Anda di halaman 1dari 17

ANALISA KASUS PELANGGARAN HUKUM

PERMENKES RI NO.290/MENKES/PER/III/2008
TENTANG PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN

MAKALAH
Untuk memenuhi tugas matakuliah
Manajemen Informasi Kesehatan

Oleh
1. Virda Fanadia Fahma 1604000005
2. Nugrahaning Widi A 1604000007
3. Evy Setyowati 1604000019
4. Jihan Sinatrya 1604000021
5. Bunga Alif Diandara M 1604000047
6. Herisa Eril Hidayat 1604000055
7. Annisa Rahmayanti 1604000087
8. Azazani Kris Hanawati 1604000091

POLITEKNIK KESEHATAN MALANG


JURUSAN KESEHATAN TERAPAN
D-III PEREKAM MEDIS DAN INFORMASI KESEHATAN
Februari 2018
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
segala limpahan rahmat dan karunia-Nya telah memudahkan penulis untuk
menyelesaikan mekalah yang berjudul “Analisa Kasus Pelanggaran Hukum
PERMENKES RI NO.290/MENKES/PER/III/2008 Tentang Persetujuan
Tindakan Kedokteran” sehingga penulis dapat memenuhi salah satu tugas
matakuliah Manajemen Informasi Kesehatan.
Dalam penyususunan makalah ini penulis menyadari bahwa berkat dari
tuntunan dan bantuan dari semua pihak yang telah membantu, penulis
menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya. Dan penulis
menyadari dalam proses penulisan makalah ini masih dari jauh kesempurnaan
baik materi maupun dalam cara penulisannya. Namun demikian, penulis telah
berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga
dapat selesai dengan baik. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca.

Malang, Februari 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ...................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 3
2.1 Informed Consent ..................................................................................... 3
2.2 Kasus Pencabutan Gigi yang Dilakukan Tanpa Persetujuan .................... 7
2.2.1 Kronologi .......................................................................................... 7
2.2.2 Analisa Kasus Hukum ..................................................................... 10
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 12
3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 12
3.2 Saran ....................................................................................................... 13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Persetujuan tindakan medis (Informed Consent) adalah pernyataan

persetujuan (consent) atau izin dari pasien yang diberikan dengan bebas,

rasional, tanpa paksaan (voluntary) tentang tindakan kedokteran yang akan

dilakukan terhadapnya sesudah mendapatkan informasi yang cukup tentang

tindakan kedokteran yang dimaksud. Persetujuan ini bisa dalam bentuk lisan

maupun tertulis. Pada hakikatnya informed consent adalah suatu proses

komunikasi antara dokter dan pasien tentang kesepakatan tindakan medis yang

akan dilakukan dokter terhadap pasien (ada kegiatan penjelasan rinci oleh

dokter), sehingga kesepakatan lisan pun sesungguhnya sudah cukup.

Penandatanganan formulir Informed Consent secara tertulis hanya merupakan

pengukuhan atas apa yang telah disepakati sebelumnya. Formulir ini juga

merupakan suatu tanda bukti yang akan disimpan di dalam arsip rekam medis

pasien (Guwandi J, 2004).

Informed Consent berakar dalam nilai-nilai otonomi di dalam

masyarakat yang diyakini sebagai hak-hak mereka dalam menentukan

nasibnya sendiri apabila akan dilakukan tindakan medis. Informed Consent

sebagai mana bentuknya telah mengalami suatu proses panjang, sumber dasar

dari filsafah moral, sosial-budaya dan politik.

Di Indonesia masalah Informed Consent sudah diatur dalam Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 290/MENKES/PER/III/2008.

1
namun dalam pelaksanaannya belum sebagaimana mestinya, masih ditemui

kendala-kendala yang menyangkut bidang sosial-budaya dan kebiasaan.

Makalah ini dibuat dengan maksud untuk memberikan informasi

tentang analisa kasus pelanggaran hukum mengenai persetujuan tindakan

kedokteran berdasarkan pada PERMENKES RI nomor 290 tahun 2008.

Bertujuan untuk menciptakan dokter yang berperilaku baik dan selalu

memegang teguh prinsip-prinsip bioetika dan tidak melanggar etika

kedokteran dalam memberi pelayanan pada pasien terutama dalam pemberian

informasi yang jelas mengenai tindakan kedokteran yang dilakukan kepada

pihak pasien.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang sebelumnya, berikut rumusan

masalah pada makalah ini.

“Bagaimana contoh kasus pelanggaran hukum PERMENKES RI

nomor 290 tahun 2008 tentang persetujuan tindakan kedoteran di Indonesia

beserta analisanya?

1.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, berikut ini tujuan penulisan

makalah.

a. Menganalisis Penyebab Pelanggaran Hukum PERMENKES RI

nomor 290 tahun 2008

b. Menganalisis Penyelesaian Kasus Pelanggaran Hukum

PERMENKES RI nomor 290 tahun 2008.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Informed Consent

PERMENKES no.290 Tahun 2008 tentang informed consent Pasal 1

Huruf a menyatakan bahwa persetujuan tindakan medis/ informed consent adalah

persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan

mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut;

sedangkan tindakan medis menurut Pasal I Huruf b adalah suatu tindakan yang

dilakukan terhadap pasien berupa diagnostik atau terapeutik.

Sebelum memberikan Pertindik (persetujuan tindakan kedokteran) pasien

seharusnya menerima informasi tentang tindakan medis yang diperlukan, namum

ternyata mengandung risiko. Pertindik harus ditandatangani oleh penderita atau

keluarga terdekatnya dan disahkan minimum satu orang saksi dari pihak pasien.

Informasi dan penjelasan yang perlu diberikan dalam Pertindik meliputi hal-hal

berikut:

a. Informasi harus diberikan, baik diminta maupun tidak.

b. Informasi tidak diberikan dengan mempergunakan istilah kedokteran

yang tidak dimengerti oleh orang awam.

c. Informasi diberikan sesuai dengan tingkat pendidikan, kondisi, dan

situasi pasien

d. Informasi diberikan secara lengkap dan jujur, kecuali jika dokter

menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kesehatan pasien,

3
atau pasien menolak untuk diberikan informasi. Dalam hal ini

informasi dapat diberikan kepada keluarga terdekat.

e. Informasi dan penjelasan tentang tujuan dan prospek keberhasilan

tindakan medis yang akan dilakukan.

f. Informasi dan penjelasan tentang tata cara tindakan medis yang akan

dilakukan.

g. Informasi dan penjelasan tentang risiko dan komplikasi yang mungkin

terjadi.

h. Informasi dan penjelasan tentang alternatif tindakan medis lain yang

tersedia serta resikonya masing-masing.

i. Informasi dan penjelasan rentang prognosis penyakit apabila tindakan

medis tersebut dilakukan.

1) Untuk tindakan bedah atau tindakan invasif lain, informasi harus

diberikan oleh dokter yang melakukan operasi, atau dokter lain

dengan sepengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung

jawab.

2) Untuk tindakan yang bukan bedah atau tindakan yang tidak invasif

lainnya, informasi dapat diberikan oleh dokter lain atau perawat

dengan sepengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung

jawab.

Kewajiban untuk memberikan informasi dan penjelasan berada di tangan

dokter yang akan melakukan tindakan medis. Dokterlah yang paling bertanggung

jawab untuk melakukan informasi dan penjelasan yang diperlukan. Apabila dokter

yang akan melakukan tindakan medis berhalangan untuk memberikan informasi

4
dan penjelasan maka dapat diwakilkan pada dokter lain dengan sepengetahuan

dokter yang bersangkutan.

Pasal 2 Ayat (1) Permenkes tentang Pertindik menentukan bahwa semua

tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan.

Bentuk persetujuan itu sendiri dapat diberikan secara tertulis maupun lisan. Dalam

praktiknya, Pertindik dapat diberikan oleh pasien dengan cara-cara berikut.

1) Dinyatakan (expressed) secara lisan atau tertulis. Dalam hal ini bila

yang dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaan dan tindakan bisa

yang mengandung risiko, misalnya pembedahan.

2) Dianggap diberikan (implied or tacit consent), yaitu dalam keadaan

biasa atau dalam keadaan darurat. Persetujuan diberikan pasien secara

tersirat tanpa pernyataan tegas yang disimpulkan dokter dari sikap dan

tindakan pasien misalnya tindakan media berupa pemberian suntikan

penjahitan luka, dan sebagainya. Apabila pasien dalam keadaan gawat

darurat tidak sadarkan diri dan keluarganya tidak ada di tempat,

sedangkan dokter memerlukan tindakan segera, maka dokter dapat

melakukan tindakan medis tertentu yang terbaik menurut dokter

(persetujuannya disebut informed consent, dalam arti bila pasien dalam

keadaan sadar, maka pasien dianggap akan menyetujui tindakan yang

dilakukan dokter).

5
Dalam Pertindik yang berhak memberikan persetujuan atau penolakan

untuk dilakukannya tindakan medis tertentu setelah mendapatkan informasi,

berturut-turut adalah sebagai:

a. Pasien sendiri apabila telah berumur 21 tahun (telah dewasa) atau telah

menikah yang dalam keadaan sadar dan sehat mental.

b. Pasien di bawah umur 21 tahun, persetujuan atau penolakan diberikan

oleh ayah/ ibu kandung atau saudara-saudara kandung.

c. Pasien di bawah umur 21 tahun dan tidak mempunyai orang tua/ wali

atau orang tua/ wali berhalangan hadir, persetujuan atau penolakan

diberikan oleh keluarga terdekat atau induk semang (guardian).

d. Pasien dewasa yang menderita gangguan mental, persetujuan atau

penolakan diberikan oleh orang tua/ wali/ curator/ saudara-saudara

kandung.

e. Pasien dewasa yang berada di bawah pengampunan (curatele),

persetujuan atau penolakan diberikan oleh wali/ curator.

f. Pasien dewasa yang telah menikah persetujuan atau penolakan

diberikan oleh suami/ istri, ayah/ ibu kandung, anak-anak kandung,

saudara-saudara kandung.

Pelaksanaan Pertindik dinyatakan benar apabila memenuhi ketentuan

sebagai berikut:

a. Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan untuk tindakan

medis yang dinyatakan secara spesifik.

b. Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan tanpa paksaan.

6
c. Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan oleh seseorang

(pasien) yang sehat mental dan memang berhak untuk memberikannya

dari segi hukum.

2.2 Kasus Pencabutan Gigi yang Dilakukan Tanpa Persetujuan

2.2.1 Kronologi

NOVI, 9 tahun, berangsur-angsur sembuh. Mulutnya yang mencong

mulai kembali ke posisi semula. Kelopak matanya yang terbuka sedikit ketika

tidur sudah bisa mengatup. Sebelumnya membelalak terus. Tapi Machfud,

orangtua Novi, tetap mengajukan tuntutan. Kasus ini pekan lalu dilaporkan ke

Polres Cianjur, Jawa Barat. Menurut ayahnya yang pegawai PLN Cianjur itu,

Novi mengalami gangguan saraf setelah giginya dicabut. Peristiwanya terjadi

November tahun silam. Ketika itu 27 dokter gigi yang baru lulus dari

Universitas Trisakti, Jakarta, mengadakan aksi sosial di Cianjur. Seminggu

mereka buka praktek memeriksa gigi cuma-cuma di Balai Desa Cibeber.

Termasuk anak yang terpikat memeriksakan giginya adalah Novi, pelajar SD

Negeri Hanjawar, Cibeber. Atas inisiatifnya sendiri, hari itu Novi datang tidak

bersama orangtuanya — dan inilah yang kemudian menimbulkan masalah.

Menurut Ida Sofiah, Kepala SD Hanjawar, Novi bukan satu satunya pelajar

yang tertarik. “Mereka mau memeriksakan giginya karena dijanjikan ada

hadiah, pasta dan sikat gigi. Namanya juga anak-anak, mereka tertarik pada

hadiah gratis itu,” kata Ida.

Dalam pemeriksaan, para dokter gigi muda itu menemukan, pada

rahang bawah, salah satu gigi susu Novi sudah goyah. Selain membersihkan

giginya yang kebanyakan keropos, mereka sekaligus mencabut gigi yang

7
goyang tadi. Sesudah itu, tidak ada peristiwa luar biasa. Dua hari setelah

pencabutan giginya, muncullah keluhan Novi. Dan yang mengejutkan

orangtuanya, bibirnya kemudian mencong. Bahkan kelopak matanya tak bisa

ditutup walaupun ketika tidur. Lalu Novi dibawa berobat pada dr. Arief di

poliklinik PLN. Setelah memeriksanya, dokter ini menganjurkan agar Novi

dibawa ke RS Hasan Sadikin Bandung untuk menjalani fisioterapi. Anak itu,

menurut Arief, mengalami kontraksi otot. Dalam perawatan di RS Hasan

Sadikin, tiga kali seminggu Novi mendapat pengurutan dan latihan fisioterapi.

Kata dokter yang tak mau disebut namanya yang merawatnya di sana, Novi

mengalami trauma. Cuma tak ada keterangan rinci jenis trauma apa, bahkan

apakah itu berasal dari gigi yang dicabut. Perawatan sampai dua bulan.

Bulan ketiga ayah Novi menghentikan perawatan anaknya. “Kami

kehabisan dana. Perawatan sudah menghabiskan Rp 750 ribu,” kata Machfud.

Dan muncul pula penyesalannya: mengapa pihak Fakultas Kedokteran Gigi

(FKG) Universitas Trisakti lepas tangan. “Jangankan memberi bantuan,

menengok anak saya pun tidak,” katanya. Menurut Machfud, pada 22 Februari

ia hanya menerima surat dari drg. Hamilah D. Koesoemahardja, Dekan FKG

Trisakti. Dalam surat itu, Hamilah menolak perkiraan bahwa gangguan saraf

yang diderita Novi berpangkal dari pencabutan giginya. “Kesimpulan kami ini

tidak terdapat kaitan antara pencabutan gigi susu itu dan kelainan pada mulut

dan mata Novi,” tulis Hamilah. Juga dijelaskan oleh Hamilah, pada Februari

telah diadakan pertemuan untuk membahas kasus Novi. Pertemuan dihadiri

aparat Pemda dan Dinas Kesehatan Cianjur, dr. Arief, serta pihak FKG

Trisakti. Dalam pertemuan tersebut dr. Arief mengutarakan hasil

8
pemeriksaannya, yang menunjukkan pada bekas gigi yang dicabut itu telah

tumbuh gigi baru. Dan di bagian itu juga tak terdapat pembengkakan. Karena

itu, Hamilah menyimpulkan, pencabutan gigi tidak menimbulkan kelainan.

Sewaktu dihubungi wartawan TEMPO, pihak FKG Trisakti menampik

memberi keterangan resmi. Mereka, kata seorang pejabat di sana, memilih

bersikap diam. “Baik secara teknis maupun medis, kami tidak melakukan

kesalahan,” kata seorang pengajar yang menolak namanya disebut. “Dan para

dokter yang melakukan aksi sosial itu bisa dipertanggungjawabkan

kemampuan profesionalnya. Mereka bukan mahasiswa.”

Dari keterangan yang digali, kemudian terungkap, sebelum dan

sesudah pertemuan FKG Trisakti dengan aparat Pemda dan Dinas Kesehatan

Cianjur, sebenarnya pihak FKG Trisakti sudah berusaha mendatangi keluarga

Machfud. Ikhtiar ini dicegah oleh aparat Pemda Cianjur, yang mengatakan

“akan membereskan” persoalan tersebut. “Karena itu, kami merasa sudah

tidak ada masalah lagi,” ujar sebuah sumber. Ada masalah atau tidak, sering

terdengar bahwa pencabutan gigi bisa menimbulkan gangguan saraf dan

kerusakannya permanen — seperti mulut mencong. “Dalam literatur memang

ada,” kata drg. Ayu Astuti, ahli bedah rahang RS Hasan Sadikin. Akibatnya

juga bisa berlangsung lama. Hanya, peristiwa semacam ini jarang terjadi.

“Selama berpraktek, saya belum pernah menemukan kasus semacam itu,” ujar

Astuti. Kemungkinan penyebab terjadinya gangguan saraf, tambah Astuti,

adalah kesalahan menyuntik ketika melakukan pengebalan. Atau saat

pencabutan dilakukan ada saraf yang terkena. Dan gangguan ini lazim terjadi

langsung setelah penyuntikan atau pencabutan.

9
Dari segi medis, memang banyak yang masih harus diperdebatkan.

Sedangkan menurut Machfud, “Masalahnya bukan cuma itu saja.”

Tuntutannya juga didasarkan karena gigi anaknya dicabut tanpa meminta izin

padanya. “Izin itu memang diperlukan,” kata dr. Budi Sayuto, wakil direktur

pelayanan medik RS Hasan Sadikin. Karena pencabutan itu termasuk tindakan

invasif, orangtua Novi perlu mendapat penjelasan tentang akibatnya. Setelah

menerima penjelasan, orangtuanya harus memberikan persetujuan dengan

menandatangani surat pernyataan. Ini prosedur resminya. “Tapi kalau

pencabutan gigi tidak diperlukan izin tertulis,” kata Budi Sayuto.

2.2.2 Analisa Kasus Hukum

Seorang dokter maupun dokter gigi seharusnya meringankan beban

yang diderita pasien, bukan malah memperburuk keadaan pasien. Dan

sebelum melakukan tindakan medis, hendaknya dokter tersebut meminta

persetujuan pasien atau keluarganya dengan cara diberikan pemahaman yang

benar agar tidak terjadi kesalahpahaman. Persetujuan tersebut dapat dilakukan

secara tertulis maupun lisan.

Dalam kasus diatas yaitu tindakan pencabutan gigi tanpa dilakukan

persetujuan tindakan kedokteran melanggar PERMENKES RI no.290 tahun

2008 pada :

a. Pasal 2 ayat (1) : “Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan

terhadap pasien harus mendapat persetujuan.”

Bentuk persetujuan itu sendiri dapat diberikan secara tertulis

maupun lisan.

10
b. Pasal 13 ayat (1) : “Persetujuan diberikan oleh pasien yang

kompeten atau keluarga terdekat.”

Pada kasus tersebut dimana pasien yang masih berusia 9 tahun

maka seharusnya persetujuan atau penolakan diberikan oleh ayah/

ibu kandung atau saudara-saudara kandung.

Selain itu juga, kasus diatas yaitu tindakan pencabutan gigi tanpa

dilakukan persetujuan tindakan kedokteran juga melanggar Undang-Undang

Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yang terdapat pada Pasal

45 ayat (1) sampai (4) yang berbunyi:

(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gig iyang akan

dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus

mendapat persetujuan.

(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah

pasien mendapat penjelasan secara lengkap.

(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-

kurangnya mencakup:

a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis;

b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan;

c. Alternatif tindakan lain dan risikonya;

d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan

e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud padaf ayat (2) dapat diberikan

baik secara tertulis maupun lisan

11
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan, berikut kesimpulan yang dapat diambil

yaitu:

Seorang dokter tidak dapat sembarangan melakukan tindakan medis

terhadap pasien tanpa adanya persetujuan dari pasien yang bersangkutan atau

dari keluarga pasien, karena jika terdapat kesalahan atau terjadi hal yang

buruk sebagai akibat dari kelalaian, maka dokter tersebut akan dikenakan

sanksi sesuai dengan pasal-pasal yang terdapat pada Undang-undang Praktik

Kedokteran.

Pasien memiliki hak-hak tertentu saat menjalani perawatan kesehatan,

seperti hak untuk mendapatkankan informasi, sehingga dokter harus

memberikan informasi secara lengkap dan jelas tentang kesehatan pasien, dan

dokter hendaknya meminta persetujuan pasien sebelum melakukan tindakan

medis, karena pasien juga memiliki hak untuk memberi persetujuan. Bila

pasien masih dibawah umur, maka seorang dokter harus meminta persetujuan

orang tuanya atau keluarga, dan tidak memberikan perawatan apapun sebelum

adanya persetujuan, sehingga jika terjadi kecelakaan maka dokter tidak dapat

disalahkan.

12
3.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, dapat ditarik saran untuk dokter

berikut ini.

a. Seorang dokter hendaknya tidak lalai dalam menjalankan tugas

profesinya, sehingga tidak merugikan pasien. Kecelakaan memiliki

arti yang berbeda dengan lalai. Jika dokter telah melakukan

Standard Operational Prosedure dengan benar, maka kecelakaan

yang terjadi tidak dapat dipermasalahkan.

13
DAFTAR RUJUKAN

Novertasari, Blisa. 2010. Bioetika Kedokteran : Pencabutan Gigi Tanpa


Persetujuan (Kasus). [diakses melalui
https://blisha.wordpress.com/2010/12/22/bioetika-kedokteran-pencabutan-
gigi-tanpa-persetujuan-kasus/, pada tanggal 12 Februari 2018]
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
290/290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran. [ diakses melalui
http://bksikmikpikkfki.net/file/download/PMK%20No.%20290%20Th%2
02008%20ttg%20Persetujuan%20Tindakan%20Kedokteran.pdf, pada
tanggal 12 Februari 2018]

14

Anda mungkin juga menyukai