Anda di halaman 1dari 71

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

(UUD RI ’45), menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum.1 Sejalan

dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah

adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari

pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan. Dalam usaha memperkuat prinsip kekuasaan

kehakiman yang merdeka, sesuai dengan tuntutan reformasi di bidang hukum

telah dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970

tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Melalui perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tersebut telah

diletakkan kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan baik yang

menyangkut teknis yudisial maupun urusan organisasi, administrasi, dan finansial

berada di bawah satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.

Perubahan UUD RI 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan

ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan

perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh

sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
1
Pasal 1 ayat (3) UUD RI 1945

1
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan

militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah

Konstitusi. Undang-Undang ini diatur mengenai badan-badan peradilan

penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelenggaraan kekuasaan

kehakiman, jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam

hukum dan dalam mencari keadilan. Selain itu dalam Undang-Undang ini diatur

ketentuan yang menegaskan kedudukan hakim sebagai pejabat yang melakukan

kekuasaan kehakiman serta panitera, panitera pengganti, dan juru sita sebagai

pejabat peradilan, pelaksanaan putusan pengadilan, bantuan hukum, dan badan-

badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Untuk

memberikan kepastian dalam proses pengalihan organisasi, administrasi, dan

finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung dalam Undang-Undang Hal

ini berarti Republik Indonesia ialah Negara Hukum yang demokratis berdasarkan

Pancasila dan UUD RI 1945, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin

segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan

pemerintahan, serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak

ada kecualinya.

Pasal 28D ayat (1) UUD RI 1945, menyatakan dengan tugas bahwa setiap

orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang

adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. 2 Hal mana untuk seluruh

wilayah Negara Republik Indonesia diperlukan adanya satu kesatuan hukum

dalam arti hanya ada satu hukum nasional yang mengabdi pada kepentingan

nasional.
2
Pasal 28D ayat (1) UUD RI 1945

2
Penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke

arah tegak dan mantapnya hukum, keadilan, dan perlindungan yang merupakan

pengayoman terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia, ketertiban, dan

kepastian hukum demi tegaknya Republik Indonesia sebagai negara hukum sesuai

dengan Pancasila dan UUD 1945.

Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J UUD 1945 dan Undang-Undang

tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

harus ditegakkan dalam dan dengan undang-undang. Adapun asas tersebut antara

lain sebagai berikut.

- Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak

mengadakan pembedaan pemberlakuan.

- Penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan hanya dilakukan

berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-

undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-

undang.

- Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan

di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya

putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan

hukum tetap.

- Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana, dan biaya ringan

serta bebas, jujur, dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen

dalam seluruh tingkat peradilan.

3
- Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh

bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan

pembelaan atas dirinya.

- Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau

penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang

didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya itu termasuk hak untuk

menghubungi dan minta bantuan penasihat hukum.

- Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa.3

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana perlu

benar-benar dipahami dan dihayati terutama oleh pejabat penegak hukum yang

secara langsung telah dilibatkan di dalam penerapan undang-undang tersebut.

Hukum acara pidana, dalam ilmu pengetahuan hukum pidana juga sering disebut

sebagai hukum pidana formal, sehingga jelaslah bahwa hukum acara pidana itu

sebenarnya juga merupakan suatu hukum pidana.

Untuk dapat memastikan secara tegas ruang lingkup berlakunya Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana, wajarlah kiranya apabila kita harus

mengetahui terlebih dahulu sifat dari perbuatan-perbuatan terdakwa, penyelidik,

penyidik, pengacara dan hakim sebagai pihak yang terlibat dalam hukum acara

pidana di pengadilan.

Memperhatikan uraian sebelumnya, penulis hendak mengkaji dan meneliti

secara mendalam, dan hasilnya dituangkan dalam suatu karya tulis berupa skripsi

dengan judul “Peran Terdakwa Dalam Hukum Acara Pidana di Pengadilan”.

3
Pasal 28A s/d Pasal 28J UUD RI 1945 dan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman

4
B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka penulis dapat mengidentifikasi masalah

sebagai berikut:

1. Bagaimana peran terdakwa dan pengacara menurut hukum acara pidana dalam

beracara di pengadilan?

2. Bagaimana peran jaksa penuntut umum (JPU) dan hakim menurut acara

pidana dalam beracara di pengadilan?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan skripsi ini sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan mengemukakan peran terdakwa dan pengacaranya

menurut hukum acara pidana dalam beracara di pengadilan.

2. Untuk mengetahui dan menentukan peran jaksa penuntut umum (JPU), dan

hakim menurut hukum acara pidana dalam beracara di pengadilan.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan skripsi ini sebagai berikut:

1. Secara teoritis, guna mendorong para akademisi dan mendorong

pengembangan ilmu pengetahuan hukum terutama hukum acara pidana.

2. Secara praktis, guna memberikan ulasan secara konkrit dan jelas terhadap

pihak yang terkait dalam hukum acara pidana di pengadilan, khususnya para

praktisi hukum.

5
E. Metode Penelitian

Penulis menggunakan metode pendekatan yang lazim dalam penelitian

hukum, yaitu yuridis normatif yang bersifat kualitatif. Sebelum menganalisis

secara kualitatif dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Tipe dan Sifat Penelitian

Penelitian yuridis normatif atau penelitian norma hukum adalah penelitian

yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan

perundang-undangan; keputusan pengadilan (yurisprudensi) dan norma-norma

yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, kebiasaan atau adat istiadat.

Adapun sifat kualitatif adalah menganalisis secara konkrit dan mendalam dan

holistik, yaitu dari segala segi secara komprehensif yang menekankan pada

makna yang diteliti secara realitas apa yang terjadi.4

2. Sumber Data

Sumber data primer, adalah data yang diperoleh langsung dari sumber seperti

lembaga/instansi pemerintah dan data sekunder adalah, data yang diperoleh

dari dokumen resmi, buku-buku, literatur, jurnal, artikel, peraturan perundang-

undangan, yurisprudensi, sebagaimana bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder yang terkait dalam penelitian ini.

3. Pengumpulan dan analisis data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui kepustakaan,

dengan cara mempelajari, membaca, mengkaji buku-buku, literatur, jurnal

4
Abdullah Sulaiman, Penelitian Ilmu Hukum, YPPSDM, Jakarta, 2012, hlm. 26.

6
hukum, artikel hukum, brosur/majalah hukum, peraturan perundang-

undangan, yurisprudensi yang berhubungan dengan penelitian ini, dalam

rangka untuk memperoleh dasar/landasan teoritis hukum dalam penulisan

skripsi ini.

Adapun analisis data adalah sebagai upaya untuk menjawab permasalahan

yang diangkat dalam penelitian/penulisan ini, dengan memilah dan memilih

data yang terkumpul kemudian dianalisis, sehingga dapat ditarik kesimpulan

untuk menjawab permasalahan dan menopang pembahasan.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan, terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan

penulisan, manfaat penulisan, metode penelitian dan sistematika

penulisan.

Bab II Tinjauan Pustaka, terdiri dari pengertian penafsiran autentik Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan pengertian surat dan bentuk

dakwaan dalam hukum acara pidana.

Bab III Pembahasan, yang membahas tentang peran terdakwa dan pengacara

menurut Hukum Acara Pidana di pengadilan dan peran Jaksa Penuntut

Umum dan Hakim menurut Hukum Acara Pidana dalam beracara di

Pengadilan.

Bab IV Penutup, terdiri dari kesimpulan dan saran.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

7
A. Pengertian Penafsiran Autentik Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana

Penafsiran autentik itu adalah penafsiran yang telah dibuat oleh

pembentuk undang-undang sendiri mengenai perkataan-perkataan yang telah ia

gunakan di dalam suatu undang-undang yang telah ia bentuk. Dengan telah

dibuatnya penafsiran secara autentik, apakah ini berarti untuk dapat

memberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana itu orang tidak

perlu lagi membuat penafsiran-penafsiran yang lain?5

Siapakah yang harus membuat penafsiran mengenai ketentuan-ketentuan

yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)?

Penafsiran mengenai ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam KUHAP

terutama adalah hakim. Ini tidak berarti para pejabat lainnya yang turut terlibat

dalam proses pidana, seperti jaksa atau penuntut umum, penyidik, penyidik

pembantu, penyelidik, dan penasihat hukum tidak perlu mengetahui tentang

bagaimana caranya menafsirkan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam

KUHAP dan tentang metode-metode penafsiran yang mana saja yang dapat

digunakan untuk menafsirkan ketentuan-ketentuan tersebut.

Tentang apa yang sebenarnya diharapkan atau dikehendaki oleh

pembentuk undang-undang dengan membentuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana, selengkapnya dapat diketahui dari penjelasan

umum atas undang-undang tersebut yang berbunyi sebagai berikut.

1. Peraturan yang menjadi dasar bagi pelaksanaan hukum acara pidana dalam

lingkungan peradilan umum sebelum undang-undang ini berlaku adalah


5
Lamintang, Theo Lamintang, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2013,
hlm. 5.

8
Reglemen Indonesia yang dibarui atau yang terkenal dengan nama Het

Herziene Inlandsch Reglement atau HIR (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44)

yang berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951,

seberapa mungkin harus diambil sebagai pedoman tentang acara perkara

pidana sipil oleh semua pengadilan dan kejaksaan negeri dalam wilayah

Republik Indonesia, kecuali atas beberapa perubahan dan tambahannya.

Dengan Undang-Undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951 itu dimaksudkan untuk

mengadakan unifikasi hukum acara pidana, yang sebelumnya terdiri atas

hukum acara pidana bagi landraad dan hukum acara pidana bagi raad van

justitie.6

2. UUD 1945, Pasal 1 ayat (3) dalam amandemen ketiga yang disahkan pada

tanggal 10 November 2001 dengan tegas, bahwa Negara Indonesia adalah

Negara Hukum.

Hal ini berarti Republik Indonesia ialah Negara Hukum yang demokratis

berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, menjunjung tinggi hak asasi manusia

dan menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum

dan pemerintahan, serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu

dengan tidak ada kecualinya. Jelaslah bahwa penghayatan, pengamalan, dan

pelaksanaan hak asasi manusia maupun hak serta kewajiban warga negara

untuk menegakkan keadilan tidak boleh ditinggalkan oleh setiap warga

negara, setiap penyelenggara negara, setiap lembaga kenegaraan, dan lembaga

6
Ibid, hlm. 6.

9
kemasyarakatan baik di pusat maupun di daerah yang perlu terwujud pula

dalam dan dengan adanya hukum acara pidana ini.7

Pasal 23D ayat (1) UUD 1945, menyatakan dengan tegas bahwa setiap

orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum

yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Hal mana untuk

seluruh wilayah Negara Republik Indonesia diperlukan adanya satu kesatuan

hukum dalam arti hanya ada satu hukum nasional yang mengabdi pada

kepentingan nasional.

Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J UUD 1945 dan Undang-Undang

tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

harus ditegakkan dalam dan dengan undang-undang ini.

3. KUHAP. Kitab undang-undang ini tidak saja memuat ketentuan tentang tata

cara dari suatu proses pidana, tetapi kitab ini juga memuat hak dan kewajiban

dari mereka yang ada dalam suatu proses pidana dan memuat hukum acara

pidana Mahkamah Agung

KUHAP pada hakikatnya merupakan putusan kehendak dari

pembentuk undang-undang yang secara konstitusional telah diberikan

wewenang untuk itu oleh UUD 1945. 8

Tidak dapat disangkal lagi kebenarannya, bahwa penafsiran yang baik

terhadap ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam pasal-pasal KUHAP akan

dapat mencapai tujuan dari pembentukannya sesuai dengan kehendak pembentuk

7
Ibid, hlm. 6-7.
8
Ibid, hlm. 10

10
undang-undang. Akan tetapi, sebaliknya penafsiran yang buruk atau penafsiran

yang kurang tepat terhadap ketentuan-ketentuan tersebut akan membuat tujuan

dari Undang-Undang Hukum Acara Pidana itu sendiri menjadi tidak ada gunanya

sama sekali.

Hukum acara pidana, dalam ilmu pengetahuan hukum pidana juga sering

disebut sebagai hukum pidana formal, sehingga jelaslah, bahwa hukum acara

pidana itu sebenarnya juga merupakan suatu hukum pidana.

Pasal 1 KUHAP memuat penafsiran autentik sebagai berikut:

1. Penyidik, adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat

pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-

undang untuk melakukan penyidikan;

2. Penyidikan, adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara

yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan

bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya;

3. Penyidik pembantu, adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang

karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang

diatur dalam undang-undang ini;

4. Penyelidik, adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi

wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan;

5. Penyelidikan, adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan

menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang

diatur dalam undang-undang ini.

11
6. a) Jaksa, adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk

bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

b) Penuntut umum, adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang

ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

7. Penuntutan, adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara

pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara

yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa

dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.

8. Hakim, adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-

undang untuk mengadili.

9. Mengadili, adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa,

dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak

memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam

undang-undang ini.

10. Praperadilan, adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan

memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan

tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;

b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan

atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

12
c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau

keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan

ke pengadilan.

11. Putusan pengadilan, adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang

pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari

segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam

undang-undang ini.

12. Upaya hukum, adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak

menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau

kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali

dalam hal serta menurut cara yang diatur di dalam undang-undang ini.

13. Penasihat hukum, adalah seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh

atau berdasar undang-undang untuk memberi bantuan hukum.

14. Tersangka, adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,

berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

15. Terdakwa, adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di

sidang pengadilan.

16. Penyitaan, adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan

atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak

bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam

penyidikan, penuntutan, dan peradilan.

17. Tertangkap tangan, adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang

melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak

13
pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai

sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya

ditemukan benda yang diduga keras telah digunakan untuk melakukan tindak

pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut

melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.

18. Penangkapan, adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara

waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna

kepentingan penyidikan atau penuntutan dan/atau peradilan dalam hal serta

menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

19. Penahanan, adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu

oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam

hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

20. Ganti kerugian, adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas

tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan,

dituntut, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau

karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut

cara yang diatur dalam undang-undang ini.

21. Rehabilitasi, adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam

kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada

tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan,

dituntut, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau

karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut

cara yang diatur dalam undang-undang ini.

14
22. Laporan, adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak

atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang

tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.

23. Pengaduan, adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang

berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut

hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang

merugikannya.

24. Saksi, adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan

penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia

dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.

25. Keterangan saksi, adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang

berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar

sendiri ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari

pengetahuannya itu.

26. Keterangan ahli, adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang

memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang

suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

27. Satu hari, adalah dua puluh empat jam dan satu bulan adalah waktu tiga puluh

hari.

28. Terpidana, adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum.9

B. Pengertian Surat dan Bentuk Dakwaan dalam KUHAP

9
Pasal 1 KUHAP.

15
Surat dakwaan yang dibuat oleh JPU sebagai salah satu acuan hakim

dalam memutus suatu perkara pidana yang dianut dalam hukum acara pidana.

Dakwaan merupakan dasar penting hukum acara pidana karena berdasarkan hal

yang dimuat dalam surat itu, hakim akan memeriksa perkara itu. Pemeriksaan

didasarkan kepada surat dakwaan dan menurut Nederburg, pemeriksaan tidak

batal jika batas-batas dilampaui, namun putusan hakim hanya boleh mengenai

peristiwa-peristiwa yang terletak dalam batas itu.10

Pasal 143 ayat (2) KUHAP menentukan syarat surat dakwaan itu sebagai

berikut.

“Surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi:


a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin
kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka.
b. Uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang
didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu
dilakukan”.11

Terdakwa hanya dapat dipidana jika terbukti telah melakukan delik yang

disebut dalam dakwaan. Jika terdakwa terbukti melakukan delik tetapi tidak

disebut dalam dakwaan, maka ia tidak dapat dipidana.12

Di dalam KUHAP Pasal 143 disebut syarat-syarat seperti tersebut di atas.

Syarat yang mutlak ialah dicantumkannya waktu dan tempat terjadinya delik dan

delik yang didakwakan. Selain daripada syarat-syarat tersebut, menurut peraturan

lama dan kebiasaan, perlu disebut hal-hal dan keadaan-keadaan dalam mana delik

dilakukan khususnya mengenai hal yang meringankan dan memberatkan. Kalau

hal-hal dan keadaan-keadaan tidak disebut dalam dakwaan tidak menjadikan

10
Sastrodanakusumo, Tuntutan Pidana, Siliwangi Cortens, Jakarta, 2003, hlm. 136.
11
Pasal 143 ayat (2) KUHAP.
12
Sudikno Mertokusumo, Hukum dan Peradilan, YBPGM, Yogyakarta, 2000, hlm. 135.

16
batalnya dakwaan, berlainan jika waktu dan tempat terjadinya delik serta delik

yang didakwakan tidak disebut yang menjadi dakwaan batal.13

Di dalam KUHAP, ketentuan tentang perlunya dicantumkan hal-hal dan

keadaan-keadaan yang meringankan dan memberatkan tidak ada. Hal itu

dimaksudkan agar dakwaan itu tidak merupakan suatu yang pelik dan

inteltualistik. Yang diinginkan ialah dakwaan yang memakai bahasa sederhana

dan mudah dimengerti terutama bagi terdakwa guna mempersiapkan

pembelaannya.

Secara terpisah dari redaksi dakwaan (di bagian bawah), biasa disebut

pasal-pasal undang-undang pidana yang dilanggar. Formulir yang dibuat oleh

bidang operasi Kejaksaan Agung di mana dicantumkan pasal-pasal yang dilanggar

di dalam rumusan dakwaan (bagian akhir), adalah tidak tepat.

Dakwaan dalam hukum acara pidana kuasa lalim itu meliputi: positif,

bahwa isi dakwaan seluruhnya sekadar isi itu mempunyai sifat nyata, harus

diambil keputusan dalam pernyataan tentang terbuktinya dakwaan itu. Negatif,

bahwa pernyataan terbuktinya terdakwa seluruhnya tidak boleh mengenai sesuatu

apa pun yang tidak terdapat kembali dalam dakwaan.14

KUHAP tidak mengatur bahwa penuntut umum harus memanggil

terdakwa dan membacakan dakwaan sebelum sidang. Di dalam Pasal 143 ayat (4)

dikatakan: “Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan

kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat

13
Pasal 143 ayat (3) KUHAP.
14
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 74.

17
yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke

pengadilan negeri”.15

KUHAP Pasal 143 hanya disebut hal yang harus dimuat dalam surat

dakwaan ialah uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai delik yang

didakwakan dengan menyebut waktu dan tempat delik itu dilakukan.16

Bagaimana cara menguraikan secara cermat dan jelas, hal itu tidak

ditentukan oleh KUHAP. Tentulah masalah ini masih tetap sama dengan

kebiasaan yang berlaku sampai sekarang yang telah diterima oleh yurisprudensi

dan doktrin.

Surat dakwaan dapat diubah baik atas inisiatif penuntut umum sendiri

maupun merupakan saran hakim. Tetapi perubahan itu harus berdasarkan syarat

yang ditentukan KUHAP.

Perubahan surat dakwaan hanya dapat dilakukan sebelum pemeriksaan di

sidang pengadilan dimulai. Dalam hal ini KUHAP mengatur tentang

kemungkinan perubahan itu secara sederhana. Hanya satu pasal saja yang

mengatur tentang perubahan surat dakwaan, yaitu Pasal 144 yang terdiri atas 3

ayat. Di situ hanya diatur tentang jangka waktu yang diperbolehkan untuk

mengubah surat dakwaan. Sama sekali tidak disebut-sebut tentang apa yang boleh

diubah dan apa yang tidak.17

Ayat (2) Pasal 282 HIR mengatakan bahwa surat tuduhan (dakwaan) dapat

diubah jika dalam pemeriksaan dapat diketahui beberapa hal yang tidak disebut

15
Pasal 143 ayat (4) KUHAP.
16
A.K. Nasution, Masalah Surat Tuduhan dalam Proses Pidana, mengutip J.E. Jonkers,
Het Vooronderzoek en telastelegging in he Landraad Stafproces, hlm. 61-62.
17
Ibid.

18
dalam surat dakwaan, tetapi menurut undang-undang boleh memberi alasan untuk

memperberat pidana.18

Bagian yang mengatakan “... dalam pemeriksaan dapat diketahui” tidak

dapat lagi ditiru sekarang ini, karena Pasal 144 KUHAP mengatakan bahwa

penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan

hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak

melanjutkan penuntutannya (ayat (1)). Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat

dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai

(ayat (2)).19

Perubahan kata-kata atau redaksi diperbolehkan asal tidak mengubah

macam perbuatan yang didakwakan. Begitu pula perubahan surat dakwaan dari

yang tinggal menjadi alternatif diperbolehkan asal mengenai perbuatan yang

sama, yang biasa disebut delik berkualifikasi dalam hukum pidana. Delik

berkualifikasi misalnya delik pembunuhan (Pasal 338 KUHP) menjadi

pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP); penganiayaan (Pasal 351 ayat (1)

KUHP) menjadi penganiayaan berencana (Pasal 353 ayat (1) KUHP); pegawai

negeri menerima suap yang berhubungan dengan jabatannya (Pasal 418 KUHP)

menjadi pegawai negeri menerima suap yang berhubungan dengan jabatannya

berlawanan dengan kewajibannya (Pasal 419 KUHP), dan lain-lain.20

KUHP ditentukan jangka waktu perubahan surat dakwaan yaitu 7 hari

sebelum hari sidang dan tidak mungkin dilakukan perubahan pada waktu sidang.

Jadi, kalau waktu sidang ditemukan hal-hal yang keliru dalam surat dakwaan,
18
Pasal 282 ayat (2) HIR.
19
A.K. Nasution, Op Cit, hlm. 67.
20
Ibid, hlm. 67-68.

19
misalnya kekeliruan mengenai waktu dan tempat, maka menurut Pasal 143

KUHAP dakwaan tersebut batal demi hukum.

Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 143 dan 144 KUHAP,

penuntut umum dalam menyusun dakwaan harus cermat dan teliti sekali. Andai

kata di persidangan terdakwa memberi keterangan yang berbeda dengan di

pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh polisi, sedangkan surat dakwaan

yang disusun oleh penuntut umum didasarkan pada pemeriksaan pendahuluan

tersebut, maka terdakwa dapat bebas dari pemidanaan.21

Adapun bentuk dakwaan dalam KUHAP adalah sebagai berikut:

Dakwaan dapat disusun secara tunggal, kumulatif, alternatif, ataupun

subsidair. Seorang atau lebih terdakwa mungkin melakukan satu macam

perbuatan saja, misalnya pencurian (biasa) ex Pasal 362 KUHP. Dalam hal seperti

itu, dakwaan disusun secara tunggal, yaitu pencurian (biasa) itu.

Sering seorang atau lebih terdakwa melakukan lebih dari satu perbuatan

(delik), misalnya di samping ia (mereka) melakukan perbuatan pencurian (biasa),

membawa pula senjata api tanpa izin yang berwajib. Dalam hal ini dakwaan

disusun secara kumulatif, artinya terdakwa (terdakwa-terdakwa) didakwa dua

macam perbuatan (delik) sekaligus, yaitu pencurian (biasa) dan membawa senjata

api tanpa izin yang berwajib. Dengan demikian, dakwaan akan disusun sebagai

dakwaan I, II, III, dan seterusnya.22

Ada kalanya perbuatan-perbuatan tersebut dilakukan di tempat dan waktu

yang berbeda-beda. Mengajukan perkara tidak terpisah-pisah, sesuai dengan asas

21
Andi Hamzah, Op Cit, hlm. 86.
22
Ibid, hlm. 89.

20
hukum acara pidana yang dianut di Indonesia, yaitu peradilan cepat, sederhana,

dan biaya ringan (UUPKK dan KUHAP).

Apabila suatu dakwaan secara kumulatif, maka tiap perbuatan (delik) itu

harus dibuktikan sendiri-sendiri pula, walaupun pidananya disesuaikan dengan

peraturan tentang delik gabungan (samenloop) dalam Pasal 63 sampai dengan

Pasal 71 KUHP. Untuk itu perlu diperhatikan peraturan gabungan tersebut beserta

teori-teorinya dalam menyusun dakwaan.

Sedangkan dakwaan alternatif dibuat dalam dua hal, yaitu sebagai berikut.

1. Jika penuntut umum tidak mengetahui perbuatan mana apakah yang


satu ataukah yang lain akan terbukti nanti di persidangan suatu
perbuatan apakah merupakan pencurian ataukah penadahan.
2. Jika penuntut umum ragu, peraturan hukum pidana yang mana yang
akan diterapkan oleh hakim atas perbuatan yang menurut
pertimbangannya telah nyata tersebut.23

Pertama melanggar Pasal 340 KUHP dan yang kedua 338 KUHP

misalnya. Dakwaan semacam ini jarang sekali dibuat oleh penuntut umum, karena

menurut praktik penulis, sangat sukar menyusun redaksi dakwaan yang demikian.

Lagi pula sudah menjadi sangat populer menyusun dakwaan yang berlapis primair

subsidair yang relatif lebih mudah itu.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembuatan surat dakwaan ialah

sebagai berikut.

1. Penyederhanaan surat dakwaan dalam hukum acara pidana modern


selaras dengan ketentuan dalam Pasal 143 dan 144 KUHAP.
2. Hakim hendaknya jangan terlampau cepat mempertimbangkan
pembatalan surat dakwaan, kecuali kalau benar-benar waktu dan
tempat serta penyebutan delik yang dilakukan tidak disebut. Jika
ternyata dakwaan itu tidak mengandung suatu delik, maka sebenarnya
bukan pembatalan surat dakwaan, tetapi putusan lepas dari tuntutan
hukum.
23
Sastrodanukusumo, Op Cit, hlm. 196.

21
3. Hakim harus memberi waktu kepada penuntut umum untuk mengubah
surat dakwaannya sebelum hakim menetapkan hari sidang. Semestinya
dalam Peraturan Pemerintah yang menjadi peraturan pelaksanaan
KUHAP, dicantumkan tentang pembacaan surat dakwaan oleh
penuntut umum kepada terdakwa sebelum sidang dimulai.24

24
Ibid, hlm. 197-198

22
BAB III

PEMBAHASAN

A. Peran Terdakwa dan Pengacara Menurut Hukum Acara Pidana dalam


Beracara di Pengadilan

1. Peran Terdakwa menurut Hukum Acara Pidana dalam Beracara di


Pengadilan

a. Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

Pasal 145 KUHAP menyebutkan bahwa,

(1) Pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan dilakukan secara sah,

apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada terdakwa di alamat

tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui, disampaikan

di tempat kediaman terakhir.

(2) Apabila terdakwa tidak ada di tempat tinggalnya atau di tempat kediaman

terakhir, surat panggilan disampaikan melalui kepala desa yang berdaerah

hukum tempat tinggal terdakwa atau tempat kediaman terakhir.

(3) Dalam hal terdakwa ada dalam tahanan surat panggilan disampaikan

kepadanya melalui pejabat rumah tahanan negara.

(4) Penerimaan surat panggilan oleh terdakwa sendiri ataupun oleh orang lain,

dilakukan dengan tanda penerimaan.

(5) Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal, surat

panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung pengadilan yang

berwenang mengadili perkaranya.

23
Pasal 146

(1) Penuntut umum menyampaikan surat panggilan kepada terdakwa yang

memuat tanggal, hari serta jam sidang dan untuk perkara apa ia dipanggil

yang harus sudah diterima oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya

tiga hari sebelum sidang dimulai.

(2) Penuntut umum menyampaikan surat panggilan kepada saksi yang

memuat tanggal, hari serta jam sidang dan untuk perkara apa ia dipanggil

yang harus sudah diterima oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya

tiga hari sebelum sidang dimulai.

Pasal 147

Setelah pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dari penuntut

umum, ketua mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang pengadilan

yang dipimpinnya.

Pasal 148

(1) Dalam hal ketua pengadilan negeri berpendapat, bahwa perkara pidana itu

tidak termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya, tetapi termasuk

wewenang pengadilan negeri lain, ia menyerahkan surat pelimpahan

perkara tersebut kepada pengadilan negeri lain yang dianggap berwenang

mengadilinya dengan surat penetapan yang memuat alasannya.

(2) Surat pelimpahan perkara tersebut diserahkan kembali kepada penuntut

umum selanjutnya kejaksaan negeri yang bersangkutan menyampaikannya

kepada kejaksaan negeri di tempat pengadilan negeri yang tercantum

dalam surat penetapan.

24
(3) Turunan surat penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

disampaikan kepada terdakwa atau penasihat hukum dan penyidik.

Pasal 149

(1) Dalam hal penuntut umum berkeberatan terhadap surat penetapan

pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148, maka:

a. ia mengajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi yang

bersangkutan dalam waktu tujuh hari setelah penetapan tersebut

diterima;

b. tidak dipenuhinya tenggang waktu tersebut di atas mengakibatkan

batalnya perlawanan;

c. perlawanan tersebut disampaikan kepada ketua pengadilan negeri

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 dan hal itu dicatat dalam buku

daftar panitera;

d. dalam waktu tujuh hari pengadilan negeri wajib meneruskan

perlawanan tersebut kepada pengadilan tinggi yang bersangkutan.

(2) Pengadilan tinggi dalam waktu paling lama empat belas hari setelah

menerima perlawanan tersebut dapat menguatkan atau menolak

perlawanan itu dengan surat penetapan.

(3) Dalam hal pengadilan tinggi menguatkan perlawanan penuntut umum,

maka dengan surat penetapan diperintahkan kepada pengadilan negeri

yang bersangkutan untuk menyidangkan perkara tersebut.

25
(4) Jika pengadilan tinggi menguatkan pendapat pengadilan negeri,

pengadilan tinggi mengirimkan berkas perkara kepada pengadilan negeri

yang bersangkutan.

Pasal 150

Sengketa tentang wewenang mengadili terjadi:

a. Jika dua pengadilan atau lebih menyatakan dirinya berwenang mengadili

atas perkara yang sama.

b. Jika dua pengadilan atau lebih menyatakan dirinya tidak berwewenang

mengadili perkara yang sama.

Pasal 84 KUHAP tersebut telah menentukan urutan dari pengadilan-

pengadilan negeri yang berwenang mengadili suatu perkara pidana itu demikian

rupa, hingga pengadilan negeri yang disebutkan lebih dahulu mempunyai prioritas

untuk mengadili suatu perkara pidana daripada pengadilan negeri yang disebutkan

kemudian.

Undang-undang ternyata telah membuka kemungkinan bagi pengadilan

negeri yang lain untuk mengadili perkara tersebut, yakni pengadilan negeri di

dalam daerah hukum siapa terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir,

diketemukan atau ditahan, dengan syarat bahwa letak tempat kediaman dari

sebagian besar saksi-saksi yang dipanggil adalah lebih dekat dengan pengadilan

negeri tersebut daripada dengan pengadilan negeri di dalam daerah hukum siapa

tindak pidana itu telah dilakukan.

Pihak-pihak yang terlibat dalam hukum acara pidana pada pemeriksaan di

sidang pengadilan antara lain: terdakwa; pengacara, para saksi, penuntut umum,

26
dan hakim. Yang terpenting di antara pihak-pihak tersebut tentulah “terdakwa”

karena terdakwa yang menjadi peran utama atau fokus pemeriksaan di sidang

pengadilan.

b. Pemeriksaan Terdakwa

Diawali dengan tersangka atau terdakwa dalam KUHAP. Untuk memberi

definisi “tersangka” dan “terdakwa”. Tersangka diberi defiisi sebagai berikut.

“Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,

berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”.25

“Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili

di sidang pengadilan”.26

Definisi tersebut terdapat kata-kata “... karena perbuatannya atau keadaannya...”,

pendapat ini kurang tepat, karena kalau demikian, penyidik sudah mengetahui

perbuatan tersangka sebelumnya, padahal inilah yang akan disidik.27

Jika seseorang ditahan, sedangkan menurut ukuran objektif tidak patut

dipandang telah melakukan delik itu, maka penyidik atau penuntut umum dapat

diancam pidana melanggar kemerdekaan orang, baik sengaja maupun kulpa.28

Tersangka mempunyai hak-hak sejak ia mulai diperiksa. Salah satu hak

yang sering menimbulkan pro dan kontra dari sarjana hukum ialah hak tersangka

atau terdakwa untuk memilih menjawab atau tidak menjawab pertanyaan baik

oleh penyidik, penuntut umum, maupun oleh hakim.29

25
Pasal 1 butir (4) KUHAP.
26
Pasal 1 butir (5) KUHAP.
27
Sudikno Mertokusumo, Op Cit, hlm. 87
28
Ibid, hlm. 88
29
Ibid.

27
Kewajiban polisi atau penyidik Indonesia seperti itu tidak dikenal oleh

KUHAP. Masalah apakah tersangka berhak untuk berdiam diri tidak menjawab

pertanyaan, rupanya tidak tegas dianut dalam KUHAP. Di dalam KUHAP hanya

dikatakan pada Pasal 52: “Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidik dan

pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas

kepada penyidik atau hakim”.

Terdakwa tidak wajib untuk menjawab pertanyaan apa pun juga. Hak ini

harus diberitahukan kepada tersangka sebelum didengar keterangannya, kecuali

dalam sidang pengadilan. Pemberitahuan itu harus dicantumkan dalam berita

acara pemeriksaan. Pengakuan salah terdakwa harus dicantumkan dalam bentuk

kata-kata tersangka sendiri. Ketentuan yang tersebut terakhir (mengenai

kewajiban), memberitahu kepada tersangka tentang hak-haknya tersebut sebelum

pemeriksaan di sidang pengadilan. Oleh sebab itulah, maka pemeriksaan di

persidangan disebut sebagai akusator terbatas.30

Ketentuan bahwa pemeriksa atau penyidik harus memberitahukan

tersangka bahwa ia berhak untuk berdiam tidak menjawab pertanyaan sebelum

pemeriksaan dimulai, terlampau jauh dan berkelebihan. Hal ini akan sangat

mempersulit pemeriksa atau penyidik dalam usaha mencari kebenaran demi

kepentingan umum. Untunglah hal seperti ini tidak dianut oleh Indonesia.

Bagaimanapun baiknya suatu peraturan, ia masih akan diuji dalam praktik.

Kebiasaan memaksa bahkan menyiksa tersangka agar mengaku, menurut Wirjono

Prodjodikoro tetap ada dan sukar sekali dihilangkan.31


30
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, 1997,
hlm. 27.
31
Ibid, hlm. 88

28
Kebebasan tersangka atau terdakwa dalam hal memberikan keterangan

menurut KUHAP masih perlu dihayati oleh para penegak hukum. Bukan saja

pemeriksa atau penyidik yang harus menyadari tugas yang dipikulkan ke

pundaknya, yaitu mencari kebenaran materiil demi untuk kepentingan umum yang

selaras dengan kepentingan individu, tetapi juga tersangka itu sendiri harus telah

dapat mengetahui dan menyadari hak-hak dan kewajibannya yang dijamin oleh

undang-undang.32

Tersangka atau terdakwa diberikan seperangkat hak-hak oleh KUHAP

mulai dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 68. Hak-hak itu meliputi yang berikut

ini.

1. Hak untuk segera diperiksa, diajukan ke pengadilan, dan diadili (Pasal 50 ayat

(1), (2) dan (3);

2. Hak untuk mengetahui dengan jelas dan bahasa yang dimengerti olehnya

tentang apa yang disangkakan dan apa yang didakwakan (Pasal 51 butir a dan

b).

3. Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan hakim

seperti tersebut di muka (Pasal 52).

4. Hak untuk mendapat juru bahasa (Pasal 53 ayat (1)).

5. Hak untuk mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan (Pasal

54).

6. Hak untuk mendapat nasihat hukum dari penasihat hukum yang ditunjuk oleh

pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan bagi tersangka

atau terdakwa yang diancam pidana mati dengan biaya cuma-cuma.


32
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 68.

29
7. Hak tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing untuk menghubungi

dan berbicara dengan perwakilan negaranya Pasal 75 ayat (2)).

8. Hak untuk menghubungi dokter bagi tersangka atau terdakwa yang ditahan

(Pasal 58).

9. Hak untuk diberitahu kepada keluarganya atau orang lain yang serumah

dengan tersangka atau terdakwa yang ditahan untuk mendapat bantuan hukum

atau jaminan bagi penangguhannya dan hak untuk berhubungan dengan

keluarga dengan maksud yang sama di atas (Pasal 59 dan 60).

10. Hak untuk dikunjungi sanak keluarga yang tidak ada hubungan dengan

perkara tersangka atau terdakwa. Untuk kepentingan pekerjaan atau untuk

kepentingan kekeluargaan (Pasal 61).

11. Hak tersangka atau terdakwa untuk berhubungan surat-menyurat dengan

penasihat hukumnya (Pasal 62)

12. Hak tersangka atau terdakwa untuk menghubungi dan menerima kunjungan

rohaniawan (Pasal 63).

13. Hak tersangka atau terdakwa untuk mengajukan saksi dan ahli yang a dc

charge (Pasal 65).

14. Hak tersangka atau terdakwa untuk menuntut ganti kerugian (Pasal 68).

15. Hak terdakwa (pihak yang diadili) untuk menuntut terhadap hakim yang

mengadili perkaranya (Pasal 27 ayat (1), Undang-Undang Pokok Kekuasaan

Kehakiman).

Ketentuan yang diatur dalam Pasal 52 KUHAP, perlu diketahui oleh para

penyidik, para penuntut umum, dan para hakim sebagai berikut:

30
a. Tersangka atau terdakwa itu tidak boleh diperlakukan semata-mata sebagai

objek dari pemeriksaan, yang tidak berhak untuk berbuat lain kecuali

menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan kepadanya atau harus

mengakui apa yang disangkakan atau didakwakan kepadanya.

b. Tidak ada kewajiban dari tersangka atau terdakwa untuk mengakui apa yang

disangkakan atau didakwakan kepadanya di tingkat pemeriksaan.

c. Tidak boleh digunakan segala bentuk pemaksaan untuk memperoleh

pengakuan atau keterangan dari tersangka atau terdakwa, baik secara fisik

maupun secara psikis.

Perbuatan seperti itu merupakan suatu tindak pidana, yang apabila dilakukan

oleh seorang pegawai negeri dalam suatu tindak pidana, oleh Pasal 422 KUHP

telah diancam dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun.

Pengakuan atau keterangan yang diperoleh dengan cara-caranya yang bersifat

memaksa seperti itu adalah tidak sah menurut hukum dan tidak mempunyai

kekuatan pembuktian dalam peradilan.

d. Tersangka atau terdakwa boleh tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan dari

hakim, dan perilaku yang demikian tidak boleh membuat pidana yang

dijatuhkan bagi terdakwa menjadi diperberat.

Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 54 dan Pasal 55 KUHAP

merupakan jaminan-jaminan yang tidak kalah pentingnya dari jaminan yang telah

diberikan oleh undang-undang bagi tersangka atau terdakwa sebagaimana yang

telah dituangkan dalam Pasal 52 KUHAP, karena telah memberikan kesempatan

kepada tersangka atau terdakwa untuk memperoleh bantuan hukum dari penasihat

31
hukum yang mana pun yang ia kehendaki dan pada setiap ia memerlukan bantuan

hukum tersebut.

Bantuan Hukum dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 157, pembentuk

undang-undang berbicara mengenai bantuan hukum untuk si berperkara dan untuk

orang yang tidak mampu,33 sedangkan Pasal 54 KUHAP dan selanjutnya berbicara

mengenai penasihat hukum.

Pasal 56

(1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan

tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima

belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam

dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat

hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat

pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum

bagi mereka.

(2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagai dimaksud

dalam ayat (1) memberikan bantuannya dengan cuma-cuma.

Pasal 57

(1) Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi

penasihat hukumnya sesuai ketentuan undang-undang ini.

(2) Tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing yang dikenakan

penahanan berhak menghubungi dan berbicara dengan perwakilan

negaranya dalam menghadapi proses perkaranya.


33
Pasal 56 dan 57 KUHAP,

32
Pasal 58

Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi

dan menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan

baik yang ada hubungannya dengan proses perkara maupun tidak.

Pasal 59

Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak diberitahukan

tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang, pada semua

tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan, kepada keluarganya atau orang

lain yang serumah dengan tersangka atau terdakwa ataupun orang lain yang

bantuannya dibutuhkan oleh tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan

bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya.

Pasal 60

Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari

pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan

tersangka atau terdakwa guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan

penahanan ataupun untuk usaha mendapatkan bantuan hukum.

Pasal 61

Tersangka atau terdakwa berhak secara langsung atau dengan perantaraan

penasihat hukumnya menghubungi dan menerima kunjungan sanak

keluarganya dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka

atau terdakwa untuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan

kekeluargaan.

33
Pasal 62

(1) Tersangka atau terdakwa berhak mengirim surat kepada penasihat

hukumnya, dan menerima surat dari penasihat hukumnya dan sanak

keluarga setiap kali yang diperlukan olehnya, untuk keperluan itu bagi

tersangka atau terdakwa disediakan alat tulis menulis.

(2) Surat menyurat antara tersangka atau terdakwa dengan penasihat

hukumnya atau sanak keluarganya tidak diperiksa oleh penyidik penuntut

umum, hakim atau pejabat rumah tahanan negara kecuali jika terdapat

cukup alasan untuk diduga bahwa surat menyurat itu disalahgunakan.

(3) Dalam hal surat untuk tersangka atau terdakwa itu ditilik atau diperiksa

oleh penyidik, penuntut umum, hakim atau pejabat rumah tahanan negara,

hal itu diberitahukan kepada tersangka atau terdakwa dan surat tersebut

dikirim kembali kepada pengirimnya setelah dibubuhi cap yang berbunyi

“telah ditilik”

Pasal 63

Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari

rohaniawan.

Pasal 64

Terdakwa berhak diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.

Pasal 65

Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi

dan/atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan

keterangan yang menguntungkan bagi dirinya.

34
Pasal 67

Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan

pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala

tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum

dan putusan pengadilan dalam acara cepat.

c. Pembuktian Keterangan Terdakwa

Keterangan terdakwa merupakan alat bukti yang penempatannya

menduduki urutan terakhir dari urutan alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184

KUHAP. Mengapa alat bukti ini disebut dengan istilah keterangan terdakwa

KUHAP tidak memberikan penjelasan.

Keterangan terdakwa dengan istilah pengakuan tertuduh yang

mengandung makna adanya suatu pernyataan apa yang dilakukan seseorang,

dalam hal ini tertuduh. Sementara keterangan terdakwa, kurang menonjolkan

adanya suatu pernyataan apa yang dilakukan oleh seseorang, hanya sekadar

keterangan saja atau suatu penjelasan bukan suatu pengakuan atau pernyataan

yang mengandung suatu pengakuan.

Namun, dari segi yuridis pengertian keterangan terdakwa mempunyai

makna lebih luas ketimbang pengakuan terdakwa, dengan penjelasan sebagai

berikut:34

1. Istilah keterangan terdakwa, sekaligus meliputi pengakuan dan pengingkaran.

Sementara dari istilah pengakuan tertuduh hanya terbatas pada pernyataan

pengakuan itu sendiri tanpa mencakup pengertian pengingkaran. Keterangan

Koesparmono Irsan Armansyah, Panduan Memahami Hukum Pembuktian dalam


34

Hukum Perdata dan Hukum Pidana, Gramaka, Jakarta, 2015, hlm. 279

35
terdakwa sebagai alat bukti, sekaligus meliputi pernyataan pengakuan dan

pengingkaran, dan menyerahkan penilaiannya kepada Hakim yang mana dari

keterangan terdakwa merupakan pengakuan dan pengingkaran daripadanya.

2. Istilah pengakuan terdakwa dapat menimbulkan salah pengertian, yaitu seolah-

olah terdakwa dipaksa mengaku, sementara istilah keterangan terdakwa

inisiatif untuk memberikan keterangan ada di tangan terdakwa sendiri. Dalam

KUHAP terdakwa diberi kesempatan untuk memberikan keterangan yang

bertendensi memberikan kesempatan seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya

untuk mengutarakan segala sesuatu tentang apa saja yang dilakukannya,

diketahui atau dialami dalam peristiwa pidana yang sedang diperiksa.

3. Tidak semua keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah.

Untuk menentukan sejauh mana keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat

bukti yang sah menurut undang-undang, diperlukan beberapa asas sebagai

landasan berpijak, antara lain:

a. Keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan. Supaya keterangan

terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah, keterangan terdakwa itu

harus dinyatakan di sidang pengadilan, baik keterangan/penjelasan itu

berupa penjelasan yang diutarakan sendiri oleh terdakwa, maupun

keterangan/penjelasan yang berupa penjelasan atau jawaban terdakwa atas

pertanyaan yang diajukan kepadanya oleh ketua sidang, Hakim Anggota,

Penuntut Umum, atau Penasihat Hukum. Adapun yang harus dinilai,

bukan hanya keterangan yang berisi pernyataan pengakuan belaka, tetapi

termasuk penjelasan/keterangan pengingkaran yang dikemukakan olehnya.

36
b. Tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami

sendiri.

Pasal 189

(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang

perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.

(2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk

membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung

oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan

kepadanya.

(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.

(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia

bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan

harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Keterangan terdakwa adalah keterangan yang telah diberikan oleh seorang

tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.

KUHAP mencantumkan “keterangan terdakwa” sebagai alat bukti,

sebagaimana dapat dilihat pada Pasal 184 ayat (1) huruf e, sementara dalam HIR

dicantumkan ‘pengakuan terdakwa’ sebagai alat bukti (Pasal 295 HIR).35

Jelaskan bahwa keterangan terdakwa tidak harus berbentuk pengakuan

terdakwa. Keterangan terdakwa tidaklah sama dengan pengakuan terdakwa karena

pengakuan terdakwa sebagai alat bukti mempunyai syarat-syaratnya, yaitu:

a. Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan;

35
A. Minenhof, De Nederlandse Strafvordering, Harlem: H.D. Tjeenk Wilink & Zoon,
dikutip oleh Andi Hamzah, Op Cit, hlm. 272.

37
b. Mengaku bahwa ialah yang bersalah.

Dengan demikian, keterangan terdakwa lebih luas artinya di banding

pengakuan terdakwa.

Berpijak pada ketentuan Pasal 189 ayat (1) KUHAP, sebagaimana tersebut

pada prinsipnya keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan atau diberikan

terdakwa di sidang pengadilan. Namun, ketentuan itu, ternyata tidak mutlak. Oleh

karena itu, keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan

untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung

oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan

kepadanya, sebagaimana tertuang dalam Pasal 189 ayat (2) KUHAP.36

Pada praktik, terdakwa sering memberi keterangan yang berbeda antara

apa yang diterangkan di depan penyidik dengan apa yang diterangkan di depan

sidang, terdakwa sering mengatakan bahwa ia dipaksa oleh penyidik dalam

memberikan keterangannya (walaupun tidak ada bukti). Meskipun, keterangan

terdakwa tidak sama dengan pengakuan terdakwa. Oleh karena itu, penyidik tidak

harus mengejar pengakuan melainkan juga mencari alat bukti lain sehingga

keterangan terdakwa di depan penyidik tidak dapat berbeda dengan apa yang

terdakwa ketengahkan di depan sidang.37

Mengenai sejauh mana kekuatan alat bukti keterangan terdakwa, kiranya

Pasal 189 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP dapatlah dijadikan dasar. Pasal 189 ayat

(3) KUHAP, keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya

sendiri.

36
Ibid, hlm. 272-273
37
Ibid, hlm. 273.

38
Pasal 189 ayat (4) KUHAP, keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk

membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan

kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

2. Peran Pengacara dan Bantuan Hukum Menurut Hukum Acara Dalam


Beracara di Pengadilan

Istilah penasihat hukum dan bantuan hukum adalah istilah baru.

Sebelumnya dikenal istilah pembela, advokat, dan pengacara. Istilah penasihat

hukum dan bantuan hukum memang lebih tepat dan sesuai dengan fungsinya

sebagai pendamping tersangka atau terdakwa dalam pemeriksaan daripada istilah

pembela

Istilah pembela itu sering disalahtafsirkan, seakan-akan berfungsi sebagai

penolong tersangka atau terdakwa bebas atau lepas dari pemidanaan walaupun ia

jelas bersalah melakukan yang didakwakan itu. Padahal fungsi pembela atau

penasihat hukum itu ialah membantu hakim dalam usaha menemukan kebenaran

materiil, walaupun bertolak dari sudut pandangan subjektif, yaitu berpihak kepada

kepentingan tersangka atau terdakwa.

Perbedaan antara hakim, penuntut umum (jaksa), dan penasihat hukum

ialah pada posisi dan penilaiannya. Sangat terkenal ucapan Taverne yang banyak

dikutip, yang mengatakan bahwa hakim berpangkal tolak pada posisinya yang

objektif dan penilaiannya yang objektif pula, sedangkan penuntut umum yang

mewakili negara dan masyarakat berpangkal tolak pada posisinya yang subjektif,

tetapi penilaiannya objektif. Berbeda dengan itu, penasihat hukum atau pembela

itu berpangkal tolak pada posisinya yang subjektif karena mewakili kepentingan

39
tersangka dan terdakwa, dan penilaiannya yang subjektif pula. Meskipun

demikian, penasihat hukum itu berdasarkan legitimasi yang berpangkal pada etika,

ia harus mempunyai penilaian yang objektif terhadap kejadian-kejadian di sidang

pengadilan.38

Istilah penasihat hukum pertama kali dipakai oleh UUPKK tahun 1974.

Sekarang dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 dipakai istilah advokat.

Bantuan diatur di dalam empat pasal, yaitu Pasal 37, 38, 39, dan 40. Pasal 38

berbunyi:

“Dalam perkara pidana seorang tersangka sejak saat dilakukan

penangkapan dan/atau penahanan berhak menghubungi dan meminta

bantuan advokat.”

Etika seorang penasihat hukum atau advokat tercantum di dalam Pasal 39

UUPKK tahun 2004 yang berbunyi:

“Dalam memberi bantuan hukum sebagaimana dimaksud di dalam Pasal

37, advokad wajib membantu penyelesaian perkara dengan menjunjung

tinggi hukum dan keadilan.”

Ketentuan ini berarti penasihat hukum atau advokat tidak boleh

mengganggu penyelesaian perkara, misalnya mengulur-ulur waktu, melakukan

bantahan atau eksepsi yang mengada-ada.

Ketentuan yang tercantum dalam UUPKK tersebut sebenarnya merupakan

ketentuan dasar, dan telah merupakan ketentuan yang universal. Kepada

tersangka/terdakwa diberikan jaminan “diadili dengan kehadiran terdakwa,

membela diri sendiri secara pribadi atau dengan bantuan penasihat hukum

38
Koesparmono Irsan Armansyah, Op Cit, hlm. 53

40
menurut pilihannya sendiri, diberitahu tentang hak-haknya ini jika ia tidak

mempunyai penasihat hukum dan ditunjuk penasihat hukum untuk dia jika untuk

kepentingan peradilan perlu untuk itu, dan jika ia tidak mampu membayar

penasihat hukum ia dibebaskan dari pembayaran”.39

Ketentuan yang universal dan termuat pula dalam UUPKK itu, tercantum

dalam KUHAP, terutama Pasal 54 sampai dengan Pasal 57 (yang mengatur hak-

hak tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan penasihat hukum) dan Pasal 69

sampai dengan Pasal 74 (mengenai tata cara penasihat hukum berhubungan

dengan tersangka atau terdakwa).

Pasal 69

Penasihat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau

ditahan pada semua tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan

dalam undang-undang ini.

Pasal 70

(1) Penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 menghubungi

dan berbicara dengan tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap

waktu untuk kepentingan pembelaan perkaranya.

(2) Jika terdapat bukti bahwa penasihat hukum tersebut menyalahgunakan

haknya dalam pembicaraan dengan tersangka maka sesuai dengan tingkat

pemeriksaan, penyidik, penuntut umum atau petugas lembaga

pemasyarakatan memberi peringatan kepada penasihat hukum.

(3) Apabila peringatan tersebut tidak diindahkan, maka hubungan tersebut

diawasi oleh pejabat yang tersebut pada ayat (2).

39
Ibid, hlm. 54.

41
(4) Apabila setelah diawasi, haknya masih disalahgunakan, maka hubungan

tersebut disaksikan oleh pejabat tersebut pada ayat dan apabila setelah itu

tetap dilanggar maka hubungan selanjutnya dilarang.

Dicantumkannya ketentuan-ketentuan seperti yang diatur dalam Pasal 69

dan Pasal 70 KUHAP di atas merupakan suatu hal yang baru dalam sejarah

hukum acara pidana di Indonesia, karena sebelumnya belum pernah terjadi bahwa

seorang penasihat hukum itu diberi kesempatan untuk dapat mendampingi

kliennya sejak ia ditangkap oleh alat-alat negara, bahkan diberi kesempatan untuk

setiap waktu dapat menghubungi dan berbicara dengan kliennya pada semua

tingkat pemeriksaan.

Apabila peringatan tersebut tidak diindahkan, maka hubungan tersebut

diawasi oleh pejabat tersebut di atas (Pasal 70 ayat (3) KUHAP). Setelah diawasi

haknya masih disalahgunakan, maka hubungan tersebut disaksikan oleh pejabat

tersebut (Pasal 70 ayat (4) KUHAP), dan jika tetap dilanggar maka hubungan

selanjutnya dilarang.

Pasal 71

(1) Penasihat hukum, sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam berhubungan

dengan tersangka diawasi oleh penyidik, penuntut umum atau petugas

lembaga pemasyarakatan tanpa mendengar isi pembicaraan.

(2) Dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara, pejabat tersebut pada

ayat (1) dapat mendengar isi pembicaraan.

Pasal 72

42
Atas permintaan tersangka atau penasihat hukumnya pejabat yang

bersangkutan memberikan turunan berita acara pemeriksaan untuk

kepentingan pembelaannya.

Yang dimaksud dengan pejabat yang bersangkutan dalam pasal ini adalah

pejabat yang melakukan pemeriksaan pada semua tingkat pemeriksaan.

Mereka adalah penyidik atau penyidik pembantu, penuntut umum, dan hakim.

Seperti dikatakan, turunan berita acara yang diminta oleh tersangka atau

penasihat hukumnya itu adalah untuk kepentingan pembelaannya. Ini berarti

turunan berita acara yang diperoleh dari pemeriksa itu tidak boleh dapat

digunakan untuk tujuan lain dari kepentingan pembelaan saja.

Turunkan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat

hukumnya untuk kepentingan pembelaannya (Pasal 72 KUHAP). Selanjutnya

ditemukan pula bahwa larangan hubungan antara penasihat hukum dan tersangka

karena penyalahgunaan hak seperti tersebut di muka (Pasal 70 ayat (2), (3) dan (4)

dan Pasal 71 KUHAP) tidak boleh dilakukan lagi setelah perkara dilimpahkan

oleh penuntut umum kepada pengadilan negeri untuk disidangkan (Pasal 74

KUHAP).

Penjelasan mengenai ketentuan yang diatur dalam Pasal 72 KUHAP

tersebut dapat diketahui, bahwa yang dapat diberikan kepada tersangka atau

kepada penasihat hukumnya adalah sebagai berikut:

a. Pada tingkat penyidikan, penyidik hanya dapat memberikan turunkan berita

acara pemeriksaan tersangka saja.

43
b. Pada tingkat penuntutan, penuntutan umum dapat memberikan turunan dari

seluruh berkas perkara berikut turunan dari surat dakwaan.

c. Pada tingkat pemeriksaan di pengadilan, hakim dapat menyerahkan turunkan

dari seluruh berkas perkara berikut turunan dari putusannya.

Pasal 73

Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka setiap

kali dikehendaki olehnya.

Penjelasan mengenai ketentuan yang diatur dalam Pasal 73 ini dikatakan,

bahwa apabila terbukti ada penyalahgunaan dalam pasal ini, diberlakukan

ketentuan Pasal 70 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4).

Pasal 74

Pengurangan kebebasan hubungan antara penasihat hukum dan tersangka

sebagaimana tersebut pada Pasal 70 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 71

dilarang, setelah perkara dilimpahkan oleh penuntut umum kepada pengadilan

negeri untuk disidangkan, yang tembusan suratnya disampaikan kepada

tersangka atau penasihat hukumnya serta pihak lain dalam proses.

B. Peran Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan Hakim menurut Hukum Acara
Pidana dalam Beracara di Pengadilan

1. Peran Jaksa Penuntut Umum Menurut Hukum Acara Pidana Dalam


Beracara di Pengadilan

Penuntut umum dengan kekuasaan dan organisasinya seperti dikenal

sekarang ini berasal dari Perancis. Belandalah yang bercermin kepada sistem

44
Francis dan melalui asas konkordansi membawanya ke Indonesia, terutama

dengan paket perundang-undangan yang mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1848.40

Indonesia pun mengikuti ketentuan bahwa penuntut umum itu satu dan

tidak terbagikan, tetapi ketentuan bahwa hakim dan Jaksa Agung diangkat untuk

seumur hidup tidak diikuti sekarang ini. Hakim dipensiunkan, pada umur 60

tahun, sedang Jaksa Agung menjadi pejabat negara.

Di Indonesia, Jaksa Agung dan Kejaksaan tidak tercantum dalam UUD

1945. Hal itu disebabkan karena telah disebutkan Mahkamah Agung dalam Pasal

24 UUD 1945. Fungsi dan wewenang Jaksa Agung dan Kejaksaan kemudian

diatur dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1947 yang kemudian dicabut

dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948 yang tidak pernah diberlakukan

itu. Baru dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok Kejaksaan, wewenang Jaksa Agung dan kejaksaan telah diatur

dengan tegas. Undang-undang ini dicabut dan diganti dengan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan. Sekarang diganti lagi dengan UU No. 16

Tahun 2004. Jaksa Agung disebut dalam undang-undang lama tersebut sebagai

penuntut umum tertinggi.

Organisasi kejaksaan yang terbaru diatur di dalam Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1991 dan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1991 tertanggal 20

November 1991. Dalam keputusan ditentukan bahwa Jaksa Agung dibantu oleh

seorang wakil Jaksa Agung dan 6 orang Jaksa Agung Muda. Keenam Jaksa

Agung Muda tersebut ialah sebagai berikut.

40
R. Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, W. Versluys NV. 1957, hlm.
143.

45
1. Jaksa Agung Muda Pembinaan (yang selaras dengan Sekretaris Jenderal pada

departemen) yang membawahi biro-biro.

2. Jaksa Agung Muda Pengawasan Umum (yang selaras dengan Inspektur

Jenderal pada departemen) yang membawahi inspektorat-inspektorat.

3. Jaksa Agung Muda Intelijen yang membawahi direktorat, berfungsi sebagai

kepolisian preventif dan law intelligence.

4. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, yang membawahi direktorat,

berfungsi sebagai pemimpin dan koordinator penuntutan pidana umum di

bawah Jaksa Agung.

5. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus yang membawahi direktorat,

berfungsi sebagai pemimpin dan koordinator penyidikan, dan penuntutan

pidana khusus di bawah Jaksa Agung.

6. Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara.41

Pemecahan bidang operasi yustisial menjadi dua bidang seperti tersebut

pada butir 4 dan 5 sebagai akibat berlakunya KUHAP, khususnya ketentuan Pasal

284.42

Di dalam KUHAP, dapat ditemukan perincian tugas penuntutan yang

dilakukan oleh para jaksa. KUHAP membedakan pengertian jaksa dalam

pengertian umum dan penuntut umum dalam pengertian jaksa yang sementara

menuntut suatu perkara. Di dalam Pasal 1 butir 6 ditegaskan hal itu sebagai

berikut.

41
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 dan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1991
42
Pasal 284 butir 4 dan 5 KUHAP.

46
a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini
untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-
undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan
hakim.43

Melihat perumusan undang-undang tersebut, maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa pengertian “jaksa” adalah menyangkut jabatan sedangkan

penuntut umum menyangkut fungsi.

Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang

ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. 44 Yang

dimaksudkan dengan penuntutan di dalam KUHAP adalah tindakan penuntut

umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang

dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP dengan permintaan untuk

diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.

Yang dimaksudkan dengan penetapan hakim di dalam Pasal 13 KUHAP

ini adalah hal-hal yang telah ditetapkan, baik oleh hakim maupun oleh majelis

hakim di dalam suatu putusan pengadilan, yang oleh Ketua Pengadilan Negeri

telah ditunjuk untuk menyidangkan suatu perkara pidana.

Penetapan hakim itu tidak selalu berisi suatu penjatuhan pidana, baik

berupa pidana pokok maupun pidana tambahan yang diatur di dalam Pasal 10

KUHP atau jenis-jenis pidana tambahan yang diatur dalam berbagai perundang-

undangan pidana di luar KUHP.

43
Pasal 284 butir 1 dan 6 KUHAP.
44
Pasal 13 KUHAP.

47
Wewenang penuntut umum dalam bagian ini hanya diatur dalam 2 buah

pasal, yaitu Pasal 14 dan Pasal 15. Dalam Pasal 14 itu diperinci wewenang

tersebut sebagai berikut:

a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau

penyidik pembantu;

b. mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan

memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi

petunjuk dalam penyempurnaan penyidikan dan;

c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan

lanjutan, dan/atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan

oleh penyidik;

d. membuat surat dakwaan;

e. melimpahkan perkara ke pengadilan;

f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang hari dan waktu

perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa

maupun kepada saksi. untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;

g. melakukan penuntutan;

h. menutup perkara demi kepentingan hukum;

i. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai

penuntut umum menurut ketentuan undang-undang.45

Penjelasan Pasal 14 KUHAP tersebut, pembentuk undang-undang hanya

merasa perlu menjelaskan arti dari perkataan tindakan lain seperti yang dimaksud

dalam Pasal 14 huruf i KUHAP, yang dimaksud dengan tindakan lain ialah antara
45
Pasal 14 dan Pasal 15 KUHAP.

48
lain meneliti identitas tersangka, barang bukti dengan memperhatikan secara tegas

batas wewenang dan fungsi antara penyidik, penuntut umum, dan pengadilan.

Pasal 14 huruf h KUHAP, undang-undang telah menentukan sebagai salah

satu wewenang yang dimiliki oleh penuntut umum, yaitu perbuatan menutup

perkara demi kepentingan hukum. Apa yang dimaksud dengan menutup perkara

demi kepentingan hukum? Dalam ketentuan lain dalam KUHAP, antara lain

dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP, undang-undang telah menyebutkan

perbuatan lain yang dapat dilakukan oleh penuntut umum, yaitu memutuskan

untuk menghentikan penuntutan, sedang dalam Pasal 46 ayat (1) huruf c KUHAP,

undang-undang telah menyebutkan perbuatan mengesampingkan perkara untuk

kepentingan umum.

Apa yang dimaksud dengan perkataan menutup perkara, menghentikan

penuntutan, dan mengesampingkan perkara, ternyata baik undang-undang maupun

pembentuk undang-undang sendiri tidak memberikan penjelasannya. 46 Tindakan

penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang

berwenang dalam hal dan menurut cara yang; diatur dalam KUHAP, dengan

permintaan agar diperiksa dan di-putus oleh hakim di sidang pengadilan.

Penuntut umum telah menghentikan penuntutan, tindakan penuntutan

harus sudah dilakukan oleh penuntut umum, karena tidak terdapat cukup bukti

atau karena peristiwanya sendiri ternyata bukan merupakan suatu tindak pidana,

penuntut umum kemudian mencabut kembali penuntutannya.

Perbuatan menutup perkara demi kepentingan hukum dalam Pasal 14

huruf h KUHAP atau dengan perbuatan menutup perkara demi hukum dalam
46
Andi Hamzah, Op Cit, hlm. 146

49
Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP, perbuatan penuntut umum untuk menutup

perkara demi kepentingan hukum atau demi hukum hanya dapat terjadi sebelum

penuntut umum melakukan suatu penuntutan.

Apa yang dimaksudkan dengan kata demi kepentingan hukum atau demi

hukum dalam Pasal 14 huruf h dan dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP

mendapat perhatian dari para penuntut umum, yaitu untuk menjamin adanya

kepastian hukum dan untuk menjamin agar fungsi hakim itu jangan sampai

diambil alih oleh penuntut umum.

Dalam Pasal 163 bis ayat (2) KUHP menjelaskan bahwa ketentuan pidana

yang mengatur masalah menggerakkan orang lain melakukan tindak pidana yang

gagal itu, tidak dapat diberlakukan bagi seorang pelaku, apabila pelaku tersebut

dengan sukarela membatalkan niatnya untuk melakukan tindak pidana yang

bersangkutan.47

Ketentuan-ketentuan pidana dalam Pasal 164 dan 165 KUHP itu tidak

dapat diberlakukan bagi mereka yang dengan pemberitahuan tersebut dapat

mendatangkan bahaya penuntutan pidana bagi dirinya.

Penuntut umum menuntut perkara tindak pidana yang terjadi dalam daerah

hukumnya menurut ketentuan undang-undang.48 Pasal 15 KUHAP ini, undang-

undang telah mengartikan: wewenang untuk melakukan penuntutan terhadap

seorang pelaku dengan tempat sesuatu tindak pidana dilakukan oleh pelaku

tersebut.

47
Pasal 163 bis ayat (2) KUHP.
48
Pasal 15 KUHAP.

50
Untuk dapat memberlakukan ketentuan ini secara tepat, dengan sendirinya

penuntut umum harus mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai teori dan

yurisprudensi tentang tempat yang mana, yang harus dipandang sebagai tempat

terjadinya suatu tindak pidana, karena tanpa memiliki pengetahuan itu, bukan

tidak mungkin dapat terjadi tuntutannya akan dinyatakan sebagai tidak dapat

diterima oleh pengadilan.

Biasanya tidak terlalu sulit bagi penuntut umum untuk menentukan locus

delicti dari suatu tindak pidana formal, yakni tindak pidana yang dapat dipandang

telah selesai dilakukan oleh pelakunya pada saat pelaku tersebut melakukan

tindakannya yang dilarang oleh undang-undang.49

Sebaliknya, untuk menentukan locus delicti dari suatu tindak pidana

materiil biasanya tidak demikian mudah bagi penuntut umum, karena delik

materiil itu belum dapat dianggap sebagai telah selesai dilakukan tindak pidana

oleh pelakunya, sebelum akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang itu

benar benar-benar terjadi. Adapun akibat tersebut secara nyata dapat timbul di

tempat yang lain dari tempat pelakunya telah melakukan tindak pidana tersebut.

Mengenai tempat terjadinya suatu tindak pidana, pada dasarnya terdapat

empat macam pendapat di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana. Perlu

disebutkan di sini bahwa penyidik menurut ketentuan khusus acara pidana

sebagaimana tersebut dalam undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP, adalah penyidik, jaksa, dan pejabat penyidik

yang berwenang yang lain berdasarkan ketentuan undang-undang.50

49
Sumantri Hartono, Peranan Peradilan, Bina Cipta, Bandung, 1998, hlm. 10.
50
Pasal 17 PP Nomor 27 Tahun 1983

51
Satu hal yang merupakan lembaga baru dalam KUHAP ialah penyidik dan

penyelidikan yang berada di tangan Kepolisian. Pejabat polisi yang mana yang

diberi wewenang penyelidikan tidak disebut oleh KUHAP. Hanya dalam Pasal 1

butir 5 KUHAP diberi definisi penyelidik itu sebagai berikut: “Penyelidik adalah

pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-

undang ini untuk melakukan penyelidikan”.51

Prinsip dasar peran jaksa menurut, majelis umum dengan resolusinya No.

34/169 tanggal 17 Desember 1979, mengesahkan Kode Perilaku bagi Pejabat

Penegakan Hukum, tentang rekomendasi dari Kongres Kelima Perserikatan

Bangsa-Bangsa tentang Pencegahan Kejahatan dan tindakan terhadap Orang yang

Bersalah.

Sangat penting untuk memastikan bahwa para jaksa mempunyai

kualifikasi profesional yang dibutuhkan, lewat perekrutan dan pelatihan hukum

dan profesi yang lebih baik, dan tersedianya semua sarana secara optimal untuk

terlaksananya peranan mereka dalam memerangi kriminalitas, khususnya dalam

bentuk dan dimensi baru.

Pedoman yang ditetapkan di bawah ini, yang telah dirumuskan untuk

membantu Negara-negara Anggota dalam tugasnya menjamin dan memajukan

keefektifan, ketidakberpihakan dan kejujuran dari para jaksa dalam proses

persidangan pidana, harus dihormati dan ditegakkan oleh Pemerintah dalam

rangka perundangan dan kebiasaan nasional, dan harus menjadi perhatian para

jaksa, maupun orang-orang lain, misalnya hakim, pengacara, anggota eksekutif

dan badan pembuat undang-undang serta masyarakat pada umumnya. Pedoman


51
Pasal 1 butir 5 KUHAP.

52
ini telah dirumuskan dengan mengingat jaksa penuntut umum, tetapi juga, bagi

para jaksa yang ditunjuk atas dasar ad hoc.

Kualifikasi, seleksi dan pelatihan

1. Orang yang dipilih sebagai jaksa haruslah pribadi-pribadi yang mempunyai

integritas dan kemampuan, dengan pelatihan dan kualifikasi yang sesuai.

2. Negara-negara harus menjamin bahwa:

(a) Kriteria seleksi bagi para jaksa mengandung pengamanan terhadap

penunjukan yang didasarkan pada kepemihakan atau prasangka, yang tidak

memasukkan suatu diskriminasi terhadap seseorang atas dasar ras, warna

kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik dan lain-lain, asal-

usul nasional. Sosial atau etnis, kekayaan, kelahiran status ekonomi dan

lainnya, kecuali bahwa tidak dianggap sebagai diskriminatif untuk

mensyaratkan bahwa seorang calon untuk jabatan kejaksaan haruslah

warganegara dari negara yang bersangkutan;

(b) Para jaksa mempunyai pendidikan dan latihan yang memadai dan harus

disadarkan mengenai cita-cita dan kewajiban etis dari jabatan mereka,

mengenai perlindungan berdasarkan konstitusi dan undang-undang bagi

hak-hak dari orang-orang yang dicurigai dan korban, dan mengenai hak

asasi manusia dan kebebasan dasar yang diakui oleh hukum nasional dan

internasional.

Status dan kondisi pelayanan

53
3. Para jaksa, yang merupakan perantara yang sama pentingnya dengan

pelaksanaan peradilan, setiap saat harus menjaga kehormatan dan wibawa

profesi mereka.

4. Negara-negara harus menjamin bahwa para jaksa dapat melaksanakan fungsi-

fungsi profesional mereka tanpa intimidasi, hambatan, gangguan,

campurtangan yang tak semestinya atau dihadapkan pada tanggungjawab

perdata, pidana atau lainnya yang tidak bisa dibenarkan.

5. Para jaksa dan keluarga mereka secara fisik harus dilindungi oleh Undang-

undang atau peraturan yang ditetapkan.

6. Kondisi pelayanan para jaksa secara masuk akal, gaji yang memadai dan,

apabila mungkin masa kerja, pensiun dan usia pensiun ditetapkan oleh

undang-undang atau peraturan yang ditetapkan.

7. Promosi para jaksa, di mana sistem semacam itu ada, harus didasarkan pada

faktor-faktor obyektif, khususnya kualifikasi, kemampuan, integritas dan

pengalaman profesional, dan diputuskan sesuai dengan prosedur yang adil dan

tidak memihak.

8. Para Jaksa harus menjalankan peranannya secara aktif dalam proses

persidangan pidana, termasuk lembaga kejaksaan dan, apabila diberi

wewenang oleh hukum atau sesuai dengan kebiasaan setempat, dalam

menyelidiki kejahatan, pengawasan atas legalitas dart penyelidikan ini,

penyelidikan atas pelaksanaan keputusan pengadilan serta pelaksanaan fungsi-

fungsi lain sebagai wakil dari kepentingan umum.

54
9. Para jaksa, sesuai dengan hukum, akan melaksanakan kewajiban mereka

secara jujur, konsisten dan cepat, dan menghormati serta melindungi martabat

kemanusiaan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan dengan menjamin

proses dan berfungsinya sistem peradilan pidana dengan baik.

10. Dalam melaksanakan tugasnya, para jaksa akan:

(a) Tidak memihak dan menghindari segala macam diskriminasi politik,

sosial, agama, ras, budaya, jenis kelamin atau jenis-jenis diskriminasi

lainnya;

(b) Melindungi kepentingan umum, bertindak dengan obyektif,

memperhitungkan kedudukan dari tertuduh dan korban, dan menaruh

perhatian pada semua keadaan terkait, tanpa memandang apakah keadaan

itu menguntungkan atau merugikan;

(c) Menjaga kerahasiaan terdakwa, kecuali kalau pelaksanaan kewajiban atau

kebutuhan akan keadilan mensyaratkan sebaliknya;

(d) Mempertimbangkan pandangan dan kekuatiran kepentingan para korban,

dan memastikan bahwa para korban mendapat informasi mengenai hak-

hak mereka sesuai dengan Deklarasi mengenai Prinsip-prinsip Dasar

Keadilan untuk Para Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan.

11. Para jaksa tidak akan memprakarsai atau melanjutkan penuntutan, atau akan

melakukan setiap usaha untuk meneruskan proses persidangan, apabila suatu

penyelidikan yang tidak memihak memperhatikan bahwa tuduhan itu tidak

berdasar.

55
12. Para jaksa akan memberi perhatian kepada penuntutan atas kejahatan yang

dilakukan oleh para pejabat publik, khususnya korupsi, penyalahgunaan

kekuasaan, pelanggaran berat hak asasi manusia dan kejahatan-kejahatan lain

yang diakui oleh hukum Internasional dan, apabila diberi wewenang oleh

hukum atau sesuai dengan kebiasaan setempat, penyelidikan atas pelanggaran-

pelanggaran tersebut.

13. Apabila para jaksa memiliki bukti terhadap para tertuduh yang mereka ketahui

atau percaya atas dasar yang masuk akal telah diperoleh lewat cara yang tidak

sah, yang merupakan suatu pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia

tertuduh, khususnya yang menyangkut penyiksaan atau perlakuan atau

hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau pelecehan hak asasi manusia

lainnya, mereka harus menolak untuk menggunakan bukti tersebut terhadap

setiap orang kecuali orang-orang yang menggunakan cara tersebut, atau

memberi informasi kepada Pengadilan dengan benar, dan harus mengambil

semua tindakan yang perlu untuk menjamin bahwa orang-orang yang

bertanggung jawab atas penggunaan cara-cara itu dibawa ke depan

pengadilan.

Fungsi kebijaksanaan

14. Di negara-negara di mana para jaksa diberi fungsi-fungsu kebijaksanaan,

hukum atau aturan atau peraturan tertulis harus memberikan pedoman untuk

meningkatkan kejujuran dan konsistensi pendekatan dalam mengambil

keputusan dalam proses penuntutan, termasuk diteruskannya atau

dibatalkannya penuntutan.

56
Alternatif terhadap penuntutan

15. Sesuai dengan hukum nasional, para jaksa akan memberi perhatian seperlunya

untuk membatalkan penuntutan, tidak meneruskan proses persidangan secara

bersyarat atau tidak bersyarat, atau mengalihkan kasus-kasus kriminal dari

sistem peradilan formal, dengan menghormati sepenuhnya hak dari (para)

tertuduh dan (para) korban. Untuk keperluan ini, Negara-negara harus

menyelidiki sepenuhnya kemungkinan untuk memutuskan rencana-rencana

pengalihan tidak hanya untuk mengurangi beban pengadilan yang berlebihan,

tetapi juga untuk menghindari stigmatisasi penahanan pra-pengadilan,

dakwaan dan hukuman, maupun kemungkinan pengaruh sebaliknya dari

pemenjaraan.

16. Di negara-negara di mana para jaksa diberi wewenang dengan fungsi

kebijaksanaan berkenaan dengan keputusan apakah akan mengajukan

penuntutan kepada seorang anak, pertimbangan khusus harus diberikan kepada

sifat dan beratnya pelanggaran, perlindungan terhadap masyarakat dan pribadi

serta latar belakang dari anak tersebut. Dalam mengambil keputusan tersebut,

para jaksa khususnya harus mempertimbangkan alternatif terhadap penuntutan

berdasarkan undang-undang dan prosedur pengadilan anak. Para jaksa akan

berusaha sebaik-baiknya penuntutan terhadap anak-anak hanya sejauh bahwa

hal itu sangat perlu.

Hubungan dengan badan-badan atau lembaga pemerintahan lainnya

57
17. Untuk menjamin kejujuran dan efektifnya penuntutan, para jaksa harus

berusaha bekerjasama dengan polisi, pengadilan, profesi hukum, pembela

publik dan badan atau lembaga pemerintah lainnya.

Proses persidangan disipliner

18. Pelanggaran disiplin oleh para jaksa harus ditetapkan berdasarkan undang-

undang atau peraturan yang berlaku. Tuduhan kepada para jaksa yang

menyatakan bahwa mereka bertindak melanggar standar profesional harus

diproses dengan segera dan adil berdasarkan prosedur. Para jaksa mempunyai

hak diperiksa secara yang adil. Keputusan akan tunduk pada tinjauan yang

independen.

19. Proses persidangan disipliner terhadap para jaksa harus menjadi suatu evaluasi

dan keputusan yang obyektif. Proses itu harus ditetapkan sesuai dengan

undang-undang, kode perilaku profesional dan standar serta etika lain yang

ditetapkan serta berdasarkan pedoman ini.

2. Peran Hakim Menurut Hukum Acara Pidana Dalam Beracara di


Pengadilan

Kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka. Hakim yang bebas dan

mutlak tidak memihak dan tidak dapat dipengaruhi oleh siapa/pihak manapun. Hal

ini telah menjadi ketentuan universal, menjadi ciri suatu negara hukum. Pasal 1

ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan, Negara Indonesia adalah

Negara Hukum.

The Universal Declaration of Human Rights, pada Pasal 10 mengatakan

sebagai berikut.

58
Everyone is entitled in full equality to a fair and public hearing by an
independent and impartial tribunal in the determination of his rights and
obligation and of any criminal charge against him.52
(Setiap orang berhak dalam persamaan sepenuhnya didengarkan suaranya
di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan tidak
memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya
dan dalam setiap tuntutan pidana yang ditujukan kepadanya).

Sehubungan dengan itu, Pasal 8 berbunyi sebagai berikut.

Everyone has the right to an effective remedy by the competent national


tribunals for act violating the fundamental rights granted him by the
constitution or by law.53
(Setiap orang berhak atas pengadilan yang efektif oleh hakim-hakim
nasional yang kuasa terhadap tindakan perkosaan hak-hak dasar, yang
diberikan kepadanya oleh undang-undang dasar negara atau undang-
undang).

Pasal 24 UUD setelah diamandemen ke-3 dan ke-4 berbunyi sebagai berikut.

1. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk


menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
2. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan sebuah Mahkamah
Konstitusi.
3. Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dengan undang-undang.54

Pasal 24 yang asli tidak memerinci jenis peradilan seperti peradilan umum

dan seterusnya. Juga tidak menyebut tentang Mahkamah Konstitusi. Sebaliknya,

kejaksaan (Jaksa Agung) yang dulu masuk kekuasaan kehakiman sama dengan

zaman kolonial, dengan adanya kata-kata: “…. dan lain-lain badan kehakiman

menurut undang-undang” dalam Pasal 24 yang asli, sekarang menjadi “badan-

badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam

undang-undang” (ayat 3).


52
Pasal 10 Universal Declaration of Human Rights.
53
Pasal 8 Universal Declaration of Human Rights.
54
Pasal 24 UUD 1945

59
Kedudukan para hakim yang dimaksud di atas telah diatur dalam Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Begitu pula

perincian wewenang dan tugasnya dalam KUHAP, khusus mengenai bidang acara

pidana.

Oemar Seno Adji pun ragu-ragu mengenai ini dengan menulis sebagai

berikut.

“Apa yang saya dengar mengenai practical application mengenai pasal


ini, tampaknya tidak bevordelijk bagi perkembangan hukum kita. Ia
kadang-kadang menimbulkan tanda tanya, apakah kita ernstig menen
dengan negara hukum kita. la kadang-kadang berapa berat ringannya
hukuman yang harus dijatuhkan, apakah perkara diteruskan ataukah tidak.
Dan yang pernah saya dengar, dapat menimbulkan pertanyaan: quo vadis
dengan pelaksanaan hukum itu. Apakah kita harus menenangkan hati
nurani sendiri in gemoed afvragen dan tidak menjadi gelisah, jika kita
dengar bahwa seseorang harus dihukum meskipun tidak ada alasan yang
cukup kuat untuk menghukumnya karena tidak cukup bukti atau karena
perbuatannya memang tidak merupakan suatu tindak pidana”.55

Hakim, berbeda dengan pejabat-pejabat yang lain, harus benar-benar

menguasai hukum, bukan sekadar mengandalkan kejujuran dan kemauan baiknya.

Mengenai hal ini tepat sekali apa yang dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro

sebagai berikut:

“...Tetapi saya tekankan lagi, bahwa perbedaan antara pengadilan dan


instansi-instansi lain ialah, bahwa pengadilan dalam melakukan tugasnya
sehari-hari selalu secara positif dan aktif memperhatikan dan
melaksanakan macam-macam peraturan hukum yang berlaku dalam suatu
negara.”

“Di bidang hukum pidana hakim bertugas menerapkan apa in concreto ada
oleh seorang terdakwa dilakukan suatu perbuatan melanggar hukum
pidana. Dan untuk menetapkan ini oleh hakim harus dinyatakan secara
tepat Hukum Pidana yang mana telah dilanggar.”56

55
Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta, 1980, hlm. 47
56
Wirjono Prodjodikoro. Bunga Rampai Hukum, RajaGrafindo, Jakarta, hlm. 26-27.

60
Menurut sistem yang dianut di Indonesia seperti telah dikemukakan di

muka, pemeriksaan di sidang pengadilan yang dipimpin oleh hakim, hakim itu

harus aktif bertanya dan memberi kesempatan kepada pihak terdakwa yang

diwakili oleh penasihat hukumnya untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula

kepada penuntut umum. Semua itu dengan maksud menemukan kebenaran

materiil. Hakimlah yang bertanggung jawab atas segala yang diputuskannya.

Tidak benar pendapat yang menyatakan hakim harus pasif dan hanya memimpin

sidang dan mendengar keterangan pihak-pihak belaka. Mungkin hanya dalam

sistem akusator (accusaioir) murni yang berlaku hal demikian. Seperti telah

dikemukakan di muka, tiada negara yang menganut akusator murni seperti itu.

Oemar Seno Adj i pun berpendapat demikian, sebagai berikut.

“Kadang-kadang diambillah suatu kesimpulan, bahwa tidak mungkin kita


mengatakan bahwa Hukum Acara Pidana dalam suatu negara itu menganut
sistem yang murni accusatoir dan murni inquisitoir melainkan ia
mengandung suatu campuran dari kedua-duanya, accusatoir dan
inquisitoir, khususnya apabila dikemukakan adanya karakteristik tertentu
untuk membeda-bedakan kedua sistem tersebut.
Misalnya dipergunakan sebagai suatu kriterium adanya suatu pemeriksaan
yang terbuka ataupun tertutup terhadap orang yang dituduh melakukan
suatu tindak pidana. Dengan sendirinya ia menimbulkan suatu stelsel
campuran, karena umumnya dalam pemeriksaan pendahuluan kita
menerima suatu pemeriksaan yang tidak terbuka sifatnya, sedangkan
pemeriksaan di persidangan pengadilan adalah terbuka untuk umum....”
“Karena itu, identifikasi suatu system accusatoir ataupun inquisitoir
dengan sifat demokratis ataupun sifat nondemokratis dari Hukum Acara
Pidana yang berlaku tidak dapat dibenarkan.”57

Ter Haar mengatakan hakim Indonesia harus mendekatkan diri serapat-

rapatnya dengan masyarakat.58 Dengan berlakunya KUHAP maka diharapkan

peranan hakim dalam menciptakan keputusan-keputusan (yurisprudensi) yang


57
Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi. Erlangga, Jakarta, 1976,
hlm. 267-268.
58
Wirjono Prodjodikoro, Op Cit, hlm. 29.

61
tepat yang dapat menjawab masalah-masalah baru yang timbul. Yurisprudensi

lama yang didasarkan pada HIR, tentu banyak yang telah tidak sesuai dengan

peraturan acara yang baru.

Masalah kebebasan hakim perlu dihubungkan dengan masalah bagaimana

hakim dalam mengikuti yurisprudensi. Kebebasan hakim dalam menemukan

hukum tidaklah berarti ia menciptakan hukum, Wirjono Prodjodikoro menolak

pendapat orang yang mengatakan hakim menciptakan hukum. Menurut beliau

hakim hanya merumuskan hukum. Pekerjaan hakim katanya mendekati

pembuatan undang-undang tetapi tidak sama. Beliau berpendapat bahwa

walaupun Ter Haar menyatakan isi hukum adat baru tercipta secara resmi

dianggap ada apabila ada beberapa putusan dari penguasa terutama para hakim,

ucapan Ter Haar pun tidak dapat dianggap bahwa dengan putusan hakim dan lain

penguasa itu terciptalah hukum adat, tetapi hanya merumuskan hukum adat itu.59

Hakim tidak memihak berarti juga bahwa hakim itu tidak menjalankan

perintah dari pemerintah. Bahkan jika harus demikian menurut hukum, hakim

dapat memutuskan menghukum pemerintah, misalnya tentang keharusan ganti

kerugian yang tercantum dalam KUHAP.

Walaupun hakim itu diangkat dan digaji oleh pemerintah, namun ia tegak

berdiri menjalankan kewajibannya dan tidak dipengaruhi oleh pemerintah.

Berhubung dengan kedudukannya yang istimewa itu ia perlu mendapat jaminan

yang cukup.

Berbeda dengan pejabat-pejabat yang lain, hakim mendapat tunjangan

jabatan yang relatif lebih baik dari pejabat-pejabat yang lain. Syarat-syarat
59
Ibid, hlm. 31.

62
pengangkatan, kedudukan serta pemberhentian pejabat-pejabat pengadilan harus

menjadi landasan pokok bagi hakim untuk dapat menjalankan tugasnya dalam

menegakkan hukum dan keadilan dalam masyarakat dan tidak terpengaruh oleh

aliran politik, kepentingan ekonomi, dan kepentingan-kepentingan yang lain

dalam masyarakat.

Selain daripada itu jabatan lain yang tidak boleh dirangkap oleh Hakim

Agung akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Memang masih banyak

jabatan yang menurut UUD 1945 tidak boleh dirangkap oleh Hakim Agung,

seperti anggota DPR, DPA, BPK, Menteri, dan sebagainya. Hal ini dapat

ditafsirkan dari Pasal 24 dan 25 UUD 1945 dan penjelasannya.60

Tugas pengadilan dalam perkara pidana ialah mengadili semua delik yang

tercantum dalam perundang-undangan pidana Indonesia yang diajukan (dituntut)

kepadanya untuk diadili. Kekuasaan mengadili, ada dua macam, yang biasa

disebut juga kompetensi, yaitu sebagai berikut.

1. Kekuasaan berdasarkan peraturan hukum mengenai pembagian;


kekuasaan mengadili kepada suatu macam pengadilan (pengadilan
negeri), bukan pada pengadilan lain.
2. Kekuasaan berdasarkan peraturan hukum mengenai pembagian
kekuasaan mengadili di antara satu macam (pengadilan-pengadilan
negeri).61

KUHAP mengatur masalah kompetensi relatif ini dalam Pasal 84, 85, dan

86. Pasal 84 berbunyi sebagai berikut.

- “Pengadilan negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai

tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya”(1).

60
Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta,
2007, hlm. 237.
61
Oemar Seno Adji, Op Cit, hlm. 270

63
- “Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa

bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau

ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut,

apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih

dekat pada pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan

pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu

dilakukan” (2).

- “Apabila seorang terdakwa melakukan beberapa tindak pidana dalam

daerah hukum pelbagai pengadilan negeri maka tiap pengadilan negeri

itu masing-masing berwenang mengadili perkara pidana itu” (3).

- “Terhadap beberapa perkara yang satu sama lain ada sangkut-pautnya

dan dilakukan oleh seorang dalam daerah hukum pelbagai pengadilan

negeri, diadili oleh masing-masing pengadilan negeri dengan ketentuan

dibuka kemungkinan penggabungan perkara tersebut” (4).

Apabila hakim memandang pemeriksaan sidang sudah selesai, maka ia

mempersilakan penuntut umum membacakan tuntutannya (requisitoir). Setelah itu

giliran terdakwa atau penasihat hukumnya membacakan pembelaannya yang

dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau

penasihat hukumnya mendapat giliran terakhir.

Menurut ketentuan tersebut, tuntutan dan jawaban atas pembelaan

dilakukan secara tertulis dan setelah dibacakan segera diserahkan kepada hakim

ketua sidang dan turunnya kepada pihak yang berkepentingan.

64
Jika acara tersebut selesai, hakim ketua sidang menyatakan bahwa

pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan ketentuan dapat membukanya sekali lagi,

baik atas kewenangan hakim ketua sidang karena jabatannya, maupun atas

permintaan penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum dengan

memberikan alasannya.

Putusan pengadilan negeri dapat dijatuhkan dan diumumkan pada hari itu

juga atau pada hari lain yang sebelumnya harus diberitahukan kepada penuntut

umum, terdakwa, atau penasihat hukum.62 Satu hal yang sangat penting tetapi

tidak disebut ialah berapa lama penundaan itu dapat berlangsung

Sesudah pemeriksaan dinyatakan ditutup, hakim mengadakan musyawarah

terakhir untuk mengambil keputusan dan apabila perlu musyawarah itu diadakan

setelah terdakwa, saksi, penasihat hukum, penuntut umum, dan hadirin

meninggalkan ruangan sidang. Ditentukan selanjutnya bahwa dalam musyawarah

tersebut, hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan dimulai dan hakim yang

termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan

pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua pendapat harus disertai

pertimbangan beserta alasannya.63

62
Pasal 182 ayat (1) KUHAP
63
Pasal 182 ayat (5) KUHAP

65
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan paparan di atas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan

sebagai berikut:

1. Peran terdakwa pada tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan

pemeriksaan di pengadilan menjadi fokus atau perhatian, diawali dari tingkat

penyelidikan tersangka atau terdakwa punya hak untuk didampingi pengacara,

di sini penyidik berupaya terdakwa menggali informasi sampai sidang perkara

untuk meningkatkan status tersangka menjadi terdakwa untuk mencari

kepastian hukum.

Adapun peran pengacara dalam mendampingi tersangka atau terdakwa

memberikan pembelaan, memberikan penjelasan atas hak tersangka atau

terdakwa baik di tingkat penyidikan, penyelidikan dan pengadilan serta di

lembaga pemasyarakatan. Peran pengacara di sini sama dengan peran jaksa

penuntut umum, peran hakim sebagai aparat penegak hukum, ini dilakukan

oleh pengacara demi kepentingan tersangka atau terdakwa dan kepentingan

nasional.

2. Peran jaksa penuntut umum (JPU), dalam menjalankan tugas dan fungsinya

diangkat oleh undang-undang, dan diberi wewenang oleh undang-undang, dan

diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan

66
melaksanakan penetapan atau putusan hakim sesuai yang diatur dalam

KUHAP.

Adapun peran hakim, dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewenangannya

diangkat oleh undang-undang. Hakim dalam menjalankan tugasnya bebas dan

merdeka tidak boleh diintervensi oleh dan dari siapapun juga dalam rangka

menegakkan hukum dan keadilan. Hakim tidak boleh menolak untuk

memeriksa dan menetapkan/memutus perkara pidana yang ditugaskan oleh

ketua pengadilan. Hakim dalam mengambil keputusan berdasarkan surat

dakwaan dan terbukti dalam persidangan selanjutnya hakim memberitahukan

kepada terdakwa/terpidana atas hak-haknya.

B. Saran

Penulis ingin menyampaikan saran sebagai berikut:

1. Pemeriksaan terhadap tersangka, terdakwa pada tingkat penyelidikan,

penyidikan bahkan pada pemeriksaan di pengadilan, hendaknya diperlakukan

sebagaimana manusia yang punya hak asasi manusia dan tidak arogansi serta

menekan pencari keadilan.

2. Bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas dan fungsinya,

hendaknya mampu berpegang kepada sumpah/janji (profesional), tidak

tergiur dengan materi demi meningkatkan citra aparat penegak hukum.

67
DAFTAR PUSTAKA

Armansyah Koesparmono Irsan, Panduan Memahami Hukum Pembuktian dalam


Hukum Perdata dan Hukum Pidana, Gramaka, Jakarta, 2015.

Asshiddiqie Jimly, Pokok-pokok Hukum Tata Negara, Bhuana Ilmu Populer,


Jakarta, 2007.

Hamzah Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

_______, Hukum Acara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.

Hartono Sumantri, Peranan Peradilan, Bina Cipta, Bandung, 1998,.

Lamintang, Theo Lamintang, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,


2013.

Mertokusumo Sudikno, Hukum dan Peradilan, YBPGM, Yogyakarta, 2000.

Minenhof A., De Nederlandse Strafvordering, Harlem: H.D. Tjeenk Wilink &


Zoon, dikutip oleh Andi Hamzah.

Nasution A.K., Masalah Surat Tuduhan dalam Proses Pidana, mengutip J.E.
Jonkers, Het Vooronderzoek en telastelegging in he Landraad Stafproces.

Prodjodikoro Wirjono, Hukum Acara di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta,


1997.

_______. Bunga Rampai Hukum, RajaGrafindo, Jakarta, tanpa tahun.

Sastrodanakusumo, Tuntutan Pidana, Siliwangi Cortens, Jakarta, 2003.

Seno Adji Oemar, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi. Erlangga, Jakarta,
1976.

_______, Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta, 1980.

Sulaiman Abdullah, Penelitian Ilmu Hukum, YPPSDM, Jakarta, 2012

Tresna R., Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, W. Versluys NV. 1957.

68
Sumber-sumber Lain

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 dan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun


1991

Universal Declaration of Human Rights.

PP Nomor 27 Tahun 1983

69
PERAN TERDAKWA DALAM HUKUM ACARA PIDANA
DI PENGADILAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Program Studi Ilmu Hukum

Oleh :

Aris Mohamad Ghaffar Binol


NIM. 14071101020

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS SAM RATULANGI
FAKULTAS HUKUM
MANADO
2017

70
DAFTAR ISI

Halaman
JUDUL................................................................................................................ i
PERSETUJUAN................................................................................................. ii
KATA PENGANTAR........................................................................................ iii
DAFTAR ISI....................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................. 1
B. Perumusan Masalah .................................................................... 5
C. Tujuan Penulisan ........................................................................ 5
D. Manfaat Penulisan....................................................................... 5
E. Metode Penelitian........................................................................ 6
F. Sistematika Penulisan.................................................................. 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Penafsiran Autentik Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana .................................................................. 8
B. Pengertian Surat dan Bentuk Dakwaan dalam KUHAP ............. 16
BAB III PEMBAHASAN
A. Peran Terdakwa dan Pengacara Menurut Hukum Acara
Pidana Dalam Beracara di Pengadilan ....................................... 23
B. Peran Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan Hakim Menurut
Hukum Acara Pidana Dalam Beracara di Pengadilan ................ 45
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................. 67
B. Saran............................................................................................. 68
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 69

71

Anda mungkin juga menyukai