NIM : 217041200
Pada kasus disebutkan bahwa pihak keluarga Tn Razi membawa seorang donor dari
keluarga mereka (adik sepupu Tn. Razi) seorang wanita berusia 28 tahun yang
dijumpai adanya gangguan kejiwaan berupa subnormal intelligence dimana donor sama
sekali tidak paham dengan kasus yang sedang terjadi termasuk prosedur-prosedur
serta resiko yang akan terjadi terhadap dirinya. Hal ini tidak masuk dalam komunikasi
terapeutik yang menjelaskan bahwa komunikasi yang direncanakan secara sadar,
bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien.
Disamping itu, pada setiap tindakan kedokteran, haruslah disertakan suatu informed
Consent, dimana Informed consent merupakan hal mutlak sebelum tindakan medis
dilakukan oleh dokter kepada pasien sebagaimana diatur pada Pasal 8 UU No. 36
Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Pasal 45 UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran.
Implied consent dalam keadaan normal berlaku pada tindakan medis yang biasa
dilakukan atau sudah diketahui umum misalnya pengambilan darah untuk pemeriksaan
laboratorium, penjahitan luka, dan lain-lain.
Sedangkan dalam keadaan darurat (emergency) apabila pasien dalam kondisi tidak
dapat memberikan persetujuan dan keluarganya tidak ada ditempat, maka dokter dapat
melakukan tindakan medis terbaik menurut dokter. Setelah pasien sadar maka dokter
harus segera memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarga terdekat.
Ketentuan hukum mengenai cakap hukum dan syarat sahnya perjanjian diatur dalam
Pasal 1320 dan Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Adapun syarat
sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu
sebagai berikut: Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, Kecakapan untuk membuat
suatu perikatan, Suatu hal tertentu, Suatu sebab tertentu
Adapun cakap hukum menurut Pasal 1320 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dapat ditemukan penjelasan lebih lanjut pada Pasal 1330 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata yakni sebagai berikut:
-Dewasa
Menurut Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa seseorang yang telah
genap 21 tahun atau telah melangsungkan pernikahan yang dilaksanakan berdasarkan
peraturan-perundang-undangan yang berlaku maka seseorang tersebut dinilai telah
cakap hukum.
Aspek Hukum Informed Consent (Persetujuan Tindakan Kedokteran) bagi Orang dalam
Gangguan Jiwa (ODGJ)
Pasal 21 ayat (4) UU Kesehatan Jiwa menegaskan bahwa yang menentukan cakap
hukum atau tidaknya orang dalam gangguan jiwa untuk mengambil keputusan dalam
rangka informed consent (persetujuan tindakan kedokteran) bergantung pada diagnosis
dokter. Adapun diagnosis tersebut berdasarkan Pasal 19 ayat (2) UU Kesehatan Jiwa
dilakukan oleh Dokter umum, Psikolog dengan peminatan klinis, dan Dokter spesialis
kedokteran jiwa (Psikiater).
Adapun dalam hal orang dalam gangguan jiwa (ODGJ) dianggap tidak cakap hukum
dalam mengambil keputusan berdasarkan diagnosis Dokter, maka informed consent
(persetujuan tindakan kedokteran) dapat diberikan oleh:
Suami/istri
Orang tua, anak, atau saudara sekandung yang paling sedikit berusia 17 (tujuh belas)
tahun
Informed Consent
Mungkin saja hal ini dianggap sepele dengan alasan bahwa pasien telah
menandatangani berkas persetujuan sebagai bukti bahwa pasien telah menyatakan
persetujuannya. Namun dari sudut pandang hukum , persetujuan tindakan medis tanpa
mendapatkan penjelasan yang cukup dari dokter yang akan melakukan tindakan
tersebut dapat dianggap cacat prosedur sehingga tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat dan berpotensi untuk menimbulkan sengketa medis.
Informed consent terdiri dari dua kata yaitu informed dan consent. John M.
Echols (2003) memberi pengertian informed yaitu telah mendapatkan penjelasan atau
keterangan telah disampaikan atau diinformasikan. Sedangkan consent yang berarti
persetujuan yang telah diberikan pada seseorang untuk berbuat sesuatu. Jadi informed
consent dapat diartikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien kepada dokter
untuk melakukan tindakan kedokteran tertentu setelah mendapatkan penjelasan dari
dokter yang bersangkutan.
alternatif tindakan lain dan risikonya; risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
prognosis terhadap tindakan yang dilakukan[5].
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat dipahami bahwa esensi dari
persetujuan tindakan medis terletak pada proses atau tatacara dalam mencapai
persetujuan yang akan diberikan oleh pasien atau keluarganya kepada dokter.
Sedangkan berkas Persetujuan tindakan medis merupakan pengukuhan atas
persetujuan yang telah dibuat oleh pasien atau keluarganya untuk memberi izin kepada
dokter dalam melaksanakan tindakan medis.
Diawali dengan sebuah hubungan hukum dalam suatu perjanjian terapeutik antara
dokter dan pasien
Adanya komunikasi terapeutik interpersonal dua arah secara berimbang yaitu antara
dokter yang akan melakukan tindakan medis tanpa diwakili dan kepada pasien yang
cakap menurut ketentuan perundang-undangan atau keluarganya yang berhak menurut
ketentuan perundang-undangan.
Komunikasi terapeutik yang dibangun adalah pemberian informasi dan penjelasan dari
dokter kepada pasien dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh pasien
dan sebaliknya pasien menyampaikan informasi kepada dokter secara lengkap, jujur
dan benar mengenai keluhan atau penyakit yang dialaminya, termasuk
mempertanyakan secara terbuka dan bebas terhadap hal-hal yang tidak dipahami atas
penjelasan yang diberikan oleh dokter.
Informasi atau penjelasan yang diberikan oleh dokter kepada pasien sekurang-
kurangnya menyangkut diagnosis dan tata cara pelaksanaan tindakan medis, mengenai
diagnosis penyakit, tujuan tindakan medis yang dilakukan;
alternatif tindakan lain dan risikonya; risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
Suatu perjanjian dianggap sah dan mengikat apabila adanya kesepakatan atau
persetujuan dari para pihak yang akan mengadakan suatu perjanjian[7]. Perjanjian
dianggap telah terjadi apabila para pihak telah membuat suatu kesepakatan atau
persetujuan. Kesepakatan atau persetujuan merupakan pertemuan kehendak dari
masing-masing pihak yang terlibat dalam perjanjian. Seorang yang memberikan
kesepakatan atau persetujuan berarti benar-benar menghendaki apa yang
disepakatinya Suatu kesepakatan atau persetujuan harus dinyatakan baik
dalam bentuk lisan, tulisan ataupun gesture yang dapat dimaknai sebagai kesepakatan
atau persetujuan. Kesepakatan harus terjadi secara timbal balik dari para pihak yang
mengadakan perjanjian yaitu apa yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan oleh
pihak yang satu terhadap pihak lainnya atau apa yang harus diterima oleh pihak yang
satu dan apa yang harus dilakukan oleh pihak lainnya secara timbal balik.
Kesepakatan merupakan salah satu syarat sahnya sebuah perjanjian[9].
Suatu kesepakatan atau pertemuan kehendak dari para pihak yang terlibat
dalam perjanjian tidak terjadi secara spontan, melainkan melalui suatu proses
penjelasan dan pemberian informasi mengenai hal-hal apa yang dikehendaki oleh
masing-masing pihak yang sekiranya dapat diterima oleh pihak yang lainnya. Dalam hal
ini terjadi dialog atau negosiasi yang berlangsung secara seimbang, maka ketika terjadi
suatu kesepakatan, maka kesepakatan tersebut adalah kesepakatan bersama.
Kesepakatan bersama inilah yang kemudian menjadi dasar perikatan diantara para
pihak yang kemudian berlaku sebagai undang-undang diantara mereka.