Anda di halaman 1dari 17

MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA
--------------------------------
BERITA ACARA PERSIDANGAN
PERKARA NOMOR 56/PUU-XXI/2023

PERIHAL

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG PASAL 169 HURUF N


DAN PASAL 227 HURUF I UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG
PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG
DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

ACARA

MENDENGARKAN KETERANGAN AHLI


PRESIDEN/PEMERINTAH DAN DPR

(V)

JAKARTA

SENIN, 24 juli 2023


BERITA ACARA PERSIDANGAN

PERKARA NOMOR 56/PUU-XXI/2023

Sidang Pleno Pemeriksaan Persidangan Mahkamah Konstitusi


yang mengabdi pada tingkat pertama dan terakhir yang bersidang di
gedung yang telah ditentukan untuk itu di Gedung Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia Jalan, medan Merdeka Barat Nomor
No 6, Jakarta Pusat, pada:………

Senin, 24 juli 2023, Pukul 10.00 WIB

Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang Pasal 222 Undang-


Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Terhadap
Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat
(3), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diajukan oleh: Muchdi
purwopranjono yang beralamat di Jl. Taman margasatwa raya Nomor
11, RT 001, RW 001, Rangunan, kecamatan pasar minggu, Jakarta
Selatan, Indonesia. Fauzan Rachmansyah yang beralamat di Jl.
Taman margasatwa raya Nomor 11, RT 001, RW 001, Rangunan,
kecamatan pasar minggu, Jakarta Selatan, Indonesia; dan Bambang
Wahyu Wiyono yang beralamat di Jl. Rambutan No. 47 Kav. 12A RT
003/06 Kec. Pasar Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus
Ibukota Jakarta yang dalam hal ini bertindak sebagai PARA
PEMOHON;

Berdasarkan surat kuasa khusus Nomor


01.56/SKK.PUU/VI/2022 tanggal 13 Juni 2022 memberi kuasa
kepada Belyana Vega, F.R, S.H., LLM. dan Sabyna Adilla, S.H.,
LLM. sebagai advokat/kuasa hukum pada kantor Hukum “SB
Lawfirm’’, memilih domisili hukum di Jalan KH. Mas Mansyur Nomor.
18, RT 08/RW 12, Kecamatan Tanah abang, kota Jakarta pusat,
Daerah khusus ibukota Jakarta 12710, Capital place 36&37, jalan
jenderal Gatot Subroto Nomor Kav 18, RT.6/RW 1. Baik secara
sendiri-sendiri maupun bersama-sama bertindak untuk dan atas
nama pemberi kuasa; untuk selanjutnya disebut sebagai
--------------------------- PARA PEMOHON;

Susunan Majelis Hakim:

SUSUNAN PERSIDANGAN
1) Prof. Dr. Tumpal Paskalis, S.H., M.H. Hakim Ketua
Dr. Naufal Alfian Tri Pamungkas, S.H.,
2) Hakim Anggota
M.H.
3) Dr. Vanya Nike Sasmito, S.H., M.H. Hakim Anggota
4) Dr. Azra Balqis, S.H., M.H. Hakim Anggota
5) Dr. Iksanudin Nursantoso, S.H., M.H. Hakim Anggota
6) Dr. Stefanus Sianturi, S.H., M.H. Hakim Anggota
7) Dr. Bayu Krisna Ari Sadewa, S.H., M.H. Hakim Anggota
Panitera Pengganti

Setelah pihak-pihak dipanggil masuk ruang sidang, pada pukul


10.00 WIB sidang dibuka oleh Ketua Majelis dan dinyatakan terbuka
untuk umum serta menanyakan kehadiran para pihak.

Para Pemohon Perkara Nomor 56/PUU-XXI/2023 hadir yaitu


Muchdi purwopranjono, dan Fauzan Rachmansyah, beserta para kuasa
hukumnya yaitu kepada Belyana Vega, F.R., S.H., LLM. dan Sabyna Adilla, S.H.,
LLM.

Pihak Pemerintah hadir yaitu Prof. Putri Inayah, S.H., M.H. beserta saksi
ahlinya Dr. Datuk Muhammad Haidir Ali, S.H., M.H. dan Pihak DPR hadir yaitu
M.mun’am Syaiful Huda S.H., M.H. dan Fathima Najma Z. G, S.IP, M.IP.
Beserta saksi ahlinya Dr. Nathasya Berlian, S.H., M.H.

Hakim Ketua Majelis menjelaskan kepada Para Pihak bahwa


acara sidang hari ini adalah Mendengarkan Keterangan Ahli dari
Termohon dan memerintahkan kepada para ahli disumpah terlebih
dahulu sebelum dimintai keterangan.

Selanjutnya atas pertanyaan Hakim Ketua Majelis, Ahli DPR Dr.


Nathasya Berlian, S.H., M.H. membacakan keterangan:
KETERANGAN PIHAK TERKAIT-----------------------------------------------

Perihal pokok perkara yaitu pengujian Pasal 169 Huruf N dan


pasal 227 Huruf I Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang
Pemilu.

1. Ali Moertopo menyatakan bahwasanya Pemilu merupakan sarana


yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatannya
sesuai dengan azas yang bermaktub dalam Pembukaan UUD
1945. Pemilu itu sendiri pada dasarnya adalah suatu
Lembaga Demokrasi yang memilih anggota-anggota perwakilan
rakyat dalam MPR, DPR, DPRD, yang pada gilirannya
bertugas untuk bersama-sama dengan pemerintah,
menetapkan politik dan jalannya pemerintahan negara.
Selanjutnya dalam Teori Konstitusi, yang merupakan Unsur pokok
yang di pelajari dalam Hukum Tata Negara. Konstitusisen ini
berasal dari bahasa Perancis “constituir” yang berarti membentuk.
Dengan demikian secara sederhana konstitusi dapat diartikan
sebagai peraturan dasar mengenai pembentukan Negara. Terdapat
perbedaan tentang penunjukan peristilahan dan pengertian
konstitusi di berbagai Negara. Di Indonesia istilah konstitusi juga
dikenal dengan sebutan Undang-Undang Dasar, begitu juga di
Belanda disamping dikenal istilah “groundwet” (Undang-Undang
Dasar) juga dikenal pula dengan istilah “constitutie”. Pelaksanaan
Pemilu didasarkan pada Pasal 22 E Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Hal tersebut menunjukan bahwa
apabila sudah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan,
maka siapapun berhak dan berkewajiban untuk melaksanakan
Pemilu.
2. Presidential threshold adalah pengaturan tingkat ambang batas
dukungan dari DPR, baik dalam bentuk jumlah perolehan suara
atau jumlah perolehan kursi yang harus diperoleh partai politik
peserta pemilu agar dapat mencalonkan Presiden dari partai
politik tersebut atau dengan gabungan partai politik. Artinya,
presidential threshold menjadi syarat bagi seseorang untuk dapat
mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden di
pemilihan umum (pemilu). Presidential threshold merupakan
ketentuan tambahan mengenai pengaturan tentang syarat
pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dalam Pasal 6A ayat (2)
yang menyatakan bahwa “pasangan calon presiden dan wakil
presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu”. Aturan tentang
Presidential Threshold sendiri tercantum dalam Bab VI Pasal 222
Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu hasil revisi
UU Pemilu tahun 2008. Artinya, partai politik dapat mengajukan
calon presiden dan wakilnya jika memperoleh 20 persen kursi di
DPR berdasarkan hasil pemilihan umum 2014 atau dengan
memperoleh 25 persen suara nasional. Kebijakan ini dapat
dikatakan lebih demokratis karena tidak mengancam eksistensi
partai politik dalam mengajukan pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden. Kebijakan aturan ambang batas pencalonan
presiden atau presidential threshold ini jelas untuk memperkuat
sistem presidensial, dalam sistem presidensial, presiden dan wakil
presiden yang telah dipilih secara langsung oleh rakyat akan
memiliki kedudukan yang kuat secara politik. Hal itu membuat
presiden dan wakil presiden tidak dapat diberhentikan secara
mudah karena alasan politik. Kemudian penerapan presidential
threshold adalah demi efektivitas penyelenggaraan pemerintahan
dan menyederhanakan sistem multipartai melalui seleksi alam.
Berdasarkan Teori Konstitusi secara prinsipil dan secara
yuridis, baik formil maupun materil, persyaratan Presidential
Threshold ialah konstitusional. Menurut Jimly Asshidiqie, dalam
makalahnya berjudul “Memperkuat Sistem Pemerintahan
Presidensial (2011)” pengaturan ambang batas (threshold) yakni
mekanisme yang digunakan dalam sistem pemerintahan presidensial
dengan multipartai. Presiden membutuhkan dukungan mayoritas di
parlemen. Sebab, tanpa dukungan mutlak, presiden sangat mungkin
menjadi kurang decisive (penentu) dalam upaya menggerakan
jalannya pemerintahan dan pembangunan. Dengan adanya sistem
threshold ini, dalam jangka panjang diharapkan dapat menjamin
penyederhanaan jumlah partai politik di masa yang akan datang.
Makin tinggi angka ambang batasnya diasumsikan semakin cepat
pula upaya mencapai penyederhanaan jumlah partai politik. Merujuk
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.3/PUU-VII/2009 mengenai
presidential threshold merupakan kebijakan yang lebih demokratis
karena tidak mengancam eksistensi partai politik dalam mengajukan
pasangan calon presiden dan wakil presiden. Presidential threshold
dianggap tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945 karena tidak
menegasikan prinsip kedaulatan rakyat, serta tidak bersifat
diskriminatif karena berlaku untuk semua partai politik. Sedangkan
menurut Putusan Mahkamah Konstitusi No.14/PUU-XI/2013
ketentuan mengenai Presidential Threshold merupakan kebijakan
hukum terbuka (open legal policy) dari pembentuk undang-undang.
Istilah kebijakan hukum terbuka ini dimaknai sebagai suatu
kebebasan pembentuk undang-undang untuk mengambil kebijakan
hukum terkait presidential threshold ini. Karena itulah, dalam sistem
pemerintahan presidensial, Indonesia dalam sistem pemilunya masih
menganut sistem presidential threshold yang hingga kini masih terus
dipersoalkan di MK melalui pengujian Pasal 222 UU Pemilu

Selanjutnya atas pertanyaan Hakim Ketua Majelis, Ahli


Termohon DPR Prof. Dr. Rachman Adi Wibowo, S.H., M.H.
membacakan keterangan:

KETERANGAN PIHAK TERKAIT-----------------------------------------------

pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945 secara tegas menyatakan bahwa "Negara
Indonesia adalah negara hukum" Sebagai Negara hukum maka
seluruh aspek dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan
kenegaraan termasuk pemerintahan harus senanatiasa berdasarkan
atas hukum tiga ide dasar hukum adalah keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukum kepastian hukum dimaknai dengan kondisi di
mana hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati.
Menurut Penjelasan Umum UUD 1945, khususnya penjelasan
tentang Sistem Pemerintahan Negara dinyatakan "Negara Indonesia
berdasar atas hukum (Rechsstaat), tidak berdasarkan atas
kekuasaan belaka (Machtsstaat)" Berdasarkan pernyataan di atas,
kemudian muncul istilah "Supremasi Hukum dengan tatanan hukum
inilah membawa suatu konsekwensi, bahwa pembangunan hukum di
Indonesia diarahkan agar mampu berperan dalam menunjang
pembangunan segala bidang, sehingga dibutuhkan pemimpin bangsa
yang sudah masuk syarat dan mempunyai kompetensi yang baik.
Tujuan hukum sebagaimana dikemukakan oleh Gustav
Radbruch yakni mencapai keadilan, kemanfaatan dan kepastian
hukum. Kepastian hukum mengandung dua hal yaitu adanya aturan
yang bersifat umum sehingga semua orang mengetahui perbuatan
apa yang boleh dan tidak boleh melakukannya serta adanya
keamanan hukum yang menyebabkan pemerintah atau pihak lain
tidak dibenarkan berbuat sewenang-wenang atas nama hukum. Nilai
kepastian hukum merupakan nilai yang pada prinsipnya
memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga negara dari
kekuasaan yang bertindak sewenang-wenang, sehingga hukum
memberikan tanggung jawab pada negara untuk dapat memberikan
jaminan perlindungan bagi setiap warga negaranya. Perlu kita
ketahui juga, bahwa dalam dalam pasal 6 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan dijelaskan bahwa Materi muatan Peraturan Perundang-
undangan harus mencerminkan asas: a. pengayoman; b.
kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f.
bhinneka tunggal ika; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam
hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum;
dan/atau j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan Jika melihat
ketentuan tersebut maka secara umum asas-asas yang dijadikan
dasar dalam pembentukan undang-undang dalam hal ini adalah
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
haruslah memberikan suatu cerminan sikap mengedepankan
keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Untuk mencapai tujuan utama sebagai negara hukum yang
menciptakan kesejahteraan bangsa, maka diperlukan seperangkat
peraturan perundang-undangan yang mengatur kehidupan
masyarakat agar tercipta ketertiban hukum (revhtsorde, legal order)
yang dilandasi oleh falsafah Pancasila dan UUD 1945. Tujuan
dibentuknya undang-undang di negara hukum adalah untuk
menciptakan suasana kesejahteraan masyarakat. Jika mengacu
dalam teori hukum yang dianut oleh negara-negara barat, dapat
diberikan asumsi jika terdapat kepastian hukum, orang yang tidak
mengerti hal yang harus dipatuhi sesuai kaidah dan norma
kehidupan akan timbul sebuah kehidupan yang penuh
ketidakpastian. Kehidupan yang penuh ketidakpastian tersebut akan
menimbulkan kekerasan dalam kehidupan masyarakat menunjuk
pada keberlakuan hukum jelas, tetap dan konsisten dimana
pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang
sifatnya subjektif. Kepastian hukum yang dimaksudkan bukan hanya
tentang segala pasal-pasal yang telah diatur dalam undang-undang,
melainkan kepastian hukum tersebut dibutuhkan sebuah konsistensi
dari putusan-putusan hakim yang sudah dilakukan di ranah lain
maupun putusan terdahulu.
Kemudian asas adil juga perlu dipahami sebagai sebuah
fasilitas yang memberikan hak-hak kepada siapa saja sesuai dengan
asas jika semua orang sama kedudukannya di muka hukum. Sebuah
keadilan juga dibutuhkan dilakukan secara seimbang dalam
melaksanakan kewajiban dan persamaan hak yang didapat.
Peraturan hukum tersebut kemudian akan diterapkan dengan
memberi sanksi dan larangan terhadap para anggota masyarakat
berdasarkan peraturan yang telah dibuat itu, perbuatan apa yang
diperbolehkan dan dilarang dilakukan. . Namun juga harus
dikeluarkan peraturan yang mengatur tata cara dan tata tertib untuk
melaksanakan peraturan substantif tersebut yaitu bersifat
prosedural.
Asas dari tujuan hukum lainnya yakni soal asas kemanfaatan.
Ketika berbicara menegnai asas kemanfaatan di samping kepastian
hukum dan keadilan. Sebuah utilitas yang pernah dijabarkan Jeremy
Bentham adalah hal yang ditamakan dalam hukum karena
Tindakan-tindakan manusia disadari atau tidak kesungguhannya
menjadi titik acuan menata kehidupan, termasuk dalam pembatasan
pilihan pemimpin..
Relevansi tujuan hukum tersebut dengan tujuan hukum
pemilu yaitu untuk mengaplikasikan bagaimana undang-Undang
No.7 Tahun 2017, jika pemilu harus dilaksanakan untuk menjamin
cita-cita nasional agara dapat tercapai sesuai dengan tujuan nasional
bangsa pada akhirnya. Dalam UUD NRI 1945. Dalam pembukaan
UUD 1945 (1) Untuk memilih anggota DPR-RI, DPD-RI, Presiden dan
Wakil Presiden serta DPRD, sebagai sarana perwujudan kedaulatan
rakyat, untuk menghasilkan wakil rakyat dan pemerintahan negara
yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”; “(2)
diperlukan adanya hukum yang mengatur terwujudnya pelaksanaan
pemilu, sebagai perwujudan sistem ketatanegaraan yang demokrtis
dan berintegritas, demi menjamin konsistensi dan kepastian hukum
serta pemilu yang efektif dan efisien;” “(3) Pemilu wajib menjamin
tersalurkannya suara rakyat secara langsung, umum, bebas,
rahasia , jujur dan adil.
Pengujian peraturan perundang-undangan telah dikenal lama
dalam berbagai tradisi hukum global (global legal tradition). Ada yang
dikenal dengan istilah toetsingsrecht dan istilah judicial review.
Apabila diartikan secara etimologis dan terminologis, toetsingrecht
berarti hak menguji, sedangkan judicial review berarti peninjauan
oleh lembaga pengadilan. Sistem pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar oleh badan kehakiman dimaksudkan untuk
melindungi konstitusi dari kesewenang-wenangan para
penyelenggara negara terutama parlemen. Menurut teori supremasi
konstitusi, Undang-Undang Dasar adalah bentuk norma hukum
tertinggi dalam suatu, negara sehingga semua konstitusi negara
termasuk institusi perwakilan rakyat terikat dan tunduk pada
kaidah-kaidah dalam UUD. Sebagai lembaga yang berwenang
melindungi kedudukan tertinggi, kaidah-kaidah dalam Undang-
Undang Dasarnya adalah kekuasaan kehakiman melalui apa yang
disebut pengujian undang-undang.
Berdasarkan alasan tersebut, pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik seharusnya dilandasi dengan kajian
yang bersifat empiris dengan melibatkan partisipasi masyarakat
secara aktif. Dengan dilaksanakannya unsur-unsur tersebut, maka
pembentukan peraturan perundang-undangan tidak hanya
merupakan kehendak para pembentuk peraturan perundang-
undangan dan bersifat top down, tetapi juga berdasarkan aspirasi
dari masyarakat untuk turut serta mempengaruhi proses
pengambilan kebijakan.
Salah satu tujuan dasar yang dimaksudkan dalam
pembentukan Undang-undang pemilu adalah memastikan rakyat
mendapatkan calon pemimpin yang berkualitas untuk memimpin
jalan cita-cita bangsa yang makmur dan mensejahterakan rakyatnya
sesuai dengan kepentingan nasional diatas kepentingan individu
maupun partai politik sekalipun ini tidak berarti kepentingan
individu atau golongan tertentu dapat dikorbankan begitu saja untuk
kepentingan umum. Hal ini terlihat secara tegas dalam berbagai
ketentuan dari Undang-Undang Pemilihan Umum antara lain yaitu :
1. Pasal 1; Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan
Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan demikian pengertian fungsi pemilihan umum adalah
jalan untuk menyelaraskan kebutuhan nasional untuk memilih
pemimpin berkualitas di Indonesia.. Bahwa keperluan untuk dapat
dipilih oleh rakyat tidak Bisa diperkenankan semata-mata untuk
kepentingan pribadi, atau golongan kelompok lain, pemilihan harus
disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari haknya sehingga
bermanfaat, baik untuk kesejahteraan dan kebahagiaan dan juga
bermanfaat untuk masyarakat dan kepentingan perorangan harus
saling imbang mengimbangi.
2. Pada pasal 4 UU Pemilihan umum bahwa pengaturan yang
berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu memiliki tujuan untuk
memperkuat sistem ketatanegaraan bangsa, mewujudkan pemilu
yang adil dan berintegritas, menjamin konsistensi oengaturan
sistem pemil, memberikan kepastian hukum dan mencegah
duplikasi dalam pengaturan pemil, dan mewujudkan pemilu yang
efektif dan efisien
Dengan melihat terkait melekatnya pengaturan terkait
penyelenggaraan pemilu yang memiliki alasan agar terwujudnya
pemilu yang efektif, efisien, berintegritas, pemilih dapat memastikan
calon pemimpin yang berkualitas dan politik dalam negara yang
stabil, hal ini menjadi dasar dalam ambang batas untuk demi
terwujudnya hal-hal tersebut, yang selengkapnya diatur dalam UU
No. 7 Tahun 2017

Selanjutnya atas pertanyaan Hakim Ketua Majelis, Ahli


Termohon Pemerintah Dr. Ary Muktian Syah, S.Sos., M.Si.
membacakan keterangan:

KETERANGAN PIHAK TERKAIT-----------------------------------------------

Sebagai saksi ahli yang berfokus pada Teori Politik serta


Demokrasi dan juga mengamati dinamika perjalanan Pemilihan
Umum dari tahun ke tahun, maka Ary Muktian Syah sebagai saksi
ahli pemerintah, memberikan keterangan saksi dalam pengujian
undang-undang dengan nomor perkara Nomor 70/PUU-V/2022 .
Dalam keterangan ini memberikan keterangan sebagaimana
kapabilitas ahli sebagai Akademisi mengenai Partai Politik dan
Penyederhanaan sistem Multipartai di sistem Presidensil sehubungan
perkara yang sedang berlangsung sebagai berikut:
1. Sistem pemerintahan pada dasarnya adalah sistem yang
menentukan dan mengatur bagaimana hubungan antar alat
kelengkapan negara yang diatur melalui konstitusi. Antar alat
kelengkapan negara apabila melebihi wewenang atau fungsinya,
hal tersebut dapat mempengaruhi komponen lainnya dan dapat
membuat alat kelengkapan negara lebih dominan dari alat
kelengkapan lainnya. Sistem pemerintahan yang ada pada
dasarnya mengatur hubungan antara kekuasaan eksekutif yang
biasanya dipimpin oleh Perdana Menteri/Presiden dan kekuasaan
legislative yang dipegang oleh Parlemen.
2. Dalam sistem pemerintahan presidensil Presiden bukan dipilih
oleh Parlemen, tetapi bersama parlemen dipilih langsung oleh
rakyat melalui pemilihan umum. Sehingga kedudukan keduanya
sama. Kelebihan dalam sistem presidensil ialah pemerintahan
yang dijalankan oleh eksekutif berjalan stabil dan sesuai
sebagaimana konstitusi, sedangkan kelemahannya dimana setiap
kebijakan pemerintahan yang diambil adalah bargaining position
antara pihak legislative dan eksekutif yang artinya ada
pengutamaan sikap representative-elitis bukannya partisipatif-
populis.
3. Indonesia melalui UUD NRI 1945 menganut sistem pemerintahan
presidensial yang mana pengejawantahan dari sistem ini harus
konsisten melalui pengaturan sistem kepartaian, sistem pemilu
legislative dan sistem pemilu presiden. Dalam sistem kepartaian
di Indonesia meskipun menganut sistem presidensial yang
umumnya kepartaiannya bukan multi-partai, justru di Indonesia
diterapkan multi-partai ekstrim dengan fungsi penting yang
diberikan oleh konstitusi pada Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E
ayat (3) UUD NRI 1945. Selain mendapatkan jaminan konstitusi,
partai politik juga tumbuh banyak karena majemuknya
masyarakat Indonesia. Padahal dalam kondisi sistem
presidensial, dengan banyaknya partai politik justru bukan
pilihan yang ideal.
4. Dalam sistem presidensial di Indonesia, presiden membutuhkan
dukungan legislative dari partai-partai di parlemen. Apabila partai
pengusung presiden bukan partai mayoritas di parlemen maka
dibutuhkan koalisi untuk membantu presiden menjalankan
pemerintahannya, namun menurut Scott Mainwaring membentuk
koalisi di dalam sistem presidensial merupakan hal yang sulit dan
bertambah sulit bila sistem kepartaiannya multipartai.
Kebutuhan akan ini sayangnya terkendala karena sistem
multipartai saat ini tidak bisa menghasilkan Lembaga legislative
yang solid karena perolehan kursi di parlemen terdistribusi oleh
banyak partai dengan kepentingan politik yang berbeda-beda.
Pun kalaupun ada kepentingan yang menghendaki partai politik
berkoalisi, umumnya koalisi tersebut diikat oleh kepentingan
jangka pendek dan bukan visi jangka Panjang.
5. Multipartai sebagai tantangan dalam sistem presidensial sudah
seharusnya perlu dibenahi, Scott Mainwaring terhadap hal itu
menegaskan bahwa the combination of a fractionalized party
system and presidentialism is inconductive to democractic stability
because it easily difficulties in the relationship between the
president and the conress. Dalam sistem presidensial dengan
multipartai, DPR nantinya akan diisi oleh banyak partai dan
menyebabkan ruang ketegangan antara eksekutif dengan
legislative, sehingga dapat terjadi ketidakstabilan pemerintahan
dan kebuntuan pemerintahan. Salah satu cara atau jalan
tengahnya adalah penyederhanaan partai politik melalui
kerangka konstitusional dan implementatif dalam sistem
pemilihan yang dapat merekayasa atau mempersedikit jumlah
partai di Lembaga legislative.
6. Beberapa langkah dan strategi penyederhanaan partai politik
melalui kebijakan pemerintah sudah dicoba seperti; (1)
Memperberat syarat pendirian partai, (2) Memperberat syarat
parpol memperoleh badan hukum; (3) Memperberat syarat parpol
untuk ikut Pemilu; (4) Menerapkan ambang batas bagi partai
politik untuk dapat mengikuti pemilu (electoral threshold); dan (5)
Menerapkan ambang batas bagi partai politik untuk dapat
mengirimkan wakilnya di parlemen dan mengusung presiden
(parliamentary threshold / presidential threshold). Langkah-
langkah ini memiliki trend diperkuat karena kebutuhan akan
penyederhanaan partai semakin tinggi, salah satunya adalah
menaikan ambang batas parlemen yang dianggap efektif dalam
menyederhanakan partai politik. Sehingga pada perancangan
RUU Pemilu 2017 fraksi di DPR ditawarkan opsi mengenai
kenaikan ambang batas parlemen hingga 5-10%. Meskipun
ambang batas parlemen merupakan instrument positif dan teruji
dalam mengkonsolidasikan fragmentasi kekuatan politik di DPR,
pada akhirnya angka ambang batas parlemen disepakati adalah
4%.
7. Selain melalui langkah dan strategi di atas, ada beberapa langkah
agar penyederhanaan partai dapat diwujudkan dalam
mendukung efektifitas pemerintahan berbasis presidensial di
Indonesia. Pertama adalah diadakannya pemilu serentak. Dalam
pemilu serentak, oleh Shugart dijelaskan bahwa konsekuensi
diadakannya pemilu serentak presiden dengan legislative dapat
menimbulkan coattail effect dimana hasil pemilihan presiden
akan mempengaruhi pemilihan anggota legislative yang artinya
ada signifikasi atas pilihan yang dilakukan masyarakat pada
pemilu Presiden dengan pilihan pada parpol dalam pemilu
legislative. Hal ini disebabkan karena adanya hubungan positif
antara kekuatan electoral calon presiden dengan partai yang
mengusungnya, dimana calon presiden yang popular dan
elektabilitas yang tinggi akan memberikan sumbangsih positif
secara electoral pada partai yang mengusung atau
mendukungnya.
8. Efek adanya coattail effect dan pemilu serentak ini berimplikasi
pada beberapa hal, pertama, peningkatan efektifitas
pemerintahan yang lebih stabil karena presiden dan partai
pengusungnya sama maka meminimalisi konflik eksekutif-
legislatif, instabilitas dan jalan buntu politik sebagai konsekuensi
komplikasi skema sistem presidensial berbasis multipartai
sebagaimana disampaikan Juan Linz dan Scott Mainwaring.
Kedua, partai politik harus membentuk koalisi politik sebelum
pemilu sehinngga harapannya ada pengubahan orientasi koalisi
dari bersifat jangka pendek dan opurtunistik menjadi koalisi
berbasis kesamaan ideologi, visi dan platform politik dan efeknya
adalah tegaknya disiplin parpol, sehingga harapannya orientasi
politisi pun bisa berubah dari office-seeking menjadi policy-
seeking. Ketiga, terjadinya penyederhanaan sistem kepartaian
menjadi sistem multipartai sederhana (moderat), dimana akibat
terpilihnya partai politik atau gabungan partai politik yang sama
dalam pemilu, fragmentasi partai politik di parlemen dapat
berkurang dan harapannya terbentuk sistem multipartai
moderat dengan hanya 5-7 partai saja.
9. Selain pemilu serentak, diterapkannya presidential threshold pun
dapat menjadi katalis dalam upaya penyederhanaan partai
politik. Dimana adanya ketentuan angka ambang batas
pencalonan presiden dan wakil presiden sebesar 20% kursi DPR
dan 25% suara nasional mengharuskan partai politik berkoalisi
sejak awal jauh sebelum diadakannya pemilu. Sehingga mau
tidak mau harus ada penyamaan visi misi dari platform politik
yang beragam dan diejawantahkan secara simultan melalui
progam-program kampanye yang seragam antara calon presiden
dan wakil presiden dengan koalisi partai politik pengusung. Hal
ini, sebagaimana dijelaskan di atas mengenai coattail effect,
membuat rakyat memiliki referensi dan prefensi yang sama ketika
memilih calon presiden dan legislative serta partai politik di
pemilu. Dan apabila calon presiden yang diusung partai atau
gabungan partai politik menang, maka para partai politik tersebut
menjadi the ruling parties yang dalam logika politik sudah berada
dalam satu kesatuan pandangan dan tujuan yang hendak
diwujudkan. Pada titik ini, secara etika dan praktik politik,
gabungan partai politik yang menjadi the ruling parties atau
sebagai oposisi telah berubah menjadi satu partai politik besar
sehingga dalam realitas politik telah terwujud penyederhanaan
jumlah partai politik. Ketentuan presidential threshold dan
kondisi inilah yang merupakan desain konstitusional dalam
menguatkan sistem presidensial melalui penyederhanaan partai
politik, di sisi lain juga mendorong keparalelan perolehan suara
pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan suara partai
politik pendukung pasangan calon.

Pada akhirnya penyederhanaan sistem kepartaian yang biasanya


ditandai dari rendahnya fragmentasi sistem kepartaian merupakan
manfaat yang bagus bagi stabilitas pemerintahan demokratis dan
berjalannya pemerintahan bercorak presidensial. Cara dan langkah
yang bisa dilalui untuk hal ini adalah melalui penataan ulang
konstitusi dan desain institusi politik melalui perundang-undangan,
seperti hadirnya Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 yang sudah
tepat langkahnya dalam menyederhanakan partai politik dan
memperkuat sistem presidensial sekarang. Dimana diperketatnya
syarat partai politik untuk mengisi kursi di parlemen,
diberlakukannya pemilihan umum serentak nasional, dan dipertegas
dan diperkuat kembali angka ambang batas pencalonan presiden dan
wakil presiden merupakan langkah tepat pemerintah untuk menuju
sistem multipartai moderat dan efektifitas presidensialisme

Selanjutnya atas pertanyaan Hakim Ketua Majelis, Ahli


Termohon Pemerintah Prof. Dr. Mira Azzahra, S.H., M.H.
membacakan keterangan:

KETERANGAN PIHAK TERKAIT-----------------------------------------------


Sebagai saksi ahli yang juga terlibat langsung dalam penyusunan
dan pengawasan serta pengawasan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum memberikan keterangan tentang
permasalahan dalam pasal-pasal yang dimintakan uji materiil oleh
Pemohon sebagai berikut
1. Bahwa tingginya angka Presidential Threshold bukan semata-
mata untuk menghilangkan hak konstitusional dari WNI.
Melainkan dengan disusunnya kebijakan mengenai Presidential
Threshold bertujuan untuk menata system politik di Indonesia,
untuk menciptakan pemerintahan yang efektif dan stabil. Maka
dari itu, ada beberapa alasan untuk mempertimbangkan adanya
kebijakan mengenai presidential threshold oleh para pembuat
kebijakan.
a. Mengubah sistem pemerintahan,
b. Menyederhanakan sistem kepartaian. Masyarakat Indonesia
yang sifatnya plural akan susah merepresentasikan oleh dua
partai politik saja. Untuk itu, dibentuknya kebijakan
mengenai Presidential Threshold sebagai upaya untuk
menyederhanakan system kepartaian.
c. Mengurangi jumlah partai politik. Partai politik yang terlalu
banyak juga merupakan salah satu faktor penyumbang tidak
efektifnya sistem pemerintah di Indonesia. Banyaknya partai
politik yang ikut dalam pemilu menyebabkan koalisi yang
dibangun untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden
terlalu “gemuk” karena melibatkan banyak parpol. Gemuknya
koalisi ini mengakibatkan pemerintahan hasil koalisi tidak
dapat berjalan efektif karena harus mempertimbangkan
banyak kepentingan.
d. Menyelenggarakan pemilihan presiden dan legislatif secara
bersama-sama (Concurrent Elections akan menciptakan
pemerintahan yang efektif. Dengan concurrent elections
presiden terpilih akan mendapatkan legitimasi yang kuat dari
rakyat dan mendapatkan dukungan yang kuat dari parlemen.
2. Presidential Threshold juga merupakan salah satu sarana untuk
menyederhanakan system kepartaian di Indonesia. Partai politik
yang terlalu banyak merupakan salah satu penyebab
ketidakefektifan system pemerintahan di Indonesia. Maka dari
itu, PT merupakan alternatif solusi yang dapat diterapkan untuk
tetap mempertahankan system presidensial dan multipartai. Pada
intinya, PT tetap diperlukan, untuk berjalannya stabilitas
pemerintahan dengan partai-partai yang posisinya jelas. Hal ini
membuat Presidential Threshold mengharuskan partai atau
gabungan partai memiliki angka minimal 25 persen suara sah
nasional dalam pemilu legislative sebelum atau 20 persen jumlah
kursi di DPR. Apabila PT ini dihilangkan atau angkanya 0 persen,
maka akan banyak pasangan capres dan cawapres yang
bermunculan. Selain itu, akan banyak petualang-petualang
politik yang memanfaatkan partai atau bahkan membuat dan
mendirikan partai hanya untuk kepentingan sesaat. Pasalnya
partai harus dibangun dengan ideologis yang benar dan tepat.
Struktur partai harus kuat dan kaderisasi harus maksimal.

Selanjutnya Ketua Majelis menutup sidang hari ini pada pukul


12.40 WIB

Demikian Berita Acara Sidang Pemeriksaan Keterangan Ahli


Termohon ini dibuat dan ditandatangani oleh Ketua Majelis dan
Panitera Pengganti

Panitera Pengganti Ketua

Ragil Putri Amalia Solekhah Abdiel Abraar Arya

Anda mungkin juga menyukai