hal ini, seperti misalnya di Belanda yang membatasi bahwa

mediasi penal tidak dapat dilakukan terhadap recidive.

Berdasarkan studi perbandingan mengenai perkembangan dan penerapan

mediasi penal di Belanda, Jerman, Amerika Serikat, Inggris, Cina, Jepang, dan

Singapura, yang disesuaikan dengan pembaharuan hukum, praktek mediasi penal

di Indonesia dan prinsip-prinsip dalam Keadilan Restoratif (Restorative Justice)

sebagaimana yang telah diuraikan oleh Howard Zehr, maka ada beberapa prinsip

penting yang dapat diterapkan dalam penyelesaian kasus tindak pidana ringan

melalui mediasi penal di Indonesia, yakni:

a. Mediasi penal dapat diterapkan untuk semua tipe pelaku tindak pidana,
kecuali recidive dan anak

Mediasi penal memang dapat diterapkan untuk semua tipe pelaku

tindak pidana (semua usia, pemula, maupun residivis), namun residive

(pengulangan tindak pidana) di Indonesia baik dalam ius constitutum maupun

ius constituendum masih merupakan pemberatan pidana, sehingga lebih tepat

untuk tidak menerapkan mediasi penal pada residivis. Sebagai upaya untuk

menghindari tumpang tindih dalam penerapannya, mediasi penal di Indonesia

juga sebaiknya tidak diterapkan pada pelaku yang merupakan seorang anak

atau dikenal dengan anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). ABH telah

memiliki proses penyelesaian kasus tersendiri, yang dikenal dengan nama

“diversi”. Diversi ini juga merupakan salah satu wujud dari restorative

justice, sehingga telah ada prosedur formal terhadap ABH.


444

b. Tindak pidana ringan dapat diselesaikan melalui mediasi penal

Mediasi penal pada dasarnya dapat dilakukan untuk semua tipe

kejahatan, meskipun berbagai negara menerapkan pembatasan yang berbeda-

beda. Sebagai langkah awal pengembangan mediasi penal di Indonesia,

sangat relevan untuk menerapkan mediasi penal dalam penyelesaian kasus

tindak pidana ringan. Hal ini juga dilakukan oleh berbagai negara yang

menerapkan mediasi penal. Awalnya, mediasi penal diterapkan untuk

menyelesaikan kejahatan ringan/atau tindak pidana ringan, apabila

berkembang dapat diperluas untuk menyelesaikan tindak pidana lainnya.

Mediasi penal dalam penyelesaian kasus tindak pidana ringan dapat menjadi

pilot project dalam pengembangan mediasi penal di Indonesia. Dalam jangka

panjang, apabila berhasil, Indonesia juga dapat menerapkan mediasi penal

terhadap kasus kekerasan yang sangat berat (Extremely severe violence) atau

kasus-kasus yang serius lainnya. Misalnya dalam kasus KDRT.

c. Mediasi penal dilaksanakan di tingkat kepolisian dan hasil mediasi penal


dapat digunakan sebagai dasar penuntut umum tidak melakukan
penuntutan, serta menjadi dasar hakim memberikan permaafan atau
pengampunan oleh hakim (rechterlijk pardon)

Banyak negara yang memposisikan polisi, jaksa, dan hakim sebagai

penyelenggara mediasi penal. Mediasi penal di Indonesia tepat dilakukan di

tingkat kepolisian, dalam hal ini polisi dapat menjadi mediator, selain itu

mediator juga dapat dilakukan oleh mediator lain yang profesional dan ahli

dibidangnya. Sesuai dengan pembaharuan hukum pidana di Indonesia (ius

constititum), maka Jaksa dapat tidak melakukan penuntutan dengan dasar


445

penyelesaian di luar pengadilan (afdoening buiten process). Hakim juga dapat

memberikan permaafan atau pengampunan oleh hakim (rechterlijk pardon),

apabila kasus telah diselesaikan melalui mediasi penal.

d. Mediasi penal dilakukan atas persetujuan antara korban dan pelaku


secara sukarela, dengan iktikad baik, dan tidak ada paksaan

Kesukarela, dengan iktikad baik, dan tanpa paksaan adalah modal

utama untuk mencapai keberhasilan dalam mediasi penal. Sebagai bentuk

untuk menegaskan adanya kesukarelaan (tanpa ada paksaan dari pihak lain)

dalam kesepakatan antar para pihak untuk menggunakan mediasi penal,

memang lebih baik ide dari mediasi penal muncul dari para pihak. Terdapat

prinsip bahwa mediasi penal dianggap merupakan sebuah hak, sehingga perlu

ditawarkan penggunaannya, hal ini juga merupakan gagasan yang diperlukan

untuk diadopsi di Indonesia. Mediasi penal adalah hak para tersangka atau

para pelaku dan para korban jika ingin menyelesaikan kasusnya melalui

mediasi penal dan agar para pihak mengetahui hak tersebut maka hal ini perlu

ditawarkan penggunaannya.

Memang dikenal adanya asas eidereen wordt geacht de wette kennen

(Bahasa Belanda) atau presumptio iures de iure (Bahasa Inggris) atau

ignorarantia legis excausat neminem (Bahasa Latin) bahwa setiap orang

dianggap mengetahui hukum. Dalam hal ini siapapun atau setiap orang tanpa

terkecuali dianggap tahu hukum. Faktanya, tidak semua orang mengetahui

hukum, terutama bagi masyarakat yang tidak menempuh pendidikan hukum

ataupun bagi orang yang tidak berpendidikan atau bagi orang yang tidak
446

mampu secara ekonomi, sosial, sehingga minim akses informasi mengenai

hukum. Kini media cetak dan elektronik (koran, majalah, televisi,

pemberitaan di internet, social media, dan lain-lain) sudah maju dan semakin

canggih, dan hukum menjadi salah satu topik utama yang selalu diberitakan,

namun faktanya, tidak semua orang tahu hukum.581

Asas eidereen wordt geacht de wette kennen (Bahasa Belanda) atau

presumptio iures de iure (Bahasa Inggris) atau ignorarantia legis excausat

neminem (Bahasa Latin) sering disebut dengan istilah fiksi hukum

(rechtfictie). Agar tidak seperti istilah fiksi semata, hal ini harus ditindak

lanjuti dengan sosialiasi mengenai hukum atau produk hukum yang berlaku.

Dalam hal ini dibutuhkan pendidikan hukum, tidak hanya dari dunia

pendidikan formal namun juga dapat dilakukan secara informal, misalnya dari

komunikasi langsung atau dari berbagai media baik cetak maupun elektronik.

Perlu konsistensi dalam sosialiasi mengenai hukum sehingga semua golongan

masyarakat tanpa terkecuali dapat mengetahui hukum yang berlaku.

Demikian pula terhadap ide tentang perlu ditawarkan penggunaan mediasi

penal bagi para pihak yang berperkara.

Setelah diundangkan, mediasi penal harus disosialiasikan dan sebagai

bentuk sosialiasi dapat dilakukan melalui pemberitahuan hak penggunaan

mediasi penal bagi para pihak, namun tidak terlepas dari prinsip utama bahwa

581
Asas eidereen wordt geacht de wette kennen (Bahasa Belanda) atau presumptio iures
de iure (Bahasa Inggris) atau ignorarantia legis excausat neminem (Bahasa Latin) menunjukkan
representasi dari keinginan negara agar rakyatnya mentaati hukum yang berlaku. Asas ini memang
sulit terwujud karena berbagai faktor sosial yang dihadapi masyarakat di Negara kita. Terkait
dengan asas ini, banyak yang mengatakan bahwa asas ini sulit diterapkan dan mulai ditinggalkan.
Kendati demikian, menurut penulis asas ini dapat menjadi semangat dalam cita-cita terhadap
pengundangan serta pemberlakuan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
447

mediasi penal dilakukan atas kesepakatan atau persetujuan dari para pihak

secara sukarela tanpa paksaan atau tekanan dari siapapun. Penawaran ini

hanya sebatas pemberitauan hak menggunakan mediasi penal yang dimiliki

para pihak. Hal ini menunjukkan sebuah prinsip umum bahwa mediasi penal

dapat dimohonkan penggunaannya oleh pemohon dan dapat juga ditawarkan

oleh misalnya polisi.

e. Korban mendapatkan ganti rugi/kompensasi/restitusi, selain pengakuan


dan permohonan maaf dari pelaku

Ganti rugi/kompensasi/restitusi, pengakuan, dan permohonan maaf

dari pelaku menjadi bentuk pemulihan kondisi korban yang penting untuk

dilakukan. Korban kerap tidak mendapat perhatian dalam Sistem Peradilan

Pidana, sehingga dalam konteks mediasi penal, korban mendapatkan posisi

yang penting untuk dipulihkan ke kondisi semula sebelum terjadinya

kejahatan.

f. Pelaku kejahatan mendapatkan pemulihan melalui permintaan maaf


dan pengampunan dari korban, serta melalui pemberian ganti
rugi/kompensasi/restitusi sebagai bentuk tanggung jawab

Melalui permintaan maaf dan pemberian ganti rugi/kompensasi/

restitusi sebagai bentuk tanggung jawab atas kesalahannya dan bentuk untuk

memperbaiki kesalahannya, pelaku juga dapat mengurangi atau

menghilangkan penderitaan batin dalam dirinya yakni penebusan rasa

bersalah atau penyesalan yang dirasakannya.


448

g. Bentuk mediasi penal: langsung dan tidak langsung

Perlu ditetapkan dua metode atau bentuk mediasi penal seperti yang

berlaku di Inggris, yakni mediasi penal secara langsung dan tidak langsung.

Mediasi penal secara langsung memfasilitasi untuk pertemuan tatap muka

antara korban dan pelaku, sedangkan pada mediasi penal tidak langsung

mediator bertemu dengan kedua belah pihak secara terpisah dan tidak

difasilitasi pertemuan sesi tatap muka secara langsung antara korban dan

pelaku. Penentuan bentuk mediasi penal yang digunakan dapat disesuaikan

dengan kondisi yang terjadi, sehingga sifatnya fleksibel dan memberikan

efisiensi dan efktifitas.

h. 4 (empat) tahapan yang ideal dalam mediasi penal

Perlu ditetapkan tahapan-tahapan ideal dalam proses mediasi penal

yang sesuai di Indonesia, agar mediasi penal menjadi sistematis dan dapat

mencapai efisiensi dan efektifitas (keberhasilan), seperti di Amerika serikat

yang memiliki tahapan-tahapan (ideal) dalam pelaksanaan VOM. Secara

umum ada empat tahapan proses victim-offender mediation di Amerika

serikat. Tahap pertama adalah intake, tahap kedua adalah preparation for

mediation, tahap ketiga adalah mediation, dan tahap keempat adalah follow-

up. Tahap-tahap ini dapat diadopsi untuk diterapkan di Indonesia, dengan

menyesuaikan pada kondisi masyarakat dan hukum di Indonesia.


449

i. Konsep mediasi penal menjadi budaya bangsa

Konsep mediasi penal senyatanya telah menjadi budaya bangsa dalam

penyelesaian suatu permasalahan melalui musyawarah mufakat dengan

pendekatan kekeluargaan. Konsep mediasi penal juga sejalan dengan ideologi

Bangsa dan dapat ditemukan dalam eksistensi peradilan adat di Indonesia.

Penerapan mediasi penal sebaiknya menyelaraskannya tradisi atau adat

karena budaya bangsa ini menjadi aspek penting yang akan memudahkan

penerapan mediasi penal di Indonesia.

j. Hasil kesepakatan penyelesaian dalam mediasi penal dapat dituangkan


dalam bentuk kesepakatan dan ditandatangani oleh para pihak

Hasil mediasi penal perlu untuk dituangkan dalam bentuk

kesepakatan. Kesepakatan ini dalam bentuk tertulis dan ditandatangani oleh

para pihak, sebagai bukti bahwa telah terjadi penyelesaian di luar pengadilan.

k. Apabila mediasi penal tidak berhasil mencapai kesepakatan, maka kasus


dapat dilanjutkan ke peradilan pidana

Kembali ke konsep mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara

pidana di luar pengadilan. Apabila mediasi penal gagal atau tidak mencapai

kesepakatan, kasus tersebut dapat dilanjutkan ke peradilan pidana

berdasarkan Sistem Peradilan Pidana yang berlaku di Indonesia.

Prinsip-prinsip ini dapat digunakan sebagai dasar berpijak/pedoman

dalam penerapan mediasi penal di Indonesia. Prinsip-prinsip ini dibentuk dengan

memperhatikan kondisi masyarakat dan kondisi hukum di Indonesia sehingga

menurut penulis dapat menjadi prinsip yang ideal untuk diterapkan di Indonesia.
450

5.5.3 Mekanisme Mediasi Penal Dalam Penyelesaian Tindak Pidana


Ringan

Mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana ringan dalam konsep

disertasi ini dilakukan di tingkat kepolisian. Tahapan penyidikan di kepolisian

terjadi sebuah proses pemeriksaan yang menentukan apakah kasus tersebut

dilanjutkan atau tidak ke proses penuntutan untuk disidangkan di pengadilan.

Tahap ini menjadi tahapan yang strategis untuk melakukan “pengalihan” dari

peradilan pidana ke proses penyelesaian perkara pidana melalui mediasi penal.

Lilik Mulyadi mengemukakan bahwa dalam konteks Sistem Peradilan

Pidana, pemanfaatan ADR lebih efektif dikembangkan oleh kepolisian daripada

kejaksaan ataupun pengadilan.582 Seperti yang dinyatakan oleh Adrianus Meliala

bahwa pemanfaatan ADR lebih dirasakan pentingnya untuk dikembangkan oleh

kepolisian daripada oleh kejaksaan dan pengadilan, mengingat peran kepolisian

sebagai gerbang awal dalam Sistem Peradilan Pidana. Suatu kasus yang telah

dimulai dengan ADR, akan lebih mungkin untuk diteruskan dan berakhir dengan

cara ADR pula, daripada ADR dilakukan atau dimunculkan di tengah (ketika

perkara ditangani kejaksaan) atau diakhir pada proses peradilan (diputus oleh

pengadilan).583

Mekanisme mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana ringan yang

ditawarkan penulis berdasarkan prinsip-prinsip mediasi penal, hasil kajian

perbandingan dan kondisi hukum serta kondisi masyarakat di Indonesia dapat

digambarkan pada bagan di bawah ini:

582
Lilik Mulyadi, Op.Cit, h. 43.
583
Adrianus Meliala, Loc.Cit.
451

Bagan 7
Mekanisme Mediasi Penal Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Ringan di Indonesia

1. Penentuan penggunaan mediasi penal  penyeleksian kasus


oleh mediator
1. intake
2. Mediator menghubungi pihak-pihak (pelaku dan korban)

1. Mediator mengatur pertemuan dengan para pihak (terpisah)


Mediator
2. preparation 2. Mediator memberikan penjelasan tentang mediasi penal
for mediation
3. Tanya jawab & menyaring kasus untuk kesesuaian/kelayakan
untuk dimediasi oleh mediator
Pelaku Korban
1. Mediator sebagai fasilitator, penengah
Mediasi penal
langsung 2. Dialog/komunikasi antara pelaku & korban

MEDIASI PENAL 3. penal


3. Permintaan maaf dari pelaku
mediation

Mediasi penal 4. Ganti rugi/restitusi/kompensasi kepada


tidak langsung korban

5. Kesepakatan  tertulis
4. follow-up
Pemantauan pelaksanaan kesepakatan oleh mediator
452

Bagan 7 tentang mekanisme mediasi penal dalam penyelesaian tindak

pidana ringan di Indonesia merupakan konstruksi yang dibentuk berdasarkan hasil

studi perbandingan, prinsip-prinsip yang ada dalam mediasi penal dan keadilan

restoratif, serta disesuaikan dengan praktik dan pembaharuan hukum pidana di

Indonesia. Kontruksi mekanisme mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana

ringan di Indonesia dapat meliputi 4 (empat) proses yakni, intake, preparation for

mediation, mediation, dan follow-up.

Tahap intake merupakan proses penentuan penyelesaian kasus tindak

pidana ringan dengan menggunakan mediasi penal. Inisiatif menyelesaikan kasus

tindak pidana ringan melalui mediasi penal tentu muncul dari para pihak sehingga

para pihak dapat mencari mediator yang diinginkannya atau jika kasus telah

masuk ke dalam ranah peradilan, maka polisi/jaksa/hakim akan menawarkan

penggunaan mediasi penal dalam penyelesaian kasus tidak pidana ringan kepada

para pihak. Keputusan penentuan penggunaan mediasi penal akan kembali ke para

pihak, karena prinsip mediasi penal adalah kesukarelaan dan iktikad baik.

Setelah penunjukkan mediator, mediator yang ditunjuk akan melakukan

prescreened. Mediator bertanggung jawab untuk menghubungi kedua belah pihak

yakni korban dan pelaku, untuk mengetahui kondisi terkait kemungkinan

penyelesaian kasus melalui mediasi penal. Setelah dikaji, apabila menurut

mediator kondisi memungkinkan untuk dilanjutkan dengan proses mediasi penal,

maka mediator akan menerima kasus tersebut untuk diselesaikan melalui mediasi

penal.
453

Proses dilanjutkan dengan preparation for mediation, pada tahap

preparation for mediation (persiapan mediasi), mediator sangatlah berperan.

Pertama-tama, mediator mengatur pertemuan dengan masing-masing pihak. Saat

bertemu dengan masing-masing pihak, mediator menjelaskan program mediasi

penal, proses tanya jawab, dan menyaring kasus untuk dapat mengetahui

kesesuaian/kelayakan kasus untuk diselesaikan melalui mediasi penal.

Tahap preparation for mediation, mediator melakukan pertemuan

langsung dengan korban dan pelaku secara terpisah, sebelum mempertemukan

para pihak secara langsung. Melalui pertemuan ini, mediator melakukan upaya

untuk membentuk kepercayaan dan hubungan dengan masing-masing pihak agar

mediasi penal dapat dilakukan dengan baik. Apabila mediator merasa tidak ada

kepercayaan dan hubungan baik tersebut, serta merasa kasus tidak bisa

diselesaikan melalui mediasi penal, kasus dapat diserahkan ke proses formal

peradilan. Apabila mediator merasa kasus tersebut cocok untuk diselesaikan

melalui mediasi penal dan kedua korban dan pelaku secara sukarela setuju untuk

berpartisipasi dalam sesi mediasi penal, kasus siap diselesaikan.

Preparation for mediation menjadi hal yang penting dalam kelancaran

proses mediasi penal, sehingga perlu disiapkan dengan cermat. Para pihak

menerima setidaknya satu pertemuan persiapan dari mediator. Pertemuan

persiapan dapat dilakukan dengan consist of personal, tatap muka dengan para

peserta/pihak dan mediator. Pertemuan langsung antara mediator dengan para

pihak memang lebih disarankan, namun apabila situasi dan kondisi tidak

memungkinkan pertemuan/komunikasi dapat dilakukan melalui telepon.


454

Tahap selanjutnya adalah penal mediation (mediasi penal itu sendiri).

Sebagaimana yang ditunjukan dalam bagan 7 tentang mekanisme mediasi penal

dalam penyelesaian tindak pidana ringan di tingkat kepolisian, mediasi penal

dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yakni mediasi penal secara langsung dan

tidak langsung. Pembagian ini didasarkan pada situasi dan kondisi masing-masing

pihak. Mediasi penal secara langsung memang diupayakan karena lebih menjamin

rasa kepuasan penyelesaian kasus, namun mediasi penal secara tidak langsung

juga dapat dilakukan jika tidak memungkinkan dilakukannya pertemuan para

pihak secara langsung.

Mediasi penal baik secara langsung atau tidak langsung berfokus pada

adanya komunikasi atau dialog antara para pihak. Sesuai dengan prinsip utama

mediasi penal bahwa fokus utama adalah proses, bukanlah hasil maka tahap penal

mediation ini sangatlah penting. Para pihak saat tahap mediasi penal secara

langsung bertemu dan bertatap muka, berkomunikasi atau berdialog dengan

bantuan mediator sebagai fasilitator atau penengah. Tahap ini, para pihaklah yang

berperan. Sebelum proses dialog berlangsung, pada sesi awal, mediator akan

menjelaskan kepada para pihak tentang peraturan dasar dalam proses mediasi

penal, lalu dilanjutkan dengan dialog dari para pihak.

Dialog pada sesi mediasi dapat dimulai dari korban atau pun pelaku.

Korban dapat diberi kesempatan berbicara pertama (hal ini tergantung pada situasi

atau kondisi). Pihak korban dapat menyampaikan segala permasalahannya, apa

yang dirasakan (perasaannya), penderitaannya, menyampaikan segala dampak

yang ia terima dari kejahatan yang dilakukan oleh pelaku, kerugian, keinginannya,
455

kebutuhan, dan tuntutannya. Korban pada proses ini diprioritaskan untuk

mendapatkan pemulihan atau perbaikan atau dikembalikan seperti keadaan semula

sebelum kejahatan terjadi, baik secara fisik, psikologis, material/dan lain-lain.

Setelah korban menjelaskan kepada pelaku kejahatan, korban dapat mengajukan

pertanyaan kepada pelaku, dan pelaku kemudian memiliki kesempatan untuk

menawarkan penjelasan dan/atau permintaan maaf.

Saat proses dialog ini, pelaku juga dapat dapat menyampaikan apa yang

ia rasakan (perasaannya), alasan-alasan pelaku melakukan kejahatan, dan

mengungkapkan rasa penyesalannya. Hal yang terpenting bahwa pelaku dapat

mengutarakan pengakuan dan permohonan maaf kepada korban/pihak yang

dirugikan, serta membicarakan proses ganti rugi/restitusi/kompensasi yang akan

diberikan kepada korban. Dapat terjadi proses tanya jawab antara korban dan

pelaku, serta proses untuk saling memahami dan memaafkan dalam proses

dialog.

Begitupula dengan mediasi penal secara tidak langsung, meskipun tidak

ada pertemuan secara langsung antara korban dan pelaku, namun dialog atau

komunikasi masih tetap dapat dilakukan dengan bantuan mediator. Sama halnya

dengan mediasi penal secara langsung, korban dan pelaku dapat berdialog seperti

pada proses mediasi penal secara langsung, namun tidak bertatap muka secara

langsung. Hal ini dapat dilakukan dengan bantuan tecnology seperti melalui

telepon/hand phone, video call, vidio conference, rekaman video, dan lain

sebagainya yang dapat menunjang proses dialog.


456

Proses mediasi penal baik secara langsung atau tidak langsung, sangat

diharapkan tercapai kesepakatan penyelesaian kasus secara damai, yang dapat

diterima bersama, dengan perjanjian ganti rugi yang diberikan oleh pelaku kepada

korban. Kesepakatan perdamaian atau persetujuan perdamaian ini dituangkan

dalam bentuk tertulis, ditandatangani diatas materai dan juga dapat didaftarkan di

Pengadilan Negeri agar dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian. Hal ini penting

dilakukan agar memiliki kekuatan mengikat dan eksekutorial, serta untuk

memberikan kepastian bahwa perkara telah selesai tanpa melalui proses peradilan

atau telah diselesaikan di luar pengadilan, sehingga tidak bisa dituntut kembali.

Apabila para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan dalam proses mediasi penal,

maka kasus ini dikembalikan lagi ke proses peradilan pidana.

Tahap terakhir sebagaimana ditunjukkan pada bagan 7 adalah tahap

follow-up untuk memastikan bahwa kesepakatan atau perjanjian tersebut telah

dilaksanakan oleh para pihak, terutama memastikan telah diberikannya ganti

rugi/kompensasi/restitusi pada korban. Setelah kesepakatan tercapai selama

mediasi, kinerja pelaku dan kerja sama akan dipantau untuk memastikan bahwa ia

bertindak sesuai dengan perjanjian atau kesepakatan. Follow-up dapat dilakukan

oleh mediator. Mekanisme mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana ringan

di Indonesia dapat dijadikan gambaran dan masukan dalam penerapan mediasi

penal di Indonesia. Mekanisme ini juga dibentuk berdasarkan kondisi masyarakat

dan kondisi hukum di Indonesia sehingga menurut penulis dapat diterapkan

dengan mudah di Indonesia.


457

BAB VI

PENUTUP

6. 1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan permasalahan dalam

disertasi ini dapat disimpulkan bahwa:

1. Mediasi penal memiliki 5 (lima) makna yakni: mediasi penal merupakan

alternatif penyelesaian perkara pidana, mediasi penal menjadi istilah mediasi

dalam bidang hukum pidana, mediasi penal sebagai sarana pemulihan,

mediasi penal sebagai pengalihan proses, mediasi penal bermakna

memberikan keadilan dan kemanfaatan bagi semua pihak.

2. Pada tataran Peraturan Perundang-undangan telah terjadi kekosongan

norma/kekosongan hukum (recht vaccum) terkait mediasi penal dalam

penyelesaian kasus tindak pidana ringan di Indonesia, namun konsep mediasi

penal dapat ditemukan dalam kebiasaan atau hukum adat masyarakat sebagai

budaya bangsa. Keberadaan mediasi penal juga dapat ditemukan dalam

beberapa yurisprudensi yang mengakui hasil mediasi penal dengan

menjadikannya sebagai dasar pertimbangan hakim untuk meringankan

hukuman atau bahkan dapat membebaskan terdakwa.

3. Konstruksi mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana ringan di masa

yang akan datang (ius constituendum) dalam disertasi ini dibagi menjadi 5

(lima) bagian, yang menjadi temuan penulis yakni:

457
458

a. Konsep mediasi penal: mediasi penal adalah alternatif penyelesaian

perkara pidana di luar pengadilan dengan melibatkan mediator. Mediasi

penal menjadi sebuah mekanisme pengalihan proses dari pengadilan ke

luar pengadilan, serta sebagai sarana perbaikan atau pemulihan pihak-

pihak yang terkena kejahatan.

b. Konsep tindak pidana ringan dan jenis tindak pidana ringan yang dapat

diselesaikan melalui mediasi penal: Tindak pidana ringan adalah tindak

pidana yang memuat unsur-unsur yang meringankan yang diancam dengan

pidana penjara atau kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan atau denda

sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah/dengan penyesuaian, dan

kerugian yang ditimbulkan tidak lebih dari Rp. 2.500.000, 00 (dua juta

lima ratus ribu rupiah), beserta penghinaan ringan. Jenis tindak pidana

ringan yang dapat diselesaikan melalui mediasi penal dapat ditemukan

dalam KUHP (102 pasal) dan di luar KUHP (Perda tentang pedagang kaki

lima, Perda tentang Parkir, Perundang-undangan tentang Tera, Perundang-

undangan tentang minuman keras, dan semua tindak pidana di luar KUHP

yang diancam pidana penjara/kurungan selama-lamanya 3 bulan atau

denda saja, kecuali pelanggaran lalu lintas).

c. Konsep pembaharuan hukum pidana di Indonesia: Keberadaan asas

pemberian maaf atau pengampunan oleh hakim (rechterlijk pardon atau

judicial pardon), serta tujuan dan pedoman pemidanaan dalam Rancangan

KUHP dan pengakuan penyelesaian kasus di luar pengadilan dalam


459

Rancangan KUHAP menunjukkan konsep mediasi penal dapat bersinergi

dengan konsep pembaharuan hukum pidana di Indonesia.

d. Model mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana ringan di

Indonesia: Model mediasi penal yang paling cocok atau ideal untuk

diterapkan dalam penyelesaian kasus tindak pidana ringan di Indonesia

adalah model victim-offender mediation.

e. Prinsip-prinsip dan mekanisme mediasi penal dalam penyelesaian tindak

pidana ringan: Ada beberapa prinsip penting yang dapat diterapkan di

Indonesia, yakni: 1) Mediasi penal dapat diterapkan untuk semua tipe

pelaku tindak pidana, kecuali recidive dan anak. 2) Tindak pidana ringan

dapat diselesaikan melalui mediasi penal. 3) Mediasi penal dilaksanakan di

tingkat kepolisian dan hasil mediasi penal dapat digunakan sebagai dasar

penuntut umum tidak melakukan penuntutan, serta menjadi dasar hakim

memberikan permaafan atau pengampunan oleh hakim (rechterlijk

pardon). 4) Mediasi penal dilakukan atas persetujuan antara korban dan

pelaku secara sukarela, dengan iktikad baik, dan tidak ada paksaan. 5)

Korban mendapatkan ganti rugi/kompensasi/restitusi, selain permohonan

maaf dari pelaku. 6) Pelaku kejahatan mendapatkan pemulihan melalui

permintaan maaf dan pengampunan dari korban, serta melalui pemberian

ganti rugi/kompensasi/restitusi sebagai bentuk tanggung jawab. 7) Bentuk

mediasi penal: langsung dan tidak langsung. 8) 4 (empat) tahapan yang

ideal dalam mediasi penal: intake, preparation for mediation, mediation,

dan follow-up. 9) Konsep mediasi penal menjadi budaya bangsa. 10) Hasil
460

kesepakatan penyelesaian dalam mediasi penal dapat dituangkan dalam

bentuk kesepakatan dan ditandatangani oleh para pihak. 11) Apabila

mediasi penal tidak berhasil mencapai kesepakatan, maka kasus dapat

dilanjutkan ke peradilan pidana. Mekanisme mediasi penal dalam

penyelesaian tindak pidana ringan ideal dilakukan ditingkat kepolisian

dengan mekanisme sebagaimana digambarkan dalam bagan 6 disertasi ini.

6.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dirumuskan dalam kesimpulan,

maka saran yang dapat diberikan dalam disertasi ini adalah:

1. Perlu pemahaman yang mendalam dan persamaan persepsi dalam memahami

mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana di luar

pengadilan dengan melibatkan mediator, yang membedakannya dengan

hukum perdata. Berbagai makna mediasi penal menunjukkan bahwa mediasi

penal perlu dan urgen untuk diterapkan di Indonesia, sehingga diperlukan

perubahan paradigma penegak hukum ke arah restorative justice dan

meningkatkan eksistensi mediasi penal menjadi lembaga formal di Indonesia.

Makna mediasi penal dapat dijadikan sebagai dasar filosofis dalam

pengaturan mediasi penal di Indonesia.

2. Perlu dibentuk dasar hukum yang tegas yang mengatur mengenai mediasi

penal dalam penyelesaian tindak pidana ringan. Agar memiliki kekuatan

berlaku yang kuat, mediasi penal perlu diatur dalam sebuah undang-undang

(masuk dalam perumusan revisi KUHAP).


461

3. Konstruksi mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana ringan di masa

yang akan datang (ius constituendum) dapat menjadi masukan bagi badan

legislatif dalam mengatur mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana

ringan dalam sebuah undang-undang (KUHAP). Sebaiknya diatur dalam

sebuah bab di dalam Rancangan KUHAP yang berjudul, “Mediasi Penal

dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Ringan”. Mediasi penal dalam

penyelesaian tindak pidana ringan perlu diatur secara eksplisit dengan

ketentuan yang mengatur bahwa, “penyelesaian kasus tindak pidana ringan

dapat dilakukan melalui mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara

pidana”, dan ketentuan bahwa “penyidik wajib menawarkan mediasi penal

dalam penyelesaian tindak pidana ringan”.

Anda mungkin juga menyukai