DOSEN PENGAMPU:
Adisti Aldegonda Rumayar, S.K.M., M.Kes., MPH.
DIBUAT OLEH:
HELSA CLAUDIA (231111010051)
RYAN SAUL SAMUEL IBNU (231111010074)
TATIA VIRGIN FERONIKA TUMUJU (231111010094)
EUNIKE LARENGGAM (231111010087)
WILLIAM EBEN HAEZAR LEONARD TURANGAN (231111010081)
Puji syukur yang kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih karunia dan
berkat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah “Kasus Persetujuan Tindakan
Medis atau Informed Consent Dokter Ayu” dari tugas mata kuliah Etika dan Hukum
Kesehatan dengan baik dan lancar.
Harapan kami agar makalah ini dapat menambah wawasan dan bermanfaat bagi
semua pihak. Kami juga menyadari bahwa dalam menyusun laporan ini masih terdapat
banyak kekurangan baik dalam tata bahasa maupun dalam susunan kalimat yang ada. Oleh
sebab itu, kami mengharapkan segala bentuk kritik dan saran yang membangun dari berbagai
pihak yang telah membaca makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................................2
1.3 Tujuan.............................................................................................................................3
BAB II ISI................................................................................................................................4
2.1 Studi Kasus.....................................................................................................................4
2.1.1 Definisi Informed Consent.........................................................................................4
2.1.2 Bentuk Informed Consent..........................................................................................6
2.1.3 Jenis Informed Consent.............................................................................................6
2.1.4 Dasar Hukum Informed Consent...............................................................................7
2.2 PEMBAHASAN..............................................................................................................9
2.2.1 Kronologi...................................................................................................................9
2.2.2 Penyebab Kasus.......................................................................................................10
2.2.3 Pelanggaran Etika dan Penegakan Hukum..............................................................11
2.3 Dampak Kasus Ditinjau Dari Berbagai Aspek..........................................................12
BAB III PENUTUP...............................................................................................................14
3.1 Kesimpulan...................................................................................................................14
3.2 Saran..............................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................16
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur Kesejahteraan yang
harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Sedangkan
pembangunan kesehatan pada hakekatnya adalah Penyelenggaraan upaya
kesehatan oleh bangsa Indonesia untuk mencapai Kemampuan untuk hidup sehat
bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan Derajat kesehatan masyarakat yang
optimal, sebagai salah satu unsur Kesejahteraan umum dari tujuan nasional.
Dokter sebagai anggota profesi yang mengabdikan ilmunya untuk Kepentingan
umum, mempunyai kebebasan dan kemandirian yang Berorientasi kepada nilai-
nilai kemanusiaan sesuai dengan kode etik Kedokteran. (Soetrisno, 2010)
Seperti pasien yang memiliki Kemungkinan cacat atau meninggal dunia setelah
ditangani dokter dapat saja Terjadi, walaupun dokter telah melakukan tugasnya
sesuai standar profesi ataupun Standar pelayanan medik yang baik. Keadaan
semacam ini biasa disebut Sebagai resiko medik, namun terkadang dimaknai lain
oleh pihak-pihak diluar Profesi kedokteran sebagai medical malpractice. Medical
Malpractice seperti yang disebutkan oleh pihak-pihak diluar Profesi kedokteran
didefinisikan menurut The Oxford Illustrated Dictionary,2 nd ed, 1975 bahwa
yang dimaksud dengan Malpraktek adalah : “ sikap Tindak yang salah pemberian
pelayanan terhadap pasien yang tidak benar oleh profesi medis, tindakan yang
ilegal untuk memperoleh keuntungan Sendiri sewaktu dalam posisi kepercayaan”.
Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan malpraktek Adalah:
a. Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang
Tenaga kesehatan dalam hal ini dokter.
b. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan
1
Kewajiban.
c. Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan
Perundang-undangan.
2
2. Bagaimana penegakan hukum yang berlaku di indonesia pada kasus
dokter Ayu ?
3. Bagaimana konsep informed consent ?
4. Bagaimana dampak kasus dari berbagai aspek ?
1.3 Tujuan
3
BAB II
ISI
4
1. Diagnosa yang telah ditegakkan
2. Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan
3. Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut
4. Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada
tindakan kedokteran tersebut,
5. Konsekuensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah
alternatif cara pengobatan yang lain
6. Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut.
Kedudukan informed consent sangat urgen sebagai bentuk informasi
kepada pasien mengenai semua tindakan medis yang akan dilakukan
meskipun informasi yang hendak diberikan itu bersifat eksplisit maupun
implisit. Letak urgensitas pemberian informasi tersebut, adalah untuk
memudahkan pembuktian dalam rangka pertanggunggjawaban dokter bila
kelak terjadi perselisihan dengan pasien.
Pasien yang kompeten yaitu mereka yang dapat memahami penjelasan
dan menggunakan informasi untuk membuat kesimpulan logis biasanya
dapat diberikan informed consent secara langsung. Berdasarkan
Permenkes nomor 290 tahun 2008, pasien yang kompeten berarti pasien
dewasa di atas usia 21 tahun atau telah/pernah menikah, atau pasien
berusia 21 tahun yang tidak dikategorikan sebagai anak berdasarkan
perundang-undangan. Pasien juga dikatakan kompeten apabila
kesadarannya tidak terganggu dan tidak mengalami gangguan atau
kemunduran kesehatan mental. (Utami, 2017)
Informed consent dapat diberikan oleh orang tua, suami/istri, anak
kandung, saudara kandung, keluarga terdekat, atau orang yang mengantar
pasien, tergantung pada kondisi pasien tertentu, seperti usia anak,
gangguan kesadaran, gangguan mental, atau kondisi gawat darurat. Wali
yang menggantikan pasien ini harus menetapkan tujuan untuk kepentingan
terbaik pasien dan memaksimalkan manfaat bagi pasien. (Utami, 2017)
Dalam kondisi gawat darurat, persetujuan informed consent secara
tersirat dari pasien biasanya dianggap sebagai persetujuan untuk tindakan.
Selain itu, jika pasien tidak sadar dan tidak didampingi keluarga atau wali,
tindakan tetap boleh dilakukan tanpa persetujuan informed. Setelah pasien
sadar atau keluarga atau wali hadir, persetujuan informed dapat dibuat.
(Utami, 2017)
5
2.1.2 Bentuk Informed Consent
Secara teoritis, bentuk-bentuk informed consent, dapat dikategorikan tiga
bentuk, mencakup:
1. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang
mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes
Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI Nomor
319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang
mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan
tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang
akurat tentang tindakan medis serta resiko yang berkaitan dengannya
(telah terjadi informed consent).
2. Persetujuan Lisan, biasanya diperlu-kan untuk tindakan medis yang
bersifat non-invasif dan tidak mengandung re-siko tinggi, yang diberikan
oleh pihak pasien.
3. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat. misalnva
pasien yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung
memberikan lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan
dilakukan terhadap dirinya.
Berdasarkan uraian tiga bentuk informed consent tersebut, maka
informed consent selalu melibatkan unsur kesukarelaan pasien terhadap
apa yang menjadi tindakan medis seorang dokter terhadap dirinya.
Transaksi terapeutik persetujuan yang terjadi antara dokter dengan pasien
bukan dibidang pengobatan saja tetapi lebih luas lagi yang mencakup
bidang diagnostik, preventif, rehabilitatif maupun promotif. (Syafruddin
dan Anand, 2015)
2.1.3 Jenis Informed Consent
Berdasarkan tujuannya, informed consent terdiri dari 3 jenis, yaitu untuk
penelitian, untuk menegakkan diagnosis, dan untuk terapi.
1. Informed Consent untuk Penelitian
Pada penelitian yang melibatkan partisipasi individu dan intervensi,
informed consent harus diperoleh sebagai bentuk persetujuan partisipan
terlibat secara volunter dalam penelitian.
2. Informed Consent untuk Menegakkan Diagnosis
Informed consent juga diperlukan saat dokter akan melakukan prosedur
yang bertujuan untuk menegakkan diagnosis, seperti tindakan fine needle
aspiration biopsy dan coronary computed tomography angiography
(CCTA).
3. Informed Consent untuk Terapi
6
Sebelum pemberian terapi khusus, seperti sedasi dan analgesik jenis
narkotika, informed consent perlu diperoleh dari pasien/keluarga setelah
penjelasan mengenai efek samping, komplikasi, dan alternatif terapi lainnya
2.1.4 Dasar Hukum Informed Consent
Persetujuan tindakann kedokteran telah diatur dalam pasal 45 Undang-
Undang No.29 tahun 2004tentang praktek kedokteran. Sebagaimana
dinyatakan setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan
dilakukan oleh dokter terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
Persetujuan sebagaimana dimaksud diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan secara lengakap,sekurang-kurangnya mencakup ; diagnosis dan
tata cara tindakan medis,tujuan tindakan medis dilakukan, alternatif
tindakan lain dan resikonya, resiko dan kolplikasi yang munkin terjadi, dan
Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. Persetujuan tersebut dapat
diberikan baik secara tertulis maupun lisan. Desebutkan didalamnya bahwa
setiap tindakan kedokteran yang mengandung resiko tinggi harus diberikan
dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak
memberikan pesetujuan. (Purnama, 2016).
1. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.290/Menkes/Per/III/ 2008 tentang
persetujuan tindakan Kedokteran dinyatakan dalam pasal 1, 2, dan 3
2. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit; Pasal 32
poin J, Pasal 32 poin K.
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia 585/Menkes/Per/IX/
1989 Tentang Persetujuan TindakanMedis pada Bab 1, huruf (a)
“persetujuan tindakan medis/informed consent adalah persetujuan yang
diberikan oleh pasien atau keluarga atas dasar penjelasan mengenai
tindakan medis yang akan dilakukan pada pasien tersebut”
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 585 yang
ditindak lanjuti dengan Sk Dirjen Yanmed 21 April 1999 yangmemiliki
8 bab dan 16 pasal yaitu :
7
a. Bab (I) Ketentuan umum pasal (1)
b. Bab (II) Persetujuan pasal (2 dan 3)
c. Bab (III) Informsi pasal (4,5,6, dan 7 )
d. Bab (IV) Yang berhak memberikan persetujuan pasal (8,9,10, dan
11)
e. Bab (V) Tanggu Jawab pasal (12)
f. Bab (VI) Sanksi pasal (13)
g. Bab (VII) Ketentuan lainnya pasal (14)
h. Bab (VIII) Ketentuan Penutup pasal (15 dan 16)
Hal-hal yang diatur dalam pelaksanaan informed consent berisi sebagai
berikut :
a. Persetujuan atau Penolakan Tindakan Medis diberikan untuk
tindakan medis yang dinyatakan secara spesifik (the consent must
be for what will be actually performed). Dan persetujuan atau
Penolakan Tindakan Medis di-berikan oleh seseorang (pasien)
yang sehat mental dan yang memang berhak memberikan-nya
dari segi hukum.
b. Informasi dan penjelasan tentang alternatif tin-dakan medis lain
yang tersedia dan serta risi-konya masing-masing (alternative
medical prosedure and risk). Dan informasi dan penjelasan
tentang prognosis penyakit apabila tindakan medis tersebut
dilakukan (prognosis with and without medical produce)
c. Yang berhak memberikan persetujuan ialah mereka yang
dikatakan meiliki sehat mental dan dalam keadaan sadar. Diman
kurang lebih berumur 21 dalam status telah menikah. Tetapi
dibawah pengampu. Maka persetujuan diberikan oleh wali
pengampu,bagi mereka yamg berada dibawah umur 21 dan belum
menikah diberikan oleh orang tua atau wali atau keluarga
terdekat.
8
d. Bila terdapat dokter yang melakukan tindakan medis tanpa
persetujuan,dilaksanakan sanksi administrasi berupa pencabutan
surat izin praktik.
e. Pemberian informasi ini diberikan oleh dokter yang bersangkutan
dalam hal berhalangan dapat diberikan oleh dokter lain dengan
sepengatahuan dan tanggung jawab dari dokter yang
bersangkutan, dibedakan antara tindakan operasi dan bukan
operasi,untuk tindakan operasi harus dokter memberikan
informasi ,untuk bukan tindakan operasi sebaiknya dokter yang
bersangkutan tetapi dapat juga oleh perawat.
2.2 PEMBAHASAN
2.2.1 Kronologi
Pada 10 April 2010, dr. Ayu, dr. Hendry Siagian, dan dr. Hendry
Simanjuntak yang saat itu bertugas di RS Kandou Manado ini
menangani pasien bernama Julia Fransiska Makatey (26) yang
sedang hamil anak keduanya. Ia masuk ke RS Dr Kandau Manado
9
atas rujukan puskesmas. Pada waktu itu, ia didiagnosis sudah dalam
tahap persalinan pembukaan dua. Namun setelah delapan jam masuk
tahap persalinan, tidak ada kemajuan dan justru malah muncul tanda-
tanda gawat janin, terjadi mekonium atau bayi mengeluarkan feses
saat persalinan. sehingga ketika itu diputuskan melakukan tindakan
operasi cito secsio sesaria. Jabang bayi bisa dikeluarkan dan selamat,
tapi kondisi Julia memburuk. 20 menit kemudian, ia dinyatakan
meninggal. Merasa ada kejanggalan, keluarga Julia melapor ke
polisi. Mereka beralasan Julia tidak mendapatkan penanganan yang
seharusnya. Dokter dituding melakukan pembiaran karena tidak
segera menangani Julia.
Pada 15 September 2011, hakim Pengadilan Negeri Manado
menuntut dr. Ayu, dr. Hendry Siagian dan dr. Hendry Simanjuntak
dengan 10 bulan penjara karena laporan malpraktik keluarga korban.
Namun di akhir sidang, ketiganya divonis bebas. Oleh hakim,
kematian Julia disimpulkan karena gangguan di peredaran darah
pasca kelahiran. Tidak terima dengan putusan tersebut, Jaksa
Penuntut Umum yang menangani kasus itu mengajukan kasasi dan
dikabulkan MA lewat putusan yang dikeluarkan pada 18 November
2012 lalu. Kasasi ini memerintahkan dokter Ayu cs untuk dipenjara
selama 10 bulan. Pada 18 September 2012, dr Ayu dan koleganya
ditetapkan sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO). Atas putusan
MA, dr. Ayu ditangkap di tempat praktiknya, RSIA Permata Hati,
Balikpapan, Kaltim, Jumat, 8 November 2013 lalu. Ia dibawa ke
Manado dan dijebloskan ke Rutan Malendeng. Sementara kedua
dokter lainnya yakni dr. Hendry Simanjuntak dan dr Hendy Siagian
masih dicari.
Eksekusi putusan MA ini memicu aksi dokter di sejumlah daerah.
Kasus tersebut dikhawatirkan membuat dokter ragu atau tidak bisa
mengambil keputusan darurat saat menangani pasien. Aksi para
dokter ini membuahkan hasil. Pada Februari 2014 dr. Ayu cs
dibebaskan lewat putusan di tingkat peninjauan kembali (PK). Dasar
pertimbangan mengabulkan PK yaitu para terpidana tidak menyalahi
SOP dalam penanganann operasi sesco ciceasria sehingga
pertimbngn judex facti pada PN Manado sudah tepat dan benar.
10
kepada keluarga pasien. Sehingga pada saat pasien meninggal setelah
melahirkan anaknya, keluarga merasa janggal kemudian melaporkan
kasus tersebut kepada polisi. Awalnya keluarga mengira bahwa pasien
ditelantarkan setibanya di rumah sakit rujukan, tanpa adanya tindakan
medis yang dilakukan pihak rumah sakit. Namun, ternyata pihak rumah
sakit tidak menelantarkan pasien, melainkan menunggu pasien
pembukaan sempurna, karena awalnya pasien disarankan untuk
melahirkan secara normal.
11
1. Kesepakatan yang mengikat kedua belah pihak
2. Kecakapan dalam membuat suatu perikatan
3. Suatu pokok persoalan tertentu
4. Suatu sebab yang tidak terlarang
;Ketiadaan informed consent yang digolongkan sebagai
wanprestasi; dan Ketiadaan informed consent yang digolongkan
sebagai perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUH
Perdata yang menyebutkan bahwa ‘tiap perbuatan melawan
hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan
orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut. (Tampubolon, 2017).
2. Aspek Ekonomi
Dari kasus ini, informed consent diperlukan agar supaya bila saat
melakukan tindakan medis/operasi terhadap pasien, apabila ada biaya-
biaya tidak terduga yang harus dibayarkan pihak keluarga pasien
kepada rumah sakit, keluarga tidak bisa menolak untuk melakukan
pembayaran.
3. Aspek sosial
Pemberian Informed consent kepada pasien dan kelaurga pasien secara
terperinci tentang prosedur medis dan risikonya, informed consent
12
membuka ruang untuk komunikasi yang lebih baik antara dokter dan
pasien. Pasien dapat mengajukan pertanyaan, mengungkapkan
kekhawatiran, dan berdiskusi dengan dokter mereka sebelum
memberikan persetujuan. Hal ini dapat membangun kepercayaan antara
pasien dan keluarga dengan dokter serta menghormati hak pasien untuk
menentukan pilihan medis terbaik untuk dirinya.
4. Aspek Budaya
Kasus ini juga mengajar kita dalam segi budaya bahwa informed
consent yang diberikan rumah sakit dapat mempertimbangkan nilai-
nilai budaya pasien dalam prosedur medis yang akan dilakukan.
Termasuk keyakinan praktik budaya tertentu yang harus pasien atau
keluarga pasien lakukan sebelum atau sesudah operasi. Dilakukan agar
pihak rumah sakit dapat menghormati nilai-nilai budaya pasien dan
keluarga serta membangun hubungan yang lebih baik antara pasien dan
tenaga medis.
13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pelaksanaan persetujuan tindakan medik (informed consent) dalam pelayanan
kesehatan. Keharusan adanya Informed Consent secara tertulis yang
ditandatangani oleh pasien sebelum dilakukannya tindakan medik, karena erat
kaitannya dengan pendokumentasiannya ke dalam catatan medik (Medical
Record). Hal ini disebabkan, Rumah Sakit tempat dilakukannya tindakan medik
tersebut, selain harus memenuhi standar pelayanan rumah sakit juga harus
memenuhi standar pelayanan medik sesuai dengan yang ditentukan dalam
keputusan Menteri Kesehatan No. 436/MENKES/SK/VI/1993 Tentang
Berlakunya Standar Pelayanan di Rumah Sakit. Dengan demikian, Rumah Sakit
turut bertanggung jawab apabila tidak dipenuhinya persyaratan Informed Consent.
Apabila tindakan medik yang dilakukan tanpa adanya Informed Consent, maka
dokter yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan
surat izin praktik, Berarti, keharusan adanya Informed Consent secara tertulis
dimaksudkan guna kelengkapan administrasi Rumah Sakit yang bersangkutan.
Dengan demikian, penandatanganan Informed Consent secara tertulis yang
dilakukan oleh pasien sebenarnya dimaksudkan sebagai penegasan atau
pengukuhan dari persetujuan yang sudah diberikan setelah dokter memberikan
penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukannya. Oleh karena itu,
dengan ditandatanganinya Informed Consent secara tertulis tersebut, maka dapat
diartikan bahwa pemberi tanda tangan bertanggung jawab dalam menyerahkan
sebagian tanggung jawab pasien atas dirinya sendiri kepada dokter yang
bersangkutan, beserta resiko yang mungkin akan dihadapinya. Hambatan-
hambatan dan solusi untuk mengatasinya dalam pelaksanaan persetujuan tindakan
medik (informed consent) dalam pelayanan kesehatan. Hambatan yang ditemui
dalam pelaksanaan persetujuan tindakan medik yaitu bahwa form persetujuan
tindakan medik tidak ditandatangani oleh pasien sendiri padahal pasien dalam
keadaan sadar. Selain itu informasi didapat oleh pasien dari perawat, juga dalam
formulir persetujuan tindakan medik ada dokter yang tidak tanda tangan.
(Busro,2018)
3.2 Saran
14
2. Antara pasien dan dokter hendaknya dapat lebih meningkatkan komunikasi,
sebab dengan komunikasi yang baik maka penerapan persetujuan tindakan
medik (informed consent) dapat berjalan dengan baik. Selain itu dengan
adanya komunikasi yang baik akan lebih meminimalkan resiko terjadinya
malpraktek di bidang medis. (Busro, 2018)
15
DAFTAR PUSTAKA
16