ABSTRAK
Mahkamah Konstitusi telah membatalkan dan mengubah makna beberapa ketentuan Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun, pemerintah dan DPR sebagai
pembuat undang-undang sejauh ini belum melakukan perubahan terhadap undang-undang
ketenagakerjaan. Selama pembuat undang-undang tidak menindaklanjuti keputusan MK untuk
mengubah undang-undang, keputusan Konstitusi yang membuat norma-norma baru sebagai
berlaku dan mengikat hukum. Bahkan untuk mengadili kasus-kasus konkrit Pengadilan Hubungan
Industrial menggunakan putusan MK itu sebagai acuan hukum. Sikap pemerintah dan DPR yang
tidak mengikuti putusan MK untuk melakukan perubahan undang-undang ketenagakerjaan
mengakibatkan buruknya hubungan industrial sehingga masyarakat tidak mengetahui dengan baik
dinamika hukum perburuhan. Akibatnya dalam pelaksanaan hubungan industrial dapat muncul
perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan putusan MK. Penelitian dan tulisan ini dibuat
dan disusun dengan menggunakan metode penelitian normatif yuridis yang mengacu pada
norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Penelitian
menyimpulkan bahwa Kehadiran Konstitusi lembaga Mahkamah sebagai (MK)
penyelenggara kekuasaan kehakiman memberi kepastian bahwa UU yang dibuat oleh DPR
tidak memiliki kekebalan hukum. Substansi UU yang bertentangan dengan UUD 1945 bisa
dibatalkan melalui MK. Putusan MK merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir
yang mengikat sejak dibacakan. Amar putusan MK tidak selalu menolak atau mengabulkan
permohonan. Pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh beberapa kali menguji UU
Ketenagakerjaan ke MK. Akibatnya, daya mengikat beberapa ketentuan dalam UU
Ketenagakerjaan mengalami perubahan, dan ketentuan yang dibatalkan tidak berlaku lagi
sebagai hukum yang mengikat.
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sebelum masuk pada era reformasi konstitusi Indonesia tidak memberi
kewenangan kepada lembaga peradilan untuk menguji undang-undang (UU).
Desakan agar UU bisa diuji melalui lembaga independen mengkristal ketika
Indonesia masuk pada era reformasi. Sebagai lembaga yang berwenang, Majelis
Permuswaratan Rakyat (MPR) merespons dan melakukan amandemen terhadap
1
VOLUME 1 Nomor 2 Tahun 2017
UUD 1945. Pada amandemen ke tiga MPR merumuskan ke dalam konstitusi lembaga
baru bernama Mahkamah Konstitusi (MK).1
Pembentukan MK melalui UU diamanatkan dalam Pasal 24C ayat (6) UUD
1945 Untuk melaksanakan Pasal 24C ayat (6), pada tanggal 13 Agustus 2003
pemerintah mengundangkan UU No.24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Selanjutnya dalam kurun waktu yang terbilang singkat, Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia (MKRI) resmi berdiri pada tanggal 15 Oktober 2003.
Pembentukan MK mengubah persepsi terhadap eksistensi UU, baik dari segi
hukum maupun politik. UU tidak dipandang lagi sebagai produk politik yang
memiliki kebenaran dan keberlakuan absolut. Meskipun demikian, kehadiran MK
tidak mengubah fungsi DPR di bidang legislasi. Dewan Perwakilan Rakyat dan
pemerintah tetap diakui sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan
membentuk Undang-Undang.2 Mengingat salah satu kewenangan MK menyatakan
UU bertentangan dengan UUD 1945, mengharuskan pembentuk UU lebih
Mencermati beberapa putusan MK cermat saat menyusun Undang-Undang.
Mencermati beberapa putusan MK, lembaga pengawal konstitusi itu terkesan
mengambil peran pembentuk UU. Dalam memutus uji materi, MK tidak hanya
menyatakan UU bertentangan dengan UUD 1945. Dalam putusan tertentu MK
membuat norma baru ke dalam UU. Norma baru muncul diawali dengan pernyataan
dengan mengatakan materi UU yang diuji konstitusional bersyarat (conditionally
constitutional) atau bertentangan bersyarat (conditionally unconstitutional) dengan
UUD 1945. Paralel dengan praktik tersebut Dr. Ni'matul Huda mendeskripsikan, MK
bukan hanya bertindak sebagai negative legislator. Menurutnya, MK terkadang
menjadi positive legislator.3
Bagir Manan dan Philipus M. Hadjon, sebagaimana dikutip oleh Benny K.
Harman menjelaskan, ke dua negara itu menganut paham bahwa UU tidak dapat
1 Janedjri M Gaffar, “Kedudukan, Fungsi Dan Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem
Penegasan yang relevan dengan itu dikemukakan oleh Prof. Dr. Jimly
Asshiddiqie dalam bukunya berjudul Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi.
Jimly mengatakan, MK dan MA adalah dua lembaga yang menjalankan fungsi
kehakiman. Namun demikian, MK dan MA merupakan lembaga yang berdiri sendiri
dengan kewenangan yang berbeda.8
Masyarakat menyambut positif kehadiran MK. Pada awal pembentukan MK,
serikat pekerja/serikat buruh memanfaatkan lembaga itu untuk menguji sejumlah
ketentuan dalam UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pekerja/buruh dan
serikat pekerja/serikat buruh mengajukan uji materi tidak berhenti pada satu
ketentuan. Sejak tahun 2003 sampai tahun 2012 MK sudah mengabulkan enam
permohonan uji materi yang diajukan pekerja buruh terhadap UU Ketenagakerjaan.
Putusan ketentuan membatalkan dalam UU Ketenagakerjaan dapat ditemukan
dalam putusan No.115/PUU-VIII/2009.
Mencermati perkembangan putusan putusan MK No.012/PUU-1/2003 dan
MK yang terkait khusus dengan UU Ketenagakerjaan, MK tidak mengabulkan MK
ada yang memberi penafsiran dan membuat norma baru. Putusan MK No.61/PUU-
VIII/2010 satu-satu putusan yang menolak seluruh permohonan pihak
pekerja/buruh. Undang-undang ketenagakerjaan berkembang dinamis. Dinamika
UU Ketenagakerjaan dipengaruhi langsung oleh putusan MK. MK bisa disebut
kontributor utama pengubah UU Ketenagakerjaan. Oleh karena itu, putusan MK
telah memberi dampak terhadap praktik hubungan industrial.
2. Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana amar putusan MK terkait UU Ketenagakerjaan? Apakah pembentuk
UU telah menindaklanjuti putusan MK ke dalam perubahan UU
Ketenagakerjaan?
2. Apakah pelaku hubungan industrial seperti pengusaha, serikat pekerja/serikat
buruh dan aparatur pemerintah di bidang ketenagakerjaan di seluruh daerah
B. Metode Penelitian
Penelitian dan tulisan ini dibuat dan disusun dengan menggunakan metode
penelitian normatif yuridis yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat
dalam peraturan perundang-undangan.9 Tipologi penelitian ini bersifat deskriptif-
naratif,10 dengan menekankan pada penggunaan data sekunder11 yang diperoleh melalui
studi pustaka. Metode pengolahan data yang digunakan adalah metode kualitatif. 12
Selain itu, penelitian ini menggunakan pendekatan undang-undang yang dilakukan
dengan menelaah beberapa peraturan perundang-undangan dan regulasi lainnya yang
bersangkutan dengan tema penelitian.
C. PEMBAHASAN
1. Kuantitas dan Isi Putusan MK terhadap UU Ketenagakerjaan.
Sejak tahun pertama pembentukan menerima permohonan uji materi
terhadap sejumlah MK. lembaga itu sudah UU, di antaranya UU No.13 tahun 2003
Mahkamah tentang Ketenagakerjaan. Konstitusi sejauh ini telah memutus tujuh
materi terkait UU permohonan uji Ketenagakerj enam permohonan dikabulkan
sebagian, dan satu permohonan ditolak seluruhnya. Ke enam putusan yang
dikabulkan itu, antara lain (Direktorat Pencegahan dan PPHI)
9Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Cet. 1, (Jakarta: Badan Penebit FHUI,
deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang
manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya.
11Mamudji, op.cit., hlm. 28: Data sekunder adalah data yang diperoleh dari kepustakaan.
12Mamudji, op.cit., hlm. 32: dengan menggunakan metode kualitatif seorang peneliti bertujuan untuk
ketentuan Pasal 158, Pasal 159, Pasal 160 ayat (1) sepanjang mengenai anak
kalimat "...bukan atas pengaduan pengusaha...", Pasal 170 sepanjang mengenai
anak kalimat "...kecuali Pasal 158 ayat (1)....", Pasal 171 sepanjang menyangkut
anak kalimat "...pasal 158 ayat (1)...", Pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat
"...Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1) UU No.13 tahun 2003 bertentangan dengan
UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Kesimpulan MK membatalkan Pasal 158 sama artinya MK mewajibkan
pengusaha menghormati asas praduga tidak bersalah (presumption of
innocence) ketika melakukan PHK. Naskah asli Pasal 158 memberi kewenangan
kepada pengusaha melakukan PHK kepada pekerja/buruh yang diduga
melakukan tindak pidana tanpa mengikuti menurut hukum proses pembuktian
acara pidana.
Pasca putusan MK - bila PHK dilakukan karena pekerja/buruh diduga
melakukan tindak pidana, pengusaha wajib terlebih dahulu membuktikan
tuduhan itu melalui proses pidana. Penegasan demikian memberikan makna
bahwa bila pengusaha melakukan PHK karena menduga pekerja/buruh
melakukan tindak pidana di dalam perusahaan, pengusaha wajib terlebih dahulu
memiliki putusan berkekuatan hukum tetap (inkrach van gewijsde) dari
pengadilan pidana.
6
VOLUME 1 Nomor 2 Tahun 2017
sama MK membuat norma baru. Naskah asli Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) UU
No.13 tahun 2003 mengatur keterwakilan serikat pekerja/serikat bunuh dalam
perundingan PKB.
Apabila dalam perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja,
ketentuan itu mengatur, yang boleh merundingkan PKB dengan pengusaha
adalah serikat pekerja/serikat buruh yang memiliki anggota lebih dari 50% dari
seluruh pekerja/buruh di perusahaan Sebaliknya, bila serikat pekerja/serikat
buruh lebih dari satu namun tidak memiliki anggota lebih dari 50%, organisasi
pekerja/buruh membuat koalisi dengan syarat memiliki anggota lebih dari 50%.
Norma baru dalam putusan MK di atas terurai dalam amar putusan.
Apabila dalam satu perusahaan terdapat lebih dari satu serikat buruh, MK
mengatakan serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/serikat yang boleh
merundingkan PKB maksimal tiga organisasi pekerja/buruh atau gabungan
serikat pekerja/serikat buruh yang jumlah anggotanya minimal 10% dari seluruh
pekerja/buruh yang ada di dalam perusahaan. Norma baru itu mengubah syarat
koalisi dalam UU Pasal 120 ayat (2) No, 13 tahun 2003 anggota lebih dari 50% -
norma baru MK- semula harus memiliki mengatakan cukup 10% anggota.
7
VOLUME 1 Nomor 2 Tahun 2017
8
VOLUME 1 Nomor 2 Tahun 2017
9
VOLUME 1 Nomor 2 Tahun 2017
10
VOLUME 1 Nomor 2 Tahun 2017
11
VOLUME 1 Nomor 2 Tahun 2017
12
VOLUME 1 Nomor 2 Tahun 2017
Oleh karena itu, masyarakat tidak bisa dianggap mengetahui putusan lembaga
peradilan meskipun putusan itu dimuat dalam Berita Negara. Hal itu paralel dengan
kenyataan bahwa pihak yang utama mengetahui putusan MK adalah pemohon uji
materi, pemerintah dan DPR. Oleh mewajibkan tidak hukum karena pemerintah dan
MK melakukan sosialisasi atas putusan MK, masyarakat atau pelaku hubungan
industrial tidak banyak yang mengetahui keberadaan putusan-putusan MK.
Pelaku hubungan industrial yang tidak mengetahui putusan-putusan MK di
bidang hukum ketenagakerjaan dapat mengakibatkan terjadinya penyimpangan
sebagai berikut:
a. Pengusaha mengadopsi ke dalam peraturan perusahaan (PP) ketentuan dalam
UU Ketenagakerjaan yang sudah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat
b. Pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh mengadopsi ke dalam Perjanjian
Kerja Bersama (PKB) ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan yang sudah
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
c. Pengusaha dan pekerja/buruh mengadopsi ke dalam perjanjian kerja individual
ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan yang sudah dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat
d. Pemerintah meloloskan draf ketentuan dalam PKB atau PP meskipun hal itu
bertentangan dengan putusan MK
e. Pengusaha menjatuhkan sanksi dan membayar hak kepada pekerja/buruh
dengan menggunakan ketentuan yang sudah dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat
f. Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (LPPHI) salah
menerapkan hukum ketika memutus dan mengadili perselisihan industrial.
Bila pengusaha menerapkan ketentuan yang dinyatakan tidak mengikut oleh
MK, bisa memicu tiga hal:
a. Pengusaha menjatuhkan sanksi yang merugikan pekerja/buruh;
b. Pengadilan otonom yang membatalkan ketentuan bertentangan dengan putusan
MK;
13
VOLUME 1 Nomor 2 Tahun 2017
13 Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional (Alumni, 1991).
14
VOLUME 1 Nomor 2 Tahun 2017
D. KESIMPULAN
Memperhatikan uraian di atas maka yang menjadi kesimpulan dalam tulisan ini
adalah sebagai berikut
1. Kehadiran Konstitusi lembaga Mahkamah sebagai (MK) penyelenggara kekuasaan
kehakiman memberi kepastian bahwa UU yang dibuat oleh DPR tidak memiliki
kekebalan hukum. Substansi UU yang bertentangan dengan UUD 1945 bisa
dibatalkan melalui MK.
2. Putusan MK merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir yang mengikat sejak
dibacakan. Amar putusan MK tidak selalu menolak atau mengabulkan
permohonan.
3. Pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh beberapa kali menguji UU
Ketenagakerjaan ke MK. Akibatnya, daya mengikat beberapa ketentuan dalam UU
Ketenagakerjaan mengalami perubahan, dan ketentuan yang dibatalkan tidak
berlaku lagi sebagai hukum yang mengikat.
4. Desakan melakukan perubahan terhadap UU Ketenagakerjaan relevan dengan UU
NO.12 tahun 2011 dan putusan MK No.115-VIII/2009. Membiarkan UU
Ketenagakerjaan tanpa perubahan berpotensi terutama menciptakan kekeliruan
dalam hal pengusaha memberi sanksi dan pemenuhan hak pekerja/buruh.
5. MK saat menguji ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan tidak sekadar membatalkan
ketentuan yang diuji. MK aktif membuat norma baru sebagai pengganti dari
ketentuan UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
6. Pelaku hubungan industrial tidak semua mengetahui putusan MK dan dinamika
hukum Ketenagakerjaan Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
(LPPHI) yang tidak menguasai putusan-putusan MK berpotensi keliru menerapkan
hukum ketika menyelesaikan dan memutus kasus perselisihan hubungan industrial
7. Praktik penyelesaian perselisihan hubungan industrial memperlihatkan penafsiran
dan norma baru dalam putusan MK bisa mengatasi keadaan dan kebutuhan hukum.
Dalam posisi seperti itu tepat mengatakan, MK bukan sekadar pemutus sengketa
tetapi juga pembuat norma baru yang diterima sebagai hukum
.
15
VOLUME 1 Nomor 2 Tahun 2017
E. DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly. “Sejarah Constitutional Review & Gagasan Pembentukan MK.”
Jimly School (2012).
Astawa, I Gde Pantja. “Suprin Na’a. 2009.” Memahami Ilmu Negara dan Teori Negara
(n.d.).
Gaffar, Janedjri M. “Kedudukan, Fungsi Dan Peran Mahkamah Konstitusi Dalam
Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia.” Jurnal Mahkamah Konstitusi,
Jakarta (2009).
Harman, Benny K. Mempertimbangkan Mahkamah Konstitusi. Kepustakaan Populer
Gramedia, 2013.
Hartono, Sunaryati. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Alumni,
1991.
Huda, Ni’matul. “Penyelesaian Sengketa Pemilihan Bupati Dan Wakil Bupati Bengkulu
Selatan Di Mahkamah Konstitusi.” Pascasarjana FH UII, Yogyakarta (2011).
Mahfud, Moh. Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Rineka Cipta, 2001.
Ranggawidjaja, Rosjidi. “Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia.” Bandung:
Mandar Maju (1998).
16