Anda di halaman 1dari 22

MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA
--------------------------------
BERITA ACARA PERSIDANGAN
PERKARA NOMOR 56/PUU-XXI/2023

PERIHAL

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG PASAL 169 HURUF N dan


PASAL 227 HURUF I UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG
PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG
DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

ACARA

MENDENGARKAN KETERANGAN

AHLI DPR, AHLI PEMOHON, DAN AHLI PEMERINTAH

(IV)

JAKARTA

SENIN, 10 JULI 2023


BERITA ACARA PERSIDANGAN

PERKARA NOMOR 56/PUU-XXI/2023

Sidang Pleno Pemeriksaan Persidangan Mahkamah Konstitusi


yang mengabdi pada tingkat pertama dan terakhir yang bersidang di
gedung yang telah ditentukan untuk itu di Gedung Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia Jalan Merdeka Barat Nomor 6, Jakarta
Pusat, pada:

Senin, 10 Juli 2023, Pukul 10.00 WIB – 11.00 WIB

Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang Pasal 169 Huruf N


dan Pasal 227 Huruf I Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum Terhadap Pasal 7, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D
ayat (1), Pasal 28D ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, diajukan oleh: Muchdi Purwopranjono yang
beralamat di Jalan Taman Margasatwa Raya Nomor 11, RT 1 RW 1,
Ragunan, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Daerah Khusus
Ibukota Jakarta;dan Fauzan Rachmansyah yang beralamat di Jalan
Taman Margasatwa Raya Nomor 11, RT 1 RW 1, Ragunan,
Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota
Jakarta yang dalam hal ini bertindak sebagai PARA PEMOHON;

Berdasarkan surat kuasa khusus Nomor


01.56/SKK.PUU/XXI/2023 tanggal 8 Mei 2023 memberi kuasa
kepada Belyana Vega F.R. S. H., LLM dan Sabyna Adilla. S. H., LLM
sebagai advokat/kuasa hukum pada Kantor Hukum Erizal, SH &
Rekan yang berkedudukan di Jalan Raya Lenteng Agung Nomor 30A,
Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Kota Jakarta
Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Baik secara sendiri-sendiri
maupun bersama-sama bertindak untuk dan atas nama pemberi
kuasa; untuk selanjutnya disebut sebagai ---------------------------
PARA PEMOHON;
Susunan Majelis Hakim:

SUSUNAN PERSIDANGAN
1) Prof. Dr. Tumpal Paskalis. S.H., M.H. Hakim Ketua
2) Dr. Naufal Alfian Tri P. S.H., M.H. Hakim Anggota
3) Dr. Vanya Nike Sasmito. S.H., M.H. Hakim Anggota
4) Dr. Azra Balqis. S.H., M.H. Hakim Anggota
5) Dr. Iksanudin Nursantosa. S. H., M. H. Hakim Anggota
6) Dr. Stefanus Sianturi. S.H., M.H. Hakim Anggota
7) Dr. Bayu Krisna Ari Sadewa. S.H., M.H. Hakim Anggota
Panitera Pengganti

Setelah pihak-pihak dipanggil masuk ruang sidang, pada pukul


10.00 WIB sidang dibuka oleh Ketua Majelis dan dinyatakan terbuka
untuk umum serta menanyakan kehadiran para pihak.

Pihak Pemohon Perkara Nomor 56/PUU-XXI/2023 yaitu Muchdi


Purwopranjono, dan Fauzan Rachmansyah diwakili oleh para kuasa
hukumnya yaitu kepada Belyana Vega F.R. S.H., LLM dan Sabyna
Adilla. S.H., LLM. Beserta ahli pemohonnya Dr. Muhamad Rafi Putra
Hariyadi. S.H., M.H dan Dr. Muhamad Fadhlinaufal Sukma Ramadhan.
S.H., MH

Pihak Pemerintah hadir dan diwakili oleh Pihak Pemerintah hadir


dan diwakili oleh Prof. Putri Inayah, S.H., M.H. dan Pihak DPR hadir
dan diwakili oleh Fathima Najma, S.IP, M.IP dan M. Mun'am Syaiful
Huda, S.H., M. H. beserta Ahli termohonnya Dr. Nathasya Berlian,
S.H., M.H.

Hakim Ketua Majelis menjelaskan kepada Para Pihak bahwa


acara sidang hari ini adalah Mendengarkan Keterangan Ahli dari
Termohon dan memerintahkan kepada para ahli disumpah terlebih
dahulu sebelum dimintai keterangan.

Selanjutnya atas pertanyaan Hakim Ketua Majelis, Ahli Termohon DPR


Dr. Nathasya Berlian, S.H., M.H. membacakan keterangan:
KETERANGAN PIHAK TERKAIT-----------------------------------------------

Perihal pokok permasalahan yaitu pengujian Pasal 169 huruf n


dan 227 huruf i Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang
Pemilu.

1. Bahwa Pihak Pemohon mengaujkan pengujian undang-


undang pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 Tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang
Dasar 1945 pasal Pasal 1 ayat (2); 6A ayat (2); Pasal 27 ayat
(1); Pasal 28D ayat (3); Pasal 28H ayat (2); Pasal 28I ayat (2).
2. Bahwa Pihak Pemohon merasa terjadi diskriminasi dan
merasa dirugikan karena terdapat pembatasan ambang batas
untuk menjadi calon presiden.
3. Bahwa Pihak Pemohon merasa ambang batas presiden telah
merenggut calon-calon kandidat potensial pemimpin bangsa.
Selanjutnya atas pertanyaan Hakim Ketua Majelis, Ahli
Termohon DPR Dr. Nathasya Berlian, S.H., M.H. membacakan
keterangan:

KETERANGAN PIHAK TERKAIT-----------------------------------------------

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945 secara tegas menyatakan bahwa "Negara
Indonesia adalah negara hukum" Sebagai Negara hukum maka
seluruh aspek dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan
kenegaraan termasuk pemerintahan harus senanatiasa berdasarkan
atas hukum tiga ide dasar hukum adalah keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukum kepastian hukum dimaknai dengan kondisi di
mana hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati.
Menurut Penjelasan Umum UUD 1945, khususnya penjelasan
tentang Sistem Pemerintahan Negara dinyatakan "Negara Indonesia
berdasar atas hukum (Rechsstaat), tidak berdasarkan atas
kekuasaan belaka (Machtsstaat)" Berdasarkan pernyataan di atas,
kemudian muncul istilah "Supremasi Hukum dengan tatanan hukum
inilah membawa suatu konsekwensi, bahwa pembangunan hukum di
Indonesia diarahkan agar mampu berperan dalam menunjang
pembangunan segala bidang, sehingga dibutuhkan pemimpin bangsa
yang sudah masuk syarat dan mempunyai kompetensi yang baik.
Tujuan hukum sebagaimana dikemukakan oleh Gustav
Radbruch yakni mencapai keadilan, kemanfaatan dan kepastian
hukum. Kepastian hukum mengandung dua hal yaitu adanya aturan
yang bersifat umum sehingga semua orang mengetahui perbuatan
apa yang boleh dan tidak boleh melakukannya serta adanya
keamanan hukum yang menyebabkan pemerintah atau pihak lain
tidak dibenarkan berbuat sewenang-wenang atas nama hukum. Nilai
kepastian hukum merupakan nilai yang pada prinsipnya
memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga negara dari
kekuasaan yang bertindak sewenang-wenang, sehingga hukum
memberikan tanggung jawab pada negara untuk dapat memberikan
jaminan perlindungan bagi setiap warga negaranya. Perlu kita
ketahui juga, bahwa dalam dalam pasal 6 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan dijelaskan bahwa Materi muatan Peraturan Perundang-
undangan harus mencerminkan asas: a. pengayoman; b.
kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f.
bhinneka tunggal ika; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam
hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum;
dan/atau j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan Jika melihat
ketentuan tersebut maka secara umum asas-asas yang dijadikan
dasar dalam pembentukan undang-undang dalam hal ini adalah
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
haruslah memberikan suatu cerminan sikap mengedepankan
keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Untuk mencapai tujuan utama sebagai negara hukum yang
menciptakan kesejahteraan bangsa, maka diperlukan seperangkat
peraturan perundang-undangan yang mengatur kehidupan
masyarakat agar tercipta ketertiban hukum (revhtsorde, legal order)
yang dilandasi oleh falsafah Pancasila dan UUD 1945. Tujuan
dibentuknya undang-undang di negara hukum adalah untuk
menciptakan suasana kesejahteraan masyarakat. Jika mengacu
dalam teori hukum yang dianut oleh negara-negara barat, dapat
diberikan asumsi jika terdapat kepastian hukum, orang yang tidak
mengerti hal yang harus dipatuhi sesuai kaidah dan norma
kehidupan akan timbul sebuah kehidupan yang penuh
ketidakpastian. Kehidupan yang penuh ketidakpastian tersebut akan
menimbulkan kekerasan dalam kehidupan masyarakat menunjuk
pada keberlakuan hukum jelas, tetap dan konsisten dimana
pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang
sifatnya subjektif. Kepastian hukum yang dimaksudkan bukan hanya
tentang segala pasal-pasal yang telah diatur dalam undang-undang,
melainkan kepastian hukum tersebut dibutuhkan sebuah konsistensi
dari putusan-putusan hakim yang sudah dilakukan di ranah lain
maupun putusan terdahulu.
Kemudian asas adil juga perlu dipahami sebagai sebuah
fasilitas yang memberikan hak-hak kepada siapa saja sesuai dengan
asas jika semua orang sama kedudukannya di muka hukum. Sebuah
keadilan juga dibutuhkan dilakukan secara seimbang dalam
melaksanakan kewajiban dan persamaan hak yang didapat.
Peraturan hukum tersebut kemudian akan diterapkan dengan
memberi sanksi dan larangan terhadap para anggota masyarakat
berdasarkan peraturan yang telah dibuat itu, perbuatan apa yang
diperbolehkan dan dilarang dilakukan. . Namun juga harus
dikeluarkan peraturan yang mengatur tata cara dan tata tertib untuk
melaksanakan peraturan substantif tersebut yaitu bersifat
prosedural.
Asas dari tujuan hukum lainnya yakni soal asas kemanfaatan.
Ketika berbicara menegnai asas kemanfaatan di samping kepastian
hukum dan keadilan. Sebuah utilitas yang pernah dijabarkan Jeremy
Bentham adalah hal yang ditamakan dalam hukum karena
Tindakan-tindakan manusia disadari atau tidak kesungguhannya
menjadi titik acuan menata kehidupan, termasuk dalam pembatasan
pilihan pemimpin..
Relevansi tujuan hukum tersebut dengan tujuan hukum
pemilu yaitu untuk mengaplikasikan bagaimana undang-Undang
No.7 Tahun 2017, jika pemilu harus dilaksanakan untuk menjamin
cita-cita nasional agara dapat tercapai sesuai dengan tujuan nasional
bangsa pada akhirnya. Dalam UUD NRI 1945. Dalam pembukaan
UUD 1945 (1) Untuk memilih anggota DPR-RI, DPD-RI, Presiden dan
Wakil Presiden serta DPRD, sebagai sarana perwujudan kedaulatan
rakyat, untuk menghasilkan wakil rakyat dan pemerintahan negara
yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”; “(2)
diperlukan adanya hukum yang mengatur terwujudnya pelaksanaan
pemilu, sebagai perwujudan sistem ketatanegaraan yang demokrtis
dan berintegritas, demi menjamin konsistensi dan kepastian hukum
serta pemilu yang efektif dan efisien;” “(3) Pemilu wajib menjamin
tersalurkannya suara rakyat secara langsung, umum, bebas,
rahasia , jujur dan adil.
Pengujian peraturan perundang-undangan telah dikenal lama
dalam berbagai tradisi hukum global (global legal tradition). Ada yang
dikenal dengan istilah toetsingsrecht dan istilah judicial review.
Apabila diartikan secara etimologis dan terminologis, toetsingrecht
berarti hak menguji, sedangkan judicial review berarti peninjauan
oleh lembaga pengadilan. Sistem pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar oleh badan kehakiman dimaksudkan untuk
melindungi konstitusi dari kesewenang-wenangan para
penyelenggara negara terutama parlemen. Menurut teori supremasi
konstitusi, Undang-Undang Dasar adalah bentuk norma hukum
tertinggi dalam suatu, negara sehingga semua konstitusi negara
termasuk institusi perwakilan rakyat terikat dan tunduk pada
kaidah-kaidah dalam UUD. Sebagai lembaga yang berwenang
melindungi kedudukan tertinggi, kaidah-kaidah dalam Undang-
Undang Dasarnya adalah kekuasaan kehakiman melalui apa yang
disebut pengujian undang-undang.
Berdasarkan alasan tersebut, pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik seharusnya dilandasi dengan kajian
yang bersifat empiris dengan melibatkan partisipasi masyarakat
secara aktif. Dengan dilaksanakannya unsur-unsur tersebut, maka
pembentukan peraturan perundang-undangan tidak hanya
merupakan kehendak para pembentuk peraturan perundang-
undangan dan bersifat top down, tetapi juga berdasarkan aspirasi
dari masyarakat untuk turut serta mempengaruhi proses
pengambilan kebijakan.
Salah satu tujuan dasar yang dimaksudkan dalam
pembentukan Undang-undang pemilu adalah memastikan rakyat
mendapatkan calon pemimpin yang berkualitas untuk memimpin
jalan cita-cita bangsa yang makmur dan mensejahterakan rakyatnya
sesuai dengan kepentingan nasional diatas kepentingan individu
maupun partai politik sekalipun ini tidak berarti kepentingan
individu atau golongan tertentu dapat dikorbankan begitu saja untuk
kepentingan umum. Hal ini terlihat secara tegas dalam berbagai
ketentuan dari Undang-Undang Pemilihan Umum antara lain yaitu :
1. Pasal 1; Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan
Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan demikian pengertian fungsi pemilihan umum adalah
jalan untuk menyelaraskan kebutuhan nasional untuk memilih
pemimpin berkualitas di Indonesia.. Bahwa keperluan untuk dapat
dipilih oleh rakyat tidak Bisa diperkenankan semata-mata untuk
kepentingan pribadi, atau golongan kelompok lain, pemilihan harus
disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari haknya sehingga
bermanfaat, baik untuk kesejahteraan dan kebahagiaan dan juga
bermanfaat untuk masyarakat dan kepentingan perorangan harus
saling imbang mengimbangi.
2. Pada pasal 4 UU Pemilihan umum bahwa pengaturan
yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu memiliki tujuan
untuk memperkuat sistem ketatanegaraan bangsa, mewujudkan
pemilu yang adil dan berintegritas, menjamin konsistensi oengaturan
sistem pemil, memberikan kepastian hukum dan mencegah duplikasi
dalam pengaturan pemil, dan mewujudkan pemilu yang efektif dan
efisien
Dengan melihat terkait melekatnya pengaturan terkait
penyelenggaraan pemilu yang memiliki alasan agar terwujudnya
pemilu yang efektif, efisien, berintegritas, pemilih dapat memastikan
calon pemimpin yang berkualitas dan politik dalam negara yang
stabil, hal ini menjadi dasar dalam ambang batas untuk demi
terwujudnya hal-hal tersebut, yang selengkapnya diatur dalam UU
No. 7 Tahun 2017.
Selanjutnya atas pertanyaan Hakim Ketua Majelis, Ahli
Pemohon Dr. Muhamad Rafi Putra Hariyadi. S.H., M.H
membacakan keterangan;

KETERANGAN PIHAK TERKAIT------------------------------------------------


Keterangan tentang permasalahan dalam pasal-pasal yag
dimintakan uji materiil oleh Pemohon sebagai berikut:

1. Yang Mulia Panel Hakim Konstitusi, kami mengajukan


kesaksian terakit pengujian permohonan uji materiil Pasal 169 huruf
(n) dan Pasal 227 huruf (i) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum atau Undang-Undang Pemilu ini kami
dasarkan pada Pasal 1 ayat (3), Pasal 7, Pasal 22E ayat (1) dan Pasal
28D ayat (1) UUD 1945. Hadirnya Pasal 169 huruf (n) dan Pasal 227
huruf (i) Undang-Undang Pemilu yang memuat terbatasnya
kesempatan mengajukan pencalonan presiden dan wakil presiden
yang jika dikaitkan dengan pasal tersebut dimana pemohon merasa
dirugikan karena persyaratan yang mengharuskan calon presiden
dan wakil presiden belum pernah menjabat lebih dari 2 periode.
dihadirkan kepada pemilih. Bahwa dalam rangka pemberdayaan
partai politik pada era reformasi dan sesuai dengan keinginan para
penyusun perubahan terhadap UUD 1945, maka salah satu sarana
demokrasi dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden
ditentukan melalui partai politik sebagaimana ketentuan Pasal 6A
ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan
umum”. Melalui partai politik, rakyat dapat mewujudkan haknya
untuk menyatakan pendapat tentang arah kehidupan dan masa
depan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Partai politik
dapat mengambil peran penting dalam memberikan kebebasan,
kesetaraan, dan kebersamaan sebagai upaya untuk membentuk
bangsa dan negara yang padu. Partai politik menjadi wadah untuk
memperjuangkan kehendak rakyat, bangsa dan negara sekaligus
sebagai sarana kaderisasi dan rekrutmen calon pimpinan nasional
maupun daerah. Sudah seharusnya pasangan calon yang diusulkan
oleh partai politik atau gabungan partai politik yang penentuannya
dilaksanakan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan
mekanisme internal partai politik atau kesepakatan antar partai
politik yang berkoalisi.

2. Konsepsi HAM yang pada awalnya menekankan pada


hubungan vertikal, terutama dipengaruhi oleh sejarah pelanggaran
HAM yang terutama dilakukan oleh negara, baik terhadap hak sipil
dan politik maupun hak ekonomi, sosial dan budaya. Sebagai
akibatnya, disamping karena sudah merupakan pemerintah,
kewajiban utama perlindungan dan pemajuan HAM ada pada
pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari rumusan-rumusan dalam
Deklarasi Universal HAM (DUHAM), Kovenan Internasional tentang
Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya. Adapun kewajiban dan tanggung jawab negara
dalam kerangka pendekatan berbasis hak asasi manusia (right-based
approach) dapat dilihat dalam tiga bentuk :

a. Menghormati: merupakan kewajiban negara untuk tidak


turut campur mengatur warga negaranya ketika melaksanakan hak-
haknya. Dalam hal ini, negara memiliki kewajiban untuk tidak
melakukan tindakan-tindakan yang akan menghambat pemenuhan
dari seluruh hak asasi.

b. Melindungi: merupakan kewajiban negara agar bertindak


aktif bagi warga negaranya. Negara diharap untuk bertindak aktif
dalam memberi jaminan perlindungan terhadap hak asasi warganya
dan negara berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan
mencegah pelanggaran semua hak asasi manusia oleh pihak ketiga.

c. Memenuhi: merupakan kewajiban dan tanggung jawab


negara untuk bertindak aktif agar hak-hak warga negaranya
terpenuhi. Negara berkewajiban untuk mengambil langkah-langkah
legislatif, administratif, hukum, anggaran dan tindakan-tindakan lain

3. Sebagai negara hukum yang terdapat pada Pasal 1 ayat


(3) UUD 1945 mengakui hak-hak asasi manusia dimana Indonesia
telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan
Politik melalui UndangUndang Nomor 12 Tahun 2005 tentang
Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights, di
mana Pasal 25 huruf (b) menyebutkan bahwa “setiap warga negara
harus mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan apapun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang
tidak beralasan untuk memilih dan dipilih pada pemilihan umum
berkala yang jujur, dan dengan hak pilih yang universal dan sama,
serta dilakukan melalui pemungutan suara 20 secara rahasia untuk
menjamin kebebasan dalam menyatakan kemauan dari para
pemilih”. Sehingga, Pemohon berpandangan bahwa Presiden atau
Wakil Presiden yang telah menjabat selama 2 (dua) kali masa jabatan
baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut tetap memiliki hak
yang sama sebagai warga negara untuk dipilih menjadi calon
Presiden atau calon Wakil Presiden periode selanjutnya apabila
memang rakyat menghendakinya. Berawal dari pemahaman konsep
kedaulatan rakyat, dimana saat ini Indonesia berada pada era
demokrasi langsung, rakyatlah yang memegang kendali untuk
menentukan dan memutuskan segala sesuatu. Rakyat harus terlibat
langsung dalam setiap kebijakan, maka melalui sarana sistem pemilu
dalam menentukan Presiden dan Wakil Presiden pilihannya adalah
bagian dari pengejawantahan suatu pemerintahan itu datangnya atas
dasar kehendak dari rakyat itu sendiri.

4. Jika pada Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU


Pemilu bertentangan dengan konstitusi dan tidak memberikan
kepastian hukum yang adil bagi Pemohon dan pemilihan umum yang
adil sebagaimana telah dijamin dan dilindungi dalam ketentuan Pasal
22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dalam kaitannya hak
konstitusional Pemohon untuk mencalonkan Presiden dan calon
Wakil Presiden yang dibatasi syarat belum pernah menjabat sebagai
presiden atau wakil presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam
jabatan yang sama yang dibuktikan dengan surat pernyataan (vide
Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf I UU Pemilu). Karenanya
ketentuan Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu demi
hukum dan untuk melindungi hak konstitusional Pemohon harus
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 karena ketentuan Pasal
7 UUD 1945 telah terang dan jelas serta tidak perlu lagi
diterjemahkan atau ditafsrikan ke dalam suatu Undang-Undang,
yang berarti penafsiran berhenti ketika suatu teks atau pasal telah
jelas. Norma hukum dibawah harus berpegangan dan tidak
bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi dalam hal ini
UU 24 Pemilu tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945 sebagai
norma hukum tertinggi. Dengan demikian, norma Pasal 169 huruf n
dan penjelasannya serta Pasal 227 huruf i UU Pemilu bertentangan
dengan prinsip negara hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
ayat (3) UUD 1945 dalam hal ini pembentukan norma Pasal 169
huruf n dan penjelasannya serta Pasal 227 huruf i UU Pemilu
bertentangan dengan norma yang lebih tinggi yaitu konstitusi UUD
1945

5. Dengan demikian, ketentuan Pasal 169 huruf n terkait


syarat belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden
selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama dan
penjelasannya serta Pasal 227 huruf i UU Pemilu terkait syarat surat
pernyataan belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil
Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama
menjadi tidak relevan lagi sebab bertentangan dengan hak-hak
konstitusional Pemohon dalam mengusulkan calon Presiden dan
Wakil Presiden dan menciderai pemilihan umum yang adil
sebagaimana telah dijamin dan dilindungi dalam ketentuan Pasal
22E ayat (1) UUD 1945. Bahwa untuk melindungi hak-hak
konstitusional Pemohon sebagaimana uraian tersebut di atas, maka
Pasal 169 huruf n (termasuk dengan sendirinya penjelasan pasal)
dan Pasal 227 huruf i Undang-Undang 25 Nomor 7 Tahun 2017
tentang tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Selanjutnya atas pertanyaan Hakim Ketua Majelis, Ahli


Pemohon Dr. Muhamad Fadhlinaufal Sukma Ramadhan. S.H., MH
membacakan keterangan;

KETERANGAN PIHAK TERKAIT------------------------------------------------


keterangan tentang permasalahan dalam pasal-pasal yag
dimintakan uji materiil oleh Pemohon sebagai berikut:

1. Penyelenggaraan pemilu merupakan pemberian oleh


Pasal 22E ayat (6) UUD 1945. Keterbatasan sifat UUD 1945 yang
abstrak sebagai grundnorm menjadikan interpretasi terhadap
indikator apa saja yang dapat dan tidak dapat diatur dalam undang-
undang menjadi meluas. Aturan pada pasal Pasal 169 huruf (n) dan
Pasal 227 huruf (i) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang
mensyaratkan pencalonan capres dan cawapres belum pernah
menjabat selama 2 periode. Dalam kasus ini Pemohon mendalilkan
pembatasan masa jabatan calon Presiden dan Wakil Presiden, di
antaranya karena dilatarbelakangi oleh rumusan kata “dan” yang
bersifat kumulatif (kedua-duanya) dalam frasa “Presiden dan Wakil
Presiden” pada Pasal 7 UUD 1945, maka Jusuf Kalla yang telah
menjabat sebagai Wakil Presiden berpasangan dengan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono pada Periode 2004-2009, dan Periode
2014-2019 berpasangan dengan Presiden Joko Widodo, dapat dipilih
kembali karena Jusuf Kalla baru 1 (satu) kali menjabat Wakil
Presiden pada masa Presiden Joko Widodo. Bahwa dalam konteks
perbandingan dengan negara lain, terdapat negara-negara yang
mengatur dan membolehkan Presiden menjabat lebih dari 2 (dua) kali
masa jabatan baik secara berturut-turut maupun tidak, diantaranya
ialah negara Kongo, Tanjung Verde, Vietnam, Kiribati dan Iran.

2. Bahwa dengan demikian ketentuan Pasal 7 UUD 1945


secara jelas tidak membatasi hak bagi Presiden atau Wakil Presiden
terpilih untuk mencalonkan diri lagi untuk masa jabatan
selanjutnya. Bahkan, Pasal 7 UUD 1945 bersifat tidak mengikat atau
tidak berlaku terhadap Presiden atau Wakil Presiden yang terpilih
pada pemilu sebelumnya apabila individu Presiden atau individu
Wakil Presiden tersebut memilih pasangan lain yang berbeda sebagai
calon Wakil Presidennya atau calon Presidennya, karena keberlakuan
Pasal 7 UUD 1945 jelas mengatur dan hanya mengikat secara hukum
untuk pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih yang sama dan
bukan untuk individu Presiden atau individu Wakil Presiden.
3. Akan menjadi berbeda cerita apabila ketentuan Pasal 7
UUD 1945 berbunyi, misalkan:

"Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima


tahun, dan masing-masing Presiden dan Wakil Presiden sesudahnya
dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu
kali masa jabatan."

Atau berbunyi, misalkan:

"Tidak ada seorangpun yang dipilih sebagai Presiden atau


WakilPresiden lebih dari dua kali masa jabatan. "

Bahwa permisalan yang kedua tersebut di atas mengacu pada


perbandingan hukum dengan konstitusi Amerika Serikat hasil
amandemen ke-22 yang berbunyi, "no person shall be elected to the
office of the President more than twice". Bahwa apabila ketentuan
Pasal 7 UUD 1945 berbunyi sebagaimana permisalan-permisalan
tersebut di atas, maka ketentuan Pasal 169 huruf n dan Pasal 227
huruf i UU Pemilu sejalan dan tidak bertentangan dengan UUD 1945
sebagai norma hukum tertinggi.

4. Sebaliknya, Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU


Pemilu bertentangan dengan konstitusi dan tidak memberikan
kepastian hukum yang adil bagi Pemohon dan pemilihan umum yang
adil sebagaimana telah dijamin dan dilindungi dalam ketentuan Pasal
22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dalam kaitannya hak
konstitusional Pemohon untuk mencalonkan Presiden dan calon
Wakil Presiden yang dibatasi syarat belum pernah menjabat sebagai
presiden atau wakil presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam
jabatan yang sama yang dibuktikan dengan surat pemyataan (vide
Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf I UU Pemilu). Oleh karenanya
ketentuan Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu demi
hukum dan untuk melindungi hak konstitusional Pemohon harus
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 karena ketentuan Pasal
7 UUD 1945 telah terang dan jelas serta tidak perlu lagi
diterjemahkan atau ditafsrikan ke dalam suatu Undang-Undang (in
casu UU Pemilu) sebagaimana adagium interpretatio cessat in
clarisatau plain meaning rule, yang berarti penafsiran berhenti ketika
suatu teks ataupasal telah jelas.

5. Negara Indonesia adalah negara hukum (vide Pasal 1


ayat (3) UUD 1945) yang membawa konsekuensi adanya
perlindungan terhadap hak-hak konstitusonal warga negara dan
pemerintahan dalam arti luas dilakukan berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Berdasarkan stufentheorie, norma hukum
dibawah harus berpegangan dan tidak bertentangan dengan norma
hukum yang lebih tinggi dalam hal ini UU Pemilu tidak boleh
bertentangan dengan UUD 1945 sebagai norma hukum tertinggi.
Dengan demikian, norma Pasal 169 huruf n dan penjelasannya serta
Pasal 227 huruf i UU Pemilu bertentangan dengan prinsip negara
hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945
dalam hal ini pembentukan norma Pasal 169 huruf n dan
penjelasannya serta Pasal 227 huruf i UU Pemilu bertentangan
dengan norma yang lebih tinggi yaitu konstitusi UUD 1945

6. Maka dapatlah dikatakan ketentuan Pasal 7 UUD 1945


terbagi atas dua kalimat yaitu:

- Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima


tahun,

- Sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama,


hanya untuk satu kali masa jabatan.

Apabila membaca secara utuh satu kesatuan norma Pasal 7


UUD 1945 yang saling berkaitan atau saling berhubungan, maka
satu paket pasangan Presiden dan Wakil Presiden yang sedang
memegang jabatan selama lima tahun lah yang sesudahnya dapat
dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali
masa jabatan (lima tahun). Masa jabatan 5 (lima) tahun sejalan
dengan ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 bahwa pemilu
dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Frasa dapat dipilih kembali
hanya untuk satu paket pasangan Presiden dan Wakil Presiden yang
dimaksud dalam kalimat sebelumnya, yaitu Presiden dan Wakil
Presiden (yang sedang) memegang jabatan selama lima tahun. frasa
hanya untuk satu kali masa jabatan menunjukan bahwa pada
hakikatnya memang masa jabatan hasil pemilu adalah lima tahun.
Oleh sebab itu, tidak ada satupun norma hukum di Indonesia yang
mengatur masa jabatan hasil pemilu selain daripada satu kali masa
jabatan, misalnya sepuluh tahun secara sekaligus. khusus terhadap
satu paket pasangan Presiden dan Wakil Presiden yang sama yang
sedang menjabat, dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama
hanya untuk satu kali masa jabatan. Apabila individu Presiden atau
Wakil Presiden yang sedang menjabat mencalonkan diri atau
dicalonkan dengan memilih pasangan baru lainnya yang berbeda
untuk menjadi calon Wakil Presiden atau calon Presidennya, maka
terhadap individu Presiden atau individu Wakil Presiden yang sedang
menjabat tersebut tidak terikat dan tidak berlaku ketentuan Pasal 7
UUD 1945 yang mengatur dapat dipilih kembali hanya untuk satu
kali masa jabatan karena pasangan mereka (individu Presiden atau
individu Wakil Presiden) dalam pemilihan selanjutnya bukanlah
orang yang sedang menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden,
melainkan orang baru lainnya yang berbeda. Dengan demikian,
berdasarkan Pasal 7 UUD 1945 apabila dihubungkan dengan Pasal
169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu, ketentuan 2 (dua) kali
masa jabatan hanya berlaku terhadap pasangan Presiden dan Wakil
Presiden yang sama yang terpilih berdasarkan hasil pemilu
sebelumnya yang sedang memegang jabatan selama lima tahun,
kemudian pasangan (Presiden dan Wakil Presiden yang sama yang
sedang memegang jabatan) tersebut mencalonkan atau dicalonkan
kembali dalam pemilu, dapat dipilih kembali dalam jabatan yang
sama hanya untuk satu kali masa jabatan yaitu lima tahun. Jelas
dan tegas dalam Pasal 7 UUD 1945 pasangan Presiden dan Wakil
Presiden terpilih ini dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama
hanya untuk satu kali masa jabatan, sehingga pasangan yang sama
tersebut hanya dapat memegang jabatan total 2 (dua) kali masa
jabatan (sepuluh tahun). Sedangkan, ketentuan Pasal 7 UUD 1945
tidak mengakui atau tidak mengatur 2 (dua) kali masa jabatan
apabila individu Presiden atau Wakil Presiden yang sedang menjabat
mencalonkan diri atau dicalonkan dengan memilih pasangan baru
lainnya yang berbeda untuk menjadi calon Wakil Presiden ataucalon
Presidennya
7. Ketentuan Pasal 7 UUD 1945 secara jelas tidak
membatasi hak bagi Presiden atau Wakil Presiden terpilih untuk
mencalonkan diri lagi untuk masa jabatan selanjutnya. Bahkan,
Pasal 7 UUD 1945 bersifat tidak mengikat atau tidak berlaku
terhadap Presiden atau Wakil Presiden yang terpilih pada pemilu
sebelumnya apabila individu Presiden atau individu Wakil Presiden
tersebut memilih pasangan lain yang berbeda sebagai calon Wakil
Presidennya atau calon Presidennya, karena keberlakuan Pasal 7
UUD 1945 jelas mengatur dan hanya mengikat secara hukum untuk
pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih yang sama dan bukan
untuk individu Presiden atau individu Wakil Presiden. Norma yang
terdapat dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu
yang mensyaratkan belum pernah menjabat sebagai presiden tau
wakil presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang
sama yang dibuktikan dengan surat pernyataan yang terdapat pada
Pasal 227 huruf I UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 7 UUD 1945
dan sangat berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon untuk
mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden atau
setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar
dapat dipastikan akan terjadi kerugian konstitusional Pemohon
karena apabila Presiden atau Wakil Presiden terpilih hasil pemilu
sebelumnya memilih pasangan lain yang berbeda sebagai calon Wakil
Presidennya atau calon Presidennya, maka demi hukum tidak terikat
atau tidak dibatasi pernah menjabat dalam jabatan yang sama
selama 2 (dua) kali masa jabatan.

Selanjutnya atas pertanyaan Hakim Ketua Majelis, Ahli


Pemohon Dr. Muhamad Fadhlinaufal Sukma Ramadhan. S.H., MH
membacakan keterangan;

KETERANGAN PIHAK
TERKAIT------------------------------------------------

Dalam keterangan ini perkenankan saya memberikan


keterangan sebagaimana kapabilitas saya sebagai Akademisi
mengenai Partai Politik
Dan Penyederhanaan sistem Multipartai di sistem Presidensil
sehubungan perkara yang sedang berlangsung sebagai berikut:

1. Sistem pemerintahan pada dasarnya adalah sistem yang


menentukan dan mengatur bagaimana hubungan antar alat
kelengkapan negara yang diatur melalui konstitusi. Antar alat
kelengkapan negara apabila melebihi wewenang atau fungsinya, hal
tersebut dapat mempengaruhi komponen lainnya dan dapat
membuat alat kelengkapan negara lebih dominan dari alat
kelengkapan lainnya. Sistem pemerintahan yang ada pada dasarnya
mengatur hubungan antara kekuasaan eksekutif yang biasanya
dipimpin oleh Perdana Menteri/Presiden dan dibantu oleh oleh wakil
presiden dari kelembagaan legislative.

2. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 1 ayat 1


menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara Kesatuan yang
berbentuk Republik. Indonesia adalah negara yang sistem
pemerintahannya adalah sistem Pemerintahan Presidensial. Pilihan
republik dan presidensiil membuat pemimpin yang terpilih akan
dipilih oleh orang banyak, untuk jangka waktu tertentu, tidak
bersifat turun temurun, dan terikat dengan sejumlah aturan. Dalam
UUD 1945, lembaga kepresidenan diberikan posisi yang sangat kuat.
Presiden Indonesia merupakan Kepala Negara sekaligus Kepala
Pemerintahan. Seiring aspirasi politik melalui reformasi tahun 1998,
UUD 1945 mengalami perubahan empat kali, dalam rentang tahun
1999 hingga 2002. Untuk itu, perlu diberikan pembatasan oleh
negara agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Salah satu
pembatasan kekuasaan negara yaitu pembatasan terhadap masa
jabatan Presiden dan Wakil Presiden.

3. Pada mulanya, ketentuan masa jabatan Presiden dan


Wakil Presiden diatur dalam Pasal 7 UUD 1945, namun pengaturan
tersebut tidak diikuti oleh pengaturan batasan masa jabatan
Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia. Sehingga pada praktiknya
menimbulkan kondisi Presiden yang sama dipilih kembali secara
terus menerus, tanpa mengindahkan sistem pembatasan kekuasaan
sebagai suatu prinsip dasar negara berdasarkan Konstitusi
(Konstitusionalisme). Contohnya adalah terpilihnya Presiden
Soekarno dan Presiden Soeharto lebih dari dua kali masa jabatan
berturut-turut. Kepemimpinan Presiden dan Wakil Presiden yang
terus menerus ini selain menghambat regenerasi kepemimpinan juga
berpotensi untuk disalahgunakan.

4. Selain itu, John Dalberg-Acton menyatakan


bahwasannya power tends to corrupt, but absolute power corrupts
absolutely (sifat kekuasaan selalu memiliki kecenderungan yang
disalahgunakan, kekuasaan yang mutlak pasti disalahgunakan),
dalam pernyataan tersebut sejatinya terdapat satu hal yang dapat
kita tarik yaitu kekuasaan yang terlalu lama diberikan pasti dapat
melahirkan penyelewengan kewenangan.

5. Hal ini pun berkaitan dengan isu presiden yang sudah


menjabat dua periode boleh mencalonkan kembali sebagai calon
wakil presiden sesuai dengan yang dimohonkan oleh pemohon terkait
konstitusional pasal yang mengatur pasal tersebut. Dimana Adagium
ini bukan hanya relevan pada kekuasaan yang tidak dibatasi baik
dari segi hak dan kewenangan tetapi juga relevan dari segi masa
jabatan dan/atau periodisasi masa jabatan yang tidak dibatasi atau
terlalu lama. Periodisasi masa jabatan yang begitu lama akan
memberikan kesempatan yang begitu besar bagi yang berkuasa
untuk melakukan tindakan-tindakan koruptif dalam
menyelenggarakan pemerintahan.

6. Pun pada Pasal 7 UUD 1945 dinilai tidak secara eksplisit


mengatur larangan presiden dua periode tidak boleh maju sebagai
calon wakil presiden. Namun, dalam membaca suatu norma hukum
tak bisa hanya sekadar teks atau harfiah saja. Ada penafsiran yang
bersifat sistematis atau harus dilihat dalam konteks lebih besar
maupun historisnya. Pasal 7 itu sebenarnya original intentnya jelas
pembatasan kekuasaan karena waktu pasal 7 itu masuk dalam
amandemen dalam konteks pasca reformasi, pada tahun 1998 itu
sudah keluar TAP MPR yang langsung membatasi kekuasaan
presiden dan wakil presiden. Jadi memang idenya pembatasan
kekuasaan jangan dipelintir pelintir lagi kalau udah presiden jadi
boleh wakil presiden maupun sebaliknya.
7. Dalam membaca pasal 7 harus mencermati Pasal 8 ayat
1 UUD NRI 1945 yang mengatur bahwa jika Presiden mangkat,
berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya
dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai
habis masa jabatannya. Maksudnya kalau kemudian mantan
presiden jadi wakil presiden kemudian presidennya mangkat, artinya
wakil presidennya tidak bisa lagi jadi presiden karena dia dua sudah
kali, artinya ada pertentangan. Selain adanya kekeliruan dalam
membaca pasal 7 tersebut, Terlebih lagi tidak etis misalkan jika
Jokowi mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden. Bukankah
seorang Jokowi itu merasa jabatannya mundur, terus jadi nyari nyari
jabatan wapres itu menurunkan kualitas dan sangat terkesan kesan
mencari jabatan, jadi tentu saja tidak etis.

8. Mengutip dari peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan


Demokrasi (Perludem) Usep Hasan menyatakan, bahwa presiden
yang dua kali menjabat tak bisa mencalonkan sebagai calon wakil
presiden. Ada dua sebab, yaibila merujuk original intent atau
maksud pembuat ketentuan hukum dalam Naskah Komprehensif
Perubahan UUD NRI 1945, ialah masa jabatan dan pemilihan sistem
pemerintahan presidensial punya maksud untuk membatasi
kekuasaan. Dipilihnya sistem presidensial oleh pembuat konstitusi
menyertai kesadaran sistem parlementer pada 1945-1959 yang usia
pemerintahannya amat pendek dan kesadaran jabatan presiden era
Soeharto dan Soekarno yang terlalu lama.tu karena original intent
konstitusi dan sistem Pemilu. Jadi, maksud utama Pasal 7 UUD NRI
1945 adalah membatasi dalam bentuk masa jabatan 5 tahun dan
hanya bisa satu kali dipilih kembali.

9. Selain itu, istilah yang penting dirujuk dalam original


intent adalah satu paket masa jabatan. Jadi, pemilu eksekutif
nasional adalah pemilu presiden dan wakil presiden yang satu paket.
Sehingga, jabatan eksekutif nasional adalah jabatan pasangan
presiden dan wakil presiden yang satu paket. Pemilu presiden dan
wakil presiden Indonesia tidak dipisah. Ini berbeda dengan pemilu
presiden dan pemilu wakil presiden Filipina, yang dipisah. , Istilah
original intent ‘masa jabatan’ tersebut menguatkan sebab kedua,
mengapa presiden dua kali menjabat tidak bisa mencalonkan sebagai
wakil presiden. Hal itu itu berpegang pada prinsip sistem pemilu
mayoritas dan bisa berpegang pada Pasal 6A ayat (1) dan (3) UUD NRI
1945.

10. Pasal 6A ayat 1 itu berbunyi, presiden dan wakil presiden


dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Ayat 3
berbunyi, pasangan calon presiden dan wakil presiden yang
mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara
dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara
di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi
di Indonesia, dilantik menjadi presiden dan wakil presiden. Dalam
konsep elektoral, ketentuan itu merupakan wujud dari sistem pemilu
mayoritas. Artinya, dalam satu daerah pemilihan hanya ada satu
kursi dan syarat keterpilihannya harus lebih dari 50 persen. Satu
kursi di sini artinya satu kursi pasangan presiden dan wakil
presiden, bukan satu kursi masing-masing untuk presiden dan wakil
presiden. Maka, presiden yang dua kali menjabat, atau wakil
presiden yang dua kali menjabat, tak bisa mencalonkan lagi di
pemilu berikutnya. Sebab, maksud jabatan yang sama adalah
jabatan satu kursi pada daerah pemilihan pemilu pasang presiden-
wakil presiden dalam sistem pemilu mayoritas.

11. Kedua, secara aturan tidak bisa. Karena presiden 2


periode, tidak bisa lagi maju sebagai cawapres. Karena menurut
pasal 8 (pasal 8 Ayat 1 UUD NRI 1945) cawapres akan menggantikan
presiden jika mangkat, berhenti, atau diberhentikan. Jika jokowi jadi
wapres, dia tidak bisa menggantikan presiden, karena sudah 2
periode jadi presiden. Pun Anthony Allot dalam bukunya yang
berjudul The Effectiveness of Laws menyatakan bahwa efektifnya
suatu hukum dapat dinilai dari bagaimana hukum dapat
merealisasikan tujuannya. Sejalan dengan hal tersebut sejatinya
Permohonan pemohon ini juga Pada akhirnya pun tidak memiliki
urgensinitas dalam penerapannya. Sehingga untuk mencegah
terjadinya penguasaan jabatan kekuasaan secara terus menerus
yang diyakini akan menjadi dasar terjadinya penyalahgunaan
kekuasaan dan kewenangan, menurut ahli pun sangat tidak
menyetujui permohonan yang diajukan oleh pemohon tersebut.

Selanjutnya Ketua Majelis menutup sidang hari ini pada pukul


11.00 WIB

Demikian Berita Acara Sidang Pemeriksaan Keterangan Ahli


Termohon ini dibuat dan ditandatangani oleh Ketua Majelis dan
Panitera Pengganti

Panitera Pengganti Ketua

Tumpal Paskalis

Anda mungkin juga menyukai