Anda di halaman 1dari 16

VOLUME 1 Nomor 2 Tahun 2017

DAMPAK PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI


TERHADAP HUBUNGAN INDUSTRIAL
Juanda Pangaribuan
Fakultas Hukum Universitas MPU Tantular
Jalan Cipinang Besar No.2. 68 Jakarta Timur 13410, Indonesia
Email: juandapgr@yahoo.com

ABSTRAK

Mahkamah Konstitusi telah membatalkan dan mengubah makna beberapa ketentuan Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun, pemerintah dan DPR sebagai
pembuat undang-undang sejauh ini belum melakukan perubahan terhadap undang-undang
ketenagakerjaan. Selama pembuat undang-undang tidak menindaklanjuti keputusan MK untuk
mengubah undang-undang, keputusan Konstitusi yang membuat norma-norma baru sebagai
berlaku dan mengikat hukum. Bahkan untuk mengadili kasus-kasus konkrit Pengadilan Hubungan
Industrial menggunakan putusan MK itu sebagai acuan hukum. Sikap pemerintah dan DPR yang
tidak mengikuti putusan MK untuk melakukan perubahan undang-undang ketenagakerjaan
mengakibatkan buruknya hubungan industrial sehingga masyarakat tidak mengetahui dengan baik
dinamika hukum perburuhan. Akibatnya dalam pelaksanaan hubungan industrial dapat muncul
perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan putusan MK. Penelitian dan tulisan ini dibuat
dan disusun dengan menggunakan metode penelitian normatif yuridis yang mengacu pada
norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Penelitian
menyimpulkan bahwa Kehadiran Konstitusi lembaga Mahkamah sebagai (MK)
penyelenggara kekuasaan kehakiman memberi kepastian bahwa UU yang dibuat oleh DPR
tidak memiliki kekebalan hukum. Substansi UU yang bertentangan dengan UUD 1945 bisa
dibatalkan melalui MK. Putusan MK merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir
yang mengikat sejak dibacakan. Amar putusan MK tidak selalu menolak atau mengabulkan
permohonan. Pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh beberapa kali menguji UU
Ketenagakerjaan ke MK. Akibatnya, daya mengikat beberapa ketentuan dalam UU
Ketenagakerjaan mengalami perubahan, dan ketentuan yang dibatalkan tidak berlaku lagi
sebagai hukum yang mengikat.

Kata Kunci: Putusan Mahkamah, Mahkamah Konstitusi, Hubungan Industrial

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sebelum masuk pada era reformasi konstitusi Indonesia tidak memberi
kewenangan kepada lembaga peradilan untuk menguji undang-undang (UU).
Desakan agar UU bisa diuji melalui lembaga independen mengkristal ketika
Indonesia masuk pada era reformasi. Sebagai lembaga yang berwenang, Majelis
Permuswaratan Rakyat (MPR) merespons dan melakukan amandemen terhadap
1
VOLUME 1 Nomor 2 Tahun 2017

UUD 1945. Pada amandemen ke tiga MPR merumuskan ke dalam konstitusi lembaga
baru bernama Mahkamah Konstitusi (MK).1
Pembentukan MK melalui UU diamanatkan dalam Pasal 24C ayat (6) UUD
1945 Untuk melaksanakan Pasal 24C ayat (6), pada tanggal 13 Agustus 2003
pemerintah mengundangkan UU No.24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Selanjutnya dalam kurun waktu yang terbilang singkat, Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia (MKRI) resmi berdiri pada tanggal 15 Oktober 2003.
Pembentukan MK mengubah persepsi terhadap eksistensi UU, baik dari segi
hukum maupun politik. UU tidak dipandang lagi sebagai produk politik yang
memiliki kebenaran dan keberlakuan absolut. Meskipun demikian, kehadiran MK
tidak mengubah fungsi DPR di bidang legislasi. Dewan Perwakilan Rakyat dan
pemerintah tetap diakui sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan
membentuk Undang-Undang.2 Mengingat salah satu kewenangan MK menyatakan
UU bertentangan dengan UUD 1945, mengharuskan pembentuk UU lebih
Mencermati beberapa putusan MK cermat saat menyusun Undang-Undang.
Mencermati beberapa putusan MK, lembaga pengawal konstitusi itu terkesan
mengambil peran pembentuk UU. Dalam memutus uji materi, MK tidak hanya
menyatakan UU bertentangan dengan UUD 1945. Dalam putusan tertentu MK
membuat norma baru ke dalam UU. Norma baru muncul diawali dengan pernyataan
dengan mengatakan materi UU yang diuji konstitusional bersyarat (conditionally
constitutional) atau bertentangan bersyarat (conditionally unconstitutional) dengan
UUD 1945. Paralel dengan praktik tersebut Dr. Ni'matul Huda mendeskripsikan, MK
bukan hanya bertindak sebagai negative legislator. Menurutnya, MK terkadang
menjadi positive legislator.3
Bagir Manan dan Philipus M. Hadjon, sebagaimana dikutip oleh Benny K.
Harman menjelaskan, ke dua negara itu menganut paham bahwa UU tidak dapat

1 Janedjri M Gaffar, “Kedudukan, Fungsi Dan Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem

Ketatanegaraan Republik Indonesia,” Jurnal Mahkamah Konstitusi, Jakarta (2009).


2 Jimly Asshiddiqie, “Sejarah Constitutional Review & Gagasan Pembentukan MK,” Jimly School (2012).
3 Ni’matul Huda, “Penyelesaian Sengketa Pemilihan Bupati Dan Wakil Bupati Bengkulu Selatan Di

Mahkamah Konstitusi,” Pascasarjana FH UII, Yogyakarta (2011).


2
VOLUME 1 Nomor 2 Tahun 2017

diganggu gugat.4 Sebelum MK dibentuk, ahli hukum memperkenalkan asas hukum


yang mengatakan bahwa UU tidak bisa diganggu gugat.5
Pada hakikatnya asas tersebut menegaskan bahwa UU tidak bisa dibatalkan
oleh lembaga manapun selain oleh pembentuk UU. Moh. Mahfud MD terdahulu UU
tidak bisa dibatalka mengatakan, pada masa pemerintahan meskipun terindikasi
melanggar UUD. UU tetap berlaku sepanjang DPR tidak melakukan legislative
review.6
Masyarakat yang merasa hak dirugikan dengan diundangkan suatu UU
dibentuk dapat menguji UU itu ke MK. UU MK tidak mengatur batas periode UU
yang boleh diuji ke MK. Prof. Dr. I de Pantja Astawa dan Suprin Na's mengatakan, uji
materi ke MK bisa diajukan terhadap UU yang sudah lam berlaku maupun yang baru
diundangkan. I Gde Pantja Astawa menduga, hal itu terjadi karena proses
pembentukan UU tidak menampilkan UU yang berkualitas. Dengan begitu, UU yang
diundangkan sebelum MK bediri dapat diuji ke MK. 7
Sebelum UU MK diundangkan sesuai UU No.14 tahun 1970, Kekuasain
Kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung (MA). Pada rezim itu produk
perundang-undangan yang boleh diuji ke MA adalah peraturan yang secara hirarkia
berada di bawah UU. Berdasarkan noma hukum yang berlaku, peraturan perundang
undangan di bawah diuji terhadap UU. Kewenangan itu berbeda dengan kewenangan
MK. MK menguji UU terhadap UUD.
Sejalan dengan pembentukan MK UU No.14 tahun 1970 diganti dengan UU
No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. UU Kekuasaan Kehakiman terakhir
kali diatur dalam UU No.48 tahun 2009, Dua UU Kekuasaan Kehakiman yang
diundangkan pada era reformasi dan UU No.5 tahun 2004 memastikan bahwa
Mahkamah Agung bukan pelaksana tunggal kekuasaan kehakiman.

4 Benny K Harman, Mempertimbangkan Mahkamah Konstitusi (Kepustakaan Populer Gramedia,


2013).
5 Rosjidi Ranggawidjaja, “Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia,” Bandung: Mandar Maju
(1998).
6 Moh Mahfud, Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia (Rineka Cipta, 2001).
7 I Gde Pantja Astawa, “Suprin Na’a. 2009,” Memahami Ilmu Negara dan Teori Negara (n.d.).
3
VOLUME 1 Nomor 2 Tahun 2017

Penegasan yang relevan dengan itu dikemukakan oleh Prof. Dr. Jimly
Asshiddiqie dalam bukunya berjudul Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi.
Jimly mengatakan, MK dan MA adalah dua lembaga yang menjalankan fungsi
kehakiman. Namun demikian, MK dan MA merupakan lembaga yang berdiri sendiri
dengan kewenangan yang berbeda.8
Masyarakat menyambut positif kehadiran MK. Pada awal pembentukan MK,
serikat pekerja/serikat buruh memanfaatkan lembaga itu untuk menguji sejumlah
ketentuan dalam UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pekerja/buruh dan
serikat pekerja/serikat buruh mengajukan uji materi tidak berhenti pada satu
ketentuan. Sejak tahun 2003 sampai tahun 2012 MK sudah mengabulkan enam
permohonan uji materi yang diajukan pekerja buruh terhadap UU Ketenagakerjaan.
Putusan ketentuan membatalkan dalam UU Ketenagakerjaan dapat ditemukan
dalam putusan No.115/PUU-VIII/2009.
Mencermati perkembangan putusan putusan MK No.012/PUU-1/2003 dan
MK yang terkait khusus dengan UU Ketenagakerjaan, MK tidak mengabulkan MK
ada yang memberi penafsiran dan membuat norma baru. Putusan MK No.61/PUU-
VIII/2010 satu-satu putusan yang menolak seluruh permohonan pihak
pekerja/buruh. Undang-undang ketenagakerjaan berkembang dinamis. Dinamika
UU Ketenagakerjaan dipengaruhi langsung oleh putusan MK. MK bisa disebut
kontributor utama pengubah UU Ketenagakerjaan. Oleh karena itu, putusan MK
telah memberi dampak terhadap praktik hubungan industrial.

2. Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana amar putusan MK terkait UU Ketenagakerjaan? Apakah pembentuk
UU telah menindaklanjuti putusan MK ke dalam perubahan UU
Ketenagakerjaan?
2. Apakah pelaku hubungan industrial seperti pengusaha, serikat pekerja/serikat
buruh dan aparatur pemerintah di bidang ketenagakerjaan di seluruh daerah

8 Asshiddiqie, “Sejarah Constitutional Review & Gagasan Pembentukan MK.”


4
VOLUME 1 Nomor 2 Tahun 2017

mengetahui substansi putusan MK terkait UU Ketenagakerjaan? Bagaimana


dampak putusan MK terhadap hubungan industrial?

B. Metode Penelitian
Penelitian dan tulisan ini dibuat dan disusun dengan menggunakan metode
penelitian normatif yuridis yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat
dalam peraturan perundang-undangan.9 Tipologi penelitian ini bersifat deskriptif-
naratif,10 dengan menekankan pada penggunaan data sekunder11 yang diperoleh melalui
studi pustaka. Metode pengolahan data yang digunakan adalah metode kualitatif. 12
Selain itu, penelitian ini menggunakan pendekatan undang-undang yang dilakukan
dengan menelaah beberapa peraturan perundang-undangan dan regulasi lainnya yang
bersangkutan dengan tema penelitian.

C. PEMBAHASAN
1. Kuantitas dan Isi Putusan MK terhadap UU Ketenagakerjaan.
Sejak tahun pertama pembentukan menerima permohonan uji materi
terhadap sejumlah MK. lembaga itu sudah UU, di antaranya UU No.13 tahun 2003
Mahkamah tentang Ketenagakerjaan. Konstitusi sejauh ini telah memutus tujuh
materi terkait UU permohonan uji Ketenagakerj enam permohonan dikabulkan
sebagian, dan satu permohonan ditolak seluruhnya. Ke enam putusan yang
dikabulkan itu, antara lain (Direktorat Pencegahan dan PPHI)

a. Putusan No. 012/PUU-1/2003 tertanggal 28 Oktoer 2004


Bertindak sebagai pemohon judicial review adalah 37 federasi dan serikat
pekerja/serikat buruh tingkat nasional Dalam putusan itu MK menyatakan

9Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Cet. 1, (Jakarta: Badan Penebit FHUI,

2005), hlm. 69.


10Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 10: Penelitian

deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang
manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya.
11Mamudji, op.cit., hlm. 28: Data sekunder adalah data yang diperoleh dari kepustakaan.
12Mamudji, op.cit., hlm. 32: dengan menggunakan metode kualitatif seorang peneliti bertujuan untuk

mengerti dan memahami gejala yang ditelitinya.


5
VOLUME 1 Nomor 2 Tahun 2017

ketentuan Pasal 158, Pasal 159, Pasal 160 ayat (1) sepanjang mengenai anak
kalimat "...bukan atas pengaduan pengusaha...", Pasal 170 sepanjang mengenai
anak kalimat "...kecuali Pasal 158 ayat (1)....", Pasal 171 sepanjang menyangkut
anak kalimat "...pasal 158 ayat (1)...", Pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat
"...Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1) UU No.13 tahun 2003 bertentangan dengan
UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Kesimpulan MK membatalkan Pasal 158 sama artinya MK mewajibkan
pengusaha menghormati asas praduga tidak bersalah (presumption of
innocence) ketika melakukan PHK. Naskah asli Pasal 158 memberi kewenangan
kepada pengusaha melakukan PHK kepada pekerja/buruh yang diduga
melakukan tindak pidana tanpa mengikuti menurut hukum proses pembuktian
acara pidana.
Pasca putusan MK - bila PHK dilakukan karena pekerja/buruh diduga
melakukan tindak pidana, pengusaha wajib terlebih dahulu membuktikan
tuduhan itu melalui proses pidana. Penegasan demikian memberikan makna
bahwa bila pengusaha melakukan PHK karena menduga pekerja/buruh
melakukan tindak pidana di dalam perusahaan, pengusaha wajib terlebih dahulu
memiliki putusan berkekuatan hukum tetap (inkrach van gewijsde) dari
pengadilan pidana.

b. Putusan No.115/PUU-VIII/2009 tertanggal 10 November 2010


Dalam putusan ini bertindak sebagi pemohon judicial review adalah
serikat pekerja BCA Bersatu. Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 120 ayat
(1) dan Pasal 121 UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan
dengan UUD 1945, Materi permohonan diuji terhadap Pasal 28, pasal 281 ayat
(1), Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 281 ayat (2) UUD 1945. MK mengabulkan
permohonan dan menyatakan Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) UU No.13 tahun
2003 bertentangan dengan UUD 1945.
Selanjutnya MK mengatakan, Pasal 120 ayat (3) UU No.13 tahun 2003
konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Dan, dalam putusan yang

6
VOLUME 1 Nomor 2 Tahun 2017

sama MK membuat norma baru. Naskah asli Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) UU
No.13 tahun 2003 mengatur keterwakilan serikat pekerja/serikat bunuh dalam
perundingan PKB.
Apabila dalam perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja,
ketentuan itu mengatur, yang boleh merundingkan PKB dengan pengusaha
adalah serikat pekerja/serikat buruh yang memiliki anggota lebih dari 50% dari
seluruh pekerja/buruh di perusahaan Sebaliknya, bila serikat pekerja/serikat
buruh lebih dari satu namun tidak memiliki anggota lebih dari 50%, organisasi
pekerja/buruh membuat koalisi dengan syarat memiliki anggota lebih dari 50%.
Norma baru dalam putusan MK di atas terurai dalam amar putusan.
Apabila dalam satu perusahaan terdapat lebih dari satu serikat buruh, MK
mengatakan serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/serikat yang boleh
merundingkan PKB maksimal tiga organisasi pekerja/buruh atau gabungan
serikat pekerja/serikat buruh yang jumlah anggotanya minimal 10% dari seluruh
pekerja/buruh yang ada di dalam perusahaan. Norma baru itu mengubah syarat
koalisi dalam UU Pasal 120 ayat (2) No, 13 tahun 2003 anggota lebih dari 50% -
norma baru MK- semula harus memiliki mengatakan cukup 10% anggota.

c. Putusan No.37/PUU-IX/2011 tertanggal 19 September 2011.


Pihak yang bertindak sebagai pemohon dalam putusan ini adalah Federasi
Serikat Pekerja Pertamina Bersatu dan seorang mantan karyawan. Pemohon
meminta MK memberi penafsiran atas frasa "belum ditetapkan" yang terdapat
dalam Pasal 155 ayat (2) UU No.13 tahun 2003. Tujuan permohonan itu supaya
MK menafsirkan frasa "belum ditetapkan sebagai kalimat yang sama artinya
dengan sampai berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde)."
Ketentuan Pasal 155 ayat (2) UU No.13 tahun 2003 mengatur kewajiban
pengusaha membayar upah proses PHK kepada pekerja/buruh yang mengalami
PHK. MK mengabulkan permohonan dengan mengatakan Pasal 155 ayat (2)
tidak mengikat sepanjang tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap.
Dengan dikabulkan permohonan itu, pengusaha wajib membayar upah proses

7
VOLUME 1 Nomor 2 Tahun 2017

PHK kepada sampai penyelesaian pekerja/buruh perselisihan dimaksud


berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

d. Putusan No.27/PUU-IX/2011 tertanggal 17 Januari 2012


Permohonan pekerja dalam kasus ini berkaitan dengan ketentuan
penyerahan pekerjaan atau pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga
kerja (outsourcing). Pemohon adalah seorang karyawan yang pada perusahaan
sehari-hari bekerja outsourcing dengan tugas sebagai pencatat meter (pencater)
PLN di Surabaya. Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 59, Pasal 64, Pasal
65, Pasal 66 UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
MK tidak mengabulkan seluruh permohonan namun MK tidak
menyatakan menolak permohonan pekerja. MK dengan tegas mengatakan,
pasal-pasal yang diuji tidak bertentangan dengan UUD 1945. MK hanya
mengatakan frasa perjanjian kerja waktu tertentu yang terdapat dalam Pasal 65
ayat (7) dan Pasal 66 ayat (huruf b UU No.13 tahun 2003 bertentangan secara
bersyarat dengan UUD 1945 (conditionally unconstitutional).
Memperhatikan permohonan pertimbangan dan amar putusan, MK
memberi putusan lain dari yang dimohonkan. Dalam putusan itu MK membuat
norma baru. Sistem outsourcing, ditegaskan MK, sebagai kegiatan bisnis yang
tidak bertentangan dengan konstitusi.
Dalam pertimbangan butir (3.18) MK mengatakan:
"Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan
lain melalui pemborongan pekerjaan secara tertulis atau penyedia
jasa pekerja/buruh (perusahaan outsourcing) adalah kebijakan
usaha yang wajar dan suatu perusahaan dalam rangka efisien
usaha."

Mahkamah Konstitusi lebih menekankan pentingnya syarat pengalihan


perlindungan hak-hak pekerja/buruh outsourcing. Amar putusan MK pada
pokoknya mengatakan, frasa "...perjanjian kerja waktu tertentu" dalam Pasal 65
ayat (7), Pasal 66 ayat (2) huruf UU No.13 tahun 2003 bertentangan dengan UUD

8
VOLUME 1 Nomor 2 Tahun 2017

1945 dan tidak mempunya kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam


perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-
hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada. Walaupun terjadi
pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari
perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa melalui pekerja/buruh.
Keseluruhan pertimbangan dan amar putusan di atas memberi status
hukum bahwa outsourcing sebagai bisnis yang sah Kesimpulan itu tampak
senada dengan pendapat MK dalam putusan No.012/PLU/1/2003 sistem
mengatakan outsourcing bukan perbudakan modern (modern slavery).
Dua putusan MK itu memastikan sistem outsourcing bukan sistem
terlarang dalam bisnis dan dunia usaha. Merujuk pada dua putusan di atas MK
secara terbuka menganulir anggapan serikat pekerja/serikat buruh yang
mengatakan sistem outsourcing sebagai sistem perbudakan modern (modern
slavery).

e. Putusan No.19/PUU-IX/2011 tertanggal 20 Juni 2012


Pemohon dalam kasus ini adalah 38 orang pekerja yang mengalami PHK
Putusan PHK pemohon telah berkekuatan hukum tetap setelah Mahkamah
Agung menguatkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada
Pengadilan Negeri Bandung. PHI menyatakan putus hubungan kerja para
pemohon mengacu pada Pasal 164 ayat (3) UU No.13 tahun 2003. Menganggap
penerapan Pasal 164 ayat (3) merugikan pemohon, pekerja menguji ketentuan
itu ke MK.
MK tidak menyatakan Pasal 164 ayat (3) UU No.13 tahun 2003
bertentangan dengan UUD 1945. Dalam putusan ini MK kembali memberi norma
baru ke dalam Pasal 164 ayat (3). MK mengatakan, frasa "perusahaan tutup"
dalam Pasal 164 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak
dimaknai "perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk
sementara waktu."
Petitum kedua dalam uji materi pekerja/buruh memohon MK untuk

9
VOLUME 1 Nomor 2 Tahun 2017

memulihkan hak-hak konstitusional para pemohon dengan mengembalikan hak


para pemohon untuk bekerja dan mendapatkan imbalan dari perusahaan. MK
menegaskan pendiriannya dengan mengatakan tidak berwenang mengadili
tuntutan seperti itu dengan alasan tuntutan tersebut termasuk kasus konkrit.
Maka dengan demikian putusan MK tidak mengubah atau memberi pengaruh
apapun terhadap putusan kasus PHK para pemohon yang sudah berkekuatan
hukum tetap saat mengajukan uji materi.

f. Putusan No.58/PUU-IX/2011 tertanggal 16 Juli 2012


Pihak pemohonan uji materi terkait putusan ini adalah satu orang pekerja
(www.mahkamahkonstitusi.go.id). Permohonan uji materi diajukan setelah
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak
gugatan perselisihan PHK yang diajukan pemohon. Pemohon mengajukan
gugatan perselisihan PHK karena perusahaan tempat bekerja tidak membayar
upah lebih dari tiga bulan secara berturut-turut.
Pemohon mengajukan gugatan perselisihan PHK ke PHI meskipun
perusahaan melunasi tunggakan upah. Pemohon beranggapan, pembayaran
tunggakan upah tidak menghapus hak pekerja/buruh mengajukan permohonan
PHK. Untuk mendukung dalil itu pemohon merujuk pada Pasal 169 ayat (1) huruf
c UU No.13 tahun 2003. Menganggap PHI tidak mendukung gugatannya,
pemohon menguji Pasal 169 ayat (1) huruf c UU No.13 tahun 2003.
Bila mencernah lebih teliti substansi uji materi itu, pemohon meminta MK
memberi makna lain atas Pasal 169 ayat (1 boleh huruf c UU No.13 tahun 2003
Maksudnya, pekerja mengajukan permohonan PHK meskipun tetap pengusaha
kembali membayar upah tepat MK waktu setelah sebelumnya tiga bulan atau
lebih berturut-turut tidak membayar upah MK mengabulkan permohonan
pemohon boleh mengatakan, pekerja mengajukan gugatan PHK meskipun
pengusaha sudah membayar gaji tepat waktu sesudah sebelumnya membayar
terlambat tiga bulan atau lebih berturut-turut.

10
VOLUME 1 Nomor 2 Tahun 2017

2. Tindak Lanjut Putusan MK


MK memberi sikap berbeda pada putusan di atas. Dalam putusan No.19/PUU-
VIII/2009 MK menghimbau pembentuk UU untuk segera melakukan legislative
review terhadap UU Ketenagakerjaan. Norma yang dibuat dalam putusan itu-MK
mengatakan berlaku sampai pembentuk UU melakukan perubahan atas UU No.13
tahun 2003.
Ini merupakan salah satu hal yang membedakan putusan MK dengan
putusannya yang lain. Dalam putusan lain MK tidak mendesak pembentuk UU
Ketenagakerjaan. Meskipun demikian, MK tidak menjelaskan alasan mendesak
pembentuk UU melakukan perubahan atau legislative review UU Ketenagakerjaan.
Mencermati Putusan lainnya, kecuali putusan No.012/PUU-1/2003, MK
membuat norma baru. Supaya norma baru bisa diimplementasikan dengan benar,
sangat tepat bila norma baru in dimasukkan ke dalam perubahan UU (Juanda
Pangaribuan, 2012:53). Memar norma baru ke dalam perubahan UU ak masyarakat
mengetahui memudahkan perkembangan hukum positif.
Apakah pembentuk UU sudah menindaklajuti putusan MK terkait hukum
ketenagakerjaan ke dalam UU? Pasal 10 ayat (1) huruf d UU No.12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang Undangan mengatur, salah satu materi yang
harus diatur ke dalam UU adalah tindak lanjut putusan MK. Mengingat putusan MK
perlu ditindaklanjuti ke dalam UU, Pasal 23 UU No.12 tahun 2011 mengatur bahwa
program legislasi nasional (prolegnas) membuat daftar kumulatif terbuka yang salah
satunya terhadap "akibat putus MK."
Meskipun MK mendesak pembentukan UU melakukan perubahan terhadap
UU Ketenagakerjaan, pemerintah dan DPR sejauh ini mengabaikan desakan itu
Pasca pembacaan putusan MK Tenaga Kerja dan Kementerian Transmigrasi
(Kemenakertrans) justru menerbitkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Permenakertrans No.16/Men/XI/2011 tentang Tata Cara Pembuatan
dan Pengesahan Peraturan Pembuatan dan Perusahaan Pendaftaran Perjanjian Kerja
Bersama. Permenakertrans itu mengadopsi norma baru dalam putusan MK
No.115/PUU-1/2009 ke dalam satu pasal yakni Pasal 17.

11
VOLUME 1 Nomor 2 Tahun 2017

Sikap politik menteri tenaga kerja transmigrasi (Menakertrans


menindaklanjuti putusan MK ke dalam Permenakertrans kembali berlanjut
Kemenakertrans mengadopsi norma baru dalam putusan MK No.27/PUU-/2011
tentang outsourcing ke dalam Permenakertrans No.19 tahun 2012 Permenakertrans
No.19 tahun 2012 menjabarkan putusan MK ke dalam lima pasal, dimulai dari Pasal
28 sampai dengan Pasal 32. Dua Pemernakertrans memastikan bahwa DPR dan
pemerintah selaku organ pembentuk UU belum pernah melakukan perubahan
terhadap UU Ketenagakerjaan.

3. Dampak Putusan MK Terhadap Hubungan Industrial


Enam putusan MK mengabulkan uji materi atas UU Ketenagakerjaan,
merupakan jumlah yang tidak sedikit. Putusan itu mengakibatkan beberapa
ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan tidak mengikat lagi. Dalam ungkapan
sederhana tepat mengatakan, UU Ketenagakerjaan sedang mengalami bolong-
bolong.
Hukum ketenagakerjaan bertujuan mengatur hubungan dan perlindungan
kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Prof. Imam Soepomo, SH
mengatakan, 2003: 9). Karena itu, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh dan
pengusaha (masyarakat hubungan industrial) dari UU merealisasi tujuan hukum
perburuhan adalah untuk melindungi buruh terhadap kekuasaan tidak terbatas dari
majikan (Imam Soepomo,) merupakan stake holder Ketenagakerjaan. Untuk
perlindungan, stake holder harus mengetahui peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Cara masyarakat mengetahui putusan MK tidak sama dengan cara mengetahui
UU. Menemukan UU dalam arti fisik-lebih mudah dibanding menemukan putusan
pengadilan. Bahkan cara dan waktu memberlakukan UU tidak sama dengan cara
mengikat putusan pengadilan. Fiksi hukum mengajarkan, masyarakat dianggap
mengetahui UU meskipun tidak pernah membaca. Fiksi itu tidak berlaku terhadap
putusan pengadilan.

12
VOLUME 1 Nomor 2 Tahun 2017

Oleh karena itu, masyarakat tidak bisa dianggap mengetahui putusan lembaga
peradilan meskipun putusan itu dimuat dalam Berita Negara. Hal itu paralel dengan
kenyataan bahwa pihak yang utama mengetahui putusan MK adalah pemohon uji
materi, pemerintah dan DPR. Oleh mewajibkan tidak hukum karena pemerintah dan
MK melakukan sosialisasi atas putusan MK, masyarakat atau pelaku hubungan
industrial tidak banyak yang mengetahui keberadaan putusan-putusan MK.
Pelaku hubungan industrial yang tidak mengetahui putusan-putusan MK di
bidang hukum ketenagakerjaan dapat mengakibatkan terjadinya penyimpangan
sebagai berikut:
a. Pengusaha mengadopsi ke dalam peraturan perusahaan (PP) ketentuan dalam
UU Ketenagakerjaan yang sudah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat
b. Pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh mengadopsi ke dalam Perjanjian
Kerja Bersama (PKB) ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan yang sudah
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
c. Pengusaha dan pekerja/buruh mengadopsi ke dalam perjanjian kerja individual
ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan yang sudah dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat
d. Pemerintah meloloskan draf ketentuan dalam PKB atau PP meskipun hal itu
bertentangan dengan putusan MK
e. Pengusaha menjatuhkan sanksi dan membayar hak kepada pekerja/buruh
dengan menggunakan ketentuan yang sudah dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat
f. Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (LPPHI) salah
menerapkan hukum ketika memutus dan mengadili perselisihan industrial.
Bila pengusaha menerapkan ketentuan yang dinyatakan tidak mengikut oleh
MK, bisa memicu tiga hal:
a. Pengusaha menjatuhkan sanksi yang merugikan pekerja/buruh;
b. Pengadilan otonom yang membatalkan ketentuan bertentangan dengan putusan
MK;

13
VOLUME 1 Nomor 2 Tahun 2017

c. Pekerja/buruh melakukan perlawanan kepada pengusaha karena dianggap


melanggar putusan MK.
Sesuai Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo Pasal 47 UU No. 24 tahun 2003.
putusan MK bersifat final dan mengikit sejak dibacakan dalam sidang terbuka untuk
umum. Sebagai putusan yang mengikat, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)
menerima putusan MK sebag sumber hukum dalam memutus perkara PHI pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusan No.24/PHLG/2013/PN JKT.PST
tertanggal 3 Juni 2013 menggunakan putusan MK No.012/PUU-1/2003 sebagai
dasar hukum menolak eksepsi tergugat yang mengatakan gugatan kadaluarsa
Kutipan lain penggugat terhadap putusan MK No.37/PUU-IX/2011 dalam putusan
PHI No.23/PHIG/2011/PN.JKT.PST tertanggal 3 Juni 2013. Ke dua putusan itu
merupakan contoh yang memperlihatkan bahwa dalam kasus tertentu PHI
mempedomani putusan MK sebagai dasar hukum saat memutus gugatan
perselisihan hubungan industrial.
Undang-Undang berlaku pada sektor yang sesuai dengan ruang lingkup
pembentukannya. Konsekuensi paralel dengan itu, putusan MK berlaku dan
mengikat khusus pada sektor yang berkaitan dengan UU yang diuji. Dilihat dari segi
praktik peradilan putusan MK berfungsi sebagai sumber hukum sepanjang
pembentuk UU belum menindaklanjuti putusan itu ke dalam perubahan UU.
Dalam fungsinya sebagai sumber hukum, putusan MK berkorelasi dengan apa
yang disebut peranan hukum. Prof. C.F.G Sunaryati Hartono menjelaskan, Peranan
hukum penting khusus menjaga keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara
berbagai kepentingan di dalam masyarakat. 13 Dalam kaitan norma baru dalam
putusan MK telah membenarkan bahwa putusan seperti itu bisa diterima sebagai
solusi menjawab kepentingan hukum masyarakat sampai pembentuk UU melakukan
perubahan UU.

13 Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional (Alumni, 1991).
14
VOLUME 1 Nomor 2 Tahun 2017

D. KESIMPULAN
Memperhatikan uraian di atas maka yang menjadi kesimpulan dalam tulisan ini
adalah sebagai berikut
1. Kehadiran Konstitusi lembaga Mahkamah sebagai (MK) penyelenggara kekuasaan
kehakiman memberi kepastian bahwa UU yang dibuat oleh DPR tidak memiliki
kekebalan hukum. Substansi UU yang bertentangan dengan UUD 1945 bisa
dibatalkan melalui MK.
2. Putusan MK merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir yang mengikat sejak
dibacakan. Amar putusan MK tidak selalu menolak atau mengabulkan
permohonan.
3. Pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh beberapa kali menguji UU
Ketenagakerjaan ke MK. Akibatnya, daya mengikat beberapa ketentuan dalam UU
Ketenagakerjaan mengalami perubahan, dan ketentuan yang dibatalkan tidak
berlaku lagi sebagai hukum yang mengikat.
4. Desakan melakukan perubahan terhadap UU Ketenagakerjaan relevan dengan UU
NO.12 tahun 2011 dan putusan MK No.115-VIII/2009. Membiarkan UU
Ketenagakerjaan tanpa perubahan berpotensi terutama menciptakan kekeliruan
dalam hal pengusaha memberi sanksi dan pemenuhan hak pekerja/buruh.
5. MK saat menguji ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan tidak sekadar membatalkan
ketentuan yang diuji. MK aktif membuat norma baru sebagai pengganti dari
ketentuan UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
6. Pelaku hubungan industrial tidak semua mengetahui putusan MK dan dinamika
hukum Ketenagakerjaan Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
(LPPHI) yang tidak menguasai putusan-putusan MK berpotensi keliru menerapkan
hukum ketika menyelesaikan dan memutus kasus perselisihan hubungan industrial
7. Praktik penyelesaian perselisihan hubungan industrial memperlihatkan penafsiran
dan norma baru dalam putusan MK bisa mengatasi keadaan dan kebutuhan hukum.
Dalam posisi seperti itu tepat mengatakan, MK bukan sekadar pemutus sengketa
tetapi juga pembuat norma baru yang diterima sebagai hukum
.

15
VOLUME 1 Nomor 2 Tahun 2017

E. DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly. “Sejarah Constitutional Review & Gagasan Pembentukan MK.”
Jimly School (2012).
Astawa, I Gde Pantja. “Suprin Na’a. 2009.” Memahami Ilmu Negara dan Teori Negara
(n.d.).
Gaffar, Janedjri M. “Kedudukan, Fungsi Dan Peran Mahkamah Konstitusi Dalam
Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia.” Jurnal Mahkamah Konstitusi,
Jakarta (2009).
Harman, Benny K. Mempertimbangkan Mahkamah Konstitusi. Kepustakaan Populer
Gramedia, 2013.
Hartono, Sunaryati. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Alumni,
1991.
Huda, Ni’matul. “Penyelesaian Sengketa Pemilihan Bupati Dan Wakil Bupati Bengkulu
Selatan Di Mahkamah Konstitusi.” Pascasarjana FH UII, Yogyakarta (2011).
Mahfud, Moh. Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Rineka Cipta, 2001.
Ranggawidjaja, Rosjidi. “Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia.” Bandung:
Mandar Maju (1998).

16

Anda mungkin juga menyukai