BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
b. Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter,
dan pasien) bertindak sebagai “subyek hukum” yakni orang yang mempunyai hak
dan kewajiban, sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni
sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan
terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik
yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.
c. Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis,
disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga
tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum
pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.Untuk itu,
sebagai calon dokter gigi, perlu untuk mengetahui tentang aspek hukum informed
consent. Selain itu perlu pula mengetahui isi dari informed consent serta format
informed consent yang sah secara hukum.
B. Tinjauan Pustaka
1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gig iyang akan dilakukan oleh dokter
atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien
mendapat penjelasan secara lengkap.
3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya
mencakup:
a) diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b) tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c) alternatif tindakan lain dan risikonya;
d) risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e) prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
4) Persetujuan sebagaimana dimaksud padaf ayat (2) dapat diberikan baik secara
tertulis maupun lisan.
5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi
harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak
memberikan persetujuan.
6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran
gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (30), ayat (4) dan ayat
(5) diatur dengan Peraturan Menteri Dari Ketentuan Undang Undang Nomor 29
Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran tersebut terutama pada pasal 45 ayat (6)
menyebutkan bahwa pengaturan mengenai tata cara persetujuan tindakan
kedokteran (informend consent) diatur oleh peraturan menteri yaitu Permenkes
No.585 Tahun 1989.
C. Tujuan
Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis
(pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan
tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :
b) Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-
invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;
A. Indikasi
b. hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan
pasien).yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan “jasa tindakan
medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi
orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan
yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun
oleh dua pihak.
g. Informed Consent adalah hukum perikatan, ketentuan perdata akan berlaku dan ini
sangat berhubungan dengan tanggung jawab profesional menyangkut perjanjian
perawatan dan perjanjian terapeutik. Aspek perdata Informed Consent bila
dikaitkan dengan Hukum Perikatan yang di dalam KUH Perdata BW Pasal 1320
memuat 4 syarat sahnya suatu perjanjian yaitu:
1) Adanya kesepakatan antar pihak, bebas dari paksaan, kekeliruan dan
penipuan.
2) Para pihak cakap untuk membuat perikatan.
3) Adanya suatu sebab yang halal, yang dibenarkan, dan tidak dilarang oleh
peraturan perundang undangan serta merupakan sebab yang masuk akal
untuk dipenuhi.
Menurut Pasal 5 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008, persetujuan tindakan
kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan,
sebelum dimulainya tindakan ( Ayat 1 ). Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran
harus dilakukan secara tertulis oleh yang memberi persetujuan ( Ayat 2 ).
j. Semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien yang harus
diinformasikan sebelumnya, namun izin yang harus diberikan oleh pasien dapat
berbagai macam bentuknya, baik yang dinyatakan ataupun tidak. Yang paling untuk
diketahui adalah bagaimana izin tersebut harus dituangkan dalam bentuk tertulis,
sehingga akan memudahkan pembuktiannya kelak bila timbul perselisihan.
Secara garis besar dalam melakukan tindakan medis pada pasien, dokter harus
menjelaskan beberapa hal, yaitu:
1) Garis besar seluk beluk penyakit yang diderita dan prosedur perawatan /
pengobatan yang akan diberikan / diterapkan.
2) Resiko yang dihadapi, misalnya komplikasi yang diduga akan timbul.
3) Prospek / prognosis keberhasilan ataupun kegagalan.
4) Alternative metode perawatan / pengobatan.
5) Hal-hal yang dapat terjadi bila pasien menolak untuk memberikan persetujuan.
6) Prosedur perawatan / pengobatan yang akan dilakukan merupakan suatu
percobaan atau menyimpang dari kebiasaan, bila hal itu yang akan
dilakukanDokter juga perlu menyampaikan (meskipun hanya sekilas), mengenai
cara kerja dan pengalamannya dalam melakukan tindakan medis tersebut
(Achadiat, 2007).