Anda di halaman 1dari 8

Nama : Yogi Prima Zulkifli

NIM : 217041200

Departemen Ilmu Kesehatan anak

Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar,


bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien (Indrawati, 2003 48). 

Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi interpersonal dengan titik tolak saling


memberikan pengertian antar perawat dengan pasien.

Pada kasus disebutkan bahwa pihak keluarga Tn Razi membawa seorang donor dari
keluarga mereka (adik sepupu Tn. Razi) seorang wanita berusia 28 tahun yang
dijumpai adanya gangguan kejiwaan berupa subnormal intelligence dimana donor sama
sekali tidak paham dengan kasus yang sedang terjadi termasuk prosedur-prosedur
serta resiko yang akan terjadi terhadap dirinya. Hal ini tidak masuk dalam komunikasi
terapeutik yang menjelaskan bahwa komunikasi yang direncanakan secara sadar,
bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien.

Disamping itu, pada setiap tindakan kedokteran, haruslah disertakan suatu informed
Consent, dimana Informed consent merupakan hal mutlak sebelum tindakan medis
dilakukan oleh dokter kepada pasien sebagaimana diatur pada Pasal 8 UU No. 36
Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Pasal 45 UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran.

Istilah informed consent juga dikenal persetujuan tindakan kedokteran. Ketentuan


hukum yang mengatur mengenai informed consent (persetujuan tindakan kedokteran)
dapat ditemukan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
290/MENKES/PER/III/2009 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor


290/MENKES/PER/III/2009 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran bahwa informed
consent (persetujuan tindakan kedokteran) adalah persetujuan yang diberikan oleh
pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.

Adapun pada informed consent (persetujuan tindakan kedokteran), pasien harus


mampu untuk mengambil keputusan. Pengambilan keputusan tersebut didahului
dengan penjelasan informasi yang disampaikan oleh dokter mengenai tindakan yang
hendak dilakukan, pengetesan, atau prosedur, termasuk manfaat dan resiko yang
mungkin terjadi.

Berdasarkan hal tersebut di atas, pada informed consent (persetujuan tindakan


kedokteran) pasien harus memahami informasi yang diberikan dokter. Setelah itu,
pasien memberikan izin secara sukarela atau tanpa adanya paksaan dan tekanan.

Bentuk Informed Consent (Persetujuan Tindakan Kedokteran)

Terdapat 2 bentuk informed consent (persetujuan tindakan kedokteran) sebagai berikut:

Implied Consent (Dianggap Diberikan)

informed consent (persetujuan tindakan kedokteran) dalam konteks implied consent


dapat diberikan dalam keadaan normal atau darurat (emergency). Implied consent
merupakan persetujuan yang diberikan pasien secara tersirat atau melalui isyarat yang
diberikan pasien.

Implied consent dalam keadaan normal berlaku pada tindakan medis yang biasa
dilakukan atau sudah diketahui umum misalnya pengambilan darah untuk pemeriksaan
laboratorium, penjahitan luka, dan lain-lain.

Sedangkan dalam keadaan darurat (emergency) apabila pasien dalam kondisi tidak
dapat memberikan persetujuan dan keluarganya tidak ada ditempat, maka dokter dapat
melakukan tindakan medis terbaik menurut dokter. Setelah pasien sadar maka dokter
harus segera memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarga terdekat.

Expressed Consent (Dinyatakan)


informed consent (persetujuan tindakan kedokteran) dalam konteks expressed consent
diberikan pasien secara lisan maupun tulisan. Jika tindakan medis yang dilakukan lebih
dari prosedur pemeriksaan dan tindakan yang beresiko tinggi maka sebaiknya dokter
mendapatkan persetujuan tertulis (surat izin operasi) dan pasien diberikan informasi
mengenai tindakan yang akan dilakukan.

Aspek Hukum Syarat Sahnya Perjanjian dan Cakap Hukum

Ketentuan hukum mengenai cakap hukum dan syarat sahnya perjanjian diatur dalam
Pasal 1320 dan Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Adapun syarat
sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu
sebagai berikut: Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, Kecakapan untuk membuat
suatu perikatan, Suatu hal tertentu, Suatu sebab tertentu

Adapun cakap hukum menurut Pasal 1320 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dapat ditemukan penjelasan lebih lanjut pada Pasal 1330 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata yakni sebagai berikut:

-Dewasa

-Tidak di bawah pengampuan

Menurut Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa seseorang yang telah
genap 21 tahun atau telah melangsungkan pernikahan yang dilaksanakan berdasarkan
peraturan-perundang-undangan yang berlaku maka seseorang tersebut dinilai telah
cakap hukum.

Adapun mengenai seseorang yang sedang di bawah pengampuan adalah orang-orang


yang pemabuk, pemboros, hilang akal sehatnya (orang dalam gangguan jiwa/ODGJ),
hilang ingatan, dan cacat mental.

Aspek Hukum Informed Consent (Persetujuan Tindakan Kedokteran) bagi Orang dalam
Gangguan Jiwa (ODGJ)

Ketentuan hukum mengenai informed consent (persetujuan tindakan kedokteran) bagi


orang dalam gangguan jiwa (ODGJ) diatur dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa (UU Kesehatan Jiwa).
Berdasarkan Pasal 21 ayat (4), penentuan kecakapan orang dalam gangguan jiwa
(ODGJ) untuk mengambil keputusan dalam memberikan persetujuan tindakan medis
dilakukan oleh dokter spesialis kedokteran jiwa atau dokter yang memberikan layanan
medis saat itu.

Pasal 21 ayat (4) UU Kesehatan Jiwa menegaskan bahwa yang menentukan cakap
hukum atau tidaknya orang dalam gangguan jiwa untuk mengambil keputusan dalam
rangka informed consent (persetujuan tindakan kedokteran) bergantung pada diagnosis
dokter. Adapun diagnosis tersebut berdasarkan Pasal 19 ayat (2) UU Kesehatan Jiwa
dilakukan oleh Dokter umum, Psikolog dengan peminatan klinis, dan Dokter spesialis
kedokteran jiwa (Psikiater).

Adapun dalam hal orang dalam gangguan jiwa (ODGJ) dianggap tidak cakap hukum
dalam mengambil keputusan berdasarkan diagnosis Dokter, maka informed consent
(persetujuan tindakan kedokteran) dapat diberikan oleh:

Suami/istri

Orang tua, anak, atau saudara sekandung yang paling sedikit berusia 17 (tujuh belas)
tahun

Wali atau pengampu

Pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Informed Consent

Informed consent atau persetujuan untuk tindakan medis bukanlah formalitas lembar


persetujuan medis saja. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes)
Republik Indonesia nomor 290/Menkes/PER/III/2008, persetujuan tindakan kedokteran
(informed consent) adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga yang
telah mendapatkan penjelasan secara lengkap dan rinci mengenai tindakan medis yang
akan dilakukan.
Informed consent sendiri merupakan prosedur etik yang diatur oleh hukum dan
berkaitan erat dengan pelayanan kesehatan sehari-hari. Komponen penting yang
diperlukan dalam informed consent adalah persetujuan/penolakan pasien/keluarga
yang kompeten, informasi yang jelas dan rinci mengenai tindakan medis yang akan
dilakukan, serta keterangan bahwa persetujuan diberikan tanpa paksaan.

Sebagai bentuk kurangnya pemahaman terhadap informed consent, masih sering


dijumpai seorang dokter mewakilkan permintaan persetujuan tindakan medis dari
pasien atau keluarganya melalui perawat, bidan atau penata anastesi yang bertugas di
kamar operasi. Dalam hal demikian, basanya pasien atau keluarganya hanya
disodorkan berkas persetujuan tindakan medis untuk ditandatangani tanpa
mendapatkan penjelasan yang cukup mengenai tindakan apa yang akan dilakukan,
cara pelaksanaan tindakan dan kemungkinan resiko yang dapat terjadi atas
pelaksanaan tindakan tersebut.

Mungkin saja hal ini dianggap sepele dengan alasan bahwa pasien telah
menandatangani berkas persetujuan sebagai bukti bahwa pasien telah menyatakan
persetujuannya. Namun dari sudut pandang hukum , persetujuan tindakan medis tanpa
mendapatkan penjelasan yang cukup dari dokter yang akan melakukan tindakan
tersebut dapat dianggap cacat prosedur sehingga tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat dan berpotensi untuk menimbulkan sengketa medis.

Informed consent terdiri dari dua kata yaitu informed dan consent. John M.
Echols (2003) memberi pengertian informed yaitu telah mendapatkan penjelasan atau
keterangan telah disampaikan atau diinformasikan. Sedangkan consent yang berarti
persetujuan yang telah diberikan pada seseorang untuk berbuat sesuatu. Jadi informed
consent dapat diartikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien kepada dokter
untuk melakukan tindakan kedokteran tertentu setelah mendapatkan penjelasan dari
dokter yang bersangkutan.

Setiap tindakan kedokteran yang akan dilakukan oleh dokter harus


mendapatkan persetujuan dari pasien[3]. Persetujan tersebut diberikan oleh pasien
setelah mendapatkan penjelasan yang cukup dari dokter yang akan melakukan
tindakan medis tersebut . Pemberian penjelasan oleh dokter kepada pasien sekurang-
kurangnya mencakup diagnosis dan tata cara tindakan medis; tujuan tindakan medis
yang dilakukan;

alternatif tindakan lain dan risikonya; risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
prognosis terhadap tindakan yang dilakukan[5].

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat dipahami bahwa esensi dari
persetujuan tindakan medis terletak pada proses atau tatacara dalam mencapai
persetujuan yang akan diberikan oleh pasien atau keluarganya kepada dokter.
Sedangkan berkas Persetujuan tindakan medis merupakan pengukuhan atas
persetujuan yang telah dibuat oleh pasien atau keluarganya untuk memberi izin kepada
dokter dalam melaksanakan tindakan medis.

Proses atau tatacara memperoleh persetujuan tindakan medis tidak dirinci


dengan jelas dalam Undang-Undang Praktek Kedokteran. Namun secara tersirat di
dalam ketentuan Pasal 45 Undang-Undang Kedokteran dapat dikonstruksikan suatu
proses atau tatacara dalam memperoleh persetujuan tindakan medis dari pasien atau
keluarganya sebagai berikut:

Diawali dengan sebuah hubungan hukum dalam suatu perjanjian terapeutik antara
dokter dan pasien

Adanya komunikasi terapeutik interpersonal dua arah secara berimbang yaitu antara
dokter yang akan melakukan tindakan medis tanpa diwakili dan kepada pasien yang
cakap menurut ketentuan perundang-undangan atau keluarganya yang berhak menurut
ketentuan perundang-undangan.

Komunikasi terapeutik yang dibangun adalah pemberian informasi dan penjelasan dari
dokter kepada pasien dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh pasien
dan sebaliknya pasien menyampaikan informasi kepada dokter secara lengkap, jujur
dan benar mengenai keluhan atau penyakit yang dialaminya, termasuk
mempertanyakan secara terbuka dan bebas terhadap hal-hal yang tidak dipahami atas
penjelasan yang diberikan oleh dokter.
Informasi atau penjelasan yang diberikan oleh dokter kepada pasien sekurang-
kurangnya menyangkut diagnosis dan tata cara pelaksanaan tindakan medis, mengenai
diagnosis penyakit, tujuan tindakan medis yang dilakukan;

alternatif tindakan lain dan risikonya; risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
prognosis terhadap tindakan yang dilakukan

Pasien mengambil keputusan untuk memberi persetujuan atau penolakan terhadap


tindakan medis yang akan dilakukan secara indepen, tanpa tekanan atau paksaan yang
harus dihormati oleh dokter.

Pengaturan mengenai persetujuan tindakan medis dalam praktek kedokteran


merupakan suatu perintah hukum , sehingga berkas persetujuan tindakan medis
(Informed consent) yang telah ditanda tangani oleh pasien bukan hanya sekedar
kelengkapan adminstratif belaka, melainkan telah menjadi sebuah alat bukti hukum
yang sah yang dapat diajukan oleh dokter atau pihak rumah sakit ketika menghadapi
gugatan atau tuntutan hukum dari pasien atau keluarganya.

Persetujuan tindakan medis (Informed consent) dalam hubungan hukum


perjanjian terapeutik tanpa melalui suatu proses atau tata cara yang benar menurut
hukum, dipandang sebagai suatu perjanjian yang tidak sah dan batal demi hukum atau
dianggap bahwa perjanjian tersebut tidak pernah lahir. Sebagai konsekwensi hukumnya
adalah segala kerugian , cacat atau kematian yang dialami oleh pasien menjadi
tanggung jawab hukum dokter atau pihak rumah sakit.

Suatu perjanjian dianggap sah dan mengikat apabila adanya kesepakatan atau
persetujuan dari para pihak yang akan mengadakan suatu perjanjian[7]. Perjanjian
dianggap telah terjadi apabila para pihak telah membuat suatu kesepakatan atau
persetujuan. Kesepakatan atau persetujuan merupakan pertemuan kehendak dari
masing-masing pihak yang terlibat dalam perjanjian. Seorang yang memberikan
kesepakatan atau persetujuan berarti benar-benar menghendaki apa yang
disepakatinya Suatu kesepakatan atau persetujuan harus dinyatakan baik
dalam bentuk lisan, tulisan ataupun gesture yang dapat dimaknai sebagai kesepakatan
atau persetujuan. Kesepakatan harus terjadi secara timbal balik dari para pihak yang
mengadakan perjanjian yaitu apa yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan oleh
pihak yang satu terhadap pihak lainnya atau apa yang harus diterima oleh pihak yang
satu dan apa yang harus dilakukan oleh pihak lainnya secara timbal balik.
Kesepakatan merupakan salah satu syarat sahnya sebuah perjanjian[9].
Suatu kesepakatan atau pertemuan kehendak dari para pihak yang terlibat
dalam perjanjian tidak terjadi secara spontan, melainkan melalui suatu proses
penjelasan dan pemberian informasi mengenai hal-hal apa yang dikehendaki oleh
masing-masing pihak yang sekiranya dapat diterima oleh pihak yang lainnya. Dalam hal
ini terjadi dialog atau negosiasi yang berlangsung secara seimbang, maka ketika terjadi
suatu kesepakatan, maka kesepakatan tersebut adalah kesepakatan bersama.
Kesepakatan bersama inilah yang kemudian menjadi dasar perikatan diantara para
pihak yang kemudian berlaku sebagai undang-undang diantara mereka.

Demikian halnya dengan persetujuan tindakan medis antara dokter dan


pasien, seharusnya melalui suatu proses dialog atau negosiasi yang seimbang antara
yang dikehendaki oleh dokter untuk dilakukan pasien dan yang dikehendaki oleh
pasien untuk dilakukan dokter. Timbulnya kata sepakat diantara diantara mereka
menjadi dasar hukum bagi dokter dalam melakukan suatu tindakan medis kepada
pasien dan sebaliknya menjadi dasar hukum bagi pasien untuk membayar segala biaya
dan jasa pelayanan atas tindakan medis yang diterimanya.
Informed Consent sebagai sebuah hubungan hukum perjanjian terapeutik,
maka kedudukan dokter dan pasien adalah setara yakni masing-masing bertindak
sebagai subyek hukum yang memiliki hak dan kewajiban. Kewajiban dokter merupakan
hak yang harus diterima oleh pasien dan sebaliknya kewajiban pasien merupakan hak
yang harus diterima oleh dokter atau pihak rumah sakit. Suatu hubungan disebut
sebagai hubungan hukum apabila hubungan tersebut diatur oleh hukum dan akibat
yang ditimbulkan juga diatur oleh hukum.
Pada kasus dijelaskan keluarga tersebut dijumpai adanya gangguan kejiwaan berupa
subnormal intelligence dimana donor sama sekali tidak paham dengan kasus yang
sedang terjadi termasuk prosedur-prosedur serta resiko yang akan terjadi terhadap
dirinya. Sehingga dokter ataupun pihak Rumah sakit sudah tepat dalam menolak
tindakan tersebut, karena pemberian keputusan harus dalam keadaan sadar bukan
dengan gangguan kejiwaan.

Anda mungkin juga menyukai