Anda di halaman 1dari 3

Menyoal Partisipasi Masyarakat UU Cipta Kerja

Oleh Adi Fauzanto

(Alumni Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya)

Tampaknya penghianatan konstitusi tak kunjung selesai oleh Pemerintah dan DPR.
Mahkamah Konstitusi yang dalam hal ini sebagai penafsir konstitusi melalui putusannya,
dilangkahi dengan sedemikian rupa. Ialah partisipasi masyarakat yang bermakna dalam
Putusan MK No. 91/PUU-XVII/2020 –yang disebut sebagai landmark decision (putusan
monumental karena putusan pertama yang membatalkan UU secara formil)— yang tak
kunjung dipenuhi.

Terbaru (13/07/23 & 02/08/23), terdapat pengujian UU No. 6 Tahun 2023 di Mahkamah
Konstitusi yang merupakan objektifikasi oleh DPR terhadap Perppu No. 2 Tahun 2022 yang
bersifat subjektif atas kewenangan Presiden terhadap kegentingan yang memaksa.
Umumnya kita kenal Perppu tersebut dengan Perppu ‘Tahun Baru’ –karena dikeluarkan
menjelang tahun baru 2022, di hari jum’at pula. Di balik keanehan ‘Tahun Baru’ tersebut,
ada beberapa penjalasan yang perlu diketahui masyarakat banyak.

Logika Putusan MK dan Ketaatan akan Hukum

Mula-mula saya ajukan pertanyaan besarnya, mengapa Pemerintah tidak menjalankan


amanat Mahkamah Konstitusi untuk melakukan partisipasi masyarakat yang bermakna?
Malahan, DPR melakukan cawe-cawe atau turut andil dengan membentuk Satuan Tugas
untuk menjaring partisipasi setelah Perppu terbit, yang dalam hal ini seharusnya DPR tidak
dalam ranah fungsi legislasi, akan tetapi pada fungsi pengawasan –setelah mendengarkan
keterangan Daniel Yusmic— untuk melakukan evaluasi apakah Perppu tersebut sesuai
dengan kegentingan yang memaksa tersebut.

Seharusnya logika tersebut dibalik, mereka (Pemerintah dan DPR) membentuk Satuan Tugas
sebelum Perppu terbit, atau bahkan sebelum UU Cipta Kerja disahkan. Bukan setelah Perppu
terbit. Hal tersebut bahkan sudah diberikan tenggat waktu selama 2 tahun oleh Mahkamah
Konstitusi untuk menjalankan partisipasi masyarakat dalam Putusan MK.

Absurdnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara UU No. 6 Tahun 2023, Perppu No. 2
Tahun 2022, dan UU No. 11 Tahun 2020. Hampir semua sepakat dalam hal ini, seperti Zainal
Arifin Mochtar dalam kesaksian ahlinya (13/07/23) yang menyarankan untuk melakukan
komparasi dokumen, atau Ali Syafaat dalam kolomnya di Jawa Pos ‘Siasat Mengelabui
Putusan Mahkamah Konstitusi‘ (05/01/23).

Selain itu, alasan mendasarnya yaitu kegentingan memaksa, dalam hal ini hasil dari
kegentingan memaksa tersebut sama dengan ‘kegentingan yang tidak memaksa’
sebelumnya, lalu apa bedanya? Tidak masuk akal jika sebelumnya UU tersebut diterbitkan
sesuai prosedur (walau tanpa partisipasi masyarakat dan metode omnibus), akan tetapi
selanjutnya diterbitkan Perppu. Menurut saya, kegentingan memaksa harus ditafsirkan
dengan peristiwa yang konkrit, tidak semena-semena seperti ini, yaitu dengan argumen
krisis ekonomi global yang sangat abstrak, dan Perppu yang tidak koheren dengan
kegentingannya (untuk ekonomi secara keseluruhan, mulai dari izin, perburuhan, investasi,
dsb).

Pentingnya Partisipasi dalam Pembentukan Undang-Undang

Akan tetapi lebih dari itu kita perlu mengetahui sebab mengapa partisipasi masyarakat
begitu penting, bukan hanya soal UU Cipta Kerja, akan tetapi untuk seluruh pembentukan
Peraturan Perundang-undangan bahkan menyangkut kebijakan publik secara umum ke
depannya, perlu adanya partisipasi masyarakat yang bermakna.

Hal tersebut secara tidak langsung, juga menjadi masukan kepada Mahkamah Konstitusi,
bahwa secara dengan seksama DPR dan Pemerintah telah abai memperhatikan pentingnya
sebuah partisipasi masyarakat.

Perlu diketahui, konsep dasar partisipasi masyarakat ialah pada esensi dasar sebuah negara
modern dibentuk yaitu kesepakatan, yang dalam hal ini menurut JJ Rousseau, dalam teori
kontrak sosial-nya, yang diwujudkan sebelum adanya negara untuk mencegah kekacauan
maka perlu ada kesepakatan bersama di antara individu-individu yang nantinya
menimbulkan hak dan kewajiban untuk membentuk sebuah masyarakat dan negara,
kesepakatan inilah yang dinilai sebagai bentuk keterlibatan (partisipasi) di antara
masyarakat.

Konsep dasar partisipasi lainnya ada pada esensi demokrasi itu sendiri, yaitu keterlibatan
masyarakat dalam hal publik khususnya pembentukan kebijakan (yang dalam hal ini
pembentukan undang-undang) di dalam pemerintahan. Konsep tersebut datang dari anti-
tesa bahwa pemerintahan hanya diatur oleh satu orang (yaitu raja) yang kemudian
pemerintahan tersebut memburuk menjadi otoriter.

Kedua hal tersebut menjadi dasar mengapa sebuah partisipasi begitu penting. Oleh
karenanya, di dalam negara demokrasi yang modern, bukan undang-undang (sebagai bentuk
perjanjian) namanya jika tidak melibatkan partisipasi masyarakat. Bahkan bukan negara
modern namanya jika masyarakat tidak diikutsertakan dalam mengelolanya (sebagai bentuk
negara demokrasi).

Akan tetapi tidak berhenti sampai di situ, perkembangan menuntut partisipasi tersebut tidak
pada semua lapisan masyarakat, yang jelas akan menimbulkan bias. Alibinya, bahwa pejabat
mengaku juga masyarakat, keluarga pejabat juga mengaku sebagai masyarakat, rekan bisnis
pejabat juga masyarakat, politisi juga mengaku sebagai masyarakat, semua orang mengaku
masyarakat.

Maka dari itu perlu adanya ketegasan dari konsep bentuk partisipasi, tujuannya agar tepat
sasaran (dalam konteks demokrasi melindungi minoritas atau yang rentan). Maka lahirlah
apa yang disebut partisipasi masyarakat yang bermakna.
Partisipasi Masyarakat yang Bermakna

Mahkamah Konstitusi dalam hal ini melalui Putusan MK No. 91/No. 91/PUU-XVII/ belum
secara gamblang menjelaskan konsep partisipasi masyarakat dalam Putusan-nya, yang ada
hanya pola pengaturan, yaitu hak untuk didengarkan pendapatnya, hak untuk
dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapatkan penjelasan atas pendapatnya,
serta menysaratkan perlu adanya pihak yang memiliki perhatian –sebelumnya hanya pihak
yang berkepentingan.

Akan tetapi, makna atau arti dari partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful
participation) sesungguhnya, ialah memastikan bahwa kelompok yang paling rentan, atau
kelompok yang paling terpinggirkan bisa bersuara, bisa menyampaikan pendapat, masukan,
kritik, dan saran terhadap kebijakan yang dibuat. Dan bagaimana suara-suara tadi bisa
menjadi bahan pertimbangan untuk pembentukan undang-undang atau kebijakan yang
inklusif. Itulah yang membedakan antara yang bermakna dan yang tidak.

Dalam hal ini MK hanya mengatur terkait pola pengaturan, yaitu bergesernya hak partisipasi
menjadi hak pertanggungjawaban, bahwa masyarakat ke depan seharusnya bisa menagih
tanggungjawab atas masukannya. Dalam arti lain, juga menjadikan kewajiban dari
Pemerintah atau DPR untuk mempertanggungjawabkan partisipasi masyarakat tersebut,
artinya sudah melampaui apakah partisipasi dilakukan atau tidak, akan tetapi sudah pada
tahap wajib dilakukan partisipasi, serta wajib juga mempertanggungjawabkannya.

Akan tetapi ‘jauh panggang dari api’, kenyataannya logika dan praktik yang dijalankan
Pemerintah dan DPR berbeda, dan tertukar-tukar. Baiknya, UU Cipta Kerja tersebut
dibatalkan sementara dahulu lagi, sebab ini akan menjadi tendensi untuk perbaikan dalam
proses legislasi kita. Jika tidak, bukan tidak mungkin melanggengkan praktik kekeliruan
legislasi kita.

Anda mungkin juga menyukai