BAB I
PENDAHULUAN
ketika mencederai rasa keadilan dan melibatkan rakyat kecil. Penegakan hukum
oleh seorang nenek yang bernama Ni Komang Kanten (55 tahun) dari Dusun
Sarikuning, Jembrana Bali yang terjadi pada tahun 2015. Ni Komang Kanten
dalam kasus ini mengumpulkan kayu bakar di kawasan hutan lindung sehingga
dituntut dengan tindak pidana pencurian.1 Kasus lainnya adalah kasus pencurian
kayu oleh seorang kakek yang bernama Harso Taruno (67 tahun) pada tahun 2014
menyingkirkan satu balok kayu di lahan yang bersebelahan dengan lahan Balai
1
http://denpostnews.com, dibuka pada tanggal 14 Agustus 2016, diakses pada pukul
13.57 WITA.
2
Yoachim Agus Tridiatno, 2015, Keadilan Restoratif, Cetakan Kelima, Cahaya Atma
Pustaka, Yogyakarta, h. 3.
1
2
buah kakao oleh nenek Minah (55 tahun) pada tahun 2009 di Jawa Tengah. Akibat
memungut 3 (tiga) buah biji kakao yang terjatuh di tanah yang akan dibawa
pulang untuk dijadikan benih nenek Minah dituduh melakukan pencurian.3 Kasus
yang memilukan juga terjadi pada Aal (15 tahun) yang dituntut dengan kasus
pencurian sandal jepit pada tahun 2011 di Palu karena Aal mengambil sandal
milik polisi yang ia temukan di luar pagar.4 Kasus lainnya adalah kasus pencurian
sebuah semangka karena lapar oleh Basar Suyanto (45 tahun) dan Kholil (49
praktiknya dominan dituntut dengan Pasal 362 KUHP sebagai pencurian biasa,
tidak dikenakan Pasal 364 KUHP sebagai pencurian ringan (tindak pidana
ringan).
Tidak hanya kasus pencurian ringan, pada tahun 2009 Prita Mulyasari
(32 tahun) yang mengkritik pelayanan kesehatan sebuah Rumah Sakit di sosial
media dianggap menghina pihak Rumah Sakit Omni Internasional di Jakarta. Prita
dijerat pasal berlapis, yaitu Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik,
Pasal 311 KUHP tentang pencemaran nama baik secara tertulis, serta Pasal 27
ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
3
Nur Muhammad Wahyu Kuncoro, 2012, 69 Kasus Hukum Mengguncang Indonesia,
Raih Asa Sukses, Jakarta, h. 145-146.
4
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 3, lihat juga Nur Muhammad Wahyu Kuncoro,
Op.Cit, h. 149-151.
5
Muhammad Taufiq, 2014, Keadilan Substansial Memangkas Rantai Birokrasi Hukum,
Cetakan Pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta (Selanjutnya disebut Muhammad Taufiq I), h. 161.
3
6
Informasi dan Transaksi Elektronik. Kasus-kasus tersebut pada umumnya
ini hanyalah sebagian kecil kasus tindak pidana ringan yang telah menjadi sorotan
memenuhi tujuan hukum yang oleh Gustav Radbruch disebut sebagai 3 (tiga) nilai
dasar dari hukum yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. 3 (tiga) nilai
dasar dari hukum ini menjadi tujuan ideal yang diharapkan mampu dipenuhi dan
kepastian hukum terjadi benturan dengan keadilan, atau benturan antara kepastian
hukum ternyata masih jauh dari rasa keadilan yang diharapkan masyarakat.
dapat diketahui pemahaman aparat penegak hukum terhadap hukum menjadi salah
pidana ringan ini terjadi karena kebanyakan aparat penegak hukum mereduksi
Padahal, masalah penegakan hukum tidak hanya bisa dilihat dari kacamata
undang-undang saja, tetapi harus dilihat secara utuh dengan melibatkan semua
unsur yang ada, seperti moral, perilaku, dan budaya. Aparat penegak hukum kerap
demikian jika berkaitan dengan masyarakat kelas atas, misalnya dalam kasus
Rasyid Rajasa.9
tingkat pengadilan juga dinyatakan oleh Mahrus Ali. Mahrus Ali menyatakan
bahwa dalam fenomena ini hakim digambarkan hanya sebagai “corong undang-
keadilan. Kasus-kasus ini juga dianggap sebagai korban penegakan hukum yang
9
Muhammad Taufiq I, Op.Cit, h. 160-161.
10
Mahrus Ali, 2013, Membumikan Hukum Progresif, Cetakan Pertama, Aswaja
Pressindo, Yogyakarta, h.2. Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa hukum prosedural akan
menghasilkan output berupa keadilan prosedural atau formal. Di kalangan hukum masih sering
prosedur diunggulkan di atas substansi. Secara empirik dapat disaksikan bahwa ketidakberhasilan
memberikan keadilan di Indonesia lebih terletak pada kekalahan prosedur, yaitu kekalahan dalam
perang yang sifatnya lebih prosedural dari pada substansial. Institusi hukum (khususnya hukum
modern) dalam penyelesaian persoalan, sangat bertumpu pada prosedur. Ciri terpenting dalam
hukum dalam hukum modern adalah bekerja secara prosedural. Kalaupun hukum dianggap sebagai
institusi dalam masyarakat yang bertugas memberikan keadilan maka caranya juga dilakukan
secara prosedural. Pandangan Satjipto Rahardjo ini memberikan gambaran bahwa penegakan
hukum yang prosedural merupakan penegakan hukum yang lebih mengutamakan prosedur dari
pada substansi sehingga yang dihasilkan adalah keadilan prosedural. Keadilan prosedural belum
tentu dapat memberikan keadilan yang dibutuhkan rakyat sebagaimana yang dikemukan oleh
Satjipto Rahardjo bahwa, “Ketidakberhasilan memberikan keadilan di Indonesia lebih terletak
pada kekalahan prosedur”. Lihat Satjipto Rahardjo, 2009, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia,
Cetakan Ketiga, Kompas, Penerbit Buku Kompas, Jakarta (Selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo
I), h. 28 dan h. 67.
5
kemanfaatan.
Penanganan atas tindak pidana seperti halnya kekuatan jaring laba-laba yang
yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Terhadap orang kecil (the poor) hukum
bersifat represif, sedangkan terhadap orang besar (the have) hukum bersifat
substantif. Hal ini disebabkan karena penegak hukum terpenjara oleh ritual
kaku dan anti dengan inisiasi rule breaking.12 Hal-hal ini semakin menegaskan
11
Muhammad Taufiq I, Op.Cit, h. 4-5.
12
Suteki, 2015, Masa Depan Hukum Progresif, Cetakan Pertama, Thafa Media,
Yogyakarta, h. 6-7. Terkait dengan keadilan substantif, Munir Fuady menguraikan bahwa keadilan
substansial (substansial juctice) adalah bukan sekedar penerapan hukum yang sama bagi orang
dalam kualifikasi yang sama dan berbeda bagi orang dalam kualifikasi berbeda. Keadilan
substansial mempersoalkan hukum yang akan diterapkan tersebut memang sudah adil. Keadilan
yang substantif ini mengacu pada hasil yang adil (just outcome) bukan proses/prosedur formal
(fair procedure) dalam keadilan formal. Keadilan substansial sangat diperlukan untuk mencapai
keadilan bagi masyarakat karena keadilan prosedural tidak selalu dapat memberikan keadilan.
Lihat, Munir Fuady, 2010, Dinamika Teori Hukum, Cetakan Kedua, Ghalia Indonesia, Bogor, h.
113-117.
6
bahwa kekakuan hukum dalam sebuah legalitas formal juga menjadi penyebab
dampak yang ditimbulkan akibat penanganan tindak pidana ringan yang diproses
1. Ketidakadilan
3. Penumpukan perkara
6. Stigma/labelisasi pelaku
ketidakadilan.
dengan proses yang panjang, sehingga memerlukan waktu yang panjang, biaya,
dan tenaga yang besar untuk satu kasus atau perkara pidana. Keadaan ini
13
Mahrus Ali, Op.Cit, h. 2.
7
Hal ini tentu melelahkan dan menguras banyak waktu, tenaga, dan pikiran, karena
ini pula tidak jarang terjadi bahwa korban ingin menarik laporannya, namun
terhalang karena laporan tidak boleh dicabut sehingga proses harus tetap
dilanjutkan. Upaya pengembalian atau ganti rugipun tidak akan efisien karena
ini, nampaknya bukan menjadi solusi yang tepat untuk mempidana penjara
menegaskan bahwa telah terjadi overkapasitas penghuni lapas, yang dalam hal ini
juga menyatakan bahwa “dikeluarkan dari Lapas perminggu rata-rata adalah 250
14
Umi Rozah, 2012, “Konstruksi Politik Hukum Mediasi Penal Sebagai Alternatif
Penyelesaian Perkara Pidana” dalam Agustinus Pohan, Topo Santoso, dan Martin Moerings (ed),
Hukum Pidana Dalam Perspektif, Cetakan Pertama, Pustaka Larasan, Denpasar Bali, h. 310-311.
15
Romli Atmasasmitha, 2017, Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Tiada Kesalahan
Tanpa Kemanfaatan (Geen Straf Zonder Schuld, Geen Schuld Zonder Nut), Makalah pada
Penataran Dosen dan Praktisi Hukum Pidana & Kriminologi Tingkat Nasional Tahun 2017,
Ikhabara dan Mahupiki, Surabaya, 29 November 2017-1 Desember 2017, h. 3.
16
Ibid, h. 6.
8
dengan narapidana lainnya dan belajar mengenai kejahatan lebih banyak, dengan
orang belajar kejahatan seperti munculnya para residivis adalah anggapan yang
Pendapatan dan Belanja Negara), bahkan telah menimbulkan hutang negara untuk
mengutip pernyataan dari Aziz Syamsudin (pimpinan Komisi III DPR RI) dalam
bahwa sampai dengan bulan April 2012 negara masih menanggung hutang terkait
Agung dan jumlah hutang negara kepada Lembaga Pemasyarakatan sebagai akibat
dalam dunia hukum kita. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya perkara tindak
17
Kondisi Lembaga Pemasyarakatan menunjukkan kelebihan kapasitas (data dari Sistem
database pemasyarakatan), Lihat http://smslap.ditjenpas.go.id/.
18
Fakta yang diungkap oleh Kepala Badan Narkotika (BNN) Budi Waseso tentang
pengendalian narkotika dari dalam Lapas atau penjara. Lihat, www.koran-jakarta.com, dibuka
pada tanggal 5 Mei 2018, diakses pada pukul 15.00 wita.
9
pidana ringan dan pencurian dengan nilai kerugian yang relatif kecil diselesaikan
melalui pengadilan.19
pidana, maka sesuai dengan teori labeling (labeling theory) maka pelaku akan
mendapatkan stigma atau labelisasi sebagai pelaku kejahatan. Status jahat ini
diberikan oleh Sistem Peradilan Pidana maupun oleh masyarakat luas.20 Hal ini
tentu sangat merugikan dalam jangka waktu yang lama terutama jika melibatkan
seorang anak dan akan menambah penderitaan jika pelaku sudah lanjut usia.
Salah satu pihak pasti menang dan pihak lainnya kalah. Keadaan menang kalah ini
19
Cahya Wulandari, 2013, Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif,
Cetakan Pertama, Thafa Media, Yogyakarta, h. 661. Romli Atmasasmitha juga mencoba
mengkalkulasi pengeluaran uang negara untuk kebutuhan biaya makan narapidana/tahanan/tahun:
a. Jumlah narapidana/tahanan tahun 2017 = Rp. 200.000.
b. Biaya makan Rp. 15.000/hari/per orang x Rp. 200.000 = Rp. 3.000.000.000 (tiga milyar)/hari.
c. Hukuman penjara 1 (satu) tahun: 12 x Rp. 3.000.000.000 = Rp. 36 M.
d. Hukuman penjara 5 tahun x 12 = Rp. 180 M. Lihat, Ibid, h. 5.
20
Topo Santoso, 2001, Kriminologi, Cetakan Pertama, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, (Selanjutnya disebut Topo Santoso I), h. 98.
21
Nazarkhan Yasin, 2004, Mengenal Klaim Konstruksi & Penyelesaian Sengketa
Konstruksi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 88.
10
bagi masyarakat dan pencari keadilan. Kepastian hukum juga tidak selalu dapat
menyelesaikan masalah atau dengan kata lain undang-undang tidak selalu mampu
memberikan keadilan. Fenomena ini juga menjadi dasar penulis untuk mengkaji
tindak pidana ringan untuk diselesaikan melalui mediasi penal karena telah
dapat menciptakan keadilan, maka penegak hukum harus berani menerobos aturan
seluruh masyarakat. Alternatif penyelesaian kasus yang dikenal saat ini adalah
“mediasi penal”.
yang biasa dikenal dengan istilah ADR atau Alternative Dispute Resolution, ada
22
Muhammad Taufiq, 2012, Mahalnya Keadilan Hukum; Belajar dari Kasus Lanjar,
Cetakan Pertama, MT&P Law Firm, Surakarta (Selanjutnya disebut Muhammad Taufiq II), h. v.
23
Mahrus Ali, Op.Cit, h. 2.
11
korban dan pelaku tindak pidana jika mereka mengkehendakinya secara bebas
untuk secara aktif berpartisipasi dalam menyelesaikan masalah yang muncul dari
kejahatan melalui bantuan seorang pihak ketiga yang tidak memihak atau disebut
perkembangan dan pembaharuan hukum pidana di dunia. Hal ini juga telah
dikemukakan oleh Umi Rozah yang menulis bahwa mediasi penal telah dilakukan
oleh berbagai negara yakni antara lain: Amerika, Kanada, San Fransisco, Italia,
Belgia, Austria, Prancis, dan Jerman. Praktek mediasi penal memang masih
yakni dalam peradilan adat, namun mediasi penal sebagai sebuah lembaga
24
Barda Nawawi Arief, 2008, Mediasi Penal : Penyelesaian Perkara Pidana di Luar
Pengadilan, Cetakan Pertama, Pustaka Magister, Semarang (Selanjutnya disebut Barda Nawawi
Arief I), h. 3.
25
Umi Rozah, Op.Cit, h. 321.
26
Mediasi penal memang mengupayakan pertemuan pelaku dengan korban, namun hal
ini bukan merupakan suatu keharusan karena prinsip utama mediasi penal adalah komunikasi.
Mediasi penal seperti yang diterapkan di Inggris mengenal mediasi penal langsung (pertemuan
tatap muka antara korban dan pelaku) dan tidak langsung (tidak difasilitasi pertemuan sesi tatap
muka secara langsung antara korban dan pelaku).
12
pidana sebagai bagian dari proses peradilan pidana di Indonesia. 27 Hal ini
pidana.
seluruh masyarakat. Hal ini sebagaimana yang diamanatkan dalam sila ke-lima
Pancasila yaitu, “Keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia” yang merupakan
Fenomena bahwa rakyat kecil (the poor) sangat rentan diperlakukan tidak adil
kecil (the poor). Tidak hanya bagi masyarakat miskin, tetapi juga berlaku bagi
kasus pidana, namun hukum pidana Indonesia saat ini belum memberikan ruang
karena fokus utama ditujukan pada pelaku kejahatan, sedangkan korban tidak
27
Umi Rozah, Op.Cit, h. 310.
13
filosofis, mediasi penal akan memberikan kesempatan yang sama bagi semua
pihak yang terkait untuk terlibat dalam penyelesaian perkara pidana. Mediasi
para pihak yang berperkara dan penegak hukum akibat penyelesaian tindak pidana
5. Mencegah/mengurangi labelisasi
sederhana, dan murah, sehingga dapat membantu penegak hukum dan Sistem
pihak yang berperkara karena efektifitas dan efisiensi yang dapat dicapai dalam
mediasi penal adalah sama dengan mekanisme musyawarah. Van Ness dan Strong
yang dikutip dari DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur menulis bahwa dalam
mediasi penal, korban dan pelaku akan berhadapan langsung sebagai orang, bukan
sebagai dua kubu yang saling bermusuhan tanpa wajah, yang membuat mereka
yang harus dilakukan untuk memperbaiki keadaan. 29 Hal ini akan memulihkan
hubungan antara pihak korban dengan pelaku, serta pihak yang terkait
berlarut-larut. Kondisi ini juga akan menempatkan posisi korban lebih kuat untuk
labeling (labeling theory) tentu berdampak pada pemberian stigma atau labelisasi
28
DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur menyatakan bahwa mediasi penal diperlukan
karena: dapat mengurangi penumpukan perkara, merupakan salah satu proses penyelesaian
sengketa yang cepat, murah, dan sederhana, memberikan akses luas untuk memperoleh keadilan,
memperkuat dan memaksimalkan fungsi pengadilan dalam penyelesaian sengketa disamping
proses menjatuhkan pemidanaan. Lihat, DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, 2011, Mediasi Penal:
Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia, Cetakan Pertama, Indie Publishing,
Depok, h. 89.
29
Ibid, h. 7-88.
15
merugikan dan labelisasi bagi pelaku kejahatan, sehingga tidak ada status jahat
yang diberikan oleh Sistem Peradilan Pidana dan reaksi masyarakat untuk
banyak kelebihan, namun metode ini juga memiliki kelemahan. DS. Dewi dan
30
Topo Santoso, Loc.Cit.
31
Yoachim Agus Tridiatno mengemukakan bahwa keadilan restoratif adalah bentuk
keadilan yang berpusat pada kebutuhan korban, pelaku kejahatan, dan masyarakat. 31 Lihat,
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 27.
32
Shuttle mediation artinya dalam proses mediasi mediator dapat bertemu kedua belah
pihak ditempat yang terpisah. Lihat DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Op.Cit, h. 89.
16
hambatan yang menjadi kelemahan mediasi penal. DS. Dewi dan Fatahillah A.
adalah penolakan dari pihak utama yang terlibat, yakni korban dan pelaku.
Korban enggan berhadapan langsung dengan pelaku karena takut dan marah
terhadap pelaku, sementara pelaku merasa malu dan bersalah ketika berhadapan
dengan korban, serta adanya kewajiban untuk bertanggung jawab dalam proses
kedepan.
karena bertentangan dengan prinsip umum dalam hukum pidana yang tidak
dalam perkara pidana memang terjadi dan telah diakui dalam yurisprudensi di
Indonesia.
33
DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Loc.Cit.
17
lembaga adat, dan lain sebagainya. Praktik sosial pada masyarakat Indonesia
menunjukkan bahwa mediasi penal sudah lama dikenal dan menjadi tradisi di
Bali, Sumatra Barat dan hukum adat Lampung. 34 Hal ini menunjukkan bahwa
secara sosiologis konsep mediasi penal telah ada dalam prakteknya dan sudah
Indonesia karena pada hakikatnya mediasi penal sebagai cerminan dari ideologi
34
Lilik Mulyadi, 2015, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia,
Cetakan Pertama, Alumni, Bandung, h. 3-4.
35
Peradilan pidana di Indonesia (berdasarkan KUHAP) mengarah pada due process
model. Dapat dikatakan bahwa Indonesia menganut due process model yang memiliki karakteristik
preventif, presumption of innocence, formal-adjudicative, legal guilt, dan efektivitas serta dengan
tipologi negative model. Lihat Muladi, 1996, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Universitas
Diponegoro, Semarang, h. 21.
18
untuk menempatkan individu pada kekuasaan yang koersif dari negara.36 Hal ini
due process model dalam Sistem Peradilan Pidana, namun mediasi penal sebagai
Peradilan Pidana saat ini juga memuat perbedaan fokus, karena dalam Sistem
sehingga menempatkan korban pada posisi yang penting. Perbedaan ini menarik
untuk dikaji karena korban sepatutnya diberikan keadilan dan pemenuhan hak-
Kini, mediasi penal menjadi topik yang menarik untuk dikaji karena
Hutajulu menyatakan bahwa berdasarkan data Polres Malang telah terjadi kasus
pencurian ringan yang diselesaikan melalui mediasi pada tahun 2012. Kasus
pencurian ringan ini terjadi di MOG Jalan Kawi Malang yang dilakukan oleh
Nuna Octaviani (18 tahun), bertempat tinggal di Jl. Jodipan Wetan Gang 1 Kota
36
Ibid, h. 5.
19
pakaian di Center Point MOG Malang yang berharga sekitar Rp. 120.000,00.
Pihak Kepolisian Kota Malang meminta kepada pelapor yaitu Kardi Wantoko
(Pihak MOG) untuk melakukan mediasi karena barang yang dicuri itu jumlahnya
hanya sedikit.37
pengadilan juga dapat ditemukan dalam kasus Diyan Prayogo (15 tahun) yang
melakukan pencurian di Center Point MOG Malang. Barang yang dicuri adalah
sebuah pakaian yang harganya berkisar 80.000-an (delapan puluh ribuan). Pihak
Praktik lainnya yang sering terjadi adalah dalam pelanggaran lalu lintas.
Eva Achjani Zulfa menyatakan bahwa dalam pelanggaran lalu lintas, Polda Metro
Jaya mengeluarkan surat tilang atas pelanggaran lalu lintas di jalan raya sejumlah
kurang lebih dua ribu lembar perbulan. 1076 perkara lalu lintas yang masuk ke
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan di tahun 2004 dan 3.904 di tahun 2006,
yakni sejumlah 13.265 perkara pelanggaran lalu lintas yang masuk semuanya
37
James Hasudungan Hutajulu, 2014, Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian
Perkara Pencurian Ringan (Studi Di Polres Malang Kota), Jurnal Arena Hukum: Vol 7, No 3,
Malang, h. 391-392. Mediasi adalah salah satu bentuk Alternative Dispute Resolution (ADR) yang
dikenal dalam hukum perdata. Pasal 1 angka 7 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung Republik
Indonesia menyatakan bahwa mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses
perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Dalam
hukum pidana, mediasi dikenal dengan nama mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara
pidana di luar pengadilan dengan melibatkan mediator.
38
Ibid.
20
yang panjang dan hasilnya akan sama saja, maka penyelesaian langsung melalui
penyelesaian perkara pidana. Salah satunya misalnya di Bali yang memiliki desa
perkara di desa adalah prajuru desa sebagai hakim peradilan desa adalah Kelian
Banjar dan bendesa jika yang berperkara semuanya berasal dari satu desa, selain
itu masih banyak tradisi lainnya di Indonesia yang menunjukkan bahwa terdapat
alternatif lain dari peradilan pidana dalam penyelelesaian kasus yang terjadi di
39
Eva Achjani Zulfa, 2011, Mediasi Penal: Perkembangan Kebijakan Hukum Pidana,
disampaikan pada diskusi terbatas tentang, “Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan Melalui
Mediasi Penal (Penal Mediation) Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia: Pengkajian Asas,
Norma, Teori dan Praktik”, Palangkaraya, h. 2.
21
masyarakat. 40 Mediasi penal telah ada sejak dahulu di Indonesia yang telah
sidang adat. Salah satunya terhadap Tamrin Amal Tamagola yang dilakukan oleh
Sabtu, tanggal 11 Januari 2011. Kasus ini tidak lagi diproses melalui peradilan
penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan dengan perdamaian. Hal ini dapat
tingkat pertama. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara tanggal 17 Juni 1978
dalam perkara Ny. Ellya Dado (Kasus Ny. Elda) ini telah terjadi penyelesaian
pelanggaran yang dapat dihukum lagi dan melepaskan tertuduh dari segala
tuntutan hukum. Jaksa mendakwa Ny. Ellya Dado dengan sengaja melawan
40
Lilik Mulyadi, Op.Cit, h. 9-11. Pasal 1 Perda Provinsi Bali No.3 Tahun 2001 tentang
Desa Pakraman menentukan bahwa, “Desa pakraman adalah kesatuan tradisi dan tata krama
pergaulan hidup masyarakat umat hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau
Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak
mengurus rumah tangganya sendiri”.
41
Ibid, h. 3-14.
22
dakwaan primer, tindak pidana pemerasan sebagaimana diatur dalam Pasal 368
ayat (1) KUHP (subsider), dan penghinaan secara lisan sebagaimana diatur dalam
tanggal 15 Mei 1991. Ratio decidendi dalam putusan ini menyebutkan apabila
seorang melanggar hukum adat kemudian kepala dan para pemuka adat
memberikan reaksi adat atau sanksi adat, berarti yang bersangkutan tidak dapat
atau Pengadilan Negeri dengan dakwaan yang sama melanggar hukum adat dan
dijatuhi penjara menurut KUHP. Konklusi dasar dari yurisprudensi ini mengakui
menyatakan jika pelaku perzinahan telah dijatuhi sanksi adat/reaksi adat dari para
pemangku desa adat maka tuntutan jaksa harus dinyatakan tidak dapat diterima.44
kasus pelanggaran hukum adat yang telah dijatuhi sanksi adat/reaksi adat.
kesatu dan “tanpa hak membawa, menguasai, senjata api dan amunisi”
dalam praktik terdapat upaya lain yang dilakukan oleh masyarakat dan juga
Praktik ini juga menegaskan bahwa terdapat pilihan atau alternatif lain dalam
bahwa terdapat cara lain atau pilihan lain dalam penyelesaian sebuah perkara
pidana yang tentunya berbeda dengan penyelesaian perkara pidana yang berlaku
diputus oleh pengadilan dan dijatuhi pidana. Terdapat suatu prosedur atau proses
baku dalam sebuah lembaga peradilan dan hal ini menimbulkan pemikiran
45
Lihat Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 107/PK/Pid/2006 tanggal 21 November
2007 dengan hakim ketua sidang: H. Parman Soeparman.
24
nampaknya dapat menjadi arah baru dalam hukum pidana modern yang lebih
menjadi pihak yang penting untuk dipulihkan. Mediasi penal menurut penulis
dengan bentuk restorative justice lainnya (conferencing dan circles) karena lebih
efisien dan fleksibel. Mediasi penal atau yang juga dikenal dengan nama victim-
dalam penyelesaian masalah, oleh sebab itu mediasi penal menjadi kajian yang
bahwa tidak semua tindak pidana bisa diterapkan mediasi penal. Poin ke 5 (lima)
diskresi”, telah tegas menunjukkan bahwa mediasi penal nampaknya tepat untuk
46
Lilik Mulyadi, Op.Cit, h. 5, lihat juga Mudzakkir, 2007, Alternative Dispute
Resolution (ADR): Penyelesaian Perkara Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia,
Makalah pada workshop, Jakarta, Tanggal 18 Januari 2007.
26
berat.47
dari Mudzakkir ini menunjukkan bahwa tindak pidana ringan dapat diselesaikan
melalui mediasi penal. Hal ini menjadi dasar bagi penelitian ini untuk mengkaji
tindak pidana ringan untuk dapat diselesaikan melalui mediasi penal. Penelitian
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (yang selanjutnya disebut Kitab
Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP, dan 9 (sembilan) pasal
mengenai Tindak Pidana Ringan dalam KUHP dapat dipahami bahwa tindak
pidana ringan adalah tindak pidana yang memuat unsur-unsur yang meringankan
pidana penjara/kurungan paling lama tiga bulan dan untuk kejahatan harta benda
47
Dalam perkara-perkara tertentu mediasi penal mulai diperluas untuk dapat digunakan
terhadap kasus kekerasan yang sangat berat (Extremely severe violence) atau kasus-kasus yang
serius (namun tidak dalam kasus korban yang meninggal dunia), seperti di Jerman, Austria,
Canada, dan Amerika Serikat. Negara-negara lainnya sudah mulai mengembangkan penggunaan
mediasi penal dalam kasus violent crime dan juga untuk kasus-kasus KDRT (domestice violence).
Lihat Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, h. 28-59, Restorative Justice in Canada: what victims should
know (Prepared by the Canadian Resource Centre for Victims of Crime),
https://crcvc.ca/docs/restjust.pdf, dibuka pada tanggal 18 September diakses pukul 07.30 WITA,
dan Alyssa H. Shenk, 2003, Hate and Bias Crime, Routledge, New York, h. 442.
27
kerugian yang ditimbulkan tidak lebih dari Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus
serta dengan adanya unsur-unsur yang meringankan.49 Konsekuensi dari hal ini
KUHP yaitu tindak pidana dalam bentuk pokok/tindak pidana biasa, tindak pidana
dalam bentuk yang diperberat/dikualifikasi berat, dan tindak pidana ringan, maka
48
Lihat Pasal 302 Ayat (1) KUHP mengenai penganiayaan ringan terhadap hewan, Pasal
352 Ayat (1) KUHP mengenai penganiayaan ringan, Pasal 364 KUHP mengenai pencurian ringan,
Pasal 373 KUHP mengenai penggelapan ringan, Pasal 379 KUHP mengenai penipuan ringan,
Pasal 384 KUHP mengenai penipuan ringan oleh penjual, Pasal 407 Ayat (1) KUHP mengenai
perusakan ringan, Pasal 482 KUHP mengenai penadahan ringan, Pasal 315 KUHP mengenai
penghinaan ringan.
49
Lihat Pasal 205 ayat (1) KUHAP, Pasal 1 dan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung RI
Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda
Dalam KUHP, dan 9 (sembilan) pasal mengenai Tindak Pidana Ringan dalam KUHP.
50
Pasal 205-210 KUHAP menyatakan bahwa acara pemeriksaan tindak pidana ringan
diselesaikan melalui acara pemeriksaan cepat dengan pemeriksaan yang lebih sederhana dengan
menggunakan hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir, kecuali dalam hal dijatuhkan
pidana perampasan kemerdekaan terdakwa dapat mengajukan banding. Pasal 21 ayat (4) huruf a
KUHAP menyatakan bahwa penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa
yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak
pidana tersebut dalam hal tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih,
sehingga dengan demikian kasus tindak pidana ringan yang diancam dengan pidana
penjara/kurungan paling lama tiga bulan tidak dikenakan penahanan.
28
Wina pada Kongres PBB ke-10/2000 (Tenth United Nations Congress on the
(recht vacuum) terkait mediasi penal dalam perpsektif ius constitutum.51 Sebagai
51
Abdul Latif dan Hasbi Ali mengemukakan bahwa ius constitutum merupakan suatu
istilah bahasa Latin yang berarti hukum yang telah ditetapkan, yang berlaku disuatu tempat
tertentu dan pada waktu tertentu pula. Lihat Abdul Latif dan Hasbi Ali, 2011, Politik Hukum,
Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, h. 37.
52
Istilah konstruksi dalam disertasi ini berarti “model”. Hilman Hadikusuma menyatakan
bahwa konstruksi hukum (rechtsconstructie) merupakan alat-alat yang dipakai untuk menyusun
bahan hukum yang dilakukan secara sistematis dalam bentuk bahasa dan istilah yang baik.
Menyusun dalam hal ini adalah menyatukan apa yang termasuk dalam satu bidang yang sama, satu
pengertian yang sama. Membentuk pengertian-pengertian dari berbagai bahan hukum dalam suatu
istilah hukum. Kontruksi dalam disertasi ini berarti membentuk atau menyusun model secara
sistematis yang memuat konstruksi yuridis (norma) dan konstruksi teori hukum. Lihat Hilman
Hadikusuma, 2013, Bahasa Hukum Indonesia, Cetakan Kelima, Alumni, Bandung, h. 15.
29
tersebut belum kuat dijadikan sebagai dasar hukum pelaksanaan mediasi penal di
jawab demi kepentingan umum. Hal ini sebagaimana yang telah diatur dalam
undang-undang yakni Pasal 16 ayat (1) huruf l dan Pasal 18 ayat (1) Undang-
disebut UU Kepolisian) dan Pasal 5 ayat (1) angka 4 dan Pasal 7 ayat (1) huruf j
kepolisian RI.
kepolisian sifatnya masih sangat luas dan masih sangat implisit atau tidak tegas
sangat luas bagi kepolisian untuk bertindak menurut penilaiannya sendiri dan
tidak tegas menyebutkan tindakan apa saja yang dapat dilakukan melalui diskresi
temasuk mediasi penal, sehingga mediasi penal menjadi sangat terbatas untuk
dilakukan atau sangat tergantung pada pilihan kepolisian untuk melakukan atau
tidak melakukan mediasi penal. Konsekuensi dari hal ini maka kepolisian kerap
wewenang.
(Selanjutnya disebut Surat Kapolri 2009). Surat Kapolri ini pada dasarnya
Resolution (ADR) yakni pola penyelesaian masalah sosial melalui jalur alternatif
selain proses hukum atau non litigasi antara lain melalui upaya perdamaian yakni
(ADR).
perkara tersebut.
31
Menjadi sebuah awal yang sangat baik dengan munculnya Surat Kapolri
2009 dan Perkap No. 3 Tahun 2015 Tentang Pemolisian Masyarakat. Hal ini
tidaklah cukup karena Surat Kapolri 2009 dan Perkap No. 3 Tahun 2015 Tentang
bukan pada konteks legislasi namun melekat pada kewenangan kepolisian. Hal ini
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang memberi
restorative justice, selain itu juga dikenal adanya diversi dalam restorative justice
53
Perkap No. 3 Tahun 2015 Tentang Pemolisian Masyarakat dibentuk bukan
berdasarkan perintah dari Undang-Undang untuk melaksanakan mediasi penal sehingga bukan
termasuk Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang RI
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
54
Diversi menurut Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak
dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Undang-undang Sistem Peradilan
Pidana Anak ini dapat menjadi dasar bahwa mediasi penal juga dapat diterapkan, namun berlaku
juga untuk orang dewasa.
32
yang telah dilakukan oleh negara-negara yang menerapkan mediasi penal. Mediasi
Jerman dan Amerika Serikat, serta di berbagai negara lainnya yang akan diuraikan
menunjukkan dalam sebuah data (tahun 1999) bahwa Jerman merupakan negara
di Eropa yang paling banyak mempunyai program mediasi penal yaitu sejumlah
450 program. 55 Pasal 46a ke dalam StGB (KUHP) Jerman ditambahkan pada
tanggal 12 Januari 1994 yang menetapkan bahwa jika pelaku memberi ganti
rugi/kompensasi kepada korban secara penuh atau sebagian besar, atau telah
55
Mark S. Umbreit, 2001, The Handbook of Victim Offender Mediation (An Essential
Guide to Practice and Research), 1st edition, Jossey-Bass, San Francisco, California, h. xiv.
56
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, h. 30-31.
57
Alyssa H. Shenk, Op.Cit, h. 440.
33
programe atau program mediasi penal berkembang semakin luas. Beberapa tahun
berbagai negara dengan berbagai program. Mediasi penal berkembang tidak hanya
digunakan dalam tindak pidana ringan namun juga diperluas dapat diterapkan
satunya dengan mulai mengatur dan menerapkan mediasi penal dalam kejahatan
hukum pidana ke arah yang progresif dan responsif dalam sebuah model
yang telah penulis uraikan maka merupakan pendorong bagi penulis untuk
Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas,
2. Apakah yang menjadi dasar hukum mediasi penal dalam tindak pidana ringan
Sesuai dengan permasalahan yang dikaji, maka tujuan yang akan dicapai
diteliti. Adapun manfaat-manfaat yang akan diberikan dari hasil penelitian ini
hukum dan dapat memberikan sebuah inovasi baru. Manfaat utama dalam
memberikan sebuah konsep dan model mediasi penal yang ideal, yang dapat
diterapkan dalam penyelesaian kasus tindak pidana ringan. Hal ini akan
memberikan warna baru dalam pengembangan mediasi penal yang telah ada
dari ius constituendum (hukum yang diharapkan berlaku di masa yang akan
mediasi penal baik bagi masyarakat dan juga bagi penegak hukum yang
dalam penyelesaian tindak pidana ringan di masa yang akan datang (ius
bermanfaat bagi semua pihak yang dapat menjadi pedoman atau arahan
37
ringan di Indonesia.
Disertasi ini merupakan karya tulis asli dengan tanpa adanya unsur
kritik yang bersifat membangun. Orisinalitas penelitian dari disertasi ini akan
Semarang pada tahun 2011, dengan judul “Mediasi Penal Sebagai Alternatif
Rumusan Masalah:
perkara tindak pidana lingkungan hidup yang ideal dalam sistem hukum
pidana di Indonesia?
38
Kesimpulan :
perkara tindak pidana lingkungan hidup yang telah ada selama ini.
mediasi penal.
hidup.
39
proses pengadilan.
Penal.
penal.
pada umumnya.
Malang pada tahun 2014, dengan judul “Mediasi Penal Sebagai Alternatif
sebagai berikut :
Rumusan Masalah :
Hasil Penelitian :
korban secara aktif dan otonom. Korban tidak dilihat sebagai objek dari
saat ini, yakni: (1) dalam hukum pidana positif, mediasi penal sebagai
43
3. Disertasi yang ditulis oleh Wawan dari Universitas Islam Bandung pada
berikut :
Rumusan Masalah :
restorative justice.
Hasil penelitian :
menuntut gugur jika diselesaikan di luar proses serta dalam Pasal 111
tersangka.
4. Disertasi yang ditulis oleh Karim dari Universitas Airlangga Surabaya, pada
Rumusan Masalah :
Hasil Penelitian :
tetap dalam lingkup sistem peradilan pidana terpadu. Hal ini tidak
pihak publik.
sebagaimana yang telah diuraikan diatas tentu terlihat perbedaannya dari segi
fokus penelitian/objek yang diteliti. Disertasi pertama yang ditulis oleh Nirmala
Sari dari Universitas Diponogoro Semarang pada tahun 2011, dengan judul
hidup. Disertasi kedua, yang ditulis oleh Ahmad Syaufi dari Universitas
Brawijaya Malang pada tahun 2014, dengan judul “Mediasi Penal Sebagai
ditulis oleh Wawan dari Universitas Islam Bandung pada tahun 2015, dengan
47
Surabaya pada tahun 2015 dengan judul “Pertanggung Jawaban Pidana Pelaku
pertanggung jawaban pidana pelaku terhadap korban tindak pidana ringan dengan
pidana ringan, namun disertasi ini meneliti dan membentuk konstruksi mediasi
Penelitian disertasi ini berbeda dengan disertasi lainnya yang telah dibuat
pokok yaitu:
48
2. Apakah yang menjadi dasar hukum mediasi penal dalam tindak pidana ringan
obyek yang diteliti. Begitu pula terhadap penggunaan mediasi penal dalam
penelitian ini menunjukkan bahwa disertasi ini belum pernah diteliti atau dikaji,
dan teori-teori hukum yang akan digunakan sebagai landasan untuk membahas
masalah penelitian. Uraian ini akan membahas secara singkat landasan teoritis
yang akan dikembangkan dan diuraikan lebih mendalam dalam bab II disertasi ini.
pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan
yang konkrit yang terdapat dalam dan dibelakang setiap sistem hukum yang
49
umum dalam peraturan kongkrit tersebut. Asas hukum bukanlah kaedah hukum
yang konkrit, tetapi merupakan latar belakang peraturan yang konkrit dan bersifat
umum atau abstrak.58 Hal ini menunjukkan bahwa asas hukum merupakan latar
“Asas hukum adalah kaidah yang memuat ukuran (kriteria) nilai”. 59 Berdasarkan
diketahui bahwa asas hukum adalah suatu pemikiran yang mendasari adanya suatu
norma hukum.
(peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan), asas musyawarah mufakat
(kewenangan yang dimiliki Jaksa Agung untuk tidak menuntut suatu perkara
58
Sudikno Mertokusumo, 2008, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Cetakan Keempat,
Liberty Yogyakarta, Yogyakarta (Selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo I), h. 34.
59
J. J. H Bruggink, 1999, Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Arief Sidhartha, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, h. 123.
50
antara jenis, hierarki, dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan
1.6.1.2 Konsep
yang akan diteliti. Gejala tersebut biasanya dinamakan fakta sedangkan konsep
menjadi penentu bangunan teori. Dalam bahasa sehari-hari konsep adalah kata
dengan makna yang disepakati bersama. Konsep secara umum ini merupakan
“terma” dalam logika dan merupakan “istilah” dalam setiap perbincangan hukum.
Konsep berasal dari “com” yang berarti bersama dan “capere” yang berarti
60
Soerjono Soekanto, 2015, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, UI Press,
Jakarta, h.132.
51
blue sky concepts-nya dibandingkan dalam kajian-kajian ilmu alam kodrat. 61 Ilmu
hukum memiliki banyak konsep hukum yang tentunya bermanfaat dalam analisis
hukum yakni negara hukum formil dan materiil. Negara hukum formil adalah
negara yang didasarkan pada hukum dalam arti formal dan sempit yaitu Peraturan
ciri khas ke Indonesiaannya, oleh sebab itu Negara Hukum Indonesia dapat
dasar pokok dan sumber hukum. Negara Hukum Pancasila bertitik pangkal dari
asas kekeluargaan dan kerukunan sebagai dua asas yang terpadu. Dalam hal ini
61
Soetandyo Wignjosoebroto, 2013, Pergeseran Paradigma Dalam Kajian-Kajian
Sosial dan Hukum, Setara Press, Malang (Selanjutnya disebut Soetandyo Wignjosoebroto I), h. 2-
3.
62
Janedjri M. Gaffar, 2013, Demokrasi dan Pemilu di Indonesia, Cetakan Pertama,
Konstitusi Press, Jakarta, h. 45-46, Lihat juga JJ. Von Schimid, 1998, Pemikiran tentang Negara
dan Hukum, Jakarta, Erlangga, h. 7, Jimly Asshiddiqie, h. 56.
63
Janedjri M. Gaffar, Op.Cit,h. 57. Lihat, Moh. Mahfud MD, 1999, Hukum dan Pilar-
Pilar Demokrasi, Cetakan Pertama, Gama Media Offset, Yogyakarta (Selanjutnya disebut Moh.
Mahfud MD I), h. 127.
52
diketahui bahwa Negara Hukum Indonesia adalah Negara Hukum Pancasila yang
konsep negara hukum materiil dan Negara Hukum Pancasila tepat digunakan
untuk membahas masalah pertama dalam disertasi ini. Konsep negara hukum
dari Barda Nawawi Arief dan Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pidana dari
Andi Hamzah yang akan dijelaskan dalam Teori Kebijakan Hukum Pidana/Politik
Hukum Pidana (Penal Policy) dari M. Cherif Bassiouni dan Barda Nawawi Arief.
Hal ini dikarenakan Konsep Pembaharuan Hukum Pidana adalah salah satu
bentuk kebijakan hukum pidana sehingga akan dibahas sebagai satu kesatuan
secara sistematis.
1.6.1.3 Doktrin
64
Nurul Qamar, 2013, Hak Asasi Manusia Dalam Negara Hukum Demokrasi, Cetakan
Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, h. 47-48.
53
doktrin hukum yang digunakan dalam disertasi ini, salah satunya adalah doktrin
dari Lilik Mulyadi mengenai mediasi penal dalam praktik. Sebagaimana yang
mediasi penal telah terjadi di masyarakat Indonesia dan dapat ditemukan dalam
hukum adat di Indonesia. Doktrin ini digunakan untuk memperkuat analisis dalam
yang berjudul General Theory of Law & State Hans Kelsen membahas mengenai
hukum dan perdamaian (law and peace). Hans Kelsen menyatakan bahwa:
65
Sudikno Mertokusumo I, Op.Cit, h. 116.
66
Hans Kelsen, 1949, General Theory of Law & State, terjemahan Anders Wedberg,
Oxford University Press, London, (Selanjutnya disebut Hans Kelsen I), h. 22.
54
Pandangan dari Hans Kelsen ini dapat dijadikan dasar bahwa perdamaian dalam
hukum dimungkinkan dan masyarakat memiliki peranan yang sangat besar dalam
melalui perdamaian.
1.6.1.4 Yurisprudensi
1996.
tanggal 1 Maret 2014, dengan hakim ketua: Roedy Suharso, S.H, M.H.
67
Hans Kelsen, 2015, General Theory of Law & State; Teori Umum Tentang Hukum dan
Negara, terjemahan Raisul Muttaqien, Cetakan kesembilan, Nusa Media, Bandung (Selanjutnya
disebut Hans Kelsen II), h. 27-28.
55
tanggal 1 April 2015 dengan hakim ketua sidang: Haruno Patriadi, SH., MH.
mediasi penal, diantaranya yakni penelitian yang dilakukan oleh Lilik Mulyadi
pada Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI yang dilakukan pada
bulan Mei-Juni 2011 dengan judul “Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana
keberadaan mediasi penal antara “ada” dan “tiada”. Dikatakan ada karena
praktik mediasi penal telah dilakukan. Dikatakan tiada karena mediasi penal
68
Hasil Penelitian ini dituangkan dalam sebuah buku dengan judul “Mediasi Penal
Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia”, lihat Lilik Mulyadi, Op.Cit, h. iii.
69
Lilik Mulyadi, Op.Cit, h. 105-108.
56
terhadap perkara yang sifatnya ringan, kecil, bersifat pribadi, dan dilakukan
oleh pelaku dalam masa psikologis masih relatif baru berkembang sehingga
adalah penelitian yang dilakukan oleh James Hasudungan Hutajulu dengan judul
oleh beberapa hal, yaitu: pertama, untuk menciptakan rasa keadilan terhadap
para pihak yaitu: saksi, korban, dan tersangka, sehingga masyarakat puas atas
pelayanan yang dilakukan oleh penyidik Polres Malang Kota, karena tidak
70
Penelitian ini dituangkan dalam sebuah Jurnal. Lihat James Hasudungan Hutajulu,
Op.Cit, h. 402.
57
terhadap Polri karena ada sebagian korban yang sebenarnya hanya ingin agar
mediasi penal masyarakat percaya bahwa Polri dapat menjadi mediator dalam
2) Pelaksanaan mediasi penal yang dilakukan oleh Polres Malang Kota dalam
pengembalian barang yang dicuri oleh pelaku atau ganti kerugian lainnya.
Jan Gijssels dan Mark Van Hoecke menyatakan bahwa, “Meer konkreet
teori akan berhubungan dengan kesatuan pandang yang logis dan koheren
71
Jan Gijssels dan Mark Van Hoecke, 1982, Wat is Rechtstheorie?, Kluwer
Rechtswetenschappen, Antwerpen, h.134.
58
diketahui bahwa teori hukum adalah teori-teori mengenai hukum yang merupakan
kajian dan pisau analisis dalam disertasi ini diantaranya yakni: teori keadilan, teori
pertanggaan atau teori jenjang norma (stufenbau theory), teori kebijakan hukum
pidana/politik hukum pidana (penal policy), teori hukum responsif dan teori
hukum progresif.
Apabila dikaji dari berbagai teori keadilan yang ada, teori keadilan yang
relevan digunakan untuk membahas permasalahan dalam disertasi ini adalah teori
keadilan dari John Rawls, keadilan Pancasila, dan teori keadilan restoratif
(restorative justice) dari Howard Zehr dan Ali Gohar. Teori keadilan dari John
Rawls dan keadilan Pancasila ini sangat terkait dengan permasalahan pertama
dalam disertasi ini, sehingga dapat digunakan sebagai dasar analisis permasalahan
pertama. Teori keadilan restoratif (restorative justice) dari Howard Zehr dan Ali
Gohar dapat digunakan sebagai pijakan atau arah dalam pembentukkan konstruksi
mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana ringan, sehingga tepat digunakan
sependapat dengan Priyono bahwa teori keadilan John Rawls ini dipandang
59
sebagai teori yang paling komprehensif sampai saat ini dan sangat terkait dengan
ekonomi dan sosial dalam mencapai keadilan sosial. John Rawls memberikan
disertasi ini.
Hal ini menunjukkan bahwa John Rawls mengemukakan dua prinsip keadilan.
Prinsip pertama, menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama atas
kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang.
Prinsip kedua menyatakan bahwa ketimpangan sosial dan ekonomi harus diatur
sedemikian rupa sehingga (a) dapat diharapkan memberi keuntungan bagi semua
orang, dan (b) semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang.73
menunjukkan bahwa setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan yang
paling luas dan untuk mencapai itu perlu dilakukan penyetaraan untuk mencapai
72
John Rawls, 1971, A Theory of Justice, The Belknap Press of Harvard of Harvard
University Press, Cambridge Massachusetts, America (Selanjutnya disebut John Rawls I), h. 60.
73
John Rawls, 2011, A Theory of Justice; Teori Keadilan, terjemahan Uzair Fauzan dan
Heru Prasetyo, Pustaka Pelajar, Yogyakarta (Selanjutnya disebut John Rawls II), h, 72.
60
dan membuka kesempatan atau akses bagi semua orang untuk mendapatkan posisi
dan jabatan. Hal inilah yang akan mengatur ketimpangan sosial ekonomi
dalam prinsip kedua). Teori keadilan dari John Rawls berorientasi pada keadilan
keadilan Pancasila yang mengacu pada sila kedua dan sila ke lima Pancasila yakni
Kemanusiaan yang adil dan beradab dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Kedua sila tersebut juga terlefleksikan atau juga terkait dengan sila-sila
lainnya sehingga menjadi kesatuan yang utuh untuk dapat memenuhi rasa
74
Barda Nawawi Arief, 2015, yang disampaikan pada kuliah umum di Fakultas Hukum
Universitas Udayana, Bali (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief II).
61
dilakukan untuk dapat mencapai rasa keadilan masyarakat atau bangsa Indonesia.
keadilan bagi korban, pelaku, dan juga bagi masyarakat luas, oleh sebab itu
permasalahan ketiga dalam disertasi ini. Menurut Howard Zehr dan Ali Gohar
“Restorative justice is a process to involve, to the extent possible, those who have
a stake in a specific offense to collectively identify and address harms, needs and
pendapat ini dapat diketahui bahwa konsep restorative justice ini melibatkan
(restorative justice), yang ditegaskan dalam sembilan bukan atau dengan istilah
“restorative justice is not ...”.77 Kesembilan prinsip ini dapat dijadikan pedoman
75
Bahder Johan Nasution, 2011, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, CV. Mandar
Maju, Bandung, Op.Cit, h. 109.
76
Ibid, h. 40.
77
Howard Zehr, 2002, The Little Book of Restorative Justice, Good Books,
Pennsylvania, h. h. 8-13.
62
dan dasar analisis dalam membentuk kontruksi mediasi penal dalam penyelesaian
tindak pidana ringan di Indonesia, sehingga mediasi penal dapat menjiwai hakikat
1.6.1.6.2 Teori Jenjang Norma (Stufentheorie) dari Hans Kelsen dan Hirarki
Peraturan Perundang-undangan
mengenai the hierarchy of the norms atau tata urutan norma-norma. Terkait the
hierarchy of the norm Hans Kelsen memaparkan tata urutan norma, dari norma
yang lebih tinggi (the superior norm) dan norma yang lebih rendah (the inferior
norm) sebagaimana yang diuraikan dalam bukunya yang berjudul General Theory
Law regulates its own creation inasmuch as one legal norm determines the
way in which another norm is created, and also, to some extent, the contents
of that norm. Since a legal norm is valid because it is created in a way
determined by another legal norm, the latter is the reason of validity of
another norm and this other norm may be presented as a relationship of
super- and sub-ordination, which is a spatial figure of speech. The norm
created according to this regulation, the inferior norm.78
78
Hans Kelsen I, Op.Cit, h. 124.
63
norma lain adalah norma yang lebih tinggi, sedangkan norma yang dibentuk
menurut peraturan ini adalah norma yang lebih rendah).79
Teori Stufenbau Theory dari Hans Kelsen ini melihat hukum sebagai
suatu sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida. Norma yang
lebih rendah memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi.
Semakin tinggi suatu norma akan semakin abstrak sifatnya dan sebaliknya,
yang paling tinggi, yang menduduki puncak piramida disebut Kelsen dengan
nama Grundnorm (norma dasar).80 Teori Stufenbau Theory dari Hans Kelsen ini
memerlukan sebuah kebijakan hukum pidana sebagai arah dan pedoman agar
konstruksi tersebut dapat berlaku sebagai hukum positif yang efektif. Berdasarkan
hal ini digunakanlah teori kebijakan hukum pidana/politik hukum pidana (penal
policy) dari M. Cherif Bassiouni dan Barda Nawawi Arief, karena teori ini relevan
dengan kondisi hukum di Indonesia. Melalui teori ini akan dibentuk sebuah
79
Hans Kelsen II, Op.Cit, h. 179.
80
Darji Darmodiharjo dan Sidartha, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum (Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, h.116.
64
penyelesaian kasus tindak pidana ringan yang baik dan dapat diterapkan di
ketiga.
menyatakan bahwa:
salah satu scientific device yang akan digunakan sebagai alternatif dari pendekatan
laden value judgment approach) yang sebagian besar diikuti oleh badan legislatif.
81
Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana; Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru, Cetakan Pertama, Semarang (Selanjutnya disebut Barda
Nawawi Arief III), h. 24.
82
M. Cherif Bassiouni, 1978, Substantive Criminal Law, Thomas, USA, h. 83.
65
criminal law is not only pragmatic but also value-based and value-oriented”.83
Berdasarkan pendapat dari M. Cherif Bassiouni ini dapat diketahui bahwa disiplin
hukum pidana tidak hanya pragmatis, tetapi juga suatu disiplin yang berdasar dan
berorientasi pada nilai (not only pragmatic but also value-based and value-
oriented). Sebagai salah satu bentuk kebijakan hukum pidana maka akan
diuraikan Konsep Pembaharuan Hukum Pidana dari Barda Nawawi Arief dan
Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pidana dari Andi Hamzah yang akan
dalam konsep rancangan KUHP. Terkait dalam disertasi ini, salah satunya adalah
pardon" atau''judicial pardon), sehingga konsep tidak kaku dan bersifat absolut.84
maaf ("rechterlijk pardon") berarti bahwa hakim tidak menjatuhkan sanksi pidana
83
Ibid, h. 78.
84
Barda Nawawi Arief, 2011, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian
Perbandingan, Cetakan Kedua, PT Citra Aditya Bakti, Bandung (Selanjutnya disebut Barda
Nawawi Arief IV), h. 1.
85
Barda Nawawi Arief III, Loc.Cit.
66
pemidanaan ini bertolak dari pemikiran bahwa sistem hukum pidana merupakan
satu kesatuan sistem yang bertujuan ("purposiv system") dan pidana hanya
terarah.
Penyusunan RUU KUHAP yang diketuai oleh Andi Hamzah banyak hal-hal baru
86
Barda Nawawi Arief III, Op.Cit, h. 18.
87
Barda Nawawi Arief III, Op.Cit, h. 20.
67
hanya perkara yang tidak berat, dan penuntut umum yang memutuskan karena
dalam perkara pidana yang menjadi pihak ialah pelaku berhadapan dengan negara
yang diwakili oleh jaksa. Dalam Rancangan KUHAP delik yang diancam dengan
pidana penjara empat tahun dan bagi tersangka yang berumur 70 tahun ke atas,
lima tahun ke bawah. Syarat lain, tersangka bukan residivis, motif ringan,
relevan dan sangat tepat untuk mencapai rasa keadilan bagi masyarakat.
Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pidana dari Andi Hamzah tepat digunakan
ringan sejalan dengan apa yang digariskan dalam Rancangan KUHP dan
Rancangan KUHAP sebagai cerminan dari ius contituendum (hukum yang dicita-
citakan) Indonesia.
1.6.1.6.4 Teori Hukum Responsif dari Philippe Nonet dan Philip Selznick,
serta dilengkapi dengan Teori Hukum Progresif dari Satjipto
Rahardjo
88
Andi Hamzah, 2016, “Pembaharuan Hukum Acara Pidana” dalam Jufrina Rizal dan
Suhariyono AR (ed), Demi Keadilan Antologi Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana; Enam
Dasawarsa Harkristuti Harkrisnowo, Pustaka Kemang, Jakarta. h. 324-325.
68
surender. Conversely, a lack of purpose lies at the root of both regidity and
opportunism. These maladies, in fact, involve each other and coexist. A
formalist, rule-bound institution is ill equipped to recognize what is really at
stake in its conflicts with the environment. It is likely to adapt
opportunistically because it lack criteria for rational reconstruction of out
moded or inappropriate policies. Only when an institution is truly purposive
can there be a combination of integrity and openness, rule and discretion.
Hence, responsive law presumes that purpose can be made objective
enaough and authoritative enought to control adaptive rule making.89
Teori responsif dari Philippe Nonet dan Philip Selznick pada intinya
untuk mengkritisi praktik yang sudah mapan, dan membuka jalan untuk
oportunisme. Suatu institusi yang formalis, yang terikat pada peraturan, menjadi
zaman atau sudah tidak layak lagi diberlakukan. Hukum responsif beranggapan
bahwa tujuan dapat dibuat cukup obyektif dan cukup otoritatif untuk mengontrol
kebutuhan masyarakat, karena peran dari hukum responsif salah satunya yakni
89
Philippe Nonet dan Philip Selznick, 1978, Law and Society in Transition : Toward
Responsive Law, Harper & Row, London (Selanjutnya disebut Philippe Nonet dan Philip Selznick
I), h.77.
90
Philippe Nonet dan Philip Selznick, 2015, Hukum Responsif, terjemahan Raisul
Muttaqien, Nusa Media, Bandung (Selanjutnya disebut Philippe Nonet dan Philip Selznick II), h.
87-88.
69
dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Teori ini diharapkan mampu menjadi
dasar analisis perlunya mediasi penal di Indonesia dan sebagai sarana yang akan
disertasi ini.
dari Satjipto Rahardjo dilhami dari teori hukum responsif dari Philippe Nonet dan
Philip Selznick, sehingga tepat untuk dijadikan kajian dalam melengkapi teori
asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Hukum
progresif tidak menerima hukum sebagai institusi yang mutlak dan final, namun
sarat dengan birokrasi serta ingin membebaskan diri dari dominasi tipe hukum
yang liberal. Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada
ideal hukum dan menolak status-quo. Hukum progresif tidak ingin menjadikan
70
hukum sebagai teknologi yang tidak memiliki nurani, melainkan suatu institusi
yang bermoral.91
dengan asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya,
maka hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih
luas dan lebih besar. Satjipto Rahardjo juga menyatakan bahwa hukum adalah
institusi yang secara terus menerus membangun dan mengubah dirinya menuju
pada tingkat kesempurnaan yang lebih baik, yakni yang diverifikasikan ke dalam
Inilah hakekat “hukum yang selalu dalam proses menjadi”. Hukum akan selalu
berada dalam status law in the making. 92 Teori hukum progresif dari Satjipto
91
Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum Progresif, Cetakan Pertama, Genta Publising,
Yogyakarta (Selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo II), h. 1.
92
Ibid, h. 5-17.
71
Landasan filosofis,
sosiologis, yuridis, Konstruksi Mediasi Penal Dalam Penyelesaian
ideologis. Tindak Pidana Ringan
Aspek ontologi, di Indonesia
epistemologi, dan
aksiologi
penelitian hukum yang meneliti kaidah atau norma. 93 Menurut Peter Mahmud
kesenjangan norma dalam disertasi ini, oleh sebab itu penelitian ini akan dikaji
konteks permasalahan atau isu yang dikaji, maka digunakan berbagai pendekatan.
Disertasi ini menggunakan lima jenis pendekatan yakni pendekatan kasus (the
93
Sudikno Mertokusumo, 2014, Penemuan Hukum, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta
(Selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo II), h.37.
94
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, h. 35.
73
dengan cara menelaah kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi dan
telah menjadi putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
Bagian dalam putusan pengadilan yang menjadi kajian pokok dalam pendekatan
kasus adalah ratio decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan atau
alasan-alasan hukum yang digunakan hakim untuk sampai pada putusannya. Ratio
pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap yang berkaitan dengan
permasalahan yang dikaji (kasus tindak pidana ringan). Pendekatan kasus ini
isu hukum yang terjadi. Analisis (berupa solusi) akan dituangkan dalam dalam
95
Ibid, h. 93-119.
74
melihat bentuk peraturan, namun juga menelaah materi muatannya. Peneliti juga
undangan (the statute approach) karena objek yang dikaji atau yang diteliti adalah
yang ada, serta melakukan pengkajian mengenai dasar ontologis lahirnya undang-
undang, landasan filosofis, dan ratio legis dari ketentuan undang-undang yang
terkait.
96
Ibid, h. 93-102.
75
yang dihadapi.97
penyusunan analisis dan argumentasi, selain itu juga sangat bermanfaat di dalam
mengenai isu yang dihadapi. Hal ini diperlukan jika peneliti jika ingin
mengungkap filosofis dan pola pikir yang melahirkan suatu yang sedang
dipelajari.98
penting untuk diketahui sebagai awal dalam membentuk sebuah model baru dalam
namun juga perkembangannya hingga saat ini yang akan sangat bermanfaat dalam
membangun sebuah konstruksi untuk hukum yang berlaku pada masa yang akan
97
Ibid, h. 95.
98
Ibid, h. 94.
76
negara lain atau hukum dari suatu waktu tertentu dengan hukum pada waktu yang
lain. Selain itu, juga membandingkan suatu putusan pengadilan untuk masalah
yang sama. Hal ini bermanfaat untuk penyingkapan latar belakang terjadinya
ketentuan hukum tertentu untuk masalah yang sama dari dua negara atau lebih
peraturan perundang-undangan.99
Kontinental (Civil Law) yakni Belanda dan Jerman, sistem hukum Anglo Saxon
(Common Law) diantaranya adalah negara Amerika Serikat dan Inggris, sistem
pengkajian komparasi dalam disertasi ini karena dapat mewakili keberadaan dan
disertasi ini karena banyak manfaat yang diperoleh, terutama dapat memberikan
99
Ibid, h. 132-133.
77
memberikan ide-ide dalam menemukan model mediasi penal yang sesuai untuk
negara lainnya. Penulis dapat mengadopsi hal-hal positif dari hasil pengkajian
melalui perbandingan hukum, namun tentu hal yang diadposi adalah yang sesuai
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :
a) Bahan hukum primer. Dalam penelitian ini dapat berupa bahan-bahan hukum
yang mengikat yang dalam penelitian ini terdiri dari peraturan dasar,
a) Pancasila.
3209).
Nomor 3872).
4168).
5332).
Nomor 5601).
KUHP.
instrumen internasional.
pendapat para pakar hukum (doktrin), buku-buku hukum (text book), dan
secara sistematis. Bahan-bahan hukum sekunder yang terkait dalam penelitian ini
bahwa cara atau teknik “snow ball” dilakukan dalam pengumpulan bahan hukum
sekunder karena sangat minimnya referensi tentang hal yang dibahas. Dalam hal
menjaga kedalaman kajian dan tetap fokus pada permasalahan yang dikaji, cara
atau teknik “snow ball” disusun secara sistematik. 100 Teknik ini pengumpulan
bahan hukum secara sistematis dan metode bola salju digunakan dalam disertasi
relevan.
ini dianalisis dengan menggunakan teknik analisis bahan hukum. Teknik analisis
memaparkan apa adanya tanpa disertai tanggapan atau pendapat pribadi peneliti.
100
M. Hadin Muhjad dan Nunuk Nuswardani, 2012, Penelitian Hukum Indonesia
Kontemporer, Cetakan Pertama, Genta Publising, Yogyakarta, h. 51.
81
tentang suatu peristiwa hukum atau kondisi hukum. 101 Teknik ini digunakan
dalam disertasi ini karena telah menjadi teknik dasar dalam analisis bahan hukum
yang selalu digunakan dan tidak dapat dihindari penggunaannya karena bersifat
berbagai pandangan juris atau ahli hukum ini diperlukan untuk kemudian
peneliti. 102 Teknik komparatif digunakan dalam disertasi ini untuk menemukan
kebenaran dari berbagai pandangan dalam bahan hukum sekunder yang ada.
kontra akan dievaluasi dan hasil evaluasi kemungkinan bahwa peneliti menyetujui
salah satunya dan menolak yang lainnya atau peneliti tidak setuju terhadap
keduanya. 103 Teknik ini tentu diperlukan dalam disertasi ini untuk menentukan
pendapat atau pandangan ahli hukum yang dapat digunakan dalam membahas
permasalahan.
101
Pasek Diantha, 2016, Metodelogi Penelitian Hukum Normatif; Dalam Justifikasi
Teori Hukum, Cetakan Pertama, Prenada Media Group, Jakarta, h. 152.
102
Ibid, h. 153.
103
Ibid, h. 153-154.
82
mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat diterapkan pada
peristiwa hukum tertentu”.104 Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa teknik ini
tentu sangat perlu digunakan dalam penelitian hukum normatif, terutama dalam
jelas, tidak lengkap, tidak tuntas). Teknik interpretasi yang digunakan dalam
lingkaran undang-undang.
maka pembacaan terhadap teks hukum menjadi masalah yang penting, sehingga
aktivitas yang mutlak terbuka untuk dilakukan. Muncul pandangan bahwa kalimat
104
Sudikno Mertokusumo II, Op.Cit, h. 169.
83
dijangkau adalah suatu makna yang lebih dalam lagi, katakanlah: keadilan. Setiap
kali membaca peraturan, maka setiap kali pula kita harus mencari makna lebih
dalam yang ada dalam peraturan tersebut. 105 Hal ini menunjukkan bahwa
dalam hal ini berarti penafsiran tidak lagi rulebound, melainkan keluar dari logika
diatur oleh hukum yang cacat, oleh sebab itu diperlukan cara-cara untuk
105
Satjipto Rahardjo II, Op.Cit, h. 116-117. Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa dalam
tradisi civil law, hukum adalah tertulis, maka semua penalaran akan dikembalikan kepada “a finite
closed scheme of permissible justification”, yang tidak lain adalah teks tertulis. Hal ini
mengakibatkan bahwa teks tersebut harus ditafsirkan, sedangkan alam dan kehidupan sosial bukan
suatu “scheme” yang “finite closed”, melainkan terus berubah, bergerak secara dinamis. Dalam
common law, penafsiran hukum tidak menjadi begitu mendesak, karena dalam common law yang
tidak tertulis ini seperti yang dikemukakan oleh Twining, tidak “finite closed”. Common law pada
dasarnya, tidak ada teks yang harus ditafsirkan. Common law pada hakikatnya dibangun dari
penafsiran kejadian berlangsung terus menerus dari waktu ke waktu. Penafsiran mengalir secara
alami, Lihat Satjipto Rahardjo II, Op.Cit, h. 118-120.
106
Satjipto Rahardjo II, Op.Cit, h. 123.
107
Satjipto Rahardjo II, Loc.Cit.
84
membaca kenyataan atau apa yang terjadi di masyarakat. Kedua pembacaan ini
progresif adalah pemberian makna terhadap teks peraturan dan karena itu tidak
proses hukum sebagai proses pembebasan terhadap suatu konsep yang kuno yang
simbol bagi kenyataan dan dinamika kehidupan. Hukum memandu dan melayani
dinamika”, antara “peraturan” dan “jalan yang terbuka”. Dalam konteks ini,
bagian dari tugas memandu dan melayani masyarakat. Semua alam pikiran hukum
undang-undang yang statis, kaku, dengan masa kini dan masa depan. Hukum tidak
dapat bergayut kebelakang melainkan ke masa kini dan depan. Itulah hakikat
108
Satjipto Rahardjo II, Op.Cit, h. 127-128.
109
Satjipto Rahardjo II, Op.Cit, h. 134-135.
85
secara luas menjadi berlaku secara lebih sempit atau khusus. 110 Teknik konstruksi
juga diperlukan dalam penelitian disertasi ini terutama dalam menganalisis bahan
hukum primer.
dari argumentasi adalah penalaran atau reasoning atau penjelasan yang masuk
akal. Sebelum sampai pada tingkat nalar diupayakan terlebih dahulu membuat
ulasan, telaah kritis atas berbagai pandangan dalam bentuk komparasi untuk
menggiring opini ke arah terbangunnya nalar. 111 Teknik ini digunakan dalam
disertasi ini karena memiliki peranan yang penting untuk membangun analisis
110
Pasek Diantha, Op.Cit, h. 154.
111
Pasek Diantha, Op.Cit, h. 155.
86
BAB II
KAJIAN TEORITIK
terlebih dahulu mengenai pengertian mediasi yang secara umum dikenal dalam
bidang hukum perdata. Hal ini akan memudahkan dalam memahami mediasi
keduanya juga memiliki prinsip dasar yang sama yakni sama-sama melibatkan
Perkembangan mediasi penal di bidang hukum pidana juga tidak bisa dilepaskan
dari mediasi sebagai alternatif penyelesaian perkara yang digunakan dan telah
proses penyelesaian suatu sengketa secara damai yang melibatkan bantuan pihak
dua pihak”.112 Mediasi dalam Kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai, “Proses
112
M. Marwan dan Jimmy P., 2009, Kamus Hukum; Dictionary of Law Complete
Edition, Cetakan Pertama, Reality Publisher, Surabaya, h. 426.
86
87
suatu perselisihan”.113 Pengertian mediasi dalam kamus hukum dan kamus Bahasa
berasal dari bahasa latin, mediare yang berarti berada di tengah. Makna mediasi
ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam
Mediator yang berada di tengah juga bermakna bahwa mediator harus berada pada
posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Mediator harus
mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama,
Penjelasan mediasi secara etimologi atau dari sisi kebahasaan lebih menekankan
pada keberadaan pihak ketiga yang menjembatani para pihak bersengketa untuk
para pihak yang dilakukan dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang netral
dan tidak memihak sebagai fasilitator, dalam mediasi keputusan untuk mencapai
suatu kesepakatan tetap diambil oleh para pihak itu sendiri, tidak boleh mediator.
113
Windy Novia, tanpa tahun terbit, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Kashiko,
Surabaya, h. 348.
114
Syahrizal Abbas, 2009, Mediasi; Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, Cetakan Kedua, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 2.
88
ketiga. Pihak ketiga inilah yang menyingsingkan lengan bajunya dan bertindak
untuk kedua belah pihak dalam menegosiasikan suatu sengketa.115 Pandangan ini
proses perdamaian demi tercapainya hasil akhir yang adil, dengan demikian
proses mediasi juga dapat membawa keadilan karena berdasarkan pada hasil
hukumnya, bidang hukum perdata bersifat privat sedangkan bidang hukum pidana
bersifat publik. Mediasi dalam bidang hukum perdata merupakan salah satu
(ADR). Penjelasan mediasi dalam bidang hukum perdata selanjutnya akan dibahas
115
I Made Widnyana, 2014, Alternatif Penyelesaian Sengketa & Arbitrase, Cetakan
Ketiga, PT. Fikahati Aneska, Jakarta, h. 116.
116
Priyatna Abdurrasyid, 2011, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS);
Suatu Pengantar, Cetakan Kedua, Fikahati Aneska Bekerja Sama dengan Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI), Jakarta, h. 35.
89
adjudikatif.
pada dasarnya mediasi penal juga merupakan sebuah alternatif penyelesaian kasus
di luar pengadilan dengan melibatkan pihak ketiga sebagai mediator, hanya saja
istilah mediasi penal kerap digunakan dalam bidang hukum pidana bukan perdata.
mediation in criminal cases atau mediation in penal matters yang dalam istilah
pelaku tindak pidana dengan korban, oleh sebab itu mediasi penal ini sering juga
negara, ada kecenderungan kuat untuk menggunakan mediasi pidana atau mediasi
penal sebagai salah satu alternatif penyelesaian masalah di bidang hukum pidana.
117
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, h. 1.
90
pidana dan perdata tidak begitu besar dan perbedaan itu menjadi tidak
berfungsi.118 Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa mediasi penal sudah
Barda Nawawi Arief menguraikan bahwa mediasi penal bertolak dari ide
dan mendorong mereka terlibat dalam proses komunikasi, hal ini didasarkan
Mediasi penal lebih berorientasi pada kualitas proses daripada hasil, yaitu:
sebagainya.
118
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, h. 4.
91
d. Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and Autonomous
Participation -Parteiautonomie/Subjektivie-rung)
Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai objek dari prosedur
kehendaknya sendiri.119
Mediasi penal atau sering juga dikenal dengan istilah Victim Offender
Mediation (VOM) juga diuraikan oleh Mark S. Umbreit. Mark S. Umbreit dalam
justice and, by far, the most widespread in North America”.120 Berdasarkan hal
tersebut dapat diketahui bahwa Victim Offender Mediation merupakan salah satu
dari restorative justice, hal ini juga dinyatakan oleh Carmel Benjamin AM dan
mengemukakan bahwa:
119
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, h.5-7, lihat juga Stefanie Tränkle, The Tension
between Judicial Control and Autonomy in Victim-Offender Media-tion - a Microsociological
Study of a Paradoxical Procedure Based on Examples of the Mediation Process in Germany and
France, http://www. iuscrim.mpg.de/forsch/krim/traenkle_ e.html, dibuka pada tanggal 6 April
2017 diakses pukul 17.05 WITA.
120
Mark S. Umbreit, Op.Cit, h. xvi.
92
have caused. These, together with a goal of increased community well being
through direct involvement with the rehabilitation and reintegration of both
parties back into society, are at the heart of restorative justice.121
bahwa Victim Offender Mediation adalah suatu proses peradilan restoratif. Victim
mengemukakan bahwa:
121
Carmel Benjamin AM and Victoria, 1999, Why Is Victim/Offender Mediation
Called Restorative Justice?, Paper presented at the Restoration for Victims of Crime Conference
convened by the Australian Institute of Criminology in conjunction with Victims Referral and
Assistance Service and held, Melbourne, September 1999, h. 3.
122
Joana Marques Vidal, 2008, Restorative Justice and Victims of Crime; Terjemahan:
Consenso Global, Lda, Portuguese Association for Victim Support – APAV, Portugal, h. 9.
93
Korban dan pelaku kejahatan memang menjadi pihak yang penting dalam
123
Mark S. Umbreit, Op.Cit, h. xxxviii.
94
People who have been victimized by crime have been able to play an active
role in the justice process, receive direct information about the crime,
express their concerns about the full impact of the criminal behavior on
their lives, and negotiate with the offender a mutually acceptable plan for
restoring losses to the greatest extent possible. Individuals who have
committed criminal acts have been able to gain a far better understanding
of the real human impact of their actions, “own up” to their behavior, and
have the opportunity for making amends directly to the person they harmed.
Family members or other support persons who are often present also have
an opportunity to become involved and to express their concerns. Both
victim and offender can gain a greater sense of closure and the ability to
move on with their lives.124
mengenai posisi atau peran korban dan pelaku dalam proses mediasi. Secara
singkat dapat dikatakan bahwa dalam proses mediasi korban dapat menunjukkan
akibat dari kejahatan bagi korban dan korban dapat berpartisipasi dalam rencana
124
Mark S. Umbreit, Op.Cit, h. xxxviii – xxxviiii.
95
Anggota keluarga atau orang pendukung lainnya yang sering hadir juga memiliki
menyatakan bahwa:
bahwa telah tercapai kesepakatan. Program lain kasus dirujuk terutama setelah ada
penal atau yang dikenal juga dengan istilah Victim Offender Mediation (VOM).
Berdasarkan berbagai pengertian dan uraian dari mediasi penal dapat diketahui
125
Mark S. Umbreit, Op.Cit, h. xxxix.
126
Beberapa program menerima rujukan kasus baik di tingkat pengalihan dan di tingkat
post adjudication. Judges, probation officers, victim advocates, prosecutors, defense attorneys,
atau police dapat mengajukannya ke program victim offender mediation. Kebanyakan kasus,
rujukan ke mediasi dimulai oleh orang terhubung dengan pelaku atau dengan sistem peradilan
pidana. Terkadang korban ingin mengejar mediasi tanpa menerima kontak tersebut. Korban
biasanya memasuki proses melalui program local victim services, menghubungi local probation
department mereka, atau langsung menghubungi lembaga peradilan pidana (criminal justice
agency) tertentu yang menangani kasus. Lihat, Mark S. Umbreit, Op.Cit, h. xxxix.
96
penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan. Mediasi penal juga dapat disebut
dinyatakan oleh Jeff Latimer Senior Research Officer & Steven Kleinknecht
Review of The Empirical” di Canada menyatakan bahwa, “In 1974, the first
charged with vandalism met with their victim s to establish restitution agreements.
Since that time, a number of similar programs have been developed throughout
penal atau victim-offender mediation pertama kali ada di Kanada, ketika dua
ganti rugi. Sejak itu sejumlah program serupa telah dikembangkan di seluruh
mediasi penal atau yang dikenal dengan nama Victim Offender Mediation
127
Jeff Latimer & Steven Kleinknecht, 2000, The Effects of Restorative Justice
Programming: A Review of The Empirical, Department of Justice Canada, Research and Statistics
Division, Department of Justice Canada, h. 5.
97
Uraian ini menyatakan bahwa sejarah atau asal usul Victim Offender Mediation
(kasus) terjadi di Elmira, beberapa mil utara dari Kitchener, Ontario, pada bulan
justice reform.
Uraian ini menjelaskan bahwa telah terjadi sebuah kasus perusakan properti
(property damage) yang menjadi awal mula kehadiran mediasi penal di Kanada.
Elmira, Kanada, yang telah diuraikan oleh Mark S. Umbreit menunjukkan bahwa
pada kasus tersebut terdapat dua orang pemuda yang mengaku bersalah terhadap
probation officer dan a colleague of his with the Mennonite Central Committee di
128
Mark S. Umbreit, Op.Cit, h. xlii.
129
Mark S. Umbreit, Op.Cit, h. xlii-xliii.
98
perdamaian dasar dalam menyelesaikan konflik di antara anak-anak muda dan dua
puluh dua orang mereka telah menjadi korban. Dapat dikatakan bahwa kasus
kerusakan properti (property damage) inilah yang menjadi awal mula kehadiran
(dua puluh dua) korban untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi melalui
konsep perdamaian.
yang dilakukan oleh dua orang pemuda terhadap 22 (dua puluh dua) orang
to the court that these two offenders go back and meet every single person they
had victimized and assess how much loss occurred.”.130 Berdasarkan hal ini dapat
tersebut kembali dan bertemu korban dan menilai berapa banyak kerugian yang
terjadi.
damage ini Mark S. Umbreit selanjutnya menyatakan bahwa, “The judge ordered
a onemonth remand in order to allow these two young men to meet their victims,
with the help of their probation officer and his colleague from the Mennonite
130
Mark S. Umbreit, Op.Cit, h. xliii.
131
Mark S. Umbreit, Loc.Cit.
99
dengan bantuan probation officer dan rekan kerjanya dari Mennonite Central
Committee.
Umbreit menyatakan bahwa, “After the offenders had met with their victims and
gained a more human understanding of the impact of their criminal behavior, the
judge sentenced them to probation and required them to pay restitution to the
victims. Three months later, the offenders again visited each victim and handed
each a check for the amount of his or her loss”.132 Hal ini menunjukkan bahwa
setelah pelaku bertemu dengan korban dan memperoleh pemahaman yang lebih
mereka untuk membayar ganti rugi kepada korban. Tiga bulan kemudian, pelaku
rugi.
damage) yang terjadi di Elmira, Kanada telah menjadi awal munculnya Victim
Offender Mediation. Kasus atau eksperimen ini juga telah menjadi awal
132
Mark S. Umbreit, Loc.Cit.
133
Mark S. Umbreit, Loc.Cit.
100
reconciliation projects have now spread to more than twenty other jurisdictions
provisions of the Canadian Young Offenders Act of 1984”. Hal ini menunjukkan
bahwa victim offender mediation dan reconciliation projects saat itu telah
1978 ketika Mennonite Central Committee, probation staff, dan local judge di
Elkhart, Indiana, mulai menerima kasus. Terdapat sekitar 150 jaringan Victim
134
Mark S. Umbreit, Op.Cit, h. xIiv.
101
Kanada dan kesadaran program tersebut dan replikasi mereka mulai menyebar di
seluruh dunia.
2001) menyatakan bahwa, “More than thirteen hundred victim offender mediation
programs are known to exist throughout the world, primarily in North America
and Europe. Undoubtedly there are many other programs in existence that have
not yet been listed in directories”.135 Hal ini menunjukkan bahwa victim offender
mediation diketahui ada di seluruh dunia dengan lebih dari seribu tiga ratus
program, terutama di utara Amerika dan Eropa. Tidak diragukan lagi ada banyak
Pandangan ini menyatakan bahwa setelah dua puluh tahun berkembang dan ribuan
kasus lainnya (terutama property crimes and minor assaults) lebih dari seribu
135
Mark S. Umbreit, Loc.Cit.
136
Mark S. Umbreit, Loc.Cit.
102
komunitas di Amerika Utara dan Eropa, victim offender mediation akhirnya mulai
bahwa, “It is clear that the field of victim offender mediation has grown
offender mediation telah berkembang dan survei di seluruh negara bagian baru -
Tabel 1
Victim Offender Mediation Programs Around the World
pertama kali dipraktekkan di Elkhart-Indiana dan pada tahun 1979 di Inggris oleh
The Exeter Youth Support Team. Kemudian, program mediasi penal tersebar ke
137
Mark S. Umbreit, Op.Cit, h. xIv.
104
kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak, namun metode ini kemudian digunakan
untuk menangani kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa.139 Mediasi penal
ini mediasi penal atau yang dikenal dengan istilah victim offender mediation
negara di Asia. Sesuai dengan adat timur yang menjungjung tinggi harmoni di
penyelesaian sengketa berdasarkan kearifan lokal ini selalu menjadi prioritas bagi
138
Fatahillah A. Syukur, 2011, Mediasi Perkara KDRT (Kekerasan Dalam Rumah
Tangga) Teori dan Praktek di Pengadilan Indonesia, Cetakan Pertama, Mandar Maju, Bandung,
h. 64-65.
139
Ibid, h. 64-65.
140
Ibid, h. 186-187.
105
bahwa para ahli hukum telah membagi tindak pidana ke dalam 3 (tiga) jenis
tindakan yang disebut crimina atrocissima, atrocia, dan levia yang tidak
didasarkan pada suatu asas tertentu, melainkan hanya didasarkan pada berat-
tahun 1810 di Prancis juga telah membuat suatu division tripartite atau suatu
dalam Pasal 1 Code Penal yaitu crime, delit, dan contraention, yang di dalam
Jerman juga mengikuti pembagian tindak pidana ini, dengan membagi tindak
pidana ke dalam 3 (tiga) jenis tindakan melanggar hukum seperti yang dilakukan
oleh pembentuk Code Penal tahun 1810 yang disebut sebagai erbrechen, ergehen,
dan ubertretungen.142
141
P.A.F Lamintang, 2013, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Kelima,
Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 208.
142
Ibid, h. 209.
106
berlaku hingga saat ini di Indonesia. Amir Ilyas menyatakan bahwa berdasarkan
berat ringannya pidana yang diancamkan, maka tindak pidana dapat dibedakan
menjadi 3 (tiga) jenis yakni, tindak pidana bentuk pokok, tindak pidana yang
1) Tindak pidana dalam bentuk pokok disebut juga bentuk sederhana atau dapat
artinya semua unsurnya dicantumkan dalam rumusan. Tindak pidana pada bentuk
bentuk pokok itu, melainkan sekedar menyebut kualifikasi bentuk pokoknya atau
pidana terhadap tindak pidana terhadap bentuk yang diperberat atau yang
diperingan ini menjadi lebih berat atau lebih ringan dari pada bentuk pokoknya,
karena ada faktor pemberatnya atau faktor peringannya. 144 Berdasarkan hal ini
dapat diketahui bahwa tindak pidana ringan memiliki unsur yang meringankan
sehingga ancaman hukuman juga diperingan yang secara tegas diatur dalam
rumusan pasal.
143
Amir Ilyas, 2012, Memahami Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana
Sebagai Syarat Pemidanaan, Cetakan Pertama, Mahakarya Rangkang Offset Yogyakarta, Sleman
Yogyakarta, h. 32-33.
144
Ibid.
107
dalam bentuk pokok atau yang sering disebut sebagai tindak pidana biasa, tindak
pidana dalam bentuk yang diperberat/dikualifikasi berat, dan tindak pidana ringan
memiliki maksud atau tujuan dari pembentuk undang-undang pada masa itu. Hal
ini juga sangat terkait dengan kondisi pada saat itu, yang membagi orang-orang
masa Hindia Belanda, terutama mengenai susunan peradilan yang berlaku saat itu.
orang yang bertempat tinggal di daerah Indonesia dapat dibagi dalam golongan-
golongan berikut:
bahwa pembedaan rakyat dalam golongan Eropah, Bumiputera, dan Timur Asing
yang ditetapkan dalam Pasal 163 Indische Staatsregeling memiliki arti asasi,
145
R. Soepomo, 1988, Sistem Hukum di Indonesia; Sebelum Perang Dunia II, Cetakan
Ketiga Belas, PT Pradnya Paramita, Jakarta, h. 13.
108
1) Orang Eropah
2) Bumiputera
3) Orang Timur Asing.
Golongan yang termasuk orang Eropah adalah:
a) Semua orang Belanda
b) Semua orang yang tidak termasuk a yang asalnya dari Eropah
c) Semua orang Jepang
d) Semua orang yang berasal dari tempat lain, tidak termasuk a dan b
yang dinegerinya akan tunduk kepada hukum kekeluargaan, yang
pada pokoknya berdasarkan asas-asas yang sama dengan hukum
Belanda
e) Anak sah atau yang diakui menurut undang-undang dan keturunan
selanjutnya dari orang yang dimaksudkan dalam b, c, dan d, yang lahir
di Hindia Belanda.147
Bumiputera adalah semua orang yang termasuk rakyat Indonesia asli dari
Hindia Belanda dan tidak beralih masuk golongan rakyat lain dan meraka yang
semula termasuk golongan lain lalu mencampurkan diri dengan rakyat Indonesia
asli, sedangkan Orang Timur Asing adalah semua orang yang bukan orang Eropah
pada masa itu susunan peradilan beserta jenis pengadilan yang ada juga
146
Ibid, h. 23.
147
Ibid, h. 27-28.
148
Ibid, h. 26.
109
hakim untuk orang Eropah baik dalam perkara perdata dan pidana, serta
bawahnya. Pengadilan gubernemen Eropah di luar Jawa dan Madura juga terdiri
149
Ibid, h. 36-37.
150
Ibid, h. 40-51.
110
terhadap semua perkara perdata dan pidana. Landraad pada perkara pidana juga
merupakan hakim biasa untuk orang Tionghoa dan orang timur lainnya.151
daerah luar Jawa dan Madura. Soepomo menyatakan bahwa hakim gubernemen
bumiputera.152
gugatan yang dimajukan oleh orang Indonesia atau Timur Asing bukan Tionghoa
terhadap orang Indonesia, jika pokok perkaranya tidak lebih dari 50 (lima puluh)
rupiah, dan juga mengadili semua pelanggaran yang dilakukan oleh orang
denda uang paling banyak 15 (lima belas) rupiah, kecuali pelanggaran fiskal.
151
Ibid, h. 54-57.
152
Ibid, h. 54-55.
111
(dua puluh) rupiah dalam perkara perdata dan dalam perkara pidana jika
pelanggaran itu diancam dengan hukuman kurungan atau denda yang lebih berat
hukum yang sama dengan landgerecht yang berlaku di daerah yang tidak terdapat
Landraad pada perkara pidana adalah hakim biasa juga untuk orang Timur
Landgerecht di Jawa dan Madura dibentuk tahun 1914 (S. 1914 No. 137), di
daerah luar Jawa dan Madura sejak tahun 1919 dibeberapa kota yakni Medan,
(Irian). 155
Susunan landgerecht di Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 116 bis -
116 undecies R.O dan untuk daerah di luar Jawa dan Madura diatur dalam Pasal
153
Ibid, h. 55-56.
154
Ibid, h. 56-57.
155
Ibid, h. 61-62.
112
minimal 3 (tiga) bulan atau denda maksimal 500 rupiah. Tidak ada banding dalam
landgerecht.156
peradilan dan jenis pengadilan yang digolongkan berdasarkan golongan orang dan
bahwa pada zaman penjajahan Belanda semua orang tanpa diskriminasi yang
melakukan kejahatan ringan akan diadili oleh Landrechter seperti semua orang
yang melakukan pelanggaran. Orang Indonesia atau Orang Timur Asing (Cina,
Arab, dan India-Pakistan) yang melakukan kejahatan biasa (tindak pidana dalam
bentuk pokok) diadili oleh Landraad (sekarang Pengadilan Negeri) dan Orang
Eropa yang melakukan kejahatan biasa (tindak pidana dalam bentuk pokok)
156
Ibid, h. 63-64.
157
Wirjono Prodjodikoro, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, cetakan kedua,
PT Refika Aditama, Bandung (Selanjutnya disebut Wirjono Prodjodikoro I ), h. 36.
113
masa Hindia Belanda, J.E Jonkers menjelaskan bahwa lembaga kejahatan ringan
perkara pada hakim yang lebih dekat tempat tinggalnya. Kondisi bahwa jarak
yang jauh dan pekerjaan hakim yang terlalu banyak, menjadikan lembaga
kejahatan ringan dibutuhkan pada masa itu. Terutama pekerjaan dari Pengadilan
Negeri (landraad) dari hakim-hakim golongan bukan Eropa yang terlalu banyak
J.E Jonkers juga menyatakan bahwa pada masa itu, hanya ada enam
Raad van Justitie (Pengadilan Tinggi), maka ada cukup alasan untuk mengajukan
kejahatan-kejahatan ringan yang sering terjadi pada hakim setempat yang paling
dekat, sebagai ganti pengadilan tinggi yang jauh tempatnya. Lembaga ini
Ansori Sabuan, dan J.E. Jonkers mengenai kondisi peradilan pada pada masa
Hindia Belanda menunjukkan bahwa pembagian tindak pidana dalam bentuk yang
158
J.E. Jonkers, 1987, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, Cetakan
Pertama, PT Bina Aksara, Jakarta, h. 37.
159
Ibid, h. 37-38.
114
pengadilan pada masa itu. Pembagian tindak pidana menjadi 3 (tiga) jenis
tersebut, secara praktis juga bertujuan untuk efisiensi penyelesaian kasus. Hal-hal
inilah yang secara filosofis mendasari pembagian tindak pidana menjadi 3 (tiga)
jenis tersebut.
pokok atau yang sering disebut sebagai tindak pidana biasa, tindak pidana dalam
bentuk yang diperberat/dikualifikasi berat, dan tindak pidana ringan pada masa
Raad van Justitie tentu relevan pada masa itu, namun jika dikaji
Raad van Justitie) ini sudah tidak berlaku lagi, namun jika dilihat dari segi
efisiensi atau kemudahan sehingga perlu pembagian mengenai hal ini, juga dapat
pemeriksaan cepat diatur dalam Pasal 205 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa,
“Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara
115
yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan
atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan
kejahatan yang merupakan kejahatan ringan atau tindak pidana ringan. Wirjono
kejahatan ringan atau tindak pidana ringan yang telah diuraikan oleh Wirjono
Prodjodikoro dapat diketahui definisi dari tindak pidana ringan. Inti yang dapat
ringan adalah tindak pidana atau kejahatan yang hanya diancam dengan hukuman
diakibatkan tidak melebihi dua puluh lima rupiah atau terdapat unsur-unsur yang
penyesuaian nilai nominal atau jumlah denda dalam tindak pidana ringan yang
diatur dalam KUHP. KUHP tidak memberikan definisi mengenai tindak pidana
ringan, namun definisi tersebut dapat dipahami dalam rumusan Pasal 205 ayat (1)
160
Wirjono Prodjodikoro I, Op.Cit, h. 35, Lihat juga Wirjono Prodjodikoro, 2012,
Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, cetakan ketiga, PT Rafika Utama, Bandung
(Selanjutnya disebut Wirjono Prodjodikoro II ), h. 70.
116
KUHAP. Pasal 205 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa, “Yang diperiksa
menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam
dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda
sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali
yang ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian ini”. Dalam penjelasan Pasal 205 ayat
Berdasarkan ketentuan Pasal 205 ayat (1) KUHAP dan penjelasan Pasal
205 ayat (1) KUHAP dapat diketahui bahwa, ancaman pidana (pidana penjara
atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh
ribu lima ratus rupiah) dan sifatnya yang ringan yang disebutkan secara tegas
dalam KUHP merupakan batasan dan kriteria dalam menentukan tindak pidana
ringan (tipiring). Identifikasi dan klasifikasi tindak pidana ringan akan dibahas
Nilai uang yang tercantum dalam KUHP tentu tidak sesuai lagi dengan
kondisi saat ini. Tidak ada lagi nilai barang sebesar dua puluh lima rupiah.
“Kata-kata "vijf en twintig gulden" dalam Pasal 364, 373 379, 384 dan Pasal 407
ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diubah menjadi "dua ratus lima
puluh rupiah". Terjadi penyesuaian jumlah kerugian yang ditimbulkan dari tindak
pidana pencurian ringan (Pasal 364 KUHP), penggelapan ringan (Pasal 373
KUHP), penipuan ringan (Pasal 379 KUHP), penipuan oleh penjual (384 KUHP)
dan perusakan ringan (Pasal 407 ayat (1) KUHP) yang sebelumnya tidak lebih
dari 25,- (dua puluh lima rupiah) menjadi tidak lebih dari 250,- (dua ratus lima
puluh rupiah).
118
Nomor 18 Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda dalam Kitab
Pasal 1
(1) Tiap jumlah hukuman denda yang diancamkan, baik dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, sebagaimana beberapa kali telah ditambah
dan diubah dan terakhir dengan Undang-undang No. 1 tahun 1960
(Lembaran-Negara tahun 1960 No. 1), maupun dalam ketentuan-ketentuan
pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945,
sebagaimana telah diubah sebelum hari mulai berlakunya Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang ini, harus dibaca dalam mata uang
rupiah dan dilipatgandakan menjadi lima belas kali.
(2) Ketentuan dalam ayat (1) tidak berlaku terhadap jumlah hukuman denda
dalam ketentuan-ketentuan tindak-pidana yang telah dimasukkan dalam
tindak-pidana ekonomi.
jumlah hukuman denda dalam mata uang rupiah yang dirubah dengan
dilipatgandakan menjadi lima belas kali dari jumlah semula yang diatur dalam
KUHP.
Sejak tahun 1960 nilai uang dalam KUHP belum pernah disesuaikan lagi,
padahal nilai tersebut tidak sesuai lagi dalam perkembangannya, oleh karena itu
2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda
119
Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP
inilah yang menjadi pedoman tentang penyesuaian mata uang dalam tindak pidana
2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah
melakukan penyesuaian nilai rupiah yang ada dalam KUHP berdasarkan harga
emas yang berlaku pada tahun 1960. Bahwa sejak tahun 1960 nilai rupiah telah
mengalami penurunan sebesar ± 10.000 kali jika dibandingkan harga emas pada
saat ini. Untuk itu maka seluruh besaran rupiah yang ada dalam KUHP kecuali
Mengenai besaran nilai kerugian dalam tindak pidana ringan, telah terjadi
Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah
Denda Dalam KUHP yang menyatakan bahwa, Kata-kata “dua ratus lima puluh
rupiah” dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407, dan Pasal 482 KUHP dibaca
menjadi Rp. 2.500.000, 00 (dua juta lima ratus ribu rupiah)”. Jumlah kerugian
yang ditimbulkan dari tindak pidana pencurian ringan (Pasal 364 KUHP),
penggelapan ringan (Pasal 373 KUHP), penipuan ringan (Pasal 379 KUHP),
penipuan oleh penjual (384 KUHP) dan perusakan ringan (Pasal 407 ayat (1)
KUHP), dan penadahan ringan (Pasal 482 KUHP) yang sebelumnya tidak lebih
120
dari 250,- (dua ratus lima puluh rupiah) kini berubah menjadi tidak lebih dari Rp.
Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP menyatakan bahwa, “Tiap
jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali Pasal
303 ayat (1) dan ayat (2), 303 bis ayat (l) dan ayat (2), dilipatgandakan menjadi
1.000 (seribu) kali”. Ketentuan inilah yang berlaku saat ini, sehingga jumlah
Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP ini
Ketua Mahkamah Agung RI, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jaksa
ringan yang selanjutnya disingkat Tipiring adalah perkara yang diancam dengan
121
pidana penjara atau kurungan paling lama 3 bulan dan/atau denda sebanyak-
banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali dalam
161
pelanggaran lalu lintas”. Peraturan Kepala Badan Pembinaan Keamanan
Berdasarkan Pasal 205 ayat (1) KUHAP, Pasal 1 dan Pasal 3 Peraturan
Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP, dan 9 (sembilan) Pasal
mengenai Tindak Pidana Ringan dalam KUHP dapat dipahami bahwa tindak
pidana ringan adalah tindak pidana yang memuat unsur-unsur yang meringankan
(yang secara tegas disebutkan dalam KUHP), diancam dengan pidana penjara
paling lama tiga bulan dan untuk kejahatan harta benda kerugian yang
ditimbulkan tidak lebih dari Rp. 2.500.000, 00 (dua juta lima ratus ribu rupiah),
sebelumnya bahwa dalam tindak pidana ringan terdapat faktor yang meringankan
yang secara tegas dimuat dalam rumusan pasal, sehingga ancaman pidana/sanksi
161
Besaran nilai disesuaikan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2
Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam
KUHP.Kata “kecuali pelanggaran lalu lintas” dalam hal ini berarti pemeriksaan tindak pidana
ringan dengan pelanggaran lalu lintas adalah berbeda. Tindak pidana ringan diperiksa dengan
acara pemeriksaan cepat sedangkan pelanggaran lalu lintas diperiksa dengan acara pemeriksaan
perkara pelanggaran lalu lintas.
122
pidana terhadap tindak pidana ringan ini menjadi diperingan atau lebih ringan dari
bentuk pokoknya.
bahwa dikaji dari berat ringannya kejahatan, tindak pidana ringan sifatnya lebih
ringan dengan kerugian yang tidak terlalu besar. Konsekuensi dari hal ini, maka
dalam Pasal 205-210 KUHAP yang mengatur mengenai acara pemeriksaan tindak
mengenai acara pemeriksaan tindak pidana ringan dapat diketahui bahwa KUHAP
telah mengatur acara pemeriksaan tindak pidana ringan melalui acara pemeriksaan
pidana ringan juga tidak dikenakan penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 21
ayat (4) huruf a KUHAP : Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap
tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maup
un pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal : a. tindak pidana
itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Tindak pidana ringan
penahanan.
menyatakan bahwa pemeriksaan dengan acara cepat dibagi dalam dua paragraf
123
dalam Bab XVI KUHAP yakni acara pemeriksaan tindak pidana ringan dan acara
diperiksa dengan acara ringan bertitik tolak dari ancaman tindak pidana yang
dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan diatur dalam Pasal 250 ayat (1)
yakni: tindak pidana yang ancaman pidananya paling lama 3 (tiga) bulan penjara
digolongkan sebagai tindak pidana ringan karena sifatnya yang ringan sekalipun
ancaman pidana paling lama 4 (empat) bulan. Pengertian tindak pidana ringan
secara formal harus diperiksa dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan.163
dan hukum pidana formil dalam sebuah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice
System). Suatu kasus awalnya dapat diproses setelah adanya laporan atau
pengaduan dari masyarakat atau jika kasus itu merupakan peristiwa tertangkap
162
M. Yahya Harahap, 2015, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP;
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Cetakan Keempat
Belas, Sinar Grafika, Jakarta (Selanjutnya disebut M. Yahya Harahap II), h. 422.
163
Ibid, h. 422-423.
124
sudah lengkap (P21) akan dilakukan penuntutan oleh Penuntut Umum, Penuntut
yang akan dilaksanakan oleh Jaksa. Terpidana yang dikenakan sanksi pidana akan
dijatuhkan adalan pidana penjara) dan terdapat juga upaya hukum yang dapat
ditempuh. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat prosedur baku yang panjang
bersifat tertutup untuk umum (close door session) dan kerahasiaan para pihak
164
Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) juga dikenal dengan nama ADR (Alternatif
Dispute Resolution) atau Penyelesaian Sengketa Alternatif (PSA). ADR (Alternatif Dispute
Resolution) juga dapat disebut sebagai penyelesaian sengketa secara non litigasi atau di luar
pengadilan atau juga dikenal merupakan penyelesaian kasus secara informal adjudikatif. Suyud
Margono menyebutkan bahwa ADR bisa diartikan sebagai Pilihan Penyelesaian Sengketa (PPS),
Mekanisme Penyelesaian Sengketa (MPS), dan mekanisme penyelesaian sengketa secara
kooperatif. Lihat, Frans Hendra Winarta, 2011, Hukum Penyelesaian Sengketa; Arbitrase Nasional
Indonesia & Internasional, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, h. 9.
125
hingga kini tidak hanya perkara perdata (hukum privat) yang dapat diselesaikan
melalui ADR. Penyelesaian sengketa melalui ADR dalam prakteknya juga mulai
konsensus sudah lama dilakukan oleh masyarakat, yang intinya menekankan pada
165
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi
Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian Kedalam Perancangan Kontrak, Cetakan Pertama,
Udayana University Press, Denpasar Bali, h. 20.
126
musyawarah untuk mencapai mufakat yang sudah mengakar dalam jiwa bangsa
yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli”. Pasal 60 ayat (2)
166
Frans Hendra Winarta, Loc.Cit.
127
pada ayat (2) bersifat final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan
itikad baik”.
1976 pada saat ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat Warren Burger
mempelopori ide ini pada sebuah konferensi di Saint Paul, Minnesota Amerika
serikat. Hal ini dilatarbelakangi oleh berbagai faktor gerakan reformasi pada awal
tahun 1970, saat itu banyak pengamat dalam bidang hukum dan akademisi mulai
merasakan adanya keprihatinan yang serius mengenai efek negatif yang semakin
dilatarbelakangi oleh:
biaya yang tinggi, dan sering memberikan hasul yang kurang memuaskan.
167
Frans Hendra Winarta, Op.Cit, h. 10.
128
menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak dengan hasil
yang memuaskan.168
beberapa ahli. Frans Hendra Winarta menyatakan bahwa, “APS adalah pranata
pengadilan”.169
bebas melalui kesepakatan bersama memilih bentuk dan tata cara apa yang
168
Frans Hendra Winarta, Loc.Cit
169
Frans Hendra Winarta, Op.Cit, h. 15.
170
I Made Widnyana, 2007, Alternatif Penyelesaian Sengketa Indonesia, Cetakan
Pertama, Kantor Hukum Gani Djemaat & Partner, Jakarta, h. 19.
129
penyelesaian sengketanya.171
2.1.4 Konstruksi
susunan, model, atau tata letak suatu bangunan, susunan dan hubungan kata dalam
kalimat atau kelompok kata.172 Konstruksi juga dapat berarti susunan dari bagian-
bagian sesuatu, ling susunan kata atau frase dalam sebuah kalimat.173 Berdasarkan
pengertian ini dapat diketahui bahwa istilah konstruksi tidak hanya digunakan
Konstruksi juga dapat digunakan di semua bidang ilmu yang terkait pada
penggunaan kalimat, kata, atau frase. Istilah konstruksi pada konteks ini dapat
bagian dari ilmu pengetahuan hukum. Ilmu pengetahuan hukum ini bukanlah ilmu
dapat saja tetap tetapi pengertiannya dapat berubah dan berkembang, oleh karena
171
Moch. Basarah, 2011, Prosedur Alternatif Penyelesaian Sengjketa Arbitrase
Tradisional dan Modern (Online), Cetakan Pertama, Genta Publishing, h. 1.
172
Ernawati Waridah dan Suzana, 2014, Kamus Bahasa Indonesia, Cetakan Pertama,
Ruang Kata Imprint Kawan Pustaka, Bandung, h. 304.
173
J.S. Badudu, 2007, Kamus Kata-Kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia,
Cetakan Ketiga, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, 194.
130
itu hukum tidak hanya memerlukan uraian sebab akibat tetapi yang terpenting
adalah penafsirannya. Penafsiran dalam hal ini adalah penafsiran yang hidup dan
sesuai dengan kesadaran hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Pengertian
(rechtsconstructie).174
alat yang dipakai untuk menyusun bahan hukum yang dilakukan secara sistematis
dalam bentuk bahasa dan istilah yang baik. Menyusun dalam hal ini ialah
menyatukan apa yang termasuk dalam satu bidang yang sama, satu pengertian
yang sama.
maksud untuk dimiliki secara melawan hukum sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 362 KUHP. Apakah perbuatan itu disebut “maling”, “nyolong”, “nyopet”,
Contoh lainnya adalah konstruksi peristiwa hukum. Akan lebih luas lagi
kenyataan hukum yang terjadi. Semua peristiwa (karena tangan manusia) yang
174
Hilman Hadikusuma, Op.Cit, h. 14-15.
175
Hilman Hadikusuma, Op.Cit, h. 15.
131
diatur oleh hukum adalah peristiwa hukum, misalnya peristiwa penilaian umum
yang ada dibalik ekspresi langsung teks, dari unsur-unsur yang diketahui dan
terdapat dalam teks kesimpulan yang terkandung dalam semangat, dan bukan
konstruksi adalah:
176
Hilman Hadikusuma, Loc.Cit.
177
Gregory Leyh, 2015, Hermeneutika Hukum: Sejarah, Teori, dan Praktik, terjemahan
M. Khozim, Cetakan Keempat, Nusa Media, Bandung, h. 142.
132
10. Efek-efek yang berasal dari konstruksi tertentu bisa menuntun kita
untuk memutuskan konstruksi yang perlu diambil.
11. Semakin tua sebuah hukum atau teks yang memuat peraturan mengenai
tindakan kita, meskipun digariskan pada waktu silam, akan semakin
luas cakupan konstruksinya dalam kasus-kasus tertentu.
12. Tidak ada hal yang bisa memberikan perlindungan substansial bagi
kebebasan individu selain kebiasaan menjalankan konstruksi dan
interpretasi secara seksama.
13. Penting memastikan kata-kata yang digunakan memiliki karakter
terbatas, mutlak, dan bermakna khusus, atau mempunyai karakter
umum, relatif, atau ekspansif.
14. Upayakan agar para pihak yang lemah bisa mendapat manfaat dari
ketentuan yang mengandung hal-hal yang meragukan, tanpa
mengalahkan tujuan umum hukum. Upayakan agar belas kasih berlaku
jika memang ada keraguan yang nyata.
15. Diperlukan adanya pertimbangan atas keseluruhan teks atau wacana
agar konstruksi yang dilakukan tepat dan benar.
16. Diatas segalanya, upayakan bersikap tepat dalam semua konstruksi.
Konstruksi terwujud sebagai upaya membangun unsur-unsur dasar, dan
bukan pemaksaan materi luar ke dalam teks.178
hukum dapat diketahui bahwa ilmu pengetahuan hukum selalu berkaitan dengan
istilah, pengertian, bahasa hukum, kata, kalimat, teks, dan frase. Mengingat bahwa
sangat terkait dengan proses konstruksi, oleh sebab itu konstruksi perlu dilakukan
adalah Barda Nawawi Arief dan Satjipto Rahardjo. Barda Nawawi Arief
178
Ibid, h. 142-143.
133
konstruksi berfikir hukum, konstruksi ilmu hukum positif, dan lain-lain. 179
tulisannya, seperti dalam bukunya yang berjudul, “Sisi-Sisi Lain dari Hukum di
dan karena itu kita juga boleh merubah konstruksi, membuat konstruksi baru, dan
sebagainya. 180 Hal ini menunjukkan bahwa hukum juga merupakan sebuah
konstruksi dan hukum juga memerlukan sebuah konstruksi baru atau yang kini
Konstruksi juga dapat merujuk pada sebuah metode (cara), sangat terkait
dapat masuk penafsiran hukum atau konstruksi hukum, jadi sifatnya sangat
praktis.181
179
Barda Nawawi Arief, 2009, Menembus Kebuntuan Legalitas Formal Menuju
Pembangunan Hukum dengan Pendekatan Hukum Progresif, Makalah pada Seminar FH UNDIP:
Pembaharuan Sistem Penegakan Hukum dengan Nilai-Nilai Moral Religius, Semarang, 19
Desember 2009 (Selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief V).
180
Satjipto Rahardjo II, Op.Cit, h.27.
181
Yesmil Anwar dan Adang, 2008, Pembaharuan Hukum Pidana, PT. Grasindo,
Jakarta (Selanjutnya disebut Yesmil Anwar dan Adang I), h. 280.
134
rechtsvinding atau penemuan hukum yang dianut dewasa ini seperti yang telah
dikemukakan oleh J.J.H Bruggink dalam bukunya Opzoek Naar Het Recht
hukum. 182 Berdasarkan hal ini konstruksi hukum juga merupakan salah satu
hukum (leemten).183
contrario dapat digunakan dalam disertasi ini yang sangat terkait dengan
langkah konstruksi hukum ini dapat dijelaskan dalam bagan atau gambar yang
182
Philipus M. Hadjon dan Tatik Sri Djatmiati, 2009, Argumentasi Hukum, Cetakan
Keempat, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h. 25.
183
Ibid, h. 28.
135
1. Analogi
Bagan 1
ANALOGIE
Rechtregels
(Aturan Hukum) 1849 BW Ongeshreven Rechttregels
Nederland (Hukum tidak tertulis)
Hak retensi bagi penerima kuasa Hak retensi untuk pengurus barang
mempunyai hak retensi? Dalam hukum Belanda atau BW lama Pasal 1849
barang. Langkah yang harus diambil untuk menjawab pertanyaan ini adalah
mencari ratio legis yang merupakan asas yang melandasi ketentuan Pasal 1849
136
menikmati suatu keadaan lebih baik atas beban orang lain”. Berdasarkan asas
yang melandasi ketentuan Pasal 1849 BW Belanda tersebut, ketentuan Pasal 1849
“analog” dengan pemberian kuasa. Inilah yang disebut penalaran analogi. 184
dapat diselesaikan melalui mediasi penal. Mengingat bahwa mediasi penal awal
mulanya berkembang dalam hukum perdata, melalui penalaran analogi juga akan
184
Ibid, h. 28-29.
137
2. Argumentatum a contrario
Bagan 2
ARGUMENTATUM A CONTRARIO
Beginselen Ratio: Niemand hoeft er zonder reden ten koste van een andr
betr op te worden
(tidak seorangpun tanpa alasan, atas beban orang lain
menjadi lebih baik)
Oeverlijn is igendomgrens:
Voordeel voor oevereigenaar Batas itu bukan merupakan batas hak milik,
(Garis batas hak milik merupakan bukan bagian dari pemilik saluran air
bagian pemilik disampingnya)
aanspoeling van land bij lopend water Afkalving van land bij waterplas
Feiten (mengairi tanah oleh air yang mengalir) Pemisahan tanah oleh air yang tergenang
(Fakta) (lopend water) (water plas) (pg.107)
diatas adalah apakah Pasal 651 dan Pasal 652 BW Belanda dapat diterapkan
dalam kasus pemisahan tanah hak milik oleh air yang tergenang (water plas).
Pasal 651 dan Pasal 652 BW menentukan bahwa garis batas hak milik merupakan
bagian disampingnya. Air yang mengaliri tanah yang merupakan bagian dari hak
milik, maka aliran air tersebut merupakan bagian dari hak milik pemilik tanah
yang dialiri. Air yang tergenang (water plas) tidak sama dengan air yang mengalir
138
(lopend water). Ketentuan Pasal 651 dan Pasal 652 BW BW dengan argumentasi
menunjukkan bahwa jenis penalaran ini juga akan bermanfaat tidak hanya dalam
bahan analisis dalam disertasi ini, misalnya dalam mencari makna dalam Pasal 82
berlaku bagi pelanggaran yang diancam dengan denda saja lalu dibandingkan
185
Ibid, h. 29.
139
3. Rechtsverfijning
Bagan 3
RECHTSVERFIJNING
Penjelasan bagan:
mengembalikan subsidi yang diterima jika mereka telah berhasil. Seorang anggota
keluarga pada kasus ini, yakni anak gadisnya ternyata berhasil. Pemerintah
mewajibkan anak gadis itu mengembalikan subsidi yang telah diterima oleh
ini sampai pada tingkat kasasi. Hakim mempertanyakan apakah setiap anggota
luas sehingga perlu diperhalus atau dipersempit. Dengan langkah ini konsep
140
contoh yang telah diberikan dalam bagan 3 menunjukkan bahwa makna atau
rechtsverfijning dapat ditemukan dalam asas diskresi kepolisian yang diatur dalam
digunakan sebagai dasar pelaksanaan mediasi penal. Hal ini digunakan secara
praktis meskipun asas dikresi ini masih sangat abstrak atau luas sifatnya sehingga
undang-undang.
konstruksi adalah frasa atau kalimat atau kata yang dihubungkan, disusun,
bangunan atau sebuah model. Konstruksi secara singkat dapat disebut sebagai
pengertian, bahasa hukum, kata, kalimat, teks dan frase yang digali atau ditelusuri
Konstruksi hukum juga berkaitan dengan metode atau cara, terkait dengan
186
Ibid, h. 29.
141
juga menjadi solusi atas kekosongan norma (recht vaccum). Perlu diketahui
bahwa sebagaimana dinyatakan oleh Satjipto Rahardjo bahwa hukum adalah hasil
konstruksi sehingga dapat dibentuk kontruksi baru atau merubah konstruksi yang
memiliki tujuan untuk kepastian hukum dan kemanfaatan. Idealnya hukum harus
berpendapat bahwa keadilan adalah tujuan yang paling penting. Misalnya, Bisman
korbankan kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu. Hukum hanya
banyak teori mengenai keadilan yang muncul dari para filsuf atau para ahli
abad 200 M. Ulpianus (200 M) yang kemudian diambil alih oleh Kitab Hukum
187
Darji Darmodiharjo dan Sidartha, Op.Cit, h. 156.
142
suum cuiqu tribuendi,” yang artinya bahwa keadilan adalah kehendak yang ajeg
dua arti yakni, adil dapat berarti menurut hukum, dan apa yang sebanding, yakni
yang semestinya.188
undang yang harus dilaksanakan untuk kepentingan umum) dan keadilan khusus
keadilan menurut hukum dan keadilan menurut alam, serta keadilan abstrak
menjadi 2 (dua) jenis yakni keadilan kreatif (memberikan kepada setiap orang
pembahasan mengenai keadilan dapat dikatakan selalu muncul pada setiap aliran
filsafat hukum.189 Hal ini menunjukkan bahwa teori keadilan terus berkembang
188
Darji Darmodiharjo dan Sidartha, Loc.Cit.
189
Darji Darmodiharjo dan Sidartha, Op.Cit, h. 157-158.
143
dan memiliki kemungkinan persepsi yang berbeda-beda dari setiap filsuf atau
pakar hukum.
yang ada. Para penganut hukum alam meyakini bahwa alam semesta diciptakan
dari prinsip keadilan. Terdapat stoisisme norma hukum alam primer yang bersifat
umum bahwa, “Berikanlah kepada setiap orang apa yang menjadi haknya”
Cicero menyebutkan bahwa hukum dan keadilan tidak ditentukan dari pendapat
tujuan hukum, namun penganut aliran ini berpandangan bahwa relativitas dari
injuria; summa lex, summa crux (hukum yang keras akan dalam melukai, kecuali
diartikan lebih luas bahwa keadilan bukan untuk perorangan atau kadar
berpandangan bahwa satu-satunya ukuran untuk mengukur adil atau tidak adalah
190
Darji Darmodiharjo dan Sidartha, Op.Cit, h. 158.
191
Darji Darmodiharjo dan Sidartha, Op.Cit, h. 159.
144
bagi kelompok yang lebih besar (general welfare). Bermanfaat atau tidaknya
bahwa keadilan dapat dilaksanakan dengan atau tanpa hukum. Dalam sejarah
hukum, tampak ada gerak diskresi yang luas dengan aturan-aturan tegas dan
tentang keadilan, seperti John Rawls. Teori keadilan dari John Rawls ini menurut
Priyono dipandang sebagai teori keadilan yang paling komprehensif sampai saat
ini. dapat dikatakan bahwa teori keadilan dari John Rawls berangkat dari
pemikiran utilitarianisme dan pemikiran keadilan dari John Rawls banyak sekali
dipengaruhi oleh Jeremy Bentham, J.S Mill, dan Hume sebagai tokoh
Teori keadilan yang terkait dan akan digunakan sebagai dasar analisis
dalam disertasi ini adalah teori keadilan dari John Rawls, keadilan Pancasila, dan
teori keadilan restoratif (restorative justice) dari Howard Zehr dan Ali Gohar:
John Rawls adalah salah satu filsuf penting dengan karyanya dalam buku
filsafat politik untuk mewujudkan keadilan sosial dalam negara. Dalam bukunya,
John Rawls menggagas teori keadilan yang disebut dengan keadilan sebagai
192
Darji Darmodiharjo dan Sidartha, Op.Cit, h. 160.
193
Darji Darmodiharjo dan Sidartha, Op.Cit, h. 161.
145
keberadaan paham utilitarianisme yang berkembang dominan pada masa itu. John
(Terjemahan bebas: dalam filsafat moral modern, sistem teori yang paling
dominan adalah utilitarianisme, karena didukung oleh penulis hebat yang
menciptakan bangunan pemikiran yang cukupan dan kecermelangan yang
sangat mengesankan. Hal ini terkadang menjadikan orang-orang melupakan
bahwa para tokoh utilitarianisme besar, seperti Hume, Adam Smith,
Bentham, dan Mill merupakan teoritisi sosial dan ahli ekonomi yang wahid,
dan doktrin moral yang mereka susun dikerangkai untuk pemenuhan
kebutuhan mereka yang lebih luas, serta dimasukkan ke dalam skema yang
komprehensif. Banyak kritikan sempit yang ditujukan pada utilitarianisme
yang menyebutkan kekacauan prinsip utilitas dan mengungkapkan
ketidaksesuaian antara berbagai implikasinya dengan setimen-sentimen
moral).195
John Rawls pada akhirnya merespon kritikan-kritikan sempit yang ditujukan pada
194
John Rawls I,Op.Cit, h. xvii.
195
John Rawls II, Op.Cit, h. v-vi.
146
Mengenai gagasan teori keadilan yang dirumuskan oleh John Rawls, John
196
John Rawls I, Op.Cit, h. 10.
197
John Rawls II, Op.Cit, h. vi.
198
John Rawls I, Op.Cit, h. 10.
147
Terkait dengan (2) bagian teori keadilan John Rawls menyatakan bahwa,
“The theory of justice may be divided into two main parts: (1) an interpretation of
the initial situation and a formulation of the various principles available for
choice there, and (2) an argument establishing which of these principles would in
fact be adopted”. 200 (Terjemahan bebas: teori keadilan dapat dibagi menjadi 2
(dua) bagian utama yakni 1) Penafsiran atas situasi awal dan perumusan berbagai
prinsip yang bisa dipilih, dan 2) Suatu argumentasi yang menyatakan prinsip
John Rawls juga menentukan subjek utama dari prinsip keadilan yang
diterapkan. John Rawls menyatakan bahwa, “We have seen that these principles
are to govern the assignment of rights and duties in these institutions and they are
life”.202 (Terjemahan bebas: Subjek utama dari prinsip keadilan adalah struktur
dasar masyarakat, tatanan institusi-institusi sosial utama dalam satu skema kerja
199
John Rawls II, Op.Cit, h. 12-13.
200
John Rawls I, Op.Cit, h. 47.
201
John Rawls II, Op.Cit, h. 65.
202
John Rawls I, Loc.Cit.
148
sosial).203
John Rawls mengemukakan dua prinsip keadilan (two principles of justice) yakni:
menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar
yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Prinsip kedua
menyatakan bahwa ketimpangan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa
sehingga (a) dapat diharapkan memberi keuntungan bagi semua orang, dan (b)
dasar masyarakat. Mereka akan mengatur penerapan hak dan kewajiban dan
sosial-ekonomi. Kebebasan dasar warga negara dalam hal ini adalah kebebasan
politik (hak untuk memilih dan dipilih menduduki jabatan publik), kebebasan
203
John Rawls II, Loc.Cit.
204
John Rawls I, Op.Cit, h. 60.
205
John Rawls II, Op.Cit, h. 72.
149
kebebasan ini oleh prinsip pertama harus disetarakan, karena warga negara yang
Prinsip kedua dalam teori keadilan John Rawls menjelaskan bahwa, “In
the first approximation, to the distribution of income and wealth and to the design
John Rawls juga menegaskan bahwa, “While the distribution of wealth and
income need not be equal, it must be to everyone’s advantage”. Prinsip kedua ini
dengan perbedaan otoritas dan tanggung jawab, atau rantai komando. Distribusi
kekayaan dan pendapatan tidak perlu sama, keuntungan bagi semua orang yang
akan diutamakan, dan pada saat yang sama, posisi-posisi otoritas dan jabatan
komando harus diakses oleh semua orang. Melalui posisi-posisi yang terbuka bagi
arranged in a serial order with the first principle prior to the second”. Dua
prinsip keadilan ini ditata dalam urutan dengan prinsip pertama mendahului
prinsip kedua. Konsekuensi dari hal ini bahwa pemisahan dari lembaga-lembaga
206
John Rawls I, Op.Cit, h. 53, Lihat juga John Rawls II, Op.Cit, h. 73.
207
John Rawls I, Loc.Cit, lihat juga John Rawls II, Loc.Cit.
150
besar. Distribusi kekayaan dan pendapatan, serta hierakhi otoritas, harus sejalan
Dua prinsip dalam teori keadilan John Rawls sebagaimana yang telah
dijelaskan penulis menunjukkan bahwa setiap orang memiliki hak yang sama atas
kebebasan yang paling luas dan untuk mencapai itu perlu dilakukan penyetaraan
untuk mencapai keadilan (prinsip pertama). Keadilan juga dapat dicapai dengan
kesempatan atau akses bagi semua orang untuk mendapatkan positions dan
offices. Hal inilah yang akan mengatur ketimpangan sosial ekonomi sedemikian
Teori keadilan dari John Rawls tepat dijadikan dasar analisis bahwa
semua orang memiliki hak yang sama dan situasi perbedaan (sosial ekonomi)
golongan masyarakat yang lemah. Golongan masyarakat yang lemah ini posisinya
disetarakan dahulu untuk mendapatkan hak atas kebebasan yang sama dengan
golongan lainnya, selanjutnya diberikan akses atau kesempatan yang sama untuk
mendapatkan keadilan. Teori keadilan dari John Rawls berorientasi pada keadilan
208
John Rawls II, Op.Cit, h. 73-74.
151
Terkait dengan keadilan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang RI No. 48 Tahun 2009
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa", selain itu pada alinea keempat
dengan rasa keadilan bangsa Indonesia adalah keadilan Pancasila yang mengacu
pada sila kedua dan sila ke lima Pancasila yakni Kemanusiaan yang adil dan
beradab dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kedua sila tersebut
juga terlefleksikan atau juga terkait dengan sila-sila lainnya sehingga menjadi
Terkait dengan sila kedua dan sila ke lima Pancasila yakni Kemanusiaan
yang adil dan beradab dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan
152
sistem filsafat, keadilan Pancasila akan mencakup semua sila yang menunjukkan
filsafat berarti Pancasila yang terdiri dari 5 sila pada hakikatnya merupakan suatu
kesatuan yang sistematis. Susunan kesatuan sila-sila Pancasila itu bersifat organis,
sila-sila Pancasila yang saling mengisi dan saling mengkualifikasi. 210 Berdasarkan
hal ini dapat diketahui bahwa Pancasila merupakan sistem filsafat sehingga perlu
yang merupakan filsafat bangsa. 211 Konsep keadilan Indonesia adalah konsep
209
Barda Nawawi Arief II.
210
Kaelan, 2004, Pendidikan Pancasila, Cetakan Kedelapan, Paradigma, Yogyakarta, h.
57-61.
211
Bahder Johan Nasution, Op.Cit, h. 109.
153
sangatlah tepat dilakukan untuk dapat mencapai rasa keadilan masyarakat atau
bangsa Indonesia.
process to involve, to the extent possible, those who have a stake in a specific
offense and to collectively identify and address harms, needs, and obligations, in
Pada buku selanjutnya yang ditulis bersama Ali Gohar, Howard Zehr
justice). Sebagaimana yang telah diuraikan pada landasan teoritis bahwa Howard
Zehr dan Ali Gohar dalam bukunya yang berjudul, The Little Book of Restorative
justice). Menurut Howard Zehr dan Ali Gohar konsep restorative justice ini
melibatkan semua pihak yang berkepentingan (those who have a stake) untuk
problem-solving approach to crime which involves the parties themselves, and the
212
Howard Zehr, Op.Cit, h. 37.
154
Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa Restorative Justice adalah sebuah
collectively resolve how to deal with the aftermath of the offence and its
implications for the future”. 214 (Terjemahan bebas: Restorative Justice adalah
kemudian hari).
pidana.
restoratif merupakan keadilan yang diberikan tidak hanya kepada korban tapi juga
kepada pelaku, dan masyarakat. Fokus keadilan restoratif ada pada pemulihan dan
dapat dicapai dengan rekonsiliasi yang melibatkan semua pihak yaitu korban,
213
Tony F. Marshall, 1999, Restorative Justice: An Overview, Home Office, London, h.
5.
214
Ibid.
215
Yoachim Agus Tridiatno, Loc.Cit.
216
Yoachim Agus Tridiatno, Loc.Cit.
155
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga memberikan definisi terkait
melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait
muncul dalam tulisan-tulisan Colson dan Van Ness (1990), Mackey (1981, 1992),
Van Ness dan Strong (1997), Wrights (1991), dan Zehr (1985, 1990), meskipun
demikian gerakan sosial yang kemudian diberikan nama keadilan restoratif sudah
muncul jauh sebelumnya. Misalnya pada tahun 1970-an di Kanada pertama kali
217
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 41.
156
sosial, praktik dan program, serta penelitian dan teori ilmiah sebagaimana yang
Pandangan ini juga menguraikan beberapa bentuk dari keadilan restoratif seperti
sosial, praktik dan program, serta penelitian, dan teori ilmiah, yakni:
bahwa:
... we view the civil rights and women’s movements of the 1960s as crucial
starting points. The U.S. civil rights movement was based, in part, on
critiques of racism in police practices, in courts, and in prisons. Racial
domination by whites was maintained, many claimed, by the
overcriminalization and imprisonment of African-Americans and other
racial ethnic minority groups. This analysis was central to decarceration
218
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 27-28.
219
Daly K. and R. Immarigeon, 1998, The past, present, and future of restorative
justice: some critical reflections, The Contemporary Justice Review 1 (1): 21-45.
157
(Terjemahan bebas: Gerakan sosial atas hak sipil dan gerakan perempuan
pada tahun 1960an di Amerika Serikat adalah bibit-bibit munculnya
restorative justice. Gerakan atas hak sipil di Amerika Serikat memberi kritik
terhadap rasisme dalam praktik-praktik di kepolisian, penjara, dan
pengadilan. Dominasi ras kulit putih dipelihara dan dikembangkan melalui
kriminalisasi dan pemenjaraan golongan Afrika-Amerika dan kelompok
minoritas lainnya. Maka upaya-upaya pembebasan narapidana, termasuk
upaya mendapatkan hak-hak narapidana dan alternatif dari hukuman
pemenjaraan diupayakan. Kanada, Australia, Selandia Baru, dan Afrika
Selatan telah ada gerakan pembebasan penduduk aborigin dari penjajahan
kulit putih).221
220
Ibid, h. 5.
221
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 28.
222
Daly K. and R. Immarigeon, Op.Cit, h. 5-6.
158
menyatakan bahwa:
Since the 1970s, many programs and practices have been implemented that
could now fall under the restorative justice rubric. Early efforts focused on
moderated meetings between victims and offenders, adapting or drawing
from traditional mediation models. Later, these meetings expanded to
include family members and friends of both parties, as well as professionals
and others with access to community resources. We describe the major
kinds of practices and political challenges that have given shape and
substance to restorative justice.224
kerabat dari dua pihak, serta melibatkan para profesional dan pihak-pihak yang
223
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 28-29.
224
Daly K. and R. Immarigeon, Op.Cit, h. 6.
225
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 29.
159
During the 1970s, some scholars and practitioners felt offenders were
victims of societal neglect, impoverished communities, and racial and
gender discrimination. Accordingly, advocates hoped to change prison
conditions, minimize the use of incarceration, and even abolish jails and
prisons. In this context, Fay Honey Knopp (1976) and others (Hull and
Knopp 1978) hoped to build “a caring community” that addressed victims
and victimizers. During the 1980s, as U.S. prison populations became
increasingly bloated, intermediate sanctions gained in popularity and use
(Morris and Tonry 1990; more recently, DiMascio 1997). Then and now,
neither victim-offender mediation nor restorative justice has featured in the
intermediate sanctions literature.226
(Terjemahan bebas: pada tahun 1970-an para pejuang hak narapidana dan
alternatif atas pemenjaraan merasakan bahwa para pelaku kejahatan atau
para pelanggar hukum adalah korban penolakan masyarakat, komunitas-
komunitas yang dimiskinkan, serta diskriminasi ras dan gender. Para aktivis
mengharapkan agar kondisi penjara diperbaiki, diupayakan alternatif
terhadap pemenjaraan, bahkan menghapuskan sama sekali penjara.
Diharapkan dapat dibangun sebuah komunitas yang lebih perduli pada
korban dan pihak-pihak yang menjadi korban sosial).227
R. Immaregon bahwa:
During the mid- and late 1970s, the development of community justice
boards and neighborhood justice centers reflected a desire for greater
“access to justice” characterized by more informal processes and greater
citizen participation. These methods of conflict resolution (referred also as
226
Daly K. and R. Immarigeon, Loc.Cit.
227
Yoachim Agus Tridiatno, Loc.Cit.
160
VORPs, which were first introduced in Canada in 1974 and in the U.S. in
1977, were founded on Mennonite principles of exchange and dialogue.
They involved meetings between crime victims and offenders, usually after
sentencing, in the presence of a neutral third-party. VORPs focused
primarily on restoring “the right relationships” that should exist between
two parties (Zehr 1990). VORP proponents envisaged a close working
relationship with religious principles and institutions (Immarigeon 1984).230
228
Daly K. and R. Immarigeon, Op.Cit, h. 7.
229
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 30.
230
Daly K. and R. Immarigeon, Loc.Cit.
161
During the last part of the 1970s, victims (and their advocates) increasingly
preferred the term mediation rather than reconciliation in developing
programs for victim-offender meetings. The program model for VOMs was
similar to that for VORPs, although other people affected by an offense
could be brought to meetings, particularly when more serious crimes were
being addressed. VOMs were introduced to England, Scandinavia, and
Western European countries in the late 1970s and 1980s, primarily in the
handling of youth justice cases.232
Conservative and progressive voices alike share the view that crime victims
have insufficient voice in the criminal process. In the 1970s and 1980s,
feminist activists and socio-legal scholars focused attention on making the
police and courts more accountable to women and children who had been
sexually or physically abused. “Victim’s rights” groups focused efforts on
restitution for crime, on victims having a formal voice in the court process,
and on community safety. In 1982, the Reagan administration issued a task
force report on crime victims that stimulated the growth of victim’s rights
groups. Alliances between victim advocacy groups and criminal justice
231
Yoachim Agus Tridiatno, Loc.Cit.
232
Daly K. and R. Immarigeon, Loc.Cit.
233
Yoachim Agus Tridiatno, Loc.Cit.
162
234
Daly K. and R. Immarigeon, Op.Cit, h. 8.
235
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 30-31.
236
Daly K. and R. Immarigeon, Loc.Cit.
163
237
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 31.
238
Daly K. and R. Immarigeon, Op.Cit, h. 10.
164
R. Immaregon bahwa:
Other practices emerging in the 1980s and 1990s fall under the restorative
justice umbrella. In Vermont, Reparation Boards are composed of
community members who fashion penalties for juvenile offenders; the
penalties are typically community service and occasionally victim-offender
mediation. Victims are not normally present at these meetings. Another
practice is victim impact panels, originally established by Mothers Against
Drunk Driving. These panels allow victims and their families to express
their feelings about the consequences of drunk driving to those offenders
who have been court-ordered to attend. Unlike many restorative justice
practices, victim impact panels are not voluntary. These panels may bring
an important element of victim-offender contact into the process, one that is
missing in traditional proceedings. Some argue, however, for the
importance of distinguishing between a victim’s rights to services and a
victim’s procedural rights in the criminal process. Whereas the former
should be provided, the latter may be inappropriate (Ashworth 1994: 34-
37).240
239
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 31-32.
240
Daly K. and R. Immarigeon, Loc.Cit.
241
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 32.
165
menyatakan bahwa:
praktik keadilan restoratif muncul lebih dulu, lahir dari kebutuhan yang urgent
untuk melakukan justice differently, dan teori tersebut kemudian muncul. Ada
banyak karya teoretis yang dilakukan oleh para socio-legal dan sarjana hukum
pada tahun 1970an dan 1980an. Hal ini berkaitan dengan keadilan informal.
sebagaimana yang telah diuraikan oleh Daly K. and R. Immarigeon yang terkait
242
Daly K. and R. Immarigeon, Op.Cit, h. 11.
166
1. Informal Justice
bahwa:
Berdasarkan padangan ini dapat diketahui bahwa para ahli sosiologi hukum telah
masyarakat industri Barat dan masyarakat suku, pertanian. Tampaknya ada minat
baru terhadap keadilan informal dan community justice as critical legal serta para
2. Abolitionism
243
Daly K. and R. Immarigeon, Loc.Cit.
167
Pandangan ini menguraikan bahwa pada tahun 1970-an dan 1980-an para
periode ini. Hanya sedikit orang yang memperdebatkan atau menolak larangan
prakarsa atau inisiatif keadilan restoratif yaitu pengalihan dari pengadilan dan
penjara.
3. Reintegrative Shaming
244
Daly K. and R. Immarigeon, Op.Cit, h. 12.
168
mendatangkan rasa malu dapat memberikan akibat positif bagi pelaku kejahatan.
Ide John Braithwaite ini dijadikan sebagai landasan teori bagi praktik konferensi
korban dan pelaku (VORP, VOM, FGC) di Wagga, Australia. 246 Di Antipodes,
Australian Capital Territory, rasa malu itu telah ditampilkan sebagai elemen
dalam FGC. Ini bukan bagian dari FGCs di Selandia Baru, atau di negara-negara
Australia di Australia Selatan, Australia Barat, dan Victoria. Sampai saat ini,
banyak perdebatan mengenai apakah "rasa malu" harus dijadikan ciri utama
4. Psychological Theories
menyatakan bahwa:
245
Daly K. and R. Immarigeon, Loc.Cit.
246
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 33.
169
model Wagga dan penerapan rasa malu, para ahli psikologi menambahkan aspek-
aspek microdynamics dan akibat emosi yang dialami. Perhatian dan kritik juga
Sebagian besar karya feminis muncul dalam teori moral. Misalnya konstruksi
“care” and “justice” dari Carol Gilligan’s (1982) dalam penalaran moral dan
care” useful (e.g., Harris 1987; Heidensohn 1986) whereas others are more
skeptical (Daly 1989). Teori etika kepedulian (ethic of care) diterapkan pada
247
Daly K. and R. Immarigeon, Op.Cit, h. 13.
248
Daly K. and R. Immarigeon, Loc.Cit.
170
6. Peacemaking Criminology
kejahatan adalah penderitaan. Penderitaan dan kejahatan akan berakhir jika terjadi
keadilan. Itu semua hanya dapat terjadi bila ada perdamaian yang secara spiritual
7. Philosophical Theories
249
Daly K. and R. Immarigeon, Loc.Cit.
250
Yoachim Agus Tridiatno, Loc.Cit.
171
justice (see exchanges, discussed below, between Ashworth and von Hirsch,
and Pettit and Braithwaite).251
disampaikan oleh banyak ahli misalnya Braithwaite and Pettit (1990), Cragg
(1992), and Fatic (1995). Melalui cara yang berbeda mereka mengusulkan untuk
restoratif juga melibatkan teori keagamaan dan spiritualitas (di Kanada dan A.S).
VORP pertama berasal dari tradisi Mennonite; dan proses pembuatan perdamaian
251
Daly K. and R. Immarigeon, Op.Cit, h. 13-14.
252
Daly K. and R. Immarigeon, Op.Cit, h. 14.
172
atau restorasi bagi semua pihak yang terkena dampak dari tindak kejahatan,
luka-luka fisik, luka batin, dan semua kerugian lainnya. Pelaku kejahatan
fokus pada kebutuhan tiga pihak yaitu korban, pelaku kejahatan, dan
masyarakat yang tidak dipenuhi oleh proses peradilan. Korban tindak pidana
253
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 34.
173
korban dalam hal ini diambil alih oleh negara. Negaralah yang mempunyai
korban. Kebutuhan korban diabaikan, oleh sebab itu keadilan restoratif akan
yaitu:
c) Pemberdayaan dan dukungan. Daya atau kekuatan itu akan pulih jika
d) Ganti rugi (restitusi). Akan lebih sempurna jika dalam pemberian ganti
juga menjadi korban akibat terjadinya kejahatan oleh sebab itu maka
bersama dan tertib hukum rusak karena tindak kejahatan dan pelanggaran
mencari kebenaran atas tindak kekerasan yang terjadi dan tidak menambah
rumor atau isu-isu yang tidak benar. Pemimpin masyarakat harus berinisiatif
kejahatan.
perdamaian kembali.
merupakan salah satu pengembang konsep restorative justice. Dr. Zehr juga
Teori keadilan restorative dari Howard Zehr dan Ali Gohar ini muncul
menyikapi adanya problem sosial dan isu-isu penegakan hukum yang tidak
mampu memberikan keadilan bagi semua pihak (korban, pelaku, dan masyarakat).
254
Howard Zehr dalam bukunya yang berjudul Changing Lenses: A New Focus for
Crime and Justice is considered a classic in the field. Publikasi lainnya termasuk melakukan
Reflections of Men and Women Serving Life Sentences, Transcending: Reflections of Crime
Victims and The Little Book of Restorative Justice. Forthcoming in fall, 2003, is The Little Book of
Family Group Conferences, New Zealand Style (with AllanMacRae). Dr. Zehr menjadi Co-
Director of the graduate Conflict Transformation Program at Eastern Mennonite University. Ia
juga mengajar dan praktek di bidang restorative justice. Mengingat bahwa, Howard Zehr adalah
orang yang pertama mengarahkan victim offender conferencing program di Amerika Serikat dan
merupakan salah satu pengembang konsep restorative justice, ia juga dikenal sebagai “visionary
and architeck of the restorative justice movement”. Dr. Zehr juga menjadi orang yang penting
dalam pengembangan restorative justice, karena ia menjadi Co-Director of the graduate Conflict
Transformation Program at Eastern Mennonite University, mengajar dan praktek di bidang
restorative justice. Lihat, Howard Zehr and Ali Gohar, Op.Cit, h. 90.
176
Penegak hukum juga merasakan bahwa proses penegakan hukum pada saat itu
kebutuhan hukum saat itu dan dianggap sebagai sebuah harapan di masa depan.255
Hal inilah yang memicu kemunculan keadilah restoratif dan berkembang hingga
Konsep keadilan restoratif menurut Howard Zehr dan Ali Gohar dalam
justice is a process to involve, to the extent possible, those who have a stake in a
specific offense to collectively identify and address harms, needs and obligations
in order to heal and put things as right as possible”. 256 Hal ini menunjukkan
bahwa konsep restorative justice ini melibatkan semua pihak yang berkepentingan
diperoleh.
hanya tentang memaafkan dan rekonsiliasi sebagai hal yang utama. Howard Zehr
menyatakan bahwa:
255
Howard Zehr and Ali Gohar, Op.Cit, h. 2.
256
Howard Zehr and Ali Gohar, Op.Cit, h. 40.
177
257
Howard Zehr, 2002, The Little Book of Restorative Justice, Good Books,
Pennsylvania, h. 8.
258
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 38.
259
Howard Zehr, Op.Cit, h. 8-9.
178
the term “mediation” is not a fitting description of what could happen”. 260
mediasi. Howard Zehr dalam hal ini menyatakan bahwa bahkan pada saat
pertemuan terjadi, "mediasi" bukanlah deskripsi yang tepat tentang apa yang
terjadi.
menyatakan bahwa:
tingkat tanggung jawab atas pelanggaran tersebut, dan komponen penting dari
program semacam ini adalah untuk mengakui kesalahan tersebut. Mediasi tidak
tepat disebutkan dalam hal ini, meskipun istilah "mediasi" diadopsi sejak awal di
"konferensi" atau "dialog" dengan alasan yang diuraikan di atas. Dapat dikatakan
260
Howard Zehr, Op.Cit, h. 9.
261
Howard Zehr, Loc.Cit.
179
terutama dimaksudkan atau dirancang untuk memberikan efek jera agar pelaku
262
Howard Zehr, Op.Cit, h. 9-10.
180
harus mencari bentuk, sesuai dengan kondisi masyarakat serta budaya yang ada.
keadaan dan kebutuhan masyarakat. Inisiatif dari masyarakat dalam hal ini
teguh.264 Hal yang menarik dalam pandangan ini disebutkan bahwa, “Restorative
justice is not a map, but the principles of restorative justice can be seen as a
263
Howard Zehr, Op.Cit, h. 10.
264
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 39.
265
Howard Zehr, Loc.Cit.
181
diterapkan pada kasus-kasus kecil atau kasus-kasus baru. Terkait hal ini Howard
It may be easier to get community support for programs that address so-
called “minor” cases. However, experience has shown that restorative
approaches may have the greatest impact in more severe cases. Moreover, if
the principles of restorative justice are taken seriously, the need for
restorative approaches is especially clear in severe cases. The guiding
questions of restorative justice (see page 38) may help to tailor justice
responses in very difficult situations. Domestic violence is probably the most
problematic area of application, and here great caution is advised.266
Berdasarkan pandangan ini dapat diketahui bahwa keadilan restoratif tidak hanya
dapat diterapkan pada kasus-kasus kecil atau kasus-kasus baru dilakukan oleh
pelaku kejahatan. Keadilan restoratif dapat diterapkan pada kasus apa saja, yang
besar dan kecil, kasus anak-anak atau orang dewasa, dapat ditangani dengan
pendekatan keadilan restoratif. Kasus-kasus baru atau kasus lama juga bisa
atau North American development. Terkait hal ini Howard Zehr menyatakan
bahwa:
266
Howard Zehr, Op.Cit, h. 11.
267
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 39-40.
182
The modern field of restorative justice did develop in the 1970s from
case experiments in several communities with a proportionately sizable
Mennonite population. Seeking to apply their faith as well as their peace
perspective to the harsh world of criminal justice, Mennonites and other
practitioners (in Ontario, Canada, and later in Indiana, U.S.A)
experimented with victim-offender encounters that led to programs in these
communities and later became models for programs throughout the world.
Restorative justice theory developed initially from these particular efforts.
However, the movement owes a great deal to earlier movements and to
a variety of cultural and religious traditions. It owes a special debt to the
Native people of North America and New Zealand. The precedents and
roots of restorative justice are much wider and deeper than the Mennonite-
led initiatives of the 1970s. Indeed, they are as old as human history.268
268
Howard Zehr, Loc.Cit.
183
more accurate to say that crime has a societal dimension, as well as a more
local and personal dimension. The legal system focuses on the public
dimensions; that is, on society’s interests and obligations as represented by
the state. However, this emphasis downplays or ignores the personal and
interpersonal aspects of crime. By putting a spotlight on and elevating the
private dimensions of crime, restorative justice seeks to provide a better
balance in how we experience justice.269
Western society, and especially the United States, greatly overuses prisons.
If restorative justice were taken seriously, our reliance on prisons would be
reduced and the nature of prisons would change signifi-cantly. However,
restorative justice approaches may also be used in conjunction with, or
parallel to, prison sentences. They are not necessarily an alternative to
incarceration.270
269
Howard Zehr, Op.Cit, h. 12.
270
Howard Zehr, Op.Cit, h. 12-13.
184
Zehr tidak lagi melihat restorasi sebagai the polar opposite of retribution.
justice sehingga digunakan oleh penulis sebagai dasar analisis dalam membentuk
deserve a closer look: harms and needs, obligations, and engagement”.272 3 (tiga)
271
Howard Zehr, Op.Cit, h. 12-13.
272
Howard Zehr, Op.Cit, h. 22.
185
Terjemahan bebas:
273
Howard Zehr, Op.Cit, h. 22-23.
186
kewajiban. Hal inilah yang harus dipenuhi oleh pelaku kejahatan, seperti yang
274
Howard Zehr, Op.Cit, h. 23-24.
187
and come to a consensus about what should be done. In other cases, it may
involve indirect exchanges, the use of surrogates, or other forms of
involvement.
The principle of engagement implies involvement of an enlarged circle
of parties as compared to the traditional justice process.275
restoratif yakni:
275
Howard Zehr, Op.Cit, h. 24.
276
Howard Zehr, Op.Cit, h. 24-25.
188
Of special concern to restorative justice are the needs of crime victims that
are not being adequately met by the criminal justice system. Victims often
feel ignored, neglected, or even abused by the justice process. This results in
part from the legal definition of crime, which does not include victims:
crime is defined as against the state, so the state takes the place of the
victim. Yet victims often have a number of specific needs from a justice
process.277
Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa perhatian khusus dalam keadilan
restoratif adalah kebutuhan korban kejahatan yang tidak cukup terpenuhi oleh
sistem peradilan pidana. Korban sering merasa diabaikan, atau bahkan mendapat
Menurut Howard Zehr dan Ali Gohar bahwa ada empat jenis kebutuhan
korban kejahatan yang tampaknya secara khusus diabaikan dan dalam hal ini
perlu mendapatkan perhatian. Howard Zehr dan Ali Gohar menguraikan bahwa:
Due to the legal definition of crime and the nature of the criminal justice
process, the following four types of needs seem to be especially neglected:
1. Information. Victims need answers to questions they have about the
offense, why it happened and what has happened since. They need “real”
information, not speculation or the legally-constrained information that
comes from a trial or plea agreement. Often this requires direct or
indirect access to offenders who hold this information.
277
Howard Zehr and Ali Gohar, Op.Cit, h. 12.
189
Howard Zehr dan Ali Gohar dalam konteks pelaku kejahatan juga
278
Howard Zehr and Ali Gohar, Op.Cit, h. 13-14.
190
Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa menjadi bagian proses yang penting
untuk mendorong pelaku untuk memahami konsekuensi dari tindakan mereka atau
Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa, keadilan restoratif telah membawa
2.2.2 Teori Jenjang Norma (Stufentheorie) dari Hans Kelsen dan Hirarki
Peraturan Perundang-undangan
dikenal sebagai pencetus teori hukum murni, juga mengembangkan teori jenjang
279
Howard Zehr and Ali Gohar, Op.Cit, h. 14.
280
Howard Zehr and Ali Gohar, Op.Cit, h. 14-15.
191
dan gagasan-gagasan terkait dengan hukum positif. Dalam bukunya yang berjudul
General Theory of Law & State Hans Kelsen merumuskan kembali pemikiran-
menyatakan bahwa:
The theory which will be expounded in the main part of this book is a
general theory of positive law. Positive law is always the law of a definite
community: the law of the United States, the law of France, Mexican law,
international law. To attain a scientific exposition of those particular legal
orders constituting the corresponding legal communities is the design of the
general theory of law here set forth. This theory, resulting from a
comparative analysis of the different positive legal orders, furnishes the
fundamental concepts by which the positive law of a definite legal
community can be described. The subject matter of a general theory of law
is the legal norms, their elements, their interelation, the legal order as a
whole, its structure, the relationship between different legal orders, and,
finally, the unity of the law in the plurality of positive legal orders.281
mengenai the hierarchy of the norms atau tata urutan norma-norma yang terkait
dengan tata urutan norma, dari norma yang lebih tinggi (the superior norm) dan
norma yang lebih rendah the inferior norm, Hans Kelsen dalam hal ini
menyatakan bahwa:
281
Hans Kelsen I, Op.Cit, h. xiii.
282
Hans Kelsen II, Op.Cit, h. v.
192
Law regulates its own creation inasmuch as one legal norm determines the
way in which another norm is created, and also, to some extent, the contents
of that norm. Since a legal norm is valid because it is created in a way
determined by another legal norm, the latter is the reason of validity of
another norm and this other norm may be presented as a relationship of
super- and sub-ordination, which is a spatial figure of speech. The norm
created according to this regulation, the inferior norm.283
mengemukakan bahwa:
The legal order, especially the legal order the personification of which is
the state, is therefore not a system of norm coordinated to each other,
standing, so to speak, side by side on the same level, but the hierarchy of
different levels of norms, The unity of theses norm is constituted by the fact
that the creation of on norm. The lower on, is determined by another-the
higher-the creation of which is deterined by still higher norm, and that this
regressus is terminated by a highest, the basic norm which, being the
supreme reason of validity of the whole legal order, constitutes its unity.285
283
Hans Kelsen I, Op.Cit, h. 124.
284
Hans Kelsen II, Op.Cit, h. 179.
285
Hans Kelsen I, Loc.Cit.
193
Hans Kelsen melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari
kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma akan
semakin konkret norma tersebut. Norma yang paling tinggi, yang menduduki
Nawiasky. Teori Hans Nawiasky ini disebut die Lehre von Stufenaufbau der
Ketatanegaraan.
286
Hans Kelsen I, Loc.Cit.
287
Darji Darmodiharjo dan Sidartha, Op.Cit, h.116.
288
Bahder Johan Nasution, Op.Cit, h. 52.
194
hukum pidana (penal policy) yang beranjak dari problema sosial dalam dimensi
Barda Nawawi Arief menjadi salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial
termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yakni segala macam usaha rasional
289
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2010, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, PT
Alumni, Bandung, h.viii.
195
kebijakan, karena pada hakikatnya dalam hal kebijakan, orang akan dihadapkan
pada masalah penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif. Alternatif
ini dapat menjadi salah satu kebijakan hukum pidana yang baik dalam mencapai
menyatakan bahwa:
Barda Nawawi Arief ini mengandung 2 (dua) hal yakni pendekatan kebijakan dan
pendekatan nilai dalam hukum pidana.293 Menurut M. Cherif Bassiouni, “... the
290
Ibid, h. 149.
291
Ibid.
292
Barda Nawawi Arief III, Op.Cit, h. 24.
293
Barda Nawawi Arief III, Op.Cit, h. 30.
196
ini harus dipertimbangkan sebagai salah satu scientific device yang akan
criminal law is not only pragmatic but also value-based and value-oriented”.295
Berdasarkan pendapat dari M. Cherif Bassiouni ini dapat diketahui bahwa disiplin
hukum pidana tidak hanya pragmatis, tetapi juga suatu disiplin yang berdasar dan
berorientasi pada nilai (not only pragmatic but also value-based and value-
oriented).
approach) yang lebih bersifat pragmatis dan juga pendekatan yang berorientasi
294
M. Cherif Bassiouni, 1978, Substantive Criminal Law, Thomas, USA, h. 83.
295
Ibid, h. 78.
197
2.2.3.2 Konsep Pembaharuan Hukum Pidana dari Barda Nawawi Arief dan
Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pidana dari Andi Hamzah
sistem KUHP sampai saat ini belum terwujud. 3) Banyaknya masalah yuridis
ini para pakar hukum pidana, salah satunya Barda Nawawi Arief melakukan
Indonesia.
296
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit, h.166-167.
297
Barda Nawawi Arief III, Op.Cit, h. v.
198
undang) secara tekstual, oleh karena itu kajian atau diskusi tekstual mengenai
konsep RUU KUHP harus disertai dengan diskusi konseptual.298 Terkait proses
pembaharuannya banyak substansi yang berubah atau banyak hal-hal baru yang
diatur dalam RKUHP. Berkaitan dengan konsep rancangan KUHP Baru, Barda
dapat diketahui bahwa terdapat 3 (tiga) masalah pokok dalam hukum pidana yang
kemudian menjadi fokus dalam Rancangan KUHP Indonesia, yaitu tindak pidana,
Buku I. Hal-hal yang tidak dimasukkan atau dirumuskan secara eksplisit di dalam
pengertian atau hakikat tindak pidana, sifat melawan hukum (termasuk asas tiada
unlawfullness”; asas ketiadaan sama sekali sifat melawan hukum secara materiel
298
Barda Nawawi Arief III, Op.Cit h. 1.
299
Barda Nawawi Arief III, Op.Cit h.75.
199
Barda Nawawi Arief menulis bahwa banyak perubahan atau hal-hal baru
di dalam konsep rancangan KUHP. Terkait dalam disertasi ini, salah satunya
pardon" atau''judicial pardon), sehingga konsep tidak kaku dan bersifat absolut.
legality principle)
300
Barda Nawawi Arief III, Op.Cit, h. 4.
200
pemidanaan tentu merupakan hal yang baik untuk memperkuat prinsip dan
KUHP mengatur mengenai Tujuan Pemidanaan yang diatur dalam Pasal 54 RUU
KUHP dan pedoman pemidanaan yang diatur dalam Pasal 55 RUU KUHP.
dari pemikiran bahwa sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem yang
"perlindungan/pembinaan individu".303
301
Barda Nawawi Arief III, Loc.Cit.
302
Barda Nawawi Arief III, Loc.Cit.
303
Barda Nawawi Arief III, Op.Cit, h. 18.
201
namun hakim dapat memilih alternatif pidana lainnya yang tidak tercantum
pidana lain.
dalam hal ada perbenturan antara kepastian hukum dan keadilan, konsep
hukum" .304
304
Barda Nawawi Arief III, Op.Cit, h. 20.
202
Adanya tujuan dan pedoman pemidanaan maka hukum pidana materiil dan formil
Penyusunan RUU KUHAP yang diketuai oleh Andi Hamzah banyak hal-hal baru
yang diatur dalam RUU KUHAP. Terkait dengan disertasi ini, salah satunya yakni
angka 4 yang menyatakan bahwa, “Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi
tindakan penuntut umum untuk menentukan suatu perkara tindak pidana dapat
berlaku sekarang diatur dalam Pasal 1 angka 6 huruf b KUHAP yang menyatakan
bahwa, “Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan
akan penuntut umum Indonesia menganut asas legalitas yakni semua perkara yang
penuntut umum “boleh menuntut” atau “tidak menuntut” baik dengan syarat
maupun tanpa syarat. 305 Penuntut umum boleh tidak menuntut suatu perkara
dengan alasan salah satunya karena telah diselesaikan diluar sidang pengadilan.
hanya perkara yang tidak berat, dan penuntut umum yang memutuskan karena
dalam perkara pidana yang menjadi pihak ialah pelaku berhadapan dengan negara
yang diwakili oleh jaksa. Dalam Rancangan KUHAP delik yang diancam dengan
pidana penjara empat tahun dan bagi tersangka yang berumur 70 tahun ke atas,
lima tahun ke bawah. Syarat lain, tersangka bukan residivis, motif ringan,
tersangka tidak dalam keadaan ditahan. 306 Ini merupakan pembaharuan yang
relevan dan sangat tepat untuk mencapai rasa keadilan bagi masyarakat.
305
Andi Hamzah, 2016, “Pembaharuan Hukum Acara Pidana” dalam Jufrina Rizal dan
Suhariyono AR (ed), Demi Keadilan Antologi Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana; Enam
Dasawarsa Harkristuti Harkrisnowo, Cetakan Pertama, Pustaka Kemang, Jakarta, h. 324.
306
Ibid, h. 324-325.
204
2.2.4 Teori Hukum Responsif dari Philippe Nonet dan Philip Selznick,
serta dilengkapi dengan Teori Hukum Progresif dari Satjipto
Rahardjo
2.2.4.1 Teori Hukum Responsif dari Philippe Nonet dan Philip Selznick
Teori hukum responsif dari Philippe Nonet dan Philip Selznick muncul
dari respons adanya krisis hukum dan kekuasaan, yang terlihat sedang
menggerogoti landasan dari semua institusi pada saat itu (1968-1978). Kemudian
muncullah sebuah gagasan yang menangkap berbagai aspirasi hukum dan sosial
dan ditawarkan sebagai sesuatu yang berbeda jauh dengan idiom represif, yakni
Mengenai teori hukum responsif dari Philippe Nonet dan Philip Selznick
Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam kutipan diatas menyatakan bahwa
hukum responsif merupakan suatu tahapan evolusi yang lebih tinggi dibandingkan
kelembagaan yang besar dalam mencapai keadilan. Hukum responsif adalah suatu
yang ideal yang ringkih (lemah), yang keberhasilan dan dapat diterimanya oleh
307
Philippe Nonet dan Philip Selznick II, Op.Cit, h. v.
308
Philippe Nonet dan Philip Selznick I, Op.Cit, h.116.
205
masyarakat sangat tergantung khususnya pada hal-hal yang mendesak yang harus
mengkritisi praktik yang sudah mapan, dan membuka jalan untuk melakukan
309
Hukum represif, hukum otonom, dan hukum responsif dapat dipahami sebagai 3
(tiga) respon terhadap dilema dari integritas dan keterbukaan. Ciri dari hukum yang represif adalah
adaptasi pasif dan oportunistik dari institusi-institusi hukum terhadap lingkungan sosial dan
politik. Hukum otonom, merupakan reaksi yang menentang terhadap keterbukaan yang
serampangan. Kegiatan atau perhatian utamanya adalah bagaimana menjaga integritas
institusional. Untuk mencapai tujuan tersebut, hukum mengisolasi dirinya, mempersempit
tanggung jawabnya, dan menerima formalisme yang buta demi mencapai integritas. Tipe hukum
responsiflah yang berusaha mengatasi ketegangan tersebut. Responsif yang berarti bukan terbuka
atau adaptif. Intitusi yang responsif mempertahankan secara kuat hal yang esensial bagi
integritasnya dengan tetap memperhatikan keberadaan kekuatan-kekuatan baru dalam
lingkungannya. Dengan hal ini, hukum responsif memperkuat cara-cara bagaimana keterbukaan
dan integritas dapat saling menopang. Lihat, Ibid, h. 76-77 dan Philippe Nonet dan Philip Selznick
II, Op.Cit, h. 86-128.
310
Philippe Nonet dan Philip Selznick I, Op.Cit, h.77.
206
institusi yang formalis, yang terikat pada peraturan, menjadi institusi yang
sudah tidak layak lagi diberlakukan. Hukum responsif beranggapan bahwa tujuan
dapat dibuat cukup obyektif dan cukup otoritatif untuk mengontrol pembuatan
dapat diketahui bahwa hukum responsif akan melakukan perubahan dan proses
pengembangan dari teori hukum responsif dari Philippe Nonet dan Philip
Selznick. Teori hukum progresif dari Satjipto Rahardjo berawal dari kondisi
311
Philippe Nonet dan Philip Selznick II, Op.Cit, h. 87-88.
312
Satjipto Rahardjo II, Op.Cit, h. 1.
207
bermakna (significant). Bermakna dalam artian ini adalah, lebih cepat, melakukan
Rahardjo juga menyatakan bahwa hukum progresif dimulai dari suatu asumsi
dasar bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Hukum progresif
tidak menerima hukum sebagai institusi yang mutlak dan final, namun sangat
merupakan koreksi terhadap kelemahan sistem hukum modern yang sarat dengan
birokrasi serta ingin membebaskan diri dari dominasi tipe hukum yang liberal.
Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada ideal hukum
dan menolak status-quo. Hukum progresif tidak ingin menjadikan hukum sebagai
teknologi yang tidak memiliki nurani, melainkan suatu institusi yang bermoral.314
bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya, maka hukum tidak ada
untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar.
yang secara terus menerus membangun dan mengubah dirinya menuju pada
Inilah hakekat “hukum yang selalu dalam proses menjadi”. Hukum akan selalu
313
Satjipto Rahardjo II, Op.Cit, h. 4-5.
314
Satjipto Rahardjo II, Op.Cit, h. 1.
315
Satjipto Rahardjo II, Op.Cit, h. 5-17.
208
membuat manusia bahagia. Inilah yang menjadi pangkal pikiran yang pada
akhirnya memuncak pada tuntutan kehadiran hukum progresif. Ini juga menjadi
hukum merupakan suatu proses yang terus menerus membangun dirinya menunju
ideal. Inilah esensi dari hukum progresif. Hukum progresif bisa disebut sebagai
Pembebasan ini ditujukan baik terhadap tipe, cara berpikir, asas, teori yang selama
cerminan teori hukum yang progress yang selalu tanggap terhadap perubahan, dan
tidak pernah berhenti untuk “terus menjadi” dan terus bergerak menuju hukum
yang ideal.
Yunani kuno, yang dikembangkan oleh filosof besar seperti Plato dan Aristoteles.
316
Satjipto Rahardjo II, Op.Cit, h. 2.
317
Satjipto Rahardjo II, Op.Cit, h. 16.
209
dan kehidupan masyarakat yang terbaik. Hukum bersifat keilahian dan universal.
merupakan negara yang berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan warga
negaranya. Keadilan adalah syarat terciptanya kebahagiaan dan rasa susila perlu
namun pikiran yang adil. Penguasa hanyalah pemegang hukum dan keseimbangan
saja.318
dirumuskan dalam piagam Bill of Right 1789 (Great Britain) yang berisi hak dan
kebebasan kaula negara dan peraturan pengganti raja di Inggris. 319 Negara hukum
lahirnya konsep “rechsstaat” maupun “the rule of law” di Eropa seperti yang
saat terjadi pemisahan kekuasaan antara gereja dan kerajaan. Masa inilah, dimulai
tradisi perumusan norma hukum dalam dokumen hukum yang diundangkan secara
318
Janedjri M. Gaffar, Op.Cit, h. 7, Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi Ekonomi,
Kompas, Jakarta, h. 362, Budiono Kusumohamidjojo, 2004, Filsafat Hukum; Problematika yang
Adil, Jakarta, Grasindo, h. 36-37, dan Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar
Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, PSHTN FH UI dan Sinar Bakti, h. 153.
319
Janedjri M. Gaffar, Op.Cit, h. 47.
210
Eropa Kontinental, sedangkan paham Rule of Law bertumpu pada sistem hukum
Anglo Saxon atau Common Law System. Paham rechtsstaat ini dikembangkan
oleh ahli-ahli hukum Eropa Kontinental seperti Immanuel Kant dan Friedrich
Julius Stahl, sedangkan paham Rule of Law mulai dikenal setelah Albert Vann
Dicey pada tahun 1885 menerbitkan bukunya yang berjudul Introduction to Study
of The Law of The Constitution. 322 Hal ini menunjukkan bahwa kemunculan
rechsstaat maupun the rule of law berkaitan dengan sistem hukum yang dianut
Konsep negara hukum masa ini merupakan cikal bakal paham negara hukum
320
Janedjri M. Gaffar, Op.Cit, h. 48, lihat juga Soetandyo Wignjosoebroto, 2002,
Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya, Cetakan Pertama, Jakarta, LSAM dan
HUMA (Selanjutnya disebut Soetandyo Wignjosoebroto II), h. 442.
321
Janedjri M. Gaffar, Op.Cit, h. 56.
322
Ciri-ciri atau unsur-unsur rechtsstaat yang klasik (formalrechtstaat) menurut
Friedrich Julius Stahl adalah : 1) Adanya pengakuan akan hak-hak dasar manusia. 2) Adanya
pembagian kekuasaan. 3) Pemerintahan berdasarkan peraturan (wetmatigheid vanbestuur). 4)
Adanya Peradilan Tata Usaha Negara, sedangkan menurut A.V. Dicey konsep rule of law
memiliki 3 (tiga) unsur pokok: 1) Supremasi absolut atau predominasi dari reguler law untuk
menentang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan kesewenang-wenangan prerogrative
atau discretionary authority dari pemerintah. 2) Persamaan di hadapan hukum. 3) Konstitusi adalah
hasil dari the ordinary law of the land, bahwa konstitusi bukanlah sumber, tetapi konsekuensi dari
hak-hak individu yang diru muskan dan ditegaskan oleh peradilan, prinsip-prinsip hukum privat
melalui tindakan peradilan dan parlemen sedemikian rupa, diperluas sehingga membatasi posisi
crown dan pejabat-pejabatnya. Lihat Bahder Johan Nasution, Op.Cit, h. 3-24.
211
modern untuk mencapai kepastian hukum melalui upaya positivisasi hukum dan
asas-asas normatif yang bersumber dari moral dan keadilan yang dirumuskan
dalam bentuk positif. Konsep negara hukum modern berakar dari kepercayaan
atas nilai individualisme dan terkait dengan ide bahwa urusan manusia harus
negara, yakni negara hukum formil dan materiil. Negara hukum formil adalah
negara yang didasarkan pada hukum dalam arti formal dan sempit yaitu Peraturan
323
Janedjri M. Gaffar, Op.Cit, h. 48, lihat juga John Alder and Peter English, 1989,
Constitutional and Administrative Law, London, Macmilan, h. 42.
324
Janedjri M. Gaffar, Op.Cit,h. 56.
325
Janedjri M. Gaffar, Op.Cit,h. 57. Lihat, Moh. Mahfud MD, 1999, Hukum dan Pilar-
Pilar Demokrasi, Cetakan Pertama, Gama Media Offset, Yogyakarta (Selanjutnya disebut Moh.
Mahfud MD I), h. 127.
212
rule of law” pada umumnya mengandung prinsip utama bahwa negara harus
Negara hukum yang dianut Indonesia bukanlah dalam artian formal, namun dalam
artian materiil yang dikenal dengan istilah welfare state atau negara
dikenal dengan nama “modern welfare state” pemerintahnya turut serta aktif
dalam arti sempit maka ide negara hukum modern titik berat pokoknya tidak
terletak pada hukum (hukum positif) tetapi pada tujuannya untuk mencapai
perlu, negara juga boleh bertindak di luar hukum untuk dapat mencapai keadilan
326
Janedjri M. Gaffar, Op.Cit,h. 58-59. Lihat juga, Roberto Mangabeira Unger, 2015,
Law in Modern Sciety: Toward a Critism of Social Theory, Maple Press, London, h. 193-194.
213
sosial bagi semua warga negara itu.327 Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa
kesejahteraan rakyat. Pemerintah tidak boleh bersifat pasif atau berlaku sebagai
berpijak. Nurul Qamar menyatakan bahwa negara hukum Indonesia memiliki ciri-
ciri khas ke Indonesiaannya, oleh sebab itu Negara Hukum Indonesia dapat
dasar pokok dan sumber hukum. Negara Hukum Pancasila bertitik pangkal dari
asas kekeluargaan dan kerukunan sebagai dua asas yang terpadu. Dalam hal ini
perindividual tetap dihormati dan dihargai. 329 Berdasarkan hal tersebut dapat
diketahui bahwa Negara Hukum Indonesia adalah Negara Hukum Pancasila yang
327
Utrech, 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Cetakan Keempat,
Ichtiar Baru, Jakarta, h. 33.
328
Moh. Mahfud MD, Op.Cit, h. 24-27.
329
Nurul Qamar, 2013, Hak Asasi Manusia Dalam Negara Hukum Demokrasi, Cetakan
Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, h. 47-48.
214
BAB III
pidana ringan tentu tidak bisa terlepas dari pengkajian dasar ontologis dan
330
filosofis dari mediasi penal itu sendiri. Makna mediasi penal dalam
penyelesaian tindak pidana ringan dalam perpsektif ontologis dan filosofis dalam
kajian disertasi ini berarti mencari “arti terdalam” mediasi penal dalam
331
penyelesaian tindak pidana ringan. Melalui pengkajian ini juga akan
sehingga dapat diketahui bahwa mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana
Makna mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana ringan dari aspek
kajian ontologis pada dasarnya mencari dan menerangkan hakikat mediasi penal
dalam penyelesaian tindak pidana ringan. Hal ini tentu dikaji berdasarkan
330
Dasar ontologis menurut Jujun S. Suriasumantri yakni berbicara mengenai hakikat
apa yang dikaji. Amsal Bakhtiar juga menyebutkan bahwa pada persoalan ontologi orang
menghadapi persoalan mengenai bagaimanakah kita menerangkan hakikat dari segala yang ada
ini? Pertama kali orang dihadapkan pada adanya dua macam kenyataan. Pertama, kenyataan yang
berupa materi (kebenaran). Kedua, kenyataan berupa rohani (kejiwaan)”. Menentukan hakikat
tentu bukanlah hal yang mudah. Amsal Bakhtiar menyatakan bahwa, “Pembicaraan hakikat
sangatlah luas sekali, yaitu segala yang ada dan mungkin ada. Hakikat adalah realitas; realita
adalah ke-real-an, Rill artinya kenyataan yang sebenarnya sesuatu, bukan kenyataan sementara
atau keadaan yang menipu, juga bukan kenyataan yang berubah”. Menurut Romdon, yang dikutip
dalam buku Amsal Bakhtiar menyatakan bahwa, “Pembahasan ontologi sebagai dasar ilmu
berusaha untuk menjawab “apa” yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy dan
merupakan ilmu mengenai esensi benda”. Lihat, Jujun S. Suriasumantri, 2003, Filsafat Ilmu
Sebuah Pengantar Populer, cetakan keenambelas, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 61 dan
Amsal Bakhtiar, M.A, 2013, Filsafat Ilmu, cetakan keduabelas, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, h. 131.
331
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makna berarti: arti, maksud
pembicaraan atau tulisan. Lihat, Windy Novia, Op.Cit, h. 334.
214
215
realitasnya untuk memperoleh kebenaran. Secara lebih lengkap, kajian ini akan
membahas makna yang terdalam, hakikat, esensi, arti yang mendalam, dan inti
mediasi penal sebagaimana yang telah diuraikan pada bab 2 (dua) disertasi ini
pengadilan formal.
masalah kepada para pihak yang berperkara. Ciri utama dari mediasi penal
mediasi penal ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga
menyelesaikan perkara yang terjadi. Mediator berada pada posisi netral dan
216
diambil oleh Para Pihak itu sendiri, bukanlah mediator. Inilah yang
yang terjadi, namun perlu diketahui bahwa mediasi penal juga dapat terjadi
langsung atau tidak langsung. Poin penting dalam hal ini pertemuan para
pihak memang menjadi hal yang utama, namun jika kondisi tidak
penting dalam mediasi penal, meskipun tanpa harus bertemu. Inilah yang
g) Mediasi penal dapat ditempuh oleh dua pihak yang bersengketa atau lebih
(multiparties).
217
h) Mediasi penal dapat dikatakan berhasil jika telah tercapai kesepakatan yang
j) Kemauan sukarela dan iktikad baik dari para pihak sangatlah penting dalam
fokus utama.
l) Fokus utama dalam mediasi penal adalah berorientasi pada kualitas proses,
yakni menjalin hubungan, dialog, dan komunikasi diantara para pihak untuk
menyelesaikan perkara. Pemulihan para pihak dalam proses ini menjadi hal
yang penting.
m) Proses mediasi penal juga memuat proses pemulihan para pihak yang
terkena dampak dari kejahatan yang terjadi. Sesuai dengan prinsip keadilan
pemulihan para pihak, baik korban, pelaku, masyarakat, atau pihak yang
umum dalam mediasi penal. Berdasarkan poin-poin penting dalam mediasi penal
privat ke ranah hukum publik.333 Hal ini tentu menimbulkan kontroversi karena
dalam hukum pidana tidak dikenal dengan perdamaian, namun mediasi penal
332
Sebagai salah satu bentuk dari Alternative Dispute Resolution (ADR) mediasi dalam
penyelesaian perkara perdata sangat diperlukan dan memiliki eksistensi hingga saat ini.
333
Lilik Mulyadi, Op.Cit, h. 19.
219
dapat ditemukan dalam praktek dan telah digunakan dan berkembang di berbagai
lapangan hukum privat, tidak dalam lapangan hukum pidana yang bersifat publik.
Larangan ini berdasarkan pada perbedaan kategoris antara hukum privat dan
hukum pidana yang sifatnya hukum publik, khususnya pada delik biasa.334
(masyarakat umum), ciri-ciri hukum publik jika dikaitkan dengan hukum pidana
yakni:
perseorangan.
334
Hal ini perlu dikritisi. Lihat, Takdir Rahmadi, 2011, Mediasi; Penyelesaian Sengketa
Melalui Pendekatan Mufakat, Cetakan Kedua, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 28-29. Sifat
hukum pidana adalah hukum publik (Van Apeldoorn, Van Hamel, Simons, Hazewinkel-Suringa,
Van Hattum). Lihat, E. Utrecht, 1958, Rangkaian Sari Kuliah; Hukum Pidana I, Universitas
Pajajaran, Bandung, h. 57-62. Banyak pandangan yang menyatakan bahwa hukum pidana adalah
hukum publik, namun ada beberapa sarjana yang menyatakan bahwa hukum pidana bukan hukum
publik (Van Kan, Paul Scholten, Logeman, Lemaire, dan Utrech). Para sarjana yang menganggap
hukum pidana bukan hukum publik berpendapat bahwa hukum pada pokoknya tidak mengadakan
kaedah-kaedah (norma) baru, melainkan norma hukum pidana itu telah ada sebelumnya pada
bagian hukum lainnya dan telah ada sanksinya. Hanya pada tingkatan tertentu, diperlukan sanksi
pidana yang merupakan sanksi yang lebih tegas dan lebih berat. Justru tidak selalu penguasa wajib
menuntut suatu tindak pidana tertentu karena dikenal adanya delik aduan yang dipersyaratkan
harus ada “pengaduan” dari yang dirugikan atau terkena tindak pidana. Hal ini menunjukkan
bahwa hukum pidana tidak bersifat hukum publik. Lihat, E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, 2012,
Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Cetakan Ketiga, Storia Grafika,
Jakarta, h. 23. E. Utrecht menyatakan bahwa hukum pidana bukanlah hukum publik tetapi hukum
sanksi istimewa. Lihat E. Utrecht, Op.Cit, h. 57. Ada pula yang berpandangan bahwa hukum
pidana adalah keduanya. Zainal Abidin yang dikutip dari Edi Setiadi dan Dian Andriasari
menyatakan bahwa hukum pidana sebagian besar kaidah-kaidahnya bersifat hukum publik dan
hukum privat, mempunyai sanksi istimewa karena sifatnya yang luas melebihi sanksi bidang
hukum lain, berdiri sendiri dan kadang menciptakan kaidah baru yang sifat dan tujuannya lain
daripada kaidah yang telah ada. Lihat, Edi Setiadi dan Dian Andriasari, 2013, Perkembangan
Hukum Pidana di Indonesia, Cetakan Pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta, h. 17.
220
pergeseran dimensi hukum privat ke ranah hukum publik. Hal ini tidak dapat
Perlu diketahui bahwa secara historis pada mulanya hukum pidana belum
bersifat hukum publik, karena dahulu ketika terjadi persengketaan atau kerugian
diselesaikan sendiri atau dibalas sendiri oleh pihak yang merasa dirugikan dengan
cara yang sama atau bahkan dengan cara yang berlebihan. 336 Saat itu berlaku
adagium, “Tiada suatu pembalasan yang lebih rendah atau pembalasan itu selalu
lebih kejam”. Penyelesaian kasus dengan cara ini dapat dipahami, karena belum
335
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Loc.Cit.
336
Van Apeldoorn yang dikutip dari E. Utrecht juga menyatakan bahwa pada zaman
pertengahan (di dunia Barat) hukum pidana umumnya masih bersifat privat, karena pada waktu itu
kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum pidana pada umumya dilihat dari
kepentingan-kepentingan khusus. Lihat, E. Utrecht, Op.Cit, h. 57.
221
perselisihan, dengan demikian dasar penuntutan yang berlaku saat itu adalah balas
pihak adalah sama. Penuntutan sangat tergantung pada yang dirugikan. Lazimnya
pencurian yang dilakukan oleh suatu pihak dari pihak lainnya dibalas dengan
pidana sebagai hukum publik. Van Hattum yang dikutip dari E. Utrech
menyebutkan bahwa awal mulanya, pada suatu masyarakat yang belum mengenal
kekuasaan pusat, maka hukuman itu tidak lain dari peletusan hebat rasa marah dan
bersifat suatu yang meredakan dan melenyapkan ketegangan psychis, maka objek
yang terus menerus, namun manusia yang selalu menginginkan perdamaian, tidak
337
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menyatakan bahwa pada saat itu, penuntutan peristiwa
pidana berada di tangan individu yang dirugikan atau keluarganya. Balas dendam (door wraak)
berlaku sebagai “garis hukum” pada saat itu: “Darah dibayar dengan darah (dalam bahasa Belanda:
Oog om oog, tand om tand). Lihat, E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Loc.Cit.
338
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Loc.Cit.
339
E. Utrecht, Op.Cit, h. 60.
222
darah dapat ditebus atau dibeli (afkoop) oleh pelaku atau keluarga pelaku. Pelaku
vrede-geld) atau memberi “barang damai” kepada orang atau keluarga orang yang
dirugikan. Sistem komposisi ini lambat laun dapat meredakan pembalasan darah
kewajiban negara) untuk menyelesaikan suatu perkara yang timbul atas dasar
Van Hattum melihat hukum pidana sebagai hukum publik karena sejarah
yang menempatkan hukum pidana sebagai hukum publik. E.Y. Kanter dan S.R.
Sianturi menyatakan bahwa dewasa ini dikatakan bahwa hukum pidana adalah
hukum publik. Penguasa (negara) akan menuntut (terutama delik biasa) tanpa
memperdulikan keinginan pihak lain, akan tetapi dalam beberapa hal tidak selalu
340
E. Utrecht, Loc.Cit.
341
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Loc.Cit. Van Hattum yang dikutip dari E. Utrech
menyatakan bahwa urusan menghukum pelanggar tata tertib masyarakat kemudian menjadi suatu
tindakan pemerintah. Maka hukum tidak lagi ditinggalkan di tangan individu. Pihak yang
dirugikan tidak boleh lagi menentukan sendiri dihukum tidaknya pelanggar (yang merugikannya).
Penentuan ini ada ditangan pemerintah. Sifat partikelir dari delik diubah menjadi sifat publik.
Lihat, E. Utrecht, Loc.Cit.
342
E. Utrecht, Op.Cit, h, 61.
223
pihak yang dirugikan misalnya dalam delik aduan. Sebagai contoh dalam ilustrasi
kehendak dari pihak yang dirugikan berupa pengaduan agar penguasa melakukan
penuntutan. Kondisi ini akan mempertimbangkan agar jangan sampai pihak yang
dirugikan malah menjadi lebih dirugikan lagi (nama baiknya) karena dalam
pengadilan adalah terbuka untuk umum jika delik ini diselesaikan sampai ke
tingkat pengadilan.344
pihak korban, dengan demikian tidak semua perkara dapat langsung dilakukan
penuntutan oleh negara. Tidak dapat dipungkiri bahwa dari ilustrasi kasus yang
diuraikan oleh E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi mengenai penyelesaian kasus yang
untuk semua pihak. Kemanfaatan menjadi tujuan yang penting untuk dicapai.
343
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menunjukkannya dalam ilustrasi sebuah kasus: Jika A
membunuh atas dasar permintaan B dengan sungguh-sungguh, penguasa (negara) dalam hal ini
tetap berkewajiban menuntut A (sebagaimana yang diatur dalam Pasal 344 KUHP). Dalam kasus
ini tidak dipersoalkan keinganan pihak keluarga B agar A tidak dituntut oleh penguasa karena
diketahui bahwa pembunuhan terjadi karena permintaan B. Hal yang diutamakan adalah
kepentingan umum karena pembunuhan adalah tindakan tercela, harus dicegah dan pelaku layak
untuk dipidana. Lihat, E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op.Cit, h. 24.
344
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Loc.Cit.
224
Kajian historis terkait peralihan hukum pidana dari hukum privat menjadi
hukum publik menunjukkan bahwa hukum pidana yang kini dikatakan sebagai
hukum publik tidak bisa dilepaskan dengan hukum privat, karena awalnya hukum
pidana juga dimulai dari hukum privat. Terdapat benang merah antara hukum
pidana sebagai hukum publik dengan hukum privat. Apabila dikritisi, senyatanya
tidak tepat memisahkan atau mendikotomikan secara keras antara hukum publik
dan hukum privat, karena hukum pidana sebagai hukum publik juga memuat hal-
hal yang sifatnya privat, yang salah satunya adalah penuntutan terhadap delik
hukum, kiranya tidak ada seorangpun yang mengatakan adanya perpisahan antara
hukum publik dan hukum perdata (privat) sedemikian rupa, sehingga segala
itu masuk golongan hukum publik atau perdata. Banyak hubungan hukum yang
perdata. Semua hukum pada pokoknya, mengatur tingkah laku dalam masyarakat
hukum publik dan hukum perdata, hanya saja dalam hubungan hukum tertentu
titik berat ada pada kepentingan satu orang manusia, sedangkan pada hubungan
345
Wirjono Prodjodikoro I, Op.Cit, h. 2.
225
apakah suatu hak dalam hubungan hukum harus dilaksanakan atau tidak. Harus
tidaknya dilaksanakan hak-hak yang ada pada hubungan hukum itu. disinilah letak
perbedaan yang tampak antara yang sejak dahulu dikatakan hukum publik dan
hukum perdata.346
termasuk delik biasa atau bukan delik aduan tidak lagi menjadi persoalan
perorangan atau korban tindak pidana saja, tetapi telah menjadi persoalan
oleh jaksa penuntut umum yang mewakili kepentingan umum atas nama negara,
namun seringkali dalam persidangan korban atau keluarga korban merasa tidak
puas dengan tuntutan jaksa penuntut umum yang dirasakan tidak seimbang
346
Wirjono Prodjodikoro I, Op.Cit, h. 2-3.
347
Takdir Rahmadi, Loc.Cit.
348
Takdir Rahmadi, Op.Cit, h. 30.
226
tidak ada kata “tidak puas” karena jaksa penuntut umum mempunyai ukuran-
ukuran tertentu berdasarkan pertimbangan hukum dan keadilan. 349 Inilah sisi
karena posisi korban hanya sebagai saksi, sehingga tidak serta merta proses
litigasi menjadi sangat lemah, berbeda halnya dengan proses penyelesaian adat
yang hidup dalam masyarakat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1)
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal
ini menunjukkan bahwa keberadaan kebiasaan atau hukum adat sebagai cerminan
islam, memegang andil atas tuntutan penuntut umum. Apabila korban telah
memaafkan, maka tuntutan dapat dibatalkan. Tidak berbeda dalam sistem hukum
adat. Sistem hukum adat mengenal pola pemidanaan dan penuntutan yang
jadi atau tidaknya dilakukan penuntutan terhadap pelaku. Jika dalam hukum islam
349
Erdianto Effendi, 2011, Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Pertama, Refika
Aditama, Bandung, h. 47.
227
dengan cara damai menimbulkan dua hal ironis dengan sifat hukum pidana
Bagi penganut metode ini, beranggapan bahwa hukum pidana adalah hukum
publik, konsekuensi dari hal ini maka pelanggaran terhadap ketentuan hukum
pidana harus diselesaikan oleh aparat penegak hukum. Sebagai hukum publik,
oleh kedua pihak saja yakni korban dan pelaku. Penganut metode berpikir
ada hukum. Dalam metode ini, tercapainya kepastian hukum adalah yang
Penganut metode ini berpandangan bahwa hukum tidak identik dengan hanya
350
Ibid, h. 48.
228
yang terpenting pada metode ini, dalam penegakan hukum adalah mencapai
keadilan.351
pidana diselesaikan di luar acara peradilan, yakni dengan cara perdamaian antara
kedua belah pihak, sama halnya seperti dalam hukum perdata. Lembaga
namun patut disadari bahwa ditinjau dari sejarah peralihan hukum pidana dari
hukum privat menjadi hukum publik maka hal ini tidaklah mutlak. Senyatanya
dalam perkembangannya, hukum pidana sebagai hukum publik tidak bisa lepas
dari hukum privat. Mediasi yang prinsipnya memuat dimensi privat dalam
bahwa dalam prakteknya konsep mediasi penal telah ada dan digunakan untuk
Indonesia. Perdamaian pada kasus pidana sebelum sampai pada tingkat kepolisian
351
Ibid.
352
Ibid, h. 49. Mediasi penal dalam hukum perdata dengan hukum pidana memiliki
perbedaa meskipun sama-sama diselesaikan di luar pengadilan.
229
sudah lazim terjadi, dan sepanjang dapat diselesaikan antara pelaku dan korban
penyelesaian perkara tindak pidana lalu lintas tentu bertentangan dengan sifat
hukum pidana sebagai hukum publik, namun dalam praktik hal ini sering
yang sering terjadi adalah kasus kecelakaan lalu lintas yang bahkan sampai
dengan alasan atau pendapat bahwa pihak korban yang meninggal tidak dapat
dasarnya disertai dengan ganti rugi berupa tindakan pelaku dalam membiayai
upacara bahkan membiayai anak-anak korban untuk beberapa tahun sampai telah
dewasa. Hal ini telah diterima oleh pihak keluarga korban dan terjadilah
perdamaian.355
353
I Wayan Wiryawan dan I Ketut Artadi, Op.Cit, h. 94-95.
354
Erdianto Effendi, Op.Cit, h. 48.
355
Pada prakteknya, kasus-kasus yang relatif agak kabur dan memerlukan pembuktian
untuk beberapa saat bahkan dalam memberikan kesempatan para pihak menyelesaikan sendiri,
polisi dapat menolong dengan menunda pelaporan dimulainya penyidikan bahkan dapat
melakukan penghentian penyidikan dengan alasan tidak cukup bukti. Lihat, I Wayan Wiryawan
dan I Ketut Artadi, Op.Cit, h. 95.
230
Bagir Manan yang dikutip dari buku Takdir Rahmadi menyatakan bahwa
kompensasi terhadap keluarga korban. Upaya damai semacam ini harus membawa
Doktrin yang menyatakan bahwa sifat pidana tidak hapus sehingga perkaranya
seperti perkelahian dan pencurian barang dengan nilai relatif kecil juga
perdata saja, tapi juga dapat digunakan dalam menyelesaikan perkara pidana.357
Hasil mediasi penal pada umumnya dituangkan dalam sebuah kesepakatan atau
pada lapangan hukum privat. Mediasi penal juga dapat digunakan dalam
356
Kompensasi dapat berupa materiil dan immateril. Kompensasi yang bersifat
immateril misalnya seperti denda adat, kewajiban melakukan pemulihan keseimbangan magis.
Pernyataan menyesal dan permohonan maaf yang tulus dan diterima oleh pihak keluarga korban
tidak jarang juga menjadi dasar perdamaian yang penting. Lihat Takdir Rahmadi, Op.Cit, h. 30-31.
357
Takdir Rahmadi, Op.Cit, h. 70.
231
Tidak hanya berdasarkan perbedaan sifat hukum publik dan privat, dalam
atau di luar sidang namun sangat terbatas, sebagaimana yang ditemukan dalam
afkoop. KUHP memang tidak mengatur mengenai mediasi penal, namun Pasal 82
pelanggaran yang diancam dengan pidana denda saja menjadi hapus, kalau dengan
sukarela dibayar maksimum denda dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau
penuntutan telah dimulai, atas kuasa pejabat yang ditunjuk untuk itu oleh aturan-
aturan umum, dan dalam waktu yang ditetapkan olehnya”. Terkait dengan Pasal
pelanggaran yang terancam hukuman utama tidak lain dari pada denda, tiada
menuntut pidana. Pasal 82 KUHP memberi ruang yang terbatas pada penerapan
esensi dalam mediasi penal tidak terdapat dalam Pasal 82 ayat (1) KUHP, namun
pasal ini dapat menjadi celah atau dasar yang menunjukkan bahwa proses
358
R. Soesilo, 1956, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, h. 70.
359
Meskipun dalam Rancangan KUHP tidak lagi membagi/membedakan Pelanggaran
dan Kejahatan, namun KUHP yang berlaku sekarang membedakannya, meskipun secara teoritis
dan praktis tidak mendikotomikannya secara tegas.
232
kemungkinan untuk perkara tertentu dengan cara tertentu dapat diselesaikan tanpa
pasal ini tidak untuk semua perkara pidana, namun hanya perkara pidana
denda maksimum dan biaya yang telah dikeluarkan jika penuntutan telah dimulai
afkoop atau penebusan tuntutan pidana, yang hanya ada pada tindak pidana
pengecualian dari salah satu prinsip dalam hukum acara pidana tentang
sidang tentu bertentangan dengan sifat hukum pidana yang merupakan bagian dari
pidana denda saja) sifat hukum publik ini perlu disimpangi untuk mempermudah
360
Adami Chazawi, 2014, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2; Penafsiran Hukum
Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan & Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran
Kausalitas, Cetakan keenam, PT. Grafindo Persada, Jakarta, h. 182.
361
Ibid.
233
mengisi kas negara dengan denda maksimum.362 Uraian ini menunjukkan bahwa
perdamaian juga dimungkinkan dalam hukum. Hal ini dapat ditemukan dalam
doktrin dari Hans Kelsen yang membahas mengenai hukum dan perdamaian (law
362
E.Y. Kanter dan S.R Sianturi, Op.Cit, h. 433.
363
Hans Kelsen, 1949, General Theory of Law & State, terjemahan Anders Wedberg,
Oxford University Press, London, (Selanjutnya disebut Hans Kelsen I), h. 22.
364
Hans Kelsen, 2015, General Theory of Law & State; Teori Umum Tentang Hukum
dan Negara, terjemahan Raisul Muttaqien, Cetakan kesembilan, Nusa Media, Bandung
(Selanjutnya disebut Hans Kelsen II), h. 27-28.
234
dalam teori paksaan psikologis (Psychologische Zwang Thorie) dari Anselm von
sebuah sarana yang lebih memanusiakan pelaku kejahatan, yang berupaya untuk
masyarakat).
menyerang kepentingan atau nilai yang paling berharga bagi kehidupan manusia.
sebagai upaya untuk menjadikan pidana lebih fungsional maka perlu dikaji
berdasarkan aliran-aliran dalam hukum pidana. Aliran yang pertama adalah aliran
klasik. Aliran ini menghendaki hukum pidana tersusun secara sistematik serta
Aliran yang kedua adalah aliran neo klasik yang disebut juga sebagai
aliran sosiologis. Aliran ini sebagai kompromis antara aliran klasik dan aliran
modern. Melalui aliran klasik diterima sistem pidana dan hukum pidana
365
Karakteristik ide individualisasi pemidanaan ini adalah: a) pertanggungjawaban
(pidana) bersifat pribadi. b) pidana hanya dapat diberikan kepada orang yang bersalah. c) pidana
harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku; ini harus ada
kelonggaran/fleksibelitas bagi hakim dalam memilih sanksi pidana (jenis maupun berat ringannya
sanksi) dan harus ada kemungkinan modifikasi pidana.Barda Nawawi Arief III, Op.Cit, h. 39
366
Masruchin Ruba’i, 2014, Buku Ajar Hukum Pidana, cetakan pertama, Bayumedia
Publishing, Malang, h. 125-126.
237
didasarkan atas asas kesalahan. Aliran ini berprinsip bahwa suatu kenyataan anak-
anak dan orang gila tidak dapat mempertimbangkan antara kesakitan dan
kesenangan. Mereka tidak dapat dipandang sebagai penjahat dan tidak dapat
dipidana. Prinsip ini memperluas paham klasik dengan suatu sistem yang
Terkait aliran yang ketiga adalah aliran modern atau aliran positif. Aliran
pidana. 368 Hal ini menunjukkan bahwa hukum pidana secara teoritis telah
berkembang dari masa ke masa dan kini arah hukum pidana tidak lagi hanya
melihat kejahatan pada perbuatannya saja (kepastian hukum) namun juga melihat
justice).
pidana di dunia. Terlepas dari asas legalitas (nullum delictum nulla poena sine
praevia lege poenali: tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan pidana
lebih dahulu) dan asas kesalahan (geen straf zonder schuld:tiada pidana tanpa
kesalahan), mediasi penal menjadi salah satu perwujudan dari prinsip ultimum
367
Ibid, h. 127.
368
Ibid.
238
perbuatan pidana. Tapi meskipun melakukan perbuatan pidana, tidak selalu dapat
dipidana”. 369 Hal ini menyatakan bahwa pidana tidaklah mutlak dijatuhkan.
perdamaian.
dari masa ke masa. Dahulu tujuan pemidanaan adalah pembalasan, kini dikenal
tujuan pemidanaan yang lebih modern dan humanis yang dapat dicapai dengan
mediasi penal.
369
Romli Atmasasmitha mengembangkan asas tiada pidana tanpa kesalahan, tiada
kesalahan tanpa kemanfaatan (geen straf zonder schuld, geen schuld zonder nut). Atmasasmitha,
Romli, 2017, Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Tiada Kesalahan Tanpa Kemanfaatan (Geen
Straf Zonder Schuld, Geen Schuld Zonder Nut), Makalah pada Penataran Dosen dan Praktisi
Hukum Pidana & Kriminologi Tingkat Nasional Tahun 2017, Ikhabara dan Mahupiki, Surabaya,
29 November 2017-1 Desember 2017.
239
pembalasan merupakan bentuk hukuman yang sangat keras dan dikatakan kejam
sebuah bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia sehingga perlu sangat selektif
pidana baru digunakan apabila sanksi hukum lain dirasakan tidak mampu
menjaga atau memperkuat norma hukum yang telah ada. Hal ini dikenal dengan
istilah “ultimum remedium” atau “the last effort”.370 Dalam hal masih terdapat
upaya lain yang lebih efektif, maka penggunaan hukum pidana tidak merupakan
menunjukkan bahwa sanksi pidana dalam hal-hal atau kasus-kasus tertentu perlu
dialternatifkan.
Hingga saat ini sanksi pidana masih tetap menjadi sanksi yang
istimewa, yang memberikan ciri khas dalam hukum pidana. Sanksi hukum
pidana bersifat “ultimum remedium”, namun patut disadari bahwa pidana kerap
oleh hakim dalam putusannya. Berbeda dengan negara-negara lain di dunia yang
370
I Gede Widhiana Suarda, 2012, Hukum Pidana: Materi Penghapus, Peringan, dan
Pemberat Pidana, Bayu Media Publishing, Malang, h. 11.
371
M. Ali Zaidan, 2015, Menuju Pembaruan Hukum Pidana, Cetakan Pertama, Sinar
Grafika, Bandung, h. 13.
240
sudah mulai mengurangi penggunaan jenis pidana ini. Hal ini menimbulkan
(overcriminalization).372
pemenjaraan dan mencari alternatif yang lain yang bukan bersifat pidana dalam
membina pelanggar hukum. Alternatif yang lain yang bukan bersifat pidana
372
Ibid.
373
Mengenai filosofi pemidanaan tujuan pemidanaan yang paling tua adalah
pembalasan (revenge) yaitu untuk memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat maupun
pihak yang menjadi korban kejahatan. Tujuan pemidanaan yang juga dipandang kuno adalah
retribusi (retribution), yaitu melepaskan pelanggar hukum dari perbuatan jahat atau menciptakan
balance atau memperbaiki keseimbangan moral yang dirusak oleh kejahatan. Lihat, Andi
Hamzah, 2007, Pelajaran Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 16 dalam Ibid,
h. 129.
241
satunya syarat untuk adanya pidana, dan proses pemidanaan tidak mencerminkan
memasyarakatkan.
tepat untuk diterapkan. Bahkan ada pandangan bahwa, “... teori retributive atau
374
Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa menurut teori absolut atau teori pembalasan
(retributive/vergeldings), pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan kejahatan.
Dasar pembenar terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu. Hegel berpendapat bahwa
pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan. Setiap kejahatan
harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, dan tanpa tawar menawar. Penjatuhan pidana
bertitik pangkal pada pembalasan yang diberikan oleh negara kepada penjahat. Siapa saja yang
berbuat jahat maka harus dibalas dengan memberikan pidana. Tidak melihat akibat-akibat apa saja
yang dapat timbul karena dijatuhkan pidana. Teori ini, yang dilihat hanyalah masa lalu, tidak
melihat akibat-sebab apa saja yang akan ditimbulkan karena adanya penjatuhan pidana, tidak
melihat masa yang akan datang bagi terpidana. Tujuan menjatuhkan pidana untuk menjadikan si
penjahat menderita. Teori retribution: a) Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan; b)
Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan
lain, c) Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana; d) Pidana harus
disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar; d) Pidana melihat kebelakang. Lihat, Muladi dan
Barda Nawawi Arief, Op.Cit, h. 10-12. Lihat juga Dwidja Priyatno, 2013, Sistem Pelaksanaan
Pidana Penjara di Indonesia, Cetakan Ketiga, PT. Refika Utama, Bandung, h.24 dan , E.Y. Kanter
dan S.R. Sianturi, Op.Cit, h. 59-60.
375
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit, h. 150 dalam M. Cherif Bassiouni, 1978,
Op.Cit, h. 86 dengan menunjuk B. Malinowski, 1964, Crime and Custom in Savag Society; dan E.
Hoebel, 1961, The Law of Primitive Man.
242
Muladi dan Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa apa yang telah dikemukakan
sanksi pidana.377
dengan hasil yang ingin dicapai, namun juga dalam arti mempertimbangkan
evektifitas dari sanksi pidana tersebut. Pidana hanya dapat dibenarkan jika ada
suatu kebutuhan yang berguna bagi masyarakat. Pidana yang tidak diperlukan
tidak dapat dibenarkan dan berbahaya bagi masyarakat. Terlebih bagi Indonesia
376
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit, h. 165.
377
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Loc.Cit.
243
digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan ini, maka harus diperhatikan dan
menyerang kepentingan atau nilai yang paling berharga bagi kehidupan manusia.
bahwa pidana harus sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang beradab, namun
memperbaiki kondisi pemenjaraan dan mencari alternatif yang lain yang bukan
bersifat pidana yang dapat diterapkan dalam kasus-kasus tertentu, salah satunya
378
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit, h. 167.
379
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Loc.Cit.
380
Menurut Bassiouni bahwa disiplin hukum pidana bukan hanya pragmatis namun juga
suatu disiplin yang berdasar dan berorientasi pada nilai. Dalam melakukan kebijakan hukum
pidana diperlukan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan yang bersifat pragmatis dan
berorientasi pada nilai. Lihat Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit, h. 166-167.
244
direalisasikan dalam tujuan pemidanaan yang semakin menarik untuk dikaji saat
merupakan bentuk dari tujuan yang lebih modern dalam pemidanaan yakni sebuah
di dunia. Restorative juctice juga sesuai dengan budaya bangsa Indonesia yang
melalui jalur litigasi) melalui restorative justice salah satunya dalam bentuk
mediasi penal.
pelaku tindak pidana yang terkadang sangat ringan tetapi mendapat hukuman
juga menyatakan bahwa pada tindak pidana ringan, penjatuhan sanksi pidana
381
Teori retributive atau pembalasan lebih memprioritaskan pada penjatuhan hukuman
kepada pelaku kejahatan tanpa memperhatikan pemulihan pihak yang dirugikan. Hal inilah yang
menyebabkan bahwa teori ini tidak mampu memberikan rasa keadilan bagi semua pihak.
382
Topo Santoso, 2012, “Suatu Tinjauan Atas Efektivitas Pemidanaan” dalam Agustinus
Pohan, Topo Santoso, dan Martin Moerings (ed), Hukum Pidana Dalam Perspektif, Pustaka
Larasan, Denpasar Bali, (Selanjutnya disebut Topo Santoso II), h. 221.
383
M. Ali Zaidan, Op.Cit, h. 72.
384
Topo Santoso II, Loc.Cit.
245
Ketika terjadinya sebuah kejahatan maka tentu pihak korban yang paling
merasa dirugikan atau yang paling menderita, pihak masyarakat pun mengalami
menderita sebagai akibat dari tindak kejahatan tersebut.385 Korban menjadi pihak
yang paling dirugikan akibat kejahatan yang terjadi, yang secara langsung
menderita oleh karena kejahatan, dan dapat menderita secara fisik, mental atau
materi, dalam bentuk uang atau harta kekayaan lainnya. Korban dapat pula
pada godaan-godaan buruk, dan kehilangan kemampuan diri untuk memilih yang
385
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 27.
386
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 34.
387
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 27.
246
baik dan benar. Sebaliknya, ia justru memilih yang buruk dan salah. Pelaku
kejahatan kehilangan kehormatan dan martabatnya sebagai manusia. 388 Dalam hal
dipulihkan. 389
yang telah melanggarnya. Kedamaian yang ada di dalam masyarakat hilang dan
Hubungan sosial antara warga masyarakat menjadi rusak oleh karena saling
menyalahkan satu sama lain atau dapat menimbulkan hilangnya rasa kepercayaan
memulihkan ketiga pihak tersebut. Dalam hal inilah restorative justice tidak
masyarakat.
keluarganya, serta merusak kondisi masyarakat.393 Luka itu harus dipulihkan agar
trauma yang dialami korban dapat disembuhkan, agar korban dan pelaku
kembali.394
Restorative juctice dalam bentuk mediasi penal menjadi solusi yang tepat
diketahui bahwa makna mediasi penal adalah pemulihan korban, masyarakat, dan
Proses mediasi penal dapat menjadi media atau sarana untuk memulihkan
dan memperbaiki kerusakan yang terjadi akibat kejahatan. Mediasi penal dalam
393
Yoachim Agus Tridiatno, Op.Cit, h. 41, dalam Van Ness dalam Burt Galaway and
Joe Hudson, Restorative Justice: International Perspective, Monsey, New York: Criminal Justice
Press, h. 22-23.
394
Yoachim Agus Tridiatno, Loc.Cit.
248
pengadilan dengan melibatkan mediator dalam hal ini dapat bermakna sebagai
peradilan pidana dalam sebuah Sistem Peradilan Pidana, namun melalui mediasi
penal penyelesaian perkara pidana akan dialihkan tidak lagi diproses melalui
penuntutan terhadap tindak pidana yang terjadi, namun beberapa kasus tidak
sampai diproses melalui peradilan pidana. Hal ini terkait dengan budaya
penyelesaian perkara pidana ini dapat dilihat dalam bagan 4 di bawah ini:
249
Bagan 4.
Alternatif/Pengalihan Proses Penyelesaian Perkara Pidana
Sub Sistem
Tindak Pidana
Peradilan Pidana
advokat
Kejaksaan
Ket:
: alur/tahapan
: proses tidak berlanjut
Kepolisian MEDIASI PENAL
: dialihkan
perkara pidana dapat diketahui bahwa proses peradilan pidana dapat dialihkan
melalui melalui mediasi penal. Mekanisme atau tahapan dalam mediasi penal
tentu lebih sederhana, dengan waktu yang tidak lama dan biaya yang relatif tidak
mahal. Mekanisme ini akan dibahas lebih lanjut dalam Bab V disertasi ini
pengadilan.
250
mediasi penal adalah konsensus atau kesepakatan para pihak yang berperkara.
keadilan). Mediasi penal dapat menjadi media dalam memberikan keadilan yang
yang diamanatkan dalam sila ke-lima Pancasila yaitu, “Keadilan sosial bagi
seluruh bangsa Indonesia”. Rakyat kecil (the poor) yang sangat rentan
diperlakukan tidak adil perlu diberikan sebuah perlindungan hukum dan keadilan,
inilah yang menjadi tugas dari negara untuk mengayomi dan melindungi warga
negaranya.
menjadi lambang hukum dan keadilan bagi semua rakyat, tidak hanya bagi yang
kaya, yang berstatus sosial tinggi, tidak hanya bagi yang berkuasa, tetapi terutama
bagi yang tertindas, yang buta hukum, yang lemah ekonominya. Lambang pohon
251
beringin pengayoman harus menjadi sumber keteduhan yang penuh kearifan dan
sumber hikmat dan kebijaksanaan. 395 Mediasi penal diharapkan dapat menjadi
(the poor). Tidak hanya bagi masyarakat miskin, tetapi juga berlaku bagi
menyatakan bahwa:
hukum perlu dilakukan sebagai wadah dalam memberikan keadilan yang bersifat
juga dapat dianalisis berdasarkan teori keadilan dari John Rawls. Dalam praktik
395
J.E. Sahetapy, 2009, Runtuhnya Etik Hukum, cetakan pertama, Kompas, Jakarta, h.
137-139.
396
Bahder Johan Nasution, Op.Cit, h. 112-113.
252
masyarakat yang lemah (ekonomi dan sosial) sangat rentan diperlakukan tidak
disertasi ini dapat diketahui bahwa dalam teori keadilan dari John Rawls terdapat
1. Setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling
memiliki hak yang sama untuk mendapatkan keadilan. Situasi perbedaan (sosial,
masyarakat yang lemah. Prinsip pertama dan kedua dalam teori keadilan John
dasarnya dibagikan atau didistribusikan secara sama. Sama dalam artian ini
lemah, sehingga golongan ini memiliki kesempatan atau peluang yang sama
dapat menjadi dasar untuk tidak memperoleh keadilan, karena keadilan adalah
hak semua orang. Ketika terjadi perbedaan sosial, ekonomi, dan lain sebagainya
sehingga golongan ini menjadi golongan yang lemah dan rentan diperlakukan
akses keadilan) yang berbeda secara ekonomi, sosial, dan lain sebagainya
keadilan dari John Rawls sehingga masyarakat kecil yang kerap mendapat
sifatnya yang informal tentu dapat memberikan akses atau kesempatan yang
memiliki posisi yang penting sebagai sarana untuk mencapai keadilan, namun
254
Keadilan substansial mengacu pada hasil yang adil (just outcome). 397
yang telah diuraikan dalam landasan teoritis dalam disertasi ini dapat diketahui
bahwa keadilan yang sesuai dengan rasa keadilan bangsa Indonesia adalah
bangsa, dasar negara Indonesia, tentu dapat menjadi pedoman dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, serta dalam kehidupan sehari-hari, begitu pula dalam
dalam sila kedua dan sila ke lima Pancasila, yakni Kemanusiaan yang adil dan
beradab dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tidak hanya sila
kedua dan kelima Pancasila yang harus diperhatikan dalam mencapai keadilan.
397
Munir Fuady, Loc.Cit.
255
ini, melalui sistem filsafat keadilan Pancasila akan mencakup semua sila yang
Berdasarkan hal ini, keadilan mencakup kelima sila Pancasila sehingga dapat
Keadilan adalah hak setiap orang dan merupakan kewajiban negara untuk
memberikan keadilan kepada warga negaranya. Negara dalam konteks ini dapat
materiil.
hukum modern. Dalam hal ini, pencapaian keadilan sosial (sociale gerechtigheid)
menjadi hal yang sangat penting dan jika perlu negara boleh bertindak di luar
Negara harus bersikap aktif untuk mencapai hal tersebut. Dalam penegakan
hukum, negara juga wajib memberikan keadilan sosial. Salah satunya adalah
Sistem Peradilan Pidana dan untuk keadilan sosial, negara memerlukan alternatif
rakyat Indonesia, negara dapat menyediakan sarana berupa mediasi penal untuk
perlu dilakukan adalah menyediakan dasar hukum yang kuat yang mengatur
ini, terkait dengan konsep negara hukum juga berlaku konsep negara hukum
Pancasila, karena Pancasila menjadi dasar pokok dan sumber hukum di Indonesia.
Negara Hukum Pancasila bertitik pangkal dari asas kekeluargaan dan kerukunan
sebagai dua asas yang terpadu. Sebagaimana dalam negara hukum Pancasila yang
memiliki prinsip asas kekeluargaan dan kerukunan, mediasi penal tentu sesuai
kelompok Ketetapan MPR yang sudah bersifat final atau selesai dilaksanakan
Pancasila dalam negara hukum di Indonesia atau dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat.
kepentingan bersama.
kekeluargaan.
8. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani
yang luhur.
moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan
melaksanakan pemusyawaratan.
Butir-butir pengalaman Pancasila dalam sila ke-empat Pancasila ini dapat menjadi
penal juga memberi kemanfaatan bagi semua pihak. Mediasi penal dalam perkara
259
pidana memiliki banyak manfaat. Manfaat atau urgensi atau alasan pembenar
lama, dengan prosedur yang panjang, kaku dan rumit, serta mengeluarkan biaya
yang besar. Dapat dikatakan bahwa penyelesaian perkara pidana melalui litigasi
akan melewati serangkaian peradilan pidana yang sangat panjang. Hal ini tentu
melalui proses atau prosedur peradilan pidana yang panjang, sehingga dapat
penyelesaian kasus yang sederhana, dan dapat menghemat waktu, serta biaya.398
memudahkan para pihak. Dalam hal ini, para pihak dengan bantuan mediator juga
kasus.
dan efisiensi yang dapat dicapai dalam proses penyelesaiannya, serta memberikan
398
DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur menyatakan bahwa mediasi penal merupakan
salah satu proses penyelesaian sengketa yang cepat, murah, dan sederhana. Lihat, DS. Dewi dan
Fatahillah A. Syukur, Op.Cit, h. 89.
260
memberikan proses penyelesaian perkara pidana yang cepat, sederhana, dan biaya
yang ada. Dampak terutama dirasakan bagi korban dan juga pihak lain seperti
keluarga korban, masyarakat, atau pihak lainnya yang terkait. Dampak kejahatan
juga dirasakan bagi pelaku. Proses mediasi akan akan memulihkan hubungan
antara pihak korban dengan pelaku, serta pihak yang terkait (keluarga/masyarakat)
Menurut DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur sifat dasar mediasi penal
adalah sama dengan mekanisme musyawarah. 399 Mediasi penal dalam konteks
musyawarah ini memberikan ruang dan kesempatan kepada para pihak untuk
mediator. Komunikasi dalam artian ini bahwa pihak korban dapat menyampaikan
kerugian, kebutuhan, dan tuntutannya. Pelaku dalam proses ini juga dapat
399
Lihat, DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Loc.Cit.
261
Permohonan maaf dari pelaku juga menjadi sangat penting. Tidak hanya
bagi korban, permintaan maaf dari pelaku juga dapat memberi manfaat bagi
pelaku itu sendiri untuk mengurangi rasa bersalah dari tindak pidana yang
dilakukannya. Hubungan antara pihak korban dengan pelaku, serta pihak yang
kejahatan yang dilakukan oleh pelaku akan pulih atau diperbaiki dalam proses
diantara pihak yang berperkara. Putusan pengadilan tidak serta merta dapat
korban. Sering terjadi bahwa ada upaya balas dendam kembali walaupun telah
diantara para pihak. Mediasi penal dapat memberikan solusi dengan proses yang
400
Mediasi penal pada dasarnya memberikan ruang bagi para pihak yang berperkara
untuk menyelesaikan permasalahanya dengan bantuan mediator. Mediasi penal pada umumnya
memang diharapkan dapat mempertemukan para pihak secara langsung atau yang dikenal dengan
nama rekonsiliasi, namun perlu dipahami bahwa pertemuan bukanlah menjadi fokus utama dalam
mediasi. Poin penting dalam mediasi adalah menjalin komunikasi antar para pihak. Komunikasi
dapat dilakukan juga tanpa melalui proses pertemuan. Hal inilah yang menjadi tugas dan peranan
mediator.
262
sehingga tidak ada dendam atau permusuhan dikemudian hari. Mediasi penal
dapat memperbaiki hubungan dan pembinaan hubungan agar lebih baik untuk
dikarenakan sifat hukum pidana adalah hukum publik yang menganggap bahwa
yang diwakili oleh kejaksaan yang melakukan penuntutan terhadap pelaku. Dapat
dikatakan bahwa peranan korban dalam hal ini diambil alih oleh negara. Korban
Pidana. Perhatian utama lebih ditujukan kepada pelaku untuk segera dapat
diproses dan dihukum. Korban hanya mendapat perhatian sekunder atau bukan
menjadi perhatian utama, padahal korban adalah pihak yang sangat dirugikan
utama untuk segera dipulihkan, baik secara fisik, psikologis, material/dan lain-
lain. Kedudukan korban yang lemah dalam proses litigasi memungkinkan korban
Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Howard Zehr dan Ali Gohar
yang telah diuraikan dalam bab kedua disertasi ini bahwa, “Yet victims often have
a number of specific needs from a justice process”. Hal ini menunjukkan bahwa
263
korban sering merasa diabaikan, atau bahkan mendapat perlakuan yang sewenang-
pidana penjara sebagai sanksi selama ini paling kecil peluangnya untuk memberi
kesempatan bagi pelaku untuk memulihkan atau mengganti kerugian yang diderita
korban pada dasarnya telah ada dalam hukum pidana di Indonesia namun dalam
sebagaimana yang diharapkan, karena hanya kerugian nyata (material) yang dapat
dituntut. Padahal, pada umumnya korban justru hendak menuntut kompensasi atas
kerugian immaterial.401
memberikan kedudukan yang penting bagi korban untuk segera dipulihkan atau
dalam hal ini akan bertanggung jawab melakukan ganti rugi, pelaku akan
merespon segala kebutuhan, keinginan, dan tuntutan korban. Mediasi penal akan
401
Martin Moerings, 2012, “Apakah Pidana Penjara Efektif” dalam Agustinus Pohan,
Topo Santoso, dan Martin Moerings (ed), Op.Cit, h. 226.
264
mendorong pelaku untuk bertanggung jawab. Pelaku dalam proses ini juga
restitusi yang ditawarkan, dirundingkan, dan disepakati bersama. 402 Mediasi penal
pada Pasal 10 KUHP, namun penghukuman ini juga diberikan kepada pelaku,
namun dengan bentuk dan cara yang berbeda. Mediasi penal mendorong pelaku
untuk bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukannya yang pada umumnya
kejahatan. Pelaku kejahatan melalui proses mediasi penal akan mengakui bahwa
proses ini.
402
I Ketut Sudira, 2016, Mediasi Penal; Perkara Penelantaran Rumah Tangga, Cetakan
Pertama, UII Press, Yogyakarta, h, 8.
265
pelaku atau tindakan apa saja yang harus dilakukan oleh pelaku untuk
keinginan, dan tuntutan korban kejahatan, sehingga dirasakan adil bagi semua
pihak. Penghukuman dalam proses litigasi pada umumnya bersifat retributif (balas
dendam), tidak selalu mampu berhasil untuk membuat efek jera, dan memberikan
kemacetan di lembaga pengadilan. Tentu tidak efektif dan efisien jika semua
tidak efektif. Penumpukan perkara tentu akan berpengaruh terhadap kinerja dari
para penegak hukum sebagai sub sistem peradilan pidana. Penumpukan perkara
266
dapat menghambat kinerja para penegak hukum untuk mencapai tujuan dalam
penanggulangan kejahatan.
kasus-kasus tertentu.
diproses melalui peradilan pidana dan apabila pidana yang dijatuhkan adalah
hal ini juga berdampak pada bertambahnya beban negara dalam pembiayaan
dapat diselesaikan melalui mediasi penal tidak perlu lagi diproses melalui
peradilan pidana. Mengingat masih banyak kasus serius lainnya yang harus
Penegak hukum atau sub sistem peradilan pidana dapat fokus dan memproses
perkara pidana lainnya sehingga beban tugasnya menjadi proposional. Hal ini
tugasnya, sehingga Sistem Peradilan Pidana lebih efektif. Mediasi penal dapat
tuntutannya yang timbul akibat kejahatan yang terjadi dan merugikan hidupnya.
kebutuhan, dan tuntutan para pihak, sehingga hasil kesepakatan tentu dapat
menjamin keadilan. Hal ini menunjukkan bahwa mediasi penal bersifat responsif
mengikuti keinginan dan kebutuhan semua pihak yang terkait. Mediasi penal
dalam mencapai kesepakatan yang memuaskan semua pihak dan dapat diterima
serta dijalankan oleh para pihak. Hasil kesepakatan akan menguntungkan semua
268
pihak (win win solution) dan memberikan keadilan bagi semua pihak karena
keadilan tertinggi yang hendak dicapai dalam mediasi penal adalah terjadinya
kesepakatan diantara para pihak yang terlibat, terutama bagi pelaku dan korban.
Kedua pihak tersebut diharapkan mencari dan mencapai solusi serta alternatif
yang terbaik untuk menyelesaikan perkara pidana yang terjadi. Pelaku dan korban
dapat menimbulkan suatu perilaku jahat. Label atau cap yang sudah ada akan
403
Ibid.
404
Teori labeling dikenal dalam ilmu kriminologi. Menurut Howard S. Becker, kajian
terhadap teori labeling menekankan kepada dua aspek, yaitu: a) Menjelaskan tentang mengapa dan
bagaimana orang-orang tertentu diberi cap atau label. b) Pengaruh/efek dari label sebagai suatu
konsekuensi dari perbuatan yang telah dilakukannya. Lihat, Yesmil Anwar dan Adang, 2010,
Kriminologi, Cetakan pertama, PT. Refika Aditama, Bandung (Selanjutnya disebut Yesmil Anwar
dan Adang II), h. 108.
269
405
dengan sendirinya sebagaimana cap yang diberikan oleh si pengamat.
Berdasarkan hal ini dapat dikatakan bahwa pemberian label dapat menyebabkan
orang yang diberi label melakukan perilaku seperti apa yang dilabelkan padanya.
Dampak lain dari pemberian label adalah cap/label sebagai penjahat akan
melekat pada orang yang diberi label secara terus-menerus dan dalam waktu yang
lama, ketika terjadi kejahatan orang yang diberi label-lah yang akan dicurigai
kejahatan lagi, orang yang diberi label merasa selalu diawasi, merasa dikucilkan,
merasa tidak disukai, dan tidak dipercaya oleh masyarakat.406 Orang yang diberi
label juga merasa tidak percaya diri dalam masyarakat. Secara psikologis
pemberian label dapat menimbulkan troma karena label/cap tersebut akan selalu
pernah dilakukannya, penerima label akan stress atau depresi dan dalam jangka
(kriminil) apabila suatu kasus tindak pidana ringan diproses hingga ke pengadilan.
Hal ini tentu sangat merugikan dalam jangka waktu yang lama terutama jika
melibatkan seorang anak dan akan menambah penderitaan jika pelaku sudah
lanjut usia. Mediasi penal dapat mencegah dan mengurangi dampak dari labeling.
405
Proses pemberian label adalah penyebab seseorang untuk menjadi jahat. Adanya label
akan menimbulkan perhatian masyarakat terhadap orang yang diberi label. Masyarakat akan
memperhatikan orang yang diberi label secara terus-menerus (terbentuk attachment partial).
Adanya label, mungkin diterima oleh individu tersebut dan berusaha untuk menjalankan
sebagaimana label yang diletakkan pada dirinya. Lihat, Ibid, h. 111.
406
Pemberian label memberikan dampak yang buruk bagi yang diberikan label/cap.
Lihat Indah Sri Utari, 2012, Aliran dan Teori Dalam Kriminologi, Cetakan Kedua, Thafa Media,
Yogyakarta, h. 110-112
270
yang dirasakan korban dan pelaku yang menggunakan mediasi penal dalam
menyelesaikan perkara pidana yang terjadi. Menurut Umbreit dan Coates yang
dikutip dari DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur faktor-faktor mediasi penal yang
Tabel 2
Kepuasan Pengguna Mediasi Penal
Marshall dan Merry yang dikutip dari DS. Dewi dan Fatahillah A.
Syukur juga menambahkan bahwa mediasi penal dapat membuat pelaku kejahatan
lebih bertanggung jawab daripada merasa terhina dan terpinggirkan ketika tindak
kriminal pelaku ditangani oleh sistem peradilan. 408 Menurut Mark Umbreit dan
Mearilysn Peterson Armour ada beberapa alasan yang mendorong korban untuk
407
DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Op.Cit, h. 86.
408
DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Op.Cit, h. 87.
271
menyelesaikan perkara pidana, dan tingkat kepuasan yang tinggi dan adil juga
Van Ness dan Strong yang dikutip dari DS. Dewi dan Fatahillah A.
Syukur berpandangan bahwa mediasi penal memberikan manfaat yang besar bagi
yang tidak hanya bermanfaat untuk korban dan pelaku, tetapi juga untuk
409
DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Loc.Cit.
410
DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Loc.Cit.
411
DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Op.Cit, h.87-88.
272
pengadilan dan masyarakat luas. Manfaat mediasi penal tersebut dapat dirasakan
bagi korban, pelaku, bagi pengadilan, dan bagi masyarakat sebagaimana yang
pidana ringan dengan kajian ontologi dan filosofisnya dapat diketahui bahwa
412
DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Loc.Cit.
273
memihak memiliki peran yang penting dalam proses mediasi penal dan sekaligus
hukum pidana yang hingga saat ini dikenal dengan istilah mediasi penal. Mediasi
dalam bidang hukum perdata dengan hukum pidana memiliki perbedaan karena
memiliki sifat yang berbeda, hukum perdata bersifat privat dan hukum pidana
perkara pidana dari pengadilan ke luar pengadilan dan dari Sistem Peradilan
Pidana ke luar dari Sistem Peradilan Pidana. Mediasi penal menawarkan sebuah
pidana. Dalam hal ini para pihak yang menentukan pemilihan penggunaan
mediasi penal. Para pihak dengan bantuan mediator sebagai penegah akan
pihak, karena dibuat dan disetujui oleh semua pihak yang berperkara sehingga
mediasi penal dapat bermakna sebagai sarana yang memberikan keadilan bagi
semua pihak. Tidak hanya memberikan keadilan, mediasi penal juga memberikan
2. Memulihkan hubungan antara pihak korban dengan pelaku, serta pihak yang
terkait (keluarga/masyarakat)
BAB IV
DASAR HUKUM
(IUS CONTITUTUM)
Menarik untuk diteliti apakah dasar hukum yang digunakan tepat dan memiliki
ketentuan hukum yang berlaku, 2) kedudukan ketentuan hukum yang berlaku, dan
ditelusuri dapat ditemukan beberapa dasar hukum yang menjadi dasar dalam
413
1)Ketentuan hukum yang berlaku: ajaran sumber hukum: Pertama, ukuran yang
digunakan untuk menentukan apakah suatu ketentuan merupakan suatu ketentuan hukum atau
tidak. Kedua, ketentuan yang dapat diterapkan oleh pengadilan. Terdapat 3 (tiga) pengertian
sumber hukum yakni a. sumber hukum material (materi yang menentukan isi ketentuan hukum
yang berlaku, wujudnya adalah prinsip-prinsip; perundang-undangan dan kebiasaan, serta traktat,
b. sumber hukum formal (Peraturan Perundang-undangan dan kebiasaan menghasilkan peraturan
perundang-undangan, dan peraturan kebiasaan yang harus dipatuhi dalam kehidupan masyarakat,
dan juga diterapkan oleh Mahkamah dalam menyelesaikan sengketa), dan kumpulan ketentuan
hukum yang diterapkan untuk menyelesaikan sengketa.
2) Kedudukan Ketentuan Hukum yang Berlaku: a. hakikat ketentuan hukum tersebut
dan sistem Peraturan Perundang-undangan yang berlaku (meliputi prinsip hukum dan ketentuan
hukum biasa). b. Sistem Peraturan Perundang-undangan yang berlaku: hirarki Peraturan
Perundang-undangan.
3) Arti ketentuan hukum yang berlaku : terkait penafsiran. Lihat, Abdul Latif dan Hasbi
Ali, Op.Cit, Jakarta, h. 38-43.
275
276
penerapan mediasi penal dalam penyelesaian kasus tindak pidana ringan selama
4.1 Peraturan
a. Pasal 5 ayat (1) angka 4 dan Pasal 7 ayat (1) huruf j Undang-Undang RI
No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), serta Pasal
16 ayat (1) huruf l dan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun
2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia
Secara umum, diskresi adalah suatu kebijakan yang harus diambil oleh
pendapat sendiri demi untuk melayani publik dengan penuh tanggung jawab.414
414
M. Marwan dan Jimmy P., Op.Cit, h. 173.
277
dan Pasal 7 ayat (1) huruf j Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), serta Pasal 16 ayat (1) huruf l dan Pasal 18 ayat
Mengenai penjelasan “tindakan lain” ini, Penjelasan dalam Pasal 5 ayat (1) angka
4 menyatakan bahwa:
Diskresi juga diatur di dalam Pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP yang
menyatakan bahwa:
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena
415
Pudi Rahardi, 2014, Hukum Kepolisian Kemandirian Profesionalisme dan Reformasi
POLRI, Cetakan Pertama, Laksbang Grafika, Surabaya, h. 72.
278
Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf j Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1981 Tentang
untuk :
bertanggung jawab.
penilaiannya sendiri.
Berdasarkan ketentuan pasal ini, dapat diketahui bahwa diskresi dilakukan untuk
kepentingan umum.
Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) angka 4 dan Pasal 7 ayat (1) huruf j
serta Pasal 16 ayat (1) huruf l dan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun
2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia, dapat diketahui syarat atau batasan-
tindakan jabatan;
c) tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan
jabatannya;
diatur dalam Pasal 5 ayat (1) angka 4 dan Pasal 7 ayat (1) huruf j Undang-Undang
RI No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), serta Pasal 16
ayat (1) huruf l dan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian Republik Indonesia tapi tidak diatur secara jelas mengenai dalam hal-
281
hal apa saja (secara lebih jelas dan kongkrit) polisi dapat melakukan diskresi.
sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, namun aturan ini masih kabur.
Pasal 5 ayat (1) angka 4 dan Pasal 7 ayat (1) huruf j Undang-Undang RI
No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengatur
mengenai apa saja tolak ukur hukum yang bertanggung jawab itu dan untuk
kepentingan umum yang bagaimanakah yang harus dicapai. Ketentuan ini masih
raguan dalam menerapkan diskresi. Mengenai hal ini masih diperlukan kejelasan
mengingat penilaian setiap orang terhadap suatu hal akan berbeda, begitu pula
umum tersebut, tentu juga akan berbeda diantara penegak hukum kepolisian ini.
yang sangat besar sebagai konsekuensi dari tindakan diskresi tersebut. Amir
Syamsudin mengatakan bahwa, “Para korban atau masyarakat lain secara umum
Negara”.416
profesional”.417 Berdasarkan hal ini dapat dikatakan bahwa jika nantinya seorang
pelengkap dari hukum juga dapat memberikan pengaruh negatif jika nantinya
penggunaan kewenangan diskresi ini pada dasarnya bukan hal yang mudah dan
dianalisis kewenangan diskresi kepolisian sifatnya masih sangat luas dan masih
sangat implisit atau tidak tegas mengatur tindakan-tindakan apa saja yang boleh
mengenai mediasi penal atau tidak dijumpai/tidak ada istilah “mediasi penal
416
Amir Syamsuddin, 2008, Integritas Penegak Hukum; Hakim, Jaksa, Polisi, dan
Pengacara, Cetakan Pertama, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, h. 11.
417
Ibid.
283
dalam tindak pidana ringan”. Hal ini bergantung pada penafsiran, pertimbangan,
pandangan, dan keputusan polisi untuk menerapkan mediasi penal dalam tindak
umum dan menurut hukum yang bertanggung jawab, sehingga mediasi penal
menjadi sangat terbatas untuk dilakukan atau sangat tergantung pada pilihan
kepolisian untuk melakukan atau tidak melakukan mediasi penal melalui diskresi
dan tidak mengatur secara tegas mengenai mediasi penal. Memang mediasi penal
dalam penyelesaian kasus tindak pidana ringan secara praktik dapat diterapkan
melalui kewenangan diskresi kepolisian, namun diskresi ini sifatnya terlalu luas
dan tidak tegas menyebutkan mediasi penal merupakan diskresi yang dapat
dilakukan kepolisian.
memiliki dasar hukum yang kuat, namun diperlukan dalam masyarakat sehingga
Pasal 5 ayat (1) angka 4 dan Pasal 7 ayat (1) huruf j Undang-Undang RI
No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), serta Pasal 16 ayat
(1) huruf l dan Pasal 18 ayat (1) UU Kepolisian RI yang mengatur mengenai
ketentuan hukum yang berlaku namun belum cukup kuat menjadi dasar hukum
sangat subjektif dan abstrak, atau dalam tataran kondisi norma masih kabur,
sehingga perlu diperkuat dengan mengatur mediasi penal dalam sebuah undang-
undang.
Mediasi penal dalam tindak pidana ringan pada dasarnya tidak diatur
melalui Alternative Dispute Resolution (ADR) telah diatur dalam tataran dibawah
selanjutnya disebut Surat Kapolri 2009). Surat Kapolri 2009 ini dalam praktek
tingkat penyidikan (yang dalam konteks Surat Kapolri ini digunakan istilah
Resolution (ADR), yaitu pola penyelesaian masalah sosial melalui jalur alternatif
selain proses hukum atau non litigasi antara lain melalui upaya perdamaian.
Kapolri 2009 dalam hal ini menguraikan bahwa akhir-akhir ini banyak terjadi
proses penegakan hukum terhadap kasus tindak pidana dengan kerugian yang
sangat kecil menjadi sorotan media massa dan masyarakat, terkesan aparat
Criminal Justice System (CJS) terlalu kaku dalam penegakan hukum. Berkaitan
Resolusion (ADR).
(ADR) harus berprinsip pada musyawarah mufakat dan harus diketahui oleh
Resolusion (ADR) harus menghormati norma hukum sosial atau adat serta
6. Untuk kasus yang telah dapat diselesaikan melalui konsep Alternatif Dispute
Resolusion (ADR) agar tidak lagi disentuh oleh tindakan hukum lain yang
ini memberikan ruang dan dijadikan sebagai dasar oleh kepolisian untuk
melaksanakan mediasi penal. Surat Kapolri 2009 ini menjadi sebuah kebijakan
tindak pidana ringan untuk diselesaikan secara non litigasi (di luar pengadilan)
melalui sebuah perdamaian. Hal ini searah dengan konsep mediasi penal dan
restorative justice.
287
ADR identik dengan penyelesaian perkara perdata, sedangkan mediasi penal telah
Surat Kapolri 2009 ini menunjukkan bahwa mediasi penal sudah mulai
diakui dan diarahkan penggunaannya di tingkat Kepolisian. Surat Kapolri ini jika
hukum yang berlaku dan arti atau isi dari ketentuan hukum tersebut juga dapat
2008 ini telah mengatur mengenai mediasi yang dilakukan oleh Polmas dalam
suatu kegiatan untuk mengajak masyarakat melalui kemitraan anggota Polri dan
418
Lihat konsideran menimbang dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian
Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian
Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri ini merupakan perubahan dari Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan
Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri yang dianggap sudah
tidak relevan dengan perkembangan organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
perkembangan kehidupan masyarakat sehingga diganti dengan peraturan yang baru (Perkap 2015).
289
komunikasi antara Polri dan masyarakat yang dilaksanakan atas dasar kesepakatan
sosial yang perlu dipecahkan bersama guna menciptakan kondisi yang menunjang
masyarakat. Forum ini tentu sangat berperan sebagai wadah komunikasi antara
Fungsi Polmas sebagaimana yang telah diatur pada Pasal 5 Perkap Polmas
2008 adalah:
Polmas memiliki strategi dan sasaran kerja. Salah satu strategi Polmas adalah
290
Indonesia.
tugasnya adalah melakukan mediasi, hal sebagaimana diatur dalam Pasal 16 huruf
419
Pasal 6 Perkap 2015 Strategi Polmas dilaksanakan melalui: a. kemitraan dan kerja
sama dengan masyarakat atau komunitas; b. pemecahan masalah; c. pembinaan keamanan
swakarsa; d. penitipan eksistensi FKPM ke dalam pranata masyarakat tradisional; e. pendekatan
pelayanan Polri kepada masyarakat; f. bimbingan dan penyuluhan; g. patroli dialogis; h.
intensifikasi hubungan Polri dengan komunitas; i. koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis
kepolisian; dan j. kerja sama bidang Kamtibmas.
420
Sasaran Polmas meliputi: a. kepercayaan masyarakat/komunitas terhadap Polri; b.
kesadaran dan kepedulian masyarakat/komunitas terhadap potensi ancaman/gangguan keamanan,
ketertiban dan ketenteraman dilingkungannya; c. kemampuan masyarakat untuk mengidentifikasi
akar permasalahan yang terjadi dilingkungannya, bekerja sama dengan Polri untuk melakukan
analisis dan memecahkan masalahnya; d. kesadaran hukum masyarakat; e. partisipasi
masyarakat/komunitas dalam menciptakan kamtibmas di lingkungannya; dan f. gangguan
Kamtibmas di lingkungan masyarakat.
291
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan
Pemolisian Masyarakat.
pemecahan masalah atau kasus yang terjadi sebagaimana yang dinyatakan dalam
Pasal 28 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor
Masyarakat bahwa:
peran dalam penyelesaian permasalahan atau kasus melalui mediasi dan memiliki
Petugas Polmas ini dijelaskan lebih lanjut dalam lampiran C Panduan Pelaksanaan
b. Dalam menangani perkara ringan yang terdiri dari beberapa pasal dalam
KUHP yaitu: Pasal 302 (penganiayaan ringan terhadap hewan), Pasal 352
373 (penggelapan ringan), Pasal 379 (penipuan ringan), Pasal 482 (penadahan
293
b. mendatangi TKP;
(musyawarah mufakat);
penal dalam penyelesaian tindak pidana ringan, namun telah menjadi peraturan
pidana ringan. Pedoman ini juga memuat tentang panduan penyelisihan dalam
295
progresif dan responsif, hanya saja pengklasifikasian tindak pidana ringan yang
bisa diselesaikan melalui mediasi penal masih terbatas, jenis perkara ringan yang
dapat diselesaikan melalui mediasi dalam panduan ini hanya terdiri dari 7 (tujuh)
jenis tindak pidana ringan yakni: Pasal 302 (penganiayaan ringan terhadap
hewan), Pasal 352 (penganiayaan ringan terhadap manusia), Pasal 364 (pencurian
ringan), Pasal 373 (penggelapan ringan), Pasal 379 (penipuan ringan), Pasal 482
(penadahan ringan), dan Pasal 315 (penghinaan ringan). Hal ini perlu
penyelesaian kasus tindak pidana ringan melalui mediasi penal yang jelas dan
dianalisis berdasarkan teori pertanggaan/teori jenjang norma dari Hans Kelsen dan
Nawiasky merupakan bentuk hukum yang tidak cukup kuat untuk dijadikan dasar
hukum berlakunya mediasi penal. Perkap ini masih bersifat kebijakan internal
undang-undang.
pidana ringan, dapat diketahui bahwa dari berbagai peraturan yang ada
secara tegas dan eksplisit tentang mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana
ringan. Landasan atau dasar hukum yang digunakan selama ini dalam
menyelesaian kasus tindak pidana ringan merupakan bentuk hukum yang tidak
cukup kuat untuk dijadikan dasar hukum sehingga perlu diperkuat dalam sebuah
belum ada dasar hukum yang kuat yang mengatur mediasi penal dalam
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
bahwa keberadaan hukum adat perlu dikaji dalam perspektif hukum yang berlaku
musyawarah mufakat telah lama dikenal dan menjadi tradisi di berbagai daerah di
Indonesia. Dapat dikatakan bahwa konsep mediasi penal telah menjadi budaya
bangsa Indonesia, karena pada hakikatnya mediasi penal sebagai cerminan dari
ideologi bangsa (Pancasila) dan kearifan lokal yang menjelma dalam musyawarah
bahwa pada masyarakat yang masih sederhana dan subsisten, dimana relasi antar
individu, hubungan kekerabatan dan kelompok masih kuat, maka pilihan institusi
sengketa yang bersifat kerakyatan (folk institutions). Hal ini karena institusi
dengan mengacu pada hukum rakyat (folk law) lebih ditujukan untuk
Indonesia. Hal ini terlihat dalam budaya musyawarah untuk mencapai mufakat
yang berperkara. Mereka akan membawa perkara tersebut ke hadapan kepala desa
untuk diselesaikan. 422 Jika timbul suatu sengketa, masyarakat sangat jarang
dengan senang hati dan lebih suka membawa ke lembaga yang tersedia pada
masyarakat hukum adat biasa dilakukan dihadapan kepala desa atau hakim adat.
Hal ini perlu disadari bahwa secara historis kultural, masyarakat Indonesia sangat
melalui jalur musyawarah. Hal ini bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam
421
I Nyoman Nurjaya, Memahami Sengketa dan Budaya Penyelesaian Sengketa Dalam
Masyarakat Multikultural: Perspektif Antropologi Hukum, Makalah pada Seminar Nasional
Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Environmental Dispute Resolution), Medan, Tanggal 27 – 28
Juni 2007, h. 4-5.
422
Frans Hendra Winarta, Op.Cit, h. 11.
423
Suyud Margono, Op.Cit, h. 32.
299
menguntungkan kedua belah pihak. Perlu dipahami bahwa sistem hukum adat
tidak mengenal pembagian hukum privat dan publik sehingga perkara pidana juga
424
dapat diselesaikan melalui sistem hukum adat. Musyawarah dalam
negosiasi, fasilitasi, dan arbitrase. Para tokoh adat menjalankan fungsinya sebagai
mediator, fasilitator, negosiator, dan arbiter. 425 Hal ini menunjukkan bahwa
Adat atau kebiasaan merupakan salah satu sumber hukum dalam hukum
lembaga adat di Indonesia. Sama halnya dengan hukum tertulis, hukum adat
sebagai hukum yang tidak tertulis juga memiliki kekuatan berlaku dan ditaati oleh
masyarakat. Hingga saat ini hukum adat masih tetap dihormati dan berlaku
sebagai hukum positif, walaupun telah terjadi perkembangan dan kemajuan zaman
kepribadian suatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan jiwa bangsa yang
424
Syahrizal Abbas mengutip pandangan Bushar Muhammad menyebutkan bahwa
dalam sistem hukum adat tidak dikenal pembagian hukum publik dan hukum privat. Masyarakat
hukum adat tidak mengenal kategorisasi hukum pidana dan hukum perdata, sebagaimana yang
dianut dalam sistem Eropa Kontinental. Penggunaan istilah sengketa bagi masyarakat hukum adat
bukan hanya ditujukan untuk kasus perdata, yang menitikberatkan pada kepentingan perorangan.
Sengketa juga digunakan untuk tindak pidana kejahatan atau pelanggaran. Makna sengketa bagi
masyarakat hukum adat ditujukan pada ketidakseimbangan sosial yang tidak membedakan
lapangan hukum privat atau publik karena sama-sama mengganggu keseimbangan (terjadi
ketidakseimbangan), oleh sebab itu masyarakat akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui
mekanisme hukum adat. Lihat Syahrizal Abbas, Op.Cit, h. 248-249.
425
Syahrizal Abbas, Op.Cit, h. 249-250.
300
bersangkutan dari abad ke abad. Adat merupakan unsur yang terpenting yang
memberikan identitas kepada bangsa yang bersangkutan. Adat istiadat yang hidup
serta yang berhubungan dengan tradisi rakyat inilah yang merupakan sumber yang
bahwa hukum adat berurat berakar pada kebudayaan tradisional. Hukum adat
adalah hukum yang hidup karena ia menjelmakan perasaan hukum rakyat yang
nyata.427
dengan adat istiadat dan budaya, namun tetap 1 (satu) dalam keutuhan Negara
Ika dan berdasarkan Pancasila. Banyak tradisi di setiap daerah di Indonesia yang
1. Bali
perkara di desa adalah prajuru desa sebagai hakim peradilan desa adalah Kelian
Banjar dan bendesa jika yang berperkara semuanya berasal dari satu desa, selain
426
Soerojo Wignjodipoero, 1995, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Cetakan
kelima, PT Toko Gunung Agung, Jakarta, h. 13.
427
Ibid, h. 17.
301
itu masih banyak tradisi yang ada dalam masyarakat sebagai bentuk perwujudan
mediasi penal.428
warga desa yang melakukan pelanggaran terhadap awig-awig desa setempat akan
dihadapkan kepada Kliang Desa (Kelian Desa yang berjumlah 6 orang). Kasus itu
berusaha didamaikan oleh Kliang Desa (Kelian Desa). Apabila Kliang Desa
(Kelian Desa) tidak berhasil menyelesaikannya secara damai, maka kasus tersebut
disidangkan di hadapan sangkepan desa di Balai Agung yang dihadiri oleh tetua-
tetua adat setempat yang disebut Luanan (jumlahnya 5 orang) dan warga desa
lainnya.429
pertama-tama Kliang Desa (Kelian Desa) meminta nasehat kepada para Luanan
dan juga selanjutnya meminta pendapat warga desa yang lain. Berdasarkan
nasihat atau pendapat tersebut barulah diambil putusan yang dianggap pantas
pelanggaran kemudian diberikan nasihat oleh Kliang Desa (Kelian Desa) bahwa
perbuatannya itu keliru dan melanggar ketertiban umum, serta agar tidak
428
Lilik Mulyadi, Op.Cit, h. 9-11.
429
Tjok Istri Putra Astiti, 1997, Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar/Pidato
Pengukuhan Guru Besar, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali, h. 5-6.
430
Tjok Istri Putra Astiti, Op.Cit, h. 6.
302
2. Papua
Budaya bakar batu ini menjadi simbol budaya lokal yang digunakan dalam
damai untuk terpeliharanya harmoni sosial. Melalui upaya ini, maka proses pidana
terhadap pelaku tindak pidana oleh aparatur negara dipandang tidak diperlukan
lagi, karena justru dinilai akan merusak kembali harmoni sosial yang sudah
tercapai.431
1. Delik Pembunuhan
Hal ini bermakna bahwa kelak seorang gadis tersebut dapat memberikan
kemudian hari dan dinyatakan terbukti salah oleh kepala adat, maka pihak
keluarga korban hanya meminta sejumlah uang namanya uang darah serta
431
Lilik Mulyadi, Op.Cit, h. 9.
303
Pelaku dalam delik ini dikenakan denda adat yang bentuk dan nilainya sesuai
3. Delik Pencurian.
Pelaku delik pencurian dikenakan denda. Dendanya berupa uang dan manik-
manik, uang yang dibayar tergantung nilai barang yang dicurinya. Pelaku
hanya diberikan nasehat untuk tidak mengulangi lagi, serta untuk barang yang
4. Delik Perusakan.
Delik perusakan ini misalnya merusak rumah, tanaman, hutan, dan laut.
Pelaku terhadap delim perusakan akan dikenakan denda adat yang bentuk dan
keluarga istri.
menyebabkan istri lari ke rumah orang tuanya atau ke rumah saudara laki-
lakinya.
432
Ondoafi adalah penyelesaian melalui kepala adat di Papua.
304
6. Delik Kesusilaan.
mufakat sudah lama dikenal dan dipraktekkan sejak dulu di masyarakat adat
tentunya berbeda-beda mekanisme dan cara yang dilakukan, tetapi pada umumnya
memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mengembalikan keadaan kosmis yang
kehidupan masyarakat.434
433
Budiyanto, 2014, Penyelesaian Tindak Pidana (Delik Adat) Melalui Keadilan
Restoratif (Restorative Justice), Jurnal Hukum dan Masyarakat: Volume 13 Nomor 2, Papua, h.
8-9.
434
Ibid, h. 9.
305
yaitu antara pelaku dan korban. Para pihak (pelaku dan korban) sepakat untuk
mencari penyelesaian yang dipandang adil dan sesuai dengan kebiasaan yang
ditempuh oleh para pihak yang tidak mencapai kesepakatan dalam mencari
solusi, kemudian diselesaikan melalui para keluarga pelaku dan korban. Para
lain sesuai dengan kesepakatan bersama. Para pihak dan para anggota
di tingkat keluarga ini sangat efektif jika keluarga masih ada ikatan
perdamaian. Penyelesaian melalui mediasi ini dilakukan oleh para pihak yang
adalah dari tokoh masyarakat (tomas), tokoh adat (todat), tokoh gereja (toga),
Upaya penyelesaian ini dilakukan apabila cara penyelesaian antar para pihak,
melalui lembaga adat. Kepala adat bertindak sebagai hakim adat yang
berwenang untuk memeriksa dan memutus delik adat yang terjadi. Hasil
dinyatakan selesai dan tidak ada lagi saling dendam dan bermusuhan, dan
435
Ibid, h. 9-10.
307
bahwa, istilah adat badamai merupakan istilah bagi penyelesaian sengketa baik
kecelakaan lalu lintas dari data kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Banjarmasin.
Sebanyak 25 (dua puluh lima) perkara lalu lintas diselesaikan secara badamai dari
43 (empat puluh tiga) kasus atau perkara lalu lintas yang terjadi di Banjarmasin
436
Trisno Raharjo, 2010, Mediasi Pidana Dalam Ketentuan Hukum Pidana Adat, Jurnal
Hukum: No. 3 Vol. 17, Yogyakarta, h. 497.
437
Ibid.
438
Ibid, h. 497-498, dalam Ahmadi Hasan, “Penyelesaian Sengketa Hukum
Berdasarkan Adat Badamai pada Masyarakat Banjar dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional”,
Disertasi, Pascasarjana FH UII, 2007, h. 117.
308
tersebut. Inisiatif penyelesaian melalui badamai diambil dari pihak pelaku atau
keluarganya sebanyak 17 (tujuh belas) kasus, inisiatif diambil oleh pihak korban
atau keluarganya sebanyak 5 (lima) kasus, dan inisiatif dilakukan oleh pihak
lalu lintas selama tahun 1995-2000 di Banjarmasin, dari 25 (dua puluh lima)
yaitu:
atau pengobatan.
4. Kalimantan Tengah
439
Ibid, h. 498, dalam Ahmad Bahruni, “Penyelesaian Tindak Pelanggaran Lalu-Lintas
Secara Kekeluargaan, sebuah Tinjauan Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif ”, dalam
Ahmadi Hasan, “Penyelesaian Sengketa Hukum Berdasarkan Adat Badamai pada Masyarakat
Banjar dalam Kerangka Hukum Nasional”, Disertasi, Pascasarjana S3 Program Doktor Ilmu
Hukum, Universitas Islam Indonesia, 2007, h. 299.
440
Ibid, dalam Ibid, h. 300.
309
seorang damang sebagai pemimpin. 441 Damang inilah yang berperan dalam
penyelesaian kasus.
damang memiliki tugas utama antara lain yakni, mengawasi penerapan hukum
menjadi tempat pertama bagi resolusi damai. Damang memiliki otoritas untuk
adat dianggap “mengikat” pada pihak-pihak yang terlibat, namun putusan tersebut
hanya menjadi “pertimbangan” bagi aparat hukum jika suatu sengketa diproses di
sistem formal. Berdasarkan hal ini, keputusan secara adat tidak mencegah
Salah satu contoh tindak pidana yang melalui mekanisme adat adalah
441
Ibid.
442
Kedamangan biasanya mencakup wilayah kecamatan. Terdapat mantir atau let adat
yang merupakan perangkat di bawah damang pada tingkat desa atau kelurahan. Di atas damang,
pada tingkat kabupaten terdapat Koordinator Adat Wilayah, yang dipilih dari para damang sendiri.
Lihat, Ibid, dalam Peri Umar Farouk, et.al, “Kembali ke Masa Depan: Otonomi Daerah dan
Kebangkitan Adat yang Tidak Pasti.” h. 4 (http://www.justiceforthepoor.or.id/ documents/
publikasi/vja-kalteng.pdf).
443
Ibid, h, 499.
310
menyelesaikan perkara atau kasus yang terjadi adalah untuk mengurangi hukuman
memelihara kerukunan sosial, dan mediasi juga dianggap lebih murah dan lebih
pasti dalam menyelesaikan konflik antara pelaku dan korban tindak pidana.444 Hal
ini menunjukkan bahwa kasus pidana berat juga dalam prakteknya melalui proses
mediasi.
tindak pidana berat seperti pembunuhan dan perkosaan. Jika kedua belah pihak
rela, semua masalah dapat diselesaikan dengan damai melalui konsiliasi melalui
hukum adat.445
444
Ibid, dalam Ibid, h. 2.
445
Ibid.
311
6. Jika ditetapkan denda berupa uang atau kompensasi, 10% dari jumlah
denda dibayarkan kepada damang sebagai biaya perkara; dan
7. Kesepakatan tertulis diberikan juga kepada let adat atau kepala desa
sebagai alat untuk memastikan ditaatinya kesepakatan tersebut.446
berdasarkan rasa hormat serta popularitas pribadinya, kepala desa acap dilibatkan
biasanya dirujuk kepada ketua RT/RW, kepala adat atau kepala desa. 447 Contoh
melalui sidang adat terhadap Prof. Dr. Tamrin Amal Tamagola yang dilakukan
oleh Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) yang dinamakan Persidangan Dayak
5. Aceh
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh juga memiliki “Peradilan Gampong” atau
Gampong atau Peradilan Damai ini. Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tanggal 30
Desember 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat khususnya
446
Ibid, h. 499-500, dalam Ibid, h. 7.
447
Ibid, dalam Ibid, h. 10.
448
Lilik Mulyadi, Op.Cit, h. 3-14.
312
kabupaten atau daerah akan tetapi terdapat kesamaan cara atau metode dalam
setiap kasus akan diajukan kepada geuchik, yang terlebih dahulu akan mendorong
para pihak untuk membahas persoalan tersebut untuk dapat mencapai kompromi
melalui musyawarah. Apaila tidak tercapai kompromi barulah geuchik dan para
Ketentuan tentang qisas dan diyat disesuaikan dengan adat Aceh dalam
penyelesaian kasus tindak pidana. Penyesuaian ini misalnya sebagai berikut: 100
(seratus) onta dipahami sama dengan seratus (100) ekor kerbau atau lembu.
Hukum qisas pada kenyataannya tidak pernah dijatuhkan karena keluarga korban
seratus (100) ekor lembu untuk pembunuhan sengaja, di dalam kenyataan sehari-
hari pada umumnya dapat disetujui hanya dengan membayar beberapa ekor
Jarang dalam prakteknya sampai pada mahkamah yang waktu itu hanya ada pada
449
Lilik Mulyadi, Op.Cit, h. 10.
450
Trisno Raharjo, Op.Cit, h. 500.
313
yang dijatuhkan adalah hukuman denda atau ganti rugi pengakuan bersalah dan
meminta maaf secara resmi di muka umum, dicambuk dan diusir dari gampong.451
masyarakat gampong di Aceh yaitu di’iet, sayam, suloeh dan peumat jaroe yang
rasa dendam dan rasa permusuhan yang berkepanjangan antara para pihak bertikai
konflik yang terjadi dalam komunitas masyarakat gampong, baik yang bersifat
individual atau internal keluarga, antar individu maupun antar kelompok, melalui
bingkai adat dan agama, dapat membawa kedamaian yang abadi dan permanen.
teungku meunasah, dan tetua gampong, termasuk pemangku adat yang biasanya
451
Trisno Raharjo, Loc.Cit, dalam Al Yasa’ Abubakar, “Islam, Hukum dan Masyarakat
di Aceh Tajdid Syari’at Dalam Negara Bangsa”, Seminar: First International Conference of Aceh
and Indian Ocean Studies, penyelenggara Asia Risearch Institute, National University of
Singapore and Rehabilitation and Construction Executing Agency for Aceh and Nias (BRR),
Banda Aceh, Indonesia. 24-27 Februari 2007, h. 3.
452
Trisno Raharjo, Loc.Cit, dalam Syahrizal dan Agustina Arida, “Pola Penyelesaian
Konflik dalam Tradisi Masyarakat Gampong Aceh”, Jurnal Seumikee, Volume II, 2006, Aceh
Institute, h. 7.
314
pidana atau ahli warisnya. Pembicaraan ini juga melibatkan keluarga besar dari
mengukur tingkat maaf yang diberikan oleh korban atau ahli waris korban.
Apabila pemaafan telah diberikan, maka para pemangku adat atau tetua gampong
tentang jumlah di’iet yang harus dibayarkan oleh pelaku tindak pidana.
(biasanya emas) kepada keluarga korban dan menyembelih hewan berupa sapi
atau kerbau yang diprakarsai oleh imuem mukim, geuchik, dan teungku meunasah.
yang setara dengan itu. Sayam merupakan bentuk kompensasi yang bertujuan
453
Trisno Raharjo, Op.Cit, h. 501, dalam Ibid.
454
Perangkat peusijuek dapat berupa: nasi ketan kuning, kelapa gongseng gula merah
(ue mierah), ayam panggang, tumpoe (tepung yang telah diaduk dengan gula merah yang
digongseng), daun senijuek, daun ilalang (naleung samboe), padi dicampur beras, air tepung/air
bunga, air putih, air cuci tangan dan kemenyan. Penyelesaian kasus pembunuhan ditambah lagi
dengan kain putih dan pedang/rencong di dalam sarung. Bahkan di beberapa daerah tertentu
ditambah lagi dengan pemberian uang sekitar 2 juta sampai 5 juta rupiah. Peumat jaroe, berjabat
tangan. Pihak yang menfasilitasi mengucapkan kata-kata khusus seperti: “Nyoe kaseb oh no dan
bek na deundam le. Nyoe beujeut keujalinan silaturrahmi, karena nyan ajaran agama geutanyoe”
yang artinya: Masalah ini cukup di sini dan jangan diperpanjang lagi. Bersalaman ini diharapkan
menjadi awal dari jalinan silaturrahmi antara anda berdua, sebab ini ajaran agama kita. Lihat,
Trisno Raharjo, Op.Cit, h. 501-502, dalam Ibid.
315
tubuh manusia.455
bersengketa atau bertikai dihubungi oleh keuchik dan teungku meunasah. Apabila
telah ada kesepakatan diantara para pihak, maka Prosesi sayam dilaksanakan di
terhadap tindak pidana yang bersifat ringan, namun menimbulkan luka atau
keluarnya darah. Peralatan dan bahan prosesi sayam harus disiapkan oleh pelaku
hanya untuk kasus pidana, tetapi juga untuk kasus perdata atau sengketa dalam
konflik melalui di’iet dan sayam jika pengakhiran konflik diwujudkan dalam
islah.457
ringan. Biasanya langsung dilakukan setelah terjadi konflik oleh para tetua adat
yang menguasai daerah tertentu, tanpa sampai kepada keuchik atau teungku
455
Trisno Raharjo, Op.Cit, h. 502, dalam Ibid.
456
Trisno Raharjo, Loc.Cit, dalam Ibid.
457
Trisno Raharjo, Loc.Cit.
316
meunasah. Penyelesaian seperti ini biasanya untuk dan cukup dengan bersalam-
6. Ambon
secara informal oleh komunitas setempat di Ambon. Raja atau kepala desa
mempunyai posisi sentral dan memiliki peranan serta pengaruh yang besar dalam
menyelesaikan berbagai persoalan dan kasus yang ada di masyarakat. Raja juga
pidana ringan atau sengketa tanah. Raja sebagai pihak pemutus akhir dalam kasus
dan pidana ringan. Tingkat yang terendah yakni melalui kepala soa dan ketua
RT/RW pada wilayah yang lebih urban seperti kota Ambon, kepala dusun
menjadi anggotanya. Apabila ada kasus yang diajukan kepada pihak Raja, maka
458
Trisno Raharjo, Op.Cit, h. 503, dalam Ibid.
459
Trisno Raharjo, Loc.Cit, dalam Peri Umar Farouk, et al., “Mekanisme Penyelesaian
Sengketa Informal di Kabupaten Buru, Kota Ambon dan Kabupaten Maluku Tengah”,
(http://www.justiceforthepoor.or.id/ documents/publikasi/vja-ambon.pdf), diakses 17 Oktober
2007, 11:10.
317
di Ambon yaitu:
agama atau tokoh masyarakat). Ada juga kasus di tingkat desa atau Negeri
wawancara;
5. Pada kasus tanah, Raja akan meminta bantuan pihak Saniri terutama dalam
melakukan investigasi;
mengenai sanksi yang akan dijatuhkan. Apabila para pihak sepakat, maka
para pihak;
7. Apabila para pihak tidak puas terhadap proses penyelesaian yang ada, maka
korban dan pelaku. Raja berperan menjadi pendamai pihak yang bersengketa.
Harapannya setelah para pihak pergi dari rumah negeri atau rumah Raja, tempat di
460
Trisno Raharjo, Op.Cit, h. 503-504.
461
Trisno Raharjo, Op.Cit, h. 504, dalam Ibid.
318
Kondisi komunitas yang terganggu akibat sengketa yang terjadi, kini telah
dipulihkan.462
Kabupaten Maluku Tengah. Kasus ini terjadi pada bulan Desember tahun 2003.
Kasus ini bermula pada saat pemuda Ruhua yang pergi memetik cengkeh tetapi
oleh masyarakat Desa Haya para pemuda tersebut disangka sebagai anggota
masyarakat Tehoru, sehingga inilah yang memicu konflik. Orang Haya juga
menduga bahwa Halue adalah orang Tehoru. Orang Haya memukuli dan
melempari orang-orang Ruhua yang memetik cengkeh ini. Halue dan kawan-
kawan membalas dengan menghentikan mobil angkutan kota yang dimiliki oleh
orang Haya dan melempari kacanya dengan batu sampai pecah. Akibatnya orang
untuk menyelesaikan persoalan ini. Bapak Raja Sepa dan Sekretaris Desa juga
hadir di kantor polisi. Bapak Raja memberikan nasihat untuk menyelesaikan kasus
ini. Para pihak pada ujung musyawarah, diminta untuk membayar denda dan
462
Trisno Raharjo, Loc.Cit.
463
Trisno Raharjo, Op.Cit, h. 505, dalam Ibid.
319
ratus ribu rupiah) sebagai bentuk ganti rugi kaca mobil yang telah dipecahkan.464
7. Lombok
perdamaian, kedua belah pihak akan merasakan manfaatnja. Tjara inilah jang
mendjadi ketentuan jang dinamakan keadilan”. 465 Berdasarkan hal ini dapat
sebagai adat Wet Tu Telu. Masyarakat adat Lombok Utara juga memiliki model
tingkat yang lebih tinggi sangat terbuka (khirarkhi: mulai yang terbawah dari
RT/RW kemudian Dusun lalu Desa), akan tetapi selalu ada himbauan terlebih
464
Trisno Raharjo, Loc.Cit, dalam Ibid.
465
Lilik Mulyadi, Op.Cit, h. 9-11.
320
dahulu untuk menyelesaikannya di tingkat yang lebih rendah, yakni RT/RW atau
Dusun.466
institusi formal hukum di Lombok Utara antara lain yakni kasus perkelahian atau
pengeroyokan, hamil luar nikah, pemidangan (apel) kepada istri orang dan
pelaku agar tidak terjadi balas dendam. Kasus yang berhubungan dengan
masyarakat seperti penghulu, kiyai, atau mangku adat, atau tokoh pemuda.
dilanjutkan dengan penggalian informasi dari pihak pertama. Informasi digali dari
informasi diberikan pada pihak yang diakses seperti RT/RW, Kadus, Kades yang
mempunyai hak diskresi untuk melibatkan orang lain atau tidak, terutama anggota
pendahuluan.468
Kades tanpa melibatkan majelis yang lebih besar. Penggalian informasi dari pihak
lainnya atau pihak lawan dilakukan, selang satu sampai tiga hari, mediator
466
Trisno Raharjo, Op.Cit, h. 505, dalam Ibid.
467
Trisno Raharjo, Op.Cit, h. 506, dalam Ibid, h. 9.
468
Trisno Raharjo, Op.Cit, h. 507.
321
penyelesai sengketa mengundang pihak lain dalam kasus yang ditangani untuk
pihak saksi atau pihak-pihak lain yang bisa menguatkan posisi kasus yang sedang
ditangani.469
Semua kalangan pada tahap ini yang berkaitan langsung seperti saksi, dihadirkan
dan mengemukakan apa yang disaksikannya. Pertemuan ini lebih terfokus pada
tuntutan yang dikehendaki satu pihak kepada pihak lainnya. Mediator akan
memperhatikan layak atau tidaknya sebuah tuntutan satu pihak dipenuhi oleh
adanya institusi adat mela sareka yang difungsikan untuk memperbaiki relasi
sosial yang rusak antara pihak karena perselisihan/perkara. 471 Proses ritual adat
perdamaian mela sareka adalah adanya getun liko petin pepa atau pemisahan para
469
Trisno Raharjo, Op.Cit, h. 506, dalam Ibid, h. 9.
470
Trisno Raharjo, Op.Cit, h. 507, dalam Ibid, h. 10.
471
Trisno Raharjo, Op.Cit, h. 508, dalam Karolus Kopong Medan, “Peradilan
Rekonsiliatif Konstruktif Penyelesaian Kasus Kriminal Menurut Tradisi Masyarakat Lamaholot, di
Flores NTT”, Disertasi, PDIH Undip, 2006, h. 240.
322
pihak sehingga mereka yang berkonflik tidak boleh bertemu dan makan bersama.
Apabila dilanggar maka akan terkena risiko adat yaitu sakit, celaka atau
meninggal dunia. Ritual lainnya adalah ritual herun haban yang merupakan acara
untuk mempertemukan para pihak dan diakhiri dalam Bua Behin atau deklarasi
hidup dalam damai, melalui makan dan minum bersama yang menandakan
merupakan pilihan dari orang-orang yang mempunyai pengaruh besar dalam suku
atau kampung. Kasus pertikaian antar kampung maka tokoh adat yang menjadi
mediator adalah tokoh adat netral yang tidak terlibat dalam perkelahian. Mediator
Tahapan atau proses lainnya adalah uku loyak gatu gatan atau
rekonstruksi kebenaran. Pelaku tindak pidana pada proses uku loyak gatu gatan
berbicara dari hati ke hati untuk merekonstruksi kebenaran. Pihak yang merasa
selanjutnya pelaku dan korban menghapus segala kesalahan yang dilakukan oleh
para pihak maka baik pelaku dan korban melakukan ritual adat haput ele kirin.
472
Trisno Raharjo, Loc.Cit, dalam Ibid, h. 295-296.
473
Trisno Raharjo, Loc.Cit, dalam Ibid, h. 301.
323
dilakukan melalui mela sareka yaitu menuju dunia baru penuh damai sebagai
puncak ritual.474
9. Sumatra Barat
terbagi atas dua bagian, yaitu UU Nan Salapan dan UU Nan Duobaleh. UU Nan
ini sejak awalnya telah berdiri sendiri (otonom) dengan adat salingka nagari dan
dipersatukan dalam adat sebatang panjang. Nagari dapat membuat peraturan adat
yang berlaku di nagari tersebut, tetapi tidak bertentangan dengan adat sebatang
panjang yang berlaku di alam Minangkabau. Terdapat dua aliran besar dalam
timbatu nan bagatah, Bodi Caniago inyo bukan Koto Piliang inyo antah. Struktur
Jorong, kini Wali Nagari dibantu oleh Sekretaris Nagari (Setnag) dan beberapa
474
Trisno Raharjo, Loc.Cit, dalam Ibid, h. 306.
475
Musyawarah Adat, Hasil, dan Rekomendasi Musyawarah Adat Aplikasi Manajemen
Suku dan Pemberdayaan Hukum Adat Dalam Hukum Nasional, Solok, tanggal 25-25 Maret 2012,
h. 11.
476
Ibid, h. 13.
324
pemerintahan Nagari tersebut. Wali Nagari dipilih oleh anak nagari (penduduk
merupakan perwakilan anak nagari yang terdiri dari alim ulama, cerdik pandai
Nagari dan tungku tigo sajarangan di balai adat atau balairung sari nagari. Badan
Musyawarah Nagari (BMN) sebagai nama lain dari Badan Permusyawaratan Desa
(BPD) dientuk untuk legislasi. Unsur dalam BMN memuat unsur yang ada pada
KAN dan dilengkapi dengan unsur pemuda, wanita dan perwakilan tiap suku.478
prinsip mediasi penal telah ada dalam tradisi masyarakat adat dalam
dalam menyelesaikan masalah dengan ciri khas yang unik dan berbeda-beda
perdamaian diantara para pihak dengan bantuan penengah seperti tokoh adat,
477
Ibid, h. 14.
478
Ibid.
325
pejabat di desa adat, atau orang yang mendapat kepercayaan. Tokoh adat atau
pejabat di desa adat, atau orang yang mendapat kepercayaan ini berperan seperti
Uraian ini menunjukkan bahwa konsep mediasi penal telah ada dalam
kebiasaan atau hukum adat di Indonesia. Dapat dikatakan bahwa mediasi penal
termasuk kasus pidana. Hukum adat sebagai hukum asli Indonesia yang umumnya
hukum adat sesuai dengan Pasal 18 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(Indonesia menghormati hukum adat yang hidup dalam masyarakat). Hukum adat
ada dalam kebiasaan atau hukum adat perlu diadopsi dalam hukum nasional agar
keseimbangan akibat dari kejahatan yang terjadi perlu juga diatur tentang
sanksi yang disepakati para pihak yang dapat berupa ganti rugi, denda, upacara
agama, dll. Asas musyawarah, laras, patut (pantas), dan rukun yang diterapkan
4.3 Yurisprudensi
khususnya pada bagian menimbang yang menunjukkan fakta bahwa telah terjadi
perdamaian atau mediasi penal diantara para pihak dan menjadi pertimbangan
sebagai dasar menimbang dalam menjatuhkan hukuman bagi pelaku yang telah
ditemukan dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara tanggal 17 Juni 1978
dalam perkara Ny. Ellya Dado (Kasus Ny. Elda) ini telah terjadi penyelesaian
pelanggaran yang dapat dihukum lagi dan melepaskan tertuduh dari segala
tuntutan hukum. Jaksa mendakwa Ny. Ellya Dado dengan sengaja melawan
dakwaan primer, tindak pidana pemerasan sebagaimana diatur dalam Pasal 368
ayat (1) KUHP (subsider), dan penghinaan secara lisan sebagaimana diatur dalam
479
Lihat Yurisprudensi/ Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor: 46/Pid/UT/
781/ WAN tanggal 17 Juni 1978, dengan hakim ketua sidang: Bismar Siregar.
327
putusan ini menyebutkan apabila seorang melanggar hukum adat kemudian kepala
dan para pemuka adat memberikan reaksi adat atau sanksi adat, berarti yang
Badan Peradilan Negara atau Pengadilan Negeri dengan dakwaan yang sama
melanggar hukum adat dan dijatuhi penjara menurut ketentuan KUHP. Konklusi
dasar dari yurisprudensi ini mengakui eksistensi peradilan adat dengan adanya
mediasi penal.480
menyatakan jika pelaku perzinahan telah dijatuhi sanksi adat/reaksi adat dari para
pemangku desa adat maka tuntutan jaksa harus dinyatakan tidak dapat diterima.481
kasus pelanggaran hukum adat yang telah dijatuhi sanksi adat/reaksi adat.
480
Lilik Mulyadi, Op.Cit, h. 14.
481
Nyoman Serikat Putra Jaya, Op.Cit, h. 169.
328
Pasal 338 KUHP dalam dakwaan kesatu dan “tanpa hak membawa, menguasai,
senjata api dan amunisi” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-
terdakwa yang bernama Adiguna Sutowo (47 tahun) dengan tuntutan pidana
penjara selama seumur hidup. Putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Mahkamah Agung R.I. adalah
Adiguna Sutowo dijatuhi pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dipotong masa
tahanan.482
Kembali pada pokoknya yang salah satunya adalah adanya perdamaian tanpa
berpendapat:
482
Lihat Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 107/PK/Pid/2006 tanggal 21 November
2007 dengan hakim ketua sidang: H. Parman Soeparman, h. 15-16.
329
tahun.483
mediasi penal diantara para pihak dan dijadikan dasar memutus bagi hakim
adalah:
Yogyakarta. Terdakwa Ismayawati dalam kasus ini dituntut dengan Pasal 378 jo
64 ayat (1) KUHP dalam dakwaan kesatu atau (sebagai dakwaan alternatif)
483
Ibid, h. 18-19.
331
tanggal 1 Maret 2014 ini adalah putusan pengadilan dalam kasus kecelakaan lalu
Rosianto Bin Gumin (38 tahun) dengan tuntutan melakukan tindak pidana
dalam Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan, dengan tuntutan pidana penjara selama : 6 (enam)
484
Lihat Putusan Mahkamah Agung No.1600 K/Pid/2009 tanggal 24 November 2009,
dengan hakim ketua Dr. Harifin A. Tumpa,SH.MH, h. 23.
332
korban.485
telah terjadi perdamaian antara terdakwa dengan keluarga korban Noor Ifansyah
dan terdakwa telah memberikan santunan kepada pihak Keluarga. Hakim menilai
17 Juni 1978 Nomor : 46/Pid/UT/781/WAN: KAsus Ny. Ellya Dado), maka sudah
justice. Tujuan pemidanaan yang bersifat edukatif dan korektif dengan tetap
terdakwa.486
menjatuhkan hukuman, kecuali dikemudian hari ada perintah lain dalam putusan
485
Putusan Pengadilan Negeri Nomor 46/Pid.B/2014/PN.Mrb Marabahan tanggal 1
Maret 2014, dengan hakim ketua: Roedy Suharso, S.H, M.H, h. 13.
486
Ibid, h. 26.
487
Ibid, h. 30.
333
Terdakwa Moh. Ali Bilfakih (32 tahun) dalam kasus ini didakwa telah
kecelakaan lalu lintas dengan mengakibatkan orang lain meninggal dunia”. Hal ini
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor : 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
tanggal 1 April 2015 ini dirujuk atau didasari dari Putusan Nomor 107
334
PK/Pid/2006 dalam perkara atas nama terpidana Adiguna Sutowo (putusan hal.16-
PN.Sgr, tanggal 1 April 2015 secara tegas dan jelas menyatakan bahwa hal-hal
perdamaian antara terdakwa dengan keluarga korban. Atas pertimbangan dan ini
yang dijatuhkan kepada terdakwa tidak usah dijalani, kecuali jika dikemudian hari
bukan menunjukkan bahwa mediasi penal dilakukan oleh hakim, namun hakim
Fakta bahwa telah terjadi perdamaian atau mediasi penal diantara para pihak akan
488
Lihat Putusan Pengadilan Negeri Singaraja Bali, Nomor : 30/Pid.Sus/2015/PN.Sgr,
tanggal 1 April 2015 dengan hakim ketua sidang: Haruno Patriadi, SH., MH., h. 15-16.
489
Ibid, h. 17.
335
BAB V
(IUS CONSTITUENDUM)
- 8 Mei 1995. Arahan penerapan mediasi penal dalam Kongres PBB ke-
335
336
pada dokumen A/CONF. 169/16 dalam laporan No. 112 menyatakan bahwa:
particular, for first offender and young offenders. Laporan ini menyatakan
persidangan di pengadilan.
offender and victim, with the help of a third party appointed by the judicial
337
negosiasi antara pelaku tindak pidana dengan korban dengan bantuan pihak
ketiga (mediator).
Kingdom pada tanggal 13-17 April 1999 menyatakan bahwa the key
elements of a new agenda for penal reform (salah satu unsur kunci dari
agenda baru pembaharuan hukum pidana salah satunya adalah): “The need
to enrich the formal judicial system with informal, locally based, dispute
penyelesaian kasus diperlukan dan menjadi salah satu agenda baru dalam
mengembangkan/membangun:
338
1. Restorative justice
3. Informal justice
4. Alternatives to Custody
kasus/perkara pidana telah diterima dan diadopsi di Eropa. Hal ini menurut
a target date for States to review their relevant practices, to develop further
justice.
340
masalah pidana, salah satu program Restorative Justice yang ada adalah
mediasi penal.
criminal proceedings, for a negotiated solution between the victim and the
pada dasarnya belum diratifikasi oleh Indonesia sehingga tidak memiliki kekuatan
mengikat, namun dapat menjadi arahan bagi Indonesia. Hal ini dapat
dalam penyelesaian tindak pidana ringan agar dapat berlaku sebagai hukum positif
di Indonesia.
dapat dituangkan dalam beberapa bentuk aturan. Barda Nawawi Arief mengutip
uraian dari Tony Peters, dalam tulisannya yang berjudul “From Community
negara Eropa:
342
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa ada berbagai cara dalam
Undang-Undang Mediasi. Indonesia dapat mengikuti semua cara ini, namun lebih
mediasi penal dalam penyelesaian kasus tindak pidana ringan dapat dimasukkan
dalam revisi KUHAP yang saat ini sedang berjalan, sehingga lebih efisien dan
mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana ringan tidak hanya mengacu pada
490
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, h. 39; lihat juga Tony Peters, From Community
Sanctions to Restorative Justice The Belgian Example, www.unafei.or.jp/english/pdf/PDF
_rms/no61/ch12.pdf, dibuka pada tanggal 30 Agustus 2016 diakses pukul 23.38 WITA; lihat juga
Ivo Aertsen, Restorative Justice in A European Perspective, http://www.extern.org/restorative
/99_Conf_Aertsen.htm or link: http://www.justiciarestaurativa.org/www.restorativejustice.org
/articlesdb/articles/449, dibuka pada tanggal 30 Agustus 2016 diakses pukul 23.38 WITA.
343
dijelaskan oleh Barda Nawawi Arief. Pendekatan yuridis faktual ini seperti yang
telah disampaikan oleh Barda Nawawi Arief dapat meliputi berbagai pendekatan,
hukum pidana atau politik hukum pidana akan digunakan sebagai kajian dalam
ringan pada masa yang akan datang (ius constitutum). Mengacu pada pandangan
Barda Nawawi Arief yang diilhami atau merupakan ide pemikiran dari M. Cherif
Bassiouni bahwa kebijakan hukum pidana juga memuat pendekatan kebijakan dan
sebagaimana dirumuskan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam tipe
negara Indonesia lebih mengarah pada tipe hukum responsif sehingga sangat
mediasi penal ini untuk kedepan merupakan langkah yang harus dilaksanakan dan
tetap berpegangan pada kerangka tipe hukum responsif. Bukan berdasarkan rezim
orde baru, namun kini mengarah pada rezim reformasi yang berlandaskan tipe
hukum juga harus bersifat progresif sehingga hukum efektif untuk diterapkan.
penal dalam penyelesaian tindak pidana ringan pada masa yang akan datang (ius
dapat menjadi masukan bagi badan legislatif dalam mengatur mediasi penal dalam
sebuah undang-undang.
masa yang akan datang (ius constituendum) dalam disertasi ini dibagi menjadi 5
2. Konsep tindak pidana ringan dan jenis tindak pidana ringan yang dapat
indonesia.
pidana ringan.
Konstruksi dalam hal ini adalah bangunan atau model yang ideal tentang konsep
mediasi penal, konsep tindak pidana ringan dan jenis tindak pidana ringan yang
dapat diselesaikan melalui mediasi penal, konsep mediasi penal dan tindak pidana
menghasilkan model yang ideal. Kontruksi hukum ini secara lebih lengkap akan
bidang perdata, tidak digunakan dalam kasus-kasus pidana, oleh sebab itu perlu
bidang hukum pidana, sehingga perlu dibedakan dengan istilah mediasi yang
digunakan dalam hukum perdata. Tidak dapat dipungkiri bahwa mediasi penal
tidak bisa dilepaskan dari perkembangan mediasi dalam hukum perdata, karena
awalnya mediasi berkembang dalam hukum perdata, namun perlu dikaji mengenai
Mediasi dalam hukum perdata dan mediasi penal dalam hukum pidana
kemudahan atau keuntungan. Hal ini terkait dengan sifat hukum perdata sebagai
hukum privat dan hukum pidana sebagai hukum publik, meskipun kedua sifat ini
penyelesaian sengketa dalam hukum perdata bersifat tertutup untuk umum (close
door session) dan menjamin kerahasiaan para pihak (confidentiality). Hal ini
menunjukkan adanya perbedaan dalam mediasi penal yang berlaku dalam hukum
pidana sebagai hukum publik. Hukum pidana, karena sifatnya sebagai hukum
publik maka pada kasus (delik biasa) dapat diketahui oleh publik, sehingga tidak
ada kerahasiaan dalam hal ini, kecuali pada kasus-kasus tertentu yang tertutup
untuk umum, misalnya pada delik kesusilaan. Hal dikarenakan dampak kejahatan
tidak hanya dirasakan oleh korban secara langsung. Masyarakat juga terkena
dampak dari kejahatan, sehingga proses yang tertutup dan kerahasiaan tidak
dalam mencapai keadilan dan kemanfaatan bagi semua pihak. Inilah yang juga
dalam mediasi penal adalah komunikasi para pihak untuk mencapai kesepakatan
(win-win solution) dan hal yang terpenting bukanlah pidana atau hukuman namun
korban.
347
dan dari Sistem Peradilan Pidana ke luar dari Sistem Peradilan Pidana. Kajian
disertasi ini mengkaji mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana ringan,
yang diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP agar dapat dialternatifkan untuk
Praktek mediasi penal memang dapat ditemukan, namun belum ada dasar
hukum yang kuat serta mekanisme yang jelas, karena yang berlaku dan memiliki
perkara pidana ini disebut dengan berbagai istilah yang berbeda-beda, dalam
praktek masih banyak yang menyebutnya sebagai mediasi atau ADR sehingga
491
Terkait dengan penyebutan istilah, Surat Kepolisian Negara Republik Indonesia No.
Pol: B/3022/XXI/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember 2009 menyebut mediasi penal dengan
istilah “Alternative Dispute Resolution (ADR)”. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Pemolisian Masyarakat menyebut mediasi penal dengan
istilah “mediasi”. Masyarakat dalam prakteknya sering menyebut istilah mediasi penal dengan
istilah “damai”, “perdamaian”, dalam lembaga peradilan adat, juga digunakan istilah yang
berbeda-beda yang menunjukkan adanya penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan.
348
teoritis dan praktis mediasi dalam hukum pidana dapat disebut dengan istilah
“mediasi penal”.
proses dari pengadilan ke luar pengadilan, serta sebagai sarana perbaikan atau
dalam penerapannya.
5.2 Konsep Tindak Pidana Ringan dan Jenis Tindak Pidana Ringan
yang Dapat diselesaikan Melalui Mediasi Penal
Berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, tindak pidana ringan seharusnya
diproses melalui acara pemeriksaan cepat dengan hakim tunggal dan tanpa
penanganan tindak pidana biasa (delik biasa), sehingga merugikan dan tidak
memberikan keadilan.
349
tindak pidana ringan. Definisi tindak pidana ringan dapat disimpulkan dari
hukumnya. Terkait dengan hal ini, pemeriksaan perkara dalam KUHAP terbagi
sebagaimana diatur dalam Pasal 205 ayat (1) KUHAP. Pasal 205 ayat (1) KUHAP
ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling
lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah
492
KUHP mengatur berbagai tindak pidana dengan rumusan pasal yang memuat sanksi
yang berbeda-beda. KUHP membagi menjadi 3 buku yakni:
1. Buku kesatu: aturan umum,
2. Buku kedua: kejahatan, dan
3. Buku ketiga: pelanggaran.
KUHP membedakan antara kejahatan dan pelanggaran. Pelanggaran yang diatur dalam
buku ketiga memiliki sanksi pidana yang lebih rendah dari kejahatan, namun dalam buku kedua
tentang kejahatan juga dapat ditemukan perumusan delik atau tindak pidana ringan. Kini, dalam
Rancangan KUHP tidak membedakan lagi penggolongan tesebut. Dalam rancangan KUHP,
kejahatan dan pelanggaran disebut sebagai “tindak pidana”.
350
dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian ini
(pelanggaran lalu lintas). Penjelasan Pasal 205 ayat (1) KUHAP dinyatakan
disebut tersendiri, karena sifatnya ringan sekalipun ancaman pidana penjara paling
Ketentuan Pasal 205 ayat (1) KUHAP dan penjelasan Pasal 205 ayat (1)
paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus
rupiah) dan penghinaan ringan (karena sifatnya yang ringan yang disebutkan
secara tegas dalam KUHP) merupakan batasan dan kriteria dalam menentukan
tindak pidana ringan (tipiring) dalam KUHP). Tindak pidana ringan adalah tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga
bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan
penghinaan ringan.493
Sistem Peradilan Anak juga mengatur mengenai penjelasan tindak pidana ringan
yang dapat diselesaikan secara diversi jika pelakunya adalah seorang anak.
Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak yang dimaksud dengan
tindak pidana ringan adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara
atau pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan. Berdasarkan hal ini, Undang-
493
Jumlah denda disesuaikan.
351
pidananya saja yakni pidana penjara atau pidana kurungan paling lama 3 (tiga)
bulan.494
ringan yang selanjutnya disingkat tipiring adalah perkara yang diancam dengan
pidana penjara atau kurungan paling lama 3 bulan dan/atau denda sebanyak-
banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan, kecuali
495
pelanggaran lalu lintas. Peraturan Kepala Badan Pembinaan Keamanan
Penanganan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dalam hal ini menegaskan bahwa
pelanggaran lalu lintas tidak termasuk tindak pidana ringan yang dimaksudkan
dalam peraturan ini. Hal ini juga sejalan dengan pembagian sistem pemeriksaan
Ringan (Tipiring) juga memberikan pengertian tentang tindak pidana ringan yang
494
Terlihat adanya perbedaan yang dapat mengakibatkan kerancuan makna dalam
penjelasan mengenai tindak pidana ringan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11
tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Anak hanya mengkategorisasikan tindak pidana berdasarkan
ancaman pidananya yakni tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara atau pidana
kurungan paling lama 3 (tiga) bulan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Anak tidak menjelaskan bahwa penghinaan ringan juga dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana ringan, meskipun diancam hukuman selama 4 bulan penjara.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak tidak
memperhatikan tindak pidana yang sifatnya ringan yang secara tegas disebutkan dalam KUHP,
sebagai tolak ukur dalam menentukan tindak pidana ringan.
495
Jumlah denda disesuaikan.
352
yang selanjutnya disingkat Tipiring adalah perkara yang diancam dengan pidana
tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali pelanggaran lalu lintas.
pemeriksaan tindak pidana ringan yang diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP dan
acara pemeriksan pelanggaran lalu lintas jalan yang diatur dalam Pasal 211-216
KUHAP. Pasal 205 ayat (1) KUHAP telah menegaskan bahwa yang diperiksa
menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam
dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda
sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan, kecuali
“perkara pelanggaran lalu lintas jalan”. 496 Pasal 211 KUHAP juga menegaskan
bahwa yang diperiksa menurut acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas
Penanganan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) maka tindak pidana ringan diperiksa
496
Jumlah denda disesuaikan.
353
Berdasarkan Pasal 205 ayat (1) KUHAP, Pasal 9 ayat (2) huruf b
ringan adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan
paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus
rupiah dan penghinaan ringan, kecuali pelanggaran lalu lintas.497 Batasan ini dapat
menjadi tolak ukur atau kriteria dalam menentukan tindak pidana ringan, selain itu
yang perlu diperhatikan adalah jumlah kerugian dalam tindak pidana ringan untuk
ringan dalam KUHP khususnya pada kejahatan harta benda dapat diketahui bahwa
pada kejahatan harta benda tindak pidana ringan dalam KUHP dapat meliputi:
Pasal 364 KUHP mengenai pencurian ringan, Pasal 373 KUHP mengenai
penggelapan ringan, Pasal 379 KUHP mengenai penipuan ringan, Pasal 384
KUHP mengenai penipuan ringan oleh penjual, Pasal 407 ayat (1) KUHP
mengenai perusakan ringan, dan Pasal 482 KUHP mengenai penadahan ringan.
Nilai nominal uang yang tercantum dalam KUHP tentu tidak sesuai lagi.
Terkait dengan kejahatan harta benda, tidak ada lagi nilai barang sebesar dua
497
Jumlah denda disesuaikan.
354
puluh lima rupiah. Dalam berbagai pasal di KUHP jumlah denda juga tidak sesuai
lagi. Hal ini telah disesuaikan melalui Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2
Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah
Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP
yang menyatakan bahwa, “Kata-kata “dua ratus lima puluh rupiah” dalam Pasal
364, 373, 379, 384, 407, dan Pasal 482 KUHP dibaca menjadi Rp. 2.500.000, 00
(dua juta lima ratus ribu rupiah)”. Berdasarkan hal ini, jumlah kerugian yang
ditimbulkan dari kejahatan harta benda yakni meliputi: tindak pidana pencurian
ringan (Pasal 364 KUHP), penggelapan ringan (Pasal 373 KUHP), penipuan
ringan (Pasal 379 KUHP), penipuan oleh penjual (384 KUHP), perusakan ringan
(Pasal 407 ayat (1) KUHP), dan penadahan ringan (Pasal 482 KUHP) yang
sebelumnya tidak lebih dari 250,- (dua ratus lima puluh rupiah) kini berubah
menjadi tidak lebih dari Rp. 2.500.000, 00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah
denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali Pasal 303 ayat (1) dan ayat (2), 303
bis ayat (l) dan ayat (2), dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kali”. Ketentuan
inilah yang berlaku saat ini, sehingga jumlah hukuman denda berdasarkan nilai
Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP ini,
Ketua Mahkamah Agung RI, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jaksa
kesepakatan). Nota kesepakatan ini dibuat agar penegak hukum dalam Sistem
Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP.
(Tipiring) yang menyebutkan bahwa tindak pidana ringan adalah suatu perkara
yang melanggar KUHP maupun non KUHP dengan ancaman pidana penjara atau
tindak pidana ringan, dapat dipahami bahwa tindak pidana ringan adalah tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan
dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah, dan untuk
kejahatan harta benda kerugian yang ditimbulkan tidak lebih dari Rp. 2.500.000,
356
00 (dua juta lima ratus ribu rupiah), beserta penghinaan ringan (karena memuat
konstruksi yuridis:
1. Tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling
3. Pada kejahatan harta benda kerugian yang ditimbulkan tidak lebih dari Rp.
pidana yang sederhana, tidak serius/kecil, dan menimbulkan kerugian yang tidak
besar. Tindak pidana ringan memuat unsur yang meringankan sehingga ancaman
498
Pasal 205 ayat (1) KUHAP, Pasal 9 Ayat (2) huruf b Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak, dan Pasal 1 angka 1 Peraturan
Kepala Badan Pembinaan Keamanan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2009 Tentang Penanganan Tindak Pidana Ringan (Tipiring), serta Pasal 1 dan Pasal 3 Peraturan
Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan
dan Jumlah Denda Dalam KUHP. Kepolisian Negara RI Daerah Jawa Timur Polresta Sidoarjo,
2016, Standar Operasional Prosedur (SOP) Tentang Penanganan Tindak Pidana Ringan (Tipiring),
Jawa Timur, h. 10. Beberapa SOP seperti SOP di Kepolisian Negara RI Daerah Nusa Tenggara
Barat Resort Mataram dan SOP Satuan Sabhara Tentang Tindak Pidana Ringan (Tipiring) di
Wilayah Hukum Polres Bima juga memberikan pengertian yang sama mengenai tindak pidana
ringan, yaitu perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling 3 bulan dan atau
denda sebanyak-banyaknya tujuh puluh lima ribu rupiah dan penghinaan ringan kecuali
pelanggaran lalu lintas. Lihat, Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Kota Bima, 2016,
SOP Satuan Sabhara Tentang Tindak Pidana Ringan (Tipiring) di Wilayah Hukum Polres Bima,
Bima, h. 3 dan Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Daerah Nusa Tenggara Barat Resort
Mataram, 2016, SOP di Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Nusa Tenggara Barat
Resort Mataram, Mataram, h. 1.
357
hukuman juga diperingan yang secara tegas diatur dalam rumusan pasal, yakni
diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3 (tiga) bulan.
paling lama 4 (empat) bulan, juga termasuk tindak pidana ringan karena memuat
serta dengan adanya unsur-unsur yang meringankan. Tindak pidana ringan adalah
tindak pidana yang memuat unsur-unsur yang meringankan yang diancam dengan
pidana penjara atau kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan atau denda sebanyak-
banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah/dengan penyesuaian, dan kerugian yang
ditimbulkan tidak lebih dari Rp. 2.500.000, 00 (dua juta lima ratus ribu rupiah),
ringan dapat diidentifikasikan dan diklasifikasikan jenis tindak pidana ringan yang
Tabel 3
Sistematika Tindak Pidana Ringan Dalam Hukum Positif Indonesia
Sumber: KUHP, KUHAP, Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2012 Tentang
Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP dan
Peraturan Kepala Badan Pembinaan Keamanan Kepolisian Negara RI No. 13 Tahun
2009 Tanggal 31 Desember 2009.499
Tabel 3 tentang sistematika tindak pidana ringan dalam hukum positif Indonesia
menunjukkan bahwa tindak pidana ringan dapat ditemukan di dalam KUHP dan
di luar KUHP yang secara lebih rinci diuraikan dalam tabel 4 dan tabel 5 berikut.
499
Lihat Peraturan Kababinkam Polri Nomor 13 Tahun 2009 Tanggal 31 Desember
2009, h. 15-16.
359
Tabel 4
Jenis Tindak Pidana Ringan Dalam KUHP
No. Pasal Tindak Pidana Ringan
KUHP
1. Pasal 172 Mengganggu ketentraman dengan memberikan teriakan
isyarat palsu
2. Pasal 174 Mengganggu rapat umum
3. Pasal 176 Membuat gaduh pertemuan agama
4. Pasal 178 merintangi jalan
5. Pasal 217 Membuat gaduh di sidang pengadilan negeri
6. Pasal 219 Merobek, membuat tidak bisa dibaca lagi/merusak surat
maklumat
7. Pasal 231 Kealpaan hingga barang sitaan hilang atau rusak
ayat (4)
8. Pasal 232 Kealpaan yang menimbulkan rusaknya materai (segel)
ayat (3)
9. Pasal 241 Membawa hewan dengan pas lain
ke-2
10. Pasal 302 Penganiayaan terhadap binatang
ayat (1)
11. Pasal 315 Penghinaan ringan
12. Pasal 321 Penghinaan dengan tulisan
ayat (1)
13. Pasal 334 Karena salahnya orang menjadi tertahan
ayat (1)
14. Pasal 352 Penganiayaan ringan
ayat (1)
15. Pasal 364 Pencurian Ringan
16. Pasal 373 Penggelapan Ringan
17. Pasal 379 Penipuan Ringan
18. Pasal 384 Penipuan terhadap pembeli
19. Pasal 407 Pengrusakan ringan
ayat (1)
20. Pasal 409 Karena salahnya merusak pekerjaan
21. Pasal 427 Pegawai Negeri (POLRI) karena salahnya orang lain jadi
ayat (2) tertahan
22. Pasal 477 Karena salahnya nakoda, orang yang ditahan lari
ayat (2)
23. Pasal 482 Pendahan ringan
24. Pasal 489 Kenakalan terhadap orang atau barang
25. Pasal 490 Pelanggaran keamanan umum terkait dengan hewan
26. Pasal 491 Meninggalkan kewajibannya untuk menjaga orang gila
atau anak-anak sehingga membahaya-kan orang gila dan
anak-anak tersebut
27. Pasal 492 Mabuk ditempat umum sehingga mengganggu
360
ketertiban.
28. Pasal 493 Dengan melawan hak merintangi kemerdekaan bergerak di
jalan umum (merintangi kawannya untuk diajak mogok).
29. Pasal 494 Perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan, menyusahkan
dan mendatangkan bahaya lalu lintas dijalan umum,
misalnya :
1) Tidak memberi tanda pada lobang/ galian di jalan
umum; dan
b) Tidak menjaga ternaknya terlepas dijalan umum
30. Pasal 495 Tanpa ijin dari Polri memasang perangkap binatang
buas yang dapat membahaya-kan orang.
31. Pasal 496 Tanpa ijin Polri, membakar gedung /rumah sendiri
32. Pasal 497 Memasang api bunga api ditepi jalan umum atau dekat
rumah yang dapat mendatangkan bahaya kebakaran atau
kecelakaan
33. Pasal 500 Secara tanpa ijin membikin obat ledak,
mata peluru (slaghoedjes) atau peluru untuk senjata api
34. Pasal 501 Menjual, menawarkan makanan / minuman yang
sudah rusak sehingga dapat merusak kesehatan
35. Pasal 502 Secara tanpa ijin memburu atau membawa senjata api ke
dalam hutan negara
36. Pasal 503 Membuat riuh atau ingar pada waktu malam membuat
orang tidur terganggu. Membuat riuh waktu ada ibadah
atau sidang Pengadilan.
37. Pasal 504 Minta-minta atau mengemis di tempat umum
38. Pasal 505 Gelandangan / tidak mempunyai mata pencaharian
(1) mengembara kemana-mana.
39. Pasal 507 Tidak berhak memakai gelar kebangsawanan bintang atau
tanda kehormatan Negara R.I. Memberitahukan nama palsu
waktu ditanya oleh pembesar yang berhak (cq. Polri).
40. Pasal 508 Tanpa wewenang memakai nama atau tanda jasa.
41. Pasal Tanpa wewenang memakai pakaian yang mirip dengan
508bis pakaian pejabat negara, sehingga dapat dipandang sebagai
demikian
42. Pasal 509 Tanpa izin meminjamkan uang atau barang dengan gadai,
atau dalam bentuk jual beli dengan boleh dibeli kembali
ataupun dalam bentuk kontrak komisi
43. Pasal 510 Tanpa ijin Polri (Pegawai Negeri yang berhak),
mengadakan pesta umum dan pawai dijalan umum.
44. Pasal 511 Tidak menurut perintah petunjuk Polri pada waktu ada
pesta / arak-arakan dijalan umum.
45. Pasal 512 Pencaharian tanpa izin
46. Pasal 512a Sebagai mata pencaharian menjalankan pekerjaan dokter
gigi dengan tidak mempunyai surat ijin dan dalam keadaan
yang tidak memaksa.
361
bahwa jika diidentifikasi dan diklasifikasi dapat ditemukan 102 (seratus dua) pasal
yang merupakan tindak pidana ringan dalam KUHP. Tindak pidana ringan
pelanggaran, karena Buku Ketiga dalam KUHP memang memuat tindak pidana
berupa pelanggaran dengan ancaman hukuman yang ringan, namun tidak semua
buku ketiga dalam KUHP merupakan tindak pidana ringan. Tindak Pidana Ringan
dalam buku ketiga KUHP diatur dalam Pasal 486-569 KUHP, kecuali Pasal 505
(2) KUHP yang diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan Pasal
506 KUHP yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
Tidak hanya dalam buku ketiga KUHP tentang pelanggaran, buku kedua
tentang Kejahatan dalam KUHP juga memuat beberapa tindak pidana ringan
sebagaimana yang ditunjukkan dalam tabel 4, diantaranya yakni: Pasal 352 ayat
500
Lampiran mengenai jenis – jenis pelanggaran yang merupakan pelanggaran tindak
pidana ringan baik yang diatur dalam KUH Pidana, Non KUH Pidana dan Peraturan Daerah dalam
Peraturan Kepala Badan Pembinaan Keamanan Kepolisian Negara RI Nomor 13 Tahun 2009
Tanggal 31 Desember 2009, lihat Peraturan Kepala Badan Pembinaan Keamanan Kepolisian
Negara RI Nomor 13 Tahun 2009 Tanggal 31 Desember 2009, h. 11-15. Kepolisian Negara
Republik Indonesia Daerah Jawa Timur Polresta Sidoarjo, 2016, Standar Operasional Prosedur
(SOP) Tentang Penanganan Tindak Pidana Ringan (Tipiring), Jawa Timur, h. 4-5 dan Moeljatno,
2014, KUHP; Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cetakan ke-31, Bumi Aksara, Jakarta, h. 41-
204.
365
(1) KUHP mengenai penganiayaan ringan, Pasal 364 KUHP mengenai pencurian
ringan, Pasal 373 KUHP mengenai penggelapan ringan, Pasal 379 KUHP
mengenai penipuan ringan, Pasal 384 KUHP mengenai penipuan ringan oleh
penjual, Pasal 407 ayat (1) KUHP mengenai perusakan ringan, Pasal 482 KUHP
mengenai penadahan ringan, Pasal 315 KUHP mengenai penghinaan ringan, dan
diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3 (tiga) bulan, namun
penghinaan ringan juga termasuk tindak pidana ringan meskipun diancam dengan
pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling
banyak tiga ratus rupiah (jumlah denda dengan penyesuaian). Hal ini karena
dalam menentukan tindak pidana ringan, terutama dalam kejahatan harta benda.
Jumlah denda dan jumlah kerugian dalam KUHP sebagaimana yang telah
2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda
Dalam KUHP.
366
Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam
KUHP yang menentukan bahwa, “Kata-kata “dua ratus lima puluh rupiah” dalam
Pasal 364, 373, 379, 384, 407, dan Pasal 482 KUHP dibaca menjadi Rp.
2.500.000, 00 (dua juta lima ratus ribu rupiah)”. Berdasarkan hal ini, jumlah
kerugian yang ditimbulkan dari tindak pidana pencurian ringan (Pasal 364
KUHP), penggelapan ringan (Pasal 373 KUHP), penipuan ringan (Pasal 379
KUHP), penipuan oleh penjual (384 KUHP) dan perusakan ringan (Pasal 407 ayat
(1) KUHP), dan penadahan ringan (Pasal 482 KUHP) yang sebelumnya tidak
lebih dari dua ratus lima puluh rupiah kini berubah menjadi tidak lebih dari Rp.
2.500.000, 00 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Jumlah denda sesuai dengan Pasal
3 Perma ini menentukan bahwa jumlah denda dalam KUHP juga dilipatgandakan
menjadi 1.000 rupiah kecuali Pasal 303 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 303 bis ayat
Tindak pidana ringan selain dapat ditemukan dalam KUHP juga dapat
501
Dalam tabel 3 berdasarkan KUHP terjemahan Moeljatno, denda dilipatgandakan
menjadi 10.000 rupiah.
367
Tabel 5
Jenis Tindak Pidana Ringan di Luar KUHP
Sumber : Peraturan Kepala Badan Pembinaan Keamanan Kepolisian Negara RI No. 13 Tahun
2009 Tanggal 31 Desember 2009.502
Tindak pidana ringan tidak hanya dapat ditemukan dalam KUHP, namun
tentang jenis tindak pidana ringan di luar KUHP. Tindak `pidana di luar KUHP
disebut Perda) setempat yang berlaku pada wilayah yuridiksi kesatuan Polri
setempat, diantaranya yakni Perda tentang pedagang kaki lima; dan Perda tentang
502
Lampiran mengenai jenis – jenis pelanggaran yang merupakan pelanggaran tindak
pidana ringan baik yang diatur dalam KUH Pidana, Non KUH Pidana dan Peraturan Daerah dalam
Peraturan Kepala Badan Pembinaan Keamanan Kepolisian Negara RI Nomor 13 Tahun 2009
Tanggal 31 Desember 2009, lihat Peraturan Kababinkam Polri Nomor 13 Tahun 2009 Tanggal 31
Desember 2009, h. 15-16.
368
Parkir. Secara umum, selain Perda, tindak pidana ringan juga meliputi Peraturan
lamanya 3 bulan atau denda saja, kecuali pelanggaran lalu lintas, antara lain:
keras.
paling lama 3 (tiga) bulan, namun ada batasan-batasan yang perlu diperhatikan.
pidana ringan di luar KUHP yang tidak hanya berdasarkan pada ancaman
Perlu dipahami bahwa tidak semua tindak pidana dapat diatur dalam 1
(satu) buah peraturan. Tidak semua tindak pidana dapat diatur dalam KUHP.
Tidak semua Perda dapat diproses oleh kepolisian, dalam hal ini terdapat
dan II telah membuat dan menerbitkan peraturan dalam bentuk Peraturan Daerah
dilaksanakan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sebagai Pejabat
Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Penyidik Polri selaku Koordinasi dan
Pengawasan (Korwas).503
Daerah menunjukkan adanya Perda sebagai penjabaran lebih lanjut dari peraturan
Pemerintahan Daerah dapat diketahui bahwa terdapat Satuan Polisi Pamong Praja
terdapat pembagian kewenangan dalam hal ini. Sebagaimana yang telah diuraikan
503
Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Jawa Timur Polresta Sidoarjo, 2016,
Standar Operasional Prosedur (SOP) Tentang Penanganan Tindak Pidana Ringan (Tipiring), Jawa
Timur, h. 7.
370
pada wilayah yuridiksi kesatuan Polri setempat, diantaranya yakni Perda tentang
kepolisian, yang termasuk dalam hal tindak pidana ringan di luar KUHP adalah
minuman keras. Hal ini memuat pengecualian bagi pelanggaran lalu lintas,
meskipun memiliki sanksi yang rendah yakni sanksi penjara atau kurungan paling
lama 3 (tiga) bulan, namun pelanggaran lalu lintas tidak dapat diselesaikan
dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan yakni diselesaikan pada acara
pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan. Perbedaan ini perlu di analisis
mediasi penal.
tindak pidana ringan yang dapat diselesaikan melalui mediasi penal dapat
penulis, jenis tindak pidana ringan yang dapat diselesaikan melalui mediasi penal
dalam KUHP terdiri dari 102 (seratus dua) pasal sebagaimana yang diuraikan
dalam tabel 4, sedangkan di luar KUHP dapat ditemukan dalam Perda tentang
pedagang kaki lima dan Perda tentang Parkir, Perundang-undangan tentang Tera,
371
dikatakan bahwa mediasi penal tidak diatur dalam Rancangan KUHP, namun
konsep, ide dasar, pokok pemikirannya, gagasan, pandangan, serta nilai-nilai yang
penal, “roh” mediasi penal dapat ditemukan dalam Rancangan KUHP. Mediasi
penal dalam Rancangan KUHP masih bersifat implisit, yang memuat pengaturan
KUHP yang sejalan dengan konsep mediasi penal, salah satunya adalah mengenai
seperti yang dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief bahwa dalam masalah
fleksibel dalam mencapai keadilan dan tidak kaku.504 Sejalan dengan teori hukum
pardon menjadi langkah yang tepat untuk mengatasi kekakuan hukum yang
pardon dalam hukum pidana Indonesia menjadi langkah yang baik dalam
Hukum Responsif dari Philippe Nonet dan Philip Selznick. Hukum yang baik
tentu hukum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, hukum yang baik tentu
adalah hukum yang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Melalui teori hukum
kompetensi yang besar dalam mencapai keadilan. Peraturan memang harus adaptif
penerapan mediasi penal pada masa yang akan datang. Asas "pemberian
504
Apabila ditelusuri secara historis, asas "pemberian maaf atau pengampunan oleh
hakim" ("rechterlijk pardon" atau''judicial pardon) telah diterapkan di Belanda. Lihat, Jan
Remmelink, 2003, Hukum Pidana; Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Indonesia, Cetakan Pertama, PT. Sun, Jakarta, h. 456.
373
Hal baru lainnya dalam RUU KUHP adalah perumusan secara implisit
diatur dalam KUHP yang berlaku saat ini. Tujuan pemidanaan dapat ditemukan
hal ini bahwa tujuan pemidanaan adalah menyelesaikan konflik yang ditimbulkan
Tujuan pemidanaan sebagaimana hal ini juga dapat diperoleh dengan penggunan
mediasi penal sehingga tujuan pemidanaan ini menjadi dasar analisis kedua
sebagai celah yang membenarkan penerapan mediasi penal pada masa yang akan
datang.
374
Rancangan KUHP ini menjadi dasar ke tiga sebagai celah yang membenarkan
penerapan mediasi penal pada masa yang akan datang. Pasal 55 ayat (2)
pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi
kemudian. Secara tegas Pasal 55 ayat (2) Rancangan KUHP menyatakan bahwa
keadilan dan kemanusiaan, dengan demikian sejalan dengan disertasi ini maka
tindak pidana ringan tidak tepat untuk dilakukan pemidanaan. Hal ini dapat
melakukan tindak pidana, sikap batin pembuat tindak pidana, tindak pidana yang
pidana, sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana, riwayat
hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pembuat tindak pidana, pengaruh
pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana, pengaruh tindak pidana
tidak diatur dalam Rancangan KUHP, namun Rancangan KUHP telah mengarah
pada konsep mediasi penal. Hal ini dapat ditemukan dalam hal baru yang diatur
dalam Rancangan KUHP yakni terkait dengan asas "pemberian maaf atau
membenarkan penerapan mediasi penal di masa yang akan datang atau dengan
kata lain konsep mediasi penal dapat bersinergi dengan konsep pembaharuan
sehingga menurut penulis tidak ada perubahan terkait makna dari tindak pidana
Banyak hal-hal baru yang diatur dalam RUU KUHAP. Terkait dengan
perkara tindak pidana dapat dilakukan penuntutan atau tidak, membuat surat
pengadilan”. Pengertian penuntut umum dalam KUHAP yang berlaku saat ini
yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang
pengadilan”.
377
pidana dapat dilakukan penuntutan atau tidak atau dengan kata lain penuntut
umum boleh tidak menuntut suatu perkara dengan alasan salah satunya karena
pidana di Indonesia di masa yang akan datang. Andi Hamzah menyatakan bahwa
ini mirip dengan restorative justice, perdamaian antara kedua pihak korban dan
378
pelaku dengan ganti kerugian, termasuk perkara berat. Arab bahkan sampai
tidak berat dan penuntut umum yang memutuskan penggunaannya karena dalam
perkara pidana yang menjadi pihak ialah pelaku berhadapan dengan negara yang
diwakili oleh jaksa. Afdoening buiten process telah diterapkan diberbagai negara
2. Rusia menerapkan afdoening buiten process pada delik yang diancam dengan
kewenangan penuntutan yang dapat ditemukan dalam Pasal 42 ayat (2) dan (3)
Rancangan KUHAP dan Pasal 153 Rancangan KUHAP. Pasal 42 ayat (2) dan (3)
505
Andi Hamzah, 2016, Demi Keadilan Antologi Hukum Pidana dan Sistem Peradilan
Pidana; Enam Dasawarsa Harkristuti Harkrisnowo, cetakan pertama, Pustaka Kemang, Jakarta,
h. 324.
506
Ibid, h. 324-325.
379
bagi penuntut umum menghentikan penuntutan baik dengan syarat maupun tanpa
syarat. Hal ini dapat dilakukan jika tindak pidana yang dilakukan bersifat ringan,
tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara paling lama 4
(empat tahun), tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana
denda, umur tersangka pada waktu melakukan tindak pidana di atas 70 (tujuh
puluh) tahun; dan/atau kerugian sudah diganti. Hal ini tentu sesuai dengan ciri
dari tindak pidana ringan, sehingga dalam konteks ini, tindak pidana ringan dapat
penal.
bahwa:
di luar proses menjadi salah satu dasar gugurnya kewenangan penuntutan dengan
kata lain dapat diketahui bahwa perkara pidana yang telah diselesaikan melalui
proses di luar pengadilan tidak dapat dituntut kembali. Ini tentu menjadi dasar
yakni:
2) Bagi tersangka yang berumur 70 tahun ke atas dan lima tahun ke bawah
4) Motif ringan
507
Ibid, h. 325.
381
pembaharuan yang relevan dan sangat tepat untuk mencapai rasa keadilan bagi
masyarakat. Penegakan hukum yang terlalu legalitis formal dan juga kaku
keadilan masyarakat. Konsep ini merupakan terobosan yang sangat baik dengan
penal, namun Rancangan KUHAP telah mengarah pada konsep mediasi penal.
di masa yang akan datang atau dengan kata lain konsep mediasi penal dapat
Indonesia.
diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP. Hal ini menegaskan bahwa tidak ada
382
perubahan untuk ide/pokok pikiran tentang tindak pidana ringan yang tersirat
dalam konsep tata cara acara pemeriksaan tindak pidana ringan dalam Rancangan
KUHAP, sehingga masih bisa diterapkan konsep tindak pidana ringan yang
tertentu yang dalam hal ini adalah kasus tindak pidana ringan. Mediasi penal
memiliki perbedaan yang mendasar lainnya yang tidak dapat ditemukan dalam
Perubahan ini tentu perlu difasilitasi dengan perumusan model mediasi penal yang
keberadaan asas legalitas yang berlaku saat ini maka setiap tindak pidana akan
diproses melalui peradilan pidana yang diatur dalam KUHAP. Konsekuensi dari
hal ini, bahwa saat ini masih banyak ditemukan paradigma menegakkan hukum
legalistik formal, kaku, positivistik dalam menyikapi tindak pidana yang terjadi.
Mediasi penal dapat menjadi instrumen yang secara bertahap dapat mengubah
kemanfaatan.
pidana. Masih dapat ditemukan polisi yang berpikir progresif dan responsif
remidium (sarana utama), namun mulai bergeser pada ultimum redium (sarana
terakhir).
menjadi budaya dalam bangsa Indonesia, mediasi penal juga dapat ditemukan
dapat menentukan model mediasi penal yang akan diterapkan di Indonesia dalam
penyelesaian tindak pidana ringan yang terjadi. Tahap transisi ini, diperlukan
perubahan paradigma atau pola pikir yang sifatnya radikal dan mendasar pada
penal memiliki peluang yang sangat besar untuk berkembang di Indonesia. Hal ini
dikarenakan kondisi bangsa Indonesia yang sesuai dengan adat ketimuran selalu
belum memiliki dasar hukum yang kuat. Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa
508
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, h. 44.
385
luar pengadilan yang dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief dapat diketahui
yang berupa pelanggaran yang diancam dengan denda melalui afkoop yang diatur
luar pengadilan. Melalui pembayaran denda damai maka dapat menjadi alasan
damai melalui penuntut umum, tidak ada proses penyelesaian perkara pidana oleh
pelaku dan korban. Ketika pelaku membayar denda kepada negara yang diwakili
oleh penuntut umum maka pelaku tidak dapat dituntut. Hal ini tentu berbeda
dengan esensi mediasi penal yang melakukan pemulihan dan perbaikan kondisi
korban akibat kejahatan yang terjadi. Korban dalam Afkoof tidak memiliki andil
diuraikan oleh Barda Nawawi Arief juga dimungkinkan juga dalam tindak pidana
dilakukan oleh anak di bawah usia 8 (delapan) tahun. Kini berdasarkan Undang-
Pidana Anak dikenal adanya diversi sebagai pengalihan penyelesaian perkara anak
menitikberatkan pada pelaku yang merupakan seorang anak agar tidak melalui
386
bagi anak yang berhadapan dengan hukum (anak sebagai pelaku). Diversi berbeda
Diversi hanya dikenal dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, tidak untuk orang
dewasa, dengan fokus utama adalah anak sebagai pelaku, sedangkan mediasi
penal dapat diterapkan bagi orang dewasa maupun anak dengan menitikberatkan
kepada semua pihak yang terkait (pelaku, korban, dan masyarakat). Diversi
Anak, sedangkan mediasi penal belum memiliki dasar hukum yang kuat.
pengadilan yang dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief, Barda Nawawi Arief
509
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, h. 45.
387
“mediasi penal”. Mediasi penal memiliki esensi yang berbeda dengan afkoop dan
melalui afkoop dan diversi. Mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian kasus di
karena mediasi juga dilakukan dalam peradilan HAM. Barda Nawawi Arief dalam
Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa mediasi dapat dilakukan oleh Komnas
HAM dalam kasus pelanggaran HAM (dalam Pasal 1 ke-7; Psl. 76 ayat (1); Pasal
1999 Tentang Hak Asasi Manusia), namun esensi mediasi dalam hal ini berbeda
dengan mediasi penal. Keputusan mediasi dalam hal ini hanya dapat digunakan
sebagai alat bukti yang sah, sehingga tidak ada aturan tegas yang mengatur bahwa
510
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, h. 47.
388
pemidanaan.
lain, mediasi penal dimungkinkan untuk tindak pidana yang dilakukan oleh anak
dan untuk kasus KDRT (kekerasan dalam rumah tangga – domestic violence),
pada konteks pembaharuan hukum pidana juga dapat menjadi alasan gugurnya
KUHP.511 Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa tidak hanya tindak pidana
ringan, namun penyelesaian di luar pengadilan juga dapat dilakukan dalam kasus-
diterapkan secara efektif maka perlu dibentuk model mediasi penal dalam
penyelesaian tindak pidana ringan yang ideal yang dapat diterapkan di Indonesia.
511
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, h. 48-49.
389
normalnya, yaitu dapat dilakukan oleh JPU (Jaksa Penuntut Umum) dengan
ini juga dapat dilakukan oleh pekerja sosial atau pejabat pengawas (probation
officer), oleh pejabat polisi, atau oleh Hakim. Jenis intervensi informal ini
kejahatan di antara warganya. Model ini ada di beberapa negara yang kurang
maju dan ada di wilayah pedesaan atau pedalaman. Model ini lebih memilih
keuntungan bagi masyarakat luas. Model ini mendahului hukum barat dan
merupakan model yang paling sering ada dalam pikiran orang. Model victim
oleh mediator yang ditunjuk. Banyak variasi dari model ini. Mediator dapat
berasal dari pejabat formal, mediator independen atau kombinasi. Mediasi ini
390
dapat diadakan pada setiap tahapan proses, baik pada tahap kebijaksanaan
victim offender mediation ini ada yang diterapkan untuk semua tipe pelaku
tindak pidana, ada yang khusus untuk anak, ada yang untuk tipe tindak pidana
terutama ditujukan pada pelaku anak, pelaku pemula, namun ada juga untuk
kompensasi atau perbaikan yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana
dikenakan program kerja agar dapat menyimpan uang untuk membayar ganti
peradilan pada prosedur masyarakat yang lebih fleksibel dan informal dan
Pidana. Tidak hanya melibatkan korban dan pelaku tindak pidana tetapi juga
391
(seperti polisi dan hakim anak) dan para pendukung korban. Pelaku dan
Menurut penulis, model mediasi penal yang paling cocok atau ideal
menunjang terwujudnya mediasi penal dalam konteks restorative justice dan juga
sesuai dengan kondisi di Indonesia. Model ini memiliki mekanisme yang lumrah
atau seperti yang disebutkan oleh Barda Nawawi Arief bahwa model victim-
offender mediation merupakan model yang paling sering ada dalam pikiran orang-
langsung memang diupayakan, namun bukan menjadi fokus utama karena yang
diutamakan adalah proses. Komunikasi dalam hal ini juga dapat dilakukan secara
tidak langsung, yang terpenting dalam hal ini adalah adanya proses pelibatan
antara para pihak untuk menyelesaikan kasus yang terjadi. Model victim-offender
mediation juga melibatkan mediator yang dapat berasal dari pejabat formal,
512
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, h.7-12.
392
penting dalam mediasi penal sehingga dibutuhkan mediator yang terampil dan ahli
di bidangnya.
penal dilakukan pada setiap tahapan proses, baik pada tahap kebijaksanaan polisi,
memang menyebutkan bahwa mediasi penal dapat dilakukan pada semua tingkat
pemeriksaan dan beberapa negara juga menerapkan hal ini seperti di Austria,
Jerman, dan lain-lain. DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur menyatakan bahwa
perkara pada setiap tahapan proses pemeriksaan perkara sebelum jatuhnya putusan
pengadilan, mediasi penal juga dapat dilakukan pada setiap tahapan pemeriksaan
sebelum jatuhnya putusan. Hal ini dilakukan untuk membuka semua kemungkinan
pidana sehingga model yang ideal juga mengikuti prinsip ini. Mediasi penal dapat
pidana di luar pengadilan menurut penulis harus ditegaskan bahwa posisi mediasi
penal adalah di luar proses peradilan/di luar pengadilan/di luar sistem peradilan
dan pengadilan, namun posisinya di luar peradilan pidana/di luar sistem peradilan
513
DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Op.Cit, h. 88.
393
pidana. Proses mediasi penal dapat dilakukan oleh polisi, jaksa, hakim, namun
diupayakan disetiap tingkat baik di kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Hal ini
perdamaian. Terkait posisi mediasi penal, meskipun mediasi penal berada di luar
pengadilan/di luar peradilan pidana/di luar sistem peradilan pidana, namun pada
penyelesaian perkara tindak pidana ringan mediasi penal dapat menjadi bagian
(dalam arti khusus) dari Sistem Peradilan Pidana. Letak mediasi penal memang di
luar sistem peradilan pidana, namun hasil mediasi penal dapat digunakan oleh
hukum acara pidana, tindak pidana ringan tidak dikenakan penahanan sehingga
pihak.
Ide bahwa hasil mediasi penal dalam penyelesaian kasus tindak pidana
ringan dapat digunakan oleh penuntut umum (kejaksaan) atau hakim (pengadilan)
Model victim offender mediation ini seperti yang telah disebutkan oleh
Barda Nawawi Arief bahwa mediasi penal ada yang diterapkan untuk semua tipe
pelaku tindak pidana, ada yang khusus untuk anak, ada yang untuk tipe tindak
pidana tertentu (misal pengutilan, perampokan dan tindak kekerasan). Ada yang
terutama ditujukan pada pelaku anak, pelaku pemula, namun ada juga untuk delik-
delik berat dan bahkan untuk residivis. Terdapat variasi di berbagai negara terkait
dengan tipe pelaku tindak pidana dan tindak pidana yang dapat diselesaikan
dapat dilakukan oleh semua tipe pelaku kejahatan (berdasarkan usia yakni yang
sudah lanjut usia (tua), dewasa, remaja, anak, pelaku pemula, pelaku sebagai
pidana ringan dapat diterapkan untuk semua tipe pelaku kejahatan, kecuali pada
residivis dan terhadap anak. Hal ini dikarenakan residivis dalam hukum di
Anak sebagai pelaku kejahatan juga telah dirumuskan dalam mekanisme diversi
yang telah diatur dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, sehingga telah memiliki
konsep mediasi proses dialog dikenal sebagai media komunikasi sebagai modal
Circles dapat digunakan dalam proses mediasi penal. Model yang paling cocok
Offender Mediation, karena lebih efisien. Model Conferencing dan Circles juga
514
Eva Achjani Zulfa, Op.Cit, h. 187-188.
396
dimungkinkan untuk diterapkan jika ada pihak lain seperti yang terkena dampak
kejahatan, seperti misalnya keluarga korban atau masyarakat. Hal ini karena
pertimbangan untuk memberikan keadilan bagi semua pihak dan dilakukan untuk
pemulihan atau perbaikan bagi semua pihak yang terkena dampak kejahatan.
2. Apabila melibatkan mediator, pelaku, dan korban langsung dan korban tidak
langsung seperti keluarga atau kawan dekat korban serta keluarga dan kawan
dalam penyelesaian tindak pidana di Indonesia, perlu dikaji model yang kini
berlaku di Indonesia. Hal ini dapat ditemukan dalam Perkap Polmas 2008 yang
secara sederhana dapat penulis gambarkan seperti pada bagan di bawah ini:
397
Bagan 5
Mediasi di Kepolisian Berdasarkan Perkap Polmas 2008
Pemolisian Masyarakat
(Polmas)
Laporan/
tertangkap mediasi
tangan
Tindak
Pidana Ringan
(dalam KUHP): Menghubungi anggota FKPM (Forum Kemitraan Polri dan
Pasal 302 Masyarakat) atau nama/istilah lain untuk bersama-sama menyelesaikan
(penganiayaan perkara
ringan terhadap
hewan), Pasal
352 Menentukan tempat dan tanggal waktu pertemuan dengan kedua belah
(penganiayaan pihak yang berperkara;
ringan terhadap
manusia), Pasal
364 (pencurian
ringan), Pasal Mengadakan pertemuan dengan kedua belah pihak, anggota FKPM,
373 Bhabinkamtibmas/petugas Polmas, untuk menyelesaikan perkara;
(penggelapan
ringan), Pasal
379 (penipuan Bhabinkamtibmas/petugas Polmas menfasilitasi dan memediasi
ringan), Pasal penyelesaian perkara tersebut;
482 (penadahan
ringan), dan
Pasal 315 KUHP Bhabinkamtibmas/petugas Polmas beserta anggota FKPM memberikan
(penghinaan pandangan, masukan, pendapat, saran kepada kedua belah pihak
ringan). berperkara untuk penyelesaian perkara;
Apabila kedua belah pihak menerima Apabila salah satu/kedua belah pihak
penyelesaian yang dicapai secara musyawarah tidak menerima penyelesaian yang
dan mufakat maka dibuatkan surat ditawarkan oleh
kesepakatan bersama tentang penyelesaian Bhabinkamtibmas/petugas Polmas dan
perkara; anggota FKPM maka perkara
dilimpahkan ke polsek.
398
pidana ringan. Tindak pidana ringan yang bisa diselesaikan kepolisian melalui
mediasi berdasarkan Perkap Polmas 2008 hanya terdiri dari 7 (tujuh) pasal yakni:
Pasal 302, 352, 364, 373, 379, 482, dan Pasal 315 KUHP. Proses mediasi yang
pertemuan.
pandangan, masukan, pendapat, saran kepada kedua belah pihak berperkara untuk
kesepakatan bersama tentang penyelesaian perkara, apabila salah satu atau kedua
dalam penyelesaian tindak pidana ringan yang terbatas dalam 7 pasal dalam
KUHP (Pasal 302, 352, 364, 373, 379, 482, dan Pasal 315 KUHP).
juga disesuaikan dengan kondisi hukum dan masyarakat di Indonesia. Hal ini
dapat ditawarkan penulis dalam Bagan 6. Mediasi penal dalam model victim
offender mediation dengan pendekatan keadilan restoratif yang sesuai atau ideal
Bagan 6.
Mediasi Penal Pada Model Victim Offender Mediation Dalam
Penyelesaian Tindak Pidana Ringan di Indonesia
SISTEM PERADILAN PIDANA
Tindak Pidana Sub Sistem
Ringan Peradilan Pidana
advokat
Kejaksaan
Tercapai
Polisi, Jaksa, dan Hakim kesepakatan
mediator kasus telah
Mediasi penal dapat berhasil
MEDIASI dilakukan disemua tahapan diselesaikan
PENAL peradilan pidana melalui
mediasi penal
kesepakatan
Lembaga Mediasi Penal tertulis
(LSM, LBH,
Pelaku Korban: masyarakat adat, atau
Kejahatan Lembaga Independen Tidak tercapai
1. Korban
(Semua lainnya) kesepakatan
2. Pihak lain
tipe pelaku yang
kejahatan, terkait
kecuali yang
residivis terkena
dan anak) dampak
kejahatan
(keluarga
korban/
masyaraka
t)
Keterangan :
atau : alur/tahapan
: proses tidak berlanjut
: dialihkan
-------- : proses dalam Sistem Peradilan Pidana (peradilan pidana)
: proses dalam mediasi penal
---- : koordinasi/kerjasama
401
model sederhana yang ditawarkan penulis untuk penerapan mediasi penal dalam
penyelesaian perkara pidana. Pihak yang terlibat dalam proses mediasi penal
dalam hal ini adalah pelaku, korban, dan dibantu oleh mediator sebagai fasilitator
Idealnya mediasi penal sangat tepat jika dilakukan oleh sebuah lembaga
mediasi penal yang dibentuk khusus untuk melakukan mediasi penal dengan
mediator yang ahli di bidangnya. Lembaga mediasi penal ini juga dapat terdiri
dari LSM, LBH, masyarakat adat, atau Lembaga Independen lainnya. Mediasi
penal juga dapat dilakukan oleh polisi, jaksa, dan hakim jika kasus tersebut telah
jalan yang dapat ditempuh korban dan pelaku kejahatan dalam menyelesaikan
perkara pidana melalui mediasi penal yakni melalui lembaga mediasi penal atau
melalui polisi/jaksa/hakim. Mediator dalam model ini bisa berasal dari mediator
independen yang profesiaonal atau ahli di bidangnya dan bisa juga dilakukan oleh
tindak pidana ringan yang bukan merupakan residivis dan anak. Korban dalam hal
tindak pidana dapat diproses melalui peradilan pidana. Model victim offender
Indonesia, meskipun model victim offender mediation ini banyak diterapkan oleh
negara dengan sistem common law seperti Amerika Serikat dan Inggris, namun
mediasi penal sebagaimana yang telah disebutkan dalam bagan 6 dan tetap perlu
ini mengkaji beberapa negara dengan sistem hukum atau keluarga hukum yang
di dunia. Berikut ini akan diuraikan pengaturan dan penerapan mediasi penal di
beberapa negara dengan sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law) yakni
(Common Law) diantaranya adalah negara Amerika Serikat dan Inggris, sistem
Mediasi penal telah lama dikenal di Belanda dan berkembang dengan berbagai
dari segi rumusan, kualifikasi tindak pidana, serta proses penerapannya. 515 Jan
penuntutan.516 Persyaratan atas kualifikasi tindak pidananya dalam hal ini adalah
(enam) tahun. Terhadap tindak pidana ringan, polisi diberikan kewenangan untuk
515
Eva Achjani Zulfa, Op.Cit, h. 177.
516
Jan Remmelink, Op.Cit, h. 442.
517
Eva Achjani Zulfa, Loc.Cit.
404
transaktie ini mengalami sejarah yang panjang dengan beberapa kali perubahan
dalam Staatblad Nomor 308 tertanggal 29 Juni 1925 mengatur ketentuan dalam
hanya berkaitan dengan tindak pidana yang diancam dengan denda, tetapi juga
penuntutan pada tindak pidana yang diancam dengan denda dan pidana kurungan
penyelesaian diluar sidang. Menurut Simons dalam hal ini terdapat perbedaan
posisi penuntut umum yang dapat dilihat dalam tabel dibawah ini: 519
518
Eva Achjani Zulfa, Op.Cit, h. 177-178.
519
Eva Achjani Zulfa, Loc.Cit.
405
Tabel 6.
Posisi Penuntut Umum Terhadap Permohonan Penyelesaian di luar Sidang
tindak pidana yang diancam dengan sanksi denda dan atau kurungan. Dalam hal
tindak pidana yang diancam dengan denda maka penuntut umum tidak boleh
diancam dengan pidana denda dan atau kurungan maka berlaku sistem seleksi.
520
Eva Achjani Zulfa, Loc.Cit.
521
Eva Achjani Zulfa, Op.Cit, h. 178.
406
Terkait dengan tipe pelaku jika pelaku adalah residivis dalam hal ini
Simons menegaskan bahwa jika terjadi pengulangan atas tindak pidana yang
ne bis in idem.522
Kondisi ini menegaskan bahwa recidive tetap menjadi dasar pemberatan pidana.
dalam hal perkara pidana yang dilakukan oleh anak. Ketentuan Staatblad 1921 ini
tidak berlaku bagi anak-anak dibawah umur, sedangkan dalam Staatblad 1925
bagi anak-anak yang belum mencapai umur 18 tahun, maka ketentuan jumlah
denda yang tertinggi adalah sebesar 90 (sembilan puluh) rupiah. 523 Ketentuan
Sanksi Terhadap Harta Benda) yang mulai berlaku tanggal 1 Mei 1983. Adapun
522
Eva Achjani Zulfa, Op.Cit, h. 179.
523
Eva Achjani Zulfa, Loc.Cit.
407
merupakan hak tersangka, oleh sebab itu maka penuntut umum harus menawarkan
menggunakan lembaga ini atau tidak dan tidak boleh dilakukannya tekanan
kepada mereka. Pertimbangan terakhir ini muncul pula dalam putusan Mahkamah
524
Eva Achjani Zulfa, Op.Cit, h. 179.
525
Eva Achjani Zulfa, Op.Cit, h. 180.
408
delik dilakukan. Dengan hal ini, maka pelaku tindak pidana terbebas dari
pemidanaan meskipun telah terbukti bersalah. Tindak pidana yang dapat diberikan
pidana yang dipandang sangat ringan, karena rechterlijk pardon diberikan oleh
hakim dengan melihat kondisi kejahatan atau tindak pidananya, yakni terhadap
tindak pidana yang dipandang sangat ringan, kondisi pelaku atau karakter pribadi
ini hakim menganggap konflik telah berakhir dan selesai. Tindakan hakim untuk
526
I Ketut Sudira, Op.Cit, h. 126-130.
409
merupakan inti dari perdamaian. Ketentuan rechterlijk pardon ini juga mengarah
Sv. (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) pada tahun 1926 di Belanda
atau yang lebih harfiah disebut sebagai pengampunan atau pemaafan oleh atau
atas kuasa hakim) dari hakim kanton (pengadilan tingkat terendah). Hal ini
diberikan atas dasar pertimbangan besar kecilnya makna tindak pidana yang
serupa, yakni pengembalian anak yang belum mencapai usia 16 (enam belas
tahun) ke bawah kekuasaan orang tua atau wali, tanpa sekaligus diiringi
penjatuhan pidana. Hukum pidana anak yang baru ini kemudian dialihkan ke
dalam lingkup hukum pidana materiil. Pasal 77f (3) ini menentukan bahwa hakim
(kepribadian) pelaku, serta situasi dan kondisi sewaktu tindak pidana dilakukan
dapat menjadi pertimbangan bahwa akan lebih baik dijatuhkan putusan salah
Mediasi penal dalam bahasa Jerman dikenal dengan istilah “der” atau
527
I Ketut Sudira, Loc.Cit.
528
Jan Remmelink, Loc.Cit.
529
Jan Remmelink, Loc.Cit.
410
dan Greenwood menunjukkan bahwa pada tahun 1999 dari 17 negara, Jerman
merupakan negara di Eropa yang memiliki program mediasi penal atau victim
pertama kali mediasi penal dikenal pertengahan tahun 1980-an, mediasi penal di
mencapai 82 % dari total perkara yang menempuh proses ini pada tahun 1999”.530
Terkait dengan mediasi penal, di Jerman juga dikenal dan dibedakan dua
korban-pelaku, namun dalam bahasa Jerman mediasi penal dikenal dengan istilah
lazim ini, memang dilakukan dengan sengaja karena mediasi penal di Jerman
korban.532
dengan 4 (empat) pilot project untuk menangani anak yang berhadapan dengan
hukum (ABH) dan 1 (satu) proyek untuk orang dewasa. Program yang paling
530
Fatahillah A. Syukur, Op.Cit, h. 193, dalam Nadja Alexander, Walther Gottwald,
and Thomas Trenczek, “Mediation in Grmany: The Long and Winding Roa” in Global Trends in
Mediation, ed. Nadja Alexander (Alphen: Kluwer Law International, 2006), h. 226.
531
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, h. 30.
532
Fatahillah A. Syukur, Op.Cit, h. 191.
411
banyak berkembang adalah ABH, namun mediasi penal untuk orang dewasa juga
Lembaga Bantuan Hukum atau LSM independen. Mediasi penal pertama kali
untuk semua jenis tindak pidana (termasuk KDRT), kecuali kejahatan yang tidak
didirikanlah Asosiasi Mediasi Nasional pada tahun 1992 yang menaungi berbagai
Ketentuan atau aturan tentang restitusi terdapat dalam the Juvenile Penal
atau digunakan dalam kombinasi dengan sanksi lain (combi-nation with further
orders), atau sebagai sarana diversi (as a means of diversion). Restitusi bagi orang
dewasa diakui sejak tahun 1953 sebagai syarat “probation” dan sejak tahun 1975
diakui sebagai sarana diversi bagi jaksa dan hakim [§ 153(a) StPO]. 535
secara umum pada tahun 1990 (§ 10 I Nr. 7 JGG) dan dinyatakan sebagai “a
533
Fatahillah A. Syukur, Op.Cit, h. 191.
534
Fatahillah A. Syukur, Op.Cit, h. 192, dalam Michael Kilchling, “Victim-Offender
Mediation with Juvenile Offenders in Germany” in Victim-Offender Mediation with Youth
Offenders in Europe, ed. Anna Mestitz and Simona Ghetti (Dordrecht: Springer, 2005), h. 232.
535
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, h. 30-31, dalam Detlev Frehsee (Professor of
Criminology and Criminal Law, University of Bielefeld, Germany), Restitution and Offender-
Victim Arrangement in German Criminal Law: Development and Theoretical Implications,
http://wings.buffalo.edu/law/bclc/bclr.htm.
412
(KUHP) pada tahun 1994537. Pasal 46a StGB ini menentukan bahwa:
Mediation Between the Perpetrator and the Victim, Restitution for Harm
Caused If the perpetrator has:
1. in an effort to achieve mediation with the aggrieved party (mediation
between perpetrator and victim), completely or substantially made
restitution for his act or earnestly strived to make restitution; or
2. in a case in which the restitution for the harm caused required substantial
personal accomplishments or personal sacrifice on his part, completely or
substantially compensated the victim,
then the court may mitigate the punishment pursuant to Section 49
subsection (1), or, if the maximum punishment which may be incurred is
imprisonment for not more than one year or a fine of not more than three
hundred sixty daily rates, dispense with punishment.
Berdasarkan Pasal 46a StGB dapat diketahui bahwa apabila pelaku memberi ganti
rugi atau kompensasi kepada korban secara penuh atau sebagian besar, atau telah
maksimum pidana 1 tahun penjara atau 360 unit denda harian. 538 Pasal 46a
membebaskan terdakwa dari hukuman untuk kasus yang diancam dengan pidana
antara pelaku dan korban melalui kompensasi ini di Jerman dikenal dengan istilah
536
Barda Nawawi Arief I, Loc.Cit.
537
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, h. 31, dalam Dieter Rössner, Mediation as a Basic
Element of Crime Control: Theoretical and Empirical Comments, wings.buffalo.edu/law/
bclc/bclrarticles /3(1)/roessner.pdf.
538
Barda Nawawi Arief I, Loc.Cit.
539
Fatahillah A. Syukur, Loc.Cit.
413
Pada tindak pidana ringan di Jerman, sejak tahun 1998 Pasal 153a
formal proses penuntutan jika mediasi penal memenuhi syarat untuk dilakukan.
Pasal 153a Hukum Acara Pidana Jerman mewajibkan jaksa dan hakim selalu
perkara. Perumusan legislasi ini menjadikan mediasi penal dapat digunakan dalam
95% dari semua tindak pidana, namun penggunaannya masih di bawah 5 % dari
mengemukakan bahwa:
540
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, h. 31-32.
541
Fatahillah A. Syukur, Loc.Cit, dalam Nadja Alexander, Walther Gottwald, and
Thomas Trenczek, “Mediation in Grmany: The Long and Winding Roa” in Global Trends in
Mediation, ed. Nadja Alexander (Alphen: Kluwer Law International, 2006), h. 226.
542
Fatahillah A. Syukur, Op.Cit, h. 193.
414
Proses mediasi penal yang lebih terjadi berbentuk shuttle mediation dimana
para korban dan pelaku tidak saling bertemu, tetapi mediator-hakim yang
mengunjungi keduanya untuk mencapai titik temu. Ada beberapa syarat
yang diperhatikan oleh jaksa ataupun hakim untuk dipertimbangkan
terhadap suatu kasus layak untuk menempuh mediasi penal, yaitu:
1. Kesediaan dari korban
2. Bukan merupakan perkara yang terlalu ringan (sepele)
3. Kewajiban pelaku untuk bertanggung jawab.543
Mediation (VOM). Mark S. Umbreit, Robert B. Coates dan Betty Vos juga
mengemukakan bahwa, “In the United States, some programs are also called
emerged in the United States in the late 1970s, and its use continues to
atau mediasi penal muncul di Amerika Serikat pada akhir 1970-an, dan
Greenwood pada tahun 1999 dari 17 (tujuh belas) negara, Amerika Serikat
merupakan negara di Eropa yang memiliki program mediasi penal atau victim
543
Fatahillah A. Syukur, Loc.Cit.
544
Mark S. Umbreit, Robert B. Coates dan Betty Vos, 2004, Victim Offender
Mediation: Three Decades of Practice and Research, Conflict Resolution Quarterly, vol. 22, no. 1–
2, Fall–Winter, Wiley Periodicals, Inc., and the Association for Conflict Resolution, h. 279.
545
Alyssa H. Shenk, Op.Cit, h. 440.
415
offender mediation yang terbanyak kedua setelah Jerman yakni berjumlah 302
program.
ringan. Seperti yang telah diuraikan oleh Alyssa H. Shenk bahwa pada awalnya
“In recent years, an increasing number of VOM programs have been periodically
working with cases involving severe violence, including homicide”. Hal ini
secara berkala dan digunakan juga terhadap kekerasan yang berat termasuk
pembunuhan (homicide).
546
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, h. 59.
547
Alyssa H. Shenk, Op.Cit, h. 440.
416
dibuktikan dengan dukungan yang diterima dari American Bar Association pada
untuk korban.
mengemukakan bahwa:
Amerika Serikat dapat diberikan pada remaja dan orang dewasa, namun program
berbagai pihak. Mark S. Umbreit, Robert B. Coates dan Betty Vos menyatakan
bahwa:
548
Mark S. Umbreit, Robert B. Coates dan Betty Vos, Op.Cit, h. 283-284.
417
VOM programs across the United States are most often offered by private,
nonprofit community-based agencies (43 percent of programs). Various
elements of the justice system are responsible for another 33 percent of
VOM programs, including probation (16 percent), correctional facilities (8
percent), prosecuting attorney offices (4 percent), victim services (3
percent), and police departments (2 percent). The remaining 23 percent are
offered by churches or church-related agencies. 549
Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa program VOM di seluruh Amerika
Serikat paling sering ditawarkan oleh swasta, lembaga berbasis nirlaba.VOM juga
selain itu bisa ditawarkan oleh gereja atau agencies yang berhubungan dengan
gereja.
dengan hal ini Mark S. Umbreit, Robert B. Coates dan Betty Vos menyatakan
bahwa, “All of the programs in the 1999 survey reported that participation was
kejahatan. Partisipasi pelaku kejahatan secara sukarela adalah sebesar 79% (tujuh
terdiri dari: intake, preparation for mediation, mediation, and follow-up yang
549
Mark S. Umbreit, Robert B. Coates dan Betty Vos, Op.Cit, h. 284.
550
Mark S. Umbreit, Robert B. Coates dan Betty Vos, Loc.Cit.
418
1. Intake
mengemukakan bahwa:
Berdasarkan hal tersebut dapat ketahui bahwa proses intake mengacu pada
menghubungi kedua belah pihak yakni korban dan pelaku dan jika mediator
menemukan bahwa kedua belah pihak sangat ingin bernegosiasi dan tidak
The next phase is preparation for mediation. During this phase the mediator
will first arrange individual meetings with each party, in which “the
mediator explains the program, answer question and screens the case for its
appropriateness for mediation. In meeting with the victim and offender
separately, if mediator does not feel she has effectively established trust and
rapport with each of the parties, the case is remanded to court. However, if
the mediator finds that case is suitable for mediation and both victim and
offender voluntarily agree to participate in the mediation session, the case
is ready for mediation. Preparation for the mediation session may include
551
Alyssa H. Shenk, Op.Cit, h. 440.
419
preparation for mediation (persiapan untuk mediasi). Selama fase ini mediator
dilakukan secara terpisah, jika mediator tidak merasa dia telah secara efektif
untuk diselesaikan secara mediasi dan kedua korban dan pelaku secara sukarela
setuju untuk berpartisipasi dalam sesi mediasi, kasus siap mediasi. Dalam proses
552
Alyssa H. Shenk, Op.Cit, h. 440.
553
Mark S. Umbreit, Robert B. Coates dan Betty Vos, Op.Cit, h. 284.
420
merupakan salah satu keunggulan VOM. Para pihak menerima setidaknya satu
personal, tatap muka dengan para peserta/pihak dan mediator atau beberapa
pekerja lain dari VOM program. Pertemuan ini terkadang dapat dilakukan melalui
telepon.554
Berdasarkan pandangan ini dapat diketahui bahwa tahap persiapan untuk mediasi
554
Sebuah studi tambahan sebagai perbandingan (Roberts, 1995) melaporkan sebuah
program di Kanada dalam kejahatan kekerasan. Program ini berkembang yang tidak biasa dan
komponen persiapan yang lebih intensif: pelanggar dan korban direkam dalam percakapan tentang
pelanggaran dengan staf program, dan ini Video kemudian dibagikan dengan rekan mereka. Meski
tidak ada persentase yang diberikan, studi tersebut melaporkan bahwa partai merasa sangat puas.
Demikian pula, dalam penelitian eksplorasinya terhadap tujuh kasus kekerasan yang sampai pada
mediasi, Flaten (1996) mencatat bahwa persiapan disebut sebagai single yang paling penting faktor
yang berkontribusi terhadap keberhasilan mediasi. Lihat, Mark S. Umbreit, Robert B. Coates dan
Betty Vos, Op.Cit, h. 285.
555
Mark S. Umbreit, Op.Cit, h. 115.
421
(99%) menghubungi korban dan pelaku melalui telepon sebelum sesi mediasi.
Panggilan telepon dilakukan oleh mediator (51%) atau staf program (49%). Rapat
terpisah diadakan dengan korban dan pelaku sebelum sesi mediasi bersama (78%)
dan 80 % dari pertemuan persiapan ini adalah dengan mediator dan 20% dengan
intake staff.
3. Mediation
The third phase is the mediation itself. Mediation sessions are designed to
“focus upon dialogue rather than upon reaching a restitution agreement,
facilitating empathy and understanding between victim and offender. The
mediation session generally begins with an explanation of the ground rules
and then the victim is given the opportunity the speak first. Once the victim
has explained to the offender’s crime, the victim may ask the offender
question, and the offender then has an opportunity to offer an explanation
and/or an apology. In the mediation session, the parties are expected to
reach a mutually acceptable agreement, usually a restitution agreement or
work order. If the parties are unable to reach an agreement the case will be
remanded back to the court for futher proceeding.556
Berdasarkan hal tersebut dapat ketahui bahwa tahap ketiga adalah mediation
(mediasi itu sendiri). Sesi mediasi dirancang untuk fokus pada dialog daripada
korban dan pelaku. Sesi mediasi biasanya dimulai dengan penjelasan tentang
menawarkan penjelasan dan/atau permintaan maaf. Para pihak pada tahap mediasi
556
Alyssa H. Shenk, Op.Cit, h. 440.
422
berupa perjanjian restitusi atau work order. Jika para pihak tidak dapat mencapai
dilanjutkan.557
4. Follow-up
kesepakatan tercapai selama mediasi, kinerja pelaku dan kerja sama akan dipantau
restitusi.
557
Mark Umbreit menyatakan bahwa: Following a brief opening statement by the
mediators, typical victim offender mediation sessions begin with the parties “telling their stories,”
describing what happened and its impact on their lives. In the majority of programs in the survey
(53 percent), the mediator determined which party begins the storytelling phase of the mediation,
while in other programs this decision was determined by either the program staff, the victim, or
the victim and offender mutually. In more than half of programs (53 percent), the victim spoke
first. The offender was first in a third of the programs, and in 14 percent of the programs it varied,
depending on the specific case. 557 Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa tahap mediasi mulai
dilakukan setelah pernyataan pembuka singkat oleh para mediator, VOM dimulai dengan para
pihak "menceritakan cerita mereka, "menggambarkan apa yang terjadi dan dampaknya terhadap
mereka hidup. Lihat, Mark S. Umbreit, Op.Cit, h. 116.
558
Alyssa H. Shenk, Loc.Cit.
423
In addition, Standard 3 of the CPS Core Quality Standards (CQS) stipulates that
offenders. Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa Jaksa (Penuntut Umum)
dapat melakukan alternatif penuntutan untuk orang dewasa dan orang yang belum
alternatif penuntutan yang sesuai untuk mendapatkan ganti rugi yang cepat bagi
korban dan untuk merehabilitasi atau menghukum pelaku. The Revised Victims
Code mulai berlaku pada 10 Desember 2013 termasuk Restorative Justice untuk
Justice.
the concept of mediation in a small number of cases (prior to any major initiative)
actually began in the early 1970s. By 1986, there wewe twelve projects in
559
England, and this number had grown to twenty by the mid 1990s”.
Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa victim offender mediation atau mediasi
559
Mark S. Umbreit, Op.Cit, h. 235.
424
penal di Inggris telah dikenal sejak lama, yakni pada awal tahun 1970-an dan
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa tahap mediasi penal di Inggris
terdiri dari dua sub kategori yang berbeda yaitu, mediasi langsung (direct
difasilitasi untuk pertemuan tatap muka antara korban dan pelaku, sedangkan pada
mediasi tidak langsung mediator bertemu dengan kedua belah pihak secara
sementara tidak pernah difasilitasi untuk pertemuan sesi tatap muka. Dalam
melibatkan individu sebelum resolusi akhir konflik. Hanya sebagian kecil kasus di
560
Mark S. Umbreit, Loc.Cit.
425
namun proses. VOM di Inggris memiliki 2 (dua) bentuk proses mediasi yakni
mediasi langsung dan tidak langsung, terkait dengan hal ini Mark S. Umbreit
menyatakan bahwa:
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar korban dalam mediasi
langsung dan tidak langsung puas dengan hasil sesi mediasi mereka. Mediasi
di antara korban dari pada mediasi tidak langsung. Berdasarkan kepuasan terhadap
hasil mediasi, pelaku mengungkapkan rasa kepuasan yang bahkan lebih kuat dari
pada korban.
Peranan korban, pelaku, dan mediator tentu sangat penting dalam proses
These officials identified two reasons as the most likely ones for a victim’s
electing to participate in mediation: the need to get answers to questions
about the crime and the need to express feelings of anger and frustration to
the offender. With respect to the most important immediate outcomes of the
mediation process for victims, the two themes identified most frequently by
interviewees were a sense of relief and reassurance and greater
understanding of what actually happened and why it happened. For
561
Mark S. Umbreit, Op.Cit, h. 246.
426
Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa proses VOM dapat meliputi kebutuhan
proses mediasi untuk korban adalah rasa lega dan kepastian dan pemahaman yang
lebih besar tentang apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa hal itu terjadi
terhadap dirinya sebagai korban. Bagi pelaku kejahatan dapat bertanggung jawab
kepada korban. Proses VOM membantu pelaku memahami dampak penuh dari
kejahatan terhadap korban. Hasil proses VOM dalam jangka panjang yakni
mengurangi residive.
Umbreit menyatakan bahwa, “The officials cited the most likely reasons for
are related to offenders’ perception that they would get a “better deal” or a lesser
punishment. These reasons were followed by the need to express remorse and the
need to make amends”. 563 Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa pada
562
Mark S. Umbreit, Op.Cit, h. 249.
563
Mark S. Umbreit, Loc.Cit.
427
VOM adalah mereka akan mendapatkan "kesepakatan yang lebih baik" atau
hukuman yang lebih rendah. Alasan ini diikuti oleh kebutuhan mengungkapkan
practice that was only recently implemented in China's criminal legal system
although, despite its recent appearance, it has very ancient roots”.564 Berdasarkan
hal ini dapat diketahui bahwa mediasi penal di Cina dikenal dengan istilah Xingshi
China, meskipun merupakan hal yang baru namun VOR telah berakar di Cina
sejak lama.
564
Riccardo Berti, 2016, Victim-Offender Reconciliation in the People’s Republic of
China and Taiwan, Palgrave Macmillan, Italy, h. 1.
428
Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa Xingshi Hejie adalah sebuah kata yang
terdiri dari karakter 刑 xing yang artinya hukuman, penyiksaan, hukuman fisik,
yang biasa digunakan pada the criminal law branch of law. 事 shi: secara harfiah
juga damai dan digunakan atau disatukan sebagai rasa persatuan. 解 jie: berarti
(memediasi).
Hejie dalam proses peradilannya. Riccardo Berti menyatakan bahwa in China the
use of mediation is in fact very wide spread, but when dealing with criminal cases
its use is limited, growing, but limited. In China the mediation system does
replace the process, it is only a supplement, something that goes parallel to the
process and can have an influence over the sentencing, but it is a discretionary
566
decision of the judge and prosecutor. Pandangan Riccardo Berti ini
terbatas. Sistem mediasi di Cina (VOR) hanya suplemen, sesuatu yang sesuai
dengan proses dan dapat mempengaruhi hukuman, namun melalui diskresi hakim
menyatakan bahwa:
Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa VOR didasarkan pada pilihan bahwa
hukuman yang lebih ringan pada akhir proses peradilan. Prosedur ini
secara formal dari pelaku kepada korban dan masyarakat, atau tindakannya yang
yang terdiri dari mendorong pelaku, untuk bertobat atas tindakan kriminalnya,
Offender Reconciliation (VOR) atau Xingshi Hejie adalah Pasal 172 KUHAP.
567
Ibid, h. 1-2.
430
applicable only if an agreement between the parties has been reached and the
victim has evidence to prove that the crime is a "minor criminal case". Pasal 172
KUHAP ini menunjukkan bahwa Xingshi Hejie atau VOR dapat dilakukan secara
terbatas, yakni terhadap minor criminal case atau tindak pidana ringan. Pasal 172
KUHAP menentukan bahwa VOR hanya berlaku jika ada kesepakatan antara
pihak dan korban memiliki bukti untuk membuktikan bahwa kejahatan tersebut
juga akan terkait dengan Pasal 130 dan 142 KUHAP. Article 130 of the Code of
Pasal 130 KUHAP ini menentukan bahwa jaksa penuntut umum dalam tahap
investigated".
dalam Pasal 130 KUHAP dapat ditemukan pada Pasal 142 KUHAP. Article 142
minor, causing no serious harm, and is therefore not deemed a crime", or if "the
crime is to be handled only upon complaint according to the Criminal Law, but
there has been no complaint or the complaint has been withdrawn" and "if other
Berdasarkan pasal ini dapat diketahui bahwa syarat penuntut umum dapat tidak
ringan/kecil, tidak menyebabkan bahaya serius, dan karena perbuatan itu tidak
dianggap sebagai kejahatan, atau merupakan delik aduan, tapi belum ada
pengaduan atau pengaduan telah ditarik, dan jika undang-undang lain memberikan
Pasal 130 dan 142 KUHAP yang berlaku di Cina menjadi dasar yang
Hejie, karena menjadi dasar bagi penuntut umum untuk tidak melanjutkan
penuntutan atau tidak melakukan penuntutan. Pasal 130 dan 142 KUHAP juga
dilakukan penuntutan.
568
John O. Haley, 2013, “Victim-Offender Mediation: Japanese and American
Comparisons” dalam H. Messmer,H. U. Otto, Restorative Justice on Trial: Pitfalls and Potentials
of Victim-Offender Mediation-International Research Perspective, Heinz Messmer, and Hans-Uwe
Otto (editor), Springer Science Business Media, B.V, Germany, h. 105.
432
korban, dan pengampunan adalah elemen penting dari pendekatan restoratif yang
Victim restitution and pardon are, as noted, critical elements of the process
of criminal justice in Japan. For wrongdoers generally in Japan, to seek out
those whom they have harmed and to seek their forgiveness by apologizing
and offering compensation is no intrinsic and natural that most Japanese
take such responses for granted. There pattern recur continuoesly in
Japanese social life.569
John O. Haley menyebutkan dalam kutipan di atas bahwa victim restitution dan
orang yang telah mereka rugikan (victim) dan mencari pengampunan mereka
John O. Haley juga menyatakan bahwa, “Apology and reciprocal pardon are
570
dominant threads of Japan’s cultural fabric”. Permintaan maaf dan
569
Ibid.
570
Ibid, h. 114.
433
daily life. Those in a position of authority of influence are expected to act as go-
ini dapat diketahui bahwa victim-offender mediation adalah aspek normal dari
penyelesaian sengketa.
lembaga konsiliasi di luar pengadilan di Jepang yang dikenal dengan nama Jidan.
Membawa sebuah perkara ke pengadilan bagi orang Jepang merupakan sifat yang
tidak terpuji. Paling bijak diselesaikan lebih dulu melalui forum mediasi Jidan.
waktu yang lama, biaya yang tinggi, dan meregangkan hubungan pihak-pihak
572
yang bersengketa. Kondisi masyarakat Jepang dengan budaya saling
diskresi sangatlah penting. Terkait dengan hal ini, John O. Haley mengemukakan
bahwa:
571
Ibid.
572
Prija Djatmika, 2014, Mediasi Penal Untuk Penyelesaian Perkara Penghinaan Oleh
Pers, CetakanPertama, Selaras, Malang, h. 60.
434
Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa kewenangan diskresi polisi, jaksa, dan
negara industri lainnya akan terikat oleh peraturan KUHP Jepang dan undang-
undang pidana khusus, yang sebaliknya mendikte persamaan yang lebih umum
paling penting dari sistem peradilan pidana Jepang sebagaimana diatur dalam
Pasal 246 dan 248 KUHAP, serta Pasal 25 KUHP. Pasal 246 KUHAP Jepang
mengatur tentang wewenang yang diberikan kepada polisi untuk tidak melaporkan
wewenang jaksa penuntut menangguhkan penuntutan yang dijamin oleh sifat dan
573
Ibid, h. 115.
435
kompensasi/ganti rugi, hal ini seperti yang telah dinyatakan oleh Lynn Tok dan
new. It has been in existence for more than a decade. However in Singapore,
criminal mediation is in its infancy, having only started in 2010. 574 Hal ini
dan masih dalam tahap awal, yang baru dimulai pada tahun tahun 2010.
bahwa:
574
Rathna N. Koman, 2016, Balancing the Force in Criminal Mediation, Beijing Law
Review journal, Singapore, h. 171.
436
Courts, 2011). The number of sessions required for criminal mediation will
depend on the complexity of the case.575
hanya bisa dirujuk oleh hakim pra-pengadilan (pre-trial judge) atau oleh kedua
pihak yang menyetujui di mana terdakwa dalam hal ini diwakili oleh penasihat
mediation, hakim sebagai mediator berperan sebagai pihak yang netral sebagai
penegah dalam proses criminal mediation. Jumlah sesi yang dibutuhkan untuk
facilitate mediation between the victim and the offender after acceptance of the
Singapore.576 Hal ini menunjukkan bahwa victim-offender mediation saat ini tidak
575
Ibid, h. 172.
576
Ibid, h. 177.
437
dan apabila permohonan dikabulkan oleh hakim, pemohon harus hadir. Ada
beberapa hal yang terjadi dalam Criminal Mediation yang diuraikan oleh Lynn
Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa, hakim dapat merujuk kedua belah
Mediation Centre terdapat panel mediator yang terlatih dan respected mediators
pemberitahuan baru dengan tanggal lain untuk hadir. Setiap orang yang tidak
577
Lynn Tok dan Hugh Turnbull, Op.Cit, h. 96-97.
438
bisa memediasi masalah ini. Jika tidak ada kesepakatan penyelesaian, pemohon
Ringan
Serikat, Inggris, Cina, Jepang, dan Singapura sebagaimana yang telah diuraikan
a. Mediasi penal pada umumnya dapat diterapkan untuk semua tipe pelaku
tindak pidana. Mediasi penal dapat dilakukan terhadap anak, remaja, orang
dewasa, dan orang lanjut usia.578 Mediasi penal dapat diterapkan pada pelaku
residivis, ada pula yang membatasi bahwa recidive tetap menjadi dasar
penal mulai diperluas untuk dapat digunakan terhadap kasus kekerasan yang
578
Barda Nawawi juga menegaskan bahwa pada awalnya mediasi penal digunakan
dalam menyelesaikan kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak namun dalam perkembangannya
juga digunakan untuk menangani kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa. Lihat, Barda
Nawawi Arief I, Op.Cit, h. 8.
439
sangat berat (Extremely severe violence) atau kasus-kasus yang serius, bahkan
penal dalam kejahatan ringan atau tindak pidana ringan, meskipun di Amerika
negara yang menerapkan mediasi penal hanya pada penyelesaian kasus tindak
pidana ringan, seperti di Cina. Jerman juga tidak menerapkan mediasi penal
mediasi penal pada ancaman pidana tindak pidana yang dilakukannya seperti
di Belanda. Hal ini menunjukkan adanya variasi terhadap tipe tindak pidana
c. Mediasi penal memberikan posisi dan peran yang penting bagi penegak
579
Barda Nawawi Arief juga menegaskan bahwa mediasi penal dapat diterapkan untuk
semua tipe tindak pidana. Biasanya, mediasi penal digunakan untuk menangani tindak pidana
pencurian dan tindak pidana ringan lainnya, namun dalam perkembangannya mediasi penal
digunakan juga untuk menyelesaikan tindak pidana berat seperti pemerkosaan dan pembunuhan.
Lihat, Fatahillah A Syukur, Op.Cit, h. 63 dalam Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal:
Penyelesaian Proses di Luar Pengadilan, h. 8. Dalam Model VOM ada yang diterapkan untuk
semua tipe pelaku tindak pidana; ada yang khusus untuk anak: ada tindak pidana tertentu (misal
pengutilan, perampokan dan tindak kekerasan). Ada yang terutama ditujukan pada pelaku anak,
pelaku pemula, namun ada juga untuk delik-delik berat dan bahkan untuk recidivist. Lihat, Barda
Nawawi Arief I, Loc.Cit.
580
Pada tingkat kepolisian, polisi dapat menghentikan pemeriksaan kasus dengan
metode transaksi seperti yang dikenal di Belanda. Melalui diskresi kepolisian di Jepang, polisi
juga berwenang untuk tidak melaporkan atau melanjutkan proses pemeriksaan untuk pelanggaran
ringan dan melanjutkannya melalui Jidan. Banyak negara yang melaksanakan mediasi penal
melalui jaksa dan hakim sebagai mediator seperti di Singapura.
440
gereja.
dalam mediasi penal, oleh sebab itu banyak negara yang menggunakan istilah
f. Mediasi penal pada umumnya dilakukan atas persetujuan antara korban dan
korban.
j. Mediasi penal diterapkan dengan bentuk yang bervariasi. Ada negara yang
muka antara korban dan pelaku), namun ada juga yang menerapkan mediasi
penal tidak langsung (mediator bertemu dengan kedua belah pihak secara
Jerman, Inggris,
adalah intake, tahap kedua adalah preparation for mediation (persiapan untuk
mediasi), tahap ketiga adalah mediation, dan tahap keempat adalah follow-up.
l. Patut disadari bahwa konsep mediasi penal pada dasarnya telah mengakar dan
Jerman, Amerika Serikat, Inggris, Cina, Jepang, dan Singapura) yang dapat
dalam kejahatan ringan atau tindak pidana ringan dan awal mulanya mediasi penal
di berbagai negara mulai diterapkan pada tipe kejahatan ringan (tindak pidana
ringan) dan dalam perkembangannya diperluas ke tipe kejahatan lainnya. Hal ini
juga menjadi alasan penulis mengkaji mediasi penal dalam kejahatan atau tindak
Indonesia.
dengan menerapkannya pada jenis kejahatan lain sampai pada kasus pembunuhan
seperti di Amerika Serikat. Tidak semua negara menerapkan mediasi penal pada
Mediasi penal pada prinsipnya juga dapat diterapkan pada semua tipe pelaku
perbedaaan dalam hal ini, seperti misalnya di Belanda yang membatasi bahwa
mediasi penal di Belanda, Jerman, Amerika Serikat, Inggris, Cina, Jepang, dan
sebagaimana yang telah diuraikan oleh Howard Zehr, maka ada beberapa prinsip
penting yang dapat diterapkan dalam penyelesaian kasus tindak pidana ringan
a. Mediasi penal dapat diterapkan untuk semua tipe pelaku tindak pidana,
kecuali recidive dan anak
untuk tidak menerapkan mediasi penal pada residivis. Sebagai upaya untuk
juga sebaiknya tidak diterapkan pada pelaku yang merupakan seorang anak
atau dikenal dengan anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). ABH telah
“diversi”. Diversi ini juga merupakan salah satu wujud dari restorative
tindak pidana ringan. Hal ini juga dilakukan oleh berbagai negara yang
Mediasi penal dalam penyelesaian kasus tindak pidana ringan dapat menjadi
terhadap kasus kekerasan yang sangat berat (Extremely severe violence) atau
tingkat kepolisian, dalam hal ini polisi dapat menjadi mediator, selain itu
mediator juga dapat dilakukan oleh mediator lain yang profesional dan ahli
untuk menegaskan adanya kesukarelaan (tanpa ada paksaan dari pihak lain)
memang lebih baik ide dari mediasi penal muncul dari para pihak. Terdapat
prinsip bahwa mediasi penal dianggap merupakan sebuah hak, sehingga perlu
untuk diadopsi di Indonesia. Mediasi penal adalah hak para tersangka atau
para pelaku dan para korban jika ingin menyelesaikan kasusnya melalui
mediasi penal dan agar para pihak mengetahui hak tersebut maka hal ini perlu
ditawarkan penggunaannya.
dianggap mengetahui hukum. Dalam hal ini siapapun atau setiap orang tanpa
ataupun bagi orang yang tidak berpendidikan atau bagi orang yang tidak
446
pemberitaan di internet, social media, dan lain-lain) sudah maju dan semakin
canggih, dan hukum menjadi salah satu topik utama yang selalu diberitakan,
(rechtfictie). Agar tidak seperti istilah fiksi semata, hal ini harus ditindak
lanjuti dengan sosialiasi mengenai hukum atau produk hukum yang berlaku.
Dalam hal ini dibutuhkan pendidikan hukum, tidak hanya dari dunia
pendidikan formal namun juga dapat dilakukan secara informal, misalnya dari
komunikasi langsung atau dari berbagai media baik cetak maupun elektronik.
mediasi penal bagi para pihak, namun tidak terlepas dari prinsip utama bahwa
581
Asas eidereen wordt geacht de wette kennen (Bahasa Belanda) atau presumptio iures
de iure (Bahasa Inggris) atau ignorarantia legis excausat neminem (Bahasa Latin) menunjukkan
representasi dari keinginan negara agar rakyatnya mentaati hukum yang berlaku. Asas ini memang
sulit terwujud karena berbagai faktor sosial yang dihadapi masyarakat di Negara kita. Terkait
dengan asas ini, banyak yang mengatakan bahwa asas ini sulit diterapkan dan mulai ditinggalkan.
Kendati demikian, menurut penulis asas ini dapat menjadi semangat dalam cita-cita terhadap
pengundangan serta pemberlakuan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
447
mediasi penal dilakukan atas kesepakatan atau persetujuan dari para pihak
secara sukarela tanpa paksaan atau tekanan dari siapapun. Penawaran ini
para pihak. Hal ini menunjukkan sebuah prinsip umum bahwa mediasi penal
dari pelaku menjadi bentuk pemulihan kondisi korban yang penting untuk
kejahatan.
restitusi sebagai bentuk tanggung jawab atas kesalahannya dan bentuk untuk
Perlu ditetapkan dua metode atau bentuk mediasi penal seperti yang
berlaku di Inggris, yakni mediasi penal secara langsung dan tidak langsung.
antara korban dan pelaku, sedangkan pada mediasi penal tidak langsung
mediator bertemu dengan kedua belah pihak secara terpisah dan tidak
difasilitasi pertemuan sesi tatap muka secara langsung antara korban dan
yang sesuai di Indonesia, agar mediasi penal menjadi sistematis dan dapat
serikat. Tahap pertama adalah intake, tahap kedua adalah preparation for
mediation, tahap ketiga adalah mediation, dan tahap keempat adalah follow-
karena budaya bangsa ini menjadi aspek penting yang akan memudahkan
para pihak, sebagai bukti bahwa telah terjadi penyelesaian di luar pengadilan.
pidana di luar pengadilan. Apabila mediasi penal gagal atau tidak mencapai
menurut penulis dapat menjadi prinsip yang ideal untuk diterapkan di Indonesia.
450
Tahap ini menjadi tahapan yang strategis untuk melakukan “pengalihan” dari
sebagai gerbang awal dalam Sistem Peradilan Pidana. Suatu kasus yang telah
dimulai dengan ADR, akan lebih mungkin untuk diteruskan dan berakhir dengan
cara ADR pula, daripada ADR dilakukan atau dimunculkan di tengah (ketika
perkara ditangani kejaksaan) atau diakhir pada proses peradilan (diputus oleh
pengadilan).583
582
Lilik Mulyadi, Op.Cit, h. 43.
583
Adrianus Meliala, Loc.Cit.
451
Bagan 7
Mekanisme Mediasi Penal Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Ringan di Indonesia
5. Kesepakatan tertulis
4. follow-up
Pemantauan pelaksanaan kesepakatan oleh mediator
452
studi perbandingan, prinsip-prinsip yang ada dalam mediasi penal dan keadilan
ringan di Indonesia dapat meliputi 4 (empat) proses yakni, intake, preparation for
tindak pidana ringan melalui mediasi penal tentu muncul dari para pihak sehingga
para pihak dapat mencari mediator yang diinginkannya atau jika kasus telah
penggunaan mediasi penal dalam penyelesaian kasus tidak pidana ringan kepada
para pihak. Keputusan penentuan penggunaan mediasi penal akan kembali ke para
pihak, karena prinsip mediasi penal adalah kesukarelaan dan iktikad baik.
maka mediator akan menerima kasus tersebut untuk diselesaikan melalui mediasi
penal.
453
penal, proses tanya jawab, dan menyaring kasus untuk dapat mengetahui
para pihak secara langsung. Melalui pertemuan ini, mediator melakukan upaya
mediasi penal dapat dilakukan dengan baik. Apabila mediator merasa tidak ada
kepercayaan dan hubungan baik tersebut, serta merasa kasus tidak bisa
melalui mediasi penal dan kedua korban dan pelaku secara sukarela setuju untuk
proses mediasi penal, sehingga perlu disiapkan dengan cermat. Para pihak
persiapan dapat dilakukan dengan consist of personal, tatap muka dengan para
pihak memang lebih disarankan, namun apabila situasi dan kondisi tidak
dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yakni mediasi penal secara langsung dan
tidak langsung. Pembagian ini didasarkan pada situasi dan kondisi masing-masing
pihak. Mediasi penal secara langsung memang diupayakan karena lebih menjamin
rasa kepuasan penyelesaian kasus, namun mediasi penal secara tidak langsung
Mediasi penal baik secara langsung atau tidak langsung berfokus pada
adanya komunikasi atau dialog antara para pihak. Sesuai dengan prinsip utama
mediasi penal bahwa fokus utama adalah proses, bukanlah hasil maka tahap penal
mediation ini sangatlah penting. Para pihak saat tahap mediasi penal secara
bantuan mediator sebagai fasilitator atau penengah. Tahap ini, para pihaklah yang
berperan. Sebelum proses dialog berlangsung, pada sesi awal, mediator akan
menjelaskan kepada para pihak tentang peraturan dasar dalam proses mediasi
Dialog pada sesi mediasi dapat dimulai dari korban atau pun pelaku.
Korban dapat diberi kesempatan berbicara pertama (hal ini tergantung pada situasi
yang ia terima dari kejahatan yang dilakukan oleh pelaku, kerugian, keinginannya,
455
Saat proses dialog ini, pelaku juga dapat dapat menyampaikan apa yang
diberikan kepada korban. Dapat terjadi proses tanya jawab antara korban dan
pelaku, serta proses untuk saling memahami dan memaafkan dalam proses
dialog.
ada pertemuan secara langsung antara korban dan pelaku, namun dialog atau
komunikasi masih tetap dapat dilakukan dengan bantuan mediator. Sama halnya
dengan mediasi penal secara langsung, korban dan pelaku dapat berdialog seperti
pada proses mediasi penal secara langsung, namun tidak bertatap muka secara
langsung. Hal ini dapat dilakukan dengan bantuan tecnology seperti melalui
telepon/hand phone, video call, vidio conference, rekaman video, dan lain
Proses mediasi penal baik secara langsung atau tidak langsung, sangat
diterima bersama, dengan perjanjian ganti rugi yang diberikan oleh pelaku kepada
dalam bentuk tertulis, ditandatangani diatas materai dan juga dapat didaftarkan di
Pengadilan Negeri agar dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian. Hal ini penting
memberikan kepastian bahwa perkara telah selesai tanpa melalui proses peradilan
atau telah diselesaikan di luar pengadilan, sehingga tidak bisa dituntut kembali.
Apabila para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan dalam proses mediasi penal,
mediasi, kinerja pelaku dan kerja sama akan dipantau untuk memastikan bahwa ia
oleh mediator. Mekanisme mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana ringan
BAB VI
PENUTUP
6. 1 Kesimpulan
penal dapat ditemukan dalam kebiasaan atau hukum adat masyarakat sebagai
yang akan datang (ius constituendum) dalam disertasi ini dibagi menjadi 5
457
458
b. Konsep tindak pidana ringan dan jenis tindak pidana ringan yang dapat
pidana penjara atau kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan atau denda
kerugian yang ditimbulkan tidak lebih dari Rp. 2.500.000, 00 (dua juta
lima ratus ribu rupiah), beserta penghinaan ringan. Jenis tindak pidana
dalam KUHP (102 pasal) dan di luar KUHP (Perda tentang pedagang kaki
undangan tentang minuman keras, dan semua tindak pidana di luar KUHP
Indonesia: Model mediasi penal yang paling cocok atau ideal untuk
pelaku tindak pidana, kecuali recidive dan anak. 2) Tindak pidana ringan
tingkat kepolisian dan hasil mediasi penal dapat digunakan sebagai dasar
pelaku secara sukarela, dengan iktikad baik, dan tidak ada paksaan. 5)
dan follow-up. 9) Konsep mediasi penal menjadi budaya bangsa. 10) Hasil
460
6.2 Saran
2. Perlu dibentuk dasar hukum yang tegas yang mengatur mengenai mediasi
berlaku yang kuat, mediasi penal perlu diatur dalam sebuah undang-undang
yang akan datang (ius constituendum) dapat menjadi masukan bagi badan