Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN TUTORIAL

“Bercak putih di wajahku yang membuatku tidak percaya diri”

Oleh Kelompok 2
Tutor : dr. Tias Pramesti Griana M.Biomed
Ketua Kelompok : Ahmad Taufiqurrohman Al- (200701110033)
Rasyid Anggota :
Sekretaris 1 : Luqiyatun Nadlifah (200701110032)
Sekretaris 2 : Aridin Gustaf (200701110008)
Anggota : Ayuma Laila Fauza (200701110005)
Zulfa Kamalia (200701110006)
Syifaus Shodry (200701110007)
Sabila Rosyidah Wibawa P (200701110030)
Ainul Fardiah Sumatika (200701110031)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2022
DAFTAR ISI
Daftar Isi ................................................................................................................................ i
Skenario ................................................................................................................................. 1

1. BAB I : KATA SULIT ............................................................................................... 2

2. BAB II : RUMUSAN MASALAH .............................................................................. 3

3. BAB III : BRAINSTORMING ..................................................................................... 8

4. BAB IV : PETA MASALAH ....................................................................................... 9

5. BAB V : TUJUAN PEMBELAJARAN ..................................................................... 10

6. BAB VI : TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 24

7. SOAP............................................................................................................................... 26

8. BAB VII : PETA KONSEP ......................................................................................... 27

9. BAB VIII : DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 29

i
SKENARIO TUTORIAL

“Bercak putih di wajahku yang membuatku tidak percaya diri”


Seorang anak perempuan berusia 11 tahun dibawa ke poliklinik UIN Malang oleh ibunya
dengan keluhan timbul bercak putih di wajah sejak 6 bulan terakhir. Tidak ada keluhan gatal
atau mati rasa. Awalnya hanya berukuran kecil kemudian perlahan makin melebar. Pasien
merupakan atlet renang, yang memiliki jadwal latihan yang padat dan sering latihan di kolam
renang outdoor pada siang hari. Tidak ada riwayat penggunaan odol baru atau kosmetik baru.
Paman pasien memiliki keluhan yang sama namun berbeda lokasi, yakni di tangan dan badan.
Pada pemeriksaan status lokalis didapatkan regio perioral : Makula depigmentasi berbatas jelas,
berbentuk irregular.

Dokter kemudian melakukan pemeriksaan dengan menggunakan lampu wood dan didapatkan
gambaran makula hipopigmentasi dengan batas jelas dan tidak didapatkan floresensi berwarna
kuning keemasan. Kemudian dokter memberikan terapi obat oles. Dokter menyarankan pasien
untuk rutin menggunakan sunscreen dan menghindari paparan sinar matahari secara langsung.

1
BAB I
KATA SULIT

1. Regio perioral:
 Daerah sekitar mulut.
 Terminologi; regio (daerah), peri (dekat), oral (mulut).

2. Wood lamp:
 Alat untuk pemeriksaan penunjang ketika ditemukan kelainan pada
kulit/rambut, biasanya penyakit tersebut disebabkan oleh infeksi jamur/kelainan
pigmentasi kulit.
 Alat yang menggunakan cahaya gelap untuk mengiluminasi area kulit, biasanya
untuk mendeteksi bakteri dan jamur yang ditandai warna khas pada spesimen.
Pemeriksaan non-invasif yang cepat, aman, dan tidak menimbulkan rasa nyeri.
 Memancarakan sinar UV, masing-masing penyakit memiliki warna tersendiri
seperti keemasan/ungu.
 Jenis pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk mendapatkan informasi
lebih lanjut penyakit kulit

3. Makula depigmentasi:
 Makula (kelainan efloresensi/kulit bersifat primer merupakan tanda awal
penyakit), depigmentasi (kelainan warna kulit putih seperti kuku/kapur).
 Kelainan kulit yang disebabkan perubahan warna kulit tidak lebih 1cm dengan
tinggi permukaan sama dengan sekitarnya.
 Hilangnya warna pada kulit, disebabkan karena kerusakan di melanosit yang
terjadi pada vitiligo atau pada korban luka bakar.
 Perubahan warna kulit sampai pucat, yang dikarenakan kondisi lokal maupun
sistemik.
 Ketika kadar pigmen tidak ada tanpa diserta pertambahan ketebalan kulit.

4. Makula hipopigmentasi:
 Terjadi ketika kadar pigmen berkurang yang menyebabkan warna kulit menjadi
lebih terang dibanding sekitarnya, biasnaya karna kurang melanin (zat warna
pada kulit)
 Adanya penurunan pigmentasi, berkurangnya melanin daripada kulit normal.
Tidak sama depigmentasi dimana tidak adanya melanosit sama sekali.
 Dapat disebabkan oleh vitiligo (hilangnya warna kulit dalam bentuk
bercak),Paparan sinar ultraviolet,Infeksi jamur.
 Akan lebih terlihat pada orang berkulit gelap, karena kontras warna alami
berupa bercak putih.

5. Floresensi:

2
 Kelainan kulit yang memiliki sifat tertentu khas, terdiri atas primer dan
sekunder.
 Primer (tanda awal penyakit), sekunder (saat perjalanan penyakit, baik faktor
internal maupun eksternal).

BAB II
RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana hubungan antara usia dengan jenis kelamin dengan keluhan yang dialami
oleh anak perempuan seperti pada skenario diatas?
2. Mengapa anak tersebut mengeluhkan adanya bercak putih di wajah sejak 6 bulan yang
lalu?
3. Mengapa bercak putih yang dialami anak tersebut tidak terasa gatal dan tidak mati rasa?
4. Bagaimana keluhan bercak putih itu awalnya berukuran kecil kemudian perlahan makin
melebar?
5. Bagaimana hubungan antara pasien yang merupakan atlet renang, yang memiliki
jadwal latihan yang padat dan sering latihan di kolam renang outdoor pada siang hari
dengan keluhan yang dialami pasien saat ini?
6. Bagaimana hubungan tidak ada riwayat penggunaan odol baru atau kosmetik baru?
7. Bagaimana hubungan antara paman pasien memiliki keluhan yang sama namun
berbeda lokasi, yakni di tangan dan badan dengan keluhan yang dialami pasien saat ini?
8. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh dokter kepada
pasien tersebut?
9. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan penunjang yang dilakukan dokter kepada
pasien dengan keluhan seperti pada skenario tersebut?
10. Mengapa dokter memberikan terapi obat oles kepada pasien tersebut? Dan apa
kemungkinan obat oles yang diberikan oleh dokter kepada pasien dengan keluhan
seperti pada skenari?
11. Mengapa dokter menyarankan pasien untuk rutin menggunakan sunscreen dan
menghindari paparan sinar matahari secara langsung?
12. Apa kemungkinan diagnosis (Wdx) dan diagnosis banding pasien tersebut?

3
BAB III
BRAINSTORMING

1. Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan px?

 Usia:
-11th di skenario, ketika bayi seseorang memiliki imun. Sel memori
dikumpulkan ketika kecil dan akan berkurang seiring bertambahnya umur, sel
memori diperantarai sel T. Hal ini yang menyebabkan menurunnya sistem imun.
-Lebih sering terkena daripada >20th karena sistem imun yang rendah, selain
itu bisa disebabkan karena stress, gangguan inflamasi/sistemik.
-Dengan keluhan yakni semakin bertambahnya usia kadar sel melanosit
(menghasilkan pigmen kulit) berkurang.
 Jenis kelamin:
-Mungkin penyakit tersebut vitiligo dimana tidak ada hubungan antara jenis
kelamin.
-Banyak terjadi pada perempuan karena mereka lebih memperhatikan estetika,
sehingga sering membeli dan menggunakan perawatan kulit yang terkadang
mengandung senyawa berbahaya dan memicu depigmentasi.

2. Mengapa px mengeluhkan bercak putih di wajah sejak 6 bulan lalu?

 Bercak putih pada kulit karena kurangnya melanin, pemicu tersebut karena tidak
berfungsinya sel melanosit dalam menjalankan fungsi nya.
 Produksi melanin disebabkan oleh strees, ROS, dll. Mediator kimia tersebut
menyebabkan disregulasi sistem saraf yang menyebabkan produksi melanin
menurun sehingga epinefrin dan asetil kolin meningkat, sehingga terjadi
kerusakan sel dan menyebabkan bercak putih.
 Faktor predisposisi genetik, paparan sinar UV, dan bahan kimia seperti
monobenzone, phenol, dan catechol dapat menyebabakan produksi auto
antibodi IgG terhadap protein melanin, autoantibodi akan berikatan dengan
melanosit dan memicu sel neutrofil dan sel sitotoksik T CD8 menghancurkan
sel melanosit → menurunkan produksi melanian. Gangguan fungsi mitokondria
pada melanosit dan stress oksidatif pada melanosit akan meningkatkan produksi
ROS di dalam melanosit sehingga mengaktivasi proses apoptosis melanosit →
menurunkan melanin → Pada skenario pasien merupakan atlit renang yang
sering terpapar sinar UV dan terpapar zat kmia natrium hipoklorit dari kolam
renang, yang mana natrium hipoklorit merupakan zat pemutih sehingga hal

4
tersebut bisa menjadi alasan mengapa pasien mengalami keluhan makula
depigmentasi dan makula hipopigmentasi.

3. Mengapa bercak putih pada px tidak terasa gatal dan tidak mati rasa?

 Bercak putih tersebut tidak mengenai serat saraf tipe C yang berfungsi dalam
rasa gatal. Px cenderung terkena vitiligo, dimana vitiligo tidak disertai inflamasi
yang cukup parah.
 Karena tidak terjadi gangguan pada saraf sensoris atau motoris, selain itu tidak
adanya peradangan. Rasa kebas juga tidak memicu adanya mediator inflamasi
seperti histamin.
 Berhubungan dengan etiologi kemungkinan besar bukan dari patogen yang
memicu produksi histamin berlebih.
 Destruksi melanin berarti tidak terjadi inflamasi yang biasanya disertai tanda
khas, sehingga merangsang produksi histamin yang akan merangsang sistem
saraf tipe C yang menimbulkan rasa gatal untuk digaruk.

4. Bagiaman keluhan bercak yang awalnya kecil dapat melebar?

 Kemungkinan karena jamur, riwayat px yang sering beraktivitas diluar ruangan


juga menjadi faktor perluasan hipopigmentasi. Meluas karena adanya kerusakan
melanin yang tidak disertai pembentukan melanin yang adekuat, berada di
daerah perioral. Dengan beberapa faktor yang memperparah (faktor air kaporit,
sinar matahri yang mengenai air sehingga menjadi panas).
 Etiologi yang tidak dihambat (inseksi, imun, jamur, dll) akan terus berkembang
sehingga menjadi ganas karena tidak ada yang menghambat.
 Di dalam sel melanosit terjadi pembentukan ROS apabila terpapar sinar
matahari terus-meerus maka akan terjadi apoptosis sel melanosit, sehingga
jaringan akan merekrut sel inflamasi seperti CD8 yang membuat apoptosis
berulang dan kerusakannya menjadi melebar.
 Bercak putih melebar karena adanya destruksi melanosit terus menerus,
sehingga produksi melanosit menurun.

5. Bagaimana hubungan antara pasien yang merupakan atlet renang, yang memiliki
jadwal latihan yang padat dan sering latihan di kolam renang outdoor pada siang
hari dengan keluhan yang dialami px saat ini ?

 Paparan sinar matahari bersifat ROS bagi kulit, ROS merupakan mediator kimia
yang menyebabkan produksi melanin menurun. Sehingga terjadi peningkatan
non-epinefrin > hipoksia > stress kulit > kerusakan sel (bercak putih meluas,
dsb).
 Kolam renang outdoor membuat paparan sinar matahari menyerang kulit secara
terus menerus, beberapa gangguan pigmentasi dapat menyebabkan bintik-bintik

5
muncul di are tersebut. Bintik bercak putih tesrbeut tidak gatal tetapi bisa
mengganggu penampilan seseorang.
 Apabila seseorang sering terpajan sinar matahari dan tidak menggunakan
sunscreen dalam waktu yang lama, akan memicu destruksi sel melanosit
(kemungkinan px tidak memakai sunscreen).
 Kemungkinan di kolam renang mengandung kaporit, yangmana merupakan zat
pemutih yang berperan dalam penuruna melanin px.

6. Bagaimana hubungan tidak ada riwayat penggunaan odol dan kosmetik baru
terhadap keluhan px?

 Pertanda bahwa penyebab keluhan px bukan karena alergi hal tersebut. Hal ini
juga digunakan untuk mempersempit diagnosis banding yang ada, kemungkinan
disebabkan dari dalam tubuh atau faktor eksternal seperti paparan sinar matahri
dan kaporit dalam kolam renang.
 Regio bercak putih dalam perioral yangmana berhubungan dengan penggunaan
odol. Lesi berca putih disebabkan karena adanya bekas luka, dimana bisa
disebabkan oleh odol atau sensitifitas kosmetik (bahan-bahan di dalam
kosmetik) dalam setiap orang berbeda.

7. Bagaimana hubungan antara paman px yang memiliki keluhan sama namun beda
lokasi dengan keluhan px saat ini?

 Karena faktor bawaan berupa autoantibodi yang menjadi faktor turunan


sehingga memiliki keluhan yang sama.
 Kemungkinan px menderita vitiligo, karena adanya autoantibodi dan faktor
genetik. Paman tersebut merupakan kerabat dekat px yangmana gen nya juga
sama, sehingga mudah menurunkan penyakit bawaan.

8. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik oleh dokter terhadap px?

 Pada pemeriksaan status lokalis didapatkan regio perioral : Makula


depigmentasi berbatas jelas, berbentuk irregular; Makula depigmentasi >
destruksi melanosit pada vitiligo dapat diperantarai secara langsung oleh
autoimun yang diperantarai sel T. Jumlah sirkulasi sitotoksik limfosit CD8+
yang meningkat, reaktif terhadap Melan-A/Mart-1 (antigen melanoma yang
dikenali sel T. Kulit normal perilesi mengalami perubahan degenerasi
melanosit, vakuolisasi sel basal, infiltrat limfosit, dan melanofag pada bagian
atas dermis sehingga muncullah bercak putih.

9. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan penunjang yang dilakukan oleh dokter


terhadap px?

6
 Untuk menyingkirkan ddx karena keluhan hipopigmentasi dan depigmentasi.
Selain itu untuk menyingkirkan diagnosis ptiriasi vesikolor dimana ditemukan
makula kuning terang yang mirip dengan penyakit vitiligo. Selain itu juga untuk
mempertajam diagnosis dari vitiligo.
 Dari hasil pemeriksaan penunjang yang dilakukan dengan wood lamp ini
didapatkan gambaran makula hipopigmentasi dengan batas jelas dan tidak
didapatkan floresensi berwarna kuning keemasan. Wood lamp merupakan alat
radiasi ultraviolet yang memancarkan sinar ultraviolet A (UVA). Alat ini dapat
membantu mengidentifikasi hilangnya melanosit fokal dan mendeteksi area
depigmentasi yang tidak terlihat dengan mata telanjang. Alat ini berguna
terutama pada individu yang memiliki warna kulit terang. Gambaran makula
hipopigmentasi dengan batas jelas dan tidak didapatkan efloresensi berwarna
kuning keemasan hal ini disebabkan oleh hilangnya melanosit dan juga diduga
berkaitan dengan autoimun.

10. Mengapa dokter memberikan terapi obat oles terhadap px? Dan kemungkinan
obat oles apa yang diberika dokter kepada px?

 Kemungkinan px menderita vitiligo, obat oles karena masih terdapat keluhan


bercak yang tidak sampai sistemik sehingga memilih obat topikal. Selain itu
faktor usia anak-anak juga mempngearuhi. Pemberian obat berupa
kortikosteroid yangaman dimulai dari dosis rendah dan bisa meningkat bila
tidak ditemukan perbedaan. Apabila bisa diberikan topikal lebih baik topikal
dahulu baru sistemik. Apabila px positif autoimun, kortikosteroid bisa diberikan
langsung dosis tinggi.
 Memberikan kortikosteroid topikal yang berguna untuk usaha mengadakan
repigmentasi, jika semakin meluas dokter juga bisa memberikan kortikosteroid
dalam bentuk oral. Glukokortikoid Topikal Sebagai awal pengobatan, terapi
diberikan secara intermiten (4 minggu pemakaian, 2 minggu tidak).
Glukokortikoid topikal kelas I cukup praktis, sederhana, dan aman untuk
pemberian pada makula tunggal atau multipel. Jika dalam 2 bulan tidak ada
respon, mungkin saja terapi tidak berjalan efektif. Perlu dilakukan pemantauan
tanda-tanda awal atrofi akibat penggunaan kortikostreoid. Topikal inhibitor
kalsineurin seperti tacrolimus dan pimecrolimus efektif untuk repigmentasi
vitiligo tetapi hanya didaerah yang terpapar sinar matahari. Mengoleskan losion
mengandung hydroquinone yang akan melunturkan pigmen kulit normal
sehingga warnanya menjadi serupa dengan bercak.

11. Mengapa dokter menyarankan px rutin menggunakan sunscreen pada siang hari
dan menghindari paparan sinar matahari secara langsung?

 Sunscreen berfungsi sebagai pengganti dari melanin, dimana sebagai pelindung


autoantibodi. Menghindari paparan sinar harus dihindari karena kulit

7
mengalami penurunan melanin sehingga kulit membutuhkan pelindung berupa
sunscreen.
 Mencegah dari paparan sinar matahari secara berlebih, menghambat penetrasi
sinar uv, memantulkan kembali sinar uv, mencegah pelebaran dari bercak
putihnya, dan encegah risiko dari kanker kulit.
 Mengurangi paparan sinar matahari, dimana kulit harus menghindari sinar
tersebut. Pengidap vitiligo tidak memilki cukup melanin untuk menghindari
sinar UV.
 Dalam skenario pada pemeriksaan ditemukan hipopigmentasi, sel-sel yang
memproduksi melanin berhenti, sehingga membutuhkna sunscreen untuk
melindungi kulit dari sinar UV untuk mengganti melanin yang hilang.

12. Apakah wdx dan ddx dari px?

 Wdx:
-Vitiligo: karena didapatkan hipopigmentasi pada kulit, ketika dilakukan
pemeriksaan penunjang ditemukan makula jelas batas tegas, tidak ditemukan
perubahan epidermis lain, dan cenderung berada di daerah wajah).
-Vitiligo tikrok: karena adanya depigmentasi dan hipopigmentasi, untuk
pigmentasi kulit lainnya normal, dan untuk bercak putih nantinya bakalan
berkembang.
-Vitiligo: berdasarkan anamnesis: bercak putih tidak gatal tidak mati rasa,
riwayat sosial atlit renang yang sering terpapar sinar UV dan paman mengalami
keluhan serupa. Pemeriksaan fisik: status lokalis yang didapatkan gambaran
makula hipopigmentasi dengan batas jelas berbentuk irreguler. Pemeriksaan
penunjang: Lamp wood tidak ada warna kuning keemas an.
 Ddx: ptiriasi vesikolor, pitriasi alba, naevus hipopigmentasi (kelainan saraf),
morgus hunson, leprosi (makula hipopigmentasi namun terdapat rasa gatal dan
kebas).

8
BAB IV
PETA MASALAH

9
BAB V
TUJUAN PEMBELAJARAN

1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan definisi dan klasifikasi vitiligo.


2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan epidemiologi vitiligo.
3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan etiologi vitiligo.
4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan factor risiko vitiligo.
5. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan manifestasi klinis vitiligo.
6. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan patofisiologi vitiligo.
7. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang vitiligo.
8. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan kriteria diagnosis vitiligo.
9. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan diagnosis banding vitiligo.
10. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tatalaksana vitiligo.
11. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan komplikasi dan prognosis vitiligo .
12. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pencegahan dan KIE vitiligo.
13. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan integrasi islam terkait scenario.

10
BAB VI
TINJAUAN PUSTAKA

1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan definisi dan klasifikasi vitiligo.

Vitiligo atau disebut juga belang putih, switra, kilasa ini merupakan kelainan
kulit kronis akibat gangguan pigmen melanin, ditandai bercak putih berbatas tegas.
Vitiligo dapat meluas, mengenai seluruh bagian tubuh yang mengandung sel melanosit,
misalnya: rambut dan mata. Vitiligo merupakan acquired depigmentary disorder yang
paling umum dijumpai. (Taïeb A, Picardo M, 2007)
Adapun klasifi kasi klinis vitiligo adalah sebagai berikut:
a) Localized, terbagi tiga: fokal (satu makula atau lebih dengan distribusi
sederhana), unilateral (satu makula atau lebih di salah satu bagian tubuh,
dengan distribusi dermatomal; ciri khasnya adalah lesi berhenti mendadak di
garis tengah tubuh), mukosal (keterlibatan mukosa membran).
b) Generalized, terbagi tiga: vulgaris (bercak putih tersebar atau berpencar),
acrofacialis (bagian putih atau patches terlokalisir atau terbatas pada ekstrimitas
distal dan wajah), mixed atau campuran (bentuk vulgaris dan acrofacialis).
c) Universalis (lesi sepenuhnya atau hampir di seluruh permukaan kulit).

2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan epidemiologi vitiligo.

Prevalensi vitiligo pada populasi diperkirakan berkisardari 0,1%-


2% dan
menunjukkan adanya variasi yang luas diantara kelompok etnis yang berbeda.
Prevalensi vitiligo pada populasi Kaukasia di Amerika Serikat dan Eropa Utara
diperkirakan sebesar 0,38%, sedangkan pada populasi di Cina diperkirakan
sebesar 0,19%. Insiden tertinggi dilaporkan dari India (1,25%-8,8%), diikuti
Meksiko (2,6%-4%), dan Jepang (1,64%). Adanya perbedaan ini kemungkinan
dihubungkan dengan lebih tingginya pasien vitiligo yang melapor terutama
berkaitan dengan kontras warna kulit yang tampak dan stigma yang diterima oleh
pasien yang mendorong untuk mencari pengobatan. Vitiligo dilaporkan lebih
sering pada wanita dibandingkan pria yang kemungkinan menunjukkan
peningkatan pelaporan kasus oleh wanita akibat lebih besarnya konsekuensi sosial yang
diterima (Alzolibani dkk., 2011). Anak dan dewasa dapat mengalami vitiligo
secara sama rata, dimana prevalensi vitiligo pada kelompok umur anak/dewasa
muda dengan kelompok umur dewasa tidak
terdapat perbedaan (Alzolibani dkk., 2011; Kruger dan Schallreuter, 2012). Seba
gian besar kasus vitiligo dilaporkan saat berkembang aktif dengan 50% pasien
datang sebelum usia 20 tahun dan 70-80% datang sebelum usia 30 tahun. Walaupun
tidak ada usia yang imun terhadap

11
vitiligo, kondisi ini sangat jarang ditemukan saat lahir (Alzolibani dkk., 2011).
Kasus vitiligo pernah dilaporkan terjadi pada usia 6 minggu setelah lahir (Nanda
dkk., 1989). Rerata onset vitiligo didapatkan lebih awal pada pasien dengan
riwayat keluarga yang positif, yang berkisar antara 7,7% sampai lebih dari 50%
(Alikhan dkk., 2011).
Insiden terjadinya vitiligo berkisar 1 - 2% populasi dunia, dimana 30%
penderita mempunyai riwayat keluarga. Perkembangan awal dari lesi, sekitar 25%
penderita dijumpai pada usia dibawah 10 tahun, 50% terjadi sebelum usia 23 tahun dan
kurang dari 10% terjadi pada usia lebih dari 42 tahun. Walaupun vitiligo relatif jarang
dijumpai pada bayi tetapi kongenital vitiligo pernah dilaporkan dan kadang-kadang
didiagnosa sebagai piebaldism. 1,2 Pada banyak penelitian, vitiligo lebih banyak
dijumpai pada wanita (dewasa) dibandingkan pada laki-laki (dewasa) yaitu 2-3 : 1.
Sedangkan penelitian vitiligo pada anak-anak, dijumpai perbandingan yang hampir
sama pada ke dua jenis kelamin. Kemungkinan hal ini disebabkan wanita (dewasa)
lebih memberikan perhatian terhadap penyakitnya dibandingkan laki-laki (dewasa),
sehingga lebih banyak mendapat pengobatan.

3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan etiologi vitiligo.

Etiopatogenesis vitiligo multifaktorial. Misalnya: faktor defek genetik (pola


poligenetik, multifactorial inheritance), berbagai jenis stres (stres emosional, stres
oksidatif dengan akumulasiradikalbebas),kerusakanmelanosit karena mekanisme
autoimmunity (kekebalan tubuh), self-destructive, sitotoksik (keracunan tingkat
seluler), ketidakseimbangan kalsium, peningkatan ROS (reactive oxygen species),
oksidan-antioksidan, autotoksik/metabolik, penyakit autoimun, dan mekanisme bio-
kimiawi yang diperantarai saraf. Beragam jalur (pathways) yang dapat terjadi, berkaitan
dengan “hilang/berkurangnya” melanosit, misalnya: proses apoptosis, ketidak-
seimbangan antara kadar Bax dan Bcl2, kejadian nekrotik, berkaitan dengan proses
inflamasi, suatu melanocytorrhagy, atau detachment, yang mengikuti trauma atau friksi,
karena melemahnya fungsi adhesion sel-sel atau sel–matriks (Anurogo, 2014)
Etiologi vitiligo yang tepat tidak diketahui. Hal ini sering dikaitkan dengan
beberapa penyakit autoimun. Ada berbagai teori tentang patogenesis dan etiologi adalah
multifaktorial. Hal ini ditandai dengan penetrasi yang tidak lengkap dan heterogenitas
genetic. Studi lainnya telah menunjukkan bahwa warisan itu kompleks dan juga
melibatkan faktor lingkungan dan genetik. Selain itu, dihipotesiskan bahwa faktor
genetik dapat mempengaruhi usia onset vitiligo. Pewarisan vitiligo juga dapat
mencakup gen yang terkait dengan biosintesis melanin, regulasi autoantibodi, dan
respons terhadap stres oksidatif (Ahmed, 2022).
Terdapat beberapa hipotesis yang dapat diterima mengenai etiologi dari vitiligo
yaitu bahwa komponen genetik membuat melanosit rentan untuk apoptosis dan
mengalami stres oksidatif yang, pada gilirannya, mempengaruhi individu untuk
menderita lesi / bintik-bintik hipopigmentasi. Diperkirakan bahwa etiologi vitiligo tidak
tersegmentasi adalah autoimun sedangkan sebagai etiologi vitiligo segmental adalah

12
neurokimia. Beberapa gen telah terbukti memberikan kerentanan, seperti gen CTLA4,
antigen limfosit T sitotoksik-4. Polimorfisme CTLA-4 CT60 A/G memberikan
kerentanan terhadap vitiligo pada orang Eropa. Polimorfisme PTPN22 C1858T, juga
dikaitkan dengan kerentanan vitiligo pada populasi yang sama. Juga, dalam studi
asosiasi genome yang berfokus pada individu kulit putih dengan keturunan Eropa, lokus
HLA-A, komponen dari super 13 locus MHC kelas I, diidentifikasi memiliki asosiasi
tinggi terhadap risiko untuk vitiligo pada orang umum juga (Koshoffer et al.,2014).

4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan factor risiko vitiligo.

 Faktor Genetik
Riwayat menderita vitiligo pada beberapa anggota dalam satu keluarga
menunjukkan mungkin terdapat suseptibilitas genetik yang berperan dalam vitiligo.
Gen dapat berkaitan dengan biosintesis melanin, respon terhadap stres oksidatif,
dan regulasi autoimunitas. Jenis Human Leukocyte Antigen (HLA) yang berperan
dalam vitiligo antara lain; A2, DR4, DR7, dan Cw6. Onset vitiligo pada
suseptibilitas genetik ini terjadi setelah ada faktor pencetus yang kemudian
menyebabkan destruksi melanosit. (Lukas & Sibero,. 2015)
 Penyakit Autoimun
Penyakit autoimun yang berkaitan dengan vitiligo antaralain gangguan tiroid,
khususnya tiroiditis hashimoto dan penyakit grave yang disertai dengan
endokrinopati lain seperti penyakit adison dan diabetes melitus. Gangguan lain yang
juga berkaitan dengan vitiligo tetapi masih diperdebatkan adalah alopesia areata,
anemia pernisiosa, lupus eritematosus sistemik, inflamatory bowl disease, artritis
rematoid, psoriasis, dan sindrom poliglandular autoimun. Bukti meyakinkan
patogenesis autoimun adalah ditemukannya autoantibodi di dalam sirkulasi pasien
vitiligo. Pasien vitiligo yang disertai penyakit autoimun biasanya mempunyai kadar
25 hidroksi vitamin D yang rendah. (Lukas & Sibero,. 2015)

5. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan manifestasi klinis vitiligo.

Vitiligo merupakan bercak putih pucat, berbatas tegas, umumnya berdiameter


0,5-5 cm, dapat disertai gatal atau panas, namun keluhan terutama pada problem
kosmetik.
Distribusi vitiligo mengikuti tiga pola, yaitu: fokal, segmental, dan generalisata
(nonsegmental). Fokal; vitiligo terbatas pada satu atau dua area tubuh. Segmental;
hilangnya warna hanya pada satu sisi tubuh, bisa juga mengenai minimal satu segmen
atau lebih. Bersifat stabil dan unilateral. Distribusinya sesuai dengan satu atau lebih
dermatoma tubuh yang berdekatan atau sesuai Blaschko’s lines. Sering dimulai di masa
anak-anak. Onset cepat. Sering terjadi pada wajah. Biasanya tidak disertai penyakit
autoimun lainnya. Pada kasus onset dini, sulit dibedakan dengan nevus depigmentosus.

13
Generalisata (nonsegmental); terbanyak dijumpai, hilangnya pigmen tersebar dan
simetris. Bersifat progresif dan “bergejolak” (flare-ups). Karakterisasinya adalah
bercak putih biasanya simetris, sering bertambah/ meluas seiring berjalannya waktu.
Umumnya terjadi di tempat yang sensitif terhadap tekanan-gesekan, dan cenderung
mudah trauma, seperti di: jari-jari, persendian (siku, lutut), aksila, pergelangan tangan,
pusat, sekitar mata, hidung, telinga, mulut, lipat paha, genitalia, dan anus. Dapat dimulai
di masa anak, namun biasanya terjadi kemudian. Kerapkali berhubungan dengan
riwayat autoimunitas pada keluarga atau personal. Sering kambuh lagi di tempat sama
(in situ) setelah autologous grafting. Terkait erat dengan kehilangan fungsi epidermis
secara substansial, dan terkadang juga melanosit folikel rambut. Vitiligo non-segmental
vitiligo disebut juga vitiligo vulgaris/simetris atau tipe acro-facial. Sebagian literatur
menyebutkan tipe klinis vitiligo universal, yaitu: hilangnya pigmen di seluruh area
permukaan tubuh. Presentasi klinis paling umum adalah lesi depigmentasi di area yang
terpapar sinar matahari.
Adapun klasifikasi klinis vitiligo adalah sebagai berikut:
a) Localized, terbagi tiga: fokal (satu makula atau lebih dengan distribusi
sederhana), unilateral (satu makula atau lebih di salah satu bagian tubuh, dengan
distribusi dermatomal; ciri khasnya adalah lesi berhenti mendadak di garis
tengah tubuh), mukosal (keterlibatan mukosa membran).
b) Generalized, terbagi tiga: vulgaris (bercak putih tersebar atau berpencar),
acrofacialis (bagian putih atau patches terlokalisir atau terbatas pada ekstrimitas
distal dan wajah), mixed atau campuran (bentuk vulgaris dan acrofacialis).
c) Universalis (lesi sepenuhnya atau hampir di seluruh permukaan kulit).
Perubahan warna kulit pertama kali dijumpai di daerah terbuka, seperti di wajah
atau punggung tangan. Lalu pembentukan pigmen berlebih (hiperpigmentasi) terdapat
di: ketiak, lipat paha, sekitar puting-susu, dan kelamin. Vitiligo juga banyak dijumpai
di bagian yang sering terkena gesekan, seperti: punggung tangan, kaki, siku, lutut,
tumit. Pada kasus tertentu, warna rambut di kulit kepala, bulu-alis mata, atau janggut
memudar menjadi agak putih atau keabu-abuan; warna retina berubah atau hilang.
Vitiligo juga dapat mengenai bagian tubuh yang menonjol dan terpajan sinar surya,
misalnya: di atas jari, di sekitar mata-mulut-hidung, tulang kering, dan pergelangan
tangan. Terkadang juga ditemukan di alat kelamin, puting susu, bibir, dan gusi.
Pada vitiligo juga dijumpai beragam varian klinis. Vitiligo trichrome dengan
karakteristik makula depigmented dan hypopigmented sebagai tambahan kulit
berpigmen normal. Vitiligo quadrichrome, bercirikan hiperpigmentasi marginal atau
perifollicular. Varian ini lebih sering pada tipe kulit yang lebih gelap, terutama di area
repigmentasi. Vitiligo pentachrome, dengan makula hiperpigmentasi biru abu-abu,
mewakili area melanin incontinence. Adakalanya penderita vitiligo memiliki varian
luar biasa yang dinamakan tipe confetti, ciri khasnya adalah memiliki beberapa makula
hipomelanotik, discrete, dan amat kecil (tiny). Peradangan pada vitiligo secara klinis
ditandai erythema di tepi makula vitiligo.

14
Meluasnya bercak putih menyebabkan penderita vitiligo kurang percaya diri,
cemas, stres, hingga depresi, ditambah beban psikologis akibat stigma negatif dari
sebagian orang yang meyakini takhayul bahwa vitiligo ini akibat penderita memiliki
pesugihan bulus Jimbung (bulus adalah istilah Jawa untuk kura-kura, Jimbung adalah
nama daerah di Klaten, Jawa Tengah). Depigmentasi wajah atau tangan pada penderita
vitiligo memiliki pengaruh (impact) signifi kan terhadap kualitas kehidupan dan
kepercayaan diri. (Anugro, 2022).

6. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan patofisiologi vitiligo.

 Patofisiologi Vitiligo
Laju kehilangan melanosit pada daerah lesi lebih cepat daripada pembentukan
melanosit. Mekanisme yang diperkirakan berperan dalam hal ini adalah genetik,
autoimun, biokimia, stress oksidatif, saraf, dan virus. (Bergqvist C, Ezzedine K,.
2020)
 Peran Genetika
Vitiligo diwariskan dalam pola non-Mendelian. Vitiligo merupakan penyakit
poligenik, yaitu tidak ada gen tunggal yang berperan dalam penyakit ini. Saat ini
terdapat bukti kuat keterlibatan gen human leukocyte antigen (HLA), protein
tyrosine phosphatase non-receptor type 22 (PTPN22), NACHT-LRR-PYD-
containing protein-1 (NALP1) dan cytotoxic T lymphocyte antigen-4 (CTLA-4)
yang terkait dengan kerentanan autoimunitas. (Halder RM, Chappell Jl., 2009)
Vitiligo ditandai dengan penetrasi yang tidak lengkap, lokus kerentanan
multipel, dan heterogenitas genetik. (Semprot RA., 2008) Keluarga dan studi
kembar telah menunjukkan bahwa pewarisan itu kompleks dan kemungkinan
melibatkan faktor genetik dan lingkungan. (Zhang XJ, et all., 2005) Selain itu,
diyakini bahwa faktor genetik dapat mempengaruhi usia timbulnya vitiligo. (Jin Y,
et all., 2011) Warisan vitiligo mungkin termasuk gen yang terkait dengan biosintesis
melanin, respon terhadap stres oksidatif, dan regulasi autoimunitas. (Halder R, et
all., 2008)
Penelitian saat ini belum mengidentifikasi hubungan apapun dengan jenis
antigen leukosit manusia (HLA) tertentu secara konsisten. Ada alasan untuk percaya
bahwa vitiligo segmental dan vitiligo nonsegmental mungkin memiliki mekanisme
genetik yang berbeda, yang dapat menjelaskan tanggapan mereka yang berbeda
terhadap pengobatan.

15
7. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang vitiligo.

Pada pemeriksaan fisik untuk menegakkan diagnosis vitiligo dapat didasarkan pada
gambaran klinis yang khas yaitu adanya lesi depigmentasi berupa makula atau bercak
berwarna putih, berbatas tegas dengan pinggir yang hipopigmentasi dan mempunyai
distribusi yang khas, dan bentuk yang tidak simetris.
Dalam upaya menegakkan diagnosis, selain pemeriksaan fisik dan anamnesis juga
dibutuhkan pemeriksaan penunjang untuk mengeliminasi diagnosis banding yang ada.
Terdapat beberapa pilihan untuk pemeriksaan penunjang, antara lain:
1. Wood Lamp: Pada px dengan vitiligo akan didapatkan hasil makula amelanosit
yang tampak putih berkilau.
2. Pemeriksaan Histopatologi: Pada pemeriksaan ini px dengan suspek vitiligo
akan dilakukan biopsi pada pinggiran lesi dan dilanjutkan dengan pemeriksaan
menggunakan mikroskop cahaya. Jika px vitiligo (+) hasilnya akan
menunjukkan hilangnya sebagian atau seluruh sel melanosit pada epidermis dan
pada batas melanosit tampak dendrit yang besar dan panjang.
3. Pemeriksaan Elektron Mikroskop: Pada px vitiligo akan dijumpai jumlah sel-
sel langerhans meningkat pada daerah basal epidermis dibandingkan pada
daerah tengah epidermis

16
4. Pewarnaan Histokimia: Yaitu pewarnaan dopa untuk tyrosinase yang
merupakan enzim khusus untuk melanosit dan pewarnaan Fontana-Mason untuk
melanin (Lubis,2008).

8. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan kriteria diagnosis vitiligo.

Menegakkan diagnosa vitiligo pada umumnya berdasarkan gambaran klinis


yang khas yaitu adanya lesi depigmentasi berupa makula atau bercak bewarna putih,
berbatas tegas dengan pinggir yang hiperpigmentasi dan mempunyai distribusi yang
khas. Penderita vitiligo dengan kulit yang terang (putih), agak sulit membedakan lesi
vitiligo dengan kulit normal disekitarnya, untuk keadaan ini dapat digunakan lampu
wood yang memberikan hasil yaitu makula yang amelanosit akan tampak putih
berkilau. Pemeriksaan histopatologi, juga diperlukan untuk menetapkan diagnosis dan
membedakan vitiligo dari penyakit depigmentasi yang lain.
Diagnosis ditegakkan terutama berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik,
serta ditunjang oleh pemeriksaan histopatologik dan pemeriksaan Lampu Wood.
Lampu Wood bermanfaat dalam menegakkan diagnosis vitiligo dan membedakannya
dari pitiriasis alba dan hipopigmentasi pasca inflamasi.
 Anamnesis
Menegakkan diagnosa vitiligo pada umumnya berdasarkan gambaran klinis yang
khas yaitu adanya lesi depigmentasi berupa makula atau bercak bewarna putih,
berbatas tegas dengan pinggir yang hiperpigmentasi dan mempunyai distribusi yang
khas. Penderita vitiligo dengan kulit yang terang (putih), agak sulit membedakan lesi
vitiligo dengan kulit normal disekitarnya, untuk keadaan ini dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang.
 Pemeriksaan Fisik
Lesi vitiligo biasanya asimptomatik dimana tidak dijumpai rasa gatal dan sakit,
walaupun penderita dapat juga mengeluhkan terjadinya luka bakar akibat sinar
matahari pada daerah yang mengalami depigmentasi. Karakteristik lesi pada vitiligo
yaitu berupa makula atau bercak putih seperti susu, berdiameter beberapa mm - cm
dan berbentuk oval - bundar. Lesi biasanya berbatas tegas dengan pinggir yang
hiperpigmentasi dan lesi lebih mudah dilihat pada penderita yang berkulit gelap atau
agak kecoklatan. Lokasi depigmentasi paling sering dijumpai pada wajah, leher dan
kulit kepala dan daerah yang sering mendapat trauma seperti ekstensor dari lengan,
bagian ventral dari pergelangan tangan, bagian dorsal dari tangan dan digital
phalanges. Vitiligo juga dapat dijumpai pada bibir, genitalia, gingival, areola dan
puting susu. Depigmentasi dapat juga mengenai rambut pada kulit kepala dimana
rambut menjadi berwarna abu-abu ataupun putih, yang pada awalnya hanya
melibatkan sebagian kecil dari rambut. Perubahan warna tersebut dapat juga terjadi
pada rambut alis mata, bulu mata, pubis dan axilla.
Dapat juga ditemukan variasi bentuk klinis vitiligo yaitu :
 Trichrome vitiligo : vitiligo dengan lesi yang berwarna coklat muda

17
 Quadrichrome vitiligo : adanya makula peri-follicular atau batas hiperpigmentasi
yang terlihat pada proses repigmentasi vitiligo.
 Inflammatory vitiligo : lesi eritematosa dengan tepi yang meninggi.
 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Histopatologi
Pada lesi yang mengalami depigmentasi, dilakukan biopsi pada pinggir
lesi dan dilakukan pemeriksaan menggunakan mikroskop cahaya. Hasilnya
menunjukkan hilangnya sebagian atau seluruh sel melanosit pada epidermis
dan pada batas melanosit tampak dendrit yang besar dan panjang.
b. Pewarnaan Histokimia
Pemeriksaan dapat juga dikonfirmasikan dengan menggunakan
pewarnaan histokimia yaitu pewarnaan dopa untuk tyrosinase yang merupakan
enzim khusus untuk melanosit dan pewarnaan Fontana-Mason untuk melanin.
Pada pemeriksaan elektron mikroskop, dijumpai jumlah sel-sel langerhans
meningkat pada daerah basal epidermis dibandingkan pada daerah tengah
epidermis.
c. Pemeriksaan menggunakan Lampu Wood
Pada pemeriksaan dengan lampu Wood tampak area depigmentasi,
batas tegas, berwarna mirip kapur putih.

9. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan diagnosis banding vitiligo.

A. Pityriasis versicolor
Pada pityriasis versikolor dapat ditemukan sisik halus dengan warna fluoresensi
kuning kehijauan dibawah lampu Wood dan hasil pemeriksaan KOH positif.
Pityriasis versicolor ini mengenai muka, leher, badan, lengan atas, ketiak, paha dan
lipatan paha. Kelainan kulit ini mempunyai pola dermatitis yang paling mencolok.
Gejala penyakit ini ditandai dengan terjadi eritema dan skuama yang biasanya
mendahului pembentukan hipopigmentasi.
B. Pityriasis alba
Lesi berupa bercak hipopigmentasi dan dijumpai adanya skuama. Pada pitiriasis
alba, lesi berukuran kecil, tepi tidak berbatas tegas, dan warna tidak terlalu putih.
Lesi biasanya dijumpai di daerah pipi, paha atas dan lengan. Biasanya terdapat pada
pasien dermatitis atopik.
C. Piebaldisme
Merupakan penyakit genetik yang diturunkan secara dominan autosomal.
Timbul segera setelah lahir, dimana tidak didapatkan adanya melanosit pada kulit
dan rambut. Lokasi lesi selalu terdapat pada tubuh bagian ventral, rambut bagian
depan sering berwarna putih, kemudian bercak depigmentasi dapat menyebar ke
bagian dahi.
D. Hipomelanosis gutata idiopatik

18
Hipomelanosis gutata idiopatik atau juga dikenal dengan istilah
sunspot merupakan kelainan kulit yang akibat akibat terlalu sering terkena paparan
sinar matahari. Gejalanya berupa bercak putih di wajah, lengan, atau tungkai.
Keluhan ini tak menimbulkan rasa gatal atau nyeri, dan sama sekali tidak berbahaya.
Ukuran bentuk dan bercak umumnya bervariasi. Tapi biasanya berbentuk bulat
dengan ukuran antara 2 sampai 5 milimeter.

10. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tatalaksana vitiligo.

Prinsip pengobatan vitiligo adalah pembentukan cadangan baru melanosit,


dimana diharapkan melanosit baru yang terbentuk akan tumbuh kedalam kulit yang
mengalami depigmentasi. Pengobatan vitiligo membutuhkan waktu, dimana sel baru
yang terbentuk akan mengalami proliferasi dan kemudian bermigrasi ke dalam kulit
yang mengalami depigmentasi, sehingga untuk melihat respon pengobatan dibutuhkan
waktu minimal 3 bulan (Ramora, 2008).
Metode pengobatan vitiligo dapat dibagi atas :
 Pengobatan secara umum yaitu :
a. Memberikan keterangan mengenai penyakit, pengobatan yang diberikan
dan menjelaskan perkembangan penyakit selanjutnya kepada penderita
maupun orang tua.
b. Penggunaan tabir surya (SPF15-30) pada daerah yang terpapar sinar
matahari. Melanosit merupakan pelindung alami terhadap sinar matahari
yang tidak dijumpai pada penderita vitiligo. Penggunaan tabir surya
mempunyai beberapa alasan yaitu :
 ¾ Kulit yang mengalami depigmentasi lebih rentan terhadap
sinar matahari (sunburn) dan dapat mengakibatkan timbulnya
kanker kulit.
 ¾Trauma yang diakibatkan sinar matahari (sunburn)
selanjutnya dapat memperluas daerah depigmentasi (Koebner
phenomen).
 ¾ Pengaruh sinar matahari dapat mengakibatkan daerah
kulit yang normal menjadi lebih gelap.
Dianjurkan menghindari aktivitas diluar rumah pada tengah hari dan
menggunakan tabir surya yang dapat melindungi dari sinar UVA dan UVB.
c. Camouflage Cosmetik: Tujuan penggunaan kosmetik yaitu
menyamarkankan bercak putih sehingga tidak terlalu kelihatan. Yang
biasa digunakan adalah Covermark dan Dermablend.
 Repigmentasi vitiligo, dapat dilakukan dengan berbagai cara dan melihat
usia dari penderita yaitu :

19
a. Usia dibawah 12 tahun.
 Topikal steroid
Penggunaan steroid diharapkan dapat meningkatkan mekanisme
pertahanan terhadap autodestruksi melanosit dan menekan proses immunologis.
Topikal steroid merupakan bentuk pengobatan yang paling mudah. Steroid yang
aman digunakan pada anak adalah yang potensinya rendah. Respon pengobatan
dilihat minimal 3 bulan. Penggunaan topikal steroid yang berpotensi kuat dalam
jangka waktu lama, dapat menimbulkan efek samping yaitu terjadinya atrofi
pada kulit, telangectasi.
 Topikal Tacrolimus
Berdasarkan penelitian, topikal Tacrolimus 0,1% dapat digunakan
sebagai alternatif pengobatan vitiligo pada anak. Tacrolimus adalah makrolid
lakton yang diisolasi dari hasil fermentasi Streptomyces
tsukubaensis.Merupakan suatu immunosupressor yang poten dan selektif.
Mekanisme kerja berdasarkan inhibisi kalsineurin yang menyebabkan supresi
dari aktivasi sel T dan inhibisi pelepasan sitokin. Berdasarkan penelitian,
penggunaan topikal tacrolimus 0,1% memberikan hasil yang baik pada daerah
wajah dan memiliki efek samping yang lebih minimal dibandingkan dengan
topikal steroid poten yaitu adanya rasa panas atau terbakar dan rasa gatal, namun
biasanya menghilang setelah beberapa hari pengobatan.
 Topikal PUVA
Diindikasikan pada anak yang berusia lebih dari 10 tahun dengan vitiligo
tipe lokalisata atau pada lesi yang luasnya kurang dari 20% permukaan tubuh.
Digunakan cream atau solution Methoxsalen(8-Methoxypsoralen,Oxsoralen)
dengan konsentrasi 0,1 –0,3 %. Dioleskan 15 - 30 menit sebelum pemaparan
pada lesi yang depigmentasi. Pemaparan menggunakan UV-A dengan dosis
awal 0,12 joule dan pada pemaparan berikutnya dosis dapat ditingkatkan
sebanyak 0,12 joule sampai terjadi eritema yang ringan. Pemaparan dapat juga
menggunakan sinar matahari. Lamanya pemaparan pada awal pengobatan
berikutnya dapat ditambahkan 5 menit dan maksimum selama 15-30 menit.
Pengobatan diberikan satu atau dua kali seminggu tetapi tidak dalam 2 hari
berturut- turut. Setelah selesai pemaparan, daerah tersebut dicuci dengan sabun
dan dioleskan tabir surya. Efek samping yang dapat timbul adalah photoaging,
reaksi phototoxic dan penggunaan yang lama dapat meningkatkan timbulnya
resiko kanker kulit. Respon pengobatan dilihat selama 3-6 bulan.

b. Usia lebih dari12 tahun (remaja)


 SISTEMIK PUVA

20
Indikasi penggunaan sistemik psoralen dengan pemaparan UV-A yaitu
pada vitiligo tipe generalisata. Obat yang digunakan yaitu Methoxsalen (8-
MOP, Oxsoralen), bekerja dengan cara menghambat mitosis yaitu dengan
berikatan secara kovalen pada dasar pyrimidin dari DNA yang difotoaktivasi
dengan UV-A. Dosis yang diberikan 0,2-0,4 mg/kg BB/ oral, diminum 2 jam
sebelum pemaparan. Pemaparan menggunakan UV-A yang berspektrum 320-
400 nm. Dosis awal pemberian UV-A yaitu 4 joule. Pada setiap pengobatan
dosis UV-A dapat ditingkatkan 2-3 joule sehingga lesi yang depigmentasi akan
berubah menjadi merah jambu muda. Dosis tersebut akan dipertahankan pada
level yang konstan pada kunjungan yang berikutnya, sehingga terjadi
repigmentasi pada kulit. Pemaparan dapat juga menggunakan sinar matahari.
Lamanya pemaparan pada awal pengobatan selama 5 menit, pada pengobatan
berikutnya dapat ditambahkan 5 menit sehingga dicapai eritema ringan dan
maksimum selama 30 menit. Terapi ini biasanya diberikan satu atau dua kali
seminggu tetapi tidak dilakukan 2 hari berturut-turut.
Efek samping yang dapat timbul yaitu mual, muntah, sakit kepala, kulit
terbakar dan meningkatnya resiko terjadinya kanker kulit. Penderita yang
mendapat pengobatan dengan psoralen secara sistemik, sebaiknya sewaktu
dilakukan pemaparan menggunakan kacamata pelindung terhadap sinar
matahari hingga sore hari, untuk menghindari terjadinya toksisitas pada mata.
Terapi dilanjutkan minimum 3 bulan untuk menilai respon pengobatan.
 TERAPI BEDAH
Pasien dengan area vitiligo yang tidak luas dan aktivitasnya stabil, dapat
dilakukan transplantasi secara bedah yaitu :
a. Autologous skin graft
Sering dilakukan pada pasien dengan bercak depigmentasi yang tidak
luas. Tekhnik ini menggunakan jaringan graft yang berasal dari pasien itu
sendiri dengan pigmen yang normal, yang kemudian akan dipindahkan ke area
depigmentasi pada tubuh pasien itu sendiri. Repigmentasi akan menyebar dalam
waktu 4-6 minggu setelah dilakukan graft. Komplikasi yang dapat terjadi pada
tempat donor dan resipien yaitu infeksi, parut, cobblestone appearance ataupun
dijumpainya bercak-bercak pigmentasi atau tidak terjadi samasekali
repigmentasi.
b. Suction blister
Prosedur tekhnik ini yaitu dibentuknya bula pada kulit yang
pigmentasinya normal mengunakan vakum suction dengan tekanan 150 Hg
ataupun menggunakan alat pembekuan. Kemudian atap bula yang terbentuk
dipotong dan dipindahkan pada daerah depigmentasi. Komplikasi tekhnik ini
adalah timbulnya jaringan parut, cobble stone appearance ataupun terjadi
repigmentasi yang tidak sempurna. Tetapi dengan tekhnik ini, resiko timbulnya
jaringan parut lebih sedikit dibandingkan prosedur graft yang lain.

21
 DEPIGMENTATION
Terapi ini merupakan pilihan pada pasien yang gagal terapi PUVA atau
pada vitiligo yang luas dimana melibatkan lebih dari 50% area permukaan tubuh
atau mendekati vitligo tipe universalis. Pengobatan ini menggunakan bahan
pemutih seperti 20% monobenzyl ether dari hydroquinone (Benzoquin 20%),
yang dioleskan pada daerah yang normal (dijumpai adanya melanosit).
Dilakukan sekali atau dua kali sehari. Efek samping yang utama adalah
timbulnya iritasi lokal pada kulit berupa kemerahan ataupun timbul rasa gatal.
Oleh karena itu dilakukan test pengolesan hanya pada satu lengan bawah
yang dioleskan sehari sekali. Apabila dalam 2 minggu tidak terjadi iritasi
selanjutnya cream dapat dioleskan sehari dua kali. Kemudian setelah 2 minggu
pengolesan tidak terjadi iritasi maka cream tersebut dapat dioleskanpada tempat
dimana saja pada tubuh. Bahan ini bersifat cytotoxic terhadap melanosit dan
menghancurkan melanosit. Depigmentasi bersifat permanen dan irreversible.
Kulit penderita akan menjadi albinoid dan membutuhkan tabir surya.
 TATTOO (MIKROPIGMENTATION)
Tattoo merupakan pigmen yang ditanamkan dengan menggunakan
peralatan khusus yang bersifat permanen. Tekhnik ini memberikan respon yang
terbaik pada daerah bibir dan pada orang yang berkulit gelap. Efek sampingnya
yaitu dapat terjadi herpes simplex labialis.

11. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan komplikasi dan prognosis


vitiligo.

 Komplikasi
Komplikasi vitiligo adalah stigmatisasi sosial dan stres mental, keterlibatan
mata seperti iritis, kulit yang ter depigment lebih rentan terhadap sengatan
matahari, kanker kulit, dan gangguan pendengaran karena kehilangan melanosit
koklea. Komplikasi lain terkait dengan obat-obatan seperti atrofi kulit setelah
penggunaan steroid topikal yang berkepanjangan. (Ahmed Jan, et al., 2021)
Komplikasi potensial termasuk peningkatan risiko:
 Masalah psikologis atau stigmatisasi sosial
Dampak psikososial vitiligo sebanding dengan penyakit kulit umum lainnya
seperti psoriasis dan eksim. Dalam pedoman klinis, dampak utama vitiligo
adalah efek psikologis dari penyakit. Misalnya, review oleh Ongenae et al.
menunjukkan bahwa respon emosional tingkat tinggi dilaporkan, seperti
peningkatan kesadaran diri, harga diri yang lebih rendah, tingkat stigma dan
kecacatan yang lebih tinggi, kemarahan, Kualitas Hidup yang lebih buruk
(QOL) secara keseluruhan dan dampak negatif pada hubungan seksual.
Dalam survei di Inggris, sebagian besar pasien melaporkan bahwa vitiligo

22
mempengaruhi kualitas hidup mereka secara moderat atau berat. Pasien
sering melaporkan perasaan tertekan dan malu tentang penampilan mereka,
yang dapat menyebabkan harga diri rendah, takut ditolak, dan menarik diri
dari pergaulan (Chandler, et al., 2014).
 Lebih rentan terbakar sinar matahari
 Kanker kulit
 Iritis dan masalah lain yang berhubungan dengan mata
 Gangguan yang merujuk pada kehilangan pendengaran
 Pengobatan efek samping seperti gatal-gatal (Robinson, 2014).
 Prognosis
Perjalanan penyakit vitiligo pada seseorang tidak dapat diduga, dapat stabil
selama beberapa tahun, tetapi dapat pula membesar, sementara lesi lain muncul
atau menghilang. Repigmentasi spontan dapat terjadi terutama pada anak-anak,
tetapi juga tidak menghilang sempurna, terutama pada daerah terpajan matahari.
Pada kenyataan repigmentasi berlangsung lambat, tidak sempurna dan tidak
permanen, keadaan ini terutama bila menggunakan fototerapi. Ketiadaan rambut
sebagai sumber pigmen diperkirakan terjadi kegagalan terapi, misalnya pada jari-
jari tangan dan kaki (PERDOSKI, 2017).
Prognosis untuk repigmentasi pada sebagian besar penderita vitiligo tidak baik.
Pada sebagian besar kasus, vitiligo merupakan penyakit kronis dan progresif.
Repigmentasi spontan jarang terjadi (Gawkrodger DJ, 2009).
Vitiligo tidak mengancam nyawa, tetapi mengganggu secara estetika dan
menimbulkan beban psikososial. Respons terapi berbeda-beda, terutama
bergantung pada jenis vitiligo, tetapi terapi VNS memberikan respons yang lebih
baik dibandingkan pada VS. (PERDOSKI, 2017).
 Quo ad vitam : ad bonam
 Quo ad fungsionam : dubia ad malam
 Quo ad sanationam : dubia ad malam (PERDOSKI, 2017).

12. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pencegahan dan KIE vitiligo.

Baik orang tua pasien maupun pasien diberikan komunikasi informasi edukasi
mengenai diagnosis penyakit; tujuan, prosedur fototerapi, sesi terapi, efek samping
yang dapat terjadi dan kemungkinan hasil yang diperoleh. Pasien disarankan untuk
menghindari paparan sinar matahari dan menggunakan tabir surya dengan SPF 30,
menggunakan pelindung fisik berupa topi dan payung jika terpapar sinar matahari,
hindari trauma berupa gesekan, tekanan atau luka (Nurhadi,2019).
Pada penelitian di pakistan tentang efek vitiligo terhadap kualitas hidup
menunjukan bahwa vitiligo memiliki efek parah pada kualitas hidup pada 67,11%
pasien. Pasien vitiligo menderita di semua aspek kehidupan dan kerusakan psikologis

23
sangat mempengaruhi kesejahteraan sosial pasien vitiligo. Penelitian yang dilakukan di
washington menyatakan bahwa vitiligo merupakan penyakit yang dapat menyebabkan
pengaruh pada psikologis penderita, terutama pada wanita danorang kulit gelap, juga
dapat berpengaruh pada kualitas hidup, kepercayaan diri, perkawinan dan pekerjaan
penderita. Sehingga juga penting bagi tenaga medis memperhatikan keadaan psikologis
pasien. Sarankan pasien untuk melakukan konsultasi psikologis/psikiatri apabila
dibutuhkan (Anggraini,2018).

13. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan integrasi islam terkait scenario.

Allah berfirman dalam Q.S. Al anbiya ayat 35 yang dalam tafsir Al-Quran dari
Depag ( 1997/1998 ) dijelaskan bahwa cobaan yang ditimpakan Allah kepada
manusia tidak hanya berupa hal-hal yang buruk atau yang tidak disukai, namun juga
ujian yang Allah berikan pada manusia dapat berupa hal-hal kebaikan atau
keberuntungan. Apabila ujian atau cobaan tersebut berupa musibah maka tujuannya
adalah untuk menguji sikap dan keimanan manusia, apakah ia dapat bersabar dan
bertawakal ketika menerima cobaan tersebut. Adapun apabila Allah menguji manusia
berupa kebaikan atau keburukan, itupun tidak lain untuk menguji apakah ia mau
bersyukur atas segala ramat yang telah dilimpahkan Allah SWT. pada dirinya.
Kemudian dalam surat Q.S. Ali imran ayat 186 yang dalam tafsir al-misbah dijelaskan
oleh Quraish shihab (2002) bahwa semua orang akan di uji oleh Allah SWT. Baik
berupa ujian harta ataupun ujian diri kamu, adapun ujian harta baik berupa kekurangan
harta, kehilangan, atau dalam bentuk kewajiban berzakat dan bersedekah. Adapun ujian
berupa diri kamu, yaitu baik dengan luka dan pedih akibat penganiayaan musuh,
ataupun penyakit.

‫ب ِم ْن قَ ْب ِل ُك ْم َو ِمنَ الَّ ِذيْنَ ا َ ْش َر ُك ْْٓوا‬


َ ‫۞ لَت ُ ْبلَ ُو َّن فِ ْْٓي اَ ْم َوا ِلكُ ْم َواَ ْنفُ ِسكُ ْۗ ْم َولَت َ ْس َمعُ َّن ِمنَ الَّ ِذيْنَ ا ُ ْوتُوا ْال ِك ٰت‬
‫ص ِب ُر ْوا َوتَتَّقُ ْوا فَا َِّن ٰذلِكَ ِم ْن َع ْز ِم ْاْلُ ُم ْو ِر‬ ْ َ‫اَذًى َكثِي ًْرا ْۗ َوا ِْن ت‬
“Kamu pasti akan diuji denganhartamu dan dirimu. Dan pasti kamu akan mendengar banyak
hal yang sangat menyakitkan hati dari orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan dari
orang-orang musyrik. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian
"itu termasuk urusan yang (patut) diutamakan

24
SOAP

S (Subjective)
Nama: An. A
Jenis Kelamin: Perempuan
Usia: 11th
Keluhan Utama: Timbul bercak putih di wajah
RPS: Keluhan tidak disertai dengan gatal atau mati rasa. Namun bercak putih yang awalnya
kecil kemudian perlahan semakin melebar.
RPD: -
RPK: Paman px memiliki keluhan yang sama namun lokasi nya berbeda, yakni di area
tangan dan badan.
RS: Px merupakan seorang atlet renang yang memilki jadwal latihan padat pada siang hari
dan dilakukan di ruangan outdoor.
Riwayat Alergi:-
Riwayat Obat:-
O (Objective)
Tanda Vital: -
Pemeriksaan Fisik: Status lokalis pada regio perioral, macula depigmentasi berbatas jelas
dan berbentuk irregular.

\
A1 (Initial Assesment)
DDx (Differential Diagnosis): Ptiriasis vesikolor, ptiriasis alba, macula hipopigmentasi,
morbus hunsen (leprosy).

P1 (Planning Diagnosis)
Pemeriksaan Penunjang: Wood lamp (gambaran macula hipopigmentasi dengan batas jelas
dan tidak didapatkan floresensi berwarna kuning keemasan.
A2 (Assesment)
WDx (Working Diagnosis): Vitiligo trichome.
P2 (Planning)
Tatalaksana Farmakologis:
 Topikal : (sunscreen SPF, Takrolimus, Kortikosteroid).

25
Tatalaksana non-Farmakologis:
 Menghindari stress.
 Menghindari berbgai trauma fisik (tumpul, tajam, tekanan repetitive).
 Menghindari paparan sinar matahari berlebih.

Planning Monitoring (PMo):


 Memantau persebaran vitiligo px.
 Memantau kondisi psikis px.

Planning Follow Up:


 Px diminta untuk berkonsultasi kembali apabila perkembangan klinis semakin
memburuk.
KIE:
 Memberitahu px bahwa kesembuhan datangnya dari Allah SWT.
 Memberitahu px bahwa vitiligo merupakan penykit kronis progresif yang tidak
menular dan dapat diobati.
 Memberitahu px untuk sabar karena respon pengobatan maisng-masing orang
berbeda.
 Memberitahu px bahwa vitiligo dapat diserti dengan kelainan system imun.

26
BAB VII
PETA KONSEP

27
BAB VIII
DAFTAR PUSTAKA

1) Lamerson C, Nordlund J J. Vitiligo. In : Harper J, Oranje A, Prose N, editor.Textbook


of Pediatric Dermatology. Vol 1, Blackwell Science, 2000 ; 880 - 88.
2) Lubis, Ramona Dumasari. 2008. Vitiligo. e-Repository Universitas Sumatera Utara.
3) Anurogo D, Ikrar T. Vitiligo. CDK-200, 2014; 9: 666-75.
4) Nurhadi, S. (2019). Vitiligo Fokal pada Anak Yang Diterapi dengan Target Excimer
Light Focal Vitiligo in Children Treated with Target Excimer Light 380 nm. Jurnal
Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma, 8(2), 23–34.
5) Anggraini, Ade Rahma. (2018). HUBUNGAN LETAK LESI VITILIGO DENGAN
KUALITAS HIDUP PENDERITA VITILIGO DI POLIKLINIK KESEHATAN
KULIT DAN KELAMIN RSUD DR.RM DJOELHAM BINJAI. Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara.
6) Lukas, R., & Sibero, H. T. (n.d.). 2015. Vitiligo. Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
7) Chandler, D. J., Shah, R. & Bewley., A., 2014. "The psychosocial complications of
vitiligo. Pigmentary Disorders, 1(130), pp. 1-2.
8) Robinson, J. K. et al., 2014. Surgery of the Skin: Procedural Dermatology. 3rd ed.
London: Elsevier.
9) Ahmed jan N, Masood S. Vitiligo. [Updated 2021 Aug 11]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559149/
10) PERDOSKI. (2017). Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin
di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia.
11) Gawkrodger DJ. (2009). Vitiligo: What General Physicians Need to Know. Clinical
Medicine. 9 (5), 408-9
12) Bergqvist C, Ezzedine K. Vitiligo: A Review. Dermatology. 2020;1-22.
doi:10.1159/000506103
13) Halder RM, Chappell JL. Vitiligo update. Semin Cutan Med Surg. 2009;28(2):86-92.
doi:10.1016/j.sder.2009.04.008
14) Roncone K. Vitiligo. 2019. https://emedicine.medscape.com/article/1068962-overview
15) Gunasekera N. Vitiligo Screen Tool as an Innovative Method for Diagnosing and
Studying Vitiligo. 2017. Doctoral dissertation, Harvard Medical School.
http://nrs.harvard.edu/urn-3:HUL.InstRepos:40621394
16) Boissy RE, Spritz RA. Frontiers and controversies in the pathobiology of vitiligo:
separating the wheat from the chaff. Exp Dermatol. 2009;18(7):583-585.
doi:10.1111/j.1600-0625.2008.00826
17) Semprot RA. Genetika vitiligo umum. Curr Dir Autoimun . 2008. 10:244-57. [Tautan
MEDLINE QxMD] .
18) Zhang XJ, Chen JJ, Liu JB. Konsep genetik vitiligo. J Dermatol Sci . 2005 September
39 (3):137-46. [Tautan MEDLINE QxMD] .

28
19) Jin Y, Birlea SA, Fain PR, dkk. Analisis Genom-Lebar Mengidentifikasi Lokus Sifat
Kuantitatif di Wilayah Kelas II MHC Terkait dengan Usia Onset Vitiligo Umum. J
Investasikan Dermatol . 2011 Juni 131(6)::1308-12. [Tautan MEDLINE QxMD] .
20) Halder R, Taliaferro S. Vitiligo. Wolff K, Tukang Emas L, Katz S, Gilchrest B, Paller
A, Lefell D, eds. Dermatologi Fitzpatrick dalam Kedokteran Umum edisi ke-7. New
York, NY: McGraw-Hill; 2008. Jil 1:72.
21) Lamerson C, Nordlund J J. Vitiligo. In : Harper J, Oranje A, Prose N, editor.Textbook
of Pediatric Dermatology. Vol 1, Blackwell Science, 2000 ; 880 - 88.
22) Hann S K. Vitiligo. http://www.emedicne.com/ Oct 9, 2001.
23) Hurwitz S. Disorders of Pigmentation : Vitiligo. In : Clinical Peditric Dermatology (A
textbook of skin disorder of childhood and adolescence). 2 nd ed, Saunders Company,
1993 ; 458 - 465.
24) Boissy R E, Nordlund J J. Vitiligo. In : Cutaneous Medicine And Surgery. Vol 2, W.B.
Saunders Company, 1996 ; 1210 -16.
25) Fleischer A B, Feldman S R. Vitiligo. In : 20 Common Problems In Dermatology.
McGraw-Hill, 2000 ; 277 – 86.
26) Berhrman R E, Kliegman R M. Vitiligo. In : Nelson Textbook of Pediatrics, 16 th ed,
W.B. Saunders Company, 2000 ; 1988.
27) Vitiligo. In : Handbook of Dermatology &
Venereology. http://www.hkmj.org.hk/skin/vitiligo.htm.
28) Taïeb A, Picardo M. The defi nition and assessment of vitiligo: a consensus report of
the Vitiligo European Task Force. Pigment Cell Res 2007;20:27-35.
29) Anugro, Dito dkk. Vitiligo. Journal CDK, 2022

29

Anda mungkin juga menyukai