Anda di halaman 1dari 31

INFORMED CONSENT

Makalah diajukan Sebagai Tugas


Mata Kuliah Etika Keperawatan
Dosen: Parta Suhanda, S. Kp. M. Biomed

Disusun oleh:
Ajeng Vildah Setyaningsih
Marthatio Lenta Nauly Simbolon
Nadia Putri Dwiningsih
Salsa Regita Pasha
Salsabila Akmaliyah Azzahra
Yusril

POLTEKKES KEMENKES BANTEN


JURUSAN KEPERAWATAN TANGERANG
PRODI PENDIDIKAN PROFESI NERS
TINGKAT I/ SEMESTER II
2020
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
D. Sistematika Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Informed consent
2.1.1 Pengertian Informed consent
2.1.2 Sejarah Informed Consent.
2.1.3 Bentuk Informed Consent
2.1.4 Fungsi Informed Consent
2.1.5 Landasan Hukum Informed Consent
2.2 Transaksi Terapeutik
2.3 Hubungan Informed Consent Dalam Transaksi Teraupetik
2.4 Peran Perawat dalam Pemberian Informed Consent
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, serta taufik dan
hidayahnya sehingga makalah yang berjudul “Informed Consent” ini bisa
terselesaikan dengan lancar. Tidak lupa shalawat serta salam kita ucapkan kepada
Baginda besar Nabi Muhammad SAW yang telah mengubah era dari zaman
kebodohan ke jalan yang terang benderang ini dan yang selalu kita nantikan
syafa`atnya di yaumul akhir nanti.
Makalah ini disusun sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Etika
Keperawatan. Tidak lupa saya ucapkan terimakasih kepada Bapak Parta
Suhanda, S. Kp. M. Biomed, selaku dosen mata kuliah Etika Keperawatan yang
telah membimbing.
Semoga makalah ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan pembaca
dan kami selaku penyusun makalah ini menyadari bahwa masih banyak
kekurangan, maka dari itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi menyempurnakan makalah selanjutnya.

Tangerang, April 2020


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa kesehatan adalah
merupakan hak asasi manusia. Pada pasal 28 H dijelaskan bahwa setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan
lingkungan jidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan.
Pelaksanaan pelayanan kesehatan dalam rangka mempertahankan
kesehatan yang optimal harus dilakukan bersama-sama, oleh semua tenaga
kesehatan sebagai konsekuensi dari kebijakan. Pelayanan kesehatan di rumah
sakit sebagai salah satu sarana kesehatan yang diselenggarakan baik oleh
pemerintah maupun masyarakat menempatkan tenaga keperawatan sebagai
tenaga kesehatan mayoritas yang sering berhubungan dengan pasien sebagai
pengguna jasa pelayanan rumah sakit. Perawat hadir 24 jam bersama pasien dan
memiliki hubungan yang lebih dekat dengan pasien dibandingkan tenaga
kesehatan lain. Pelayanan keperawatan berupa bantuan yang diberikan karena
adanya kelemahan fisik dan/atau mental, keterbatasan pengetahuan serta
kurangnya kemauan melaksanakan kegiatan sehari-hari secara mandiri.
Keperawatan merupakan salah satu profesi tenaga kesehatan menurut
Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996. Perawat diposisikan sebagai salah satu
dari profesi tenaga kesehatan yang menempati peran yang setara dengan tenaga
kesehatan lain. Perjalanan awalnya perawat hanya dianggap okuvasi (pekerjaan)
saja yang tidak membutuhkan profesionalisme. Sejalan dengan perkembangan
ilmu dan praktek keperawatan, perawat sudah diakui sebagai suatu profesi,
sehingga pelayanan atau asuhan keperawatan yang diberikan harus didasarkan
pada ilmu dan kiat keperawatan.
Dalam memberikan pelayanan kesehatan, perawat harus terlebih dahulu
memberikan informed consent kepada pasien. Persetujuan tindakan medik
atau informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau
keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan
terhadap pasien tersebut. Persetujuan dapat diberikan secara tertulis maupun
lisan, tetapi setiap tindakan medik yang mengandung resiko tinggi harus dengan
persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang hendak memberikan
persetujuan.
Informed consent berasal dari hak legal dan etis individu untuk
memutuskan apa yang akan dilakukan terhadap tubuhnya, dan kewajiban etik
dokter dan tenaga kesehatan lainnya untuk meyakinkan individu yang
bersangkutan untuk membuat keputusan tentang pelayanan kesehatan terhadap
diri mereka sendiri.
Dalam permenkes 585/Men.Kes/Per/ IX/1989 tentang persetujuan medik
pasal 6 ayat 1 sampai 3 disebutkan bahwa yang memberikan informasi dalam hal
tindakan bedah adalah dokter yang akan melakukan operasi, atau bila tidak ada,
dokter lain dengan pengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab.
Dalam hal tindakan yang bukan bedah (operasi) dan tindakan invasif lainnya,
informasi dapat diberikan oleh dokter lain atau perawat, dengan pengetahuan atau
petunjuk dokter yang bertanggung jawab.
Dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 32 tahun 1996
tentang Tenaga Kesehatan pasal 22 ayat 1 disebutkan bagi tenaga kesehatan jenis
tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk diantaranya
adalah kewajiban untuk menghormati hak pasien, memberikan informasi yang
berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan, dan kewajiban untuk
meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan.
Tenaga kesehatan yang tidak menunaikan hak pasien untuk
memberikan informed consent yang jelas, bisa dikategorikan melanggar case
law (merupakan sifat hukum medik) dan dapat menimbulkan gugatan dugaan mal
praktek. Belakangan ini masalah malpraktek medik (medical malpractice) yang
cenderung merugikan pasien semakin mendapatkan perhatian dari masyarakat
dan sorotan media massa. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan Pusat di
Jakarta mencatat sekitar 150 kasus malpraktik telah terjadi di Indonesia.
Meskipun data tentang malpraktek yang diakibatkan oleh informed consent yang
kurang jelas belum bisa dikalkulasikan, tetapi kasus-kasus malpraktek baru mulai
bermunculan.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah Pengertian dari Informed Consent?
2. Apakah Pengertian dari Transaksi Teurapeutik?
3. Bagaimana Hubungan Antara Informed Consent dan Transaksi
Teurapeutik?
4. Apakah Peranan Informed Consent?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Pengertian dari Informed Consent.
2. Untuk Mengetahui Pengertian dari Transaksi Teurapeutik.
3. Untuk Mengetahui Hubungan Antara Informed Consent dan Transaksi
Teurapeutik.
4. Untuk Mengetahui Peranan Informed Consent.

D. Sistematika Penulisan
Kata pengantar berisi kalimat pembuka untuk mengawali makalah
“Informed Consent” ini, daftar isi mengenai isi yang disertai halaman dari
seluruh makalah, bab I pendahuluan terdiri dari beberapa bab, yang terdiri dari,
pertama latar belakang, menjelaskan hal-hal apa saja yang melatar belakangi
kami dalam menyusun makalah, lalu ada rumusan pembahasan berisi materi
yang akan dibahas, tujuan pembahasan berisi tujuan dari penjelasan materi dan
juga sistematika penulisan.
Bab II pembahasan berisi materi-materi yang akan kami bahas pada
makalah kali ini mulai dari pengertian pengertian dari informed consent,
pengertian dari transaksi teurapeutik, hubungan antara informed consent dan
transaksi teurapeutik, peranan informed consent. Bab III penutup berisi
kesimpulan dari materi yang disampaikan dan juga terdapat saran untuk para
pembaca makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Informed consent


2.1.1 Pengertian Informed consent
Informed Consent merupakan proses komunikasi antara tenaga kesehatan dan
pasien tentang kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan dokter atau
perawat selaku tenaga medis terhadap pasien yang kemudian dilanjutkan dengan
penandatanganan formulir Informed Consent secara tertulis. Hal ini didasari atas
hak seorang pasien atas segala sesuatu yang terjadi pada tubuhnya serta tugas
utama tenaga kesehatan dalam melakukan upaya penyembuhan pasien.
Tujuan pemberian informasi secara lengkap mengenai penyakit serta tindakan
medis yang akan dilakukan adalah agar pasien bisa menentukan sendiri
keputusannya sesuai dengan pilihannya sendiri. Pengetahuan dan faktor
pendidikan juga mempengaruhi pemahaman pasien. Hal ini disebabkan karena
adanya kesenjangan pengetahuan yang dimiliki dokter dengan pengetahuan yang
dimiliki oleh pihak pasien. Bentuk persetujuan pasien untuk dilakukannya pasien
juga dipengaruhi komunikasi antara tenaga medis dan pasien.
Bentuk komunikasi sendiri terdiri dari 2 jenis persetujuan, yaitu langsung dan
tidak langsung. Persetujuan langsung dapat berbentuk persetujuan lisan maupun
tulisan. Biasanya, semakin invasif (pelibatan operasi/memasukkan suatu
peralatan ke dalam tubuh pasien) dan atau semakin besar potensi resiko terhadap
pasien maka semakin besar pula kebutuhan terhadap persetujuan tertulis.
Persetujuan tidak langsung terjadi apabila ada interaksi nonverbal yang
menunjukkan persetujuan tindakan kesehatan. Persetujuan ini disebut Implied
Consent atau Persetujuan Tersirat, Dalam kondisi darurat: pasien tak mungkin
diajak komunikasi, keluarga tak ditempat (Permenkes 585/1989, Pasal 11)
Presumed consent. Contohnya klien yang memposisikan badannya untuk disuntik
dan atau mengisyaratkan persetujuan tidak langsung untuk dilakukannya
pemeriksaan fisik atau organ-organ vital, dengan kata lain gestur badan yaitu
komunikasi nonverbal antara tenaga kesehatan dan pasien adalah persetujuan
tidak langsung. Perseujuan tidak langsung juga dapat terjadi apabila kondisi fisik
individu tidak memungkinkan untuk mengungkapkan atau mengambil keputusan
adanya tindakan atau tidak, kondisi seperti ini sering terjadi dalam kondisi
kegawatdaruratan.
Informed consent untuk terapi medis dan pembedahan adalah tanggungjawab
tenaga prosedural seperti dokter, termasuk perawat praktisi atau perawat non
praktisi, perawat anestesi, perawat bidan dan perawat yang melakukan asuhan
keperawatan. Menjaga tetap adanya komunikasi dua arah antara pasien dan
tenaga medis adalah yang terpentig, penejalasan prosedural, memastikan
pemahaman pasien dan mendapat persetujuan atau izin pasien juga harus
diperhatikan.

2.1.2 Sejarah Informed Consent.


Konsep informed consent dapat dikatakan merupakan suatu konsep yang
relatif masih baru dalam sejarah etika medis. Secara histori konsep ini muncul
sebagai suati prinsip yang secara formal ditegaskan hanya setelah Perang dunia
ke II, yakni sebagai reaksi dan tindakan lanjut dari apa yang disebut pengadilan
Nuremberg, yakni pengadilan terhadap para penjahat perang zaman Nazi. Prinsip
informed consent merupakan reaksi terhadap kisah-kisah yang mengerikann
tentang pemakaian manusia secara paksa sebagai kelinci percobaan medis di
kamp-kamp konsentrasi. Sejak pengadilan Nuremberg, prinsip inforned consent
cukup mendapat perhatian besar dalma etika biomedis.
Dalam hukum Inggris-Amerika, akjaran tentang informed consent juga
berkaitan dengan kasus-kasus malpraktek yang melibatkan perbuatan tertentu
pada tubuh pasien yang kompeten tanpa persetujuannya dalam kasus tersebut
dipandang tidak dapat diterima lepas dari pertimbangan kualitas pelayanan.
Mengingat pentingnya informed consent dalam pelayanan medis, maka dalam
salah satu butir panduan (yakni butir No. 11) dan butir-butir panduan etis untuk
Lembaga-lembaga Pelayanan Medis Katolik di Amerika terdapat pernyataan
sebagai berikut.
Pasien adalah pembuat keputusan utama dalam semua pilihan yang
berhubungan dengan kesehatan dan perawatannya, ini berarti ia adalah
pembuat keputusan pertama, orang yang diandaikan memprakarsai keputusan
berdasarkan keyakinan hidup dan nilai-nilainya. Sedangkan pembuat keputusan
sekunder lainnya juga mempunyai tanggung jawab. Jika secara hukum pasien
tidak mampu membuat keputusan atau mengambil inisiatif, seorang pelaku yang
lain yang menggantikan pasien. Biasanya keluarga pasien, kecuali kalau
sebelumnya pasien telah menunjuk orang lain yang bertanggung jawab untuk
berusaha menentukan apa yang kiranya akan dipilih oleh pasien, atau jika itu
tidak mungkin, berusaha dipilih apa yang paling menguntungkan bagi pasien.
Para pemegang profesi pelayanan kesehatan juga merupakan pembuat
keputusan kedua, dengan tanggung jawab menyediakan pertoongan dan
perawatan untuk pasien sejauh itu sesuai dengan keyakinan hidup dan nilai-nilai
mereka. Kebijakan dan praktek rumah sakit harus mengakui serangkai tanggung
jawab ini. Para pemegang profesi pelayanan kesehatan bertanggung jawab untuk
memberikan informasi yang mencukupi dan untuk memberikan dukungan yang
memadai kepada si pasien, sehingga ia mampu memberikan keputusan yang
dilandasi pengetahuan mengenai perawatan yang mestinya dijalani.
Perlu disadari bahwa bantuan dalam profesi pengambilan keputusan
merupakan bagian penting dalam perawatan kesehatan. Kebijakan dan dokumen
mengenai informed consent haruslah diupayakan untuk meningkatkan dan
melindungi otanomi pasien, bukan pertama-tama melindungi rumah sakit dan
petugas pelayanan medis dari perkara pengaduan hukum.

2.1.3 Bentuk Informed Consent


a. Ada dua bentuk informed consent
 Implied constructive Consent (Keadaan Biasa)
Tindakan yang biasa dilakukan, telah diketahui, telah dimengerti oleh
masyarakat umum, sehingga tidak perlu lagi di buat tertulis
misalnya pengambilan darah untuk laboratorium, suntikan, atau hecting luka
terbuka.
 Implied Emergency Consent (keadaan Gawat Darurat)
Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan
medis (pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk
melakukan tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :
1. Persetujuan Tertulis
Biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko
besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No.
585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No.
319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang
mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan
tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang
adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko yang berkaitan
dengannya (telah terjadi informed consent).
2. Persetujuan Lisan
Biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan
tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien.
3. Persetujuan dengan isyarat
Dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan disuntik atau
diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai
tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.

b. Tiga elemen Informed Consent


1. Threshold elements
Pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten (cakap). Kompeten disini
diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan medis. Dari sama sekali
tidak memiliki kompetensi hingga memiliki kompetensi yang penuh. Diantaranya
terdapat berbagai tingkat kompetensi membuat keputusan tertentu (keputusan
yang reasonable berdasarkan alasan yang reasonable).
Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) apabila telah dewasa,
sadar dan berada dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan.
Dewasa diartikan sebagai usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah
menikah. Sedangkan keadaan mental yang dianggap tidak kompeten adalah
apabila mempunyai penyakit mental sehingga pengambilan consent terganggu.

2. Information elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan) dan
understanding (pemahaman). Pengertian ”berdasarkan pemahaman yang adekuat
membawa konsekuensi kepada tenaga medis untuk memberikan informasi
(disclosure) sedemikian rupa sehingga pasien dapat mencapai pemahaman yang
adekuat”.
Dalam hal ini, seberapa ”baik” informasi harus diberikan kepada pasien, dapat
dilihat dari 3 standar, yaitu :
a. Standar Praktik Profesi
Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria ke-adekuat-an
informasi ditentukan bagaimana “biasanya” dilakukan dalam komunitas tenaga
medis. Dalam standar ini ada kemungkinan bahwa kebiasaan tersebut di atas
tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial setempat, misalnya resiko yang ”tidak
bermakna” (menurut medis) tidak diinformasikan, Informasi yang seharusnya itu
berarti untuk sisi sosial namun dianggap tidak harus disampaikan.

b. Standar Subyektif
Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien
secara pribadi, sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien
tersebut dalam membuat keputusan. Kesulitannya adalah mustahil (dalam hal
waktu/kesempatan) bagi profesional medis memahami nilai-nilai yang secara
individual dianut oleh pasien.

c. Standar pada reasonable person


Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya,
yaitu dianggap cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi
kebutuhan umumnya orang awam.
3. Elemen dari Persetujuan
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness (kesukarelaan,
kebebasan) dan authorization (persetujuan). Kesukarelaan mengharuskan tidak
ada tipuan, misrepresentasi ataupun paksaan. Pasien juga harus bebas dari
”tekanan” yang dilakukan tenaga medis yang bersikap seolah-olah akan
”dibiarkan” apabila tidak menyetujui tawarannya.

c. Consent dapat diberikan :


a. Dinyatakan (expressed)
1. Dinyatakan secara lisan
2. Dinyatakan secara tertulis.

Pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan bukti di kemudian hari,


umumnya pada tindakan yang invasif atau yang beresiko mempengaruhi
kesehatan penderita secara bermakna. Permenkes tentang persetujuan tindakan
medis menyatakan bahwa semua jenis tindakan operatif harus memperoleh
persetujuan tertulis.

b. Tidak dinyatakan (implied)


Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis, namun
melakukan tingkah laku (gerakan) yang menunjukkan jawabannya.
Meskipun consent jenis ini tidak memiliki bukti, namun consent jenis inilah yang
paling banyak dilakukan dalam praktik sehari-hari. Misalnya adalah seseorang
yang menggulung lengan bajunya dan mengulurkan lengannya ketika akan
diambil darahnya.

c. Proxy Consent
Adalah consent yang diberikan oleh orang yang bukan pasien itu sendiri,
dengan syarat bahwa pasien tidak mampu memberikan consent secara pribadi,
dan consent tersebut harus mendekati apa yang sekiranya akan diberikan oleh
pasien (bukan baik untuk orang banyak).
Umumnya urutan orang yang dapat memberikan proxy consent adalah
suami/istri, anak, orang tua, saudara kandung, dst. Proxy consent hanya boleh
dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan ketat.

2.4.4 Fungsi Informed Consent


Menurut Katz & Capran, fungsi informed Consent :
1. Promosi otonomi individu.
2. Proteksi terhadap pasien dan subjek.
3. Menghindari kecurangan, penipuan dan paksaan.
4. Mendorong adanya penelitian yang cermat.
5. Promosi keputusan yang rasional
6. Menyertakan publik.

2.4.5 Landasan Hukum Informed Consent


PerMenKes RI No 585/ Menkes/ PER/ IX/ 1989 persetujuan tindakan medik/
informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya
atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang dilakukan terhadap pasien
tersebut. Tindakan terhadap pasien berupa diagnostik dan terapeutik.

Bab II ( Persetujuan)
a. Pasal 2 ayat (1) : Semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap
pasien harus mendapatkan persetujuan.
b. Pasal 2 ayat (2) : Persetujuan dapat diberikan secara tertulis atau lisan.
c. Pasal 2 ayat (3) : Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan
setelah pasien mendapat informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan
medik yang bersangkutan serta risiko yang ditimbulkannya.
d. Pasal 2 ayat (4) : Cara penyampaian dan isi informasi harus disesuaikan
dengan tingkat pendidikan serta kondisi dan situasi pasien.
e. Pasal 3 ayat (1) : Setiap tindakan medis yang mengandung risiko tinggi
harus dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak
memberikan persetujuan.
Ketentuan Perundangan yang menjadi dasar Informed Consent adalah :
a. Pasal 53 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, yang
menyebutkan :
1. Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam
melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
2. Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk
mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.
3. Ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
b. UU No. 32 Tahun 1992 tentang Kesehatan
c. Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1998 Tentang tenaga Kesehatan
d. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 159 b/Menkes/SK/Per/II/1998
Tentang RS
e. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 749A/Menkes/Per/IX/1989 tentang
Rekam medis/ Medical record
f. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 585/Menkes/Per/IX/1989 Tentang
Persetujuan Tindakan Medis
g. Kep Menkes RI No. 466/Menkes/SK dan standar Pelayanan Medis di
RS
h. Fatwa pengurus IDI Nomor: 139/PB/A.4/88/Tertanggal 22 Februari
1988 Tentang
i. Peraturan Pemerintah RI Nomor 18 Tahun 1981 Tertanggal 16 juni
1981Tentang Bedah Mayat Klinik dan Bedah Mayat Anatomis serta
Transplantasi Alat dan/atau Jaringan Tubuh Manusia.
Contoh Informed Consent

2.5 Transaksi Terapeutik


Transaksi berarti perjanjian atau persetujuan yaitu hubungan timbal balik
antara dua pihak yang bersepakat dalam satu hal. Terapeutik adalah terjemahan
dari therapeutic yang berarti dalam bidang pengobatan. Ini tidak sama dengan
therapy atau terapi yang berarti pengobatan. Persetujuan yang terjadi di antara
dokter dengan pasien bukan di bidang pengobatan saja tetapi lebih luas,
mencakup bidang diagnostic, preventif, rehabilitasi maupun promotif, maka
persetujuan ini disebut persetujuan terapeutik atau transaksi terapeutik.
Dalam bidang pengobatan, para dokter dan masyarakat menyadari bahwa
tidak mungkin dokter menjamin upaya pengobatan akan selalu berhasil sesuai
yang diinginkan pasien / keluarga. Dokter hanya dapat memberikan upaya
maksimal. Hubungan dokter dengn pasien ini dalam perjanjian hukum perdata
termasuk kategori perikatan berdasarkan daya upaya / usaha maksimal
(inspanningsverbintenis). Ini berbeda dengan ikatan yang termasuk kategori
perikatan yang berdasarkan hasil kerja (resultaatsverbintenis). Yang terakhir ini
terlihat dalam urusan kontrak bangunan, dimana bila pemborong tidak membuat
rumah sesuai jadwal dan bestek yang disepakati, maka pemesan dapat menuntut
pemborong.

2.6 Hubungan Informed Consent Dalam Transaksi Teraupetik


Kesehatan merupakan salah satu modal untuk berlangsungnya kehidupan
manusia. Produktivitas dan aktivitas seseorang dipengaruhi oleh kondisi
kesehatan orang tersebut. Kesehatan memberikan pengaruh dalam semua sektor
kehidupan. Sebagai contoh dalam suatu kegiatan ekonomi jika seorang pegawai
pabrik rokok dalam kondisi kesehatan yang baik, maka dia akan dapat
memberikan hasil sebanyak 500 linting rokok, namun jika dalam kondisi
kesehatan yang tidak baik, maka produktivitas orang tersebut akan menurun.
Demikian juga dalam sektor pendidikan seseorang dengan kondisi kesehatan
yang baik dapat menerima pelajaran jauh lebih baik, daripada dia berada dalam
kondisi sakit. Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa kesehatan
memberikan pengaruh yang besar sekaligus penunjang dalam sektor-sektor
kehidupan manusia.
Kesehatan yang dimiliki seseorang tidak hanya ditinjau dari kesehatan fisik
semata. Kesehatan seseorang bersifat menyeluruh, yaitu kesehatan jasmani dan
rohani. Kesehatan juga merupakan salah satu faktor penentu tingkat kesejahteraan
seseorang. Hal tersebut di atas dapat kita lihat pada Undang-undang Dasar 1945
amandemen Pasal 28H ayat (1) yang berbunyi:
“setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan.”.
Bunyi pasal tersebut di atas dapat kita ambil pengertian, bahwa
kesejahteraan merupakan salah satu dari hak asasi manusia, yang mana mencakup
pula hak seseorang dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Upaya dalam
memperoleh pelayanan kesehatan bertujuan untuk mendapatkan kualitas
kesehatan yang baik dan layak, di mana semakin tingginya kualitas kesehatan
seseorang, maka semakin mendekati pada tingkat kesejahteraan yang layak.
Hubungan antara dokter dan pasien merupakan hubungan yang
mempunyai kedudukan khusus. Yaitu Dokter sebagai Health Provider (pihak
yang memberikan pelayanan kesehatan) dan pasien sebagai Health Receiver
(pihak yang menerima pelayanan kesehatan). Relasi antara dokter dan pasien
pada dasarnya merupakan hubungan kontraktual.
Hubungan tersebut dimulai sejak dokter menyatakan kesediaannya baik
secara lisan (oral statement) atau secara tersirat (implied statement) yang
menunjukkan sikap atau tindakan yang menunjukkan kesediaan dokter. Sikap
atau tindakan yang dapat menyimpulkan kesediaan seperti misalnya menerima
pendaftaran, memberikan nomor urut, menyediakan serta mencatat rekam
mediknya dan sebagainya. Hubungan kontraktual antara dokter dan pasien
dinamakan kontrak terapeutik.
Kontrak terapeutik menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak pihak
yang terikat didalamnya, yaitu dokter dan pasien. Hal tersebut menunjukkan
adanya perikatan sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata, tentang
perikatan yang lahir karena perjanjian. Hak dan kewajiban dokter dan pasien
menimbulkan prestasi dan kontraprestasi yang wajib dipenuhi oleh masing-
masing pihak.
Bentuk prestasi yang harus diberikan oleh dokter tergantung dari jenis-
jenis perikatan yang disepakati, yaitu inspanning-verbintenis atau resultans-
verbintenis, jika sebelumnya tidak ditentukan secara khusus, maka yang akan
berlaku adalah jenis perikatan yang lazim, yaitu inspanning-verbintenis di mana
dokter hanya dituntut untuk memberikan prestasinya berupa upaya medik yang
layak berdasarkan teori kedokteran yang teruji kebenarannya.
Inspanning Verbintenis, dokter tidak diwajibkan memberikan atau
menciptakan sesuatu hasil seperti yang diinginkan pasien atau keluarganya,
mengingat hasil dari suatu upaya medik tidak dapat diperhitungkan secara
matematik (uncertainty), karena dipengaruhi banyak faktor yang berada di luar
kontrol atau jangkauan dokter, seperti misalnya daya tahan tubuh, virulensi
penyakit, kondisi fisik, kepatuhan pasien serta kualitas obat. Jika pasien tidak
sembuh maka dokter tidak dapat digugat sepanjang upaya medik yang telah
dilakukan sudah benar atau sesuai standar.
Sejak zaman Priestly Medicirie, dunia kedokteran sebenarnya sudah
memiliki model hubungan terapeutik yang mapan, yaitu suatu hubungan
paternalistik (kekeluargaan) atas dasar kepercayaan. Model hubungan seperti itu
memiliki keunggulan komperatif dibandingkan model hubungan yang didasarkan
pada prinsip-prinsip hukum semata.
Namun demikian jika terjadi konflik antara penyedia jasa layanan medik
(health care provider) dan penerimanya (health care receiver), maka model
hubungan tadi mempunyai kelemahan karena konsep penyelesaiannya kurang
jelas, tidak memiliki kekuatan guna memaksakan keputusannya.
Penyelesaian konflik antara dokter dan pasien melalui lembaga yang
disusun oleh organisasi profesi, lebih banyak menekankan pada upaya menjaga
kehormatan profesi daripada memperjuangkan nasib pasien dan keluarganya,
padahal yang diperlukan mereka adalah penyelesaian yang adil atas penderitaan
yang terjadi akibat kesalahan dan kelalaian dokter, dalam bentuk
pertanggungjawaban yang dapat meringankan pasien.
Pemeriksaan yang dilakukan oleh lembaga profesi tersebut adalah
pemeriksaan terhadap pelanggaran kode etik kedokteran saja. Keputusan dari
lembaga profesi tersebut terhadap dokter yang bermasalah, sering dicurigai
masyarakat sebagai keputusan yang memihak.
Fakta di dalam masyarakat adalah sulitnya untuk menentukan benar atau
belumnya upaya medik yang diambil oleh dokter. Penilaian untuk melihat
kesalahan dalam pengambilan tindakan medic atau kesalahan dalam diagnosis
tidak dapat diketahui oleh pasien, karena ketidaktahuan mengenai tindakan medik
dan profesi kedokteran.
Oleh karena itu, sering terjadi salah penilaian oleh masyarakat, di mana
dokter dianggap telah melakukan kesalahan medik dan harus mempertanggung
jawabkan, tetapi dokter dapat lepas dari tanggung jawab tersebut. Hal tersebut
memperlihatkan timpangnya kedudukan antara dokter dan pasien serta
kesewenang-wenangan dokter.
Undang-undang Kesehatan merupakan seperangkat aturan yang mengatur
mengenai bagaimana upaya kesehatan dijalankan. Dalam Undang-undang
Kesehatan diatur mengenai bagaimana kedudukan antara dokter atau tenaga
kesehatan dan pasien. Dalam kedudukannya pasien mempunyai hak-hak khusus,
di mana hak-hak tersebut merupakan titik tolak dalam pemberian pelayanan
kesehatan. Hak-hak pasien yang tertulis dalam Pasal 53 ayat (2) wajib dihormati
dan dilaksanakan oleh tenaga kesehatan.

Hak-hak tersebut antara lain:


1. Hak atas informasi
2. Hak untuk memberikan persetujuan
3. Hak atas rahasia kedokteran
4. Hak atas pendapat kedua

Hak-hak tersebut di atas merupakan satu kesatuan. Namun secara khusus


hak atas informasi dan hak untuk memberikan persetujuan merupakan hak yang
tertuang dalam Informed Consent dan Informed Refusal. Dalam pelaksanaan
pengambilan tindakan medik, tenaga kesehatan harus terlebih dahulu
memberikan informasi secara lengkap kepada pasien mengenai hasil observasi,
diagnosa dan tindakan yang akan diambil dokter dan pasien dapat memberikan
persetujuan setelah diterimanya informasi tersebut dan menentukan dilaksanakan
atau tidak tindakan medik pada dirinya.
Penerimaan dan penolakan pengambilan tindakan medik terdiri atas
Informed Consent, yaitu dalam hal pasien menerima dan Informed refusal, dalam
hal pasien menolak tindakan medik.
Penerimaan dan penolakan pengambilan tindakan medik pada dasarnya,
merupakan perjanjian antara dokter dan pasien, yang mana tertuang dalam bentuk
persetujuan pasien atas tindakan medik atau penolakan pasien atas tindakan
medik yang akan diambil pada dirinya, di mana sebelumnya dokter telah
menginformasikan mengenai beberapa hal tentang tindakan medik yang akan
diambilnya beserta akibatnya.
Di dalam mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia menyebutkan
bahwa: Sejak permulaan sejarah tersurat mengenai umat manusia sudah dikenal
hubungan kepercayaan antara dua insan, yaitu sang pengobat dan penderita.
Dalam Jaman modern hubungan ini disebut hubungan teraupetik antara dokter
dan pasien, yang dilakukan dalam suasana saling mempercayai serta senantiasa
diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran mahluk insani.
Istilah transaksi teraupetik memang tidak dikenal dalam KUH Perdata,
tetapi masuk dalam kategori perjanjian lain, sebagaimana yang diterangkan dalam
Pasal 1319 KUH Perdata, bahwa untuk semua perjanjian baik yang mempunyai
suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu,
tunduk pada peraturan umum mengenai perikatan pada umumnya (Bab I buku III
KUH Perdata) dan pada peraturan umum mengenai perikatan yang bersumber
pada perjanjian (Bab II buku III KUH Perdata). Dengan demikian, untuk sahnya
transaksi traupetik, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang termuat dalam Pasal
1320 KUH Perdata dan akibat yang ditimbulkannya diatur dalam Pasal 1338
KUH Perdata, yang mengandung asas pokok hukum perjanjian.
Suatu perikatan bisa timbul baik karena perjanjian, maupun karena
undang-undang sehingga di dalam menentukan dasar hukum transaksi teraupetik
tidak terlepas dari kedua sumber perikatan tersebut karena pada hakekatnya
transaksi teraupetik itu sendiri jelas merupakan sebuah perikatan, yaitu hubungan
hukum yang terjadi antara dokter dengan pasien dalam pelayanan medik. Kedua
sumber perikatan tersebut tidak usah dipertentangkan tetapi cukup dibedakan,
karena sesungguhnya keduanya saling melengkapi dan diperlukan untuk
menganalisis hubungan hukum yang timbul dari transaksi teraupetik.
Apabila transaksi teraupetik itu dikategorikan sebagai perjanjian untuk
melakukan suatu pekerjaan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1601 Bab
7A Buku III KUH Perdata, maka transaksi teraupetik termasuk jenis perjanjian
untuk melakukan jasa yang diatur dalam ketentuan khusus.
Ketentuan khusus yang dimaksudkan, adalah Undang-undang No. 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan. Selain itu, jika dilihat cirri yang dimilikinya yaitu
pemberian pertolongan, yang dapat dikategorikan sebagai pengurusan urusan
orang lain (zaakwaarneming) yang diatur dalam Pasal 1345 KUH Perdata, maka
transaksi teraupetik merupakan perjanjian sui generic.
Perjanjian sui generis merupakan perjanjian yang memiliki sifat sendiri,
di mana tidak dapat dimasukkan dalam uraian umum, rumusan atau susunan
golongan dari: hukum, perjanjian Pada umumnya, perjanjian atau kontrak telah
diterima sebagai sumber dari hubungan antara dokter dan pasien, sehingga
transaksi teraupetik disebut pula dengan istilah perjanjian atau kontrak teraupetik.
Akan tetapi dengan semakin meningkatnya kepekaan terhadap martabat
manusia, maka dilakukan penataan hubungan antar manusia dengan lebih baik,
termasuk hubungan yang timbul dari transaksi teraupetik. Pelaksanaan transaksi
teraupetik harus dikaitkan atau bertumpu pada dua macam hak asasi, yaitu hak
untuk menentukan nasib sendiri, dan hak untuk mendapatkan informasi.
Didasarkan pada kedua hak tersebut, maka dalam menentukan tindakan
medik yang akan dilakukan dokter terhadap pasien harus ada persetujuan yang
didasarkan informasi (informed consent). Dari penjelasan tersebut dapat ditarik
kesimpulan, bahwa informed consent lahir sebagai suatu syarat di dalam transaksi
teraupetik.
Transaksi teraupetik, merupakan hubungan antara dua subjek hukum yang
saling mengikatkan diri didasarkan sikap saling percaya. Sikap saling percaya itu
tumbuh apabila terjalin komunikasi secara terbuka antara dokter dan pasien,
karena masing-masing akan saling memberikan informasi atau keterangan yang
diperlukan bagi terlaksananya kerja sama yang baik dan tercapainya tujuan
transaksi teraupetik tersebut.
Latar belakang dari timbulnya Penerimaan dan penolakan pengambilan
tindakan medik di mana dalam hukum Inggris (Common Law) telah lama dikenal
hak perorangan untuk bebas dari bahaya atau serangan yang menyentuhnya.
Bahaya yang disengaja atau serangan dari orang lain yang menyentuhnya tanpa
hak, yang mana disebut Battery, yaitu kejahatan atau perbuatan melawa hukum
yang menggunakan kekerasan atau paksaan terhadap orang lain.
Persetujuan dalam pelayanan medik pertama timbul di negeri Inggris abad
ke XVIII, yaitu pada pembedahan atau operasi yang dilakukan tanpa persetujuan
atau hak orang lain. Dalam kasus termaksud, pengadilan memutuskan ahli bedah
bertangguna jawab atas Battery. Dengan demikian jika tidak terdapat persetujuan
atau hak lain untuk suatu prosedur medik maka pengadilan modern masih
memutuskan dokter yang bertanggung jawab atas Battery.
Selain itu, terdapat kasus yang melibatkan situasi di mana persetujuan
pasien untuk suatu keputusan. Penentuan bahwa dokter mempunyai suatu tugas
hukum untuk memberi informasi yang cukup kepada pasien. Dalam peraturan
yang lama, informasi yang tidak cukup dan salah mengakibatkan persetujuan
tidak berlaku dan dokter tidak bertanggung jawab untuk Battery. Akan tetapi saat
ini, suatu prosedur medik yang dilaksanakan tanpa informasi yang memadai
merupakan suatu kesalahan yang terpisah yang dapat dipertanggungjawabkan
berdasarkan kelalaian atau kealpaan.
Kasus dibawah ini dapat menjelaskan teori di atas, kasus terebut adalah
Nyonya Natanson melawan dr. Kline , tahun 1960. Nyonya natanson menuntut
dokternya, karena tidak memperoleh peretujuannya untuk dilakukan terapi kobalt
sesudah mastektomi. Ia menderita luka-luka bakar parah akibat radiasi menuntut
dokter radiology yaitu dr. Kline. Tuntutan tersebut atas dasar kelalaian dari
pelaksanaan metode baru tersebut dan juga karena tidak memberitahukan terlebih
dahulu tentang sifat dan bahayanya terapi radiasi tersebut. Dokter Kline telah
mengakui, bahwa walaupun nyonya Natanson telah memberikan persetujuannya,
tetapi kepadanya tidak diberikan penjelasan yang cukup tentang resiko yang
melekat pada prosedur tersebut.
Keputusan dari pengadilan pada waktu itu adalah seorang dokter
berkewajiban untuk:
“Mengungkapkan dan menjelaskan sesederhana mungkin tentang sifat
tindakan yang diusulkan, kemungkinan berhasilnya atau cara alternatif lainnya,
dan adanya kemungkinan resiko hasilnya negative yang disebabkan oleh
keadaaan di dalam tubuh yang tidak dapat diketahui sebelumnya”.
Dari hal tersebut di atas maka secara prinsip dapat dikatakan bahwa setiap
manusia berhak untuk berperan serta dalam pengambilan keputusan yang
menyangkut dirinya. Hal ini kemudian dijabarkan menjadi:
1. Pasien harus memahami dan mempunyai informasi yang cukup untuk
mengambil keputusan mengenai perawatan terhadap dirinya. Informasi
yang dipahami oleh pasien, artinya informasi itu disampaikan dalam
“bahasa” pasien, bukan dengan “bahasa” atau istilah kedokteran.
2. Pasien harus memberikan persetujuan atas perawatan terhadapnya, baik
secara lisan atau tertulis, secara tegas (eksplisit) atau tersirat (implisit).

Jadi pada hekekatnya Penerimaan dan penolakan pengambilan tindakan


medik adalah upaya untuk melindungi pasien dari segala kemungkinan tindak
medik yang tak disetujui atau diizinkan oleh pasien tersebut, sekaligus
melindungi dokter (secara hukum) terhadap kemungkinan akibat tak terduga dan
bersifat negatif.
Bahwa dalam Penerimaan dan penolakan pengambilan tindakan medik
dirumuskan pernyataan kehendak dari kedua belah pihak yaitu pasien yang
menyatakan setuju atas tindakan yang diusulkan oleh dokter dan formulir
persetujuan itu ditandatangani oleh kedua belah pihak. Maka karena itu
merupakan persetujuan dua belah pihak yang saling mengikat, dan tidak dapat
ditarik kembali oleh salah satu pihak tanpa persetujuan pihak yang lain.
Hal tersebut di atas memenuhi unsur perjanjian yaitu Pasal 1338 KUH
Perdata di mana disebutkan bahwa suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali
secara sepihak tanpa ditemukan dan disetujui pihak lain. Persetujuan baru dapat
dibatalkan atas kehendak kedua belah pihak atau dianggap cukup oleh undang-
undang.
Penerimaan dan penolakan pengambilan tindakan medic mempunyai bentuk
sebagai perjanjian baku karena pihak-pihak yang telah berepakat ditentukan
dalam suatu bentuk tertentu yaitu formulir. Isi dan bentuk perjanjian telah
ditentukan sebelumnya, selain itu Penerimaan dan penolakan pengambilan
tindakan medik juga memenuhi ciri dari perjanjian baku yaitu : pasien tidak turut
menentukan isi perjanjian, formulir telah ada dalam bentuk tertulis dan dicetak
dalam jumlah yang banyak.
Prosedur tetap dalam pengambilan tindakan medik yang bersifat tetap dan
mengikat adalah adanya persetujuan pasien untuk pengambilan tindakan medik.
Penerimaan dari pasien tersebut dituangkan dalam bentuk persetujuan
pengambilan tindakan medik (informed consent) dan penolakan pengambilan
tindakan medik (informed refusal). Penerimaan dan penolakan pasien atas
tindakan medik yang akan diambil pada dirinya merupakan salah satu dari
beberapa hak pokok pasien yang mana harus dihormati oleh dokter dan tenaga
medik lainnya.
Jaminan kepastian dari hak pokok pasien diatur di dalam Undang-undang
nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan Pasal 53 ayat (2) yang mana
menyebutkan hak-hak pasien antara lain:
1. Hak atas informasi
2. Hak untuk memberikan persetujuan
3. Hak atas rahasia kedokteran
4. Hak atas pendapat kedua

Hak-hak pasien tersebut di atas wajib dihormati oleh dokter dan tenaga
medikk. Hal tersebut ditegaskan pula dalam Undang-undang No. 23 tahun 1992
tentang Kesehatan yaitu pada Pasal 53 ayat (3) dan ayat (4) yang berbunyi:

Ayat (3) “Tenaga Kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk


mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.”

Ayat (4) “Ketentuan mengenai standar profesi dan hak pasien sebagaimana
dimaksudkan dalam ayat (2) ditetapkan dengan peraturan pemerintah.”

Pasal tersebut di atas merupakan jaminan terhadap diperlakukannya


pasien sesuai dengan hak-hak yang dimilikinya, oleh sebab itu dokter dan tenaga
medik tidak diperkenankan untuk membujuk, menyarankan atau menasehati
pasien demi kepentingan dokter agar memberikan persetujuan tindakan kepada
pasien baik tindakan dilakukannya perawatan atau pun pengobatan. Pasien
memiliki “otonomi moral” yaitu hak untuk menentukan nasibnya sendiri yang
tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun termasuk ahli medik.
Hak pasien atas informasi tentang sakit pasien dan persetujuan atas
tindakan medik terangkum dalam penerimaan dan penolakan pengambilan
tindakan medik. Bentuk penerimaan pasien tertuang dalam persetujuan
pengambilan tindakan medik atau yang dikenal dengan informed consent.
Sedangkan bentuk penolakan dari pasien dikenal dengan penolakan
pengambilan tindakan medik (Informed Refusal) Persetujuan pengambilan
tindakan medik itu sendiri terbagi atas dua jenis yaitu dalam bentuk pernyataan
(expressed) yang meliputi pernyataan secara lisan (oral) dan pernyataan secara
tertulis (written). Bentuk yang lain adalah bentuk tersirat implied atau tacit
consent) bentuk ini memiliki dua jenis yaitu dalam keadaan biasa (normal) dan
dalam keadaan darurat (emergency).
Penyampaian informasi merupakan fase yang penting sebagai salah satu
prosedur dalam penerimaan ataupun penolakan pengambilan tindakan medik.
Dokter atau tenaga medik tidak bisa memaksa untuk pasien menerima tindakan
medik tersebut. Namun demikian bagaimana prosedur yang harus ditempuh
dokter apabila pasien menolak padahal dalam kondisi kegawatan yang dapat
mengancam jiwa pasien. Ketika pasien menolak dokter haruslah berusaha untuk
menjelaskan sekali lagi tentang akibat dan resiko yang harus ditanggung pasien,
apabila setelah dijelaskan pasien tetap menolak maka pasien harus
menandatangani pernyataan penolakan.
Penolakan yang diberikan haruslah secara tertulis dan tidak bisa dalam
bentuk lisan (Implied), hal tersebut disebabkan karena beban pembuktian terletak
pada pihak yang menyatakan sesuatu dan hal ini menjadi beban dokter maka jalan
pembuktian yang mudah yang dapat diberikanoleh dokternya adalah pernyataan
penolakan dari pasiennya. Ketika pasien menolak secara lisan atau tidak mau
menandatangani maka dokter berkewajiban untuk mencatatkan dalam rekam
medik pasien yang bersangkutan dengan catatan menolak menandatangani
pernyataan penolakan pengambilan tindakan medik.
Penerimaan dan penolakan pengambilan tindakan medic mempunyai arti
penting yang sama. Karena keduanya merupakan bentuk pernyataan pasien yang
mana memilki landasan hukum dan beban pembuktian yang kuat. Untuk
penolakan maka terdapat prosedur pencatatan dokumentasi yang meliputi:
a. Catat penjelasan yang diberikan dokter tentang risiko dan keuntungan dari
tindakan medik tersebut,
b. Catat penjelasan tentang risiko yang bisa timbul jika ditundatunda,
c. Catat penolakan pasien/ keluarganya dan pertanyaanpertanyaan yang
diajukan olehnya,
d. Catat jawaban-jawaban yang diberikan oleh dokter dan pengulangan
penjelasan risiko yang mungkin terjadi,
e. Catat dasar alasan pasien menolak tindakan medik tersebut,
f. Catat keputusan akhir dari pasien dan respons final dari dokter.
g. Bubuhi tanggal, jam dan tempatnya (misalnya: ruang perawatan, IGD,
ICU dan sebagainya).
h. Catat juga nama saksi-saksinya.

Tidak diberikannya informasi oleh dokter dalam pengambilan tindakan medik


kepada pasien dapat dikenakan suatu tuntutan yaitu penuntutan atas informasi
yang kurang (lack of informed consent). Persetujuan pengambilan tindakan
medik juga bermanfaat sebagai alat kontrol (self control) kinerja dokter.

2.7 Peran Perawat dalam Pemberian Informed Consent


Peran merupakan sekumpulan harapan yang dikaitkan dengan suatu posisi
dalam masyarakat. Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh
orang lain terhadap seseorang, sesuai kedudukannya dalam suatu sistem.
Berhubungan dengan profesi keperawatan, orang lain dalam definisi ini adalah
orang-orang yang berinteraksi dengan perawat baik interaksi langsung maupun
tidak langsung terutama pasien sebagai konsumen pengguna jasa pelayanan
kesehatan di rumah sakit.
Peran perawat professional dalam pemberian informed consent adalah
dapat sebagai client advocate dan educator. Client advocate yaitu perawat
bertanggung jawab untuk membantu klien dan keluarga dalam
menginterpretasikan informasi dari berbagai pemberi pelayanan dan dalam
memberikan informasi lain yang diperlukan untuk mengambil persetujuan
(informed consent) atas tindakan keperawatan yang diberikan kepadanya. A client
advocate is an advocate of client’s rights. Sedangkan educator yaitu sebagai
pemberi pendidikan kesehatan bagi klien dan keluarga.
 
 Hal – hal yang dapat di informasikan
a. Hasil Pemeriksaan
Pasien memiliki hak untuk mengetahui hasil pemeriksaan yang telah
dilakukan. Misalnya perubahan keganasan pada hasil Pap smear. Apabila
infomasi sudah diberikan, maka keputusan selanjutnya berada di tangan pasien.
b. Risiko
Risiko yang mungkin terjadi dalam terapi harus diungkapkan disertai
upaya antisipasi yang dilakukan dokter untuk terjadinya hal tersebut. Reaksi
alergi idiosinkratik dan kematian yang tak terduga akibat pengobatan selama ini
jarang diungkapkan dokter. Sebagian kalangan berpendapat bahwa kemungkinan
tersebut juga harus diberitahu pada pasien.
Jika seorang dokter mengetahui bahwa tindakan pengobatannya berisiko
dan terdapat alternatif pengobatan lain yang lebih aman, ia harus
memberitahukannya pada pasien. Jika seorang dokter tidak yakin pada
kemampuannya untuk melakukan suatu prosedur terapi dan terdapat dokter lain
yang dapat melakukannya, ia wajib memberitahukan pada pasien.

c. Alternatif
Dokter harus mengungkapkan beberapa alternatif dalam proses diagnosis
dan terapi. Ia harus dapat menjelaskan prosedur, manfaat, kerugian dan bahaya
yang ditimbulkan dari beberapa pilihan tersebut. Sebagai contoh adalah terapi
hipertiroidisme. Terdapat tiga pilihan terapi yaitu obat, iodium radioaktif, dan
subtotal tiroidektomi. Dokter harus menjelaskan prosedur, keberhasilan dan
kerugian serta komplikasi yang mungkin timbul.
d. Rujukan atau konsultasi
Dokter berkewajiban melakukan rujukan apabila ia menyadari bahwa
kemampuan dan pengetahuan yang ia miliki kurang untuk melaksanakan terapi
pada pasien-pasien tertentu. Pengadilan menyatakan bahwa dokter harus merujuk
saat ia merasa tidak mampu melaksanakan terapi karena keterbatasan
kemampuannya dan ia mengetahui adanya dokter lain yang dapat menangani
pasien tersebut lebih baik darinya.

e. Prognosis
Pasien berhak mengetahui semua prognosis, komplikasi, sekuele,
ketidaknyamanan, biaya, kesulitan dan risiko dari setiap pilihan termasuk tidak
mendapat pengobatan atau tidak mendapat tindakan apapun. Pasien juga berhak
mengetahui apa yang diharapkan dari dan apa yang terjadi dengan mereka.
Semua ini berdasarkan atas kejadian-kejadian beralasan yang dapat diduga oleh
dokter. Kejadian yang jarang atau tidak biasa bukan merupakan bagian
dari informed consent.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
 Informed consent adalah persetujuan individu terhadap pelaksanaan suatu
tindakan, seperti operasi atau prosedur diagnostik invasif, berdasarkan
pemberitahuan lengkap tentang risiko, manfaat, alternatif, dan akibat
penolakan. Informed consent merupakan kewajiban hukum bagi
penyelengara pelayanan kesehatan untuk memberikan informasi dalam
istilah yang dimengerti oleh klien sehingga klien dapat membuat pilihan.
Persetujuan ini harus diperoleh pada saat klien tidak berada dalam
pengaruh obat seperti narkotika.
Secara harfiah informed consent adalah persetujuan bebas yang
didasarkan atas informasi yang diperlukan untuk membuat persetujuan
tersebut. Dilihat dari pihak-pihak yang terlibat , dalam praktek dan
penelitian medis, pengertian “informed consent” memuat dua unsur
pokok, yakni:
1.    Hak pasien (atau subjek manusiawi yang akan dijadikan kelinci
percobaanmedis) untuk dimintai persetujuannya bebasnya oleh dokter
(tenaga medis) dalam melakukan kegiatan medis pada pasien tersebut,
khususnya apabila kegiiatan ini memuat kemungkinan resiko yang akan
ditanggung oleh pasien.
2.    Kewajiban dokter (tenaga riset medis) untuk menghormati hak
tersebut dan untuk memberikan informasi seperlunya, sehingga
persetujuan bebas dan rasional dapat diberikan kapada pasien.
 Penelitian kesehatan merupakan langkah metode ilmiah yang
berorientasikan atau memfokuskan kegiatannya pada masalah-masalah
yang timbul di bidang kesehatan. Kesehatan itu sendiri terdiri dari dua sub
bidang pokok, yakni pertama kesehatan individu yang berorientasikan
klinis, pengobatan. Sub bidang kedua yang berorientasi pada kelompok
atau masyarakat, yang bersifat pencegahan. Selanjutnya sub bidang
kesehatan inipun terdiri dari berbagai disiplin ilmu, seperti kedokteran,
keperawatan, epidemiologi, pendidikan kesehatan, kesehatan lingkungan,
manajemen pelayanan kesehatan, gizi dsb. Sub bidang tersebut saling
berkaitan dan mempengaruhi kondisi kesehatan masyarakat pada
umumnya. Sehingga berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian
kesehatan dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk memahami
permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam bidang kesehatan, baik
promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitative serta masalah yang
berkaitan dengan unsure tersebut; dengan mencari bukti dan dilakukan
melalui langkah-langkah tertentu yang bersifat ilmiah, sistematis dan
logis.

B. Saran
Informed consent atau Persetujuan Tindakan Medis sangat penting sehingga
para dokter dan perawat harus selalu melaksanakan sebaikbaiknya agar tuntutan
hukum dari pihak pasien dapat dihindari. Jika seorang dokter dan perawat tidak
memperoleh persetujuan tindakan pengobatan yang sah, maka dampaknya adalah
bahwa dokterdan perawat atau tenaga kesehatan tersebut akan dapat mengalami
masalah, baik dari sisi hukum pidana, hukum perdata, maupun pendisiplinan.
Oleh karena itu, sebagai tenaga kesehatan harus melakukan tindakan sesuai
dengan hukum yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (2012). Mengenal “Informed Consent”.http://www.scribd.com/doc/


22040447/All-About-Informed-Consent. Diakses pada tanggal 11 Oktober,
pukul 12.38 WIB

J. Guwandi. Informed consent Consent. FKUI. Jakarta. 2004.


 
Sofwan Dahlan, Hukum Kesehatan Rambu-Rambu Bagi Profesi Dokter,
Semarang; Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2000

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1993 tentang Kesehatan.


Jakarta: Sekretariat Negara.

Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik


(persetujuan dalam Hubungan Dokter dan Pasien) Suatu Tinjauan Yuridis,
Bandung;PT. Citra Aditya Bakti, 2002

Anda mungkin juga menyukai