Pendahuluan
Akhir-akhir ini masalah korupsi sedang hangat-hangatnya
dibicarakan di masyarakat, terutama dalam media massa baik lokal
maupun nasional. Korupsi sangat merugikan negara dan dapat
merusak sendi-sendi kebersamaan bangsa. Pada hakekatnya, korupsi
merupakan “benalu sosial” yang merusak struktur pemerintahan, dan
menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan
pembangunan pada umumnya. Korupsi adalah hasil dari sikap hidup
satu kelompok masyarakat yang memakai uang sebagai standard kebenaran dan sebagai
kekuasaaan mutlak.
Korupsi di Indonesia sudah berlangsung lama, sejak zaman kerajaan, penjajahan, orde
baru, bahkan masih terjadi sampai sekarang di era reformasi. Dengan semakin berkembangnya
sektor ekonomi dan politik serta semakin majunya usaha-usaha pembangunan dengan
pembukaan-pembukaan sumber alam yang baru, maka semakin kuat dorongan individu
terutama di kalangan pegawai negeri untuk melakukan praktek korupsi dan usaha-usaha
penggelapan.
Korupsi telah merambat hampir seluruh lapisan masyarakat, baik di sektor publik
maupun swasta dan sering pula terjadi di kedua sektor tersebut secara bersamaan. Korupsi juga
telah berkembang dan mengakar di lembaga-lembaga pemerintahan, lembaga perwakilan
rakyat (DPR dan DPRD), ironisnya lagi hal ini juga terjadi di lembaga peradilan sendiri.
Seharusnya kepolisian, kejaksaan dan lembaga peradilan menjadi ujung tombak bagi upaya
pemberantasan korupsi justru menurut pandangan banyak kalangan merupakan institusi-
institusi publik yang korup dan banyak melakukan penyalahgunaan wewenang. Dalam artian,
bahwa korupsi telah merajalela terutama di kalangan birokrasi pada institusi publik atau
lembaga pemerintah, baik departemen maupun non departemen.
1
Sumber : Transparency International Indonesia tahun 2008
2
Faktor Penyebab Korupsi
1. Faktor politik dan kekuasaan
Korupsi paling banyak dilakukan oleh para pemegang kekuasaan (Eksekutif maupun
Legislatif) yang menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya
untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun untuk kepentingan kelompok dan
golongannya. Modus yang dilakukan pun sangat beragam, mulai dari perjalanan dinas
yang fiktif, penggelembungan dana APBD maupun cara-cara lainnya yang bertujuan
untuk menguntungkan diri sendiri, kelompok maupun golongan, dengan
menggunakan dan menyalahgunakan uang negara.
2. Faktor ekonomi
Korupsi terjadi karena tidak seimbangnya penghasilan dengan kebutuhan hidup yang
harus terpenuhi.
3. Faktor Nepotisme
Karena masih kentalnya semangat nepotisme, baik di sektor publik maupun swasta,
terutama di daerah-daerah dalam penempatan posisi yang strategis tidak jarang
kemudian menimbulkan penyalahgunaan kewenangan, khususnya yang berhubungan
dengan keuangan negara.
4. Faktor pengawasan
Lemahnya fungsi kontrol atau pengawasan yang dilakukan oleh beberapa lembaga,
seperti BPKP serta Bawasda terhadap penggunaan keuangan negara oleh pejabat-
pejabat publik (eksekutif dan legislatif) merupakan faktor penting yang
menumbuhkembangkan budaya korupsi. Fungsi kontrol yang seharusnya
dilaksanakan oleh lembaga legislatif pada kenyataannya acap kali tidak efektif, hal ini
disebabkan karena lembaga legislatif itu sendiri yang sering kali terlibat dalam
penyimpangan serta penyalahgunaan keuangan negara yang dilakukan oleh legislatif.
3
6. Mantan gubernur Jawa Barat Danny Setiawan dan Dirjen Otonomi Daerah Departemen
Dalam Negeri Oentarto Sindung Mawardi
Mereka ditetapkan sebagai tersangka dalam asus korupsi pengadaan alat pemadam
kebakaran di Jawa Barat. Danny divonis 4 tahun penjara dan harus mengganti kerugian
negara Rp 2,815 miliar.
7. Mantan Gubernur Riau Saleh Djasit (1998-2004)
Saleh yang juga anggota DPR RI (Partai Golkar) ditetapkan sebagai tersangka dalam
kasus dugaan korupsi pengadaan 20 unit mobil pemadam kebakaran senilai Rp 15
miliar. Saleh Djasit telah di vonis Pengadilan Tipikor selama 4 tahun penjara.
8. Jaksa Urip Tri Gunawan dan Arthalita Suryani
Jaksa Urip tertangkap tangan menerima 610.000 dolar AS dari Arthalita Suryani di
rumah obligor BLBI Syamsul Nursalim di kawasan Permata Hijau, Jakarta Selatan. Urip
di vonis ditingkat pengadilan Tipikor dan diperkuat ditingkat kasasi di Mahkamah
Agung selama 20 tahun penjara. Sedangkan Arthalita di vonis di Tipikor selama 5 tahun
penjara.
9. Mantan Kapolri Rusdihardjo
Terlibat kasus korupsi pada pungli pada pengurusan dokumen keimigrasian saat
menjabat sebagai Duta Besar RI di Malaysia. Perkiraan kerugian negara yang
diakibatkan Rusdihardjo sebesar 6.150.051 ringgit Malaysia atau sekitar Rp. 15 miliar.
Rusdiharjo telah di vonis pengadilan Tipikor selama 2 tahun.
10. Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) AuliaPohan
Besan Presiden SBY ini tersangka lain, Maman Sumantri diduga terlibat dalam
pengucuran dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) sebesar Rp. 100
miliar pada tahun 2003. Aulia Pohan Divonis 4,5 Tahun Penjara serta denda sebesar Rp.
200 juta subsider enam bulan kurungan.
4
Selain itu, para terdakwa juga menyetujui memberikan dana Rp. 25 miliar kepada mantan
Gubernur BI Sudradjad Djiwandono dan Rp. 13,5 miliar kepada mantan Deputi Gubernur BI
Iwan R. Prawiranata. Dana sebesar Rp31,5 miliar YPPI diduga digunakan untuk pembahasan
masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan revisi UU BI di DPR.
Kronologis Kejadian
1. Aulia Pohan bersama-sama dengan Ir. Burhanuddin Abdullah, M.A., menyetujui
penggunaan dana BI dan YPPI untuk menyelesaikan kasus BLBI dan Amandemen UU
No.23/1999.
2. Menandatangani Keputusan RDG, yang sama artinya dengan menyetujui pemberian
bantuan hukum masing-masing Rp. 5M untuk Hendro Budiyanto, Heru Soepraptomo,
dan Paul Sutopo.
(Keputusan RDG I 20 Maret 2003).
3. Sebagai Dewan Gubernur (Deputi Gubernur) bagian Hukum, Aulia Pohan menyetujui
Keputusan RDG 24 April 2003, yang memutuskan:
a. Menyetujui pemberian bantuan Rp. 5 M pada Iwan R. Prawiranata
b. Bantuan tersebut tidak perlu dipertanggungjawabkan karena dianggap sebagai
penggantian biaya yang telah dikeluarkan.
4. Menandatangani Keputusan Dewan Gubernur, yang sama artinya dengan menyetujui
agar YLPPI menyediakan dana Rp. 100 Miliar dalam rangka kegiatan yang insidentil dan
mendesak di BI.
(Keputusan RDG II 3 Juni 2003).
5. Catatan yang ditujukan kepada Aulia Pohan dan Maman H. Soemantri, memutuskan:
a. Agar Dewan Pengawas YLPPI menyisihkan Rp. 100 Miliar untuk menanggulangi
kegiatan yang bersifat insidentil dan mendesak di BI.
b. Tahap pertama diminta Rp. 50 Miliar
c. Kebutuhan dana insidentil untuk menunjang upaya BI:
1. Memulihkan citra dan menjaga kredibilitas BI
2. Mengamankan Posisi BI dalam proses hukum
d. Rangkaian kegiatan insidentil yang dibiayai dari dana YLPPI
6. Menandatangani Keputusan Rapat Dewan Gubernur, yang sama artinya dengan
menyetujui memberikan bantuan peningkatan modal pada YLPPI sebesar Rp. 100 Miliar.
(Keputusan RDG III 22 Juli 2003)
Aliran Dana
Total dana : Rp. 100 Miliar
5
Rincian aliran uang (BI dan YPPI), pada:
1. Komisi IX DPR-RI (periode 1999-2004) Rp. 31,5 Miliar (52 orang)
2. Aliran ke Kejaksaan Agung Rp. 13,5 Miliar
3. Dana bantuan hukum (7 orang) Rp. 96,25 Miliar
a. J. Soedrajat Djiwandono Rp. 28,41 M
b. Iwan R. Prawiranata Rp. 13,50 M
c. Heru Supraptomo Rp. 16,75 M
d. Hendrobudiono Rp. 16,75 M
e. Paul Sutopo Rp. 16,75 M
f. Tiga mantan Direksi Rp. 4,09 M
4. Uang dari BI untuk Bantuan Hukum (Rp. 27,75 M) mengalir ke Advokat di 9 Law Firm,
yaitu:
a. Dr. Albert Hasibuan, SH & Partners Rp. 1,43 M
b. Luhut MP Pangaribuan, SH, LLM Rp. 1,43 M
c. Pradjito, SH, MA Rp. 0,55 M
d. Remy & Darus Rp. 6,75 M
e. Abikusno & rekans Rp. 5,40 M
f. T. Nasrullah Associetes Rp. 1,35 M
g. Malyasyak, Rahardjo & Partners Rp. 6,75 M
h. Amir Syamsuddin, SH Rp. 0,61 M
i. Prof Oemar Seno Adji, SH, MH & Rekan Rp. 3,31 M
Korupsi terjadi jika tiga hal terpenuhi, yaitu (1) Seseorang memiliki kekuasaan
termasuk untuk menentukan kebijakan publik dan melakukan administrasi
kebijakan tersebut, (2) Adanya economic rents, yaitu manfaat ekonomi yang ada
6
sebagai akibat kebijakan publik tersebut, dan (3) Sistem yang ada membuka
peluang terjadinya pelanggaran oleh pejabat publik yang bersangkutan. Apabila
satu dari ketiga parameter ini tidak terpenuhi, tindakan yang terjadi tidak bisa
dikategorikan sebagai tindakan korupsi.1
1. Penunjukkan langsung kegiatan studi kelayakan untuk proyek Bandara Loa Kulu di Kutai
Kartanegara yang melibatkan Bupati Minahasa Utara Vonnie Anneke Panambunan (VAP).
Korupsi ini berawal dari beberapa pertemuan antara VAP dan SHR di Jakarta pada
awal 2003 untuk membicarakan studi kelayakan Bandara Loa Kulu. VAP yang saat itu
sebagai Dirut PT MDI meminta SHR untuk menunjuk PT MDI sebagai pelaksana studi
kelayakan bandara tersebut, padahal saat itu PT MDI belum berdiri, tidak mempunyai
kualifikasi di bidang konsultasi feasibility study (FS), tidak mempunyai kemampuan SDM
dan fasilitas untuk mengerjakan FS. PT MDI didirikan tanggal 9 April 2003 namun
pelaksanaan proyek dimulai tanggal 8 April 2003. Pada April 2003, VAP menyampaikan
usulan biaya pekerjaan senilai 722.700 dolar AS (setara Rp. 7 miliar). Setelah disepakati,
SHR kemudian menyurati Ketua DPRD agar disetujui dan dianggarkan dalam Anggaran
Belanja Tambahan (ABT) serta dilaksanakan mendahului anggaran. Namun dalam
pelaksanaannya, PT MDI menunjuk PT Encona Engineering dan PT Partono Fondas untuk
melaksanakan studi kelayakan. Namun, untuk studi kelayakan ini PT MDI hanya membayar
Rp. 2,2 miliar kepada PT Encona Engineering dan PT Partono Fondas.
1
Arvin K. Jain, “Corruption: A Review”, Concordia University, Journal of Economics Survei, Vol. 15, No. 1, 2001.
7
Baharuddin untuk menyerahkan sejumlah uang mulai dari Rp. 500 juta sampai Rp. 3 miliar
ke rekening pribadi SHR atau diserahkan langsung. Kemudian SHR meminta Baharuddin
membuat surat pertanggungjawaban seolah-olah uang tersebut digunakan untuk
membebaskan tanah milik anak Syaukani, atau meminta Kepala Dinas Pertanahan Kab.
Kukar Suparlan untuk membuat dokumen pembebasan tanah, berita acara koordinasi
pembangunan bandara, sosialisasi dan peyuluhan, inventarisasi dan pembebasan tanah,
pengumuman, dan musyawarah harga tanah. Namun, kenyataannya pembebasan lahan
untuk bandara tersebut tidak ada. Dalam modus korupsi ini, negara dirugikan Rp. 8,75
miliar.
3. Membuat kebijakan insentif bagi pejabat, Muspida, dan aparat di Kab. Kukar dimana
dananya diambil dari dana perimbangan bagi hasil minyak dan gas kurun waktu 2001-
2005.
SHR membuat SK yang menetapkan pembagian dana (insentif) bagi hasil dari migas
tergantung kehendak dirinya dan orang-orang di dekatnya. Selama 2001-2005, pembagian
insentif setidaknya 3 kali diubah. Misalnya tahun 2001, bupati mendapat 25%, wabup
8,5%, muspida 3%, ketua/wakil DPRD 3,5%, sekretaris bupati 2,5%, kadispenda 7,5%,
anggota DPRD 4%, badan pemeriksa kabupaten 1,5%, staf dispenda 26%, kabag keuangan
1,5%, dana taktis bupati 6%, taktis Kadispenda 4%, dinas instansi terkait 2,5%. Pada
Oktober 2004, rumusan tersebut diubah lagi dengan menghilangkan jatah Kadispenda,
Kabag Keuangan. Dan pada November 2005 juga diubah lagi. Dalam SK tersebut, SHR
selalu mencantumkan bagian dana taktis opersional bupati untuk dirinya, padahal dana
taktis sudah ditetapkan dalam APBD setiap tahunnya. Total kerugian negara – selama 5
tahun – karena dana perimbangan migas dialihkan menjadi insentif mencapai Rp. 93,2
miliar dimana Rp. 27,84 miliar masuk kantong pribadi SHR.
Perbuatan SHR ini telah melanggar dengan UU Pemerintahan Daerah No. 22 Tahun 1999
dan UU No. 32 Tahun 2004, termasuk PP 105 Tahun 2000 Tentang Pengelolaan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, Keppres 18 Tahun 2000 Tentang Pedoman Pengadaan
Barang dan Jasa Instansi Pemerintah. SHR layak kena dakwaan primer Pasal 2 ayat (1) jo (18)
UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Korupsi jo 65 ayat (1) dan (2) KUHP, subsider Pasal 3 jo 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang
telah diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 jo 65 ayat (1) dan (2) KUHP.
Pada 14 Desember 2007, dari tuntutan JPU Tipikor 8 tahun penjara, SHR dikenakan
hukuman 2 tahun 6 bulan oleh Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi. Namun pada tingkat
Kasasi, pada tanggal 31 Juli 2008 SHR divonis lebih berat menjadi 6 tahun penjara dan denda
Rp. 250 juta subsider 6 bulan serta membayar uang pengganti Rp. 49,367 miliar.
8
Korupsi di Departemen Kelautan dan Perikanan
Kasus korupsi dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan melibatkan Rochmin
Dahuri, Menteri Kelautan dan Perikanan pada era Megawati. Pada masa jabatannya sebagai
menteri, Rochmin menerbitkan rekening untuk menghimbun dana yang bertujuan mendanai
kegiatan sosial dan membiayai program-program DKP yang tidak masuk ke dalam anggaran
APBN. Dana-dana tersebut diperoleh dari berbagai sumber. Namun pada kenyataannya
sebagian dana tersebut disalurkan kepada pihak-pihak yang tidak semestinya menerima.
Berikut ini penjelasan sumber aliran dana masuk dan aliran dana keluar dari dana nonbujeter
DKP. Sumber penulisan ini diperoleh dari artikel surat kabar.
A. Sumber Dana:
Dana pengumpulan dana taktis nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan diperoleh dari
berbagai sumber dimulai dari eselon I, dinas-dinas DKP, perbankan hingga dari pengusaha pasir
ilegal Riau-Singapura. Berikut rincian sumber dana:
1. PT Info Asia Teknologi Global Tbk Priska Emerentiana memberikan cek sebesar Rp 1,5
miliar kepada salah seorang keluarga Rokhmin Dahuri melalui Kantor BCA Cabang
Senen, Jakarta.
2. Direktur Utama Bank Bukopin Glen Glenardi memberikan dana sebesar Rp 100 juta.
3. Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia Sofyan Basir memberikan dana sebesar Rp 100
juta.
4. Muhammad Fadhil Hasan, mantan staf khusus Rokhmin mengaku bahwa menerima
pengumpulan uang DKP dari para pemilik kapal pengeruk pasir laut yang berasal dari
Singapura.Fadhil menjelaskan, dia pernah ditelepon seorang pemilik kapal yang
ditangkap bernama Peter. Dalam percakapan telepon itu, Fadhil menjelaskan dia
diundang ke Singapura dan segala akomodasi disediakan oleh pemilik kapal itu dan
akhirnya mendapat amplop 400.000 dollar singapura sehingga kasus Peter dipermudah.
5. Fadil juga mengaku menerima pengumpulan uang DKP dari seorang aktivis Pupun
Purwana yang memiliki perusahaan manajemen pengembangan masyarakat.
B. Penyimpangan
Dan memang sebagian besar dana tersebut telah digunakan untuk kegiatan sosial dan
pembiayaian program DKP, namun Rokhmin juga menikmati dana non-budgeter dengan rincian
9
Rp 15 juta untuk ongkos naik haji Rokhmin, barang bukti uang tunai Rp 1,323 miliar, tanah dan
tambak di Lampung atas nama Pigoselpi Anas (istri Rokhmin), serta satu mobil Toyota Camry
atas nama adiknya. Karena tindakan itu pula, Rokhmin Dahuri divonis 7 tahun oleh Pengadilan
Tipikor pada 23 Juli 2007.
Dana non-budgeter DKP ini seharusnya digunakan sepenuhnya untuk pembangunan namun
disisihkan untuk membiayai kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan kegiatan DKP dan
bahkan untuk dana kampanye capres-cawapres pada pemilu 2004. Rokhmin Dhuri mengaku
bahwa terjadi aliran dana non-budgeter negara yang masuk ke rekening para Capres dan
Cawapres 2004 yakni sebagai berikut:
1) Wiranto – Salahuddin Wahid
2) Megawati S – Hasyim Muzadi
3) Amien Rais – Siswono Yudohusodo
4) Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla (SBY-JK)
5) Hamzah Haz – Agum Gumlelar
Dari lima pasang capre-cawapres 2004 yang mengakui menerima dana non-budgeter DKP
hanya Amien Rais, sedangkan pasangan yang lainnya menolak dan menganggap kejadian ini
sebagai fitnah.
Yang Tersangkut
1. Freddy Numberi, Menteri Kelautan
Diduga masih mengumpulkan dana nonbujeter 2004-2006 Rp 6 miliar.
Belum diperiksa KPK.
2. Chofifah Indar Parawansa, mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan
Menerima Rp 50 juta pada 2004 dan Rp 30 juta pada 2006.
3. Akbar Tandjung, mantan Ketua DPR
Diduga menerima Rp 100 juta pada 2004.
Ketika diperiksa KPK, mengaku tidak menerima.
10
4. A.M. Fatwa, Wakil Ketua MPR
Mengaku menerima Rp 20 juta pada 2003-2004, sudah diperiksa KPK.
5. Fahri Hamzah, anggota DPR dari Fraksi Keadilan Sejahtera
Mengaku menerima Rp 150 juta pada 2002-2004, sudah dipanggil KPK.
6. Suswano, anggota DPR dari Fraksi Keadilan Sejahtera
Menerima Rp 150 juta (sudah dikembalikan), sudah diperiksa KPK.
7. Slamet Effendi Yusuf, anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar
Menerima Rp 25 juta pada 2002 dan Rp 62,5 juta pada 2004.
8. Amien Rais, calon presiden
Menerima Rp 200 juta.
"Untuk bayar iklan TV," katanya.
9. Salahuddin Wahid, calon wakil presiden
Diduga menerima Rp 20 juta.
"Untuk keperluan pribadi," katanya.
10. Abdurrahman Wahid, mantan presiden
Saksi menyebutkan Rokhmin menyerahkan Rp 60 juta langsung kepadanya.Belum
diperiksa KPK.
11. Hazim Muzadi, calon wakil presiden
Menerima Rp 10 juta pada 2002, sudah diperiksa KPK.
12. Munawar Fuad Nuh, mantan anggota staf khusus Susilo Bambang Yudhoyono saat
pemilihan presiden
Mengaku menerima dana Rp 150 juta.
Sumber: Koran Tempo
11
dapat menyelesaikan masalah secara tuntas. Strategi pemberantasan korupsi harus dilakukan
secara adil, dan tidak ada istilah “tebang pilih” dalam memberantas korupsi. Selain itu, upaya
pencegahan harus lebih digalakkan, salah satu caranya dengan membuat tata kelola
pemerintahan yang lebih baik (good governance) yang dapat dilakukan melalui :
(1) Menumbuhkan kesadaran masyarakat (public awareness) mengenai dampak
destruktif dari korupsi, khususnya bagi PNS;
(2) Pendidikan anti korupsi;
(3) Sosialisasi tindak pidana korupsi melalui media cetak & elektronik;
(4) Perbaikan remunerasi PNS.
Selain dilakukan upaya pencegahan juga dilakukan upaya penindakan yang harus
memberikan efek jera, baik secara hukum, maupun sosial. Selama ini pelaku korupsi, walaupun
dapat dijerat dengan hukum dan dipidana penjara ataupun denda, namun tidak pernah
mendapatkan sanksi sosial. Efek jera seperti:
(1) Hukuman yang berat ditambah dengan denda yang jumlahnya signifikan;
(2) Pengembalian hasil korupsi kepada negara;
(3) Tidak menutup kemungkinan, penyidikan dilakukan kepada keluarga atau kerabat
pelaku korupsi.
Keterukuran strategi merupakan hal yang tidak bisa dikesampingkan. Salah satu caranya
yaitu membuat mekanisme pengawasan dan evaluasi atas setiap tahapan pemberantasan
korupsi dalam periode waktu tertentu secara berkala. Selain itu juga, dalam rangka penyusunan
strategi yang terukur, perlu untuk melakukan survei mengenai kepuasan masyarakat atas usaha
pemberantasan korupsi yang telah dilakukan pemerintahan.
12
umumnya berskala luas dengan jumlah (nominal) yang besar dan melibatkan pejabat negara,
elit politik maupun pegawai negeri. Sedangkan, kasus-kasus korupsi pada sektor bisnis, pada
umumnya berskala kecil dan hanya berdampak pada perusahaannya sendiri.
Untuk kategori manipulasi uang negara, sektor yang paling korup ialah pengadaan barang
dan jasa mencakup konstruksi, pekerjaan umum, perlengkapan militer, dan barang jasa
pemerintah. Untuk kasus suap dan pemerasan, korupsi terbesar terjadi di kepolisian, sektor
peradilan, pajak dan bea cukai, serta sektor perijinan. Korupsi juga terjadi di kalangan politisi
(anggota DPR dan partai politik), serta pada praktek kolusi dalam bisnis. Untuk kasus kolusi
bisnis, korupsi terbesar terjadi di tubuh militer, kepolisian, dan pegawai pemerintah lewat
koperasi dan yayasan. Dari segi aktornya, pelaku korupsi terbagi menjadi aparat pemerintah,
pelaku sektor bisnis, dan warga masyarakat.
Strategi pemberantasan didahului dengan adanya kemauan dari semua pihak untuk
bersama-sama menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) serta tidak
memberikan toleransi sedikitpun terhadap perilaku korupsi. Selama ini praktek korupsi
dianggap sesuatu yang wajar terjadi. Padahal perilaku korupsi harus dicitrakan dan
diperlakukan sebagai perilaku kriminal, sama halnya dengan tindak kriminal lainnya yang
memerlukan penanganan secara hukum. Dalam mewujudkan sebuah strategi yang efektif,
dibutuhkan pemenuhan prasyarat, yaitu :
(1) Didorong oleh keinginan politik (political will) serta komitmen yg kuat dan muncul
dari kesadaran diri sendiri;
(2) Menyeluruh dan seimbang;
(3) Sesuai dengan kebutuhan, ada target, dan berkesinambungan;
(4) Berdasarkan pada sumber daya dan kapasitas yang tersedia;
(5) Terukur;
(6) Transparan dan bebas dari konflik kepentingan.
Berkenaan dengan political will serta komitmen yang harus dibangun, maka perlu
menegaskan kembali political will pemerintah, diantaranya melalui:
(1) Penyempurnaan UU Anti Korupsi yang lebih komprehensif;
(2) Kontrak politik yang dibuat pejabat publik;
(3) Pembuatan aturan dan kode etik PNS;
(4) Pembuatan pakta integritas; dan
(5) Penyederhanaan birokrasi.
Penyempurnaan UU Anti Korupsi ini selain untuk menjawab dinamika dan perkembangan
kualitas kasus korupsi, juga untuk menyesuaikan dengan instrumen hukum internasional. Saat
ini isu korupsi tidak lagi dibatasi sekat-sekat negara, namun telah berkembang menjadi isu
regional bahkan internasional. Hal ini tidak lepas dari praktek korupsi yang melibatkan
perputaran dan pemindahan uang lintas negara.
13