Anda di halaman 1dari 59

REFERAT

Pembuktian Kelalaian Medis

Dosen Penguji : dr. Gatot Suharto, SH, Sp.F, M.Kes, DFM

Residen Pembimbing : dr. Stephanie Renni Anindita

Disusun oleh :

Asfarul Anam 03012036 FK TRISAKTI

Angeline 03012021 FK TRISAKTI

Yurika Afianti 03013215 FK TRISAKTI

Nadia Salima 1161050175 FK UKI

Christian Egia 1261050184 FK UKI

Prisilla Melyana 1261050198 FK UKI

KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

RSUP DOKTER KARIADI SEMARANG


PERIODE 12 JUNI 2017 – 22 JULI 2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya yang

begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat yang berjudul

Kelalaian Tindakan Medik tepat pada waktunya.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang

telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian referat ini, terutama kepada dr.

Gatot Suharto, SH, Sp.F, M.Kes, DFM selaku pembimbing yang telah memberikan

waktu dan bimbingannya sehingga referat ini dapat terselesaikan.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan referat ini masih banyak

kekurangan, oleh karena itu, segala kritik dan saran dari semua pihak yang

membangun guna menyempurnakan referat ini sangat penulis harapkan. Demikian

yang penulis dapat sampaikan, semoga referat ini dapat bermanfaat dalam bidang

kedokteran, khususnya untuk bidang kedokteran Forensik dan Medikolegal.

Jakarta, Juni 2017

Penulis

ii
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui oleh Dosen Penguji, Referat dari:

Nama/Asal Universitas:

1. Asfarul Anam FK TRISAKTI

2. Angeline FK TRISAKTI

3. Yurika Afianti FK TRISAKTI

4. Nadia Salima FK UKI

5. Christian Egia FK UKI

6. Prisilla Melyana FK UKI

Bagian : Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal

Judul : Pembuktian Kelalaian Medis

Dosen Penguji : dr. Gatot Suharto, SH, Sp.F, M.Kes, DFM

Residen Pembimbing : dr. Stephanie Renni Anindita

Diajukan sebagai salah satu syarat dalam menjalani

Kepaniteraan Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal.

Semarang, Juli 2017

Dosen Penguji,

dr. Gatot Suharto, SH, Sp.F, M.Kes, DFM

iii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL........................................................................................i

KATA PENGANTAR......................................................................................ii

LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................iii

DAFTAR ISI....................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1

1.1 Latar Belakang............................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................3

1.3 Tujuan Penulisan........................................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................4

2.1 Definisi Kelalaian Medis............................................................................4

2.2 Hubungan Dokter dan Pasien.....................................................................8

2.3 Hak dan Kewajiban Dokter........................................................................14

2.4 Bentuk Kelalaian Medis.............................................................................22

2.5 Jenis Kelalaian Medis.................................................................................24

2.6 Kriteria Kelalaian Medis.............................................................................25

2.7 Aspek Hukum Kelalaian Medis..................................................................31

2.8 Mapraktik di Bidang Medis........................................................................35

BAB III KASUS...............................................................................................42

iv
BAB IV PENUTUP..........................................................................................51

4.1 Kesimpulan.................................................................................................51

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................52

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Profesi kedokteran dan tenaga medis lainnya merupakan suatu profesi

yang sangat mulia dan terhormat dalam pandangan masyarakat. Karena dokter

dalam menjalankan tugas mediknya mempunyai alasan yang mulia, yaitu untuk

mempertahankan tubuh orang tetap sehat atau untuk menyehatkan orang yang

sakit atau setidaknya mengurangi penderitaan orang sakit. Masyarakat sepakat

bahwa perbuatan dokter yang demikian itu layak mendapatkan perlindungan

hukum sampai pada batas-batas tertentu.1

Hal ini berarti pula bagi dokter bahwa dalam menjalankan tugas mediknya

harus disesuaikan dengan batas-batas yang telah ditentukan pula agar dokter tidak

dituntut atau digugat telah bertindak yang dinilai telah merugikan masyarakat atau

digugat/dituntut ke muka pengadilan. Mengetahui batas tindakan yang

diperbolehkan dilakukan oleh seorang dokter dalam melakukan perawatan akan

menjadi sangat penting bukan saja bagi dokter, tetapi juga penting bagi para

penegak hukum lainnya.1

Apabila batasan tersebut tidak diketahui dokter dalam tugas menjalankan

tindakan profesionalnya, dokter akan menjadi ragu-ragu dalam bertindak,

terutama dalam melakukan diagnosa dan memberikan terapi terhadap penyakit

yang diderita pasien. Adalah merupakan tanggung jawab seorang dokter untuk

memberikan pelayanan kesehatan yang maksimal kepada seorang pasien, karena

1
pasien sangatlah bergantung pada kepandaian dokter untuk menyembuhkan

penyakitnya. 1

Dengan adanya Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran maka diharapkan mampu menjamin kebutuhan masyarakat akan

kesehatan sebagai hak asasi manusia dalam kaitannya dengan upaya kesehatan

yang diselenggarakan oleh praktisi di bidang kedokteran. Karena dalam UU ini

dicantumkan tentang kewajiban-kewajiban seorang dokter yang terdapat dalam

Pasal 51 yang berbunyi Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter

Yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktek. 2

Seorang dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada

masyarakat pasti akan berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi pasiennya

karena sesuai dengan tujuan diadakannya Undang-Undang Kesehatan No. 36

Tahun 2009 yang didalam Pasal 4 mengatakan bahwa ”Setiap orang berhak atas

kesehatan”.3 Dokter atau tenaga kesehatan lainnya tidaklah dapat dipungkiri

adalah manusia biasa yang penuh dengan kekurangan (merupakan kodrat

manusia). Dalam melaksanakan tugas kedokterannya yang penuh dengan resiko

ini , terkadang tidak dapat menghindarkan diri dari kekeliruan/kelalaian ataupun

kesalahan. Karena bisa saja terjadi pasien yang ditangani menjadi cacat bahkan

meninggal dunia setelah ditangani, walaupun dokter telah melakukan tugasnya

sesuai dengan standar profesi atau Standart Operating Procedure (SOP) dan/atau

standar pelayanan medik yang baik. 4

2
1.2 Rumusan Masalah

Masalah yang akan dibahas dalam referat ini adalah

1. Apa definisi dari kelalaian medis?

2. Apa saja yang termasuk bentuk kelalaian medis?

3. Apa jenis-jenis kelalaian medis di bidang pelayanan kesehatan?

4. Bagaimana suatu tindakan medis disebut sebagai kelalaian medis?

5. Bagaimana kelalaian medis ditinjau dari aspek hukumnya?

1.3 Tujuan

1. Menjelaskan definisi dari kelalaian medis

2. Menjelaskan bentuk kelalaian medis

3. Menjelaskan jenis-jenis kelalaian medis di bidang pelayanan kesehatan

4. Menjelaskan kriteria suatu kelalaian medis

5. Menjelaskan kelalaian medis ditinjau dari aspek hukumnya

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kelalaian Medis

Kelalaian medis adalah salah satu bentuk dari malpraktek medis, sekaligus

merupakan bentuk malpraktek medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya

kelalaian terjadi apabila seseorang melakukan sesuatu yang seharusnya tidak

dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh orang

lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang

sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang-per-

orang bukanlah merupakan perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila

dilakukan oleh orang yang seharusnya (berdasarkan sifat profesinya) bertindak

hati-hati, dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain.

Pengertian istilah kelalaian medik tersirat dari pengertian malpraktek medis

menurut World Medical Association (1992), yaitu: “medical malpractice involves

the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the

patient’s condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient,

which is the direct cause of an injury to the patient.”4

WMA mengingatkan pula bahwa tidak semua kegagalan medis adalah

akibat malpraktek medis. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga

sebelumnya (unforeseeable) yang terjadi saat dilakukan tindakan medis yang

sesuai standar tetapi mengakibatkan cedera pada pasien tidak termasuk ke dalam

pengertian malpraktek atau kelalaian medik. "An injury occurring in the course of

4
medical treatment which could not be foreseen and was not the result of the lack

of skill or knowledge on the part of the treating physician is untoward result, for

which the physician should not bear any liability". Dengan demikian suatu akibat

buruk yang unforeseeable dipandang dari ilmu pengetahuan dan teknologi

kedokteran pada saat dan dalam situasi dan fasilitas yang tersedia tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepada dokter.4

Sedangkan Black's Law Dictionary mendefinisikan malpraktek sebagai

"professional misconduct or unreasonable lack of skill" atau "failure of one

rendering professional services to exercise that degree of skill and learning

commonly applied under all the circumstances in the community by the average

prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or

damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them"

yaitu “kesalahan profesional atau kurangnya ketrampilan yang tidak seharusnya”

atau “kegagalan seseorang memberikan pelayanan profesional untuk

mempraktekkan derajat kemampuan dan pembelajaran yang pada umumnya

diaplikasikan di bawah semua lingkungan di masyarakat oleh anggota profesi

dengan hasil luka, kehilangan atau kerusakan pada mereka yang menerima

pelayanan tersebut atau kepada mereka yang bersandar terhadap pelayanan

tersebut.4

Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar

telah terjadi kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan

keterampilan yang ukurannya adalah lazim dipergunakan di wilayah tersebut.

Andaikata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi apakah bukan merupakan

5
resiko yang melekat terhadap suatu tindakan medis tersebut (risk of treatment)

karena perikatan dalam transaksi terapeutik antara tenaga kesehatan dengan pasien

adalah perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning verbintenis) dan bukan

perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaa verbintenis).4

Karena ketidaktahuan masyarakat pada umumnya tumbuh miskonsepsi yang

menganggap bahwa setiap kegagalan praktek medis (misalnya, hasil buruk atau

tidak diharapkan selama dirawat di rumah sakit) sebagai akibat malpraktek medis

atau akibat kelalaian medis.  Padahal perlu diingat bahwa suatu hasil yang tidak

diharapkan di bidang kedokteran sebenarnya dapat diakibatkan oleh beberapa

kemungkinan, yaitu :4

1. Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak berhubungan dengan

tindakan medis yang dilakukan dokter.

2. Hasil dari suatu risiko yang dapat diterima sebagaimana diuraikan di atas.

3. Hasil dari suatu kelalaian (culpa).

4. Hasil dari suatu kesengajaan (dolus).

Dari segi terminologi, malpraktik medik (medical malpractice) dan

kelalaian medik (negligence) merupakan dua hal yang berbeda. Kelalaian medik

memang termasuk malpraktik medik, akan tetapi di dalam malpraktik medik tidak

hanya terdapat unsur kelalaian, dapat juga karena adanya kesengajaan. Di dalam

arti kesengajaan tersirat adanya motif, sedangkan arti kata negligence lebih

berintikan ketidaksengajaan (culpa), kurang teliti, kurang hati-hati, acuh tak acuh,

sembrono, tidak peduli terhadap kepentingan orang lain, namun akibat yang

6
timbul memang bukanlah menjadi tujuannya. Perbedaan antara keduanya pun

tetap ada :4

1. Malpraktik dalam arti luas merupakan tindakan yang dilakukan dengan

sengaja yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan atau malpraktik

dalam arti sempit misalnya dengan sengaja melakukan abortus tanpa

indikasi medic, melakukan euthanasia, memberi surat keterangan medis

yang isinya tidak benar, dan sebagainya.

2. Kelalaian (negligence, culpa) merupakan tindakan yang tidak sengaja

misalnya menelantarkan pengobatan pasien karena lupa atau sembarangan

sehingga penyakit pasien bertambah berat dan kemudian meninggal

Perbedaan yang lebih jelas jika kita melihat motif yang dilakukan, yaitu :4

1. Pada malpraktik (dalam arti ada kesengajaan): tindakannya dilakukan

secara sadar, dan tujuan dari tindakannya memang sudah terarah kepada

akibat yang hendak ditimbulkan atau tidak peduli terhadap akibatnya,

walaupun ia mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa tindakannya

itu bertentangan dengan hukum yang berlaku.

2. Pada kelalaian tidak ada motif ataupun tujuan untuk menimbulkan akibat

yang terjadi. Akibat yang timbul disebabkan karena adanya kelalaian yang

sebenarnya terjadi di luar kehendaknya.

7
2.2 Hubungan Pasien Dengan Dokter

Hubungan antara pasien dan dokter merupakan hubungan kepercayaan,

kepercayaan merupakan salah satu dasar pasien berhubungan dengan dokter,

yakni dokter tersebut dapat dan mampu membantu menyembuhkan penyakitnya.

Pada umumnya seseorang tidak akan datang kepada dokter yang ia tidak percaya

akan kemampuan dokter yang mengobatinya. Hal ini disebabkan pasien sendiri

sebagai orang awam terhadap ilmu kedokteran yang tidak mengetahui penyakit

yang dideritanya, sehingga ia sangat membutuhkan orang yang dapat dipercaya

akan mampu menyembuhkan penyakitnya. Kepercayaan pasien inilah yang

mengakibatkan kedudukan dokter lebih tinggi daripada kedudukan pasien,

disamping faktor keawaman pasien terhadap profesi dokter dan faktor adanya

sikap solidaritas antar teman sejawat, serta adanya sikap isolatif terhadap profesi

lain.5

Dengan berkembangannya ilmu pengetahuan kesehatan dan

perkembangan masyarakat, maka hubungan yang bersifat timpang atau tidak

seimbang ini secara perlahan-lahan mengalami perubahan. Perubahan ini terjadi

karena: 6

1. Kepercayaan tidak lagi pada dokter secara pribadi, akan tetapi kepada

kemampuan ilmu kedokteran;

2. Adanya kecenderungan untuk menyatakan bahwa kesehatan itu bukan lagi

merupakan keadaan tanpa penyakit, akan tetapi berarti kesejahteraan fisik,

mental, dan sosial.

8
3. Semakin banyaknya peraturan yang memberikan perlindungan hukum

kepada pasien. Dengan demikian terlihat hubungan doter dengan pasien

tidak hanya bersifat medis semata, tetapi juga bersifat sosial-yuridis dan

ekonomis.

Beberapa ahli yang telah melakukan penelitian tentang hubungan antara

dokter dan pasien, baik dibidang medis, sosiologis maupun antropologis

sebagaimana dikutti oleh Veronica Komalawati menyatakan sebagai berikut:7

a. Russel, menyatakan bahwa hubungan antara dokter dan pasien lebih

merupakan hubungan kekuasaan, yaitu hubungan antara pihak yang memiliki

wewenang (dokter) sebagai pihak yang aktif, dengan pasien yang

menjalankan peran kebergantungan sebagai pihak yang pasif dan lemah

b. Freidson, Freeborn dan Darsky, menyebutkan bahwa hubungan antara dokter

dan pasien merupakan pelaksanaan kekuasaan medis oleh dokter terhadap

pasien

c. Schwarz dan Kart, mengungkapkan adanya pengaruh jenis praktik dokter

terhadap perimbangan kekuasaan antara pasien dengan dokter dalam

hubungan pelayanan kesehatan. Dalam praktik dokter umum, kendali ada

pada pasien karena kedatangannya sangat diharapkan oleh dokter tersebut,

sedangkan pada praktik dokter spesialis, kendali ada pada dokter umum

sebagai pihak yang merujuk pasiennya untuk berkonsultasi pada dokter

spesialis yang dipilihnya. Hal ini berarti bahwa hubungan pasien dengan

dokter umum lebih seimbang daripada hubungan pasien dengan dokter

spesialis.

9
d. Kisc dan Reeder, meneliti seberapa jauh pasien dapat memegang kendali

hubungan dan menilai penampilan kerja suatu mutu pelayanan medis yang

diberikan dokter kepada pasiennya. Dalam penelitian ini ditemukan adanya

beberapa faktor yang dapat mempengaruhi peran pasien dalam hubungan

pelayanan medis, antara lain jenis praktik dokter (praktik indevidual atau

praktik bersama), atau sebagai dokter dalam suatu lembaga kedokteran.

Masing-masing kedudukan tersebut merupakan variabel yang diperlukan

yang dapat memberikan dampak terhadap mutu pelayanan medis yang

diterimanya.

e. Szasz dan Hollender, mengemukakan tiga jenis prototip hubungan antara

dokter dan pasiennya, yaitu hubungan antar orang tua dan anak, antara orang

tua dan remaja, dan prototip hubungan antara orang dewasa.

Veronica Komalawati mengutip pendapat Thiroux mengatakan bahwa ada

tiga pandangan yang seharusnya antara dokter dan pasien, yaitu:8

1. Paternalisme, dokter harus berperan sebagai orang tua terhadap pasien atau

keluarganya. Hal ini disebabkan karena dokter mempunyai pengetahuan yang

superior tentang pengobatan, sedangkan pasien tidak memiliki pengetahuan

demikian sehingga harus mempercayai dokter dan tidak boleh campur tangan

dalam pengobatan yang dianjurkannya. Dalam pandangan ini segala dan

setiap keputusan tentang perawatan dan pengobatan pasien termasuk

informasi yang diberikan harus seluruhnya berada dalam tangan dokter dan

asisten profesional.

10
2. Individualisme, pasien mempunyai hak mutlak atas tubuh dan nyawanya

sendiri. Dalam pandangan ini segala dan setiap keputusan tentang perawatan

dan pengobatan pasien, termasuk mengenai pemberian informasi

kesehatannya berada dalam tangan pasien karena sepenuhnya pasien yang

mempunyai hak atas dirinya sendiri.

3. Reciprocal atau collegial, pasien dan keluarganya adalah anggota inti dalam

kelompok, sedangkan dokter, juru rawat dan profisional kesehatan lainnya

bekerja sama untuk melakukan yang terbaik bagi pasien dan keluarganya.

Dalam pandangan ini, kemampuan profesional dokter dilihat sesuai dengan

ilmu dan keterampilannya, dalam hal ini terutama mengenai hak pasien untuk

mendapatkan informasi tentang setiap prosedur yang harus didasarkan

persetujuan setelah diberi informasi secukupnya. Oleh karena itu, keputusan

yang diambil mengenai perawatan dan pengobatan harus bersifat reciprocal

(menyangkut memberi dan menerima) dan collegial (menyangkut suatu

pendekatan kelompok atau tim yang setiap anggotanya mempunyai masukan

yang sama).

Pemberian informasi ini merupakan pekerjaan/tugas dokter yang cukup

sulit karena dalam pemberian informasi itu dokter harus menghadapi berbagai

macam pasien dengan kepribadian, sifat dan sikap yang berbeda. Sementara

tujuan dari penyampaian informasi itu harus tercapai, dalam arti pasien dapat

memahami pokok-pokok dari informaasi. Diantara faktor-faktor subyektif pasien

yang turut mempengaruhi dalam proses penyampaian informasi adalah:9

a. Tingkat pendidikan

11
Bagi pasien yang berpendidikan tinggi dan berwawasan luas akan

menanyakan perihal penyakitnya sampai kepada hal yang terkecil. Keingintauan

pasien seperti ini sangat besar sekali terhadap keadaan kesehatan, penyakit serta

tindakan-tindakan medis yang akan diterapkan oleh dokter. Sebaliknya bagi

pasien yang berpendidikan rendah dan kurang dapat memahami penjelasan dan

informasi medis dokter akan selalu menerima dan menyetujui tindakan apapun

yang akan dilakukan dokter.

b. Persepsi pasien terhadap dokter dan alat-alat kedokteran.

Menghadapi pasien yang persepsi negatif terhadap dokter dan alat-alat

kesehatan dimana dokter digambarkan sebagai sosok yang menakutkan dan selalu

memegang jarum suntik, maka selengkap apapun informasi dari tindakan invasif

dan operatif yang akan diambil oleh dokter maka pasien ini tidak akan pernah

menyetujuinya. Sedangkan pasien yang mempunyai persepsi positif terhadap

dokter dan alat-alat kesehatan akan memilik sikap wajar dalam meminta informasi

serta menyetujui/tidak menyetujui tindakan medis yang akan diambil oleh dokter.

c. Persepsi pasien terhadap penyakit

Bagi pasien yang mempunyai persepsi/ anggapan bahwa penyakit yang

dideritanya ini cepat atau lambat akan membawa kepada kematian, cenderung

akan menyetujui tindakan-tindakan invasif dan operatif yang mempunyai resiko

besar sekalipun seperti pembedahan. Informasi dari dokter kepada pasien ini akan

penyakit dan terapi ringan yang dapat dilaksanakan, tidak akan hanya

mempengaruhi sikap pasien untuk memutuskan tindakan operatif yang radikal

tersebut. Sementara bagi pasien yang selalu memandang penyakitnya itu dengan

12
sebelah mata dan meremehkan padahal menurut penilaian dokter, penyakit itu

sudah pada stadium parah, tidak akan pernah menyetujui tindakan operatif

maupun tindakan invasif lainnya seperti pembedahan.

Azrul Azwar mengemukakan ada lima hal yang mencakup pentingnya

infomed consent bagi dokter, kelima hal tersebut adalah:10

1. Dapat membatu kelancaran tindakan kedokteran. Dengan menyampaikan

informasi kepada pasien mengenai penyakit, terapi, keuntungan, resiko dan

lain-lain. Dari tindakan medis yang akan dilakukan maka terjalin hubungan

baik antara dokter dan pasien. Sementara pasienpun akan menentukan hal

yang terbaik dengan landasan informasi dokter tadi, sehingga tindakan-

tindakan medis pun akan lancar dijalankan oleh kedua belah pihak karena

keduanya telah memahami kegunaan semua tindakan medis itu.

2. Dapat menguangi timbulnya akibat sampingan dan komplikasi. Dengan

penyampaian informasi yang baik akan memberikan dampak yang baik dalam

komunikasi dokter pasien terutama dalam menetapkan terapi. Seumpamanya

dokter belum menyuntik pasien dengan panisilin, dokter harus bertanya

apakah pasien alergi terhadap penisilin. Bila pasien memang alergi maka

akibat/resiko yang besar terjadi anafilaktik shock dapat dihindari.

3. Dapat mempercepat proses pemulihan dan penyembuhan penyakit. Sama

halnya dengan kelancaran tindakan, maka sebagai akibat adanya pengetahuan

dan pemahaman yang cukup dari pasien terhadap tindakan kedokteran yang

akan dilakukan, maka proses pemulihan dan penyembuhan penyakit akan

lebih cepat.

13
4. Dapat meningkatkan mutu pelayanan

Keberhasilan meningkatkan mutu pelayanan di sini adalah sebagai akibat dari

lancarnya tindakan kedokteran, berkurangnya akibat sampingan dan

komplikasi serta cepatnya proses pemulihan dan penyembuhan penyakit.

Keadaan seperti ini jelas akan menguntungkan pihak dokter.

5. Dapat melindungi dokter dari kemungkinan tuntutan hukum. Perlindungan

yang dimaksud adalah apabila di satu pihak, tindakan dokter yang dilakukan

memang tidak menimbulkan masalah apa pun, dam di lain pihak, kalaupun

kebetulan sampai menimbulkan masalah, misalnya akibat sampingan dan atau

komplikasi, sama sekali tak ada hubungannya dengan kelalaian dan ataupun

kesalahan tindakan. Timbulnya masalah tersebut semata-mata hanya karena

berlakunya prinsip ketidakpastian hasil dari setiap tindakan

kedokteran/medis. Dengan perkataan lain, semua tindakan kedokteran yang

dilakukan memang telah sesuai dengan standar pelayanan profesi.

2.3 Hak dan Kewajiban Dokter

Kewajiban dokter dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia dikelompokkan atas

empat kelompok, yakni;11

A. Kewajiban umum

1. Seorang dokter hendaknya senantiasa melakukan profesinya menurut

ukuran tertinggi

2. Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya seorang dokter jangan

dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi

14
3. Perbuatan berikut dipandang bertentangan dengan etika:

a. Sesuatu perbuatan yang bersifat memuji diri sendiri

b. Ikut serta dalam memberikan pertolongan kedokteran dalam segala

bentuk, tanpa kebesaran profesi

c. Menerima uang selain dari imbalan yang layak sesuai dengan

jasanya, meskipun dengan pengetahuan pasien

4. Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan

mahluk insani, baik jasmani maupun mental, hanya diberikan untuk

kepentingan pasien.

B. Kewajiban Dokter terhadap pasien11

1. Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi

hidup mahluk insani

2. Seorang dokter wajib bersikap tulus ikhlas terhadap pasien dan

mempergunakan segala sumber keilmuannya. Apabila ia tidak mampu

melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka wajiblah ia

berkonsultasi dengan dokter lain yang mempunyai keahlian dalam

penyakit yang bersangkutan. Pasien hendaklah diberi kesempatan supaya

senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam

beribadah

3. Seorang dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya

tentang seorang pasien, karena kepercayaan yang telah diberikan

kepadanya, bahkan juga setelah pasien meninggal

15
4. Seorang dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas

peri-kemanusiaan, kecuail bila ia yakin ada orang lain yang bersedia dan

mampu untuk memberikannya.

C. Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat

1. Seorang dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagai ia sendiri ingin

diperhatikan

2. Seorang dokter tidak boleh merebut dari teman sejawatnya

3. Seorang dokter harus menjunjung tinggi asas Declaration of Geneva yang

telah diterima oleh Ikatan Dokter Indonesia.

D. Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri

1. Seorang dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja

dengan baik

2. Seorang dokter hendaklah senantiasa mengikuti perkembangan ilmu

pengetahuan dan tetap setia kepada cita-sitanya yang luhur.

Kewajiban dokter terbagi atas tiga kelompok: 11

1. Kewajiban yang berhubungan dengan fungsi sosial pemeliharaan

kesehatan.

Dalam kelompok ini, kepentingan masyarakat menonjol dan bukan hanya

kepentingan pasien saja. Karena itu dalam melakukan kewajiban disini

16
seorang dokter harus memperhitungkan faktor kepentingan masyarakat,

misalnya:

a. Pada sarana tempat ia bekerja (misalnya Rumah Sakit, klinik,

Puskesmas), setiap dokter harus berhati-hati dalam mendistribusikan

obat-obatan yang persediannya hanya sedikit

b. Dalam menentukan diopnamenya seorang pasien, dokter harus

memperhitungkan jumlah tempat tidur yang ada di rumah sakit dan

keadaan sakit pasien

c. Memperhitungkan untuk tidak menulis suatu resep untuk obat yang

tidak begitu perlu

d. Mempertimbangkan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004

Tentang Praktik Kedokteran, dokter dan dokter gigi menyatakan bahwa

dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak;

a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan

tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur

operasional

b. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan

standar prosedur operasional

c. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien

atau keluarganya; dan

d. Menerima imbalan jasa.

2. Kewajiban yang berhubungan dengan hak-hak pasien.

17
Hal ini mencaup kewajiban dokter untuk selalu memperhatikan dan

menghormati semua hak pasiennya. Berikut beberapa hak pasien yang

harus dihormati, anatara lain:

a. Hak atas informasi yang jelas mengenai penyakit yang diderita

pasiennya.

b. Hak untuk memberikan persetujuan atas tindakan medis yang akan

dilakukan terhadapnya (informed consent)

c. Hak atas rahasia kedokteran yang meliputi:

a. Hak atas itikad baik dokter,

b. Hak untuk mendapatkan pelayanan medis sebaik-baiknya.

3. Kewajiban yang berhubungan dengan standar profesi dan yang timbul dari

standar profesi kedokteran.

Di samping mengatur hak dokter dalam melaksanakan praktik, Undang- Undang

Nomor 29 Tahun 2004 mengatur juga tentang kewajiban dokter dalam

melaksanakan praktik, dalam Pasal 51 yang menjabarkan bahwa dokter dan dokter

gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban:

a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar

prosudur operasional serta kebutuhan medis pasien

b. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau

kemampuan yang lebih baik, apabila tidak melakukan suatu pemeriksaan atau

pengobatan

18
c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga

setelah pasien itu meninggal dunia.

d. Melakukan pertolongan darurat atas dasar peri-kemanusiaan, kecuali bila ia

yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya, dan

e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran

atau kedokteran gigi.

Hak yang timbul dalam profesi kedokteran sebanarnya bersumber pada

hak dasar, yakni hak dasar sosial dan hak dasar individu, keduanya akan saling

mendukung, minimal berjalan sejajar dan tidak saling bertentangan karena

merupakan hak dasar manusia. Oleh karena itu dokter maupun pasien sama-sama

mempunyai hak tersebut. Sedangkan kewajiban timbul dalam kaitan hubungan

profesional dokter-pasien, dengan salah satu pihak benar-benar berlaku sebagai

dokter sesuai dengan syarat-syarat dan norma-norma profesi kedokteran yang

berlaku, sehingga saat itu ia memang berperan sebagai dokter dalam suatu

hubungan hukum tertentu, yakni hubungan profesional dokter-pasien. Perlu

ditekankan bahwa yang dibicarakan ialah jenis hubungan terapeutik, yang

tujuannya adalah pemulihan atau peningkatan kesehatan pasien.11

Fred Ameln menyatakan bahwa dokter mempunyai hak, yaitu:11

1. Hak yang terpenting dari seorang dokter, hak untuk bekerja menurut standar

medik.

2. Hak menolak melaksanakan tindakan medik karena secara profesional tidak

dapat mempertanggungjawabkannya

19
3. Hak untuk menolak suatu tindakan medik yang menurut suara hatinya tidak

baik.

4. Hak untuk mengakhiri hubungan dengan seorang pasien jika ia menilai

bahwa kerja sama pasien dengan dia tidak lagi ada gunanya. Misalnya dokter

memberikan instruksi pengobatan yang perlu dan wajib dilaksanakan oleh

pasien, tetapi pasien berkali-kali tidak mengikutinya sebagian maupun

keseluruhannya tanpa memperlihatkan suatu penyesalan tapi tiap kali hanya

mengemukakan bahwa ia lupa.

5. Hak atas privacy dokter. Pasien harus menghargai dan menghormati hal yang

menyangkut privacy dokter, misalnya jangan memperluas hal yang sangat

peribadi dari dokter yang ia ketahui sewaktu mendapatkan pengobatan

6. Hak atas informasi/pemberitahuai pertama dalam menghadapi pasien yang

tidak puas terhadapnya. Jika seorang pasien tidak puas dan ingin mengajukan

keluhan maka dokter mempunyai hak agar pasien tersebut bicara dahulu

dengannya sebelum mengambil langkah lain misalnya melaporkan kepada

IDI atau mengajukan gugatan perdata atau tuntutan pidana

7. Hak atas balas jasa

8. Hak atas pemberian penjelasan lengkap oleh pasien tentang penyakit yang

dideritanya. Misalnya, agar dokter dapat mendiagnosa dengan baik pasien

pula harus bekerjasama sebaik mungkin

9. Hak untuk membela diri

10. Hak untuk memilih pasien. Hak ini sama sekali tidak merupakan hak mutlak.

Lingkungan sosial merupakan hal yang sangat mempengaruhi hak ini.

20
11. Hak untuk menolak untuk memberi keterangan tentang pasien di Pengadilan.

Perlu diketahui Pasal 224 KUHP yang mengatur keharusan untuk

memberikan kesaksian dalam suatu prosedur Pengadilan. Seorang dokter

dapat meminta agar untuk dia dapat diterapkan Pasal 170 KUHP dimana

diatur dalam ayat 1 pembebasan kewajiban untuk memberikan keterangan

sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan pada mereka.

J. Guwandi menyatakan bahwa untuk untuk dapat dikatakan telah terjadi

malpraktik, ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab : 12

1. Apakah dokter lain yang setingkat dengannya tidak akan melakukan itu?

2. Apakah tindakan dokter itu sedemikian rupa sehingga tidak akan dilakukan

oleh teman sejawatnya yang lain?

3. Apakah tidak ada unsur kesengajaan (opzet, intentional)?

4. Apakah tindakan itu tidak dilarang oleh Undang-Undang?

5. Apakah tindakan itu dapat diglongkan pada suatu medical error?

6. Apakah ada suatu unsur kelalaian (negligence)?

7. Apakah akibat yang timbul itu berkaitan langsung dengan kelalaian dari pihak

dokter?

8. Apakah akibat itu tidak bisa dihindarkan atau dibayangkan (foreseeability)

sebelumnya?

9. Apakah akibat itu bukan suatu resiko yang melekat (inherent risk) pada

tindakan medik tersebut?

21
10. Apakah dokter tersebut sudah mengambil tindakan antisipasinya, misalnya

jika timbul reaksi negatif karena obat-obatan?

Sedangkan menurut Munir Fuady, agar suatu tindakan dokter dapat

digolongkan sebagai tindakan malpraktik maka haruslah memenuhi elemen-

elemen yuridis sebagai berikut: 13

1. Adanya tindakan, dalam arti berbuat atau tidak berbuat (pengabaian)

2. Tindakan tersebut dilakukan oleh dokter atau orang di bawah pengawasan

(seperti perawat), bahkan juga oleh penyedia fasilitas kesehatan seperti rumah

sakit, klinik, apotek, dan lain-lain.

3. Tindakan tersebut merupakan tindakan medik, baik berupa tindakan

diagnostik, terapi, atau manajemen kesehatan

4. Tindakan tersebut dilakukan terhadap pasiennya

5. Tindakan tersebut dilakukan dengan cara;

a. Melanggar hukum, dan atau;

b. Melanggar kepatutan, dan atau;

c. Melanggar kesusilaan, dan atau;

d. Melanggar prinsip-prinsip profesionalitas

6. Tindakan tersebut dilakukan dengan kesengajaan atau ketidakhati-hatian

7. Tindakan tersebut mengakibatkan pasiennya mengalami

a. Salah tindak, dan atau;

b. Rasa sakit, dan atau;

c. Luka, dan atau;

d. Cacat, dan atau;

22
e. Kematian, dan atau;

f. Kerusakan pada tubuh atau jiwa, dan atau;

g. Kerugian lainnya terhadap pasien

8. Dan menyebakan dokter harus bertanggungjawab secara administrasi, perdata,

maupun pidana.

2.4 Bentuk Kelalaian Medis

Terdapat beberapa bentuk kelalaian medis, antara lain: 4

1. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau

tidak tepat atau tidak layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan

tindakan medis tanpa indikasi yang memadai (pilihan tindakan medis

tersebut sudah improper).

2. Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tapi

dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya

melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur.

3. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan

kewajiban baginya. Bentuk-bentuk kelalaian diatas sejalan dengan bentuk-

bentuk error (mistakes, slips, and lapses), namun pada kelalaian harus

memenuhi keempat unsur kelalaian dalam hukum, khususnya adanya

kerugian, sedangkan error tidak selalu mengakibatkan kerugian. Error

sendiri diartikan sebagai kegagalan melaksanakan suatu rencana tindakan

(error of execution; lapses dan slips) atau penggunaan rencana tindakan

yang salah dalam mencapai tujuan tertentu (error of planning; mistakes).

23
4. Malpractice, adalah suatu kelalaian atau tidak berhati-hati dari seseorang

yang melaksanakan pekerjaan profesinya, misalnya: perawat, bidan,

apoteker, dokter, akuntan dan sebagainya (negligencxe or carelessness of

a professional person, such as nurse, pharmacist, physician, accountant,

etc).

5. Maltreatment, ialah suatu perbuatan dengan cara pelaksanaan/penanganan

yang sembarangan, misalnya: tindakan operasi yang dilakukan secara tidak

benar/tidak terampil (improper or unskillfull treatment). Hal ini bisa

disebabkan oleh ketidaktahuan, kelalaian atau tidak ada kehendak untuk

bekerja lebih baik (ignorance, neglect, or willfullness). Criminal

negligence, adalah kejahatan dalam bentuk sikap yang acuh tak acuh atau

tidak peduli terhadap keselamatan orang lain walaupun ia mengetahui

bahwa tindakannya itu bisa mengakibatkan cedera kepada orang lain

(reckless disregard for the safety of another. It is willfull indifference to an

injury which could follow an act).

6. Criminal negligence, adalah kejahatan dalam bentuk sikap yang acuh tak

acuh atau tidak peduli terhadap keselamatan orang lain walaupun ia

mengetahui bahwa tindakannya itu bisa mengakibatkan cedera kepada

orang lain (reckless disregard for the safety of another. It is willfull

indifference to an injury which could follow an act).

24
2.5 Jenis Kelalaian

Menurut teori hukum pidana, kelalaian/kealpaan yang diartikan sebagai

suatu macam kesalahan sebagai akibat kurang hati-hati sehingga secara tidak

sengaja mengakibatkan terjadinya suatu kesalahan tersebut dapat dibagi menjadi

dua bentuk, yaitu: 4

1. Kealpaan ringan (culpa levissima)

2. Kealpaan berat (culpa lata)

Dalam hukum pidana, untuk menilai seseorang bertindak hati-hati atau

sebaliknya, adalah dengan membandingkan tindakan seseorang tersebut dengan

tindakan orang lain. Terdapat dua katagori orang lain yang dimaksud, yaitu orang

yang sekatagori dengan seseorang yang dinilai tindakannya dan orang yang

memiliki katagori lebih.

Apabila dalam situasi dan kondisi yang sama, tindakan orang yang

sekatagori dengan seseorang yang dinilai tindakannya tersebut sama dengan

tidakan seseorang yang dinilai, maka seseorang yang dinilai tindakannya tersebut

dinyatakan berhati-hati. Sebaliknya apabila tindakannya berbeda, maka tindakan

orang yang dinilai itu dinyatakan tidak berhati-hati. Tindakan seseorang yang

dinilai tersebut termasuk katagori kealpaan besar (culpa lata atau grove schuld).

Apabila dalam situasi dan kondisi yang sama, tindakan orang yang

memiliki katagori lebih dari seseorang yang dinilai tindakannya tersebut sama

dengan tindakan seseorang yang dinilai, maka seseorang yang dinilai tindakannya

tersebut dinyatakan berhati-hati. Sebaliknya apabila tindakan orang itu berbeda,

25
maka tindakan orang yang dinilai itu dinyatakan tidak berhati-hati. Tindakan

seseorang itu termasuk katagori kealpaan kecil (levisima culpa).

2.6 Kriteria Kelalaian Medis

Suatu perbuatan atau sikap tenaga medis dianggap lalai apabila memenuhi

empat unsur yang dikenal dengan 4-D, yaitu: 4,14

1. Duty to Use Due Care

Kewajiban tenaga medis untuk melakukan suatu tindakan medis atau

untuk tidak melakukan suatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada

situasi dan kondisi yang tertentu. Tidak ada kelalaian jika tidak ada kewajiban

untuk mengobati. Hal ini berarti bahwa harus ada hubungan hukum antara pasien

dan dokter atau rumah sakit. Dengan adanya hubungan hukum tersebut maka

implikasinya adalah bahwa sikap tindakan dokter atau perawat rumah sakit itu

harus sesuai dengan standar pelayanan medik agar pasien jangan sampai

menderita cedera karenanya. Hubungan pasien-dokter atau rumah sakit ada saat

peristiwa itu terjadi. Timbulnya hubungan ini bahkan juga dapat terjadi dari suatu

pembicaraan per telepon.

Di dalam kasus “O’Neil v. Montefiori Hospital tahun 1960, seorang dokter

mengadakan pembicaraan telepon dengan seorang pasien tentang kondisinya.

Tanpa memeriksa lebih dahulu secara fisik, dokter tersebut mengizinkan pasien

itu pulang dari rumah sakit dengan hanya memesan agar besok pagi kembali lagi

ke rumah sakit. Namun pasien itu pada malam harinya ternyata meninggal dunia.

Pengadilan berpendapat bahwa seorang dokter yang telah menerima seseorang

26
sebagai pasien untuk dirawat dan diobati, namun tanpa memeriksa lagi pasiennya,

telah terbukti adanya kewajiban sebagaimana terdapat pada unsur pertama: Duty

of due care.

2. Deriliction (Breach of Duty) atau Penyimpangan kewajiban tersebut

Apabila sudah ada kewajiban (duty) maka dokter atau perawat rumah sakit

harus bertindak sesuai dengan standar profesi yang berlaku. Jika terdapat

penyimpangan dari standar tersebut maka ia dapat dipersalahkan. Bukti adanya

suatu penyimpangan dapat diberikan melalui saksi ahli, catatan-catatan pada

rekam medik, kesaksian perawat, dan bukti-bukti lain.

3. Damage (Injury)

Unsur ketiga untuk penuntutan kelalaian medik adalah “cedera atau

kerugian” yang diakibatkan pada pasien. Yang dimaksud dengan kerugian adalah

segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan

kesehatan atau kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan. Walaupun

seorang dokter atau rumah sakit dituduh telah berlaku lalai, tetapi jika tidak

sampai menimbulkan luka atau cedera atau kerugian kepada pasien, maka ia tidak

dapat dituntut ganti kerugian. Istilah luka tidak saja dalam bentuk fisik, namun

terkadang juga termasuk dalam arti gangguan mental yang hebat. Juga apabila

terjadi pelanggaran terhadap privasi orang lain.

4. Direct Causation (Proximate Cause) atau hubungan sebab akibat yang nyata

27
Dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan

kewajiban dengan kerugian yang setidaknya merupakan “proximate cause”.

Hanya atas dasar penyimpangan saja belum cukup untuk mengajukan tuntutan

ganti rugi, kecuali jika penyimpangannya sedemikian tidak wajar sehingga sampai

mencederai pasien.

Sementara menurut Leenen sebagaimana dikutip oleh Fred Ameln, untuk

melihat apakah tindakan yang dilakukan dokter dalam menjalankan profesinya

tersebut malpraktik atau bukan, terdapat lima kriteria yang bisa digunakan yaitu:14

1. Berbuat secara teliti/seksama (zorgvuldig hendelen) dikaitkan dengan

kelalaian (culpa). Bila seorang dokter yang bertindak onvoorzichteg, tidak

teliti, tidak berhati-hati, maka ia memenuhi unsur kelalaian.

2. Tindakan yang dilakukan sesuai dengan ukuran ilmu medik (volgena de

medische standaard). Ukuran medis ini ditentukan oleh ilmu pengetahuan

medis. Pengertian ukuran medis dapat dirumuskan suatu cara perbuatan

medis tertentu dalam suatu kasus yang konkret menurut ukuran tertentu,

ukuran dimana didasarkan pada ilmu medis dan pengalaman dalam bidang

medis. Harus disadari bahwa sukar sekali untuk memberi suatu kriterium

yang sama persis untuk dipakai pada tiap perbuatan medik karena situasi

kondisi dan juga karena reaksi para pasien yang berbeda-beda.

3. Kemampuan rata-rata (average) dibanding kategori keahlian medis yang

sama (gemiddelde bewaamheid van gelijke medische categorie). Sesuai

dengam seorang dokter yang memiliki kemampuan average atau rata-rata

28
dibandingkan dengan dokter dari keahlian medik yang sama. Hal ini juga

terdapat pada rumusan Supreme Court of Canada (1956) dan Daniel K.

Roberts (1987); sebagai dokter yang memiliki kemampuan rata-rata

dibandingkan dengan dokter dari keahlian medis yang sama. Dalam hal

ini, bidang hukum menggunakan ukuran minimal rata-rata dimana

kemampuan didasarkan atas pendapat para saksi-saksi ahli dari kelompok

keahlian yang sama, misalnya pada kasus dokter umum saksinya dokter

umum pula.

4. Dalam situasi dan kondisi yang sama (gelijke omstandigheden). Dalam

situasi kondisi yang sama, unsur ini tidak terdapat pada rumusan Supreme

Court of Canada tersebut tetapi terdapat pada rumusan Daniel Roberts

pada practicing in the same or similar locality. Dalam situasi dan kondisi

yang sama, misalnya praktek di Puskesmas berbeda dengan rumah sakit.

5. Sarana upaya (middelen) yang sebanding/proposional dengan tujuan

konkret tindakan/perbuatan medis tersebut (tot het concreet

handelingsdoel). Dengan sarana upaya yang memenuhi perbandingan yang

wajar dibanding dengan tujuan konkret tindakan medis tersebut. Hal ini

dapat dikaitkan dengan tindakan diagnostik, terapeutik, dan dengan

peringanan penderita dan pula dengan tindakan preventif. Dokter harus

menjaga adanya suatu keseimbangan antara tindakan dan tujuan yang

ingin ia capai dengan tindakan itu.

29
Jika misalnya ada suatu tindakan diagnostik yang berat dilakukan pada

suatu penyakit yang relatif ringan sekali maka hal ini tidak memenuhi prinsip

keseimbangan (diagnostic overskill). Dokter selalu harus membandingkan tujuan

tindakan mediknya dengan resiko tindakan tersebut dan berusaha untuk resiko

yang terkecil. 15

Pada kasus-kasus kelalaian medis yang mengakibatkan kematian, otopsi

merupakan metode yang efisien untuk membuktikan gugatan malpraktis medis.

Terkadang, otopsi dapat mengungkapkan temuan-temuan yang tidak didapatkan

ketika pasien tersebut masih hidup. Perbedaan yang menonjol antara diagnosis

klinis dan temuan post mortem dilaporkan mencapai 20%. Oleh karena itu,

pemeriksaan post mortem yang teliti harus dilakukan sebagai upaya pembuktian

adanya suatu tindakan kelalaian medis. Pemeriksaan post mortem ini harus

sungguh-sungguh dilakukan dengan sangat hati-hati dan terkadang membutuhkan

pemeriksaan yang menyeluruh, termasuk pada hal-hal yang sebelumnya tidak

dicurigai. Pemeriksaan ini juga memerlukan bantuan dari berbagai bidang

keahlian spesialistik yang terkait.15

Perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum haruslah memenuhi

beberapa syarat seperti:17

a. Harus ada perbuatan (baik berbuat maupun tidak berbuat).

b. Perbuatan tersebut melanggar hukum (tertulis ataupun tidak tertulis).

c. Ada kerugian.

d. Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan melanggar

hukum dengan kerugian yang diderita.

30
e. Adanya kesalahan (schuld).

Sedangkan untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi) karena

kelalaian tenaga kesehatan, maka pasien harus dapat membuktikan adanya empat

unsur berikut:17

a. Adanya suatu kewajiban tenaga kesehatan terhadap pasien.

b. Tenaga kesehatan telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim

dipergunakan.

c. Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti

ruginya.

d. Secara faktual kerugian itu diesbabkan oleh tindakan dibawah standar.

Namun adakalanya seorang pasien (penggugat) tidak perlu membuktikan

adanya kelalaian tenaga kesehatan (tergugat). Dalam hukum ada kaidah yang

berbunyi “res ipsa loquitor” yang artinya fakta telah berbicara. Dalam hal

demikian tenaga kesehatan itulah yang harus membutikan tidak adanya kelalaian

pada dirinya. Dalam malpraktek perdata yang dijadikan ukuran dalam melpraktek

yang disebabkan oleh kelalaian adalah kelalaian yang bersifat ringan (culpa levis).

Karena apabila yang terjadi adalah kelalaian berat (culpa lata) maka seharusnya

perbuatan tersebut termasuk dalam malpraktek pidana. Contoh dari malpraktek

perdata, misalnya seorang dokter yang melakukan operasi ternyata meninggalkan

sisa perban didalam tubuh si pasien. Setelah diketahui bahwa ada perban yang

tertinggal kemudian dilakukan operasi kedua untuk mengambil perban yang

tertinggal tersebut. Dalam hal ini kesalahan yang dilakukan oleh dokter dapat

31
diperbaiki dan tidak menimbulkan akibat negatif yang berkepanjangan terhadap

pasien.17

2.7 Aspek Hukum Kelalaian Medis

Sejak berdirinya republik, pemerintah telah menerbitkan berbagai

peraturan dan ketentuan hukum dalam bidang kesehatan agar pelayanan dan

pemeliharaan kesehatan dapat berjalan dengan baik. Pemerintah mengusahakan

rakyat yang sehat sebagai asset dan tujuan utama, maka dibuatlah peraturan dan

ketentuan hukum mengenai praktik kesehatan. Peraturan dan ketentuan hukum ini

tidak hanya mencakup bidang kedokteran saja, tetapi juga mencakup seluruh

bidang kesehatan seperti farmasi, obat-obatan, rumah sakit, kesehatan jiwa,

kesehatan masyarakat, kesehatan kerja, dan kesehatan lingkungan.4

Undang-undang Kesehatan (UU Kesehatan) adalah ringkasan dari

penyebutan Undang-undang RI No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan. Undang-

undang ini merupakan salah satu usaha pemerintah dalam mencapai derajat

kesehatan yang lebih baik bagi seluruh anggota masyarakat. Beberapa bagian dari

undang-undang ini berisi tentang rambu-rambu dalam pelayanan kesehatan yang

harus diketahui dan dipahami oleh pelaku pelayanan profesi kesehatan, agar

terhindar dari pelayanan kesehatan yang bermasalah. Kalangan kesehatan harus

tetap menyadari bahwa dalam menjalankan profesi kesehatan mereka tidak saja

bertanggung jawab terhadap kesehatan mereka tidak saja bertanggung jawab

terhadap kesehatan pasien (professional responsibility), tetapi juga bertanggung

jawab di bidang hukum (legal responsibility) terhadap pelayanan yang diberikan.4

32
Dengan demikian, para tenaga kesehatan dituntut bukan hanya menambah,

mengasah, dan memperdalam pengetahuan dan ketramplan di bidang kesehatan,

tetapi juga harus selalu memperdalam dan mengikuti perkembangan hukum dan

aspek medikolegal dari pelayanan kesehatan. 4

Undang-undang Kesehatan ini terdiri dari 12 bab dan mengandung 90

pasal. UU ini diterbitkan untuk tujuan mencapai derajat kesehatan yang optimal

bagi setiap orang. Di sini diatur tentang hak dan kewajiban serta tugas dan

tanggung jawab setiap orang. Upaya kesehatan dijabarkan secara jelas mulai dari

kesehatan keluarga, kesehatan kerja, kesehatan lingkungan, pemberantasan

penyakit, sampai dengan upaya kesehatan olahraga. Dalam undang-undang ini

juga dijelaskan tentang adanya peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan

upaya kesehatan. Dalam hal ini, peran pemerintah adalah membina, mendorong,

dan menggerakkan swadaya masyarakat di bidang kesehatan. Undang-undang ini

mengatur juga mengenai bagaimana penyidikan dapat dilakukan apabila terjadi

pelanggaran terhadap ketentuan yang telah diatur. Demikian pula diatur tentang

sanksi hukum menurut ketentuan pidana dan perdata.

Kepastian hukum dan perlindungan hukum, baik kepada pemberi maupun

penerima pelayanan kesehatan diatur dalam UU Kesehatan. 4

Pasal 53

“(1) Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam

melaksanakan tugas sesuai dengan profesi.

33
(2) Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi

standar profesi dan menghormati hak pasien.

(3) Tenaga kesehatan, untuk kepentingan pembuktian, dapat melakukan tindakan

medis terhadap seseorang dengan memperhatikan kesehatan dan keselamatan

yang bersangkutan.

(4) Ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien sebagaimana

dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan peraturan pemerintah.”

Pasal 54

“(1) Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam

melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.

(2) Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana dimaksud

ayat (1) ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.”

Pasal 55

“(1) Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang

dilakukan oleh tenaga kesehatan.

(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.”(17)

Dalam penjelasan UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

dijelaskan mengenai standar profesi medik yaitu batasan kemampuan minimal

yang harus dikuasai seorang dokter untuk dapat melalukan kegiatan

34
profesionalnya pada masyarakat secara mandiri, yang disusun oleh Ikatan Dokter

Indonesia, serta standar prosedur operasional yaitu suatu perangkat instruktif

tentang langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja

rutin tertentu, yang disusun oleh institusi tempat dokter bekerja. Pada keadaan di

mana dokter baik sengaja ataupun tidak disengaja (lalai) menjalankan profesi

medik yang tidak sesuai dengan standar profesi medik dan standar prosedur

operasional dan berakibat buruk/fatal dan atau mengakibatkan kerugian lain pada

pasien, maka dapat dikatakan telah terjadi malpraktik medik dan dokter

diharuskan bertanggung jawab secara administratif dan atau secara perdata dan

atau secara pidana.4

Dalam ruang lingkup hukum pidana, suatu perbuatan dikatakan perbuatan

pidana apabila memenuhi semua unsur yang telah ditentukan secara limitatif

dalam suatu aturan perundang-undangan pidana. Hal ini sesuai dengan Pasal 1

ayat (1) KUHP yang menyebutkan bahwa tiada suatu perbuatan yang dapat

dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam peraturan perundang-

undangan yang telah ada, sebelum perbuatan itu dilakukan, nullum delictum

noella poena sine previa lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan

lebih dahulu). Pasal 1 ayat (1) KUHP ini dikenal sebagai asas legalitas. Perbuatan

dikatakan terbukti sebagai perbuatan pidana apabila berdasarkan minimal dua alat

bukti tersebut hakim memperoleh keyakinan bahwa perbuatan tersebut merupakan

perbuatan pidana. Dalam ilmu hukum pidana, perbuatan dikatakan perbuatan

hukum pidana apabila semua unsur pidana terpenuhi. 4

35
Malpraktik medis dapat masuk ke ranah hukum pidana apabila memenuhi

syarat-syarat dalam 3 aspek, yaitu: 4

1. Syarat sikap batin dokter, yaitu wujud perbuatan dalam melakukan

tindakan medik,

2. Syarat dalam perlakuan medis, yaitu perlakuan medis yang

menyimpang, dan

3. Syarat mengenai hal akibat, yaitu mengenai timbulnya kerugian bagi

kesehatan atau nyawa pasien.

Dapat diartikan bahwa umumnya malpraktik tidak selalu berakibat

terjadinya malpraktik kedokteran menurut hukum. Alasannya, karena untuk

terjadinya malpraktik kedoktera menurut hukum, syarat-syarat tersebut harus

terpenuhi, syarat sikap batin tidak mudah dipahami dan diterapkan. Bahkan kasus

konkret tertentu menunjukkan perbuatan yang ternyata salah kadangkala bias

dibenarkan dengan alasan tertentu. Hal itu berarti untuk kasus konkret tertentu

kadang diperlukan syarat lain, misalnya kepatutan dan pembenaran dari sudut

logika umum. Misalnya, salah dalam membuat diagnosis tetapi perbuatan itu

dapat dibenarkan apabila ada alasan pembenaran, misalnya fakta-fakta medis yang

ada (hasil pemeriksaan sesuai standar) dari sudut kepatutan dibenarkan untuk

menarik kesimpulan diagnosis. 4

Sebelum menguraikan dasar pemidanaan atas terjadinya malpraktik medis,

perlu kiranya diingatkan kembali bahwa penggunaan terminologi malpraktik

medis di sini adalah malpraktik medis dalam arti luas, tidak sebatas pada kelalaian

atau kelalaian medis. Jadi termasuk pula malpraktik yang terjadi karena adanya

36
kesengajaan (delik dolus/opzet). Undang-undang (KUHP) tidak membuat

pengertian tentang sengaja (dolus/opzet), tetapi pengertian sengaja dapat

ditemukan dalam Memorie van Toelchting (MvT), bahwa untuk adanya

kesengajaan harus memuat willens (kehendak) dan wetens (mengetahui).

Remmelink mengatakan, berkenaan dengan substansi, haris dikaitkan dengan

perbuatan (tindakan) terhadap mana kehendak tertuju dan akibat serta situasi yang

melingkupinya sudah dibayangkan sebelumnya. Dalam dolus (sengaja), sebab itu

mengandung elemen volitief (kehendak) dan intelektual (pengetahuan) atau

volontie et connaissance. Tindakan dengan sengaja selalu willens dan wetens. 4

Dalam konteks pemahanan tersebut maka ada tiga undang-undang yang

dapat menjadi dasar dalam pemidanaan malpraktik medis: 4

1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana;

2. Undang-undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan;

3. Undang-undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.

Dalam upaya penyembuhan, sangat jarang atau bahkan hampir tidak ada

dokter yang dengan sengaja melakukan kesalahan terhadap pasien. Apabila terjadi

kematian/cacat/luka dan keadaan tersebut diduha atau patut diduga karena

kesalahan dokter, maka yang paling penting adalah membuktikan adanya grove

schuld atau sikap kurang hati-hati yang besat atau sangat sembrono dalam upaya

penyembuhan (culpa lata), sedangkan suatu kesalahan ringan/biasa tidak dapat

dijadikan dasar untuk meminta pertanggungjawaban hukum. Pasal-pasal KUHP

37
yang relevan dengan tanggungjawab pidana yang berhubungan dengan malpraktik

medik adalah Pasal 359, 360, dan 361 KUHP. 4

Pasal 359

“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain

mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana

kurungan paling lama satu tahun.”

Pasal 359 KUHP dapat menampung semua perbuatan yang dilakukan yang

mengakibatkan kematian, di mana kematian bukanlah yang dituju atau

dikehendaki. Adanya hubungan kausal telah lazim dikenal dengan istilah akibat

langsung yang tidak berbeda dengan akibat yang ditimbulkan oleh sebab-sebab

yang masuk akal dan menurut kelayakan. Hal itu dapat dipikirkan sebagai akibat

dari suatu sebab. Khusus dalam hal mencari causal verband antara tindakan

medik dengan akibat yang timbul sesudah tindakan medik dengan akibat yang

timbul sesudah tindakan medik maka digunakan ilmu kedokteran sendiri. Dalam

hal ini, di samping adanya sikap batin, culpa, harus ada tiga unsur lagi yang

merupakan rincian dari kalimat “menyebabkan orang lain mati”, yaitu (1) harus

ada wujud perbuatan, (2) adanya akibat berupa kematian, dan (3) adanya causal

verband antara wujud perbuatan dengan akibat kematian. Tiga unsur ini tidak

berbeda dengan unsur perbuatan menghilangkan nyawa dari pembunuhan (Pasal

388 KUHP). Bedanya dengan pembunuhan hanya terletak pada unsur

kesalahannya, yakni pada Pasal 359 ini adalah kesalahan dalam bentuk kurang

hati-hati (culpa). 4

38
Pasal 360

“1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-

luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau

kurungan paling lama satu tahun

(2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka

sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan

jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara

paling lama Sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda

paling tinggi tiga ratus rupiah”

Ada dua macam tindak pidana menurut Pasal 360. Dari rumusan ayat (1)

dapat dirinci unsur-unsur yang ada, yaitu adanya kelalaian, wujud perbuatan,

akibat luka berat, dan adanya hubungan kausalitas antara luka berat dan wujud

perbuatan. Rumusan ayat (2) mengandung unsur-unsur adanya kelalaian, wujud

perbuatan, akibat luka yang menimbulkan penyakit; dan luka yang menimbulkan

halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu,

dan hubungan kausalitras antara perbuatan dan akibat. Perihal unsur kelalaian

yang terdapat pada Pasal 359 maupun 360 KUHP mensyaratkan adanya perbuatan

tidak berhati-hati. Untuk menilai perbuatan seseornag berhati-hati atau sebaliknya,

perbuatan seseorang itu haruslah dibandingkan dengan perbuatan orang lain. 4

Pasal 361

“Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan

suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang

39
bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian dalam mana

dilakukan kejahatan dan Hakim dapat memerintahkan supaya putusannya

diumumkan.”

Berdasarkan pasal tersebut, dokter yang telah menimbulkan cacat atau

kematian yang berkaitan dengan tugas atau jabatan atau pekerjaannya, maka pasal

361 KUHP memberikan ancaman pidana sepertiga lebih berat. Di samping itu

hakim dapat menjatuhkan hukuman berupa pencabutan hak melakukan pekerjaan

yang dipergunakan untuk menjalankan kejahatan serta memerintahkan

pengumuman keputusannya itu.16

2.7 Malpraktek di bidang hukum

Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3

kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil

malpractice dan Administrative malpractice. 16

1. Criminal Malpractice

Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice

manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni : 16

a. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan

perbuatan tercela.

b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa

kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan

(negligence).

40
 Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intentional) misalnya

melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan

(pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263

KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).

 Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya

melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.

 Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang

hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien.

Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah

bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang

lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan. 16

2. Civil Malpractice

Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice

apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya

sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji). 16

Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara

lain:16

a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.

b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi

terlambat melakukannya.

c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak

sempurna.

41
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.

Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi

dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability.

Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat

atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga

kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya. 16

3. Administrative Malpractice

Tenaga kesehatan dikatakan telah melakukan administrative malpractice

manakala tenaga kesehatan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu

diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai

kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya

tentang persyaratan bagi tenaga medis untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin

Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga medis.

Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga medis yang bersangkutan dapat

dipersalahkan melanggar hukum administrasi. 16

42
BAB III

KASUS

Tn. MT, 28 tahun, seorang buruh pabrik, melaporkan kasus dugaan

malpraktek oleh salah satu rumah sakit di Medan atas istrinya, Ny. M, 30 tahun

seorang guru sekolah dasar muhammadiyah, pada tanggal 1 Febuari 2013.

Peristiwa itu berawal saat Tn. MT membawa istrinya ke salah satu rumah sakit

swasta di Medan, untuk menjalani operasi cecar saat melahirkan anak keduanya.

Ny. M menjalani operasi cecar tersebut pada tanggal 24 Desember 2012.

Sesampainya di rumah sakit Ny.M langsung ditangani oleh dokter dan dibawa ke

kamar operasi. Sebelumnya Ny.M dan suaminya tidak pernah diberi penjelasan

tentang akan dilakukannya anestesi spinal oleh seorang dokter spesialis anestesi

bernama dr. L dengan cara dilakukan penyuntikan didaerah punggung.

Sesampainya dikamar operasi, Ny.M mengaku disuntik satu kali diderah

punggung oleh seorang perawat. Sesaat sebelumnya Ny.M memang mendengar

perintah dari dr.L kepada seorang perawat untuk melakukan pembiusan kepada

dirinya. Setalh beberapa saat menunggu Ny.M tidak kunjung merasakan efek

pembiusan tersebut, Kedua kaki Ny.M masih dapat digerakkan, dan masih terasa

sakit ketika dicubit. Akhirnya dilakukan penyuntikan kedua didaerah punggung,

kali ini penyuntikan dilakukan oleh dr.L sendiri. Setelah beberapa menit barulah

Ny.M merasakan efek pembiusan, dan operasi cecar dimulai.

43
Setelah operasi, Ny.M mengalami mual muntah hebat, tubuhnya demam

dan meriang. Lalu hingga satu hari setelah operasi yaitu tanggal 25 Desember

2013 Ny.M tetap merasakan lemas dan mati rasa pada kedua kakinya. Ny.M tidak

dapat berjalan sama sekali. Ny.M dan suaminya mengaku tidak mendapat

penjelasan apapun dari pihak dr.L. Karena alasan biaya, pada tanggal 28

Desember Tn.MT membawa pulan Ny.M sambil berharap kelumpuhan Ny.M

dapat kembali pulih dengan sendirinya setelah dirawat dirumah. Ny.M

meninggalkan rumah sakit dengan kondisi sama sekali tidak dapat berjalan, dari

pinggang ke bawah tidak dapat digerakkan, dan nyeri saat buang air kecil

Setelah satu hari di rumah, suaminya membawa Ny.M ke sebuah klinik di

dekat rumahnya. Dokter yang menanganinya di kilinik tersebut bertanya penyebab

sakit yang dideritanya. Dokter klinik tersebut memberikan obat untuk menahan

sakit saat buang air kecil saja lalu merujuk kembali Ny.M ke rumah sakit dimana

ia melahirkan. Ny.M kembali dirawat di rumah sakit tersebut selama berminggu-

minggu namun tidak ada perbaikan sama sekali. Pihak keluarga telah bertanya

kepada pihak rumah sakit tersebut dan menawarkan penyelesaian secara

kekeluargaan, tetapi pihak rumah sakit cenderung diam dan tidak telalu

menanggapi keluhan dari keluarga Ny.M. Akhirnya keluarga memutuskan untuk

melaporkan kasus dugaan malpraktik tersebut ke kepolisian setempat.

44
Analisa Kasus

a. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana)

Pasal 360

(1) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain

mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun

atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

Pasal 304

Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam

keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena

persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada

orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan

atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 306

(1) Jika salah satu perbuatan berdasarkan Pasal 304 dan Pasal 305 mengakibatkan

luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh

tahun enam bulan.

Pasal 90 , Luka berat berarti:

• Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama

sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;

• Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan

pencarian;

• Kehilangan salah satu pancaindera;

• Mendapat cacat berat;

45
• Menderita sakit lumpuh;

• Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih;

• Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.

Pembahasan :

Dokter yang menangani Ny.M tersebut karena kealpaannya telah membuat

Ny.M mengalami kecacatan, yang seharusnya luka berat atau kecacatan

tersebut dapat dihindari atau diminimalkan dengan penyuntikan yang

tepat, cermat, dan dokter tetap mengawasi saat dilakukannya penyuntikan

oleh perawat yang ia berikan wewenang.

Serta perlu adanya komunikasi yang mendalam antara keluarga pasien dan

dokter tentang efek samping yang bisa saja terjadi pada saat pembiuasan.

Hal tersebut mengenai ketelitian dan kehati-hatian dokter dalam bertindak

yang dapat mengakibatkan luka berat pada pasiennya.

b. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Pasal 1366

Setiap orang bertanggung jawab, bukan hanya atas kerugian yang disebabkan

perbuatan-perbuatan, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan kelalaian

atau kesembronoannya.

Pembahasan:

Pasal 1366

Pada kasus ini seharusnya dokter tetap mengawasi tindakan penyuntikan

yang dilakukan perawat yang ia beri wewenang, dan memastikan perawat

46
tersebut mampu melakukan pekerjaannya dengan baik sehingga tidak

mencelakakan pasien. Karena kelalaiannya dalam pengawasan tersebut

menyebabkan kecacatan pada pasien.

c. Berdasarkan UU No. 29 tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran

Pasal 45

(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh

dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.

(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien

mendapat penjelasan secara lengkap.

(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya

mencakup :

• diagnosis dan tata cara tindakan medis;

• tujuan tindakan medis yang dilakukan;

• alternative tindakan laindari risikonya;

• risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan

• prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara

tertulis maupun lisan.

(5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko

tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang

berhak memberikan persetujuan.

47
Pasal 51

Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai

kewajiban:

(1) Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar

prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.

(2) Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau

kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan

atau pengobatan.

(5) Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran

atau kedokteran gigi.

Pasal 52

Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak :

(1) Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 45 ayat(3).

(3) Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;

Pembahasan:

Dokter perlu menjelaskan kepada pasien dan keluarganya. Mengenai

diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis yang

dilakukan, alternatif tindakan lain dan risikonya, risiko dan komplikasi

yang mungkin terjadi dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

Dokter tidak memberikan penjelasan yang rinci terhadap Ny.M maupun

suaminya dalam tindakannya terhadap Ny.M

48
Pasien tidak mendapatkan haknya tentang penjelasan yang lengkap dan

pelayanan medis yang sesuai kebutuhan.

Ketidaktelitian dokter karena kurangnya kompetensi dokter tersebut, yang

seharusnya dokter harus terus meningkatkan mutu dan kompetensinya

dalam bidang ilmu kedokteran.

d. Berdasarkan UU No. 44 tahun 2009 Tentang Rumah Sakit

Pasal 13

(3) Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit harus bekerja sesuai

dengan standar profesi, standar pelayanan Rumah Sakit, standar prosedur

operasional yang berlaku, etika profesi menghormati hak pasien dan

mengutamakan keselamatan pasien.

Pasal 46

Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang

ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit.

Pembahasan:

• Pada kasus ini, tenaga medis melakukan kelalaian yaitu, tidak memberikan

informasi sejelas-jelasnya terhadap keluarga pasien, sehingga

menimbulkan kecacatan pada pasien tersebut.

• Ditujukan untuk Rumah Sakit tempat M dirawat, dimana Rumah sakit

dipandang sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas kealpaan dokter

yang merawat Ny.M hingga menimbulkan kecacatan pada Ny.M tersebut.

e. Berdasarkan UU No. 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

49
Pasal 4

- Konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai

kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.

- Konsumen berhak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau

penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai

dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

Pasal 7

Pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai

kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,

perbaikan dan pemeliharaan.

Pasal 62

Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau

kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.

Pembahasan:

Pada kasus ini dokter jaga selaku pelaku usaha dianggap kurang

memberikan penjelasan secara terinci kepada pihak konsumen yaitu Ny.M

dan kelurganya, yang mengakibatkan kecacatan tetap pada pasien.

Rumah Sakit dan dokter yang merawat Ny.M tersebut seharusnya

memenuhi kewajiban memberikan informasi yang sejelas-jelasnya yang

dibutuhkan oleh keluarga pasien yang dalam hal ini disebut sebagai

konsumen yang berhak atas informasi tersebut.

.Rumah Sakit dan dokter juga bertanggung jawab atas kecacatan yang

terjadi pada Ny.M yang dalam hal ini merupakan konsumen.

50
BAB IV

KESIMPULAN

Kelalaian terjadi apabila seseorang melakukan sesuatu yang seharusnya

tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh

orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi

yang sama dimana bisa dibedakan menjadi satu atau lebih dari satu jenis kelalaian.

Kelalaian medis harus dibedakan dari malpraktis medis. Unsur-unsur

kelalaian medis adalah duty, dereliction of the duty, damage, dan direct causal

relationship. Hukum mengenai kelalaian medis diatur dalam hukum perdata

maupun pidana sebagai bentuk pemantauan terhadap adanya pelanggaran medis.

Seorang dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat pasti

akan berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi pasiennya karena sesuai

dengan tujuan diadakannya Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 yang

didalam Pasal 4 mengatakan bahwa ”Setiap orang berhak atas kesehatan”. Dokter

atau tenaga kesehatan lainnya tidaklah dapat dipungkiri adalah manusia biasa

yang penuh dengan kekurangan (merupakan kodrat manusia). Dalam

melaksanakan tugas kedokterannya yang penuh dengan resiko ini, terkadang tidak

dapat menghindarkan diri dari kekeliruan/kelalaian ataupun kesalahan.

DAFTAR PUSTAKA

51
1. Syahrul Machmud, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter

Yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktek, Karya Putra Darwati,

Bandung, 2012, hlm. 1

2. Dokter Qyu, Malapraktik; Catatan Jujur Sang Dokter, Bhuana Ilmu Populer,

Jakarta, 2011, hlm. 171.

3. Anonimous, UURI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Laksana,

Yogyakarta, 2013, hlm. 14 6 Syahrul Machmud, Op-Cit, hlm. 1.

4. Yunanto A, Helmi. Hukum Pidana Malpraktik Medik. Yogyakarta: Penerbit

Andi. 2010.

5. Husein Kerbala, Segi-Segi dan Yuridis Informen Consent, Pustaka Sinar

Harapan, Jakarta,1993, hal. 37

6. Soerjono Soekanto, Kontrak Terapeutik antara Pasien dengan Tenaga Medis,

Media Hospital (Februari, 1987) Hlm. 31

7. VeronicaKomalawati, Hukum dan Ettika Dalam Praktik Dokter, Sinar

Harapan, Jakarta, 1989, hal. 43-45

8. Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi

Terapeutik, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 47-48

9. Kartono Muhammad, Hak Pasien Untuk Mengetahui Cara Penyembuhan

Dalam Rumah Sakit, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990, hal 5

10. Azrul Azwar, Latar Belakang Pentingnya Informed Consent bagi Dokter,

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991, hal. 6-7

11. Fred Ameln, Op. Cit, hal. 64-65

52
12. J. Gunadi, Sekitar Gugatan Malpraktik Medik,Balai Penerbit Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, 2010 , hal, 14

13. Munir Fuady, Sumpah Hippocrates Aspek Hukum Malpraktik Dokter, Citra

Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 2-3

14. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan Hukum Kedokteran.

Jakarta: Pustaka Dwipar. 2007.

15. Edulla NK, Kethvath R, Alugonda Y, Kothapalli J, Goud AK. Determination

of Role and Issues of Autopsy in Medical Negligence. International Journal

of Medical Science and Public Health 2016:5(4):1486.

16. Hanafiah J, Amir A. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Edisi 4.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.2009;hal 27-32.

17. Isfandyarie,Anny, op.cit., hal 21

53

Anda mungkin juga menyukai