Anda di halaman 1dari 6

TUGAS

Program Studi Magister Ilmu Hukum


Konsentrasi Hukum Kesehatan

Hukum Rekam Medik dan Informed Consent

Dosen
Dr. dr. MC Inge Hartini, M.Kes

Diajukan oleh:
Erika Dewi Essary
21C20080

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM KESEHATAN


FAKULTAS HUKUM DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2022

1
Mata Kuliah : Hukum Rekam Medik dan Informed Consent

1. Informed Consent
a. Apakah yang dimaksud dengan informed consent ? Apa pula informed
refusal ?
b. Ada berapa jenis informed consent ? Jelaskan
c. Apa sanksinya bila tindakan medik invasif (bukan dalam kegawatdaruratan)
dilakukan tanpa informed consent ?
d. Berapa lama kewajiban RS menyimpan berkas informed consent. Sebutkan
dasar hukumnya

2. Informed Consent, Autonomy dan Hak Atas Informasi


a. Jelaskan hubungan antara informed consent, autonomy dan hak atas
informasi
b. Bagaimana implementasi informed consent di Indonesia ? Siapa yang
‘umumnya’ menerima informasi ? Siapa pula yang ‘umumnya’ memberikan
persetujuan ? Mengapa demikian ? Jelaskan pendapat Anda
c. Sesuai dengan peraturan perundang-undangan, siapa yang berhak
memberikan izin, apabila pasien akan menjalani tindakan operatif ?
Jelaskan dan sebutkan dasar hukumnya.

Jawaban:

1. Informed Consent
a. Informed berarti sudah diberikan informasi, sudah dijelaskan, diuraikan.
Consent berarti persetujuan, ijin, memberi ijin, menyetujui kepada
seseorang untuk melakukan sesuatu. Informed consent adalah ijin atau
pernyataan setuju dari pasien yang diberikan dengan bebas dan rasional,
sesudah mendapatkan informasi dari dokter dan dimengertinya
(persetujuan berdasarkan informasi). Berdasarkan Permenkes No. 290
Tahun 2008 tentang persetujuan tindakan kedokteran, Informed consent
(persetujuan tindakan kedokteran) adalah persetujuan yang diberikan
oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara
lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan

2
dilakukan terhadap pasien. Informed consent merupakan salah satu hak
pasien yang tidak dapat dipisahkan dengan rahasia kedokteran dan
rekam medis. Menurut UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan pada
Pasal 56 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang berhak menerima atau
menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan
diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi
mengenai tindakan tersebut secara lengkap. Penolakan Tindakan Medik
atau informed refusal merupakan suatu penolakan yang dilakukan
pasien sesudah diberi informasi oleh dokter. Informed refusal
diputuskan sesudah pasien diberikan informasi oleh dokternya yang
menyangkut segala sesuatu yang berkenaan dengan tindakan medik
yang akan diambil. Pasien dianggap telah memahami segala
konsekuensi yang mungkin timbul sebagai akibat dari penolakan
tersebut.
b. Informed consent secara umum dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
• Implied consent adalah persetujuan tersirat atau tidak dinyatakan.
Pasien dapat saja melakukan gerakan tubuh yang menyatakan bahwa
mereka mempersilahkan dokter untuk melaksanakan tindakan
kedokteran yang dimaksud. Contoh: saat pasien menyodorkan
lengannya ketika dokter menanyakan bersedia tidaknya diukur
tekanan darah atau saat dilakukan pengambilan darah vena untuk
pemeriksaan laboratorium.
• Expressed consent adalah persetujuan yang dinyatakan. Pasien
dapat memberikan persetujuan dengan menyatakan secara lisan
(oral consent) ataupun tertulis (written consent).
Informed consent menurut jenis tindakan/ tujuannya dapat dibagi tiga,
yaitu: yang bertujuan untuk penelitian (pasien diminta untuk menjadi
subyek penelitian), yang bertujuan untuk mencari diagnosis, dan yang
bertujuan untuk terapi. Pelaksanaan semua tindakan tersebut harus
mendapat persetujuan dari pihak pasien.
c. Sebelum memberikan tindakan medis kepada pasien, berdasarkan UU
No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran, dan Permenkes No. 290 Tahun 2008 tentang
Persetujuan Tindakan kedokteran, dokter harus mendapatkan
persetujuan medik dari pasiennya atau informed consent, karena tanpa
itu dokter dapat dipersalahkan secara hukum atas tindakannya. Informed
consent merupakan persyaratan mutlak diperlukan dalam melakukan
tindakan medik, bagi pasien melakukan tindakan tanpa disertai
persetujuan tindakan kedokteran merupakan salah satu keadaan yang
dapat menyebabkan terjadinya tuntutan malpraktek pidana karena

3
kecerobohan. Apabila tindakan medik yang dilakukan tanpa adanya
Informed Consent, maka dokter yang bersangkutan juga dapat
dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan surat izin praktik.

d. Berdasarkan Permenkes No. 24 Tahun 2022 tentang Rekam medis


disebutkan bahwa penyimpanan data rekam medis elektronik di
Fasyankes dilakukan paling singkat 25 tahun sejak tanggal kunjungan
terakhir pasien. Setelah batas waktu tersebut berakhir, data rekam medis
elektronik dapat dikecualikan untuk dimusnahkan apabila data tersebut
masih akan dipergunakan atau dimanfaatkan.

2. Informed Consent, Autonomy dan Hak Atas Informasi


a. Hubungan antara dokter dan pasien seharusnya dipandang sebagai
hubungan antar manusia yang memiliki persamaan hak yang
merupakan hak dasar manusia, yaitu: hak untuk menentukan nasibnya
sendiri (the right to self determination/ otonomi) dan hak atas informasi
(the right to information). Hak-hak tersebut dalam pelayanan medis
terwujud dalam bentuk informed consent.
b. Informed consent diberikan secara langsung oleh pasien yang kompeten
sekaligus sebagai pihak yang menerima informasi. Berdasarkan
Permenkes nomor 290 tahun 2008, pasien yang kompeten berarti pasien
dewasa di atas usia 21 tahun atau telah/pernah menikah, atau pasien
berusia 18 tahun yang tidak dikategorikan sebagai anak berdasarkan
perundang-undangan. Pasien juga dikatakan kompeten apabila
kesadarannya tidak terganggu dan tidak mengalami gangguan atau
kemunduran kesehatan mental. Namun, pada implementasinya tidak
jarang hanya pihak keluarga atau orang terdekat yang berperan sebagai
penerima informasi dan pemberi persetujuan. Hal tersebut terjadi
karena kurangnya pengetahuan mengenai informed consent, dan rasa
takut/cemas terhadap orang yang cintainya. Seharusnya hanya pada
kondisi pasien tertentu seperti kategori usia anak-anak, gangguan
kesadaran, gangguan mental, atau sedang dalam kondisi gawat darurat,
maka informed consent dapat diberikan oleh orang tua, suami/istri,
anak kandung, saudara kandung, keluarga terdekat, atau orang yang
mengantarkan pasien. Dengan catatan bahwa persetujuan yang
diberikan oleh wali yang menggantikan pasien ini harus memenuhi
tujuan utama untuk kepentingan terbaik pasien dan memaksimalkan
manfaat yang baik untuk pasien. Pada kondisi gawat darurat, informed
consent secara tersirat dari pasien umumnya dapat diterima sebagai
persetujuan tindakan.

4
c. Tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi (tindakan invasif
tertentu dan tindakan bedah) diperlukan penandatanganan formulir
suatu informed consent dan harus disertai dengan adanya diskusi
dengan pasien tentang tindakan apa yang akan dilakukan terhadap
pasien dan didokumentasikan di dalam rekam medis pasien.
Persetujuan diberikan oleh individu yang kompeten. Ditinjau dari segi
usia, berdasarkan Permenkes nomor 290 tahun 2008, pasien yang
kompeten berarti pasien dewasa di atas usia 21 tahun atau telah/pernah
menikah, atau pasien berusia 18 tahun yang tidak dikategorikan sebagai
anak berdasarkan perundang-undangan. Sedangkan anak-anak yang
berusia 16 tahun atau lebih tetapi belum berusia 18 tahun dapat
membuat persetujuan tindakan kedokteran tertentu yang tidak berisiko
tinggi apabila mereka dapat menunjukkan kompetensinya dalam
membuat keputusan. Alasan hukum yang mendasarinya adalah sebagai
berikut:
i) Berdasarkan Kitab Undang-Undang (UU) Hukum Perdata maka
seseorang yang berumur 21 tahun atau lebih atau telah menikah
dianggap sebagai orang dewasa dan oleh karenanya dapat memberikan
persetujuan.
ii) Berdasarkan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maka
setiap orang yang berusia 18 tahun atau lebih dianggap sebagai orang
yang sudah bukan anak-anak. Dengan demikian mereka dapat
diperlakukan sebagaimana orang dewasa yang kompeten, dan oleh
karenanya dapat memberikan persetujuan.
iii) Mereka yang telah berusia 16 tahun tetapi belum 18 tahun memang
masih tergolong anak menurut hukum, namun dengan menghargai hak
individu untuk berpendapat sebagaimana juga diatur dalam UU No 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka mereka dapat
diperlakukan seperti orang dewasa dan dapat memberikan persetujuan
tindakan kedokteran tertentu, khususnya yang tidak berisiko tinggi.
Untuk itu mereka harus dapat menunjukkan kompetensinya dalam
menerima informasi dan membuat keputusan dengan bebas. Selain itu,
persetujuan atau penolakan mereka dapat dibatalkan oleh orang tua atau
wali atau penetapan pengadilan.
Seseorang pasien dengan gangguan jiwa yang berusia 18 tahun atau lebih
tidak boleh dianggap tidak kompeten sampai nanti terbukti tidak kompeten
dengan pemeriksaan. Sebaliknya, seseorang yang normalnya kompeten,
dapat menjadi tidak kompeten sementara sebagai akibat dari nyeri hebat,
syok, pengaruh obat tertentu atau keadaan kesehatan fisiknya. Anak-anak
berusia 16 tahun atau lebih tetapi di bawah 18 tahun harus menunjukkan

5
kompetensinya dalam memahami sifat dan tujuan suatu tindakan
kedokteran yang diajukan. Jadi, kompetensi anak bervariasi bergantung
kepada usia dan kompleksitas tindakan.

Anda mungkin juga menyukai