Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN TUTORIAL

“Kisah Budi di Pesantren”

Oleh Kelompok 2
Tutor : dr. Alvi Milliana M.Biomed

Ketua Kelompok : Ahmad Taufiqurrohman Al- (200701110033)


Rasyid Anggota :
Sekretaris 1 : Luqiyatun Nadlifah (200701110032)
Sekretaris 2 : Aridin Gustaf (200701110008)
Anggota : Ayuma Laila Fauza (200701110005)
Zulfa Kamalia (200701110006)
Syifaus Shodry (200701110007)
Sabila Rosyidah Wibawa P (200701110030)
Ainul Fardiah Sumatika (200701110031)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2022
DAFTAR ISI
Daftar Isi ................................................................................................................................ i
Skenario ................................................................................................................................. 1

1. BAB I : KATA SULIT ............................................................................................... 2

2. BAB II : RUMUSAN MASALAH .............................................................................. 3

3. BAB III : BRAINSTORMING ..................................................................................... 6

4. BAB IV : PETA MASALAH ....................................................................................... 7

5. BAB V : TUJUAN PEMBELAJARAN ....................................................................... 8

6. BAB VI : TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 30

7. BAB VII : PETA KONSEP ......................................................................................... 31

8. BAB VIII : DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 32

i
SKENARIO TUTORIAL

“Kisah Budi di Pesantren”

Budi merupakan siswa MTS berusia 13 tahun yang juga tinggal di pondok pesantren Kabupaten
Malang. Pagi itu dia diantar temannya ke klinik di sekitar pondok pesantren. Budi mengeluh
pada tangan dan pergelangan tangannya timbul bruntus kemerahan yang terasa gatal sejak 2
minggu yang lalu. Awalnya bruntus muncul di sela jari kedua tangan lalu meluas ke telapak
tangan, kedua pergelangan tangan, punggung. Keluhan disertai dengan rasa gatal yang semakin
parah di malam hari. Budi tinggal Bersama teman-temannya di pesantren sejak 1 tahun yang
lalu. Satu kamar dihuni oleh 10 siswa. Terdapat Riwayat keluhan serupa pada teman
sekamarnya. Pada pemeriksaan klinik regio sela jari tangan, pergelangan tangan dan punggung
ditemukan papul eritematosa multiple, tersebar diskret disertai dengan krusta kemerahan dan
ekskoriasi. Tampak pula kunikulus berkelok berwarna putih dengan ujung terdapat papul.

Kemudian dilakukan pengambilan sampel dan pada pemeriksaan mikroskopis tampak


gambaran seperti berikut:

Dari hasil pemeriksaan tersebut, dokter melakukan KIE tentang penyakit pasien dan
memberikan obat salep 2-4 yang diaplikasikan selama 3 malam berturut-turut.

1
BAB I
KATA SULIT

1. Ekskoriasi: kehilangan jar.epidermis (lecet) dan dermis bagian atas sampai papila
dermis disertai cairan (darah yang bercampur dengan serum) yang keluar dikarenakan
efek jangka panjang menggaruk.
2. Kunikulus: terowongan (diujung nya ditemukan papul/vesikel) yang nampak garis
pendek berkelok dengan warna putih dan panjang 1cm serta menjadi faktor patognomik
penyakit scabies.
3. Discret: terpisah satu dengan yang lain.
4. Papul eritematosa multiple: penonjolan kulit berukuran >0,5 banyak dengan warna
kemerahan/gejala kulit karena penonjolan kulit dengan diameter <1cm dengan muncul
bercak merah pada kulit dan berjumlah banyak/penonjolan terjadi karena pelebaran
pembuluh darah.
5. Bruntus: gambaran permukaan kulit yang kasar dan tidak rata,bukan merupakan istilah
medis dan bisa terjadi disemua bagian tubuh.muncul bergerombol biasanya muncul di
daerah yang berlemak “tizon”/respon hipersensitifitas karena paparan zat reagen,bisa
juga dipengaruhi oleh hormon atau parasit dsb/ditandai bintik kecil pada permukaan
kulit/penumpukan sel kulit mati yang menyumbat kelenjar keringat sehingga
membentuk benjolan.
6. Krusta: terdapat serum berupa cairan darah yang mengering bercampur dengan
debris/merupakan lesi sekunder selama perjalanan penyakit karena garukan atau
pengaruh lingkungan sekitar/lapisan kering pada luka karena koagulasi darah,biasanya
pada luka dangkal superfisial.

2
BAB II
RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan yang dialami oleh px?
2. Mengapa bruntus kemerahan diserati gatal muncul sejak 2 minggu lalu?
3. Mengapa bruntus di sela jari 2 tangan meluas ke telapak tangan,pergelangan
tangan,punggung?
4. Mengapa rasa gatal yang dirasakan px semakin parah di malam hari?
5. Apa hubungan keluhan px dengan keadaan sebelum px yaitu tinggal dalam satu kamar
berisi 10 siswa?
6. Mengapa bisa timbul krusta kemerahan dan ekskoriasi?
7. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan mikroskopi pada px?
8. Mengapa dokter meresepkan obat salep 2-4 yang diaplikasikan berturut-turut?
9. Apakah kemungkinan diagnosis yang dialami px?
10. Bagaimana KIE yang seharusnya diberikan dokter kepada px?

3
BAB III
BRAINSTORMING

1. Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan yang dialami oleh
px?
 Banyak di usia muda karena kurang menjaga kebersihan serta imunitas yang rendah.
 Tidak ada perbedaan jenis kelamin namun tingkat kesadaran pria biasanya lebih rendah
tentang kebersihan,sehingga lebih sering menyerang pria.
 Di umur 25th imun setiap orang turun 1% sehingga penyakit di usia tua semakin bisa
mengalami komplikasi yang tinggi.
 Selain faktor imunitas, orang usia lanjut juga mengalami perubahan fisiologi kulit yaitu
atrofi epidermis dan dermis, hiperkeratosis, menurunnya fungsi sawar kulit terhadap
serangan dari luar, dan proses penyembuhan yang lebih lambat. Kulit orang usia lanjut
yang kering juga merupakan port d’entrée pathogen.

2. Mengapa bruntus kemerahan diserati gatal muncul sejak 2 minggu lalu?


 Karena kebersihan yang buruk,tertular teman (bakteri,jamur,parasit).Untuk rasa gatal
merupakan respon adaptif hipersensitifitas tubuh,serta gatal yang ada dikarenakan
bedanya inkubasi antar parasit.Dari gambar pada skenario dapat disimpulkan karena
Sarcoptes scabei var humanis.
 Gatal karena iritasi,gigitan seranggan,Sarcoptes scabei var humanis,infeksi
jamur,dll.Gatal scabies ini karena sekretas tungau yang disebabkan oleh,selain itu
dipicu oleh pelepasan histamin oleh sel mast.
 Tinggal di pesantren merupakan faktor presdiposisi karena lingkungannya yang
lembab,serta gatal dapat timbul karena px pernah tidur dengan 10 orang dalam satu
kamar.Dalam pemeriksaan mikroskopis juga ditemukan adanya Sarcoptes scabei var
humanis.
 Reaksi hipersensitifitas tubuh yang dipicu zat iritan (parasit,dll),tubuh akan
mengaktivasi eosinofil yang akan emmicul pengeluaran sel mast berupa histmain dan
TnF sehingga menyebabkan gatal yang dirasa px.

3. Mengapa bruntus di sela jari 2 tangan meluas ke telapak tangan,pergelangan


tangan,punggung?
 Karena di sela jari tangan memiliki stratum korneum dengan ikatan longgar dan tipis
dimana parasit dapat meletakkan telur nya di lapisan kulit tsb,sehingga dapat
menginfeksi.Meluas karena terjadi di daerah lipatan sehingga mudah menyebar.

4
 Bruntusan yang digaruk biasanya berisi cairan,apabila pecah akan menyebar ke bagian
tubuh lain.

4. Mengapa rasa gatal yang dirasakan px semakin parah di malam hari?


 Karena adanya perubahan kontrol suhu tubuh,pada malam hari kondisi kulit lebih
lembab serta parasit lebih mudah berkembang.
 Parasit tungau tersebut lebih aktif di malam hari dengan menggali terowongan untuk
menginfeksi kulit.
 Karena pada malam hari seseorang jarang melakukan aktivitas,sehingga rasa gatal
semakin terasa karena orang tersebut lebih banyak diam.

5. Apa hubungan keluhan px dengan keadaan sebelum px yaitu tinggal dalam satu
kamar berisi 10 siswa?
 Risiko penularan penyakit semakin tinggi pada px karena tinggal berdesakan sehingga
bisa menjadi faktor pertimbangan mendiagnosis termasuk penyakit menular atau tidak.
 Karena lingkungan padat dan kurang sinar matahari menjadikan lingungan menjadi
lembab.Berdasarkan keluhan px itu menjadi tanda khas scabies/kubis,penularannya
melalui sentuhan langsung dengan penderita dan melalui media pakaian
dsb.Pengobatan harus dilakukan serentak agar menurunkan tingkat risiko penularan.
 Lebih mudah terjadi pada penderita yang hidup berkelompok dengan medium yang
berbahan kain dsb,serta kebiasaan anak pondok yang saling berhubungan kontak
langsung.

6. Mengapa bisa timbul krusta kemerahan dan ekskoriasi?


 Ekskoriasi terjadi karena garukan yang dalam dan mengeluarkan cairan,krusta
kemerahan timbul karena keluarnya serum dan darah yang keluar lalu mengering dari
proses ekskoriasi.

7. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan mikroskopi pada px?


 Tungau dengan bentuk tubuh oval gepeng dan punggung lebih lonjong dari perut
(skenario),jenis sarcotes scabies dengan morfologi seperti skenario dengan ciri-ciri
stadium dewas 2 pasang kaki depan dan belakang yang diikuti bulu cambuk.Siklus
hidupnya diawali dengan masuk ke kulit dan menggali terowongan lalu ditemukan
vesikel di ujung terowongan,dihasilkan juga sekret dan ekskret yang menghasilkan lesi
bula,pustul,dll.
 Tungau betina bulu cambuknya setelah kaki belakang,untuk jantan setelah kaki ke-3
dan kaki ke-4 untuk perlekatan.

5
8. Mengapa dokter meresepkan obat salep 2-4 yang diaplikasikan berturut-turut?
 Tatalaksana awal scabies dengan pemberian salep topikal untuk membunuh tungau tsb
yang membutuhkan waktu kurang lebih 3hr.

9. Apakah kemungkinan diagnosis yang dialami px?


 Scabies; cendurung lebih gatal pada malam hari,hidup di tempat yang
berkelompok,ditemukan tungau pada pemeriksaan mikroskopis,kebersihan yang
kurang serta seringnya kontak secara langsung antar penderita.
 Diagnosis scabies ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Apabila
ditemukan 2 dari 4 tanda utama scabies, maka diagnosis sudah dapat dipastikan. 4 tanda
utama pada scabies yaitu, pruritus nokturna (gatal malam), menyerang sekelompok
orang, ditemukannya kunikulus (terowongan) pada tempat predileksi, dan ditemukan
parasite sarcoptes scabiei. Pada scenario ini gejala klinis yang dialami budi memenuhi
4 tanda utama scabies. Sehingga dapat ditegakkan diagnosis dari gejala klinis yang
dialami budi adalah scabies.
 Ddx: Prurigo (krn memiliki tempat predileksi sama)
Semua dermatosis dengan keluhan pruritus, yaitu dermatitis atopik, dermatitis kontak,
prurigo, urtikaria papular, pioderma, pedikulosis, dermatitis herpetiformis, ekskoriasi-
neurotik, liken planus, penyakit Darier, gigitan serangga, mastositosis, urtikaria,
dermatitis eksematoid infeksiosa, pruritis karena penyakit sistemik, dermatosis pruritik
pada kehamilan, sifilis, dan vaskulitis. Oleh karena itu skabies disebut juga “the greatest
imitator”.

10. Bagaimana KIE yang seharusnya diberikan dokter kepada px?


 KIE penyebab tentang scabies untuk mengurangi kontak langsung dengan penderitan
lain,menjaga kebersihan dengan tidka berada di lingkungan yang lembab,tidak
bergantian alat-alat pribadi,penggunaan farmakologi,tidak hanya diberikan KIE untuk
penderita tetapi juga orang-orang yang ada disekitarnya.
 Mandi lebih bersih dan dokter dapat memberi arahan penggunana obat topikal dengan
tepat.Alat pribadi yang digunakan bersama bisa dibersihkan kembali,dan untuk orang
disekitar yang mengalami gejala serupa bisa langsung berobat.

6
BAB IV
PETA MASALAH

7
BAB V
TUJUAN PEMBELAJARAN

1. Mahasiswa mampu menjelaskan Definisi, Klasifikasi, Etiologi dan Epidemiologi dari


Scabies.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan Patofisiologi dari Scabies.
3. Mahasiswa mampu menjelaskan Faktor Risiko dari Scabies.
4. Mahasiswa mampu menjelaskan Manifestasi Klinis dari Scabies.
5. Mahasiswa mampu menjelaskan Pemeriksaan Fisik dan Penunjang dari Scabies.
6. Mahasiswa mampu menjelaskan Diagnosis Banding dari Scabies.
7. Mahasiswa mampu menjelaskan Tatalaksana dari Scabies.
8. Mahasiswa mampu menjelaskan Prognosis dan Komplikasi dari Scabies.
9. Mahasiswa mampu menjelaskan KIE dan Pencegahan dari Scabies.
10. Mahasiswa mampu menjelaskan Integrasi Islam yang sesuai dengan scenario.
11. Mahasiswa mampu menjelaskan SOAP berdasarkan scenario.

8
BAB VI
TINJAUAN PUSTAKA

1. Mahasiswa mampu menjelaskan Definisi, Klasifikasi, Etiologi dan Epidemiologi


dari Scabies.
 Definisi
Menurut Widodo (2018) Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh
tungau (mite) Sarcoptes scabiei termasuk dalam kelas Arachnida.
Tungau ini berukuran sangat kecil dan hanya bisa dilihat dengan mikroskop
atau bersifat mikroskopis. Penyakit scabies sering disebut kutu badan.
Penyakit ini juga mudah menular dari manusia ke manusia, dari hewan ke
manusia, dan sebaliknya. Scabies mudah
menyebar baik secara langsung melalui
sentuhan langsung dengan penderita maupun secara tak langsung melalui
baju, seprai, handuk, bantal, air, atau sisir yang pernah digunakan penderita
dan belum dibersihkan dan masih terdapat tungau Sarcoptesnya (Febrianti
et al, 2019).
 Klasifikasi
Menurut Djuanda (2001) Sarcopes scabei termasuk filum atropoda, kelas
arachnida ordo akarina, super famili sarcoptoidea, famili sarcoptidae, dan genus
sarcoptes. Sarcoptes scaibei mempunyai sejumlah varietas yang masing-masing
bersifat host spesific. Penyebab scabies pada manusia adalah varietas hominis
sedangkan varietas lain pada mamalia dapat menginfestasikan pada mannusia,
tetapi tidak hidup lama (Nurapandi,2020).
 Etiologi
Penyebab penyakit skabies sudah dikenal lebih dari 100 tahun lalu sebagai
akibat infestasi tungau yang dinamakan Acarus scaibei atau pada manusia disebut
Sarcoptes scaibei varian hominis. Sarcoptes scaibei termasuk filum Arthropoda,
kelas Arachnida, ordo Acarina, super famili Sarcoptes. Scabies adalah penyakit
kulit yang disebabkan oleh tungau (Sarcoptes scabiei) yang membuat lubang
dibawah kulit dan ditularkan melalui kontak dengan orang lain. Efek langsung dari
skabies adalah 7 menimbulkan rasa gatal, menimbulkan rasa ingin menggaruk, yang
mana menimbulkan perubahan pada kulit karena infeksi bakteri, berupa bintik-
bintik akibat gatal, timbul abses dan selulit, yang mana disebabkan oleh bakteri
bahkan bisa menimbulkan kematian.
Scabies dan komplikasinya dianggap sebagai penyakit endemic di negara-
negara yang berada di Samudera Pasifik dan juga negara-negara tropis termasuk di
Afrika . Menurut survey yang telah dilakukan, prevalensi scabies telah memiliki

9
tempat sendiri yang masih sedikit di setiap negara. Penelitian ini sudah di
konfirmasi secara keseluruhan akan tetapi tidak ada kesadaran dari penduduk
negara tersebut, tidak ada yang mengembangkan dasar dari imformasi tentang
strategi control untuk penyakit di negara tersebut.
World Health Organization (WHO) memasukkan skabies kedalam list penyakit
tropis yang terabaikan, dan tidak dikenali sebagai prioritas kesehatan masyarakat
yang banyak dikembangkan di beberapa negara, mungkin bisa jadi karena
kekurangan atau ketiadaan survey skala yang lebih luas yang mencakup
keseluruhan dan juga menetapkan faktor resiko secara bertingkat (Nurapandi,2020).
 Epidemiologi
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (RI)(Muslih, 2012),
prevalensi skabies menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering.
Di bagian kulit dan kelamin FKUI/RSCM
pada tahun 1999, dijumpai 704 kasus skabies yang merupakan 5,77% dari
seluruh kasus baru.Pada tahun 2000 dan
2001 prevalensi skabies adalah 6% dan 3,9%.
Siswa Pondok Pesantren merupakan subjek penting dalam
permasalahan skabies. Karena dari data-data yang ada sebagian besar yang
menderita skabies adalah siswa Pondok Pesantren. Penyebabnya adalah tinggal
bersama dengan sekelompok orang di Pondok Pesantren memang beresiko
mudah tertular berbagai penyakit terutama penyakit kulit (Chairya, 2013).
Berdasarkan hasil penelitian Yuzzi Afraniza tahun 2011 di Pondok
Pesantren Demak yaitu dari 66 santri ditemukan 30 santri (45,5%) yang
menderita skabies,hasil penelitian dari Rifki Muslih di Tasikmalaya adalah
42.2%, dan hasil penelitian dari Suci Chairiya Akmal tahun 2013 di Padang
terdapat 34 orang (24,6%) dari 138 orang menderita skabies (Febrianti et al
,2019).

2. Mahasiswa mampu menjelaskan Patofisiologi dari Scabies.


 Siklus hidup tungau
Tungau kudis adalah parasit obligat yang melengkapi seluruh siklus hidupnya
pada manusia. Varian lain dari tungau kudis dapat menyebabkan infestasi pada
mamalia lain, seperti anjing, kucing, babi, musang, dan kuda, meskipun mereka
juga dapat mengiritasi kulit manusia. Namun, mereka tidak dapat bereproduksi pada
manusia dan hanya menyebabkan dermatitis sementara (Barry, 2020).
Tungau S. scabiei var hominis betina bertelur 60-90 telur dalam umur 30 hari,
meskipun kurang dari 10% telur menghasilkan tungau dewasa. Rata-rata pasien
terinfeksi 10-15 tungau betina dewasa hidup pada waktu tertentu. Tahapan siklus
hidup adalah sebagai berikut (lihat gambar di bawah):

10
1. Telur menetas dan menetas dalam 3-4 hari (90% tungau yang menetas
mati).

2. Larva (3 pasang kaki) bermigrasi ke permukaan kulit dan menggali ke


dalam stratum korneum utuh untuk membuat liang pendek, yang disebut
kantong ganti kulit (3-4 hari).

3. Larva berganti kulit menjadi nimfa (4 pasang kaki), yang berganti kulit
sekali menjadi nimfa yang lebih besar sebelum menjadi dewasa.

4. Perkawinan terjadi sekali, dan betina subur selama sisa hidupnya; jantan
mati segera setelah kawin.

5. Betina membuat liang serpentin menggunakan enzim proteolitik untuk


melarutkan stratum korneum epidermis, bertelur dalam proses; dia terus
memperpanjang liangnya dan bertelur selama sisa hidupnya, bertahan 1-2
bulan.

6. Penularan wanita hamil dari orang ke orang terjadi melalui kontak kulit
langsung atau tidak langsung (Barry, 2020).

 Kudis klasik

Pada infeksi skabies klasik, biasanya 10-15 tungau (kisaran 3-50) hidup pada
inangnya. Sedikit bukti adanya infeksi selama bulan pertama (kisaran 2-6 minggu).
Setelah 4 minggu dengan infeksi berikutnya, terjadi penundaan reaksi
hipersensitivitas tipe IV terhadap tungau, telur, dan scybala (feses). Waktu yang
diperlukan untuk menginduksi kekebalan pada infestasi primer mungkin
merupakan periode laten asimtomatik selama 4 minggu. Dengan reinfestasi,
individu yang peka dapat mengembangkan reaksi cepat (dalam beberapa jam).
Erupsi kulit yang dihasilkan dan pruritus intens yang terkait adalah ciri khas skabies
klasik. (Lihat gambar di bawah).

Sebuah studi imunologi menganalisis jenis dan pola infiltrat seluler pada lesi
skabies menyimpulkan bahwa dominasi sel T4 adalah penyebab gatal yang
persisten, sementara peningkatan sel T8 mengurangi pruritus (Barry, 2020).

 Skabies Berkrusta

Kudis berkrusta, atau Norwegia (dinamakan demikian karena deskripsi pertama


berasal dari Norwegia pada pertengahan 1800-an), adalah bentuk penyakit yang
khas dan sangat menular. Dalam varian ini, ratusan hingga jutaan tungau menyerang
individu inang, yang biasanya immunocompromised, lanjut usia, serta cacat fisik
atau mental (Penilaian fungsi kekebalan dapat diindikasikan pada individu dengan
skabies berkrusta). Beberapa data menunjukkan insiden penyakit autoimun yang
lebih tinggi pada pasien dengan skabies (Barry, 2020).

11
Skabies berkrusta dapat dengan mudah dikacaukan dengan dermatitis berat atau
psoriasis karena lesi berkrusta yang luas muncul dengan sisik hyperkeratosis yang
tebal di atas siku, lutut, telapak tangan, dan telapak kaki. Diagnosis scabies
berkrusta harus dipertimbangkan ketika suspek dermatitis atau suspek psoriasis
tidak merespon pengobatan biasa. (Lihat gambar di bawah).

Kadar imunoglobulin E (IgE) dan IgG serum sangat tinggi pada pasien dengan
skabies berkrusta, namun reaksi imun tampaknya tidak bersifat protektif. Imunitas
yang diperantarai sel pada skabies klasik menunjukkan dominasi sel T4 dalam
infiltrat dermal, sementara satu penelitian menunjukkan dominasi sel T8 pada
skabies berkrusta (Barry, 2020).

Populasi pasien tertentu rentan terhadap scabies berkrusta. Ini termasuk pasien
dengan gangguan imunodefisiensi primer atau kemampuan yang dikompromikan
untuk meningkatkan respons imun sekunder terhadap terapi obat. Respon host yang
dimodifikasi dapat menjadi faktor kunci pada pasien dengan malnutrisi. Gangguan
saraf motorik mengakibatkan ketidakmampuan untuk menggaruk sebagai respons
terhadap pruritus, sehingga melumpuhkan kegunaan menggaruk untuk
menghilangkan tungau dan menghancurkan liang. Kasus langka telah dijelaskan di
mana pasien imunokompeten telah mengembangkan varian berkrusta tanpa
penjelasan yang jelas (Barry, 2020).

Patogenesis skabies melibatkan banyak jalur imunologis dan inflamasi yang


kompleks. Peradangan kulit, papula, dan pruritus terjadi akibat tertundanya reaksi
hipersensitivitas spesifik antigen yang diperantarai imun. Pada 3-4 minggu awal
setelah infestasi primer, biasanya tidak disertai gejala. Namun, pada infestasi
berikutnya, gejala muncul kembali dengan jauh lebih cepat, yaitu dalam waktu
sekitar 1-2 hari (Hay et al, 2012).

Beberapa kemungkinan alergen yang berpotensi menyebabkan respon imun ini


sekarang telah diidentifikasi sebagai hasil dari proyek penelitian gen scabies. Data
menjelaskan bahwa pasien dengan skabies berkrusta dan skabies biasa memiliki
respons seluler dan humoral yang kuat terhadap S. scabiei homolog alergen tungau
debu rumah yang multipel. Data juga menunjukkan bahwa respon imun protektif
pada skabies biasa didominasi oleh profil sitokin tipe Th1 yang terkait dengan
CD4+ Limfosit T, sedangkan scabies berkrusta parah didominasi oleh profil sitokin
Th2 nonprotektif dan ada bukti bahwa sel efektor yang dominan di kulit
kemungkinan adalah CD8+ limfosit. Analisis kadar sitokin menunjukkan bahwa
interferon-C/rasio interleukin (IL)-4 pada S. scabiei yang merangsang sel
mononuklear darah perifer (PBMC) dari pasien skabies biasa (tanpa krusta) lebih
tinggi secara signifikan dibandingkan PBMC dari pasien skabies berkrusta, serta
terstimulasinya peningkatan kadar IL-5 dan IL-13 pada PBMC dari skabies
berkrusta dibandingkan dengan PBMC dari pasien skabies biasa. Menariknya,
PBMC yang distimulasi dengan ekstrak tungau kudis pada subyek sehat
menunjukkan peningkatan produksi sitokin pengatur IL-10. Akumulasi eosinofil

12
dan produksi IgE total dan spesifik dapat dilihat pada kedua bentuk, tetapi sangat
meningkat pada skabies berkrusta (Hay et al, 2012).

Subset utama sel T lainnya terdiri dari sel Th17, yang dikenal dapat merangsang
banyak sel sistem imun bawaan; khususnya, mereka merekrut dan mengaktifkan
neutrofil di tempat peradangan, dan merangsang sel-sel endotel dan epitel untuk
mensintesis sitokin inflamasi IL-1, IL-6, dan faktor nekrosis tumor-A. Penurunan
jalur IL-17 dikaitkan dengan sindrom hiper-IgE, sedangkan peningkatan proliferasi
sel Th17 diamati pada plak psoriasis. Temuan awal peningkatan IL-17 dan IL-23
pada skabies berkrusta adalah yang pertama menunjukkan kontribusi sitokin terkait
Th17 terhadap respon imun yang tidak teratur pada patologi skabies berkrusta (Hay
et al, 2012).

3. Mahasiswa mampu menjelaskan Faktor Risiko dari Scabies.

Keberadaan skabies dipengaruhi oleh berbagai hal seperti usia, jenis kelamin,
tingkat kebersihan, penggunaan bersama peralatan pribadi, kepadatan penduduk,
tingkat pendidikan dan pengetahuan tentang skabies, budaya setempat, dan sosial
ekonomi (Trasia, 2020).

 Usia

Skabies dapat menyerang semua rentang usia, tetapi lebih sering pada anak-
anak dibandingkan orang dewasa. Anak-anak anak lebih rentan terkena skabies
dikarenakan daya tahan tubuh yang lebih rendah daripada orang dewasa, kurang
menjaga kebersihan, dan lebih sering kontak erat dengan anak lainnya melalui
bermain bersama (Trasia, 2020).

Skabies juga mudah menyerang orang lanjut usia dikarenakan penurunan


imunitas dan perubahan fisiologi kulit. Selain itu, pada lansia terjadi perubahan
fisiologi kulit yaitu epidermis dan dermis menjadi atrofi, hiperkeratosis, penurunan
fungsi barrier kulit mencegah serangan dari luar, dan proses penyembuhan yang
lebih lambat. Kulit lansia yang kering juga merupakan tempat masuknya patogen,
termasuk S. scabiei (Trasia, 2020).

Skabies sering menyerang lansia yang tinggal di fasilitas perawatan jangka


panjang seperti panti jompo. Hal ini disebabkan kepadatan penduduk yang tinggal
di sana serta perawatan dan kebersihan yang tidak memadai, sehingga lansia yang
tinggal di sana mempunyai faktor risiko tinggi untuk terkena skabies (Trasia, 2020).

 Jenis kelamin
Skabies dapat menyerang pria maupun wanita, tetapi prevalensi pada pria lebih
sering. Hal ini dikarenakan pria kurang memperhatikan kebersihan diri
dibandingkan wanita. Wanita pada umumnya lebih memerhatikan kebersihan dan

13
kecantikan, sehingga lebih menjaga dan memelihara kebersihan dibandingkan pria
(Trasia, 2020).
 Tingkat kebersihan
Menjaga kebersihan diri harus dilakukan secara menyeluruh, mulai dari kulit,
tangan, kaki, kuku, hingga alat kelamin. Mencuci tangan sangat penting untuk
mencegah infeksi bakteri, virus dan parasit. Skabies menyebabkan rasa gatal yang
hebat terutama pada malam hari dan dalam kondisi badan yang panas atau
berkeringat, sehingga penderita skabies akan menggaruk lesi untuk mendapatkan
rasa nyaman dan menghilangkan rasa gatal meski hanya sementara. Akibatnya,
telur, larva, nimfa atau tungau dewasa dapat menempel pada kuku. Jika kuku yang
terkontaminasi tungau menggaruk area lain, maka skabies akan mudah menyebar
dalam waktu singkat. Oleh karena itu, mencuci tangan dan memotong kuku secara
teratur sangat penting dalam upaya mencegah skabies. Mandi dua kali sehari
menggunakan sabun sangat penting karena saat mandi tungau yang ada di
permukaan kulit dicuci dan dipisahkan dari kulitnya (Trasia, 2020).
Kebiasaan menyetrika pakaian, menjemur handuk, dan menjemur kasur di
bawah terik matahari minimal seminggu sekali dapat mencegah penularan penyakit
skabies. Tungau akan mati jika terkena suhu 50⁰ C selama 10 menit. Oleh karena
itu, panas setrika dan terik matahari dapat membunuh tungau dewasa yang
menempel pada benda tersebut jika terpapar dalam waktu yang cukup (Trasia,
2020).
 Penggunaan bersama peralatan pribadi
Penggunaan alat pribadi secara bersama-sama merupakan salah satu faktor
risiko untuk skabies, seperti bertukar sabun, handuk, selimut, sarung tangan, baju,
bahkan pakaian dalam. Tungau dewasa dapat keluar dari stratum korneum,
kemudian menempel pada pakaian dan dapat hidup di luar tubuh manusia selama
kurang lebih tiga hari. Periode tersebut cukup untuk menularkan skabies. Oleh
karena itu, saling meminjam pakaian dan perlengkapan sholat, terutama pakaian
yang sudah dipakai dan belum dicuci sangat dilarang (Trasia, 2020).
 Kepadatan penduduk
Faktor risiko utama skabies adalah kepadatan penduduk dan kontak erat.
Prevalensi skabies dua kali lebih tinggi pada daerah kumuh perkotaan yang
penduduknya padat daripada pedesaan yang tidak padat. Selain itu, lingkungan
dengan sanitasi tidak buruk tetapi penduduknya padat juga dapat meningkatkan
prevalensi skabies (Trasia, 2020).
Penyakit skabies banyak menimpa santri yang tinggal di pondok pesantren.
Santri umumnya berasal dari keluarga dengan kondisi sosial, ekonomi, dan
pendidikan yang rendah, sehingga tidak mampu membiayai pendidikan dan biaya
hidup di pondok pesantren. Oleh karena itu, tidak heran jika pesantren umumnya
padat penduduk dengan fasilitas yang terbatas. Satu kamar tidur dapat menampung

14
30-50 siswa dengan fasilitas dan tingkat kebersihan yang kurang memadai. Selain
itu, santri yang sering bertukar tempat tidur atau kasur lebih mempermudah
penularan skabies Kondisi ini membuat skabies mudah menyebar dengan cepat dan
susah untuk disembuhkan (Trasia, 2020).
 Tingkat pendidikan dan pengetahuan tentang scabies
Pengetahuan penting dalam mempengaruhi perilaku seseorang terhadap
penyakit termasuk skabies. Seseorang yang memiliki pengetahuan kesehatan dan
kebersihan yang tinggi diharapkan dapat berperilaku baik dalam menjaga
kesehatannya, termasuk dalam menghindari penyakit skabies. Dalam pendidikan
pesantren tidak diajarkan pengetahuan mengenai skabies, sehingga pemahaman
santri mengenai penyakit skabies kurang, padahal banyak santri yang menderita
skabies. Oleh karena itu, pengetahuan santri tentang skabies perlu ditingkatkan,
misalnya melalui pendidikan kesehatan (Trasia, 2020).
Pendidikan kesehatan pada santri melalui metode penyuluhan dapat
meningkatkan pengetahuan siswa tentang penularan dan pencegahan skabies.
Pendidikan kesehatan terbukti dapat meningkatkan pengetahuan tentang skabies,
namun jika pendidikan kesehatan hanya dilakukan sekali, lama kelamaan
pengetahuan yang didapat akan terlupakan. Oleh karena itu, santri perlu diberikan
informasi secara terus menerus dan mudah diakses, seperti dalam bentuk poster
yang dipajang di ruang kelas, mushola, ruang belajar, kamar tidur, dll (Trasia,
2020).
Pengetahuan santri mengenai skabies diharapkan dapat membantu santri dalam
mengenali gejala skabies, sehingga apabila terinfestasi dapat segera berobat ke
dokter dan tidak menjadi sumber infeksi bagi sekitarnya. Selain itu, santri
diharapkan juga dapat berperilaku hidup bersih dan sehat, sebagai upaya
pencegahan penyakit skabies (Trasia, 2020).
 Budaya
Budaya masyarakat dapat mempengaruhi prevalensi penyakit di suatu daerah.
Di daerah tertentu, orang sakit tidak boleh dimandikan karena khawatir akan
memperburuk penyakit. Oleh karena itu, jika seseorang menderita skabies, maka
tidak diperbolehkan mandi atau mencuci tangan atau bahkan air. Budaya seperti itu
perlu dihentikan dengan memberikan penyuluhan kepada masyarakat (Trasia,
2020).
Di pesantren ada kepercayaan bahwa skabies adalah cobaan dari Allah SWT.
Oleh karena itu, santri dan pengelola pesantren menganggap skabies sebagai hal
yang wajar dan hanya mencari pertolongan ke dokter jika penyakitnya sudah parah.
Keyakinan yang salah ini perlu diluruskan karena skabies merupakan penyakit yang
dapat diobati dan dicegah. Skabies bukan merupakan cobaan dari Allah tetapi
karena perilaku higiene yang buruk dan kepadatan penghuni kamar tidur yang
tinggi. Oleh karena itu, santri dan pengelola pesantren perlu diberikan informasi
yang komprehensif tentang skabies (Trasia, 2020).

15
 Tingkat sosial ekonomi
Untuk menjaga personal hygiene diperlukan berbagai alat kebersihan seperti
pasta gigi, sampo dan sabun. Dikarenakan tingkat sosial ekonomi yang kurang,
kebutuhan tersebut sulit terpenuhi. Selain itu, tingkat ekonomi rendah pada
penderita skabies dengan kondisi rumah yang buruk, infrastruktur sanitasi yang
kurang memadai, dan padat penduduk, menyebabkan skabies tidak menjadi
prioritas karena masih banyak hal lain yang perlu diprioritaskan (Trasia, 2020).

4. Mahasiswa mampu menjelaskan Manifestasi Klinis dari Scabies.


Gatal menjadi gejala klinis yang paling sering pada skabies. Rasa gatal pada
masa awal infestasi parasit tungau biasanya terjadi pada malam hari (pruritus nocturna),
cuaca panas, atau ketika berkeringat. Gatal terasa di sekitar lesi, namun pada skabies
kronik gatal dapat dirasakan hingga ke seluruh tubuh. Gatal disebabkan oleh sensitisasi
kulit terhadap ekskret dan sekret tungau yang dikeluarkan pada waktu membuat
terowongan. Masa inkubasi dari infestasi tungau hingga muncul gejala gatal sekitar 14
hari.
S.scabiei biasanya memilih lokasi epidermis yang tipis untuk menggali
terowongan (kunikulus) misalnya di sela-sela jari tangan, pergelangan tangan, penis,
areola mammae, peri umbilikalis, lipat payudara, pinggang, bokong bagian bawah
intergluteal, paha serta lipatan aksila anterior dan posterior. Kepala dan leher biasanya
terhindar pada orang dewasa yang sehat, tetapi pada bayi, orang tua, dan individu yang
immunocompromised, semua permukaan kulit menjadi rentan. Kunikulus yang digali
tungau merupakan lesi patoknomonik yang tampak sebagai lesi berupa garis halus yang
berwarna putih keabu-abuan sepanjang 2-15 mm, berkelok-kelok dan sedikit
meninggi dibandingkan sekitarnya. Di ujung terowongan terdapat papul atau vesikel
kecil berukuran <5 mm tempat tungau berada. Di daerah beriklim tropis, jarang
ditemukan lesi terowongan; kalaupun ada terowongan hanya berukuran pendek sekitar
1-2mm. Lesi tersebut sulit ditemukan karena sering disertai ekskoriasi akibat garukan
dan infeksi sekunder oleh bakteri. Meskipun demikian, terowongan dapat berada di
tangan, sela-sela jari tangan, pergelangan tangan dan pergelangan kaki. Pustul
tanpa lesi terowongan sering terdapat di genitalia eksterna. Pada infestasi ringan, lokasi
yang harus diperiksa adalah sela jari tangan dan genitalia eksterna. (Widasmara, 2020;
Fitzpatrick’s, 2012)

Skabies dengan papula eritematosa dan papulovesikel pada pergelangan tangan


fleksor (Kiri).Kunikulus pada lapisan epidermis yang tipis, seperti sela jari (Kanan).

16
Erupsi eritematous dapat tersebar di badan sebagai reaksi hipersensitivitas
terhadap antigen tungau. Lesi berupa eritema, krusta, ekskoriasi papul, dan nodul yang
sering ditemukan di daerah sela-sela jari, aspek volar pergelangan tangan dan lateral
telapak tangan, siku, aksilar, skrotum, penis, labia, dan areola wanita. Jika ada infeksi
sekunder ruam kulitnya menjadi polimorf (pustul, ekskoriasi, dan lain-lain).

Vesikel eritematosa dan papula

Selain bentuk skabies klasik, terdapat pula bentuk-bentuk tidak khas, meskipun
jarang. Bentuk ini dapat menimbulkan kesalahan diagnostik yang dapat berakibat gagal
pengobatan, antara lain skabies pada orang bersih, skabies nodular, skabies incognito,
skabies yang ditularkan oleh hewan, skabies Norwegia (skabies berkrusta) (Tan, 2017).
Skabies nodul terjadi pada 7-10% pasien skabies, terutama anak kecil. Neonatus
umumnya tidak dapat menggaruk, nodul coklat merah muda dengan ukuran diameter
2-20 mm. Tungau jarang ditemukan di dalam nodul. Skabies berkrusta atau
skabies Norwegia, dengan ciri tungau berjumlah ribuan hingga jutaan bermanifestasi
dengan penebalan dan pengerasan kulit yang nyata. Lesi hiperkeratosis dan berkrusta
menutupi area yang luas. Pruritus mungkin minimal atau tidak ada sama sekali. Distrofi
kuku (hiperkeratosis subungual) dan lesi kulit kepala mungkin ada.

Skabies berkrusta (Kiri). Skabies bernodul (Kanan).

5. Mahasiswa mampu menjelaskan Pemeriksaan Fisik dan Penunjang dari Scabies.


 Pemeriksaan fisik
Skabies dapat memberikan gejala khas sehingga mudah didiagnosis; namun jika
gejala klinisnya tidak khas, maka diagnosis skabies menjadi sulit ditegakkan.
Gejala klinis yang khas adalah keluhan gatal hebat pada malam hari (pruritus
nokturna) atau saat udara panas dan penderita berkeringat. Erupsi kulit yang khas
berupa terowongan, papul, vesikel, dan pustul di tempat predileksi. Meskipun gejala

17
skabies khas, penderita biasanya datang berobat ketika sudah dalam stadium lanjut
dan tidak memiliki gejala klinis khas lagi karena telah timbul ekskoriasi, infeksi
sekunder oleh bakteri dan likenifikasi. Masalah lain dalam diagnosis skabies adalah
gejala klinis skabies dapat menyerupai gejala penyakit kulit lain atau tertutup oleh
penyakit lain seperti ekzema dan impetigo sehingga diagnosis menjadi sulit.
Diagnosis mengandalkan gejala klinis kurang efisien dan hanya memiliki
sensitivitas kurang dari 50% karena sulit membedakan infestasi aktif, reaksi kulit
residual, atau reinfestasi. Deteksi terowongan dengan tinta India sudah lama
dilakukan, namun tes tersebut tidak praktis sehingga jarang digunakan. Kesalahan
diagnosis mengakibatkan salah pengobatan dan menyebabkan penderita tidak
sembuh serta terus menerus menjadi sumber infeksi bagi lingkungannya.
Diagnosis klinis dapat ditetapkan apabila pada penderita terdapat dua dari empat
tanda kardinal skabies yaitu:
1. Pruritus nokturna.
2. Terdapat sekelompok orang yang menderita penyakit yang sama, misalnya
dalam satu keluarga atau di pemukiman atau di asrama.
3. Terdapat terowongan, papul, vesikel atau pustul di tempat predileksi yaitu
sela-sela jari tangan, pergelangan tangan, siku bagian luar, lipat ketiak
bagian depan, areola mamae (perempuan), umbilikus, bokong, genitalia
eksterna (laki-laki), dan perut bagian bawah. Perlu diingat bahwa pada bayi,
skabies dapat menginfestasi telapak tangan dan telapak kaki bahkan seluruh
badan.
4. Menemukan tungau pada pemeriksaan laboratorium.
 Pemeriksaan penunjang
a. Kerokan Kulit
Sebelum melakukan kerokan kulit, perhatikan daerah yang diperkirakan akan
ditemukan tungau yaitu papul atau terowongan yang baru dibentuk dan utuh.
Selanjutnya papul atau terowongan ditetesi minyak mineral lalu dikerok dengan
skalpel steril yang tajam untuk mengangkat bagian atas papul atau terowongan.
Hasil kerokan diletakkan di kaca objek, ditetesi KOH, ditutup dengan kaca penutup
kemudian diperiksa dengan mikroskop. Kerokan kulit merupakan cara yang paling
mudah dilakukan dan memberikan hasil yang paling memuaskan sehingga cocok
untuk yang belum banyak pengalaman dalam mendiagnosis skabies. Kerokan kulit
memiliki spesifisitas yang tinggi namun sensitivitasnya rendah karena jumlah
tungau pada penderita skabies klasik/tipikal umumnya sangat sedikit.
b. Mengambil Tungau dengan Jarum
Pengambilan tungau dengan jarum dapat meningkatkan ketepatan diagnosis
dari 5% menjadi 95%. Untuk mengambil tungau, jarum ditusukkan di terowongan
di bagian yang gelap lalu diangkat ke atas. Pada saat jarum ditusukkan biasanya

18
tungau akan memegang ujung jarum sehingga dapat diangkat keluar. Mengambil
tungau dengan jarum relatif sulit bagi orang yang belum berpengalaman terutama
pada penderita skabies yang lesinya tidak khas lagi dan banyak infeksi sekunder
oleh bakteri.
c. Usap swab Kulit
Pemeriksaan usap kulit dilakukan dengan selotip transparan yang dipotong
sesuai ukuran gelas objek (25x50mm). Cara melakukannya, mula-mula ditentukan
lokasi kulit yang diduga terinfestasi tungau. Kemudian bagian kulit tersebut
dibersihkan dengan eter lalu dilekatkan selotip di atas papul atau terowongan
kemudian diangkat dengan cepat. Setelah itu, selotip dilekatkan di gelas objek,
ditetesi KOH, ditutup dengan kaca tutup, dan diperiksa dengan mikroskop. Dari
setiap satu lesi, selotip dilekatkan sebanyak enam kali dengan enam selotip untuk
membuat enam sediaan. Sediaan dapat diperiksa dalam tiga jam setelah
pengambilan sampel bila disimpan pada suhu 10-14OC. Usap kulit relatif mudah
digunakan dan memiliki nilai prediksi positif dan negatif (positive and negative
predictive value) yang tinggi sehingga dapat digunakan untuk skrining di daerah
dengan keterbatasan fasilitas.
d. Burrow Ink Test
Papul skabies diolesi tinta India menggunakan pena lalu dibiarkan selama 20-
30 menit kemudian dihapus dengan alkohol. Burrow ink test menunjukkan hasil
positif apabila tinta masuk ke dalam terowongan dan membentuk gambaran khas
berupa garis zig zag. Burrow ink test adalah pemeriksaan untuk mendeteksi
terowongan, bukan untuk mendeteksi tungau dan produknya.
e. Dermoskopi
Dermoskopi, disebut juga dermatoskopi atau epiluminescence microscopy
adalah metode yang digunakan dermatolog untuk mengevaluasi diagnosis banding
lesi berpigmen dan melanoma, namun pada perkembangannya dermoskopi juga
dapat digunakan untuk mendiagnosis skabies. Dermoskopi adalah Teknik
pengamatan lapisan kulit dermis superfisial secara in vivo. Dermoskop
menggunakan medium liquid yaitu minyak, air atau alkohol atau cahaya
terpolarisasi yang memungkinkan observasi langsung ke kulit tanpa terganggu
refleksi cahaya di kulit sehingga dapat memberikan gambaran rinci setiap lapisan
epidermis sampai dermis papiler superfisial dan mengidentifikasi keberadaan
terowongan. Pada pemeriksaan dermoskopi tungau skabies tampak berbentuk
segitiga yang diikuti garis terowongan di epidermis seperti gambaran pesawat jet,
layang-layang, atau spermatozoid. Area akral seperti sela-sela jari tangan dan
pergelangan tangan merupakan tempat yang paling baik untuk dilakukan
pemeriksaan dermoskopi, namun bagian kulit lain yang mempunyai papul
kemerahan dengan terowongan utuh juga harus diperiksa.
f. Metode Pencitraan S.scabiei secara In Vivo

19
OCT adalah teknik pencitraan in vivo non-invasif yang telah rutin digunakan di
bidang oftalmologi untuk mendiagnosis penyakit retina. Beberapa tahun terakhir,
OCT mulai digunakan di bidang dermatologi untuk memantau terapi pada kasus
kanker kulit non-melanoma dan keratosis aktinik. Dengan resolusi 8-µm, OCT
dapat memvisualisasi perubahan morfologi kulit akibat infestasi, keberadaan
tungau dan terowongan, serta isi terowongan secara in vivo sehingga
memungkinkan untuk diagnosis secara in vivoyang cepat dan non-invasif. Selain
itu OCT memudahkan dalam menganalisis dan mempelajari struktur biologis
tungau serta proses infestasi di hospes yang selama ini terbatas pada studi in vitro.
g. Tes Kulit Intradermal
Penelitian imunitas spesifik dengan tes intrakutan dan prick test menggunakan
ekstrak tungau skabies menunjukkan bahwa tes intrakutan positif pada sebagian
besar penderita skabies tetapi prick test memberikan hasil negatif. Hal tersebut
disebabkan antigen yang digunakan tidak cukup jumlahnya yaitu hanya 5% dari
berat total tungau skabies. Sementara itu bila digunakan seluruh bagian tubuh
tungau yang dihancurkan (crude antigen) terjadi erupsi piogenik yang berbeda
dengan skabies klasik.
h. Deteksi Antibodi dengan ELISA
Berdasarkan patogenesis skabies, antigen tungau menginduksi respons humoral
pada hospes sehingga terjadi produksi antibodi. Hal tersebut memungkinkan untuk
mendiagnosis skabies menggunakan pemeriksaan darah dengan dasar pengukuran
antibodi sirkulasi yang bereaksi terhadap antigen spesifik-skabies tanpa bereaksi
silang dengan tungau debu rumah. Saat ini telah berhasil dikembangkan deteksi
antibodi dengan ELISA pada S.scabiei babi dan anjing yang sudah beredar luas di
Eropa namun metode tersebut belum memberikan hasil yang baik pada manusia.
i. Polymerase Chain Reaction
Pemeriksaan skabies dengan polymerase chain reaction (PCR), dapat menjadi
salah satu metode deteksi S.scabiei. Dengan teknik PCR diagnosis skabies menjadi
lebih mudah karena sensitif terhadap amplifikasi enzimatik fragmen gen dari
material parasit yang sedikit. PCR merupakan metode untuk identifikasi parasit
yang akurat, mengetahui karakteristik gen parasit, diagnosis infeksi parasit,
mengetahui isolasi dan karakteristik gen yang terekspresi, mendeteksi resistensi
obat, perkembangan rekombinasi vaksin DNA, dan analisis keseluruhan genom
parasit.
Kelemahan PCR adalah ketergantungan metode tersebut pada keberadaan
tungau atau bagian dari tungau dalam sediaan, sehingga tidak memungkinkan untuk
digunakan secara luas karena jumlah tungau hanya sedikit. PCR dapat diandalkan
jika metode lain tidak dapat mendiagnosis skabies. PCR yang diikuti dengan deteksi
ELISA dapat meningkatkan sensitivitas diagnostik pada penderita dengan skabies
atipik namun metode tersebut sangat memakan waktu dan biaya.

20
6. Mahasiswa mampu menjelaskan Diagnosis Banding dari Scabies.
Karena lesi skabies dapat menyerupai berbagai lesi penyakit kulit lain, hampir
semua penyakit kulit yang memiliki gejala gatal dianggap sebagai diagnosis banding
skabies. Diagnosis banding skabies adalah prurigo, impetigo, folikulitis, pioderma,
tinea korporis, sifilis, pedikulosis pubis, gigitan serangga, urtikaria papular, reaksi
alergi, psoriasis, eksem, dermatitis atopik, dematitis seboroik, dermatitis kontak,
dermatitis eksematoid infeksiosa, lupus eritematosus sistemik, pemfigoid bulosa,
papulosis limfomatoid, dermatitis herpetiformis, liken planus, ekskoriasi-neurotik,
langerhans cell histiositosis, penyakit darier, sezary syndrome, mastositosis,
akropustulosis infantil, pruritus karena penyakit sistemik, dermatosis pruritik pada
kehamilan, dan vaskulitis.
Diagnosis skabies pada anak-anak sering terlewatkan dan baru dipikirkan ketika
terdapat orang di sekitarnya yang mengalami gejala serupa. Karena lesi kulit tipikal
maupun atipik tersebar di kulit kepala, wajah, telapak tangan, telapak kaki dan daerah
lipatan kulit, maka diagnosis skabies pada anak sering salah dan didiagnosis sebagai
dermatitis atopik atau akropustulosis infantil. Hal tersebut disebabkan akropustulosis
infantil merupakan penyakit dengan karakter utama berupa pustul dan vesikel yang
tersebar dari akral, terasa gatal dan akropustulosis infantil memang dapat terjadi setelah
infeksi skabies. Pada penderita berusia lanjut, diagnosis skabies juga sulit ditegakkan
karena presentasi skabies dapat berupa lesi kulit atipikal karena perubahan respons
imun pada penuaan. Tertundanya diagnosis pada penderita skabies yang berusia lanjut
biasanya karena keluhan gatal sering dianggap sebagai bagian dari pruritus atau
gangguan cemas. Diagnosis skabies yang terlambat pada orang tua yang tinggal di
institusi perawatan misalnya panti jompo dapat menularkan skabies ke penghuni lain
bahkan dapat menimbulkan wabah di institusi tersebut. Kesalahan diagnosis pada orang
usia lanjut menyebabkan dokter memberikan kortikosteroid topikal jangka panjang
yang menyebabkan lesi tipikal skabies berubah menjadi atipik yang semakin sulit
dikenali

7. Mahasiswa mampu menjelaskan Tatalaksana dari Scabies.


 Umum
Infestasi tungau dapat tidak bergejala (asimptomatik) tetapi individu sudah
terinfeksi. Mereka dianggap sebagai pembawa (carrier). Oleh karena itu,
pengobatan juga dilakukan kepada seluruh penghuni rumah karena kemungkinan
karier di penghuni rumah dan untuk mencegah re- infestasi karier.
Gejala gatal dapat ditangani dengan krim pelembab, emolient, kortikosteroid
topikal potensi ringan, dan antihistamin oral. Dengan terapi adekuat, seluruh gejala
termasuk rasa gatal dapat membaik setelah 3 hari; rasa gatal dan kemerahan masih
dapat timbul setelah empat minggu terapi, biasa dikenal sebagai “postscabietic
itch”. Pasien diedukasi hal tersebut untuk menghindari persepsi kegagalan terapi.

21
Pasien juga diberi edukasi untuk tidak membersihkan kulit secara berlebihan
dengan sabun antiseptik karena dapat memicu iritasi kulit.
 Medikamentosa
Terapi utama adalah agen topikal. Pemilihan terapi dapat dilihat pada Tabel 2.

22
23
 Agen Topikal
a. Krim Permetrin 5%
Tatalaksana lini pertama adalah agen topikal krim permetrin kadar 5%, aplikasi
ke seluruh tubuh (kecuali area kepala dan leher pada dewasa) dan dibersihkan
setelah 8 jam dengan mandi. Permetrin efektif terhadap seluruh stadium parasit dan
diberikan untuk usia di atas 2 bulan. Jika gejala menetap, dapat diulang 7-14 hari
setelah penggunaan pertama kali. Seluruh anggota keluarga atau kontak dekat
penderita juga perlu diterapi pada saat bersamaan. Permetrin memiliki efektivitas
tinggi dan ditoleransi dengan baik.
Kegagalan terapi dapat terjadi bila terdapat penderita kontak asimptomatik yang
tidak diterapi, aplikasi krim tidak adekuat, hilang karena tidak sengaja terbasuh saat
mandi sebelum 8 jam aplikasi.7 Pemakaian pada wanita hamil, ibu menyusui, anak
usia di bawah 2 tahun dibatasi menjadi dua kali aplikasi (diberi jarak 1 minggu) dan
segera dibersihkan setelah 2 jam aplikasi.
b. Krotamiton 10%
Krotamiton 10% dalam krim atau lotio merupakan obat alternatif lini pertama
untuk usia di bawah 2 bulan. Agen topikal ini memiliki dua efek sebagai antiskabies
dan antigatal.6 Aplikasi dilakukan ke seluruh tubuh dan dibasuh setelah 24 jam dan
diulang sampai 3 hari. Penggunaan dijauhkan dari area mata, mulut, dan uretra.
Krotamiton dianggap kurang efektif dibanding terapi lain.
c. Belerang Endap (Sulfur Presipitatum) 5%- 10%
Belerang endap (sulfur presipitatum) dengan kadar 5-10% dalam bentuk salep
atau krim. Preparat ini tidak efektif untuk stadium telur, digunakan 3 hari berturut-
turut. Kekurangan preparat ini adalah berbau, mengotori pakaian, dan terkadang
dapat menimbulkan dermatitis iritan, tetapi harga preparat ini murah dan
merupakan pilihan paling aman untuk neonatus dan wanita hamil.
d. Lindane (Gammexane) 1%
Lindane 1% dalam bentuk losio, efektif untuk semua stadia, mudah digunakan,
dan jarang mengiritasi. US Food and Drug Administration (FDA) telah
memasukkan obat ini dalam kategori “black box warning”, dilarang digunakan pada
bayi prematur, individu dengan riwayat kejang tidak terkontrol. Selain itu, obat ini
tidak dianjurkan pada bayi, anak-anak, lanjut usia, individu dengan berat kurang
dari 50 kg karena risiko neurotoksisitas, dan individu yang memiliki riwayat
penyakit kulit lainnya seperti dermatitis dan psoriasis.
e. Emulsi Benzil Benzoas 25%
Tatalaksana lini kedua agen topikal adalah emulsi benzil benzoas kadar 25%.
Agen ini efektif terhadap seluruh stadia, diberikan setiap malam selama 3 hari.
Agen ini sering menyebabkan iritasi kulit, dan perlu dilarutkan bersama air untuk
bayi dan anak-anak. Pemakaian di seluruh tubuh dan dibasuh setelah 24 jam.

24
 Preparat Oral
a. Ivermectin
Ivermectin merupakan agen antiparasit golongan macrocyclic lactone yang
merupakan produk fermentasi bakteri Streptomyces avermitilis. Agen ini dapat
menjadi terapi lini ketiga pada usia lebih dari 5 tahun, terutama pada penderita
persisten atau resisten terhadap terapi topikal seperti permethrin.7 Pada tipe skabies
berkrusta, dianjurkan terapi kombinasi ivermectin oral dengan agen topikal seperti
permethrin, karena kandungan terapi oral saja tidak dapat berpenetrasi pada area
kulit yang mengalami hiperkeratinisasi. Ivermectin memiliki aktivitas antiparasit
spektrum luas, termasuk untuk onchocerciasis (river blindness), filariasis limfatik,
dan strongyloides. Obat ini efektif untuk stadium tungau tetapi tidak efektif untuk
stadium telur, dan memiliki waktu paruh pendek yaitu 12- 56 jam.7 Dosis yang
dianjurkan untuk skabies adalah 200 μg/kg dengan pengulangan dosis 7-14 hari
setelah dosis pertama.1 Penggunaan tidak dianjurkan untuk anak dengan berat
badan di bawah 15 kg, wanita hamil, dan wanita menyusui, karena obat ini
berinteraksi dengan sinaps saraf memicu peningkatan glutamat dan dapat
menembus sawar darah otak (blood brain barrier) terutama pada anak di bawah 5
tahun yang sistem sawar darah otak belum sempurna. Studi pemberian massal
ivermectin dan permethrin di Fiji, Jepang, terhadap 2051 partisipan menyimpulkan
bahwa terapi ivermectin (dua dosis) lebih superior dibandingkan terapi permethrin
(dua dosis). Prevalensi skabies turun sebesar 94% pada kelompok terapi ivermectin
(prevalensi 32,1% pada awal turun menjadi 1,9% setelah 12 bulan, p<0,001),
dibandingkan penurunan prevalensi sebesar 62% pada kelompok permethrin.
b. Moxidectin
Moxidectin merupakan terapi alternatif yang sedang dikembangkan.
Moxidectin adalah obat yang biasa digunakan dokter hewan untuk mengobati
infeksi parasit terutama Sarcoptic mange. Preparat ini memiliki mekanisme kerja
yang sama dengan ivermectin, tetapi lebih lipofilik sehingga memiliki penetrasi
lebih tinggi ke jaringan. Moxidectin memiliki toksisitas lebih rendah dibanding
ivermectin. Saat ini studi keamanan dosis pada manusia masih sedikit, dosis
terapeutik yang bertahan di kulit antara 3-36 mg (sampai 0,6 m/kg). Penelitian
toleransi dan keamanan belum dilakukan pada wanita hamil, ibu menyusui, dan
anak-anak.
 Modalitas Terapi Terbaru
a. Produk Natural
Saat ini dikembangkan produk natural seperti tea tree oil berasal dari tanaman
Melaleuca alternifolia. Produk ini digunakan sebagai terapi adjuvan untuk skabies
di Rumah Sakit Royal Darwin Australia.9 Studi di Australia pada tungau Sarcoptes
scabiei var hominis mendapatkan bahwa produk tea tree oil mematikan tungau lebih
banyak dibandingkan produk permethrin atau ivermectin (85% tungau mati setelah

25
kontak 1 jam dengan tea tree oil; 10% tungau mati setelah kontak dengan
permethrin dan ivermectin).
b. Vaksinasi
Saat ini diteliti vaksin untuk eradikasi tungau S. scabiei. Antibodi (IgG, IgM,
dan IgE) meningkat pada skabies tipe umum dan varian skabies berkrusta.
Peningkatan antibodi lebih tinggi didapatkan pada skabies berkrusta. Penelitian
sejauh ini belum dikembangkan pada manusia. Studi di Beijing, Cina,
mengembangkan vaksin dengan mengambil S. scabiei chitinase-like protein
(SsCLP5) dan diuji coba pada kelinci. Hasil menunjukkan bahwa setelah diberi
vaksinasi, 74,3% (26 dari 35 kelinci) tidak bergejala setelah pemaparan tungau
hidup (stadium telur, larva, dan dewasa).

8. Mahasiswa mampu menjelaskan Prognosis dan Komplikasi dari Scabies.


 Prognosis
Pada penderita immunocompromised atau penderita yang tinggal di panti
asuhan atau asrama, angka kejadian infestasi ulang tinggi khususnya pada penderita
yang kembali ke lingkungan asalnya yang belum dilakukan eradikasi skabies.
(Prof.dr.Saleha Sunkar, 2016).
Edukasi cara pemakain obat, serta syarat pengobatan dapat menghilangkan
faktor predisposisi (antara lain hiegene), maka penyakit ini memberikan prognosis
yang baik.Prognosis sangat baik bila dilakukan tata laksana dengan tepat. Pruritus
dapatbertahan beberapa minggu setelah pengobatan akibat reaksi hipersensitif
terhadap antigen tungau. Skabies nodular dapat bertahan beberapa bulan setelah
pengobatan. Skabies krustosa relatif sulit diobati. (PERDOSKI, 2017)
-Quo ad vitam : bonam
-Quo ad funtionam : dubia ad bonam
-Quo ad sanactionam : bonam
 Komplikasi
Gatal hebat mengganggu tidur sehingga keesokan harinya penderita mengantuk,
pusing dan keluhan akibat kurang tidur lainnya. Lesi skabies juga menurunkan rasa
percaya diri pada sebagian besar penderita. Penderita perempuan merasa malu akan
kondisinya dan 30% menarik diri dari aktivitas sosial karena tidak percaya diri.Di
kulit yang mengalami ekskoriasi, dapat terjadi infeksi sekunder oleh bakteri.Terjadi
limfangitis, limfadenitis, selulitis bahkan sepsis.Infeksi sekunder dapat memicu
komplikasi sistemik yang berat misalnya penyakit ginjal dan penyakit jantung
rheumatik.Komplikasi skabies lainnya adalah hiperpigmentasi atau hipopigmentasi
akibat inflamasi. Selain itu dapat pula terjadi pruritus pasca-skabies yaitu pruritus
yang terjadi beberapa hari sampai beberapa minggu setelah infestasi primer akibat
hipersensitivitas terhadap tungau dan produk tungau.

26
Komplikasi skabies bukan hanya berhubungan dengan infeksi, tetapi juga
berkaitan dengan kerugian ekonomi rumah tangga terutama pada masyarakat yang
kurang mampu. Penelitian di daerah rural Meksiko menunjukkan bahwa terdapat
pengeluaran rumah tangga yang signifikan terhadap pengobatan skabies yang tidak
efektif. Hal tersebut berdampak pada kemampuan membeli kebutuhan pokok
seperti makanan untuk keluarga menjadi berkurang. Skabies di lingkungan yang
buruk merupakan masalah morbiditas potensial dan sumber beban finansial.
(Prof.dr.Saleha Sunkar, 2016).

9. Mahasiswa mampu menjelaskan KIE dan Pencegahan dari Scabies.


Adapun beberapa hal penting yang harus diperhatikan, sesuai dengan tinjauan
pustaka
antara lain:
1. Pasien sebaiknya mandi yang bersih.
2. Kebanyakan gagalnya pengobatan scabies berhubungan dengan salah
pengunaan obat atau pengobatan yang tidak tuntas. Maka dari itu perlu untuk
menerangkan kepada pasien tentang penggunaan lotion atau cream topikal.
Krim dipakai dari leher atau dari belakang telinga sampai ke seluruh tubuh dan
konsentrasikan pada daerah-daerah yang terdapat lesi, namun pastikan daerah
axial, pergelangan tangan, pergelangan kaki, dan area pubis juga dioleskan.
Krim harus segera dibersihkan setelah delapan sampai dua belas jam
pemakaian. Jika terdapat keraguan dalam penggunaan, bisa dipakai beberapa
hari kemudian.
3. Pakaian dan peralatan lainnya yang terkontaminasi harus segera di bersihkan
dengan air panas atau dry cleaned. Hal yang dapat dilakukan adalah mencuci
benda-benda yang kontak langsung dengan penderita pada suhu di atas 50 °C
dan gunakan pakaian atau peralatan yang sudah tidak terkontaminasi setelah
melakukan pengobatan.
4. Menerangkan kepada pasien agar menghentikan penggunaan obat atau
membilas obat dengan bersih apabila terjadi iritasi kulit atau reaksi
hipersensitivitas pada saat pemakaian.
5. Menyarankan kepada anggota keluarga, pasangan seksual serta semua orang
yang pernah kontak dengan pasien yang mengeluhkan gatal atau tidak untuk
dilakukan pemeriksaan dan pengobatan scabies harus dilakukan secara
menyeluruh pada semua penderita dalam satu lingkungan dalam satu waktu.
6. Papula-papula yang tersisa masih bisa bertahan dalam beberapa minggu. Steroid
topikal bisa digunakan untuk menghilangkan gatalnya.
7. Infeksi sekunder pada tempat garukan juga perlu diobati.
Komunikasi, informasi dan edukasi penting diberikan kepada pasien dan
keluarganya karena penyakit ini memang tidak memerlukan waktu yang cukup
lama untuk sembuh namun angka terinfeksi kembali cukup tinggi dan sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor predisposisi. Kesabaran serta ketaatan pasien

27
untuk berobat dan menjaga kebersihan sangat diperlukan apalagi penularan bisa
melalui kontak langsung maupun tidak langsung.
Dengan memperhatikan pemilihan dan cara pemakaian obat, serta syarat
pengobatan dan menghilangkan faktor predisposisi (antara lain hygiene yang
buruk), maka penyakit ini dapat diberantas dan memberi prognosis yang baik.

10. Mahasiswa mampu menjelaskan Integrasi Islam yang sesuai dengan scenario.
Dalam agama Islam sendiri terdapat slogan “kebersihan sebagian dari iman”
dan di Dalam Al-qur’an surat surah Al-Baqarah ayat 222 terdapat firman Allah SWT,
yang berbunyi:

Artinya: "Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan


menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222).
Perilaku kebersihan yang tidak baik termasuk kedalam seseorang tidak menjaga
kebersihan dan kesehatan. Apabila perilaku ini terus dibiarkan maka dapat memicu
depersonal hygiene. Depersenoal hygiene inilah yang dapat memicu perkembangan
berbagai penyakit salah satunya yaitu perkembangan scabies atau penyakit kulit.
(Azizah, 2012).

11. Mahasiswa mampu menjelaskan SOAP

S (Subjective)
Nama: Budi
Jenis Kelamin: Laki-laki
Usia: 13th
Keluhan Utama: Bruntus kemerahan yang terasa gatal sejak 2 minggu yang lalu
RPS: Bruntus muncul di sela jari kedua tangan lalu meluas ke telapak tangan, kedua
pergelangan tangan, punggung. Keluhan disertai dengan rasa gatal yang semakin parah di
malam hari.
RPD: -
RPK:- -
RS: Tinggal di pondok selama 1th dan satu kamar dihuni oleh 10 siswa.Terdapat keluhan
serupa pada salah satu anggota kamarnya.
Riwayat Alergi: -
O (Objective)
Tanda Vital: -
Pemeriksaan Fisik: -
Status Dermatologis: Regio sela jari tangan, pergelangan tangan dan punggung ditemukan
papul eritematosa multiple, tersebar diskret disertai dengan krusta kemerahan dan ekskoriasi.
Tampak pula kunikulus berkelok berwarna putih dengan ujung terdapat papul.

28
A1 (Initial Assesment)
DDx (Differential Diagnosis): Prurigo,Scabies

P1 (Planning Diagnosis)
Pemeriksaan Penunjang:

1. Scrappig
2. Burrow ink test
A2 (Assesment)
WDx (Working Diagnosis): SCABIES
P2 (Planning)
Tatalaksana Farmakologis:
 Topikal
Krim permetrin 5% dioleskan pada kulit dan dibiarkan selama 8 jam. Dapat diulang
setelah satu pekan.
 Sistemik
-Antihistamin sedatif (oral) Cetirizine HCl 1 kapsul bid untuk mengurangi gatal.
- Ivermektin (oral) 0,2 mg/kg dosis tunggal, 2-3 dosis setiap 8-10 hari (hanya pada
pasien yang mengalami gagal pengobatan atau tidak dapat mentoleransi obat
topikal).

Tatalaksana non-Farmakologis:
 Menjaga higiene individu dan lingkungan.
 Dekontaminasi pakaian dan alas tidur dengan mencuci pada suhu 60°C atau
disimpan dalam kantung plastik tertutup selama beberapa hari. Karpet, kasur,
bantal, tempat duduk terbuat dari bahan busa atau berbulu perlu dijemur di bawah
terik matahari setelah dilakukan penyedotan debu.
KIE:
1. Pasien sebaiknya mandi yang bersih.

29
2. Menerangkan kepada pasien tentang penggunaan lotion atau cream topikal. Krim
dipakai dari leher atau dari belakang telinga sampai ke seluruh tubuh dan
konsentrasikan pada daerah-daerah yang terdapat lesi, namun pastikan daerah axial,
pergelangan tangan, pergelangan kaki, dan area pubis juga dioleskan. Krim harus
segera dibersihkan setelah delapan sampai dua belas jam pemakaian. Jika terdapat
keraguan dalam penggunaan, bisa dipakai beberapa hari kemudian.
3. Pakaian dan peralatan lainnya yang terkontaminasi harus segera di bersihkan dengan
air panas atau dry cleaned.
4. Menerangkan kepada pasien agar menghentikan penggunaan obat atau membilas obat
dengan bersih apabila terjadi iritasi kulit atau reaksi hipersensitivitas pada saat
pemakaian.
5. Menyarankan kepada anggota keluarga, pasangan seksual serta semua orang yang
pernah kontak dengan pasien yang mengeluhkan gatal atau tidak untuk dilakukan
pemeriksaan dan pengobatan scabies harus dilakukan secara menyeluruh pada semua
penderita dalam satu lingkungan dalam satu waktu.
6. Papula-papula yang tersisa masih bisa bertahan dalam beberapa minggu. Steroid
topikal bisa digunakan untuk menghilangkan gatalnya.
7. Infeksi sekunder pada tempat garukan juga perlu diobati.

30
BAB VII
PETA KONSEP

31
BAB VIII
DAFTAR PUSTAKA

1. Trasia, R. F. (2020). Scabies in indonesia: Epidemiology and prevention. Insights in


Public Health Journal, 1(2), 30–38.
2. Barry, Megan. 2020. Scabies. Medscapes.
3. Hay, RJ et all. 2012. Skabies di negara berkembang—prevalensi, komplikasi, dan
Manajemennya.
4. Widaty S, Soebono H, Nilasari H, Listiawan MY, Siswati AS, Triwahyudi Danang,
Dkk. Panduan praktek klinis bagi dokter spesialis kulit dan kelamin di Indonesia.
Jakarta: Perdoski; 2017.
5. Widasmara, Dhelya. 2020. Konsep Baru Skabies. Malang: UB pres.
6. Chiller Katarina, Selkin Bryan, dan Murakawa George. Skin Microflora and Bacterial
Infections Craft N. 2012. Superfi cial Cutaneous Infectioous and Pyoderma. In:
Fitzpatrick’s Dermatology in.
7. Fitzpatrick TB, Eisen AZ, Wolff K, Freedberg IM, Austen KF. 2012. Dennatology in
General Medicine. 8'" ed. New York: McGraw-Hill Book Company. p. 2569-77.
8. Febrianti & Wahyuni,R.K. (2019). Hubungan Pengetahuan dan Sikap Santri Terhadap
Kejadian Skabies di Pondok Pesantren Darel Hikmah Kota Pekanbaru. Jurnal Delima
Harapan.
9. Nurapandi, Adi. (2020). Pengaruh Model Pedoman Perilaku Personal Higiene dan
Pengelolaan Lingkungan Terhadap Perilaku Personal Higiene Santri Serta Kejadian
Scabies di Pondok Pesantren Ar-Risalah. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
10. Azizah, U. 2012. Hubungan Antara Pengetahuan Santri Tentang Phbs Dan Peran
Ustadz Dalam Mencegah Penyakit Skabies Dengan Perilaku Pencegahan Penyakit
Skabies.
11. Saleha Sungkar. 2016. Buku Panduan Skabies (Etiologi, Patogenesis, Pengobatan,
Pemberantasan,dan Pencegahan). Badan Penerbit FKUI. Jakarta
12. Kurniawan. 2020. Diagnosis dan Terapi Skabies. Cermin Dunia Kedokteran, 47(2),
104.

32

Anda mungkin juga menyukai