Anda di halaman 1dari 20

GRASI DALAM PRESPEKTIF HUKUM TATA NEGARA DI INDONESIA

PARDON IN THE PERSPECTIVE OF CONSTITUTIONAL LAW IN


INDONESIA
Daniel Samosir
Kantor Hukum Samosir Surya Kusuma and Partners (SSKP LAW OFFICE)
Gedung Arva Cikini 4th Floor, Jl. Cikini Raya No. 60 FGMN Cikini, Menteng,
Jakarta Pusat, DKI Jakarta 10310
Email : danielsamosir19@ymail.com
ABSTRAK
Kekuasaan Presiden dalam memberi grasi yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UUD
1945 Perubahan hingga saat ini masih dianggap sebagai hak prerogatif, padahal
penggunaan istilah demikian sudah tidak relevan dengan paham konstitusionalisme dan
prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) disertai check and balance yang
terkandung dalam UUD 1945 Perubahan. Sebagai negara demokrasi konstitusional
maka istilah yang paling dapat diterima oleh nalar hukum berdasarkan konstruksi
yuridis-konstitusi ialah hak konstitusional. Di masa mendatang guna memberikan
kepastian hukum maka perlu diberikan kewenangan kepada lembaga yudikatif untuk
menguji, mengadili, serta memutus secara hukum terhadap penggunaan hak
konstitusional Presiden dalam memberi grasi, agar tidak digunakan dengan sewenang-
wenang atau untuk kepentingan pribadi maupun kelompok tertentu.
Kata Kunci : Perihal Grasi, Hak Prerogatif, Hak Konstitusional

ABSTRACT
The power of the President in granting pardon as stipulated in Article 14 paragraph (1)
of the Amendment 1945 Constitution until now is still regarded as a prerogative,
whereas, the use of such terminology is irrelevant to the constitutionalism and the
principle of separation of power along with check and balance contained in the
Amendment 1945 Constitution. As a constitutional democracy country, the most
acceptable term by legal reasoning under the constitutional juridical construction is
constitutional right. In the future, to provide legal certainty, it is necessary toprovide
authorizationto the judiciary to adjudicate and to decide legally on the use of the
President's constitutional right in granting pardon, otherwiseit will be used arbitrarily
or for personal or group interests.
Keywords : About Pardon, Prerogative Rights, Constitutional Rights

I. PENDAHULUAN
Grasi merupakan salah satu hak Presiden yang diatur dalam ketentuan Pasal 14
ayat (1) UUD 1945 Perubahan, yang kemudian terhadap penggunaan hak tersebut
diatur lebih lanjut dengan UU No. 22 tahun 2002 tentang Grasi sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 5 tahun 2010 tentang perubahan atas UU No. 22 tahun 2002
tentang Grasi (UU Grasi).1 Walaupun hak Presiden demikian itu telah diatur secara
normatif namun terhadap pelaksanaan hak tersebut oleh Presiden tetap tidak terlepas
dari tanggapan negatif masyarakat, bahkan hingga pro-kontra dikalangan para ahlipun
cendrung tidak terhindarkan, sebagaimana fenomena yang terjadi baru-baru ini
terhadap pemberian grasi Presiden Joko Widodo (Presiden Jokowi) kepada Antasari.2
Pemberian grasi Presiden Jokowi kepada Antasari banyak masyarakat yang
menyebutkan hal itu merupakan hak prerogatif Presiden dan tidak sedikit pula yang
menyebutkan hal itu merupakan hak konstitusional Presiden, bahkan secara ekstrim
mantan Presiden ke-6 (keenam) Republik Indonesia yakni Susilo Babang Yudhoyono
menyebutkan bahawa pemberian grasi itu terkait dengan motif politik3. Lain hal
dengan pihak Istanah yang menanggapi isu yang beredar di masyarakat melalui
Menteri Seketaris Negara (Mensesneg) Pratikno yang menyebutkan bahwa
“pemberian grasi dari Presiden Jokowi kepada Antasari Azhar sudah sesuai
pertimbangan Mahkamah Agung”.4 Yang menjadi persoalan dari pernyataan tersebut
yakni apa hubungannya antara hak presiden dalam memberikan grasi dengan
pertimbangan Mahkamah Agung? bukankah tindakan seperti itu suatu anomali
terhadap prinsip sistem pemerintahan presidensial yang diadopsi oleh konstitusi
Negara Indonesia (UUD 1945 Perubahan)?.
Selain hal demikian yang juga tidak kalah penting menajdi bahan diskursus
para ahli bahkan hakim yang hingga saat ini masih menjadi dualisme pemahaman
yaitu mengenai penggunaan istilah hak prerogatif dan hak konstitusional atas
kekuasaan Presiden dalam memberi grasi. Karena ke-2 (kedua) istilah tersebut
mempunyai implikasi dan akibat hukum yang masing-masing berbeda. Berdasarkan
fenomena hukum yang terjadi menurut Penetapan Pengadilan Tata Usaha Negara
Jakarta No: 89/G/2012/PTUN-JKT bahwa pemberian grasi merupakan hak prerogatif

1
Pasal 1 ayat (1) UU No. 22 tahun 2002 tentang Grasi sebagaiaman telah diubah dengan UU No. 5
tahun 2010 tentang perubahan atas UU No. 22 tahun 2002 tentang Grasi menyebutkan bahwa grasi adalah
pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada
terpidana yang diberikan oleh Presiden.
2
Hal serupa juga dialami oleh mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada saat rezim
pemerintahannya yang memberikan grasi kepada Schapelle Leigh Corby dan Peter Achim Frans Grobmann
seorang terpidana narkotika berkewarganegaraan Australia yang menuai kontroversial.
3
Nasional Kompas, “SBY Tuding Grasi Antasari Bermotif Politis Apa Kata Jokowi,”
http://nasional.kompas.com/read/2017/02/15/12592381/sby.tuding.grasi.antasari.bermotif.politis.apa.kata.jok
oi (diakses pada tanggal 22 Februari 2017).
4
Kumparan, “Istana Pemberian Grasi untuk Antasari Sesuai Pertimbangan MA,”
https://kumparan.com/teuku-muhammad-valdy-arief/istana-pemberian-grasi-untuk-antasari-sesuai-
pertimbangan-ma (diakses pada tanggal 22 Februari 2017).
Presiden. Namun apakah penggunaan istilah hak prerogatif Presiden dalam
memberikan grasi yang dimaksud oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta telah
sesuai dengan prinsip dan/atau paham yang terkadung baik secara eksplisit maupun
implisit pada UUD 1945 Perubahan. Karena diketahui bahwa UUD 1945 pasca
perubahan telah mengadopsi paham konstitusionalisme dan prinsip pemisahan
kekuasaan (separation of power) disertai check and balance.
Maka berdasarkan uraian di atas menjadi sangat menarik untuk mengkaji
secara lebih komperhensif berkenaan dengan ruang lingkup kekuasaan Presiden dalam
memberikan grasi dan kaitannya dengan Mahkamah Agung serta penggunaan istilah
yang dapat diterima oleh nalar hukum terhadap kekuasaan Presiden dalam memberi
grasi berdasarkan prespektif hukum tata negara di Indonesia. Penulisan makala ini
menggunakan teori konstitusi sebagai landasan untuk menganalisis permasalahan yang
akan dibahas, penggunaan teori dimaksud didasarkan pada pemikiran bahwa konstitusi
pada hakikatnya berlaku sebagai hukum positif tertinggi, karena merupakan suatu
konfigurasi dari perjanjian/kesepakatan (consensus) sosial tertinggi seluruh rakyat
yang berdaulat dalam suatu negara, yang selanjutnya akan dikaitkan dengan paham
konstitusionalisme dan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) disertai
prinsip check and balance yang terkandung dalam UUD 1945 Perubahan.

II. Pembahasan
A. Kekuasaan Presiden Berdasarkan Konstitusi (UUD 1945 Perubahan)
Ditinjau dari prespektif hukum tata negara, negara merupakan suatu organisasi
kekuasaan, dan organisasi itu merupakan tata kerja daripada alat-alat perlengkapan
negara yang merupakan suatu keutuhan, tata kerja mana melukiskan hubungan serta
pembagian tugas dan kewajiban antara masing-masing alat kelengkapan negara itu
untuk mencapai suatu tujuan tertentu.5 Sedangkan pengertian kekuasaan itu sendiri
secara umum dapat diartikan sebagai kemampuan sesorang untuk mempengaruhi
orang lain sesuai dengan kehendaknya. Hal ini identik dengan pengertian kekuasaan
yang dirumuskan oleh Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan yang pada intinya
menyebutkan bahwa kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau

5
Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta : Liberty, 2005), hlm 149.
sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain ke arah
tujuan dari pihak pertama.6
Keberadaan kekuasan mempunyai arti penting untuk dapat terselenggranya
maksud dan tujuan dari suatu negara, kekuasaan dibutuhkan oleh negara karena
memberi kekuatan vital bagi alat kelengkapan negara sebagai penyelenggaraan
pemerintahan, namun harus diwaspadai tatkala kekuasaan itu terakumulasi di tangan
penguasa tanpa dibatasi oleh konstitusi.7 Lord Acton (1838:1902) dalam suratnya
bertanggal 5 April 1887 kepada Bishop Mandell Creighton, mengemukakan, ”Power
tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”8 (manusia yang mempunyai
kekuasaan cenderung menyalahgunakannya, akan tetapi manusia yang mempunyai
kekuasaan yang mutlak sudah pasti mutlak pula kesewenang-wenangannya).
Maka dari itu pada tataran inilah eksistensi konstitusi hadir sebagai entitas
negara hukum (hukum positif tertinggi) yang merupakan hasil dari kesepakatan
/perjanjian (consensus) sosial tertinggi seluruh rakyat yang berdaulat dalam suatu
negara yang memuat sekumpulan aturan hukum yang berfungsi sebagai pemisahan
kekuasaan (seperation of power), membagi kekuasaan (distribution of power),
membatasi kekuasaan (paham konstitutionalisme/limited of power) mengendalikan
kekuasaan, mengatur hubungan antar lembaga negara dan hubungan negara dengan
rakyat, serta menjadi sumber sekaligus dasar bagi terbentuknya aturan hukum yang
lebih rendah.
James Bryce dalam C.F. Strong mendefinisikan konstitusi sebagai satu
kerangka masyarakat politik (negara) yang pengorganisasiannya melalui dan oleh
hukum. Menurut C.F. Strong, Konstitusi dapat pula dikatakan sebagai kumpulan
prinsip-prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintahan, hak-hak pihak yang
diperintah (rakyat), dan hubungan di antara keduanya.9 K.C. Wheare menyebutkan
bahwa konstitusi bagi sebagian besar negara-negara di dunia, merupakan hasil seleksi
dari peraturan-peraturan hukum yang mengatur pemerintahan negara tersebut dan

6
Harian Netral, “Pengertian Kekuasaan Menurut Para Ahli,”
http://hariannetral.com/2015/06/pengertian-kekuasaan-menurut-para-ahli.html, (diakses pada tanggal 25
Februari 2017).
7
M. Laica Marzuki, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jurnal Konstitusi, Volume 7, no. 4
(Agustus 2010): hlm 4.
8
Ibid, hlm 4-5.
9
C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang Sejarah dan
Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, terjemahan Derta Sri Widowatie, (Bandung : Nusamedia , 2004), hlm 15.
telah dihimpun dalam satu dokumen.10 Dengan demikian berdasarkan pengertian
konstitusi menurut para ahli tersebut maka eksistensi konstitusi mempunyai peran
strategis untuk dapat terlaksananya suatu tujuan negara secara konsisten dan akuntabel
melalui alat-alat kelengkapan negara.
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia kekuasaan pemerintahan dipegang
oleh Presiden, hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 Perubahan
yang menyebutkan “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan
menurut Undang-Undang Dasar”. Ketentuan dalam Pasal tersebut menunjuk kepada
pengertian Presiden menurut sistem pemerintahan presidensial. Menurut Jimly
Asshiddiqie dalam sistem pemerintahan presidensial, tidak terdapat pembedaan atau
tidak perlu didakan pembedaan antara Presiden selaku kedudukan kepala negara dan
Presiden selaku kepala pemerintahan. Presiden adalah Presiden, yaitu jabatan yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara menurut UUD. Lebih lanjut Jimly
Asshiddiqie menyebutkan, dalam UUD 1945 Perubahan juga tidak terdapat ketentuan
yang mengatur tentang adanya kedudukan kepala negara (head of state) ataupun
kedudukan kepala pemerintahan (head of government) atau chief executive.11
Pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 Perubahan menyebutkan, “kedaulatan berada
di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Menurut Laica
Marzuki Pasal konstitusi dimaksud memuat paham konstitusionalisme,12 dimana
rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi terikat pada konsititusi (UUD 1945).
Kedaulatan rakyat dilaksanakan berdasarkan UUD dan kedaulatan tidak boleh
dijalankan atas dasar the ruling of the mob.13
Maka secara sistematis (interpretation systematic) antara Pasal 1 ayat (2)
inheren dengan Pasal 4 ayat (1). Konstruksi gramatikal (grammatical constructions)

10
K.C. Wheare, Konstitusi-konstitusi Modern, Terjemahan Imam Baehaqie (Bandung: Nusamedia,
2015), hlm 3. Lihat Moh. Mahfud MD., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi
(Jakarta: RajaGrafindo, 2011), Dalam hal ini istilah konstitusi sering digunakan dalam maksud yang sama
dengan UUD meski secara teoritis cakupan konstitusi lebih lauas dari UUD, hlm 20.
11
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Jakarta :
Sinar Grafika, 2012), hlm 107-108.
12
M. Laica Marjuki, Op.Cit., Constitutionalism atau Konstitusionalisme mengemban the limited
state, agar penyelenggaraan negara dan pemerintahan tidak sewenang-wenang dan hal dimaksud dinyatakan
serta diatur secara tegas dalam pasal-pasal konstitusi.Menurut Carl J Friedrich dalam buku beliau,
”Constitutional Government and Democracy”, konstitusionalisme mengandung gagasan bahwa
pemerintahan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat dikenakan beberapa pembatasan yang
diharapkan akan menjamin bahwasanya kekuasaan yang diselenggarakan tidak disalahgunakan oleh mereka
yang mendapat tugas untuk memerintah, hlm 4.
13
M. Laica Marjuki, Op.Cit., hlm 5.
kedua Pasal konstitusi demikian itu membentuk suatu bangunan hukum konstitusi
(constitution law bulding) yang memberi makna bahwa sumber kekuasaan yang di
pegang oleh Presiden guna menjalankan pemerintahan hakikatnya ialah dari rakyat
sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dan yang kemudian dilaksanakan menurut
UUD. Artinya kekuasaan Prsiden pada dasarnya bersumber dari rakyat dan dibatasi
serta terikat pada ketentuan-ketentuan UUD 1945 Perubahan.
Eksistensi paham konstitusionalisme yang terkandung di dalam UUD 1945
Perubahan berfungsi sebagai suatu bentuk preventif terhadap kekuasaan yang
sewenang-wenang dan absolut. Di samping paham konstitusionalime, UUD 1945
Perubahan juga manganut sistem pemisahan kekuasaan (speration of power) yang
disertai dengan prinsip check and balance.
Sistem pemisahan kekuasaan dapat di lihat di dalam UUD 1945 Perubahan
yang memisahkan masing-masing kekuasaan secara horizontal menjadi kekuasaan
yang dinisbatkan sebagai fungsi lembaga-lembaga negara yang sederajat yakni
kekuasaan lembaga Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif yang saling mengendalikan
satu sama lain berdasarkan prinsip check and balance.14 Dalam hal ini kekuasaan
lembaga eksekutif selaku pelaksana roda kepemerintahan, lembaga legislatif selaku
pembentuk undang-undang dan pengawasan (controling), serta lembaga yudikatif
selaku pemegang kekuasaan kehakiman.
Selanjutnya mengenai rincian kekuasaan pemerintahan negara yang dipegang
oleh Presiden secara eksplisit diatur oleh UUD 1945 Perubahan dalam Bab III yang
terdiri dari 17 Pasal dan Bab V terdiri dari 1 Pasal, antara lain sebagai berikut:
1. Kekauasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar;
2. keewenanagn mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR);
3. Dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian
dengan negara lain;
4. Menyatakan keadaan bahaya;
5. Mengangkat duta dan konsul;
6. Memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan
Mahkamah Agung;

14
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia (Jakarta : Sinar Grafika: 2011),
hlm 60.
7. Memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbanagan DPR;
8. Memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan;
9. Mengangkat dan memberhentikan menteri.
Menurut Sri Soemantri kekuasaan Presiden yang mempunyai pengertian luas
terdapat pada Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 Perubahan, yang mengatakan “Presiden
Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang
Dasar”. Yang perlu diketahui dalam hal ini adalah berkenaan dengan kekuasaan
pemerintahan itu apakah pemerintah(an) yang dimakud mempunyai arti luas atau
sempit. Seperti diketahui, istilah pemerintah dalam bahasa inggris adalah government.
Perkataan government dalam bahasa inggris mempunyai dua arti yaitu 1) government
in broader sense; dan 2) government in narrower sense. Government dalam arti luas
(government in broader sense) meliputi keseluruhan fungsi yang ada dalam negara,
sedangkan government dalam arti sempit (government in narrower sense) hanya
berkenaan dengan fungsi eksekutif saja. Dilihat dari teori Trias Politica, government
dalam arti luas meliputi kekuasaan membentuk undang-undang, kekuasaan eksekutif
atau kekuasaan melaksanakan undang-undang dan kekuasaan mengadili. Dengan
demikian, kekuasaan Pemerintahan dalam arti luas meliputi kekuasaan membentuk
undang-undang yang terbatas, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan kehakiman yang
terbatas.15
Merujuk pada uraian di atas maka pada dasarnya kekuasaan Presiden
bersumber dari rakyat (kedaulatan rakyat) dan dibatasi serta terikat pada UUD. Di
dalam UUD 1945 Perubahan yang menganut sistem pemerintahan presidensial tidak
terdapat adanya pembedaan antara kedudukan Presiden sebagai kepala negara dan
kedudukan Presiden sebagai kepala pemerintahan eksekutif karena kedua jabatan
tersebut menyatu dalam jabatan Presiden selaku kepala pemerintahan. Kekuasaan
Presiden yang diatur di dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 Perubahan sangat cukup
luas namun bukan tanpa batas, karena ketentuan-ketentuan lain di dalam UUD 1945
telah mengatur dan memperinci secara tegas kekuasaan tersebut yang berfungsi untuk
membatasi kekuasaan Presiden.

15
Sri Soemantri, Hukum Tata Negara Indonesia Pemikiran dan Pandangan, (Bandung : Remaja
Rosdakarya: 2015), hlm 172-173.
B. Grasi Sebagai Hak Prerogatif
Ditinjau secara etimologi istilah grasi berasal dari kata “pardonare” dalam
bahasa Latin atau “pardone” dalam bahasa Inggris yang berarti wewenang dari kepala
negara untuk memberikan pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh
hakim, untuk menghapus seluruhnya, sebagian atau mengubah sifat/bentuk hukuman
itu.16 Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI versi online) grasi diartikan
sebagai ampunan yang diberikan oleh kepala negara kepada orang yang telah dijatuhi
hukuman.17 Menurut J.C.T Simorangkir grasi adalah wewenang dari kepala negara
untuk memberi pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim
untuk menghapuskan seluruhnya, sebagian, atau merubah sifat atau bentuk hukuman
itu.18
Berdasarkan pengertian grasi di atas maka grasi ialah merupakan suatu
kewenangan kepala negara untuk memberikan ampunan terhadap seseorang yang
dijatuhkan hukuman pidana dan selanjutnya terhadapnya menjadi suatu alasan
gugrurnya untuk melaksanakan dan/atau menjalani hukuman atau sebagian hukuman,
yang pada prinsipnya bukanlah merupakan suatu upaya hukum.
Secara historis kekuasaan Presiden untuk memberi grasi berasal dari tradisi
dalam sistem pemerintahan monarkhi di Inggris, di mana Raja dianggap sebagai
sumber keadilan sehingga kepadanya diberikan hak yang dikenal sebagai hak
prerogatif eksekutif (executive prerogtive) untuk memberi pengampunan kepada
warganya yang telah dijatuhi hukuman pidana. Hak prerogatif memberikan
keistimewaan bagi penguasa politik untuk memutuskan sesuatu berdasarkan
pertimbangan sendiri, uniknya putusan itu bisa dilakukan tanpa alasan apapun, kecuali
kehendak pribadi dari sang pemimpin itu sendiri.19 Menurut A.V. Dicey bahwa
keberadaan dari istilah hak prerogatif telah ada sejak masa penaklukan Bangsa
16
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 107/PUU-XII/2015, istilah grasi berasal dari bahasa
Latin Pardonare, yang di terjemahkan kedalam bahasa Inggris yaitu Pardone. Menurut Blacks Law
Dictionary Six Editions, yang disusun oleh Henry Cmapbell Black. M.A. Tahun 1990 dituliskan bahwa
Pardon: an executive action that mitigates or sets asid punishment for a crime. An act of grace from
governing power which mitigates the punishment the law demands for the offense and restores the right and
privilages forfeited on account of the offense, hlm, 13-14.
17
Kamus Besar Bahasa Indonesia (versi online), “Grasi,” http://kbbi.web.id/grasi (diakses pada
tanggal 3 Maret 2017).
18
J.C.T Simorangkir, Kamus Hukum (Jakarta Sinar Grafika : 2004), hlm. 58
19
Bachtiar Baital, Pertanggungjawaban Penggunaan Hak Prerogatif Presiden Di Bidang Yudikatif
Dalam Menjamin Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman, Jurnal Cita Hukum, Vol. I, no. 1 (Juni 2014): 20-
37., Secara teoritis, hak prerogatif dalam berbagai literatur umumnya diterjemahkan sebagai hak istimewa
yang dimiliki oleh lembaga-lembaga tertentu yang bersifat mandiri dan mutlak, dalam arti tidak dapat
digugat oleh lembaga negara yang lain, hlm 24.
Normadia hingga revolusi 1688. Hak prerogatif merupakan nama bagi sebagian
kewenanagan asli Raja yang tersisa, yang disebut sebagai residual power Raja yang
merupakan kekuasaan bebas yang pada saat kapanpun tetap ada di tangan Raja.20
Hak prerogatif yang lahir dan berkembang di Inggris tersebut selanjutnya
mengalami transformasi ketika Amerika Serikat sebagai bekas jajahan Inggris
mendeklarasikan kemerdekaannya dan menyusun konstitusinya secara tertulis. Yang
mana gagasan tentang hak prerogatif itu diadaptasi dalam sistem pemerintahannya
yang dikenal sebagai sistem presidensial. Namun demikian, berbeda halnya dengan
gagasan asalnya yang menganggap hak itu melekat pada kekuasaan Raja atau mahkota
(crown), di Amerika Serikat kekuasaan tersebut dianggap diturunkan dari kedaulatan
rakyat yang pelaksanaannya didelegasikan kepada Presiden. Ketika sistem presidensial
kemudian diterima oleh banyak negara maka hak prerogatif itu dianggap melekat
kepada Presiden meskipun pengaturan dan pelaksanaannya sangat bervariasi
dimasing-masing negara.21
Jadi meskipun dalam hal ini gagasan asal pemberian grasi yang disebut sebagai
hak prerogatif berasal dari sistem monarkhi Inggris, namun dari kedua negara
dimaksud di atas dapat dilihat adanya perbedaan yang mendasar yakni berkaitan
dengan sumber kekuasaannya, yang mana pada sistem pemerintahan monarki yang
diadopsi oleh Inggris bersumber dari kedaulatan Raja sedangkan pada sistem
pemerintahan presidensial yang diadopsi oleh Amerika Serikat bersumber dari
kedaulatan rakyat. Bahkan lebih jauh lagi dalam sistem presidensial Amerika Serikat
teori prerogatif yang mutlak dalam eksekutif telah ditolak oleh Mahkamah Agung
Amerika Serikat. Karena menurut sistem Konstitusi Amerika, eksekutif hanya
mempunyai kekuasaan-kekuasaan baik yang dengan tegas dinyatakan oleh UUD atau
UU, ataupun dengan cara menarik kesimpulan-kesimpulan tertentu dari UUD atau
UU.22

20
Selengkapnya lihat A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution,
Terjemahan oleh Nurhadi, Pengantar Studi Hukum Konstitusi, (Bandung : Nusa Media, 2014), hlm. 454.
21
Lihat Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi No. 107/PUU-XII/2015, Op.cit, hlm
77-78.
22
Lihat Ni'matuI Huda, Hak Prerogatif Presiden dalam Perspektif Hukum Tata Negara Indonesia,
Jurnal Hukum. Vol. 8, no. 18. (Oktober 2001):1–18., Dalam suatu perkara yang terkenal, Youngstown Sheet
&Tube Co. i/ Saivyer. Mahkamah Agung Amerika Serikat menolak perintah penyitaan Presiden Truman,
dimana Presiden─itu memerintahkan Menteri Perdagangan untuk mengambil alih industri baja guna
menghindarkan ancaman pemogokan di pabrik-pabrik baja dan untuk menjamin kelangsungan persediaan
baja yang sangat dibutuhkan untuk pertahanan nasional. Mahkamah Agung menyatakan bahwa penggunaan
hak prerogatif oleh Presiden Truman untuk mengambil alih pabrik baja tanpa melalui persetujuan Kongres
Perkembangan sistem ketatanegaraan monarkhi di Inggris kini telah
menjadikan penggunaan istilah hak perorgatif untuk mencakup sekumpulan besar
hak-hak dan privilieges yang dipunyai oleh Raja serta dilaksanakan tanpa suatu
kekuasaan perundang-undangan yang langsung. Di samping itu, jika parlemen
menghendaki, dengan undang-undang ia (parlemen) dapat membatalkan hak prerogatif
itu. Dengan kata lain, hak prerogatif itu ada selama dan sejauh diakui serta diijinkan
oleh undang-undang.23 Ini artinya bahwa dalam sistem ketatanegaraan monarkhi di
Inggris dewasa ini hak prerogatif yang disebut sebagai residual power kini telah
semakin berkurang (dibatasi), karena rakyat (parlemen) kapan saja dapat membatalkan
hak prerogatif tersebut.
Hak prerogatif yang mulanya bersumber pada sistem hukum common law yaitu
hukum tidak tertulis oleh sebagian orang dipandang sebagai undemocratic and
potentially danger.24 Oleh karena itu untuk mengurangi sifat tidak demokratik dan
bahaya-bahaya lainnya maka penggunaan kekuasaan prerogatif dibatasi dengan
dialihkan ke dalam UU sehingga adanya kemungkinan untuk dapat diuji melaiui
peradiian (judicial review), atau kalau akan dilaksanakan oleh Raja/Ratu harus teriebih
dahulu mendengar pendapat atau pertimbangan menteri maupun lembaga negara
lainnya. Jadi, berdasarkan uraian di atas maka grasi yang disebut sebagai hak
prerogatif mengandung beberapa karakter yaitu;
a. Bersumber dari Raja (kedaulatan Raja)
b. Mutlak/absolut (hak istimewa/privilieges)
c. Sebagai residual power;
d. Merupakan kekuasaan diskresi (fries ermessen, beleid);
e. Tidak ada dalam hukum tertulis;
f. Akan hilang−apabila telah diatur dalam UUD atau UU.
Dengan demikian jika grasi sebagai hak prerogatif telah diatur dalam suatu
UUD atau UU merujuk pada pengertian istilah hak prerogatif pada sistem monarkhi
maka hak tersebut sudah tidak dapat lagi disebut sebagai hak prerogatif, karena baik
dari esensi maupun karakteristik yang terkandung dalam hak prerogatif yang
hakikatnya sebagai hak istimewa (privilieges) telah hilang dan bertransformasi

tidak termasuk kekuasaan konstitusional Presiden atau dengan kata lain merupakan tindakan inkonstitusional,
hlm 3.
23
Ni'matuI Huda, Op.Cit.
24
Ibid, hlm 4.
menjadi hak konstitusional sebagaimana yang diadopsi dalam sistem presidensial
Amrika Serikat.

C. Grasi Dalam Sejarah Konstitusi Indonesia


Di Indonesia eksistensi hak Presiden dalam memberi grasi terhadap seorang
terpidana bukanlah merupakan suatu hal yang baru dalam sistem hukum
ketatanegaraan Indonesia, bahakan bila ditinjau dari sejarah konstitusi (UUD)
Indonesia hak tersebut selalu hadir di setiap rezim konstitusi Indonesia, walaupun
dengan perumusan norma yang tidak selalu sama, bahkan cenderung mempunyai
pemaknaan dan/atau istilah yang berbeda disetiap rezim konstitusi yang dapat
mempengaruhi pelaksanaan hak tersebut. Namun yang menjadi persoalannya dalam
hal ini ialah apakah pemaknaan dan/atau penggunaan istilah yang berbeda disetiap
rezim konstitusi dimaksud disebabkan atas penggunaan sistem, paham dan/atau prinsip
yang diadopsi oleh masing-masing konstitusi?.
Menurut Mahfud MD ditinjau dari aspek hukum tata negara, maka hukum tata
negara yang berlaku di suatu negara tertentu adalah semua yang ditulis di dalam
konstitusi negara yang bersangkutan, terlepas dari soal suka atau tidak suka, sesuai
atau tidak sesuai dengan teori atau ilmu konstitusi, dan terlepas dari soal cocok atau
tidak cocok atau tidak cocok dengan kelaziman yang berlaku di negara-negara lain.
Pokoknya apapun yang ditulis di dalam konstitusi yang dibuat dengan prosedur yang
konstitusional itulah yang berlaku sebagai hukum tata negara yang harus diterima dan
dilaksanakan.25 Adapun pernyataan Mahfud MD demkian itu menunjuk pada
pengertian hukum tata negara sebagai hukum positif.
Pemberian grasi oleh Presiden dalam UUD 1945 sebelum perubahan diatur
pada Pasal 14 yang menyebutkan “Presiden memberi grasi....”. Selanjutnya di dalam
penjelasan Pasal tersebut menjelaskan bahwa kekuasaan Presiden ini ialah
konsekuensi dari kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala
Pemerintahan. Kekuasan tersebut melekat dalam diri Presiden, namun dalam

25
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi (Jakarta :
Rajawali Pers, 2011), Selanjutnya Mahfud MD menyatakan bahwa hal ini penting ditekankan karena
adakalanya mencampuradukan antara pandangan yang ideal-teoritis dan penuangan resmi yang rill-
konstitusi, hlm 36.
pelaksanaan hak tersebut tidak dijelaskan bahwa Presiden harus berkonsultasi atau
menerima masukan dan saran serta pendapat dari lembaga negara lainnya.26
Berbeda dengan Konstitusi RIS, dalam pasal 160 ayat (1) dinyatakan bahwa
“Presiden mempunyai hak memberi ampun dari hukuman-hukuman yang dijatuhkan
oleh keputusan kehakiman. Hak itu dilakukannya sesudah meminta nasehat dari
Mahkamah Agung, sekedar dengan undang-undang federal tidak ditunjuk pengadilan
yang lain untuk memberi nasehat”. Kemudian pada Pasal 170 ayat (1) UUDS 1950
dinyatakan bahwa “Presiden mempunyai hak memberi grasi dari hukuman-hukuman
yang dijatuhkan oleh keputusan pengadilan, sesudah meminta nasehat dari Mahkamah
Agung”. Selanjutnya dalam UUD 1945 Perubahan menyatakan bahwa Presiden
memberi grasi dengan pertimbangan Mahkamah Agung.27
Berikut ini disajikan dalam tabel perumusan norma di masing-masing
konstitusi yang perna berlaku maupun yang pada saat ini sedang berlaku di Indonesia
yang mengatur hak Presiden perihal pemberian grasi sebagaimana yang telah
dijelaskan sebelumnya:
Tabel 1
Pengaturan Hak Presiden Perihal Pemberian Grasi
Dalam 4 (empat) rezim Konstitusi

UUD 1945 KONSTITUSI RIS UUDS 1950 UUD 1945


Pasal 14 1949 Pasal 170 ayat (1) PERUBAHAN
Pasal 160 ayat (1) Pasal 14 ayat (1)

Presiden Presiden mempunjai Presiden Presiden memberi


memberi grasi, hak memberi ampun mempunyai hak grasi dan
amnesti, abolisi dari hukuman- memberi grasi, rehabilitasi dengan
dan rehabilitasi hukuman jang dari hukuman- memperhatikan
didjatuhkan oleh hukuman yang pertimbangan
keputusan dijatuhkan oleh Mahkamah Agung
kehakiman. Hak itu keputusan
dilakukannja pengadilan. Hak
sesudah meminta itu dilakukannja
nasehat dari sesudah meminta
Mahkamah Agung... nasehat dari
Mahkamah
Agung...

26
Oksep Adhayanto, Eksistensi Hak Prerogatif Presiden Pasca Amandemen UUD 1945, Jurnal
Fisip Umrah Vol. 2, no. 2 (2011):156-174, hlm 167.
Dari tabel di atas dapat dilihat telah terjadi pengurangan (pembatasan) terhadap
hak Presiden dalam memberi grasi yang diatur oleh Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950,
dan UUD 1945 Perubahan, hal ini terlihat dalam rumusan Pasal di masing-masing
konstitusi pada tabel di atas dengan mulai “hilang”nya esensi maupun karakteristik
pelaksanaan hak prerogatif yang dimiliki oleh Presiden dalam memberikan grasi yang
mulanya diatur dalam UUD 1945 sebelum perubahan. Jika di dalam UUD 1945
sebelum perubahan secara tegas dinyatakan bahwa “Presiden berhak untuk
memberikan grasi...”, yang terhadapnya baik dalam rumusan Pasal maupun penjelsan
Pasal tidak disebutkan harus terlebih dahulu berkonsultasi kepada lembaga negara lain
manapun. Yang mana hal tersebut dapat dimaknai sebagai perwujudan atas besarnya
kekuasaan Presiden (eksecutive heavy) pada waktu itu. Maka hak Presiden dalam
meberikan grasi berdasarkan Pasal 14 UUD 1945 sebelum perubahan serta
penjelasannya tersebut identik dengan pengertian hak prerogratif menurut tradisi
dalam sistem monarkhi.
Berbeda halnya dengan Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950, di mana
menurut Oksep Adhayanto dapat dikatakan bahwa kedua konstitusi tersebut sudah
mulai menganut prinsip pembagian kekuasaan atas lembaga negara yang ada. Hal Ini
tercermin dari adanya intervensi dari Mahkamah Agung dalam memberikan masukan
kepada Presiden dalam menggunakan hak prerogatifnya. Namun kondisi tersebut tidak
berlangsung lama ketika diberlakukannya kembali UUD 1945 sebelum perubahan,
yang memberikan porsi yang besar terhadap kekuasaan Presiden. Barulah setelah
dilakukan Perubahn terhadap UUD 1945 kekuasaan Presiden dikurangai (dibatasi)
dengan masuknya lembaga legislatif dan yudikatif kedalam ranah kekuasaan yang
sebelumnya dipegang mutlak oleh Presiden.28
Maka dari itu dalam UUD 1945 Perubahan esensi maupun karakteristik hak
prerogatif Presiden dalam memberi grasi telah hilang, jika dikaitkan dengan
pengertian hak prerogatif dalam sistem monarkhi. Hal ini disebabkan oleh karena hak
presiden dalam memberikan grasi pada pelaksanaannya telah melibatkan lembaga lain
yakni Mahkamah Agung. Oleh karena itu hak Presiden untuk memberikan grasi tidak
dapat lagi disebut sebagai hak prerogatif, karena sebagaimana yang telah dijelaskan
28
Ibid, Dalam hal ini Oksep Adhayanto menjelaskan bahwa penguatan atas lembaga legislatif dan
yudikatif memberikan implikasi yang begitu luas bagi kekuasaan Presiden sebelumnya. Sehingga dengan
kondisi seperti itu, keseimbangan antar lembaga sprastruktur negara dapat terjaga sebagaimana mestinya,
antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lainnya dapat saling memainkan peran pengawasannya
(controlling), hlm 168.
sebelumnya bahwa hakikat hak prerogatif dalam sistem monarkhi mengandung arti
sebagai hak mutlak atau istimewa (privillege) dari seorang kepala negara, dengan
pelaksanaan hak tersebut tanpa campur tangan dari pihak atau lemabaga lain manapun.
Selain itu menurut Bagir Manan hak Presiden yang lazim disebut hak
prerogatif tersebut bersumber dan diciptakan secara hukum oleh dan dalam UUD
1945. Kekuasaan tersebut bukan sekedar terdapat, tetapi sebagai sesuatu yang
diciptakan oleh UUD 1945. Ditinjau dari pengertian hukum (rechtsbegrip), kekuasaan
tersebut tidak mengandung karakter residu, tidak mengandung karakter diskresi,
melainkan kekuasaan yang lingkup dan jenisnya lahir dan ditentukan oleh hukum.
Karena diatur dalam UUD, maka bersifat dan merupakan kekuasaan konstitusional
(constitutional power). Jadi, menurut Bagir Manan sistem ketatanegaraan Indonesia
tidak mengenal kekuasaan prerogatif. Yang ada adalah kekuasaan konstitusional yang
dalam berbagai hal serupa dengan kekuasaan prerogatif.29
Selanjutnya terdapat pula pendapat yang mengatakan bahwa setelah
dihapusnya penjelasan dan dipertegasnya ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 pasca
Perubahan, Presiden hanyalah dapat dikatakan sebagai pemegang kekuasaan
pemerintahan, dalam arti Presiden bertindak selaku kepala pemerintahan, yang harus
dibedakan sebagai kepala negara yang hanya berfungsi sebagai simbol negara. Maka
dalam hal ini Presiden tidak dapat lagi disebut memiliki hak prerogatif karena dasar
konstitusional Presiden sebagai kepala negara yang disebut dalam penjelasan UUD
1945 sebelum perubahan telah ditiadakan/dihapus.30
Dengan demikian berdasarkan pada pengertian hukum tata negara sebagai
hukum positif penggunaan istilah hak prerogatif Presiden dalam memeberi grasi
sesungguhnya tidak dikenal dalam UUD 1945 Perubahan, namun hanya saja dalam
praktik masih kerap digunakan. Oleh sebab itu perlu dipertegas bahwa istilah yang
paling dapat diterima oleh nalar hukum berdasarkan konstruksi yuridis-konstitusi
terhadap hak presiden dalam meberi grasi adalah hak konstitusional Presiden.

D. Relasional Presiden dengan Mahkamah Agung Perihal Pemberian Grasi


Pemberian grasi oleh Presiden merupakan suatu manifestasi pelaksanaan hak
konstitusional Presiden. Oleh karena itu penggunaan hak konstitusional Presiden
Jokowi dalam bentuk pemberian grasi kepada Antasari Azhar seorang terpidana yang

29
Ni'matuI Huda, Op.Cit., hlm 10
30
Oksep Adhayanto,Op.Cit., hlm 26.
dijatuhi hukuman oleh majelis hakim selama 18 (delapan belas) tahun penjara atas
pembunuhan Nasrudin Zulkarnain harus diakui secara yuridis-konstitusi maupun
ideal-teoritis konstitusi merupakan hak konstitusional Presiden.
Hak Presiden dalam memberi grasi yang kemudian diterjemahkan sebagai hak
konstitusional Presiden di bidang yudikatif yang telah ditentukan dalam Pasal 14 ayat
(1) UUD 1945 Perubahan tidak dapat dilaksanakan oleh Presiden dengan serta-merta
tanpa terlebih dahulu memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, karena
ketentuan tersebut selain memberikan hak konstitusional kepada Presiden juga
mengatur mengenai mekanisme yang harus dilaksanakan Presiden dalam memberikan
grasi. Secara substansi pertimbangan Mahkamah Agung dimaksud bersifat fakultatif
(tidak mengikat Presiden), namun secara prosedural-konstitusional pertimbangan
Mahkamah Agung dimaksud bersifat imperatif yaitu suatu keharusan atas perintah
konstitusi. Sehingga apabila mekanisme demikian itu tidak dilaksanakan maka
Presiden dapat dikatakan telah melakukan pelanggaran terhadap konstitusi.
Oleh karena itu ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 Perubahan yang
mengatur keterlibatan Mahkamah Agung dalam memberi grasi bukanlah suatu bentuk
penyimpangan dari sistem pemerintahan presidensial yang telah ditentukan didalam
Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 Perubahan, melainkan suatu bentuk kontrol lembaga lain
terhadap kekuasaan Presiden, bahkan lebih jauh lagi hal itu justru menggambarkan
telah berjalannya mekanisme checks and balances. Karena pasca perubahan UUD
1945 Negara Indonesia telah menganut sistem pemisahan kekuasaan (seperation of
power) disertai dengan prinsip check and balance, yang dengan jelas memisahkan
setiap cabang-cabang kekuasaan sebagai alat-alat kelengkapan negara dengan saling
mengawasi dan mengimbangi satu sama lain, sehingga menciptakan suatu relasional
antara lebaga negara tertentu dalam hal ini Presiden dengan Mahkamah Agung yang
lebih menitik beratkan pada relasional prosedural tertentu antar lembaga negara dan
bukan merupakan suatu relasional yang menyentuh penyelenggaraan kekuasaan
masing-masing lembaga negara tersebut.
Begitu juga sebaliknya bila ditinjau dari sisi kewenangan Mahkamah Agung
sebagai lembaga yudikatif (kekuasaan kehakiman) pemberian grasi oleh Presiden
terhadap seorang terpidana bukanlah suatu bentuk tindakan Presiden yang mereduksi
kekuasaan kehakiman (proses preadilan), karena dalam hal ini antara kekuasaan
kehakiman yang memutus suatu kasus konkrit dengan kekuasaan Presiden memberi
grasi adalah 2 (dua) entitas yang berbeda.
Pemberian grasi bukan merupakan bagian dari proses teknis yuridis/upaya
hukum peradilan apalagi suatu penilaian terhadap putusan hakim, melainkan hak
konstitusional Presiden untuk memberi ampunan kepada seorang terpidana, karena
pada hakikatnya kekuasaan kehakiman itu sendiri adalah kekuasaan yang merdeka,
tidak bisa di intervensi oleh pihak manapun sekalipun oleh Presiden.31
Sejalan dengan hal tersebut Menurut Bagir Manan (dalam Bachtiar Baital)
yang menegaskan bahwa adanya keterlibatan Presiden dalam kekuasaan yudikatif
sesungguhnya merupakan bentuk hubungan ketatanegaraan, karena kelembagaan
ketatanegaraan adalah alat-alat kelengkapan negara sebagai unsur penyelenggara
organisasi negara yang bertindak untuk dan atas nama negara. Maka dalam hal ini
relasional tersebut hanya bersifat check and balances atau relasional prosedural
tertentu dalam lingkup yang bersifat ketatanegaraan yang tidak menyentuh
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.32

E. Grasi Sebagai Hak Konstitusional Presiden di Masa Mendatang


Berangkat dari paham konstitusionalisme yang mengandung gagasan bahwa
suatu pemerintahan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat mengemban
pembatasan kekuasaan (the limited state), yang bertujuan agar penyelenggaraan negara
oleh pemerintahan tidak sewenang-wenang, yang kemudian daripadanya dinyatakan
serta diatur secara tegas dalam pasal-pasal konstitusi.
Dalam pada sistem ketatanegaraan Indonesia paham konstitusionalisme
terkandung pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 Perubahan33 yang menyebutkan bahwa
“kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Di samping itu
ketentuan tersebut juga mengandung konsep democracy dan nomocracy, yang mana di
satu sisi berdasarkan konsep democracy rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi

31
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi (Jakarta :
Bhuana Ilmu Populer, 2008), Menurut Jimly, kekuasaan kehakiman merupakan ciri pokok negara hukum,
karena salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan, hlm 511., Apapun sistem hukum yang dipakai dan sistem pemerintahan
yang dianut, pelaksanaan “the principles of independence and impartiality of the judiciary” harus benar-
benar dijamin di setiap negara demokrasi konstitusional, hlm 252.
32
Bachtiar Baital, Op.Cit. hlm 32.
33
Lihat M. Laica Marzuki, Op.Cit., hlm 4, Menurut M. Laica Marzuki konstitusi bukan segala-
galanya. Konstitusi tidak sekaligus mengandung paham konstitusionalisme. Konstitusi belum tentu
konstitusionalisme. Constitutionalism should be limited government, hlm 6.
(kedaulatan rakyat), di sisi lain penyelenggaraan kekuasaan negara oleh pemerintah
dilaksanakan berdasarkan atas hukum (nomocracy /kedaulatan hukum). Oleh karena
itu dengan kehadiran kedua konsep tersebut dalam UUD 1945 Perubahan menjadikan
Indonesia sebagai negara demokrasi konstitusional.
Indonesia sebagai negara demokrasi konstitusional yang menganut sistem
pemerintahan presidensial tidak mengenal hak yang bersifat mutlak (absolut) seperti
hak prerogatif (hak istimewa/privilieges) melainkan hak konstitusional Presiden,
karena semua kekuasan Presiden secara yuridis-konstitusi diatur dan/atau dibatasi oleh
UUD 1945 Perubahan.
Pemberian grasi berdasarkan UUD 1945 Perubahan yang merupakan hak
konstitusional Presiden dilaksanakan selaku kedudukannya sebagai kepala
pemerintahan yang dapat dibedakan dengan hak prerogatif Presiden selaku
kedudukanya sebagai kepala negara/Raja, adapun perbedaan tersebut dapat dilihat
pada tabel dibawah ini:
Tabel 2
Perbedaan Hak Konstitusional dan Hak Prerogatif

Hak Konstitusional Hak Prerogatif


Bersumber dari rakyat (kedaulatan Bersumber dari Raja (kedaulatan raja).
rakyat). Sebagai residual power.
Hak Presiden selaku kepala Hak Raja/Presiden selaku kepala negara.
pemerintahan. Tidak ada dalam hukum tertulis.
Diatur dalam hukum positif (tertulis). Mutlak/absolut (hak istimewa/privilieges).
Terbatas. Tidak dapat di uji.
Dapat di uji. Merupakan kekuasaan diskresi (fries
Bukan merupakan kekuasaan ermessen, beleid).
diskresi (fries ermessen, beleid). Akan hilang-apabila telah diatur dalam UU
atau UUD.

Pemberian grasi berdasarkan atas hak konstitusional dengan pemberian grasi


berdasarkan atas hak prerogatif baik secara yuridis maupun konseptual berdasarkan
tabel di atas masing-masing mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda. Jika hak
konstitusional merupakan hak Presiden selaku kepala pemerintahan bersumber dari
rakyat dan terbatas serta diatur dalam hukum positif maka konsekuensinya
penggunaan hak konstitusional demikian itu dapat di uji oleh lembaga lain yang
ditunjuk oleh hukum (UUD/UU) untuk itu. Sedangkan hak prerogatif yang merupakan
hak Raja/Presiden bersumber dari kedaulatan Raja/hak yang melekat pada Presiden
selaku kepala negara, sebagai residual power dan mutlak/absolut (hak
istimewa/privilieges) serta tidak ada/diatur dalam hukum tertulis atau dengan kata lain
merupakan kekuasaan diskresi (fries ermessen, beleid), sehingga konsekuensinya hak
prerogatif tidak dapat diganggugugat/diuji oleh lembaga lain, karena itu sudah menjadi
esensi/karakteristik dasar dari eksistensi hak prerogatif.
Berdasarkan fenomena hukum yang terjadi terhadap keputusan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono yang memberi grasi kepada Schapelle Leigh Corby terpidana
Narkotika, yang oleh masyarakat merasa kepentingan hukumnya dirugikan atas
keputusan tersebut mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta
(Pengadilan TUN), namun kandas (tidak diterima) pada tahap dismissal prosces
karena Pengadilan TUN Jakarta berpendapat bahwa sengketa tersebut bukan
merupakan kewenangan (kompetensi absolut) pengadilan tata usaha negara, dengan
alasan bahwa grasi ialah hak prerogatif Presiden sehingga bukan merupakan obyek
sengketa tata usaha negara yang dapat diujui dan diadili serta diputus oleh pengadilan
tata usaha negara.34
Pendapat Pengadilan TUN Jakarta yang menyebutkan grasi sebagai hak
prerogatif Presiden merupakan suatu bentuk pengingkaran terhadap paham
konstitusionalisme yang terkadung dalam UUD 1945 Perubahan, karena pasca
perubahan UUD 1945 sudah tidak mengenal istilah hak prerogatif melainkan hak
konstitusional karena istilah Prerogatif demikian itu mempunyai karakteristik
mutlak/absolut (tidak terbatas) yang tidak dapat diganggugugat, sehingga sudah tidak
relevan dengan UUD 1945 Perubahan serta nilai-nilai yang hidup di masyarakat pada
saat ini.
Maka untuk di masa mendatang agar maksud dan tujuan dari pemberian grasi
yang diatur dalam UUD 1945 Perubahan dapat terwujud diperlukan pengaturan (dalam
UU) yang menyatakan secara tegas memberikan kewenangan kepada lembaga
yudikatif (kehakiman/Peradilan TUN) untuk menguji dan mengadili serta memutus
secara hukum penggunaan hak konstitusional Presiden dalam memberi grasi terhadap
terpidana, agar dapat menciptakan kepastian hukum sesuai dengan amanat UUD 1945
Perubahan. Lebih jauh lagi pemeberian kewenangan tersebut merupakan suatu bentuk
tindakan antisipatif terhadap potensi penyalahgunaan hak konstitusional Presiden

34
Lihat pertimbangan hukum Penetapan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta
No:89/G/2012/PTUN-JKT.
dalam meberi grasi. Dengan adanya hal demikian hak konstitusional Presiden dalam
memberi grasi dapat selalu diawasi dan terjaga dari aspek hukum agar tidak digunakan
untuk kepentingan-kepentingan pribadi maupun kelompok tertentu yang dapat
merugikan hak konstitusional warga negara.

III. Kesimpulan
Pemaknaan dan/atau penggunaaan istilah yang berbeda disetiap rezim
konstitusi baik yang perna berlaku di Indonesia maupun yang pada saat ini sedang
berlaku terhadap hak Presiden dalam memberi grasi ialah merupakan suatu
keniscayaan atas implikasi dan akibat dari penggunaan sistem, paham dan/atau prinsip
yang diadopsi oleh masing-masing konstitusi, terlebih terhadap UUD 1945 Perubahan
yang secara nyata-nyata mengadopsi paham konstitusionalisme dan prinsip pemisahan
kekuasaan (separation of power) disertai dengan prinsip check and balance.
Merujuk pada pengertian hukum tata negara sebagai hukum positif maka
penggunaan istilah hak prerogatif Presiden dalam memberi grasi sesungguhnya tidak
dikenal dalam konstruksi UUD 1945 Perubahan, hanya saja dalam praktik hak
Presiden demikian masih kerap digunakan. Oleh sebab itu perlu dipertegas bahwa
istilah yang paling dapat diterima oleh nalar hukum berdasarkan konstruksi yuridis-
konstitusi adalah hak konstitusional Presiden.
Relasional Presiden dengan Mahkamah Agung terhadap pelaksanaan hak
konstitusional Presiden dalam memberi grasi sebagaiaman yang diatur dalam Pasal 14
ayat (1) UUD 1945 Perubahan bukanlah suatu bentuk penyimpangan dari sistem
pemerintahan presidensial yang telah ditentukan didalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945
Perubahan melainkan merupakan suatu bentuk relasional ketatanegaraan (chack and
balance), yang lebih menitik beratkan pada hubungan prosedural tertentu dalam
lingkup yang bersifat ketatanegaraan yang tidak menyentuh penyelenggaraan
kekuasaan masing-masing lembaga negara tersebut.
Pemberian grasi sebagai hak konstitusional Presiden untuk di masa mendatang
agar maksud dan tujuan dari pemberian grasi yang diatur dalam UUD 1945 Perubahan
dapat terwujud diperlukan pengaturan (dalam UU) yang menyatakan secara eksplisit
bahwa grasi sebagai hak konstitusional presiden yang pelaksanaannya dikonkritisir
melalui keputusan Presiden adalah merupakan obyek sengketa peradilan tata usaha
negara dan oleh karenanya merupkan kompetensi absolut Pradilan Tata Usaha Negara.
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika,
2011.
________, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta :
Sinar Grafika, 2012.
________, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta :
Bhuana Ilmu Populer, 2008.
Dicey, A.V., Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Terjemahan oleh
Nurhadi, Pengantar Studi Hukum Konstitusi, Bandung : Nusa Media, 2014.
Mahfud, Moh. MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Raja
wali Pers:Jakarta. 2011.
Simorangkir, C.T., Kamus Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2004.
Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta : Liberty, 2005.
Soemantri, Sri, Hukum Tata Negara Indonesia Pemikiran dan Pandangan, Bandung :
Remaja Rosdakarya, 2015.
Strong, C.F., Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang Sejarah
dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, terjemahan Derta Sri Widowatie, Bandung:
Nusamedia, 2004.
Wheare, K.C., Konstitusi-konstitusi Modern, Terjemahan Imam Baehaqie, Bandung:
Nusamedia, 2015.
Artikel Jurnal
Bachtiar Baital, Pertanggungjawaban Penggunaan Hak Prerogatif Presiden Di Bidang
Yudikatif Dalam Menjamin Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman, Jurnal Cita
Hukum, Vol. I No. 1 (Juni 2014): 20-38.
M. Laica Marzuki, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jurnal Konstitusi, Volume 7, No. 4,
(Agustus 2010): 1-8.
Ni'matuI Huda, Hak Prerogatif Presiden dalam Perspektif Hukum Tata Negara Indonesia,
Jurnal Hukum. No. 18 Vol. 8 (Oktober 2001): 1–18.
Oksep Adhayanto, Eksistensi Hak Prerogatif Presiden Pasca Amandemen UUD 1945,
Jurnal Fisip Umrah Vol. 2, No. 2 (2011): 156-174.
Internet
Kamus Besar Bahasa Indonesia (versi online), “Grasi”, http://kbbi.web.id/grasi (diakses
pada tanggal 3 Maret 2017).
Kumparan, “Istana Pemberian Grasi untuk Antasari Sesuai Pertimbangan MA,”
https://kumparan.com/teuku-muhammad-valdy-arief/istana-pemberian-grasi-untuk-
antasari-sesuai-pertimbangan-ma diakses pada tanggal 22 Februari 2017.
Nasional Kompas, “SBY Tuding Grasi Antasari Bermotif Politis Apa Kata Jokowi”
http://nasional.kompas.com/read/2017/02/15/12592381/sby.tuding.grasi.antasari.ber
motif.politis.apa.kata.jokowi (diakses pada tanggal 22 Februari 2017).

Anda mungkin juga menyukai