Anda di halaman 1dari 9

KESEHATAN DAERAH MILITER XII/TANJUNGPURA

RUMAH SAKIT TK. II KARTIKA HUSADA

PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN


(INFORMED CONSENT)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

a. Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45


serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008. maka Informed
Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau
keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai
tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Menurut
Lampiran SKB IDI No. 319/P/BA./88 dan Permenkes no 585/Men.Kes/Per/IX/1989
tentang Persetujuan Tindakan Medis Pasal 4 ayat 2 menyebutkan dalam memberikan
informasi kepada pasien / keluarganya, kehadiran seorang perawat / paramedik
lainnya sebagai saksi adalah penting.

b. Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan
pasien) bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan
kewajiban, sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu
yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi
perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang
dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.

c. Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis,
disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga
tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum
pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan. Untuk itu,
sebagai calon dokter gigi, perlu untuk mengetahui tentang aspek hukum informed
consent.

B. Dasar Hukum Informed Consent

a. Di Indonesia perkembangan “informed consent” secara yuridis formal, ditandai


dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang “informed
consent” melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian
dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang “Persetujuan
Tindakan Medik atau Informed Consent”.

b. Hal ini tidak berarti para dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia tidak mengenal
dan melaksanakan “informed consent” karena jauh sebelum itu telah ada kebiasaan
pada pelaksanaan operatif, dokter selalu meminta persetujuan tertulis dari pihak
pasien atau keluarganya sebelum tindakan operasi itu dilakukan. Baru sekitar tahun
1988 di Indonesia ada peraturan dan pedoman bagi para dokter untuk melaksanakan
konsep informed consent dalam praktek sehari-hari yaki berupa fatwa PB. IDI No.
319/PB/A.4/88 tentang informed consent, yang kemudian diadopsi isinya hampir
sebagian besar oleh Permenkes No. 585 Tahun 1989 tentang persetujuan tindakan
medik.

c. Dengan adanya peraturan Permenkes No.585 Tahun 1989 tentang persetujuan


tindakan medik, maka peraturan tersebut menjadi aturan pelaksanaan dalam setiap
tindakan medis yang berhubungan dengan persetujuan dan pemberian informasi
terhadap setiap tindakan medik. Peraturan tersebut menyebutkan bahwa setiap
tindakan medik harus ada persetujuan dari pasien yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1)
Permenkes No.585 Tahun 1989, yang berbunyi “semua tindakan medik yang akan
dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan”.

d. Adanya pengaturan mengenai informed consent yang terdapat dalam Permenkes


No.585 Tahun 1989 tersebut juga diperkuat dengan adanya Undang-Undang Nomor
29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yang terdapat pada Pasal 45 ayat (1)
sampai (6) yang berbunyi:

Pasal 45 ayat 

1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gig iyang akan dilakukan oleh dokter
atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.

2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien


mendapat penjelasan secara lengkap

3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya


mencakup:

a) Diagnosis dan tata cara tindakan medis


b) tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c) alternatif tindakan lain dan risikonya;
d) risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e) prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

4) Persetujuan sebagaimana dimaksud padaf ayat (2) dapat diberikan baik secara
tertulis maupun lisan.

5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi
harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang
berhak memberikan persetujuan.

6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran


gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (30), ayat (4) dan ayat
(5) diatur dengan Peraturan Menteri

e. Dari Ketentuan Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
tersebut terutama pada pasal 45 ayat (6) menyebutkan bahwa pengaturan mengenai
tata cara persetujuan tindakan kedokteran (informend consent) diatur oleh peraturan
menteri yaitu Permenkes No.585 Tahun 1989.

1) Salah satu dasar moral dari adanya suatu persetujuan tindakan kedokteran
adalah menghormati martabat manusia (respect for person), yang mana setiap
individu (pasien) harus diperlakukan sebagai manusia yang memiliki otonomi
(hak untuk menentukan nasib sendiri).
2) Seperti diketahui bersama bahwa tindakan kedokteran dapat berupa preventif,
diagnostik, terapeutik dan rehabilitatif. Persetujuan tindakan kedokteran telah
diatur dalam UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pada Pasal 45
ayat (1) sampai dengan ayat (6) dan dalam Permekes No. 290/Menkes/
Per/III/2008 tentang persetujuan tindakan kedokteran. Dengan adanya UU dan
Permenkes yang mengatur tentang Persetujuan tindakan kedokteran, maka
setiap tenaga medik wajib melaksanakannya.

3) Tentu saja, persetujuan yang diberikan oleh pasien terjadi setelah pasien
mendapatkan penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran
tersebut. Persetujuan yang diberikan pasien dapat secara tertulis maupun tidak
tertulis. Persetujuan tidak tertulis dapat diberikan dalam bentuk ucapan setuju
atau bentuk gerakan menganggukan kepala yang dapat diartikan sebagai
ucapan setuju. Namun apabila persetujuan lisan yang diberikan dianggap
meragukan maka dapat dimintakan persetujuan secara tertulis.

C. Tujuan

a. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang


sebenarnya tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar
pembenarannya yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya

b. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan


bersifat negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada
setiap tindakan medik ada melekat suatu resiko (Permenkes No. 290 /
Menkes / Per / III / 2008 Pasal 3).

c. Sebuah tindakan kedokteran yang mengandung resiko tinggi harus mendapatkan


persetujuan secara tertulis dan ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan. Penjelasan tentang tindakan kedokteran mencakup:

1) Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran

2) Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan

3) Alternatif tindakan lain dan resikonya

4) Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi

5) Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

6) Perkiraan pembiayaan.
BAB II
TATALAKSANA

A. Dasar Pelaksanaan Informed Consent

a. Dasar pelaksanaan Informed Consent adalah bahwa pasien berhak atas informasi
tentang tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya, risiko bila dilakukan tindakan
atau bila tidak dilakukan, keuntungan (benefit) bila dilakukan tindakan, atau alternatif-
alternatif yang tersedia.

b. Terdapat 3 issue yang harus diperhatikan menyangkut Informed Consent:


Kapasitas seseorang untuk memberikan consent atau persetujuannya (penurunan
kesadaran, dibawah umur, dll.)

c. Pengungkapanoptimal terhadap informasi yang relevan (informasi yang harus


diberikan, diberikan dengan sejelas-jelasnya) Adalah kebebasan individu untuk
membuat keputusan atau menentukan pilihannya (untuk setuju atau untuk tidak
setuju)
Atau dengan kata lain bahwa Informed Consent sah apabila Informasi yang harus
diberikan telah diberikan Persetujuan dibuat dengan sukarela Pasien mempunyai
kapasitas atau kapabilitas untuk membuat keputusan.

d. Menyangkut informed consent tindakan medis (persetujuan tindakan operasi misalnya:):

1) Penjelasan tindakan (hendaknya harus) dilakukan oleh dokter


2) Kedudukan perawat adalah sebagai saksi (witness) bahwa penjelasan telah diberikan
kepada pasien dan atau keluarga, sehingga perawat (sebaiknya) paling akhir
membubuhkan tandatangan setelah ³tokoh-tokoh utama.

B. Tindakan Kedokteran

a. tindakan kedokteran harus diberikan langsung kepada pasien dan/atau keluarga


terdekat, baik diminta maupun tidak diminta. Apabila pasien adalah anak-anak atau
orang yang tidak sadar maka penjelasan diberikan kepada keluarganya atau yang
mengantar. Penjelasan yang diberikan harus secara lengkap, dengan bahasa yang
mudah dimengerti dan dipahami. Tenaga medis harus mampu berkomunikasi dengan
baik. Penjelasan yang dimaksud tersebut harus dicatat dan didokumentasikan dalam
berkas rekam medis dengan mencantumkan tanggal, waktu, nama dan tanda tangan
pemberi dan penerima penjelasan, dalam sebuah formulir khusus yang dibuat untuk
itu.

b. Apabila tenaga medis merasa bahwa penjelasan yang akan diberikan dapat
merugikan kepentingan pasien itu sendiri atau pasien sediri menolak untuk diberikan
penjelasan, maka tenaga medis dapat memberikan penjelasan tersebut kepada
keluarga terdekat dengan didampingi oleh tenaga kesehatan lain sebagai saksi.
Penjelasan harus diberikan oleh tenaga medis yang merawat pasien yang
bersangkutan atau bila dirawat oleh tim medis, maka oleh salah seorang dari tim
medis.

c. Apabila tenaga medis yang merawat pasien berhalangan memberikan penjelasan,


maka dapat didelegasikan kepada tenaga medis yang lain yang kompeten. Tenaga
kesehatan lain dapat ikut membantu memberikan penjelasan sesuai dengan
kewenangannya dan tenaga kesehatan tersebut memang ikut serta memberikan
pelayanan kesehatan langsung kepada pasien.

d. Apabila terdapat kemungkinan indikasi akan adanya perluasan tindakan kedokteran,


maka hal ini juga harus disampaikan. Perluasan tindakan kedokteran yang tidak
terdapat indikasi sebelumnya, hanya dapat dilakukan untuk menyelamatkan jiwa
pasien, dan bila hal ini dilakukan maka harus diberikan penjelasan kepada pasien
atau keluarga terdekat

e. Siapakah yang berhak memberikan persetujuan tindakan medis? Pasien itu sendiri
yang kompeten (Kompeten: pasien dewasa, bukan anak, tidak terganggu kesadaran
fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami kemunduran
perkembangan/retardasi mental dan tidak mengalami penyakit mental sehingga
mampu membuat keputusan secara bebas) atau keluarga terdekat (suami, atau istri,
ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung, saudara-saudara kandung atau
pengampunya). Penilaian terhadap kompetensi pasien dilakukan oleh tenaga medis
pada saat diperlukan persetujuan.

f. Dalam keadaan darurat untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau untuk mencegah
kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran, hal ini diputuskan oleh
tenaga medis dan harus dicatat dalam rekam medik, penjelasan harus diberikan
sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada akeluarga
terdekat. Dalam situasi khusus dimana terjadi tindakan penghentian/penundaan
bantuan hidup (withdrawing/withholding life support) pada pasien, harus mendapat
persetujuan keluarga terdekat pasien secara tertulis, dan hal ini harus didahului
dengan penjelasan dari tim dokter. Situasi lain dimana tindakan kedokteran harus
dilakukan sesuai dengan program pemerintah, dimana tindakan medik tersebut untuk
kepentingan masyarakat banyak, maka persetujuan tindakan kedokteran itu tidak
diperlukan.

g. Pasien atau keluarga terdekat berhak meolak tindakan kedokteran setelah menerima
penjelasan tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan, hal ini harus dilakukan
secara tertulis. Segala akibat dari penolakan ini menjadi tanggung jawab pasien. Perlu
diingat bahwa penolakan tindakan kedokteran ini tidak boleh memutuskan hubungan
dokter pasien.

h. Persetujuan tindakan kedokteran yang telah diberikan dapat dibatalkan atau ditarik
kembali oleh yang memberikan persetujuan SEBELUM dimulainya tindakan tersebut,
hal ini harus dilakukan secara tertulis dan segala akibat yang timbul dari pembatalan
persetujuan menjadi tanggung jawab yang membatalkan persetujuan.

i. Hal penting yang perlu diketahui oleh tenaga medis, bahwa pemberian persetujuan
tindakan kedokteran TIDAK menghapuskan tanggung gugat hukum apabila nantinya
terbukti adanya kelalaiam dalam melakukan tindakan kedokteran yang mengakibatkan
kerugian pada pasien.

C. INFORMED CONSENT

a. Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien
atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai
tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Tujuan Informed
Consent adalah memberikan perlindungan kepada pasien serta memberi perlindungan
hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif.
b. Di Indonesia perkembangan “informed consent” secara yuridis formal, ditandai dengan
munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang “informed consent”
melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi
dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang “Persetujuan Tindakan Medik atau
Informed Consent”. Isi dari informed berkaitan dengan penyakit pasien, mencangkup
bentuk, tujuan, resiko, manfaat dari terapi yang akan dilaksanakan dan alternatif terapi.

D. Bentuk Informed Consent

a. Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis
(pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan
tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :

1) Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung


resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No.
585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir
3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup besar,
mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien
memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko
yang berkaitan dengannya.

2) Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-
invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;
3. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien
yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan
lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap
dirinya.

E. Aspek Hukum Informed Consent

a. Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45


serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008. maka Informed
Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau
keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai
tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.

b. Menurut Lampiran SKB IDI No. 319/P/BA./88 dan Permenkes no


585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis Pasal 4 ayat 2
menyebutkan dalam memberikan informasi kepada pasien / keluarganya,
kehadiran seorang perawat / paramedik lainnya sebagai saksi adalah penting.
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter,
dan pasien) bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak
dan kewajiban, sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni
sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan
akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum,
baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.

c. Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis,
disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga
tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum
pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan. Pada
pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang
digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan
kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata
secara umum berlaku adagium “barang siapa merugikan orang lain harus
memberikangantirugi”.

d. Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa
tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa
tindakan medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan
mampu memberikan persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis
dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan
hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya,
sehingga dokter dan harus menghormatinya; Aspek Hukum Pidana, “informed
consent” mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan.

e. Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang


dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien,
maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana
penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.
Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa
“informed consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum
antara pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan
kewajiban masing-masing pihak yang seimbang dan dapat
dipertanggungjawabkan.

f. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga
belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi
terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed consent ini. Informed
Consent hakikatnya adalah hukum perikatan, ketentuan perdata akan berlaku dan
ini sangat berhubungan dengan tanggung jawab profesional menyangkut
perjanjian perawatan dan perjanjian terapeutik. Aspek perdata Informed Consent
bila dikaitkan dengan

g. Hukum Perikatan yang di dalam KUH Perdata BW Pasal 1320 memuat 4 syarat
sahnya suatu perjanjian yaitu:

1) Adanya kesepakatan antar pihak, bebas dari paksaan, kekeliruan dan


penipuan

2) Para pihak cakap untuk membuat perikatan

3) Adanya suatu sebab yang halal, yang dibenarkan, dan tidak dilarang oleh
peraturan perundang undangan serta merupakan sebab yang masuk akal
untuk dipenuhi.

h. Dari syarat pertama yaitu adanya kesepakatan antara kedua pihak ( antara petugas
kesehatan dan pasien ), maka berarti harus ada informasi keluhan pasien yang
cukup dari kedua belah pihak tersebut. Dari pihak petugas harus mendapat
informasi keluhan pasien sejujurnya, demikian pula dari pihak pasien harus
nmemperoleh diagnosis dan terapi yang akan dilakukan.
Ada beberapa kaidah yang harus diperhatikan dalam menyusun dan memberikan
Informed Consent agar hukum perikatan ini tidak cacat hukum, diantaranya
adalah:

1) Tidak bersifat memperdaya (Fraud).


2) Tidak berupaya menekan (Force).
3) Tidak menciptakan ketakutan (Fear).

i. Persetujuan yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarga terdekatnya tersebut,
tidak membebaskan dokter dari tuntutan jika dokter melakukan kelalaian. Tindakan
medis yang dilakukan tanpa persetujuan pasien atau keluarga terdekatnya, dapat
digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal
351. Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat digolongkan sebagai
tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351 (trespass,
battery, bodily assault). Menurut Pasal 5 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III /
2008, persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh
yang memberi persetujuan, sebelum dimulainya tindakan (Ayat 1). Pembatalan
persetujuan tindakan kedokteran harus dilakukan secara tertulis oleh yang
memberi persetujuan(Ayat2).

F. Isi Informasi Yang Harus Di Sampaikan

a. Dalam Permenkes No. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik
dinyatakan bahwa dokter harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada
pasien / keluarga diminta atau tidak diminta, jadi informasi harus disampaikan.
Mengenai apa yang disampaikan, tentulah segala sesuatu yang berkaitan dengan
penyakit pasien. Tindakan apa yang dilakukan, tentunya prosedur tindakan yang
akan dijalani pasien baik diagnostic maupun terapi dan lain-lain sehingga pasien
atau keluarga dapat memahaminya. Ini mencangkup bentuk, tujuan, resiko,
manfaat dari terapi yang akan dilaksanakan dan alternative terapi (Hanafiah,
1999).
b. Secara umum dapat dikatakan bahwa semua tindakan medis yang akan dilakukan
terhadap pasien yang harus diinformasikan sebelumnya, namun izin yang harus
diberikan oleh pasien dapat berbagai macam bentuknya, baik yang dinyatakan
ataupun tidak. Yang paling untuk diketahui adalah bagaimana izin tersebut harus
dituangkan dalam bentuk tertulis, sehingga akan memudahkan pembuktiannya
kelak bila timbul perselisihan. Secara garis besar dalam melakukan tindakan medis
pada pasien, dokter harus menjelaskan beberapa hal, yaitu:

1) Garis besar seluk beluk penyakit yang diderita dan prosedur perawatan /
pengobatan yang akan diberikan / diterapkan

2) Resiko yang dihadapi, misalnya komplikasi yang diduga akan timbul

3) Prospek / prognosis keberhasilan ataupun kegagalan.

4) Alternative metode perawatan / pengobatan

5) Hal-hal yang dapat terjadi bila pasien menolak untuk memberikan persetujuan

6) Prosedur perawatan / pengobatan yang akan dilakukan merupakan suatu


percobaan atau menyimpang dari kebiasaan, bila hal itu yang akan dilakukan

c. Dokter juga perlu menyampaikan (meskipun hanya sekilas), mengenai cara kerja
dan pengalamannya dalam melakukan tindakan medis tersebut (Achadiat, 2007).
Informasi/keterangan yang wajib diberikan sebelum suatu tindakan kedokteran
dilaksanakan adalah:

1) Diagnosa yang telah ditegakkan

2) Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan

3) Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut

4) Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada tindakan


kedokteran tersebut

5) Konsekwensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif


cara pengobatan yang lain.

6) Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut.

d. Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter


yang akan melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan ( Pasal 11 Ayat
1 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008 ). Penjelasan kemungkinan
perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 merupakan
dasar daripada persetujuan (Ayat 2). Pengecualian terhadap keharusan
pemberian informasi sebelum dimintakan persetujuan tindakan kedokteran adalah:

1. Dalam keadaan gawat darurat (emergency), dimana dokter harus segera


bertindak untuk menyelamatkan jiwa.
2. Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi
situasi dirinya. Ini tercantum dalam PerMenKes no 290/Menkes/Per/III/2008.

G. Kesimpulan

Di Indonesia perkembangan “informed consent” secara yuridis formal, ditandai dengan


munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang “informed consent” melalui
SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan
PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang “Persetujuan Tindakan Medik atau Informed
Consent”. Serta dipertegas oleh Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004.

Anda mungkin juga menyukai