Anda di halaman 1dari 133

i

HALAMAN JUDUL

PENGATURAN AMBANG BATAS PARLIAMENTARY


THRESHOLD (PT) DALAM KONTEKS UNDANG-UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM
BERDASARKAN KEDAULATAN RAKYAT PASAL 1 AYAT
(2) UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK
INDONESIA 1945

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Guna Memperoleh Gelar


Magister Hukum Pada Program Studi Ilmu Hukum
Magister Hukum Pascasarjana
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Oleh;

NAMA : IDRUS

NIM : 7773170017

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM MAGISTER HUKUM


PASCASARJANA
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
TAHUN 202

i
ii

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Idrus

NIM : 7773170017

Judul Tesis : Pengaturan Ambang Batas Parliamentary Threshold (Pt) Dalam

Konteks Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang

Pemilihan Umum Berdasarkan Kedaulatan Rakyat Pasal 1 Ayat

(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Menyatakan bahwa tesis ini adalah hasil karya saya sendiri bukan plagiat,
pengkopian dan penjiplakan karya orang lain, Apabila terbukti tesis ini adalah
palgiat atau pengkopian dan penjiplakan hasil karya orang lain, saya bersedia
menerima sanksi akademik sesuai ketentuan yang berlaku di Pascasarjana
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, termasuk pencabutan gelar.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan dalam keadaan sadar, sehat wal’afiat
dan tanpa ada paksaan dari siapapun dan untuk apapun.

Serang, 5 Mei 2021


Yang menyatakan,

Idrus
NIM 7773170017

ii
iii

LEMBAR PERSETUJUAN TESIS

PENGATURAN AMBANG BATAS PARLIAMENTARY THRESHOLD


(PT) DALAM KONTEKS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017
TENTANG PEMILIHAN UMUM BERDASARKAN KEDAULATAN
RAKYAT PASAL 1 AYAT (2) UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA 1945

“Tesis ini telah dipertahankan di hadapan penguji”

Tanggal, 2021 Tanggal, 2021

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Mas Iman Kusnandar, SH., MH Dr. Danial, SH., MH


NIP. 195603151984021000 NIP. 197709022008011012

Mengetahui,
Tanggal, 2021 Tanggal, 2021

Direktur, Ketua Program Studi,

Dr. H. Aan Asphianto, S.si., SH., MH Dr. Azmi Polem, S.Ag., SH., MH
NIP. 196301052002121002 NIP. 197402282005011003

iii
iv

LEMBAR PERBAIKAN REVISI TESIS

iv
v

LEMBAR PENYEMPURNAAN REVISI TESIS

v
vi

MOTO

ihdinaṣ-ṣirāṭal-mustaqīm (Q.S al-Fatihah:6)


"Tunjukilah kami jalan yang lurus,"

“…aku lebih menghargai orang yang beradab daripada berilmu,


kalau hanya berilmu iblis-pun lebih tinggi ilmunya
daripada manusia,…”
(Syekh Abdul Qodir Jaelani)

“Cara paling sederhana meramal masa depan adalah


dengan cara apa yang dilakukan kita secara berulang-ulang”
(Idrus)

vi
vii

Nama : IDRUS
NIM : 7773170017

ABSTRAK
Judul Tesis: Pengaturan ambang batas parliamentary threshold (PT)
dalam konteksUndang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum berdasarkan kedaulatan rakyat pasal 1 ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Banyak kebijakan dan aturan-aturan (UU) yang dibuat dan dihasilkan dengan
tujuan mewujudkan demokrasi. Adapun upaya pemerintah adalah: Pertama,
mengamandemen UUD 1945, yaitu dengan menambah aturan-aturan yang jelas.
Misalkan ditetapkannya sistem pemerintahan menjadi Sistem Presidensial. Kedua,
revitalisasi Undang-Undang Politik. Ketiga, menyelenggarakan pemilihan umum
sebagai wujud realisasi revitalisasi beberapa Undang-Undang Politik dengan
tujuan menentukan utusan-utusan partai yang akan duduk dikursi parlemen
dengan mempertimbangkan kuota kursi, sehingga sistem presidensial yang
diharapkan UUD 1945 terwujud. Reformasi di bidang hukum yang terjadi sejak
tahun 1998 telah di lembagakan melalui pranata perubahan UUD 1945. Semangat
perubahan UUD 1945 adalah mendorong terbangunnya struktur ketatanegaraan
yang lebih demokratis. Perubahan UUD 1945 sejak reformasi dilakukan sebanyak
empat kali; Secara teoritis, ambang batas atau yang dikenal juga dengan istilah
threshold dalam sistem pemilu merupakan batas minimal dukungan yang harus
dimiliki oleh setiap partai politik untuk mendapatkan kursi keterwakilannya di
parlemen. Ada dua jenis ambang batas dalam pemilu: ambang batas parlemen
(parliamentary threshold) dan ambang batas presiden (presidential threshold).
Ambang batas parlemen merupakan batas minimal persen dari total keseluruhan
yang harus diperoleh oleh setiap partai politik yang telah sah menjadi peserta
pemilu untuk kemudian diikutsertakan dalam penghitungan kursi diparlemen.
Parliamentary Threshold Pemilu Tahun 2009, Dalam pasal 202 Undang-Undang
No.10 Tahun 2008 dijelaskan bahwa partai politik peserta pemilu harus
memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2.5 persen dari
jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan
kursi DPR.Parliamentary Threshold Pemilu Tahun 2014, Partai Politik Peserta
Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5%
(tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan
dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota. Parliamentary Threshold Pemilu Tahun 2019, Partai Politik
Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4%
(empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam
penentuan perolehan kursi anggota DPR”.Pelaksanaan demokrasi tidak hanya terkait
dengan bagaimana proses tersebut dapat dilaksanakan, namun bagaimana demokrasi
tersebut secara materiil dapat diselenggarakan berdasarkan falsafah atau ideologi yang
dianut oleh suatu bangsa atau negara.
Kata kunci: ambang batas parlemen, kedauatan rakyat, pemilihan umum

vii
viii

Name : IDRUS
NIM : 7773170017

ABSTRACT

Title:Setting the parliamentary threshold (PT) in the context of Law Number 7 of


2017 concerning General Elections based on people's sovereignty Article 1
paragraph (2) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia.

Many policies and regulations (Laws) are made and produced with the aim of
realizing democracy. The government's efforts are: First, to amend the 1945
Constitution, namely by adding clear rules. Third, holding general elections as a
manifestation of the realization of the revitalization of several political laws with
the aim of determining party delegates who will sit in parliamentary seats by
taking into account the seat quota, so that the presidential system expected by the
1945 Constitution is realized. Reforms in the field of law that have occurred since
1998 have been institutionalized through the amendments to the 1945
Constitution. The spirit of the amendments to the 1945 Constitution is to
encourage the establishment of a more democratic state structure. Amendments to
the 1945 Constitution since the reformation were carried out four times;
Theoretically, the threshold or also known as the threshold in the electoral system
is the minimum support limit that every political party must have in order to get
its representative seat in parliament. There are two types of thresholds in
elections: the parliamentary threshold and the presidential threshold. The
parliamentary threshold is the minimum percentage of the total that must be
obtained by every political party that has been legally participating in the
election to then be included in the counting of seats in the parliament.
Parliamentary Threshold 2009 Election, Article 202 of Law No. 10 of 2008
explains that political parties participating in the election must meet the threshold
for obtaining votes of at least 2.5 percent of the number of valid votes nationally
to be included in determining the acquisition of seats in the DPR. In the 2014
General Election, the Election Contesting Political Parties must meet the
threshold for obtaining votes of at least 3.5% (three point five percent) of the
number of valid votes nationally to be included in determining the seat
acquisition for members of DPR, Provincial DPRD, and Regency/Municipal
DPRD. Parliamentary Threshold in the 2019 Election, Political Parties
Contesting in the Election must meet the threshold for obtaining votes of at least
4% (four percent) of the total number of valid votes nationally to be included in
determining the acquisition of seats for members of the DPR". implemented, but

viii
ix

how can the democracy materially be implemented based on the philosophy or


ideology adopted by a nation or state.
Keywords: parliamentary threshold, people's sovereignty, general election

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Subhanahua Wa Ta’ala yang telah memberikan

rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian pada

tesis ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada baginda Nabi

Muhammad Solawlohu ‘Alaihi Wasallam beserta keluarga dan umatnya hingga

akhir zaman. Tidak lupa penulis panjatkan doa untuk kedua orang tua yang

tercinta ayahanda H. Tawil (Alm.) dan ibunda Ucuh Suhanah. Dengan ikhtiar,

doa, serta ridho Allah Subhanahua Wa Ta’ala akhirnya penulis dapat

menyelesaikan penyusunan tesis sebagai syarat dalam meraih gelar Magister

Hukum di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, dengan judul “Pengaturan

Ambang Batas Parliamentary Threshold (PT) dalam Konteks Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum Berdasarkan

Kedaulatan Rakyat Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia 1945”.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada Dr. H. Mas Iman Kusnandar, MH sebagai

pembimbing I dan Dr. Danial SH., MH sebagai pembimbing II yang senantiasa

memberikan bimbingan, motivasi dan arahannya sehingga penyusunan tesis ini

dapat terselesaikan tepat waktu.

ix
x

Penulis juga ucapkan terima kasih kepada Penguji 1 Dr. Azmi Polem,

S.Ag., SH., MH., Penguji 2 Dr. Firdaus, SH., MH., Penguji 3 Dr. H. Mohamad

Fasyehhudin, SH., MH., Ketua sidang Dr. Mas Iman Kusnandar, SH., MH.,

Sekretaris sidang Dr. Danial, SH., MH.

Pada kesempatan ini juga penulis ingin menyampaikan ucapan terima

kasih kepada :

1. Prof. Dr. H. Fatah Sulaiman, ST., MT sebagai Rektor Universitas

Sultan Ageng Tirtayasa, yang telah memberikan kesempatan kepada

penulis untuk mengikuti program studi Ilmu Hukum Magister Hukum

Pascasarjana Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

2. Dr. H. Aan Asphianto S.Si., SH., MH sebagai Direktur Pascasarjana

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, atas bantuan dan fasilitas yang

telah diberikan kepada penulis.

3. Prof. Dr. Ir. Kartina AM., MP sebagai Wakil Direktur I Pascasarjana

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, atas kerja keras beliau memimpin

dan membina Pascasarjana ini.

4. Dr. H. Helmi Yazid, SE., M.Si., AK., CA sebagai Wakil Direktur II

Pascasarjana Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, atas kerja keras

beliau memimpin dan membina Pascasarjana ini.

5. Prof. Dr. Alfirano, ST., MT., Ph.D sebagai Wakil Direktur III

Pascasarjana Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, atas kerja keras

beliau memimpin dan membina Pascasarjana ini.

x
xi

6. Dr. Azmi Polem, S.Ag., SH., MH sebagai Ketua Program studi Ilmu

Magister Hukum Pascasarjana Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

7. Dr. Fatkhul Muin, SH., LL.M sebagai Sekertaris Program studi Ilmu

Magister Hukum Pascasarjana Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

8. Seluruh dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

9. Seluruh tenaga kependidikan Program Studi Magister Ilmu Hukum

Pascasarjana Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

10. Sahabat/teman mahasiswa angkatan 2017/2 Program Studi Ilmu

Hukum Pascasarjana Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

11. Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Serang yang telah berkenan

memfasilitasi dan memberikan data-data yang dibutuhkan.

12. Keluarga besar dan saudara-saudara, adik-kakak, dan handai taulan

yang telah memberikan dukungan baik moral maupun moril.

Tesis ini tidak akan berjalan baik tanpa ada semangat yang diberikan oleh

istriku tercinta Widiatul Arafah, SH dan anak-anakku tersayang Maulidatunnisa

Maharani dan Aghnia Elsa Azizah.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini masih banyak

kekurangan karena keterbatasan yang dimiliki. Oleh karena itu, penulis

mengharapkan saran dan kritik yang positif demi penyempurnaan penulisan ini.

Semoga tesis ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Khususnya

civitas akademik maupun dunia pendidikan. Dan penulis berharap semoga Allah

Subhanahu Wa Ta’ala selalu meridhoi dan melindungi kita semua. Amin.

xi
xii

Serang, Mei 2021

IDRUS

DAFTAR ISI

Hlm

HALAMAN JUDUL....................................................................................................... I
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN..................................................................II
LEMBAR PERSETUJUAN TESIS..........................................................................III
LEMBAR PENGESAHAN......................................................................................... IV
LEMBAR PERBAIKAN TESIS.................................................................................V
LEMBAR PENYEMPURNAAN TESIS.................................................................VI
MOTO............................................................................................................................ VII
ABSTRAK..................................................................................................................... VIII
ABSTRACT.................................................................................................................... IX
KATA PENGANTAR.................................................................................................... X
DAFTAR ISI................................................................................................................. XIII
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................................. XIV
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
A. LATAR BELAKANG..................................................................................1
B. IDENTIFIKASI MASALAH........................................................................7
C. TUJUAN PENELITIAN...............................................................................8
D. KEGUNAAN PENELITIAN........................................................................8
E. KERANGKA PEMIKIRAN.........................................................................9
F. METODE PENELITIAN...........................................................................12
BAB II TINJAUAN TEORITIS PENGATURAN AMBANG BATAS
PARLEMENTARY TRESHOOLD (PT)..........................................19
A. DEMOKRASI KONSTITUSIONAL DAN PEMIIHAN UMUM............19

xii
xiii

B. RULE OF LAW...........................................................................................31
C. PARTAI POLITIK DAN DEMOKRASI..................................................39
D. AMBANG BATAS DAN PEMILU...........................................................57
E. PERJALANAN AMBANG BATAS PEMILU DI INDONESIA.............61
F. PEMILU NASIONAL SERENTAK TAHUN 2019................................66
BAB III PENGATURAN AMBANG BATAS PARLEMENTARY
TRESHOOLD (PT) DALAM KONTEKS UNDANG-UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM
BERDASARKAN KEDAULATAN RAKYAT PASAL 1 AYAT
(2) UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK
INDONESIA 1945....................................................................................72
A. PENGERTIAN DAN SEJARAH PARLIAMENTARY THRESHOLD DI
INDONESIA................................................................................................72
B. PENGERTIAN KEDAULATAN RAKYAT.............................................88
C. PRINSIP DEMOKRASI INDONESIA DALAM PENGATURAN
AMBANG BATAS FORMAL...................................................................98
D. PARLIAMENTARY THRESHOLD PEMILU TAHUN 2009.............102
E. PARLIAMENTARY THRESHOLD PEMILU TAHUN 2014.............103
F. PARLIAMENTARY THRESHOLD PEMILU TAHUN 2019.............105
BAB IV ANALISIS PENGATURAN AMBANG BATAS PARLEMENTARY
TRESHOOLD (PT) DALAM KONTEKS UNDANG-UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM
BERDASARKAN KEDAULATAN RAKYAT PASAL 1 AYAT
(2) UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK
INDONESIA 1945..................................................................................107
A. AMBANG BATAS PARLEMENTARY TRESHOLD (PT) DALAM
UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG
PEMILIHAN UMUM...............................................................................107
B. INDIKATOR PENGATURAN AMBANG BATAS PARLIAMENTARY
THRESHOLD (PT) TERHADAP PEROLEHAN SUARA..................108
BAB V PENUTUP....................................................................................................... 111
A. KESIMPULAN.........................................................................................111
B. SARAN-SARAN.......................................................................................112
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 113

xiii
xiv

DAFTAR LAMPIRAN

a. Biodata………………………………………………………….… 121
b. Surat Keputusan Pembimbing………………..…………………... 122
c. Surat Izin Penelitian……………………………………................ 123
d. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian……………..…….. 124

xiv
BAB I PENDAHULUAN

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pasca runtuhnya rezim Orde Baru tahun 1998, pencarian jati diri

demokrasi yang ideal dalam mewujudkan partisipasi publik semakin

digalakkan oleh banyak elemen-elemen yang ada dalam masyarakat.

Berbagai undang-undang bidang politik produk Orde Baru langsung diubah

dengan pembongkaran atas asumsi-asumsi serta penghilangan atas

kekerasan-kekerasan politik yang menjadi muatannya.1

Banyak kebijakan dan aturan-aturan (UU) yang dibuat dan dihasilkan

dengan tujuan mewujudkan demokrasi. Adapun upaya pemerintah adalah:

Pertama, mengamandemen UUD 1945, yaitu dengan menambah aturan-

aturan yang jelas. Misalkan ditetapkannya sistem pemerintahan menjadi

Sistem Presidensial. Kedua, revitalisasi Undang-Undang Politik. Ketiga,

menyelenggarakan pemilihan umum sebagai wujud realisasi revitalisasi

beberapa Undang-Undang Politik dengan tujuan menentukan utusan-utusan

partai yang akan duduk dikursi parlemen dengan mempertimbangkan kuota

kursi, sehingga sistem presidensial yang diharapkan UUD 1945 terwujud.

Proses pemilu secara langsung merupakan konsekuensi dari

kesepakatan untuk menggunakan sistem pemerintahan presidensial, dalam

demokratisasi menuntut adanya partisipasi publik secara langsung dalam

1
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2014, hlm. 374

1
2

rangka penyelenggaraan pemerintah. Termasuk mengenai banyaknya partai

politik (multipartai) yang tidak lagi dibatasi.2 Pemberian kesempatan

munculnya partai-partai baru yang pada gilirannya akan menghasilkan

sistem multipartai, merupakan respon terhadap luasnya tuntutan masyarakat

akan kebebasan politik. Namun, ketika negara dalam konstitusinya mulai

memperkuat kekuasaan eksekutif dengan memberlakukan sistem

presidensial dalam UUD 1945, disisi lain justru membuka peluang

tumbuhnya multipartai dan tentunya hal ini kontradiktif dengan sistem

presidensial.

Pasca berakhirnya rezim Orde Baru, undang-undang pemilihan umum

mengalami regenerasi sebagai upaya pemulihan atas pengingkaran

demokrasi yang terjadi selama masa tersebut. Demokratisasi yang

diselenggarakan sejak tahun 1999 hingga sekarang menempatkan

pengaturan ambang batas pemilu, atau lebih dikenal dengan istilah electoral

threshold, dalam penyelenggaraan pemilihan anggota Dewan Perwakilan

Rakyat Republik Indonesia sebagai bagian reformasi perundang-undangan

pemilihan umum.

Ambang batas pemilu atau electoral threshold adalah pengaturan

tingkat minimal dukungan, baik dalam bentuk jumlah perolehan suara

(ballot) atau jumlah perolehan kursi (seat), yang harus diperoleh partai

politik peserta pemilu agar dapat menempatkan perwakilannya dalam

lembaga perwakilan.

2
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1983, hlm. 160-161.

2
3

Ambang batas yang diatur secara formal (formal threshold)

diperlihatkan dengan adanya pencantuman sejumlah persentase tertentu

secara langsung dan tegas dipaksakan. Adapun bentuk pengaturan ambang

batas formal diwujudkan dalam Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2012 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya

disebut UU No. 8 Tahun 2012) yang mengatur bahwa “Partai Politik Peserta

Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang- kurangnya

3,5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan

perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.”

Persentase ambang batas tersebut menjadi syarat yang harus dipenuhi dalam

penentuan representasi perwakilan pada suatu penyelenggaraan pemilu di

era reformasi.

Sebagai akibat pengunduran diri Soeharto sebagai Presiden Negara

Republik Indonesia pada tahun 1998, tepatnya pada tanggal 21 Mei maka

runtuhlah suatu pandangan yang sengaja dibangun oleh Presiden Soeharto

bahwa Undang – Undang Dasar 1945 bernilai keramat. Oleh karenanya,

tuntutan untuk melakukan amandemen UUD 1945 menuju kepada konstitusi

yang demokratis sebagai salah satu agenda reformasi yang diusung oleh

gerakan mahasiswa dan masyarakat luas pada waktu itu. semakin mendekati

kenyataan, berbagai seminar yang membicarakan masalah amandemen

Undang-Undang Dasar 1945 digelar. Gagasan yang dominan adalah

pembatasan kekuasaan dan masa jabatan presiden. Hal ini dapat dipahami

3
4

karena pemerintahan masa lalu yang lebih di dominasi oleh kekuasaan

presiden. Akhirnya, pada sidang istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat

(MPR) tahun 1999, Undang – Undang Dasar 1945 berhasil diamandemen

untuk yang pertama kalinya.3 Undang-undang dasar Negara yang diadakan

untuk waktu jauh ke depan, namun isinya tidak dapat dilepaskan dari

suasana ketika undang-undang konstitusi itu di bentuk.4

Reformasi di bidang hukum yang terjadi sejak tahun 1998 telah di

lembagakan melalui pranata perubahan UUD 1945. Semangat perubahan

UUD 1945 adalah mendorong terbangunnya struktur ketatanegaraan yang

lebih demokratis. Perubahan UUD 1945 sejak reformasi dilakukan sebanyak

empat kali;5

1. Perubahan pertama disahkan pada tangggal 19 Oktober tahun 1999;

2. Perubahan kedua disahkan pada tangggal 18 Agustus tahun 2000;

3. Perubahan ketiga disahkan pada tangggal 10 November tahun 2001;

dan

4. Perubahan keempat disahkan pada tangggal 10 Agustus tahun 2002.

Setelah amandemen, DPR mengalammi perubahan, fungsi legislasi

yang sebelumya berada di tangan presiden, setelah amandemen UUD 1945

fungsi legislasi berpindah ke DPR.6 Pergeseran itu dapat dibaca dengan

adanya perubahan secara substansial pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 dari
3
Taufiqurrohman Syahuri, Hukum Konstitusi Proses dan Prosedur Perubahan Undang-
Undang di Indonesia 1945-2002 serta Perbandingannya dengan konstitusi Negara Lain di Dunia,
Ghalia Indonesia, Bogor, 2004, hlm. 1-2.
4
Sri Soemantri Matosoewignjo, Hukum Tata Negara Indonesia Pemikiran dan
Pandangan, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2015, hlm. 9.
5
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2011, hlm. 1.
6
Lihat Penjelasan UUD 1945 bagian Sistem Pemerintahan.

4
5

presiden memegang kekuasaan membentuk undang – undang dengan

persetujuan DPR, menjadi presiden berhak mengajukan rancangan undang

– undang kepada DPR. Akibat dari pergeseran tersebut, hilangnya dominasi

presiden dalam proses pembentukan undang – undang. Perubahan tersebut

menjadi penting karena undang – undang adalah produk hukum yang paling

dominan untuk menerjemahkan rumusan – rumusan normativ yang terdapat

dalam UUD 1945.7

Berakhirnya rezim Orde Baru, telah membuka peluang guna menata

kehidupan demokrasi. Reformasi politik, ekonomi dan hukum merupakan

agenda yang tidak bisa ditunda. Demokrasi menuntut lebih dari sekedar

pemilu. Demokrasi yang mumpuni harus dibangun melalui struktur politik

dan kelembagaan demokrasi yang sehat. Namun nampaknya tuntutan

reformasi politik, telah menempatkan pelaksanaan pemilu menjadi agenda

pertama.

Pemilu pertama di masa reformasi hampir sama dengan pemilu pertama

tahun 1955 diwarnai dengan kejutan dan keprihatinan. Pertama, kegagalan

partai-partai Islam meraih suara siginifikan. Kedua, menurunnya perolehan

suara Golkar. Ketiga, kenaikan perolehan suara PDI Perjuangan. Keempat,

kegagalan PAN, yang dianggap paling reformis, ternyata hanya menduduki

urutan kelima. Kekalahan PAN, mengingatkan pada kekalahan yang dialami

Partai Sosialis, pada pemilu 1955, diprediksi akan memperoleh suara

signifikan namun lain nyatanya.

7
Titik Triwulan Tutik, Opcit, hlm. 191-192.

5
6

Pengesahan hasil Pemilu 1999 saat itu tertunda, secara umum proses

pemilu multi partai pertama di era reformasi jauh lebih Langsung, Umum,

Bebas dan Rahasia (Luber) serta adil dan jujur dibanding masa Orde Baru.

Hampir tidak ada indikator siginifikan yang menunjukkan bahwa rakyat

menolak hasil pemilu yang berlangsung dengan aman. Realitas ini

menunjukkan, bahwa yang tidak mau menerima kekalahan, hanyalah

mereka yang tidak siap berdemokrasi, dan ini hanya diungkapkan oleh

sebagian elite politik, bukan rakyat.

Pemilu 2004, merupakan pemilu kedua dengan dua agenda, pertama

memilih anggota legislatif dan kedua memilih presiden. Untuk agenda

pertama terjadi kejutan, yaitu naiknya kembali suara Golkar, turunan

perolehan suara PDI Perjuangan, tidak beranjaknya perolehan yang

signifikan partai Islam dan munculnya Partai Demokrat yang melewati

PAN. Dalam pemilihan presiden yang diikuti lima kandidat (Susilo

Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarno Putri, Wiranto, Amin Rais dan

Hamzah Haz), berlangsung dalam dua putaran, telah menempatkan

pasangan SBY dan JK, dengan meraih 60,95 persen.

Partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan

suara paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional

untuk di ikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR. 8 Seluruh

partai politik peserta pemilu diikutkan dalam penentuan perolehan kursi

anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.9


8
Yang dimaksud kursi anggota DPR adalah DPR RI, Pasal 414 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
9
Pasal 414 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

6
7

Pasangan calon10 diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai

Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling

sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh

25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu

anggota DPR sebelumnya.11

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana yang telah diuraikan

tersebut, maka rumusan masalah yang dapat disusun adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan ambang batas Parlementary Treshold (PT)

peraturan perundang-undangan Nomor 7 Tahun 2017 tentang

Pemilihan Umum dan Kedaulatan Rakyat?

2. Bagaimana indikator yang dapat digunakan dalam pengaturan ambang

batas terhadap perolehan suara yang tidak tercapai 4 persen?

10
Yang dimaksud adalah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana yang
tercantum pada pasal sebelumnya yaitu pasal 221 yang berbunyi : “Calon Presiden dan Wakil
Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik”.
11
Pasal 222 Undang-undang Nomor Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

7
8

C. Tujuan Penelitian

Tujuan disusunnya penelitian ini secara khusus adalah sebagai

berikut:

a. Untuk menganalisis pengaturan ambang batas Parlementary Treshold

(PT) peraturan perundang-undangan Nomor 7 Tahun 2017 tentang

Pemilihan Umum dan Kedaulatan Rakyat.

b. Untuk menganalisis indikator yang dapat digunakan dalam pengaturan

ambang batas terhadap perolehan suara yang tidak tercapai 4 persen.

D. Kegunaan Penelitian

1. Teoritis

Manfaat Teoritis Penelitian hukum ini diharapkan dapat

memberikan manfaat berupa kontribusi pemikiran bagi pengaturan

tentang pemilihan umum, terutama terkait dengan pengaturan ambang

batas dalam konsepsi demokrasi Indonesia. Hasil dari penelitian ini

diharapkan pula dapat digunakan sebagai referensi bagi peneliti-

peneliti hukum (legal researcher) berikutnya dan bagi segenap civitas

akademika Magister Ilmu Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

untuk lebih mendalami perihal pengaturan ambang batas formal, serta

pengembangan ilmu hukum pada umumnya.

2. Praktis

Adapun secara praktis penelitian ini diharapkan dapat

bermanfaat sebagai referensi teoritis hukum bagi perancang

8
9

perundang-undangan (legislative drafter) dalam membentuk

perundangan-undangan pemilu berikutnya, terutama terkait penentuan

substansi ambang batas yang ideal. Bagi organisasi atau lembaga

partai politik, penelitian hukum ini diharapkan dapat menjadi bahan

teoritis dalam mengontrol kebijakan hukum ambang batas formal

yang diatur oleh pembentuk undang-undang di Indonesia. Sementara

bagi masyarakat umum, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat

dalam membuka pemahaman konsepsi demokrasi Indonesia dan

relevansi pengaturan ambang batas formal di Indonesia.

E. Kerangka Pemikiran

Sejarah kemerdekaan sampai sekarang, telah banyak peristiwa atau

kejadian luar biasa yang menyebabkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku dalam keadaan biasa atau normal menjadi tidak lagi efektif untuk di

pakai guna mencapai tujuan penggunaannya.12

Konsep negara rule of law merupakan konsep negara yang dianggap

paling ideal saat ini, meskipun konsep tersebut dijalankan dengan persepsi

yang berbeda – beda. terhadap istilah rule of law ini dalam bahasa Indonesia

sering juga diterjemahkan sebagai supremasi hukum (supremacy of law)

atau pemerintahan berdasarkan atas hukum, disamping itu istilah negara

12
Jimly Assiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Raja Grafindo Persada 1, Jakarta, 2007,
hlm. 27.

9
10

hukum (government by law) atau rechstaat, juga merupakan istilah yang

sering digunakan untuk itu.13

Dalam negara modern, penyelenggaraan kekuasaan negara dilakukan

berdasarkan hukum dasar (droit konstitutionil). Undang-Undang Dasar, oleh

Carl Schmit dianggap sebagai keputusan politik yang teringgi. Sehingga

konstitusi mempunyai kedudukan atau derajat supremasi dalam suatu

negara. Yang dimaksud dengan supremasi konstitusi, yaitu dimana

konstitusi mempunyai kedudukan tertinggi dalam tertib hukum suatu

negara.14 Pada akhirnya, praktik harus berdasarkan teori dan prinsip yang

berlaku, bukan praktik menyimpangi teori.15

Pengakuan kepada suatu negara sebagai negara hukum

(government by law) sangat penting, karena kekuasaan negara dan politik

bukanlah tidak terbatas (tidak absolut). Perlu pembatasan-pembatasan

terhadap kewenangan dan kekuasaan negara dan politik tersebut, untuk

menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dari pihak penguasa. Dalam

negara hukum tersebut, pembatasan terhadap kekuasaan negara dan politik

haruslah dilakukan dengan tegas, yang tidak dapat dilanggardan dapat

dilanggar oleh siapapun. Karena itu dalam negara hukum, hukum

memainkan peranannya yang sangat penting, dan berada diatas kekuasaan

negara dan politik. Karena itu pula, kemudian muncul istilah pemerintah

dibawah hukum. Maka terkenall konsep yang di negara-negara yang berlaku


13
Munir Fuady, Teori Negara hukum Modern (Rechstaat), Refika Aditama, Bandung,
2011, hlm. 1.
14
Dahlan Thaib dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015,
hlm. 58.
15
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2016, hlm. 72.

10
11

common law disebut system pemerintahan berdasarkan hukum, bukan

berdasarkan kehendak manusia. Sedangkan di negara-negara eropa

continental dikenal konsep negara hukum (rechstaat), sebagai lawan dari

negara kekuasaan (machstaat).16

Negara hukum memiliki beragam terminologi dengan masing-

masing definisi serta karakteristik yang menjadi formulasi pembentuknya.

Negara yang menganut sistem Common Law menggunakan istilah Rule of

Law dengan arti bahwa pemerintah berdasarkan atas hukum bukan berdasar

atas manusia (government based on rule of law, not rule of man), sementara

negara yang menganut sistem Civil Law menganut konsep negara hukum

dalam istilah Rechtsstaat (negara hukum).

Pemahaman klasik perihal demokrasi tidak lepas dari aspek

etimologinya yang berasal dari bahasa Yunani yaitu demos (rakyat) dan

kratein/kratos (kekuasaan/berkuasa) yang berarti rakyat yang berkuasa atau

government by the people. Secara sederhana demokrasi dapat diterjemahkan

sebagai suatu kondisi kenegaraan dimana dalam sistem pemerintahannya

kekuasaan tertinggi berada pada kendali rakyat. Demokrasi secara singkat

juga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat. Hakikat demokrasi erat

kaitannya dengan ajaran teori kedaulatan rakyat dimana esensi kekuasaan

tertinggi terletak pada keberadaan dan kedudukan rakyat. Jean Jacques

Rousseau memaparkan adanya suatu perjanjian masyarakat atau kontrak

sosial dalam peletakkan kekuasaan suatu negara, dimana keadaan alami atau

16
Munir Fuady, Teori Negara hukum Modern, Opcit, hlm. 1-2.

11
12

primitif dari manusia (seperti hak bagi yang terkuat, perbudakan, homo

homini lupus) merupakan hal yang tidak dapat dipertahankan

keberadaannya. Oleh karena itu, manusia menyatukan kekuatan bersama

yang ada, dimana kekuasaan yang ada untuk kepentingan bersama tersebut

berada dibawah kehendak umum dalam sebuah pakta sosial dengan

menerima setiap anggota sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Teori klasik

dari J.J. Rousseau turut menjadi cikal bakal dalam membangun prinsip-

prinsip demokrasi modern perihal tujuan untuk mencapai kesejahteraan

rakyat, dimana rakyat dianggap sebagai subyek yang paling mengerti dan

memahami bagaimana negara harus bertindak untuk mencapai tujuan yang

dimaksud.

F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan dalam Penelitian hukum ini merupakan

penelitian hukum normatif (normative legal research) dikarenakan

fokusnya adalah mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, seperti

teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan

materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas,

dan kekuatan mengikat suatu undang-undang, serta bahasa hukum yang

digunakan. Penelitian hukum normatif pada umumnya mencakup:

1. Penelitian terhadap asas-asas hukum;

12
13

2. Penelitian terhadap sistematik hukum;

3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal;

4. Perbandingan hukum;

5. Sejarah hukum.

Adapun penelitian hukum normatif pada penelitian ini

menitikberatkan pada isu konflik norma sebagaimana telah dijelaskan

dalam latar belakang masalah, yaitu adanya ketidaksinkronan antara

substansi ambang batas dengan peraturan perundangan-undangan lain

yang sederajat, disharmonisasi dengan ketentuan peraturan perundangan-

undangan yang lebih tinggi sebagai dasar pernormaan, serta konsideran

UU No. 7 Tahun 2017 yang menjadi landasan validitas.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam tesis ini termasuk kedalam jenis penelitian

deskriptif analitis. Ilmu yang bersifat deskriptif mempunyai bidang kajian

yang bersifat kasatmata atau empiris. Hasil kajian diperoleh lewat

observasi atau eksperimen. Ilmu ini tidak memberikan anjuran atau

mengharuskan dilakukannya hal-hal yang sesuai dengan nilai-nilai atau

norma-norma tertentu. Kebenaran dalam kerangka ilmu yang bersifat

deskriptif adalah kebenaran korespondensi.17

Bahwa penelitian hukum tidak mengenal adanya data. Untuk

memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai

apa yang seyogyanya, diperlukan sumber – sumber penelitian.18


17
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2014, hlm. 5.
18
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Opcit, hlm. 181.

13
14

3. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data

Data dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah

keterangan atau bahan nyata yang dapat dijadikan dasar kajian (analisis

atau kesimpulan)19. Dalam penelitian, jenis data dibedakan diantaranya:20

1) Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber

pertama.

2) Data Sekunder, antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi,

buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan

sebagainya.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini berdasarkan pada

sumber data yang digunakan. Sumber data dalam penelitian ini adalah

data sekunder, yang merupakan sumber data pokok dalam penelitian ini.

Sumber data sekunder adalah yang mencakup data kepustakaan, jurnal-

jurnal, karya ilmiah, artikel-artikel serta dokumen-dokumen yang

berkaitan dengan materi penelitian. Data sekunder tersebut meliputi

beberapa bahan hukum, diantaranya :

a. Bahan hukum primer, merupakan bahan hukum bersifat autoritatif

artinya memiliki otoritas. Bahan hukum primer terdiri peraturan

perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam

pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan

19
Meitry Taqdir Qodratillah, Kamus Bahasa Indonesia, Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 2011, hlm. 87.
20
Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004,
hlm. 1.

14
15

hakim.21 Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang akan

digunakan diantaranya adalah :

1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai

Politik dan Golongan Karya.

3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan

Umum

4) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Partai

Politik.

5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang

Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah.

6) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang

Penyelenggara Pemilihan Umum.

7) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai

Politik.

8) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang

Pemilihan Umum Anggota Dewan perwakilan Rakyat,

dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah.

21
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1992, hlm. 181.

15
16

9) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

10) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang

Peruabahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008

tentang Partai Politik.

11) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang

Penyelenggara Pemilihan Umum.

12) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan

Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah.

13) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan

Umum.

14) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2017 Tentang

Kewarganegaraan Republik Indonesia.

b. Bahan hukum sekunder, terdiri dari buku-buku hukum termasuk

skripsi, tesis, disertasi hukum dan jurnal-jurnal hukum. Bahan-bahan

hukum tersebut memiliki kegunaan untuk memberikan kepada

peneliti semacam petunjuk kearah mana peneliti melangkah, karena

buku-buku dan artikel-artikel hukum yang digunakan memiliki

relevansi dengan apa yang akan diteliti. 22 Dalam penelitian ini, bahan

hukum sekunder yang akan digunakan adalah berupa buku-buku

22
Ibid, hlm. 195.

16
17

tentang pemilihan umum, begitupun artikel dan jurnal tentang

pemilihan umum.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti

kamus hukum dan website yang terkait dengan penelitian.

4. Analisis Data

Data yang sudah terkumpul dari hasil penelitian kemudian dianalisis

secara kualitatif normatif yaitu dengan menjabarkan dan menafsirkan

data yang akan disusun berdasarkan peraturan perundang-undangan

berlaku atau peraturan-peraturan lainnya. Selanjutnya, Bogdan dan

Biklen menyebutkan bahwa :23

“Konsep analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan

jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-

milahnya menjadi satuan data yang dapat dikelola,

mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa

yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang

dapat di ceritakan kepada orang lain, karena proses analisis data

dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai

sumber, yaitu dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan

dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar,

foto, dan sebagainya.

5. Lokasi Penelitian
23
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2012,
hlm. 248.

17
18

Lokasi yang digunakan penulis dalam penelitian ini untuk

mendapatkan data-data yang dijadikan pembahasan adalah Perpustakaan

Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Perpustakaan

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Perpustakaan Daerah Provinsi

Banten, Perpustakaan Kampus Institut Agama Islam Negeri Sultan

Maulana Hasanuddin Banten (IAIN SMH Banten), Rumah Pintar Pemilu

(RPP) Komisi Pemilihan Umum Provinsi Banten, Rumah Pintar Pemilu

(RPP) Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Serang, dan sumber pustaka

lainnya yang dapat membantu penulis dalam pengumpulan sumber.

18
BAB II TINJAUAN TEORITIS PENGATURAN AMBANG BATAS PARLEMENTARY TRESHOOLD (PT)

TINJAUAN TEORITIS PENGATURAN AMBANG BATAS


PARLEMENTARY TRESHOOLD (PT)

A. Demokrasi Konstitusional dan Pemiihan Umum

Gagasan perihal konsep demokrasi konstitusional muncul sebagai

bentuk perkembangan paradigma negara modern yang menjadikan

konstitusi sebagai pengawal sistem demokrasi. Demokrasi menempatkan

prinsip one man, one vote, one value yang pada akhirnya mengarahkan

suatu keputusan dinilai secara kuantitatif dan menjadi lebih berpihak pada

kehendak mayoritas. Demokrasi yang ideal merupakan rasionalisasi dari

perwujudan prinsip-prinsip umum yang mencakup setiap kehendak umum

seluruh masyarakat. Disinilah peranan konstitusi untuk memberikan

jaminan atas perwujudan nilai-nilai tersebut dengan cara membatasi

mekanisme demokrasi secara hukum guna melindungi hak-hak seluruh

warga negaranya.

Jimly Asshiddiqie berpendapat perihal demokrasi konstitusional

(constitutional democracy) merupakan suatu sistem dimana pelaksanaan

kedaulatan rakyat diselenggarakan menurut prosedur konstitusional yang

ditetapkan dalam hukum dan konstitusi. Demokrasi konstitusional

menempatkan bagaimana adanya suatu upaya dalam mewujudkan

konsensus di antara kedaulatan rakyat (demokrasi) dan kedaulatan hukum

(nomokrasi), sebagai suatu dua hal yang dianggap disharmoni namun


20

melekat antara satu dan yang lain dalam pencapaian tujuan negara yang

melindungi masyarakat plural (plural society).24

Demokrasi konstitusional pada hakikatnya sangat diperlukan bila

dibandingkan dengan rezim totaliter atau otoriter yang telah tergantikan

keberadaan pada paruh kedua Abad Keduapuluh (constitutional

democracy is virtually indispensable when contrasted with the totalitarian

or authoritarian regimes that it replaced in the second half of the

twentieth century).25

Bart Hassel dan Piotr Hofmanski sebagaimana dikutip oleh I Dewa

Gede Atmadja merinci empat ciri khas yang menjadi dasar dari konsep

demokrasi konstitusional sebagai berikut :

1. Undang-undang yang mempengaruhi kedudukan warga negara

dibentuk oleh parlemen yang dipilih secara demokratis

2. Mencegah perilaku sewenang-wenang dari pemerintah

3. Peradilan yang bebas dalam menerapkan hukum pidana, dan

menguji peraturan perundang-undangan dan tindakan pemerintah

4. Unsur material rule of law yakni perlindungan HAM, terutama

kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan kebebasan berserikat dan

berkumpul.26

24
Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, hal. 58.
25
Michel Rosenfeld, 2001, “The Rule of Law and the Legitimacy of Constitutional
Democracy”, dalam Southern California Law Review vol 74 (2001), Publisher University of
Southern California; School of Law; Gould School of Law, California, diakses dari http://www-
bcf.usc.edu/~usclrev/pdf/074503.pdf, tanggal 18 Maret 2013, hal. 1310.
26
I Dewa Gede Atmadja, 2012, Ilmu Negara (Sejarah, Konsep Negara, dan Kajian
Kenegaraan), Setara Press, Malang, hal. 92-93.

20
21

Undang-undang dibuat oleh lembaga yang memiliki otoritas, yang

anggotanya dipilih dengan cara-cara yang demokratis, dengan tujuan agar

masyarakat dapat turut serta mengontrol jalannya fungsi negara dan

menghindarkan terjadinya praktek penyalahgunaan wewenang

(detournement de pouvoir) atau kesewenang-wenangan (wilikeur). Jaminan

akan hal tersebut dapat terwujud apabila setiap lembaga peradilan, terlebih

pada lembaga peradilan yang berwenang untuk mengontrol setiap keputusan

dan produk hukum yang dibuat oleh negara, dapat berfungsi secara bebas

dan mandiri.

Sementara konsepsi demokrasi konstitusional dari Adnan Buyung

Nasution yang dibangun dari pemikiran Herbert Feith ditandai dengan adanya

enam ciri, yaitu :

1) warga sipil memainkan peranan dominan;

2) partai politik memegang peranan yang sangat penting;

3) para pesaing politik menuju kekuasaan memperlihatkan rasa

hormat kepada rules of game, yang berhubungan rapat

dengan konstitusi yang berlaku;

4) kebanyakan anggota elite politik sedikit-banyak mempunyai

rasa komitmen terhadap lambang yang bertalian dengan

demokrasi konstitusional;

5) kebebasan sipil jarang dilanggar;

6) pemerintah jarang menggunakan paksaan (coercion).27

27
Adnan Buyung Nasution, Pikiran & Gagasan Demokrasi Konstitusional, Kompas, Jakarta,
hal. 70-71

21
22

Lebih lanjut Adnan Buyung Nasution memaparkan dua ciri yang

menjadi prinsip umum di dalam suatu negara konstitusional (constitutional

state) adalah adanya pengakuan dan jaminan hak-hak warga negara, serta

pembatasan dan pengaturan kekuasaan negara secara hukum.28 Adapun

kedua unsur tersebut mengarahkan konsep negara konstitusional yang

dimaksud kepada konsep negara konstitusional yang demokratis.

Demokrasi konstitusional terwujud salah satunya dari adanya

perlindungan hak asasi secara individual dan kebebasan (liberty) sehingga

konsep ini sering dipersepsikan dengan prinsip demokrasi liberal.29

Pentingnya perlindungan hak asasi manusia dalam konsepsi

demokrasi konstitusional merupakan wujud konsekuensi dari tipologi

negara hukum modern yang melindungi kepentingan dasar warga

negaranya. Hak asasi manusia adalah hak yang bersifat mendasar

(grounded) dan berhubungan erat dengan jati diri manusia secara

universal.30 Hak asasi dimiliki oleh warga negara secara dasariah dan yang

patut dilaksanakan pemerintah secara konstitusional.31

Hukum memberikan jaminan perlindungan hak asasi, dalam arti hak

hukum (legal right), kepada seseorang dalam kapasitasnya sebagai subyek

hukum yang secara sah tercantum dalam hukum yang berlaku. 32 Pengaturan

28
Taufiqurrohman Syahuri, 2011, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Kencana,
Jakarta, hal. 35.
29
I Dewa Gede Atmadja, Ilmu ..., op.cit, hal. 92.

30
Majda El-Muhtaj, op.cit, hal. 47.
31
Ramly Hutabarat, 1985, Persamaan di Hadapan Hukum (Equality Before The Law) di
Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 25.
32
Majda El-Muhtaj, op.cit, hal. 48-49.

22
23

hak-hak asasi secara konstitusional ditujukan dalam rangka formalisasi hak-

hak tersebut yang mengatur bagaimana tentang perlindungan hak, termasuk

pembatasan hak-hak tersebut secara hukum.

Pembatasan kekuasaan negara melalui supremasi hukum

sebagaimana yang menjadi unsur demokrasi konstitusional merupakan

konkretisasi dari prinsip konstitusionalisme. Definisi konstitusionalisme

menurut Carl. J. Friedrich sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie

adalah―an institutionalized system of effective, regularized restraints upon

governmental action‖. Persoalan yang diangap terpenting dalam setiap

konstitusi adalah pengaturan mengenai pengawasan atau pembatasan

terhadap kekuasaan pemerintah. Paham konstitusionalisme menentukan

adanya suatu sistem yang melembaga dan mampu membatasi tindakan-

tindakan dari pemerintah secara efektif oleh hukum, dalam hal ini melalui

konstitusi.33

Lebih lanjut Carl. J. Friedrich memberikan dua pandangan konkret

yang menjelaskan bagaimana pembatasan kekuasaan tersebut dapat

dilakukan, yakni melalui pembagian kekuasaan (distribution of power), dan

adanya konsensus atau kesepakatan umum di antara masyarakat.34

Perihal cara yang pertama, bahwa pembatasan kekuasaan negara di

dalam paham konstitusionalisme merupakan kristalisasi dari konsep

pemisahan kekuasaan, dimana Baron de Montesquieu memisahkan

kekuasaan menjadi tiga (Trias Politica), yaitu:


33
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara..., op.cit, hal.93
34
I Dewa Gede Atmadja, 2012, Hukum Konstitusi (Problematika Konstitusi Indonesia
Sesudah Perubahan UUD 1945), Setara Press, Malang, hal. 18-19

23
24

1) kekuasaan legislatif (membentuk undang-undang);

2) kekuasaan eksekutif (menjalankan undang-undang);

3) kekuasaan yudisial (mengadili atas pelanggaran undang-

undang).35

Kemudian untuk faktor kedua perihal adanya konsensus dari

masyarakat, bahwa terdapat tiga aspek yang menjamin tegaknya prinsip

konstitusionalisme, yaitu :

a) kesepakatan tentang tujuan dan penerimaan tentang falsafah

negara;

b) kesepakatan tentang negara hukum sebagai landasan

penyelenggaraan pemerintahan;

c) kesepakatan tentang bentuk-bentuk institusi dan prosedur-

prosedur ketatanegaraan tersebut.36

Sebagaimana dipaparkan sebelumnya bahwa pelaksanaan demokrasi

konstitusional erat berkaitan dengan harmonisasi demokrasi dan nomokrasi

dalam penyelenggaraan suatu negara. Janedjri M. Gaffar

mengklasifikasikan secara konkret tiga bentuk pelaksanaan demokrasi

konstitusional, yaitu :

1. adanya penataan hubungan antar lembaga negara; terkait dengan

aspek pencapaian tujuan negara demokrasi dan hukum, serta perihal

pembatasan kekuasaan dengan menghindari adanya akumulasi

kekuasaan yang dapat menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan


35
Ismail Sunny, Pembagian Kekuasaan Negara, Aksara Baru, Jakarta, hal. 2.
36
I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi…, op.cit. hal. 19.

24
25

(melalui pemisahan kekuasaan dan check and balances).

2. adanya proses legislasi; terkait dengan pembuatan hukum secara

demokratis yang memperhatikan aspirasi masyarakat, serta

perwujudan dari cita benegara, cita demokrasi, dan cita hukum

dalam konstitusi.

3. adanya judicial review; terkait dengan jaminan perwujudan

demokrasi dan nomokrasi guna menegakkan supremasi konstritusi

melalui pengujian konstitusionalitas suatu peraturan perundang-

undangan.

Dari paparan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa demokrasi

konstitusional menempatkan paham konstitusionalisme di dalam kerangka

pembentuknya, dimana hak-hak warga negara hanya dapat dijamin apabila

kekuasaan pemerintah dapat dibatasi secara hukum sehingga tidak dapat

bertindak secara sewenang-wenang. Hukum yang dibuat, dalam arti undang-

undang, wajib dibentuk oleh lembaga perwakilan yang dipilih secara

demokratis oleh rakyat. Keberadaan konstitusi dan perundang-undangan

menjadi esensial dalam rangka memberikan jaminan tersebut dan

masyarakat dapat mempertahankan setiap hak- haknya. Penegakan akan

supremasi konstitusi menjadi penting dan adanya sarana hukum untuk

menguji perundangan-undangan terhadap undang-undang dasar merupakan

langkah yuridis sebagai kesatuan dari proses legislasi yang demokratis.

1. Pengertian, Prinsip dan Sejarah demokrasi

Dari zaman Yunani Kuno hingga sekarang, definisi kata demokrasi

25
26

telah mengalami perubahan, menurut sebagian besar ilmuwan politik,

istilah demokrasi mengacu pada pemerintahan yang dipilih oleh rakyat,

baik secara langsung maupun representatif (perwakilan). Menurut

Encyclopaedia Britannica, demokrasi adalah secara harafiah dikuasai

oleh rakyat. Demokrasi berasal dari bahasa Yunani demokratia yang

berarti pemerintahan rakyat.37

Pada pertengahan abad 5 SM, istilah demokrasi untuk menunjukkan

sistem politik yang ada di beberapa negara-kota Yunani, terutama di

Athena. Dikutip dari Kiddle.co, demokrasi berarti pemerintahan oleh

rakyat. Istilah ini digunakan untuk berbagai bentuk pemerintahan di

mana orang dapat mengambil bagian dalam keputusan yang

memengaruhi cara komunitasnya dijalankan. Pemerintahan dengan

demokrasi telah dikembangkan sejak lama oleh orang Yunani Kuno di

kota Athena.38

Mereka mengumpulkan semua orang yang merupakan warga negara

di satu area. Tetapi tidak termasuk budak, wanita, orang asing dan anak-

anak yang tidak mempunyai hak pilih. Majelis akan berbicara tentang

jenis hukum apa yang diinginkan dan dipilih oleh warga negara. Dewan

akan menyarankan undang-undang. Semua warga negara diizinkan di

Majelis. Dewan dipilih dengan undian. Para peserta di Dewan akan

berubah setiap tahun dan jumlah orang di Dewan paling banyak adalah

37
. Arum Sutrisni Putri, Demokrasi: Pengertian, Sejarah Singkat dan Jenis,
https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/21/160000069/demokrasi-pengertian- sejarah-
singkat-dan-jenis?page=all., diakses 10 Mei 2021
38
Ibid.

26
27

500 orang. Pemerintahan dengan demokrasi telah dikembangkan sejak lama

oleh orang Yunani Kuno di kota Athena.39

Mereka mengumpulkan semua orang yang merupakan warga negara

di satu area. Tetapi tidak termasuk budak, wanita, orang asing dan anak-

anak yang tidak mempunyai hak pilih.

Majelis akan berbicara tentang jenis hukum apa yang diinginkan dan

dipilih oleh warga negara. Dewan akan menyarankan undang-undang.

Semua warga negara diizinkan di Majelis. Dewan dipilih dengan undian.

Para peserta di Dewan akan berubah setiap tahun dan jumlah orang di

Dewan paling banyak adalah 500 orang. Untuk beberapa kantor, warga

Athena akan memilih seorang pemimpin dengan menuliskan nama

kandidat favorit mereka pada sepotong batu atau kayu. Orang dengan

suara terbanyak akan menjadi pemimpin.40

Pada Abad Pertengahan, ada banyak sistem di mana ada pemilihan,

meskipun hanya beberapa orang yang dapat bergabung pada saat ini.

Parlemen Inggris dimulai dari Magna Carta, sebuah dokumen yang

menunjukkan bahwa kekuasaan Raja terbatas dan melindungi hak-hak

tertentu rakyat. Parlemen terpilih pertama adalah Parlemen De Montfort

di Inggris pada 1265.41

Namun hanya beberapa orang yang benar-benar dapat bergabung.

Parlemen dipilih oleh hanya beberapa persen orang. Pada 1780 kurang

dari 3 persen orang yang bergabung. Penguasa juga memiliki kekuatan

39
Ibid.
40
Ibid.
41
Ibid.

27
28

untuk memanggil parlemen. Setelah sekian lama, kekuatan Parlemen

mulai tumbuh.42

Setelah Revolusi Glorius pada 1688, Bill of Rights Inggris membuat

parlemen lebih kuat. Kemudian, penguasa menjadi simbol saja dan tidak

memiliki kekuatan nyata.

Terdapat dua jenis demokrasi yaitu demokrasi langsung (direct

democracies) dan demokrasi tak langsung (indirect democracies).

Berikut ini penjelasan masing-masing jenis demokrasi:43

(1) Demokrasi langsung

Dalam demokrasi langsung, setiap orang memiliki hak untuk

membuat hukum bersama. Salah satu contoh modern dari

demokrasi langsung adalah referendum.

Referendum adalah istilah untuk jenis cara pengesahan undang-

undang di mana setiap orang di masyarakat memberikan suara

untuk itu.

Demokrasi langsung biasanya tidak digunakan untuk

menjalankan negara, karena sulit untuk membuat jutaan orang

berkumpul bersama setiap saat untuk membuat undang-undang dan

keputusan lain. 

(2) Demokrasi tak langsung

Dalam demokrasi tidak langsung atau representatif, orang

memilih perwakilan untuk membuat undang-undang bagi mereka.

42
Ibid.
43
Ibid.

28
29

Orang-orang yang terpilih sebagai wakil adalah walikota, anggota

dewan, anggota parlemen atau pejabat pemerintah lainnya. Ini

adalah jenis demokrasi yang jauh lebih umum. Komunitas besar

seperti kota dan negara menggunakan metode ini, tetapi mungkin

tidak diperlukan untuk kelompok kecil.

a) Pemilihan

Istilah demokrasi selalu identik dengan pemilihan. Setelah

orang mengadakan pemilihan, calon yang menang ditentukan.

Cara ini dilakukan bisa sederhana yaitu kandidat dengan suara

terbanyak akan terpilih.

Seringnya, politisi yang terpilih adalah anggota partai

politik. Alih-alih memilih seseorang, orang memilih partai. Partai

dengan suara terbanyak kemudian memilih kandidat. Biasanya

orang-orang yang terpilih harus memenuhi persyaratan tertentu.

Lembaga pemerintah akan menentukan bahwa calon perwakilan

tersebut memenuhi syarat misalnya dari segi usia. Tidak semua

orang bisa memberikan suara dalam pemilihan. Hak pilih hanya

diberikan kepada orang-orang yang merupakan warga negara.

Meski ada beberapa kelompok yang termasuk pengecualian.

Untuk beberapa pemilihan, suatu negara dapat membuat

pemilihan suara menjadi wajib. Seseorang yang tidak memilih

dan yang tidak memberikan alasan biasanya harus membayar

denda.44
44
Ibid.

29
30

b) Penerapan demokrasi

Sejak Perang Dunia II, negara-negara di dunia telah

menerima gagasan demokrasi. Namun demikian, tidak semua

negara di dunia menerapkan demokrasi dalam pemerintahannya.

Negara-negara yang tidak menerapkan demokrasi adalah

Saudi Arabia, Myanmar dan Korea Utara juga beberapa negara

lain Kuba, Brunei dan Vatikan.45

Demokrasi saat ini merupakan kata yang senantiasa mengisi

perbincangan berbagai lapisan masyarakat, mulai dari masyarakat bawah

sampai masyarakat kelas elit, seperti kalanngan elit politik, birokrat

pemerintahan, tokoh masyarakat, aktivis lembaga swadaya masyarakat,

cendikiawan, mahasiswa, dan kaum professional lainnya. Pemahaman

terkait hakikat demokrasi terlebih dahulu diawali denganpengertian

demokrasi itu sendiri. Demokrasi sendiri berasal dari bahasa yunani,

yang mempunyai arti rakyat berkuasa atau kekuasaan tertinggi berada

dalam keputusan rakyat.46

Secara terminologis, menurut Joseph A. Schmeter demokrasi

merupakan suatu perencanaan institutional untuk mencapai keputusan

politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk

memutuskan dengan cara perjuangan kompetitip atas suara rakyat.

Sedangkan Sidney Hook mengatakan, bahwa demokrasi adalah bentuk

45
Arum Sutrisni Putri, Demokrasi: Pengertian, Sejarah Singkat dan Jenis,
https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/21/160000069/demokrasi-pengertian- sejarah-
singkat-dan-jenis?page=all., diakses 10 Mei 2021
46
Jamaludin Ghafur dan Allan Fatchan Gani Wardhana, Presidential Threshold, Setara
Press, Jakarta, 2019, Cet. 1, Hlm. 9

30
31

pemerrintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting

secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan

mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.47

Dari pendapat para ahli diatas terdapat titik taut dan benang merah

tentang pengertian demokrasi yaitu rakyat sebagai pemegang kekuasaan,

pembuat dan penentu keputusan dan kebijakan tertinggi dalam

penyelenggaraan negara dan pemerintahan serta mengontrol pelaksanaan

kebijakannya baik yang dilakukan secara langsung oleh rakyat atau yang

mewakilinya melalui lembaga perwakilan. Karena itu, negara yang

menganut sistem demokrasi diselenggarakan berdasarkan kehendak dan

kemauan rakyat mayoritas dan juga tidak mngenyampingkan

kepentingan kaum minoritas48

B. Rule of Law

Secara umum, supremasi hukum (rule of law) merupakan sebuah

prinsip inti demokrasi liberal yang mewujudkan ide-ide,

seperti konstitusionalisme dan pemerintah dengan kekuasaan terbatas.

Supremasi hukum berupaya untuk menegakkan dan memosisikan hukum

pada tingkatan tertinggi. Hal tersebut sejalan dengan arti supremasi hukum

secara etimologis, yakni supremasi (berada pada tingkatan tertinggi) dan

47
Ibid. Hlm. 10
48
Ibid. Hlm. 10

31
32

hukum (peraturan perundang-undangan dan norma). Supremasi hukum

berfungsi untuk melindungi setiap warga negara tanpa adanya intervensi

dari pihak mana pun, termasuk penyelenggara negara.

Dalam suatu negara, penegakan supremasi hukum dapat berjalan

dengan dua prinsip, yaitu prinsip negara hukum dan prinsip konstitusi.

Dalam prinsip negara hukum, tidak ada penyelewengan yang dilakukan

oleh penegak hukum sehingga masyarakat memiliki kedudukan yang sama

di hadapan hukum. Sementara itu, prinsip konstitusi menjadikan konstitusi

sebagai landasan dalam bermasyarakat sehingga hak setiap warga negara

terjamin. Prinsip supremasi hukum dibangun dan dikembangkan dari teori

liberal tentang hukum yang telah ada sebelumnya. Meskipun demikian,

supremasi hukum juga dianggap sebagai truisme. Dalam pengertian yang

sempit, hukum direduksi menjadi pernyataan bahwa siapa pun harus

tunduk patuh kepada hukum. Prinsip ini kurang memperhatikan

kandungan hukum yang ada sehingga memunculkan pernyataan bahwa

supremasi hukum berlaku di zaman Nazi Jerman dan Uni Soviet karena

penindasan dan kekerasan dibalut legalitas.49

World Justice Project telah menerbitkan indeks negara hukum di

dunia yang terbaru. Laporan bernama Rule of Law Index 2019 itu

memberikan penilaian atas negara-negara dengan menggunakan 8 faktor

dan 44 subfaktor. Indeks Negara Hukum (rule of law) ini merupakan alat

kuantitatif untuk mengukur bagaimana rule of law dalam praktik negara-

49
Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Supremasi_hukum, diakses 12 Mei 2020

32
33

negara yang dikaji. Tim peneliti mewawancarai pakar dari 100 negara dan

dari 17 bidang disiplin.

Mendefinisikan rule of law tidak mudah, dan sejak dulu banyak

pandangan sarjana yang disinggung di bangku akademik. Tim World

Justice Project berangkat dari pandangan bahwa rule of law yang efektif

mampu mengurangi korupsi, memerangi kemiskinan dan penyakit, dan

melindungi masyarakat dari ketidakadilan. Secara tradisional,

mungkin rule of law selalu dihubungkan dengan aparat penegak hukum.

Tetapi sejatinya, isu-isu mengenai keamanan, hak, keadilan, dan tata

kelola pemerintahan mempengaruhi semua orang, karena itu pula World

Justice Project memandang setiap orang adalah pemangku

kepentingan rule of law.

Tahun 2019 ini ada 126 negara yang disigi, termasuk Indonesia.

Lantas, bagaimana posisi Indonesia? Secara umum, posisi Indonesia

berada di tengah-tengah negara yang mendapatkan nilai bagus dan negara

yang mendapatkan skor rendah. Ranking globalnya adalah 62 dari 126

negara. Ini berarti ranking Indonesia mengalami kenaikan dari posisi 64

pada penilaian 2017-2018. Tetapi, jika dilihat berdasarkan masing-masing

faktor, nilainya akan terlihat berbeda.

Ada delapan faktor yang dipakai, yaitu pembatasan kekuasaan

pemerintah (constraints on government powers), absennya korupsi

(absence of corruption), pemerintahan terbuka (open government),

pemenuhan hak-hak dasar (fundamental rights), keamanan dan ketertiban

33
34

(order and security), penegakan aturan (regulation enforcement), civil

justice, dan penanganan perkara pidana (criminal justice).

Dari 8 parameter yang dipakai, Indonesia memperoleh 3 parameter

bernilai low (rendah) dalam ranking global, yaitu civil

justice (102/126), absence of corruption (97/126), dan criminal

justice (86/126). Kategori nilai lain adalah medium, dan high. Pengukuran

menggunakan skor 0-1 dimana nilai 1 dianggap sempurna.

Ketua Badan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum

Indonesia, Asfinawati, berpendapat penilaian rendah terhadap civil

justice itu tidak mengherankan. Ia melihatnya dari banyak peristiwa yang

menghambat hak-hak sipil seperti pembubaran diskusi, pemutaran film,

dialog di kampus, dan menghalangi hak-hak masyarakat sipil untuk

berdemonstrasi menyampaikan pendapat dan kebebasan berekspresi.

Ironisnya, tindakan pembubaran itu tanpa ada perintah dari pengadilan,

bahkan acapkali dilakukan oleh kelompok-kelompok sipil tanpa kehadiran

negara. Minimal, negara tak hadir untuk menghentikan pembubaran

diskusi ilmiah oleh kelompok tertentu. “Kegiatan yang tidak punya

karakter kejahatan seperti diskusi buku dan film pun dibubarkan,”.

Penilaian civil justice rendah mungkin juga diakibatkan oleh

banyaknya peraturan di daerah yang membatasi hak-hak sipil baik dalam

konteks untuk bekerja dan berekspresi maupun dalam menjalankan

kegiatan keagamaan. Pembatasan hak-hak masyarakat sipil acapkali

dilakukan tanpa melalui prosedur hukum di pengadilan.

34
35

Peneliti Indonesia Legal Roundtable (ILR), Erwin Natosmal

Oemar, juga melihat peraturan beracara di pengadilan yang sudah lawas.

Praktik beracara masih menggunakan HIR warisan Belanda. Jadi, ada

substansi hukum yang kurang dibuat dengan konsep otoritarianisme zaman

dulu masih digunakan sampai sekarang.

Masalah itu juga dapat dilihat pada penilaian criminal justice.

Menurut Erwin, penggunaan KUHAP yang disusun pada tahun 1981,

masa ketika Orde Baru sangat berkuasa, membuat sistem penanganan

perkara pidana belum sepenuhnya berjalan pada rel keadilan. Rencana

memperbaiki hukum acara pidana belum terealisasi hingga kini. Ini berarti

ada persoalan politik hukum nasional. “Ada persoalan komitmen

pengambil kebijakan yang berkaitan dengan politik hukum,”.50

Konsep negara Rule of Law merupakan konsep negara yang paling

ideal saat ini, meskipun konsep tersebut dijalankan dengan persepsi yang

berbeda-beda. Terhadap istilah “Rule of Law” ini dalam bahasa Indonesia

sering juga diterjemahkan sebagai “supremasi hukum” (supremacy of law)

atau “pemerintahan berdasarkan atas hukum”. Disamping itu, istilah

“negara hukum” (government by law) atau rechstaat, juga merupakan

istilah yang sering digunakan untuk itu.

Pengakuan kepada suatu negara sebagai negara hukum

(government by law) sangat penting, karena kekuasaan negara dan politik

bukanlah tidak terbatas (tidak absolut). Perlu pembatasan-pembatasan


50
Muhammad Yasin, Melihat Posisi Indonesia dalam Rule ofLaw Indek 2019,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d00828491e66/melihat-posisi-indonesia-dalam-rule-
of-law-index-2019?page=2, diakses 20 mei 2020

35
36

terhadap kewenangan dan kekuasaan negara dan politik tersebut, untuk

menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dari pihak penguasa.

Dalam negara hukum tersebut, pembatasan terhadap kekuasaan negara dan

politik haruslah dilakukan dengan tegas, yang tidak dapat dilanggardan

dapat dilanggar oleh siapapun. Karena itu dalam negara hukum, hukum

memainkan peranannya yang sangat penting, dan berada diatas kekuasaan

negara dan politik. Karena itu pula, kemudian muncul istilah pemerintah

dibawah hukum. Maka terkenall konsep yang di negara-negara yang

berlaku common law disebut system pemerintahan berdasarkan hukum,

bukan berdasarkan kehendak manusia. Sedangkan di negara-negara eropa

continental dikenal konsep negara hukum (rechstaat), sebagai lawan dari

negara kekuasaan (machstaat)51

Dengan demikian, sejak kelahirannya, konsep negara hukum atau

rule of law ini memang dimaksukan sebagai usaha untuk membatasi

kekuasaan penguasa negara agar tidak menyalahgunakan kekuasaan untuk

menindas rakyatnya (abuse o power, abus de droit). Sehingga dapat

dikatakan bahwa dalam suatu negara hukum, semua orang harus tunduk

kepada hukum secara sama, yakni tunduk kepada hukum yang adil. Tidak

ada seorangpun termasuk penguasa negara yang kebal terhadap hukum.

Dalam hal ini, konsep negara hukum tidak bisa menolelir baik sistem

pemerintahan totaliter dictator atau fascis, maupun terhadap sistem

pemerintahan yang berhaluan anarkis. Daan, karena sistem negara


51
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechstaat), Refika Aditama, Bandung,
2011,Cet. Ke-2 Hlm. 2

36
37

totaliter/diktator sering memperlakukan rakyat dengan semena-mena

tanpa memperhatikan harkat, martabat, dan hak-haknya, maka

perlindungan hak-hak pundamental dari rakyat menjadi salah satu esensi

dari suatu negara hukum.

Karena itu, yang dimaksudkan dengan negara hukum adalah suatu

sistem kenegaraan yang diatur berdasarkan hukum yang berlaku yang

berkeadian yang etersusun dalam suatu konstitusi, diaman semua orang

dalam negara tersebut, baik yang diperintah maupun yang memerintah,

haruas tunduk pada hukum yang sama, sehuingga setiap orang yang sama

diperlakukan sama dan setiap orang berbeda diperlakukan berbeda dengan

dasar perbedaan yang rasional , tanpa memandang perbedaan warna kulit,

ras, gender, agama, daerah dan kepercayaan, dan kewenangan pemerintah

dibatasi berdasarkan suatu prinsip distribusi kekuasaan, sehingga

pemerintah tidak bertindak sewenang-wenang dan melanggar hak-hak

rakyat, karenanya kepada rakyat diberikan peran sesuai kemampuan dan

perannya secara demokratis.52

Bentuk pemerintahan Indonesia adalah republic. Disebut Republik

dan bukan Karajaan (monarchi), karena pengalaman bangsa Indonesia

dimasa sebelum kemerdekaan, penuh diliputi oleh sejarah kerajaan-

kerajaan, besar dan kecil diseluruh wilayah Nusantara. Namun, sejak

bangsa Indonesia Merdekadan membentuk negara modern yang di

proklamasikan pada tanggal 17 Qgustus 1945, bentuk pemerintahan yang

dipilih adaah Republik. Oleh karena itu, fasafah dan kultur politik yang
52
Ibid

37
38

bersifat kerajaan yang di dasarka atas sistem feodalisme dan paternalism,

tidaklah di kehendaki oleh bangsa Indonesia modern. Bangsa Indonesia

menghendaki negara modern denga pemerintahan res publica

Dalam konstitusi ditegaskan baha negara Indonesia adalah negara

hukum (rechstaat), bukan negara kekuasaan (machstaat). Didalamnya

terkandung pengertian adanya pengakuan terhadap prinsip supremasi

hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan

kekuasaan menurut sistim konstitusional yang diatur daam UndangUndang

Dasaradanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihakyang

mejamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta menjamin

keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang

oleh pihak yang berkuasa. Dalam paham negara hukum itu, hukumlah

yang memegang komando tertinggi dalam penyelenggaraan negara. yang

sesungghnya memimpin dalam penyelenggaraan negara adalah hukum itu

sendiri sesuai dengan prinsip the rul of law, and not of man, yang sejalan

dengan pengertian nomocratie, yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh

hukum, nomos.53

Dalam paham negara hukum yang demikian, harus diadakan

jaminan bahwa hukum itu sendiri dibangun dan ditegakkan menurut

prinsip-prinsip demokrasi. Karena prinsip supremasi hukum dan

kedaulatan hukum itu sendiri pada pokoknya berasal dari kedaulatan

rakyat. Prinsip negara hukum hndaklah dibangun dan dikembangkan


53
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
Cet. Ke-4, 2017, Hlm. 56

38
39

menrut prinsip-prinsip demokrasi atau kedau;latan rakyat (democratische

rechsstaat). Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan, dan

ditegakkan dengan tanga besi berdasarkan kekuasaan belaka (machsstaat).

Prinsip negara hukum tidak boleh ditegakkan dengan mengabaikan

prinsip-prinsip demokrasi yang diatur dalam Undang-Undang Dasar. Oleh

karena itu, perlu ditegaskan pula bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat

yang dilakukan menurut Undang-Undang Dasar (constitutional

democracy) yang diimbangi dengan penegasan bahwa negara Indonesisa

adalah negara hukum yang berkedaulatan rakyat atau demokratis

(democratische rechsstaat).54

C. Partai Politik dan Demokrasi

Minat kajian ilmu pengetahuan terhadap partai politik berkebnag

sekitar abad ke XlX, tetapi dasar-dasar kepartaian secara substansi hampir

besamaan dengan keberadaan perkembangan hidup manusia. Sebagai

mahluk individu, hidup berkelompok adalah tabiat alamiah manusia

seperti dipopulerkan oleh Aristoteles dengan istilah zoon politicon.

Menurut Aristoteles, dasar pengelompokkan hidup manusia bermula dari

persekutuan (partnership) dalam kehidupan rumah tangga, lalu

berkembang menjadi perkampungan (small city) hingga dalam

persekutuan politik yang lebih besar yang kemudian disebut negara.

terdapat dua hal mendasar dari uraian diatas yang dapat dipandang sebagai
54
Ibid, Hlm. 57

39
40

dimensi persekutuan hidup manusia antara lain: pertama, dimensi

genealogis yang bermula dari kehidupan rumah tangga hingga

berkembang dalam persekutuan kekerabatan kekeluargaan, suku, etnik,

ras, dan keyakinan serta identitas dan nilai kultural yang secara inhern

melekat dan membentuk ikatan-ikatan emosional yang bersifat primordial;

kedua, dimensi kewilayahan, yakni suatu tahapan persekutuan yang telah

berkembang pada tingkatan interaksi dan integrasi multietnik dan beragam

nilai, tetapi kemudian dipersatukan oleh ikatan-ikatan emosional yang

bersifat kedaerahan. Praktik pengelompokkan partai yang didasarkan pada

dua pendekatan diatas telah menjadi bagian penting dari bangunan

demokrasi yunani kuno.55

Partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang

sangat penting dalam setiap sistem demokrasi. Partai memainkan peran

penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan

drngan warga negara. bahkan banyak yang betpendapat bahwa partai

politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi, seperti dikatakan oleh

Schattscheider (1942), “Political parties created democracy”. Karena itu,

partai merupakan pilar yang sangat penting untuk diperkuat derajat

pelembagaannya (the degree of institutionalization) dalam setiap sistem

politik dan demokratis. Bahkan oleh Schattscheider dikatakan pula,

“Modern democracy isunthinkable save in terms of the parties”56

55
Firdaus, Desain Stabilitas Pemerintahan demokrasi & Sistem Kepartaian, Yrama Widya,
Bandung, Cet. 1, 2015, Hlm. 132-133
56
Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat pembubaran Partai Politik dan Mahkamah
Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, Hlm.
52

40
41

Namun demikian, banyak juga pandangan kritisdan bahkan skeptic

terhadap partai politik. Yang paling serius diantaranya menyatakan bahwa

partai politik itu sebenarnya tidak lebih daripada kendaraan politik bagi

sekelompok elite yang berkuasa atau berniat memuaskan “nafsu birahi”

kekuasaannya sendiri. Partai politik hanya berfungsi sebagai alat bagi

segelintir orang yang kebetulan beruntung memenangkan suara rakyat

yang mudah dikelabui, untuk memaksakan berlakunya kebijakan-

kebijakan publik tertentu ’at the expence of the general will’ (Rousseau,

1762) atau kepentingan umum (Perot, 1992).

Dalam suatu negara demokrasi, kedudukan dan peranan setiap

lembaga negara haruslah sama-sama kuat dan bersifat saling

mengendalikan dalam hubungan “chek and balances”. Akan tetapi jika

lembaga-lembaga negara tersebut tidak berfungsi dengan baik, kinerjanya

tidak efektif, atau lemah wibawanya dalam menjalankan fungsinya

masing-masing, maka yang sering terjadi adalah partai-partai politik yang

rakus atau ekstrim lah yang merajalela menguasi dan mengendalikan sgala

proses-proses penyelengaraan fungsi-fungsi pemerintahan

Oleh karena itu, sistem kepartaian yang baik sangat menentukan

bekerjanya sistem ketata negaraan berdasarkan checks and balances dalam

arti yang luas. Sebaliknya, efektif bekerjanya fungsi-fungsi kelembagaan

negara itu sesuai prinsip checks and balances berdasarkan konstitusi juga

sangat menentukan kualitas sistem kepartaian dan mekanisme demkrasi

yang dikembangkan di suatu Negara. semua ini tentu berkaitan erat dengan

41
42

dinamika pertumbuhan tradisi dan kultur berfikir bebas dalam kehidupan

bermasyarkat. Tradisi berfikir atau kebebasan berfikir itu pada gilirannys

mempengaruhi tumbuh-berkembangnya prinsip-prinsip kemerdekaan

berserikat dan berkumpul dalam dinamika kehidupan masyarakat

demokratis yang bersangkutan.57

Meski telah berkembang ddi antara varian ruang dan waktu dalam

lintasan sejarah. Hingga diterima secara luas oleh hampir seluruh

penduduk bumi saat ini, sebagai landasan mengelola kehidupan bersama

mulai dari persekutuan terkcil sampai persekutuan terbesar, elaborasi

demokrasisepertinya tidak lengkap tanpa membuka kembali bab-bab

sejarah kelahirannya, terutama spirit dan inspirasi yang tersimpan di balik

terminologinya. Hal ini menjadi sangat penting, tidak saja karena

demokrasi telah di terima luas oleh sebagian besar penduduk dunia, tetapi

lebih dari itu, sprit tonggak-tonggak perubahan yang diciptakannya, baik

secara substantive maupun secara procedural mengenai tata kelola

pemerintahan negara yang memungkinkan distribusi hak dan kewajiban

yang sama bagi warga negara untuk terlibat dan berpartisipasi di

dalamnya.58

Partai politik merupakan sarana bagi warga negara untuk turut serta

atau berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara. dewasa ini partai

poltik sudah sangat akrab di lingkungan kita. Sebagai lembaga politik,

partai bukan sesuatu yang dengan sendirinya ada. Kelahirannya


57
Ibid, Hlm. 52-53
58
Firdaus, Desain Stabilitas Pemerintahan demokrasi & Sistem Kepartaian, Yrama
Widya, Bandung, Cet. 1, 2015, Hlm. 41

42
43

mempunyai sejarah yang cukup panjang, meskipun belum juga cukup tua.

Bisa dikatakan partai politik merupakan organisasi yag baru dalam

kehidupan manusia, jauh lebih muda dibandingkan dengan organisasi

negara. dan ia baru ada di negara modern.

Sebagai subjek penelitian ilmiah, partai politik tergolong relatif

muda. Baru pada awal abad ke-20 studi mengenai masalah ini dimulai.

Sarjana-sarjana yang berjasa mempelopori antara lain adalah M.

Ostrogorsky (1902), Robert Michels (1911), Maurice Duverger (1951),

dan Sigmun Neumann (1956). Setelah itu, beberapa sarjana behavioral,

seperti Joseph Lapalombara dan Myron Weiner, secara khusus

meneropong masalah partai dan hubungnnya dengan pembangunan politik.

Kedua sarjana ini kemudian menuangkan pemikiran dan hasil studinya

dalam bukunya yang berjudul Political Parties and Political Development

(1966). Disamping itu, G. Satori dengan bukunya Parties and Party

System: A Framework for Analysis (1976) merupakan ahli lebih

kontemporer yang terkenal.

Dari hasil karya sarjana-sarjana ini Nampak adanya usaha serius

kearah penyusunan suatu teori yang komprehensip (menyeluruh) mengenai

partai politik. Akan tetapi, sampai pada waktu itu, hasil yang dicapai masih

jauh dari sempurna, bahkan bisa dikatakan tertinggal, bila dibandingkan

dengan penelitian-penelitian lain di dalam ilmu politik.59

1. Sejarah Perkembangan Partai Politik

59
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pusaka Utama, Jakarta, 2008,
Hlm. 397

43
44

Partai politik merupakan salah satu infrastruktur politik terpenting

dalam sistem demokrasi modern. Cikal bakal partai politik muncul di

Eropa Barat dari kumpulan orang-orang yang mengorganisir diri

dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik. Adanya partai politik

adalah indikasi sistem politik suatu negara yang sudah modern. Partai

politik dijalankan secara rasional dengan logika birokrasi yang

beroperasi dalam sistem manajemennya.60

Sejak negara Indonesia berdiri, aspirasi rakyat yang beragam sudah

tercermin dari kemunculan beberapa partai politik yang mengusung

ideologi yang beragam pula. Tiga ideologi besar yang pada saat itu

diadopsi antara lain; nasionalisme, ideologi berbasis agama, dan

komunisme.

Saat ini, dengan perkembangan demokrasi Indonesia yang sudah

mencapai era reformasi, partai politik tetap eksis. Sangat krusial bagi

para pembelajar khususnya mereka yang studi ilmu sosial mengerti

tentang partai politik. Bukan sebatas apa itu partai politik, namun juga

mengapa parpol harus eksis dan apa fungsinya bagi kehidupan sosial

secara lebih luas.

Definisi sederhana yang sering diajarkan dalam kelas ilmu politik

adalah parpol merupakan sekumpulan orang yang terorganisir

melakukan aktivitas politik dengan orientasi merebut atau

mempertahankan kekuasaan melalui dukungan suara rakyat.

60
Horkheimer & Adorno, Partai Politik: Pengertian, Sejarah dan Fungsinya, http:/
/sosiologis. com /partai-politik, diakses 21 Mei 2020

44
45

Cukup sering kita mendengar istilah ”parpol sebagai kendaraan

politik”. Ini berarti, parpol juga berperan sebagai instrumen guna

meraih posisi strategis atau jabatan dalam stuktur di pemerintahan.

Untuk lebih memahami pengertian parpol, kita perlu juga menyimak

beberapa definisi yang pernah diusiulkan oleh para ahli ilmu politik.

Sigmund Neumann berpendapat bahwa parpol adalah

organisasi dari aktivitas-aktivitas politik yang berusaha

mendapatakan kekuasaan pemerintahan dengan merebut

dukungan rakyat dalam konteks persaingan dengan organisasi

atau golongan lain yang memiliki pandangan berbeda.

Carl J. Friedrich mendefiisikan partai politik sebagai

sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan

tujuan mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi

pemimpn partainya dimana konsekuensinya, para anggota partai

mendapat keuntungan baik secara idiil maupun materiil.

H. Soltou berpendapat bahwa parpol adalah sekelompok warga

negara yang terorganisir dan bertindak sebagai suatu kesatuan

politik yang memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih,

menguasai pemerintahan, dan melaksanakan kebijaksanaan

umum.

Dari paparan mengenai pengertian di atas, kita bisa ambil

kesimpulan bahwa partai politik merupakan aktivitas terorganisir yang

berorientasi meraih kekuasaan di struktur pemerintahan suatu negara.

45
46

Indonesia merupakan negara yang pemimpinnya dipilih secara

demokratis melalui pemilu setelah diusung oleh partai politik. Artinya

kekuasaan dalam struktur pemerintahan di Indonesia tak bisa

diperoleh, kecuali segelintir saja yang berhasil melalui jalur

independen, tanpa dukungan partai politik.

Sistem partai tunggal, yaitu parpol yang eksis di suatu negara

hanya satu. Secara otomatis, pemerintah negara tersebut tidak

memiliki partai oposisi. Kontrol terhadap kekuasaan pemerintah

dilakukan dalam internal parpol itu sendiri. Beberapa negara yang

menerapkan sistem partai tunggal yaitu Kuba, Korea Utara, Cina,

Pantai Gading, dan Guinea

Sistem dwi partai, yaitu hanya ada dua parpol yang eksis di suatu

negara. Oleh karena hanya ada dua partai, peran yang dimainkan

sangat jelas, satu partai sebagai penguasa, satunya lagi sebagai

oposisi. Kedua partai berkompetisi ”abadi” satu sama lain. Amerika

Serikat merupakan negara yang menerapkan sistem dwi partai.

Sistem multipartai, yaitu parpol yang eksis lebih dari dua.

Jumlahnya persisnya bervariasi. Munculnya multipartai bisa

disebabkan oleh konteks sosial negara itu yang majemuk.

Kemajemukan bisa dilihat dari berbagai hal misalnya, dari ras, suku,

agama, kebudayaan, sampai ideologi. Indonesia adalah salah satu

negara yang menganut sistem multipartai.

46
47

Bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka, kemajemukan sudah

menjadi karakter utama masyarakat di nusantara. Integrasi sosial yang

diekspresikan melalui sumpah pemuda pada 1928 menunjukkan

bahwa kekuatan yang menyatukan bangsa Indonesia adalah visi besar

untuk merdeka ditengah keragaman yang ada dalam berbagai bentuk,

tak terkecuali keragaman ideologi.

Manifestasi kesadaran nasional untuk menjadi bangsa yang

merdeka memunculkan beberapa pola kepartaian dengan asas dan

ideologi yang berbeda. Sebagai contoh, Budi Utomo dan

Muhammadiyah berasas sosial. Masyumi, Partai Syarikat Islam

Indonesia (PSII), Partai Katolik, dan Partai Kristen Indonesia

(Parkindo) berasakan pada agama. Partai Nasional Indonesia (PNI)

berideologi nasionalisme. Partai Komunis Indonesia (PKI) mengusung

ideologi komunisme. Beberapa parpol tersebut sudah mulai eksis

sejak Indonesia masih berada di bawah kekuasaan sistem kolonial

Belanda. Ketika Jepang masuk, kegiatan partai politik dilarang kecuali

golongan Islam yang membentuk Partai Masyumi.

Pada 1945, setelah pemindahan kekuasaan sampai ke tangan para

pendiri bangsa Indonesia, parpol yang sudah disebutkan di atas hidup

kembali. Persaingan partai politik berlangsung secara terbuka. Disini

akan dijelaskan dengan membagi dinamika parpol dalam perpolitikan

di Indonesia ke dalam beberapa fase politik.

Masa demokrasi liberal (1945-1959)

47
48

Masa ini ditandai dengan kebebasan mendirikan partai politik.

Peranan partai politik sangat dominan dalam struktur pemerintahan.

Namun demikian, dominasi parpol justru menciptakan kerentanan

terhadap perpecahan. Masing-masing elit politik mementingkan

golongannya atau partai politik yang mengusungnya. Pemerintahan

berjalan tidak stabil. Masa demokrasi liberal berakhir dengan

dikeluarkannya Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.

Masa demokrasi terpimpin (1959-1966)

Pada masa ini, peran Presiden sangat dominan dalam struktur

pemerintahan. Partai politik melemah karena wewenangnya dibatasi

sebagaimana tertulis dalam Dekrit Presiden. Namun dinamika politik

meruncing pada rivalitas tiga kubu besar, yaitu antara Sukarno yang

didukung PNI, PKI yang berhaluan komunis, dan Militer. Periode ini

berakhir dengan adanya peristiwa yang disebut oleh rezim setelahnya

sebagai G 30 S / PKI.

Masa orde baru (1966-1998)

Parpol pada masa ini dirampingkan oleh rezim Orde Baru. Jumlah

partai disederhanakan menjadi tiga, yaitu Partai Persatuan

Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan PDI (Partai

Demokrasi Indonesia. PPP merupakan gabungan dari NU, Parmusi,

PSII, dan Partai Islam. Golkar adalah partai penguasa. PDI merupakan

48
49

gabungan dari Parkindo, Partai Katolik, PNI, Murba, dan PKI. Pada

masa ini, wakil rakyat dipilih oleh Presiden. Masa orde baru berakhir

setelah peristiwa reformasi 1998.

Masa reformasi (1998-sekarang)

Masa ini dimulai setelah mundurnya Suharto dari kursi presiden.

Partai politik yang semula tiga berkembang biak menjadi 48 yang ikut

serta pada pemilu 1999. Reformasi berhasil mengubah struktur politik

secara fundamental. Pemimpin pemerintahan, yaitu Presiden dan

Wakil Presiden serta wakil rakyat sejak pemilu 2004 dipilih langsung

oleh rakyat. Sampai saat ini, Indonesia masih mengadopsi sistem

multipartai kendati jumlahnya tidak selalu konsisten.

Dinamika partai politik di Indonesia dibentuk oleh dinamika politik

yang khas tiap fase. Eksistensi partai politik juga ditentukan oleh

rezim yang berkuasa. Kita bisa lihat bahkan sebelum merdeka, ketika

Jepang datang menjajah. Hanya satu partai yang diijinkan beraktivitas.

Partai politik pertama-tama lahir di negara-negara Eropa Barat.

Dengan meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang

perlu diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik, maka

partai politik telah lahir secara spontan dan berkembang menjadi

penghubung antara rakyat di satu pihak dan pemerintah di pihak lain.61

61
Ibid.

49
50

Pada awal perkembangannya, pada akhir dekade18-an di negara-

negara barat seperti Inggris dan Prancis, kegiatan politik dipusatkan

pada kelompok-kelompok politik dalam parlemen. Kegiatan ini mila-

mula bersifat elitis dan aristokratis, mempertahankan kepentingan

kaum bangsawan terhadap tuntutan-tuntutan raja.62

Dengan meluasnya hak pilih, kegiatan politik juga berkembang di

luar parlemen dengan terbentuknya panitia-panitia pemiliha yang

mengatur pengumpulan suara pendukungnya menjelang masa

pemilihan umum (kadang-kadang dinamakan caucus party). Oleh

karena dirasa perlu memperoleh dukungan dari berbagai goongan

masyarakat kelompok-kelompok politik di parlemen ambat laun juga

berusaha mengebangkan organisasi massa. Maka pada akhir abad ke-

19 lahirlah partai politik, yang pada masa selanjutnya berkembang

menjadi penghubung (link) antara rakyat di satu pihak dan

pemerintah di pihak lain.63

Partai semacam ini dalam praktiknya hanya mengutamakan

kemenangan dalam pemilihan umum, seangkan pada masa antara dua

pemilihan umum biasanya kurang efektif.agi pua partai sering tidak

memiliki disiplin partai yang ketat, dn pemunggutan iuran tidak terlalu

dipentingkan. Partai ini dinamakan patronage party (partai lindungan

yang dapat dilihat dalam rangka patron-client relationship) , yang juga

bertindak semacam broker. Partai mengutamakan kekuatan

62
Ibid.
63
Ibid.

50
51

berdasarkan keunggulan jumlah anggota; maka dari itu ia sering

dinamakan partai massa. Oleh karena itu ia biasanya terdiri atas

pendukung dari bebagai aliran politik dalam masyarakat, yang sepakat

untuk bernaung dibawahnya untuk memperjuangkan suatu program

tertentu. Program ini biasanya luas dan agak kabur karena harus

memperjuangkan terlalu banyak kepentingan yang berbeda-beda.

Contoh: partai republik dan partai demokrat di Amerika Serikat.64

Dalam perkembangan selanjutnya di dunia barat timbul pula partai

yang lahir di luar parlemen. Partai-partai ini kebanyakan bersandar

pada suatu asas atau ideologi tertentu seperti sosialisme, fasisme,

komunisme, Kristen democrat, dan sebagainya. Dalam partai semacam

ini disiplin partai lebih ketat.65

Pimpinan partai yang biasanya sangat sentralis menjaga kemurnian

doktrin politik yang dianut dengan jalan mengadakan saringan

terhadap calon anggotanya dan memecat anggota yang menyimpang

dari garis partai yang telah ditetapkan. Maka dari itu partai semacam

ini sering dinamakan partai kader, partai ideology atau partai asas

(sosialisme, fasisme, komunisme, sosial demokrat). Ia mempunyai

pandangan hidup yag digariskan dalam kebijakan pimpinan dan

berpedoman pada disipklin partai yang ketat dan mengikat.66

2. Definisi Partai Politik

64
Ibid.
65
Ibid.
66
Ibid.

51
52

Pengertian partai Partai yang dimaksud dalam undang-undang

partai poitik nomor 2 tahun 2008 adalah organisasi yang bersifat

nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara

sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk

memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota,

masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara

Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan

UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.67

Sedangkan yang dimaksud Partai Politik dalam undang-undang

nomor 31 tahun 2002 adalah organisasi politik yang dibentuk oleh

sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas

dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan

kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui

pemilihan umum.68

Partai adalah setiap organisasi yang dibentuk oleh warga negara

Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak

untuk memperjuangkan baik kepentingan anggotanya maupun bangsa

dan negara melalui pemilihan umum.69

Definisi lainnya adalah kelompok yang terorganisir yang anggota-

anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama.

Bisa juga di definisikan, perkumpulan (segolongan orang-orang) yang

seasas, sehaluan, setujuan di bidang politik. Baik yang berdasarkan


67
UU Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik Pasal 1 ayat (1)
68
UU Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik Pasal 1
69
UU Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik Pasal 1 Ayat (1)

52
53

partai kader atau struktur kepartaian yang dimonopoli oleh sekelompok

anggota partai yang terkemuka. Atau bisa juga berdasarkan partai

massa, yaitu partai politik yang mengutamakan kekuatan berdasarkan

keunggulan jumlah anggotanya. Tujuan kelompok ini ialah untuk

memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik -

(biasanya) dengan cara konstitusional  untuk melaksanakan kebijakan-

kebijakan mereka.70

Sebab partai politik dianggap mempunyai kemampuan untuk

menyalurkan partisipasi politik masyarakat yang kompleks tersebut.

Semakin kompleks sebuah masyarakat, maka keberadaan partai politik

akan semakin diperlukan sebagai penyalur aspirasi dan penyalur

partisipasi politik masyarakat. Tanpa adanya partai politik,

kepentingan dan partisipasi politik rakyat akan kurang tersalurkan.

Miriam Budiarjo dalam bukunya Dasar-Dasar Ilmu Politik (2009)

mengartikan partai politik sebagai suatu kelompok terorganisir yang

anggota-anggotanya memiliki orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang

sama. Tujuan utama partai politik adalah untuk mendapatkan

kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dengan cara

konstitusional guna melaksanakan programnya. Dalam program

tersebut salah satunya mengandung aspirasi yang berasal dari

masyarakat.71

70
Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Supremasi_hukum, diakses 12 Mei 2020
71
Cahya Dicky pratama, Partai Politik: Definisi dan Fungsinya
Partai Politik: Definisi dan Fungsinya", https://www.kompas.com /skola /read/
2020/12/17/173749669/partai-politik-definisi-dan-fungsinya?page=all, diakses21 Mei 2020

53
54

Partai politik berangkat dari anggapan bahwa dengan membentuk

wadah organisasi mereka bisa menyatukan orang-orang yang

mempunyai pikiran serupa sehingga pikiran dan orientasi mereka bisa

dikonsolidasikan. Dengan begitu, pengaruh meraka bisa lebih besar

dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan.

Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suau

kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi,

nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk

memperoleh kekuasaan dan merebut kedudukan politik, biasanya

dengan cara konstitusional untuk melaksanakan programnya.72

3. Fungsi Partai Politik

Partai Politik berfungsi untuk melaksanakan pendidikan politik

dengan menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran atas hak dan

kewajiban politik rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;

menyerap, menyalurkan dan memperjuangkan kepentingan masyarakat

dalam pembuatan kebijakan negara melalui mekanisme badan-badan

permusyawaratan/ perwakilan rakyat; mempersiapkan anggota

masyarakat untuk mngisi jabatan-jabatan politik sesuai dengan

mekanisme demokrasi. Partai Politik sebagai lembaga demokrasi

merupakan wahana guna menyatakan dukungan dan tuntutan dalam

proses politik.73

72
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008,
Hlm. 403-404
73
UU Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik Pasal 7 Ayat (1) hurup (a) dan (b)

54
55

Tujuan umum Partai Politik adalah untuk mewujudkan cita-cita

nasional Bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945 dan mengembangkan kehidupan

demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi

kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. dan

Tujuan khusus Partai Politik adalah memperjuangkan cita-cita para

anggotanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara.74

Tujuan umum partai politik adalah mewujudkan cita-cita nasional

bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan

menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik

Indonesia; dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat

Indonesia. Serta tujuan khusus partai politik adalah memperjuangkan

cita-citanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara.75

Sejauh ini, penjelasan di atas menunjukkan bahwa tujuan parpol

pada prinsipnya adalah meraih kekuasaan di pemerintahan. Parpol juga

dapat berperan sebagai kendaraan untuk meraih kekuasaan. Jika dilihat

dari fungsinya, apakah parpol hanya berfungsi untuk meraih atau

mempertahankan kekuasaan politik di pemerintahan? Menurut pakar


74
UU Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik Pasal 5 Ayat (1) dan Ayat (2)
75
UU Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik Pasal 6 Ayat (1) dan Ayat (2)

55
56

politik Sigmund Neumann, fungsi parpol tidak hanya itu. Berikut ini

beberapa fungsi partai politik beserta penjelasan singkatnya.

1. Parpol sebagai sarana rekruitmen politik, yaitu proses kaderisasi

dan upaya-upaya lain untuk meraup suara pemilih.

2. Parpol sebagai sarana sosialisasi politik, yaitu penyampaian visi

dan misi politik kepada publik yang merupakan subjek dari

kebijakan politik.

3. Parpol sebagai sarana pengatur konflik, yaitu penawar konflik yang

bersumber dari perbedaan kepentingan individual atau golongan.

4. Parpol sebagai sarana komunikasi politik, yaitu proses

mempertahankan atau menolak argumentasi politik dalam

penyelenggaraan pemerintahaan.

D. Ambang Batas dan Pemilu

Secara teoritis, ambang batas atau yang dikenal juga dengan istilah

threshold dalam sistem pemilu merupakan batas minimal dukungan yang

harus dimiliki oleh setiap partai politik untuk mendapatkan kursi

keterwakilanny di parlemen (Reynold & Reilly, 1997:88). Ada dua jenis

ambang batas dalam pemilu: ambang batas parlemen (parliamentary

threshold) dan ambang batas presiden (presidential threshold). Ambang

batas parlemen merupakan batas minimal persen dari total keseluruhan

yang harus diperoleh oleh setiap partai politik yang telah sah menjadi

peserta pemilu untuk kemudian diikutsertakan dalam penghitungan kursi

diparlemen. Konsep yang sama juga berlaku jika ada sebutan ambang

56
57

batas presiden, hal itu menunjukan bahwa ada batas persen minimal yang

harus dimiliki oleh seorang kandidat presiden atau wakil presiden jika

mereka ingin bertarung dalam arena pemilu. Batas minimal angka

presidential threshold biasanya adalah minimal persentase suara hasil

pemilihan legislative (pileg) yang dimiliki oleh partai politik pengusung

sehingga suara tersebut menjadi modal dukungan terhadap kandidat

presiden tertentu.76

Ambang batas sendiri bisa diberlakukan pada dua jenis: pertama,

secara legal atau ambang batas formal dan kedua, sebagai sebuah

perangkat matematis sistem pemilu atau ambang batas efektif atau alami.

Mengenai ambang batas formal, jenis ini dituangkan dalam undang-

undang atau ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur sistem

proporsional representation (PR). Sebagai contoh, pada sistem-sistem

campuan di Jerman, Selandia Baru dan Rusia diberlakukan 5 persen

ambang batas untuk bagian PR. Oleh karena itu partai-partai yang gagal

memperoleh 5 persen suara tingkat nasional, tidak berhak mendapatkan

kursi dari daftar PR. Awal mula konsep ini adalah keinginan untuk

membatasi pemilihan kelompok-kelompok ekstrem di Jerman dan didesain

untuk menghalangi partai-partai kecil mendapatkan keterwakilannya. Baik

di Jerman maupun selandia Baru, ada jalur “pintu belakang” agar sebuah

partai berhak memperoleh kursi dari daftar. Di selandia Baru sebuah partai

harus meraih sekurang-kurangnya satu kusri konstituenti. Sementara itu di


76
Ridho Al-Hamdi, Ambang Batas Pemilu Pertarungan Partai Politik dan Pudarnya
Ideologi di Indonesia, UMY Press, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta, 2020,
Hlm: 7-8

57
58

Jerman harus mendapatkan tiga kursi untuk menerobos persyaratan

ambang batas. Di Rusia, pada tahun 1995tidak ada jalur pintu belakang,

dan hampir separuh suara daftar partai terbuang (Reynold & Reilly,

1997:88).77

Di negara lain, ambang batas formal berkisar dari 0,67 persen di

Belanda hingga 10 persen di Turki. Partai-partai yang meraih kurang dari

persentase suara ini disingkirkan dari perhitungan. Contoh mencolok dari

kasus ini adalah pemilihan di Turki pada tahun 2002, disana begitu banyak

partai tidak mampu memenuhi ambang batas 10 persen hingga 46 persen

dari seluruh suara terbuang. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa

keberadaan ambang batas formal sebenarnya cenderung semakin

meningkatkan angka disproporsionaltas karena suara bagi partai-partai

mestinya memperoleh keterwakilannya di parlemen menjadi terbuang

tanpa bisa dikonversi lagi menjadi kursi. Di Polandia pada tahun 1933,

bahkan dengan ambang batas relatif rendah, yaitu 5 persen untuk partai

dan 8 persen untuk koalisi, lebih dari 34 persen suara diberikan untuk

partai dan kolisi yang tidak mampu melewati ambang batas tersebut

(Reynold & Reilly, 1997:88).78

Dengan demikian, penerapan model ambang batas formal ini pada

dasarnya tidak begitu ramah terhadap keberadaan partai-partai kecil dan

cenderung mendukung keberadan partai-partai besar. Model ambang batas

ini juga pada tujuan penyederhanaan partai, sekalipun sebuah negara

77
Ibid. Hlm. 8
78
Ibid. Hlm. 9

58
59

menganut sistem multi partai, penerapan model ini lebih mengarahkan

pada sistem multi partai sederhana agar partai yang memiliki kursi di

parlemen tidak begitu banyak dan koalisi yang terbangun tidak begitu

melelahkan. Konsekwensinya, meskipun partai-partai baru selalu muncul

dalam setiap momen pemilu, bukan suatu hal yang mudah bagi mereka

untuk berjuang dalam mengumpulkan suara pemilih agar partai-partai baru

tersebut mampu melewati batas minimum yang dipersyaratkan oleh

undang-undang. Para kandidat legislatif pun harus berfikir pragmatis,

daripada mereka maju sebagai kandidiat melalui partai kecil atau baru

yang belum tentu memberikan kepastian lolos threshold, lebih baik mereka

bergabung dengan partai besar yang sudah bisa dipastikan lolos threshold

tanpa harus bekerja keras. Sistem pemilu di Indonesia, terutama sejak

pemilu 2009, cenderung mengarah pada penggunaan model ini, namun,

pengnggunaan model ini di Indonesia hanya berlaku pada pemilu nasional,

belum berlaku pada pemilu daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota.79

Sementara itu, dalam penerapan model ambang batas efektif,

tersembunyi atau alami diciptakan sebagai produk sampingan matematis

sifat-sifat khas sistem pemilu, yaitu besaran daerah pemilihan adalah yang

paling penting, sebagai contoh, dalam sebuah daerah pemillihan dengan

empat kursi menggunakan sistem PR, kandidat manapun yang meraih

lebih 20 persen suara akan terpilih, sementara dengan kandidat yang

kurang dari sekitar 10 persen (angka tepatnya bisa sangat beragam

79
Ibid.

59
60

tergantung pada konfigurasi partai, kandidat dan suara), tampaknya tidak

akan terpilih sebagai anggota parlemen (Reynold & Reilly, 1997:88).80

Model ambang batas yang kedua ini adalah model ambang batas

alami, yaitu threshold diberlakukan sejak awal proses pemilihan.

Sederhananya, suara rakyat menjadi ambang batas keterpilihan seorang

calon legislatif. Di Indonesia, mode ambang batas ini diberlakukan pada

pemilu daerah baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota.

Semua partai politik pada akhirnya bisa memperoleh kursi diparlemen

(DPRD) meskipun partai tersebut hanya memperoeh satu kursi. Hanya saja

untuk membentuk fraksi di parlemen ada syarat tersendiri sehingga jika

sebuah partai politik tidak mampu memenuhi syarat pembentukan sebuah

fraksi, partai tersebut harus meleburkan dirinya kepada fraksi yang sudah

ada atau membentuk fraksi baru dari gabungan partai politik yang sama-

sama tidak memenuhi syarat pembentukan sebuah fraksi. Di pemilu

nasional Indonesia, sistem ini pernah diberlakukan pada pemilu 1999 dan

2004, tetapi setelah itu tidak diberlakukan lagi karena beralih mengadopsi

model ambang batas formal.81

E. Perjalanan Ambang Batas Pemilu di Indonesia

Runtuhnya rezim otoriter Soeharto pada tahun 1998

memberikan peluang bagi para reformis untuk melakukan demokratisasi

melalui pembangunan kebijakan-kebijakan yang dapat merespon cita-

80
Ibid.
81
Ibid.

60
61

cita reformasi. Demokratisasi tentunya membutuhkan sebuah

amandemen terhadap konstitusi lama dan di sisi lain juga perlu merombak

Undang-Undang Pemilihan Umum yang sebelumnya telah dirancang

secara ‘menguntungkan’ oleh dan untuk Sang Rezim (Naharuddin, 2016:

16). Hal ini adalah sebuah konsekuensi, sebagaimana Pemilu merupakan

salah satu indikator untuk menilai demokrasi (Savirani, 2019: 6).

Farrel juga menyatakan bahwa Pemilu juga dapat diibaratkan sebagai

roda yang menjamin demokrasi bisa terus berjalan secara layak (Farrell,

2011:2).82

Seperti yang sering terjadi pada negara-negara yang memiliki

kemajemukan kompleks, keruntuhan rezim di Indonesia juga diikuti

oleh proliferasi partai dan organisasi baru yang sebelumnya merasa

dibungkam (Lee & Magenda, 2019: 11). Sebagaimana reformasi

politik yang memengaruhi Pemilu adalah dihapuskannya ketentuan

Orde Baru yang membatasi hanya tiga partai politik (parpol) yang

boleh mengikuti Pemilu. Sehingga kemunculan partai baru memunculkan

risiko terciptanya pluralisme ekstrem yang sering berimplikasi terhadap

jalannya roda pemerintahan (Hamudy & Rifki, 2019: 11). Hampir seperti

tidak ada henti-hentinya, parpol tumbuh pesat dalam setiap edisi Pemilu

pasca reformasi. Hal ini ditegaskan dengan Pemilu 1999 dan 2004 yang

diikuti 48 dan 24 parpol. Kondisi ini hampir tidak berbeda dengan Pemilu

82
Moch. Marsa Taufiqurrohman, Meninjau Penerapan Ambang Batas Pada Pemilihan
Umum Proporsional di Indonesia, .https://www.researchgate.net/publication/351112107_
Meninjau_Penerapan_Ambang_Batas_Pemilihan_pada_Sistem_Pemilihan_Umum_Proporsional_
di_Indonesia, diakses 1 Mei 2020

61
62

1955 yang diikuti 118 peserta, terdiri dari 36 parpol, 34 organisasi

kemasyarakatan, dan 48 perorangan berpartisipasi langsung dalam

pemilu pertama tersebut (Al-Fatih, 2016: 16). Alhasil parpol yang

menempati posisi kepala pemerintahan terpaksa menempuh koalisi

dengan parpol yang memiliki suara lebih besar (Hamudy & Rifki, 2019:

11). Tentu situasi ini dianggap sangat rentan terhadap lemahnya

pemerintahan, sebab pemegang kepala pemerintahan bukan dijalankan

oleh pemenang Pemilu legislatif (Kholis, 2020: 14). Persoalannya

kemudian adalah bagaimana para reformis membuat kebijakan dalam

mengatasi risiko ketidakstabilan pemerintahan dengan tanpa mengurangi

sedikitpun makna demokrasi yang ada, serta benar-benar dapat merespon

reformasi politik yang diinginkan.

Jatuhnya Soeharto memang membuka jalan menuju demokratisasi,

namun di sisi lain kondisinya sama sekali tidak terlalu menguntungkan

kepada reformasi politik. Undang-undang Pemilu justru merespon

kekhawatiran akan ketidakstabilan politik pemerintahan dengan

menetapkan syarat ambang batas pemilihan yang tidak konsisten

kepada partai-parpol peserta Pemilu yang hendak berkontestasi di

dalamnya (Fossati, 2020: 11). Penetapan presentase ambang batas

pemilihan yang selalu berubah-ubah di setiap edisi Pemilu seringkali

dianggap tidak dilakukan dengan metode dan argumen yang memadai

(Ufen, 2018: 11).83

83
Ibid.

62
63

Pada Pemilu periode 2004, metode ambang batas pemilihan

menggunakan sistem electoral threshold. Sebagaimana metode ini

merupakan syarat minimal yang harus diperoleh partai untuk bisa

mengikuti Pemilu berikutnya. Sehingga, partai yang tidak memenuhi

ambang batas pemilihan ini akan tereliminasi (Busroh, 2017: 14).

Ketentuan tentang electoral threshold tercantum dalam Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Pada pasal 39

disebutkan bahwa parpol dapat mengikuti Pemilu berikutnya (Pemilu

2004) jika memiliki 2% dari jumlah kursi DPR atau sekurang-kurangnya

3% jumlah kursi DPRD i atau DPRD II yang tersebar sekurang-

kurangnya di setengah jumlah provinsi dan setengah jumlah

Kabupaten/Kotamadya. Metode ini berlanjut pada Pemilu 2004

melalui Undang Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan

Umum. Pasal 9 undang-undang ini menyebutkan parpol dapat mengikuti

Pemilu berikutnya kalau memperoleh minimal 3% jumlah kursi DPR,

4% jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar di setengah jumlah

provinsi di Indonesia serta 4% jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota

yang tersebar di setengah jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia.84

Penerapan ambang batas di Indonesia terutama sejak pasca

runtuhnya rezim orde baru pada tahun 1998 pernah menggunakan dua

model ambang batas. Pemilu tahun 1999 dan pemilu tahun 2004

menggunakan model ambang batas efektif atau alami. Sedangkan sejak

tahun pemilu 2009, pemilu 2014, dan pemilu tahun 2019 menggunakan
84
UU Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum, Pasal 39

63
64

model ambang batas formal. Namun penerapan model ambang batas

formal hanya berlaku di pemilu tingkat nasional saja, sedangkan pemilu

legislatiftingkat daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota tetap

menggunakan model ambang batas efektif atau alami.85

Karena pemilu tahun 1999 menggunakan model ambang batas

efektif atau alami, sejumlah partai-partai kecil tetap mendapatkan kursi di

DPR RI. Pada peilu tahun 1999, total kursi yang diperebutkan oelh partai

poitik adaah 462 kursi diuar 38 kursi miik fraksi TNI-Polri. Ada delapan

partai yang masing-masing hanya mendapatkan satu kursi saja pada peiu

tahun 1999, yaitu Partai Kebangkitan Umat (PKU), Partai SyarikatIsam

Indonesia (PSII), PartaiPoitik Islam Indonesia Masyumi (Masyumi), Partai

Nasional Indonesia-Front Marhaenis (PNI FM), Partai Ikatan Pendukung

Kemerdekaan Indonesia (IPKI), PartaiNasional Indonesia-Massa Marhaen

(PNI MM), Partai Bhineka Tunggal Ika Indonesia (PBI) dan Partai

Persatuan (PP). ada dua partai poitikyang masing-masing dari mereka

mendapatkan dua kursi; Partai Deokrasi Indonesia (PDI) dan Partai

Daulat Rakyat (PDR). Sementara itu, Partai keadilan dan Persatuan (PKP)

mendapatkan empat kursi. Diatas itu, ada Partai Demokrat Kasih Bangsa

(PDKB) dan Partai Nahdatul Ummah (PNU) yang masing-masing

mendapatkan 5 kursi. Sedangkan diatasnya lagi ada Partai Keadilan (PK)

yang mendapatkan tujuh kursi (1,51 persen). Partai-partai tersebut tidak

bisa membentuk fraksi sendiri di DPR RI sehingga mereka harus

85
Ibid. OpCit. Hlm. 10-11

64
65

menggabungkan diri ke fraksi yang sudah ada atau membentuk fraksi

sendiri dari gabungan partai yang memperoleh kursi kecil.86

F. Pemilu Nasional Serentak Tahun 2019

Pemilu 2019 merupakan pemilu kelima era pascareformasi dan

pemilu serentak pertama pasca putusan MK. Pemilu 2019 sebagai pemilu

serentak kerap disebut sebagai pemilu lima kotak suara. Hal ini karena

pemilih harus memilih atau mencoblos lima jenis kertas suara, yakni

kertas suara berwarna abu-abu untuk calon presiden dan wakil presiden,

kertas suara warna kuning untuk memilih anggota DPR, kertas suara

warna merah untuk memilih anggota DPD, kertas suara wana biru untuk

memilih anggota DPRD Tingkat provinsi, dan kertas suara warna hijau

untuk memilih anggota DPRD kabupaten/kota, yang lalu dimasukkan

kertas suara yang sudah dicoblos itu kedalam kotak suara yang berjumlah

lima kotak suara.87

Dalam pemilu 2019 ini, jumlah pemilih sebanyak 192.828.520

pemilih. Julah ini terdiri dari 190.770.329 pemilih dalam negeri dan

2.058.191 pemilih di luar negeri. Sedangkan dari 16 partai politik peserta

pemilu di tingkat pusat (nasional), minus partai lokal di Aceh yang

berjumlah empat partai, yaitu Partai Aceh (PA), Partai Nanggroe Aceh

(PNA), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), dan Partai daerah

Aceh (PDA). Dari 16 partai peserta pemilu tersebut, jumlah anggota caleg
86
Ibid. Hlm. 11
87
Lili Romli, Pemilu Era Reformasi dan Konfigurasi Peta Kekuatan Partai Politik,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. 1, 2019, Hlm. 102

65
66

untuk DPR sebanyak 7.968 caleg. Dari jumlah itu terdapat 4.774 caleg

laki-laki dan 3.194 caleg perempuan. Melihat caleg perempuan yang

banyak itu, tampak kuota 30 persen terpenuhi, bahkan jika melihat jumlah

tersebut caleg perempuan bisa mencapai 40 persen.88

Pemiu serentak tahun 2019 diliputi suasana panas dan masyarakat

terbelah serta terpolarisasi atas dua kubu, yaitu kubu pendukung capres-

cawapres Jokowi-Ma’ruf Amin dan kubu Prbowo-Sandiga Uno.

Tampaknya suasana panas dan terbelah ini hanya terkait dengan pilpres,

bukan terkait pileg. Bahkan, pileg sepertinya tenggelam dengan haru-biru

yang saling menjelekkan antara pendukung capres, meluasnya berita

bohong (hoax) dan semakin kentalnya poitik identitas dan pemanfaatan

sentimen keagamaan.89

Ada dua hal yang menjadi persoalan terkait denngan regulasi yang

mengatur partai politik menjadi peserta pemilu. Pertama, atturan atau

norma yang diatur dalam UU. No. 7 tahun 2017, khusus pada pasal 173.

Pada pasal ini, mengatur peserta pemilu bagi partai-partai politik, yang

secara keseluruhan masih mengacu pada undanng-undang pemilu

sebelumnya (undang-undang nomor 8 tahun 2012). Namun, dalam

undang-undang pemilu yang baru ini, ada ayat atau klausul yang

menyatakan bahwa “parpol yang telah lulus verifikasi dengan syarat

sebagaimana dimaksud, tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai

partai politik peserta pemilu”. Tentu saja dengan klausul tersebut

88
Ibid.
89
Ibid. Hlm. 103

66
67

menguntungkan patai-partai lama peserta pemilu sebelumnya, yang tanpa

verifikasi, otomatis menjadi peserta pemilu. Sedangkan partai-partai

baruharus mealui tahap verifkasi. Ini tentu saja tidak adil dan fair.90

Padahal pada undang-undang pemilu nomor 8 tahun 2012 substansi

tntang hal tesebut sudah dibatalkan MK yang dalam putusan nomor

52/PUU-X/2012, Semua partai politik yakni yang lama maupun baru harus

diverifikasi oleh KPU. Seperti diketahui, undang-undang nomor 8 tahun

2012 pasal 8 diseutkan bahwa partai yang tidak memenuhi ambang batas

parlemen (waktu itu 3,5 persen) atau parpol baru mesti di verifikasi.

Menurut Mahkamah, ketentuan itu tidak memenuhi prinsip keadilan

karena memberakukan syarat-syarat berbeda bagi parpol yang mengikuti

kontestasi (pemilu) yag sama. MK memutuskan KPU untuk melakukan

verifikasi partai politik peserta pemilu secara keseluruhan yakniyang

sudah memiliki kursi saat itu maupun yang belum memiliki kursi.91

Substansi tentang hal tersebut muncul lagi dalam undang-undang

nomor 7 tahun 2017 dengan klausul diatas. Mengacu pada putusan

sebelumnya, Mk membatalkan norma yang terdapat pada undang-undang

nomor 7 tahun 2017 pasal 173 ayat (1) dan ayat (3), yang menyatakan

verifikasi factual hanya diterapkan pada parpol yang tidak memiliki kursi

di DPR. Hanya mana bukan saja karena bertentangan dengan hak untuk

mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana

diatur dalam pasal 27 ayat (1) dan pasal 28 ayat (3) undang-undang 1945

90
Ibid. Hlm. 113
91
Ibid.

67
68

melainkan juga karena perlakuan berbeda menjadi penyebab terjadinya

ketidakadilan pemilu.92

Kedua, durasi dan metode verifikasi. Dalam kontek ini KPU

mengubah waktu verifikasi di tingkat kabupaten/kota, yakni diubah dari

semula 21 hari menjadi 3 hari, sedangkan untuk verifikasi tingkat provinsi

menjadi 2 hari dari semula 14 hari. Hal sama dilakukan tingkat pusat stsu

nasional dari 14 hari menjadi 2 hari. Dengan demikian, KPU menurunkan

waktu verifikasi dari semula 51 hari menjadi 7 hari. KPU juga merubah

metode verifikasi factual dengan meminta parpol mengumpulkan semua

kader di kantor kepengurusan setempat. Metode ini berbeda dengan

metode KPU sebelumnya yang mendatangi satu per satu kediaman orang

yang terdata sebagai kader suatu parpol. KPU juga mengizinkan anggota

parpol tidak dating saat verifikasi di kantor partai setempat. Pembuktian

keabsahan identitas seorang kader yang tidak datang dapat dilakukan

menggunakan metode panggilan video. Kemudian, penyelenggara pemilu

akan memeriksa keabsahan kader atau pengurus parpol dengan

menggunakan metode sampling, bukan sensus seperti diatur pada

Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) sebelum direvisi. Metode

sampling membuat KPU hanya akan memeriksa segelintir anggota dari

total kader yang diklaim parpol pada suatu daerah.93

92
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017. Lihat, https://
nasional.kompas.com/read/2018/01/16/22531451/kpu-diminta-patuhi-putusan-mk-dan-tetap-
verifikasi-faktual-parpol-lama, diakses 10 April 2020
93
Ibid. loc.it, Hlm. 114

68
69

Pemilu serentak (concurrent elections) secara sederhana dapat

didefinisikan sebagai sistem pemilu yang melangsungkan beberapa

pemilihan pada satu waktu bersamaan. Jenis pemilihan tersebu mencakup

pemilihan eksekutif dan legislative diberbagai tingkat yang di kenal di

negara yang bersangkutan, yang terentang dari tingkat nasional, regional

hingga pemilihan di tingkat lokal. Di negara-negara anggota Uni Eropa,

pemilu serentak bahkan termasuk menyelenggarakan pemilu untuk tingkat

supra-nasional, yakni pemilihan anggota parlemen Eropa secara

bersamaan dengan pemilu nasional, regional atau lokal. Dengan adanya

beragam fakor yang mempengaruhi penyelenggaraan pemilu serentak,

maka terdapat beberapa varian yang sebagian sudah diterapkan dan

beberapa lagi masih sifatnya hipotesis.94

Sistem pemilu serentak sudah diterapkan di banyak negara

demokrasi. Sistem ini ditemukan tidak hanya di negara-negara yang telah

lama menerapkan sistem demokrasi sperti Amerika Serikat dan negara-

negara di kawasan Eropa Barat, melainkan juga ditemukan di banyak

negara demokrasi di kawasan Amerika Latin, Eropa Selatan dan Eropa

Timur. Namun demikian, di Asia Tenggara, sistem pemilu serentak belum

banyak dikenal. Dari lima negara yang menerapkan pemilu-meski tidak

sepenuhnya demokratis, hanya Philipina yang menerapkan sistem pemilu

serentak dalam pemilihan presiden dan anggota legislatif, sementara itu

94
Syamsudin Haris, dalam Pemilu Nasional Serentak 2019, Cet. 1, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2016, Hlm.14

69
70

Indonesia, Malaysia, Singapura dan Thailand tidak menggunakan sistem

pemilu serentak.95

Dalam penggunaan sistem pemilu serentak, praktik umum yang

banyak diterapkan adalah menggabungkan pemilihan eksekutif dan

pemilihan anggota legislative. Di Amerika Latin, Jones (1995:10)

mencatat bahwa pemilihan prresiden dan anggota legislative dilakukan

secara serentak di Bolivia, Kolumbia, Kosta Rika, Guatemala, Guayana,

Honduras, Nikaragua, Panama, Paraguay, Peru, Uruguay, dan Venezuela.

Bukan hanya untuk tingkat nasioanal, di beberapa negara pemilu serentak

juga dilakukan dengan menggabungkan pelaksanaan pemilu nasional dan

pemilu regional atau lokal. Di Amerika Serikat, misalnya, di beberapa

negara bagian, pemilu menggabungkan bukan hanya pemilihan presiden

dan anggota Kongres serta Senat di tingkat pusat, meainkan pada waktu

yang bersamaan juga menyelenggarakan peimilihan gubernur dan

legislator di tingkat negara bagian. Di Amerika latin, Brazil juga

menerapkan model serupa. Peilu dilakukan secara serentak dengan

menggabungkan pemilihan presiden dan anggota parelmen ditingkat

nasional, dan pemilihan gubernur dan legislator di tingkat negara bagian.96

95
Ibid. Hm. 15
96
Ibid. Hlm. 16

70
BAB III PENGATURAN AMBANG BATAS PARLEMENTARY TRESHOOLD (PT) DALAM KONTEKS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM BERDASARKAN KEDAULATAN RAKYAT PASAL 1 AYAT (2) UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA 1945

PENGATURAN AMBANG BATAS PARLEMENTARY TRESHOOLD (PT)


DALAM KONTEKS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017
TENTANG PEMILIHAN UMUM BERDASARKAN KEDAULATAN
RAKYAT PASAL 1 AYAT (2) UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA 1945

A. Pengertian dan Sejarah Parliamentary Threshold di Indonesia

1. Pengertian Parliamentary Threshold

Ambang batas parlemen (bahasa Inggris: parliamentary threshold)

adalah ambang batas perolehan suara minimal partai politik dalam

pemilihan umum untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di

Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Ketentuan ini pertama kali diterapkan pada Pemilu 2009. Threshold

merupakan persyaratan minimal dukungan yang harus diperoleh partai

politik untuk mendapatkan perwakilan yang biasanya dilihat dari

presentase perolehan suara di pemilu. Menurut Kacung Marijan, yang

dimaksud ambang batas parlemen adalah batas minimal suatu partai

atau orang untuk memperoleh kursi (wakil) di parlemen. Maksudnya,

agar orang atau partai itu mampu menjalankan fungsinya sebagai

wakil karena mendapat kekuatan memadai di lembaga perwakilan (di

Indonesia dikenal dengan istilah parliementary threshold). Pernyataan

tersebut juga disetujui oleh Hanta Yuda yang mengatakan bahwa,

dalam logika politik pemerintahan, sebenarnya bukan jumlah partai


72

politik peserta pemilu yang harus dibatasi, tetapi jumlah ideal

kekuatan

72
73

partai politik yang perlu diberdayakan atau dirampingkan di

parlemen.97

Pemilu adalah salah satu wujud pelaksanaan demokrasi. Karenanya

pada saat pemilu, pada saat itu juga disebut-sebut sebagai pesta

demokrasi. Pemilu merupakan pasar politik tempat individu dan atau

kelompok berinteraksi dengan melakukan perjanjian kepada

masyarakat.

Lebih jelasnya, pemilu adalah dimana peserta pemilihan umum

individu maupun partai politik berlomba-lomba untuk memikat hati

rakyat sebagai penentu atas hak pilihnya dengan berbagai cara yaitu

dengan sosialisasi politik sekaligus berkampanye, propaganda,

promosi politik melalui media, sebar spanduk, hingga penyampaian

visi misi, program serta penyampaian asas dan ideologi. Kampanye

pemilihan umum merupakan suatu usaha untuk mempengaruhi rakyat

secara persuasif (tidak memaksa) dengan melakukan kegiatan retorika,

public relations, komunikasi massa, loby dan lain-lain kegiatan

(Arifin, 2006: 39).

Berbeda sedikit dengan persepektif lain, bahwa pemilihan umum

diartikan sebagai mekanisme penyeleksi dan pendelegasian atau

penyerahan kedaulatan kepada orang atau partai yang dipercayai

(Surbakti, 1992: 226.) Sedangkan menurut Budiardjo, pemilihan

umum dianggap sebagai lambang dan tolok ukur dari demokrasi yang

97
Wikipedia, Ambang Batas Parlemen https://id.wikipedia. org/wiki/
Ambang_batas_parlemen, diakses 10 mei 2020

73
74

juga perlu dilengkapi dengan pengukuran beberapa kegiatan lain yang

bersifat kesinambungan, seperti partisipasi dalam kegiatan politik,

lobbying, dan semacamnya. Budiardjo melanjutkan bahwa pada hasil

pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan

dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap

mencerminkan dengan agak akurat partisipasi serta aspirasi

masyarakat (Budiardjo, 2016: 461)

Di Indonesia, pemilu sudah dilakukan sejak tahun 1955 pada

masa demokrasi parlementer hingga sampai pada April 2019 yang

dimana pemilu saat ini dilakukan secara serentak dengan memilih

presiden dan legislatif. Pemilihan umum (Pemilu) 2019 merupakan

pemilihan presiden dan legislatif yang diadakan secara serentak.

Digelarnya pemilu serentak ini adalah berdasarkan Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 14 / PUU-11/2013 tentang pemilu

serentak, yang bertujuan untuk meminimalkan anggaran negara dalam

pelaksanaan pemilu, meminimalisir anggaran kampanye bagi peserta

pemilu, serta politik uang yang melibatkan pemilih, penyalahgunaan

kekuasaan atau mencegah politisasi birokrasi, dan merampingkan

skema kerja pemerintah.

Pada pemilihan umum 2019 yang dilakukan secara serentak,

khususnya pemilu legislatif di tingkat nasional, terdapat 16 partai

politik yang menjadi peserta pemilu 2019. Partai politik maupun

74
75

calon-calon legislatif partai ini berkompetisi dan saling menunjukkan

strategi dan kampanye politikya, ada yang berkampanye melalui

komunikasi politik secara langsung ada juga yang melalui kekuatan

media.

Namun dengan dikeluarkannya  Pasal 415 UU. 7/2017 tentang

Undang-Undang Pemilu yang menyatakan bila partai tidak memenuhi

ambang batas perolehan suara, partai tidak disertakan pada

penghitungan perolehan kursi DPR di setiap dapil, membuat partai

politik yang perolehan suaranya tidak mencapai parliamentary

threshold atau ambang batas perolehan suara tidak memiliki

keterwakilan di Dewan Perwakilan Rakyat di pusat, Senayan. 98

Akibatnya, banyak partai politik peserta pemilu 2019 yang tidak

memiliki keterwakilan di dalam parlemen di tingkat nasional,

khususnya partai-partai baru.

Tercatat dari 16 partai politik, terdapat 9 partai politik yang

perolehan suaranya mencapai lebih dari 4% ambang batas

parliamentary threshold, antara lain, Partai Demokrasi Indonesia

Perjuangan, Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Nasdem, Partai

Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera, Partai

Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan. Ketujuh partai

98
Mohammad Reza, Kelebihan dan Kekurangan Sistem Parliamentary Threshold dalam
Pemilu bagi Kursi di Parlemen dan Parpol,.https://www.kompasiana.com/mohammadrejaa
/5e1e263dd541df0a4b092422/kelebihan-dan-kekurangan-sistem-parliamentary-threshold-dalam-
pemilu- bagi-kurasi-di-parlemen-dan-partai-politik?page=2, diakses 23 April 2020

75
76

politik lainnya tidak mencapai 4%, partai-partai politik tersebut ialah,

Partai Hanura, Partai Bulan Bintang, PKPI, dan empat partai baru

yakni, Partai Garuda, Partai Berkarya, Partai Solidaritas Indonesia,

dan Partai Perindo.

Secara historis, pada penerapan pemilu 2009, yang dimana

berdasarkan pada Pasal 202 UU. No. 10 Tahun 2008 tentang Undang-

Undang Pemilu, ambang batas parliamentary threshold ditentukan

sebesar 2,5%. Kemudian di pemilu-pemilu berikutnya pemberlakuan

ambang batas parlemen ini semakin meningkat. Pada pemilu 2014,

yang dimana menurut UU. No. 8 Tahun 2012 ditentukan sebesar 3,5%

ambang batas parlemen yang artinya meningkat 1%. Pada pemilu

yang diselenggarakan terakhir 2019 lalu, meningkat 0,5% yaitu 4%

ambang batas parliamentary threshold.

Pada praktiknya, ambang batas parliamentary threshold ini

dinilai membuat partai-partai baru sulit lolos ke parlemen di tingkat

pusat. Pemberlakuan sistem ambang batas parlemen ini menjadi

kendala masuknya partai-partai baru untuk melenggangkan partai

politiknya untuk duduk di kursi parlemen.

Meskipun calon-calon legislatif DPR partai memiliki

perolehan suara yang besar di daerah pemilihannya masing-masing,

namun ketika perolehan suara partai tidak melebihi ambang batas

parlemen yang saat ini mencapai 4%, suara-suara mereka hangus dan

76
77

tidak diperhitungkan di dalam parlemen di tingkat pusat. Artinya tidak

memiliki keterwakilan partai-partai ini untuk duduk di kursi parlemen

di tingkat pusat.

Selain itu, dengan diadakannya sistem parliementary threshold

ini dirasa hanya membuat suara masyarakat sebagai warga negara

yang melakukan hak pilihnya dalam memilih calon-calon legislatif

DPR yang mereka percaya dan menaruh harapan kepada calon-calon

ini terbuang begitu saja.

Sebab pada saat pemilih memilih calon legislatif ataupun

partai politik, itu adalah pilihan politik ideologis yang dimana mereka

memiliki harapan dan ekspektasi kepada caleg-caleg atau kepada

partai politik yang dipilih. Ini sama saja suara-suara, kehendak,

keinginan, ekspektasi, harapan, dan cita-cita mereka yang memilih

tidak ada yang mewakili.

Namun di tengah respon atas diberlakukannya sistem ambang

batas parlemen ini,  terdapat jalan tengah atau komprominya,

misalnya, dapat diberlakukan juga untuk partai-partai yang tidak lolos

agar menggabungkan diri yang kemudian menyepakati sendiri kursi

sesuai dengan persentase masing-masing perolehan suara partai

politiknya dan membentuk satu fraksi dalam parlemen di tingkat

pusat.

77
78

Hal ini dapat membuat partai-partai politik yang tidak lolos PT

atau tidak mendapatkan jatah di parlemen dapat menjadikan harapan-

harapan rakyat, keinginan rakyat, dan kehendak rakyat agar menjadi

keharusan untuk diperjuangkan oleh partai yang tidak lolos PT yang

kemudia tetap dapat menempatkan wakilnya.

Meski begitu, sistem ambang batas PT (parliamentary

threshold) ini memiliki tujuan agar sistem multipartai di Indonesia ini

dapat disederhanakan, untuk itu diberlakukannya sistem ambang batas

parlemen. Selain itu juga sistem ambang batas parlemen ini dapat

menjauhkan partai-partai politik di Indonesia dari ideologi-ideologi

partai politik yang tidak sejalan dengan ideologi negara yaitu Ideologi

Pancasila.

Sebab partai-partai politik yang memiliki ideologi yang

menyimpang dari Pancasila dirasa tidak banyak yang memilih di

tengah kuatnya paham ideologi Pancasila di Indonesia. Untuk itu

diadakannya ambang batas parliamentary threshold ini.99

Sejak pemilu 1999, Indonesia sebenarnya sudah memberlakukan

desain kelembagaan untuk membangun sistem multipartai sederhana

melalui ambang batas. Dalam konteks sistem pemilihan, ambang batas

atau Threshold berarti dukungan suara minimal yang harus dimiliki

oleh partai atau seseorang untuk memperoleh kursi di parlemen.

99
Ibid.

78
79

Batasan demikian bisa disebutkan dan dipaksakan secara formal di

dalam aturan pemilu maupun yang tercermin dari perhitungan de facto

secara matematis. Mekanisme demikian dimaksudkan menciptakan

sistem perwakilan dan sistem kepartaian yang stabil. Pada akhirnya,

sistem ini diyakini bisa membawa pemerintahan yang lebih stabil dan

efektif.

Threshold merupakan persyaratan minimal dukungan yang harus

diperoleh partai politik untuk mendapatkan perwakilan yang biasanya

dilihat dari persentase perolehan suara di pemilu. Ada dua istilah

Threshold yang dipraktikan dalam pemilu dibeberapa negara yakni

Electoral Threshold dan Parliamentary Threshold. Electoral Threshold

merupakan ambang batas persyaratan minimal yang harus diperoleh

partai politik untuk mengikuti pemilu periode berikutnya. Sedang

Parliamentary threshold merupakan ambang batas persyaratan

minimal harus diperoleh partai politik untuk mendapatkan kursi di

parlemen.

Dalam hal menentukan ambang batas formal tergantung pada

kesempatan pembuat undang-undang. Jika mereka ingin mengurangi

jumlah partai-partai politik untuk masuk di parlemen, maka besaran

ambang batas formal bisa di atas angka ambang batas efektif atau

bahkan di atas angka ambang batas atas. Sebaliknya, jika pembuat

undang-undang sepakat membuka peluang masuknya partai-partai

baru dan partai-partai kecil, maka besaran ambang batas formal bisa di

79
80

bawah angka ambang batas efektif, bahkan di bawah angka ambang

batas bawah.

Ketentuan berkaitan dengan Parliamentary Threshold dapat

berubah dinamis tergantung pada kondisi masyarakat dan kesepakatan

di tingkat parlemen. Perubahan dan sifat dinamis dari kebijakan terkait

ambang batas parlemen tersebut dikarenakan penerapan Parliamentary

Threshold memiliki tujuan tertentu. Biasanya tujuan penerapan

Parliamentary Threshold bergantung pada kebutuhan masing-masing

negara.

Sejak pemilu 1999, Indonesia sebenarnya sudah memberlakukan

desain kelembagaan untuk membangun sistem multipartai sederhana

melalui ambang batas. Dalam konteks sistem pemilihan, ambang batas

atau Threshold berarti dukungan suara minimal yang harus dimiliki

oleh partai atau seseorang untuk memperoleh kursi di parlemen.

Batasan demikian bisa disebutkan dan dipaksakan secara formal di

dalam aturan pemilu maupun yang tercermin dari perhitungan de facto

secara matematis. Mekanisme demikian dimaksudkan menciptakan

sistem perwakilan dan sistem kepartaian yang stabil. Pada akhirnya,

sistem ini diyakini bisa membawa pemerintahan yang lebih stabil dan

efektif

Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas

perolehan suara paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara

80
81

sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi

anggota DPR.100

Ambang batas parlemen empat persen pada Pemilu 2019 dianggap

tidak efektif dan berdampak pada terbuangnya suara masyarakat

secara sia-sia. Hal itu disampaikan oleh Direktur Eksekutif

Perkumpulan untuk Pemilu (Perludem), Titi Anggraini, dalam diskusi

ilmiah yang diselenggarakan Fakultas Hukum UI, Depok, Jawa Barat,

Senin (24/6/2019). "Pemberlakuan ambang batas 4 persen jelas tidak

efektif dan berdampak pada terbuangnya suara secara sia-sia. Ada

13.594.842 suara terbuang di Pemilu 2019,".

Titi menjelaskan, dari hasil Pemilu 2019, ada tujuh partai yang tak

lolos ambang batas empat persen sehingga membuang suara dari

masyarakat yang telah memilih caleg pada partai tersebut. Karena

partai tak lolos parlemen dan suara masyarakat tak terwakilkan, lanjut

Titi, kenaikan ambang batas dari 3,5 menjadi 4 persen terbukti gagal

dalam penyederhanaan partai. "Bayangkan orang sudah datang ke

TPS, suaranya enggak bisa dihitung karena tidak lolos parlemen. Jadi,

suara masyarakat terbuang sia-sia dan tujuan penyederhanaan partai

gagal," paparnya kemudian.

Ia menyebutkan, 13.594.842 suara yang terbuang tersebut,

jumlahnya hampir menyamai jumlah pemilih di Australia. Maka dari

itu, Titi mendorong adanya penyederhanaan partai yang dilakukan

dengan mengedepankan asas proporsionalitas dan secara alamiah yang


100
UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum Pasal 414 Ayat (1)

81
82

dapat dilakukan melalui beberapa elemen teknis sistem pemilu seperti

memperkecil daerah pemilihan.101

2. Sejarah Parliamentary Threshold di Indonesia

Sejak mulai diterapkannya ambang batas parlemen (parliamentary

threshold) untuk pertama kalinya pada Pemilu Legislatif (Pileg) 2009

lalu, telah terjadi perubahan signifikan dalam mekanisme penentuan

partai politik yang akan memperoleh kursi di parlemen. Pengaturan

ambang batas parlemen sebesar 2,5 persen pada Pasal 202 Undang-

Undang Pemilu Nomor 10 Tahun 2008 telah meloloskan 9 partai

politik di DPR dari total 38 partai politik perserta Pileg 2009.

Perubahan jumlah ini tentu sangat siginifikan dibandingkan dengan

Pileg 1999 dan 2004 yang masing-masing menghasilkan 19 partai

politik dan 16 partai politik di parlemen.102

Pada dasarnya, tujuan utama dari penerapan parliamentary

threshold adalah untuk menyederhanakan partai politik di parlemen.

Adapun penyederhanaan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya

fragmentasi politik di parlemen serta menciptakan pemerintahan yang

lebih stabil. Oleh sebab itu, pembahasan mengenai parliamentary

threshold selalu dimasukan dalam revisi Undang-Undang Pemilu dan

terus mengalami kenaikan presentase.

101
http://go.microsoft.com/fwlink/p/?LinkId=255141
102
.Farida Azzahra, Parliamentary Threshold Dan Reformasi Sistem Kepartaian,
https://www.kompasiana.com/faridaazzahra11/6037af728ede487bae264ca3/parliamentary-
threshold-dan-reformasi-sistem-kepartaian?page=3, diakses 10April 2020

82
83

Hasil Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 telah

menetapkan parliamentary threshold sebesar 4 persen dan

menghasilkan 9 partai politik yang lolos di parlemen pada Pemilu

2019 lalu. Adapun saat ini, tengah dilakukan kembali pembahasan

draft perubahan RUU Pemilu dengan wacana kenaikan ambang batas

parlemen menjadi 5 persen setelah pada Juni 2020 lalu tengah sempat

beredar wacana kenaikan parliamentary threshold sebesar 7 persen.

Gagasan terkait penerapan ambang batas parlemen termasuk usulan

kenaikan presentase di setiap Pemilu seringkali dinilai sebagai bentuk

'pejagalan' demokrasi. Terlebih, penerapan parliamentary threshold ini

membuat banyaknya suara masyarakat yang terbuang. Terhitung pada

Pemilu serentak 2019 lalu terdapat 13,5 juta suara pemilih yang

terbuang.

Permohonan uji materi (judicial review) pun terus diajukan ke

Mahkamah Konstitusi (MK) guna membatalkan ketentuan

parliamentary threshold sejak pertama kali diberlakukan. Namun,

penerapan parliamentary threshold masih terus berlangsung hingga

saat ini lantaran MK justru menegaskan bahwa pemberlakuan

parliamentary threshold ini merupakan bentuk penyederhanaan partai

politik dan penguatan sistem presidensial di Indonesia.

Sebagaimana diketahui, Indonesia menerapkan sistem kepartaian

multipartai yang mana terdapat lebih dari dua partai politik yang dapat

menduduki parlemen. Adapun apabila sistem kepartaian ini dikaitkan

83
84

dengan tujuan penguatan sistem presidensial sebagaimana yang juga

menjadi salah satu dari 5 kesepakatan dasar perubahan Undang-

Undang Dasar, penyederhanaan partai politik dalam sistem multipartai

ini memang dapat menjadi upaya penguatan sistem presidensial. 

Penyederhanaan partai politik diharapkan dapat mencegah

terjadinya fragmentasi politik serta disharmonisasi antara Presiden dan

DPR, sehingga mewujudkan pemerintahan yang lebih stabil. 

Namun, penerapan sistem multipartai dalam sistem pemerintahan

presidensial sendiri bahwasanya memang merupakan kondisi yang

sulit dijalani dan tengah menjadi paradoks tersendiri. Pada satu sisi,

apabila Presiden tidak memiliki dukungan mayoritas di DPR dengan

komposisi yang tidak berimbang, maka pemerintahan akan sulit

mencapai stabilitas.

Berkaca pada pengalaman pemerintahan Susilo Bambang

Yudhyono (SBY) periode pertama, diketahui bahwa kala itu Partai

Demokrat selaku partai pemerintah tidak mendapat dukungan

mayoritas di parlemen. Partai Demokrat sebagai partai pemenang

Pemilu Presiden hanya mendapat perolehan suara sebesar 7,45 persen

dalam Pemilihan anggota legislatif, sementara perolehan kursi terbesar

di DPR berhasil diraih oleh Golkar. 

Hal ini kemudian menyebabkan disharmonisasi antara Pemerintah

dan DPR, sehingga menyebabkan kebijakan pemerintah cenderung

sulit disetujui oleh DPR. Oleh karena hal ini pula lah, maka gagasan

84
85

pemangkasan partai politik di luncurkan guna mengatasi fragmentasi

dan disharmonisasi yang terjadi.

Namun sebaliknya, penerapan sistem presidensial dengan sistem

multipartai berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan

apabila partai pemerintah menguasai DPR dan memiliki koalisi besar

di DPR. Dalam hal ini, sistem presidensial akan mudah terperangkap

ke arah otoritarianisme dan semakin menguatkan potensi

penyalahgunaan kekuasaan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh

Arend Lijhpart (1994) bahwa pemusatan kekuasaan dengan mayoritas

di parlemen ini akan menjadikan Presiden sangat kuat dan berkuasa

yang kemudian berpotensi menimbulkan tindakan sewenang-wenang.

Hal ini bahwasanya merupakan konsekuensi nyata sekaligus

menunjukan kelemahan sistem presidensial yang dikombinasikan

dengan sistem multipartai.

Komposisi parlemen pada Periode Kedua Joko Widodo saat ini

merupakan bentuk nyata dari penerapan sistem presidensial dengan

sistem multipartai ketika DPR dikuasai oleh partai pendukung

pemerintah. Komposisi jomplang antara partai koalisi dengan partai

oposisi di DPR membuat mekanisme checks and balances tidak

berjalan, dan hal ini akan menjadikan pemerintah sangat berkuasa.

Tidak berlebihan kemudian jika hal ini dikhawatirkan dapat

menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan dan pemerintahan yang

sewenang-wenang. 

85
86

Sebab, pada hakikatnya kekuasaan cenderung disalahgunakan dan

kekuasaan yang mutlak pasti disalahgunakan (Lord Acton: 1887), dan

hal ini dapat menjadi ancaman demokrasi yang sesungguhnya. Oleh

sebab itu, beberapa negara dengan sistem presidensial seperti Amerika

Serikat dan Filipina misalnya lebih memilih sistem dwi partai untuk

menegakkan mekanisme chekcs and balances, di mana hanya ada satu

partai pendukung pemerintah dan satu partai oposisi di parlemen.

Problematika sistem presidensial yang diterapkan dengan sistem

multipartai ini seyogianya tidak dipandang sebelah mata. Terlebih,

saat ini Indonesia telah mengadopsi pelaksanaan Pemilu serentak yang

memberi efek ekor jas kepada para pemilih untuk memilih partai

politik yang berasal dari partai Presiden, sehingga memungkinkan

komposisi parlemen yang terus dikuasai oleh partai pemerintah. 

Tidak hanya itu, masih diberlakukannya ketentuan ambang batas

pencalonan Presiden (presidential threshold) sebesar 20 persen akan

menciptakan 'koalisi gemuk' yang tidak berimbang terhadap Presiden

yang terpilih di mana hal ini menjadi ancaman demokrasi yang serius

Cepat atau lambat, agenda penyederhanaan partai politik memang

harus dijalankan. Semakin banyak partai politik yang menduduki

parlemen, semakin menghasilkan komposisi yang tidak berimbang.

Selain itu, pengambilan keputusan di DPR akan membutuhkan waktu

yang lebih panjang karena terbentur oleh kepentingan masing-masing

partai.

86
87

Idealnya, sistem presidensial memang dikombinasikan dengan

sistem dwi partai. Namun, mengingat Indonesia merupakan negara

multikultural rasanya memang sulit mewakili seluruh kepentingan

elemen masyarakat hanya dalam dua partai politik saja. Oleh sebab

itu, dibutuhkan presentase ambang batas yang proporsional guna

menciptakan sistem multipartai sederhana dan terbatas.

Ambang batas parlemen yang terlalu rendah bahwasanya dapat

menyebabkan pelonjakan jumlah partai politik yang menduduki

parlemen, sehingga semakin membuka peluang terjadinya fragmentasi

politik dan praktik politik kepentingan. Namun, kenaikan ambang

batas parlemen yang terlampau tinggi juga hanya akan menghambat

pelaksanaan prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat, terutama di

negara multikultural seperti Indonesia. 

Untuk itu, penyerdehanaan partai politik dapat diwujudkan dengan

hanya meloloskan 4-6 partai politik di DPR, di mana hal ini dapat

diwujudkan dengan menaikan ambang batas dalam rentang 5 hingga 7

persen. Secara hipotetis, jumlah tersebut akan menciptakan

konfigurasi kekuatan politik di DPR yang sederhana antara partai

koalisi dan partai oposisi. 

Selain itu, penetapan ambang batas parlemen yang konsisten guna

menciptakan multipartai sederhana ini dapat dikombinasikan dengan

memperkecil jumlah daerah pemilihan (dapil). Kedua hal ini

dimaksudkan untuk menciptakan persaingan yang ketat sehingga

87
88

partai politik lebih berupaya untuk menjangkau seluruh konsituennya

di dapil.

Penetapan presentase ambang batas parlemen melalui rumusan

terbuka tentu menjadi hal penting untuk dilakukan. Perumusan revisi

UU Pemilu selanjutnya terkait penetapan ambang batas parlemen

harus menyertakan dasar perhitungan yang jelas hingga menghasilkan

angka yang dipilih, termasuk penetapan ambang batas parlemen bagi

DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota yang masing-masing

penetapannya dapat dilakukan berjenjang dengan presentase yang

lebih rendah. Hal ini diperlukan guna menjaga konsistensi

penyelenggaraan Pemilu serta menjamin proporsionalitas hasil

Pemilu. 

Adapun alternatif lainnya yang dapat dilakukan adalah dengan

menciptakan fusi fraksi di DPR, sehingga nantinya hanya akan ada

dua fraksi di parlemen yakni koalisi dan oposisi yang masing-masing

terdiri dari gabungan partai politik yang lolos ke DPR. Fusi fraksi ini

juga dimaksudkan untuk menciptakan komposisi parlemen yang lebih

ideal, sehingga tidak terdapat pemusatan kekuasaan pemerintah serta

mewujudkan pemerintahan yang lebih stabil dan demokratis.

B. Pengertian Kedaulatan Rakyat

Sebelum membahas pengertian atau batasan konsep kedaulatan

rakyat perlu dipaparkan terlebih dahulu pengertian kedaulatan baik

88
89

dalam kamus maupun menurut pendapat ahli. Secara etimologi

kedaulatan yang dalam bahasa Inggris disebut souvereignty berasal

dari kata Latin superanus yang berarti teratas.103

Sejalan dengan itu C.F. Strong menyatakan bahwa kedaulatan

berarti superioritas yang dalam konteks kenegaraan mengisyaratkan

adanya kekuasaan untuk membuat hukum.104 Lebih lanjut, dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi

atas pemerintahan negara, daerah, dan sebagainya.105 Sementara itu

menurut kamus filsafat karya Simon Blackburn kedaulatan (souvereignty)

adalah otoritas tertinggi yang tidak tunduk pada otoritas lainya. 106

Uraian diatas menjelaskan bahwa kedaulatan merupakan salah

satu bentuk dari kekuasaan, dalam hal ini kekuasaan tertinggi.

Kedaulayan berasal dari bahasa latin, yaitu supremus yang berarti

kekuasaan tertinggi. Sedangkan Kedaulatan Rakyat adalah teori yang

menyatakan bahwa kekuasaan dalam suatu negara ada di tangan

rakyatnya. Dalam buku Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum, dan

Konstitusi (1999) karya Dahlan Thaib, teori kedaulatan rakyat

berusaha mengimbangi kekuasaan tunggal raja atau pemimpin agama.

Pada teori ini, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Maka

dari itu legitimasi kekuaaan pemerintah adalah berasal dari rakyat.

103
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes. 2002. Pengantar Hukum Internasional.
Bandung. Alumni. Hal. 16.
104
C. F. Strong. 2011. Konstitusi-konstitusi Politik Modern. Bandung. Nusa Media.
Hal.8.
105
Kamus Besar Bahasa Indonesia. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kedaulatan.
diakses tanggal 27 Januari 2018.
106
. Simon Blackburn. 2013. Kamus Filsafat. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Hal. 822.

89
90

Teori kedaulatan rakyat menganggap kehendak rakyat adalah satu-

satunya sumber kekuasaan bagi pemerintah. Rakyat memberikan

kekuasaan pada wakil rakyat yang menduduki lembaga legislatif

maupun eksekutif untuk melaksanakan keinginan rakyat.

Selain itu melindungi hak-hak rakyat serta memerintah

berdasarkan hati nurani rakyat. Rakyat berhak mengganti

pemerintahan yang dipilih, bila pemerintah tidak melaksanakan

keinginan rakyat.

Paham inilah yang menjadi dasar negara-negara demokrasi, termasuk

Indonesia.

Pelaksanaan kedaulatan di Indonesia menurut UUD 1945 adalah

rakyat dan lembaga-lembaga negara yang berfungsi menjalankan tugas

kenegaraan sebagai representatsi kedaulatan rakyat.

Kedaulatan adalah hak eksklusif untuk mengontrol wilayah

pemerintahan, masyarakat, atau penganut mandiri dalam dua teori

didasarkan pada karunia Allah atau masyarakat. Dalam konstitusi dan

hukum internasional, konsep kedaulatan terkait dengan pemerintah

yang memiliki kontrol penuh atas urusan dalam negeri mereka sendiri

dalam suatu wilayah atau batas wilayah atau geografis, dan dalam

konteks tertentu terkait dengan berbagai organisasi atau lembaga yang

memiliki mereka yurisdiksi hukum sendiri. Penentuan apakah suatu

90
91

entitas adalah entitas yang berdaulat bukanlah hal yang pasti, tetapi

sering masalah sengketa diplomatik.107

Beberapa pemikiran tentang kedaulatan dan berdaulat suatu negara

setelah revolusi Perancis diusulkan oleh Jean-Jacques Rousseau dalam

karyanya Du Contrat Sosial, Principes Ou Du droit politique (Pada

Kontrak Sosial atau Prinsip Hak Politik) terbagi menjadi dua, yaitu

tingkat kedaulatan de facto dan de jure.

Kita pasti sudah tidak asing lagi dengan kedaulatan atau kedaulatan

rakyat. Pada Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 aline ke

empat juga dinyatakan, maka disusunlah kemerdekaan Indonesia itu

dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk

dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan

rakyat dengan berdasar kepada, dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang

Dasar (UUD) 1945 dinyatakan “kedaulatan berada di tangan rakyat

dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”Pembukaan dan

UUD 1945 Pasal 1 ayat 2 tersebut memuat pernyataan bahwa

kedaulatan itu berada di tangan rakyat.

Kedaulatan berasal dari bahasa Arab (daulah), yang berarti

kekuasaan tertinggi. Menurut Jean Bodin (tokoh ilmu negara),

kedaulatan rakyat adalah kekuasaan tertinggi dalam negara yang tidak

berasal dari kekuasaan lain. Berdasarkan pengertian tersebut maka

kedaulatan memiliki sifat asli, tidak terbagi bagi, mutlak, dan

107
Pengertian kedaulatan rakyat, https://www.dosenpendidikan.co.id/kedaulatan-rakyat/,
diakses 12 Mei 2020

91
92

permanen. Kedaulatan bersifat asli karena kekuasaan yang tertinggi itu

tidak berasal dari pemberian kekuasaan yang lebih tinggi.

Kedaulatan itu bersifat tidak terbagi-bagi artinya utuh dimiliki oleh

pemegang kedaulatan itu tanpa dibagi kepada pihak lain. Kedaulatan

itu bersifat permanen, artinya kedaulatan itu tetap, tidak berubah

berada dalam kekuasaan pemegang kedaulatan tersebut. Dengan

demikian, kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi. Jika dikaitkan

dengan pemerintahan, pemerintah adalah lembaga yang diberi mandat

atau wewenang oleh lembaga yang lebih tinggi untuk memegang

kedaulatan dalam negara.

Ada dua macam pengertian kedaulatan rayat :

1. Kedaulatan ke dalam, artinya kekuasaan tertinggi suatu negara

untuk mengatur fungsinya

2. Kedaulatan ke luar, artinya kekuasaan tertinggi suatu negara untuk

mengadakan hubungan dengan negara lain serta mempertahankan

wilayah dari berbagai ancaman dari luar.

Berikut ini terdapat beberapa pengertian kedaulatan rakyat

menurut para ahli, terdiri atas:

1. John Locke

Dia berpendapat bahwa negara dibentuk melalui perjanjian

masyarakat.Sebelum terbentuknya negara, manusia hidup sendiri-

sendiri dan belum ada peraturan.Untuk memenuhi kebutuhannya

manusia mengadakan perjanjian membentuk sebuah negara.Jadi, ada

92
93

dua perjanjian masyarakat yaitu perjanjian antar individu dengan

penguasa. Menurut John Locke, hanya ada pemisahan kekuasaan

dalam negara ke dalam kekuasaan eksekutif, legislatif,  dan yudikatif.

2. Montesquieu

Menurutnya kekuasaan harus dipisahkan menjadi kekuasaan

eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudikatif. Kekuasaan

eksekutif yaitu kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang

termasuk mengadakan perjanjian dengan negara lain. Kekuasaan

legislatif yaitu kekuasaan untuk membuat undang-undang.Kekuasaan

yudikatif yaitu kekuasaan untuk mengadili terhadap pelanggar

undang-undang. Menurut Montesquieu ketiga jenis kekuasaan itu

harus dipisah satu sama lain. Berarti lembaga negara yang lain tidak

boleh ikut campur dalam urusan lembaga negara lain.

3. JJ Rousseau

Beliau menganut teori perjanjian masyarakat dan dianggap sebagai

Bapak Teori Kedaulatan Rakyat.Menurutnya negara dibentuk oleh

kemauan rakyat.Kemauan rakyat untuk membentuk sebuah negara ini

disebut kontrak sosial.Individu secara suka rela dan bebas membuat

perjanjian untuk membentuk sebuah negara berdasarkan kepentingan

mereka.Negara sebagai organisasi berkewajiban mewujudkan cita-cita

atau kemauan rakyat yang kemudian dituangkan dalam bentuk kontrak

sosial yang berwujud konstitusi negara.Rosseau juga menekankan

adanya kebebasan dan persamaan.

93
94

Kehidupan negara pada prinsipnya sama dengan kehidupan

keluarga. Kedaulatan rakyat memberi gambaran, bahwa rakyatlah

pemegang kekuasaan tertinggi dalam setiap kehidupannya dalam

bermasyarakat dan bernegara. Penyelenggaraan pemerintahan negara

berdasarkan kedaulatan rakyat tersebut akan terlihat dalam sistem

pemerintahan Indonesia. Dalam sistem pemerintahan Indonesia akan

tergambarkan peran lembaga negara sebagai pelaksana kedaulatan

rakyat.

Sebelum membahas tentang kedaulatan rakyat, perlu dijelaskan

terlebih dahulu siapakah rakyat itu? Rakyat adalah orang yang tunduk

pada suatu pemerintah negara. Dalam negara ada yang memerintah

dan ada juga yang diperintah, yang memerintah negara disebut

pemerintah dan yang diperintah oleh negara disebut rakyat. Oleh

karena itu, keberadaan suatu negara sangat ditentukan oleh dukungan

rakyat. Istilah rakyat berbeda dengan istilah warga negara, penduduk,

bangsa dan masyarakat. Warga negara adalah orang yang memiliki

hak dan kewajiban pada suatu negara. Penduduk adalah orang yang

bertempat tinggal pada wilayah suatu negara.

Penduduk dibedakan antara warga negara dan warga negara asing.

Pengertian bangsa adalah sekelompok orang yang memiliki perasaan

senasib akan keberadaan suatu negara. Sedangkan pengertian

masayarakat adalah sekelompok orang yang tinggal bersama di suatu

94
95

daerah tertentu dan terikat pada nilai-nilai tertentu yang diterima

secara bersama.

Paham yang menekankan tentang kedaulatan rakyat berkembang

mulai abad XVII hingga sekarang. Paham ini dipengaruhi oleh teori

kedaulatan hukum yang menempatkan rakyat sebagai objek sekaligus

subjek dalam negara(demokrasi). Pengertian kedaulatan rakyat

berhubungan erat dengan pengertian perjanjian masyarakat dalam

pembentukan asal mula negara. Negara terbentuk karena adanya

perjanjian masyarakat.Perjanjian masyarakat disebut juga dengan

istilah kontrak sosial.

Ciri-ciri negara yang menganut asas kedaulatan rakyat adalah

sebagai berikut:

1. Adanya lembaga-lembaga perwakilan rakyat dan Dewan Perwkilan

Rakyat.

2. Adanya pemilu.

3. Kekuasaan atas kedaulatan rakyat dilaksanakan oleh badan atau

majelis yang menangani mengawasi pemerintah.

4. Susunan kekuasaan badan atau majelis itu ditetapkan pada Undang-

Undang Dasar.

Sebelum menjelaskan pemegang kedaulatan dalam sistem

pemerintahan Indonesia, akan dijelaskan terlebih dahulu apa itu sistem

pemerintahan dan apa itu sistem pemerintahan Indonesia. Sistem

95
96

berarti suatu kesatuan yang terdiri atas berbagai unsur yang saling

melengkapi untuk mencapai suatu tujuan.Adapun pemerintahan

adalah mereka yang memerintah dalam suatu negara. Jadi sistem

pemerintahan adalah suatu kesatuan yang terdiri atas berbagai unsur

yang memerintah dalam suatu negara yang saling melengkapi untuk

mencapai tujuan negara bersangkutan. Dengan demikian sistem

pemerintahan Indonesia adalah suatu kesatuan yang terdiri atas

berbagai unsur yang memerintah dalam negara Indonesia yang saling

melengkapi untuk mencapai tujuan negara Indonesia.

UUD 1945 Bab I Bentuk dan Kedaulatan, Pasal 1 (2) menyatakan,

bahwa Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut

UUD. Dengan ketentuan itu dapat diartikan, bahwa pemilik

kedaulatan dalam negara Indonesia adalah rakyat.Pelaksanaan

kedaulatan ditentukan menurut Undang – Undang Dasar.

Pelaksana Kedaulatan negara Indonesia menurut UUD 1945 adalah

rakyat dan lembaga-lembaga negara yang berfungsi menjalankan

tugas-tugas kenegaraan sebagai representasi kedaulatan rakyat.

Lembaga-lembaga negara menurut UUD 1945 adalah Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA),

Mahkamah Konstitusi (MK), Dewan Perwakilan Daerah (DPD),

Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD),

96
97

Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Yudisial (KY).

Pelaksana kedaulatan rakyat menurut UUD 1945 inilah sebagai sistem

pemerintahan Indonesia. Dengan kata lain sistem pemerintahan

Indonesia adalah adalah pemerintahan yang didasarkan pada

kedaulatan rakyat sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945.

UUD 1945 menentukan, bahwa rakyat secara langsung dapat

melaksanakan kedaulatan yang dimilikinya. Keterlibatan rakyat

sebagai pelaksana kedaulatan dalam UUD 1945 ditentukan dalam hal :

1. Mengisi keanggotaan MPR, karena anggota MPR yang terdiri

atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui

pemilihan umum (Pasal 2 (1)).

2. Mengisi keanggotaan DPR melalui pemilihan umum (Pasal 19

(1)).

3. Mengisi keanggotaan DPD (Pasal 22 C (1))

4. Memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam satu pasangan secara

langsung (Pasal 6 A (1)).

Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu

kelompok yang terorganisasi yang anggota-anggotanya memiliki

orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini

adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan

politik (biasanya) dengan cara konstitusional untuk melaksanakan

kebijakan mereka.

97
98

Sedangkan menurut Pasal 1 UU No.2 Tahun 2008 tentang partai

politik, bahwa yang disebut partai politik adalah organisasi yang

bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara

Indonesia secara sukarela atas kesamaan kehendak dan cita-cita untuk

memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota,

masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara

Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar 1945.

C. Prinsip Demokrasi Indonesia Dalam Pengaturan Ambang Batas

Formal

Pelaksanaan demokrasi tidak hanya terkait dengan bagaimana proses

tersebut dapat dilaksanakan, namun bagaimana demokrasi tersebut secara materiil

dapat diselenggarakan berdasarkan falsafah atau ideologi yang dianut oleh suatu

bangsa atau negara. Benih-benih nilai demokrasi Bangsa Indonesia yang

berlandaskan Pancasila timbul dari Pidato Soekarno yang menguraikan bahwa

dasar falsafah negara Indonesia yang merdeka (philosofische grondslag) salah

satunya adalah prinsip “mufakat atau demokrasi”. Bahwa idealisasi yang

ditanamkan oleh founding fathers atas konsep demokrasi Indonesia adalah

demokrasi konsensus (demokrasi permusyawaratan) sebagaimana dimaksud sila

keempat Pancasila dengan lebih menekankan pada daya-daya konsensus

(mufakat) dalam semangat kekeluargaan masyarakat plural. Pengaturan ambang

batas formal yang diatur di Indonesia seyogyanya membutuhkan

harmonisasi bagaimana prinsip-prinsip demokrasi di dalam suatu negara yang

majemuk dapat mencapai suatu konsensus.

98
99

Pluralisme dalam demokrasi akan mengarahkan kepada dua keadaan,

yakni terjadinya konflik dan konsensus. Bahwa praktek demokrasi sebagai suatu

proses yang bersifat dinamis memiliki kerentanan yang sangat memungkinkan

terjadinya perbedaan pandangan, persaingan, dan pertentangan dikarenakan

pluralnya aktor atau pelaku yang terlibat di dalamnya. Demokrasi mensyaratkan

adanya suatu keseimbangan yang harmonis di antara konflik dan bagaimana

penyelesaiannya. Adanya harmonisasi di antara konflik dan penyelesaiannya

dalam bentuk kesepakatan (konsensus) ditujukan sebagai bentuk persatuan dalam

perbedaan dan kemajemukan. Konflik yang terjadi merupakan bentuk dari

adanya perbedaan, dan konsensus merupakan wujud dari persatuan. Secara

aksiologis, pemahaman demokrasi yang tersirat di dalamnya memiliki nilai

tujuan kemanfaatan untuk menyatukan perbedaan di dalam kemajemukan

(pluralisme), dalam hal ini Bhinneka Tunggal Ika.

Mohammad Hatta berpendapat bahwa kerakyatan yang dianut oleh bangsa

Indonesia bukan hanya kerakyatan yang mencari suara terbanyak saja, tetapi

kerakyatan yang mengutamakan permusyawaratan, menempatkan pemungutan

suara (voting) sebagai pilihan terakhir, dan harus menjunjung tinggi semangat

kekeluargaan yang saling menghormati. Berdasarkan hal tersebut, dapat dipahami

bahwa konsep demokrasi yang ideal dianut Indonesia adalah permusyawaratan

yang seharusnya tidak mengenal siapa mayoritas ataupun minoritas (setidaknya

mempertimbangkan pendapat semua pihak). Namun sebagai suatu hal yang

disadari secara teoritis bahwa corak demokrasi ideal yang melibatkan semua

orang tersebut bahkan pada aspek terkecil sebagaimana yang diidealisasi oleh

John Stuart Mill, tidak sepenuhnya dapat diterapkan. Suatu negara yang plural

dengan segenap permasalahan yang kompleks menyebabkan mufakat memang

99
100

sangat sulit untuk dibulatkan. Hatta sendiri berpendapat bahwa “mufakat yang

dipaksakan” sebagaimana lazim terjadi di negeri-negeri totaliter tidaklah sesuai

dengan paham demokrasi Indonesia”. Demokrasi langsung (direct democracy)

layaknya di negara polis tidaklah mungkin dapat diterapkan di Indonesia yang

memiliki ragam kepentingan dan aspirasi. Pemilihan suara dengan suara

terbanyak harus tetap dimungkinkan dalam rangka menghindari kemungkinan

rekayasa mufakat dalam pembentukan pemerintahan.

Pengaturan ambang batas formal timbul sebagai refleksi atas upaya

mengurangi konflik dalam demokrasi dan menghindari rekayasa konsensus atas

nama mufakat yang semu. Konsensus yang terbangun melalui pengaturan

ambang batas formal mengupayakan terbangunnya permusyawaratan/perwakilan

yang dilaksanakan dengan mempertimbangkan aspirasi semua pihak (baik

mayoritas dan minoritas), dimana rezim reformasi memberikan kebebasan pada

setiap elemen masyarakat dalam hal membentuk partai politik dan berpeluang

untuk mengikuti pemilu dengan syarat yang sama, namun eksistensinya dalam

lembaga perwakilan dapat dibatasi oleh rakyat sendiri melalui pemilihan umum

dan pemberlakuan ambang batas formal.

Demokrasi materiil Indonesia juga menempatkan bagaimana aturan-

aturan dalam menciptakan perwakilan tersebut dapat diselenggarakan

secara adil. Pada hakikatnya bahwa yang menjadi sumber hukum secara

universal dimana hukum akan menentukan kriteria-kriterianya sehingga

suatu pengaturan dapat diuji apakah mencerminkan atau tidak keadilan

tersebut. Keadilan menjadi unsur yang harus dipenuhi sebagai landasan

fundamental dalam pembentukan hukum.

100
101

Pancasila menempatkan keadilan sosial (social justice) sebagai salah satu

prinsip dasar dalam pembangunan hukum nasional secara luas. Terdapat dua hal

fundamental yang dipaparkan oleh Soekarno tentang visi keadilan sosial

Indonesia yaitu, tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka dan tidak

akan dibiarkan kaum kapitalis merajalela. Pancasila sebagai dasar negara

Indonesia tidak hanya menerapkan secara praktis bagaimana distribusi

kesejahteraan atau keadilan yang ada dalam seluruh masyarakat, namun juga

menegaskan bahwa di dalam Negara Indonesia yang merdeka, seyogyanya tidak

ada lagi kemiskinan di dalamnya.

Apabila ditafsirkan secara ekstensif, keadilan sosial dalam demokrasi tidak

hanya berhubungan dengan persamaan politik, tetapi juga dalam hal ekonomi.

Paham keadilan sosial dalam pembangunan hukum memperlihatkan adanya

tanggung jawab negara dalam mengusahakan persamaan kesejahteraan di bidang

ekonomi dan tidak hanya sebatas berkutat pada hak-hak politik. Pun demikian

dengan ukuran keadilan sosial pada pengaturan ambang batas formal seyogyanya

tidak hanya dilihat dari aspek kepentingan-kepentingan politik individu semata,

namun meliputi seluruh sektor sehingga tujuan nasional dapat terpenuhi.

Pengaturan ambang batas formal berusaha memaktubkan nilai demokrasi

perwakilan secara komprehensif dalam kerangka keadilan sosial demi

menyempurnakan sistem perwakilan proporsional. Keadilan sosial akan

mengarah kepada konsep beban dan tanggung jawab, dimana Mohammad Hatta

berpendapat bahwa di dalam suatu keadilan dan kesejahteraan sosial dalam

Pancasila diimbangi dengan adanya rasa tolong menolong sebagai solusi atas

kelemahan sistem ekonomi liberalisme-kapitalisme dan etatisme. Konsep tolong

menolong yang ada dalam Pancasila menunjukkan bagaimana kehidupan bangsa

101
102

Indonesia yang penuh dengan rasa gotong royong, toleransi, dan kekeluargaan.

Dengan membebankan prinsip tolong menolong dalam masyarakat, maka akan

memberikan kewajiban bagi masyarakat dalam rangka mewujudkan

kesejahteraan sosial.

D. Parliamentary Threshold Pemilu Tahun 2009

Pemilu yang dilakukan di tahun 2009 memiliki jumlah peserta

pemilu yang lumayan banyak hampir mendekati jumlah peserta pemilu

tahun 1999. Pada pemilu tahun 2009, electoral threshold sudah tidak

berlaku dikarenakan ada Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 yang

membahas bahwa peserta pemilu bisa mengikuti tanpa verifikasi dengan

syarat partai politik tersebut memiliki kursi di DPR pada pemilu 2004

kemarin.

Dalam pasal 202 Undang-Undang No.10 Tahun 2008 dijelaskan

bahwa partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas

perolehan suara sekurang-kurangnya 2.5 persen dari jumlah suara sah

secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.

Akan tetapi ketentuan ini tidak berlaku untuk penentuan perolehan kursi

DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Untuk penghitungannya

adalah jumlah suara sah seluruh partai politik peserta pemilu dikurangi

jumlah suara sah partai politik peserta pemilu yang tidak memenuhi

ambang batas suara.108

108
Undang-Undang No.10 Tahun 2008 pasal 202-203

102
103

Hasil dari pemilu 2009 ini yang menerapkan parliamentary

threshold sebesar 2.5 persen, hanya ada 9 partai politik yang berhasil

duduk di kursi parlemen. Adapun partai politik yang lolos adalah partai

demokrat dengan 20.85%, partai Golkar 14.45%, partai PDIP 14.03%,

partai PKS 7.88%, partai PAN 6.01%, partai PPP 5.32%, partai PKB

4.94%, partai Gerindra 4.46%, partai Hanura 3,77%. Sedangkan jumlah

akumulasi partai yang tidak lolos ambang batas adalah 18.29% atau sekitar

19.048.653 suara sah yang tidk menghasilkan kursi di DPR.

E. Parliamentary Threshold Pemilu Tahun 2014

Pada Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tahun

2014, dasar hukum yang dipakai adalah Undang-Undang No.8 Tahun

2012. Dalam undang-undang tersebut ada kenaikan ambang batas

parlemen sebesar 3.5%. Ambang batas parlemen ini terdapat pada pasal

208 yang berbunyi “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang

batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen)

dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan

perolehan kursi anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD

Kabupaten/Kota.”109

Naiknya ambang batas parlemen atau parliamentary threshold

yang dibuat merupakan legal police bagi pembuat undang-undang.

Dengan adanya kenaikan ambang batas parlemen diharapkan partai politik


109
Undang-Undang No.8 Tahun 2012

103
104

menjadi sedikit dan untuk mengkokohkan sistem presidensial dalam

pemerintahan.

Jumlah partai politik pada pemilu 2004 berjumlah 12 dan 3 partai lokal di

Provinsi Aceh. Hasil dari pemilu 2014 dengan ambang batas 3.5% hanya

menghasilkan 10 partai politik yang lolos ke parlemen. Sehingga partai

yang tidak lolos ambang batas tidak memiliki wakilnya di DPR. Adapun

partai politik yang lolos ambang batas parlemen adalah partai Demokrasi

Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai

Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Demokrat (PD), Partai

Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai

Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), dan Partai

Hati Nurani Rakyat (Hanura). Sedang dua partai lainnya, yaitu Partai

Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI)

tidak lolos ambang batas parlemen (Parliamentary Threshold) 3,5% (tiga

koma lima persen).

Penerapan ambang batas 3,5% (tiga koma lima persen) tidak

berhasil mengurangi jumlah partai politik di DPR. Kenaikan ambang batas

parlemen dari 2,5% menjadi 3,5% tidak efektif mengurangi jumlah partai

politik di DPR. Dari 12 (dua belas) partai politik yang menjadi peserta

pemilu sebanyak 10 (sepuluh) partai politik lolos ambang batas

parlemendan hanya 2 (dua) partai politik yaitu PBB dan PKPI yang tidak

lolos ambang batas parlemen.

104
105

F. Parliamentary Threshold Pemilu Tahun 2019

Pada pemilu 2019 yang dilakukan bulan April yang lalu yang

dilakukan serentak untuk memilih presiden dan wakil presiden, serta

memilih pejabat legislatif lainnya telah menggunakan Undang-Undang

Pemilu yang terbaru yaitu Undang-Undang UU No.7 Tahun 2017. Dalam

Pasal 414 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 yang berbunyi : “Partai

Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara

paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional

untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR”. 110

Artinya ambang batas parlemen (Parliamentary Threshold) mengalami

kenaikan sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari Pemilu tahun 2014

lalu. Sehingga partai yang perolehan suaranya tidak mencapai 4% (empat

persen) pada pemilihan legislatif tidak akan lolos sebagai anggota DPR RI.

Ada 16 partai politik yang mengikuti pemilu 2019, tetapi hanya

ada sembilan partai politik yang lolos ambang batas parlemen. Tujuh

partai yang tidak lolos adalah Garuda, Berkarya, Perindo, PSI, Hanura,

PBB dan PKPI. Jumlah kumulatif dari partai yang tidak lolos adalah

9.82% suara sah Nasional.

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

menyatakan meningkatkan ambang batas parlemen (parliamentary

threshold) sering dijadikan jalan pintas untuk menyederhanakan sistem


110
Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017

105
106

kepartaian. Menurut mereka, pada Pemilu 2019 belum terbukti sukses.

“Pada prakteknya jika kita rujuk pemilu 2019 dengan angka parliamentary

threshold yang meningkat dari 3,5 persen ke 4 persen tidak mampu

menyederhanakan sistem multipartai di Indonesia menjadi pluralisme

moderat atau multipartai sederhana,” kata peneliti Perludem, Heroik M.

Pratama saat dihubungi Selasa, 14 Januari 2020 saat diwawancarai oleh

tim tempo.

Heroik mengatakan sisi lain peningkatan ambang batas parlemen

memiliki efek samping berupa terbuangnya suara pemilih secara sia-sia.

Karena bagi partai politik perolehan suaranya yang tidak mencapai angka

ambang batas minimal tidak akan dikonversi menjadi kursi. Ketimbang

menaikkan ambang batas parlemen, Heroik menyarankan lebih baik

menata ulang besaran alokasi kursi per daerah pemilihan (dapil). Menurut

dia perubahan besaran dapil dari 3-10 menjadi 3-8 akan menghasilkan

penyederhanaan sistem kepartaian secara alamiah tanpa harus membuang

perolehan suara partai. Logikanya daerah pemilihan yang semakin kecil

berarti semakin kompetitif dan sulit bagi partai politik untuk meraih kursi

akan berpengaruh terhadap penyederhanaan partai.

106
BAB IV ANALISIS PENGATURAN AMBANG BATAS PARLEMENTARY TRESHOOLD (PT) DALAM KONTEKS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM BERDASARKAN KEDAULATAN RAKYAT PASAL 1 AYAT (2) UNDANG- UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA 1945

ANALISIS PENGATURAN AMBANG BATAS PARLEMENTARY


TRESHOOLD (PT) DALAM KONTEKS UNDANG-UNDANG NOMOR 7
TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM BERDASARKAN
KEDAULATAN RAKYAT PASAL 1 AYAT (2) UNDANG-UNDANG
DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA 1945

A. Ambang batas Parlementary Treshold (PT) dalam Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

Pemilu yang dilakukan di tahun 2009 memiliki jumlah peserta

pemilu yang lumayan banyak hampir mendekati jumlah peserta pemilu

tahun 1999. Pada pemilu tahun 2009, electoral threshold sudah tidak

berlaku dikarenakan ada Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 yang

membahas bahwa peserta pemilu bisa mengikuti tanpa verifikasi dengan

syarat partai politik tersebut memiliki kursi di DPR pada pemilu 2004

kemarin.

Pada Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tahun

2014, dasar hukum yang dipakai adalah Undang-Undang No.8 Tahun

2012. Dalam undang-undang tersebut ada kenaikan ambang batas

parlemen sebesar 3.5%. Ambang batas parlemen ini terdapat pada pasal

208 yang berbunyi “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi

ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima

persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam

penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD

Kabupaten/Kota.”
108

Pada pemilu 2019 yang dilakukan bulan April yang lalu yang

dilakukan serentak untuk memilih presiden dan wakil presiden, serta

memilih pejabat legislatif lainnya telah menggunakan Undang-Undang

Pemilu yang terbaru yaitu Undang-Undang UU No.7 Tahun 2017. Dalam

Pasal 414 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 yang berbunyi : “Partai

Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara

paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional

untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR”. 111

Artinya ambang batas parlemen (Parliamentary Threshold) mengalami

kenaikan sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari Pemilu tahun 2014

lalu. Sehingga partai yang perolehan suaranya tidak mencapai 4% (empat

persen) pada pemilihan legislatif tidak akan lolos sebagai anggota DPR RI.

Ada 16 partai politik yang mengikuti pemilu 2019, tetapi hanya

ada sembilan partai politik yang lolos ambang batas parlemen. Tujuh

partai yang tidak lolos adalah Garuda, Berkarya, Perindo, PSI, Hanura,

PBB dan PKPI. Jumlah kumulatif dari partai yang tidak lolos adalah

9.82% suara sah Nasional.

B. Indikator Pengaturan Ambang Batas Parliamentary Threshold (PT)

terhadap Perolehan Suara

Electoral threshold ataupun parliamentary threshold pada dasarnya

sama, yakni ambang batas (syarat) yang harus dilampaui oleh partai

politik untuk dapat mengirimkan wakilnya ke lembaga perwakilan. Disisi

lain ada yang membedakan antara electoral threshold yang dimaknai


111
Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017

108
109

sebagai syarat (yang berupa persentase) bagi partai politik untuk dapat

menjadi peserta pemilihan umum.sedangkan parliamentary threshold,

merupakan syarat (yang berupa persentase) untuk menentukan lolos

tidaknya partai politik kedalam parlemen (berupa kursi di parlemen).

Biasanya dinyatakan dengan persentase perolehan suara sah atau di

beberapa tempat bisa dinyatakan dalm bentuk perolhan minimal kursi.

Sebagai salah satu instrument teknis dalam sistem pemillu, ambang batas

perwakilan atau parliamentary threshold, ditemui di negara-negara yang

menerapkan sistem pemilu proporsional. Karena dalam sistem

proporsional selalu memunculkan multipartai. Hal ini berbeda dengan

sistem distrik yang kecenderungannya menghasilkan dwi partai.

Oleh karena itu, tujuan utama penerapan ambang batas perwakilan

atau parliamentary threshold adalah sebagaiberikut;

1. Membatasi jumlah partai politik yang memperoleh dukungan tidak

signifikan dari pemillih masuk parlemen. Hal ini dimaksudkan

karena, berkurangnya jumlah parta politik di parlemen diharapkan

dapat meningkatkan efeltifitas kerja parlemen.

2. Menyaring partai politik peserta pemilu berikutnya. Karena,

dengan banyaknya partai politik peserta pemilu, tidak hanya

berdampak pada membengkaknya dana penyelenggaraan pemilu,

tetapi juga membuat pemilih bingung dalam memberikan suara.

109
110

Tidak ada formula baku tentang berapa besaran ambang

bataspemilu nasional. Besar kecilnya ambang batas pemilu nasional

ditentukan oleh pembuat undang-undang, sesuai dengan kondisi sosial

politik masing-masing negara sejalan tujuan khusus yang hendak dicapai

oleh undang-undang. Besaran ambang batas perwakilan bervariasi pada

banyak negara. mulai dariangka yang terendah sebesar 2 persen suara

seperti di Israel, hingga 10 persen suara sah seperti di Turki. Namun

demikian, pada umumnya, negara demokrasi transisi, terutama yang

sedang bergerak dari situasi dan gejolak konflik yang mendalam, biasanya

lebih memerlukan keterikatan diantara semua pihak. Dengan demikian,

dibutuhkan threshold yang rendah bagi partai peserta pemilu agar bisa

menyuarakan aspirasinya. Sementara untuk negara demokrasi mapan,

biasanya lebih memilih threshold yang lebih tinggi112

112
Jamaludin Ghafurdan Allan Fatchan Ghani Wardana, Presidential Threshold, Setara
Press, Jakarta, Hlm. 102-103

110
BAB V PENUTUP

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut :

1. Pengaturan ambang batas formal tidak bertentangan dengan

prinsip demokrasi konstitusional dengan berdasar pada empat

aspek, yakni : keberadaan pengaturannya yang didasarkan pada

kewenangan legislasi DPR-RI untuk mengatur lebih lanjut perihal

pemilihan umum; tujuan stabilisasi lembaga negara; tidak

bertentangan dengan hak asasi politik; adanya konsistensi dalam

pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi. Namun

pengaturan ambang batas formal di Indonesia mengakibatkan

pengurangan sejumlah suara sah dari pemilih sehingga

mengurangi tingkat proporsionalitas hasil pemilu.

2. Pengaturan ambang batas formal wajib memenuhi tiga indikator,

yakni Cita Hukum Indonesia, proporsionalitas hasil pemilu, dan

pemenuhan tujuan hukum. Pengaturan ambang batas formal

memenuhi Cita Hukum Indonesia yang mengupayakan demokrasi

permusyawaratan/perwakilan dapat dilaksanakan secara konsisten

dengan memperhatikan nilai keadilan sosial. Perbandingan hukum

dengan negara lain memperlihatkan bahwa pengaturan ambang


112

batas formal merupkan substansi hukum yang lazim diterapkan

112
113

dalam negara yang menganut sistem pemilu perwakilan

proporsional. Adapun dalam pengaturan ambang batas formal

yang berkelanjutan tidak hanya mencantumkan persentase

minimal yang harus dipenuhi, namun disertai dengan adanya

aturan tambahan yang mampu mengurangi disproporsionalitas

hasil pemilu dalam rangka memenuhi kepastian dan keadilan

hukum.

B. Saran-Saran

Adapun saran atau rekomendasi yang dapat diberikan adalah

sebagai berikut :

1. Pembentuk undang-undang hendaknya memperhatikan setiap

Putusan Mahkamah Konstitusi yang menguji ketentuan ambang batas

formal secara komprehensif, terutama perihal syarat proporsional.

Kecermatan pembentuk undang-undang seharusnya lebih

diperhatikan dalam memilih desain hukum ambang batas formal.

2. Hendaknya terdapat pembaruan hukum atas pengaturan ambang

batas formal yang lebih bersifat komprehensif dan permanen.

Penentuan persentase ambang batas yang konsisten sebaiknya berada

pada kisaran yang tidak melebihi angka 5%. Kemudian perihal

aturan-aturan hukum tambahan guna mengurangi konsekuensi

disproporsionalitas sebaiknya lebih diarahkan pada ketentuan

ambang batas formal untuk koalisi partai politik agar dapat

menciptakan koalisi yang permanen di DPR-RI.

113
114

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Adnan Buyung Nasution, Pikiran & Gagasan Demokrasi Konstitusional,


Jakarta: Kompas.

Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: RajaGrafindo


Persada, 2004.

Arbain Ahmad Hanafi, Parlemen untuk Pemula, Jakarta: Indonesian


Parliamentary Center, 2009.

Efriza, Imu Politik dari Ilmu Politik sampai Sistem Pemerintahan, Cet. 2,
Bandung: Alfabeta, 2009.

Firdaus, Constitutional Enginering Desain Stabiitas pemerintahan


demokrasi dan Sistem Kepartaian, Cet. 1, Bandung: Yrama
Widya, 2015.

I Dewa Gede Atmadja, Ilmu Negara (Sejarah, Konsep Negara, dan


Kajian Kenegaraan), Malang: Setara Press, 2012.

______________, Hukum Konstitusi (Problematika Konstitusi Indonesia


Sesudah Perubahan UUD 1945), Malang: Setara Press, 2012.

Ismail Sunny, Pembagian Kekuasaan Negara, Jakarta: Aksara Baru,


1985.
J. Moleong Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung:Remaja
Rosdakarya, 2012.

Jamaludin Ghafur, dan Allan Fatchan Gani Wardhana, Presidential


Threshold Sejarah, Konsep, dan Ambang Batas Persyaratan
Pencalonan Dalam Tata Hukum di Indonesia, , Cet, 1, Malang:
Setara Press, 2019.

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Cet. 4,


Jakarta: Sinar Grafika, 2017.

______________, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Cet. 7, Jakarta:


Raja Grafindo, 2015.

______________, Hukum Tata Negara Darurat, Cet. 1, Jakarta: Raja


Grafindo Persada, 2007.

114
115

______________, Kemerdekaan BerserikatPembubaran Partai Politik


dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekretariat jenderal dan
kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.

Lili Romli, Pemilu Era Reformasi dan Konfigurasi Peta Kekuatan Partai
Politik, Cet. 1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2019.

Meitry Taqdir, Qodratillah, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Badan


Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan, 2011.

Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar lmu Politik, Cet. 2, Jakarta: Gramedia


Pustaka Utama, 2008.

Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Cet. 3,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012.

Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechstaat), Cet. 2, Bandung:


Refika Aditama, 2011.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet. 9, Jakarta: Kencana


Prenada Media Group, 2016.

___________________, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. 6, Jakarta: Kencana


Prenada Media Group, 2014.

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Cet. 8, Jakarta: Kompas


Gramedia, 2013.

Ramly Hutabarat, Persamaan di Hadapan Hukum (Equality Before The


Law) di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985,

_________________, Politik Hukum di Indonesia, Cet. 6, Jakarta: Raja


Grafindo Persada, 2014.

Ridho Al-Hamdi, Ambang Batas Pemilu Pertarungan Partai Politik dan


Pudarnya Ideologi di Indonesia, Cet, 1, Yogyakarta: UMY Press,
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2020.

Syamsuddin Haris, et.al. Pemilu Nasional Serentak 2019, Cet. 1,


Yogyakarta: Pustaka Peajar, 2016.

115
116

Soemitro Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia


Indonesia, 1992.

Sri Soemantri Matosoewignjo, Konstitusi Indonesia Prosedur dan Sitem


Perubahannya Sebelum dan Sesudah UUD 1945 Perubbahan,
Cet. 1, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2016.

____________________, Hukum Tata Negara Indonesia Pemikiran dan


Pandangan, Cet. 2, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2015.

Taufiqurrohman Syahuri, Hukum Konstitusi Proses dan Prosedur


Perubahan Undang-Undang di Indonesia 1945-2002 serta
Perbandingannya dengan konstitusi Negara Lain di Dunia, Cet.
1, Bogor: Ghalia Indonesia, 2004.

Thaib Dahlan dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, Cet. 12, Jakarta : Raja
Grafindo persada, 2015.

Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca


Amandemen UUD 1945, Cet. 2, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2011.

B. Hukum/Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republim Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan


Golongan Karya.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum


Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan


Umum.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum


Anggota Dewan perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

116
117

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum


Presiden dan Wakil Presiden.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Peruabahan atas Undang-


Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan


Umum.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota


Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2017 tentang Kewarganegaraan


Republik Indonesia.

C. Kamus/Ensiklopedia/Internet/Media lainnya

Arum Sutrisni Putri, Demokrasi: Pengertian, Sejarah Singkat dan Jenis,


https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/21/160000069/dem
okrasi-pengertian- sejarah-singkat-dan-jenis?page=all., diakses 10
Mei 2021.

Amijoyo, Purwono sastro dan Robert K. Cunningham, Kamus Indonesia


Inggris, Inggris Indonesia, Semarang: Widya Karya, 2016.

Cahya Dicky pratama, Partai Politik: Definisi dan Fungsinya


Partai Politik: Definisi dan Fungsinya",
https://www.kompas.com /skola /read/ 2020/12/17/
173749669/partai-politik-definisi-dan-fungsinya?page=all,
diakses21 Mei 2020.

Farida Azzahra, Parliamentary Threshold Dan Reformasi Sistem


Kepartaian,
https://www.kompasiana.com/faridaazzahra11/6037af728ede487b
ae264ca3/parliamentary-threshold-dan-reformasi-sistem-
kepartaian?page=3, diakses 10April 2020.

Horkheimer & Adorno, Partai Politik: Pengertian, Sejarah dan


Fungsinya, http://sosiologis.com /partai-politik, diakses 21 Mei
2020.

117
118

John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta:


PT. Gramedia Pustaka Utama, 2015.

Michel Rosenfeld, “The Rule of Law and the Legitimacy of Constitutional


Democracy”, dalam Southern California Law Review vol 74
(2001), Publisher University of Southern California; School of
Law; Gould School of Law, California, 2001, diakses dari
http://www- bcf.usc.edu/~usclrev/pdf/074503.pdf, tanggal 18
Maret 2013, hal. 1310

Muhammad Yasin, Melihat Posisi Indonesia dalam Rule ofLaw Indek


2019, https://www.hukumonline.com/berita/baca/ lt5d00828491
e66/melihat-posisi-indonesia-dalam-rule-of-law-index-2019?page
= 2, diakses 20 mei 2020.

Moch. Marsa Taufiqurrohman, Meninjau Penerapan Ambang Batas Pada


Pemilihan Umum Proporsional di Indonesia, .https://www.
researchgate.net/publication/351112107_ Meninjau_Penerapan
_Ambang_Batas_Pemilihan_pada_Sistem_Pemilihan_Umum_Pro
porsional_ di_Indonesia, diakses 1 Mei 2020.

Mohammad Reza, Kelebihan dan Kekurangan Sistem Parliamentary


Threshold dalam Pemilu bagi Kursi di Parlemen dan
Parpol,.https://www.kompasiana.com/mohammadrejaa
/5e1e263dd541df0a4b092422/kelebihan-dan-kekurangan-sistem-
parliamentary-threshold-dalam-pemilu- bagi-kurasi-di-parlemen-
dan-partai-politik?page=2, diakses 23 April 2020.

Pengertian kedaulatan rakyat, https://www.dosen pendidikan.co.id/


kedaulatan-rakyat/, diakses 12 Mei 2020.

Sholihin, M. Firdaus, Kamus Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2016.

Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia,


Semarang: Widya Karya, 2018

Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Ambang_batas_parlemen, diakses


10 mei 2020

Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Supremasi_hukum, diakses 12


Mei 2020

118
119

CURRICULUM VITAE

DATA PRIBADI
Nama : IDRUS

Tempat, Tgl Lahir : Serang, 20 Sept 1982

Alamat : Kp. Pabuaran Ds. Pagintungan, Kec. Jawilan, Serang


Banten

Jenis Kelamin : Laki-Laki

No. HP./ Email : 0812 9261 9649/ idrusjawilan2@gail.com

Agama : Islam

Kewarganegaraan : Indonesia

RIWAYAT PENDIDIKAN
1. SDN Pagintungan : 1988-1994
2. MTs Ikhlas Jawilan : 1994-1997
3. MA Ikhlas Jawilan : 1997-2000
4. S1 Filsafat Islam IAIN SMH Banten : 2000-2005
5. S2 Hukum Tata Negara Untirta : 2017-2021

RIWAYAT ORGANISASI
1. DPD KNPI Provinsi Banten : 2011-2013
2. DPD KNPI Provinsi Banten : 2008-2011
3. HKTI Provinsi Banten : 2008-2011
4. GP Ansor Kab. Serang : 2014-2018
RIWAYAT PEKERJAAN
1. Guru MTs Ikhlas Jawilan : 2005-2012
2. Guru MA Ikhlas Jawilan : 1994-1997
3. Guru MTs Terpadu al-Wahdah Jawilan : 2012-2013
4. KPU Kabupaten Serang : 2013-2018
5. KPU Kabupaten Serang : 2018-2023

119

Anda mungkin juga menyukai