Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

ASPEK HUKUM REKAM MEDIS

Disusun Oleh:

HUKUM KESEHATAN
FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis berhasil menyelesaikan
makalah ini yang Alhamdulillah tepat pada waktunya, yang berjudul “Aspek
hukum rekam medis”.

Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi dan menambah


wawasan pengetahuan kita semua tentang Hukum Kesehatan.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna,


Sehubungan dengan hal ini, Kritik dan Saran dari para pembaca yang bersifat
membangun tentu penulis harapkan demi sempurnanya makalah ini

Akhir kata penulis sempatkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir Semoga
Allah senantiasa Meridhoi segala usaha kita AMIN.

Medan, 6 Januari 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................
DAFTAR ISI..............................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
a)Latar Belakang..................................................................................................
b)Rumusan Masalah.............................................................................................
c)Tujuan Penulisan...............................................................................................
BAB II
PEMBAHASAN
Jawaban Rumusan Masalah................................................................................
BAB III
PENUTUP
a)Kesimpulan.......................................................................................................
b)Saran.................................................................................................................
DAFTAR PUSAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sejak permulaan sejarah umat manusia sudah dikenal adanya hubungan
kepercayaan antara dua insan, yaitu pengobatan sang penderita, yang pada jaman
modern ini disebut dengan transaksi terapeutik antara dokter dan pasien.

Pemeriksaan, pengobatan dan perawatan akan melahirkan hubungan antara


pasien/ penderita atau keluarganya dengan dokter sebagai pribadi maupun sebagai
orang dalam bentuk badan hukum (rumah sakit, yayasan, atau lembaga lain yang
bergerak di bidang pelayanan kesehatan).Pemeriksaan, pengobatan dan perawatan
(termasuk informed consent) inilah yang akan dicatat di dalam rekaman medis,
yang dalam keputusan disebut “Medical Record.”

Pembuatan catatan medis (yang sekarang disebut Rekam Medis) di rumah


sakit atau boleh dokter pada kartu pasien di tempat praktek sebenarnya sudah
merupakan kebiasaan sejak jaman dahulu, namun belum menjadi kewajiban,
sehingga pelaksanaannya dianggap tidak begitu serius (baca pula J. Guwandi,
1991 : 73). Seiring dengan perkembangan masyarakat yang sangat dinamis;
termasuk masyarakat Indonesia, maka rekam medis menjadi sangat penting dan
dibutuhkan. Oleh karena itu, khusus di Negara Kesatuan Republik Indonesia,
pemerintah mellaui Departemen Kesehatan telah mengeluarkan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 749a/Menkes/ Per/XII/1989 tentang Rekam Medis/ Medical
Records. Dengan diterbitkannya Permenkes ini pengadaan rekam medis menjadi
suatu keharusan atau telah menjadi hukum yang harus ditaati bagi setiap sarana
pelayanan kesehatan.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dari rekam medis?
2. Apa pengertian aspek hukum?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Agar mengetahui pengertian dari rekam medis
2. Agar mengetahui pengertian dari aspek hukum
BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian Rekam Medis

Rekam medis merupakan proses yang dimulai pada saat diterimanya


pasien di rumah sakit, diteruskan kepada kegiatan pencatatan data dan dilanjutkan
kepada penaganan berkas rekam medis yang meliputi penyelenggaraan ,
penyimpanan serta pengeluaran berkas dari tempat penyimpanan untuk melayani
permintaan peminjaman untuk keperluan pasien atau yang berhubungan dengan
ketentuan hukum lainnya. Dari uraian pengertian tersebut terdapat hubungan yang
sangat erat dengan tujuan dan kegunaan dari rekam medis yaitu ALFRED seperti
disebutkan dalam pasal 1 ayat a SK Menkes No. 749a tentang rekam berguna
untuk 6 (enam) hal yang lebih spesifik (Hatta G. 1985) ialah :
1. Administratif ( aspek administrasi) Suatu berkas rekam medis yang berisi
data administrasi pasien, karena dalam isinya menyangkut tindakan berdasarkan
wewenang dan tanggungjawab sebagai tenaga medis dan paramedis dalam
pelayanan yang telah diberikan kepada pasien.
2. Legal (aspek Hukum) Suatu berkas rekam medis yang mempunyai nilai
hukum, karena dalam isinya menyangkut adanya perjanjian yang telah di berikan
dan ditandatangani oleh pasien atau pikah penanggung pasien atas tindakan yang
akan dilakukan terhadap pasien. Dalam rangka usaha menegakkan hukum dan
keadilan.
3. Finansial (aspek Keuangan) Suatu berkas rekam medis yang mempunyai
nilai keuangan, karena dalam isinya menyangkut penetapan biaya pelayanan yang
telah diberikan kepada pasien, dan tanda bukti catatan/tindakan pelayanan yang
harus dipenuhi oleh pasien atau pihak penanggungsebagai kewajibannya.
4. Riset (aspek penelitian) Suatu berkas rekam medis yang mempunyai nilai
penelitian, karena isinya menyangkut data/informasi yang dapat digunakan untuk
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.
5. Edukasi (aspek Pendidikan) Suatu berkas rekam medis yang isinya
mempunyai nilai pendidikan, karena isinya menyangkut data/informasi yang
dapat digunakan untuk pembelajaran atau bahan referensi pengajaran pendidikan
di bidang yang terkait.
6. Dokumentation (aspek Dokumentasi) Suatu berkas rekam medis yang
mempunyai nilai dokumentasi, karna isinya menjadi sumber dokumen
data/informasi yang dapat digunakan sebagai pertanggung jawaban dan bahan
laporan rumah sakit.1
Pengertian aspek hukum

Seperti yang di tuliskan dalam kegunaan rekam medis terdapat aspek legal
(aspek hukum) yaitu suatu berkas rekam medis yang mempunyai nilai hukum,
karena dalam isinya menyangkut adanya perjanjian yang telah di berikan dan
ditandatangani oleh pasien atau pihak penanggung pasien atas tindakan yang akan
dilakukan terhadap pasien. Dalam rangka usaha menegakkan hukum dan keadilan.
Dimana fungsinya ialah untuk menjaga dan melindungi rumah sakit dari sangsi
hukum. yang berisi penelaahan SK No. 269/Menkes/PER/III/2008 tentang
Rekam medis dan SK No. 290/Menkes/PER/III/2008 tentang inform consent
dapat diuraikan sebagai berikut :

1. SK No. 269/Menkes/PER/III/2008, terdapat 9 bab dan 20 pasal, peraturan


mentri kesehatan ini merupakan revisi dari permenkes
749a/MENKES/PER/XII/1989.

• Bab I Mencangkup pengertian rekam medis

• Bab II Jenis dan isi rekam medis

• Bab III Tata cara penyelenggaraan

• Bab IV Penyimpanan, pemusnahan dan kerahasiaan

• Bab V Kepemilikan, manfaat dan tanggung jawab

• Bab VI Pengorganisasian

• Bab VII Pembinaan dan pengawasan

• Bab VIII Ketentuan peralihan

1
Gemala R. Hatta, Peranan Rekam Medis/Kesehatan (Medical record) Dalam
Hukum Kedokteran, Makalah pada Kongres I PERHUKI, 8-9 Agustus, Jakarta,
1986.
• Bab IX Ketentuan penutup

Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen

Perlindungan Konsumen menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8


Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Pengertian tersebut menggambarkan bahwa hubungan antara konsumen dan
pelaku usaha (pengusaha) pada dasarnya adalah hubungan hukum yang
menimbulkan hak dan kewajiban secara timbal balik antara kedua belah pihak.
Berdasar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, Perlindungan Konsumen
bertujuan untuk:

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk


melindungi diri

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya


dari ekses negatif pamakaian barang dan/atau jasa

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan


menuntut hak-haknya sebagai konsumen

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur


kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mandapatkan
informasi

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan


konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam
berusaha

6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan


usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan konsumen.
Hak Untuk Mendapatkan Ganti Rugi

Yaitu hak konsumen untuk memperoleh ganti rugi terhadap kerugian yang
diderita atau gangguan kesehatannya. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 4 huruf h, menyebutkannya dengan hak
untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya.

Kerugian yang diderita seseorang secara garis besar dapat dibagi atas dua
bagian, yaitu kerugian yang menimpa harta benda seseorang. Sedangkan kerugian
harta benda sendiri dapat berupa kerugian nyata yang dialami serta kehilangan
keuntungan yang diharapkan. Kedua bentuk kerugian tersebut dapat dinilai
dengan uang (harta kekayaan). Penentuan besarnya ganti kerugian yang harus
dibayar, pada dasarnya harus berpegang pada asas bahwa ganti kerugian yang
harus dibayar sedapat mungkin membuat pihak yang rugi dikembalikan pada
kedudukan semula seperti sebelum terjadinya kerugian atau dengan kata lain ganti
kerugian menempatkan sejauh mungkin orang yang dirugikan dalam kedudukan
yang seandainya perjanjian dilaksanakan secara baik atau tidak terjadi perbuatan
melanggar hukum. Oleh karenanya, ganti kerugian harus diberikan sesuai dengan
kerugian yang sesungguhnya. Hak ini sangat terkait dengan penggunaan barang
atau jasa yang telah merugikan konsumen baik yang berupa kerugian materi,
maupun kerugian yang menyangkut diri (sakit, cacat, bahkan kematian)
konsumen.Di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, konsumen dapat secara langsung meminta ganti kerugian kepada
pelaku usaha, hal ini tertuang dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pelaku usaha bertanggungjawab memberi
ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
Adapun ganti rugi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tersebut dapat berupa :
a. Pengembalian uang

b. Penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya

c. Perawatan kesehatan

d. Pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan


perundangundangan yang berlaku.

Ketentuan dalam Pasal 19 ayat (2) belum memberikan perlindungan


kepada konsumen yang mengalami kerugian secara maksimal, terutama dalam hal
konsumen menderita suatu penyakit. Melalui pasal tersebut, konsumen hanya
memperoleh salah satu bentuk ganti kerugian yaitu ganti kerugian atas harga
barang atau hanya berupa perawatan kesehatan, padahal konsumen telah
menderita kerugian bukan hanya kerugian atas harga barang tetapi juga kerugian
yang ditimbulkan dari biaya perawatan kesehatan.

Perlindungan Hak Atas Ganti kerugian Bagi Konsumen Kesehatan

Setelah Undang-Undang Perlindungan Konsumen diberlakukan, maka


prinsip tanggungjawab yang dianut di dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen adalah prinsip tanggung jawab atas dasar praduga (rebuttable
presumption of liability principle). Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 19 ayat
(1) , Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan
Konsumen. Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen
menyatakan Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti kerugian atas
kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi
barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Undang-Undang
Perlindungan Konsumen mengatur lebih luas mengenai subyek yang dapat
digugat untuk mengganti kerugian. Konsumen yang dirugikan tidak hanya dapat
menggugat secara produsen, tetapi semua yang dinyatakan oleh Undang-Undang
Perlindungan Konsumen sebagai pelaku usaha, termasuk di dalamnya adalah
dokter yang dianggap sebagai pelaku usaha yang memberikan pelayanan jasa
kepada pasien selaku konsumen kesehatan. Dalam Penjelasan Umum UUPK
disebutkan bahwa UUPK pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari
hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab sampai pada
terbentuknya UUPK telah ada beberapa UU yang materinya melindungi
konsumen, seperti UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Dengan demikian
UUPK menjadi payung hukum (umbrella act) bagi peraturan perundangan-
undangan lainnya yang berhubungan dengan konsumen. Tenaga kesehatan yang
dimaksudkan disini adalah setiap orang yang mengabdikan dirinya dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan
di bidang kesehatan. Sesuai ketentuan Pasal 53 ayat (2) UU Kesehatan, setiap
tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi
standar profesi dan menghormati hak pasien. Baik standar profesi pada umumnya
maupun standar profesi mediknya. Demikian pula dengan penghormatan hak, baik
hak-hak pasien pada khususnya, maupun hak-hak konsumen pada umumnya.
Demikian pula, dalam melakukan tugasnya setiap tenaga kesehatan terikat dan
tunduk pada norma-norma yang bersifat hukum dan etik. Pelanggaran terhadap
hukum dan etika tersebut berkonsekuensi pada pemberian sanksi yang harus
dijalankannya.

Kendala Pemenuhan Hak Atas Ganti Kerugian Bagi Konsumen Kesehatan

Pasal 55 ayat (1) UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, misalnya,


hanya menyebutkan: setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau
kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan. Sementara pasal 50 UU No 29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran berbunyi: dokter dan dokter gigi berhak
memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan
standar profesi atau standar prosedur operasional. Undang-undang mengenai
praktik kedokteran, oleh banyak pihak dinilai lebih memihak dokter ketimbang
konsumen kesehatan. Undang-undang tersebut justru cenderung melindungi
dokter, bukan tenaga medis yang lain, apalagi konsumen kesehatan. Tak heran
jika dalam banyak kasus malpraktek, pasien yang menjadi korban cenderung
berada dalam posisi yang lemah. Jika ada anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
yang dilaporkan melanggar Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), maka
pasien sebagai pihak yang dirugikan dapat melapor kepada IDI setempat.
Selanjutnya Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) akan bersidang dan
menilai apakah anggota tersebut melanggar etika atau tidak. Jika terbukti, maka
IDI dapat memberikan sanksi, yang bersifat sanksi moral sampai sanksi
pemecatan dari keanggotaan IDI. Namun sayangnya, IDI tidak berwenang
mencabut izin praktik yang merupakan kewenangan pemerintah. Di lain sisi
pasien sendiri mengalami kesulitan untuk menuntut dokter secara hukum, sebab
tidak ada standar yang membedakan mana tindakan malpraktek, kecelakaan dan
kelalaian. Ganti rugi hanya diberikan bila terbukti ada kerugian yang ditanggung
pasien. Sedangkan beban pembuktian itu sendiri ada pada pasien. ”Hukum pidana
atau perdata dapat dilakukan pada dokter hanya bila terjadi kecacatan atau
kematian atau reaksi tubuh yang tidak diharapkan akibat dari pelayanan yang
tidak sesuai dengan kaidah medis”. Dari penjelasan di atas, dapat dilihat adanya
perbedaan beban pembuktian yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen dengan pembuktian yang diatur dalam Hukum Acara yang berlaku
menurut KUH Perdata.2

2
M. Yusuf Hanafiah dan Amri amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1999.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Rekam medis merupakan proses yang dimulai pada saat diterimanya
pasien di rumah sakit, diteruskan kepada kegiatan pencatatan data dan
dilanjutkan kepada penaganan berkas rekam medis yang meliputi
penyelenggaraan , penyimpanan serta pengeluaran berkas dari tempat
penyimpanan untuk melayani permintaan peminjaman untuk keperluan
pasien atau yang berhubungan dengan ketentuan hukum lainnya.
2. Seperti yang di tuliskan dalam kegunaan rekam medis terdapat aspek legal
(aspek hukum) yaitu suatu berkas rekam medis yang mempunyai nilai hukum,
karena dalam isinya menyangkut adanya perjanjian yang telah di berikan dan
ditandatangani oleh pasien atau pihak penanggung pasien atas tindakan yang
akan dilakukan terhadap pasien. Dalam rangka usaha menegakkan hukum dan
keadilan. Dimana fungsinya ialah untuk menjaga dan melindungi rumah sakit
dari sangsi hukum.

B. SARAN
1.
2.
3.
DAFTAR PUSTAKA

1. Gemala R. Hatta, Peranan Rekam Medis/Kesehatan (Medical record) Dalam


Hukum Kedokteran, Makalah pada Kongres I PERHUKI, 8-9 Agustus, Jakarta,
1986.
2 M. Yusuf Hanafiah dan Amri amir, Etika Kedokteran dan Hukum
Kesehatan,Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1999.3. Yulita Pujilestari,

Anda mungkin juga menyukai