Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

“INFORMED CONSENT”

Dosen : Farah Fadhila, M.Tr.Keb

Oleh :
Septiana Aisya'ri
2022206206023

PROGRAM STUDI S1 KEBIDANAN


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU LAMPUNG
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karuniaNya
penulis akhirnya dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat waktu. Dan dengan
mengucap puji syukur atas curahan kasih karunia-Nya kepada penulis, terutama
ilmu dan akal sehat sehingga dengan ijin-Nya penulis dapat menyusun dan
menyelesaikan makalah yang berjudul “INFORMED CONSENT”
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan makalah ini penuh
keterbatasan dan masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu, saran yang
konstruktif merupakan bagian yang tak terpisahkan dan senantiasa kami harapkan
demi penyempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi banyak pihak. Allahumma Amin.

Pringsewu, September 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belaka#ng..............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................1
1.3 Tujuan ...........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Informed Consent..........................................................................3
2.2 Dasar Hukum Informed Consent.....................................................................4
2.3 Bentuk Informed Consent................................................................................5
2.4 Tujuan Den Manfaat Informed Consent..........................................................6
2.5 Element Informed Consent..............................................................................7
2.6 Etik Dalam Informed Consent.........................................................................8

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan......................................................................................................12
3.2 Saran................................................................................................................14

BAB IV DAFTAR PUSTAKA


LAMPIRAN INFORMED CONSENT

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Informed conset atau persetujuan tindakan medis atau persetujuan
tindakan kebidanan merupakan suatu persetujuan yang dibuat oleh pasien atau
keluarganya, untuk memberikan izin terhadap bidan dalam melakukan
serangkaian pemeriksaan, menetapkan diagnosis , melakukan pemeriksaan fisik
dan penunjang medis dan melakukan tindakan medis tertentu kepada pasien.
Persetujuan tersebut diberikan oleh pasien atau keluarganya setelah melalui suatu
proses komunikasi interpersonal dua arah yang berimbang. Dalam proses
komunikasi tersebut bidan memberikan penjelasan atau informasi medis kepada
pasien perihal diagnosa penyakit dan tata cara tindakan medis; tujuan tindakan
medis yang dilakukan; alternatif tindakan lain dan risikonya; risiko dan
komplikasi yang mungkin terjadi; dan prognosis terhadap tindakan yang
dilakukan, sedangkan pasien dapat mempertanyakan hal-hal yang dianggap
kurang jelas, mempertanyakan pengalaman bidan dalam menangani kasus yang
sama seperti dialami oleh pasien , mempertanyakan kemungkinan resiko ,
mempertanyakan alternatif tindakan lain dengan segala keuntungan dan kerugian
dan mempertanyakan kemungkinan besaran biaya yang harus ditanggung oleh
pasien. Persetujuan tindakan medis yang diberikan oleh pasien atau keluarganya
harus bebas dari intervensi , tekanan atau ketakutan. Apapun yang diputuskan oleh
pasien harus dihargai .
Pada awal abad ke-20 telah tumbuh bidang hukum yang bersifat khusus
(lex spesialis), salah satunya hukum kesehatan, yang berakar dari pelaksanaan hak
asasi manusia memperoleh kesehatan (the Right to health care). Masing-masing
pihak, yaitu yang memberi pelayanan (medical providers) dan yang menerima
pelayanan (medical receivers) mempunyai hak dan kewajiban yang harus
dihormati.

1
Agar dapat menanggulangi masalah secara proporsional dan mencegah apa
yang dinamakan malpraktek di bidang kebidanan, perlu adanya informed
consent (persetujuan penjelasan) dan informed choice (pilihan pasien).

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari informed consent?
2. Apa tujuan dari informed consent?
3. Bagaimanakah langkah-langkah pencegahan masalah etik?
4. Bagaimanakah bentuk informed consent?

1.3 Tujuan Pembahasan


1. Mengetahui dan mengerti informed consent
2. Mengetahui tujuan dari informed consent?
3. Mengetahui langkah-langkah pencegahan masalah etik?
4. Mengetahui bentuk informed consent?

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Informed Consent


Informed Consent adalah persetujuan tindakan kebidanan yang diberikan
kepada pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara
lengkap mengenai tindakan kebidanan yang akan dilakukan terhadap pasien
tersebut.
Dalam Permenkes no 585 tahun 1989 ( pasal 1), Informed concent ditafsirkan
sebagai persetujuan tindakan medis adalah persetujuan yang diberikan pasien atau
keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang dilakukan
terhadap pasien tersebut.

2.2 Dasar Hukum Informed Consent


Di Indonesia perkembangan “informed consent” secara yuridis formal,
ditandai dengan munculnya pernyataan Ikatan Bidan Indonesia (IDI) tentang
“informed consent” melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988.
Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang
“Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent”. Hal ini tidak berarti para
bidan dan tenaga kesehatan di Indonesia tidak mengenal dan melaksanakan
“informed consent” karena jauh sebelum itu telah ada kebiasaan pada pelaksanaan
operatif, bidan selalu meminta persetujuan tertulis dari pihak pasien atau
keluarganya sebelum tindakan operasi itu dilakukan.
Baru sekitar tahun 1988 di Indonesia ada peraturan dan pedoman bagi para
bidan untuk melaksanakan konsep informed consent dalam praktek sehari-hari
yakni berupa fatwa PB. IDI No. 319/PB/A.4/88 tentang informed consent, yang
kemudian diadopsi isinya hampir sebagian besar oleh Permenkes No. 585 Tahun
1989 tentang persetujuan tindakan medik.
Dengan adanya peraturan Permenkes No.585 Tahun 1989 tentang
persetujuan tindakan medik, maka peraturan tersebut menjadi aturan pelaksanaan
dalam setiap tindakan medis yang berhubungan dengan persetujuan dan

3
pemberian informasi terhadap setiap tindakan medik. Peraturan tersebut
menyebutkan bahwa setiap tindakan medik harus ada persetujuan dari pasien yang
diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Permenkes No.585 Tahun 1989, yang berbunyi
“semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat
persetujuan”. Adanya pengaturan mengenai informed consent yang terdapat
dalam Permenkes No.585 Tahun 1989 tersebut juga diperkuat dengan adanya
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kebidanan yang terdapat
pada Pasal 45 ayat (1) sampai (6) yang berbunyi: Pasal 45 ayat
1. Setiap tindakan kebidanan atau kebidanan gig iyang akan dilakukan oleh
bidan atau bidan gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien
mendapat penjelasan secara lengkap.
3. Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya
mencakup:
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan prognosis terhadap
tindakan yang dilakukan.
4. Persetujuan sebagaimana dimaksud padaf ayat (2) dapat diberikan baik
secara tertulis maupun lisan.
5. Setiap tindakan kebidanan atau kebidanan gigi yang mengandung risiko
tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani
oleh yang berhak memberikan persetujuan.
6. Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kebidanan atau
kebidanan gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (30),
ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menter.
Dari Ketentuan Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kebidanan tersebut terutama pada pasal 45 ayat (6) menyebutkan bahwa
pengaturan mengenai tata cara persetujuan tindakan kebidanan (informend
consent) diatur oleh peraturan menteri yaitu Permenkes No.585 Tahun 1989.

4
2.3 Bentuk Informed Consent
Informed consent harus dilakukan setiap kali akan melakukan tindakan medis,
sekecil apapun tindakan tersebut. Menurut depertemen kesehatan (2002),
informed consent dibagi menjadi 2 bentuk :
1) Implied consent.
Yaitu persetujuan yang dinyatakan tidak langsung. Contohnya: saat bidan
akan mengukur tekanan darah ibu, ia hanya mendekati si ibu dengan membawa
sfingmomanometer tanpa mengatakan apapun dan si ibu langsung menggulung
lengan bajunya (meskipun tidak mengatakan apapun, sikap ibu menunjukkan
bahwa ia tidak keberatan terhadap tindakan yang akan dilakukan bidan)
2) Express Consent.
Express consent yaitu persetujuan yang dinyatakan dalam bentuk tulisan atau
secara verbal. Sekalipun persetujuan secara tersirat dapat diberikan, namun sangat
bijaksana bila persetujuan pasien dinyatakan dalam bentuk tertulis karena hal ini
dapat menjadi bukti yang lebih kuat dimasa mendatang. Contoh, persetujuan
untuk pelaksanaan sesar.
Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan
medis (pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (petugas kesehatan)
untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :
a. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang
mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes
No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No.
319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang
mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan
tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang
adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko yang berkaitan
dengannya (telah terjadi informed consent);
b. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang
bersifat non-invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan
oleh pihak pasien;

5
c. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya
pasien yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung
menyodorkan lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan
dilakukan terhadap dirinya.

2.4 Tujuan dan Manfaat Informed Consent


A. Tujuan
1. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan petugas
kesehatan yang sebenarnya tidak diperlukan dan secara medik tidak ada
dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya.
2. Memberi perlindungan hukum kepada petugas kesehatan terhadap suatu
kegagalan dan bersifat negatif, karena prosedur medik modern bukan
tanpa resiko, dan pada setiap tindakan medik ada melekat suatu resiko
( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3)
B. Manfaat
1. Membantu kelancaran tindakan medis. Melalui informed consent, secara
tidak langsung terjalin kerjasama antara bidan dank lien sehingga
memperlancar tindakan yang akan dilakukan. Keadaan ini dapat
meningkatkan efisiensi waktu dalam upaya tindakan kedaruratan.
2. Mengurangi efek samping dan komplikasi yang mungkin terjadi. Tindakan
bidan yang tepat dan segera, akan menurunkan resiko terjadinya efek
samping dan komplikasi.
3. Mempercepat proses pemulihan dan penyembuhan penyakit, karena si ibu
memiliki pemahaman yang cukup terhadap tindakan yang dilakukan.
4. Meningkatkan mutu pelayanan. Peningkatan mutu ditunjang oleh tindakan
yang lancar, efek samping dankomplikasi yang minim, dan proses
pemulihan yang cepat.
5. Melindungi bidan dari kemungkinan tuntutan hukum. Jika tindakan medis
menimbulkan masalah, bidan memiliki bukti tertulis tentang persetujuan
pasien.

6
2.5 Elemen Informed Consent
Ada tiga element yang membentuk Informed Consent, yaiutu :
A. Threeshold elements.
Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena
sifatnya lebih ke arah syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang
kompeten (cakap). Kompeten disini diartikan sebagai kapasitas untuk membuat
keputusan medis. Kompetensi manusia untuk membuat keputusan sebenarnya
merupakan suaut kontinuum, dari sama sekali tidak memiliki kompetensi hingga
memiliki kompetensi yang penuh. Diantaranya terdapat berbagai tingkat
kompetensi membuat keputusan tertentu (keputusan yang reasonableberdasarkan
alasan yang reasonable)
Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) apabila telah dewasa,
sadar dan berada dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan.
Dewasa diartikan sebagai usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah
menikah. Sedangkan keadaan mental yang dianggap tidak kompeten adalah
apabila mempunyai penyakit mental sedemikian rupa sehingga kemampuan
membuat keputusan menjadi terganggu.
B. Information elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure(pengungkapan)
dan understanding (pemahaman). Pengertian ”berdasarkan pemahaman yang
adekuat membawa konsekuensi kepada tenaga medis untuk memberikan
informasi (disclosure) sedemikian rupa sehingga pasien dapat mencapai
pemahaman yang adekuat. Dalam hal ini, seberapa ”baik” informasi harus
diberikan kepada pasien, dapat dilihat dari 3 standar, yaitu :
a. Standar Praktik Profesi
Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria ke-adekuat-an informasi
ditentukan bagaimana biasanya dilakukan dalam komunitas tenaga medis. Dalam
standar ini ada kemungkinan bahwa kebiasaan tersebut di atas tidak sesuai dengan
nilai-nilai sosial setempat, misalnya resiko yang ”tidak bermakna” (menurut
medis) tidak diinformasikan, padahal mungkin bermakna dari sisi sosial pasien.
b. Standar Subyektif

7
Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien
secara pribadi, sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien
tersebut dalam membuat keputusan. Kesulitannya adalah mustahil (dalam hal
waktu/kesempatan) bagi profesional medis memahami nilai-nilai yang secara
individual dianut oleh pasien.
c. Standar pada reasonable person
Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu
dianggap cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan
umumnya orang awam.

2.6. Etik Dalam Informed Consent


Langkah-langkah pencegahan masalah etik, dalam pencegahan konflik etik
dikenal ada 4, yang urutannya adalah sebagai berikut :
1. Informed concent
2. Negosiasi
3. Persuasi
4. Komite etik
Informed concent merupakan butir yang paling penting, kalau informed
concent gagal, maka butir selanjutnya perlu dipergunakan secara berurutan sesuasi
dengan kebutuhan. Informed concent adalah persetujuan yang diberikan oleh
pasien/walinya yang berhak terhadap bidan untuk melakukan suatu tindakan
kebidanan terhadap pasien sesudah memperoleh informasi lengkap dan yang
dipahaminya mengenai tindakan itu.
Ada dua dimensi dalam proses informed concent :
a) Dimensi yang menyangkut hokum
Dalam hal ini informed concent merupakan perlindungan bagi pasien
terhadap bidan yang berperilaku memaksakan kehendak, dimana proses
informed concent sudah memuat :
1. Keterbukaan informasi dari bidan kepada pasien
2. Informasi tersebut harus dimengerti pasien

8
3. Memberikan kesempatan kepada pasien untuk memberikan kesempatan
yang baik
b) Dimensi yang meyangkut etik.

Dari proses informed concent terkandung nilai etik sebagai berikut :


1) Menghargai kemandirian/otonomi pasien
2) Tidak melakukan intervensi melainkan membantu pasien bila
dibutuhkan/diminta sesuai dengan informasi yang telah dibutuhkan
3) Bidan menggali keinginan pasien baik yang dirasakan secara subjektif
maupun sebagai hasil pemikiran yang rasional.
Alur yang senantiasa berurutan, pada tahap pertama bidan dengan pasien
dihubungkan dengan suatu dialog, forum informasi (informed), kemudian terjadi
pilihan (choice) dan pengambilan keputusan. Terdapat 2 keluaran pengambilan
keputusan:
1. Menyetujui sehingga menandatangani form persetujuan
2. Menolak dengan menandatangani form penolakan.
Sehingga baik persetujuan maupun penolakan sebaiknya dituangkan dalam
bentuk tertulis, jika terjadi permasalahan, maka secara hukum bidan mempunyai
kekuatan hukum karena mempunyai bukti tertulis, jika terjadi permasalahan, maka
secara hukum bidan mempunyai kekuatan hukum karena mempunyai bukti
tertulis yang menunjukkan bahwa prosedur pemberian informasi telah dilalui dan
keputusan ada di tangan klien untuk menyetujui atau menolak. Hal ini sesuai
dengan hak pasien untuk menentukan diri sendiri, yaitu pasien berhak menerima
atau menolak tindakan atas dirinya setelah diberi penjelasan sejelas-jelasnya.
Pelaksanaan informed consent cukup sulit terbukti masih ditemukan beberapa
masalah yang dihadapi oleh pihak bidan atau rumah sakit atau rumah bersalin,
yaitu:
a. Pengertian kemampuan secara hukum dari orang yang akan
menjalani tindakan, serta siapa yang berhak menandatangani surat
persetujuan dimana harus ditentukan peraturan mengenai batas
usia, kesadaran, kondisi mentalnya dan sebagainya. Sampai sejauh

9
mana orang yang sedang merasa kesakitan, seperti misalnya ibu
inpartu mampu menetapkan pilihan atau berkonsentrasi terhadap
penjelasan yang diberikan. Apakah orang dalam keadaan sakit
mampu secara hukum menyatakan persetujuan.
b. Masalah wali yang sah. Timbul apabila pasien atau ibu tidak
mampu secara hukum untuk menyatakan persetujuannya.
c. Masalah informasi yang diberikan yaitu seberap jauh informasi
dianggap telah dijelaskan dengan cukup jelas, tetapi juga tidak
terlalu terinci sehingga dianggap menakut-nakuti.
d. Dalam memberikan persetujuan, apakah diperlukan sanksi, apabila
diperlukan apakah sanksi tersebut perlu menandatangani formulir
yang ada. Bagaimana menentukan sanksi.
e. Dalam keadaan darurat, misalnya kasus perdarahan pada ibu
hamil, dan keluarganya belum dapat dihubungi, dalam keadaan
seperti ini siapakah yang berhak memberikan persetujuan,
sementara pasien perlu segera ditolong. Bagaimana perlindungan
hukum kepada si bidan yang melakukan tindakan atas dasar
keadaan darurat dan dalam upaya penyelamatan jiwa ibu dan
janinnya.
Akhirnya bahwa manfaat informed consent adalah untuk mengurangi
keadaan malpraktek dan agar bidan lebih berhati-hati dan alur pemberian
informasi benar-benar dilakukan dalam memberikan pelayanan kebidanan.

10
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Informed Consent adalah persetujuan tindakan kebidanan atau kebidanan yang
diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan
secara lengkap mengenai tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.
Informed Choice adalah membuat pilihan setelah mendapatkan penjelasan
tentang alternatif asuhan yang akan dialaminya, pilihan (choice).Persetujuan
(consent) penting dari sudut pandang bidan, karena berkaitan dengan aspek
hukum yang memberikan otoritas untuk semua prosedur yang dilakukan oleh
bidan.Pilihan (choice) lebih penting dari sudut pandang wanita (pasien) sebagai
konsumen penerima jasa asuhan kebidanan.

3.2 Saran
Sebelum melakukan tindakan medis, bidan dan klien harus membuat dan/atau
menyetujui informed consent dan informed choice agar dapat menanggulangi
masalah secara proporsional dan mencegah apa yang dinamakan malpraktek di
bidang kebidanan.

11
DAFTAR PUSTAKA

Dita Kristiana, D. K. (2021). Tinjauan yuridis pelaksanaan informed consent


pemasangan AKDR pada akseptor KB. Jurnal Kebidanan, 10(1), 89-96.

Dyaswaranti, A., Sri Wahtini, S. K. M., & Kes, M. H. (2018). HUBUNGAN


PENERAPAN INFORMED CONSENT TERHADAP TINGKAT KEPUASAN
PASIEN DALAM PELAYANAN AKSEPTOR KB DI PUSKESMAS
KALASAN SLEMAN YOGYAKARTA (Doctoral dissertation, Universitas'
Aisyiyah Yogyakarta).

Sari, D. P., Brahmana, I. B., Inayati, I., & Majdwati, A. (2020). TINGKAT
KEPUASAN PEMASANGAN DAN KENDALA PEMAKAIAN
PENGGUNA KB IUD PASCA SALIN. Jurnal Keperawatan dan
Kesehatan Masyarakat Cendekia Utama, 9(2), 120-125.

Mildiana, Y. E. (2023). Hubungan Persepsi Supervisi Bidan Desa dengan


Penerapan Informed Choice dan Informed Consent pada Pelayanan
Kontrasepsi. Jurnal Keperawatan, 21(1), 87-102.

Astuti, L. P., Prasida, D. W., & Wardhani, P. K. (2017). Peran Dan Fungsi Bidan
Dalam Pelaksanaan Informed Consent Pada Kegawat Daruratan Obstetri Di
Puskesmas. Jurnal Kebidanan, 101-120.

12
Lampiran

13
14

Anda mungkin juga menyukai